PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA BERBASIS AKTIVITAS SISWA YANG BERKARAKTER Dra. Nunun Tri Widarwati., M.Hum Pendidikan Bahasa Inggris Univet Bantara Sukoharjo A. Pendahuluan Sampai saat ini pembelajaran bahasa khususnya pembelajaran Bahasa Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah. Hal ini terbukti dengan masih rendahnya kompetensi berbahasa para siswa yang tercermin melalui rendahnya nilai ujian nasional para siswa, baik pada jenjang pendidikan tingkaty Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan ironisnya, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Indonesia masih kurang memuaskan dibanding mata pelajaran lain dan hal ini pula yang menjadikan Bahasa Indonesia berada sebagai mata pelajaran yang berkontribusi paling besar terhadap ketidaklulusan para siswa. Berkenaan dengan kenyataan tersebut, dapat dipastikan bahwa ada sejumlah hal keliru dalam praktik pembelajaran bahasa di sekolah. Salah satu kekeliruan tersebut adalah bahwa pembelajaran bahasa di sekolah belum berorientasi pada pembelajaran yang harmonis, bermutu, dan bermartabat. Secara makro, kurang tepatnya kurikulum yang digunakan juga ikut andil terhadap kegagalan tersebut. Keberhasilan pembelajaran tidak bisa dilepaskan dari peran kurikulum sehingga keberhasilan implementasi kurikulum sangat dipengaruhi oleh kemampaun guru yang akan menerapkan dan mengaktualisasikan kurikulum tersebut. (Abdul Majid; 4: 2011). Atas dasar kondisi inilah, maka saat ini tepat untuk membicarakan dan mencari jalan keluar mengenai pembelajaran bahasa berbasis karakter. Pembicaraan ini diharapkan mampu memberi sumbangan mengenai sejumlah teori dan asumsi tentang pembelajaran bahasa yang diyakini dapat memecahlan kebuntuan dan mampu sikap yang harmonis, bermutu, dan bermartabat. Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan bahasa dan sastra, penggunaan bahasa dikemas dalam empat aspek keterampilan berbahasa yakni menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, aspek keterampilan berbahasa menjadi 155
komponen menarik untuk dikaji. Suatu teknologi ditemukan dan dikembangkan untuk kemaslahatan umat manusia. Dengan teknologi segala hajat hidup dapat dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien. Bahkan, para pemakai bahasa pun dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kompetensi berbahasa, baik secara reseptif maupun produktif. Namun perlu dipahami bahwa penggunaan teknologi saja tanpa memperhatikan aspek-aspek humanisme, maka pengajaran menjadi sangat mekanis, kaku dan kering ruhani. Oleh karena itu, peran sastra dalam pengajaran akan memberi kontribusi signifikan bagi pembentukan karakter peserta didik. Dengan ’mengawinkan’ antara bahasa dan sastra dalam pembelajaran, akan diperoleh keseimbangan dan kesinambungan antara keterampilan berbahasa dengan peran bahasa itu sendiri untuk membentuk karakter peserta didik lebih humanis, santun, berawawasan kebangsaan dan mempunyai sikap mandiri. Bahasa Indonesia sangat penting peranannya bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu Bahasa Indonesia juga memiliki peranan yang penting dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Hal ini dapat diamati dan dirasakan pada waktu kegiatan belajarmengajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar Bahasa Indonesia, salah satu aktivitas siswa adalah menulis. Kemampuan menulis yang baik sangatlah penting bagi siswa di kemudian hari karena akan mampu memberikan kesempatan dan juga tentunya tantangan yang lebih bagi mereka. Untuk menghasilkan suatu tulisan yang baik, seseorang harus memiliki skemata yang memadai untuk dapat diekspresikan secara efektif melalui media tulis. Suatu tulisan yang baik tidaklah bisa sekali jadi, namun semestinya melewati berbagai proses mulai dari proses outline, membuat draft, sampai bisa menjadi tulisan, dan sepanjang proses tersebut, revisi secara berkesinambungan terus dilakukan. Namun dalam kenyataannya, banyak mahasiswa yang tidak menghasilkan suatu tulisan dengan melalui proses menulis tersebut. B. Pembahasan 1. Bahasa dan Karakter Bangsa Pendidikan karakter akhir-akhir ini sering menjadi pembahasan berbagai kalangan, terutama kalangan pendidikan. Berdasaran fakta yang ada bahwa siswa 156
sebagai produk pendidikan masih belum tertanam secara kuat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, serta kepribadiannya masih lemah sehingga dengan mudahnya dapat terpengaruh oleh hal-hal dari luar. Selain itu, semangat untuk belajar, berdisiplin, beretika, bekerja keras, dan sebagainya kian menurun. Peserta didik banyak yang tidak siap untuk menghadapi kehidupan yang berubah cepat dan drastis sehingga dengan mudah meniru budaya luar yang negatif, terlibat di dalam amuk massa, melakukan kekerasan di sekolah atau kampus, dan sebagainya. Meningkatnya kemiskinan, menjamurnya budaya korupsi, munculnya plagiarisme, menguatnya politik uang, dan sebagainya merupakan cerminan dari kehidupan yang tidak berkarakter kuat untuk menuju bangsa yang berperadaban maju dan mandiri. Dalam arti bahwa siswa tidak dididik, diarahkan dipandu untuk
