Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
1 PENDAHULUAN
T
idak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap kehidupan sosial di mana pun dan dalam kelompok yang sekecil apa pun, selalu saja tak lepas dari konflik-konflik sosial. 1 Konflik-konflik sosial itu selalu menyertai dan bahkan dapat merusak sendi-sendi kehidupan kelompok sosial politik apabila tidak dikelola secara baik. Realitas seperti itu muncul sebagai akibat dari adanya perbedaan pola pikir, latar belakang sejarah, pemikiran, pengalaman, perbedaan motivasi dan keinginan, perbedaan kebutuhan, perbedaan perasaan, dan sebagainya dari setiap anggota masyarakat yang tergabung di dalamnya. Sekalipun konflik-konflik sosial itu selalu melekat dalam kehidupan sosial, namun pada dasarnya masyarakat yang terlingkup di dalamnya menghendaki adanya suasana yang aman, tertib (teratur), dan damai.2 Itu berarti, konflik-konflik sosial yang mengganggu kehidupan sosial itu haruslah selalu dikelola dengan sebaik-baiknya agar dapat tercipta suasana yang aman, 1Ralph
Dahrendorf. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. Edisi Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1984, halaman 197. 2Konflik sebagai realitas yang selalu melekat dengan kehidupan sosial dan adanya dambaan untuk hidup secara aman, tertib dan damai itu sebetulnya sejalan dengan tesis para pakar konflik, bahwa “sesungguhnya masyarakat itu bermuka dua, di satu sisi terdapat konsesus dan konflik, dan di sisi yang lain terdapat pertentangan dan integrasi (Ralph Dahrendorf, Ibid, halaman 197). 1
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
tertib, dan damai. Sir Paul Vinogradoff dalam bukunya Common Sense in Law (1959) menegaskan bahwa adalah suatu hal yang nonsens apabila hubungan sosial itu bisa berlangsung, sedang masyarakat sendiri tidak mengenal ketertiban (order),3 keamanan, kedamaian, dan sebagainya. Dijelaskan bahwa kekerasan dengan mengedepankan simbol-simbol agama atau budaya membawa dampak sosial maupun politis yang besar. Hal ini tampaknya juga disadari oleh penguasa sejak zaman kolonial. Akibatnya simbol-simbol budaya dan agama dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dalam rangka memecah belah maupun sebagai upaya politis meraih kekuasaan. Oleh karena itu, kekerasan yang belakangan ini semakin marak sesungguhnya merupakan conditio sine qua non, yakni akibat berbagai eksploitasi dan manipulasi terhadap simbol-simbol agama atau budaya tersebut yang dilakukan sejak zaman kolonial hingga sekarang 4 . Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu, seperti kehormatan, jabatan kemerdekaan, jiwa, harta benda, dsb terhadap yang merugikannya. Benturan kepentingan, baik antara perseorangan maupun kelompok manusia selalu menimbulkan konflik. Konflik kepentingan ini akan menyebabkan benturan kekerasan, pertikaian, bahkan peperangan. Jika hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mewujudkan perdamaian, maka dengan mempertimbangkan kepentingan secara teliti dan seimbang, hukum akan dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai). Artinya peraturan hukum yang ada haruslah 3 Pandangan
Vinogradoff tersebut sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo dalam Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1991, halaman 127. 4Okamoto Masaaki & Adur Rozaki, Kelompok Kekerasan Dan Bos Lokal di Era Reformasi, Diterbitkan Kerjasama CSES Universitas Kyoto Jepang dan IRE Pres Yogyakarta, Yogyakarta, 2006 : 123. 2
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
mampu mewujudkan keseimbangan antara kepentingankepentingan yang dilindungi pada setiap orang untuk diperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi hak asasinya5. Menurut Satjipto Rahardjo, bentuk pengendalian konflik sosial yang paling penting adalah konsiliasi (conciliation). Pengendalian semacam itu terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berlawanan. Sebagai contoh di dalam kehidupan politik, Lembaga-lembaga semacam ini berupa badan-badan yang bersifat parlementer atau quasi parlementer, di mana berbagai kelompok kepentingan atau wakil-wakil mereka dapat bertemu satu dengan yang lain untuk menyalurkan pertentanganpertentangan dengan cara-cara mereka yang bersifat damai. Agar lembaga-lembaga tersebut berfungsi secara efektif, lembaga-lembaga tersebut harus memenuhi sekurang-kurangnya empat hal berikut. 1. Lembaga tersebut harus merupakan lembaga yang bersifat otonom dengan wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan tanpa campur tangan badanbadan lain yang berada di luarnya. 2. Kedudukan lembaga tersebut di dalam masyarakat yang bersangkutan harus bersifat monopolitis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian. 3. Peranan lembaga tersebut harus sedemikian rupa sehingga berbagai kelompok kepentingan yang berlawanan satu sama lain itu seolah-olah terikat kepada lembaga tersebut, sementara keputusannya 5Apeldoorn
Van LJ, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996: 11 ; Aristoteles telah mengajarkannya, ia mengenal dua macam keadilan, keadilan “distributief “dan keadilan “commutatief”; Keadilan distributief adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya (kesebandingan); sedangkan keadilan commutatief ialah keadilan yang diberikan kepada setiap orang sama banyaknya, tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. 3
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
mengikat kelompok tersebut beserta dengan anggotaanggotanya. 4. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis, dalam arti setiap pihak harus didengarkan dan diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya sebelum keputusan tertentu diambil.6 Tanpa adanya keempat hal tersebut, konflik-konflik yang terjadi antara kekuatan-kekuatan sosial akan menyusup ke bawah permukaan dan pada suatu saat tanpa diduga sebelumnya akan meledak dalam bentuk kekerasan. Meskipun demikian semua hanya mungkin diselenggarakan apabila kelompok-kelompok yang saling bertentangan dapat memenuhi tiga prasyarat sebagai berikut. 1. Masing-masing kelompok yang terlibat dalam konflik harus menyadari adanya situasi konflik di antara mereka, dan karena itu menyadari pula perlunya dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak. 2. Pengendalian konflik-konflik hanya mungkin dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas. Selama kekuatan sosial yang saling bertentangan tidak berada di dalam keadaan terorganisir atau diffuse, maka pengendalian konflik-konflik yang terjadi di antara mereka akan sulit dilakukan. Sebaliknya, konflik yang terjadi di antara kelompok-kelompok yang terorganisir mudah dikendalikan. 3. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan permainan tertentu, suatu hal yang akan memungkinkan hubungan sosial di antara mereka menemukan suatu pola tertentu. Aturan permainan 6Ronny
Hanitijo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Bandung, 1985, Alumni,
hal 30 – 31. 4
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
tersebut, selanjutnya justru menjamin kelangsungan hidup kelompok-kelompok itu sendiri, dengan demikian ketidak-adilan tidak dapat dihindarkan; kemungkinan tiap kelompok dapat meramalkan tindakan yang bakal diambil oleh pihak ketiga yang akan merugikan kepentingan mereka sendiri.7 Tanpa prasyarat-prasyarat tersebut lembaga diskusi yang bagaimanapun tidak akan dapat berfungsi dengan baik. Sebaliknya konflik justru akan meningkat. Dalam keadaan yang demikian, suatu cara pengendalian yang lain dibutuhkan apabila kedua belah pihak yang bertentangan tidak menghendaki kemungkinan timbulnya ledakan-ledakan sosial dalam bentuk kekerasan. 8 Cara pengendalian demikian disebut mediasi (mediation), di mana kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihatnasihat tentang bagaimana sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka. Meskipun nasihat-nasihat pihak ketiga tersebut tidak mengikat pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, tetapi cara pengendalian ini kadangkadang menghasilkan penyelesaian yang cukup efektif karena cara ini memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengurangi irrasionalitas yang biasanya timbul di dalam setiap konflik, memungkinkan pihak-pihak yang bertentangan menarik diri tanpa harus kehilangan muka, mengurangi pemborosan yang dikeluarkan untuk membiayai pertentangan, dan lain sebagainya. Apabila cara pengendalian ini masih tidak efektif, maka cara pengendalian yang ketiga disebut perwasitan (arbitration), mungkin sekali akan terjadi. Dalam hal ini pihak ketiga yang akan memberikan “keputusankeputusan” tertentu untuk menyelesaikan konflik mereka. Dalam bentuk mediasi, kedua pihak yang bertentangan 7Satjipto
Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sosial, Bandung, Alumni, 1981, hal 13
- 14. 8Ibid.,
hal 14. 5
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
menyetujui untuk menerima atau menolak keputusankeputusan wasit. Dalam suatu perwasitan, kedua belah pihak yang bertentangan harus menerima keputusankeputusan yang diambil oleh wasit.9 Konflik sosial (termasuk konflik politik) adalah sebuah fenomena sosial penting yang memerlukan penyelesaian (conflict resolution). Konflik sosial politik juga merupakan fenomena yang mempengaruhi pembuatan keputusan. Semakin hebat konflik, semakin sulit membuat keputusan yang mengikat semua.10 Lawan dari konflik adalah konsensus. Konsensus yang juga disebut mufakat atau kesepakatan terjadi bila semua pihak mempunyai pendapat yang sama. Oleh karena itu, terjadi konflik bila tidak ada konsensus, dan konsensus terjadi bila konflik berhasil didamaikan. Konflik adalah sebuah fenomena sosial yang selalu ditemukan di dalam setiap masyarakat. Konflik tidak akan pernah bisa dihilangkan karena setiap hubungan sosial mempunyai potensi untuk menghasilkan konflik. Namun konflik dapat mengganggu hubungan sosial dan mengancam keberadaan masyarakat, bila konflik berkembang terus (tanpa bisa diselesaikan) dapat mengakibatkan disintegrasi sosial (dan disintegrasi politik). Masyarakat akan terbelah sesuai dengan polarisasi yang ditimbulkan oleh konflik. Semakin demokratis sebuah negara, semakin besar kemungkinan terjadinya konflik di dalam masyarakat karena kebebasan berpikir, berpendapat, berkumpul, dan berserikat menghasilkan konflik yang meluas di dalam masyarakat. Oleh karena itu, salah satu persyaratan terpenting bagi demokrasi adalah adanya kemampuan dari pemerintah dan rakyat untuk menyelesaikan konflik, Nasikun, Sebuah Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem Sosial Indonesia, Yogyakarta : 1974, Fakultas Sosial Universitas Gajah Mada, hal 29. 10Maswadi Rauf (Guru Besar UI), Internet, Sekilas Teori Konflik : May 2002; Konflik terjadi bila ada perbedaan yang disadari oleh semuanya sehingga mereka tahu ada pihak lain yang bertentangan dengan pendapat mereka. 9
6
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
sehingga tidak terjadi konflik sosial dan konflik antarpendukung partai politik. Konflik politik bisa diatasi, jika kita mempunyai “moral nasional”, yang menundukkan moral lingkungan, yang diwujudkan dengan amal dan perbuatan yang tidak bertentangan dengan kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan11. Priyono dalam Sambutan Pembukaan Seminar Pancasila di Yogyakarta, 16-20 Pebruari 1959, mendefinisikan “moral nasional” sebagai segala paham yang menjadi tuntunan dalam adat kebiasaan suatu bangsa dalam usahanya mempertahankan, menyelamatkan dan membahagiakan kehidupannya sebagai nation.12 Di Amerika Utara, politikus berbicara tentang pembangunan koridor perdagangan tanpa batas “dari Murmansk sampai Monterrey” bahkan di Asia, tirai bambu di sekeliling Cina mulai pelan-pelan tersibak. Dan seperti telah kita lihat, “uang” dan “kekuasaan” kini melompat melewati perbatasan hanya dengan sentuhan tombol. Karena globalisasi, jarak yang jauh menjadi semakin dekat, waktu yang panjang menjadi semakin singkat, 13 perbatasan tidak tampak, dunia terasa semakin kecil, jarak semakin dekat serta ke belakang semakin tertinggal. Aristoteles memulai pembahasan dalam bukunya Politics (ditulis tahun 335 SM), dengan kata-kata bahwa “secara alamiah manusia adalah makhluk yang berpolitik”. Dalam bahasa aslinya (Latin) disebut Zoon Politicon dan dalam bahasa Inggris disebut man is by nature a political animal. Dalam hal ini yang dimaksud Aristoteles adalah bahwa politik merupakan hakikat 11Soekarno,
Bapak Proklamator, Revolusi Indonesia, Nasionalisme, Marhaen, Dan Pancasila, disunting Pramoe Rahardjo, Galang Press, 2001: Yogyakarta: 267-268 12 Priyono, Menteri P.P.& K. pada seminar Pancasila dan Moral Nasional, di Yogyakarta 1959. 13John Micklethwait dan Adrian Wooldridge, Masa Depan Sempurna, Tantangan Dan Janji Globalisasi, Buku ini terbit atas kerja sama Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007: 231. 7
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
keberadaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Jika dua orang atau lebih berinteraksi satu sama lain (dalam menjalani kehidupan di dunia), maka mereka tidak lepas dari keterlibatan dalam hubungan yang bersifat politik.14 Filsuf dari Partai Whings, John Locke, menyatakan bahwa (dengan) doktrin tentang pemerintah harus bersandar pada persetujuan yang diperintah, dan bahwa manusia memiliki hak alamiah untuk hidup, kemerdekaan dan kemakmuran yang merupakan dasar dari liberalisme. Hak tersebut menggema secara brillian di dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika (the American Declaration of Independence) pada tahun 1776, yang berbicara tentang hak yang tak dapat dicabut (the inalienable) untuk “kehidupan, kemerdekaan, dan pencarian kebahagiaan”. Doktrin tersebut menentang cara-cara tradisional yang diwariskan, dan seruan untuk pengaturan memperbaharui, baik politik maupun sosial masyarakat. Klaim untuk merdeka dari apa pun yang mengekangnya, tidak dapat memenuhi pengujian (atas pengertian) yang masuk akal, jika dilihat sebagai suatu klaim yang telah membangun dunia modern. Untuk pengertian ini, istilah liberalism memerlukan dua arti: pertama, sebagai kecenderungan (politik) yang spesifik di dalam politik modern untuk dikontraskan dengan konservatisme dan doktrin-doktrin lain; dan kedua, sebagai sikap pola dasar di mana semua politik Eropa modern memilikinya. Liberalisme muncul pada dekade 1830-an, suatu dekade (penamaan politik), di mana sosialisme dan konservatisme juga muncul. Tetapi yang siap pada waktu itu adalah politik Inggris yang terbagi dalam dua cabang
14 T.
May Rudy, Pengantar Ilmu Politik, Wawasan Pemikiran dan Kegunaannya, Edisi Revisi, Refika Aditama, Bandung, 1992, hal. 1. 8
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
dalam menanggapi peristiwa (pendefinisian) politik (modern). Pertanyaan besar ; “Bagaimana atau apa yang terjadi di Perancis pada tahun 1789 ?”. Charles James Fox, salah satu pemimpin Whings, percaya bahwa Perancis pada akhirnya mengikuti langkah Inggris kembali ke tahun 1688; temannya Edmund Burke berpikir, bahwa para revolusioneris Perancis mengambil kebijakan desktruktif dari prinsip-prinsip Deklarasi HakHak Asasi Manusia (the Declaration of the Rights of Man) yang abstrak, yang merupakan suatu fenomena baru dan buruk bukan kepalang.15 Konflik politik merupakan satu bukti sejarah yang hakikatnya adalah bukti keserakahan manusia untuk meraih kekuasaan. Di lain pihak konflik juga merupakan manifestasi harga diri sebuah bangsa, sulit disalahkan, pun sama sulitnya untuk dibenarkan. Sejarah konflik sama tuanya dengan sejarah manusia itu sendiri. Pertikaian telah terjadi sejak anak Adam hingga konflik Timur Tengah.16 Ada beberapa macam definisi mengenai PEMILU, di antaranya menurut Nohlen, di mana Pemilihan Umum (PEMILU) adalah “satu-satunya metode demokratik” untuk memilih wakil rakyat. Selanjutnya R. William Liddle menyatakan bahwa dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemilu sering dianggap sebagai penghubung antara prinsip kedaulatan rakyat dan praktik 17 pemerintahan oleh sejumlah elit politik . Politik adalah “praktik atau pekerjaan menjalankan urusan politik” yaitu “melaksanakan atau mencari urusan dalam pemerintahan untuk mengikhtiarkan orang 15 Kenneth
Minogue, Sekilas Tentang Politik, penyunting dan pengantar : John Pieris, Pelangi Cendekia, Jakarta, 2006, halaman 110-111. 16Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada – Perang Bubat, Penerbit Tiga Serangkai, Cetakan Kedua, Solo, 2007, halaman xi. 17 Toni Andrianus Pito, Efrisa, Kemal Fasyah, Mengenal Teori-Teori Politik Dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Penerbit Nuansa, Bandung, 2006 :298. 9
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi”18. Menurut Pasal 1 UU Nomor 31 tahun 2002 tentang Partai Politik, partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.19 Penjelasan umum partai politik melalui pelaksanaan fungsi pendidikan politik, sosialisasi politik, perumusan dan penyaluran kepentingan, serta komunikasi secara riil akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat, merekatkan berbagai kelompok dan golongan dalam masyarakat, mendukung integrasi dan persatuan nasional, mewujudkan keadilan, menegakkan hukum, menghormati hak asasi manusia, serta menjamin terciptanya stabilitas keamanan. Dalam rangka menegakkan aturan dalam undang-undang ini, diperlukan pengawasan dan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang tentang pemilu.20 Menurut Johan Galtung pendekatan dalam resolusi konflik antara lain merujuk kepada upaya penyelesaian konflik. Deskripsi konflik memuat 3 unsur utama. 1. Ketidaksesuaian di antara kepentingan, atau kontradiksi di antara kepentingan, atau kontradiksi di antara kepentingan, atau menurut istilah akademisi C. R. Mitchell sebagai suatu ketidakcocokan di antara nilai-nilai sosial dan struktur sosial; 18Toni
Andrianus Pito, Efrisa, Kemal Fasyah, 2006, ibid hal : 186. 19 Bambang Kesowo, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 mengenai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Jakarta, 2002: 4-29; 20 Yang dimaksud Pemilihan Umum dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 10
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
2. Perilaku negatif dalam bentuk persepsi atau stereotip yang berkembang di antara pihak-pihak yang berkonflik; dan 3. Perilaku kekerasan dan ancaman yang diperlihatkan21. Dari ketiga deskripsi konflik tersebut, cara pengendalian konflik yang bertingkat-tingkat memiliki kemampuan untuk mengurangi atau menghindarkan kemungkinan timbulnya ledakan sosial dalam bentuk kekerasan. Sejauh hubungan-hubungan sosial berdasarkan ketiga jenis mekanisme pengendalian konflik sosial berkembang, maka konflik sosial akan kehilangan pengaruhnya yang merusak. Sebaliknya konflik-konflik tersebut akan menjelma ke dalam hubungan pola sosial yang bersifat revolusioner menjadi perubahan sosial yang bersifat evolusioner. Melalui mekanisme pengendalian konflik sosial yang efektif, konflik-konflik politik di antara berbagai kelompok kepentingan justru akan menjadi kekuatan yang mendorong terjadinya perubahanperubahan sosial yang tidak akan pernah berhenti.22 Dalam pengendalian konflik sosial politik, hubungan antara teori hukum dan teori sosiologis dapat menjadi bahan penelitian untuk berbagai tujuan yang berbedabeda. Akan tetapi, suatu penelitian terhadap teori sosiologi yang dilakukan oleh seorang ahli ilmu hukum memerlukan suatu perhatian khusus.23 Biasanya tindakan-tindakan yang mengutamakan sifat emosional ini sulit dikontrol oleh jalur hukum, 21 Syafuan
Rozi, Dhurorudin Mashad, Emilia Yustiningrum, Moch Nurhasim, Tri Ratnawati, Heru Cahyono, Septi Satriyani, Kekerasan Komunal, Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta :18-19 ; Menjelaskan gejala konflik dan kekerasan di dalam masyarakat dan masyarakat dunia, guna menemukan pendekatan konstruktif untuk memecahkannya. Memberikan penjelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan prinsip-prinsip dari proses dan kebijakan yang diturunkan dari suatu penjelasan mengenai konflik. 22Ibid., hal 29. 23 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta; 1997, Rajawali Press, hal 76. 11
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
sekalipun ancaman pidana yang dirumuskan cukup jelas. Demikian juga dengan apa yang dinilai sebagai sesuatu yang nestapa bagi pembentuk hukum, dalam kenyataan belum tentu dinilai demikian oleh subjek hukum yang terkena ancaman pidana. Ada kemungkinan besar bahwa sanksi pidana oleh pelaku, justru tidak dirasakan sebagai suatu nestapa. Sebaliknya tidak menutup kemungkinan bahwa pidana yang diterimanya itu justru dirasa sebagai sesuatu yang lebih menguntungkan dan merupakan tempat atau fasilitas, atau sebagai jalan yang dianggap sebagai pahlawan yang selalu didambakan atau dimuliakan oleh masyarakat lingkungannya. Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan, Parsons dalam salah satu karyanya pernah menyusun suatu konseptualisasi Voluntarisme sebagai proses pengambilan keputusan secara subjektif dari aktor-aktor secara individual. Pengambilan keputusan tersebut menurut Parsons dipengaruhi oleh pelbagai kendala baik yang bersifat normatif maupun situasional.24 Ada dua teori terkenal yang berkaitan dengan masalah konflik, yaitu teori konflik dialektis dan teori konflik fungsional. Dalam teori konflik dialektis dinyatakan bahwa taraf kepincangan distributif pada sumber daya akan dipengaruhi keleluasaan bagianbagian suatu sistem sosial untuk mengungkapkan konflik kepentingan. Oleh karena itu, menurut teori ini hanya perlu dipermasalahkan keabsahan sistem yang ada, yang ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka.25 Sedangkan menurut teori konflik fungsional sebagaimana pernah dikembangkan oleh George Simmel, terjadinya konflik di dalam masyarakat adalah sesuatu yang tidak terelakkan, masyarakat dipandangnya sebagai struktur sosial yang mancakup proses-proses 24 Soeryono
Soekanto, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Jakarta, 1988, Rajawali
Press, hal. 36. 25Ibid, hal 69. 12
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
asosiatif dan disosiatif yang hanya dibedakan secara analitis.26 Simmel selanjutnya juga mengatakan bahwa dalam hal terjadinya sesuatu, keterlibatan emosional adalah sesuatu yang sering terjadi. Dalam hipotesisnya Simmel mengatakan bahwa : “Semakin besar keterlibatan emosional, semakin besar pula potensi untuk melakukan kekerasan”. Faktor emosional yang timbul dari keakraban, permusuhan, harga diri, dan rasa iri hati akan meningkatkan intensitas konflik”. 27 Dengan demikian Simmel lebih banyak memberikan tekanan analisis terhadap yang dianggap dapat meningkatkan intensitas konflik. Sementara itu, hubungan antara konflik dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan digunakannya konsep “penyimpangan” (devience) dan reaksi sosial. Konflik dipandang sebagai bagian dari “penyimpangan sosial” dari tindakan-tindakan yang dipandang sebagai normal atau “biasa” di masyarakat, dan terhadap “tindakan penyimpangan” tersebut diberikan reaksi sosial yang negatif, dalam arti secara umum masyarakat memperlakukan orang-orang tersebut sebagai “berbeda” dan “jahat”. Dengan demikian, siapa yang dipandang menyimpang pada masyarakat tertentu, terutama tergantung pada masyarakat itu sendiri. Kadang-kadang kondisi-kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan tersebut tidak begitu jelas, sehingga pada akhirnya banyak sekali tergantung dari sikap polisi, jaksa, dan hakim.28 Untuk mengatasi berbagai konflik sosial yang terjadi, dan untuk mewujudkan suasana kehidupan sosial yang aman, tertib dan damai, maka diadakanlah berbagai perangkat norma, baik norma agama, kesusilaan, 26Ibid,
hal 69. 27Ibid, hal 72. 28I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, Universitas Diponegro, Semarang, 1995 : 9. 13
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
kesopanan, maupun norma hukum sebagai sarana penuntun bagi masyarakat. Selain norma-norma substantif, dibentuk pula berbagai lembaga sosial (termasuk lembaga kepolisian), baik yang masih bersifat tradisional maupun yang sudah modern 29 . Kerangka pemikiran yang demikian membenarkan anggapan bahwa masyarakat tidak bisa berjalan dengan tertib, produktif, dan berkesinambungan, tanpa adanya suatu pola tatanan tertentu. Pola tatanan tersebut didukung oleh norma dan kontrol terhadap pematuhan norma tersebut, yang secara sengaja dikonstruksikan oleh manusia (masyarakat) untuk mengatasi berbagai konflik sosial politik yang terjadi di masyarakat.30 Demikian pula halnya lembaga kepolisian yang selama ini dikenal sebagai alat negara yang berdiri paling depan dalam memelihara “keamanan dan ketertiban” dalam negeri 31. Peran lembaga kepolisian yang demikian itu secara tegas telah diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). 32 Selain itu, lembaga kepolisian juga diberi peran dalam 29Salah
satu contoh lembaga sosial yang bersifat tradisional tapi masih eksis dan perlu dipertimbangkan dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat adalah “Pecalang” (Polisi Tradisional) yang selama ini dikenal oleh masyarakat Bali (Baca misalnya tulisan Putu Gede Satya, “Pecalang Mengamankan Sidang Bom Bali”, dalam Harian Bali Post, 19 Mei 2003; juga dalam tulisan Sonya Hellen Sinombor, “Kalau Pecalang Turun Ke Laut”, dalam Harian Kompas, 28 Oktober 2003). 30Satjipto Rahardjo. Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Dieditori oleh Hasyim Asy’ari, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002, halaman 92-93. 31Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka mecapai tujuan nasional. Itu artinya, keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman umum merupakan kunci untuk mencapai tujuan nasional yakni masyarakat adil dan sejahtera (kf. Pasal 1 Ayat 5 UU tentang POLRI). 32 Berbeda dengan POLRI, peranan Tentara Nasional Indonesia (TNI) lebih diutamakan pada masalah “pertahanan negara” (kf. Pasal 1 Tap MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan POLRI). 14
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
menegakkan hukum, memberikan pengayoman, perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 6 Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI). Telah sesuai dengan kehendak Konstitusi Negara Republik Indonesia Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 pasal 30 ayat (4) ; ditegaskan “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum”; demi terpeliharanya keamanan dalam negeri. Dalam tataran yang lebih luas, Tap MPR No. VII/MPR/2000 masih memberikan beberapa peran lain bagi lembaga kepolisian, yakni: (1) dalam keadaan darurat memberikan bantuan kepada TNI dalam menangani masalah “pertahanan negara”; (2) turut serta secara aktif dalam tugas-tugas penanggulangan kejahatan Internasional; dan (3) secara aktif membantu memelihara perdamaian dunia (peace keeping operation) di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia telah diatur oleh Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000, tanggal 1 Juli 2000 Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, menjaga ketertiban umum dan memelihara keamanan dalam negeri, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah Presiden yang selanjutnya Kepolisian Negara Republik Indonesia berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam urusan yustisial dan dengan Departemen Dalam Negeri dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum33. 33Djohan
Efendi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 102, ttd Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia, Jakarta, 2000 : 6 ; Kepolisian 15
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Untuk mewujudkan berbagai peran yang diletakkan di atas pundaknya ini, aparat kepolisian dituntut memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional. Dalam arti bahwa profesionalisme haruslah menjadi modal utama bagi setiap aparat kepolisian dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Sedangkan, “untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat menentukan menurut penilaiannya sendiri”, yang biasa disebut dengan Diskresi Kepolisian. Hal ini harus dipahami dan disadari sungguhsungguh oleh setiap aparat kepolisian, karena ketika peran-peran itu dimainkan di dalam masyarakat, ia akan selalu dihadapkan pada masalah pilihan-pilihan yang berhubungan dengan supremasi hukum dan moral, demokratisasi, keadilan dan kebenaran, serta masalah hak asasi manusia. Dengan demikian, setiap penegak hukum khususnya POLRI harus menyadari sepenuhnya apabila terjadi suatu perbuatan yang merupakan suatu kegagalan untuk mencapai hasil akhir berupa keadilan (miscariage of justice), baik berupa (a) perlakuan terhadap tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak-haknya; atau (b) terjadinya proses tidak adil (unfair processes); atau (c) penerapan hukum yang memiliki kelemahan (enforcement of foul law); atau (d) penerapan hukum tanpa pembenaran faktual; atau (e) perlakuan yang tidak proporsional (disproportionate treatment) seperti perlakuan keras terhadap tindak pidana yang ringan; (f) kegagalan untuk melindungi atau mempertahankan hakhak korban (victim of crime) atau calon korban, maka sebenarnya yang dirugikan tidak sekadar perseorangan Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. 16
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
atau secara tidak langsung masyarakat secara keseluruhan, terutama berkaitan dengan integritas moral proses kriminal, tetapi juga sistem demokrasi. Karena sebenarnya yang telah dilanggar adalah salah satu atau beberapa indeks atau root principle’s of democracy yang aktualisasinya terus diperjuangkan melalui gerakan reformasi.34 Menurut Muladi, dalam kerangka proses demokratisasi saat ini, manajemen penegakan hukum POLRI sangat penting sebagai a cumulative body of information that furnishes insights on how to manage organization of POLRI. Dalam hal ini bentuk-bentuk dan varian manajemen yang harus menjadi fokus perhatian adalah sebagai berikut. 1. Value Management (Manajemen Nilai) yang menyangkut manajemen tentang pencapaian sasaran POLRI (Management by Objectives; manajemen tentang pencapaian atau kesesuaian dengan indeks Demokrasi; manajemen tentang Independensi POLRI. 2. Operational Management (Manajemen Operasional Praktis) yang berkaitan dengan manajemen tentang diskresi; manajemen tentang miscarriage of Justice; manajemen tentang ketaatan pada asas-asas hukum (legal-principles compliance); manajemen tentang “institusional cooperation” dan international cooperation. 3. Feedback-Management, dalam kerangka perbaikan sistem maupun pembaharuan hukum (law reform). 34 Muladi,
Gubernur Lemhanas, Pengaruh Demokratisasi Dalam Pengembangan Manajemen Penegakan Hukum, Pidato Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis Ke-60 PTIK Dan Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan 42, 43 dan 44, Jakarta, 17 Juni 2006, hal : 4-6 ; Demikian pula diera reformasi kita tidak menghendaki adanya elemenelemen POLRI yang dengan sengaja melakukan atau terlibat penyiksaan baik mental maupun fisik terhadap seorang tersangka untuk memperoleh informasi atau pengakuan dan sebagainya yang melanggar Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading treatment or Punishment (1984) yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1998. 17
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
4. Anticipatory-Management berupa pengelolaan atas pelbagai prediksi hasil-hasil kajian. Varian manajemen tersebut dirumuskan sebagai konsekuensi bahwa SPP tidak hanya merupakan sistem fisik (physical system) berupa kerja sama terpadu antarpelbagai subsistem untuk mencapai tujuan tertentu, atau merupakan abstract system yang penuh dengan nuansa-nuansa pandangan, sikap, ideologi, nilai bahkan filosofi, tetapi juga merupakan sistem terbuka (open system) yang keberhasilannya sebagai organisasi sosial penuh dengan kemungkinan (probabilistic system).35 Langkah-langkah penanganan yang demikian itu juga harus menjadi keprihatinan aparat kepolisian dalam menangani konflik yang terjadi antara para pendukung partai politik yang mulai marak sejak diterapkannya sistem “multi-partai” dalam Pemilihan Umum di Indonesia.36 Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden berdasarkan Pasal 22 E ayat (1) Tahun 35Muladi,
Ibid, Orasi Ilmiah, Jakarta 2006 : hal 23-24. 36Maksud dan Tujuan Pemilu dalam Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sedangkan Pasal 4 UU Nomor 12 Tahun 2003, Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali pada hari libur atau hari yang diliburkan. 37RIAK (Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan), Kompilasi Hukum Tata Negara, Edisi Paling Lengkap, Cetakan Pertama : Februari 2007 ISBN :978-979-15832-0-6, Yogyakarta: 52, 219. 18
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sedangkan rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak dan hati nuraninya tanpa perantara.38 Pasal 3 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2003, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu rangkaian dengan Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 22 C ayat (3) UUD 1945 dengan Perubahannya menegaskan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.39 Harus diakui bahwa minimal selama dua kali Pemilu (1999 dan 2004) dengan menggunakan sistem “multipartai”, telah mencuatkan cukup banyak konflik antarpendukung partai politik. Bahkan, harus diakui pula bahwa ternyata sistem “multi-partai” ini pun telah membawa persoalan tersendiri bagi daerah-daerah pemilihan yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini menjadi persoalan karena ada begitu banyak partai politik yang membawa bendera Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Nahdlatul Umat, dan sebagainya. Konflik antarpendukung partai politik yang bernuansa agama itu sebagaimana pernah terjadi di Desa Dongos Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara 38RIAK
(Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan), ibid hal 207, 219 273; sejalan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD, ditegaskan “Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.” 39 Telah
19
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
pada Pemilu 1999 antara pendukung PPP dan PKB. Konflik antarpendukung partai tersebut telah mengakibatkan 4 orang meninggal dunia, puluhan orang luka-luka, sejumlah rumah dan sarana transportasi dirusak (dibakar) oleh massa.40 Proses pembentukan baru dengan menyatukan partai-partai yang memiliki latar belakang kepentingan berbeda, meminjam konsep dinamika kelompok dari Tubbs dan Moss (1991:260), sebetulnya hanya akan melahirkan konflik internal, karena dasar kohesivitas kelompoknya yang relatif rendah.41 Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties mengemukakan definisi sebagai berikut; “Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongangolongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda”; (A political party is the articulate organization of society’s active political agents, those who are concerned with the control of govermental power and who compete for popular support with another group or groups holding divergent views)42. Secara umum dikenal dua istilah yang sering dipakai oleh negara-negara pemeluk pemilihan presiden secara langsung; pertama, electoral collage adalah suatu cara pemilihan kandidat presiden dengan mekanisme suara terbanyak pada tingkat perwakilan berdasar provinsi atau wilayah yang kemudian dibawa ke tingkat nasional untuk 40 Suparmin,
“Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Antarpendukung Partai di Kabupaten Jepara (Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung)”, Tesis S2, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2001, halaman 85-87. 41M. Dawan Rahardjo, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, Pergulatan Pemikiran Politik Radikal Dan Akomodatif, Jakarta, LP3ES, 2004: 175 mensitir dari Tubbs, Stewart L dan Sylvia Moss. 1991. Human Comunication, New York : McGraw-Hill. 42 Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006 : 162. 20
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
digabungkan; kedua, direct popular vote adalah pemilihan presiden berdasar pada suara terbanyak dari pemilihan pada tingkat nasional. Mencuatnya konflik politik antara pendukung partai politik di beberapa daerah, terutama di Provinsi Jawa Tengah, akan semakin menarik dikaji apabila dikaitkan dengan peran yang dimainkan oleh lembaga kepolisian sebagai lembaga resmi yang ditunjuk oleh negara untuk berperan memelihara ketertiban dan keamanan dalam negeri, bertugas melakukan perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat serta menegakkan hukum. Terlepas dari masalah profesionalisme polisi, persoalan yang urgen untuk dikaji di sini adalah masalah kehandalan produk-produk hukum yang dibuat untuk menopang peran-peran yang dimainkan oleh lembaga kepolisian dalam menangani konflik sosial politik seperti itu. Keraguan akan kehandalan produk hukum itu pun kemudian mencuatkan persoalan lain tentang bagaimana aparat kepolisian bertindak dalam menangani dan menyelesaikan setiap konflik sosial-politik yang terjadi di masyarakat. Persoalan yang terakhir ini tentunya akan mendorong keinginan kita untuk mencari tahu apakah langkah-langkah yang ditempuh oleh kepolisian untuk menyelesaikan konflik antarpendukung partai politik sudah sejalan dengan mekanisme hukum, ataukah bertentangan dengan mekanisme hukum yang sudah ditetapkan. Uraian sebagaimana ditampilkan di atas sungguh membantu untuk membangun sebuah kerangka pemikiran teoristis untuk memahami tema disertasi ini. Pada dasarnya setiap kehidupan bermasyarakat, baik yang masih dalam tataran sederhana maupun kompleks, dari yang tingkat bawah hingga tingkat elit politik, selalu tidak lepas dari konflik-konflik yang terjadi di antara mereka untuk memperjuangkan kepentingannya. Konflikkonflik itu bisa bersifat tertutup maupun terbuka dan 21
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
merambah di setiap segi kehidupan masyarakat, baik konflik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Max Weber berusaha memberikan pengertian mengenai kelakuan-kelakuan manusia sekaligus menelaah sebab-sebab terjadinya interaksi. Hidup bermasyarakat mendapat bentuknya melalui nilai-nilai kebudayaan. Nilai-nilai itu diwujudkan dalam hidup bersama. Melalui pengertian tentang nilai-nilai kebudayaan, ciri-ciri khas kenyataan sosial tertentu diidealisi sehingga muncullah apa yang disebut Ideal Type. Max Weber yang membedakan antara wewenang, kharismatik, tradisional dan rasional. Baginya hukum yang rasional dan formal merupakan dasar bagi suatu negara modern.43 Disertasi inilah yang kemudian menggugah orang mulai berpikir membangun sebuah tatanan normatif sebagai pedoman bertingkah laku dalam masa reformasi dan bertindak sesuai dengan kehendak demokratisasi untuk menjunjung tinggi HAM. Tatanan normatif itu pun lalu dilengkapi dengan institusi-institusi tertentu agar tatanan normatif itu bisa penting. Dalam kehidupan modern ini salah satu institusi yang “ditugasi” oleh negara untuk menata kehidupan masyarakat secara tertib dan teratur adalah kepolisian. Secara konseptual, peran yang dimainkan oleh lembaga kepolisian antara lain: (1) menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, (2) menegakkan hukum, serta (3) mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat, demi terpeliharanya keamanan dalam negeri. Inilah fungsi dan peran utama yang mau tak mau harus melekat dalam diri pejabat kepolisian dalam mengemban tugas pokoknya, dalam melaksanakan pengabdian terhadap negara dan masyarakat. Peran-peran yang dimainkan oleh lembaga kepolisian itu pun harus memenuhi standar-standar 43 A.
Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral; Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Penerbit Kanisius, Jakarta, 1990, Halaman 51 – 53. 22
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
profesionalisme tertentu, terutama harus memenuhi tuntutan demokratisasi, memperjuangkan penegakan keadilan masyarakat (Restorative Community Justice) kebenaran, serta melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Apabila kriteria standar profesi itu dikaitkan dengan sekalian peran yang dimainkan oleh lembaga kepolisian, maka akan muncul beberapa disertasi dasar sebagai berikut. 1. Peran lembaga kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat menurut tatanan normatif yang telah disepakati hendaknya selalu diorientasikan kepada upaya untuk memenuhi tuntutan demokratisasi, menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, serta melindungi hak asasi manusia. 2. Peran lembaga kepolisian dalam era reformasi untuk melakukan penegakan hukum menurut tatanan normatif yang telah disepakati, hendaknya selalu diorientasikan kepada upaya untuk memenuhi tuntutan demokratisasi, menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, serta melindungi hak asasi manusia. 3. Peran lembaga kepolisian dalam mengayomi dan melayani masyarakat menurut tatanan normatif yang telah disepakati, hendaknya selalu diorientasikan kepada upaya untuk memenuhi tuntutan demokratisasi, menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran serta melindungi hak asasi manusia. Dengan demikian, setiap menghadapi konflik yang terjadi di masyarakat, termasuk konflik antara pendukung partai politik tertentu, lembaga kepolisian akan selalu menampilkan ketiga peran utama itu, sekalipun dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda. Dengan mengedepankan fungsi Intel dan fungsi Binamitra serta mengacu pada gambaran publik, pada intinya melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan mengembangkan community policing dengan pendekatan kemitraan dan penyelesaian masalah (problem solving). Ditegaskan bahwa polisi bukan saja sebagai crime fighter atau law 23
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
enforcer tetapi polisi juga harus mempunyai wawasan dan pemahaman yang lebih besar tentang isu-isu kemasyarakatan.44 Bahkan, dalam situasi dan kondisi tertentu polisi dapat bertindak di luar garis batas kewenangan yang ditentukan oleh undang-undang menurut pertimbangan dan penilaiannya sendiri. Itu berarti, kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat melakukan diskresi menurut ukuran-ukuran moral tertentu. Bertolak dari disertasi dasar sebagaimana diuraikan di atas, berikut ini coba dibangun sebuah kerangka hubungan antara sekalian aspek dengan titik penekanan pada kasus konflik sosial-politik antara para pendukung partai politik.
44 Parsudi
Suparlan (Editor), Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2004, hal 67, dan baca kembali Surat Keputusan Kapolri Oktober 2005; Bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam community policing pada hakikatnya telah diimplementasikan POLRI berdasarkan konsep Sistem Keamanan Swakarsa dan pembinaan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui program-program fungsi Bimmas yang sesuai dengan nilai-nilai sosial kultural bangsa Indonesia. 24
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Bagan 1.1. KERANGKA HUBUNGAN ANTARA BERBAGAI KOMPONEN YANG MELINGKUPI TUGAS DAN WEWENANG KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN KONFLIK SOSIAL-POLITIK Penegakan Hukum yang Demokratis, menjunjung tinggi keadilan & kebenaran serta HAM
Penjaga Keamanan & Ketertiban
Diskresi
Konflik Sosial Politik
Penegakan Hukum Diskresi
PERAN LEMBAGA KEPOLISIAN
25
Pelindung, Pelindung, Pengayom, Pengayom, Pelayan
Diskresi
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
2 PEMIKIRAN KONSEPTUAL SEPUTAR PERANAN DAN STRATEGI KEPOLISIAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK ANTARPENDUKUNG PARTAI POLITIK A. Paham dan Doktrin yang Mendasari Peran Kepolisian Minimal ada dua paham utama yang mendasari tugas dan wewenang kepolisian di negara mana pun di dunia, termasuk tugas dan wewenang kepolisian di Indonesia. Kedua paham itu adalah paham militerisme dan sipilisme, dengan ditunjang doktrin-doktrin kepolisian yang memiliki karakteristik yang berbeda pula. Menurut catatan sejarah, kepolisian dan perpolisian di dunia sesungguhnya bergerak dari penganutan paham militerisme menuju paham sipilisme. Proses pergerakan itu dapat dicermati dari kecenderungan “penggunaan kekerasan telanjang” (brute force) kepada cara-cara perpolisian yang “berkemanusiaan” (humane policing). Proses pergeseran yang demikian itu dapat diamati dari lahirnya kepolisian di Inggris pada tahun 1829, yang sering disebut-sebut sebagai model kepolisian modern. Sekalipun dalam bentuk yang agak kasar, dalam kelahiran The Metropolitan Police di Inggris itu dapat kita simak kecenderungan meninggalkan kekerasan dan kekuasaan untuk mendekat kepada rakyat atau masyarakat. Keinginan untuk membuat polisi Inggris dekat dengan rakyat tersebut memang berangkat dari tradisi Inggris, di mana masyarakat selalu mengontrol kekuasaan. Kedekatan pada masyarakat tersebut 26
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
misalnya diperlihatkan pada waktu merancang uniform The Metropolitan Police, yaitu a uniform which was designed to make them look as much like civilians as possible.45 Satjipto Rahardjo mencatat, bahwa sebelum mendisain model perpolisian yang berkemanusiaan, Kepolisian Inggris pernah mempertontonkan cara-cara perpolisian yang tidak profesional melalui The Paterloo Messacre pada tahun 1819. Ketika itu hanya untuk menangkap seorang orator saja, polisi Inggris harus melakukan pembantaian terhadap sejumlah orang yang mendengarkan pidato sang orator tersebut. Tampaknya pengalaman dengan teror yang dilakukan oleh pasukan berkuda Inggris itu menggugah pencarian terhadap caracara perpolisian yang lebih cocok (proper). Sepuluh tahun setelah pertistiwa tersebut, diterbitkanlah The Metropolitan Police Act 1829 sebagai tanda lahirnya kepolisian modern Inggris.46 1. Paham Militerisme Polisi dan Doktrin The Strong Hand of Society Paham militerisme polisi menghendaki agar polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus memiliki sikap-sikap militeristik atau yang bersifat militer. Pendiri Kepolisian Inggris Robert Pheel menegaskan bahwa sikap dan sifat disiplin militer harus tetap melekat dalam diri setiap anggota polisi, karena kepolisian merupakan sebuah organisasi negara yang dipersenjatai. Paham kepolisian yang demikian banyak dianut oleh negara-negara demokrasi, seperti di Amerika Serikat yang juga menggunakan kepangkatan militer untuk 45 Pandangan
tersebut sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo dari buku : “Robert Pheel, The Story of Our Police: Presereving Law and Order-From Earliest Times to The Making of the Modern Police Force” (Kf. Satjipto Rahardjo, Ibid., 2002, halaman 57). 46Satjipto Rahardjo, Loc Cit, 2002, halaman 57. 27
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
kepolisian. Bahkan, di Korea Selatan, Jepang, dan Philipina, menetapkan “wajib militer” bagi warga negaranya yang berusia 21 tahun ke atas untuk dapat memilih menjadi tentara atau polisi.47 Paham militerisme juga tampak dalam dunia peradilan di Australia, di mana lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi polisi dan tentara berada dalam satu atap. Sama seperti di Australia, polisi di negara demokrasi Amerika Serikat juga diberi tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap oknum militer yang terlibat kasus-kasus pidana biasa, sementara untuk kasus-kasus pidana militer – seperti melawan atasan, disersi, mata-mata musuh, dan membocorkan rahasia negara/militer – ditangani oleh Military Police atau Polisi Militer (PM). Oleh karena itu, seorang polisi harus memiliki kemampuan plus, baik kemampuan sipil maupun kemampuan militer.48 Paham militerisme polisi ini kemudian melahirkan doktrin yang dianut oleh polisi, yakni the strong hand of society (tangan yang keras/kuat bagi masyarakat = pelayan yang keras bagi masyarakat). Paradigma the strong hand of society adalah paradigma kekuasaan, yang menunjukkan posisi polisi dalam jenjang vertikal ketika berhadapan dengan rakyat. Oleh hukum polisi diberi sejumlah kewenangan, termasuk kewenangan diskresi, yang tidak diberikan kepada lembaga lain dalam masyarakat, seperti: menangkap, menggeledah, menyita, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan tempat, dan sebagainya. Dalam konteks yang demikian itu, hubungan antara polisi dan rakyat bersifat “atasbawah” atau “hirarkhis, di mana polisi berada pada
47 Kf.
Anton Tabah, Membangun POLRI yang Kuat (Belajar dari Macan-Macan Asia), Jakarta: PT. Sumbersewu Lestari, 2002, halaman 85. 48Kf. Anton Tabah, Ibid., 2002, halaman 85-86. 28
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
kedudukan mematuhi.49
memaksa
sedangkan
rakyat
wajib
2. Paham Sipilisme Polisi dan Doktrin The Soft Hand of Society Berbeda dengan paham militerisme polisi sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, maka sebaliknya paham sipilisme polisi menghendaki agar “polisi berwatak sipil” dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dalam arti bahwa cara-cara polisi menjalankan pekerjaannya tidak boleh menyebabkan manusia kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Landasan filosofi dari paham tersebut mengisyaratkan bahwa polisi dalam menjalankan tugasnya tidak diperkenankan untuk menggunakan caracara yang pendek dan gampang, seperti memaksa dan menggunakan kekerasan belaka, tetapi harus bersedia mendengarkan dan mencari tahu hakikat dari penderitaan manusia.50 Sejarah mencatat bahwa paham sipilisme polisi sudah mulai mewarnai kehidupan perpolisian di Inggris, yakni semenjak diterbitkan The Metropolitan Police Act 1829 sebagai pedoman bagi kepolisian modern Inggris.51 Hampir berseiringan dengan peristiwa penting di Inggris tersebut, Badan Dunia PBB (Perserikatan BangsaBangsa) pada akhir abad XIX mulai mempopulerkan ke seluruh dunia konsep civilian in uniform, sesuai ratifikasi PBB dan Hukum Humaniter Internasional. Istilah civilian in uniform (CiU) di seluruh dunia hanya khusus bagi kepolisian. Satpam, hansip, kamra 49Satjipto
Rahardjo, Membangun Polisi Indonesia Baru: POLRI dalam Era PascaABRI, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, halaman 5. 50Satjipto Rahardjo, Op Cit., 2002, halaman 55. 51Satjipto Rahardjo, Ibid, 2002, halaman 57. 29
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
tidak termasuk civilian in uniform ini, dan bahkan jaksa dan hakim juga tidak termasuk, karena tidak ada UU yang mengharuskan mereka berseragam dalam kesehariannya, kecuali saat melakukan tugasnya mereka wajib memakai seragamnya. Sedangkan seragam kepolisian diwajibkan bagi polisi dalam setiap melakukan tugas sehari-hari, karena seragam (uniform) yang dipakai oleh seorang polisi adalah simbol dari undang-undang yang perintahnya harus dipatuhi oleh setiap warga masyarakat meskipun polisi itu hanya berpangkat Kopral.52 Sosok polisi sebagai a civilian in uniform (seorang sipil yang berseragam), menurut Satjipto Rahardjo, sebetulnya hanya menunjukkan bahwa ia adalah suatu badan semi militer. Untuk menangani kejahatan dan menghadapi “penyakit sosial” lainnya, polisi harus bergerak sebagai suatu kesatuan yang solid dan tangguh, dan oleh karena itulah ia diorganisir seperti militer, dengan disiplin, garis komando, dan lain sebagainya. Namun, harus disadari bahwa sifat militer sebetulnya hanya sampai di situ, selebihnya ia harus berjiwa atau berwatak sipil karena polisi sama sekali bukan kekuatan militer.53 Menjadikan polisi berwatak sipil, memiliki banyak segi mulai dari menggarap penampilan fisik sampai ke perubahan perilaku. Penampilan fisik diupayakan berbeda dengan militer dengan mengubah seragam dan tanda pangkat. Kepolisian metropolitan Inggris, misalnya, pada penampilannya yang pertama menggunakan seragam yang dirancang untuk “tampil sejauh mungkin sebagai orang sipil”. Polisi metropolitan Inggris itu mengenakan baju panjang sampai batas lutut berwarna biru gelap dan kancing baju dari metal dan sabuk lebar dari kulit. Kerah bajunya dibuat kaku di mana tanda 52Kf.
Anton Tabah, Op Cit., 2002, halaman 83-84. 53Satjipto Rahardjo, Op Cit., 2002, halaman 58-59. 30
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
pangkat dilekatkan dan mereka mengenakan topi tinggi dengan selaput kulit tebal di pundaknya. Mereka membawa tongkat pendek dan rantai yang sewaktuwaktu dibunyikan untuk tanda bahaya. Rancangan seragam yang demikian itu rupanya ingin mengisyaratkan bahwa polisi melepaskan diri dari kedekatannya dengan seragam militer dan lebih membaurkan dirinya kepada rakyat biasa.54 Dari paham sipilisme ini kemudian lahirlah doktrin polisi the soft hand of society (tangan yang lembek/lembut = pelayan yang lembut dan ramah bagi masyarakat). Di sini polisi dan rakyat berada pada posisi yang sejajar yang disebut Community Policing sehingga memiliki hubungan yang bersifat “horisontal” berorientasi “kemitraan” dan problem solving. Tugas yang diberikan kepada polisi di sini adalah untuk mengayomi, melindungi, membimbing dan melayani rakyat. Contoh dari tugas yang demikian itu antara lain: membantu menyelesaikan perselisihan antara masyarakat, membina keamanan dan ketertiban masyarakat, mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda, dan sebagainya yang biasa disebut Police Hazard (PH) dan Faktor-faktor Korelatif Kriminogen (FKK). Dengan demikian, sesungguhnya peran yang dimainkan oleh kepolisian itu tidak hanya bersifat represif setelah adanya Ancaman Faktual (AF). Dalam kenyataannya, secara persentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil jika dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan jauh lebih kecil lagi 54Makna
seragam yang memiliki kaitan dengan tradisi, nilai dan semangat bangsa seperti itu, tampak juga pada polisi Amerika. Kita mengetahui bahwa semangat kemerdekaan dan kebebasan orang Amerika sangat tinggi dan karena itu polisi Amerika merasa risih untuk menggunakan seragam. Hal itu terjadi pada tahun-tahun awal sejarah kepolisian negara tersebut. Mereka mengatakan, bahwa dengan memakai seragam polisi mereka merasa sebagai bukan orang Amerika (Kf. Satjipto Rahardjo, Ibid., 2002, halaman 60-61). 31
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
bila dibandingkan dengan pekerjaan yang bersifat preemptif.55 Jika dibandingkan dengan aparat penegak hukum yang lain seperti jaksa, hakim, dan lembaga pemasyarakatan maka polisi juga yang secara langsung berhubungan dengan pelaku kejahatan di lapangan. Oleh karena itu, tepatlah jika Satjipto Rahardjo menggelari polisi sebagai “penegak hukum kelas jalanan”, sedangkan jaksa dan hakim diberi gelar sebagai “penegak hukum kelas gedongan”. 56 Secara lebih lengkap Satjipto Rahardjo mengemukakan:57 “Sekalipun bersama-sama berada pada jajaran penegakan hukum, tetapi polisi layak untuk diberi tempat dan penilaian tersendiri oleh karena kualitasnya yang begitu berbeda. Keadaan yang demikian itu pertamatama disebabkan oleh karena ia bisa disebut sebagai suatu badan yang bersifat kerakyatan. Sifat yang demikian itu berhubungan dengan sifat pekerjaannya yang harus berada dan bergerak di tengah-tengah rakyat. Oleh karena itu memelihara kontak-kontak yang intensif dengan lingkungan sosialnya. Kualitas pekerjaan yang demikian itu berbeda sekali dengan yang dijalankan oleh badan lain, seperti jaksa dan hakim. Kedua badan terakhir ini menempatkan dirinya dalam jarak yang cukup jauh dari rakyat, dari kontak-kontak langsung dan intensif dengan mereka. Oleh karena itu hakim dan jaksa ingin saya sebut sebagai penegak hukum “gedongan”, sedangkan polisi sebagai penegak hukum “jalanan”. Menurut Presiden H. Susilo Bambang Yudhoyono, (2007) kita tentu sering menyaksikan anggota POLRI 55Satjipto
Rahardjo, Ibid, 1998, halaman 5-6. Awaloedin Djamin dalam makalahnya berjudul Beberapa Masalah dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia (1986) menggunakan istilah “pembinaan masyarakat” (Bimmas) untuk menunjuk tugas-tugas kepolisian yang bersifat pre-emptif). 56 Mochtar Lubis (ed), Citra Polisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, halaman 176-177. 57Mochtar Lubis (ed), Ibid, 1988, halaman 176-177. 32
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
masih bertugas di jalanan di tengah teriknya panas matahari, atau tetap berjaga ketika hujan deras turun. Sebagian lagi rela meninggalkan keluarga demi menciptakan rasa aman. Tidak jarang pula, mereka harus bertaruh nyawa melawan pelaku kejahatan. Hal ini sering luput dari perhatian kita semua. Sejalan dengan Satjipto Rahardjo, penyebutan polisi sebagai penegak hukum jalanan itu merupakan simbol penting yang melambangkan pekerjaan penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi. Simbol tersebut dipilih untuk mewadahi penegakan hukum yang bersifat “telanjang”, seperti mendatangi dan melakukan pemeriksaan langsung di TKP (Tempat Kejadian Perkara), melakukan pengintaian, pemburuan, dan penangkapan pelaku kejahatan. Kesemuanya itu dilakukan dengan penuh resiko yang cukup tinggi, dengan strategi symbolic justice. Oleh karena itu, barangkali dapat dikatakan bahwa polisi bukanlah semata-mata sebagai penegak hukum yang berkualitas “telanjang”, melainkan juga “keras”. 58 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peran yang diemban oleh polisi tergolong berat jika dibandingkan dengan peran-peran yang dimainkan oleh aparat pemerintah yang lain. Ketika masyarakat tertidur pulas, polisi harus berpatroli mengitari kota dan berjaga-jaga sepanjang malam, dengan strategi (autoritative intervention). Polisi juga harus meninggalkan rumah dan keluarganya untuk pergi ke tempat tugas ketika anggota masyarakat bergembira ria merayakan lebaran atau tahun baru bersama keluarga. Polisi harus basah kuyup kehujanan dan disengat terik matahari saat mengatur lalu lintas, dan bahkan ia terpaksa harus mendatangi suatu tempat kejadian perkara ketika orang lain berlarian menjauhi tempat itu karena ada orang yang mengamuk atau karena ada penjahat yang menembak membabi buta. Ia 58Mochtar
Lubis (ed), Ibid, 1988, halaman 176-177. 33
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
juga harus menolong korban mengantarkan ke rumah sakit saat orang mengalami kecelakaan atau bencana. 3. Paham Politik dan Doktrin Partai Di sebuah negara demokrasi, pada umumnya sekurang-kurangnya ada dua partai yang dominan, beberapa partai lainnya marginal dari kekuasaan politik, mereka tidak dimaksudkan sebagai rombongan besar dari mazhab politik yang kerapkali berkompetisi dalam pemilu.59 Menurut Ramlan Surbakti (1999), ada tiga teori yang menjelaskan asal usul partai politik: Pertama, partai politik dibentuk oleh kalangan legislatif (dan eksekutif) karena ada kebutuhan para anggota parlemen yang ditentukan berdasarkan pengangkatan untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan dari masyarakat. Kedua, menjelaskan krisis situasi historis terjadi manakala suatu sistem politik mengalami masa transisi karena mengalami perubahan masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Ketiga, melihat modernisasi sosial-ekonomi seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi urbanisasi serta perluasan kekuasaan negara dari berbagai kelompok kepentingan dan organisasi.60 Demokrasi sangat menentukan keberhasilan pembangunan bangsa. Demokrasi yang tumbuh dengan baik akan mempengaruhi tingkat legitimasi pemerintahan. Pemerintah yang terpilih melalui proses pemilihan yang 59Ibid,
Kenneth Minogue, 2006, halaman 105. 60 Budi Suryadi, Kerangka Analisis Sistem Politik Indonesia, Penerbit IRCiSoD, Yogyakarta, 2006, halaman 56. 34
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
bebas dan jujur, akan memiliki legitimasi kuat untuk menjalankan roda pemerintahan, sekaligus menerapkan berbagai kebijakan pembangunan untuk kepentingan rakyatnya.61 Konflik politik yang berlangsung dengan sangat dahsyat, mengakibatkan kerugian jiwa dan harta benda, merusak tatanan sosial yang sudah mapan, memperburuk citra partai yang bersangkutan, tidak mungkin terjadi hanya akibat ulah kekuatan eksternal (provokator), melainkan karena adanya potensi konflik politik internal yang sudah tertanam sebelumnya. Seyogyanya dalam pemberitaan, media massa memberikan informasi dengan hati-hati dan secara benar perihal yang berkaitan dengan konflik yang terjadi kepada masyarakat.62 B. Implementasi Paham Militerisme dan Sipilisme Polisi di Indonesia Baik paham militerisme dan sipilisme polisi samasama memiliki andil dalam membentuk jati diri kepolisian, dan oleh karena itu ia merupakan institusi yang “berpaham ganda”. Hal ini dapat dimengerti, oleh karena selain menerapkan doktrin the strong hand of society, kepolisian juga menerapkan doktrin the soft hand of society. Kedua-duanya terdapat dalam diri kepolisian dan mewarnai tugas-tugas kepolisian sehari-hari63. Penganutan paham ganda tersebut dapat dicermati dari tugas dan wewenang kepolisian yang tidak hanya Jousairi Hasbullah, Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia), Penerbit : MR-United Press, Jakarta, 2006, Halaman 47. 62Eriyanto, Media dan Konflik Ambon, Media, Berita dan Kerusuhan Komunal di Ambon 1999 – 2002, Penerbit Kantor Berita Radio 68H, Jakarta, 2003, halaman 8 &28. 63 Satjipto Rahardjo menggunakan istilah “paradigma ganda” untuk menggambarkan peran kepolisian yang dipengaruhi oleh dua aliran pemikiran (paham) tersebut (Satjipto Rahardjo, Op Cit., 2002, halaman 41-42. 61
35
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
menjalankan peran-peran represif, tetapi juga peranperan preventif dan pre-emptif. Dengan demikian, ciri dari perpolisian yang dilaksanakan lembaga kepolisian jelas berbeda, karena karakteristik tugas dan wewenang kepolisian merupakan perpaduan antara hubungan-hubungan yang bersifat vertikal dan horisontal. Peran-peran yang dimainkan oleh kepolisian yang berpaham ganda tersebut baru menemukan bentuknya yang semakin jelas ketika lembaga kepolisian benarbenar lepas dari kungkungan dan pengaruh lembaga TNI selama ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah perpolisian di Indonesia memiliki catatan yang boleh dikatakan sangat suram, karena selama kurang lebih 40an tahun lamanya semenjak Bung Karno berkuasa telah memaksakan gagasan untuk menyatukan POLRI ke dalam TNI. Penyatuan fungsi POLRI dan TNI tersebut telah merusak profesionalisme kepolisian yang akuntabel dan transparan yang dipercaya masyarakat, karena tugas tentara dan polisi disatukan terutama dalam menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan (hankam).64 Kemudian baru pada era reformasi tahun 2000, lembaga Kepolisian dipisahkan dari TNI melalui Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan POLRI, dan Ketetapan MPR-RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI, sesuai dengan kehendak Konstitusi Negara Republik Indonesia pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 dengan perubahan yang kedua dinyatakan “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban 65 masyarakat 64Kf.
Anton Tabah, Op Cit., 2002, halaman 130-131. 65DPM. Sitompul, mensitir T. O. Ihromi, S.H., M.A., Beberapa Catatan Mengenai Segi-Segi Budaya Dalam Tugas-Tugas Kepolisian, Penerbit Senyata Sumanasa Wira Sespim POLRI, Beberapa Profesor Berbicara Tentang POLRI Jilid 2, Bandung 1994, hal : 44; menjelaskan tertib adalah keteraturan yaitu situasi di mana segala sesuatu 36
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum”. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 menegaskan POLRI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dalam negeri, yakni sebuah peran yang berbeda dengan peran yang dimainkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berperan dalam pertahanan negara. Demikianlah beberapa ketentuan undang-undang mengenai tugas-tugas Kepolisian. Selanjutnya masih dapat dikutip beberapa patokan pengertian atau interpretasi mengenai beberapa istilah seperti yang termaktub dalam Surat Keputusan Menteri Pertahanan Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia No. Skep./B/66/I/1972. Mengenai perasaanperasaan dirumuskan sebagai berikut. 1. Perasaan bebas dari gangguan baik fisik maupun psikis; 2. Adanya rasa kepastian bebas dari kekhawatiran, keraguan, dan ketakutan; 3. Perasaan dilindungi dari segala macam bahaya; 4. Perasaan kedamaian dan ketentraman lahiriah dan batiniyah.66 Hal tersebut harus disepakati benar-benar tentang tugas yang diberikan kepada alat kepolisian, dalam arti batas kewenangan serta tanggung jawab mesti tertera jelas dalam perundang-undangan negara. Demikian juga perlu dicegah adanya kesalahpahaman pada anggota kepolisian sendiri tentang tugasnya, di lain pihak masyarakat secara umum, dan secara khusus
berjalan teratur, sedangkan ketertiban adalah keadaan yang sesuai dengan dan menurut norma-norma serta hukum yang berlaku. 66T.O. Ihromi, Beberapa Catatan Mengenai Segi-Segi Budaya Dalam Tugas-Tugas Kepolisian, Penerbit Senyata Sumanasa Wira Sespim POLRI, Beberapa Profesor Berbicara Tentang POLRI Jilid 2, Disitir DPM. Sitompul, Bandung, 1994, hal :44; 37
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
masyarakat di daerah, dapat memahami tugas dan manfaat kepolisian.67 Demikian itu didasarkan pada pertimbangan bahwa selama ini telah terjadi kerancuan dan tumpang tindih antara peran dan fungsi TNI sebagai “kekuatan pertahanan negara” dengan peran dan fungsi POLRI sebagai “kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat” demi terpeliharanya keamanan dalam negeri. Kerancuan dan tumpang tindih itulah yang telah menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI maupun POLRI, yang pada akhirnya merusak sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta kurang menjunjung tinggi supremasi hukum dan melindungi hak asasi manusia. Dampak dari kerancuan dan tumpang tindih peran dan fungsi TNI - POLRI sebagai akibat dari penggabungannya dalam satu wadah yang disebut ABRI itu diungkapkan pula oleh Sarlito Wirawan sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali sebagai berikut.68 “Kedudukan POLRI sebagai ABRI ini sering kurang dimengerti oleh orang di dalam maupun di luar negeri. Mereka terperangkap dalam dikotomi ABRISipil. POLRI jadinya tidak menikmati kerja sama luar negeri dalam proyek-proyek ABRI karena bukan angkatan perang, tetapi juga tidak termasuk dalam proyek-proyek sipil (Bappenas, IGGI) karena dianggap ABRI…” 67Haryati
Subadio, Catatan Mengenai Makna Kepolisian Dalam Sejarah Indonesia, Penerbit Senyata Sumanasa Wira Sespim POLRI, Beberapa Profesor Berbicara Tentang POLRI Jilid 2 disitir DPM. Sitompul, Bandung 1994, hal :11-14; dijelaskan pada hakikatnya masalah beda pendapat itu terletak pada peran yang hendak diberikan kepada alat kepolisian. Sebagai alat pengawasan tertib hukum serta penjaga keamanan di dalam masyarakat dan perbatasan negara kepolisian menduduki tempat yang mudah menimbulkan ambivalensi atau penilaian ganda. Disatu pihak kepolisian mesti memiliki wewenang dan wibawa yang mesti memadai. 68Achmad Ali, Polisi dan Efektivitas Hukum dalam Penanggulangan Kriminalitas, Op Cit, 1998, halaman 210. 38
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Di saat-saat menjelang pemisahan peran dan fungsi TNI dan POLRI ini, masalah kerancuan tumpang tindih peran dan fungsi kedua lembaga itu menjadi bahan diskusi yang cukup menarik di kalangan politisi, anggota legislatif, maupun para akademisi. Hal ini sebagaimana dampak dalam seminar nasional Polisi Indonesia III yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang pada tanggal 22-23 Oktober 1998. Seminar nasional yang bertema “POLRI Sipil yang Mandiri, Berdaya, dan Profesional untuk Menjamin Integritas Bangsa” itu menampilkan beberapa pakar, yang inti pemikirannya seputar masalah kerancuan dan tumpang tindih peran dan fungsi TNI dan POLRI dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Satjipto Rahardjo, pakar sosiologi Hukum UNDIP Semarang dan pemerhati Masalah Kepolisian:69 “Sejak polisi dan militer (TNI) mempunyai fungsi dan tugas yang sangat berbeda, maka penggabungannya ke dalam satu organisasi merupakan kesalahan yang sangat besar. Kejadian dipisahkannya POLRI dan ABRI merupakan suatu langkah reformasi yang penting sekali dan sebaiknya secara bersungguh-sungguh kita renungkan maknanya dan kita jadikan sebagai momentum bergulirnya reformasi kepolisian RI secara lebih luas untuk menuju pembangunan polisi Indonesia baru. Memang keluarnya POLRI dari ABRI bukanlah tujuan, melainkan merupakan salah satu langkah saja dalam kerangka suatu agenda besar membangun polisi masa depan yang lebih berkualitas.” 2. H. Rudini, Ketua Umum LPSI:70 69Satjipto
Rahardjo, Op Cit, 1998, halaman 17-18. 70 H. Rudini. Pengaruh Kebijakan Pemerintah Pusat, Praktik Mekanisme Penyusunan Perundang-Undangan dan Hubungan Birokratik Di antara Lembaga dan Departemen Negara terhadap Usaha Pemisahan POLRI dari ABRI untuk Menjadi Sipil dan Mandiri, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, diselenggarakan oleh 39
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
“POLRI memang lebih baik dan bahkan seharusnya berada di luar ABRI, karena POLRI bukan militer, tetapi penegak hukum yang mandiri (otonom) di samping pengayom dan pelindung masyarakat. Yang ideal POLRI berada langsung di bawah Presiden, pembinaannya tetap di tangan MABES POLRI, sedangkan operasionalnya bersifat otonom dan didesentralisasi di daerah-daerah, dengan status BKO atau di bawah komando KDH I dan KDH II. Dapat saja bernaung di bawah Depdagri (Departemen Dalam Negeri) atau Depkeh (Departemen Kehakiman), tapi tetap mandiri.” 3. Hendardi:71 “Masalah kerap muncul justru dari kedudukan polisi yang tunduk pada kekuatan politik yang bersenjata di Indonesia, yakni ABRI. Ini sebenarnya sumber masalahnya…. Dengan masuknya polisi sebagai bagian dari ABRI, maka seketika gugurlah pikiran bahwa polisi adalah penjaga nilai-nilai sipil. Polisi menjadi aparat kekuasaan politik yang berkuasa di atas pengawetan keadaan darurat dengan kekerasan sebagai ciri utamanya.” 4. Sri Bintang Pamungkas:72 “Sifat dari peran yang dijalankan oleh polisi dan militer berbeda. Kalau militer yang berperan sebagai Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, halaman 8. 71 Hendardi. Menegakkan Supremasi Nilai-Nilai Sipil: Peran Kepolisian dalam Perspektif HAM, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, halaman 5-6. 72 Sri Bintang Pamungkas. POLRI sebagai Pengemban Kebijakan KAMDAG-RI, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, halaman 2-3. 40
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
pertahanan negara yang bersifat tempur, maka polisi yang berperan menjaga keamanan dan ketertiban umum bersifat memberi pengayoman dan rasa tenang kepada masyarakat…. Sekarang ini rakyat sangat memimpikan polisi yang mandiri dan profesional sesuai dengan tugasnya dan menjadi independen. Kepolisian memang harus direorganisasi, dan langkah seperti ini sangat diperlukan dalam hubungannya dengan otonomi daerah.” 5. Barda Nawawi Arief, Pakar Hukum Pidana UNDIP:73 “Secara ideal memang kurang tepat apabila status POLRI sebagai komponen SPP (Sistem Peradilan Pidana) berada di dalam ABRI. Kalau POLRI diberi status sebagai penegak hukum dan merupakan komponen dari SPP, maka seyogyanya POLRI berada dalam lingkungan Kekuasaan Kehakiman, karena SPP pada hakikatnya merupakan implementasi atau aplikasi dari Kekuasaan Kehakiman. Dengan perkataan lain, SPP pada hakikatnya merupakan sistem Kekuasaan Kehakiman di bidang Peradilan Pidana.” 6. Andi A. Mallarangeng:74 “Pilihan kedudukan kepolisian sipil di bawah Departemen Dalam Negeri bukanlah suatu pilihan yang radikal ataupun asing dalam sistem ketatanegaraan kita, karena hal ini memang dapat dikatakan khittah kepolisian sebelum bergabung dengan ABRI. Di 73Barda
Nawawi Arief, Kepolisan dalam perspektif Kebijakan Kriminal dan Sistem Peradilan Pidana, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, halaman 3. 74Andi A. Malarangeng, Polisi Sipil dalam Pemerintahan Dalam Negeri, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, halaman 1. 41
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
negara-negara lain posisi semacam ini adalah sesuatu yang lazim dilakukan. Bahkan, negara seperti Amerika Serikat, menempatkan FBI sebagai satuan kepolisian federal di bawah Departemen Kehakiman, dan menempatkan The Secret Service sebagai petugas pengaman presiden dan polisi pelacakan uang palsu di bawah Departemen Keuangan.” 7. Hasnan Habib, Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan):75 “Saya tidak melihat urgensi dari pemisahan POLRI dari ABRI. Yang urgen justru bahwa POLRI mampu melaksanakan tugasnya yang seharusnya, seperti tercantum dalam semua ketentuan/peraturan yang ada, baik dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13/1961 maupun dalam Keppres No. 52/1969 dan No. 79/1969 tentang Integrasi ABRI yang tegas-tegas memberi tugas dan tanggung jawab kepada POLRI sebagai unsur Kamtibmas dan penegak hukum…. Saya kira tidak ada persoalan dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing, tergantung dari para pemimpin masing-masing angkatan. Tetapi, juga tidak ada salahnya jika memang POLRI sendiri menghendaki pisah dari ABRI. Saya kira dari pihak TNI (Angkatan Perang) sama sekali tidak ada keberatan untuk pemisahan itu. Oleh karena, bergabungnya POLRI ke dalam TNI dan menjadi ABRI, juga tidak atas kehendak ataupun peeeeermintaan dari TNI”. Harapan yang terlintas dalam forum diskusi yang hampir sebagian besar pembicara menghendaki agar POLRI pisah dari ABRI kini sudah menjadi kenyataan. Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XII 75 A.
