Bagian I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Permasalahan Konflik bukan hal yang asing bagi rakyat Aceh. Wilayah yang memiliki kepadatan penduduk lebih dari 4 juta jiwa ini telah mengalami konflik berkepanjangan sepanjang sejarah, mulai dari perjuangan melawan Belanda hingga perlawanan kelompok DI/TII terhadap pemerintahan RI. Pertikaian antara pemerintah yang diwakili aparat militer dengan rakyat yang dianggap pemberontak yang populer dengan istilah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai mendapat gelar yang berbeda yaitu menjadi Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), telah menyebabkan provinsi yang berada di wilayah paling Barat Indonesia ini dianggap menyimpan banyak pemberontak, sehingga pemerintah mengambil tindakan memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada tahun 1991. Meskipun status “DOM” sempat ditarik, namun konflik terus berlangsung. Pemerintah kembali menaikkan status Aceh menjadi “Darurat Militer” bahkan pemberlakuannya diperpanjang dua periode, baru sesudah itu menjadi “Darurat Sipil” dan berakhir setelah bencana tsunami di penghujung tahun 2004. Tidak dapat dipungkiri bahwa penderitaan rakyat tidak terhindarkan saat operasi militer ini dijalankan. Sepanjang pemberlakuan DOM di Aceh, sangat banyak tingkat kekerasan terjadi di Aceh, bahkan dialami oleh rakyat yang sama sekali tidak mengetahui dan tidak terlibat dalam GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Aksi kekerasanpun tidak terbatas pada pemukulan, pemerkosaan, perampasan harta bahkan nyawa tapi kemarahan tidak langsung terhadap fasilitas dan prasarana fisik seperti pembakaran gedung sekolah juga dilakukan oleh pihak yang bertikai, entah itu GPK ataupun aparat keamanan. Hubungan sosial kemasyarakatan rusak karena
~1~
adanya prasangka dan saling curiga. Jelas hal tersebut menyebabkan terjadinya pembodohan masyarakat, kemunduran sosial dan keterbelakangan ekonomi. Tentunya harapan ‘Damai’ menjadi sangat tinggi karena realitas dari ketidakdamaian atau konflik telah menyisakan kemiskinan yang tinggi. Sebaliknya kemiskinan yang tinggi dapat menjadi perusak perdamaian. Hal ini seperti suatu rantai yang mesti diputus untuk dapat mengawali perdamaian dengan memberi perubahan pada kemiskinan dan disisi lain, mengurangi kemiskinan untuk memberi perubahan pada ketidakdamaian. Konflik juga ikut merusak tatanan sosial masyarakat desa (gampong). Peran tokoh agama, tokoh adat dan tetua gampong menjadi kabur, bahkan pemerintahan gampong pun menjadi kurang maksimal karena masyarakat hanya menempatkan fungsi aparatur gampong pada fungsi administrasi seperti pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK), sehingga keperdulian dan partisipasi terhadap pembangunan gampong sangat rendah. Hal ini ikut mempengaruhi lahirnya kebijakan-kebijakan gampong yang jauh dari ideal, karena kontrol masyarakat terutama melalui pranata sosial gampong menjadi hilang. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan merupakan sesuatu yang sangat dinanti atau diharapkan untuk mampu memberikan atau mewujudkan keadaan seperti yang diinginkan. Namun keadaan yang bertolakbelakang dari itu pun dapat terjadi. Hal ini disebabkan karena kebijakan dapat memiliki dua sifat yang saling bertentangan, yaitu kebijakan yang bijak dan kebijakan yang tidak bijak. Bijak berarti baik, jadi bila lahirnya suatu kebijakan ternyata dapat memberikan dampak pada ketidakbaikan, maka kebijakan tersebut adalah kebijakan yang tidak bijak. Kebijakan-kebijakan yang tidak bijak dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan tertentu yang tidak dilandasi pada rasa keadilan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, baik dari segi tujuan maupun pada sisi proses kebijakan tersebut dibuat. Salah satu aspek keadilan yang sering diabaikan adalah keadilan gender.
~2~
Diskriminasi gender ternyata tidak hanya terjadi di lingkungan domestik, namun teridentifikasi juga dalam interaksi sosial kemasyarakatan, termasuk dalam program-program pembangunan gampong. Realitas tersebut di atas telah melandasi an-Nisaa’ Centre Banda Aceh bekerjasama dengan American Friend Service Commite (AFSC) Indonesia dalam mengaktualisasikan aktivitas sosial ekonomi di wilayah konflik melalui aktivitas pendampingan kepada masyarakat gampong dalam program Kampung Damai. Program tersebut juga direncanakan akan dilanjutkan dengan program penguatan terhadap pranata sosial gampong untuk dapat melahirkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengakomodir kepentingan perempuan. Kebijakan pranata khususnya
berkenaaan dengan perencanaan pembangunan gampong
mengikutsertakan perumusannya,
perempuan sesungguhnya
sebagai adalah
bahagian untuk
integral
dalam
mengidentifikasi
yang proses
kebutuhkan
masyarakat gampong dimana semua komponen yang berkepentingan terlibat di dalamnya, sehingga tidak ada kepentingan yang terabaikan, karena pada hakekatnya pembangunan yang berorientasi pada manusia berarti bertumpu pada semua kepentingan, laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu, pendekatan yang kemudian digunakan adalah dengan tidak lagi memposisikan perempuan sebagai objek pembangunan semata, namun mengikutsertakan perempuan
untuk
berpartisipasi langsung dalam penentuan arah pembangunan gampong, melalui perencanaan pembangunan gampong, karena ia menjadi pilar penting dalam penentuan kebutuhan pembangunan gampong. Selain itu adalah dengan melakukan identifikasi kebutuhan yang berorientasi keberpihakan pada masyarakat luas serta memungkinkan tersedianya akses informasi pembangunan yang dapat dinikmati oleh semua masyarakat gampong termasuk perempuan. Pendekatan di atas tidak terlepas dari realitas permasalahan yang selama ini terjadi, yaitu:
~3~
(1). Perempuan hanya sebagai objek pembangunan dan tidak diikutsertakan untuk berpartisipasi langsung, sehingga output pembangunan banyak diskriminatif. (2). Banyak program yang bersumber dari pemerintah maupun lembaga donor lain, namun dilakukan dengan tidak didasarkan pada penggalian kebutuhan masyarakat. (3). Pada tingkat pengambil kebijakan pun, sangat sedikit bahkan tidak adanya perencanaan yang menyeluruh, sehingga bantuan program hanya bersifat sementara dan tidak berkelanjutan. Dalam kerangka itulah penelitian terhadap Pranata Sosial dan Kebijakan Pembangunan Yang Mengakomodir Kepentingan Perempuan menjadi penting dilakukan, sehingga dapat merekomendasi kebutuhan program yang sesuai dengan realitas di tingkat komunitas. Selain itu, penelitian terhadap Dampak Program Kampung Damai dilakukan untuk melihat sejumlah manfaat yang dirasakan akibat adanya program, sehingga menjadi evaluasi terhadap efektifitas pelaksanaan program pendampingan masyarakat.
1.2. Tujuan dan Manfaat Analisis terhadap dampak dari program pendampingan ”Kampung Damai” ini menjadi kajian yang sangat perlu dilakukan, karena akan menjadi evaluasi terhadap efektifitas program pendampingan masyarakat yang dijalankan, sekaligus menjadi
rekomendasi
terhadap
pemerintah,
swasta
dan
lembaga
sosial
kemasyarakatan dalam dan luar negeri yang memiliki orientasi pembangunan masyarakat khususnya di wilayah konflik. Sedangkan terhadap ‘Kebijakan Pranata Sosial Yang Mengakomodir Kepentingan Perempuan’, tujuan dan manfaat dilakukannya penelitian ini yaitu:
~4~
Tujuan 1) Melihat ada tidaknya, diskriminasi terhadap peran perempuan khususnya dalam hal keterlibatan perempuan sebagai pengambil kebijakan pembangunan di gampong. 2) Melihat ada tidaknya, kebijakan pranata sosial (gampong) yang telah atau belum mengakomodir kepentingan perempuan. Manfaat 1) Melakukan penggalian terhadap konsep gender yang dipahami pranata sosial gampong. 2) Memperlihatkan realitas ada tidaknya pemahaman dan prilaku masyarakat (pranata sosial gampong) yang bias gender. 3) Melandasi kebijakan penyusunan program lembaga sesuai dengan kondisi dan kebutuhan komunitas dampingan.
1.3. Metodelogi Penelitian untuk melihat Dampak Program Kampung Damai, dilakukan di Gampong Siem dan Gampong Krueng Kalee. Teknik pengambilan sampel yang di gunakan teknik sampling non random tepatnya Purposive Sampling atau sampling bertujuan. Alasan yang mendasari penggunaan teknik ini karena sampel dipilih khusus berdasarkan maksud penelitian. Disamping itu, digunakan juga metode sensus khususnya untuk melihat manfaat kelompok swadaya masyarakat (KSM). Sampel untuk melihat aspek ini adalah penerima manfaat langsung dari program Kampung Damai sebanyak 50 orang yaitu anggota KSM di kedua gampong tersebut di atas.
~5~
Untuk kebutuhan penelitian ini, data diperoleh dengan menyebarkan kuesioner (angket), wawancara, melakukan Focus Group Discussion (FGD), dan juga observasi partisipatif. Dalam wawancara, digunakan kedua teknik yaitu terpimpin dan tidak terpimpin. Wawancara terpimpin dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terarah untuk mengumpulkan data-data yang relevan saja. Hal ini dilakukan bila peneliti membutuhkan waktu yang cepat, dan responden pun tidak memiliki cukup banyak waktu karena harus menyelesaikan agenda kegiatan yang lain. Teknik ini memudahkan peneliti dalam melakukan pengolahan data karena pertanyaan yang telah dipersiapkan (diarahkan) lebih sistematis. Meskipun demikian, hal seperti ini tidak sering dilakukan karena terkesan sangat formal dan kaku bahkan dapat membuat responden menjadi tidak nyaman karena dibebani dengan angket yang harus dijawab. Wawancara yang dominan dilakukan adalah menggunakan teknik tidak terpimpin. Pada penelitian ini, wawancara sering dilakukan secara informal sambil responden tetap melakukan aktivitasnya, di warkop (warung kopi) gampong, kadang juga disela-sela responden menjalani kerja sehariannya. Meskipun menyita banyak waktu, namun cara ini lebih menyamankan suasana terutama terhadap responden. Responden tidak merasa terganggu sehingga pada akhirnya dapat diperoleh informasi yang lebih banyak. Analisa data dilakukan secara kualitatif dengan bahasan yang dapat mendeskripsikan tidak hanya hasil angket (kuesioner) yang dijawab responden, tapi juga deskripsi pendapat hasil wawancara dan observasi peneliti. Sedangkan pada penelitian terhadap Pranata Sosial dan Kebijakan Pembangunan yang Mengakomodir Kepentingan Perempuan, lokasi penelitian akan dilakukan di Gampong Lambiheu Lambaro Angan dan Gampong Siem. Teknik pengambilan sampel juga digunakan teknik sampling non random tepatnya Purposive Sampling atau sampling bertujuan. Alasan yang mendasari penggunaan teknik ini juga karena sampel dipilih khusus berdasarkan maksud penelitian.
~6~
Dalam penelitian ini, yang akan dilihat adalah kebijakan pembangunan pranata sosial yang mengakomodir kepentingan perempuan, tentunya banyak informasi dan data yang dibutuhkan dari pranata sosial gampong untuk kepentingan penelitan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya: Pranata Sosial Gampong, termasuk didalamnya: Geusyiek, Tuha Peut Gampong dan juga masyarakat secara umum mewakili berbagai lapisan, baik tokoh masyarakat, pemuda, masyarakat biasa (tani), dan yang paling penting juga kelompok perempuan, posyandu maupun CBO Perempuan yang baru terbentuk, dengan jumlah responden 50 orang. Hal tersebut dirasakan sangat penting untuk dapat diperoleh penilaian yang lebih general dan tidak subjektif. Untuk kebutuhan penelitian ini, data juga diperoleh dengan menyebarkan kuesioner (angket), wawancara, melakukan FGD dan observasi partisipatif. Untuk menghindari salah penafsiran, pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner sengaja dibuat tertutup dengan pilihan jawaban yang telah tersedia namun tetap tersedia alternatif jawaban dari responden yang tidak tertera dalam daftar pilihan. Selain itu ada pula pertanyaan yang bersifat terbuka khususnya menyangkut alasan dan pendapat responden yang melatarbelakangi pilihannya pada daftar pilihan yang tersedia. Dalam wawancara, digunakan teknik terpimpin dan tidak terpimpin. Adanya fasilitator dari an-Nisaa’ Centre yang tinggal di gampong juga dapat memudahkan peneliti untuk melakukan observasi partisipatif. Seperti halnya pada penelitian Dampak Program Kampung Damai, untuk penelitian Pranata Sosial ini, analisa data juga dilakukan secara kualitatif, dengan bahasan yang mendeskripsikan tidak hanya hasil angket (kuesioner) yang dijawab responden, tapi juga deskripsi pendapat hasil wawancara dan observasi peneliti.
~7~
Bagian II Wilayah Kerja Program Kampung Damai dan Rencana Penguatan Pranata Sosial Gampong oleh an-Nisaa’ Centre 2.1. Deskripsi Gampong Gampong atau desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Mukim, yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Geusyiek dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong, akan dilaksanakan oleh Pemerintah Gampong dan Tuha Peut Gampong. Pemerintah gampong adalah Geusyiek dan perangkat gampong dibantu lembaga adat gampong seperti Imum Meunasah yang disebut juga Imum Chik. Tuha Peut gampong dan pemerintah gampong adalah pranata sosial yang akan membantu menyelesaikan permasalahan kemasyarakatan di gampong. Siem Gampong Siem merupakan salah satu dari 29 gampong (desa) di Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar. Secara geografis, gampong ini berbatasan di sebelah Utara dengan Lambiheu Lambaro Angan, sedangkan di Selatan, berbatasan dengan Lamreh dan Gampong Cot Lamee Leupung Kecamatan Kuta Baro. Sebelah Barat Siem berbatasan dengan Lambiheu Angan yang juga termasuk desa di kecamatan Darussalam dan di sebelah Timur berbatas dengan Krueng Kalee. Wilayah Gampong Siem mencapai 284 hektar. Kawasan perumahan atau pemukiman +10 hektar, persawahan +154 hektar, perkebunan +20 hektar, perladangan +10 hektar dan lainnya mencapai +90 hektar. Penduduk Gampong Siem mempunyai +138 keluarga (KK) dengan jumlah penduduknya seluruhnya 458 jiwa laki-laki dan perempuan. Masyarakat Siem memiliki beberapa mata
~8~
pencaharian yaitu: pegawai negeri (14 orang), bidang pertukangan (95 orang) dan +377 orang lainnya adalah petani. Seperti halnya desa tetangganya Lambiheu Lambaro Angan, pengairan persawahan di Siem berharap pada curah hujan. Itu menyebabkan pendapatan petani relatif sangat rendah karena hasil tani sawah sebahagian besarnya digunakan untuk kebutuhan sendiri. Siem merupakan kawasan konflik Pemerintah RI dengan GAM. Sejak konflik, banyak peristiwa ‘berdarah’ terjadi yang menyeret masyarakat dalam konflik vertikal maupun horizontal. Tumbuhnya rasa curiga dalam lingkungan warga ikut menyebabkan rontoknya pranata sosial yang sudah terbangun sekian lama. Masyarakat menjadi terpecah menjadi dua blok, yaitu yang pro dengan GAM dan yang mendukung TNI. Setelah proses penandatangan MoU Helsinki keadaan mulai berubah dan telah memberikan ruang baru bagi terbangunnya rasa aman untuk kehidupan masyarakat, namun bangkit kembali meniti kehidupan pasca konflik tidaklah mudah. Banyak agenda program penyembuhan harus dilakukan, bukan saja ekonomi, program trauma healing menjadi sangat penting dilakukan sebagai upaya penyembuhan bagi mereka yang mengalami trauma konflik. Krueng Kalee Gampong Krueng Kalee juga termasuk salah satu gampong di wilayah Kecamatan Darussalam. Gampong dengan penduduk yang memiliki mata pencaharian utama sebagai petani ini, memiliki luas wilayah 1842 hektar dengan daerah perumahan atau pemukiman 4 hektar, persawahan 63 hektar, perkebunan 32 hektar dan perladangan 25 hektar. Gambaran menarik di gampong Krueng Kalee bahwa gampong ini memiliki luas wilayah yang tidak terpakai mencapai 1.738 hektar pada hamparan gunung dan hutan yang belum dikelola sacara optimal. Wilayah ini berbatasan dengan Pegunungan Seulawah di bagian Timur, bagian Barat berbatasan dengan Siem dan Lambiheu, bagian Utara berbatasan dengan
~9~
Lambaro Sukon dan bagian Selatan dengan Gp. Cot Lamee Kecamatan Kuta Baro Aceh Besar. Gampong Krueng Kalee memiliki penduduk 253 jiwa, meliputi kelompok usia produktif, 16-21 tahun sebanyak 42 jiwa dan 22-59 tahun sebanyak 187 jiwa. Seperti halnya Gampong Siem, Krueng Kalee juga merupakan salah satu wilayah basis konflik di Aceh Besar. Lambiheu Lambaro Angan Seperti Gampong Siem dan Gampong Krueng Kalee, Gampong Lambiheu Lambaro Angan juga merupakan salah satu gampong yang berada di Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar. Batas-batas Gampong Lambiheu Lambaro Angan adalah: sebelah Timur berbatasan dengan Lambaro Sukon, sebelah Barat berbatasan dengan Lambiheu Siem, sebelah Utara berbatasan dengan Lambada Pekan dan sebelah Selatan berbatasan dengan Gampong Siem. Lambiheu Lambaro Angan termasuk gampong yang terkena imbas langsung Tsunami karena wilayahnya yang sangat berdekatan dengan lokasi bencana. Gampong ini juga sangat berdekatan dengan ibukota kecamatan. Pada masa terjadi konflik di Aceh, Gampong Lambiheu Lambaro Angan termasuk salah satu dari sejumlah gampong yang menjadi sasaran operasi TNA maupun TNI. Meskipun secara demografi, posisi Gampong Lambiheu Lambaro Angan berdekatan dengan ibukota kecamatan, namun gampong ini termasuk dalam kawasan desa (gampong) tertinggal. Hal ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya sumber daya masyarakat gampong. Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat gampong ini hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jumlah penduduk gampong +120 KK, dengan 243 perempuan dan 228 laki-laki. Penduduk gampong lebih didominasi kaum muda serta anak-anak, dan umumnya merupakan penduduk Asoe Lhok (asli/asal), kalaupun ada orang luar disebabkan adanya hubungan perkawinan.
~ 10 ~
Potensi alam yang dimiliki Gampong Lambiheu Lambaro Angan adalah lahan pertanian. Sayangnya, irigasi gampong tidak berfungsi dengan baik, sehingga produksi padi yang menjadi penghasilan utama masyarakat Lambiheu Lambaro Angan tidak dapat dioptimalkan. Kondisi ini menyebabkan masyarakat harus melakukan aktivitas ekonomi alternatif lainnya untuk menopang roda ekonomi keluarga. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan lahan perkarangan rumah dengan menanam tanaman muda seperti sayur-mayur. Aktivitas ini umumnya dilakukan oleh kaum perempuan terutama ibu-ibu dan remaja putri. Sementara itu, kaum bapak umumnya memilih profesi sebagai buruh tukang mengingat proses rekonstruksi pasca bencana gempa dan tsunami Aceh sangat banyak dibutuhkan tenaga kerja pada bidang ini. Gambar berikut ini adalah Peta Kecamatan yang memperlihatkan ketiga gampong. Seperti telah dituliskan sebelumnya, ketiga gampong, yaitu Gampong Siem, Gampong Krueng Kalee dan Gampong Lambiheu Lambaro Angan termasuk dalam wilayah Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar Berbatasan dengan tiga kecamatan lainnya di Aceh Besar, yaitu: Kecamatan Ingin Jaya, Kecamatan Kuta Baro dan Kecamatan Baitussalam, serta kecamatan Kopelma Darrussalam yang termasuk wilayah Kota Banda Aceh.
~ 11 ~
Gambar 2.1
KECAMATAN DARUSSALAM
K O TA
~ 12 ~
B A R O
2.2. Proyeksi Sosial Semenjak tahun 1999 wilayah di atas telah mendapat sorotan merah dari aparat pemerintah RI, berbagai gelar menakutkan seolah melekat pada masyarakat gampong tersebut, ekonomi di sini menjadi lumpuh, tempat mereka bercocok tanam dan berternak menjadi area perang, perekonomian memburuk dan tatanan sosial lumpuh total, mereka harus berupaya keluar dari gampongnya untuk mencari penghidupan meskipun tidak harus mengungsi. Secara umum sejarah perekonomian pada masa konflik didominasi oleh komunitas perempuan, hal ini terjadi karena yang menjadi objek sasaran penculikan dan pembunuhan sewaktu konflik adalah kaum pria. Disamping banyaknya kaum pria yang menjadi korban banyak pula diantara mereka yang menyingkir dan merantau ke daerah luar agar tidak terkena imbas langsung. Dalam kondisi demikian maka kaum ibu-lah yang mencari nafkah dan menanggung beban penuh terhadap keluarga, sehingga para ibu rata-rata memiliki pekerjaan dan beban ganda, sebagai ibu ia juga berperan sebagai kepala keluarga yang harus siap mencari nafkah. Hasil analisis terhadap para keluarga yang mengalami imbas konflik, mereka menuturkan bahwa pada masa konflik untuk mencari nafkah dan mengatasi masalah ekonomi sangat sulit dirasakan, jangankan untuk bekerja dengan tenang, untuk keluar rumah saja perasaan maut selalu menghantui. Berdagang susah, bekerja di sawah jadi sasaran peluru nyasar, mau berbisnis tak punya modal sehingga bisa dipastikan perekonomian saat itu betul-betul sampai titik kulminasi rendah. Ketika penandatangan MoU Helsinki 15 Agustus 2004 keadaan mulai berbeda. Krueng Kalee dan Siem sudah mulai hidup kembali. Denyut perekonomian pun sudah banyak mengalami peningkatan. Mulai dari para bapak dan ibu serta para pemuda-pemudi sudah bisa mengekspresikan kemampuan masing-masing dalam mencari nafkah demi menopang hidup. Sebelumnya kaum ibu punya peran ganda
~ 13 ~
kini beban itu sudah berkurang tentu saja karena kaum bapak sudah dapat beraktivitas kembali dengan normal. Kondisi keamanan sudah mulai kondusif, faktor inilah yang mendukung terjadinya perubahan besar yang membawa pada ketenangan hidup sehingga masyarakat dapat menjalani kembali hidupnya dengan tenang dan damai sesuai kondrat dan martabatnya. Meski demikian, sisa konflik yang masih membekas membawa pada jiwa traumatis. Secara psikis bayang-bayang masa lalu yang penuh ketakutan masih melekat menghantui mereka, rasa permusuhan antar dua kubu yang bertikai pada masa konflik belum lepas semua, curiga sesama adalah fenomena yang masih menonjol. Cacat fisik akibat konflik pun membawa penderitaan tersendiri bagi yang mengalaminya, ada diantara masyarakat sampai saat ini tidak bisa bekerja berat sehingga kondusifnya keamanan tidak dirasakan sepenuhnya sebagai keindahan, tapi justru sakit yang menderanya malah melahirkan trauma baru. Memang semua itu bagian dari dinamika hidup yang penuh dengan warna warni akan tetapi mereka mendambakan kehidupan normal tanpa ada rasa takut dan paksaan sehingga mereka dapat mencurahkan hidupnya baik untuk keluarga, masyarakat, bangsa bahkan kepada sang Khalik dan untuk mendapatkan semua itu masih diperlukan Perjuangan. 2.3. Pranata Sosial Gampong Pranata sosial yang ada di wilayah penelitian adalah: Tuha peut, Geusyiek dan perangkat gampong serta lembaga adat gampong yang dibentuk seperti Keujreun Blang yang duduk dalam srtuktur pemeritah gampong, dan Pageu Gampong yang berperan sebagai kaur pemuda gampong, serta Imeum Meunasah. Kedua gampong memiliki juga Imeum Mukim. Imum Mukim memimpin wilayah mukim yang terdiri dari beberapa gampong. Gampong Lambiheu Lambaro Angan
~ 14 ~
masuk dalam pemukiman Lambaro Angan, sedangkan gampong Siem berada dalam wilayah pemukiman yang berbeda dengan Lambiheu Lambaro Angan. Siem bersama beberapa gampong lainnya berada dibawah pemukiman Siem. Secara kebetulan Imum Mukim Siem bertempat tinggal di gampong Siem, demikian juga Imum Mukim Lambaro Angan bertempat tinggal di Lambiheu Lambaro Angan sehingga kedua gampong ini memiliki Imum Mukim. Tuha Peut Tuha peut merupakan sekumpulan orang yang dituakan dan mempunyai pengalaman lebih dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya yang berada di Gampong. Tuha Peut dibentuk sebagai wahana untuk mewujudkan demokratisasi, keterbukaan,
dan
partisipasi
masyarakat
dalam
sistem
penyelenggaraan
pemerintahan gampong yang diwakili empat (4) unsur yang dituakan di Gampong, yaitu: Tokoh agama; tokoh masyarakat termasuk pemuda dan perempuan; pemuka adat; dan cendikiawan. Tuha Peut memiliki fungsi: menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; melestarikan adat istiadat, kebiasaan dan budaya setempat yang memiliki asas manfaat; melaksanakan fungsi legislasi, yaitu membahas dan merumuskan serta memberikan persetujuan atas pengundangan Geusyiek terhadap peraturan Gampong; melaksanakan fungsi anggaran, yaitu membahas dan merumuskan serta
memberikan persetujuan terhadap rancangan anggaran
pendapatan dan belanja gampong (RAPBG) yang dibutuhkan oleh Geusyiek sebelum diundangkan menjadi anggaran pendapatan dan belanja gampong (APBG); dan melaksanakan fungsi pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan gampong dan peraturan lainnya yang dihasilkan pemerintah gampong serta kebijakan lainnnya dari Geusyiek.
