Pola Nama Panggilan dalam Masyarakat Banjar Akhmad Humaidi
[email protected] STKIP PGRI Banjarmasin
Abstrak Onomastika agak terpinggirkan dalam kajian akademik di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari sedikit dan sulitnya menemukan penelitian dan bukubuku yang mengkaji bidang ini, padahal di berbagai belahan dunia kajian ini telah memicu sejumlah penelitian yang menarik. Kajian mengenai nama sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat unik karena pemberian nama tidak hanya menyentuh ide-ide yang abstrak, tetapi juga berhubungan dengan makna kontekstual dari simbol-simbol tersebut. Pemberian nama dapat mencerminkan pemikiran kolektif suatu masyarakat. Secara khusus, tulisan ini bertujuan memaparkan tentang nama-nama panggilan yang digunakan oleh masyarakat Banjar dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan nama diri yang diberi oleh orang tua, nama panggilan berasal dari masyarakat sehingga bersifat tidak resmi, tetapi justru lebih sering digunakan. Nama panggilan yang digunakan masyarakat Banjar dapat dibagi menjadi lima jenis, yaitu: (1) Pemendekan Kata, yakni penyingkatan nama lengkap dengan hanya menggunakan satu atau dua suku kata; (2) Nama kekerabatan, yakni penyebutan nama-nama kekerabatan Banjar; (3) Nama Status Sosial, yakni penambahan nama pekerjaan sebelum nama panggilan; (4) Julukan, yakni pemberian nama khusus berdasarkan sifat, perilaku, atau kejadian tertentu dari pemilik nama; dan (5) Panggilan Khas, yakni nama panggilan umum yang biasa digunakan oleh masyarakat Banjar kepada seseorang berdasarkan ciri tertentu. Nama panggilan masyarakat Banjar merupakan salah satu bidang kajian yang perlu mendapat perhatian dari para akademisi demi memperdalam wawasan keilmuan tentang kebudayaan Banjar tentang selera, keinginan, harapan, dan cita-cita masyarakat Banjar secara kolektif. Kata Kunci: nama panggilan, Banjar Pendahuluan Segala sesuatu yang ada di dunia pasti memiliki nama, baik itu benda mati maupun manusia, tidak ada satu orangpun yang tidak memiliki nama. Pemberian nama merupakan identitas yang diberikan kepada seseorang untuk membedakannya dengan yang lain. Studi tentang nama merupakan sebuah cabang dari Semiotik maupun linguistik yang bernama onomastik. Disiplin ini adalah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari nama-nama diri atau asal usul nama. Kata ini diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu onoma yang berarti nama. Kajian mengenai nama sangat menarik untuk diteliti karena nama secara tidak langsung mengaitkan pemiliknya dengan budaya tempat ia lahir. Meskipun demikian, displin ilmu ini kurang populer. Hal ini ditunjukkan dari sedikitnya penelitian yang mengkaji persoalan ini. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Widodo (2013, p. 83) penelitian tentang nama orang masih sangat terbatas jika dibandingkan berbagai kajian atau penelitian lain dalam bidang bahasa, sosial, dan budaya. Berbagai literatur penelitian yang ada selalu melihat nama dalam paradigma tunggal, yaitu sebagai struktur kebahasaan. Akibatnya, penelitian nama terjerumus ke dalam medan sempit dan kering karena tidak memberi pilihan terhadap sudut pandang yang lain, padahal ilmu bahasa pun tidak mungkin membatasi diri pada struktur logika internal saja. Kajian mengenai nama juga harus melibatkan unsur-unsur di luar nama tersebut.