insan
yang
memiliki
kepribadian
kuat,
mandiri,
jujur
dan
bertanggungjawab. Fenomena kenakalan, penyelahgunaan obat, kekerasan antar sesama, perilaku seksual menyimpang merupakan fenomena yang nyata terhadap rendahnya karakter baik bagi siswa didik. Mengapa hal ini terjadi tentu karena di dalam diri anak didik telah tertanam pengaruh yang dibawa karena pergaulan sebelumnya dan berpengaruh kepada masyarakat luas. Jawabannya memang tidak sederhana karena yang menyebabkan anak menjadi seperti itu dipengaruhi oleh banyak faktor yang cukup kompleks. Kekomplekan itu memang rasional karena kehidupan anak didik sekarang lebih variatif dan penuh dengan tantangan dan juga godaan pola hidup hedonis modern, terutama pengaruh dari internet dan instrumen modern lain. Jika kita menengok sejenak mengapa internet memiliki sumbangan cukup signifikan bagi perilaku anak. Jawabannya mungkin bisa sederhana, yakni bahwa internet sebagai media on line yang tidak bisa dibendung dan dibatasi dengan mudah. Internet tidak pernah tidur dan mampu menembus batas-batas geografis. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga
157
sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi. Menurut John Dewey, pendidikan adalah suatu proses pengalaman. Karena
kehidupan
adalah
pertumbuhan,
pendidikan
berarti
membantu
pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia. Proses pertumbuhan ialah proses menyesuaikan pada tiap-tiap fase serta menambahkan kecakapan di dalam perkembangan seseorang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:232), pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu diberikan awalan kata “me” sehinggan menjadi “mendidik” yang artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran. Kata karakter berasal dari kata Yunani, charassein, yang berarti mengukir sehingga terbentuk sebuah pola. Mempunyai ahlak mulia adalah tidak secara otomatis dimiliki oleh setiap manusia begitu ia dilahirkan, tetapi memerlukan proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan (proses”pengukiran”). Dalam istilah arab karakter ini mirip dengan ahklah ( akar kata dari khuluk), yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal yang baik. Al Ghazali menggambarkan bahwa akhlak adalah tingkah laku seseorang yang berasal dari hati yang baik. Oleh karena itu pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan baik (habit), sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil. Tuhan menurunkan petunjuk melalui para Nabi dan Rasul-Nya untuk manusia agar senantiasa berperilaku sesuai dengan yang diinginkan Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini. Terbentuknya karakter (kepribadian) manusia ditentukan oleh 2 faktor, yaitu (1) nature (faktor alami atau fitrah), (2) nurture (sosialisasi dan pendidikan). Pengaruh nature bisa melalui agama yang mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan (fitrah) untuk mencintai kebaikan. Namun fitrah ini adalah bersifat potensial, atau belum termanisfestasi ketika anak dilahirkan. Confucius, seorang filsuf dari Cina pada abad V SM juga menyatakan bahwa walaupun manusia mempunyai fitrah kebaikan, namun tanpa diikuti dengan
158
intruksi (pendidian dan sosialisasi), maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi ( Brooks dan Goble, 1997) Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponenkomponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah,
pelaksanaan
aktivitas
atau
kegiatan
ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. 2. Bagaimana Pengajaran Bahasa dan Sastra Berkondtribusi terhadap Karakter Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
Pendidikan
karakter
pada
tingkatan
institusi
mengarah
pada
pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, 159
karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut. Pendidikan
bukanlah
sekadar
transfer
pengetahuan
(transfer
of
knowledge), tapi alat wahana pembentukan kepribadian (character building), mulai dari pola pikir, kejiwaan dan pola tingkah laku (attitude). Oleh sebab itu, muncullah kesadaran tentang perlu dikembangkannya kembali pendidikan karakter di sekolah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan pendidikan karakter adalah melalui pembelajaran apresiasi sastra. Pembelajaran apresiasi sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilainilai moral. Nilai-nilai moral, seperti kejujuran, pengorbanan, kepedulian sosial, cinta tanah air, psikologis, demokrasi, santun, dan sebagainya, banyak ditemukan dalam karya-karya sastra. Baik puisi, cerita pendek, novel, maupun drama. Hal ini tentu dapat dikaitkan dengan fungsi utama sastra yaitu memperhalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, penyaluran gagasan, penumbuhan imajinasi, serta peningkatan ekspresi secara kreatif dan konstruktif. Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menujang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus lebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk terjadinya pergeseran fungsi sekolah sebagai institusi pendidikan. Seiring dengan tumbuhnya berbagai macam kebutuhan dan tuntutan kehidupan, beban sekolah semakin berat dan kompleks. Sekolah tidak saja dituntut untuk dapat membekali berbagai macam ilmu pengetahuan yang sangat cepat berkembang, akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak dapat menguasai berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan. Tuntutan-