Hasnan Habib, Beberapa catatan Mengenai Kepolisian, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, halaman 7-8. 42
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR No. VI dan VII Tahun 2000, serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan Keppres Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan POLRI merupakan bukti yuridis, dan menjadi tonggak awal lahirnya lembaga kepolisian yang mandiri terlepas dari lingkaran kekuasaan ABRI. Pemisahan tugas dan wewenang TNI dan POLRI ini pun sudah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 30 ayat (3) dan (4) UUD 1945 sebagai berikut. (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, serta memelihara keutuhan dan kedaulatan negara; (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.76 Dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian RI No. 2 Tahun 2002 dengan jelas menyatakan bahwa : Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri; pasal 8 ayat (1) bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dilihat dari opini yang berkembang saat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ada sekelompok atau segelintir orang/instansi yang tidak menyukai dengan 76Pasal
UUD 1945 tentang pembagian tugas dan wewenang TNI dan POLRI ini merupakan hasil amandemen kedua yang disahkan pada 18 Agustus 2000. Penambahan ketentuan ini dalam UUD 1945 sebagai bentuk respon terhadap Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dan No. VII/MPR/Tahun 2000. 43
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
kemandirian POLRI, sehingga melemparkan wacana maupun opini kepada publik agar POLRI berada di bawah suatu departemen. Ditegaskan Muladi selaku Gubernur Lemhanas, yang menilai upaya kedudukan POLRI di bawah Departemen Teknis, misalnya Departemen Dalam Negeri sangat tidak tepat, karena situasi di negeri ini masih belum memungkinkan untuk meniru sistem di negaranegara maju.77 Menurut JE. Sahetapy, (Komisi Hukum Nasional) : Jika hal ini benar-benar terealisasi maka sangat berbahaya bagi kinerja POLRI yang diharapkan terus terjaga independensinya, demikian pendapat Ketua Komisi Hukum Nasional.78 Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dalam undang-undang ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya.79 Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia juga memiliki kewenangan diskresi, 77Muladi,
National News, tanggal 11 Januari 2007, hal : 1 : Penerangan Kesatuan diterbitkan oleh Divhumas POLRI, Simak Opini Yang Berkembang Tentang POLRI, No. :06/I/2007/Pensat tanggal 26 Maret 2007; Sudah seharusnya kita selaku anggota POLRI bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dan menegakkan hukum untuk menarik simpati masyarakat yang nota bene adalah merupakan tugas pokok POLRI, sehingga masyarakat dengan sendirinya akan menentang rancangan undang-undang yang dibuat oleh Departemen Pertahanan, yang mengusulkan POLRI di bawah Departemen. 78JE. Sahetapy, National News, tanggal 10 Januari 2007, hal : 1. 79Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2 Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, ditegaskan, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. 44
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri. Meskipun demikian, penerapan undang-undang ini akan ditentukan oleh komitmen para pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelaksanaan tugasnya dan juga komitmen masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mandiri, profesional, dan memenuhi harapan masyarakat dan Keppres Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan POLRI. Pertentangan terhadap pandangan sebelumnya, yang menggambarkan bahwa masyarakat itu dalam pengertian ”koordinasi fungsional, integrasi, dan konsensus”, maka Dahrendorf dalam bukunya mengajak kembali pada reorientasi sosiologi yang mengarah pada problema-problema perubahan, konflik dan tekanan dalam struktur sosial, khususnya yang menyangkut permasalahan totalitas masyarakat80. Padahal nasionalisme tidak perlu dipertentangkan dengan hak asasi manusia karena tak ada negara yang bisa tumbuh kuat tanpa rasa hormat terhadap hak asasi manusia.81 Sarana pengambil keputusan politik di semua negara bertambah lama bertambah tegang, karena terlalu banyak pekerjaan, banyak beban, tenggelam dalam data yang tak relevan, dan menghadapi bahaya yang belum pernah dikenalnya. Karena itu, apa yang kita saksikan adalah kebijakan ketidak-mampuan para pembentuk kebijakan dalam pemerintahan untuk mengambil keputusan yang berprioritas tinggi (atau mengambil keputusan yang salah), sementara mereka sibuk Irving M. Zeitlin, Penyunting Usman, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, Original Edition, Rethinking Sociology A Critique of Contemporary Theory, Cetakan Pertama, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1995 :162. 81Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Diterbitkan Pertamakali, Anggota IKAPI, Jakarta, 2005: hal. 241. 80
45
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
membuat ribuan keputusan yang kurang penting, atau sepele sama sekali.82 Karena Interdependensi Internasional, maka dibutuhkan hubungan antarpemerintah (inter-goverment) dengan konsekuensi menerima dan mengadopsi asasasas hukum internasional sebagai bagian hukum nasional. Dalam hal inilah instrumen-instrumen Internasional tentang hak asasi manusia berperan dalam kehidupan nasional83. Dalam perkembangannya Sistem Peradilan Pidana tidak sekadar dilihat sebagai sistem penanggulangan kejahatan, tetapi justru dilihat sebagai social problem yang sama dengan kejahatan itu sendiri. Dikatakan demikian karena di samping kenyataan menunjukkan bahwa kejahatan tetap terus meningkat, yang dapat dilihat sebagai indikator kurang efektifnya SPP, juga SPP itu sendiri dalam hal-hal tertentu dapat dilihat sebagai faktor kriminogin dan viktimogin.84 Kuatnya tuntutan demokrasi dan maraknya diskursus demokrasi tidak lain karena adanya anggapan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem yang bisa menjamin keteraturan publik dan sekaligus mendorong transformasi masyarakat menuju suatu struktur sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang lebih ideal. Demokrasi diyakini sebagai sistem yang paling realistis dan rasional untuk mencegah suatu struktur masyarakat yang dominatif, represif, dan otoritarian. 82Alvin
Toffler, The Third, Gelombang Ketiga (Bagian Kedua) Cetakan Kedua, PT. Panca Simpati, Jakarta, 1992 :325-326. 83 Muladi, Hak Asasi Manusia Dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997 :41. 84 Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Penerbit P.T. Alumni, Edisi Revisi, Cetakan kedua, Anggota IKAPI, Bandung, hal 195-196. Menurut Clayton A. Hartjen, ada pergeseran pusat perhatian dari sipelanggar atau pelaku kejahatan ke sistem peradilan pidana dan pada keterkaitan antara presepsi mengenai kejahtan, penyelengaraan hukum pidana dan masyarakat, sejalan dengan Austin Turk mengemukakan bahwa pusat perhatian kriminologi bukan lagi pada ”the criminal character of behavior”, tetapi pada ”the proces of criminalizing behavior”. 46
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid; ”demokrasi adalah suatu proses, maksudnya demokrasi tidak dipandang sebagai suatu sistem yang pernah selesai dan sempurna..:” 85 Pemilihan umum, misalnya dapat diklasifikasikan sebagai salah satu jenis partisipasi rakyat dalam politik.86 Negara memperjuangkan rakyatnya untuk adil dan makmur, terutama dalam politik, soalnya tidak hanya terletak pada tujuan, tetapi juga cara mencapai tujuan itu. Karena cara memperjuangkan tujuan itu amat berbeda.87 Krisis moneter dan ekonomi yang melanda sebagian besar wilayah Asia Tenggara hingga akhir 1997 menciptakan momentum bagi masyarakat untuk mengungkapkan semua ketidakpuasan tersebut secara lebih nyata. Hal ini tidak lain, karena merosotnya otoritas negara; melemahnya law enforcement; terjadinya demoralisasi polisi dan TNI ; dan fragmentasi dan disintegrasi sosial dalam masyarakat.88 Pada mulanya politik adalah tulang punggung sejarah (politics is the backbone of history). Oleh karena, buku-buku teks sejarah berisi rentetan kejadian-kejadian mengenai raja, negara, bangsa pemerintahan, parlemen, partai politik, pemberontakan, kelompok-kelompok kepentingan dan interaksi di antara kekuasaankekuasaan itu dalam merebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Ada ungkapan History is past politics is
85Abdul
Ghofur dan Achmad Rofiq, Demokratisasi Dan Prospek Hukum Islam Di Indonesia (Studi Atas Pemikiran Gus Dur), Walisongo Press bekerja sama Pustaka Pelajar Offset, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2002 : 1-5. 86 Rusadi Kontopawiro, Sistem Poltik Indonesia; Suatu Model Pengantar, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1992 : 180. 87 F. Hartono, Etos Dan Moralitas Politik, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Cetakan ke 5, Yogyakarta, 2003, 12. 88 Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban, Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas, Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, Jakarta, 2002 : 121. 47
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
present history (ucapan Sir John Robert Seely, Sejarawan Inggris, 1834-1895).89 Jimly Asshiddiqie berpendapat, prinsip persatuan, Pasal 1 Piagam Madinah menegaskan, “Innahum ummatan wahidatan min duuni n-naas”. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, lain dari (komunitas) manusia lain. Pasal 44 ditegaskan “mereka (para pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang atas Kota Yatsrib (Madinah)”.90 Menurut Sutanto Jendral Polisi (2005), tantangan dalam aspek keamanan, dihadapkan pada berkembangnya suasana konflik yang dilatarbelakangi masalah agama dan etnis, gagasan dan tindakan separatisme, kriminalitas yang secara kuantitas dan kualitas terus meningkat, perilaku kekerasan yang semakin intens, pengembangan isu ketidakadilan ekonomi dan sosial, membuka dan mengundang keterlibatan lembaga-lembaga internasional dalam upaya penyelesaiannya, dengan memaksakan penerapan standar global. Bailey (1998) Polisi masa depan di Amerika Serikat dan dalam masyarakat-masyarakat demokratis yang modern lainnya akan harus lebih menekankan perannya dalam pencegahan kejahatan dan ketertiban masyarakat, daripada tindakan represif. Kegiatan pencegahan kejahatan dan ketertiban masyarakat menuntut kemampuan polisi untuk mampu menilai berbagai gejala yang ada dalam masyarakat, merencanakan tindakantindakan serta mengevaluasi dan mengantisipasi dampak-dampaknya, dan untuk acuan pemahaman terhadap gejala-gejala sejenis yang mungkin akan
89Kuntowijoyo,
Metodologi Sejarah, Edisi Kedua, Penyunting Mohamad Yahya, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta : 2003 : 174. 90 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme. Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006,17-18. 48
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
muncul di masa mendatang atau terhadap masyarakat di tempat yang lain.91 Perjalanan panjang POLRI dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara, sangatlah berarti, POLRI berperan penting dalam menciptakan rasa aman, tentram, dan damai bagi masyarakat. Di era reformasi sekarang ini, di tengah-tengah upaya kita menciptakan kondisi aman dan damai, adil dan demokratis, serta upaya kita meningkatkan kesejahteraan rakyat, POLRI terus berjuang. Apalagi POLRI telah menjadi bagian dari warga sipil. Oleh karena itu POLRI di era reformasi harus mampu menampilkan figur POLRI yang dicintai, dimiliki, dan dibanggakan masyarakat. Filosofi ini harus terus diaktualisasikan kepada segenap insan Bhayangkara di tanah air.92 Untuk memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat di era reformasi, selain memposisikan POLRI sebagai bagian dari warga sipil, POLRI juga harus melakukan reformasi internal melalui pembenahan dalam berbagai aspek. Untuk lebih memberdayakan potensi keamanan, sebagaimana diamanatkan Pasal 30 ayat (4) UndangUndang Dasar 1945, agar strategi perpolisian masyarakat (community policing) terus dikembangkan, Perbanyak pembentukan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat di seluruh tanah air. Dengan cara itu, potensi masyarakat dapat diberdayakan di lingkungan
91Ibid
: Baley, David H., (1998) dikutip dari Parsudi Suparlan (2004) hal :75-76. 92H. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, dalam Sambutan Tertulis Presiden Republik Indonesia Pada Hari Bhayangkara Ke-61 di Jakarta Tanggal 1 Juli 2007, hal: 4-6.:Menurut Presiden H. Susilo Bambang Yudhoyono, dalam menyikapi berbagai perubahan di tengah-tengah masyarakat, POLRI dituntut untuk berupaya mengembangkan strategi dan kemampuan profesional Kepolisian, dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai ideal Tribrata sebagai pedoman hidup dan Catur Prasetya sebagai pedoman karya. 49
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
masing-masing guna memecahkan masalah sosial yang terjadi di lingkungannya.93 Pesan Presiden RI (2007) kepada seluruh jajaran POLRI untuk dilaksanakan dalam tugas dan pengabdian; Pertama, prioritaskan berbagai sasaran strategis, program, dan kegiatan dalam rangka mewujudkan situasi kamtibmas yang kondusif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tingkatkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat tanpa diskriminasi. Kedua, tegakkan hukum secara profesional, junjung tinggi kode etik profesi dalam pelaksanaan tugas dan kehidupan di luar kedinasan. Ketiga, pahami dan pedomani Undang-Undang Pokok Kepolisian yang menjadi landasan pelaksanaan tugas dan kewenangan POLRI, serta tingkatkan sosialisasi dan peran perpolisian masyarakat (Polmas). Keempat, bangun sikap proaktif, koordinatif, dan terpadu dalam menghadapi hal-hal yang berpotensi mengganggu keamanan sekecil apapun. Kelima, Jadilah polisi yang bermoral, profesional, dan modern yang dicintai dan dipercaya masyarakat. Mari kita tingkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dengan penuh ketulusan, kasih sayang, dan penuh tanggung jawab.
93H.
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, dalam Sambutan Tertulis Presiden Republik Indonesia Pada Hari Bhayangkara Ke-61 di Jakarta Tanggal 1 Juli 2007,(Ibid) hal: 12,15,16 Harapan Presiden agar seluruh jajaran kepolisian dapat menjadi polisi sahabat masyarakat. Polisi yang mampu memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, potensi masyarakat dapat diberdayakan dilingkungan masing-masing guna memecahkan masalah sosial yang terjadi dilingkungannya. 50
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
C. Strategi Konsepsional POLRI dalam Penegakan Hukum yang Ideal Transparan, Akuntabel dan Dipercaya Masyarakat Tuntutan masyarakat yang makin nyata, terutama harapan agar masyarakat, kelompok atau individu dapat melakukan aktivitas masing-masing dalam meningkatkan kualitas hidup tanpa rasa khawatir dan rasa was-was, tidak terganggu oleh kejahatan, tidak merasa takut oleh bahaya kerugian dan cidera. Untuk menjawab tantangan tersebut di atas, POLRI mempunyai visi dan misi untuk mewujudkan POLRI sebagai lembaga sipil yang tangguh dan unggul dengan menggunakan ilmu pengetahuan, komputer dan teknologi dalam memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat di bidang pencegahan kejahatan dan penegakan hukum; antara lain : 1. Penegakan Keadilan Masyarakat; lebih dikenal dengan sebutan Restorative Community Justice (RCJ) suatu upaya pencegahan kejahatan (bukan mengutamakan penanggulangan kejahatan untuk penegakan hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat), lembaga kepolisian terbukti bahwa dalam pencegahan kejahatan tidak cukup hanya dengan mengandalkan sistem peradilan pidana atau criminal justice system saja. Di berbagai belahan dunia kepolisian telah dikembangkan sistem operasional kepolisian dengan penerapan “Penegakan Keadilan Masyarakat” (PKM), yang menekankan aspek keadilan sebagai motivasi memecahkan masalah kejahatan, pencapaian keamanan, dan penertiban masyarakat, sekaligus menunjang kehidupan demokrasi. 2. Mengembangkan Perpolisian Masyarakat (community policing); Pencegahan kejahatan dan ketidak-tertiban di daerah “pemukiman dan lingkungan kerja” merupakan faktor strategis bagi pembangunan citra 51
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
POLRI yang positif, salah satu strategi yang dinilai sangat ampuh dalam menangani kejahatan di lingkungan” pemukiman dan lingkungan kerja” adalah community policing. 3. Pengembangan Budaya POLRI; tanpa pengembangan budaya (cultur) secara terarah dan mengakar pada kehidupan organisasi, maka manusia (seperti anggota Polisi) tidak dapat diharapkan bersikap dan berperilaku yang konsisten atau dapat menunjang visi, misi, kode etik dan cita-cita yang dibangun oleh POLRI 4. Pengembangan Struktur Organisasi POLRI diarahkan kepada : a. Identifikasi berbagai tugas utama dan pengelompokannya; b. Perumusan tingkat kewenangan; c. Penyeimbangan tugas dan kewenangan termasuk span of control; d. Sistem koordinasi dan pengendalian; e. Identifikasi kegiatan yang memerlukan kepakaran khusus atau sebaliknya kegiatan yang tidak esensial yang dapat di-out sourching. 5. Postur Kelembagaan ; a. Kebijakan organisasi berdasarkan standar terhadap pemberlakuan pengembangan karier mutasi dan rotasi anggota, pimpinan harus “berwawasan kesejahteraan” dapat mengembangkan pembinaan personel, yang berpengaruh mendorong kebiasaan anggota patuh hukum, hukuman tidak bersifat mencela dan menyakiti bawahan. Institusi memiliki kegiatan atau fungsi yang dibakukan, kematangan dalam kegiatan rutin, tetapi tujuannya dapat berubah seperti POLRI yang bertujuan menanggulangi kejahatan, dapat berubah menjadi pencegahan kejahatan. Kekhasan lembaga seperti POLRI selain mempunyai standarisasi, tetapi sangat diwarnai oleh sejarah, tradisi, nilai-nilai, bahkan emosi (seperti jiwa korp yang kuat). 52
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
b. Organisasi POLRI sebagai lembaga atau institusi, mengandung implikasi khusus dalam mencari arah perkembangan POLRI di masa mendatang, serta implikasi komponen-komponen yang menjadi cakupan dalam merumuskan Grand Strategi POLRI dalam jangka panjang. 6. POLRI berbasis pelayanan : a. Kepolisian Negara Republik Indonesia tujuan utamanya memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga tercipta suatu masyarakat yang aman, adil, makmur, dan sejahtera. b. Peran POLRI berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. c. Peran utama POLRI di masyarakat dapat dikategorikan sebagai service yang memiliki implikasi sangat fundamental sebagai organisasi yang menyediakan jasa tersebut. d. Kinerja suatu organisasi dapat terbentuk produk, service, atau kombinasi keduanya.94 Visi dan misi POLRI diharapkan dapat menstimulasi para insan Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi makin cerdas, berbudi luhur, berakhlak mulia dan bermoral tinggi, serta kreatif dan inovatif dalam menjawab berbagai tantangan. Peluang (opportunitas) dalam pergeseran global tentang paradigma keamanan (security) yang terkait dengan penanggulangan ancaman 94Lampiran
Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/360/VI/2005 Tanggal 10 Juni 2005, hal. 4 -10 ditandatangani Da’i Bachtiar, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. 53
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
konflik antarpendukung partai politik peserta Pemilu dan Pilkada di Jawa Tengah.95 Untuk menuju reformasi dan pengembangan sumber daya manusia anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, merupakan koridor yang hendak diwujudkan dalam perubahan paradigma, dari paradigma militeristik menjadi paradigma masyarakat madani (Civil Society) berwawasan perpolisian masyarakat (Community Policing) dengan pendekatan kemitraan untuk penyelesaian masalah (Problem Solving) dan melakukan perubahan budaya sebagai alat negara yang sudah mengakar di tubuh POLRI, menjadi pelayan terhadap masyarakat96. Bagi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, profesionalisme aparat kepolisian memang didukung oleh peralatan dan teknologi yang canggih dan mereka memperoleh imbal jasa (gaji atau honor) yang memadai untuk kesejahteraan diri dan keluarganya. Demikian juga biaya operasional dalam menjalankan tugas selalu didukung secara memadai, termasuk untuk meningkatkan pelayanan dengan menambah jumlah personel sesuai dengan rasio yang diharapkan. Dengan demikian, kalangan aparatnya tidak akan mengeluh soal kurangnya biaya operasional atau perlunya memperoleh “tambahan pembiayaan dari masyarakat“ ketika menjalankan tugasnya97. 95 Sutanto,
Rencana Strategis Kepolisian Negara Republik Indonesia (Renstra POLRI) 2005-2009 ; Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonsia No. Pol. : Kep/20/IX/2005, tanggal 7 September 2005. 96Basyir Barmawi, Irjen Pol Gubernur Akpol, Disajikan Sumber Kompas 1 Juli 2004. menyitir teori dari The Development of Cultur “Budaya, untuk mengubah suatu membutuhkan waktu yang lama”. Saat ini POLRI masih meniti perubahan-perubahan budaya yang tidak bisa dicapai sekaligus”. 97 Laode Ida, Polisi, Profesional dan Humanisme, oleh Sosiolog, Direktur PSPK Jakarta, Kompas 1 Juli 2003 ; Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang mereka pikirkan adalah bagaimana menjalankan tugas sebaik-baiknya dalam rangka menciptakan atau memelihara keamanan dalam masyarakat. 54
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Berbagai perubahan dalam tubuh POLRI dari 1 Juli 1946 ketika POLRI pertama kali dikeluarkan dari Kementerian Dalam Negeri dan berdiri sendiri sebagai sebuah jawaban langsung di bawah Perdana Menteri. Sejak itu hingga bergulirnya era reformasi, hendaknya POLRI tidak dipandang sebagai mudahnya POLRI “diobok-obok” untuk dijadikan alat bagi rezim pemerintah yang berkuasa, reformasi harus dipandang sebagai pertanda adanya keinginan institusi POLRI untuk senantiasa berupaya mengikuti perubahan perkembangan di berbagai bidang iptek terutama teknologi komputer yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, agar dapat memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan yang terbaik terhadap masyarakat, sebagaimana motonya : “Kami Siap Melayani Anda”. Seperti kita ketahui, anggota polisi disebut sebagai petugas penegak hukum, artinya mereka harus juga menegakkan hukum dengan menghargai serta melindungi hak-hak setiap anggota masyarakat dengan menjunjung tinggi supremasi hukum. Menyembuyikan kejahatan dan melakukan tindakan korupsi merupakan pelanggaran martabat dan harga diri yang sangat serius melanggar hak asasi manusia, dalam arti juga melakukan tindakan tercela dan melanggar hukum. Ketika anggota masyarakat mengetahui tindakan polisi yang melanggar hukum mereka akan melihat pejabat polisi sebagai pelanggar hukum, bukan penegak hukum. Akibatnya, masyarakat tidak percaya kepada pejabat Polisi yang menghancurkan nilai-nilai dasar yang sedang dibangun dalam masyarakat98. 98 Sutanto,
Perpolisian Masyarakat, Buku Pedoman Untuk Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2006 : 33-71; tentang Akuntabilitas dan transparansi polisi terhadap masyarakat sebelum ada konsep Polmas, polisi hanya mempertanggung jawabkan kegiatannya kepada pihak pimpinan kepolisian saja. Sekarang polisi diharuskan bertanggung jawab kepada masyarakat yang telah menjadi mitra kerja. Warga yang dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan seperti perencanaan strategi, pelaksanaan taktis, dan pengembangan kebijakan, akhirnya membuat polisi lebih menyadari dan lebih memperhatikan konsekuensi-konsekuensi atas tindakan mereka. 55
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Salah satu upaya reformasi POLRI yang diharapkan oleh berbagai pihak adalah menguasai dan menerapkan profesionalisme dalam tugasnya; mulai dari meningkatkan kapabilitas personil Polisi, pengambilan keputusan dalam organisasi, memperbaiki standar rekruting dan peralihan, modernisasi teknologi kepolisian, objektivitas dalam menangani konflik, memperkuat kode etik profesi kepolisian, meluruskan perilaku para pejabat polisi, serta meluruskan ketidak-efisienan, menghindari penyalahgunaan wewenang dan jabatan, memerangi korupsi dan ketidakdisiplinan99. (LPEM 1.1.) Kondisi internal institusi yang kurang menguntungkan harus ditata kembali dengan transparan, akuntabel dan objektif sehingga harapan pencitraan polisi lebih positif yang diharapkan masyarakat dapat terwujud. Kondisi internal yang menyangkut penggunaan anggaran penugasan, kesejahteraan setiap pejabat kepolisian, keadilan dan kesejahteraan bagi anggota harus dikelola dengan baik dan menjadi perhatian utama pimpinan POLRI (Kasatker, Kasatwil, Kapolda) terutama tentang peruntukan dan penggunaan anggaran. Perbaikan kualitas kesejahteraan hidup yang merata merupakan modal utama untuk membentuk mentalitas dan etos kerja yang baik. Perbaikan karakter Polisi tersebut harus dapat dimulai sejak awal dari bawah sampai ke atas, perekrutan sampai menjelang akhir masa baktinya. Metode prosedur, dan proses pembinaan personal polisi harus jelas sehingga dapat menghasilkan polisi yang berkarakter profesional dan bermoral tinggi, 99 Kamil
Razak, AKBP, Profesional Perwujudan Paradigma Baru POLRI, Pikiran Rakyat, Jakarta 2 Juli 2006; LPEM, adalah merupakan suatu kebohongan apabila POLRI menilai dirinya sebagai institusi yang tak bercacat dan selalu berhasil dalam segala gerak langkahnya. Begitu pula ketika kita menilai tidak ada yang bisa diharapkan dan diandalkan dari POLRI, seakan POLRI hanya berdiam diri saja, juga tidak benar. 56
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
yang akan dilihat dan dirasakan oleh masyarakat, baik dari hasil kerja yang berkaitan dengan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta sebagai penegak hukum100. Profesionalisme Polisi dalam Kepolisian harus diartikan secara komprehensif, memiliki sistem teori yang menjadi sumber bagi keahliannya, menguasai teknik dan menggunakan keterampilan dengan berbasis teknologi dan komputer; disertai dengan kode etik profesi kepolisian yang kuat dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam kegiatannya, memiliki konsep layanan yang ideal (service quality) bagi kepentingan masyarakat; memiliki standar kinerja yang jelas. (LPEM-FEUI&MABES POLRI, angka 4.2.) Penerapan prinsip-prinsip penegakan keadilan masyarakat (Restorative Community Justice) yang mengedepankan aspek pencegahan tindak kejahatan, dialogis atau perdamaian dalam pemecahan konflik di masyarakat, penekanan pada pendekatan HAM serta memperlihatkan aspek manusiawi pada pelaku tindak kejahatan sebelum, selama dan sesudah proses peradilan dijalankan (LPEM&FEUI & MABES POLRI, angka 4.2.4). Pengakuan masyarakat tidak saja terhadap standar pelayanan yang terus ditingkatkan tetapi juga terhadap nilai-nilai yang menyertai profesionalisme itu sendiri antara lain: 1. Keunggulan (excellent oriented) orientasi pada prestasi (achievement), dedikasi (dedication), kejujuran (honesty), dan kreativitas (creativity), pro aktif, berbasis kinerja;
100 Bambang
Pujiono, Strategi Mengangkat Kembali Citra POLRI, Harian Suara Karya, Jum’at,1 Juli 2005. Fenomena tersebut tentunya memaksa institusi POLRI untuk meninjau kembali strategi dalam menjalankan fungsinya. 57
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
2. Integritas (integrity); orientasi pada komitmen (commitment) menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral (etic values and morality); 3. Akuntabilitas (accountable) berorientasi pada sistem yang traceable (dapat ditelusuri jalurnya yang logis) dan auditable (dapat diaudit dan diperbaiki), mulai dari tingkat individu sampai institusi POLRI. 4. Transparansi (transparancy); orientasi pada keterbukaan (openness), kepercayaan (trust), menghargai keragaman dan perbedaan (diversity) serta tidak diskriminatif; 5. Kualifikasi (qualifide) mempunyai dasar pengetahuan (Knowledge Based) dan pengakuan (sertification and or licence); 6. Berbasis Teknologi dan Pengetahuan (Technology & Knowledge Based) : semaksimal mungkin dalam menggunakan pengetahuan dan teknologi pada semua tingkat anggota POLRI sesuai dengan tuntutan tugasnya; 7. Memecahkan masalah (Problem Solving), fokus pada memecahkan masalah (problem solving oriented), mengambil keputusan yang sistematis (sistematic decision making), memperkecil permainan politik (dan politik uang) organisasi101. Profesionalisme polisi yang diharapkan masyarakat merujuk pada sosok polisi yang pandai (inteligen), mempunyai “akal sehat” (common sense), keramahan (friendliness) menghormati warga individu (courtesy), dan kesabaran (patience). Menurut Reksodiputro, inilah dua wajah polisi yang mencerminkan ambiquity (ambivalensi) 101Dai
Bachtiar, Grand Strategi POLRI 2005-2025, LPEM. 1.1.menjelaskan 1.1.2. Akuntabilitas memperjelas fungsi dan tanggung jawab tiap pejabat kepolisian dalam organisasi, serta mempertanggungjawabkan setiap keputusan dan kegiatan kepada para stakeholders, dan 1.1.4. Transparansi dimaksudkan terbuka pada publik yang mencari informasi pada organisasi, membuat laporan keuangan yang benar menurut prinsip-prinsip akuntansi yang diterima oleh publik. 58
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
masyarakat terhadap fungsi dan peran polisi dalam kehidupan pribadi masyarakat (digambarkan sebagai “muka angker” dan “muka tersenyum”)102. POLRI diharapkan memiliki jaringan kerja dengan masyarakat yang disertai dukungan teknologi komputer mutakhir sehingga memudahkan implementasi prinsipprinsip perpolisian masyarakat (community policing) berbasis masyarakat dan penegak keadilan masyarakat untuk perdamaian (restorative justice). Tindakan Kepolisian apa yang boleh dan apa yang tidak boleh demi kepentingan survival lembaganya sendiri, harus lebih mengarahkan Polisi untuk membangun perilaku keteladanan yang dapat mendorong kehidupan masyarakat mencapai tujuannya; yaitu masyarakat sipil yang damai, aman, tentram, sejahtera dan memiliki budi luhur yang tinggi. Tujuan tersebut perlu dikaji untuk diidentifikasi indikator yang penting, lalu merumuskan implikasinya bagi kode etik profesi kepolisian. Unsur-unsur etika profesi kepolisian tersebut menjadi panutan dan teladan bagi masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, dalam kaitan dengan patuh hukum dan ketertiban. Di sini Polisi menempatkan peran strategis sebagai bagian dalam masyarakat sipil yang menjadi panutan dicintai dan dipercaya masyarakat103. Operasionalisasi Polmas sebagai falsafah, mengandung makna “suatu model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial, menjunjung tinggi martabat manusia, dengan menampilkan sikap santun terhadap masyarakat dalam Mardjono Reksodiputro, Sumber Komisi Hukum Nasional Indonesia, (http/www.komisihukum.go.id/articel opinion php), Ilmu Kepolisian Dan Perkembangannya di Indonesia, Desember 2005 mensitir “Quasimilitary Administratif Structure” dari Klockars, “The Rhetoric of Community Policing Carl B 1988”. 103 Mabes POLRI, Grand Strategi POLRI 2005-2025, Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, No. Pol. Skep/360/VI/2005. Tanggal 10 Juni 2005: 2.1 -3.1. 102
59
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
rangka terciptanya kondisi “aman tentram kertaraharja”, dan kualitas kehidupan masyarakat dan saling menghormati antara polisi dan masyarakat meningkat dengan baik.104 D. Strategi Operasional POLRI dalam Menghadapi Tantangan Masa Depan yang Excellence Berdasarkan konsepsi ancaman kamtibmas dan penggelaran strategi operasional POLRI, maka pelaksanaan tugas-tugas operasional POLRI baik yang bersifat represif, preventif, maupun pre-emptif telah digelar untuk menuntaskan masalah-masalah yang dihadapi baik yang mencakup kamtibmas secara umum dan pengamanan pembangunan, maupun dalam rangka kerja sama Kepolisian Internasional secara bilateral serta multilateral.105 Keamanan untuk mewujudkan rasa tentram terbebas dari rasa khawatir dan aman merupakan kebutuhan yang sangat menonjol di masyarakat. Sehingga membutuhkan diferensiasi atau alternatif dalam upaya pencegahan kejahatan dan pencegahan konflik sosial politik. Para anggota Polisi masih lemah, dalam penanganan pencegahan kejahatan, baik konvensional, maupun konflik sosial politik, ketidak-tertiban yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, yang memerlukan kemampuan komunikasi persuasif, dialogis, dan
104Sutanto,
International Organization for Migration (IOM), Bekerja sama Dengan Mabes POLRI, Perpolisian Masyarakat, Jakarta Indonesia, November 2005 :1.12- 1. 14 tentang Kebijakan Dan Strategi Internasional Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas POLRI, Konseptor Karo Bimmas, Gubernur PTIK/Vide Draf, Kasetum, Wakapolri, 2005: 1-4. Larangan penyiksaan bersifat mutlak, tidak ada pengecualian, penyiksaan tidak pernah dianggap sah, tidak ada pembelaan hukum bagi penyiksa 3-107). 105Moch. Sanoesi, Dasar-dasar Konseptual Pemantapan Profesionalisme POLRI, Mabes POLRI, Jakarta, 1990, hal 319. 60
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
rekonsiliasi daripada kemampuan represif dalam penegakan hukum. Banyak kalangan di masyarakat sedang menekuni pemantapan institusi sipil, yang berdampak positif pada pengembangan lembaga POLRI yang berorientasi sipil, bertanggung jawab melindungi kehidupan, orang dan harta benda masyarakat, serta keamanan dan ketertiban masyarakat, melalui penegakan keadilan masyarakat (restorative community justice), menjunjung tinggi supremasi hukum serta menghormati HAM. Berbasis penyidikan ilmiah serta mempererat interaksi dengan semua potensi masyarakat untuk menjalankan fungsifungsi dan peran kepolisian. Tantangan yang dihadapi POLRI ke depan telah mengambil langkah reformasi menuju lembaga kepolisian sipil, profesional, dan mandiri; dengan pembenahan berkelanjutan pada Reformasi Struktural, Reformasi Instrumental dan Reformasi Kultural: 1. Reformasi Struktural berwujud antara lain, paradigma baru pada pola organisasi POLRI sebagai postur kekuatan POLRI yang mengandalkan Polsek dan Polres sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat. Didukung oleh peran strategik Pelaksana Pusat Operasional serta satuan induk berseragam dan satuan induk tidak berseragam dari Mabes POLRI, bagi Polda sebagai Satuan Induk Penuh. 2. Reformasi Instrumental, berupa perubahan sistem piranti lunak, penggunaan komputer, serta fungsional dalam organisasi POLRI sebagai pedoman operasionalisasi fungsi, antara lain pada pembenahan manajemen keuangan dan budged, dengan sistem penganggaran berbasis kinerja, sehingga pelayanan Polisi pada masyarakat diharapkan makin efektif 3. Reformasi kultural telah meletakkan landasan dalam bentuk pembenahan manajemen sumber daya manusia dengan berorientasi strategi untuk mewujudkan Polisi berwibawa dan kinerja yang 61
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
profesional; memperjelas manajemen SDM yang sehat dengan guidelines mulai dari sistem rekrutmen, sistem pendidikan dan seleksi, sistem penilaian kinerja, sistem jalur karier, sampai pada sistem remunerasi personel berseragam dan tidak berseragam. Dibacakan Wakapolda Jateng Brigjen Pol Drs. Nono Priyono, amanat tertulis KAPOLRI pada Upacara Hari Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia yang Ke 62 pada tanggal 17 Agustus 2007 di halaman Mapolda Jawa Tengah, POLRI sebagai Insan Bhayangkara yang berbudi pekerti luhur, pengabdiannya kepada bangsa dan negara senantiasa selalu berpedoman Tri Brata, sedangkan Catur Prasetya sebagai sumpah atau janji ”menyanggupi” untuk menjalankan fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, menyanggupi : 1. Menyanggupi setia 2. Menyangupi menghargai 3. Menyanggupi menghormati 4. Meyanggupi menghargai 5. Menyanggupi dan rela 6. Menyanggupi mengamankan 7. Menyanggupi menjaga Bhineka Tunggal Ika106 E. Upaya-upaya dan Langkah-langkah POLRI selaku Penanggung Jawab Keamanan dan Ketertiban untuk Mencapai Tujuan 1. Memiliki rencana strategi dan operasionalisasi membangun kepercayaan terpadu yang mencakup: Menanamkan Kepercayaan (Trust Building) dengan 106Sutanto,
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Amanat Upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang Ke 62 tanggal 17 Agustus 2007, Jakarta, 2007, dengan mengobarkan semangat cinta tanah air, setia kepada negara dan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 62
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
khalayak publik; Memperluas Kemitraan (Partnership dan Net Working) secara bertahap dengan masyarakat; Meningkatkan Kesempurnaan (Strive for Excellence) dalam setiap kegiatan Polisi, dan menghindarkan kompromi atau sub-optimalisasi kinerja. 2. Membangun kapasitas (Capacity Building) POLRI sebagai daya dukung yang handal pada setiap pelayanan para anggota Polisi, mulai dari nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan, kesejahteraan SDM, teknologi kepolisian; dengan prioritas penyempurnaan efektifitas postur POLRI. 3. Membangun kekuatan kepemimpinan yang responsif dan adaptif dari Pati, Pamen, Pama sampai Bintara sesuai dengan peningkatan kualitas standar operasi yang ditetapkan Mabes POLRI dan berdasarkan kebutuhan di kewilayahannya.107 Walaupun kekuasaan pemimpin tradisional yang berdasarkan sifat-sifat kekeramatan itu perlu dijaga kemantapannya secara kontinyu dengan berbagai upacara-upacara intensifikasi dan pada upacaraupacara kenegaraan seperti benda-benda lambang kewibawaan dan wewenang raja atau pemimpin, serta pusaka-pusaka kerajaan yang keramat mendapat fungsi yang penting.108 Koentjaraningrat, Kepemimpinan Dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Formal Dan Informal, Penerbit Senyata Sumanasa Wira Sespim POLRI, Beberapa Profesor Berbicara Tentang POLRI Jilid 2 Disitir DPM. Sitompul, Bandung 1994, hal :21; Suatu pranata kepemimpinan yang penting bagi anggota kepolisian Republik Indonesia masa kini untuk dipelajari, diteliti, dan diketahui, adalah pranata kepemimpinn dan yang erat sangkut pautnya dengan masalah itu adalah konsep kekuasaan atau kewenangan. 108 DPM. Sitompul, mensitir Koentjoroningrat, Kepemimpinan dan Kekuasaan : Tradisional, Masa Kini, Formal dan Informal, Penerbit Senyata Sumanasa Wira Sespim POLRI, Beberapa Profesor Berbicara Tentang POLRI Jilid 2, Bandung, 1994, hal : 28; menurut Max Weber (1947/: Bab III, IV dijelaskan : Sifat-sifat keramat seorang raja atau pemimpin tadi dalam analisa Max Weber tentang kekuasaan atau kewenangan yang paling penting pada tokoh-tokoh pemimpin tradisional, tetapi juga pada sistem kepemimpinan masa kini seringkali masih belum hilang fungsinya. 107
63
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
4. Membangun Polisi yang dipercaya masyarakat : a. Mengetengahkan POLRI sebagai institusi sipil, yang memiliki jajaran Polisi yang memperlihatkan keteladanan warga negara, berintegritas, profesional, akrab, dan tegas namun patuh hukum dalam menegakkan hukum. b. Mengembangkan sistem komunikasi semua jajaran kerja POLRI, dengan didukung ilmu teknologi komunikasi; mulai dari kecepatan respon, komunikasi persuasif, sampai pada pengendalian peristiwa kejahatan, diimbangi dengan pelayanan perlindungan dan pengayoman. c. Penanggulangan berbagai kejahatan dengan strategi terpadu dengan berbasis sistem intelijen terkini. d. Mempersempit ruang gerak kejahatan trans nasional dan kejahatan terorganisir. e. Memfokuskan efektifitas penanggulangan kejahatan berat yang paling menyentuh kepentingan masyarakat, minimal perampokan di tempat umum/pemukiman, pencurian kendaraan dan NAPZA. f. Mendekatkan pelayanan POLRI kepada masyarakat sebagai nilai utama. g. Memberikan respon cepat berstandar (10 menit sampai di TKP) terhadap setiap panggilan bantuan dari masyarakat. h. Meningkatkan profesional POLRI dengan didukung teknologi kepolisian dan teknologi informasi yang terpadu, untuk sinergi operasi serta memudahkan akses publik atas transparansi, manajemen penegakan hukum, pengawasan dan pengembangan sarana prasarana (e-government). i. Pengembangan sarana dan prasarana yang memadai rata-rata pertahun 20% secara akumulatif dari Jumlah Polres dan Polsek termasuk biaya pemeliharaannya pada tiap Polda. 64
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
F. Peran dan Fungsi Kepolisian dalam Upaya Membangun Masyarakat Jawa Tengah yang Patuh Hukum 1. Membangun Kemitraan (Community Policing) a. Kemitraan dalam meningkatkan peran pengamanan swakarsa antara lain : Polsus (Polisi Khusus), Polisi Internal, Polisi Masyarakat, dan kelompok masyarakat yang patuh hukum. b. Kemitraan dengan kelompok keamanan komunitas, keamanan umum masyarakat dan keamanan insani setiap individu. c. Tercipta lingkungan kerja dengan adanya bantuan fungsional Kepolisian masyarakat dan lingkungan kerja, yang pada akhirnya terbentuk lingkungan makro dengan luas wilayah, jumlah penduduk, terbangunnya pranata hukum dan pranata sosial. d. Terbangunnya sinergi dengan potensi masyarakat bersama terbentuk lingkungan makro Law Abiding Citizen di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat. e. Membentuk jaringan intelijen keamanan nasional dari adanya akar gangguan keamanan dan ketertiban umum sehingga dapat mengatasi setiap gangguan nyata. Penyelenggaraan keamanan ini sejalan dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan ”Pengemban fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh ; a. kepolisian khusus ;b. Penyidik pegawai negeri sipil ; dan/atau c. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Ayat (2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, c, melaksanakan peraturan
65
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing109. Contoh ”kepolisian khusus” yaitu Balai Obat dan Makanan (Ditjen POM, Depkes, Polsus Kehutanan, Polsus di lingkungan Imigrasi dan lain-lain).110 Rencana Strategis Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Renstra Polda Jateng) merupakan rumusan strategis Polda Jateng dalam penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh POLRI selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Renstra Polda Jateng yang disusun adalah rencana lima tahunan yang memuat visi, misi, tujuan, arah kebijakan, strategi dan program Polda Jateng. Berdasarkan analisis kuantitatif, komposisi anggota POLRI dan PNS POLRI belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pelayanan masyarakat secara memuaskan, karena di samping jumlahnya belum sebanding dengan Daftar Susunan Personil (DSP) yang ditentukan, juga karena kekurangan terbanyak terjadi pada organisasi tingkat kewilayahan sebagai ujung tombak POLRI. Demikian juga pemberdayaan PNS POLRI sebagai komplemen belum diaktualisasikan secara optimal, sehingga masih ada fungsi yang seharusnya dapat diawaki oleh PNS POLRI namun masih diawaki oleh anggota POLRI.
109Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2 mengenai Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 110Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168, penjelasan pasal 3 Undang-undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 66
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
2. Membangun Masyarakat Patuh Hukum a. Kerjasama dengan institusi penegak hukum dan departemen yang membawahi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Pemda serta kelompok masyarakat peduli hukum dan keadilan. b. Merumuskan pedoman pemahaman masyarakat patuh atau tertib hukum : hak dan kewajiban dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. c. Mensosialisasikan semangat patuh hukum pada masyarakat, melalui keteladanan. d. Terwujudnya Penegakan Keadilan Masyarakat (Restorative Community Justice), terutama memiliki strategi pencegahan tindak kriminal, penerapan yang konsisten pada prosedur penanganan pelaku konflik politik sesuai hukum dan hak asasi manusia, serta memberdayakan pranata masyarakat. e. Terwujudnya 7 (tujuh) dimensi pelayanan masyarakat yang mencakup : (1) berkomunikasi berbasis kepedulian, (2) cepat tanggap terhadap keluhan masyarakat, (3) kemudahan memberikan informasi (4) prosedur yang efisien dan efektif, (5) biaya yang formal dan wajar, (6) kemudahan penyesuaian urusan, (7) lingkungan fisik tempat kerja yang kondusif. Hubungan dan kerja sama dalam negeri POLRI sesuai dengan kedudukannya selaku alat negara penegak hukum, melaksanakan hubungan-hubungan baik horizontal maupun vertikal dan diagonal dengan berbagai badan/instansi/lembaga, mengedepankan pendekatan persuasif dan dialogis, persuasif penuh kearifan dan kedekatan dengan masyarakat untuk lebih banyak menciptakan inisiatif-inisiatif program pemeliharaan keamanan, ketertiban umum, serta pelayanan perpolisian yang dapat menarik partisipasi masyarakat dari berbagai kalangan.111 111Sukamto,
Kepala Devisi Pembinaan Hukum POLRI, Jakarta, 2002 : 45. 67
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
3. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat a. Memulihkan keamanan di daerah konflik dan kondisi ketertiban yang terganggu. b. Memelihara keamanan untuk daerah tertib sipil. c. Membangun kemampuan untuk mengatasi konflik politik sampai ke akar-akarnya. d. Desentralisasi kewenangan dan pemberdayaan satuan induk penuh (Polda), kesatuan operasi dasar (KOD/Polres) dan pengemban diskresi kepolisian di ujung tombak (Polsek).112 G. Pemikiran Seputar Peran Instrumen Internasional
Kepolisian
sebagai
Untuk menghindari penggunaan doktrin the strong hand of society yang berlebihan sehingga menyebabkan polisi bertindak brutal dan kasar, maka PBB dalam berbagai konggresnya kemudian mengeluarkan berbagai pernyataan dan rekomendasi mengenai prevention of crime and the treatment of offenders. Konggres itu antara lain mengutuk extralegal executions dan berulangkali menghimbau agar langkah-langkah yang diambil oleh polisi dalam penegakan hukum, baik berupa kebijakan kriminal, rencana pencegahan kejahatan dan administrasi peradilan pidana, hendaklah selalu menghindari terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan-tindakan penyiksaan serta tindakan-tindakan kejam lainnya. Upaya penegakan hukum lebih menitikberatkan pada upaya pencegahan dan pre-emptif, melalui membangun berbagai aspek pemulihan keadilan masyarakat. Pasal 2 Deklarasi yang dicetuskan pada tahun 1985 di New York tentang prevention of crime and the 112Sutanto,
Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/20/IX/2005, Mabes POLRI, Jakarta,
2005 :42. 68
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
treatment of offenders itu antara lain menegaskan, bahwa “suatu tindakan penyiksaan atau tindakan kejam lain merupakan perlakuan yang tidak manusiawi atau perlakuan yang menurunkan martabat atau perlakuan yang amat kasar merupakan suatu kejahatan terhadap martabat manusia dan dinyatakan sebagai pengingkaran terhadap hak asasi manusia dan hak-hak dasar manusia.”113 Sesungguhnya sebelum Konggres PBB 1985 di New York, telah berlangsung Konggres PBB ke-5 tahun 1975 dengan mengambil tema yang sama, yakni mengenai prevention of crime and the treatment of offenders, tapi secara khusus membicarakan masalah The emerging roles of the Police and other law enforcement agencies. Laporan dari Konggres tersebut menegaskan, bahwa: it was recognized that the police were a component of the larger system of criminal justice which operated against criminality.114 Tema yang sama kemudian diangkat kembali pada Konggres PBB ke-6 pada tahun 1980 dan menghasilkan mengenai perlunya Code of Conduct for Law Enforcement officials. Resolusi tersebut diajukan dengan mengingat antara lain “kesadaran bahwa aparat penegak hukum mempunyai peranan yang menonjol dalam menjunjung tinggi supremasi hukum dan melakukan perlindungan hak-hak asasi manusia.” 115 Khusus yang berkaitan dengan tugas dan wewenang polisi, Resolusi 113“Any
act toture or other cruel, inhuman, or degrading treatment or punishment is an offence to human dignity and shall be condemned as danial of the purposes of the Charter the United Nations and as a Violation of the human right and fundamentalis freedoms rights” (Pasal 2 Deklarasi PBB tahun 1985 di New York tentang prevention of crime and the treatment of offenders). 114Barda Nawawi Arief, Kepolisian dalam Perspektif Kebijakan Kriminal dan Sistem Peradilan Pidana, dalam Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, halaman 42. 115Barda Nawawi Arief. Tugas Yuridis POLRI dalam Berbagai Aspek Penegakan Hukum, Materi Simposium Nasional Polisi Indonesia, di Grahadhika Bhakti Praja, Semarang, 19-20 Juli 1993, halaman 10. 69
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
PBB itu pun diajukan dengan mengingat kembali Code of Conduct for Law Enforcement Officials yang telah diterima oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi No. 34/169 tanggal 17 Desember 1979. Selain itu mengingat pula kesimpulan-kesimpulan dan rekomendasi dari Symposium on the Role of the Police in the Protection of Human Rights yang diadakan di Hague, Den Haag pada tanggal 14-25 April 1980. Selanjutnya, dalam Konggres ke-7 tahun 1985 dan Konggres tahun 1990, masalah pedoman sikap dan perilaku aparat penegak hukum ini pun masih dijadikan salah satu topik dalam agenda Konggres.116 Perhatian dunia internasional terhadap hal itu terus berlanjut dengan membentuk Comision on Crime Prevention and Criminal Justice yang beranggotakan 40 negara dan untuk pertama kali bersidang di Wina pada tanggal 21-30 April 1992. Pada sidang tersebut Komisi itu berhasil mencetuskan berbagai ruang lingkup kerja sama internasional di dalam bidang peradilan pidana, dan salah satunya mengenai Victims of Crime. 117 Demikian pula dalam Konggres ke-9 di Cairo tanggal 28 April s/d 8 Mei 1995 juga telah menjadikan masalah Criminal Justice and Police System sebagai topik pembahasan dalam Konggres tersebut.118 Perhatian yang serius dari dunia Internasional yang demikian besar terhadap proses peradilan pidana dan para penyelenggaranya termasuk polisi sebagaimana diungkapkan di atas, secara tidak langsung menggambarkan bahwa administrasi peradilan pidana serta perilaku para penyelenggaranya belum menunjukkan hasil positif maksimal seperti yang 116Barda
Nawawi Arief. Loc Cit., 1993, halaman 10. 117 Muladi, Kerja sama Internasional dalam Bidang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana, Makalah Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, diselenggarakan oleh FH UNDIP di Semarang, 1993, halaman 14. 118United Nations. “Report: Ninth United Nations Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders 1995”, Dokumen Cairo, 1995. 70
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
diharapkan. Bahkan, sebaliknya penyelenggaraan peradilan pidana secara potensial menampakkan aspekaspek yang bersifat kriminogen. Mengenai hal ini Steven Box dalam tulisannya berjudul Power, Crime and Mystication mengidentifikasi bermacam-macam bentuk kebrutalan (kejahatan) polisi dalam proses penyelesaian perkara pidana sebagai berikut: (1) membunuh atau menyiksa tersangka, (2) mengancam, menahan, mengintimidasi dan membuat “catatan hitam” bagi orangorang yang tidak bersalah, dan (3) melakukan korupsi, antara lain dengan cara menerima suap supaya tidak melakukan atau menjalankan hukum, dan memalsukan data atau fakta atau keterangan dan menghentikan pengusutan perkara pidana, baik secara langsung atau tidak langsung guna mendapatkan sesuatu 119 keuntungan. Perilaku polisi yang mengarah kepada perbuatan jahat dalam menjalankan tugasnya itu setidak-tidaknya merupakan tindakan pengebirian etika profesi jabatan. Menurut Abdul Wahid, tindakan yang demikian itu sebagai akibat dari kondisi psikologis atau kepribadian yang sedang dikolonisasi oleh ideologi Machiavelis yang dipopulerkan melalui prinsip “serba menghalalkan segala cara”. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa kebenaran yang berada di depan mata dan sebagai manifestasi kewajiban untuk ditegakkan, direkayasa dan dianggap sebagai penghalang cita-cita. Sementara itu, kenaifan, kebejatan, dan kejahatan dianggap sebagai terobosan logis untuk memperkaya diri, membangun kejayaan, atau menarik kedudukan yang terhormat di mata publik.120
119Stevan
Box. “Police Crime” dalam Power, Crime and Mystification. London & New York: Tavistok Publications, 1983, halaman 81-82. 120 Abdul Wahid. Modus-Modus Kejahatan Modern. Bandung: PT. Tarsito, 1993, halaman 34. 71
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
H. Landasan Hukum Internasional Perserikatan BangsaBangsa Kehidupan hukum di Indonesia menelusuri suatu Ratifisir terhadap Convention Argents Torture and Other Cruel, Inhuman, Degrading, Treatment, and Punishment yang disetujui Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1984 di mana Indonesia pun sebagai penandatangannya pada tanggal 23 Oktober 1985.121 Negara Indonesia sebagai negara hukum mulai merumuskan hak asasi manusia dalam konsideran, pasal umum dan penjelasan umum undang-undang, terutama mengenai ketentuan sebagai aparat hukum yang sekaligus menjunjung tinggi supremasi hukum dan hakhak asasi rakyat serta martabat manusia, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UndangUndang No. 8 tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain.122 Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, sebagai negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia Internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang kolonial123. Norma-norma yang mengandung nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi martabat manusia dan menjamin hak asasi manusia terhimpun dalam ikatan perkumpulan masyarakat bangsa-bangsa di dunia tercermin pada The 121 Indrianto
Seno Adji, Penyiksaan dan HAM Dalam Perspektif KUHAP, PT Deltacitra Grafindo, Jakarta, 1998 : vi. 122Bambang Poernomo, Pola Dasar Azas Teori Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993 : 107. 123A. P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, CV. Mandor Maju, 1998 : 292 72
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Universal Declaration of Human Rights 1948 dan Deklarasi The International of Human Rights 1968. Dari uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa POLRI mempunyai “landasan hukum di depan” dalam tugas-tugas kamtibmas di dalam negeri maupun tugas antarnegara (Internasional). 1. Konvensi Internasional tentang "prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh para pejabat penegak hukum". (disahkan di Kuba 7 September 1990). 2. Ketentuan khusus prinsip 9 : Dalam setiap hal, penggunaan senjata api yang mematikan secara sengaja hanya boleh dilakukan apabila keadaan sama sekali tidak dapat dihindarkan untuk melindungi jiwa. 3. Konvensi Internasional tentang "Kode etik untuk para pejabat penegak hukum" (disahkan oleh Majelis Umum PBB 34/169 tanggal 17 Desember 1979). Pasal 3 : Para pejabat penegak hukum dapat menggunakan kekerasan hanya apabila sangat perlu dan sebatas dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas mereka. 4. Konvensi Wina tahun 1961 : Negara penerima (RI) mempunyai kewajiban khusus untuk melindungi gedung misi diplomatik terhadap penerobosan atau pengrusakan. Dalam konvensi tersebut POLRI mempunyai wewenang untuk mewujudkan Kamtibmas di gedung kedutaan negara asing. 5. Konvensi Tokyo tahun 1963. Penyidik POLRI berwenang melakukan penyidikan tentang kejahatankejahatan di bidang pesawat udara. Pasal 16 ayat 2 Konvensi Tokyo tahun 1963 proses pelaksanaan ekstradisi terhadap pelaku kejahatan diatur oleh negara-negara yang bersangkutan. Dalam hal ini Penyidik POLRI berwenang menyidik apabila ada ekstradisi antara RI dengan negara yang bersangkutan. 73
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
6. Lampiran 1 Bab VI Piagam Perserikatan BangsaBangsa Untuk memperteguh kepercayaan pada hak-hak asasi manusia, pada harkat dan derajat diri manusia, pada persamaan hak, baik bagi pria maupun wanita dan bagi segala bangsa besar dan kecil dan demi menegakkan keadaan, di mana keadilan dan penghargaan terhadap kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian dan lain-lain. Sumber hukum internasional dapat dipelihara dan demi meningkatkan kemajuan sosial dan memperbaiki tingkat kehidupan dalam alam kebebasan yang lebih luas, untuk tujuan melaksanakan toleransi dan hidup bersama satu sama lain dalam suasana perdamaian sebagai tetangga yang baik. Pasal 33 Lampiran 1 Bab VI Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1. Pihak-pihak yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang jika berlangsung terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan cara perundingan, penyelidikan dengan mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau persetujuan setempat atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri. 2. Dewan Keamanan, bila dianggap perlu akan meminta kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara demikian.124 Hak asasi manusia paling tepat bila dipahami sebagai penunjuk kewajiban bagi pemerintah maupun individu. Menurut Deklarasi Universal, kewajibankewajiban ini menyangga hak asasi manusia di pelbagai bidang, termasuk perlindungan hukum, keamanan serta Hadi Setia Tunggal, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Hak-hak Manusia, Harvindo, Jakarta, 2000 : 113 dan 124. 124
74
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
otonomi pribadi, partisipasi politik, persamaan, dan kesejahteraan. Daftar panjang hak asasi manusia di dalam Deklarasi Universal barangkali perlu diperpendek agar lebih sesuai dengan gagasan menarik bahwa hak asasi manusia adalah standar-standar minimal. Namun pandangan bahwa semua hak asasi manusia yang asli adalah yang negatif harus ditampik lantaran pembedahan drastis yang diusulkan bakal menyingkirkan banyak hak yang penting. Hak asasi manusia yang penuh memang akan memberikan pedoman langsung bagi para pemilik dan penanggungjawabnya, meski pedoman ini mungkin diutarakan secara abstrak. Namun, hak-hak serupa itu tidak menyediakan pedoman lengkap seperti rincian implementasi, tanggapan yang tepat bagi ketidakpatuhan, serta strategi untuk mengembangkan kepatuhan. Jadi suatu daftar hak tidak dapat bertindak sebagai alternatif bagi pemikiran dan pertimbangan politik.125 Sifat universal Kepolisian, terlihat dengan adanya badan kerja sama Kepolisian Internasional (Interpol), juga diterbitkannya berbagai konvensi Perserikatan BangsaBangsa (PBB) yang harus diikuti oleh berbagai Kepolisian negara-negara anggota PBB, misalnya tentang kode etik para penegak hukum (code of conduct for law enforcement officials) sesuai dengan international convention civil and political rights pasal 2, termasuk penggunaan senjata api pada pasal 6, 11 (+), 22, 24 dan 25 (reformasi menuju POLRI yang profesional) terhadap Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006. Model kerja yang didasarkan kepada profesionalisme dikenal sebagai model perpolisian reaktif (reactive policing) yang di negara barat dikenal sebagai model 911 unit + polisi/patroli diposisikan agar dapat 125James
W. Nickel, Hak Azasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996 :
86-87. 75
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
beraksi secara cepat dan keberhasilannya diukur dengan kecepatan waktu tanggapan POLRI (police) rapid response trime. Dalam model ini polisi hanya bergerak jika ada masyarakat yang membutuhkan. Semakin cepat polisi ke tempat kejadian perkara (TKP) semakin terbuka peluang untuk menolong korban dan menangkap pelakunya. Dalam perkembangan menghadapi kejahatan terorganisasi, ternyata polisi tidak cukup dengan bersikap proaktif dengan melibatkan operasi intelijen, akan tetapi harus didukung ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh sarana prasana yang modern dan sumber daya manusia yang profesional.126 Sering soal keamanan dalam negeri ini dijalinkan dengan pertentangan-pertentangan dan perbedaan-perbedaan faham di antara partai-partai politik di negeri kita. Oleh sebab itu akan sangat berfaedah apabila soal keamanan dalam negeri memerlukan pemikiran yang matang dan sungguh-sungguh dan dipelajari lebih dalam, terhadap sumber-sumber konflik yang menyebabkan benturan-benturan kepentingan, pertentangan-pertentangan dan perbedaan-perbedaan visi dan misi, faham partai-partai politik127. Pemilihan umum akan membawa stabilitas yang lebih besar dalam bidang politik, sehingga terbentuk pemerintahan yang efisien, efektif, aman, bebas dari segala macam kecurangan dan mampu untuk membawa kemajuan, keadilan, ketentraman dan kemakmuran rakyat serta menjunjung tinggi demokratisasi. Sedangkan Kepolisian Negara Republik Indonesia melaksanakan pengamanan langsung agar penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, bisa dilaksanakan lebih berkualitas agar dapat lebih menjamin derajat kompetisi 126Rusman
Hadi, Reformasi Menuju POLRI Yang Profesional, Jakarta, 1999 : 10-
11. 127 TB.
Simatupang, Soal-Soal Politik Militer di Indonesia, Penerbit Limited Gaya Raya, Jakarta 1956 : 31-52. 76
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan mempunyai mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan perubahannya128. I. Penyelesaian Konflik Kasus Pidana dengan Cara Perdamaian di Luar Pengadilan Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktik sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution; melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum 129 . Melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa; musyawarah adat dsb.). Praktik penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun 128 Markas
Besar POLRI, Tanya Jawab tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, Diterbitkan atas kerja sama dengan Uni Eropa dan Kemitraan, Jakarta, 2004 :1-3. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan suatu rangkaian dengan Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu Presiden secara langsung oleh rakyat akan memberikan legitimasi yang kuat kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan Negara. 129Menurut Barda Nawai Arief : yang disajikan sebagai pengantar Dialog Interaktif Mediasi Perbankan, di Bank Indonesia Semarang, 13 Desember 2006, Mediasi Penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut ”Der Außergerichtliche Tatausgleich” (disingkat ATA) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim-Offender Mediation” (VOM) atau Täter-Opfer-Ausgleich (TOA). 77
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Kondisi yang digambarkan di atas juga terjadi di banyak negara. Namun saat ini sudah terjadi perkembangan wacana, bahkan perkembangan/ pembaharuan hukum di berbagai negara yang memberi kemungkinan penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan melalui ”mediasi pidana” yang dikenal dengan berbagai istilah sebagaimana telah dikemukakan. Adapun latar belakang pemikirannya ada yang dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan ada yang dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar belakang ide-ide penal reform itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice. Strategi restorative justice (pemulihan keadilan) dapat meningkatkan trust karena menunjukkan bahwa POLRI bertindak sebagai fasilitator, bukan hanya ”penghukum” (penegak hukum) yang menjurus represif, melainkan POLRI mengutamakan ”perdamaian” (dalam penegakan keadilan masyarakat) bagi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban yang sebagian besar timbul dari konflik kepentingan, dan berperan menghasilkan winwin situation (LPEM-FEUI & MABES POLRI 1.2.2.1). Ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/alternative to custody) dsb. Latar belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara dalam penyederhanaan proses peradilan dsb.130
130Barda
Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Menyambut Dies Natalis Ke 50 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Disusun oleh Tim Penyusun Buku 50 Tahun, Penanggung Jawab Arief Hidayat, Semarang, 2007 : 12-14. 78
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Ide atau wacana dimasukkannya ADR dalam penyelesaian perkara pidana, antara lain terlihat dari perkembangan sebagai berikut. 1. Dalam dokumen penunjang Konggres PBB ke-9/1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya semua negara mempertimbangkan privatizing some law enforcement and justice functions dan alternative dispute resolution/ADR (berupa mediasi, konsiliasi, restitusi, dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana. Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sebagai berikut. The techniques of mediation, consiliation and arbitration, which have been developed in the civil law environment, may well be more widely applicable in criminal law. For example, it is possible that some of the serious problems that complex and lengthy cases involving fraud and white-collar crime pose for courts could by reduced, if not entirely eliminated, by applying principles developed in conciliation and arbitration hearings. In particular, if the accused is a corporation or business entity rather than an individual person, the fundamental aim of the court hearing must be not to impose punishment but to achieve an outcome that is in the interest of society as a whole and to reduce the probability of recidivism. 2. Dalam laporan Konggres PBB ke-9/1995 tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (dokumen A/CONF.169/16), antara lain dikemukakan: untuk mengatasi problem kelebihan muatan (penumpukan perkara) di pengadilan, para peserta konggres menekankan pada upaya pelepasan bersyarat, mediasi, restitusi, dan kompensasi, khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda (dalam laporan No.112); 79
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) mengemukakan “mediasi penal” (penal mediation) sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban. (dalam laporan No. 319); 3. Dalam Deklarasi Wina, Konggres PBB ke-10/2000 (dokumen A/CONF.187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan peradilan restoratif (restorative justice). 4. Dalam International Penal Reform Conference yang diselenggarakan di Royal Holloway College, University of London, pada tanggal 13-17 April 1999 dikemukakan, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights standards). Konferensi ini juga mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu mengembangkan/ membangun : a. Restorative justice b. Alternative dispute resolution c. Informal justice d. Alternatives to Custody e. Alternative ways of dealing with juveniles f. Dealing with Violent Crime g. Reducing the prison population h. The Proper Management of Prisons i. The role of civil society in penal reform 80
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
5. Pada 15 September 1999, Komisi Para Menteri Dewan Eropa (the Committee of Ministers of the Council of Europe) telah menerima Recommendation No. R (99) 19 tentang Mediation in Penal Matters. 6. Pada 15 Maret 2001, Uni Eropa juga mengikuti dengan membuat the EU Council Framework Decision tentang “kedudukan korban di dalam proses pidana” (the Standing of Victims in Criminal Proceedings) - EU (2001/220/JBZ) yang di dalamnya termasuk juga masalah mediasi. Pasal 1 (e) dari Framework Decision ini mendefinisikan mediation in criminal cases sebagai : the search prior to or during criminal proceedings, for a negotiated solution between the victim and the author of the offence, mediated by a competent person. Pasal 10-nya menyatakan, setiap negara anggota akan berusaha to promote mediation in criminal cases for offences which it considers appropriate for this sort of measure. Walaupun Pasal 10 ini terkesan hanya memberi dorongan (encouragement), namun menurut Annemieke 131 Wolthuis , berdasarkan penjelasan di dalam website Uni Eropa, negara anggota wajib mengubah UU dan hukum acara pidananya, antara lain mengenai the right to mediation132. 7. Pada tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB) telah menerima Resolusi 2002/12 mengenai Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters yang di dalamnya juga mencakup masalah mediasi.133 131Annemieke
Wolthuis, Will Mediation in Penal Matters be mandatory? The Impact of International Standards, fp.enter.net/restorativepractices/ MediationMandatory 132 Barda Nawawi Arief, Mediasi Pidana (Penal Mediation) Dalam Penyelesaian Sengketa Masalah Perbankan Beraspek Pidana Diluar Pengadilan, disajikan di Bank Indonesia, Semarang, 13 Desember 2006. 133Tercantum dalam dokumen E/2002/INF/2/Add.2, international-research-projectreport2 (sbr.: internet); lihat juga Annemieke, ibid. 81
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Resume : Masalah mediasi dalam perkara pidana, sudah masuk dalam agenda pembahasan di tingkat internasional, yaitu dalam Konggres PBB ke-9/1995 dan ke-10/2000 mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders dan dalam Konferensi Internasional Pembaharuan Hukum Pidana (International Penal Reform Conference) tahun 1999; Pertemuan-pertemuan internasional itu mendorong munculnya tiga dokumen internasional yang berkaitan dengan masalah peradilan restoratif dan mediasi dalam perkara pidana, yaitu : (1) the Recommendation of the Council of Europe 1999 No. R (99) 19 tentang Mediation in Penal Matters; (2) the EU Framework Decission 2001 tentang the Standing of Victims in Criminal Proceedings; dan (3) the UN Principles 2002 (draft Ecosoc) tentang Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters; Dari berbagai dokumen internasional itu, masalah penal mediation tidak muncul sebagai masalah yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan latar belakang ide penal reform, restorative justice, alternative to imprison-ment/custody, masalah “perlindungan korban” dan untuk mengatasi problem penumpukan perkara (the problems of court case overload). Catatan : Upaya untuk mengurangi beban pengadilan (penumpukan perkara), di beberapa negara lain juga ditempuh dengan dibuatnya ketentuan mengenai “penundaan penuntutan” (suspension of prosecution) atau “penghentian/penundaan bersyarat” (conditional dismissal/discontinuance of the proceedings) walaupun bukti-bukti sudah cukup, seperti diatur dalam Pasal 248 KUHAP (Hukum Acara 82
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Pidana) Jepang dan Pasal 27-29 KUHP (Hukum Pidana Materiel) Polandia 134. 8. Mediasi pidana yang diungkapkan di atas, bertolak dari ide dan prinsip kerja sebagai berikut.135 a. Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung): Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi. b. Berorientasi pada proses (Process Orientation – Prozessorientierung): Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhankebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dsb136. c. Proses informal (Informal Proceeding Informalität): Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat. 9. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation - Parteiautonomie/ Subjektivierung) Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri. 134Op.Cit. 135Stefanie
Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in VictimOffender Mediation - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www.iuscrim.mpg.de/forsch/krim/ traenkle_e.html. 136Op. Cit. 83
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
10. Model-model Mediasi Pidana : Dalam Explanatory memorandum dari Rekomendasi Dewan Eropa No. R (99) 19 tentang Mediation in Penal Matters, dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut. a. Model Informal Mediation Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau oleh Hakim. Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum. b. Model Traditional Village or Tribal Moots Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik politik di antara warganya137. Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan/pedalaman. Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas. Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan programprogram mediasi modern. Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum. c. Model Victim-Offender Mediation Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. 137Op.
Cit. 84
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan, atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak; ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat, bahkan untuk recidivist. d. Model Reparation Negotiation Programmes Model ini semata-mata untuk menaksir/menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan material. Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.138 e. Model Community Panels or Courts Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi. f. Model Family and Community Group Conferences, Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang melibatkan partisipasi masyarakat 138Op.