~ 15 ~
Geusyiek Geusyiek adalah pimpinan pemerintah gampong. Geusyiek mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan dan menata adat gampong. Untuk itu Geusyiek berwenang: memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Tuha Peut; mengajukan rancangan qanun gampong; menetapkan qanun gampong yang telah mendapatkan persetujuan bersama Tuha Peut; menyusun dan mengajukan rancangan qanun gampong tentang APBG untuk dibahas dan mendapatkan tujuan bersama Tuha Peut; menyusun RPJM-gampong dan RKP-gampong melalui musyawarah perencanaan pembangunan gampong; melaksanakan RPJM-gampong dan RKP-gampong yang telah ditetapkan; membina perekonomian gampong dan pembangunan gampong secara partisipatif; pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan gampong; mewakili gampongnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Imeum Meunasah Imum meunasah adalah orang yang memimpin kegiatan peribadatan gampong. Selain memimpin peribadatan Imun Meunasah juga memiliki tugas: menjalankan pendidikan keagamaan, pengajian dan pelaksanaan syariat Islam; mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan kemakmuran meunasah; memberi nasehat dan pendapat berkenaan dengan pelaksanaan syariat Islam kepada Geusyiek baik diminta maupun tidak diminta; menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat yang berkenaan dalam pelaksanaan syariat Islam bersama Geusyiek dan Tuha Peut;
~ 16 ~
menjaga dan memelihara nilai-nilai adat agar tidak bertentangan dengan syariat Islam; mengelola harta agama yang ada dalam gampong melalui badan Baitul Mal gampong; dan memimpin kegiatan perayaan hari-hari besar Islam. Keujruen Blang Keujreun Blang gampong adalah keujreuen muda, yang dibentuk dengan tujuan pengelolaan persawahan gampong. Tugas-tugas Keujruen Blang yaitu: menentukan dan mengkoordinasi tata cara turun sawah; mengatur pembagian air ke sawah petani; membantu pemerintah dalam bidang pertanian; mengkoordinir ‘khanduri’ atau upacara lainnya yang berkaitan dengan adat dalam urusan pertanian sawah bersama Imum Meunasah; memberi teguran dan sangsi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat meugoe (bersawah) atau melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah secara adat, menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha pertanian sawah; dan melaksanakan atau menerima bantuan dari pihak ketiga yang dikoordinasikan dengan Keujreun Chik sepanjang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pageu Gampong Pageu Gampong adalah ketua pemuda gampong yang dipilih untuk memimpin dan mengatur pemuda gampong berkenaan dengan peningkatan kapasitas pemuda. Tugas lain Pageu Gampong adalah: menjaga ketentraman dan keamanan gampong; mendukung pemerintahan dalam segala kegiatan gampong; menegakkan hukum adat gampong bersama Imum Meunasah; dan menyelesaikan sengketa antara pemuda di gampong dalam kehidupan bermasyarakat.
~ 17 ~
Bagian III Aktualisasi Program Kampung Damai 3.1. Perempuan dan Konflik Program Kampung Damai (Community Trust Programme) merupakan program yang menjangkau keseluruhan aspek masyarakat dalam komunitas Gampong Siem dan Krueng Kalee. Seperti ilustrasi sebelumnya, Siem dan Krueng Kalee merupakan gampong tertinggal pada masa konflik, aktivitas ekonomi maupun sosial tidak berjalan dengan baik. Laki-laki yang semestinya memegang peranan penting dalam keluarga dan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial tidak berfungsi dengan sebenarnya. Seperti yang telah digambarkan sebelumnya, sebahagian besar penduduk Siem dan Krueng Kalee menggantungkan kehidupannya pada hasil sawah, sementara pada masa konflik kaum bapak sulit keluar untuk menggarap sawahnya sehingga perempuan-lah yang menjadi alternatif pencari nafkah utama keluarga. Kondisi demikian membuat perempuan baik sebagai istri maupun anak (perempuan) mengambil peranan penting dalam perekonomian maupun sosial. Beberapa kisah perempuan yang berusaha melindungi suami dan anak-anak mereka dari pemeriksaan GAM TNI: Kisah Magdalena Kestrategisan Gampong Krueng Kalee yang dilindungi oleh gunung menyebabkan GAM maupun TNI menjadikannya benteng pertahanan. Disebabkan menjadi markas pihak yang bertikai, tentunya sangat merisaukan warga masyarakat karena keduanya sering melakukan pemeriksaan. Kak Mahdalena, salah seorang warga Krueng Kalee, setiap malam pada masa itu menutupi rumahnya dengan tirai
~ 18 ~
sprei yang tebal untuk menutupi ketakutannya dari pemeriksaan kedua pihak tentara tersebut. Menurut beliau dengan cara ini dia dapat menenangkan anak-anak dan dirinya. Beliau juga menceritakan, dia selalu serba salah dan perasaan yang penuh ’was-was’ dalam menghadapi kedua tentara tersebut, sedangkan dia tidak bisa minta sang suami untuk menghadapi mereka karena akan berbahaya. Pihak tentara maupun GAM sangat mudah melakukan tindakan kekerasan pada kaum laki-laki meskipun tidak bersalah seperti dialami sang suami yang memiliki pengalaman pahit dengan pihak aparat. Sering dia diminta untuk memasak makanan untuk keperluan pihak tertentu, sementara pihak yang lain datang untuk memeriksa apa benar telah menyediakan makanan pihak musuh. Tentu saja kak lena merasa dalam posisi serba salah, seperti memakan buah ”simalakama” dan nyawa menjadi taruhan, tidak dilakukan terancam, melakukannya juga terancam. Akhirnya dia melakukan dengan sembunyisembunyi, seperti yang dikatakan: ”Saya masuk ke kamar mandi, dengan api kecil agar tidak berasap sehingga tidak ada tetangga yang tahu, bahkan orang dirumah juga.Ini untuk melindungi keluarga saya. Bila mereka tidak tahu mereka tentu menjawab dengan benar, biar saya saja yang bersikap pura-pura tidak tahu, dengan begitu tetangga yang memihak pihak tertentupun tidak menuduh kami sebagai pengkhianat”. Cukup lama Kak Lena menghadapi situasi tersebut, membuat dia begitu menginginkan kondisi yang membuatnya merasa nyaman. Sepertinya itu pula yang melandasi kuatnya keinginannya agar putranya bisa menjadi petugas keamanan (bukan tentara) dalam hal ini ”Polisi”, karena itu walau kondisi perekonomianya yang cukup sulit saat itu Kak Lena tetap menanamkan keyakinan dan keoptimisan agar anaknya menjadi orang yang cukup memilki kedudukan dalam sistem pemerintahan. Kak Lena berjuang keras agar anaknya bisa kuliah di perguruan tinggi seperti sekarang ini.
~ 19 ~
Kisah Siti Cahaya Sosok perkasa namun penuh kesederhanaan tampak pada perempuan yang satu ini. Bagaimana tidak, sejak suaminya didera sakit di bagian paru-paru akibat pemukulan TNI semasa konflik, dia harus bekerja keras untuk keluarganya. Kak Siti bekerja sebagai tukang cuci. Beliau juga membuat kue, bahkan menanam tanaman muda di perkarangan rumahnya dan menyempatkan diri membuat es lilin untuk di jual di pesantren. Aktivitas yang tidak ringan ini dilakoni Kak Siti dengan begitu iklasnya karena pengabdiannya pada keluarganya. Kak Siti tidak mau menyalahkan nasib karena itu tidak akan berguna kecuali membuatnya semakin menderita. Bila Kak Siti memperturutkan emosi negatifnya dia tidak hanya menghadapi konflik yang terjadi diluar sana tapi juga konflik internal rumah tangganya sehingga dapat memperbesar energi yang diperlukan menghadapi permasalahan hidupnya. Keikutsertaaannya sebagai salah satu peserta dalam pelatihan spiritual family, yang diselenggarakan an-Nisaa’ Centre bersama AFSC Indonesia, ikut mempengaruhinya untuk lebih tabah, seperti yang diungkapkan pada saat wawancara dengan beliau, berikut komentarnya. ”Saya beserta suami sangat senang bisa mengikuti pelatihan spiritual family yang dilakukan an-Nisaa’. Pengetahuan tersebut sangat berguna karena kami bisa lebih sabar menghadapi permasalahan kehidupan khususnya dalam rumah tangga. Tidak mungkin kami bisa hidup dalam keadaan damai jika hati kami selalu berperang dan gundah. Karena itu kami harus memulai itu dari dalam diri dan keluarga. Itu akan memberi kami kekuatan untuk mengatasi persoalan yang berasal dari luar (lingkungan masyarakat). Kisah Dahniar Ibu dua anak ini menjual sarapan pagi, nasi guri dan lontong untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Meskipun bukan merupakan anggota KSM, beberapa kali kak Dahniar dilibatkan dalam pelatihan yang an-Nisaa’
~ 20 ~
lakukan karena potensinya menjadi kader gampong. Perempuan satu ini tidak hanya berjuang untuk kebahagian keluarganya tapi juga sangat perduli dengan lingkungannya. Berikut ceritanya: ”Mendapatkan bantuan modal memang hal yang sangat kami harapkan, namun dengan an-Nisaa,’ bantuan modal yang diberikan berbeda. Setahu saya, an-Nisaa’ memberikan modal usaha betul-betul untuk usaha, jadi kalo cuma mengaku-mengaku saja tapi tidak punya usaha tetap tidak diberi karena itu justru dapat memberatkan yang dibantu nantinya, karena uang itu bukanlah uang an-Nisaa’ tapi digulirkan untuk masyarakat lainnya. Kalau tidak punya usaha bagaimana dapat menyetor kembali ke KSM?. Begitu juga yang sudah mendapatkan bantuan sejenis, tidak lagi mendapatkan prioritas untuk dibantu contohnya seperti saya. Meskipun belum mendapatkan bantuan modal usaha, namun banyak sekali modal lainnya yang telah saya dapatkan berupa pengetahan selama pelatihan. Saya berkesempatan mengikuti pelatihan Comite Ogranizer yang membuat saya lebih aktif dan perduli dengan aktivitas gampong. Saya terkadang heran kenapa banyak masyarakat yang tidak mau terlibat membangun gampongnya sendiri, padahal pihak lain saja seperti anNisaa’ dan AFSC Indonesia begitu perduli. Pelatihan CO membuat saya tahu bagaimana penjadi kader yang semestinya. Saya jadi merasa malu jika tidak terlibat membantu. Latar belakang kehidupan saya bukanlah orang ’berada’, jadi saya hanya bisa menyumbang tenaga saja, dan juga saran-saran. Sejak saya sering mengikuti aktivitas bersama an-Nisaa’, saya merasa lebih percaya diri sehngga saya berani menyampaikan ide-ide. Saya merasakan begitu besar manfaatnya dan ingin masyarakat lain merasakan pengalaman ini tetapi banyak yang tidak mau karena tidak mendapatkan uang. Ternyata ada juga masyarakat kami yang terkena penyakit ”ada uang ada kepedulian”. Pelatihan yang membuat saya sangat terharu adalah pelatihan spiritual family. Pengetahuan yang diberikan membuat saya merasa mendapatkan kekuatan tambahan untuk menjalani hidup. Seperti trauma yang banyak dialami oleh warga gampong karena konflik, saya juga mengalaminya, abang saya (kakak laki-laki) di tembak mati oleh aparat karena dituduh GAM. Tidak hanya karena trauma itu, suami saya sejak lama menderita sakit sehingga saya mesti bekerja untuk kebutuhan keluarga. Kebutuhan hidup yang mendera sementara beban kehidupan ini tidak bisa dibagi dengan yang lain, membuat saya hampir kehabisan kesabaran. Namun. Kesabaran itu muncul kembali saat ustadz Mirza dalam pelatihan spiritual family telah membuka wawasan pengetahuan dan terus mengingatkan kami akan rahasia kekuatan dari sabar dan memberikan dorongan motivasi untuk bangkit sambil bersabar. Memang benar apa yang dikatakan fasilitator dan teman-teman pendamping an-Nisaa’, bahwa ”kekuatan kita
~ 21 ~
membangun masyarakat bersumber dari keluarga”. Saya begitu merasakannya. Keaktifan saya dalam masyarakat dapat terus berjalan karena saya banyak berlatih kesabaran menjalani rumah tangga. Melerai konflik batin dalam keluarga membuat saya memiliki energi positif (begitu teman- teman an-Nisaa’ menyebutnya) besar untuk membantu melerai konflik yang terjadi dalam masyarakat. Mungkin kelihatan sederhana tapi saya merasa telah melakukan sesuatu yang sangat tepat, seperti saat terjadi perbedaan informasi yang membuat ada masyarakat yang marah yang menyebabkan perselisihan, dengan kesabaran menahan emosi yang bergejolak, permasalahan yang sebenarnya dapat dibicarakan dengan kepala dingin sehingga pada akhirnya dapat diselesaikan dengan damai. Tentunya pengalaman seperti ini sangat berarti, membuat saya berkesempatan mendapatkan pelajaran kehidupan yang sangat berharga’. Kisah-kisah di atas menggambarkan betapa perempuan memberi peran strategis dalam keluarga dan komunitas. Konflik dilatarbelakangi arogansi untuk saling menguasai. Kekuasaan sebagai aspek ’Yang’ adalah kualitas maskulin yang perlu diseimbangkan agar tidak terjadi kezaliman yang mengambil hak keadilan setiap insan. Hanya kekuatan cinta mampu melerai pertikaian untuk saling memahami dan bertenggangrasa dan itu mestinya ada pada ’perempuan’ dimana kualitas feminim sebagai unsur-unsur ’Yin’ melekat dalam diri. Keseimbangan kehidupan akan terjadi bila kualitas ’Yin dan Yang’ menyatu sebagai kesatuan yang saling melengkapi menuju peradaban yang lebih baik. Belajar dari kisah ibu-ibu di Krueng Kalee dan Siem ini, program Kampung Damai dirancang untuk memberi nilai tambah terhadap pemberdayaan masyarakat baik menyangkut bidang ekonomi maupun sosial. Dilakukannya serangkaian pelatihan yaitu: pelatihan Spiritual Family (SF), pelatihan Community Organizer (CO), pelatihan Entreprenership dan pelatihan Leadership, semuanya menekankan pada motivasi semangat hidup dan mengingatkan bahwa perempuan mempunyai peranan sangat strategis dalam menciptakan perdamaian, yang itu berawal dalam keluarga.
~ 22 ~
3.2. Konflik dan Kisah Perjuangan Salah satu dampak konflik di Aceh, masyarakat kehilangan inisiatif. Akibat konflik berkepanjangan semakin banyak gejala orang yang putus asa, kehilangan inisiatif, dan semangat hidup, mereka hampir tak percaya bahwa untuk hidup perlu makan, dan untuk bisa makan harus bekerja. Menurut staf ahli Depdagri, Tarmizi Karim, gelagat ini makin membesar di Aceh. Mantan Bupati Aceh Utara ini mengatakan banyak orang yang hidup dengan cara menadahkan tangan pada orang lain (pengemis), padahal dulunya mereka merupakan petani yang rajin, penuh inisiatif, dan cerdas melihat pasar. Pada masa konflik, mereka menghentikan penggarapanya karena keadaan tidak aman. Konflik membuat trauma panjang tidak saja bagi yang hidup bahkan berakibat juga bagi yang akan lahir, seperti yang dialami perempuan satu ini, kisah sedih ibu Ruswati warga Krueng Kalee.
Kisah Ruswati Perempuan separoh baya itu bernama Ibu Ruswati, walaupun usianya masih 40 tahun tapi penampakan wajahnya lebih tua mendahului usianya, tekanan masa konflik dan himpitan ekonomi semakin menambah beban hidupnya yang memang sudah miskin. Saat ini untuk melanjutkan hidupnya dengan beban 3 orang anak, perempuan ini menjual kue dan menitipkan ke warung-warung disekitar rumahnya. Pada saat konflik kehidupannya sangat menyedihkan. Pada suatu hari anak lelaki sulungnya pergi ke mesjid seperti biasanya, tiba-tiba datang segerombolan orang berbaju loreng yang sering mereka sebut dengan aparat. Anak Ibu Ruswati ditangkap dengan paksa dan dibawa ke rumahnya, sesampai di rumah, anaknya dipaksa untuk mengakui bahwasanya dia adalah seorang GAM. Dia dibawa ke Polsek Darussalam, keesokan harinya dia dibawa ketengah sawah lalu ditembak,
~ 23 ~
jenazah anaknya sempat dibawa kerumah sakit tetapi nyawanya tidak tertolong lagi... Tuhan telah mamanggilnya. Hati Ibu Ruswati sangat hancur ketika melihat anaknya ditembak didepan matanya sendiri, dia tidak tau harus berbuat apa, untuk menangis saja rasanya tidak mampu lagi, apalagi pada saat itu dia lagi hamil tiga bulan, dia hanya bisa pasrah saja pada keadaan yang menimpa keluarganya. Beberapa bulan kemudian Ibu Ruswati melahirkan sibungsu, anaknya lahir dengan kondisi cacat mental, hal ini terjadi mungkin karena trauma yang sangat mendalam yang dia alami. Belum lagi hilang rasa kesedihan yang ibu Ruswati alami, kembali Allah menguji dia dengan cobaan yang lebih menyakitkan yaitu ketika gelombang tsunami menghantam bumi Serambi Mekah dan saat itu pulalah suami tercintanya dibawa oleh dasyatnya gelombang tsunami. Betapa hancur hati ibu Ruswati saat itu, musibah datang bertubi-tubi. Ibu Ruswati sangat ingin bangkit dari dilema yang terjadi dalam kehidupannya. Dia mencoba melupakan kejadian demi kejadian dengan mencari kesibukan, untuk menghidupi keluarganya dia setiap hari membuat kue dan dititipkan di warung-warung yang ada digampongnya. Ibu Ruswati hanya bisa melakukan usaha itu karena anak bungsunya tidak bisa ditinggalkan dan harus dalam pengawasannya setiap saat. Walaupun demikian dia berusaha sekuat tenaga menghadapi semuanya, menghidupi anak-anaknya. Ibu Ruswati mendapat kesempatan menjadi anggota KSM yang dibentuk an-Nisaa Centre, membuatnya berkesempatan mengakses modal bergulir dan mendapatkan banyak dukungan moril. Ini membuatnya lebih tegar menjalani hidup. Bantuan modal menjadi salah satu yang sangat diharapkan masyarakat karena usaha yang dilakukan di masa konflik tidak mengalami perkembangan. Seperti yang dikisahkan Julita salah seorang warga Krueng Kalee.
~ 24 ~
Kisah Julita Konflik Aceh yang sudah berlangsung hampir 32 tahun menyebabkan Julita diselimuti dengan ketakutan dan ketidakberdayaan untuk bergerak bebas menjalankan segala aktivitas bahkan mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupannya. Objek tindakan kekerasan tidak sedikit dialami perempuan dan anakanak karena mereka menjadi sasaran disaat kaum laki-laki tidak ada di kampung. Kasus kekerasan yang terjadi pada masa konflik membuat Julita dalam kondisi trauma bertahun-tahun dan keadaan ekonomi keluarganya sangat terjepit. Jalan depan rumah Julita sering dilewati TNI untuk melakukan operasi pencarian militan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Saat itu Julita melihat orang berpakaian loreng saja sudah takut apalagi kalau terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM, sementara itu ayah Julita telah lama meninggal dunia. Untuk mengatasi kebutuhan ekonomi, pada tahun 2002 Julita mencoba berjualan di kios ukuran 3x3 meter di depan rumahnya, modal awal yang dimiliki hanya Rp.1.500.000. Dagangan Julita pada saat itu antara lain mie instant, rokok, aqua, permen, deterjen, sabun mandi, odol, pasta gigi, sabun nyuci, minyak rambut, shampo. Jumlah barang yang sedikit sangat mempengaruhi keuntungan yang di peroleh. Pendapatan yang didapat Julita juga sangat tergantung pada kondisi keamanan. Jika kondisi keamanan stabil maka pendapatan yang didapat bisa mencapai 250 ribu, akan tetapi bila kondisi keamanan tidak stabil, Julita sering kali tidak membuka kiosnya. Suara tembakan menjadi indikasi tidak ada warga yang berani keluar rumah untuk membeli sehingga kios Julita sering sepi. Pasca perdamaian antara RI dengan GAM menjadi sebuah pembaharuan dalam kehidupan Julita ke depan. Intimidasi dan teror tidak lagi terjadi di kampungnya. Akan tetapi keterbatasan modal membuat Julita hanya bisa pasrah, Dia tidak tahu mau pinjam kepada siapa karena kondisi ekonomi saat itu sangat
~ 25 ~
terjepit. Melimpahnya dana pasca perdamaian dan tsunami tidak banyak menyentuh kehidupan Julita, khususnya pemberian modal usaha. Kehadiran an-Nisaa’ Centre di kampungnya sangat membantu usaha Julita menjadi semakin berkembang. Perempuan ini mengaku sangat senang dengan adanya bantuan modal yang diberikan AFSC Indonesia melalui an-Nisaa’ centre ini. Apalagi ia diikutsertakan dalam pelatihan kewirausahaan yang dilakukan an-Nisaa’, itu telah banyak menambah pengetahuannya. Dan pendampingan yang dilakukan telah menambah semangatnya karena dapat berkonsultasi dalam pertemuan KSM. Sekarang Julita sudah bisa membuka kiosnya dari jam 7 pagi sampai dengan jam 10 malam. Modal yang diberikan LKM tersebut digunakan untuk penambahan barang dagangannya. Kini Julita sudah bisa tersenyum lebar dengan usaha yang dilakukannya karena pendapatan atau keuntungan yang diperoleh sekarang lebih banyak dibandingkan dengan yang dulu. Sekitar 400 ribu rupiah pun bisa didapat perhari. Jika di hitung-hitung, pendapatan bersih Julita dapat mencapai Rp.30.000 50.000 perharinya. Wirausaha menjadi unsur yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi jangka panjang karena akan memberikan kontribusi positif dalam pertumbuhan ekonomi (Prof.Yake Brozen). Salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah usaha mikro karena merupakan usaha (bisnis) yang dimiliki dan diatur secara independen yang tidak mendominasi pasarnya. Usaha mikro identik dengan perempuan karena berbasis dari rumah tangga dengan tujuan
sebagai
pelengkap
(menambah)
penghasilan
utama
keluarga.
Mengimplementasikan usaha mikro berarti meningkatkan kapasitas produksi perusahaan lokal, pengusaha dan pekerja. Sejumlah program pemberian modal serta pelatihan dan pendampingan dilakukan an-Nisaa’ untuk mengatasi sejumlah kelemahan usaha mikro yang teridentifikasi seperti: tidak berorientasi ke depan; tidak adanya perencanaan yang
~ 26 ~
tertulis; tidak mampu mempelajari prilaku pasar; terbatasnya spesialisasi produk, inovasi produk dan penyebaran produk; tidak memiliki aspek akuntansi yang jelas; kurangnya kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan terbatasnya pengetahuan hukum serta peraturan.