Semua nama memiliki makna spesifik menurut sejarah dan budaya, walaupun kini masyarakat tidak menyadari hal itu (Danesi, 2011, p. 119). Hal ini ditunjukkan dalam berbagai budaya di dunia. Dalam budaya Barat nama berasal dari bahasa Ibrani seperti, David (dikasihi), Samuel (Tuhan telah mendengar), dan Mary (diharapkan); dari bahasa Yunani dan bahasa Latin seperti, Barbara (orang asing), George (petani), dan Victor (penakluk); dan dari bahasa Teutonik, seperti William (ketetapan), Howard, dan Edward. Nama-nama ini pada masa awal diketahui maknanya oleh pemiliki namanya. Dalam budaya Inggris di abad pertengahan, masyarakat memberikan pembedaan tambahan pada nama berdasarkan tempat. Oleh sebab itu, seseorang yang tinggal di dekat pohon apel akan dinamai “John –tempat apel tumbuh-, yaitu John Appleby. Hal ini yang melatarbelakangi munculnya nama-nama, seperti Wood, Lake, Brook, Stone, Field, Smith, atau Ford. Selain itu, nama juga dapat muncul karena pekerjaan, seperti Bell, Star, atau Swan; karena kota asal, seperti Middleton atau Kronenberg; dan karena deskripsi, seperti Little, Gross, atau Reid. Di belahan dunia yang lain, nama keluarga menjadi alasan pemberian nama. Pada akhir abad ke-10, kaum bangsawan di Eropa mulai menggunakan nama keluarga untuk membedakan status sosialnya dengan rakyat jelata. Nama ini diwariskan secara terun-temurun dari ayah kepada anaknya untuk menunjukkan kedudukan mereka di masyarakat. Cara ini mirip dengan kebudayaan di Arab. Perbedaannya, masyarakat Arab menambahkan nama ayah setelah nama, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan lain-lain. Pemberian nama juga tidak bersifat statis. Seiring perubahan zaman yang ditandai perubahan budaya, pemberian nama juga ikut berubah. Hal ini dibuktikan dalam pemberian nama pada masyarakat Jawa. Widodo (2013, p. 81) membuktikan bahwa nama-nama masyarakat Jawa kuno berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan pengaruh tradisi Hindu dan Budha dari India. Pengaruh ini masih terlihat pada nama-nama, seperti Dyah, Jaya, Dewi/Devi, Arya, dan Rangga. Kajian mengenai nama pribadi merupakan merupakan identitas yang dapat dianalisis untuk menemukan dan menggambarkan sejumlah keistimewaan. Nama-nama tidak hanya berkaitan dengan aspek kebahasaan. Nama orang di dalam lingkungan masyarakat tidak saja berhubungan dengan agen penyandang atau keluarganya saja, tetapi berkait rapat dengan aspek yang lain, misalnya waktu, tempat, suasana atau peristiwa, status sosial, sejarah, dan tradisi (Widodo, 2013, p. 82). Kajian mengenai nama, bahkan dapat menunjukkan bagaimana posisi jender dalam suatu masyarakat. Dalam budaya Tswana terlihat bahwa terdapat ketidakseimbangan konsepsi ideologis antara laki-laki dan perempuan, dan peran mereka dalam masyarakat (Rapoo, 2002, p. 41). Praktik penamaan seorang bayi dalam budaya Tswana didasarkan pada konvensi bahwa bayi laki-laki mengacu pada manusia sementara perempuan mengacu pada benda tak bernyawa. Misalnya jika seorang anak lahir ketika seseorang meninggal dan anak tersebut laki-laki, mereka akan diberi nama Mogomotsi yang berarti seseorang yang membawakanku kenyamanan, tetapi jika perempuan, ia akan diberi nama Segomotso atau Kgomotso yang berarti objek yang membuatku nyaman. Nama perempuan dalam budaya ini juga umumnya diberikan untuk mengekspresikan acuan estetis, sementara laki-laki menggambarkan kekuatan dan kecerdasan. Misalnya seorang perempuan diberi nama Sethunya yang berarti bunga. Nama ini sangat kontras dengan laki-laki yang diberi nama Mogale yang berarti orang yang berani dan jenaka atau lucu. Penamaan dalam masyarakat Banjar juga tidak lepas dari kebudayaan tempat seorang anak lahir. Masyarakat Banjar selalu diidentikkan dengan agama Islam dan agama ini telah menjadi ciri khas masyarakatnya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu orang-orang Dayak yang memeluk Islam dikatakan “menjadi orang Banjar” (Daud, 1997, p. 5). Keadaan ini membuat penamaan dalam masyarakat Banjar akhirnya sangat kuat dipengaruhi oleh agama Islam. Nama-nama dalam masyarakat Banjar selalu mengacu pada kebiasaan dalam aturan agama Islam. Nama masyarakat Banjar sebagian besar menggunakan bahasa Arab yang mengacu pada istilah-istilah keagamaan, seperti nama nabi atau sifat-sifat positif dalam kitab suci Al Quran.