Cit. 85
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
dalam SPP (sistem peradilan pidana). Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) serta para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya. J. Kewenangan Diskresi Kepolisian dalam Upaya untuk Mewujudkan Perdamaian Konflik Politik Istilah Polisi sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno (ancient Greek) ”POLIS” yang mengandung makna yang sangat populis, dan digunakan untuk menggambarkan kelompok yang bertanggung jawab untuk memelihara kesehatan (health), keselamatan (safety), dan ketertiban (order) di dalam masyarakat. Kemudian orang-orang Romawi mendefinisikan kembali polisi sebagai kekuasaan yang berwenang dari mereka yang berkuasa.139 Berdasarkan ketentuan normatif yang mengatur dapat dikemukakan bahwa kewenangan yang dimiliki POLRI terlalu luas, untuk itu diperlukan persyaratanpersyaratan yang harus dimiliki oleh Polisi, terutama dalam menilai suatu perkara yang dihadapi. Sebagai contoh, sebelum melaksanakan penyidikan polisi melaksanakan penyelidikan terlebih dahulu, sesungguhnya penyelidikan itu merupakan filter/penyaringan terhadap peristiwa yang terjadi, apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Kewenangan yang dimiliki oleh Polisi tersebut tidak dapat diartikan bahwa Polisi boleh menggunakan hak atau wewenangnya didasarkan kriteria 139 Muladi,
(2006) Ibid hal 14; Polisi cenderung menjadi ketidak-puasan publik (public discontent); Dan seringkali menjadi ”korban” konfrontasi antara polisi dan warga negara, yang pada akhirnya polisi menjadi wakil/pengganti pertentangan antara pemerintah dan penentang pemerintah. 86
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
”mau atau tidak mau”, wewenang kepolisian atau police discretion lebih ditekankan karena ”kewajiban” 140 menggunakan wewenangnya . Diskresi berasal dari bahasa Inggris discretion yang menurut kamus umum yang disusun John M. Echols, dkk diartikan kebijaksanaan, keleluasaan. Menurut Alvina Treut Burrouw discretion adalah ability to choose wisely or to judge for oneself artinya “kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri. Sedangkan menurut Thomas J. Aaron, bahwa discretion is power authority conferred by law to action on the basic of judgement or conscience, and its use is more an idea of morals than law. Diartikan “diskresi suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinannya dan lebih menekankan pertimbangan moral dari pada 141 pertimbangan hukum” . Discretion dalam buku Black‟s Law Dictionary disebutkan bahwa : Discreation is a public official’s power or right to act in certain circumstances according to personal judgment and conscience – Also termed discretionary power.142 Dengan penjelasan tersebut di atas, bahwa diskresi itu dilakukan bukan lepas dari ketentuan hukum tetapi diskresi itu tetap dilakukan dalam kerangka hukum. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (kf. Pasal 18 ayat (1) UU Kepolisian). Sementara pada tujuan yang lebih jauh dari hukum pidana yaitu untuk menanggulangi 140Muladi,
Hak Asasi Manusia, Hakikat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, Cetakan pertama, 2003 :140141. 141 Thomas J. Aaron, The Control of Police Discretions, Springfild, Charles C. Thomas, 1960, hal IX. 142Brian A. Garner, Black’s Law Dictionary, Seven Edition, West Group, ST. Paul, Minn, 1999, hal 479. 87
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
kejahatan penggunaan hukum pidana bukan satusatunya. Sebagai dikatakan oleh Louis A. Radelet, bahwa : law is not an end in it self. Proferly understood, it is a meant to higher ends in human affair, much as goos order, justice …. . Pertimbangan yang menimbulkan tindakan yang diyakini itu jelas dipengaruhi oleh situasi senyatanya yang diharapkan secara konkret oleh Polisi di lapangan sebagaimana dikatakan oleh seseorang terhadap masalah yang dihadapi secara nyata. Berdasar atas keyakinan kebenaran dan pertimbangan-pertimbangan pribadinya yang terbaik pada saat itu. Dari sisi kebijakan hukum pidana yang oleh Hoefnagles tentang a) Crime Law Application atau Practical Criminologi (penerapan hukum pidana), b) Prevention Without Punishment (pencegahan tanpa pidana) dan c) influencing view of society on crime and punishmen mass media (mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media), sejalan dengan mediasi penal (penal mediation) yang sering disebut dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution dalam dokumen penunjang Konggres PBB ke-9/1985 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya semua negara mempertimbangkan privatizing some law enforcement and justice functions dan alternative dispute resolution (berupa mediasi, konsiliasi, restitusi, dan kompensasi) dalam peradilan pidana, diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum melalui mekanisme musyawarah/perdamaian (restorative jutice). Grand Strategi POLRI (2005-2025), Rekomendasi Jangka Pendek (2005-2010) untuk membangun wacana dan desain penerapan sistem pemulihan keadilan, bersama pakar hukum, sosiologi dan psikologi sosial. Mempersiapkan perangkat hukum baru sistem pemulihan 88
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
keadilan, untuk mengganti sistem peradilan kriminal, sebagai basis bagi operasi POLRI. Sosialisasi Restorative Justice ke semua personil POLRI, pembentukan tim-tim khusus sebagai agent of change untuk menyiapkan kesiapan baru, serta merumuskan dan mengimplementasi indikator kinerja yang berhubungan dengan penegakan keadilan masyarakat (Restorative Community Justice)143. Dalam Deklarasi Wina, Konggres PBB ke-10/2000 (dokumen A/CONF.187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan peradilan restoratif (restorative justice). Polisi di dalam melaksanakan tugasnya memiliki daya paksa, yang ada kaitannya dengan Diskresi Kepolisian, yaitu : 1. Tidak menggunakan daya paksa, namun dengan sikap dan tindakan lemah lembut (pengayom, pembimbing, pelayan). 2. Menggunakan daya paksa tanpa kekerasan (memanggil, memeriksa). 3. Menggunakan daya paksa dengan kekerasan (memerintah dan menggunakan senjata). Mengingat wewenang Kepolisian untuk melakukan Diskresi Kepolisian, maka di dalam ketentuan pasal 5 ayat 1a, angka 4 dan pasal 7 ayat (1) huruf j UndangUndang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), yoncto Pasal 16 ayat (1) huruf l UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dinyatakan bahwa; karena tugas dan kewajibannya Polisi berwenang ”mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab” dan Pasal 18 ayat (l) Yo Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 143Mabes
POLRI, Grand Strategi POLRI 2005-2025, Surat Keputusan Kapolri No. Pol.:Skep/360/VI/2005, tanggal 10 Juni 2005, LPEM-FEUI bersama-sama Mabes POLRI, Jakarta 2005: 2.1 89
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Yang dimaksud tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik/ penyidik untuk kepentingan penyelidikan/penyidikan: 1). Tidak bertentangan dengan aturan hukum. 2). Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan. 3). Tindakan itu harus patut dan masuk akal serta termasuk dalam lingkungan jabatannya. 4). Atas pertimbangan yang layak berdasar keadaan yang memaksa. 5). Menghormati hak asasi manusia. Selanjutnya berkoordinasi dengan Kejaksaan dalam hal perkara pidana, di mana pihak Polisi selalu mengadakan pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Kejaksaan sesuai dengan ketentuan pasal 109 KUHAP jo pasal 110 KUHAP, begitu perkara sudah mulai disidik untuk membuat berkas perkara, sampai dengan Polisi mengirimkan berkas perkara atau kemudian Polisi mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP 3)144. Dengan demikian Polisi berwenang untuk melakukan tindakan lain, sepanjang untuk kepentingan umum yang telah diatur sesuai dengan ketentuan angka 1 sampai dengan angka 5 tersebut di atas.145 Jika penyidik mengalami kesulitan untuk memenuhi petunjuk yang diberikan oleh Penuntut Umum dalam tenggang waktu 14 hari, maka penyidik harus segera 144 Pasal
107 ayat (2) KUHAP ; Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu (PPNS) dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, PPNS wajib melaporkan hal itu kepada Penyidik POLRI. 145 M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991 : 114-115. 90
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
memberitahukan kesulitan kepada Penuntut Umum dan penyelesaian selanjutnya diserahkan kepada konsensus pada forum Penyidik dan Penuntut Umum, seperti dalam hal saksi dan barang bukti yang sulit ditemukannya. Penyerahan tanggung jawab belum bisa dilakukan walaupun berkas perkara telah disampaikan kembali oleh penyidik kepada penuntut umum dengan dilengkapi hasil penyidikan tambahan selama belum ada jawaban/ pernyataan lengkapnya berkas perkara tersebut dari penuntut umum. Berkas perkara yang diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum, tetapi penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti belum dilaksanakan, maka berkas perkara tersebut tetap masih menjadi tanggung jawab penyidik, namun selanjutnya dapat diselesaikan melalui konsensus forum komunikasi penegak hukum setempat146. Dalam praktiknya, penyelesaian masing-masing kasus berbeda-beda, tetapi yang jelas petugas lebih bijak mempertahankan tujuan hukum daripada ketentuanketentuan formal. Karena hal tersebut merupakan pilihan, yang mana dipandang paling bermanfaat dan efektif untuk mencapai tujuan hukum. Bahkan tugas hukum dituntut tidak hanya semata-mata tentang kepastian hukum, tetapi manfaat efisiensi dan tujuan hukum itu sendiri harus dipikirkan.147
Hasil Mahkehjapol I/1984 dan Mahkehjapol II 1992 : 8 ; Tidak tertutup kemungkinan Penuntut Umum dapat mendakwakan pasal-pasal lainnya isamping pasal-pasal yang dipersangkakan oleh Penyidik. Meskipun demikian seyogyanya sudah sejak dini dilakukan konsultasi atau gelar perkara antara Penyidik dan Penuntut Umum, sehingga dengan demikian fungsi penyidikan dan penuntutan sesuai dengan yang diatur dalam KUHAP dapat diselenggarakan seirama dan sebaik-baiknya. 147Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986 : 106. 146
91
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
K. Strategi dan Peran POLRI dalam Penyelesaian Konflik Politik Menuju Penegakan Hukum yang Ideal Pada era globalisasi, aktivitas kehidupan manusia seakan tidak mengenal batas ruang dan waktu, dengan didukung oleh derasnya arus informasi dan pesatnya globalisasi perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Kondisi ini membuat kualitas dan kuantitas konflik politik dan kejahatan semakin meningkat dengan modus operandi yang lebih bervariasi dan canggih serta sulit pembuktiannya, mulai dari kejahatan yang bersifat konvensional, kejahatan terorganisir, kejahatan kerah putih, kejahatan amuk masa, sampai kejahatan lintas negara (kejahatan transnasional)148. Bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama tercapainya pembangunan nasional, juga dapat mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia. Bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui penyelenggaraan fungsi dan peran kepolisian agar kegiatan pembangunan nasional berjalan efektif, efisien, dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan Kepolisian Negara Repulik Indonesia 148 Sutanto,
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun 2006 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian dan Peraturan Kapolri No. Pol. 8 Tahun 2006 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian, Pengantar, Jakarta : 2006. 92
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
melalui Grand Strategi POLRI tahun 2005-2025, dalam rangka memantapkan kemandirian POLRI, dengan paradigma baru POLRI mencanangkan reformasi secara gradual yang meliputi reformasi instrumental, struktural, dan kultural untuk merespon kebutuhan publik, yang sedang berevolusi149. Pada hakikatnya organisasi POLRI adalah sebagai organisasi jasa/pelayanan dan sekaligus sebagai organisasi kekuasaan (power). Oleh karena itu dalam pelaksanaan tugasnya harus memenuhi standar hukum, profesional, proporsional dan objektif, dalam pelayanan terhadap masyarakat tidak memihak dan membedabedakan (diskriminatif). Sasaran reformasi organisasi POLRI untuk memberi pelayanan terbaik pada masyarakat dengan memperbesar unit garis terdepan dan memperkecil unit pusat yaitu Mabes POLRI (mengandung desentralisasi sesuai tuntutan otonomi daerah). Dalam rangka Grand Strategi POLRI 2005-2025, sasaran pengembangan diarahkan sesuai tahapan sebagai berikut. Tahap I : Trust Building (2005-2010); Membangun kepercayaan internal POLRI dalam grand strategi merupakan faktor penting karena merupakan awal dari perubahan menuju pemantapan kepercayaan (trust building internal) meliputi : kepemimpinan, sumber dana, sumber daya manusia, orang, yang efektif, pilot proyek yang konsisten di bidang hitech. Kemampuan hukum dan sarana prasarana mendukung Visi dan Misi POLRI. 149 Da’i
Bachtiar, Pengantar Grand Strategi POLRI 2005-2025, Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep:/360/VI/2005. Jakarta, 2005; Ditekankan Sutanto “kejahatan adalah produk masyarakat dan institusi polisi ada karena kebutuhan masyarakat”. Saat ini POLRI sedang mengembangkan Perpolisian Masyarakat dan berusaha mendekatkan diri pada masyarakat dan menggali segala potensi yang ada dimasyarakat (community policing), untuk mendeteksi dan mencegah sedini mungkin konflik politik yang ada dimasyarakat serta menyelesaikan kejahatan hingga ke akarakarnya dengan harapan kehidupan masyarakat yang “Tata Tentrem Kerta Raharja” dapat tercipta. 93
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Tahap II : Partnership Building (2011-2015); Membangun kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait dengan fungsi kepolisian dalam penegakan hukum, ketertiban serta pelayanan, perlindungan, pengayoman untuk menciptakan rasa aman. Tahap III : Strive for Excellence (2016-2025). Membangun kemampuan pelayanan publik yang unggul, mewujudkan good government, best practice POLRI, Profesionalisme sumber daya manusia, implementasi teknologi, infrastruktur material fasilitas jasa guna membangun kapasitas POLRI (capacity building) yang kredibel di mata masyarakat nasional, regional, dan internasional. Untuk menuju salah satu cita-cita POLRI sebagai penegak hukum yang ideal atau sosok Polisi yang utama adalah pembangunan profesionalisme. Dikatakan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 bahwa “pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional”. Profesionalisme kepolisian harus diartikan secara komprehensif, memiliki sistem teori yang menjadi sumber bagi keahliannya; menguasai teknik atau keterampilan dengan berbasis teknologi, disertai dengan kode etik profesi kepolisian dan memiliki konsep yang ideal (service quality) bagi kepentingan masyarakat, mempunyai standar kinerja yang jelas, wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional. Menurut Muladi, di dalam masyarakat demokratis posisi polisi cukup sulit, karena mandat harus bertanggung jawab dan sekaligus harus tanggap kemungkinannya akan berseberangan dalam situasi khusus. Dalam kondisi situasi waktu konflik terjadi ketegangan atau gangguan terhadap masyarakat, polisi cenderung menjadi fokus dari ketidakpuasan publik (public discontent). 94
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Polisi sering menjadi korban konfrontasi antara polisi dengan warga negara, yang akhirnya polisi sebagai pengganti/menjadi wakil pengganti pertentangan antara pemerintah dengan orang-orang yang menentang kebijakan pemerintah. Di satu sisi Polisi harus melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dan menjaga ketertiban umum, namun di sisi lain polisi harus menggunakan kekuasaannya, apabila perlu dapat menggunakan kekerasan sepanjang tidak mengandung penyalahgunaan kekuasaan (the misuse of power). Dengan demikian yang perlu diperhatikan adalah bahwa dua fungsi utama polisi (deviance control and civil order control) mensyaratkan perbedaan macam pelatihan yang harus dilakukan. Bahkan dalam pengendalian kejahatan atau perbuatan menyimpang, organisasi polisi harus merencanakan pembentukan perpolisian masyarakat (community policing) yang mandiri dan mampu mengambil keputusan tentang taktik kebutuhan masyarakat serta dalam penegakan hukum prioritas apa yang harus dikerjakan150. Proses reformasi POLRI telah menampakkan hasil pada aspek struktural dan instrumental yang memantapkan kedudukan dan susunan POLRI dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, serta semakin mengemukanya paradigma baru sebagai polisi yang berwatak sipil (Civilian Police), sementara itu pembenahan aspek kultural masih berproses, antara lain melalui : pembenahan kurikulum pendidikan, sosialisasi nilai-nilai Tribrata, Catur Prasetya, dan Kode Etik Profesi
150 Muladi,
disampaikan Dalam Pidato Dies Natalis Ke 60 PTIK, Wisuda 3 (tiga) Angkatan 42, 43, 44 berjumlah 474 orang, Pengaruh Demokrasi Terhadap Pengembangan Manajemen Penegakan Hukum Oleh POLRI, Jakarta, tanggal 17 Juni 2006. Menekankan Polisi harus bertanggung jawab (Responsible) dan sekaligus harus tanggap (responsive). Mereka harus mengabdi pada hukum namun saat yang bersamaan harus beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya. 95
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
untuk mewujudkan jati diri POLRI sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Sikap perilaku anggota POLRI belum sepenuhnya mencerminkan jati diri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Penampilan POLRI masih menyisakan sikap perilaku yang arogan, cenderung menggunakan kekerasan, diskriminatif, kurang responsif, dan belum profesional masih merupakan masalah yang harus dibenahi secara terus menerus. Menurut Sutanto, keberhasilan berbagai kebijakan dalam rangka membangun POLRI yang dipercaya oleh masyarakat, akan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh : 1. Komitmen yang tinggi dari setiap anggota POLRI, sehingga proses penyadaran setiap anggota POLRI akan tugas, fungsi, peranan dan wewenang merupakan kunci pokok utama yang harus dilakukan setiap atasan terhadap bawahannya. Proses internalisasi nilai-nilai Tribrata, Catur Prasetya, dan Etika Profesi Kepolisian harus berlangsung secara intens, agar mampu memotivasi dan mengendalikan sikap mental dan perilaku setiap anggota POLRI dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat dalam memelihara keamanan dan menegakkan hukum. 2. Political Will dari pemerintah dan dukungan dari parlemen (DPR-RI) baik dalam pemenuhan kebutuhan POLRI maupun dalam pengawasan, ”merupakan prasyarat utama”, agar program-program POLRI yang mendorong perubahan menuju POLRI yang profesional semakin mendekati kenyataan. 3. Partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan pemolisian di lingkungannya masing-masing, dan Sosial Control yang bertanggung jawab sebagai warga masyarakat yang patuh hukum (Law Abiding
96
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Citizen) merupakan mitra utama dalam mewujudkan keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat.151 L. Penegakan Hukum Pidana dalam Demokratisasi dan Hak Asasi Manusia Dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang Sistem Pemerintahan ditegaskan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaad), serta ”kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan serta tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang (cf ps 28 UUD‟45 dan Amandemennya). Hal ini berarti bahwa negara termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain – dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi hukum, dalam hal ini hukum dasar dan undang-undang sebagai rinciannya harus dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum. Ciri-ciri negara berdasarkan hukum dalam arti materiil adalah sebagai berikut. 1. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara ; 2. Diakuinya hak asasi manusia dan dituangkannya dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan; 3. Adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintahan (asas legalitas);
151 Sutanto,
Komisaris Jenderal Polisi, Membangun POLRI Untuk Menumbuhkembangkan Kepercayaan Masyarakat, Penyusun Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta, 4 Juli 2005; POLRI sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dalam membangun dirinya harus selalu selaras dengan agenda pembangunan nasional yang memuat Visi, Misi, Strategi Pokok Pembangunan, Kebijakan dan Sasaran serta Program dan Kegiatan. 97
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
4. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka serta tidak memihak; 5. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di muka hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Merumuskan proyeksi tantangan kinerja POLRI lima sampai sepuluh tahun ke depan tentu harus melihat secara jelas berbagai permasalahan penegakan hukum keamanan dan ketertiban saat ini. Di samping tidak dapat pula mengabaikan aspek elemen penentu kebijakan yang mendorong perubahan organisasi serta mandat kerja POLRI. Sedangkan berkembangnya berbagai bentuk pembangkangan sosial, dalam bentuk tindakan main hakim sendiri telah menimbulkan persoalan yang amat serius. Hal ini lahir dari berbagai bentuk ketidakpercayaan terhadap kerja sistem hukum, dan tentu POLRI di dalamya. Dari waktu ke waktu bentuk tindakan ini tidak saja semata-mata melakukan penyerangan terhadap pelaku kriminal, akan tetapi juga aparat kepolisian sendiri.152 Di sisi lain muncul pula model-model milisia/laskar/ satgas yang mengatasnamakan pengembalian kondisi keamanan, telah melakukan berbagai bentuk kekerasan. Dalam konteks ini, POLRI tampaknya cenderung membiarkan, bahkan di beberapa wilayah menginstrumentasikan kelompok tersebut. Konsepsi Kerja Polisi Dalam Hukum :Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 2 Tahun 2002 menyatakan : ”Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas....” Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas demi
152http://www.solusihukum.com/artikel/artikel_Munir.pdf.
98
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat serta tercapainya tujuan pembangunan nasional. Hal yang sangat erat kaitannya dengan yang termuat dalam pasal 3 dan pasal 13 Undang-Undang No : 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-undang ini adalah dasar atau paradigma fungsi dan peran POLRI yang ditentukan menjadi bagian tidak terpisah dari instrumen konsep pembangunan. Sebagai perangkat kebijakan negara serta melindungi segala lingkup proses yang menjamin agar tidak adanya gangguan terhadap prosesi kekuasaan. Dalam konteks ini jelas peran polisi yang dikehendaki oleh ketentuan hukum dan masyarakat ini akan banyak berhadapan dengan pelanggaran hak-hak warga negara ataupun hak asasi manusia. Sementara keputusan pemandirian kepolisian memang masih belum didukung oleh perangkat hukum yang cukup. Hal ini terlihat pada beberapa ketentuan yang masih menunjukkan langkah setengah hati baik pemerintah maupun MPR dan DPR dengan beberapa produknya. Perubahan di sektor hukum yang menentukan mandat kepolisian ini adalah agenda yang tidak mungkin ditunda dalam beberapa tahun ke depan. Perbaikan sektor hukum yang meletakkan fungsi dan tugas kepolisian secara jelas, akan sangat menentukan bagaimana POLRI menjadi elemen penting bagi keberhasilan tertib hukum. Memang ini bukan semata-mata kerja kepolisian, tetapi tanpa pemahaman yang cukup aparatur POLRI, maka kerja-kerja elemen lain juga akan terhambat. Perubahan itu dapat saja merujuk pada ketentuan universal. Dalam ketentuan Konvenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yo. Code of Conduct for law Enforcement Officials (kode etik para pejabat penegak hukum) meletakkan tugas berat perlindungan terhadap masyarakat diletakkan pada para petugas penegak hukum, utamanya polisi. Yaitu dengan menyatakan “Para 99
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
petugas penegak hukum harus senantiasa memenuhi tugas yang dibebankan kepada mereka oleh hukum, dengan melayani masyarakat dan dengan melindungi semua orang terhadap tindakan-tindakan yang tidak sah, sesuai dengan tingkat tanggung jawab tinggi yang diwajibkan oleh profesi mereka”. Serta “Para petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia dan mempertahankan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dari semua orang”. Kalimat pasal ini tidak saja bermaksud membatasi kerja Polisi, tetapi secara eksplisit menyatakan bahwa perlindungan HAM itu adalah wilayah tugas para petugas penegak hukum (Polisi). Melalui kebebasan yang bertanggung jawab, segenap warga negara memiliki hak untuk berkumpul dan berserikat guna mewujudkan cita-cita politiknya secara nyata, kesetaraan merupakan prinsip yang memungkinkan segenap warga negara berpikir dalam kerangka kesederajatan sekali pun kedudukan, fungsi, dan peran masing-masing berbeda. Kebersamaan merupakan wahana untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sehingga segala bentuk tantangan lebih mudah dihadapi. Partai politik dapat mengambil peran penting dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan, kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang padu.153 M.Pedoman Penegakan Hukum yang Ideal, Transparan, Akuntabel, dan Objektif Negara Indonesia adalah Negara Hukum (kf. ps 1 ayat (3) UUD ‟45) (Rechstard) yang salah satu di 153Partai
Politik, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002, dilengkapi UUD – Hasil Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (1999-2002), Penerbit CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2003 :27-28 Partai Politik sebagai peserta pemilihan umum mempunyai kesempatan memperjuangkan kepentinganrakyat secara luas, mengisi lembaga-lembaga negara, dan untuk membentuk pemerintahan. 100
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
antaranya menganut asas legalitas “(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perudang-undangan pidana yang telah ada; ayat (2) Bilamana ada perubahan dalam perundangundangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan (kf. Pasal 1 KUHP). Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum. 1. Pedoman dalam Penyidikan Tindak Pidana a. Pembuktian dengan Alat Bukti dan Barang Bukti 1). Pasal 183 KUHAP, Pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”154. Alat bukti dan barang bukti dalam penyelesaian tindak pidana, ada dua lembaga menurut Hukum Acara Pidana menjadi pegangan dalam penyelesaian proses peradilan tindak pidana mulai dari Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, dan Penyidangan Perkara Pidana harus disajikan berbarengan dalam pembuatan satu berkas perkara oleh penyidik. 2). Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti yang sah ialah : a). Keterangan saksi; b). Keterangan ahli; 154Penjelasan
pasal 183 KUHAP Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. 101
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
c). Surat; d). Petunjuk; e). Keterangan terdakwa. Pasal 184 ayat (2) KUHAP Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan lagi. 3). Barang Bukti Pasal 39 KUHAP. Ayat (1) yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a). Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b). Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c). Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; d). Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Ayat (2). Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1)155. b. Bukti formil dan bukti materiil Bab XV Penuntutan Pasal 143 KUHAP ayat : (1) Penuntut umum melimpahkan perkara kepengadilan negeri dengan permintaan agar 155B.Z.
Koemolontang, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003 : 29 - 31; Penuntut Umum dalam dakwaan harus memenuhi dua syarat: a). Formil dan b) Materiil, sedangkan antara alat bukti dan barang bukti harus maju bersama-sama saling terkait dan mendukung, sehingga ”barang bukti” dengan ”alat bukti”, atau antara ”alat bukti” dengan ”barang bukti” yang diajukan ke persidangan dapat menjadi kekuatan pembuktian dalam penyidangan perkara pidana). 102
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. (2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka; b. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. (3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum156. Bab III Tugas Wewenang Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah : 1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) Menegakkan hukum; 3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat157. Pasal 14 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud 156 Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 3209 Penjelasan Pasal 143 KUHAP yang dimaksud dengan ”surat pelimpahan perkara” adalah surat pelimpahan itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara. 157 Penjelasan pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 ”Rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan perioritas, ketiga-tiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas pokok mana yang akan dikedepankan sangat bergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan. Disamping itu, dalam pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. 103
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
dalam pasal 13, UU. Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangundangan; d. turut serta dalam membina hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan 158 perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan 158Penjelasan
Pasal 14 huruf g UU Kepolisian ; Ketentuan Hukum Acara Pidana memberikan peranan umum kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. 104
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 15 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; 105
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m.menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; 106
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. (3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan, serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; 107
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut. a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia. 2. Peraturan Perundang-undangan yang Mengikat Pejabat Kepolisian a. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; Kewajiban, Larangan, dan Sanksi:
108
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Pasal 3 Dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib : 1). Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; Negara, dan Pemerintah. 2). Mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan, serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan negara. 3). Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 4). Menyimpan rahasia negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya; 5). Hormat menghormati antarpemeluk agama; 6). Menjunjung tinggi hak asasi manusia; 7). Menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku umum; 8). Melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan negara/pemerintah; 9). Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat; 10). Berpakaian rapi dan pantas. b. Pasal 4 PP No. 2 Tahun 2003; Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib : 1) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat; 2) Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat; 109
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
3) Menaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku; 4) Melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab; 5) Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan Kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 6) Menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku; 7) Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya; 8) Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas; 9) Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya: 10)Mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja; 11)Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan karier; 12)Menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang; 13)Menaati ketentuan jam kerja; 14)Menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik-baiknya; 15)Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik. c. Pasal 5 PP Nomor 2 Tahun 2003 Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang: 1) Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia; 110
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
2) Melakukan kegiatan politik praktis;159 3) Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; 4) Bekerja sama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara; 5) Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi; 6) Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya; 7) Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan; 8) Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang; 3. Kebijakan Pimpinan POLRI dalam Penyidikan Tindak Pidana Pemilu a. Penegakan hukum dilaksanakan untuk dapat memberi efek jera bagi pelaku dan calon pelaku (masyarakat); b. Penyidikan kasus yang berkaitan dengan Pidana Pemilu di samping untuk membuktikan perbuatan pelaku, juga untuk semaksimal mungkin dapat Pasal 28 UU No 2 tahun 2002 Vide Pasal 10 TAP MPR RI NOMOR VII/MPR/2000 pasal 10 keikutsertaan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelenggaraan Negara ayat (1) ditegaskan ”Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan Politik dan Tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis; sejalan dengan penjelasan Pasal 28 ayat (1) yang dimaksud dengan ”bersikap netral” adalah bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. 159
111
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
mengendalikan ketertiban dan ketentraman masyarakat. c. Untuk memaksimalkan kerja sekaligus menghindari disharmoni dengan aparat instansi yang mempunyai kewenangan. d. Meningkatkan kemampuan penyidik dalam penanganan konflik antarpendukung partai politik peserta pemilu dan bekerja sama dengan lembaga lain serta melakukan kegiatan Penataran Work Shop, Rakernis, dan Coaching Clinic ke Satuan Bawahan e. Untuk menghindari bolak baliknya berkas perkara maka sejak awal penyidikan, dilakukan koordinasi/ komunikasi dengan Jaksa Penuntut Umum 4. Aplikasi a. Melakukan penyidikan Tindak Pidana Pemilu menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, penuh rasa keadilan dan sesuai dengan semangat supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia serta bebas dari interest tertentu (Proporsional dan Profesional) b. Penyidikan Tindak Pidana Pemilu dan Pilkada dilakukan secara berjenjang secara cepat dan tepat waktu. Oleh Direktorat Reserse Kriminal, untuk Polwil/Polwiltabes/Poltabes, dilaksanakan oleh Bagian/Sat Reskrim dan pada tingkat Polres/Ta oleh Sat Reskrim c. Penanganan Tindak Pidana Politik yang melibatkan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah/Ketua DPRD Kota/Kabupaten, Penyidikannya dilakukan oleh Polda atau Polwil sedangkan Penanganan yang melibatkan Gubernur/Wakil Gubernur/Ketua DPRD Provinsi, Penyidikannya dilakukan oleh Mabes POLRI/Polda. d. POLRI terus mengintensifkan penyidikan semua perkara Tindak Pidana Pemilu baik di tingkat 112
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
nasional maupun daerah, termasuk kasus-kasus yang menimbulkan dampak luas. Seperti pembakaran, pembunuhan, dan penganiayaan berat, pengrusakan dan lain sebagainya. e. Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Pemilu dilakukan secara tegas, proporsional sesuai ketentuan hukum yang berlaku. f. Peningkatan kerja sama dengan instansi terkait dalam penegakan hukum. g. Secara Internal POLRI terus berupaya : Meningkatkan perbaikan pada berbagai aspek dan menata kembali sistem pelayanan yang cepat, transparan akuntabel. Termasuk pembinaan mental, disiplin untuk mewujudkan budaya kerja yang bersih dari KKN. Mengembangkan sistem dan metode pembinaan operasional POLRI guna meningkatkan prestasi kerja penyidik dalam mengungkap sebab-sebab terjadinya konflik dan terjadinya Tindak Pidana Pemilu. Secara bertahap melengkapi sarana dan prasarana untuk mendukung penyelidikan dan penyidikan, serta timbulnya konflik politik. Meningkatkan pengawasan secara ketat, berjenjang, dan berlanjut terhadap pelaksanaan tugas dengan tindakan korektif dan tegas pada setiap penyimpangan. Melaksanakan akuntabilitas kinerja menerapkan reward and punishment secara konsisten. 5. Pedoman Kerja dengan Kode Etik Kepolisian Berdasarkan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian anggota POLRI sebagai warga negara 113
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan warga negara lainnya160. Tindakan setiap anggota POLRI di dalam rangka wewenang hukum dapat dibenarkan sedangkan tindakan yang di luar atau melampaui wewenang hukumnya, atau memang tidak mempunyai wewenang hukum untuk bertindak sewenang-wenang dan tidak wajar, harus dipandang sebagai tindakan perseorangan secara pribadi yang harus dipertanggung-jawabkan secara hukum sebagai berikut. a. Pertanggungjawaban secara hukum disiplin; b. Pertanggungjawaban secara hukum perdata; c. Pertanggungjawaban sebagai hukum tata usaha negara d. Pertanggungjawaban secara hukum pidana161. Menurut Hari Adiwijaya, Etika Profesi Kepolisian dirumuskan dalam kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya.162 Tugas dan wewenang POLRI, dalam pelaksanaan tugasnya dibatasi oleh : a. Peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi kepolisian Negara RI; b. Norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia; c. Mengutamakan tindakan pencegahan.163 160Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Dan Perubahannya, Amandemen I, II, III, IV Dilengkapi dengan 45 Butir Nilai Pancasila Piagam Jakarta Susunan Kabinet UUD 1945 dan Penjelasannya Susunan Ketatanegaraan Program Kerja Kabinet, Penerbit Penebar Ilmu, Jakarta, hal 25. 161 Sukamto, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Beserta Penjelasannya, Devisi Pembinaan Hukum POLRI, Jakarta, 2002: hal, 42-43. 162 Hari Adiwijaya, Makalah Profesionalisme dan Pengacara Sebagai Penegak Hukum Serta Kendala Yang Dihadapinya, Semarang, 8 September 2000 : 11. 163Ibid., Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1) dan (2). 114
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : 7 Tahun 2006 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian antara lain:164 Pasal 20 Pembinaan kemampuan profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri Pasal 21 Pembinaan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pembangunan pengetahuan, serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan dan pelatihan serta penugasan berjenjang dan berlanjut. Pasal 22 Guna menunjang pembinaan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 21 dilakukan pengkajian, penelitian, serta pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian. Pasal 23 1. Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2. Kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia juga menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya. 3. Kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Pasal 24 1. Pelanggaran terhadap kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Sutanto, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kapolri Nomor : 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian, Jakarta, 2006 :1. 164
115
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2. Susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 25 1. Setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pengemban fungsi kepolisian lainnya wajib menunjukkan tanda pengenal sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam mengemban fungsinya. 2. Bentuk, ukuran, pengeluaran, pemakaian, dan penggunaan tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.165 Bandingkan dengan Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia lama yang memuat kewajibankewajiban bagi setiap anggota POLRI, ditetapkan dan disahkan oleh Kapolri berdasarkan Keputusan Kapolri No. Pol. SKep/231/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985; memuat kewajiban-kewajiban bagi setiap anggota POLRI. Di dalam pedoman pengamalan "Bhakti Dharma Waspada" pedoman Pengamalannya seorang insan Polisi adalah Rastra Sewakottama Negara Janottama Janaanucasana Dharma yaitu sebagai berikut.166 a. Setiap anggota POLRI sebagai insan Rastra Sewakottama a.1.Mengabdi kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
165Sutanto,
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1 Juli
2006. 166 Ignatius
Ridwan Widyadarma, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, CV. Ananta, Semarang, 1994 : 154. 116
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
a.2.Berbakti demi keagungan nusa dan bangsa yang bersendikan Pancasila dan UUD 1945, sebagai kehormatan yang tertinggi. a.3.Membela tanah air, mengutamakan serta mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dengan tekad juang pantang menyerah. a.4.Menegakkan hukum dan menghormati kaidahkaidah yang hidup dalam masyarakat secara adil dan bijaksana. a.5.Melindungi, mengayomi, serta membimbing masyarakat sebagai wujud panggilan tugas pengabdian yang luhur. b. Setiap anggota POLRI Insan Negara Janottama berkewajiban : b.1. Berdharma untuk menjamin ketentraman umum bersama-sama masyarakat membina ketertiban dan keamanan demi terwujudnya kegairahan kerja dan kesejahteraan lahir serta batin. b.2. Menampilkan dirinya sebagai warga negara yang berwibawa dan dicintai oleh sesama warga negara. b.3. Bersikap disiplin, percaya diri, tanggung jawab, penuh keikhlasan dalam tugas, kesungguhan, serta selalu menyadari bahwa dirinya adalah masyarakat di tengah-tengah masyarakat. b.4. Selalu peka dan tanggap dalam tugas, mengembangkan kemampuan dirinya, menilai tinggi mutu kerja penuh kearifan dan efisiensi, serta menempatkan kepentingan tugas secara wajar di atas kepentingan pribadinya. b.5. Memupuk rasa persatuan dan kebersamaan serta kesetiakawanan dalam lingkungan tugasnya maupun lingkungan masyarakat. 117
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
b.6. Menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan tercela serta mempelopori setiap tindakan mengatasi kesulitan-kesulitan masyarakat sekelilingnya. c. Setiap anggota POLRI insan Janna Anucasanadharma berkewajiban : c.1. Selalu waspada, siap sedia dan sanggup menghadapi setiap kemungkinan dalam tugasnya. c.2. Mampu mengendalikan diri dari perbuatanperbuatan penyalahgunaan wewenang. c.3. Tidak mengenal berhenti memberantas kejahatan dan mendahulukan cara-cara pencegahan dari pada penindakan secara hukum. c.4. Memelihara dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam usaha memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. c.5. Bersama-sama komponen kekuatan pertahanan keamanan lainnya dan peran serta masyarakat, memelihara dan meningkatkan kemanunggalan ABRI-Rakyat. c.6. Meletakkan setiap langkah tugas sebagai bagian dari pencapaian tujuan Pembangunan Nasional sesuai Amanat Penderitaan Rakyat. Memperhatikan Kode Etik Kepolisian, yaitu Bhakti Dharma, Waspada dilanjutkan dengan pedoman pengamalannya "Rastra Sewakottama Negara Janottama Janaanucasana Dharma" dapatlah dipahami bahwa kode etik ini bertujuan meningkatkan kualitas dalam arti kemampuan profesional para anggotanya.167 N. Landasan Yuridis dan Penjabaran Peran Kepolisian di Indonesia Pada prinsipnya, lembaga kepolisian di Indonesia tidak hanya berperan sebagai bagian dari penegakan hukum yang terpola dalam sistem peradilan pidana (SPP), melainkan lebih jauh dari itu berperan juga 167UU
No. 8 tahun 1981 (KUHAP), KUHAP, Djambatan, Jakarta, 1986 : 8-9. 118
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
sebagai lembaga penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. 168 Karakteristik peran yang dimainkan oleh lembaga kepolisian itu ternyata jauh lebih luas dalam melakukan kontrol sosial bagi masyarakat, baik yang bersifat pre-emptif, preventif, maupun represif. 169 Ketika lembaga kepolisian menjadi bagian dari sistem peradilan pidana, maka tindakannya pun harus dapat dikembalikan ke dalam konteks sistem besar tersebut. Apa yang dapat dilakukan dan seberapa jauh aparat kepolisian dapat bertindak selalu ditentukan oleh tempatnya di dalam sistem tersebut. Singkat kata, aparat kepolisian harus bertanggung-jawab terhadap proses bekerjanya hukum melalui sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Luasnya peran lembaga kepolisian yang demikian itu sesung-guhnya mau memadukan konsep authoritative intervention dan konsep symbolic justice. Konsep authoritative intervention menggambarkan “usaha setiap saat dari polisi sebagai suatu aktivitas rutin untuk memperbaiki ketertiban, menjaga keamanan, dan sebagainya dalam masyarakat”. Kecenderungan melihat peran ini sebagai sesuatu yang rutin dilaksanakan menyebabkan polisi dalam menggunakan kewenangannya kurang memikirkan kondisi-kondisi yang berada di belakang peristiwa tersebut. Sedangkan, konsep symbolic justice menggambarkan “peran polisi secara demonstratif menunjukkan kepada pelaku tindak pidana 168Menurut
Paul M. Whisenand & James L. Cline sebagaimana dikutip oleh Erlyn Indarti, polisi bekerja dalam tiga kategori fungsional peran, yakni: (1) penegakan hukum (pemberantasan kejahatan); (2) pemeliharaan ketertiban (penjaga ketenangan); dan (3) pelayanan masyarakat (bantuan masyarakat) [Erlyn Indarti, Diskresi Polisi. Semarang: Lembaga Penerbit Universitas Diponegoro, 2000, halaman 46]. 169Dalam tradisi Perancis, peran lembaga kepolisian yang demikian itu kurang lebih sama dengan “la police administration” (Satjipto Rahardjo, Op Cit; 2002, halaman 26). 119
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
(baik aktual maupun potensial) dan publik pada umumnya tentang adanya tatanan hukum yang harus dihormati”.170 Penggambaran tentang konsep symbolic justice ini dapat dilihat dari aktivitas faktual polisi seperti menangkap, menahan, menyidik, dan memproses pelaku pidana/ konflik kekerasan menurut prosedur hukum yang berlaku. Apabila konsep symbolic justice yang lebih menekankan “timbulnya efek penanggulangan konflik politik melalui sistem peradilan pidana” ini diterapkan secara kaku, maka akan kurang menyentuh kebijakan kriminal dalam arti luas yang sistemik, baik yang bersifat pre-emptif, preventif, maupun represif. Hal ini perlu dipikirkan, karena secara konseptual masyarakat menuntut lebih besar dari peran polisi yang demikian itu. Dalam hal pencegahan kejahatan misalnya, masyarakat secara konseptual menginginkan kebijakan yang komprehensif baik dalam bentuk “pencegahan primer” yang diarahkan kepada masyarakat umum, “pencegahan sekunder” yang targetnya ditujukan kepada para pelaku potensial, dan “pencegahan tersier” yang diarahkan kepada mereka yang telah terlanjur melakukan tindak pidana. Pelbagai usaha di atas sering membawa konsekuensi yang hampir tak terhindarkan, yakni munculnya tindakan-tindakan polisi yang rawan terhadap pelanggaran hak asasi manausia (HAM), dan bahkan dapat dikatakan bahwa polisi merupakan potential offender (pelanggar yang potensial) terhadap HAM. Ini sebagai akibat dari posisinya sebagai penyidik yang menghadapi secara langsung konflik politik di lapangan, baik secara faktual maupun secara yuridis.171 Menyadari akan hal ini maka Muladi berpendapat bahwa kredo yang sebaiknya dikembangkan adalah “menjadikan polisi bukan sebagai pelanggar HAM, tetapi 170Muladi,
Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: The Habibie Center, 2002, halaman 274. 171Muladi, Ibid, 2002, halaman 274-275. 120
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
berada di garis terdepan dalam memperjuangkan HAM”. Kredo ini merupakan kunci yang sangat menentukan efektivitas lembaga kepolisian, yang dampak positifnya akan segera dapat diukur dan dirasakan, seperti meningkatnya kepercayaan dan sikap kooperatif masyarakat, dalam penyelesaian konflik secara damai, dan proses yuridis ke pengadilan dapat berhasil dengan baik. Dengan demikian, citra positif dari polisi pun akan melekat di benak masyarakat, seperti polisi sebagai pengaman dan penertib yang bijaksana, sebagai penegak hukum yang jujur dan adil, sebagai tokoh panutan dalam menjunjung tinggi supremasi hukum, dan sebagai aparat yang proaktif dalam menghadapi persoalan di masyarakat.172 Uraian terdahulu sekaligus mengisyaratkan bahwa peran utama yang dimainkan oleh lembaga kepolisian di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yakni: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum, dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Secara yuridis, peran lembaga kepolisian itu diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 173 172 Muladi,
Ibid, 2002, halaman 276. Menurut Achmad Ali, citra polisi di mata masyarakat, sebenarnya juga tidak terlepas dari persepsi keliru warga masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan polisi. Ketika polisi melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya menghadapi penjahat misalnya, masyarakat dan pers terlalu cepat mempersalahkan mereka, tanpa memahami bagaimana karakteristik pekerjaan polisi yang sebenarnya (Achmad Ali, “Polisi dan Efektivitas Hukum dalam Penanggulangan Kriminalitas” dalam Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Jakarta: PT.Yasrif Watampone, 1998, halaman 221). 173 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ini dibuat untuk menggantikan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997, yang pada waktu itu substansinya masih menggambarkan POLRI berada di bawah lembaga ABRI. Dengan kata lain Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 dibuat untuk menjawab perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang sudah mulai memisahkan POLRI dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) dari peran dan fungsinya masing-masing (Baca misalnya konsideran Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, khususnya point c dan d). 121
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Pada dasarnya tugas dan wewenang POLRI sebagaimana ditetapkan secara yuridis dalam UndangUndang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002 itu bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah pernah diatur dalam produk hukum sebelumnya yang sudah tidak berlaku lagi, terutama Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 (kf. Pasal 13, 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997). Tugas POLRI yang ditetapkan dalam UndangUndang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai berikut. 1. Tugas POLRI sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat antara lain (kf. Pasal 14 ayat 1 huruf a, b dan c Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002): a. Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan. c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. 2. Tugas POLRI sebagai penegak hukum antara lain (kf. Pasal 14 ayat 1 huruf d, e, f, g, dan h Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002): a. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional. b. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. c. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pengawai negeri sipil dan bentuk-bentuk keamanan swakarsa. 122
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
d. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. e. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian. 3. Tugas POLRI sebagai pengayom dan pelayan masyarakat antara lain (kf. Pasal 14 ayat 1 huruf I, j dan k Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002): a. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. b. Melayani kepentingan masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang. c. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian. Untuk dapat melaksanakan tugas sebagaimana diuraikan di atas (baik sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, maupun pengayom dan pelayan masyarakat), POLRI diberi wewenang sebagai berikut (kf. Pasal 15 Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002): 1. Menerima laporan dan/atau pengaduan. 2. Membantu menyelesaikan perselisihan masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum.