3.3. Pelatihan Pelatihan merupakan suatu upaya penciptaan lingkungan dimana para peserta dapat memperoleh atau mempelajari atau meningkatkan keahlian, pengetahuan, pengalaman ataupun perubahan sikap dan perilaku yang spesifik dari suatu usaha (bisnis). Pelatihan dapat menjadi awal dalam pengembangan karena pengembangan diartikan sebagai penyiapan seorang untuk memikul tanggung jawab yang berbeda atau yang lebih tinggi yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan intelektual atau emosional yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih baik. Dalam survey yang dilakukan terhadap masyarakat yang telah mengikuti pelatihan yang dilakukan an-Nisaa’ Centre atas dukungan AFSC Indonesia, semuanya mengatakan pelatihan yang mereka ikuti ada manfaat untuk mereka. Hal yang paling dirasakan setelah pelatihan adalah bertambahnya pengetahuan karena sebelumnya
belum
pernah
didapatkan
meski
tidak
mudah
untuk
bisa
menerapkannya. Begitu juga dengan dibentuknya KSM (Kelmpok Swadaya Masyarakat) untuk menyalurkan dana bergulir modal usaha, benar-benar membantu masyarakat. Hal ini diungkapkan kak Erna, salah warga masyarkat Gampong Siem yang mengikuti pelatihan wirausaha. Kak Erna mengikuti pelatihan yang diadakan oleh an-Nisaa’, walaupun harus membawa anaknya yang masih kecil tetapi semangat belajarnya tetap tinggi, terkadang si buah hati menangis karena tidurnya terusik tetapi tidak menyusutkan
~ 27 ~
niat Kak Erna dalam menimba ilmu demi keluarganya. ”Banyak sekali manfaat karena pengetahuan saya jadi bertambah”, ungkapnya. Kak erna juga dapat mengakses modal untuk tambahan modal usaha, ”Saya membeli peralatan baru untuk mempermudah pembuatan kue”. Modal tersebut digunakan Kak Erna membuat kue sebanyak 400 potong dengan omset penjualan Rp. 200.000 keuntungan yang didapat perharinya sebesar Rp. 100.000 dengan demikian jika di rata-ratakan maka penghasilan beliau melebihi gaji seorang pegawai negeri. Menurut M.L.Jhingan (1992), beberapa hal yang menjadi hambatan dalam memulai usaha adalah: keadaan sistem sosial; ketimpangan besar dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta keterbelakangan teknologi. Untuk itu diperlukan upaya guna mendorong munculnya usaha (bisnis), seperti: adanya motivasi; penciptaan inovasi dan pengembangan teknologi; pendirian lembaga-lembaga keuangan yang mengumpulkan tabungan dan menyalurkannya pada kegiatankegiatan bisnis; menciptakan tenaga terampil; menyediakan modal overhead ekonomi serta menciptakan iklim wirausaha yang kondusif. Pelatihan mempunyai pengaruh positif terhadap pengembangan usaha karena akan meningkatkan kemampuan pengembangan usaha bagi pemilik usaha mikro. (Miksalmina dan Syathi, 2006). Pengembangan usaha diharapkan dapat berkelanjutan dengan pembekalan pelatihan (training) bagi pelaku usaha (bisnis) karena bisa meningkatkan produktifitas usaha mereka seperti digambarkan di atas. Itu menjadi salah satu alasan an-Nisaa’ memandang pentingnya pelatihan dan LKM sebagai aktivitas yang memberi arti penting dalam program Kampung Damai. Pelatihan yang dilakukan tidak hanya tentang wirausaha dan manajemen keuangan, hal ini karena ada banyak tema lain yang difikirkan penting untuk diangkat dalam proses pembukaan wawasan pengetahuan sebagai langkah awal membuka simpul menuju perubahan. Pelatihan lain yang dilakukan: pelatihan Community Organizer untuk kader gampong, didalamnya memuat: pemberdayaan
~ 28 ~
sejati, pengorganisasian masyarakat, jati diri relawan, analisis sosial, dasar-dasar komunikasi dan pembelajaran orang dewasa. Selain itu dilakukan pelatihan Leadership untuk aparat gampong guna meningkatkan pemahaman kepemimpinan. Pelatihan ini tidak direncanakan sebelumnya namun akhirnya dilakukan karena difikirkan penting mengingat baru terjadinya pergantian kepemimpinan di Gp.Siem. Pelatihan lain yang juga sangat penting adalah Spiritual Family untuk keluarga yang berisikan motivasi spiritual untuk rumah tangga, manajemen rumah tangga, manajemen konflik, komunikasi keluarga, menghidupkan nurani jiwa serta pola pendidikan anak. Setiap selesai pelatihan, pendamping memonitoring perubahan sikap yang terjadi pada peserta. Hasil monitoring pasca pelatihan dan pendampingan yang dilakukan oleh fasilitator terlihat adanya perubahan yang signifikan, terutama dalam motivasi ibu-ibu untuk mendorong keluarganya untuk berfikir positif. Mereka memberikan fikiran yang positif kepada anak-anak dan suami mereka untuk menatap masa depan dan tidak larut dalam masa lalu yang selayaknya tidak untuk dikenang. Hal tersebut terindikasi dari bagaimana mereka termotivasi untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan harapan terjadinya perubahan kehidupan yang lebih baik. Begitu juga motivasi yang diberikan untuk sang suami. Manfaat pelatihan tersebut diungkapkan Ida Rahmi, salah seorang masyarakat Krueng Kalee yang beberapa kali telah mengikuti pelatihan yang dilakukan an-Nisaa’ Centre. ”Amat besar artinya apa yang telah dilakukan an-Nisaa’ terhadap kami. Wawasan kami jadi bertambah, tidak hanya dalam bidang usaha, masyarakat juga menjadi lebih terlibat dalam aktivitas gampong. Ini memunculkan kepedulian yang dulunya memudar karena konflik panjang. Saya melihat ini perubahan yang sangat positif pada kami. Pelatihan yang di buat anNisaa’ membuat saya merasa betapa indahnya kebersamaan. Meskipun ada masyarakat yang
~ 29 ~
tidak perduli, tapi kami menjadi sadar bahwa siapapun tidak mengkin bisa melakukan perubahan jika diri sendiri tidak perduli untuk berubah. An-Nisaa’ membuat kami bercermin bahwa sesungguhnya aktivitas positif yang kami lakukan bersama di gampong adalah untuk kami, untuk membuat kami lebih berempati, karena hanya dengan melakukan perubahan sikap diri maka perubahan yang menyeluruh dapat terjadi. Meskipun kondisi ideal belum terwujud karena tidak mudah untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan, namun perubahan yang terjadi pada kami sangat membuat kami bahagia dan bangga karena kami telah mulai melakukan perubahan untuk menjadi lebih baik”. Berbagai manfaat pelatihan tersebut juga terungkap dalam hasil survey. Ketika ditanyakan bagaimana pengaruh pelatihan terhadap keluarga. Sebahagian besar mengatakan positif bahkan sangat positif dan mereka juga mengatakan hubungan ibu-bapak bertambah harmonis dan sangat harmonis, seperti yang dialami Nurasiah dan Elis. Ibu Nurasiah salah seorang responden mengatakan hubungan dalam keluarganya kini semakin harmonis. Suaminya Ibnu Ali yang bekerja sebagai tukang becak merasakan langsung banyaknya manfaat pasca istrinya mengikuti pelatihan spiritual family. Hal tersebut diungkapkan langsung pada sang istri dengan mengatakan betapa besar keinginannya mengikuti pelatihan seperti itu, dan betapa bahagianya dia ketika kesempatan itu tiba saat an-Nisaa’ melakukan pelatihan spiritual
family gelombang
ke-2.
Bu
Nurasiah
mengatakan
sebelumnya
hubungannya dengan sang suami baik-baik saja. Namun setelah mengikuti pelatihan terasa sangat harmonis. ”Ini berkat saya mempraktekkan pengetahuan yang di ajarkan ustat dalam pelatihan keluarga sakinah (SF)”, katanya. ”... makanya bapak (suami) minta ikut sewaktu an-Nisaa’ menyelenggarakan pelatihan spiritual family gelombang -2, trus saya menyampaikan pada pendamping, bolehkah bapak ikut di pelatihan tersebut, ternyata pendamping mengundang bapak ikut serta”.
~ 30 ~
Kehidupan suami istri dengan tiga orang anak ini sangatlah sederhana, dalam kesederhanaan itu terpancar keromantisan yang tulus. Pak Ali, senantiasa mengantar jemput sang istri berjualan lontong dengan becak setianya. Di rumah pun Pak Ali memberi bantuan pada istrinya karena ia menyadari betapa istrinya sudah bersusah payah membantu ekonomi keluarga, ”Sebenarnya mencari nafkah adalah tanggung jawab saya, tapi dengan sangat tulus istri bekerja tidak mengenal lelah, semua itu tidak lain untuk membantu saya, bagaimana saya tidak bertambah sayang dan cinta pada istri saya ini,...” ungkap pak Ali tanpa dibuat-buat. Pengetahuan positif yang bertambah dalam pelatihan dan pendampingan berdampak positif bagi keharmonisan keluarga Bu Nurasiah. Sikap keharmonisan ini juga dirasakan oleh fasilitator saat Pak Ali membantu kegiatan gampong, keiklasan terpancar dari raut wajahnya yang sederhana penuh, kesahajaan. Perubahaan keharmonisan dalam keluarga setelah mengikuti pelatihan Spiritual Family juga dirasakan Elis dan suaminya. Sebelum tahun 2006, keduanya tinggal di Batam untuk mencoba peruntungan nasib dengan bekerja sebagai buruh pabrik, tapi peruntungan yang diharapkan tidak terjadi sehingga mereka memutuskan untuk pulang ke Aceh. Karena tidak memiliki uang untuk menyewa rumah, mereka menumpang sementara dengan orang tuanya di Gp. Siem, meskipun rumah tersebut belum dapat dikatakan layak untuk dihuni beberapa keluarga. Suami Ellis mencoba menjual ikan berkeliling di seputaran kampung mereka tetapi ternyata hasilnya belum memuaskan. Penjualan ikan dirasa terus merugi. Akhirnya dia memutuskan untuk berhenti dan menekuni pekerjaan lain yaitu dengan menjadi buruh bangunan dengan alasan tidak mengandung resiko, namun demikian perekonomian mereka masih belum membaik. Keinginan Elis dan suami untuk memilki rumah sendiri, sementara sulitnya perekonomian yang mereka rasa membuat mereka semakin tertekan, sehingga berdampak terganggunya keharmonisan dalam rumah tangga. Kondisi demikian
~ 31 ~
membuat ibundanya Elis merasa prihatin. Dia berfikir Elis dan suaminya perlu mendapatkan pencerahan dalam membina rumah tangga. Pengalamannya yang dirasakan sangat berharga setelah mengikuti pelatihan spiritual family I, yaitu muatan pengetahuan yang diterimanya ini dirasa sangat membantu kerukunan rumah tangganya, membuatnya menyarankan Elis dan suaminya untuk mengikuti pelatihan tersebut. Saran tersebut disambut baik Elis dan suaminya dan pada Desember 2008 mereka mengikuti pelatihan tersebut. Elis setuju bahwa ibunya benar. Alhamdulilah setelah mengikuti pelatihan, Elis dan suaminya merasakan adanya perubahan dan pencerahan baru dalam membina keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Perubahan yang sangat dirasakan adalah dengan semakin bersabarnya mereka berdua dalam menghadapi cobaan dan keyakinan mereka juga bertambah bahwa dengan perjuangan yang maksimallah maka akan membuahkan hasil yang maksimal juga. Harmonisnya hubungan keluarga menjadi indikasi adanya kedamaian dalam rumah tangga. Ini sangat diharapkan akan menjadi pondasi keharmonisan masyarakat yang menyeluruh, karena berawal dari kedamaian rumah tangga dapat ditularkan kepada lingkungan. Contoh sederhana, karena di rumah hubungan ibubapak senantiasa dalam iklim kedamaian, maka anak ikut terdidik dengan nilai-nilai perdamaian. Nilai-nilai perdamaian terajarkan kepada anak dari hal-hal yang sederhana seperti: tidak berkelahi dengan anak tetangga, dan juga di sekolah, tidak bertengkar dengan kawan dan ibu bapak, tidak bandel dan tidak membuat permusuhan dalam masyarakat Ajaran tersebut dilakukan sang ibu dengan cara yang lemah lembut serta memberikan contoh dengan adanya keharmonisan dalam rumah tangga. Melihat sangat pentingnya mengajarkan nilai perdamaian kepada anak, menjadi alasan semua responden mengajarkan nilai-nilai perdamaian pada anakanak mereka.
~ 32 ~
3.4. Pendampingan Faktor lainnya yang memberi mempengaruh besar bagi perubahan adalah adanya pendampingan sosial. Seperti halnya dalam ecosystem approach (pendekatan ekosistem) yang sering digunakan dalam model penyembuhan, paradigma generalis dapat memberikan landasan dalam memilih berbagai metodologi dan pendekatan bagi praktek pekerjaan sosial. Pendampingan sosial berpijak pada paradigma generalis (Johnson, 1989; DuBois dan Miley, 1992) yang memfokuskan pada konsultasi pemecahan masalah, manajemen sumber dan pendidikan. Sementara itu, peranan pekerja sosial sebagai pendamping akan dikontekstualkan sebagai fasilitator. Pendampingan sosial dilakukan untuk mengembangkan masyarakat. Pengembangan Masyarakat merupakan proses membantu orang-orang biasa untuk dapat memperbaiki masyarakatnya melalui tindakan kolektif (Twelvetrees, 1991). Secara akademis, dikenal sebagai salah satu metode pekerjaan sosial yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial (Suharto, 1997). Menurut Johnson (1984), Pengembangan masyarakat merupakan praktek pekerjaan sosial yang bersifat makro (macro practice). Pengembangan
masyarakat
secara
umum
meliputi
perencanaan,
pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek kemasyarakatan. Sebagai suatu kegiatan kolektif. Dalam hal ini melibatkan beberapa aktor, seperti pekerja sosial, masyarakat setempat, lembaga donor serta instansi terkait, yang saling bekerjasama mulai dari perancangan, pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap program tersebut (Suharto, 1997). Menurut Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), ada lima peran pekerjaan sosial dalam pembimbingan sosial yaitu: fasilitator, broker, mediator,
~ 33 ~
pembela dan pelindung. Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan “fasilitator” sering disebut sebagai “pemungkin” (enabler). Barker (1987) memberi definisi fasilitator sebagai tanggungjawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. Menurutnya strategi khusus untuk mencapai tujuan adalah dengan pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi,
pengakuan dan pengaturan perasaan,
pengidentifikasian dan
pendorongan kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan fokus pada tujuan dan caracara pencapaiannya. Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial bahwa setiap perubahan yang terjadi pada dasarnya dikarenakan adanya usaha masyarakat sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah menfasilitasi atau memungkinkan masyarakat untuk mampu melakukan perubahan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Seperti halnya pesan spiritual umat Islam “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya”.
3.5. Efek Aktualisasi Asistensi Program pendampingan sosial pada umumnya diberikan kepada anggota masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber, baik karena sumber tersebut tidak ada di sekitar lingkungannya, maupun karena sumber-sumber tersebut sulit dijangkau karena alasan ekonomi maupun birokrasi (Suharto, 2002). Salah satu peran fasilitator diharapkan mampu memobilisasi dan mengkoordinasi sumbersumber tersebut agar dapat dijangkau. Kerangka acuan terhadap tugas-tugas Pendamping Masyarakat diberikan oleh Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), diantaranya: mendefinisikan tujuan keterlibatan; menfasilitasi penetapan tujuan; mendorong komunikasi dan relasi;
~ 34 ~
menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan; menfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem:
menemukan kesamaan dalam perbedaan;
menfasilitasi pendidikan; membangun pengetahuan dan keterampilan; memberikan contoh dan menfasilitasi pemecahan masalah bersama: mendorong kegiatan berkelompok; mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan dan merancang solusi-solusi alternatif; serta mendorong pelaksanaan tugas dan memecahkan konflik. Hal ini secara optimal dilakukan oleh fasilitator Kampung Damai an-Nisaa’ Centre Banda Aceh. Dalam survey yang dilakukan, semua masyarakat yang menjadi responden mengatakan pendamping (fasilitator) mampu mendampingi KSM. Alasan fasilitator dianggap mampu mendampingi KSM sebagaimana terlihat pada gambar berikut: Gambar 3.1. Alasan Fasilitator Mampu Mendampingi KSM (%) 1 2 3 4 5 6 7 1
2
3
4
5
6
7
Sumber: Data Primer (Diolah, 2008) Menurut semua warga masyarakat yang menjadi responden, fasilitator yang selama ini aktif, mampu mendampingi KSM, meskipun dengan alasan yang jauh
~ 35 ~
lebih sederhana dari kriteria ideal yang diberikan Parsons, dkk di atas. Menurut responden, para fasilitator dapat membimbing dan memotivasi serta memberi semangat kerja, juga rajin dan sabar dalam mendampingi, serta dapat membaur dengan masyarakat karena memiliki tutur kata yang bagus sehingga tidak menyinggung dan tidak terkesan menggurui. Selain itu juga fasilitator dirasakan telah
memberikan
inspirasi
untuk
anggota
KSM
terhadap
upaya-upaya
mengembangkan usaha anggota KSM sehingga mereka merasa lebih berdaya dari kondisi sebelumnya.
3.6. Manfaat KSM Latar belakang perempuan yang begitu berperan dalam keluarga termasuk memikirkan sumber pemasukan untuk kebutuhan hidup, menjadikan program Kampung Damai memasukkan Ekonomi Produktif Perempuan sebagai agenda penting. Seperti telah digambarkan di atas, wilayah kerja Kampung Damai merupakan basis konflik sebelum Tsunami dan secara geografis dua gampong ini bukan merupakan daerah ”total loss”, sehingga bantuan yang datang dari seluruh penjuru dunia untuk para ’korban Tsunami’ tidak semua warga masyarakat mendapatkannya. Hal ini menjadikan kecemburuan sosial yang tinggi. Konflik telah menyebabkan warga kesulitan dalam mengakses sumber-sumber perekonomian. Warga masyarakat yang melihat sebahagian dari mereka mendapatkan bantuan finansial untuk usaha, menimbulkan harapan yang sangat tinggi untuk mendapatkan bantuan serupa karena yang terfikir adalah keadaan yang sama yaitu ’miskin’ meskipun penyebab kemiskinannya yang berbeda. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan Program EPP (Ekonomi Produktif Perempuan) dilakukan guna mendekatkan dan memudahkah masyarakat yang kesulitan dalam mengakses sumber dana usaha, meskipun di sekitar wilayah telah banyak bantuan.
~ 36 ~
Banyaknya bantuan pasca tsunami yang lebih menitikberatkan ’kasihan’ dari pada ’kemandirian’ telah menyebabkan banyak masyarakat menjadi manja. Bantuan dana usaha yang semestinya bergulir tidak dapat berjalan sesuai rencana karena penggunaan dana terhenti pada penerima manfaat pertama. Pengalaman dari adanya realitas tersebut menyebabkan program pembiayaan usaha harus sejak awal membuat aturan yang ’ekstra tegas’. Hal ini terkesan memberatkan namun ada proses pembelajaran yang besar setelah masyarakat dapat melewati itu. Penerima manfaat harus membuat pilihan: tidak mengembalikan pinjaman, motivasi usaha jadi rendah karena merasa uang sendiri dan tidak perlu dikembalikan, usaha bisa terhenti tak berjalan lagi, berharap besar untung justru menjadi buntung atau melakukan yang sebaliknya dan akan mendapatkan yang sebaliknya pula. 3.6.1. Kelompok Swadaya Masyarakat Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dibentuk dengan maksud agar pendampingan dapat dillakukan dengan lebih fokus. Warga masyarakat yang terlibat dalam anggota KSM mengatakan keterlibatan mereka dalam KSM memberikan mereka kesempatan untuk mengakses modal usaha sehingga dapat memulai usaha dan menambah modal usaha yang telah ada. KSM juga memberikan banyak informasi dan konsultasi yang menambah pengetahuan untuk membantu mengembangkan usaha, sehingga menambah pemasukan dan memperbaiki keadaan ekonomi. Warga yang diberi kesempatan mendapatkan bantuan namun tidak mau mengikuti peraturan yang ditetapkan KSM ini dengan terpaksa tidak diperkenankan mengambil pinjaman modal usaha tersebut. Namun bagi mereka yang disiplin pada akhirnya dapat mengambil ’hikmah’ (pelajaran) yang sangat berguna.
~ 37 ~
3.6.2. Kredit Mikro Untuk Perempuan Bantuan modal usaha mikro pada prinsipnya untuk mendukung dan membantu kelangsungan kehidupan rumah tangga bagi warga Siem dan Krueng Kalee yang pada masa konflik dan bencana alam tsunami cukup memprihatinkan. Ketika Kampung Damai masuk dengan paket kegiatan pemberian modal kredit mikro, sangat di sambut baik oleh perempuan yang memang selama ini telah terlibat sebagai aktor perekonomian. Mesti dengan modal sangat ‘seadanya’ mereka telah membuat kue, menjual nasi/ lontong pagi, jualan di warung dan bertani tamanan muda. Dengan adanya bantuan kredit mikro ini, sepertinya semangat mereka bertambah seiring bertambahnya modal usaha mereka, apalagi AFSC Indonesia sebagai pendukung program menyetujui an-Nisaa’ Centre untuk menfasilitasi terselenggaranya pelatihan-pelatihan untuk menambah wawasan pengetahuan warga terhadap usaha yang mereka jalankan. Modal yang mereka akses kebanyakan digunakan untuk menambah peralatan rumah tangga yang digunakan untuk memproduksi seperti kompor, cetakan dan loyang kue yang lebih berkualitas agar kue yang dihasilkan semakin baik hasilnya. Ada juga yang membeli pompa air, selang dan jaring untuk kebutuhan operasional bertani tanaman muda. Modal tersebut dimanfaatkan pula untuk membeli mesin tenun, mesin penggiling dan kebutuhan lainnya sesuai dengan usaha yang dijalankan. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa semua responden mengatakan adanya manfaat KSM. Manfaat yang sangat dirasakan sekali menurut informasi para suami (penerima manfaat) adalah terjadinya penambahan aset untuk mendukung usaha para istri sehingga secara otomatis menambah kuantitas dan kualitas produk yang mereka hasilkan. Menurut penuturan Pak Darimi suami Kak Erna, selama istrinya mengambil modal usaha, penambahan aset di rumah tangganya cukup
~ 38 ~
nyata, diantaranya: peralatan dapur yang mendukung pembuatan kue, serta digunakan juga untuk tambahan biaya ‘DP’ kendaraan bermotor yang dibutuhkan untuk sang istri mengantar kue-kuenya kewarung-warung dan pesantren. “Penambahan aset produksi menyebabkan jumlah dan mutu produksi jadi lebih meningkat. Apalagi dengan adanya kendaraan yang digunakan untuk distribusi produksi sangat mempengaruhi pemasaran, menjadi lebih baik. Secara langsung hal ini mempengaruhi terjadinya peningkatan pendapatan. Oleh sebab itu tambahan modal usaha benar-benar mempengaruhi hasil usaha yang ini berarti juga semakin baiknya perekonomian keluarga kami”. Ungkapan serupa dinyatakan Pak Ali, suami Ibu Nurasiah. Pak Ali menyampaikan, adanya tambahan modal dari program Kampung Damai sangat membantu perkembangan usaha istrinya. “Alhamdulillah, harapan untuk dapat membiayai pendidikan anak sampai duduk di perguruan tinggi terwujud, sehingga anak saya mendapatkan kesempatan pendidikan yang jauh lebih baik dari saya. Dengan modal pendidikan itu mudah-mudahan masa depannya akan jauh lebih baik. Ini semua berkat bantuan sang istri yang bekerja keras membantu perekonomian keluarga kami. Saya sangat berterimakasih pada an-Nisaa’ yang mendukung agar usaha istri saya menjadi lebih baik. Kredit mikro perempuan sungguh bermanfaat, karena terus terang pendapatan saya sendiri selaku kepala keluarga yang hanya melakukan pekerjaan sebagai ‘tukang becak’ tidak mencukupi, apalagi untuk bisa menyekolahkan anak hingga ke Perguruan Tinggi. Semoga program seperti ini dapat terus berlangsung, karena saya yakin banyak juga orang seperti saya yang belum berkesempatan mendapatkan kemudahan memperoleh bantuan modal seperti ini”. Begitu pun dengan ungkapan Pak Abdullah suami Kak Kasni yang sangat berterima kasih karena istrinya telah dibantu baik dalam bentuk modal kredit usaha maupun pelatihan-pelatihan sehingga merasakan semakin membaiknya perekonomian keluarga dan bertambahnya keharmonisan dalam rumah tangga. Penuh haru, Pak Abdullah mengungkapkan hal berikut dengan terbata-bata karena komunikasinya yang kurang lancar akibat stroke. “Pelatihan yang diikuti oleh istri saya sangat membantu meningkatkan motivasinya. Hal ini saya rasakan karena saya tidak bekerja sebagaimana mestinya penanggungjawab keluarga, karena kondisi kesehatan saya yang tidak memungkinkan semenjak sakit ’stroke’.