Pemberian nama dapat mencerminkan pemikiran kolektif suatu masyarakat. Meskipun demikian, nama itu selalu diberi oleh orang tua atau keluarga dari anak yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan nama panggilan. Nama ini berasal dari lingkungan tempat seseorang tinggal sehingga bersifat tidak resmi, tetapi justru lebih sering digunakan. Masyarakat memiliki kebiasaan tertentu dalam memanggil seseorang. Ada pola-pola tertentu yang digunakan ketika memanggil seseorang. Hal ini menarik untuk ditelaah untuk mendeskripsikan bagaimana kebiasaan masyarakat terkait persoalan ini. Nama panggilan dalam masyarakat Banjar dapat dibedakan menjadi pemendekan kata, nama kekerabatan, nama status sosial, julukan, dan panggilan khas. Kajian menganai nama panggilan nama panggilan masyarakat Banjar perlu mendapat perhatian untuk memperdalam pengetahuan tentang kebudayaan Banjar. Pembahasan mengenai nama panggilan akan dipaparkan sebagai berikut. Pemendekan Kata Dalam memanggil nama seseorang, masyarakat jarang memanggil dengan nama lengkap nama yang bersangkutan, apalagi dengan nama penuh. Masyarakat lebih senang menggunakan nama yang disingkat. Selain lebih praktis, panggilan seperti ini membuat mereka terasa lebih akrab dengan mitra tuturnya. Proses pemendekan terjadi apabila suatu kata kehilangan atau mengalami pemendekan pada segmen atau suku kata namanya (Jaafar, 2015, p. 220). Pemendekan nama dalam masyarakat Banjar dapat dibedakan menjadi tiga jenis. Pemendekan yang dimaksud ialah dengan pengambilan suku kata inti, penambahan vokal, dan reduplikasi. Suku kata inti ini dapat diambil begitu saja sebagai nama panggilan atau mengalami perubahan terlebih dahulu. Perubahan melalui penambahan vokal ada dua, yaitu A atau I, sedangkan reduplikasi terjadi melalui sejumlah pengulangan kata pada suku kata inti. Meskipun demikian, seseorang dapat saja memiliki lebih dari satu nama panggilan, seperti Hanna Widyana dapat dipanggil dengan beberapa nama panggilan, yaitu Dya, Wiwi atau Wiwid, Widya, atau Hanna. Proses pemendekan nama panggilan dapat dilakukan dengan sekadar mengambil suku kata inti dari kosakata yang dimiliki oleh seseorang. Seorang penutur akan memilih dari sekian suku kata yang dimiliki oleh seseorang yang dia rasa paling nyaman untuk diucapkan. Suku kata ini dapat berbeda-beda tergantung dari kebiasaan dan mayoritas orang yang menggunakannya. Nama orang yang sama dapat memiliki panggilan yang berbeda ketika berada di dalam situasi yang berbeda. Proses pemendekan ini dapat diamati pada nama Norrifa Syahrida. Kosakata yang dipilih sebagai nama panggilan ialah Norrifa. Kata ini terdiri dari suku kata nor-ri-fa. Orang ini memiliki panggilan yang berbeda-beda. Ketika berada dengan teman yang dikenalinya dia dipanggil dengan nama Rifa, ketika berada berada di lingkungan keluarga dia dipanggil Ifa, sedangkan lingkungan yang lebih resmi dipanggil dengan kosakata yang lebih lengkap. Begitu juga dengan nama Najela Ahda Magfira. Dalam lingkungan teman sebaya, nama panggilan yang digunakan ialah Najela, sedangkan ketika berada di lingkungan keluarga nama panggilan yang digunakan ialah La. Suku kata la yang terletak di akhir kosakata dipilih sebagai suku kata inti karena terasa paling mudah dan praktis untuk disebutkan. Perubahan melalui penambahan vokal dapat dilihat pada nama Mishadianoor. Nama ini terdiri dari beberapa suku kata, yaitu mis-ha-dian-noor. Suku kata yang diambil sebagai nama panggilan ialah yang paling mudah disebut dan paling sesuai dengan pemilik nama. Dari empat suku kata itu, kata mis merupakan suku kata yang paling mudah dan sering digunakan karena letaknya yang berada di awal nama. Adapun suku kata yang lain, seperti dian dan noor dirasa tidak cocok karena lebih cenderung mirip dengan nama perempuan. Suku kata ini bisa saja digunakan, tetapi melalui perubahan bentuk sehingga bentuknya berubah menjadi lebih maskulin. Penambahan vokal pada suku kata ini ialah dengan adanya tambahan vokal I di awal. Perubahan ini membuat suku kata mis menjadi Imis. Vokal I terasa lebih pas bila dibandingkan dengan vokal A. Begitu juga dengan nama Rahmatullah. Nama ini terdiri dari suku kata Rah-mat-tul-lah. Suku kata inti dari nama ini terletak di bagian