160
tuntutan baru
yang dibebankan masyarakat
terhadap sekolah tersebut,
mengakibatkan pergeseran makna kurikulum. Kurikulum tidak lagi dianggap sebagai mata pelajaran, akan tetapi dianggap sebagai pengalaman belajar siswa. Kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggungjawab guru. Konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran tampaknya diikuti oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (1978) dan Peter F. Olivia (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adalah suatu perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah. Dalam bahasa Indonesia kata sastra berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari akar kata sas dalam bahasa kerja turunan yang berarti’mengarahkan’, ’mengajar’, ‘memberi petunjuk atau intruksi’. Akhiran tra menunjukkan alat ‘alat’ atau ‘sarana’ . Oleh sebab itu, sastra dapat berarti ‘alat untuk mengajar’, ‘buku petunjuk’, buku intruksi atau pengajaran’, misalnya: kitab Arjuna wiwaha karya Empu Kanwa. 3. Peran Sastra Kaitannya Dengan Pembentukan Karakter Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Hakikat sastra selalu dikaitkan dengan ekspresi sastra, baik secara lisan maupun tulisan. Sastra sebagai suatu bentuk hasil budaya tidak terlepas dari kreasi penciptanya yang cenderung dinamis; dalam arti ekspresi sastra selalu memberi kemungkinan berubah dari zaman ke zaman. Pengertian ini selaras dengan pendapat yang menyatakan, bahwa sastra pada hakekatnya sastra adalah suatu kegiatan kreatif (Wellek dan Warren, 1990:3). Sastra ialah tulisan atau khayalan dalam arti rekaan (imajinative writing in the sense of fiction) (Eagleton,1983:1) Hakikat sastra adalah rekaan, dengan sebutan yang lebih popular, yaitu imajinasi, berbeda dengan ilmu kealaman, kenyataan dalam ilmu sosial adalah kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai fakta sosial. Berbeda dengan imajinasi dalam kehidupan sehari-hari, yang dianggap sebagi semata-mata khayalan, imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan, imajinasi juga diimajinasikan oleh orang lain. Maslah ini perlu dijelaskan dengan pertimbangan bahwa sebagai karya seni karya sastra tidak secara keseluruhan merupakan imajinasi. Hakikat karya sastra adalah rekaan, 161
tetapi jelas karya sastra dikontruksi atas dasar kenyataan, dalam setiap karya sastra terkandung unsur-unsur tertentu yang merupakan fakta objektif. Dalam setiap karya sastra terkandung tiga muatan: imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai. Melalui kegiatan apresiasi sastra, kecerdasan siswa dipupuk hampir dalam semua aspek. Apresiasi sastra melatih kecerdasan intelektual (IQ), misalnya dengan menggali nilai-nilai intrinsik dalam karya sastra, seperti tema, amanat, latar, tokoh, dan alur cerita. Juga mengembangkan kecerdasan emosional (EQ) siswa, misalnya sikap tangguh, berinisiatif serta optimis menghadapi persoalan hidup, dan sebagainya. Pembelajaran sastra yang relevan untuk pengembangan karakter peserta didik adalah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik tumbuh kesadaran untuk membaca dan menulis karya sastra yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa dan karsa, serta terbinanya watak dan kepribadian. Oleh karena itu, apresiasi sastra akan tumbuh sesuai dengan harapan bilamana guru Bahasa dan Sastra Indonesia juga menyukai sastra. Karena itu, guru Bahasa dan Sastra Indonesia harus memiliki minat baca karya sastra yang tinggi. Bukankah karya-karya sastra banyak tersebar di sekitar kita? Dengan kekayaan bacaan yang dimiliki, tentu guru akan lebih mampu untuk memilih bahan ajar yang tepat bagi siswa. Sebab tidak semua karya sastra dapat digunakan sebagai bahan ajar di kelas. Karya sastra yang dapat dijadikan bahan ajar hendaknya memenuhi kriteria yang sesuai untuk siswa, yakni bahasanya indah, mengharukan pembacanya, membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta mendorong manusia untuk berbuat baik, bisa mengristal dapat melampaui ruang dan waktu. Ciri ini mengisyaratkan adanya penerimaan pembaca, mempunyai sistem yang bulat, baik sitem bentuk, bahasa, maupun isi. Di dalam karya sastra harus ada unity ( keutuhan), balance ( keseimbangan), harmoni (keselarasan), dan right emphasis
(tekanan yang tepat), mengungkapkan isi jiwa sastrawan dengan baik.