~ 39 ~
Jika tidak karena kesetiaannya dan motivasinya yang sangat kuat untuk mengabdi dan membuat kehidupan yang lebih baik untuk kami, tentu dia tidak akan perduli dengan hidup saya lagi. Saya sungguh menyesal dulu sewaktu sehat telah menelantarkannya dengan membiarkannya hidup dalam kesusahan. Seandainya Tuhan memberikan kesempatan kepada saya untuk sehat rasanya saya tidak akan mengulangi kesalahan seperti itu lagi dan akan bekerja keras untuk meningkatkan perekonomian keluarga kami dan memperbaiki semua kesalahan yang pernah saya lakukan. Seandainya tidak ada program ekonomi produktif perempuan, tentu banyak kendala yang dihadapi istri saya dalam berusaha karena sulit baginya untuk mendapatkan modal usaha. Jadi saya sangat bersyukur an-Nisaa’ mau membantu kami”.
3.6.3. Warna-Warni Realitas Penelitian
yang
dilakukan
untuk
melihat
manfaat
pelatihan
dan
pendampingan program Kampung Damai mengindikasikan adanya perubahan positif seperti telah terlihat dalam kisah pengalaman kehidupan warga masyarakat. Seperti yang telah dituliskan, mereka (responden) mengatakan selain bermanfaat dalam hal keuangan, keterlibatan dalam KSM juga membuat mereka lebih terlibat dalam aktivitas di gampong, diikutkan dalam pelatihan dan juga dapat memperbaiki mental mereka, seperti yang diceritakan di atas. Sebahagian besar anggota KSM mengatakan ada dampak terhadap usaha mereka setelah mengikuti kegiatan KSM. Alasan yang diberikan karena sebelum menjadi anggota KSM, mereka tidak melakukan kegiatan produktif (menganggur) dan kini telah memiliki usaha sendiri. Alasan lainnya karena barang yang dijual semakin banyak juga lahan yang dulunya tidak terpakai menjadi terpakai dengan adanya pinjaman modal usaha. Selain itu juga keterampilan berusaha menjadi meningkat dan lebih berani mengambil resiko dalam berusaha sehingga membuat usaha lebih baik, lebih berkembang dan lebih maju. Namun ada juga yang merasa usahanya biasa-biasa saja bahkan tidak memberikan dampak. Mereka mengatakan memang ada manfaat, namun karena
~ 40 ~
usaha tidak berjalan lancar, pemasaran yang sulit menyebabkan usaha terhenti. Apalagi sekarang harga barang-barang semakin mahal tidak sanggup lagi membeli sementara pinjaman tetap harus dilunasi. Seperti yang terjadi pada Kak Darliana. Modal usaha yang diperolehnya digunakan untuk membeli ’rumah tenun’. Memiliki rumah tenun merupakan impiannya sejak lama, karena itu ekspresi bahagia jelas terlihat saat dia dapat mewujudkannya. Perempuan berusia 47 tahun ini begitu bersemangat menenun kain-kain pesanan meski terkadang jemarinya ingin berhenti sejenak melepaskan kelelahan karena lama menari di atas alat tenun. Namun hal itu tidak dilakukan mengingat esok hari kain tersebut akan diambil oleh pemesannya. Lagi pula bila tidak selesai tentu pemesan tidak akan memberinya uang padahal penghasilan tersebut sangat dibutuhkan untuk kebutuhan anak-anak, karena suaminya hanya seorang tukang biasa, seperti untuk pembayaran SPP anaknya. Berat hati bila dia untuk mengatakan ”lagi tidak ada uang, nak” karena besok merupakan batas akhir pembayaran, seperti yang diungkapkannya dalam bahasa Aceh pada saat menceritakan hal ini, ”hana mungken lon peugah teungoh hana peng, neuk”, singeuh terakhir bayeu peng sikula”. Harapan Kak Dar, ke 6 anak nya tidak ada yang putus sekolah. Kekhawatiran itu terus membayangi karena penghasilan tidak menentu mengingat susahnya pasaran kain songket Aceh. Meskipun dengan memiliki rumah tenun sendiri, keuntungannya jadi lebih besar, yaitu Rp. 300.000 per potong kain, namun karena bahan baku yang mahal, terpaksa Kak Dar menjual dengan harga yang relatif mahal juga, sehingga tidak ramai yang meminati produk ini. Dengan kondisi itu Kak Dar sering pesimis karena usahanya tidak mengalami perkembangan yang berarti, sementara dia tetap mesti membayar cicilan pinjamannya.
~ 41 ~
Kisah Nurhamaizar juga mewakili warga yang kurang beruntung dalam kontinuitas usahanya. Dengan kondisi itu dia bekerja keras untuk membersihkan lahan tidur milik warga gampong tetangga agar dapat dimanfaatkan untuk menanam bayam. Bantuan modal yang didapat pun menjadi sangat membantunya dalam membiayai keperluaan operasional. Kerja keras memberinya hasil menggembirakan. Lahan yang dulunya penuh semak belukar dan batuan disulap menjadi kebun kecil yang elok dan menyejukkan hati. Namun cobaan hidup kembali mengujinya. Kecemburuan sang pemilik tanah menyebabkan dia tak mengizinkan lagi Kak Nur mengelola tanahnya dengan sistem bagi hasil. Dia berkeinginan menanam sendiri agar bisa mengambil semua hasil panen. Tentu saja hal ini sangat menyedihkan Kak Nur. Akhirnya usahanya terhenti karena tidak memiliki lahan sendiri dan diapun tidak berani lagi mengelola lahan orang lain karena takut akan terulang hal yang sama yaitu sang pemilik tanah meminta kembali lahannya setelah usahanya cukup berhasil. Meskipun cerita tersebut mengundang keprihatinan, namun ada kondisi lainnya yang patut disyukuri. Hasil penelitian yang dilakukan mengungkapkan kenyataan bahwa kegiatan KSM membuat responden lebih percaya diri, tidak hanya dalam hal mengatur keuangan tapi juga dalam pergaulan di masyarakat, tidak lagi minder dan malu, termasuk ketika bergaul dengan masyarakat yang lebih maju. Responden juga mengatakan menjadi lebih berani mengemukakan pendapat, bahkan ada yang mengatakan menjadi lebih percaya diri dalam segala hal. Seperti yang dialami Kak Kasni, salah seorang warga Siem. Keinginan untuk keluar dari keterpurukan ekonomi merupakan impian semua orang, tidak terkecuali bagi Kak Kasni yang kini harus berjuang keras untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga. Dia menjadi tulang punggung keluarga semenjak suaminya didera penyakit stroke. Untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut Kak
~ 42 ~
Kasni membuka usaha di pinggir jalan menuju gampongnya dengan menjual pisang goreng, tahu isi, tempe, dan bandrek. Berjualan dilakukan Kak Kasni di luar musim sawah (bulan september – Januari) karena penanaman hanya dilakukan satu tahun sekali. Masyarakat setempat bertani sawah dengan sistem tadah hujan karena tidak ada irigasi, sementara Kak Kasni mesti memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya sepanjang tahun. Kak Kasni mendapat upah sebesar Rp. 35.000 per hari tanpa ditanggung biaya makan oleh pemilik sawah. Ibu empat anak ini punya keinginan menyekolahkan anakanaknya sampai ke perguruan tinggi. ’an-Nisaa’ Centre senantiasa memberikan saya motivasi untuk meningkatkan usaha saya. Tidak hanya sebatas pelatihan, pendampingan yang dilakukan terhadap saya (tentunya juga masyarakat yang lain) memberikan arti yang begitu besar nilainya. Ini membuat saya lebih percaya diri. Pendamping mengatakan bahwa saya memiliki kelebihan, kue yang saya buat disukai orang, karena saya berusaha membuat produk yang baik dengan harga terjangkau, Semestinya saya mensyukuri itu dengan terus berusaha menjadi lebih baik dan pantang menyerah. Kalau Allah masih memberikan umur panjang dan kesehatan, saya akan memberikan yang terbaik untuk keluarga. lebih baik dari sekarang“, tutur Kak Kasni dengan nada terharu penuh dengan harapan.
Setelah mengikuti kegiatan KSM, reponden juga jadi lebih berani mengambil keputusan tidak hanya dalam hal usaha dan keuangan keluarga tapi juga untuk tindakan lain termasuk keberanian mengambil resiko untuk pengembangan usaha dan dalam hal lainnya. Namun ada sebahagian kecil responden tidak berani mengambil keputusan karena kurang percaya pada kemampuan diri dan masih takut mengambil resiko. Seperti yang terjadi dengan perempuan separuh baya ini, seluruh kekuatan dihimpun untuk maju dan bangkit dari keterpurukan ekonomi. Kak Nur mencoba menanam bayam di kebunnya yang dengan modal yang dipinjam dari an-Nisaa` Centre. Dalam masa 20 hari, bayam sudah bisa dipanen dengan harga jual
~ 43 ~
Rp.500 per ikat yang di beli oleh agen. Keuntungan yag didapat dari seluruh hasil panen sebanyak Rp. 200.000. Dengan modal ini juga Kak Nur membeli beberapa ekor bebek untuk dipelihara yang kemudian telurnya diambil untuk diasinkan. Namun usahanya belum bisa mencukupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Untuk itu dia juga mesti mencari pekerjaan alternatif. Perjuangan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih baik membuatnya berani mengambil kesempatan bekerja apapun asalkan halal. Ketika ada kesempatan bekerja sebagai petugas kebersihan di rumah sakit jiwa (RSJ) Banda Aceh, tanpa rasa sungkan Kak Nur menerimanya. Pada awalnya Kak Nnur hanya mendapat gaji sebesar Rp. 600.000 perbulan. Namun karena ketekunan dan kedisiplinan kak Nur dalam bekerja gajinya bertambah menjadi Rp.1.000.000 perbulan. Tentunya jumlah itu sangat membantu menambah penghasilan di luar usaha tanaman muda yang tetap dijalaninya. Kak Nur menyadari pekerjaannya di RSJ bukanlah pekerjaan yang terhormat dalam kacamata masyarakat umum, apalagi di RSJ (rumah sakit jiwa) tidaklah mudah dijalankan karena tantangannya sangat besar, maklum yang dihadapi bukanlah orang normal, tentu perangai (sikap dan tindakan) orang di lingkungan Kak Nur bekerja tidak dapat disamakan dengan situasi biasa. Namun itu semua dihadapi dengan penuh kelapangan jiwa dan rasa syukur, seperti yang tersirat dalam ungkapannya saat ditemui ditempatnya bekerja, di kawasan Lamprit Banda Aceh. ”Ditengah sulitnya lapangan pekerjaan, saya bisa bekerja seperti ini merupakan rahmat dan saya terus berharap bisa terus bekerja. Dengan kerja dan penghasilan yang ada saya dapat memenuhi kebutuhan hidup dan saya berharap dapat merehap rumah saya yang sudah mulai lapuk, tua dimakan usia ”. Responden juga mengatakan bahwa keterlibatan mereka dalam KSM menumbuhkan budaya saling tolong menolong sesama anggota. Hal ini karena menurut responden, kebersamaan dalam KSM lebih memperkuat silaturrahmi,
~ 44 ~
saling mengerti dan berbagi, saling menghargai dan saling membantu, saling tolong sesama anggota yang membutuhkan, dibidang keuangan dan bidang
lainnya.
Seperti refleksi yang disampaikan oleh Risna dari gampong Krueng Kalee berikut: ”Saya mengucapkan terima kasih kepada an-Nisaa’ Centre yang sudah membantu saya dan keluarga. Berkat bantuan an-Nisaa’ Centre, saya dan keluarga lebih mudah dalam mengerjakan pekerjaan yang telah hampir 3 tahun dijalani. Saya dan keluarga saya bekerja sebagai pengolah kelapa menjadi bumbu masakan yaitu masakan khas Aceh yaitu berupa kelapa gonseng. Orang Aceh sering menggunakan kelapa gonseng untuk masakan berdaging supaya lebih ’maknyuz’. Mula-mula agak sulit mengembangkan usaha ini dengan kendala tidak adanya pelanggan tetap dan keterbatasan modal. Tapi dengan adanya an-Nisaa’ Centre di gampong kami Alhamdullilah menjadi lebih mudah mendapatkan modal usaha. Dengan bantuan tersebut kami membeli sebuah mesin giling bumbu untuk kelapa gonseng. Sebelumnya kelapa gonseng tersebut dibawa ke tempat penggilingan bumbu-bumbu setiap hari dengan menempuh jarak 1 kilometer, di tambah lagi dengan ongkos giling. Jadi dengan adanya mesin giling sendiri sangat memudahkan pekerjaan dan membawa keuntungan bagi kami. Dengan adanya fasilitas ini, kami juga dapat membantu tetangga yang memiliki usaha yang sama yaitu kelapa gongseng namun mereka tidak memiliki mesin giling. Kami juga mendapat konsumen yang lebih banyak sehingga perlu menambah tenaga kerja untuk memproduksi dalam skala yang lebih besar. Kelompok KSM pun terlibat, terkadang setelah membuat kue di rumah, mereka membantu keluarga saya mengolah kelapa untuk di gonseng, ya, lumayanlah selain membantu kelompok juga menambah penghasilan. Saya juga sangat terkesan dengan adanya aktivitas sabtu Ceria bagi anak-anak yang mengajari mereka dengan berbagai kegiatan. Saya dapat merasakan betapa berharganya aktivitas tersebut untuk perkembangan mereka. an-Nisaa’ sudah begitu banyak membantu gampong kami selain memberikan modal usaha juga memberi pengarahan pada kami untuk mengembangkan usaha. Pengalaman yang kami dapatkan begitu banyak karena an-Nisaa’ beberapa kali mengundang kami dengan memberikan pelatihan dan bimbingan, tidak hanya mengenai cara mengembangkan usaha namun juga cara untuk hidup sejahtera (penuh kedamaian dan toleransi) antar masyarakat gampong yang dapat dimulai dengan menciptakan hubungan yang harmonis dalam keluarga. Banyak kajian-kajian yang difasilitasi an-Nisaa’ Centre di gampong yang sangat berguna membuka dan menambah kesadaran warga gampong terhadap pentingnya mewujudkan Kampung Damai yang dicita-citakan”.
~ 45 ~
Responden juga berpendapat bahwa KSM merupakan wadah berbagai macam pendidikan. Hal ini karena mereka tidak hanya mengetahui bagaimana menghitung rugi laba usaha dan pengembangan usaha, akan tetapi belajar banyak hal baru dan menambah wawasan berbagai pengetahuan termasuk dalam hal berkomunikasi seperti lebih berani mengeluarkan pendapat. Hal ini juga yang menyebabkan responden menjadi lebih percaya diri. Seperti cerita Rahmi, Rahmi adalah masyarakat asli Gampong Siem. Usianya masih begitu muda namun telah mengalami penderitaan yang panjang. Dalam masa konflik keluarga Rahmi hidup dengan sederhana karena sangat sulit untuk mencari nafkah akibat keterpurukan sosial dan kondisi keamanan yang demikian memprihatinkan. Sepertinya itu juga yang menjadi alasan Rahmi mengambil keputusan untuk menikah di usia dini. Rahmi berusaha menekuni kerajinan tradisional tenun Aceh. Kesabarannya menghadapi penderitaan hidup membuatnya sanggup belajar keterampilan yang satu ini yang memang membutuhkan ketelitian dan kesabaran tinggi untuk bisa menguasainya. Rahmi sempat bekerja pada salah satu usaha milik warga kampungnya yang bernama Nyak Nu”, tenun Aceh ini sudah cukup terkenal sampai ke manca negara, namun begitu pasaran produk ini relatif terbatas bagi kalangan tertentu disebabkan harganya yang sulit dijangkau masyarakat biasa, itu juga menjadi alasan Rahmi melakukan aktivitas produktif lainnya seperti ke sawah dan membuka kios kecil-kecilan di depan rumahnya, karena tidak mungkin hanya menumpukan pada penghasilan suaminya yang tukang bangunan. Rahmi menggambarkan perempuan gampong yang sederhana, pemalu dan tidak begitu pandai bicara, namun ia memiliki kepedulian untuk berpartisipasi. Hal itu menyebabkannya terlibat dalam aktivitas gampong dan ikut menjadi kader yang aktif. Berikut pendapatnya terhadap KSM:
~ 46 ~
”KSM memberikan manfaat yang besar bagi saya. Banyak sekali nilai pendidikan yang ada di dalamnya, saya dan yang lain berkesempatan menambah wawasan pengetahuan tidak hanya tentang usaha kami, namun pengetahuan lainnya juga. Saya pun menjadi lebih berani mengemukakan pendapat karena pendamping sering membuat pertemuan dan berbagai kegiatan. Pendamping sering meminta pendapat kami dalam melakukan kegiatan di gampong, ini memberikan kami kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan kami jadi lebih berani berbicara di dalam pertemuan-pertemuan. Saya sangat bersyukur dengan adanya an-Nisaa’ datang ke gampong kami. Harapannya, an-Nisaa’ akan terus bersama kami....” Keberadaan KSM dirasakan oleh responden cocok dengan alasan: karena banyak masyarakat kurang mampu dan membutuhkan modal untuk usaha. Selain itu mereka juga mengatakan bahwa di daerah tersebut sudah lama tidak ada bantuan dan tidak ada yang membantu sehingga keberadaan KSM sangat membantu apalagi ada usaha masyarakat yang macet sehingga dapat berusaha lagi. Responden juga mengatakan bahwa mereka sangat terbantu dan termotivasi untuk berusaha sehingga mengalami perubahan yang lebih baik. Ini dapat dilihat dari perkembangan usaha kak Raihan yang bercita-cita untuk menjadi pengusaha sukses. Sejak kecil Raihan tinggal bersama saudaranya karena kedua orang tuanya tidak mampu membiayai hidupnya. Ia tidak mudah menyerah dan berputus asa. Selain bekerja sebagai sales di sebuah toko saudaranya ia berusaha menambah penghasilan dengan berjualan kain yang ia kreditkan. Meski segalanya begitu susah tetapi keinginan menjadi pengusaha yang sukses tidak pernah pupus (hilang). ”Saya membantu saudara berjualan buku di pasar Aceh. Dengan gaji yang tidak seberapa saya kumpulkan menjadi modal mengkreditkan barang ke tetangga di gampong dan di sekitar Gampong Siem dan Krueng kalee. Saya tidak dapat mengakses modal karena saya tidak punya harta benda yang dapat dijadikan agunan. Namun kuatnya cita-cita membuat jalan jadi terbuka. Lewat dana ekonomi produktif KSM yang di lakukan an-Nisaa’, saya dapat menambah modal dan semakin mendekatkan saya dengan cita-cita saya. Dengan modal itu telah memantapkan langkah saya dalam usaha kredit baju, apa lagi saya juga mendapatkan pengetahuan teknis tentang usaha dan motivasi usaha ”.
~ 47 ~
Bagi Raihan, dengan penghasilan perhari Rp. 50.000 sudah cukup lumayan mengingat dia masih sendiri (belum menikah). Saat ini Raihan kembali mengakses modal untuk kedua kalinya guna menambah modal jual beli baju kreditnya. Survey yang dilakukan juga meminta pendapat responden (anggota KSM) terhadap manfaat yang dirasakan masyarakat sekitar diluar anggota KSM. Sebahagian besar responden berfikir bahwa kegiatan KSM memberi pengaruh positif terhadap masyarakat sekitar selain untuk diri mereka sendiri, yaitu dalam hal memberdayakan masyarakat untuk lebih yakin dalam berusaha dengan adanya dukungan modal dan pengetahuan tentang pengelolaan usaha dan keuangan, seperti hikmah yang dapat diambil dari cerita Emi berikut ini: Emi adalah sosok perempuan muda yang sudah dikaruniai 3 orang anak. Suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga harus melakukan pekerjaan apa saja guna menghasilkan uang untuk sesuap nasi. Setiap kali fasilitator melakukan pendampingan ke gampong senantiasa bersilaturahmi ke rumah Emi. Pendamping mendengarkan Emi bercerita tentang suaminya yang sangat sulit mendapatkan pekerjaan sebagai buruh bangunan. Dengan latar belakang suaminya yang pandai membuat es cendol, Emi dan suaminya telah berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan menjual es cendol di depan rumah ibunya (Emi masih tinggal bersama orang tuanya karena belum memiliki rumah sendiri dan belum sanggup mengontrak rumah), namun penjualan es cendol yang dilakukan sejak jam 10 pagi hingga jam 4 sore ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka dan anak-anaknya. Emi kemudian menjadi anggota KSM dan memberinya bantuan kredit mikro sebesar Rp.1.500.000 agar dapat dipergunakan untuk biaya produksi, perlengkapan dan merehap gerobak cendol untuk dipakai menjajakan es cendol berkeliling kampung. Usaha yang dijalankan Emi dan suaminya ini ternyata membawa peruntungan bagi anggota KSM yang lain karena mereka dapat menitipkan kue produksi mereka kepada suami
~ 48 ~
Emi untuk ikut dijualkan dan hasilnya cukup memuaskan. Penjualan kue dari masing-masing anggota saja bisa mencapai 100 potong per hari. Penjualan ini dirasakan sangat lumayan. Sekarang kehidupan keluarga Emi sudah menunjukkan perubahan yang nyata. Perubahan ini juga membawa pelajaran (hikmah) bagi anggota KSM yang lain, menjadi contoh pula bagi warga di sekitar gampong karena pada dasarnya warga Siem sangat malu melakukan aktivitas berkeliling menjajakan barang dagangannya. Tentunya, pelajaran berharga seperti ini hanya akan dirasakan bagi orang-orang yang mau berfikir. Jadi jika banyak dari kita yang tidak dapat mengambil manfaat apapun dari sejumlah peristiwa yang terjadi, itu karena kita yang ‘tidak mau tahu’ tentang pelajaran itu sendiri, maka tidak akan ada manfaat apapun yang dapat dirasakan karena pada dasarnya tidak ada keperdulian untuk mendapatkannya. Sepertinya halnya kenyataan yang ditemukan dalam survey, sebahagian besar responden masih memandang tidak ada pengaruh terhadap masyarakat sekitar (di luar anggota KSM). Hal tersebut karena menurut mereka sulit sekali mengajak masyarakat untuk berkumpul. Jika tidak mengikuti pertemuan tentu saja tidak merasakan manfaatnya. Ini seperti yang disampaikan oleh salah satu kader Kampung Damai yang sekaligus menjadi anggota KSM, beliau menyatakan bahwa masyarakat sangat sulit untuk diajak berkumpul. Hal tersebut dikemukakan Yani, salah seorang warga yang aktif sebagai kader. Berikut petikan wawancara yang lakukan pada Yani: Manfaat apa yang kakak dapat ketika mengikuti kegiatan yang
an-Nisaa’
adakan…? Dengan logat Jakartanya, Yani yang memang asli orang Jakarta dan menikah dengan penduduk asli Siem ini menuturkan:
~ 49 ~
”Wah banyak banget yang saya dapatkan diantaranya banyak teman, mendapatkan banyak pengetahuan lewat pelatihan dan diskusi dengan pendamping yang sebenarnya saya tidak pernah mendapatkan itu sebelumnya” Kak, kalau menurut kakak apakah ada dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat sekeliling kakak yang tidak terlibat di KSM? ”Duh gimana ya kak..... Sulit diungkapkan karena untuk diajak berkumpul aja mereka agak kurang mau, mungkin bagi mereka tidak terlalu bermanfaat. Kalau menurut saya mungkin ada dampak positif tapi masih kecil, itu untuk sebahagian orang yang secara tidak langsung terlibat, misalnya anaknya mengikuti sabtu ceria anak, atau mereka yang sering dikunjungi pendamping karena memiliki persoalan, biasanya pendamping dan kader berusaha membantu meskipun mereka bukan anggota KSM. Namun yang saya rasakan banyak sekali manfaat ketika ikut berkumpul, karena banyak pengetahuan bertambah dan persoalan dibahas bersama. Jadi jika warga ’cuek’ aja dan enggan berkumpul mana mungkin mereka merasakan manfaat yang sesungguhnya. Jika saja mereka mau berpartisipasi dengan aktif maka dampak positifnya tersebut akan sangat besar seperti yang saya rasakan”. Kalau duka yang kakak rasakan selama membantu an-Nisaa’, apa ya kak? ”Sepertinya tidak ada karena saya sangat menikmati kegiatan yang saya lakukan tapi mungkin ada selentingan omongan orang yang tekadang membuat saya capek mendengarnya”. Omongan seperti apa kak? ”Katanya saya suka cari muka di an-Nisaa’ sehingga saya sangat dekat dan dihargai oleh teman-teman an-Nisaa’, padahal yang saya rasakan biasa saja karena selama ini secara materil saya juga tidak mendapatkan apa-apa kecuali kemudahan modal usaha itupun orang lain juga sama merasakannya, bukan hanya saya aja”. Jadi gimana kakak menanggapi masalah tersebut? ”Jika saya menanggapi dengan serius maka saya akan stress kak, mana sanggup kita hadapi komentar lidah tak bertulanggnya orang-orang yang kurang bertanggung jawab, oleh karena itu saya cuekin aja”.