tengah nama, yakni mat. Suku kata ini lebih mudah dan lebih nyaman digunakan sebagai nama panggilan dibandingkan suku kata yang lain. Orang ini dapat saja dipanggil dengan menyebutkan suku kata inti saja, yakni mat atau dengan melalui proses perubahan dengan menambahkan vokal A sehingga menjadi amat. Perubahan dengan vokal I dapat diamati pada nama Fitriani. Nama ini terdiri dari beberapa suku kata, yaitu fit-ri-ani. Nama panggilan yang digunakan kepada orang dengan nama ini biasanya melalui proses penambahan vokal I. Suku kata inti yang dipilih, ialah fit. Suku kata ini selanjutnya mengalami penambahan vokal I di bagian depan sehingga menjadi Ifit. Perubahan suku kata inti juga dapat terjadi melalui proses reduplikasi. Proses ini akan membuat sebuah suku kata inti yang awalnya pendek mengalami pengulangan beberapa kata sehingga menjadikannya lebih panjang. Proses ini bertujuan untuk membuat nama panggilan menjadi lebih nyaman untuk disebut. Proses ini juga terjadi pada nama Mishadianoor. Nama ini juga mengalami proses reduplikasi selain penambahan vokal. Suku kata mis tidak tepat untuk mengalami proses ini, tetapi suku kata dian dapat lebih mudah untuk disesuaikan. Suku kata ini akan mengalami proses reduplikasi dengan mengulang kata da menjadi dadan. Begitu juga dengan nama Ahmad Sarwani. Nama yang dipilih oleh mitra tuturnya sebagai nama panggilan ialah kosakata yang kedua yang terdiri dari suku kata sar-wan-i. Suku kata inti dalam nama ini ialah wan. Suku kata ini mengalami proses reduplikasi sehingga menjadi Wawan. Nama lain yang mengalami proses ini ialah Muhammad Salahuddin. Nama panggilan yang dipilih mitra tuturnya ialah Salahuddin yang terdiri dari sa-la-hud-din. Suku kata inti dalam nama ini ialah din. Nama ini mengalami proses reduplikasi menjadi didin. Nama Kekerabatan Nama kekerabatan menjadi salah satu pilihan ketika seseorang ingin memanggil orang lain dalam masyarakat Banjar. Nama kekerabatan yang dimaksud ialah nama panggilan yang berasal dari istilah-istilah kekerabatan dalam keluarga Banjar. Istilah itu muncul di depan, kemudian diikuti nama salah satu kerabat atau keluarganya. Panggilan kekerabatan ini antara lain terlihat pada pasangan suami istri yang baru saja memperoleh anak. Mereka seringkali tidak lagi dipanggil dengan nama aslinya, tetapi dengan nama anaknya. Mereka akan dipanggil dengan nama umanya si… yang berarti ibunya si… dan ayahnya dipanggil dengan abahnya si… yang berarti ayahnya si…. Panggilan ini diikuti dengan nama panggilan anaknya. Bila seorang ibu memiliki anak yang bernama Ahim dia akan dipanggil Umanya Ahim, sedangkan ayahnya akan dipanggil Abahnya Ahim. Nama anak yang dipanggil biasanya nama anak yang paling kecil. Panggilan ini sering terjadi bila keluarga itu berpindah tempat tinggal karena masyarakat lebih mengenal anaknya dibandingkan nama asli orang tuanya. Masyarakat mengenalnya melalui berita saat kelahiran atau ketika pemberian nama. Panggilan seperti ini juga berlaku pada seseorang yang pertama kali mempunyai cucu. Mereka juga akan dipanggil dengan pola seperti itu. Bagi laki-laki mereka akan dipanggil kayinya si… yang berarti kakekknya si … dan bila perempuan mereka akan dipanggil nininya si… yang berarti neneknya si … sesuai dengan nama cucunya yang paling muda. Pola ini juga terjadi pada pasangan yang baru saja menikah dan mertuanya. Di kalangan pemuda dan gadis teman dari pasangan tersebut, pasangan ini akan dipanggil sesuai dengan nama suami atau istrinya. Bagi laki-laki akan dipanggil lakinya si… yang berarti suaminya si… sedangkan bagi perempuan akan dipanggil bininya si… yang berarti istrinya si… sesuai dengan nama pasangannya tersebut. Adapun bagi mertua laki-laki atau perempuan akan dipanggil mintuha si… yang artinya mertua si… yang diikuti nama menantunya tersebut. Meskipun demikian, panggilan nama pasangan dan mertua ini lebih sering terjadi pada pasangan perkawinan antarkampung. Pola panggilan ini lebih populer dibandingkan dengan nama aslinya. Penyebab utamanya kemungkinan karena masyarakat belum mengenal orang tersebut sehingga mereka lebih senang untuk memanggil mereka dengan pola seperti ini.