Karya sastra tersebut harus bisa mengungkapkan isi pikiran, perasaan, emosi, keinginan, dorongan, ciri khas, atau cita-cita dari pengarangnya, penafsiran kehidupan dan mengungkapkan hakikat kehidupan. Karya sastra yang baik dapat
162
mengungkapkan hal-hal yang orang lain tidak bias mengungkapkannyadan melihatnya, tidak bersifat menggurui. Karakter sering dipengaruhi oleh budaya karena cara pikir dan cara pandang seseorang sering menganut apa yang telah diperbuat oleh orang lain. Jika itu anak, maka peran orang tua dan lingkungan sangat menentukan pembentukan karakternya. Lingkungan dalam hal ini termasuk pergaulan di sekolah dan masyarakat, baik di dalam kondisi sadar maupun tidak, seseorang telah menjadikan dirinya bagian dari suatu komunitas.
Sering juga faktor gender
mempengaruhi karakter suatu kelompok bahkan secara individu perseorangan. Dalam masyarakat
paternal, laki-laki dianggap berkarakter kuat, menguasai,
mendominasi, mengatur dan mempunyai wewenang yang lebih daripada perempuan. Pola pikir dan perilaku yang demikian tidak terlepas dari budaya yang dianut di dalam masyarakat tersebut. Budaya Timur lebih cenderung menganut sosial, sementara Barat lebih kental sikap individualnya. Pengajaran sastra bisa menjadi media dalam mendidikan siswa memiliki kepekaan sosial. Diantara genre karya sastra diantaranya puisi dan prosa, yang dianggap paling dominant dalam menampilkan unsur-unsur sosial. (Sutri; 2009). Yang menarik disini kaitannya dengan karakter, ternyata peran bahasa dan sastra cukup siginifikan. Bahasa menunjukkan bangsa dan yang lebih tampak bahwa bahasa menunjukkan ciri suatu kelompok. Sementara sastra merupakan cerminan dari penggunaan bahasa secara pragmatik dan semiotik. Pilihan kata atau diksi yang digunakan oleh kelompok tertentuk menjadi ciri khasnya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang berkonotasi keperkasaan dan kekuatan banyak dipakai oleh kaum laki-laki daripada perempuan. C. Simpulan Pendidikan bahasa dan satra di sekolah sangat diperlukan karma dengan bahasa dan sastra tersebut mampu mengolah rasa dan apada akhirnya faKtor sosial, etika dan penciptaan karakter yang baik akan bisa diwujudkan. Secara empiris, karya sastra bukan semata-mata merupakan gejala individual tetapi gejala sosial. Sosiologi sastra sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara sastra, sastrawan, dan masyarakat. Jadi mempelajari bahasa sastra sebenarnya mempelajari manusia dengan segala watak dan karakternya. Oleh karena itu, ilmu 163
antropologi budaya tidak bisa dilepaskan dengan factor budaya dan sastra karena keduanya memang memiliki hubungan.
DAFTAR PUSTAKA Badul Majid. 2011. Perencanaan Pembelajaran. Bandung; PT Rosdakarya. Yunus abidin. 2000. Pembelajaran Membaca Berbasis Pendidikan Karakter. Surakarta; Rafiakaditama. Dadang
Supriyatna.
http://spsupiindonesia.wordpress
(diunduh
Sabtu
24
Agustus). Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama . Jakarta Wodjowasito. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:232). Purwanto, Ngalim. 2000. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Rosdakarya. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Garasindo. Sutri. 2009.Dimensi- Dimensi Sosial Dalam Novel Laskar Pelangi. Skripsi PBSID FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
164