~ 50 ~
Kakak, apa harapan kedepan untuk kampung kita kak? ”Harapan semakin banyak kader masyarakat yang mau aktif, sehingga kampung akan semakin maju”.
3.6.4. Anak –anak Kampung Damai Anak adalah penerus bangsa, mengajarkan nilai perdamaian kepada anak sama dengan menciptakan perdamaian masa depan. Melakukan transformasi nilaidamai salah satunya dengan memberi rasa pada makna damai itu sendiri, dimana ini mestilah dapat dinikmati dengan rasa penuh bahagia, artinya, jika anak tidak dapat menikmati kebahagiaan masa ke-anak-an-nya, maka dia akan sulit berdamai dengan dirinya sendiri, akan sulit pula baginya untuk mewujudkan perdamaian. an-Nisaa’ centre bersama AFSC Indonesia melihat bahwa anak juga merupakan prioritas, dengan alasan itu maka Program Kampung Damai menetapkan agenda untuk anak sebagai prioritas yang tidak boleh ditinggalkan yang hadir dalam”Sabtu Ceria Anak”. Sabtu Ceria Anak merupakan suatu kegiatan dimana anak-anak bisa bermain, bercerita dan mencurahkan segala keinginan serta cita-cita yang selama ini terpendam. Anak-anak bebas berkarya menurut keinginan dan kemampuan mereka masing-masing. Pasca konflik anak-anak masih memiliki trauma yang mendalam sehingga mereka masih merasa ketakutan ketika melihat orang asing di lingkungan mereka. Hal ini sangat kelihatan ketika acara sabtu ceria kita adakan di Kampung Damai. Awal pertemuan dengan anak-anak sangat berbeda dengan anak-anak yang tinggal di lingkungan non konflik. Mereka sangat antusias untuk hadir pada acara sabtu ceria tetapi di wajah mereka masih terlihat rasa ketakutan atau membisu ketika ditanya sesuatu. Keceriaan yang seharusnya dimiliki oleh anak-anak ketika bermain belum terlihat. Mereka hanya duduk diam dan memperhatikan kegiatan yang sedang
~ 51 ~
berlangsung. Perlahan-lahan kebisuan anak-anak mulai menghilang, mereka sudah mulai kelihatan ceria dalam beraktivitas. Pada bulan mei 2008 kegiatan yang dilakukan adalah belajar menggambar dan mewarnai. Anak-anak begitu gembira dalam mengikuti kegiatan sabtu ceria. Anak-anak juga diajarkan cara menjaga kesehatan, mengajarkan pola makan yang baik dan cara merawat tubuh mulai dari cara menggosok gigi yang benar sampai cara mandi dengan memakai sabun, shampoo dan sebagainya. Pada bulan ketiga anak-anak kelihatannya sangat serius mengikuti kegiatan sabtu ceria, mereka sudah mulai berani berbicara dan bercerita, Novi misalnya, dulunya sangat pendiam, sekarang dia sangat periang dan sudah berani ’curhat’. Dukungan orang tua serta partisipasi masyarakat telah mensukseskan kegiatan Sabtu Ceria Anak. Hal yang sangat penting untuk disyukuri karena anakanak benar-benar dapat mengekspresikan ke anak-anak-an mereka, melahirkan kreatifitas sesungguhnya sehingga bisa berdamai dengan dirinya. Hal itu akan menjadi pondasi lahirnya generasi yang berbakat serta bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara.
Kisah Iqbal Sejak perjanjian Jenewa ditandatangani, anak-anak yang ada di kedua gampong, Siem dan Krueng Kalee mulai menjalani aktivitas secara normal. Ketakutan, trauma secara perlahan mulai bergeser melalui kegiatan-kegiatan yang dapat membangun motivasi mereka pada masa akan datang. Bermain bersama, menuangkan dalam bentuk puisi dan cerita bergambar seakan menghilangkan duka mereka yang pernah ada, walau itu belum dapat diukur dalam jangka waktu yang singkat, hal itu juga dilakukan oleh M. Iqbal, salah seorang anak yang berasal dari Gampong Siem.
~ 52 ~
Sore ceria anak dimanfaatkan oleh Iqbal sebagai wadah membangun kreativitas dirinya bersama dengan teman-temannya yang lain. Melalui sejumlah kegiatan, Iqbal dan teman-temannya senantiasa serius dan tekun melakukannya. Suasana yang tercipta juga semakin menumbuhkan semangat berbagi sesama anakanak yang ikut beraktivitas dalam sore ceria anak. Sore ceria anak tersebut tidak pernah terlewatkan oleh Iqbal dan rekan-rekannya walaupun terkadang kegiatannya sangat sederhana. Sebagai anak yang relatif lebih besar, Iqbal kadangkala memilih kegiatan yang sedikit berbeda dengan rekan-rekannya yang masih kecil, karena menurut Iqbal hal itu tidak perlu lagi dia lakukan dalam umurnya yang sekarang, seperti mewarnai yang lebih dominan dilakukan oleh anak-anak yang berumur 5-7 tahun. Iqbal lebih memfokuskan bila kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kriteria dan hobbinya, namun demikian Iqbal tetap mengikuti setiap kegiatan sore ceria anak dengan serius dan penuh canda. Iqbal adalah anak yang memiliki keceriaan dan semangat berusaha. Semangatnya selalu terlihat jelas dalam kehidupannya terutama ketika terlibat dalam kegiatan sore ceria anak di Gampong Siem dan Krung Kalee. Hari-hari Iqbal tidak kelihatan sebagai anak yang mengalami broken home, bahkan secara nyata keberaniannya menjadikan Iqbal sebagai sosok pemimpin bagi anakanak di wilayah tersebut. Iqbal patut diacungkan jempol karena dia anak yang peduli dan memiliki partisipasi yang luar biasa. Analisis terhadap realitas ini menjelaskan bahwa partisipasi anak dalam aktivitas ’Sabtu Ceria Anak” tidak terlepas dari proses pendampingan
yang
telah
dilakukan.
Pendampingan
ikut
membantu
mengkondisikan alam anak ketengah-tengah anak, dan proses ini juga membuat anak merasa aman dan nyaman sehingga ekspresi kanak-kanak dalam diri anak kembali mengalir dan teraktualkan.
~ 53 ~
Bagian IV Pranata Sosial dan Kebijakan Pembangunan Yang Mengakomodir Kepentingan Perempuan 4.1. Kesetaraan Gender Pastinya kita tidak asing dengan peribahasa lama, “Tidak Ada Gading Yang Tidak Retak”, karena artinya yang sangat membumi dengan fitrah hidup manusia, yaitu tidak ada mahluk yang sempurna di dunia ini. Memang demikian adanya, ketidaksempurnaan itu yang membuat penciptaan manusia sebagai mahluk yang paling berderajat di muka bumi ini pun, diciptakan berpasangan dengan jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dan perempuan, yaitu untuk saling melengkapi ketidaksempurnaan keduanya. Seperti yang disebutkan dalam kitab suci umat Islam “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…” (QS. 9:7). Dalam surat lain juga disebutkan “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa diantara kamu dan sesungguhnya Allah Maha mengetahui dan lagi Maha mengenal” (QS. 49:13). Panduan kehidupan di atas jelas menyebutkan tidak adanya perbedaan kemuliaan manusia kecuali karena taqwanya. Lalu, dari mana muncul stigma, bahwa perempuan adalah mahluk kelas dua yang keputusan hidupnya ditentukan oleh teman hidupnya yang bernama laki-laki?. Bisa jadi pemikiran seperti itu sisasisa peninggalan zaman kegelapan peradaban (Mesir kono, Yunani kono, Romawi kono, Hindu kono, Cina Kono dan Arab Jahiliyah), yang senantiasa memposisikan perempuan dalam kondisi sangat tragis, sebagai pelengkap penderita untuk
~ 54 ~
kesenangan dunia, sehingga dapat diperlakukan sebagai harta warisan, bangga dibunuh selagi masih bayi, korban sesembahan untuk para dewa, dan budak pemuas nafsu, bahkan bila ada yang mendapat kesempatan terhormat sebagai istri, harus membakar dirinya dalam api begitu sang suaminya mati. Sayangnya di abad nuklir seperti sekarang ini, mesti tidak se-ekstrem di atas, bentuk diskriminasi terhadap perempuan baik yang terang-terangan maupun terselubung, disengaja maupun tidak, masih teraktualisasi di bumi ini, bahkan di bumi Iskandar Muda (Aceh) yang menjunjung Islam sebagai agama yang telah mengubah peradaban ‘era kegelapan’ menjadi ‘era terang-benderang’ karena membawa konsep keadilan bagi umat manusia. Pasti ada yang salah dalam penafsiran teks-teks sumber ajaran bila tidak karena arogansi kelaki-lakian yang telah melegitimasi penyimpangan konsep ajaran menjadi suatu kebenaran karena ia menjadi pihak yang diuntungkan. Hal ini dapat terlihat dari relatif kecilnya peran perempuan di ranah publik. Peran perempuan seolah-olah hanya melingkupi bidang domestik. Anehnya lagi, meski perempuan melahirkan dan memiliki kewajiban pengasuhan anak, namun dalam banyak kejadian (rumah tangga di perkampungan, misalnya), perempuan tidak ikut menjadi penentu pendidikan dan masa depan anak. Sungguh ironis, seakan-akan hanya laki-laki yang berhak membuat keputusan. Bila dalam lingkup domestik saja, perempuan tidak penuh dilibatkan khususnya dalam proses pembuatan kebijakan dan keputusan, dapat dimaklumi semakin tidak ada keterlibatan perempuan dalam lingkup yang lebih luas seperti terhadap pembuatan kebijakan-kebijakan gampong. Kesadaran terhadap kesetaraan laki-laki dan perempuan sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 di atas, mestinya menjadi cara pandang masyarakat dalam melihat kehidupan sosial. Karena itu memposisikan perempuan sebagai pelengkap penderita pada dasarnya merupakan penghinaan
~ 55 ~
terhadap ajaran agama. Sebuah kondisi dimasa konflik di Aceh misalnya, dengan rela hati perempuan menjadi pekerja, menjadi pencari nafkah utama bagi keluarga. Sekilas lalu kondisi tersebut seolah-olah memberikan peluang perempuan untuk terlibat dalam urusan publik, tapi sisi yang lebih jelas dan benar terlihat adalah, bahwa perempuan ‘harus’ melakukan aktivitas itu karena ketidakberdayaan laki-laki untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Terlepas dari perempuan berhak dan memiliki kesetaraan dengan laki-laki untuk mengurusi perekonomian, kewajiban memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga pada dasarnya bukan tanggung jawab perempuan, sehingga alasan apapun yang digunakan, termasuk konflik, yang telah menyebabkan perempuan harus bekerja menafkahi keluarga, tidak menjadi pembenaran bahwa perempuan telah ditempatkan perannya sebagaimana mestinya, karena yang terjadi justru penambahan beban kehidupan terhadap perempuan. Mestinya dengan konteks di atas, menjadi perhatian besar untuk melibatkan perempuan dalam urusan kebijakan, terutama kebijakan pembangunan. Bagaimana tidak, suatu kebijakan pembangunan dibuat untuk kemaslahatan masyarakat yang perempuan merupakan bahagian besar di dalamnya. Realitas banyaknya peran perempuan Aceh (di banyak gampong kawasan konflik) dibidang ekonomi seharusnya memberikan gambaran akan besarnya potensi perempuan untuk berperan serta terhadap bidang yang lain termasuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan pembangunan di tingkat gampong. Namun itu tidak terjadi, tidak tahu mengapa…, padahal soal kepemimpinan perempuan dan keterlibatannya dalam proses pembuatan kebijakan umat bukanlah sesuatu yang baru dan tabu bagi masyarakat Aceh. Melihat ulang sejarah Aceh, tercatat empat orang Sulthanah (sultan perempuan) yang memimpin kerajaan Aceh selama lebih dari setengah abad, yaitu: Sulthanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1050 – 1086 H/ 1641 – 1676 M), Sulthanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah (1086 – 1088 H/ 1676 – 1678 M),
~ 56 ~
Sulthanah Inayat Zakiatuddin Syah (1088 – 1098 H/ 1678 – 1688 M), dan Sulthanah Kamalat Syah (1098 – 1111 H/ 1688 – 1699 M). Sejarah juga mencatat, masa kepemimpinan Sulthanah Safiatuddin, yang didukung penuh ulama Aceh yang sangat berpengaruh yaitu: Syekh Nuruddin al Raniry dan Syekh Abdul Rauh al Singkili (Syiah Kuala), mengalami kegemilangan. Meskipun dalam bidang militer tidak dapat menyaingi prestasi ayahandanya Sultan Iskandar Muda, namun rakyat Aceh hidup dalam kemakmuran selama Sulthanah memimpin, dapat dilihat dari kutipan berikut, dari kitab ‘Bustan Salatin’ yang ditulis oleh ar-Raniry: “… Banda Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sulthanah Safiatuddin terlalu makmur dan makanan pun sangat murah dan segala manusia pun dalam kesentosaan dan mengikut segala sabdanya…”. Sangat jelas terdeskripsikan rakyat Aceh mengikuti semua yang dititahkan sang pemimpin meskipun pemimpin tersebut perempuan. Hal tersebut sekaligus membuktikan bahwa keberhasilan suatu kepemimpinan bukan ditentukan karena ke-laki-laki–annya atau karena ke-perempuan-an-nya, melainkan dari kapasitas diri yang dimiliki pemimpin tersebut, seperti kebenaran yang terkandung dalam al-Quran surat atTaubah: 71) sebagaimana telah dituliskan di atas. Dengan gambaran sejarah seperti tersebut di atas, dan adanya tuntunan kehidupan masyarakat yang memposisikan kesetaraan gender sebagai bentuk keadilan yang harus dirasai setiap umat manusia, semestinya kita tidak melihat diskriminasi pada peran perempuan (gampong) dalam urusan kepemimpinan khusus dalam pembuatan kebijakan pembangunan, apalagi adanya kebijakan-kebijakan pranata sosial gampong yaitu pemimpin pemerintahan gampong dan lembagalembaga adat Gampong, yang bias gender, tidak mengakomodir kepentingan perempuan.
~ 57 ~
4.2. Pranata Sosial Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten kota dibidang keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat (pasal 98 ayat 1 ). Lembaga tersebut meliputi: Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim, Imeum Chik, Geusyiek, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imeum Meunasah, Keujreun Blang, Panglima Laot, Pawang Glee, Peutua Seuneubok, Haria Peukan dan Syahbanda (ayat 3 pasal 98 UU no. 11 tahun 2006). Institusi inilah yang menjadi pranata sosial di Aceh. Jika melihat begitu banyak lembaga adat yang ada, tentu diharapkan berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan yang muncul dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Keberadaan pranata sosial ini sudah sejak lama ada dalam peradaban masyarakat Aceh, menjadi konvensi yang berakar kuat dalam adatbudaya Aceh. Seperti pepatah lama Aceh: “Adat bak poo temerhom, hukum bak Syiah Kuala”. … Ini menjadi indikasi bahwa bumi Aceh sejak zaman kerajaan Sultan Iskandar Muda telah memiliki adat yang berakar kuat, tentunya dengan pranata sosial yang berperan sebagaimana mestinya. Dibawah Pemerintahan NKRI, kebijakan sistem pemerintahan daerah yang berlaku ikut memangkas berbagai peran pranata sosial yang ada. Meskipun kemudian muncul kebijakan Aceh sebagai Daerah Istimewa, tidak dengan serta merta fungsi dan peran pranata kembali seperti sedia kala. Konflik yang berawal dari ketidakpuasaan terhadap otonomisasi pemerintahan Aceh, makin membesar dan berkepanjangan, berlangsung lama dan telah menyebabkan perubahan buruk. Tidak hanya kecemasan keamanan dan kemiskinan ekonomi yang terjadi, kemunduran peradaban pun ikut menjadi output. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
~ 58 ~
pemerintahan semakin memudar dan hilang sebahagian besarnya, pranata sosial tidak lagi memberi makna signifikan. Gempa dan tsunami Aceh, 26 Desember 2004 tidak hanya mengguncang kesadaran dunia untuk berpartisipasi merehabilitasi dan merekonstruksi Aceh kembali, namun ikut juga mengguncang kesadaran petinggi-petinggi RI-GAM untuk bertoleransi, menyisihkan ambisi dan keinginan mempertahankan harga diri, kembali kepada satu-satunya tujuan bersama, “Damai Bumi Aceh”. Dengan penandatanganan perjanjian damai di Helsynki dan itikat baik semua pihak menjalankan semuanya, dimulailah babak baru pembangunan Aceh. Kesungguhan melaksanakan perjanjian damai ini diperlihatkan pemerintah dengan mengeluarkan peraturan tinggi negara yang melindungi aspirasi masyarakat Aceh, yakni undang- undang RI tentang Pemerintahan Aceh. Penyusunan UndangUndang melibatkan banyak komponen karena berkepentingan dengan pembangunan Aceh ke depan. Catatan sejarah Aceh yang panjang menjadi unsur kearifan lokal yang perlu diakomodir. Pranata sosial yang ada dalam masyarakat Aceh perlu kembali dikembangkan agar keberadaannya signifikan dalam mewujudkan masyarakat Aceh yang aman, tentram, rukun dan tertib. Sejak UU RI yang terdiri atas 40 bab dan 273 pasal ini di undangkan 1 Agustus 2006, secara legalitas formal pemerintah Aceh telah memiliki peraturan penyelenggaraan
pemerintahan
(provinsi)
tersendiri.
Semangat
partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya menyelesaikan berbagai
problema
sosial
kemasyarakatan
kembali
dimunculkan
dengan
mengaktifkan kembali peran pranata sosial sebagaimana yang dilegalisir UU RI No. 11 Tahun 2006 dan Qanun dibawahnya. Qanun tentang penyelenggaraan pemerintahan dalam provinsi NAD seperti tentang Pemerintahan Mukim telah lebih dahulu ada (Qanun NAD No. 4 tahun 2003), karena sejak tahun 1999 (UU No. 44) Aceh memiliki dasar hukum atas penyelenggaraan keistimewaan provinsi, juga
~ 59 ~
otonomi khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai provinsi NAD dengan penetapan UU RI no. 18 tahun 2001. Meskipun demikian, konflik menyebabkan semangat partisipasi menjadi jauh dari optimal. Mungkin karena konflik yang cukup panjang di Aceh itulah, banyak kebijakan-kebijakan yang dulunya mengantungi nilai-nilai “kebijaksanaan” ikut luntur, termasuk kebijakan pranata sosial Aceh yang pada hakekatnya disemangati ajaran keagamaan yang berkeadilan. Untuk melihat realitas yang sesungguhnya dalam hal ini, maka penelitian terhadap pranata sosial dan kebijakan pembangunan yang mengakomodir kepentingan perempuan menjadi penting untuk dilakukan.
4.3. Peran Pranata Sosial dalam Realitas Meskipun telah memiliki struktur kepengurusan, namun secara keseluruhan, pengurus belum mengetahui fungsi dan tugasnya secara menyeluruh. Dengan begitu, pelaksanaan fungsi dan tugas pun belum terlaksana secara optimal. Hal tersebut di atas seperti yang dikemukakan oleh Pak Faisal (Geusyiek Siem). “…, Sering kali saya harus terlibat langsung menyelesaikan permasalahan yang semestinya di selesaikan oleh kepala dusun. Sebahagian karena ketidaktahuan, sebahagian lain karena ketidakmengertian penyelesaian masalah dan ada juga yang berfikir seolah-olah semua masalah mesti terlibat Geusyiek dalam menyelesaikannya. Lebih lucu lagi seperti halnya keberadaan Tuha Peut, itu kan sama seperti DPR-nya Gampong, semestinya ikut mengawasi pelaksanaan pemerintahan Gampong juga memberikan saran dan pertimbangan pada Geusyiek terhadap penyelesaian masalah-masalah dan kebijakan gampong, namun karena belum mengetahui fungsi dan tugas yang terjadi justru sebaliknya. Demikian juga dengan perangkat Gampong. Meskipun saya memiliki sekretaris, namun sering kali saya harus menyelesaikan urusan administrasi. Mau gimana lagi…, dari pada urusan menjadi lama karena menunggu staf. Saya harus maklum, kepengurusan yang baru, saya belum sempat mengajarkan mereka. Memang idealnya mereka mempunyai sumberdaya menyelesaikan tugas-tugas, namun kenyataan tidaklah selalu ideal. Pada dasarnya mereka adalah orang-orang muda yang berpotensi, karena itu saya tetap yakin bahwa peran tersebut akan dapat dijalankan. Tentunya mereka perlu mendapatkan peluang
~ 60 ~
belajar yang lebih banyak khususnya pengetahuan dan pelatihan yang berkenaan langsung dengan peran strategisnya. Saya berharap an-Nisaa’ dapat menfasilitasi hal tersebut”. Kedekatannnya dengan teman-teman an-Nisaa’ karena kebersamaan dalam Program Kampung Damai sebelumnya, membuatnya lebih nyaman berterus terang termasuk kinerja staf-stafnya. Informasi dari sumber yang sama terhadap kondisi sebelum tsunami ternyata tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan karena konflik yang berkepanjangan, pranata sosial seperti ‘mati suri’. “Terhadap keterlibatan perempuan, saya berfikir hal ini positif, selama mereka berpotansi untuk itu dan yang sangat penting juga mendapatkan izin dari suami atau orang tua karena struktur budaya menghendaki seperti itu. Dari banyak forum sosialisasi gender yang saya ikuti, memang dikehendaki adanya hubungan kerjasama laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan pembangunan ini. Yang penting juga diingat, jangan karena telah bekerja dan mendapat penghasilan banyak, istri menjadi sulit diatur, seperti yang banyak terlihat dalam kasus perceraian belakangan ini. Tapi jangan tidak bijak pula bagi suami menggunakan fungsi kepemimipinannya untuk berlaku sewenang-wenang. Jadi bagi saya tidak soal perempuan terlibat dalam perencanaan gampong, tapi penting diingat oleh mereka tetap ada hal-hal yang terlebih dahulu harus diurusi. Jika perempuan tersebut berpotensi, sebaiknya memang perlu dilibatkan. Namun melakukan perubahan seperti ini tidak bisa sekaligus, perlu waktu yang lama untuk mengubah sesuatu yang telah berlaku berpuluh tahun dan turun-temurun. Selama ini, target pelatihan gender adalah perempuan. Perempuan diundang pelatihan kemana-mana untuk mendapatkan wawasan gender, sementara laki-laki tidak mendapatkan informasi yang seimbang, akibatnya dalam aplikasinya tidak mudah karena laki-laki dam perempuan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap konsep gender itu sendiri”. Dari cerita tersebut di atas, dapat dilihat bahwa sesungguhnya ada permasalahan di komunitas berkenaan dengan cara pandang masyarakat khususnya terhadap pemahaman gender. Namun hal tersebut tidak secara langsung diakui oleh komunitas. Hal ini terdeteksi dari jawaban responden terhadap kuesioner yang diberikan. Dari situ diketahui ternyata masalah-masalah yang sering dihadapi gampong adalah masalah: sengketa tanah dan keamanan lingkungan. Setelah tsunami, seiring dengan adanya bantuan pihak luar, dari pemerintah maupun
~ 61 ~
organisasi non pemerintah (NGO), banyak juga masalah ketidakmerataan distribusi bantuan dan ketidakpercayaan pada aparatur gampong. Pertemuan yang bersifat rutin untuk membicarakan berbagai persoalan gampong sebelum tsunami tidak dilakukan mengingat kondisi keamanan. Pertemuan hanya dilakukan jika ada masalah muncul dan mendesak untuk diselesaikan. Itupun dilakukan di rumah yang bersangkutan atau tokoh masyarakat. Setelah tsunami, seiring kondisi keamanan pasca konflik yang semakin membaik, pertemuan rutin sudah mulai dijalankan. Pertemuan telah berani dilakukan di tempat umum seperti meunasah (surau) sehingga lebih banyak masyarakat yang dapat terlibat. Sayangnya waktu pertemuan dilakukan pada malam hari, yaitu setelah shalat Isya, sehingga waktu tersebut belum mendukung keterlibatan perempuan. Seperti yang diungkapkan Geusyiek Hasby; “Di Lambiheu Lambaro Angan, saya tidak pernah mengundang perempuan untuk menghadiri rapat, hal ini karena pertemuan yang kami lakukan pada malam hari, sedangkan waktu tersebut adalah waktu mereka menidurkan anak-anak atau mengajarkan anak-anak mengaji dan membantu anak-anak menyelesaikan tugas sekolah. Kalaupun tidak melakukan itu, kaum perempuan juga sangat lelah seharian bekerja di sawah dan banyak dari mereka yang berjualan, jadi biarlah mereka beristirahat. Kami juga tidak ingin menambah beban pemikiran kaum perempuan. Mereka bekerja juga untuk keluarga. Jadi kami tidak bermaksud membatasi hak kaum perempuan untuk terlibat masalah masyarakat, tapi seperti itulah kondisinya. Menurut saya, keterlibatan perempuan dalam pembangunan gampong ada, yaitu mereka mengurusi urusan-urusan PKK, posyandu dan wirid serta urusan lain yang berhubungan langsung dengan perempuan dan anak jadi bidangnya tidak perlu sama dengan laki-laki. Perempuan juga bekerja di sawah menanam padi, jadi memang beda dengan perempuan yang bekerja di kota jadi tidak ada masalah jika perempuan bekerja, yang penting perempuan tahu aturannya, mereka (perempuan) wajib membesarkan dan mendidik anak-anak serta menyiapkan perlengkapan rumah tangga seperti memasak dan mencuci. Bila istri tidak melakukan itu, namanya tidak taat kepada suami, karena suami lelah mencari nafkan sementara istri tidak mau mengurus rumah tangga. Ini aneh bagi kami masyarakat gampong. Boleh saja perempuan kalau diizinkan oleh suaminya dan memiliki ilmu pengetahuan untuk memimpin gampong, tapi bagi saya lebih baik perempuan menjadi pembantu kaum laki-laki,
~ 62 ~
mendorong dan memberi semangat kaum laki-laki untuk memajukan gampong. Kalaupun masuk dalam struktur, perempuan jadi sekretaris atau jabatan yang lain yang berkaitan dengan perempuan. Kalau masyarakat mau memilih, tidak ada salahnya juga perempuan menjadi pemimpin, tapi aneh bagi kami masyarakat gampong, masih banyak laki-laki tapi dipimpin oleh perempuan”. Kondisi tersebut di atas tentunya menjadi tambahan tantangan yang dialami perempuan di gampong yang ingin memberikan kontribusi terhadap realitas berbagai permasalah sosial masyarakat gampong. Mungkin hal ini ikut menjadi latar belakang, mengapa sebelum tsunami, tidak ada keterlibatan perempuan dalam pranata sosial yang ada, kecuali sebagai ketua PKK, yang memang merupakan bagian dari
aparat
gampong.