Panggilan dalam lingkungan keluarga sendiri juga menggunakan pola panggilan berdasarkan istilah kekerabatan. Seseorang akan memanggil kerabat dalam lingkungan keluarganya berdasarkan posisinya dalam keluarga, seperti Amang yang setara dengan paman, Acil yang berarti tante yang merupakan saudara perempuan ayah atau ibu, Julak yang merupakan saudara ayah atau ibu yang paling tua, kai atau nini yang setara dengan kakek atau nenek, dan sebagainya. Panggilan ini umumnya dilakukan oleh anggota keluarga yang lebih muda kepada kerabat mereka yang lebih tua. Mereka tidak dibenarkan menyebutkan nama asli kerabat mereka yang lebih tua karena dianggap tidak sopan. Nama Status Sosial Nama panggilan dengan menyertakan status sosial juga merupakan salah satu cara masyarakakat Banjar untuk memanggil seseorang. Status sosial seseorang akan menentukan apa panggilan yang akan disematkan kepada mereka. Daud (1997, p. 98) menjelaskan bahwa di dalam masyarakat Banjar, penghargaan diberikan terhadap orang yang lebih tua umurnya, orang yang karena kualitas pribadi tertentu dituakan dalam masyarakat, orang-orang yang menduduki jabatan tertentu di dalam masyarakat desanya, atau jabatan-jabatan lain di luar desanya, dan dihormati karena menjabat sebagai guru, terutama guru agama, atau menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat. Seorang anak akan diajarkan untuk bersikap sopan santun kepada orang yang lebih tua. Bentuk penghormatan yang diberikan salah satunya dengan menggunakan nama panggilan tertentu kepada orang yang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi. Masyarakat Banjar biasanya menggunakan nama panggilan berupa status sosial sebagai salah satu bentuk penghormatan. Status sosial yang dimaksud antara lain dilihat dari segi kesolehannya dalam beribadah, pengetahuan agama, dan jabatan di masyarakat. Status sosial seseorang dapat meningkat ketika dia telah menjalankan ajaran agama Islam dengan baik. Salah satu printah agama Islam yang membuat nama panggilan seseorang berubah ialah setelah mereka melaksanakan ibadah haji. Ibadah ini merupakan salah satu kewajiban setiap muslim dari lima rukun Islam. Setiap muslim diwajibkan untuk melakukan perjalanan dari kampung halamannya menujuk Mekkah pada bulan Zulhijah untuk melaksanakan ibadah haji. Meskipun demikian, kewajiban ini hanya ditujukan kepada orang yang mampu baik dari segi material dan mental. Hal ini disebabkan karena perjalanan ini memerlukan persiapan dari segi biaya dan fisik. Persiapan itu tidak bisa dipenuhi oleh semua orang. Namun, masyarakat Banjar selalu berusaha untuk memenuhi rukun iman yang satu ini. Setelah seseorang kembali dari ibadah haji, masyarakat Banjar biasanya akan memanggilnya dengan nama yang berbeda, yaitu dengan nama Pa Haji atau panggilan yang lebih singkat, yaitu Ji. Orang yang mendapat panggilan ini secara tidak langsung telah mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai orang yang telah memiliki derajat keagamaan yang tinggi. Orang yang mendapat panggilan ini umumnya lebih dihormati daripada yang yang belum melaksanakan ini. Panghormatan kepada seseorang yang dianggap telah memiliki derajat yang tinggi dalam agama juga ditunjukkan ketika mereka menguasai ilmu agama dan mengajarkannya kepada masyarakat. Pada umumnya masyarakat akan memanggil para ulama dengan menambahkan nama profesi ini sebelum nama aslinya, misalnya masyarakat akan memanggil seseorang dengan nama Guru Udin bila nama panggilannya Udin. Namun, panggilan juga dapat dilakukan tanpa menyebutkan nama aslinya, tetapi dengan menyebutkan profesinya secara langsung, misalnya Tuan Guru. Orang yang dipanggil dengan nama ini telah dianggap sebagai orang yang memiliki ilmu agama yang tinggi. Panggilan ini digunakan kepada mereka sebagai sebuah bentuk penghormatan. Panggilan berdasarkan status sosial lain yang lazim digunakan ialah kepada orang yang menjabat sebagai lurah. Jabatan ini dalam masyarakat Banjar dikenal dengan nama pambakal. Orang yang memegang jabatan ini dalam masyarakat Banjar akan dipanggil dengan menyebutkan profesi ini baru diikuti namanya, misalnya Pambakal Usup bila nama panggilannya Usup. Meskipun demikian, panggilan seperti ini kurang lazim digunakan pada bentuk jabatan lain. Panggilan ini kemungkinan besar terkait akar sejarah masyarakat Banjar