123
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakitpenyakit masyarakat.174 4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. 5. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian. 6. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan. 7. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian. 8. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya, serta memotret seseorang. 9. Mencari keterangan dan barang bukti. 10. Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional. 11. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat. 12. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat. 13. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Secara khusus untuk menjalankan tugas dalam bidang proses pidana atau proses penegakan hukum, POLRI diberi wewenang sebagai berikut (kf. Pasal 16 UndangUndang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002):175 1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; Yang dimaksud dengan “penyakit masyarakat” antara lain pengemisan, pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar (kf. Lihat penjelasan Pasal 15 Ayat 1 huruf c Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002). 175 Kewenangan POLRI dalam proses hukum atau proses penegakan hukum tersebut diatur dan dijabarkan secara lebih komprehensif dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terutama dalam Pasal 5 Ayat (1). 174
124
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; 3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; 4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan, serta memeriksa tanda pengenal diri; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 8. Mengadakan penghentian penyidikan; 9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; 10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; 11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pengawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan 12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab176 Sedangkan untuk dapat melaksanakan tugas-tugas lain menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, POLRI diberi wewenang sebagai berikut (kf. Pasal 14 ayat 1 huruf l yo Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002): 176 Tindakan-tindakan
lain yang dapat dilaksanakan oleh POLRI yang berkaitan dengan tindakan penyelidikan dan penyidikan, dipersyaratkan untuk: (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, (b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan, (c) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, (d) pertimbangan kelayakan berdasarkan keadaan yang memaksa, dan (e) menghormati hak asasi manusia [kf. Pasal 16 ayat 2 Undangundang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002]. 125
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
1. Memberi izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya. 2. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor. 3. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor. 4. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik.177 5. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam. 6. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan. 7. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian. 8. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional. 9. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait. 10. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional. 11. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Sekalipun sudah ada arahan yuridis yang mengatur secara tegas tentang peran-peran yang harus dimainkan oleh kepolisian, namun tidak tertutup kemungkinan bagi mereka untuk bertindak di luar arahan yuridis tersebut. Bahkan, Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Kegiatan politik yang memerlukan pemberitahuan kepada POLRI adalah kegiatan politik sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di bidang politik, antara lain kegiatan kampanye pemilihan umum (Pemilu), pawai politik, penyebaran pamflet, dan penampilan gambar/lukisan bermuatan politik yang disebarkan kepada umum [kf. Penjelasan Pasal 15 Ayat 2 huruf d Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002]. 177
126
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
justeru memberikan peluang bagi aparat kepolisian untuk bertindak seperti itu. Penegasan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Kepolisian sebagai berikut. “Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.178 “Namun, peluang seperti itu hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia” (kf. Pasal 18 Ayat 2 Undang-Undang Kepolisian). Penegasan yang demikian itu hendak mengisyaratkan bahwa secara yuridis polisi diperbolehkan untuk melakukan diskresi. Diskresi di sini dimaknakan sebagai “kemerdekaan dan/atau kewenangan dalam membuat keputusan untuk mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan”. 179 Secara lebih spesifik, Thomas J. Aaron diulas Erlyn Indarti “diskresi kepolisian” sebagai “suatu wewenang bertindak yang diberikan kepada polisi untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan sendiri dalam situasi tertentu mengenai masalah moral, serta terletak dalam garis batas antara hukum dan moral”.180 Sebagian pengamat kepolisian berkeyakinan bahwa sebenarnya diskresi terjadi pada ketiga peran yang 178Yang
dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian dengan mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum [kf. Penjelasan Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Kepolisian]. 179 Untuk memahami lebih jauh pengertian diskresi, baca misalnya ulasan Erlyn Indarti, Op Cit., 2000, halaman 11-17. 180Pendapat Thomas J. Aaron tersebut sebagaimana dielaborasi oleh Erlyn Indarti, Ibid, 2000, halaman 15. 127
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
dimainkan oleh kepolisian, baik dalam pemeliharaan ketertiban dan keamanan, penegakan hukum maupun dalam tugas pengayoman, perlindungan dan pelayanan masyarakat. Tidak bisa diingkari bahwa penggunaan kekuasaan secara diskresi seperti itu memiliki kecenderungan yang sangat kuat dan peka dari penilaian-penilaian dan prasangka-prasangka yang negatif terhadap kepolisian. Oleh karena diskresi yang dilakukan oleh polisi itu lebih mengandalkan pertimbangan moral dan keputusan pribadi, maka tak mustahil akan muncul pertanyaan tentang apakah diskresi yang diambil itu tergolong “sah” atau legitimate, ataukah tergolong diskresi yang “tidak adil” dan “diskriminatif”.181 O. Status dan Peran Kepolisian dalam SPP (Criminal Justice System) Ketika menjalankan perannya sebagai symbolic justice atau ketika mengemban paradigma the strong hand of society sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, maka sejak saat itu pula polisi berada dalam lingkaran sistem peradilan pidana (SPP). 182 Dalam konteks yang demikian itu, status dan eksistensi kepolisian sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana. Proses peradilan pidana itu menempatkan polisi sebagai sub-sistem yang menempati urutan pertama dalam berupaya untuk mewujudkan tujuan dari sistem peradilan pidana tersebut. Bagan berikut ini hendak
181Erlyn
Indarti, Ibid, 2000, halaman 61. 182 Sistem peradilan pidana (SPP) merupakan terjemahan dari istilah criminal justice system yang dilontarkan oleh Herbert L Packer di dalam bukunya yang berjudul The Limits of the Criminal Sanction. Stamford California: Stamford University Press, 1968. 128
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
menunjukkan posisi dari polisi dalam proses peradilan pidana tersebut:183 Bagan 2.1. POSISI POLISI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Polisi
t1
Jaksa
t2
Pengadilan
t3
Pemasyarakatan
Tujuan SPP
t4
Peran yang dimainkan oleh polisi sebagai “penjaga gerbang sistem peradilan pidana” adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara pidana. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan mediasi pidana bertolak dari ide dan prinsip kerja sebagai berikut.184 1. Penanganan konflik (Conflict Handling/Konfliktbearbeitung) : Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itu yang dituju oleh proses mediasi. 2. Berorientasi pada proses (Process Orientation – Prozessorientierung) : Herbert L. Packer. The Limits of the Criminal Saction dalam Mardjono Reksodiputro dan Sri Budiarti, Himpunan Bahan Bacaan Wajib II Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana pada Program Magister Ilmu Hukum. Jakarta: PDH UI, 1983. 184 Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum; Menyambut Dies Natalis Ke 50 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. 183
129
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya. 3. Proses informal (Informal Proceeding– Informalitat) : Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat. 4. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation – Parteiautonomie/ Subjektivierung) Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri. Sedangkan, “penyidikan” adalah tindakan yang dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti, dan dengan bukti-bukti itu membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.185 Bagan di atas memperlihatkan kerangka hubungan semua sub-sistem peradilan pidana (baik polisi, jaksa, pengadilan, maupun lembaga pemasyarakatan) dalam berusaha mewujudkan tujuan yang ingin dicapai dalam proses hukum itu. Sekalipun semua sub-sistem itu bekerja untuk mewujudkan suatu tujuan bersama, namun di setiap jenjang masing-masing sub-sistem memiliki tujuan sendiri-sendiri (t1, t2, t3, dan t4). Sebagai “penjaga gerbang sistem peradilan pidana”, maka peran polisilah yang sangat menentukan keberlangsungan proses itu. Sebuah tindak pidana bisa diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku sangat tergantung dari aktivitas 185Kf.
Pasal 1 butir 2 dan butir 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP. 130
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
polisi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan pemberkasan perkara untuk diajukan ke jenjang berikutnya yakni kejaksaan. Kalau kita melihat dalam proses, maka secara sistematis akan dimulai dari polisi yang merupakan penjaga yang paling depan dalam SPP dan merupakan "mesin", formal. Sebagai penjaga, polisi berwenang untuk menafsirkan suatu perbuatan sebagai kejahatan atau bukan. Dari banyak studi polisi dalam hal diskresi yang berkaitan dengan peradilan (judicial descretion) lebih besar yang dilakukan oleh polisi dari pada oleh hakim. Berdasarkan studi dari Chicago, dari 500 keadaan yang dimungkinkan untuk ditahan, polisi hanya menahan 100, dari 100 kasus akhirnya yang diajukan ke Pengadilan tinggal 40. Jadi dalam hal ini bukan hanya sekadar sebagai pintu gerbang tetapi juga mempunyai kekuasaan yang sangat besar, salah satunya penahanan sebagai senjata ampuhnya.186 M. Faal mengatakan; tidak jarang terjadi dalam suatu struktur masyarakat adat, POLRI terpaksa berpaling dari hukum tertulis yang diembannya karena pemaksaan hukum akan menimbulkan gejolak-gejolak dalam lingkungan masyarakat tersebut. Hal ini merupakan risiko dari tugas melindungi dan mengayomi masyarakat. Sedangkan Letkol Pol Maliki Badrus, bekas Kapolres Muba, Kayu Asin Musi di Sekayu Palembang yang saat itu menjabat di Direktorat Reserse Mabes POLRI bagian Perencanaan, menyatakan bahwa selama menjabat sering menangani kasus-kasus pidana dan penyelesaiannya secara kompromi, perdamaian, melalui hukum adat setempat. Tindakan ini diambil setelah selaku penyidik melakukan tindakan-tindakan penyidikan dan diproses sebagaimana seharusnya. Apabila 186I.S.
Susanto, Lembaga dan Pranata Hukum Dalam SPP, Semarang, 1995 : 18-
19. 131
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
dipertimbangkan dengan seksama ternyata cara-cara tersebut di atas lebih efektif, lebih bermanfaat ditinjau dari segi kepentingan masyarakat, maka penyelesaian perkara konflik politik tersebut cukup diselesaikan dengan cara perdamaian sedangkan polisi sebagai mediator. 1. Langkah-langkah dan Upaya Kepolisian dalam Menyelesaikan Konflik Telah Sejalan dengan Tujuan Hukum Langkah-langkah yang diambil oleh polisi pertimbangannya antara lain : a. Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibanding hukum positif yang berlaku. b. Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh pihak antara pelaku korban dan masyarakat. c. Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak yang bermanfaat daripada semata-mata menggunakan hukum positif yang ada. d. Atas kehendak mereka sendiri. e. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Lain hal dengan Mayor Pol. Drs. Primanto; walaupun tugas Reserse bersifat represif, namun sebagai polisi unsur preventif/bimmas selalu melekat pada tugas-tugas represif tersebut. Letkol Pol. Drs. Hendro Soemardiko, yang menjabat Wakil Kepala Sub Direktorat Reserse Umum Mabes POLRI, tahun 1988, membenarkan bahwa tidak semua perkara yang masuk di Mabes POLRI dilanjutkan ke dalam proses peradilan atau dilimpahkan ke Kejaksaan. Perkara-perkara yang tidak dilanjutkan itu karena dicabut, tidak cukup bukti berdasar asas-asas hukum yang berlaku, demi keadilan, perlindungan, atau karena demi kamtibmas. Menurut hukum positif perkara-perkara yang bisa dicabut adalah perkara-perkara aduan (klacht delict), tetapi dalam praktik, umumnya perkara-perkara seperti 132
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
penipuan, penggelapan, serta perkara-perkara lain pun bisa diadakan pencabutan. Seperti diketahui bahwa tidak semua peristiwa pidana yang terjadi oleh polisi diteruskan kepada Kejaksaan, karena tugas-tugas polisi dapat bersifat represif yustisial maupun represif non yustisial, di mana terakhir ini didasarkan atas asas kewajiban/lichtmatigeid. Dengan demikian sejak awal sudah ada penyaringan data, dan hal tersebut terjadi pada masing-masing instansi sesuai kewenangannya.187 Terlihat bulan Januari sampai dengan Desember 1987, giat Opdin LP. yang masuk di Sub Dit Serse Um Mabes POLRI, bahwa dari 201 perkara yang masuk (LP) yang ternyata tindak pidana adalah 91 perkara dan 18 di antaranya dicabut. Tabel 2.1. PENYELESAIAN PERKARA MABES POLRI TAHUN 1988 Dihentikan DilimpahTak Bukan kan ke TersaKejadi Sat Idik L.p Lidik Sidik Cukup Tindak Ne Bis Dica Polda/ ngka an Bukti Pidana in Idem but Polwil Mati Biasa Jit Koor 18
-
3
8
5
1
-
-
-
1
Harda
98
-
68
12
-
10
-
-
1
7
V.C.
18
-
4
11
-
3
-
-
-
-
Khusus 67
18
16
8
3
10
-
-
-
10
Jumlah 201
18
91
39
8
24
-
-
1
18
Sumber data : Subdit Serse Um, Mabes POLRI Keterangan : Jit Koor = Jiwa, tubuh dan kehormatan orang Harda = Harta benda V.C. = Vice Control Khusus = Yang tidak termasuk jit koor, Harda dan V.C. seperti Kasus Narkotik, judi dan sebagainya 187M.
Sanoesi, Kepala Kepolisian RI, Sambutan Pada Seminar Kriminologi V, di Semarang, 11 November 1986 : 9. 133
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Menurut Jerome H. Skolnick 188 , selaku penegak hukum polisi bisa mencerminkan dirinya sebagai bapak, sebagai teman, sebagai pengabdi, sebagai moralis sebagai jagoan, bahkan dapat bertindak sebagai penembak jitu. Dengan demikian sikap dan tindakannya akan menampilkan segi-segi positif terutama kemanfaatan bagi yang berhubungan langsung dengannya. Seolah-olah hati nurani polisi di sini dinilainya halus bagai sutera. Tetapi pada saat menghadapi penjahat, sikap dan tindakan polisi itu seolah-olah dapat berubah menjadi keras, pada saat ia menghadapi ancaman yang sangat membahayakan jiwa, badan, harta, dan kehormatan diri, warga negara, orang lain, atau masyarakat yang harus dilindungi, diayomi, dan dilayani, sehingga masyarakat merasa tentram dan damai dijauhkan dari kekhawatiran dan gangguan keamanan. 2. Praktik Penegakan Hukum oleh Kepolisian Amerika Serikat Praktik kepolisian yang demikian ini sebenarnya bukan saja dilakukan oleh POLRI, tetapi dalam kenyataannya praktik-praktik penegakan hukum oleh kepolisian di negara lain di antaranya Amerika Serikat, berdasarkan hasil penelitian di Chicago AS tahun 1990 terdapat sekitar dua puluh jenis perkara pidana yang tidak diproses selanjutnya walaupun semua perkara itu merupakan tindak pidana yang tidak dapat dicabut. Kedua puluh jenis tindak pidana yang tidak ditegakkan itu di antaranya seperti contoh sebagai berikut. a. Perkara pidana percobaan pembunuhan b. Umur 19 tahun menembak seorang perempuan yang sedang berdiri di dekat pintu rumahnya, tetapi tidak 188M.
Faal, 1991, ibid hal 76. 134
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
mengenai sasaran. Polisi menangkapnya dan seorang tetangga dijadikan saksi. Polisi akhirnya melepaskan tersangka tersebut karena si calon korban (perempuan) itu menghendaki untuk tidak memprosesnya. Biasanya Polisi Chicago tidak memproses suatu perkara bila para pihak menghendaki demikian. c. Seorang petugas polisi pernah melepaskan perampok bersenjata karena si korban minta untuk dilepaskan. d. Seorang petugas yang menangkap pencuri di toko, polisi kemudian melepaskan karena pemilik toko minta dengan sangat pencuri itu dilepaskan saja. e. Seorang petugas polisi biasanya mendenda seorang remaja pembuat keributan atau melakukan pencurian ringan tetapi polisi bisa melepaskannya bila si pemilik barang merelakannya. f. Seorang polisi yang mendapatkan remaja minumminum alkohol di kafe, biasanya polisi pun tidak menghendaki kalau ia ditahan. Walaupun perbuatan itu suatu tindak pidana. g. Merokok di tangga berjalan atau di lift adalah tindak pidana. Tetapi polisi yang bertugas tidak pernah menegakkan ketentuan hukum itu. h. Pelanggan-pelanggan pelacuran adalah suatu kejahatan begitu pula wanita yang mondar-mandir dengan maksud melacurkan diri juga dilarang. i. Naik sepeda di trotoar (untuk pejalan kaki) merupakan suatu tindak pidana dan pelanggaran hukum lalu lintas, polisi jarang menegakkan hukum itu kecuali kalau ada hal-hal yang khusus. j. Minum-minum alkohol ditaman merupakan suatu tindak pidana, tetapi polisi tidak menindak bagi mereka yang minum-minum di taman dengan keluarga yang sedang berpiknik. Asal tidak mengganggu atau membuat gaduh di tempat itu. k. Berjudi itu dilarang menurut ketentuan hukum. Tetapi petugas baru bertindak bila ada pengaduan, sedang petugas yang lain tidak mau melakukannya. 135
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Tidak ada seorangpun ditindak oleh polisi tanpa ada yang mengadu, kecuali suatu kasus yang jarang terjadi dan luar biasa akibatnya atau besar pengaruhnya pada masyarakat. l. Beberapa petugas mengatakan bahwa mereka tidak pernah menindak usaha (percobaan) penyuapan, karena mereka percaya bahwa penindak (penghukuman) itu sesuatu yang sangat tidak mungkin/mustahil, karena kalau dilakukan, hukum itu berkesan sesuatu yang keras. Sebenarnya tindakan polisi yang demikianlah, praktis dikehendaki oleh masyarakat. m.Contoh-contoh tidak selalu menindak larangan parkir adalah yang umum. n. Hampir semua pengendara mobil/motor mengetahui bahwa polisi sering berlaku sopan terhadap mereka yang melanggar ketentuan-ketentuan lalu lintas (sering memaafkan). o. Polisi Chicago tidak menindak pelanggar-pelanggar penyeberangan jalan, asal tidak menimbulkan kecelakaan. Larangan ketentuan ini seolah-olah hanya ada di dalam peraturan (Kitab Undang-Undang). p. Meludah di trotoar adalah suatu larangan, didenda dari 1 sampai dengan 5 dollar AS. Tetapi banyak petugas tidak menegakkan ketentuan hukum itu. q. Petugas yang mendapatkan dua sejoli yang bersetubuh di taman, tidak menindak, walaupun ada larangan zina di tempat itu. r. Sembilan dari sepuluh polisi yang ditanya menolak untuk menindak mereka yang menggunakan obat terlarang di tempat umum, walaupun pemilikan benda itu dalam jumlah yang kecil pun adalah suatu kejahatan (crime). s. Banyak petugas yang banyak menahan diri terhadap ketentuan-ketentuan larangan jam malam. Ada petugas-petugas yang menegakkan secara keras, ada 136
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
yang agak lunak dan ada pula yang sangat bebas (liberal). t. Penjualan barang-barang yang tidak ada labelnya adalah pelanggaran (crime), tetapi petugas sering tidak menindak bila jumlahnya tidak besar. u. Pencuri yang ternyata adalah seorang informan untuk penjualan-penjualan narkotika akan dilepas oleh polisi, walaupun tidak ada Undang-Undang Narkotika yang mengatur demikian.189 Contoh di atas adalah perbuatan-perbuatan pidana yang menurut hasil penelitian sering dikesampingkan oleh Polisi Chicago. Mungkin perkara-perkara itu dianggap ringan, masyarakat atau pihak-pihak tidak langsung dirugikan atau karena banyak perkara yang lebih berat untuk diprioritaskan penanganannya. Gambaran tersebut di atas juga dapat menggambarkan bagaimana pelaksanaan penegakan hukum di Amerika pada umumnya, yaitu antara janji hukum yang tertulis dengan kenyataan hukum di lapangan. Bukti sejarah pemimpin Bangsa Indonesia dulu, Presiden Soekarno dalam tawanan musuh memimpin perjuangan bangsa Indonesia untuk bersatu dapat menggerakkan perjuangan rakyat semesta. Apapun kata Bung Karno, rakyat patuh. Kharisma dan wibawa yang luar biasa Bung Karno benar-benar merasuk ke hati sanubari rakyat 190 . Oleh karena unsur keteladanan memegang peranan yang sangat menentukan, maka salah satu aspek kepemimpinan Pancasila adalah sikap 189 M.
Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991 : 83-85. 190 Purwadi, Sejarah Perjuangan Presiden Soekarno, Pemimpin Besar Yang Berbudi Bowo Leksono, Mbaudendo Nyokrowati Ambeg Adil Poromarto, Buana Pustaka, 2004, 226-227. Wibawa kepemimpinannya terpantul kelubuk hati nurani. Beliau memiliki keistimewaan dan keagungan yang tidak dimiliki orang lain dalam hal adiwicara (kecakapan), adiwiraga (keberanian) dan adiwirasa (keanggunan). 137
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
konsisten dan konsekwen dalam menghayati dan mengamalkan Pancasila. Selain itu, semangat kekeluargaan dan kerukunan merupakan unsur penting lainnya dari kepemimpinan Pancasila. Seorang pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun dan membimbing asuhannya. Dengan kata lain beberapa prinsip utama dari kepemimpinan Pancasila adalah :
”Ing ngarso sung tulodho” yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu – lewat sikap dan perbuatannya – menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan orang-orang yang dipimpinnya; ”ing madya mangun karso” yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang-orang yang dibimbingnya; dan ”tut wuri handayani” yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.191 Sullipan, pakar Kepolisian Amerika Serikat menyatakan; Polisi haruslah memiliki well motivated, well educated, well trained, well equipped dan well paid (motivasi, pendidikan, pengalaman lapangan, sarana, dan kesejahteraan yang baik). Di antara kelima persyaratan itu yang paling memprihatinkan untuk kondisi polisi kita adalah kesejahteraan (paid/celery) sebagai tolok ukurnya seperti yang dilaporkan oleh Asia Week (April 1994), bahwa gaji Polisi Indonesia itu terkecil di ASEAN. Indonesia menggaji polisi yang baru diangkat sebanyak 65 US$, 191Team
Pembinaan Penatar dan Bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia, Buku Materi Pelengkap Penataran, Jakarta, 1978, hal. 47-48. 138
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
sementara Malaysia 165 US$, Thailand 147 dollar US$ dan Singapura 513 US$. Dengan kondisi kesejahteraan yang masih minim itu, menjadi pangkal terhambatnya profesi polisi menuju profesionalisme atau jadi penyebab timbulnya "kejahatan profesi", maka kiranya pemerintah perlu arif mempertimbangkan untuk menaikkan gaji polisi, apalagi untuk "kelompok seprofesinya" seperti jaksa dan hakim sudah lebih dulu diperhatikan kesejahteraannya, mengingat tugas polisi jauh lebih berbahaya 192 dibandingkan profesi hukum lainnya. Secara jujur layak diakui polisi juga manusia, kebanyakan yang bekerja pertama-tama untuk mencari dan mencukupi nafkah bagi dirinya sendiri atau juga bagi keluarga yang ditanggungnya. Tujuan seperti itu memang bukan tujuan paling luhur, namun toh dapat dikatakan sebagai tujuan paling dekat atau paling mendesak,193 dan wajar bagi manusia Kaidah hukum tertuang dalam naskah undangundang memuat yang satu lebih dari yang lain ruang gerak tertentu. Tiap sengketa hukum diakibatkan adanya benturan kepentingan, juga sengketa nilai, pertimbangan yang sama sekali bebas nilai tidak ada, atau hampir tidak ada dalam hukum. Heide menyatakan bahwa sengketa masyarakat tidak apriori merupakan sengketa yuridis, meskipun konflik sosial itu dapat dikualifikasikan secara yuridis. Penyelesaian suatu konflik pada taraf pertama harus dicari dengan jalan lain.194 Polisi Indonesia sebenarnya memiliki kesempatan yang sangat besar untuk mengajak masyarakat berperan serta dalam penanggulangan konflik politik dengan 192Abdul
Wahid, Anang Sulistyono, Etika Profesi Hukum dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1997 : 135. 193Purwa Hadi Wardoyo, Moral dan Masalahnya, Kanisius, Bandung, 1990 : 95. 194W. Van Gerven alih Bahasa Hartini Trenggono. Kebijaksanaan Hakim judul asli Het Beleid Can De Rechter, Erlangga, Jakarta, 1990 : 98. 139
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
menggunakan shaming. Kelengkapan untuk keperluan bekerja sama dengan masyarakat dapat termediasi lewat nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, musyawarah dan lain-lain. Upaya menggunakan shaming untuk mengontrol penyimpangan konflik politik, hanya membutuhkan dorongan dan komitmen bersama antara POLRI dan masyarakat. Menurut Inspektur Jendral Polisi Drs. Kadaryanto, Kapolda Jateng dengan makalahnya dalam seminar amuk massa tanggal 11 Oktober 2000, mengemukakan tanpa pegangan dan jaminan hukum yang kokoh, POLRI akan senantiasa ragu-ragu dalam melaksanakan tindakan, apabila penanggulangan diserahkan ke POLRI dalam kondisi negara kacau balau, penugasan ini hanya akan menyebabkan POLRI menjadi sasaran kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat, yang mana seharusnya amuk massa menjadi tanggung jawab bersama.195 Padahal keberantakan, kekacauan sangat ditentukan oleh kultur/budaya hukum kita juga yang sekarang ini sedang sakit. Karena sadar atau tidak sadar, kaum elit politik dan masyarakat sedang mempraktikkan kekacauan itu, masih adanya anggota DPR/DPRD I/II, LSM dan kelompok masyarakat, hanya mementingkan pribadi (self interest) atau kelompoknya saja, tidak menyampaikan aspirasi rakyat atau bangsanya, yang memilih bahkan rela mengorbankan norma-norma hukum yang beradab, menuduh orang lain/lembaga lain tidak berdasarkan fakta mencerca, mencela elit politik yang lain. Mereka melanggar koridor-koridor hukum dan bahkan etika moral, dengan membentuk opini melalui mass media cetak, elektronik, radio, dan lain-lain. Untuk mempertahankan kepentingannya, kata Ali Sadikin; elit politik harus disadarkan bahwa tugas mereka bukan saling bertengkar, saling ancam dan saling memfitnah, menurutnya kalau elite politik selalu bertikai, dan hanya 195Media
Informasi dan Komunikasi, MTD, Edisi 221 : 4. 140
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
mencari kambing hitam, maka persolan bangsa tidak akan selesai, ia mengaku malu dan muak melihat sepak terjang beberapa elite politik.196 Menurut Arbi Sanit, DPR sekarang menjadi sumber konflik, terbukti sejak kabinet Persatuan Nasional terbentuk hingga sekarang, DPR tak henti-hentinya mengkritik, yang tragis kritik itu tidak masuk akal dan tidak sehat.197 Kadaryanto, (2000) menyesalkan, sekarang masih banyak sekelompok masyarakat yang ingin menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekuatan massa. Yang sangat disesalkan justru peristiwa terjadi pada saat masyarakat dan polisi selaku penegak hukum menghendaki supremasi hukum dan hak asasi manusia bisa berjalan sempurna; Namun masih dinodai oleh massa yang telah melakukan pengrusakan Kantor Pengadilan Negeri Magelang pada tanggal 15 Nopember 2000 oleh ratusan tukang ojek Temanggung yang meminta terpidana mati Musheri dan Abdul Gowi, dieksekusi di depan mereka pada saat itu juga.198 Masyarakat lebih suka melakukan kekerasan dengan mengambil jalan pintas, melakukan pembakaran terhadap pelaku kejahatan daripada melalui jalur hukum, melakukan pengrusakan fasilitas perkantoran milik pemerintah atau polsek, pembakaran balai desa bahkan juga rumah penduduk. Kehidupan politik harus mencerminkan adanya hak dan kewajiban yang sama bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan partai politiknya, suku, ras, agama dan golongan. Semua itu merupakan bagian dari proses pendidikan politik, untuk memperoleh partisipasi politik yang maksimal dari seluruh 196 Wawasan,
Muak Saksikan Perilaku Elite Politik, Semarang, 16 Nopember
2000:1. 197 Arbi Sanit, DPR Sumber Konflik, Suara Merdeka, Semarang, 27 Nopember 2000:1. 198 Suara Merdeka, Polda Mengusut Perusakan Pengadilan Negeri Magelang, Semarang, Tanggal 18 Nopember 2000 : 1. 141
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
rakyat melalui saluran-saluran institusi politik yang mumpuni. Nilai kesetaraan harus menjadi obsesi bagi seluruh elit politik dan pragmatisme politik yang cenderung berkembang, harus dapat diatasi melalui partisipasi masyarakat melakukan kontrol yang efektif dengan menggunakan saluran-saluran yang ada dan benar (konstitusional). Dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang akan datang, yang pasti penuh dengan kompleksitas, kecanggihan serta tanggung jawab yang makin meningkat, memang Kepolisian harus mengusahakan peningkatan dalam profesionalisme, tetapi juga tidak hanya itu saja. Untuk menghadapi millenium tiga yang akan datang, yang kiranya diperlukan kiat polisi yang lain dari masa orde baru. Polisi yang melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, polisi mandiri yang juga cendekiawan, harus mampu secara kreatif mencari dukungan dari masyarakat, dalam menjajagi cara-cara baru menjadi polisi yang dipercaya dan dicintai masyarakat. Yang mana POLRI yang akan datang mengalami begitu banyak perubahan dalam segala aspeknya, berwawasan ketentraman dan perdamaian (restorative justice).199 Untuk dapat merebut kepercayaan masyarakat yang akan datang serta meningkatkan perlindungan, pelayanan, dan pengayoman terhadap masyarakat agar tercipta kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat merasa aman dan tentram. POLRI harus siap melaksanakan agendanya tentang profesionalisme dan profesionalisasi, yang sangat penting bagi kepolisian kita berjiwa sebagai pemimpin yang diteladani dan disegani. Pejabat kepolisian sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok kecil di dalam masyarakat seringkali diperlukan untuk memecahkan pertengkaran yang 199 Satjipto
Rahardjo dan Anton Tabah, Polisi Pelaku dan Pemikir, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993 : 183-184. 142
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
mungkin terjadi yang dapat menganggu ketertiban umum yang mungkin terjadi antara orang-orang dalam satu kelompok atau orang-orang dari dua kelompok yang berbeda.200 Kalau kita tidak ingin tertinggal oleh perkembangan masyarakat kita sendiri atau negara-negara lain, yang mana sekarang dunia ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju dan globalisasi, dunia semakin kecil dan waktu justru semakin kurang, jarak semakin dekat, informasi tidak mengenal perbatasan. Apabila kita mengikuti perkembangan Kepolisian saat ini, hampir setiap kecamatan di seluruh wilayah Indonesia didirikan sektor kepolisian, perlu diketahui bahwa sektor kepolisian adalah merupakan garis depan dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian dalam sistem peradilan pidana dan pelayanan dan perlindungan terhadap masyarakat.201 Kepolisian Sektor Kedung Polres Jepara bersama dengan Pemerintahan Kecamatan Kedung, konsentrasi tindakan di daerahnya berdasarkan jiwa gotong royong, termasuk koordinasi dengan dinas-dinas teknis lainnya seperti koramil, berupaya untuk tercapainya harapan ketertiban dan ketentraman masyarakat, terutama Kepolisian Sektor Kedung menjembatani perdamaian, dengan cara mengadakan silaturahmi untuk semua unsur partai yang ada di wilayah Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara.