Padahal
umumnya
(masyarakat
gampong)
berpendapatan perlu keterlibatan unsur perempuan dalam pranata sosial gampong, seperti terlihat pada gambar berikut: Gambar 4.1 Keterlibatan Perempuan Dalam Pranata Sosial
1 1 2 3
2
3
Sumber: Data Primer (Diolah, 2009)
~ 63 ~
Gambar di atas memperlihatkan, 74% responden menjawab perlu ada keterlibatan perempuan dalam pranata sosial. Mereka setuju karena setiap orang memiliki hak yang sama. Lagi pula setiap orang memiliki potensi diri yang berbedabeda, bila hal itu dapat digunakan untuk pembangunan gampong, mengapa tidak. Meskipun hanya sebahagian kecil, namun ada yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu terlibat dalam pranata sosial. ketika ditanya mengapa, responden menjawab: “karena tugas perempuan adalah di rumah, jadi biar urusan itu diurus para lelaki saja”. Sebahagian kecil lainnya juga menjawab dengan tidak tahu. Hal ini menggambarkan bahwa dalam masyarakat gampong, ada kalangan masyarakat yang tidak perduli perlu tidaknya keterlibatan perempuan dalam pranata sosial gampong. Meskipun sebahagian besar menjawab perlu adanya keterlibatan perempuan dalam pranata sosial gampong, namun hampir semua responden berpendapat posisi perempuan cocok sebagai sekretaris dan bendahara dan ketua PKK. Sepertinya responden yang mewakili masyarakat gampong Siem dan Lambiheu Lambaro Angan ini berfikir perempuan belum cocok menduduki sebagai ketua dan hanya mampu mengurusi administrasi dan keuangan dan urusan khusus perempuan saja. Namun Geusyiek Siem telah menempatkan perempuan (Elly) sebagai kepala urusan (kaur) pembangunan dalam struktur aparatur gampong. Hal ini tentu saja dengan pertimbangan perlunya pemberian kesempatan perempuan untuk lebih menunjukkan produktifitasnya. Kenyataan ini memperlihatkan keterbukaan pikiran pranata sosial untuk memberi kesempatan pada perempuan berikhtiar sesuai dengan potensinya. Kehadiran perempuan dalam pranata sosial gampong tidak dengan otomatis memberikan pengaruh terhadap terhadap pembuatan kebijakan gampong. Hal tersebut diakui sendiri oleh Elly. “Saya jarang menghadiri rapat gampong, karena rapat sering dibuat di Meunasah dan malam hari, tentu itu kendala tersendiri bagi kaum perempuan yang memang tidak pernah hadir di Meunasah untuk tujuan rapat. Tetapi saya ikut dalam rapat penyusunan Rencana
~ 64 ~
Program Jangka Menengah Gampong (RPJMG), itu karena rapat tersebut sering di lakukan pada hari sabtu langsung di kantor desa. Saya tidak terlibat dalam rapat-rapat lainnya termasuk menyangkut kebijakan gampong yang lain dan hanya mendengar hasil rapat dari mulut ke mulut saja”. Situasi yang lebih memprihatinkan dialami oleh perempuan yang duduk dalam Tuha Peut gampong, sejauh ini mereka tidak memberikan pengaruh terhadap kebijakan gampong. Hal tersebut tidak semata-mata karena sumber daya perempuan, namun juga tantangan eksternal yang ada. Seperti dikatakan Hadianur, salah seorang responden yang juga perangkat gampong, “Sejauh yang saya lihat, kehadiran perempuan tidak memberi pengaruh terhadap pembuatan kebijakan, paling tidak sampai saat ini belum ada”. Kondisi tersebut diakui juga oleh Zahidar, perempuan yang masuk dalam Tuha Peut gampong Lambiheu Lambaro Angan mewakili unsur perempuan. Berikut curahan hati Kak Zahidar. “Bagaimana bisa memberikan pengaruh, saya tidak pernah diundang menghadiri pertemuan, bahkan mungkin mereka tidak tahu kalau saya termasuk dalam Tuha Peut gampong. Apalagi masyarakat gampong, saya yakin umumnya mereka tidak mengetahui keberadaan saya. Terus terang, sebelum teman-teman an-Nisaa’ menjelaskan banyak hal, saya sendiri ragu apa yang harus saya lakukan untuk menjalankan tugas-tugas Tuha Peut, karena saya tidak mengerti fungsi Tuha Peut dengan sesungguhnya. Masyarakat pada umumnya juga tidak mengetahui kalau keberadaan unsur perempuan dalam Tuha Peut dapat mewakilkan aspirasi perempuan (ibu-ibu) agar kebijakan yang dibuat ikut memperhatikan kepentingan perempuan. Selama ini, perempuan hanya menerima saja apa yang diputuskan laki-laki tanpa berbuat apa-apa. Pelibatan perempuan oleh perangkat gampong adalah nol besar. Menurut saya sisi yang paling sulit bagi perempuan dalam membangun gampong adalah pada saat mengeluarkan pendapat mereka. Hal ini dipengaruhi rasa tidak percaya diri para ibu-ibu karena berpendidikan rendah. Laki-laki diberi kesempatan tiga kali tapi perempuan hanya satu kali dan pendapat kaum perempuan selalu dinomorduakan. Pendampingan teman-teman an-Nisaa’ sangat membantu membuka kesadaran kami besarnya andil yang bisa diberikan dalam pembangunan gampong. Keberhasilan tidak terletak pada pendidikan tinggi. Kunci keberhasilan adalah kemauan. Dengan semangat kebersamaan, kemauan akan memberikan jalan. Salah satu jalan itu adalah keterlibatan perempuan dalam
~ 65 ~
CBO perempuan yang focus dengan program-program membangun gampong. Perubahan telah terjadi, perempuan lebih berani mengeluarkan aspirasinya. Saya sendiri juga merasakan perubahan tersebut. Perangkat gampong mulai melibatkan saya dalam rapat-rapat gampong. Memang tidak mungkin merubah keadaan gampong dalam waktu yagn singkat. Namun kami sangat senang karena perubahan partisipasi perempuan ini dapat menjadi awal menuju perubahan yang lebih baik, semoga”. Perubahan yang dirasakan Kak Zahidar juga dialami Usman Fauzi, salah seorang relawan gampong Lambiheu Lambaro Angan. Berikut penuturan Usman: “Secara kasat mata aktivitas dari CBO yang sebahagian besar adalah perempuan begitu terasa. Perempuan sangat antusias berperan serta dalam pembangunan gampong. Ini merupakan perubahan besar dari kondisi sebelumnya dimana keterlibatan perempuan sangat minim. Melihat keseriusan dan kemampuan kaum perempuan dalam pembangunan gampong, tidak ada bedanya dengan kaum lelaki. Semua peran sama pentingnya. Semakin banyak sumberdaya terlibat justru akan semakin baik. Usaha dalam pembangunan tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh satu orang, namum perlu partisipasi semua pihak termasuk perempuan. Selama ini banyak masalah di gampong seperti, kesehatan, kemiskinan, juga ketentraman, belum terselesaikan dengan baik. Program pranata sosial yang ada sepertinya jalan ditempat. Hal ini karena masyarakat tidak mengetahui akar dari masalah tersebut dan kurangnya partisipasi berbagai golongan untuk terlibat dalam pembangunan gampong. Dengan adanya perubahan keperdulian seperti yang ditunjukkan CBO perempuan ini, saya yakin kedepannya akan lebih baik. Saya pun sebagai relawan gampong akan memberikan apa yang telah saya dapatkan, khususnya pengetahuan dan pemahaman dari berbagai pelatihan seperti tentang gender, bentuk-bentuk ketidakadilan gender juga pentingnya peran perempuan dalam pembangunan. Mudah-mudahan akan membantu memotivasi masyarakat dan perempuan khususnya untuk semakin dalam terlibat dalam proses pembangunan, baik secara kuantitas maupun secara kualitas”. Pendapat masyarakat terhadap kriteria perempuan yang cocok masuk dalam struktur pranata sosial, dari semua responden yang dimintai pendapat, seluruhnya setuju bila mereka yang memiliki wawasanlah yang duduk didalamnya. Mungkin pertimbangan itu melatarbelakangi Dahlia dipercaya menjadi Tuha Peut gampong mewakili unsur perempuan. Dahlia sendiri merasa tidak pantas.
~ 66 ~
“Mengapa orang yang baru bisa jadi Tuha Peut, seharusnya orang-orang lama (tua) yang berpengalaman, karena mereka lebih tahu banyak tentang gampong ini. Saya hanya satu kali ikut rapat anggota, membahas tentang tugas Tuha Peut. Setelah itu saya tidak pernah diundang dalam rapat. Khusunya rapat-rapat terhadap kebijakan gampong. Semestinya perempuan dalam Tuha Peut gampong ikut memikirkan kebijakan yang berpihak pada perempuan khususnya, namun dalam kenyataannya saya tidak pernah diajak diskusi tentang kebutuhan perempuan, sepertinya memang tidak pernah membahas perihal tersebut. Mungkin keberadaan saya hanya dimaksudkan sebagai formalitas semata karena perundang-undangan (Qanun) mensyaratkan adanya keterlibatan perempuan, sehingga peran yang sesungguhnya tidak begitu diharapkan”. Menurut Dahlia, masyarakat--perempuan di gampong sendiri banyak yang kurang pro aktif. Hal ini menjadi kendala dalam upaya mengajak partisipasi mereka dalam pembangunan. Mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan sesungguhnya tidak perlu dikhawatirkan akan menuju jalan buntu meskipun ada cukup banyak tantangan. Karena pada dasarnya masyarakat gampong akrab dengan berbagai aktivitas keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Kegiatan-kegiatan seperti pengajian ibu-ibu, zikir maulid, dala’i khairat, karang taruna, kenduri maulid, kenduri blang, tahlillan, gotong royong dan lain-lain telah ada sebelum tsunami hingga sekarang. Ini berarti bukanlah sesuatu yang berlebihan untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dan mengambil perannya masing-masing. Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan tidak terlepas dari ketersediaan informasi terhadap aktivitas itu sendiri. Selama ini, informasi tentang berbagai aktivitas kemasyarakatan gampong diketahui di kantor gampong, meunasah dan juga dari kepala lorong. Informasi mengenai perayaan hari keagamaan, musibah warga, pembagian zakat, aktivitas gotong-royong, sering diumumkan di meunasah. Informasi yang diperoleh di kantor desa lebih banyak berkenaan administrasi kependudukan dan termasuk juga pertemuan untuk penyuluhan dari dinas terkait seperti penyuluhan pertanian, kesehatan, juga penyuluhan dari lembaga-lembaga yang akan memberikan bantuan.
~ 67 ~
Menurut masyarakat yang dimintai pendapat (responden) terhadap kesulitan mendapatkan informasi berbagai aktivitas sosial kemasyaraktan gampong, ada 45% responden yang mengatakan dapat mengetahuinya tanpa merasa ada kesulitan. Namun 55% lainnya mengatakan tergantung dari jenis informasi juga. Bila informasi tersebut mengenai rapat-rapat kebijakan, bantuan sosial, modal usaha, BLT, santunan zakat, maka sulit juga mengetahuinya. Menurut mereka tidak ada transparansi informasi terhadap hal seperti itu. Indikasi ini justru harus diluruskan. Informasi “bantuan sosial” memiliki tingkat sensitifitas yang lebih tinggi. Bila tidak ada transparansi terhadap hal tersebut, justru lebih tinggi munculnya pergesekan konflik. Gambar 4.2 memperlihatkan tanggapan reponden terhadap transparansi: Gambar 4.2 Transparansi Kebijakan Pada Bantuan Gampong
Perlu
Perl u
1
2
1 1 22
1 1
2
2
3
3
Sumber: Data Primer (Diolah, 2009)
~ 68 ~
Seperti diakui masyarakat gampong, pasca tsunami memang ada bantuan dari NGO luar, yaitu pembangunan rumah bidan, posyandu, rehap kantor desa, juga got gampong di beberapa wilayah gampong. Untuk bantuan fisik seperti itu, jelas dapat dilihat keberadaannya dan tidak terindikasi adanya masalah karena pengerjaan proyek langsung ditangani penyumbang dana ataupun pihak ketiga. Namun pada bantuan sosial seperti pemberian bantuan langsung tunai, distribusi zakat, bantuan modal usaha terkadang ada ketidaktransparanan dalam distribusi. Semua bantuan tersebut dirasakan bermanfaat. Masyarakat berharap lebih banyaknya bantuan sosial ekonomi yang dapat membantu menunjang perekonomian mereka secara langsung, seperti bantuan modal usaha. Selain itu besar juga harapan mereka akan adanya bantuan fisik yang dapat menunjang kenaikan taraf hidup keluarga, dalam hal ini infrastruktur pertanian yaitu bendungan irigasi kecil dan saluran irigasi yang dapat meningkatkan stabilisasi pengaturan kebutuhan air sawah. Melihat potensi wilayah kedua gampong yang kaya lahan pertanian dan pencaharian masyarakat yang dominan sebagai petani sawah, harapan tersebut sangatlah realistis karena bukan sekedar keinginaan melainkan juga kebutuhan. Investasi bangunan irigasi bukanlah investasi yang sedikit. Mestipun benar bahwa tanggung jawab ini harus diambil oleh pemerintah, namun tidak dengan mudah pembangunan tersebut bisa dilakukan. Harapan adanya irigasi yang baik sesungguhnya bernilai strategis karena akan secara langsung mempengaruhi peningkatan taraf kehidupan masyarakat gampong. Penggunaan lahan sawah bisa dua kali lebih produktif dari sekarang yang bergantung pada sistem sawah tadah hujan. Selama ini pranata sosial telah mengikutsertakan masyarakat gampong dalam pembuatan kebijakan gampong dalam rangka penyelesaian masalah yang terkait ketertiban lingkungan khususnya pengelolaan ternak masyarakat agar tidak dilepas di area yang tidak semestinya dan mengganggu lingkungan masyarakat yang
~ 69 ~
lain. Dengan pelibatan semua pihak yang berkepentingan, tentunya solusi yang diambil dapat menguntungkan semua pihak. Meskipun demikian, pelibatan masyarakat terhadap pembuatan perencanaan pembangunan gampong belum dilakukan. Padahal masyarakat sangat berharap dilibatkan. Hal ini terlihat dari pendapat masyarakat (lihat gambar di bawah) yang menganggap perlunya keterlibatan langsung agar masyarakat merasa ikut memiliki, lebih perduli dan kebijakan gampong yang dibuat nantinya dapat dijalankan dengan lebih sungguhsungguh, karena hal tersebut akan (meminjam istilah dari salah seorang anggota masyarakat gampong) “lebih kuat dalam hukum masyarakat”. Gambaran pendapat masyarakat terhadap perlu tidaknya keterlibatan warga dalam proses pembangunan gampong terlihat pada gambar berikut: Gambar 4.3 Pelibatan Masyarakat Dalam Pembangunan Gampong
1
2
1
2
Sumber: Data Primer (Diolah, 2009) Seperti yang diakui oleh pranata sosial sendiri, peran dan tanggung jawab yang semesti mereka lakukan belum dapat dijalankan dengan sebenar-benarnya. Hal tersebut karena ketidaktahuan dan keterbatasan sumber daya yang ada. Apalagi
~ 70 ~
kerjasama antara pranata, masih jauh dari optimal. Melihat fhilosopi keberadaan pranata sosial, baik pemerintah gampong maupun lembaga adat, sesungguhnya untuk bersama-sama membawa gampong menuju masyarakat madani. Jadi kesemuanya memiliki peran strategis dalam proses pembangunan gampong. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman membuat fungsi pranata sosial belum berjalan, seakan-akan tidak ada urusan dan keterkaitan dengan pembangunan gampong karena hal tersebut dianggap menjadi tanggung jawab Geusyiek beserta pengurus gampong semata. Bila Geusyiek merasa perlu membahas persoalan gampong secara bersama dan mengundang pranata dan tokoh-tokoh masyarakat, barulah pranata ini terlibat bersama membicarakan permasalahan tersebut dan mencari solusi. Padahal inisiatif pertemuan dan membahas berbagai problema kemasyarakatan mestinya dari pranata sosial sendiri, sebagai perwakilan yang dipercaya mengurusi masyarakat gampong. Kondisi tersebut menyebabkan realisasi terhadap kewajiban pranata sosial membahas berbagai problem kemasyarakatan khususnya tentang pembangunan gampong yang berperspektif perempuan sangatlah terbatas. Sebagai contoh, dari sejumlah responden yang ditanyai, hampir semuanya mengatakan pranata sosial tidak membahas tentang perempuan, ibu dan anak. “Saya tidak pernah mendengar pranata membahas perihal itu”, kata responden. “Mungkin karena dimata laki-laki perempuan tidak begitu penting”, ungkap Murida, anggota masyarakat yang juga kader posyandu. Benar tidaknya pranata sosial yang umumnya adalah laki-laki berpendapat seperti itu, tentulah perlu pembuktian lebih lanjut. Namun kurangnya perhatian yang jelas dirasakan masyarakat terhadap perihal perempuan seolah-olah membenarkan pendapat memang perempuan kurang dipentingkan. Tentu saja hal tersebut tidak semestinya terjadi karena perempuan adalah bagian dari masyarakat secara keseluruhan.
~ 71 ~
Masalah kesehatan ibu dan anak sangat penting untuk mendapatkan perhatian gampong. Anak adalah masa depan bangsa. Gizi buruk dan masalah kesehatan lainnya adalah berkaitan langsung dengan kualitas generasi mendatang yang semua warga berkepentingan dengan itu. Demikian juga kesehatan perempuan dan ibu yang tidak terpisahkan dengan penciptaan kualitas manusia. Karena itu tidak semestinya perihal kesehatan perempuan, ibu dan anak ini hanya dianggap urusan posyandu. Posyandu semestinya menjadi lembaga mitra yang dibentuk untuk membantu pemerintahan gampong mengurusi perihal kesehatan anak secara teknis. Namun ada banyak kebijakan terhadap hal tersebut yang dapat dibuat pranata untuk menunjukkan betapa hal tersebut menjadi perhatian penting pemerintahan gampong, tidak justru sebaliknya, seperti dikatakan kader posyandu seakan-akan pranata tidak berkepentingan mengurusi hal tersebut karena menjadi tanggung jawab posyandu. Anggapan bahwa urusan yang berkaitan dengan perempuan menjadi tanggung jawab perempuan tidaklah tepat. Namun suka atau tidak suka pemikiran tersebut masih ada di masyarakat, bahkan mereka yang terpilih sebagai pranata sosial. Hal tersebut dapat terproyeksi dari pendapat responden terhadap pelibatan perempuan oleh pranata dalam pelaksanaan distribusi bantuan gampong. Gambar 4.4 Keterlibatan Perempuan Dalam Distribusi Bantuan Gampong
1 2 1
2
3 3
Sumber: Data Primer (Diolah, 2009)
~ 72 ~
Gambar 4.5 Keterlibatan Masyarakat Dalam Distribusi Bantuan Gampong
1 3 2 2 3
1
Sumber: Data Primer (Diolah, 2009)
Gambar di atas, yaitu gambar 4.4 dan gambar 4.5, memperlihatkan masih rendahnya keinginan pranata sosial untuk mengundang partisipasi perempuan dalam urusan gampong, padahal menurut pengakuan sebahagian responden yaitu sebanyak 18%, masyarakat ikut dilibatkan dalam distribusi bantuan yang ada di gampong, seperti diperlihatkan gambar tersebut. Pernyataan ‘ketidaktahuan’ yang tergambar cukup besar yaitu sebesar 49% pada keterlibatan masyarakat (gambar 4.5) dan 57% pada keterlibatan perempuan (gambar 4.4). Hal ini diakui karena mereka tidak terlibat secara langsung dalam proses pengambilan kebijakan ini, namun responden juga tidak berani mengatakan tidak, karena bisa jadi ada namun tidak semuanya terlibat, mungkin hanya panitia kecil saja dan mereka tidak masuk didalamnya. Sementara itu yang tegas berpendapat “tidak”, terhadap keterlibatan perempuan, adanya anggapan tidak perlu perempuan ikut mengurusi perihal tersebut. Ada juga yang berfikir kaum laki-laki tidak mengganggap penting kaum perempuan. Pendapat lainnya bahwa bantuan didistribusikan oleh perangkat desa (gampong), otomatis perempuan tidak dilibatkan karena tidak masuk di dalamnya.
~ 73 ~
Sedangkan terhadap keterlibatan masyarakat secara umum: ada ketidaktransparan penyaluran bantuan yang dirasakan. “Mungkin pemikiran itu bersifat subjektif, tapi karena tidak transparan, kami hanya merasa-rasa”, ungkap salah seorang responden. Bias pemikiran terhadap kebijakan yang ada, seperti pada contoh distribusi bantuan gampong di atas, tentu tidak terjadi bila ada transparansi terhadap kebijakan-kebijakan tersebut. Seperti sebelumnya, telah digambarkan pandangan masyarakat terhadap transparansi kebijakan gampong, ternyata ada juga masyarakat yang berpendapat masih kurangnya transparansi kebijakan dalam hal tertentu. Terhadap hal tersebut masyarakat menyarankan sejumlah saran agar transparansi kebijakan lebih dirasakan semua lapisan masyarakat, yaitu: mengikut sertakan masyarakat dalam pembahasan kebijakan; menginformasikan kebijakan-kebijakan gampong secara terbuka kepada seluruh lapisan masyarakat seperti umumnya informasi yang perlu diketahui masyarakat yang disampaikan melalui kepala lorong masing-masing, juga dengan menempatkan informasi-informasi penting di papan pengumuman gampong (Mading Gampong), termasuk mengumumkan keuangan program yang berkaitan langsung dengan bantuan terhadap gampong. Kurangnya transparansi dapat menyebabkan pudarnya kepercayaan kepada pemerintahan gampong dan hal tersebut akan sangat mengganggu dan menghambat proses pembangunan gampong yang akan berdampak pada outputnya. Hal ini semestinya menjadi perhatian bagi pranata sosial untuk bercermin diri, karena bagaimanapun mereka telah dipercayai amanah oleh masyarakat untuk mengelola urusan gampong.