yang pernah diperintah oleh Belanda. Pada zaman permulaan Hindia Belanda, tempat kedudukan seorang lurah yang merupakan bekas pejabat kesultanan setelah kerajaan Banjar ditaklukkan dibantu oleh beberapa pambakal (Daud, 1997, p. 65) Mereka mendapat tugas sebagai kepala dari wilayah-wilayah pemukiman tertentu yang berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang berangsur-ansur menjadi kepala kampung setelah lurah-lurah itu meninggal dunia. Oleh sebab itu, pambakal merupakan jabatan yang cukup tinggi dalam masyarakat Banjar di suatu perkampungan. Jabatan itu akhirnya dari generasi ke generasi terus disebut dengan pambakal, sekalipun sistem pemerintahan Hindia Belanda tidak digunakan lagi. Julukan Nama panggilan dengan menggunakan julukan dalam masyarakat Banjar dikenal dengan istilah galaran. Istilah ini dibedakan dengan sambatan atau ejekan. Sebuah nama panggilan digolongkan dalam galaran bila orang tersebut tidak merasa tersinggung dan nama ini digunakan secara terus-menerus, sedangkan bila orang tersebut merasa tersinggung dengan nama yang digunakan kepadanya, nama itu hanya digolongkan sebagai sambatan atau ejekan. Kajian mengenai galaran dalam masyarakat Banjar telah dilakukan oleh Ilmi (2013) yang mengambil lokasi penelitian di daerah Tabalong. Penelitian ini dapat dijadikan sumber pengkategorian galaran dalam masyarakat Banjar. Pemberian julukan lebih banyak dilakukan oleh anak-anak muda kepada teman sebayanya. Ada sejumlah penyebab mengapa seseorang diberikan galaran tertentu oleh temannya. Pertama, faktor kemiripan. Kemiripan ini meliputi kemiripan fisik baik dengan manusia maupun makhluk hidup lain, kemiripan keahlian, dan kemiripan sifat/perilaku. Kemiripan yang berasal dari kemiripan fisik biasanya diasosiasikan dengan selebritis di televisi, seperti Limbad yang merupakan nama pesulap, Tele yang merupakan salah satu tokoh di sinetron, atau Tessi yang merupakan pelawak. Nama selebritis yang menjadi galaran juga dapat muncul karena orang yang bersangkutan sangat mengidolakan tokoh tersebut. Kemiripan bentuk fisik dengan benda juga dapat menjadikan seseorang mendapat galaran, seperti Tarung yang merupakan nama sayur. Galaran ini diberikan karena orang yang bersangkutan berkulit berwarna gelap dan memiliki perawakan panjang yang oleh temantemannya diasosiasikan dengan buah terong. Kedua, kekurangan fisik. Kekurangan fisik yang dimaksud di sini hanya berkaitan dengan persoalan kecil dalam fisik seseorang yang membuatnya kesulitan dalam melakukan sesuatu bukan kekurangan fisik yang membuat seseorang kehilangan salah satu kemampuannya. Galaran ini tidak menyinggung orang yang dipanggil karena sifatnya hanya candaan. Nama panggilan seperti ini antara lain ialah limbi. Kata Limbi sendiri berasal dari istilah Takulibi, yaitu wajah seseorang ketika cemberut dengan mengembangkan bibir sedikit ke arah depan. Kondisi itulah yang menyebabkan galaran tersebut muncul. Ketiga, kebiasaan. Nama panggilan seperti ini antara lain ialah cindul. Galaran ini ditemukan pada seseorang akibat kebiasaannya sewaktu masih kecil. Orang ini sering mengeluarkan ingus yang dalam istilah Banjar disebut dengan Bahingusan, tetapi jarang dibersihkan sehingga ingusnya sering keluar menjulur dari dalam hidung. Bentuk ingus itu sendiri sering dianalogikan seperti cendol yang dalam bahasa Banjar diucapkan Cindul. Kebiasaan yang membuat seseorang dipandang ahli dalam melakukan sesuatu juga menyebabkan mereka mendapat galaran. Galaran ini seperti ini antara lain ialah upai. Orang yang mendapat galaran ini karena dia memiliki keahlian dalam memanjat pohon. Keahlian tersebut diasosiasikan dengan binatang yang bernama tupai sehingga, orang-orang memanggilnya dengan galaran Tupai. Namun, galaran tersebut lama-kelamaan berubah dengan penghilangan huruf “t” sehingga kata Tupai dalam panggilan berubah menjadi Upai. Pemendekan ini sering terjadi pada bentuk galaran-galaran yang lain, seperti, sikai menjadi ikai, sulai menjadi cula, Friday menjadi Iday, dan sebagainya. Kebiasaan yang disebabkan oleh pekerjaan yang dilakukannya sehari-hari juga menyebabkan munculnya galaran. Salah satu nama galaran yang tergolong dalam kategori ini ialah kulimbit. Orang yang mendapat gelar ini disebabkan karena pekerjaannya yang sehari-hari membersihkan daging atau lemak