200Koentjaraningrat,
Kepemimpinan Dan Kekuasaan Tradisional, Masa Kini, Formal Dan Informal, Penerbit Senyata Sumanasa Wira Sespim POLRI, Beberapa Profesor Berbicara Tentang POLRI Jilid 2 Disitir DPM. Sitompul, Bandung 1994, hal : 22-23, ditekankan untuk menengahi pertengkaran seperti biasanya diminta bantuan seorang tokoh yang oleh kedua belah pihak yang bertengkar dianggap telah mempunyai pengalaman dan kewibawaan untuk memecahkan masalah (problem solving) yang menjadi sebab pertengkaran itu dengan memuaskan bagi kedua belah pihak. 201 Djoko Prakoso, POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987 : 12. 143
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf f UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas (kf. Ps 15 ayat (1) huruf k UU. Kepolisian); menjelaskan bahwa untuk konsentrasi tindakan di daerah berdasarkan jiwa gotong royong, maka kapolsek dan camat dapat mengadakan koordinasi bersama dinas-dinas teknis di daerahnya termasuk Instansi terkait dan tokoh-tokoh agama, Masyarakat, partai politik dan lain sebagainya, 202 untuk menyelenggarakan acara silaturahmi dalam rangka penyelesaian konflik dengan cara musyawarah mufakat guna mencapai perdamaian. P. Konflik Politik dan Gangguan Kamtibmas Merupakan Spektrum Ancaman Spektrum ancaman konflik sosial konflik pada dasarnya adalah bentangan kerawanan kamtibmas sejak dari terbentuknya yang masih laten sampai pada bentuknya yang manifest di mana semua bentuk interaksi satu dengan yang lain merupakan keadaan eskalatif serta merupakan bagian dari ancaman terhadap keamanan dalam negeri. Kehendak Konstitusi Dasar Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menjaga keamanan dan ketertiban mesyarakat bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum (kf.ps.30 ayat (4) UUD 1945). Dengan amanat dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor TAP/VII/MPR/2000 pasal 6 ayat (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, telah dilaksanakan oleh 202Kumpulan
Undang-undang. Sinar Grafika Ofset, Jakarta, 1997 : 90. 144
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Undang-Undang Kepolisian pasal 5 ayat (1) ”Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri, dengan tugas pokoknya adalah (a) menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (kf.ps 13 UU Kepolisian). Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, ketertiban umum dan memelihara keamanan dalam negeri, berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam urusan yustisial dan dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (kf. Ps. 18 ayat (1) UU Kepolisian). Sedangkan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia karena kewajibannya mempunyai wewenang, senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia lebih mengutamakan tindakan pencegahan. Q. Politik dan Demokrasi Dalam kerangka indeks democratic society yang diharapkan dapat mengukur keberadaan-keberadaan a society of self confident citizens) dipertanyakan antara lain perlakuan terhadap hak-hak minoritas, dukungan terhadap partai politik, agama, etnik, dan bahasa; perlakuan terhadap civil society; akuntabilitas lembaga145
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
lembaga negara dalam menjalankan kepentingan publik, pluralisme, dan independensi media, komunikasi; partisipasi publik di sektor ekonomi, sosial, kultural, dan politik; efektivitas pendidikan untuk menunjangnya; dan seberapa jauh masyarakat percaya terhadap kemampuan sistem politik.203 Krisis moneter dan ekonomi yang melanda sebagian besar wilayah Asia Tenggara hingga akhir 1997 menciptakan momentum bagi masyarakat untuk mengungkapkan semua ketidakpuasan tersebut secara lebih nyata. Hal ini tidak lain, karena merosotnya otoritas negara; melemahnya law enforcement; terjadinya demoralisasi polisi dan TNI; serta fragmentasi dan disintegrasi sosial dalam masyarakat.204 Pada mulanya politik adalah tulang punggung sejarah (politics is the backbone of history). Oleh karena, buku-buku teks sejarah berisi rentetan kejadian-kejadian mengenai raja, negara, bangsa pemerintahan, parlemen, partai politik, pemberontakan, kelompok-kelompok kepentingan dan interaksi di antara kekuasaankekuasaan itu dalam merebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Ada ungkapan History is past politics is present history) (ucapan Sir John Robert Seely, sejarawan Inggris, 1834-1895).205 Menurut Miriam Budihardjo, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk
203 Muladi,
Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Diterbitkan Atas Kerja sama Pustaka Pelajar @ Telkom Net @ IAIN Walisongo Semarang Dan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang, Yogyakarta Cetakan Pertama : 2006 :205-206. 204 Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban, Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas, Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, Jakarta, 2002 : 121. 205 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua, penyunting Mohamad Yahya, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta : 2003: 174. 146
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku206. Kekuasaan sebagai inti dari politik, beranggapan bahwa politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dukungan rakyat dan mempertahankan kekuasaan untuk pengambilan keputusan. Bagan 2.2. MODEL PENYELESAIAN KONFLIK POLITIK
Konflik politik akan berkembang melalui suatu proses interaksi yang makin meningkat eskalasinya dan pada setiap tingkatan kondisi, secara berturut-turut oleh POLRI diberikan klasifikasi sebagai situasi aman, rawan, gawat, krisis, dan bahaya. Ciri-ciri kondisi/situasi Kamtibmas dalam negeri antara lain : 1. Pada Tingkat Situasi Aman, maka keadaannya adalah: a. Peran Kepolisian bersifat lebih mengedepankan pencegahan konflik politik. 206Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2001
:10. 147
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
b. Sifat interaksi dalam masyarakat masih bersifat asosiatif. c. Ancaman konflik terhadap negara dan pemerintahan secara laten tetap ada, namun belum menampakkan diri. d. Ancaman terhadap rasa aman masih kurang sekali, tetapi keamanan terhadap ketertiban umum mulai terasa, yang disebabkan oleh terjadinya bentukbentuk gangguan berupa: 1) Penyimpangan tertib sosial politik merupakan sumber konflik. 2) Kekerasan atau ancaman kekerasan, meskipun tidak menunjukkan adanya peningkatan terhadap eskalasinya untuk terjadinya konflik. 2. Pada Tingkat Rawan a. Peran kepolisian bersifat lebih mengutamakan penanggulangan konflik politik. b. Sifat interaksi dalam masyarakat sudah bersifat desosiatif. c. Ketegangan sosial politik terjadi. d. Bentuk gangguan meningkat (non pidana): 1) Konflik meningkat dan mulai adanya penggunaan kekerasan 2) Penyimpangan tertib politik meningkat baik kualitatif/kuantitatif. e. Intensitas konflik terasa pengaruhnya. f. Ketertiban jauh berkurang dan rasa kurang aman mulai terasa. g. Ancaman terhadap keamanan negara dan pemerintahan masih bersifat laten dan diperkirakan mulai memanfaatkan keadaan yang kurang stabil. 3. Tingkat gawat ciri-ciri eskalasi situasi/kondisinya adalah sebagai berikut. a. Peran kepolisian bersifat lebih intensif dalam mencari sumber konflik. b. Ketegangan sosial politik telah berkembang menjadi konflik politik. 148
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
c. Ancaman terhadap keamanan negara dan pemerintahan sudah mulai terasa. d. Konflik sosial politik sudah berkembang yang ditandai terjadinya saling menyerang. e. Ancaman terhadap keamanan negara dan pemerintahan sudah semakin tampak dan secara nyata. 4. Tingkat Bahaya : a. Ancaman terhadap keamanan negara dan pemerintahan telah terjadi di berbagai aspek kehidupan. b. Gejala konflik kekerasan bersenjata mulai terlihat secara nyata. c. Telah terbentuk kekuatan yang besar untuk mengambil alih kekuasaan pemerintah207. Instabilitas masyarakat dalam situasi konflik politik didorong oleh upaya mencapai tujuan, namun dengan mempergunakan cara-cara di luar tatanan hukum positif, nilai-nilai demokrasi, etika, dan moral keagamaan. Akhirnya terjadi tindakan yang menghalalkan segala cara, untuk mencapai tujuan dengan memanipulasi data dan pembenturan kepentingan.208 Timbulnya kepentingan-kepentingan baru, dan timbul multi partai dalam Pemilu 1999, dikhawatirkan akan mengurangi kesempatan partai untuk meraih perolehan suara dalam pemilu. Timbulnya konflik satu sama lain, bilamana ada perbedaan dalam kepentingankepentingan dan tujuan-tujuan, yang mendesak, mudah menimbulkan benturan kekerasan. Terhadap konflik yang terjadi antarpartai politik yang bersaing, satu sama lain saling berusaha untuk bergerak/interaksi di dalam satu bidang interaksi yang 207Ibid,
Moch. Sanoesi, Wawasan Kamtibmas, Mabes POLRI, Jakarta, 1986, Hal
44-45. 208I.S. Susanto, Ibid : 60-61. 149
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
sama warga NU. Konflik antarpartai akan menimbulkan rasa loyalitas dan memperdalamnya kesetiaan terhadap partainya masing-masing. Untuk mempertahankan diri dan menimbulkan rasa setia kawan dan kesediaan untuk berkorban bagi kepentingan partainya. Konflik internal/eksternal disebabkan adanya benturan kepentingan-kepentingan partai politik dan perebutan kekuasaan atau bertujuan menjadi pemenang dalam Pemilu, agar dapat membuat kebijakan dalam suatu negara yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat. Keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum, harus selalu ada di dalam tim sukses organisasi partai politik yang umumnya mengobral janji, pemberian harapan (waktu kampanye politiknya) terhadap setiap masyarakat untuk mendukungnya, harus dipandang sebagai kejahatan publik yang perlu diberi sanksi hukum pidana dan administrasi, apabila setelah mencapai tujuan politiknya, terbukti membohongi massa pendukung waktu kampanye.209 Dalam konteks penulisan disertasi : Kaum Nahdliyin tidak terlepas dari interaksi sosial dengan partai PPP, PDI dan GOLKAR pada masa kejayaan rezim Orba dalam proses komunikasi. Bagian terpenting dalam proses mempelajari tingkah laku kejahatan terjadi dalam kelompok personel yang intim. Dalam sejarah kehidupan politik nasional, kaum Nahdliyin yang tergabung dalam PPP maupun partaipartai lain telah terjadi proses hubungan di antara personil yang intim, sehingga proses mempelajari perilaku berjalan cukup lama. Perilaku konflik yang dipelajari, meliputi : teknik melakukan kejahatan, motifmotif tertentu, dorongan, alasan pembenar, dan sikap. Dilihat dari teknik pengerahan massa, penggunaan simbol-simbol kebesaran partai, orasi yang menimbulkan 209 Moh.
Kemal Darmawan, Purnianti, Mashab Dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994 : 107-109. 150
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
semangat massa, tindak kekerasan, ancaman, dan fitnah yang disebar di Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara, Kabupaten Magelang; Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, serta pada saat Pilkada di Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Semarang dengan motif serta alasan pembenar dan sikap yang melanggar/mengabaikan norma-norma hukum, etika, moral, serta nilai-nilai demokrasi, jelas menunjukkan bahwa upaya mempelajari perilaku-perilaku dari kaum Nahdliyin terhadap perilakuperilaku kekerasan sesuai pola-pola lama (Orba). Hanya saja terdapat perbedaan yang bervariasi dalam frekwensi, lama waktu, prioritas, serta intensitasnya. Perilaku konflik merupakan pernyataan kebutuhan dan nilai-nilai umum, tetapi tidak terjelaskan oleh kebutuhan dan nilai-nilai yang normal. Kebutuhan untuk berperan dalam bidang politik adalah suatu kebutuhan yang memenuhi nilai-nilai umum suatu negara yang berkedaulatan rakyat. Hanya saja kebutuhan untuk diakui eksistensi partai dalam bentuk kemenangan mutlak tidak terjelaskan sebagai kebutuhan yang normal yang dilandasi nilai-nilai umum yang sewajarnya, akibat pilihan cara kekerasan dan kejahatan dalam rangka pemenangan pemilu tersebut. R. Sumber-Sumber yang Mempengaruhi Konflik Antarpendukung Partai
Terjadinya
1. Kepentingan Partai Politik Di Kabupaten Jepara semenjak rezim Orba berkuasa merupakan basis kekuatan PPP. Menjadi wajar apabila dengan munculnya partai baru (PKB) dipandang sebagai pesaing PPP.210 Apalagi di antara pengurus dan massa pendukung partai tersebut, dahulunya adalah teman seperjuangan dalam satu partai.211 210KH.
Muchsin Ali, Wawancara Pribadi, Kedung, 20 Agustus 2000. 211KH. Muchsin Ali, Wawancara Pribadi, Kedung, 18 Juli 2000. 151
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Tambahan pula, sebenarnya di antara mereka adalah sesama kaum Nahdliyin, yang berpegang teguh pada Ahlul Sunnah Wal Jama’ah. Kekhawatiran pihak-pihak PPP terhadap kemungkinan berkurangnya perolehan suara dalam Pemilu 1999, menjadikan mereka berang, karena merasa dikhianati sesama kaum Nahdliyin. Sebagai partai terbesar di Kabupaten Jepara, PPP mempunyai kepentingan politik untuk mempertahankan eksistensinya. Target perolehan suara 75% se Kabupaten Jepara harus tercapai, seperti hasil pemilu tahun sebelumnya. Hal itu membuktikan bahwa di kalangan Islam politik memandang Islam tidak hanya sebagai ajaran, namun demi kepentingan partai menjadikan Islam identik dengan angka kemenangan dalam pemilu. Persepsi tersebut didasarkan pada asumsi bahwa umat Islam di Indonesia berjumlah 95% dari penduduk, 212 sepenuhnya akan memilih partai Islam. Menurut Jabir Al Faruqi dalam wacana profan 213 , agama bila dikaitkan dengan politik memiliki banyak pengertian. Agama dapat berarti : ajaran, spirit, angka, dan legitimasi. Agama sebagai spirit akan mewarnai perilaku dan cara-cara seseorang melaksanakan kewajibannya dalam memperjuangkan agamanya lewat politik. Agama sebagai ajaran memiliki nilai-nilai universal, sehingga meniscayakan perspektif bahwa partai yang berbasis pada massa Islam tidak harus eksklusif. Sedangkan agama sebagai legitimasi, hampir sama dengan formalisasi agama. Agama dan masyarakat itu saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi jalan pikiran masyarakat, dan 212Jabir
Al Faruqi, Islam Politik dan Depolisasi Agama, Suara Merdeka, 21 Juni
2000 : IV. 213Ibid. 152
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
selanjutnya pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Pengaruh timbal balik antara perkembangan masyarakat dan pertumbuhan agama merupakan kenyataan sosial-budaya yang menjadi tantangan untuk dihadapi seluas dan sedalam mungkin.214 Sumber hukum Islam dibawa ke atas panggung kampanye, untuk menunjukkan bahwa partainya adalah memperjuangkan kepentingan umat Islam. 2. Fanatisme Partai Politik Fanatisme merupakan cara yang efektif guna mencapai integrasi massa pendukung partai. 215 Fanatisme erat hubungannya dengan sikap emosional suatu kelompok yang berupaya melakukan pembelaan berdasarkan argumen-argumen politik semata, tanpa dilandasi kerangka akademik dan substansi penilaian secara objektif.216 Munculnya fanatisme tidak terlepas dari akibat pernyataan-pernyataan politik dari elite politik yang bersifat provokatif dan menggiring emosionalitas publik. Dalam kasus ini pernyataan para mubaliq dari PPP dan PKB, selalu bermuatan ejekan, saling curiga, memusuhi, dan menyerang. 217 Di sisi lain, para tokoh dengan cara fitnah dan membentuk opini yang merugikan pesaingnya, menghasut rekan-rekan sekelompoknya tidak mendinginkan situasi melainkan malah memperburuk keadaan, sehingga merugikan semua pihak. Mudjahirin Thohir, Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisiran, Penerbit Bendera, Semarang, 1999:122. 215M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, PT. Tiara Yogya, 1999 : xix-xx. 216 M. Tafrikan Marzuki, Konflik Elite Politik Pasca ST MPR, Suara Merdeka, Tanggal 23 Agustus 2000 : vi. 217Arsip Polsek Kedung, tanggal 14 Mei 1999 dan 15 Mei 1999. 214
153
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
3. Pemahaman Islam sebagai Agama dan Islam sebagai Partai Politik Agama dan politik memiliki paradigma yang jauh berbeda. Agama dipandang sebagai ajaran/doktrin, dan politik tidak sama dengan agama, namun justru politik merupakan bagian dari agama. Agama merupakan wacana ukhrowi, yang memberi semangat dan mewarnai perilaku maupun cara-cara seseorang melaksanakan kewajiban hidupnya. Firman Allah yaitu : Qs. Ali Imran ayat 103 : ”Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan”.218 Qs. Ali Imran ayat 104 :”Hendaklah kamu merupakan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh berbuat ma'ruf dan melarang berbuat mungkar dan mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan”.219 Selanjutnya juga Firman Allah yang menyatakan :
"Kamu adalah Umat yang paling baik, yang ditempatkan di tengah-tengah manusia untuk memimpin kepada kebaikan, mencegah kemungkaran dan percaya penuh kepada Allah” (Al-Qur'an, Surat Ali Imran ayat 110). 218 Departemen
Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya. Surya Cipta Aksara,
Surabaya. 1993 : 95 219Ibid : hal 95. 154
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Sedangkan politik merupakan wujud personifikasi kepentingan/perjuangan untuk menuju kekuasaan. Politik dipandang sebagai formulasi wadah aspirasi yang berada dalam wacana duniawi.220 Sudah barang tentu parpol Islam berupaya menghadapi paradigma politik praktis, antara lain mencari pendukung massa lewat pengajian, konvoi/pawai, membuat pernyataan politik, kesepakatan antarpartai dan muspika, mempergunakan simbol-simbol bendera seragam - spanduk partai dalam kegiatan tertentu.221 Kekurangpahaman mereka terhadap hakikat agama dengan politik, menjadikan sikap dan perilaku keagamaan keluar dari konteks keharusan agama sebagai spirit para pemeluknya dalam beraktivitas politik. Parpol Islam lebih mengutamakan agama sebagai legitimasi politik, yang memiliki target kemenangan dalam pemilu, tanpa mengindahkan nilai-nilai ke-Islaman itu sendiri. Penggunaan caci maki, hasutan, fitnah, bukan mewakili ke-Islaman umat. Namun hanya didorong oleh kepentingan dan ambisi politik tokoh-tokoh mereka. S. Model Penyelesaian Konflik 1. Model Dasar Penegakan Hukum Konflik Politik Antarpendukung Partai MODEL PENEGAKAN HUKUM Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyidikan, Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Th 2002 “Kepolisian bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturanperundang-undangan lainnya;
220Jabir
Al Faruqi, Ibid, 21 Juni 2000 : IV. 221Arsip Polsek Kedung, Tanggal 24 Maret 1999. 155
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
MODEL PENEGAKAN HUKUM Penyidikan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang : a. menerima laporan dan pengaduan; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan e. melakukan penyitaan dan pemeriksaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 ditegaskan; “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa dan pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan. Pasal 137 KUHAP; penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara kepengadilan yang berwenang mengadili. Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia: Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : (a) melakukan penuntutan. Pra penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik. Pasal 170 KUHP (pengroyokan), pasal 406 KUHP (pengrusakan), pasal 351 KUHP (Penganiayaan), pasal 338 KUHP (pembunuhan, Pasal 187 KUHP Pembakaran) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Than 1951 tentang (Pemilikan/penggunaan/penyimpanan senpi/sajam tanpa ijin) 156
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
MODEL PENEGAKAN HUKUM Keppres No. 7 tahun 1974 mengenai tugas pokok Kepolisian Negara RI ialah : “Sebagai alat negara penegak hukum terutama di bidang pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat”. Keppres Nomor 89 Tahun 2000 Tentang kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (3) Kepolisian Negara Republik Indonesia berkordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam urusan yutisial dan dengan Departemen Dalam Negeri dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum.
2. Model “Perdamaian” Konflik Politik Antarpendukung Partai MODEL MUSYAWARAH-PERDAMAIAN Al Qur‟an ; Surat ke 49 : Al Hujurat (Bilik-Bilik) Ayat 9 : Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu‟min berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Al Qur‟an ; Surat ke 49 : Al Hujurat (Bilik-Bilik) Ayat 10 : Sesungguhnya orang-orang mu‟min itu adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. Undang-Undang Dasar 1945 dengan Perubahannya: Bab I Bentuk dan Kedaulatan Negara Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Bab X Warga Negara dan Penduduk, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hal ini berarti setiap warga negara wajib pula menjaga keamanan ketertiban masyarakat berdasarkan 157
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
MODEL MUSYAWARAH-PERDAMAIAN
hukum dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Bab XII Pertahanan dan Keamanan Negara UndangUndang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara; sedangkan Pasal 30 ayat (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mangayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Untuk melindungi segenap bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia pemerintah negara Indonesia (periksa Pembukaan UUD 1945) telah berusaha melalui aparat pemerintahnya antara lain POLRI. Pasal 2 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundangundangan. Tap MPR-RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tap MPR-RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Deklarasi Caracas yang dicetuskan dalam konggres PBB ke6 tentang Crime Prevention and Treatment of offenders tahun 1980, yang menyatakan antara lain menyebutkan kebijaksanaan pencegahan hendaknya dikoordinasikan dengan strategi pembangunan sosial ekonomi. Pasal 7 ayat (1) huruf (j) KUHAP Yo Pasal 16 ayat 2 UU No. 2 Th 2002 Tentang Kepolisian; “mengadakan tindakan lain” menurut hukum yang bertangung jawab dengan syarat : a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan tindakan hukum yang mengharuskannya dilakukan tindakan jabatan; c. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. atas pertimbangan yang layak berdasarkan tindakan memaksa; e. menghormati hak asasi manusia. 158
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
MODEL MUSYAWARAH-PERDAMAIAN Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 TENTANG HAM pasal 4; pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang hak asasi manusia yang ditetapkan dengan Undang-Undang. UU No. 39 Th 1999 tentang HAM; Pasal 76 Komnas HAM bertujuan; untuk mencapai tujuannya, melaksanakan fungsi, pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia. UU No. 27 Th 2004 Tentang UU Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa, Tujuan pembentukan Komisi adalah : pasal 3 huruf b mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian. Piagam Medinah pasal 24, 25 dan 37: Dan bahwa kaum Yahudi menanggung biaya bersama kaum beriman selama mereka mendapat serangan (dari luar) Dan bahwa kaum Yahudi Bani ‟Awf (seperti juga kaum Yahudi yang lain) adalah suatu umat bersama kaum Beriman; kaum Yahudi berkata atas nama agama mereka, dan kaum beriman berhak atas agama mereka..? Prinsip-prinsip itu kemudian ditegaskan dalam pasal 37: Dan bahwa atas kaum Yahudi diwajibkan mengeluarkan biaya mereka, sebagaimana atas kaum beriman, diwajibkan mengeluarkan biaya mereka; dan antara mereka itu semua (kaum Yahudi dan kaum Beriman) diwajibkan saling membantu menghadapi pihak yang menyerang para pendukung piagam ini, dan di antara mereka diwajibkan saling memberi saran dan nasihat serta kemauan baik, tanpa niat jahat. Firman Allah Surat ke 4 An-Nisa ayat 13; “Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” Pasal 33 Lampiran I Bab VI Piagam Perserikatan BangsaBangsa ayat (1): Pihak-pihak yang tersangkut dalam suatu pertikaian yang jika berlangsung terus menerus mungkin membahayakan 159
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
MODEL MUSYAWARAH-PERDAMAIAN pemeliharaan perdamaian dan keamanan Internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan cara perundingan, penyelidikan dengan mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau persetujuan setempat atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri. Pasal 33 Lampiran I Bab VI Piagam Perserikatan BangsaBangsa ayat (2): Dewan Keamanan, bila dianggap perlu akan meminta kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan pertikaiannya. Pasal 15 ayat (1) huruf b UU. No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Yo Pasal 18 ayat (1) UU. No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian; ”Dalam rangka menyelenggarakan tugas secara umum berwenang ”membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum,” sedangkan; ”untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.” Gambaran ideal tentang masyarakat kaum beriman dalam Kitab Suci al_Syura /42:38, ”Dan segala perkara mereka (diselesaikan melalui sistem) musyawarah antara sesama mereka ”(komentar A. Yusuf Ali, kata kuncinya ”Musyawarah”, dalam Nurcholish Madjid, 1992:560.)
160
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
STANDAR PENYELESAIAN KONFLIK STANDAR EMPIRIK (PENANGGULANGAN) 1. Mendatangi tempat kejadian perkara, untuk mencari siapa saja yang terlibat konflik dan mencari penyebab konflik, mencari saksi-saksi dan barang bukti yang berhubungan dengan konflik kekerasan. Dan sesegera mungkin melapor kepada pimpinan dengan peralatan yang ada. 2. Menghubungi elit parpol dari masing-masing kelompok yang sedang konflik untuk diajak melokalisir dan meminimalis kejadian dan mendinginkan suasana konflik, agar kekerasan tidak berkembang lebih parah lagi.
3. Mengajak elit partai politik atau pendukung partai politik yang bertikai bersama-sama tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik mengadakan perundingan dan diajak bersama-sama duduk satu meja untuk mewujudkan perdamaian.
STANDAR KONSEPTUAL (PENCEGAHAN) 1. Tumbuhkan kehidupan pranata sosial politik berorientasi usyawarah untuk mewujudkan perdamaian dan kebersamaan “anti konflik” dengan cara menggalakkan, rembug warga, rembug desa, silaturahmi dan rembug parpol
2. Konflik tidak muncul secara tiba-tiba, kenali sedini mungkin sumber latent konflik, dari faktor korelatif kriminogin (FKK/potensipotensi pelaku penyimpangan di dalam kehidupan masyarakat), timbulnya poliz hazard (PH/pencegahan yang harus dilakukan melalui social policy), hingga timbulnya ancaman faktual (AF/peristiwa konflik politik). 3. Sampaikan informasi secara benar dan hati-hati, karena informasi tidak mengenal perbatasan. Hanya pijat tombol saja informasi akan meloncat keluar melewati perbatasan.
161
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
STANDAR EMPIRIK STANDAR KONSEPTUAL (PENANGGULANGAN) (PENCEGAHAN) 4. Hukum sebagai sarana 4. POLRI pengemban 4 fungsi : sosial seperti kata Roscoe (1) Law Enforcement Agency, Pound : Law as a tool of (2) Maintenance Order social engineering guna Official, (3) Peace Keeping membentuk, membangun Official dan (4) Public dan menumbuhkan suatu Servant, serta “ciptakan tatanan dan sikap perilaku lingkungan yang jujur dan masyarakat yang patuh objektif.” hukum. 5. Tingkatkan dan ke 5. Menghilangkan timbulnya depankan kehadiran fungsi Niat dan Konflik politik,serta Bimmas dan Fungsi Intel menggiatkan kehadiran polisi dalam menangani konflik di tengah-tengah masyarakat antarpendukung paratai dengan mensosialisasikan politik, dengan hadir kepada masyarakat bahwa langsung ke tengah-tengah parpol, secara sukarela masyarakat, dengan berkehendak mengembangkan memperjuangkan Community Policing. kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. 6. Upayakan tindakan 6. Jangan membeda-bedakan kepolisian berwawasan dalam memberikan perdamaian. Terhadap perlindungan pengayoman pendukung partai politik dan pelayanan kepada yang terlibat konflik dengan masyarakat, dan penyelesaian secara adat, berkoordinasi dengan elit-elit silaturahmi atau rembug partai politik tentang kegiatan parpol. yang akan dilakukan oleh para pendukung parpolnya secara berkelanjutan. 7. Tidak membeda-bedakan 7. Kembangkan pemolisian (diskriminasi) terhadap masyarakat berbasis perlindungan, pengayoman Community Policing dan pelayanan dalam hal berwawasan kemitraan dan penegakan hukum dan penyelesaian masalah sebagai penjaga ketertiban (Problem Solving). umum, dan harus berdasarkan ketentuan. 162
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
STANDAR EMPIRIK (PENANGGULANGAN) 8. Sosialisasikan setiap hasil kegiatan dari upaya perdamaian konflik lewat pengajian, atau lembaga rembug desa, atau rembug parpol.
9. Libatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan rutin dalam melakukan kampanye Kamtibmas.
10. Sekecil apapun gejala konflik sosial politik segera tangani dengan arif dan bijaksana tetapi tegas agar kekerasan tidak berkembang.
STANDAR KONSEPTUAL (PENCEGAHAN) 8. Bangun kepercayaan yang dapat dicintai masyarakat, terhadap peran POLRI sebagai penegak keadilan masyarakat (restorative communiy justice) serta upaya dalam mencegah terjadinya konflik. 9. Tanamkan budaya kerja sama dan bentuk lembaga pranata anti konflik dan kekerasan, dan dudukkan satu meja dalam membahas permasalahan tentang perbedaan pendapat. 10. Hindari diskriminasi dalam memberikan bantuan atau jangan membeda-bedakan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada pendukung antarpartai. 11. Cegah provokator dari luar/pihak ketiga masuk kewilayah konflik, dan cegah cacian dan makian antarpendukung parpol yang bersifat memanaskan situasi.
11. Tingkatkan kehadiran Polisi di tengah-tengah masyarakat berwawasan community policing dengan pendekatan perdamaian dan penyelesaian masalah (problem solving). 12. Pemberitaan/membuat 12. Informasi dua arah dari atas laporan harus secara kebawah, dari masyarakat benar dan hati-hati dalam dan atau untuk masyarakat hal penyampaian/hindari secara rutin dan berdasarkan penyumbatan berita kebenaran dalam lingkup kronologis konflik/ keamanan dan ketertiban kekerasan yang terjadi masyarakat, agar tidak untuk menghindari miss memicu kekerasan dan komunikasi, dan berwawasan perdamaian berorientasilah pada untuk mendinginkan suasana pendinginan situsi keamanan. 163
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
KONSEP STRATEGI PENEGAKAN HUKUM
PERDAMAIAN
1. Symbolic Justice, 1. Authoritative Intervention, melakukan penegakan kegiatan secara rutin dalam hukum berdasarkan hukum hal menjaga keamanan dan acara pidana dan peraturan ketertiban umum dengan perundang-undangan pencegahan tanpa lainnya dengan cara penghukuman (Prevention mendatangi TKP, untuk Without Punishment) mencari data-data dan fakta mengedepankan fungsi Intel dilapangan dan untuk dan fungsi Binamitra, mendapatkan simpati dengan mengembangkan masyarakat agar dapat turut perpolisian masyarakat serta berperan mengungkap (Community Policing). konflik kekerasan yang terjadi, yang diduga ada unsur tindak pidana. 2. The strong hand of society, 2. The Sof Hand of Society, paradigma kekuasaan, tangan yang lunak (lembek) posisi polisi dalam jenjang dalam melaksanakan tugas vertical ketika melakukan menghendaki polisi penindakan dalam “berwatak sipil” dengan penegakan hukum dengan pendekatan community sejumlah wewenang, policing berwawasan termasuk kewenangan kemitraan dan penyelesaian diskresi. masalah (problem solving). 3. Represif melakukan 3. Preventif, pencegahan tindakan kepolisian bersifat dalam bentuk pengaturan, upaya paksa (penangkapan, penjagaan, pengawalan dan penahanan, patroli untuk mengeliminir penggeledahan, penyitaan Polis hazard (PH). dan pemanggilan) terhadap pelaku konflik dengan kekerasan, untuk dilakukan pemberkasan perkara dilanjutkan ke Jaksa Penuntut Umum, selanjutnya untuk disidangkan ke Pengadilan Negeri setempat. 164
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
PENEGAKAN HUKUM
PERDAMAIAN
4. Practical Criminologi/Crime Law Aplication, menurut Hofnagels pidana sendiri (sejak pemeriksaan, penahanan, sampai vonis hakim dijatuhkan) merupakan suatu pidana, bertujuan agar seseorang berorientasi atau menyesuaikan diri dengan norma-norma/perundangundangan yang berlaku, 5. Menegakkan hukum, dengan cara melakukan tindakan kepolisian, melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana, sampai pembuatan berkas perkara guna diajukan ke Jaksa Penuntut Umum. 6. Reactive policing, polisi bekerja bukan sebagai pemadam kebakaran, atau bekerja setelah kejadian telah terjadi, akan tetapi polisi bekerja sejak sebelum adanya kejadian. 7. Menjunjung tinggi supremasi hukum
4. Pre-emtif, untuk mengeliminir atau menghilangkan faktor-faktor korelative kriminogin, pada warga masyarakat walaupun masih dalam bentuk gejala latent agar tidak terjadi gejala konflik kekerasan.
5. Musyawarah untuk mewujudkan perdamaian, diajak duduk satu meja dalam menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah untuk mewujudkan perdamaian.