~ 74 ~
4.4. Pembangunan Gampong 4.4.1. Program Jangka Menengah Gampong (PJMG) Sejumlah kebijakan pembangunan gampong dapat tergambar dari progam pembangunan gampong yaitu PJMG atau Program Jangka Menengah Gampong yang telah dibuat, meskipun Program Jangka Menengah Gampong yang sekarang ini belum menggunakan metode partisipatif, karena hanya disusun oleh Geusyiek dan aparat gampong. PJMG untuk Gampong Lambiheu Lambaro Angan dan Gampong Siem dapat dilihat pada tabel 4.1 Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa kondisi gampong pada umumnya tidak jauh berbeda, demikian pula permasalahannya. Dari pembangunan fisik dapat dilihat, keberadaan jalan yang baik menjadi salah satu agenda pembangunan yang diharapkan akan memperlancar aktivitas ekonomi, dan sosial masyarakat. Selain itu pembangunan saluran pembuangan got dan irigasi sangat penting adanya disamping program sosial yang ada. Pembangunan bidang ekonomi yang diprogramkan masih berorientasi pada pemberian bantuan modal usaha. Masyarakat sering berasumsi bahwa usaha kecil karena modal kecil. Modal dalam pemahaman masyarakat ini umumnya adalah uang. Bila pengusaha memiliki keterbatasan modal (uang) maka kecil kemungkinan usaha tersebut akan mengalami kemajuan. Tentu saja pemahaman seperti itu tidak tepat. Kesadaran tentang pentingnya peran sumber daya manusia dalam meningkatkan keuntungan ekonomi adalah aspek yang perlu disosialisasikan. Upaya-upaya untuk merubah paradigma masyarakat ini tentunya tidak mudah, namun sangat perlu dilakukan karena berkaitan langsung dengan efektif tidaknya strategi pembangunan yang diprogramkan. Pemberian bantuan ekonomi bertujuan pada kebaikan, yaitu meningkatkan produktifitas usaha sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih baik dari sebelumnya. Memberikan bantuan modal ‘uang’
~ 75 ~
dengan modal ‘keterampilan’ dapat memberikan dampak output yang jauh berbeda. Itulah mengapa langkah yang tepat ketika gampong Siem memasukkan pelatihan keterampilan bagi perempuan dan menjadikannya sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan produktifitas. Dari segi target grup (masyarakat) yang menjadi orientasi program ekonomi, kedua gampong memasukkan perspektif gender sebagai dasar pertimbangan. Susunan program menunjukkan keadilan perhatian pada keduanya. Bantuan pemberdayaan kelompok tani misalnya, ditujukan pada laki-laki dan perempuan karena keduanya terlibat secara langsung dalam sektor ini. Namun program ekonomi ada yang ditujukan khusus bagi perempuan seperti pelatihan keterampilan untuk perempuan dan bantuan modal membuat kue dan menjahit. Hal ini tidak terlepas dari sejarah kedua wilayah sebagai daerah konflik yang menjadikan realitas keterlibatan perempuan memegang peranan sangat penting dalam mendukung perekonomian keluarga maupun sebagai pencari nafkah utama keluarga. Dalam bidang pelayanan umum, program yang telah dibuat kelihatannya relatif lebih sedikit dari yang difikirkan dapat untuk dilaksanakan. Seperti kurangnya perhatian pada aspek kesehatan baik perhatian pada kesehatan individu maupun lingkungan. Apa yang melatarbelangi kondisi ini, mungkin aparat gampong berasumsi bahwa urusan kesehatan menjadi urusan posyandu sehingga cukup mengagendakan dana operasional guna meningkatkan pelayanan posyandu. Padahal pelayanan posyandu hanya merupakan salah satu agenda dalam program kesehatan, apakah itu cukup?, masyarakatlah yang dapat menjawabnya karena program ini tidak hanya dilaksanakan oleh masyarakat namun yang sangat penting adalah program tersebut ditujukan untuk mereka.
~ 76 ~
Tabel 4.1 PJMG Lambiheu Lambaro Angan dan Siem NO
A
PROGRAM GAMPONG
Bidang Infrastruktur
LAMBIHEU LAMBARO ANGAN
1 Rehap meunasah
1
2 Pembangunan jalan baru
2
3 Pembuatan tempat wudhuk
3
4 Penimbunan meunasah
4
5 Pembuatan parit jalan/ got Pembuatan balai 6 perempuan
5
Pembangunan rumah sewa & pagar Pembuatan gorong-gorong Pembuatan jembatan Cot Seumeureung Pembuatan/ rehap saluran irigasi Perbaikan jalan usahatani
6
Pembuatan jembatan cot Leun
7 Pembuatan WC umum
7
8 Aspal jalan 1 B
Bidang Ekonomi
2 3 4 1
C
Bidang Sosial
SIEM
Pemberian modal usaha menjahit Modal usaha buat kue Bantuan untuk kelompok tani Bantuan perternakan Pembinaan Seudati gampong
2 Pengajian 3 Pembinaan TPA
Pembuatan/ rehap saluran pembuangan (got) Pembangunan WC dan tempat 8 wudhuk 1
Pengadaan/ rehap teratak
2
Pemberdayaan kelompok tani Pelatihan keterampilan 3 perempuan Dana operasional pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu Dana operasional pengajian 2 Dalail Khairat/ Rapa’i 3 Dana kegiatan olah raga 1
4 Pembinaan Dalail khairat
D
Bidang Pelayanan Umum
5 Pembinaan tim voly Peningkatan pelayanan 1 posyandu Perangkat pelayanan 2 gampong
~ 77 ~
1
Pengadaan Tower Microphone
2
Dana operasional pos yandu
3
Pengadaan mesin potong rumput
Secara menyeluruh program-program yang telah disusun sangat bernilai guna. Tugas berat selanjutnya adalah merealisasikan progam yang telah direncanakan. Tentu sangat ‘kewalahan’ dan tidak idealistis bila aparat saja yang harus menjalankan ini semua. Seperti pengakuan Geusyiek Siem “… dalam kenyataannya sayalah yang melaksanakan program-program gampong, seharusnya kan saya berperan sebagai pengatur”. Namun itu adalah dampak yang diterima bila program pembangunan hanya dibuat oleh Geusyiek dan tidak melibatkan masyarakat di dalammya. Tidak ada keraguan bahwa program-program pembangunan yang dibuat Geusyiek dan aparatur gampong adalah untuk kemaslahatan secara langsung, Cuma masyarakat akan merasa bahwa itu program Geusyiek dan tanggung jawab Geusyiek bersama staf-nya-lah untuk melaksanakannya. Apalagi bila program tersebut dirasakan tidak dibutuhkan dan memberikan manfaat langsung bagi mereka. Hampir dapat dipastikan, dalam situasi seperti ini Geusyiek memerlukan ‘stok’ pengorbanan dana, tenaga, fikiran dan perasaan yang cukup banyak dalam rangka mewujudkan program-program pembangunan gampong, bila tidak maka akan sangat- sangat sulit merealisasikan program yang telah dibuat. Latar belakang pemikiran tersebut ikut melandasi pentingnya penyusunan program pembangunan dilakukan dengan menggunakan metode partisipatif, dengan melibatkan masyarakat, laki-laki dan perempuan untuk terlibat secara langsung dalam penyusunan program pembangunan gampong.
4.4.2. Pembangunan Partisipatif Perencanaan partisipatf pembangunan masyarakat desa (P3MD) adalah nama yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Masyarakat bagi penyusunan rencana program tahunan tingkat desa dan kecamatan. Penggunaan metode dalam P3MD yaitu metode PRA dan metode ZOPP (dikembangkan oleh
~ 78 ~
Jerman). Pengembangan metode ini dilakukan Depdagri bekerjasama dengan GtzJerman dan UNICEF. Pendekatan “Top-Down” sebagai metode pembangunan banyak menuai kritikan, diantaranya karena masyarakat dalam program yang diturunkan dari atas ke bawah hanyalah sebagai pelaksana. Masyarakat tidak merasa memiliki program karena mereka sulit melihat hubungan antara pengkajian yang dilakukan dengan program yang dijalankan hanya sekedar memenuhi target tertentu tanpa melakukan proses penggalian dari masyarakat, kondisi tersebut menyebabkan rendahnya dukungan dan tingkat partisipasi masyarakat terhadap program, jauh dari yang diharapkan. Alasan tersebut ikut melatarbelakangi pemikiran munculnya pendekatan pembangunan yang bersifat “partisipatif”. Pelibatan partisipatif masyarakat yang lebih kentara dalam keseluruhan proses program diharapkan menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lebih penting dari itu, diharapkan dapat memunculkan rasa kepemilikan program yang lebih tinggi dan menumbuhkan keinginan untuk meningkatkan keberdayaan diri terhadap pengetahuan dan keterampilan dalam analisis dan perencanaan program pembangunan, menjadi lebih maksimal dan akan semakin mengurangi ketergantungan pada pihak luar. Sepeti telah disebutkan di atas, Depdagri mengembangkan metode PRA dalam melakukan perencanaan partisipatif pembangunan masyarakat desa. Metode PRA atau Participatory Rural Appraisal dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif karena PRA merupakan salah satu metode pendekatan yang menekankan pelibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan pengembangan program pembangunan. Pendekatan PRA bercita-cita menjadikan masyarakat sebagai pelaku aktif pembangunan, yaitu sebagai peneliti, perencana dan pelaksana program pembangunan. Secara praktis bertujuan: menyelenggarakan kegiatan bersama masyarakat untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan praktis dan peningkatan
~ 79 ~
kesejahteraan masyarakat sekaligus sarana proses belajar. Dan membawa visi mencapai pemberdayaan masyarakat dan perubahan sosial melalui pengembangan masyarakat dengan pendekatan pembelajaran. Untuk dapat mencapai rancangan program sesuai dengan keadaan masyarakat melalui proses pendidikan, pengembangan kemampuan masyarakat dalam menganalisa keadaan dan melakukan perencanaan serta kegiatan aksi, tidaklah mudah, melainkan dibutuhkan lebih dari sekedar pemahaman dasar akan pengertian metode PRA, diperlukan pemahaman terhadap unsur-unsur PRA, prinsip- prinsip PRA serta teknik- teknik penerapannya. Oleh sebab itu sangat dibutuhkan pelatihan PRA dalam rangka transformasi pengetahuan PRA itu sendiri, sehingga fasilitasi PRA di lapangan dapat dilakukan dengan benar.
4.4.3. Refleksi Gampong Refleksi gampong telah dilakukan oleh CBO dan para relawan gampong Siem dan gampong Lambiheu lambaro Angan selama lebih kurang 1 bulan melalui FGD dan melihat langsung ke lokasi-lokasi perumahan masyarakat. Dapat disampaikan bahwa hampir semua masyarakat ikut serta dalam kegiatan refleksi gampong melalui penggalian permasalahan, potensi dan kebutuhan. Berikut adalah diskripsi pengalaman Nida Irawan, salah seorang CBO. “Selama saya menjadi CBO, pengetahuan saya terhadap pembangunan gampong jauh lebih banyak. Kewajiban ikut serta dalam pembangunan gampong dan prosesnya, sangat memotivasi saya untuk terlibat langsung dan mengajak serta masyarakat melakukan partisipasi yang sama. Tentu bukan hal yang mudah untuk melakukan perubahan ini, namun pembekalan CBO yang banyak difasilitasi teman-teman an-Nisaa’ baik dalam pelatihan dan selama pendampingan telah sangat banyak memberikan manfaat. Contohnya keberanian untuk tampil dihadapan masyarakat, memotivasi, dan meyakinkan pentingnya keikutsertaan kami dalam pembangunan. Mungkin ini terkesan sederhana, tapi bagi saya paling berkesan. Perubahan ini tidak hanya saya yang merasakan, masyarakat Lambiheu ikut mengalaminya, seperti sudah
~ 80 ~
adanya kemauan perempuan khususnya untuk terlibat dalam pembangunan gampong. Mereka pun telah memiliki keberanian menyampaikan pendapatnya di depan forum. Tingkat partisipasi ini masih jauh dari harapan ideal. Hal tersebut tidak terlepas dari kendala-kendala yang dihadapi baik dari SDM perempuan seperti terbatasnya pendidikan dan kecilnya motivasi, maupun faktor luar seperti kurangnya dukungan keluarga dan lingkungan serta terbatasnya akses informasi terhadap pentingnya keikutsertaan dalam proses pembangunan gampong. Meskipun demikian perubahan tingkat partisipasi ini sangat berarti, awal yang bagus untuk perubahan yang lebih baik. Jika perhatian terhadap hal ini terus ditampakkan dengan memberi kesempatan dan dukungan nyata khususnya dari laki-laki ke perempuan dan sebaliknya, maka bukan hal yang mustahil akan hadir hari lebih baik bagi gampong. Kerjasama laki-laki dan perempuan-lah yang menjadi kekuatan hal tersebut dapat diaktualisasikan. Dan tentu kita semua perlu bekerja keras untuk itu.” Cerita Nida terhadap kurangnya keperdulian masyarakat khususnya perempuan dalam proses pembangunan gampong selama ini, yang ditunjukkan dengan tidak adanya partisipasi mereka terhadap program gampong, ikut menggambarkan kebijakan pranata sosial yang tidak melibatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan gampong. Keterbatasan aktualisasi diri semakin membuat perempuan tidak diperhitungkan dan termarginalkan. Situasi yang sebenarnya merugikan gampong sendiri karena hilangnya potensi perempuan untuk pembangunan. Pada tahap yang lebih ekstrim, program pembangunan yang ditujukan khusus buat perempuan pun kurang mendapatkan respon bahkan dari perempuan sendiri. Program yang baik belum tentu berdampak baik bila strategi perencanaan dan pelaksanaannya tidak tepat, apalagi bila program tersebut memang bukan kebutuhan komunitas. Ini semestinya menjadi pembelajaran bagi pranata sosial sebagai orang-orang kepercayaan masyarakat untuk melakukan perannya dengan bijaksana, dengan cara-cara yang bijaksana guna melahirkan kebijakankebijakan pembangunan yang bijaksana pula.
~ 81 ~
4.5. Aktualitas
Kesetaraan
Dalam
Perencanaan
Pembangunan
Berperspektif Gender 4.5.1. Konsep Kesetaraan Temuan realitas di atas terlihat jelas, umumnya pemahamam masyarakat dan pranata sosial gampong terhadap konsep gender masih bias dari yang sesungguhnya diharapkan. Perempuan sendiri bahkan tidak merasa perlu terlibat dalam proses kebijakan gampong apalagi ikut merencanakan pembangunan gampong. Pemikiran tersebut merupakan refleksi sikap atas pesimisnya perempuan untuk bisa berada dalam dataran utama pengambil kebijakan gampong, mengingat keberadan mereka tidak pernah dikondisikan untuk hal tersebut. Tentu saja rasa itu tidak berlebihan bila mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Justru merupakan rasionalisasi pemikiran bahwa dibutuhkan kualitas diri yang baik untuk duduk menjadi pemimpin. Pemikiran yang tidak tepat adalah, jika perempuan mengasumsikan keterbatasan diri mereka disebabkan oleh ‘keperempuanannya’. Jelas itu sangat bertentangan dengan tuntunan agama yang dijunjung tinggi masyarakat Aceh dan bukti-bukti sejarah Aceh. Beberapa konsep nilai tentang kesetaraan kualitas laki-laki dan perempuan di berbagai bidang, dari literatur AlQuran dikutip di bawah ini untuk membuktikan ketidakbenaran asumsi tersebut. a) Persamaan penciptaan asal-usul manusia. “ Wahai manusia (lelaki dan perempuan), bertakwalah kamu sekalian kepada Tuhan kalian, yang menciptakan kalian semua (lelaki dan perempuan) dari jiwa yang satu dan menciptakan sama sepertinya pasangannya, kemudian dari kedua pasang itu Dia menyebarkan lelaki dan perempuan dalam jumlah yang banyak” (QS. 4:1). b) Persamaan beban dan tanggung jawab mewujudkan kehidupan yang baik.
~ 82 ~
“Siapa saja, laki-laki atau perempuan yang beramal saleh dan dia beriman, niscaya Kami berikan kehidupan yang baik” (QS. 16:97). c) Musyawarah dalam keluarga. “…. Maka apabila mereka (ayah dan ibu, atau suami dan istri) menghendaki (untuk) menyapih (anak mereka), dengan kerelaan kedua-duanya, dan atas dasar musyawarah, maka tidak ada dosa bagi mereka berdua (melakukan hal itu)…” (QS. 2:233). d)
Persamaam penghargaan atas amalan yang dikerjakan “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, lakilaki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. 33:35). Tidak dipungkiri pula bahwa secara umum perempuan (gampong) tidak
memiliki
kemampuan
diri
yang
memungkinkan
mereka
diperhitungkan
kapasitasnya, sehingga merasa perlu dilibatkan dalam membuat kebijakan-kebijakan gampong. Realitasnya, sebahagian besar masyarakat perempuan masih kesulitan menyampaikan apa yang menjadi pemikirannya di depan forum rapat. Ini pula yang menyebabkan keberanian dan keterbukaan sikap perempuan cukup rendah. Hal tersebut tidak sepenuhnya dilatarbelakangi pendidikan perempuan itu sendiri, namun faktor yang memberikan pengaruh sangat besar adalah, tidak adanya kesempatan bagi perempuan untuk mengekspresikan dirinya. Sebagai contoh, bagaimana perempuan dapat menjadi pembicara yang baik, yang dapat
~ 83 ~
menyampaikan pemikirannya secara sistematis didasarkan rasionalitas yang tepat, yang dapat melakukan kontrol emosi, intonasi dan tatanan bahasa yang penuh etika, sebagaimana yang diharapkan dilakukan dalam rapat-rapat pertemuan, bila rapat saja tidak pernah dihadiri perempuan. Sangat tidak logis kemampuan seperti itu bisa muncul sendiri tanpa ada media yang menfasilitasi. Kualitas diri seperti tersebut di atas hanya bisa dilahirkan melalui “proses”, dan awal dari proses tersebut adalah memulai keterlibatan perempuan dalam hal tersebut. Memotivasi kesadaran perempuan untuk terlibat bukanlah persoalan yang gampang, cukup lama bersarang di pusat saraf perempuan, bahwa perempuan memiliki keterbatasan diri yang banyak, yang dengan keterbatasan itu menjadi tidak penting bagi perempuan untuk terlibat mengurusi urusan-urusan yang tidak biasa diurusi perempuan dalam masyarakat (gampong) sekarang ini. Apalagi peran tersebut tidak dituntut oleh pranata sosial yang ada. Tentu saja (sesungguhnya) pranata sosial dapat membantu memediasi ‘proses’ perubahan pola fikir dan sikap ini bila dibukanya kesempatan yang luas bagi keterlibatan perempuan dan serangkaian dengan itu ada penghargaan yang mendalam atas partisispasi keterlibatan perempuan. Namun bagaimana itu bisa terjadi bila pemahaman pranata sosial (gampong) terhadap arus besar kesetaraan gender ternyata tidak berbeda jauh dengan pemahaman perempuan (gampong) pada umumnya. Sepertinya harus difikirkan pola pendidikan yang tepat sebagai bentuk investasi kita terhadap upaya mengubah paradigma di atas menjadi lebih benar. Bila tidak, akan sangat tidak mungkin bagi masyarakat (gampong) mencapai cita-cita kemajuan karena pemikiran yang terkooptasi pada konsep nilai yang merugikan dan tidak berkeadilan. Investasi terhadap sumber daya manusia, jika dilakukan secara benar akan menjadi pondasi paling kokoh bagi berlangsungnya suatu proses pembangunan yang berkelanjutan, dengan alasan itu, pendidikan merupakan upaya nyata dari peningkatan sumber daya manusia. Pendidikan dapat dilakukan dalam institusi
~ 84 ~
formal maupun informal. Pelatihan menjadi salah satu bentuk transformasi ilmu pengetahuan yang banyak dilakukan di luar lembaga pendidikan formal. Pelatihan dimaksudkan sebagai salah satu strategi percepatan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini karena transformasi pengetahuan melalui institusi pendidikan formal membutuhkan investasi waktu yang lebih panjang. Lagi pula banyak pengetahuan yang bersifat khusus tidak terakomodasi dalam kurikulum pendidikan yang ada. Oleh sebab itu, fungsi pelatihan akan melengkapi tercapainya tujuan pendidikan. Pendidikan gender adalah salah satu segmentasi pengetahuan yang tidak tertransformasi melalui institusi formal pada lini pendidikan dasar, menengah maupun atas, kecuali perguruan tinggi itupun pada umumnya di Indonesia ada di tingkat strata dua atau pasca sarjana. Pemahaman gender terefleksi dalam aktivitas sehari-hari sesuai nilai-nilai budaya masyarakat. Nilai-nilai yang dipandang benar karena nilai-nilai itulah yang diaktualisasikan sepanjang kehidupan. Padahal banyak kebenaran di dunia ini, kebenaran yang selama ini bisa jadi tidak terlihat benar karena ditutupi kepentingan yang berbeda. Contoh paling dekat yang dapat dirasakan adalah anggapan bahwa yang paling benar bila perempuan memiliki tanggung jawab dalam urusan rumah tangga semata, sedangkan urusan di luar domestik merupakan tanggung jawab lelaki dan tidak perlu perempuan terlibat di dalammya. Tidakkah kita mencoba mengkaji bahwa benar pula bila perempuan juga peduli pada urusan kemasyarakatan-nya?, mengapa tidak, perihal itu juga berkaitan langsung dengan kepentingan perempuan selaku anggota masyarakat. Bila perempuan dianggap salah karena ikut campur mengurusi masyarakat, tentu pernyataan tersebut muncul karena provokasi oknum yang memiliki perbedaan kepentingan dan berambisi untuk merealisasikan kepentingan pribadi tanpa melihat kemaslahatan ummat (kebaikan untuk masyarakat) sebagai tujuan yang lebih mendasar.
~ 85 ~
Dengan realitas itu, transformasi nilai-nilai ’gender’ yang lebih universal sangat perlu dilakukan dan untuk itu pendidikan informal menjadi strategi alternatif. Perubahan paradigma berfikir tentang konsep gender yang kemudian diharapkan akan terproyeksi dalam perubahan sikap dan prilaku dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan yang melibatkan langsung masyarakat/ tokoh masyarakat sebagai partisipan. Pelatihan Gender akan meningkatkan pemahaman masyarakat baik perempuan maupun laki-laki, masyarakat biasa maupun tokoh masyarakat, tentang banyaknya peran kemanusiaan yang dapat dilakukan perempuan, yang selama ini seolah-olah terbatasi karena ’keperempuanannya’. Begitu kesadaran yang benar ini muncul, diharapkan akan lebih banyak karya yang bisa dihasilkan oleh perempuan yang semua itu menjadi output yang akan dinikmati kembali oleh semua insan, perempuan dan laki-laki. Itulah yang menjadi
alasan
strategis
mengapa
difikirkan
penting
memasukkan
’pengarusutamaan gender’ melalui aktivitas pelatihan dan pendampingan. Dengan pola pendidikan gender seperti ini diharapkan akan membuka wacana berfikir perempuan khususnya tentang pemahaman nilai-nilai gender yang lebih universal. Selain itu juga memunculkan kesadaran dan meningkatkan motivasi perempuan untuk menjadi kader gampong yang responsif terhadap pembangunan dan mampu menyuarakan kepentingan perempuan. Kesadaran tersebut akan meningkatkan pemahaman perempuan bahwa sangat penting keterlibatan perempuan dalam membuat
perencanaan
pembangunan
gampong,
sama
pentingnya
dengan
keterlibatan laki-laki untuk memunculkan keseimbang program yang berkeadilan gender.