hewan dari sisa-sisa kulit yang menempel. Dalam istilah Banjar, sisa-sisa kulit tersebut dikenal nama Kulimbit. Keempat, kejadian luar biasa. Galaran yang tergolong dalam kategori ini dapat disebabkan peristiwa-peristiwa tertentu yang pernah dialami seseorang yang menyebabkannya diingat dalam waktu lama sehingga sebuah galaran melekat pada diri seseorang. Galaran seperti ini yang pernah ditemukan, ialah dagadu. Orang yang mendapat galaran ini pernah digigit oleh ikan buntal yang meninggalkan bekas luka mirip lambang Dagadu, yaitu merek pakaian dari Yogyakarta. Perisiwa di masa kecil ketika melakukan permainan pun dapat menjadi alasan munculnya galaran. Salah satu galaran seperti ini ialah kudung. Orang ini mendapat galaran tersebut karena dia pernah bermain raja-rajaan dan memilih menjadi raja dari Kerajaan Mulawarman yang bernama Kudungga. Hal tersebut menyebabkan dia dipanggil dengan panggilan Kudungga yang berubah menjadi Kudung. Peristiwa khusus lain yang melatarbelakangi munculnya galaran yang pernah ditemukan ialah karena tempat tinggal dan hubungan seseorang dengan partai politik. Bentuk galaran yang muncul akibat tempat tinggal ditemukan pada seseorang yang dipanggil Masingai. Galaran ini muncul karena orang yang bersangkutan pernah tinggal di suatu daerah yang bernama Masingai selama beberapa tahun. Setelah kembali ke kampung halaman, teman-temannya banyak memanggilnya dengan nama Masingai. Adapun galaran yang melekat pada seseorang akibat dipengaruhi partai politik, ditemukan pada seseorang yang bernama murba. Orang yang mendapat galaran ini memiliki ayah yang menjadi pengurus salah satu partai bernama Murba pada tahun 1999. Akhirnya, anaknya dipanggil oleh temantemannya dengan nama partai tersebut. Nama panggilan dengan menggunakan galaran menjadi salah satu pilihan masyarakat Banjar untuk memanggil seseorang. Panggilan ini digunakan antara orang yang memiliki tingkat sosial dan umur yang setara. Selain itu, galaran juga digunakan sebagai salah satu bentuk candaan bagi sesama mereka. Panggilan Khas Panggilan khas yang dimaksud dalam tulisan ini ialah nama panggilan yang hanya digunakan dalam masyarakat Banjar. Bentuk panggilan seperti ini juga digunakan dalam kebudayaan lain, tetapi nama khas ini di dalamnya tidak sama satu sama lain. Masyarakat Banjar sangat memegang erat berbagai aturan dalam agama Islam, termasuk pemberian nama. Dalam literatur Islam terdapat hadis yang menjelaskan tentang apa yang harus dilakukan oleh orang tua kepada anaknya yang baru lahir. Hadis yang dimaksud ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan At Tirmidzi berbunyi “Dari Samurah bahwa rasulullah bersabda, ‘Setiap anak itu tergadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur rambutnya, dan diberi nama.” Hadis ini menjelaskan tentang kewajiban orang tua untuk melaksanakan aqiqah kepada anaknya pada hari ketujuh setelah kelahiran. Aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari ketujuh dari hari lahirnya anak (Rasjid, 1987, p. 51). Di dalam hadis ini, ada petunjuk disyariatkannya mencukur gundul anak yang dilahirkan pada hari ketujuh dan memberinya nama dan dianjurkannya untuk bersedekah dengan emas atau perak seberat timbangan rambutnya (Al Asqalani, 2015, p. 1045). Aqiqah sebagai salah satu ajaran Islam menjadi bagian dalam kebiasaan masyarakat Banjar. Upacara pemberian nama sebagai bagian dari aqiqah dalam masyarakat Banjar disebut sebagai batasmiah. Kata ini berasal dari tasmiya, akar kata bahasa Arab samma yang artinya memberi nama yang dilekati oleh morfem ba sehingga maknannya menjadi melakukan tasmiya. Upacara pemberian nama dalam masyarakat Banjar dilakukan dengan cara bayi dipangku oleh ayahnya atau pria kerabat dekatnya yang lain di hadapan orang yang bertugas membacakan beberapa ayat dari surah Ali Imran. Kemudian, bayi dihadapkan kepada salah seorang hadirin yang paling alim, yang bertugas memberikan nama baginya dengan mempergunakan formula bahasa Arab tertentu (Daud, 1997, p. 222). Sebelum bayi mendapatkan namanya melalui proses batasmiyah, bayi tersebut dipanggil dengan panggilan khas masyarakat Banjar, yakni nanang atau anang jika laki-laki