6. Community policing dengan pendekatan kemitraan hubungan sejajar dengan masyarakat dan berorientasi penyelesaian masalah utuk mencapai perdamaian (restorative justice). 7. Menghormati hak asasi manusia
165
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
T. Penyelesaian Konflik dengan Upaya Musyawarah untuk Mewujudkan Perdamaian Sejalan dengan Tuntunan Hukum Islam Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Insan Polisi yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang bernafas dengan Tri Brata dan Catur Prasetya serta bekerja berpedoman pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam menyelesaikan masalah bangsa terutama di bidang keamanan dan ketertiban umum, khususnya masalah konflik politik, POLRI yang berperan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum; Dalam menyelesaikan konflik politik, selain didukung oleh dokumen Internasional antara lain Piagam PBB dan Alternative Dispute Resolotion (ADR) juga berpedoman pada tuntunan Hukum Islam dan menghornati hukum adat.222 Sehubungan dengan itu pengelolaan penegakan hukum POLRI dalam kerangka SPP harus benar-benar mencerminkan promosi dan perlindungan HAM yang bersifat universal. Sistem Peradilan Pidana disingkat SPP atau Criminal Justice System adalah the network of courts and tribunals wich deal with criminal law and its enforcement.223 Disamping selalu menggunakan sila-sila Pancasila sebagai Margin of Appreciation, hal-hal yang termasuk di sini sumber hukum Islam dan hukum adat. Yang mana tugas pokoknya telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik 222Muladi,
Jakarta (2006) hal 13 periksa Bassiouni, M. Cherif, The Protection of Human Rights in the Administration of Criminal Justice, Center for Human Rights, UN, Geneva, Transnational Publ., New York, 1999. 223Brian A. Garner, ibid hal 381. 166
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi mengayomi dan melayani terhadap masyarakat. On going process of democratization mengandung makna bahwa Indonesia saat ini masih berada dalam posisi sebagai Transition society yakni apostauthoritarian society which try to transform an athmosphere of authoritarian into the athmosphere of democracy. Dalam pandangan Masdar F. Mas‟udi, jika demokrasi sebagai sebuah gagasan yang mendasarkan pada prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan manusia untuk menentukan hal-hal yang berkaitan dengan urusan publik, maka secara mendasar sejalan dengan Islam, hal ini paling tidak tampak dari dua hal. Pertama, pada ajaran Islam tentang nilai-nilai kehidupan yang harus dijadikan acuan, yaitu: 1. Al-Musawah, atau persamaan derajat kemanusiaan di hadapan Allah/lihat Al Qur‟an Surat Alhujurat (49) ayat 13. 2. Al-Hurriyah, kemerdekaan atau kebebasan berdasarkan pertanggung-jawaban moral dan hukum, baik di dunia maupun akhirat. Lihat Al Qur‟an Surat AlThur (52) ayat 21 3. Al-Ukhuwwah, persaudaraan sesama manusia sebagai satu spesies yang diciptakan dari bahan baku yang sama dan terlahir dari bapak dan ibu yang sama. Lihat Al Qur‟an Surat Al-Baqarah (2) ayat 213. 4. Al-Adalah, keadilan yang berintikan pada pemenuhan hak-hak manusia sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat/negara. Lihat Al Qur‟an Surat AlNahl (16) ayat 90. 5. Al-Syura, di mana setiap masyarakat berhak atas partisipasi dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama. Lihat Al-Qur‟an Surat Al- Syura (42) ayat 38 Kedua, ajaran Islam tentang hak-hak yang harus diusahakan pemenuhannya oleh diri sendiri maupun 167
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
masyarakat/negara yang meliputi : (1) hifdz al-nafsi, hak hidup. (2) hifdz al-din, hak beragama/berkeyakinan. (3) hifdz al-aqli, hak untuk berpikir. (4) hifdz al-mal, hak milik individu (property right). (5) hifdz al-irdh, hak mempertahankan nama baik, dan (6) hifdz al-nasl, hak untuk memiliki dan melindungi keturunan.224 Sumber dan Hukum Pembelaan Umum, sumber bagi pembelaan umum, atau amar ma‟ruf dan nahi mungkar, ialah ayat-ayat Al Qur‟an dan hadist-hadist Nabi S.A.W. Di antara ayat-ayat Qur-an tersebut ialah : 1. “Hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang mengajak kebajikan dan menyuruh kebaikan serta melarang keburukan. Mereka adalah orang-orang yang bahagia”. Ali Imran : 104. 2. “Bertolong-tolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa, dan janganlah bertolong-tolongan atas dosa dan aniaya” Al- Maidah : 219. 3. “Wahai orang-orang yang beriman, ta‟atilah Rasul serta orang-orang yang mempunyai tampuk pimpinan (Ulul Amri) di antara kamu. Jika kamu mempersengketakan sesuatu, maka kembalikan perkara tersebut kepada Allah dan Rasul- Nya” (An- Nisa 59) 254) 4. “Tidaklah boleh orang mu‟min untuk membunuh orang mu‟min kecuali karena tidak sengaja. Barangsiapa membunuh orang mu‟min dan diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali kalau mereka memberikannya”. (An- Nisa 92) 284) 5. Dasar pengampunan : “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu qisas pada orang-orang yang dibunuh”‟ kemudian dikatakan “Maka barangsiapa mendapat ampunan sesuatu dari saudaranya (korban atau walinya), hendaklah dituruti dengan baik dan 224Abdul
Ghofur, M.AG., Demokratisasi Dan Prospek Hukum Islam Di Indonesia, Studi Atas Pemikiran Gus Dur, Diterbitkan Atas Kerja sama dengan Walisongo Press, Pencetak Pustaka Pelajar Offset, ISBN:979-3237-45-7 Cetakan pertama, Yogyakarta, 2002 : 41 disitir dari Masdar F. Mas’ udi, Islam dan Demokrasi di Indonesia, dalam Tashwirul Afkar, edisi no. 3 tahun 1998, hal. 11. 168
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
dilunasi dengan kebaikan” (Al-Baqarah, 178). Dan dikatakan juga : Maka barangsiapa memberikan Qisas maka menjadi kifarat baginya”. (Al-Maidah, 45). Dari Hadist ialah riwayat Anas r.a. sebagai berikut : “Aku tidak melihat Rasulullah S.A.W. mendapat laporan tentang qisas, kecuali ia menyuruh untuk 225 mema‟afkan”. 6. “Dan segala perkara mereka (disilesaikan melalui sistem) musyawarah antara sesama mereka”.(Q.S. Al Sura/42: 38) 560. Memberi komentar atas Firman suci ini, A. Yusuf Ali dalam The Holy Qur‟an Text, Translation and Commentary (Jeddah: Dar al-Qiblah for Islamic Literature: 1403 H.),h. 1337, catatan 4579. mengatakan sebagai berikut. “Musyawarah”. Inilah kata kunci dalam surat ini, dan menunjukkan cara ideal yang harus ditempuh oleh seorang yang baik dalam berbagai urusannya, sehingga, disatu pihak, kiranya ia tidak menjadi terlalu egoistis, dan di pihak lain, kiranya ia tidak dengan mudah meninggalkan tanggung jawab yang dibebankan atas dirinya sebagai pribadi yang perkembangannya diperhatikan dalam pandangan Tuhan. Prinsip ini sepenuhnya dilaksanakan oleh Nabi dalam kehidupan beliau, baik pribadi maupun umum, dan sepenuhnya dikuti oleh para penguasa Islam masa awal. Pemerintahan perwakilan modern adalah suatu percobaan - yang tidak bisa disebut sempurna - untuk melaksanakan prinsip itu dalam urusan negara.226 Karena itu dalam mendukung usaha pembentukan masyarakat baru Madinah, Nabi segera membuat 225Ahmad
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Dicetak oleh PT. Midas Surya Grafindo, ISBN 979-418-014-9 Cetakan ke 5 PT. Bulan Bintang diterbitkan oleh NV. Bulan Bintang, Jakarta, 1967 :219,254,284,348 226Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, ISBN 979-8322-00-6., Cetakan kedua, Yayasan Wakaf Paramadina, PT. Tempirit, Jakarta 1992 : 560-561. 169
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
perjanjian dengan berbagai pihak penduduk setempat, termasuk dan terutama kaum Yahudi (dan di Madinah terdapat tidak kurang dari tujuh kelompok Yahudi). Maka lahirlah Shahifat al - Madinah (Piagam Madinah) yang amat terkenal, yang oleh sementara ahli disebut juga “Konstitusi Madinah”. Dalam piagam itu disebutkan hak dan kewajiban yang sama untuk masing-masing golongan penduduk Madinah”. Dalam piagam itu disebutkan hak dan kewajiban yang sama untuk masingmasing golongan penduduk Madinah, baik muslim maupun bukan, seperti dapat dipahami dari pasal-pasal 24 dan 25: “Dan bahwa kaum Yahudi menanggung biaya bersama kaum beriman selama mereka mendapat serangan (dari luar). Dan bahwa kaum Yahudi Bani „Awf (seperti juga kaum Yahudi yang lain) adalah suatu umat bersama kaum beriman; kaum Yahudi berhak atas agama mereka, dan kaum beriman berhak atas agama mereka..(7) Prinsip-prinsip itu ditegaskan lagi dalam pasal 37: “Dan bahwa atas kaum Yahudi diwajibkan mengeluarkan biaya mereka, sebagaimana atas kaum beriman diwajibkan atas biaya mereka; dan antara mereka itu semua (kaum Yahudi dan kaum beriman) diwajibkan saling membantu menghadapi pihak yang menyerang para pendukung piagam ini, dan di antara mereka diwajibkan saling memberi saran dan nasihat serta kemauan baik, tanpa niat jahat”.227 Istilah ushul al-fiqh, selain digunakan untuk menunjuk kitab suci, sunnah Nabi, Ijma, dan Qiyas sebagai sumber-sumber pokok pemahaman hukum dalam Islam, juga digunakan untuk menunjuk kepada 227
Nurcholish Madjid, Ibid hal 316 & 560-561. 170
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
metode pemahaman hukum itu seperti dikembangkan oleh al - Syafi‟i. Ushul al-fiqh dalam pengertian ini dapat dipandang sebagai sejenis filsafat hukum Islam karena sifatnya yang teoritis. Ia membentuk bagian dinamis dari keseluruhan ilmu fiqh, dan dibangun diatas dasar prinsip rasionalitas dan logika tertentu. Karena pentingnya ushul al-fiqh ini, maka di sini dikemukakan beberapa rumus berkenaan dengan hukum dalam Islam: 1. Segala perkara tergantung kepada maksudnya 2. Yang diketahui dengan pasti tidak dapat hilang dengan keraguan. 3. Pada dasarnya sesuatu yang telah ada harus dianggap tetap ada. 4. Pada dasarnya faktor aksidental adalah tidak ada. 5. Sesuatu yang mapan dalam suatu zaman harus dinilai sebagai tetap ada kecuali jika ada petunjuk yang menyalahi prinsip itu. 6. Kesulitan membolehkan keringanan. 7. Segala sesuatu bisa menyempit, meluas dan sebaliknya. 8. Keadaan darurat membolehkan hal-hal terlarang. 9. Keadaan darurat harus diukur menurut sekadarnya. 10. Sesuatu yang dibolehkan karena sesuatu alasan menjadi batal jika alasan itu hilang. 11. Jika kedua keburukan dihadapi, maka harus dihindari yang lebih besar bahayanya dengan menempuh yang lebih kecil bahayanya. 12. Menghindari keburukan lebih utama dari pada mencari kebaikan. 13. Pembuktian berdasar adat sama dengan pembuktian berdasar nas. 14. Adat dapat dijadikan sumber hukum. 15. Sesuatu yang tidak didapat semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya. 16. Ada tidaknya hukum tergantung kepada illat (alasan)nya.228 228Nurcholish
Madjid, Jakarta, 1992, Ibid. : 245-246. 171
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Surat pendek al - Asr secara padat memuat prinsip tatanan masyarakat yang terbuka, adil dan demokratis ini:
“Demi masa, sesungguhnya manusia pasti dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan berbuat kebaikan, serta saling berpesan tentang kebenaran dan saling berpesan pula dalam ketabahan.” (Q.S. AlAsr/103:1-3). Karena itu diperintahkan kerja sama atas dasar kebaikan dan taqwa, dan dilarang kerja sama atas dasar kejahatan dan permusuhan (persekongkolan jahat) :
”Bekerja samalah kamu sekalian atas dasar kebaikan dan taqwa, dan janganlah kamu bekerja sama atas dasar kejahatan dan permusuhan” (Q.S. Al- Ma’idah/5:2). U. Penyelesaian Konflik Politik oleh Kepolisian dengan Musyawarah untuk Mewujudkan Perdamaian Sejalan Hukum Adat Harapan Bangsa Indonesia untuk memiliki POLRI yang tangguh dan profesional bukan tidak beralasan, karena dilandasi oleh kesadaran terhadap lingkungan strategis yang berkembang dengan sangat pesat dan sangat kompleks, baik nasional, regional maupun global. Utamanya adalah tuntutan proses reformasi atau demokratisasi yang merupakan on going process, khususnya untuk diaktualisasikannya pelbagai indeks demokrasi yang berdampak luas dalam pelayanan publik dan manajemen penegakan hukum terhadap pelbagai kejahatan baik kualitas maupun kuantitasnya.229
229Muladi,
Pengaruh Demokratisasi Dalam Pengembangan Manajemen Penegakan Hukum, Pidato Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis Ke-60 PTIK Dan Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan 42, 43, dan 44, Jakarta, 2006, hal 18 172
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Selain tugas POLRI di lapangan selalu bergelut dengan pelbagai manajemen seperti perencanaan (planing); pengorganisasian (organizing); mempengaruhi (Influencing); dan pengendalian (controlling); disamping terkait pula di dalamnya proses pengambilan keputusan (making decision) termasuk proses diskresi kepolisian yang lebih menekankan pertimbangan moral dan untuk kepentingan umum dari pada pertimbangan hukum.230 Perdamaian adalah suatu kondisi di mana tidak terdapat penggunaan paksaan. Menurut pengertian ini, hukum hanya memberikan perdamaian relatif, bukan absolut, di mana hukum mencabut hak para individu untuk menggunakan paksaan tetapi memberikan kepada masyarakat. Pada hakikatnya, kehidupan masyarakat hanya mungkin terjalin baik, jika setiap individu menghormati kepentingan-kepentingan tertentu kehidupan, kebebasan, dan harta benda dari setiap individu lainnya.231 Pemecahan masalah-masalah konflik menurut perspektif ini dikaji dalam kerangka alternatif-alternatif politik untuk perubahan-perubahan struktural. Hukum dipandang bukan sebagai kerangka netral dari kepentingan-kepentingan kolektif masyarakat, melainkan sebagai golongan yang berkuasa dalam mempertahankan kedudukan, kepentingan dan 232 kemudahan-kemudahan mereka. Pengertian hukum adat menurut seminar “Hukum adat diartikan hukum Indonesia asli, yang tidak tertulis 230Ibid,
hal 1-2. 231Hans Kelsen, (1973) Alih Bahasa Somardi, Teori Umum Hukum Dan Negara, (General Theory of Law State) Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptik Empirik, BEE. Media, Edisi Revisi, Jakarta, 2007: 25; yakni, jika setiap individu menahan diri dari perbuatan mengganggu secara paksa bidang-bidang kepentingan ini dari sesamanya. 232Soediyono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Penerbit CV. Mandar Maju, Cetakan pertama, ISBN:979-538-085-0, Bandung, 1994: 50-51 Oleh karena itu para pembuat undang-undang harus disadarkan nalar keadilannya demi kesejahteraan masyarakat.) 173
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang di sana sini mengandung unsur agama”. Mengenai kedudukan dan peranan hukum adat seminar menyimpulkan antara lain : “Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh badan-badan bagi Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju kepada Unifikasi Hukum dengan tidak mengabaikan timbul/ tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum”. “dengan terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsurunsur hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional”.233 Adat mengandung arti empat perkara : 1. Adat yang sebenarnya adat, ialah aturan Allah. 2. Adat istiadat, ialah aturan yang digariskan oleh para pemuka pembuat adat. 3. Adat yang diadatkan, ialah aturan yang ditetapkan oleh musyawarah adat sewaktu-waktu. 4. Adat yang teradat, ialah aturan kebiasaan yang berlaku karena tiru meniru.234 Lahir dan dihormatinya hukum adat oleh pemerintah Belanda di Indonesia lahir dalam suasana lahir dan tumbuhnya perjuangan politik bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya. Sehingga apa yang dihasilkan Van Vollenhoven itu, dijadikan salah satu alat untuk mewujudkan perdamaian dan dapat mempersatukan bangsa Indonesia walaupun berbedabeda mempunyai tujuan yang sama yaitu bebas dari belenggu penjajahan. Pada masa itu dapat dikatakan bahwa hukum adat telah diarahkan untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang berbeda-beda. 233Hilman
Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia, Penerbit Alumni, Anggota IKAPI, Kotak Pos 272, Bandung, 1983 : 132-133. Hukum adat harus tetap dipertahankan dan sebagai dasar pertimbangan dalam tujuan pengetrapan hukum tertulis nasional, Terbitan Balai Pustaka 1956 yang berjudul Tambo Minangkabau”. 234 Hilman Hadikusuma, Ibid :119 174
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Menurut hemat kami memang hukum adat tidak lagi berfungsi di bidang hukum perundang-undangan yang tertulis, tetapi pada kenyataannya masih tetap berlaku dan berfungsi di kalangan masyarakat, selama masyarakat hukum adat mendukung perbuatan itu sebagai keharusan, dan merupakan kebiasaan yang terus menerus masih tetap diperlakukan. Menurut Paul Scholten (1940), dalam memelihara hukum kita harus mencari keseimbangan antara kepribadian (individu) dan masyarakat.235 Pengaruh-pengaruh agama yang datang belakangan, seperti Islam dan agama Nasrani amat banyak mengekang pengucapan-pengucapan artisitik dalam rangka keagamaan kuno manusia Indonesia, terutama di bidang skulptur.236 Mochtar Lubis mengusulkan agar kita mengembangkan kepercayaan, yang lebih besar dan semakin tegas pada diri sendiri, serta memperkuat kemampuan kita untuk memecahkan masalah bangsa kita dengan kekuatan diri kita sendiri, baik tenaga pikir kita, maupun daya berbuat kita. Beliau mengusulkan agar kita menumbuhkan dan memperkuat etik bangsa kita kembali, mengembangkan tata nilai yang dapat memperkuat kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan salah, antara yang patut dan tidak patut, antara yang hak dan yang bathil, antara kepentingan sendiri dengan kepentingan masyarakat, antara yang layak dan yang tidak layak, antara yang adil dan yang zalim, dan sebagainya. 235O.
Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia, Kwitang 22, Salatiga-Jakarta Pusat, 1975: 43-45; Hukum dan pemeliharan hukum perlu memihak kebaikan dan menolak kejahatan dalam bentuk apapun. 236 Mochtar Lubis, Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban), Yayasan Idayu, Ceramah di Taman Ismail Marzuki tanggal 6 April 1977, Cetakan kelima, di Jakarta, 1981: 18, 79. 175
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Sejalan dengan Iman Sudiyat; Menghidupkannya kembali hukum adat, akan memberi pada bangsa kita warna dan corak yang berwatak Indonesia, dan ikut pula membantu kita menemukan diri atau identifikasi kita dalam dunia sekarang ini. 237 Segala sesuatu berjalan sesuai dengan jalannya perubahan rasa keadilan rakyat. Dan rasa keadilan itu bergerak berhubungan dengan pertumbuhan hidup masyarakat yang selalu dipengaruhi oleh segala faktor lahir dan batin. Di dalam hukum barat tidak tersurat “Tujuan untuk memperbaiki orang yang salah, orang yang melanggar hukum, sebagai salah satu dasar yang terdapat pada sistem hukum kriminal barat, rupanya tidak terdapat pada sistem hukum adat tradisional”.238 Kita melihat buah pikiran dari Hegel, praktis memberikan pemecahan terhadap hampir semua masalah hukum dalam masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, aliran hukum positif dari abad 19 terlalu memberikan fungsi yang terbatas kepada hukum. Friedman mengatakan, bahwa hukum waktu itu hanya diberi fungsi sebagai obedient servant belaka. Hukum tidak tertulis atau hukum adat didasarkan pada proses interaksi dalam masyarakat, dan kemudian berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta memperlancar interaksi untuk menyelesaikan konflik dengan cara perdamaian. Menurut Koentjaraningrat (1967: 196, 197, 198) : “pengendalian sosial di dalam masyarakat, dapat dilakukan dengan cara (a). Mempertebal keyakinan masyarakat akan kebaikan kaedah-kaedah sosial tertentu, (b) memberikan penghargaan kepada masyarakat yang mentaati kaedah-kaedah sosial tertentu, dengan menerapkan sanksi-sanksi positif, 237Mochtar
Lubis, Ibid : 79. Sudiyat, Guru Besar Fakultas Hukum Univesitas Gajah Mada, Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberty Yogyakarta, Cetakan pertama 1978, cetakan kedua 1981 : Yogyakarta 1981:hal 177, 1980; 238Iman
176
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
(c). Mengembangkan rasa malu dalam diri masyarakat, apabila mereka menyimpang atau menyeleweng dari kaedah-kaedah atau nilai-nilai sosial tertentu, (4). Menimbulkan rasa takut, (5). Menyusun perangkat aturan-aturan hukum.239 Pendapat Fuller, dalam terbitan Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia (1986); bahwa manfaat hukum adat bagi pembangunan atau pembangunan hukum khususnya, adalah : 1. Ada kecenderungan di dalam hukum adat untuk merumuskan keteraturan perilaku mengenai peranan atau fungsi. 2. Di dalam hukum adat biasanya perilaku-perilaku dengan segala akibat-akibatnya dirumuskan secara menyeluruh, terutama untuk perilaku menyimpang dengan sanksinya yang negatif. 3. Biasanya di dalam hukum adat dirumuskan perihal pola penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi, yang kadang-kadang bersifat simbolis, dengan mengadakan atau menyelenggarakan upacara-upacara tertentu. Sudah tentu bahwa konteks sosial dari masingmasing suku bangsa, akan memberikan warna tertentu pada hukum adat tersebut, Namun tidaklah mustahil, bahwa dari perbedaan-perbedaan yang ada, dapat dicari persamaan-persamaan di dalam azas-azas hukumnya. Hukum tertulis yang tidak didasarkan pada hukum adat yang telah mengalami saringan, tidak akan mempunyai basis sosial yang kuat. Artinya, hukum tertulis tersebut goyah dan nantinya menjadi hukum yang mati, oleh karena tidak efektif. Tidak efektifnya hukum tertulis akan mengakibatkan merosotnya wibawa hukum, termasuk wibawa para penegak hukumnya.240 239 Soerjono
Soekanto, Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Penerbit Rajawali, ISBN 979-421-058-7, Cetakan ketiga, dicetak di Grafikatama Offset, Jakarta, 1986 : 94, 287, 289, 404. 240 Fuller, Lon. L. Human Interaction and The Law. 15 The American Journal of Jurisprudence, 1969 & Fuller, Lon. L. The Morality of Law. New Haven: Yale University 177
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
Polisi “bekerja” bukan sebagai pemadam kebakaran yang baru bekerja setelah ada kejadian, “karena kewajibannya” dalam tugas mengembangkan pemolisian masyarakat (Community Policing) dibarengi pendekatan kemitraan dengan penyelesaian masalah (Problem Solving). Polisi di tengah-tengah masyarakat harus mampu berperan sebagai bapak yang dapat melindungi dan mengayomi anak-anaknya, sebagai sahabat juga sebagai teman mampu beradaptasi kemitraan kebersamaan saling membantu dengan masyarakat, berperan sebagai anak yang dapat melayani orang tuanya, sebagai kakak yang dapat membimbing warganya seperti terhadap adik-adiknya, sebagai pelindung dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dapat mengayomi warganya, serta menegakkan keadilan masyarakat (Restorative Community Justice), yang berorientasi pada upaya musyawarah untuk perdamaian. Polisi masa depan harus mampu “berempati” terhadap korban kejahatan, mampu memberikan motivasi masyarakat dalam berpartisipasi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta melaksanakan penegakan hukum dengan kepastian berdasarkan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Terkait dengan perubahan paradigma POLRI selaku institusi sipil, terutama POLRI sebagai abdi masyarakat, maka setiap langkah operasional POLRI dalam lingkup peran selaku pemelihara kamtibmas maupun lingkup peran selaku penegak hukum harus selalu dijiwai oleh tampilannya sebagai sosok pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.241
Press, 1970 dalam terbitan Soerjono Soekanto, Soleman B. Taneko, Pembangunan dan Hukum Adat, Jakarta, (1983), hal: 408-409. 241 Bulsak Edisi No. 13/2003, Bulsak Buletin Staf Ahli Kapolri, Menarik Benang Kusut Disiplin Nasional, Jakarta, hal 5. 178
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
3 PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi yang dilakukan pada bab-bab terdahulu, maka dapatlah ditarik beberapa simpulan dengan berfokus pada beberapa hal: (1) keterpaduan peran yang dimainkan oleh kepolisian dalam menyelesaikan konflik antarparpol (2) strategi perpolisian masyarakat (community policing) dan orientasi yang dimainkan oleh kepolisian dalam menyelesaikan konflik antarpendukung parpol dan (3) reorientasi peranan POLRI dalam penyelesaian konflik politik antarpendukung parpol. Simpulan-simpulan mengenai ketiga hal tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama, peran POLRI dalam menangani konflik politik antarpendukung parpol di lokasi riset tidak hanya berkiblat pada proses-proses yudisial semata atau proses-proses penegakan hukum dalam artian yang sempit, melainkan menampilkan sebuah “keterpaduan peran” dalam proses penegakan hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia. Oleh karena konflik politik sangat kuat dengan dimensi kolektivitas, maka peran penegakan hukum yang dijalankan oleh POLRI sedapat mungkin dipadukan dengan peran-peran POLRI dengan strategi perpolisian masyarakat (Community Policing) dengan mengedepankan penyelesaian masalah (problem solving), yakni peran pengamanan dan penertiban 179
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
masyarakat, serta peran pengayoman, pelayanan, dan perlindungan masyarakat. Polisi selain menangani terhadap masalah kejahatan (repressive policing), polisi harus lebih besar perhatiannya terhadap penanganan masalah konflik dan sumber-sumber konflik, dengan menganalisa problem sosial sebagai masalah (problem oriented policing). Dengan menganalisis dan pemecahan masalah secara dini, timbulnya kejahatan, kekacauan, dan konflik-konflik dapat dicegah secara dini pula, sedangkan yang sangat strategis pencegahannya dengan mengedepankan fungsi Intel dan Bimmas. Cara tersebut memiliki tingkat efisien dan keefektifan yang lebih dibanding dengan cara mengatasi setelah terjadinya kejahatan, kekacauan, dan konflik-konflik yang terjadi di masyarakat. Kedua, pola-pola penyelesaian konflik politik antarpendukung parpol yang dikonstruksikan oleh Reorientasi peran POLRI sudah melampaui proses penegakan hukum konvensional, karena tidak hanya berorientasi pada dimensi “mengadili dan menghukum” tetapi juga mengupayakan perdamaian (restorative justice), keadilan dan kebenaran dalam suasana demokratis menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia. Untuk mendukung orientasi penegakan hukum yang demikian itu maka dalam menangani konflik politik antarpendukung parpol, POLRI sedapat mungkin lebih mengedepankan paradigma kepoli-sian community policing berorientasi kemitraan dengan pendekatan problem solving, dan berusaha meminimalisasi paradigma klasik kepolisian “bertangan besi bagi masyarakat” (the strong hand of society) yang lebih bersifat represif. Fanatisme sangat erat hubungannya dengan sikap emosional suatu kelompok yang berupaya mempertahankan kepentingannya. Kepolisian dalam menangani konflik dengan menggunakan strategi bertangan dingin bagi masyarakat” (the soft hand of 180
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
society) dengan tidak berdasarkan argumen-argumen politik semata, tanpa dilandasi dengan kerangka berdasarkan akademik dan substansi penilaian secara objektif, sedangkan fanatisme tidak terlepas dari elite politik yang bersifat provokatif yang menggiring emosional publik. Berbagai pernyataan-pernyataan dari para mubaliq baik dari PPP, PAN, maupun PKB, yang semula selalu bermuatan ejekan, hinaan, cercaan, permusuhan, dan sifatnya menyerang, harus dihindarkan. Ketiga, mekanisme penegakan hukum yang ideal dalam penyelesaian konflik politik antarpendukung Parpol pada prinsipnya mempertimbangkan keterpaduan peran POLRI dan orientasi penegakan hukum yang berwawasan perdamaian (Restorative Justice). Lembaga polisi bukan lembaga pemadam kebakaran, tetapi mencegah (preventif) jangan sampai terjadi kebakaran, namun lebih ditekankan untuk mencari sebab-sebab (preemtif) terjadinya kejahatan atau konflik politik. Hendaknya keberhasilan atau kesuksesan polisi tidak hanya dinilai dari polisi memasukkan beberapa orang ke dalam sel saja, namun tidak kalah pentingnya polisi yang dapat mencegah orang-orang masuk kedalam sel dengan mencari akar-akar permasalahan kenapa orang melakukan kejahatan. Polisi tidak menindak segalanya tetapi bagaimana memahami problemnya dengan The Tool The Problem Solving, polisi sebagai ilmuan sosial mencari sumber-sumber kekacauan dan sumber-sumber konflik untuk mewujudkan perdamaian Prinsip-prinsip yang mendasari peran kepolisian dalam proses menjaga keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum, antara lain: 1. Peran kepolisian dalam proses bekerjanya hukum harus selalu diorientasikan untuk mewujudkan perdamaian, kebenaran, dan keadilan dalam suasana demokratis dan menjunjung tinggi supremasi hukum serta harkat dan martabat manusia. 181
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
2. Seluruh aktivitas kepolisian dalam mewujudkan peranperannya dalam proses bekerjanya hukum harus lebih disemangati dan dipayungi oleh paradigma kepolisian dengan strategi Perpolisian Masyarakat (Polmas) yang biasa disebut community policing dengan menekankan kemitraan untuk menyelesaikan masalah (problem solving) atau kesetaraan untuk mengimbangi pengaruh paradigma the strong hand of society yang bersifat hirarkis dan menekankan kekuasaan. 3. Dalam menyelesaikan konflik yang berdimensi luas berimplikasi kontijensi dan melibatkan orang banyak, konflik antarpendukung parpol, polisi tidak cukup mengandalkan peran penegakan hukum semata, melainkan perlu dipadukan dengan peran-peran nonyudisial dengan strategi the soft hand of society untuk mengamankan dan menertibkan, mengayomi, melayani serta melindungi masyarakat. 4. Peran penegakan hukum yang dijalankan oleh polisi sedapat mungkin dilakukan secara fleksibel atau lentur dengan membuka peluang bagi polisi untuk melakukan diskresi agar hasil akhir dari proses bekerjanya hukum itu dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. 5. Sasaran akhir dari proses bekerjanya hukum tidak terletak pada proses mengadili dan menghukum, melainkan untuk mewujudkan perdamaian, kebenaran, dan keadilan dalam suasana demokratis menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia. 6. Penegakan hukum yang ideal pada hakikatnya adalah suatu usaha yang luhur dan mulia menjadi tanggung jawab bersama, untuk menciptakan ketentraman dan keadilan masyarakat, maka dari itu setiap masyarakat wajib berperan serta berpartisipasi dalam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta penegakan hukum demi terselenggaranya pembangunan nasional untuk menuju masyarakat adil makmur. 182
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
7. Penegakan hukum jangan sampai hanya menjadi sarana kepentingan diri sendiri atau golongan tertentu saja, karena hal itu akan menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi masyarakat. Usaha penegakan hukum pada hakikatnya harus didasarkan pada kemauan yang baik, berperspektif kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi, dan tidak didasarkan pada tujuan untuk melindungi yang berkuasa atau golongannya. B. Implikasi Hasil studi sebagaimana diuraikan pada bagianbagian terdahulu yang kemudian dipadatkan ke dalam beberapa simpulan di atas, ternyata berimplikasi kepada masalah peranan kepolisian pada tataran teoritik maupun praktis, untuk menyelesaikan masalah yang berwawasan untuk mewujudkan perdamaian dan ketentraman. Pada tataran teoretik, hasil temuan dari studi ini menuntut perlu adanya reorientasi peran POLRI dalam penegakan hukum yang dimainkan oleh POLRI selama ini, tidak cukup mampu untuk menciptakan kembali suasana aman damai dalam tatanan kehidupan sosial secara keseluruhan. Oleh karena itu teori hukum liberal yang didasari prinsip individualisme tidak relevan untuk dipakai sebagai kerangka acuan yuridis dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial-politik yang berdimensi komunalitas. Peran POLRI untuk menjalankan pelayanan masyarakat dalam bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum ditentukan oleh tiga faktor utama (key factor succes). Pertama, keberhasilan membentuk anggota polisi yang bertindak dengan perilaku yang seragam dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat; Kedua, keberhasilan anggota-anggota POLRI memiliki keahlian berinteraksi dengan masyarakat, 183
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
dengan dibekali prosedur yang mencerminkan kepedulian kepada masyarakat dan peralatan serta fasilitas fisik yang mencerminkan kepedulian tersebut; memakainya dengan baik di lapangan; Ketiga, pengelolaan physical evidence sebagai alat komunikasi untuk memperkuat pencitraan POLRI di mata publik. Setiap public service yang diberikan harus dapat diwujudkan dalam bentuk physical evidence Sedangkan pada tataran praktis, temuan ini memberikan wawasan baru dalam kebijakan penegakan hukum di Indonesia, dan dengan demikian perlu dilakukan regulasi hukum, baik pada tataran ide dan aplikasi penegakannya. Perangkat hukum yang perlu direformulasi terutama menyangkut peraturan perundangundangan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan upaya-upaya damai dalam proses penegakan hukum. Kemauan dan tindakan perdamaian merupakan amal saleh yang mulia Firman Allah SWT Juz 4, Ali Imran (Keluarga Imran) ayat 110 “ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang munkar”; seperti dianjurkan Allah SWT Juz 26, Al Hujurat (Kamar-Kamar) ayat (10) dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang mu‟min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” Rekonsiliasi atau perdamaian merupakan tindakan yang akan mendatangkan kebaikan bagi semua anggota masyarakat. Proses ini disebut muhasabah, menghitung dan menimbang peristiwa-peristiwa pahit yang telah melukai atau merugikan pihak-pihak tertentu. Berbagai pihak melakukan introspeksi sekaligus penilaian terhadap, kejengkelan, kemarahan, yang telah mencabik-cabik “ingatan bersama” (collective memory) tentang kebersamaan, solidaritas, rasa senasib sepenanggungan yang telah membuat negara dan 184
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
bangsa Indonesia eksis dan bertahan. Jika kita tidak solid dan masih diselimuti perasaan jengkel, dendam masa lalu terus akan berlanjut bukan tidak mungkin, negara-bangsa Indonesia nantinya akan tinggal nama dan menjadi kenangan saja. Pertama; Mengingat bahaya besar yang dihadapi bangsa dan negara, maka sudah sepatutnya POLRI tidak bosan-bosan mengusahakan menyelesaikan konflik politik dengan cara musyawarah untuk mewujudkan perdamaian dan rekonsilasi atau mediasi dengan berbagai kalangan masyarakat anak-anak bangsa. Kedua; Mengembangkan sikap empati kemanusiaan terhadap pelaku kejahatan, bahwa ia bagaimanapun adalah manusia yang dapat terjerumus kedalam kesalahan-kesalahan atau penyimpanganpenyimpangan yang merugikan masyarakat. Tidak seorang pun yang dapat menjamin dirinya tidak akan terjerumus ke dalam kesalahan atau kenistaan. Pengakuan tentang kelemahan dan kekurangan kemanusiaan ini merupakan sikap empati yang membuka pintu perdamaian. Ketiga; Musyawarah untuk perdamaian dan saling memaafkan bukan sekadar aktualisasi sikap moral bernilai tinggi yang berdiri sendiri, tetapi merupakan yang tak kurang mulianya, yaitu perbaikan (ishlah) dalam hubungan antarmanusia yang sebelumnya diselimuti kebencian dan dendam. Dengan kandungan nilai mulia ini, pemaafan secara implisit juga berarti menunjukkan kesiapan para pendukung partai politik untuk kembali hidup berdampingan secara damai di antara manusia-manusia yang berbeda dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing. Dari perspektif Islam, hal ini mengandung makna bahwa pemaafan tidak berarti menghilangkan proses hukum, terhadap kejadian yang pernah berlalu yang merugikan perorangan atau masyarakat. Sebaliknya penghukuman pidana tidak menghapus dosa-dosa seorang yang telah melakukan kejahatan. 185
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
C. Rekomendasi 1. Pada segenap jajaran pimpinan parpol dan elit politik perlu melakukan pembenahan organisasi menuju disiplin partai, fungsi parpol secara utuh berdasarkan kesadaran tentang kepatuhan hukum serta hakikat kehidupan berdemokrasi dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia. 2. Kepada seluruh da‟i/mubaliq perlu mengendalikan diri dan memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama kepada seluruh masyarakat, serta meninggalkan agitasi politik yang dapat mengundang kerawanan konflik sosial politik. Peran organisasi/ lembaga da‟wah Islamiah wajib ditingkatkan dengan berorientasi kepada hakikat Islam yang cinta perdamaian, demi kepentingan bangsa dan negara serta keselamatan dan kebahagiaan seluruh umat manusia. 3. Pentingnya penyempurnaan kinerja POLRI secara profesional dan proporsional dengan meningkatkan pendidikan etika-moral-budipekerti serta intelektualitas jenjang akademis menuju profesionalisme fungsi kepolisian yang sesuai dengan visi-misi dan fungsi POLRI menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Kode Etik Profesi Kepolisian dan Grand Strategi POLRI 2005 – 2025. 4. Pentingnya POLRI untuk mengenali sumber-sumber konflik dalam masyarakatnya, dengan meningkatkan strategi perpolisian masyarakat (community policing) berorientasi pendekatan kemitraan berbasis problem solving dengan menghayati kode etik profesi Kepolisian, untuk menuju profesionalisme POLRI yang dipercaya masyarakat dengan tidak memihak pada golongan atau pribadi, agar dapat meningkatkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan bagi masyarakat demi terwujudnya ketertiban umum 186
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
dengan rasa damai – aman – tentram tidak ada rasa kekawatiran. 5. Kepekaan dan kemampuan mengidentifikasi terhadap permasalahan dalam masyarakat, terkait erat dengan community policing kemampuan membangun hubungan dan kepercayaan dengan publik, serta kapabilitas dalam mendeteksi potensi konflik. Kreatifitas mencari solusi bagi masyarakat. Persyaratan ini juga merupakan bagian dari able to service. Namun berbeda dengan persyaratan tersebut, yaitu tuntutan skill yang terkait erat dengan restoratif justice yaitu kemampuan mencari solusi yang berbasis adil bukan sekadar menuntut ketentuan pasal hukum tertentu saja. 6. Kreatifitas mencari solusi konflik politik dan untuk mendapatkan gambaran mengenai usaha perdamaian, pertimbangan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional dan mengerti permasalahannya diperlukan partner/partisipan dalam usaha dalam mendamaikan konflik antarpendukung partai politik, bukan hanya dari pemerintahan namun juga harus melibatkan dari tokoh ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat, masyarakat, dan organisasi politik yang dapat berperan penting dalam usaha perdamaian. 7. Sosialisasi tentang partai politik kepada masyarakat oleh elit partai politik terhadap para pendukungnya di Jawa Tengah bahwa Partai Politik bersifat terbuka bagi setiap warga negara Indonesia. Dengan munculnya multi partai keragaman partai politik itu tidak menjadikan perpecahan atau pertentangan (konflik), tetapi justru menjadi tali pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, berjiwa Pancasila dan berdasarkan UUD 1945. 8. Mengingat konflik sudah menjadi hal yang membudaya dan sering terjadi, maka pendekatannya pun tidak hanya melalui pendekatan hukum semata, tetapi perlu dikaji dan dipahami secara mulitidisiplin, menyeluruh 187
Lembaga Kepolisian dan Penyelesaian Konflik Pendukung Partai
dan komprehensif supaya dapat ditemukan upaya pencegahan dan penanggulangan yang lebih tepat guna dan berdaya guna. 9. POLRI senantiasa harus berupaya meningkatkan kemampuannya, terutama penyidik tindak pidana pemilu untuk memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional dalam rangka penyidikan tindak pidana pemilu menurut ketentuan hukum yang berlaku dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keadilan dan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia. 10. Meningkatkan budaya kerja sama (corporate culture) antar penegak hukum, khususnya di bidang tindak pidana pemilu agar antara subsistem dapat berfungsi dengan baik, saling mengisi dan saling melengkapi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya dukungan dari masyarakat luas. 11. Fungsi pengawasan dari semua komponen masyarakat seperti pers, LSM, serta lembaga perwakilan rakyat lainnya sebagai fungsi kontrol (social control) dan sebagai dukungan dalam proses peradilan tindak pidana pemilu dapat berjalan dengan lebih baik, tidak bersifat intervensi, dan provokasi yang mengeruhkan situasi. 12. Melaksanakan penegakan hukum yang selaras dengan pembangunan nasional bukanlah merupakan sesuatu yang mudah, karena merupakan permasalahan manusia yang sangat kompleks sebagai suatu kenyataan sosial. Usaha penegakan hukum pada hakikatnya harus didasarkan pada kemauan baik, berperspektif pada kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi, tidak didasarkan pada mencapai dan melindungi yang berkuasa atau golongannya. br
188