~ 86 ~
4.5.2. Perencanaan Pembangunan Berperspektif Gender Pembelajaran besar yang diperoleh dari pengalaman sebagai guru kehidupan, salah satunya adalah pentingnya sebuah perencanaan dalam pencapaian tujuan, termasuk juga perencanaan pembangunan gampong. Tentunya keterlibatan perempuan menjadi sama strategisnya dengan laki-laki, karena tujuan yang ingin dicapai adalah tujuan bersama, laki-laki dan perempuan. Bagaimana suatu kepedulian bisa muncul jika kita tidak mengetahui bahwa suatu hal penting untuk difikirkan keberadaannya, dikaji kedalaman masalahnya dan dicarikan solusi penyelesaiannya. Bagaimana laki-laki bisa peduli dengan kepentingan perempuan, jika mereka tidak tahu bahwa hal tersebut penting untuk perempuan. Itulah mengapa keterlibatan perempuan dalam perencanaan pembagunan menjadi penting. Keterlibatan perempuan dalam perencanaan pembangunan tidak hanya dimaksudkan untuk memberi kesempatan perempuan mengoptimalkan potensi kemanusiaannya dalam pembangunan ummat, namun lebih dari itu diharapkan memunculkan kebijakan-kebijakan gampong yang berkeadilan gender. Bercermin pada kepemimpinan Sulthanah Safiatuddin, kita dapat melihat kepiawaian sang ratu dalam meng- goal-kan kebijakan pemerintahannya untuk tujuan meningkatkan kedudukan perempuan Aceh. Kebijakan Sulthanah untuk meningkatkan kedudukan perempuan selalu ditempuh dengan menetapkannya sebagai undang-undang yang disahkan oleh Majelis Mahkamah Rakyat sehingga memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat. Undang-undang yang diajukan Sulthanah bertujuan mengubah situasi yang merugikan perempuan. Banyaknya pengalaman masa lalu, dimana isteri setelah menikah dibawa kerumah suaminya, namun situasi tersebut dimanfaatkan suami untuk melemahkan posisi isteri. Pada saat terjadi pertengkaran dan perselisihan, suami sering berkata yang sangat menyakitkan dan melukai hati sang isteri, seperti: “engkau hanya menumpang di
~ 87 ~
rumahku ini”. Lebih menyedihkan jika persengketaan berakhir dengan perceraian, maka isteri akan diusir dari rumah dan harus kembali ke rumah orang tuanya, jika masih
ada,
bila
tidak
maka
hidupnya
akan
terlunta-lunta
dan
dapat
menjerumuskannya kejalan kesesatan. Menghindari keadaan ini, Sulthanah merasa perlu membuat kebijakan yang dapat melindungi perempuan dari nasib buruk tersebut. Butir kebijakan yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang tersebut berisikan: 1) Setiap orang tua harus menyediakan rumah (menurut kadarnya) untuk anak perempuannya, bila dia telah menikah, rumah itu diserahkan menjadi milik anak; 2) Selain rumah, juga harus diberi sepetak sawah, sebidang kebun dan seutas emas; 3) Suami harus membawa sepetak sawah (umong peuneuwo), pakaian, dan perhiasan emas kepada isterinya dan menjadi hak milik isteri; 4) Suami harus tinggal bersama isteri di rumah isterinya; 5) Selama mereka hidup rukun dan damai, maka semua harta (rumah, sawah, kebun yang berasal dari kedua pihak) menjadi milik bersama; 6) Harta yang didapati selama masa pernikahan, menjadi milik bersama, artinya 50% menjadi milik suami dan 50% menjadi milik isteri; 7) Apabila terjadi perceraian, maka suami harus pergi dari rumah isterinya, dan harta-harta pembawaannya (sawah, kebun, pakaian, dan perhiasan emas), pada waktu menikah, haruslah tinggal menjadi hak milik isteri, sementara harta yang didapatinya selama masa pernikahan (harta sihareukat), dibagi dua, yaitu 50% boleh dibawa atau diambil oleh suami; 8) Selama masa iddah setelah masa perceraian, segala nafkah isteri menjadi tanggung jawab mantan suami.
~ 88 ~
Strategi yang diambil Sulthanah untuk memudahkan pengesahan kebijakankebijakannya menjadi Undang-Undang adalah dengan melakukan penambahan jumlah
anggota
perempuan
dalam
Majelis
Mahkamah
Rakyat.
Dengan
memposisikan al-Raniry sebagai Qadli Malikul Adil (ketua majelis Mahkamah Rakyat), ulama berpengaruh yang memperbolehkan kepemimpinan perempuan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran yang berkeadilan, dan menggugah perempuan anggota majelis untuk ikut terlibat memperbaiki nasip perempuan, maka tidak sulit bagi Sulthanah meloloskan kebijakannya menjadi Undang-Undang. Apa yang dilakukan Sulthanah untuk melindungi hak-hak kaum perempuan merupakan kebijaksanaan luar biasa yang belum pernah terjadi di nusantara ini pada masa itu. Apa yang dilakukannya bukan hanya karena kepekaan rasa-nya sebagai perempuan, tapi karena besarnya pengetahuan spiritualitas yang dimilikinya dan pengaktualan yang tinggi terhadap nilai-nilai ajaran (Islam) yang dipahaminya. Sekali lagi ini membuktikan bahwa Tuhan menganugerahkan potensi perempuan sama besar dengan potensi laki-laki. Bagaimana potensi tersebut diasah, dikembangkan dan diperuntukkan, atas dasar itulah derajat kemanusiaannya Dinilai oleh Penciptanya, apapun jenis kelaminnya. Mestinya kita belajar dari sejarah, mengapa kemajuan dan kejayaan bangsa dapat dicapai dan dipertahankan. Kita mestinya malu, karena era dimana kita hidup sekarang jauh lebih tua dari sejak bumi mendapatkan pencerahan bersumber nilainilai universal yang Diturunkan untuk menuntun manusia memasuki peradaban tinggi dan beradab. Tua ternyata tidak membuat kita banyak pengalaman dan mengantongi hikmah yang membawa kita pada ‘kebijaksanaan’. Bila kondisi ini menjadi perbandingan maka sejujurnya kita telah mengalami kemunduran. Mencerdasi kebijakan pranata sosial gampong yang ada, (permisalan terdekat), kita tidak melihat adanya keberpihakan pemimpin (pranata sosial) secara khusus terhadap perempuan. Kebijakan-kebijakan yang diambil termasuk dalam
~ 89 ~
perencanaan pembangunan gampong bersifat umum. Pembangunan fisik misalnya, pembangunan jalan, fasilitas ini tentu berlaku untuk semua masyarakat baik lakilaki maupun perempuan. Namun ada pembangunan fisik yang perlu keterangan lebih lanjut seperti pembangunan tempat wudhu, secara penggunaan, laki-laki dan perempuan memerlukan disain yang berbeda. Jika pembangunan tidak dilakukan pemisahan (hanya ada satu bangunan tempat wudhu untuk laki-laki) maka bisa dikatakan perencanaan tersebut bias gender karena diskriminatif terhadap perempuan. Dalam bidang ekonomi ada upaya pengembangan ekonomi perempuan. Hal tersebut dikarenakan perempuan menjadi pencari nafkah untuk membantu perekonomian keluarga. Sejak dulu, apalagi pada masa konflik, perempuan memiliki peran luar biasa dalam membantu perekonomian keluarga, rela ataupun terpaksa, pilihan menjadi wanita pekerja bukanlah pilihan alternatif khususnya di masa konflik namun merupakan pilihan utama, karena kaum lelaki memiliki keterbatasan mendapati pendapatan yang baik dalam keadaan konflik tersebut. Manfaat yang besar dirasakan kaum lelaki dengan keterlibatan perempuan dalam ekonomi khususnya dapat mengurangi beban kepala rumah tangga khususnya dalam memikirkan keuangan keluarga, sehingga bila program pembangunan diorientasikan untuk memudahkan perempuan khususnya untuk dapat mengembangkan ekonomi perempuan maka sekaligus hal tersebut berpengaruh langsung bagi laki-laki juga. Tapi ada sisi yang mengkhawatirkan, bila keterlibatan perempuan disetujui dan bahkan direncanakan karena pertimbangan menguntungkan kaum lelaki semata (bukan karena mempertimbangkan aspek kemandirian perempuan yang sebenarnya diharapkan untuk meningkat derajat kaum perempuan). Bila itu yang terjadi, maka program tersebut tidak dimaksudkan untuk mengangkat harkat martabat perempuan tapi justru merupakan bentuk penzaliman bergaya modern. Oleh sebab itu meskipun kelihatannya suatu program telah mengakomodir kepentingan perempuan namun
~ 90 ~
bila itu tidak memberi dampak pada meningkatnya penghargaan kaum lelaki terhadap perempuan yang dapat terlihat dari adanya power Sharing (kekuatan tawar) perempuan terutama keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, maka program tersebut
dapat
dikatakan
masih
bias
gender
karena
berorientasi
pada
pengakomodiran kepentingan kaum lelaki saja. Tentu hal ini bukan merupakan harapan kita semua, baik laki-laki maupun perempuan yang bercita-cita menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang semestinya. Dari observasi
yang
dilakukan selama
pendampingan,
masyarakat berpendapat (juga mempraktekkan), bahwa
sebahagian
keterlibatan perempuan
dalam sektor ekonomi memang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena jelas memberi dampak positif dan meringankan beban kaum bapak dalam mencari nafkah dengan catatan perempuan tidak boleh mengurangi tanggung jawab mengurusi rumah tangga seperti, memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengurusi anak. Tentu hal tersebut membuat perempuan harus berperan ganda. Padahal logika sederhananya, jika mereka (perempuan) telah membantu lelaki mencari nafkah untuk kebutuhan rumah tangganya, akan ideal pula bila beban perempuan dikurangi dengan membantu semaksimal mungkin pada aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan perempuan. Hal lainnya yang juga memicu kejengkelan pada kaum lelaki seperti ini adalah arogansi ke-laki-laki-annya, karena merasa mereka adalah pemimpin keluarga. Kepemimpinan lelaki yang dilegitimasi sumber ajaran (Islam), telah dipraktekkan dengan tidak bijaksana dengan mengganggap bahwa dirinyalah (lelaki) yang berhak membuat keputusan apapun. Padahal dengan tegas pula alQur’an Surat Al-Baqarah ayat 233 seperti telah ditulis sebelumnya, menghendaki musyawarah dalam keluarga. Hal ini berarti perempuan harus dilibatkan dalam membuat keputusan. Jika dalam keluarga saja yang membenarkan lelaki sebagai pemimpin (sebagaimana konteks QS. 4:34), perempuan perlu dilibatkan, apa lagi dalam urusan-urusan kemasyarakatan, tentu peran sertanya tidak boleh ditinggalkan.
~ 91 ~
Tanggung jawab mengurusi masyarakat jauh lebih besar, sehingga membutuhkan energi lebih besar pula. Mengoptimalkan potensi laki-laki dan perempuan akan mendapatkan kuantitas dan kualitas energi yang lebih optimal pula, karena pada kedua komponen tersebut terdapat sisi positif. Jika kedua elemen positif pada pasangan mahluk ini (laki-laki dan perempuan) dapat dimanfaatkan, tentu tujuan kemaslahatan (kebaikan) ummat akan lebih tercapai. Terlepas dari adanya kesan maupun dampak negatif akibat peran ganda yang dituntutkan terhadap perempuan pekerja, program yang memberikan kesempatan perempuan dalam mengembangkan ekonomi dianggap sebagai bentuk kepedulian kepada perempuan yang perlu diberikan hak yang sama dalam urusan publik. Hal tersebut tentu tidak sepenuhnya salah dan perlu kita hargai. Usaha meningkatkan peran serta perempuan juga terlihat pada upaya meningkatkan pelayanan posyandu. Setidaknya itulah persepsi pembuat kebijakan, namun bila kita melihat realitasnya, maka akan muncul persepsi yang berbeda. Kenyataannya, pemerintahan gampong tidak pernah terlibat dalam urusan posyandu, bahkan jaringan kerja pun sepertinya belum dilakukan, bagaimana mereka bisa merancang program meningkatkan pelayanan posyandu?, bukankah kelihatannya terkesan sangat dipaksakan?, janganjangan topik itu diangkat sekedar menampakkan ada kepedulian terhadap urusan yang diurus oleh perempuan. Sekali lagi, terlepas dari pandangan seperti ini (mudah-mudahan tidak demikian adanya), upaya menunjukkan adanya perhatian terhadap urusan dan kepentingan perempuan oleh pembuat kebijakan, harus dipandang positif, sebagai bentuk kepedulian dan keinginan memberikan perempuan peran yang lebih luas. Namun penting untuk menjadi catatan bahwa pemahaman tersebut masih memerlukan perbaikan, karena selama ada pengkotakan bahwa urusan “A, B” boleh diurus perempuan dan urusan “C, D” tidak boleh ikut campur perempuan, maka selama itu pula pemahaman terhadap konsep “kesetaraan” masih bias.
~ 92 ~
Secara keseluruhan kebijakan-kebijakan gampong yang dibuat Geusyiek dan aparaturnya, terlihat adanya keinginan untuk memberikan peran kepada perempuan. Namun keterbatasan pemahaman terhadap konsep kesetaraan dan pembangunan partisipatif menyebabkan program tersebut masih belum memberikan dampak pada terakomodirnya kepentingan perempuan. Hal inilah yang semestinya perlu menjadi orientasi “ Pilot Project” an-Nisaa’ Centre Banda Aceh bersama AFSC Indonesia. Memang, butuh energi yang besar dan waktu yang panjang untuk cita-cita itu. Paling tidak memerlukan 2-3 tahun untuk mendeteksi perubahan sikap dan prilaku sebagaimana yang diharapkan. Namun keberhasilan bukan hanya terletak pada hasil dan tergantung pada waktu, tapi keterlibatan dalam ‘proses’ apa yang telah kita lakukan untuk perubahan itu, jauh lebih berarti.
~ 93 ~
Bagian V Penutup 5.1. Dampak Kampung Damai Deskripsi hasil survey telah menyajikan sejumlah fakta, cerita-cerita kehidupan. Kisah ini hadir sebagai refleksi terhadap Cita dan Realita ‘Kampung Damai’. Ada banyak peristiwa yang membuat hati berbunga-bunga, bangga dan bahagia, karena cita-cita terlaksana, namun ada pula yang menunjukkan dinamika yang berbeda karena realita tidak seindah cita-cita. Kesimpulan yang dapat diambil dari perjalanan yang cukup panjang bersama komunitas, “Program Kampung Damai” yang dilakukan an-Nisaa’ Centre Banda Aceh dengan dukungan sepenuhnya AFSC Indonesia, sangat memberi manfaat bagi masyarakat. Berbagai kegiatan utama dalam program seperti: bantuan ekonomi produktif untuk perempuan, kajian bulanan, sabtu ceria anak, trauma healing, pelatihan dan pendampingan serta sejumlah aktivitas pendukung lainnya telah memberi pengaruh positif pada perubahan sikap dan prilaku serta sosial ekonomi khususnya bagi penerima manfaat langsung dan warga gampong secara umum. Indikasi tersebut diketahui lewat sejumlah informasi yang diperoleh dari penerima manfaat dalam survey lapangan yang dilakukan pada program Kampung Damai, baik itu jawaban terhadap kuesioner yang diberikan maupun dalam wawancara eksklusif dengan masyarakat penerima manfaat. Indikasi tersebut terlihat dengan adanya perubahan motivasi dan pengetahuan penerima manfaat, yang berdampak pada perubahan prilaku positf, seperti: semakin harmonisnya hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan, munculnya kepercayaan diri dan keberanian mengambil keputusan, pulihnya perasaan ‘traumatik’ sehingga memulihkan kepercayaan pada orang lain dengan bersikap lebih terbuka, kembalinya keceriaan anak sehingga mengembalikan ‘dunia anak’ yang sempat
~ 94 ~
dihilangkan oleh keegoisan konflik, serta semakin baiknya perekonomian masyarakat. Realitas tersebut di atas melandasi pemikiran untuk merekomendasikan Program Kampung Damai ini dapat dilakukan di wilayah konflik lainnya. Program pendampingan masyarakat ‘Kampung Damai” di Gampong Siem dan Krueng Kalee Kecamatan Darussalam Aceh Besar ini juga perlu untuk dilanjutkan dengan program penguatan masyarakat lanjutan sebagai upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat di berbagai bidang terutama penguatan kapasitas pranata sosial dan pemerintahan gampong serta perekonomian masyarakat.
5.2. Pranata Sosial dan Kebijakan Pembangunan Analisis yang dihasilkan dari penelitian terhadap pranata sosial dan kebijakan
pembangunan
yang
mengakomodir
kepentingan
perempuan
menyimpulkan bahwa, adanya konsep berfikir masyarakat gampong khususnya pranata sosial yang masih bias gender, sehingga dalam struktur kepengurusan pranata sosial gampong yang ada masih terjadi diskriminasi terhadap pelibatan perempuan. Hal ini terlihat dari sangat kecilnya kesempatan yang diberikan kepada perempuan, yaitu keharusan adanya keterwakilan perempuan dalam Tuha Peut Gampong, itupun karena qanun yang mengharuskannya. Ketidakseriusan pranata sosial untuk sungguh-sungguh melibatkan perempuan tampak dari ketidaktahuan perempuan terhadap peran pelibatan mereka. Pengakuan perempuan yang duduk dalam struktur, bahwa hanya sekali pemberitahuan yang diberitakan kepadanya, mengenai masuknya (dia--perempuan) dalam struktur pengurus, setelahnya tidak pernah ada berita termasuk rapat- rapat yang dilakukan untuk membuat kebijakan, menjadi alasan bahwa pemikiran perempuan sepertinya tidak diharapkan. Tentu saja
~ 95 ~
hal ini (seperti) merupakan reaksi ‘ketidakikhlasan’ pada kehadiran perempuan dalam struktur pengambil kebijakan. Hal lainnya yang dapat kita lihat adalah belum adanya kebijakan gampong dan rencana pembangunan gampong yang benar-benar mengakomodir kepentingan perempuan. Dari segi teknis saja, rapat-rapat kebijakan dilakukan pada malam hari dan tidak pernah melibatkan perempuan. Butir kebijakan yang dibuat juga bersifat umum, tidak berperspektif gender, meskipun terlihat ada sedikit usaha untuk melibatkan peran serta perempuan khususnya dibidang ekonomi dan kesehatan anak. Dengan realitas yang telah terdeskripsikan di atas, maka beberapa hal yang dapat direkomendasikan adalah: 1) Perlunya melibatkan perempuan dalam penyusunan kebijakan pembangunan gampong dan perencanaan pembangunan gampong karena perempuan merupakan
bagian
yang
terpenting
dalam
penentuan
kebutuhan
pembangunan gampong. Dalam hal ini perangkat pemerintahan gampong beserta pranata sosial gampong lainnya harus menjadi motor pengerak. Keberadaan perempuan merupakan potensi. Potensi ini harus diasah dan diasuh agar perannya memberikan output yang optimal. Bila perempuan dipercaya memberi peran besar dalam perekonomian, pastilah peran yang sama dapat diberikan dalam bidang yang lain termasuk politik dan pemerintahan khususnya keikutsertaan dalam pembuatan kebijakan. Untuk dapat merealisasikan hal ini, pemahaman pranata sosial gampong terhadap konsep kesetaraan sangat perlu ditingkatkan. Untuk itu mediasi terhadap hal tersebut melalui pelatihan perlu mendapatkan prioritas untuk dilakukan. 2) Meningkatkan
partisipasi
perempuan
untuk
terlibat
dalam
proses
pembangunan khususnya dalam pengambilan kebijakan, perencanaan pembangunan gampong, dengan cara mendorong motivasi internal
~ 96 ~
perempuan sendiri. Hal ini harus diawali dengan perubahan paradigma berfikir bahwa perempuan tidak lagi menjadi objek akan tetapi sekaligus sebagai subjek dalam pembangunan. Proses ini tidak instan, pelatihan tidak cukup sekali dan pendampingan memerlukan waktu yang panjang. Oleh karena itu meskipun telah dilakukan pelatihan gender dasar, namun secara kualitas dan kuantitas masih sangat perlu ditingkatkan. Peningkatan kualitas dapat dilakukan dengan pendalaman materi pelatihan. Melihat perencanaan pembangunan gampong (RPJMG) yang akan disusun, dengan orientasi untuk mengakomodir kepentingan perempuan, penting kiranya bagi CBO perempuan, relawan, dan pranata sosial untuk mendapatkan pengetahuan tentang penyusunan anggaran pembangunan khususnya yang menyangkut kepentingan perempuan. Oleh sebab itu pelatihan terhadap hal ini perlu pula mendapatkan prioritas untuk dilakukan. 3) Demikian pula halnya dengan pendampingan. Pendampingan terhadap perubahan konsep berfikir yang berdampak pada perubahan sikap dan prilaku tidak cukup dengan 2-3 hari atau 2-3 minggu bahkan belum tentu 2-3 bulan. Dengan karakteristik masyarakat dimana nilai-nilai patriarkhis telah tertanam dan terpraktekkan cukup lama, bisa jadi 2-3 tahun bahkan lebih, kemandirian atas perubahan dapat dicapai dengan sebenarnya. 4) Sosialisasi informasi menyangkut pengetahuan kesetaraan ‘peran dan pemeran’ dalam pembangunan perlu ditingkatkan, kuantitas maupun kualitas. Banyak media dapat dimanfaatkan, radio, televisi, pembuatan VCD dokumenter, koran gampong, mading gampong, dan banyak lagi termasuk melalui kelompok-kelompok kajian, CBO perempuan, posyandu, wirid ibuibu, Dalail Khairat, Rapa’i dan Seudati gampong, dan lain-lain, untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi terhadap hal tersebut. Upaya ini juga dapat mempercepat perubahan sebagaimana diharapkan.
~ 97 ~
DAFTAR PUSTAKA Darwanis, Dr, dkk, 2006, ‘Realita Kondisi Perempuan dan Anak di Aceh Pasca Tsunami’ (kumpulan Laporan Penelitian), Satker Pemulihan dan Peningkatan Kesejahteraan Perempuan dan Anak BRR NAD dan Nias, Banda Aceh. DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley, 1992, Social Work: An Empowering Profession, Boston: Allyn and Bacon. Fajriah Nurul, 2007, ‘Profil Kepenmimpinan Sultanah Safiatuddin’ (dalam Dinamika Peran Perempuan Aceh dalam Lintasan Sejarah, PSW IAIN ArRanirry dan Badan Rehabilitasi Rekonstruksi NAD-Nias, Banda Aceh. Griffin, Ricky W; Ebert Ronald J; dan Ismangil Wagiono, 1997. Bisnis, Prenhallindo, Jakarta. Husin, Zulkifli , 2006, Kemiskinan di Aceh: Dampak dari Konflik dan Tsunami serta Strategi Pengentasannya, Makalah Seminar “Problematika Kemiskinan Akibat Konflik dan Tsunami di Aceh dan Pola Penanggulangannya“, diadakan oleh TARI dan World Bank, di Banda Aceh.
[email protected], 2001, Dampak Konflik Aceh, Warga Kehilangan Inisiatif, Indonesia-News, Harian Kompas, Jakarta. Jhingan, M.L, 1992, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Rajawali Pers, Jakarta. Miksalmina dan Putri Bintusy Syathi, 2006, Pengaruh Pelatihan Terhadap Pengembangan Usaha Kecil (Mikro) Di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh, DASK- Lemlit Unsyiah, Banda Aceh. Mulia Siti Masdah, 2007, ‘Tauhid dan Risalan Keadilan Gender’ (Modul Kursus) Islam dan Gender, Dawrah Fiqh Perempuan, Fahmina Institutee, Cirebon.
~ 98 ~
Murata, Sashiko, Prof, 1999, The Tao of Islam, Mizan, Jakarta. Sonhadji Ahmad, KH dkk, 1994, ‘Penelitian Kualitatif Dalam Bidang IlmuIlmu Sosial Dan Keagaman’ , Kalimasahada Press, Malang. Suharto, Edi, 1997, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS), Bandung. Suharto, Edi, 2002, Pendampingan Sosial Dalam Pengembangan Masyarakat, Makalah Pelatihan Pengembangan Masyarakat Bagi Pengurus Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tingkat Propinsi se Indonesia, Pusdiklat Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat Depsos RI, di Jakarta. Todaro, Michael dan Stephen C.Smith, 2008, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta. Usman Husaini, Dr, dan Akbar Purnomu Setiady, M.Pd, 2004, ‘Metodologi Penelitian Sosial’, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Winardi, 2005, Entrepreneur dan Entrepreneurship, Jakarta, Prenada Media.
Yusuf, Qismullah, 2002, Peluang Usaha dan Wawasan Kewirausahaan. Pelatihan Kewirausahaan bagi Civitas Akademika di Lingkungan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, October 21 – 26, 2002. -----------------, 2006, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Banda Aceh. ----------------, 2007, ‘Buku Pedoman Tuha Peut Gampong’, Institut Pembaharuan Desa dan LPPM Aceh, Banda Aceh. -----------------, 2007, Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003, Tentang Pemerintahan Mukim Dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh.
~ 99 ~