dan galuh atau aluh jika perempuan (Daud, 1997, p. 67). Sebutan ini di lingkungan kerabat dekatnya dapat saja terus melekat kepada anak itu meskipun telah diberi nama pada ritual batasmiyah. Nama yang diberikan oleh orang tua tetap muncul dan digunakan di kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, sebutan nanang dan aluh ini kadang-kadang tetap muncul di depan nama aslinya. Sebutan ini juga digunakan pada anak-anak yang belum dikenal namanya. Namun, pada kasus ini terdapat tambahan kata su di depannya sehingga menjadi su anang atau su aluh. Di daerah pahuluan nama yang digunakan agak berbeda dengan nama yang telah disebutkan sebelumnya. Nama nanang dan galuh biasanya digunakan oleh masyarakat Banjar yang tinggal di sekitar Banjarmasin, Martapura, dan Pelaihari. Daerah pahuluan merupakan daerah yang termasuk dalam daerah aliran sungai-sungai yang merupakan cabang sungai Negara. Daerah ini dinamakan pahuluan, sedangkan masyarakat banjar yang tinggal di daerah ini disebut orang pahuluan. Daerah yang dikategorikan dalam kelompok ini meliputi daerah Hulu Sungai di Kalsel, yaitu Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, dan Hulu Sungai Utara, serta Tabalong (Hapip, 2008, p. ix). Nama panggilan di daerah ini ialah utuh bagi anak laki-laki Kata ini kemungkinan berasal dari kata butuh yang dalam bahasa Banjar berarti kemaluan laki-laki. Adaun nama panggilan bagi anak perempuan tidak jauh berbeda, yakni aluh. Nama-nama ini merupakan panggilan khas masyarakat Banjar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Simpulan Penamaan dalam masyarakat Banjar terikat erat dengan ajaran Islam. Nama-nama yang digunakan sebagian besar mengacu kepada istilah-istilah dalam kitab sucinya, yaitu Al Quran. Hal ini mencerminkan pikiran kolektif masyarakat yang identik dengan ajaran Islam. Meskipun demikian, nama panggilan memiliki karakteristik yang berbeda. masyarakat akan memanggil seseorang dengan nama tertentu untuk tujuan kepraktisan, kenyamanan, dan kehormatan. Ada empat jenis nama panggilan yang digunakan oleh masyarakat Banjar dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, pemendekan nama. Proses pemendekan nama panggilan dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu penggambilan suku kata inti dari kosakata yang dimiliki oleh seseorang, penambahan vokal A dan I, serta reduplikasi pada suku kata inti. Kedua, nama kekerabatan, yakni penyebutan nama-nama kekerabatan Banjar. Masyarakat Banjar menggunakan pola ini pada pasangan suami istri yang baru saja memperoleh anak, kakek yang baru saja memperoleh cucu, pasangan yang baru saja menikah dan mertuanya Istilah kekerabatan dapat juga disebutkan secara langsung, tetapi hanya dalam lingkungan keluarga yang bersangkutan. Ketiga, nama status sosial, yakni penambahan nama pekerjaan sebelum nama panggilan. Nama status sosial yang digunakan mengacu kepada jabatan, pengetahuan agama, dan pemenuhan kewajiban dala menjalankan rukun Islam kelima. Keempat, julukan, yakni pemberian nama khusus berdasarkan sifat, perilaku, atau kejadian tertentu dari pemilik nama. Julukan yang digunakan masyarakat Banjar dapat dikategorikan berdasarkan kemiripan dengan seseorang atau sesuatu, kekurangan fisik, kebiasaan, atau kejadian luar biasa yang pernah dialami oleh pemilik nama. Kelima, Panggilan Khas, yakni nama panggilan umum yang biasa digunakan oleh masyarakat Banjar kepada seseorang berdasarkan ciri tertentu. Nama ini biasanya digunakan ketika seorang anak belum diberi nama secara resmi. Nama panggilan masayarakat Banjar merupakan salah satu bidang kajian yang perlu mendapat perhatian dari para akademisi demi memperdalam wawasan keilmuan tentang kebudayaan Banjar. Kajian ini perlu dikembangkan karena telaah tentang praktik penamaan masih kurang populer, padahal kajian ini sangat menarik untuk menggambarkan tentang selera, keinginan, harapan, dan cita-cita masyarakat Banjar secara kolektif.
Daftar Rujukan
Al Asqalani, A. I. (2015). Bulughul Maram dan Penjelasannya. Jakarta: Ummul Qura. Danesi, M. (2011). Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Daud, A. (1997). Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hapip, A. D. (2008). Kamus Banjar Indonesia. Banjarmasin: CV Rahmat Hafiz Al Mubaraq. Ilmi, M. (2013). Proses Penamaan (galaran) pada Masyarakat Desa Jangkung Kabupaten Tabalong. Banjarmasin: PBSI Universitas Lambung Mangkurat. Jaafar, S. R. (2015). Pembentukan Kependekan Kata Nama Melayu. Jurnal Bahasa, 219-236. Rapoo, C. K. (2002). Naming Practice and Gender Bias in the Setswana Language. Women and Language, 41-44. Rasjid, S. (1987). Fiqih Islam. Bandung: CV Sinar Baru Bandung. Widodo, S. T. (2013). Javanese Names during the Height of the Hindu-Buddhist Kingdoms in Java: An Ethnolinguisic Study. Kemanusiaan, 81-89. Widodo, S. T. (2013). Konstruksi Nama Orang Jawa Studi Kasus Nama-Nama Modern di Surakarta. Humaniora, 82-91.