STUDI PERSEPSI TENTANG VARITAS DAN EKSPLORASI MANAJEMEN BENIH PADI LOKAL {TAHUN II) ABSTRAK Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari riset tahun pertama terdahulu, yaitu tentang keberadaan, preferensi, dan manajemen benih padi lokal. Penelitian lanjutan ini diperlukan karena beberapa alasan penting, yaitu; (1) telah tersedianya plasma nutfah padi lokal yang sangat terbatas jumlahnya dari hasil inventarisasi tahun sebelumnya, (2) realibilitas pengetahuan dan teknologi asli (indigenous) petani, khususnya dalsm hal manajemen benih padi lokal masih dipertanyakan dan perlu diuji ulang, dan (3) masih lemahnya sistem penyediaan dan pertukaran benih padi lokal antar petani {local seed exchange). Tujuan dari penelitian ini adalah, pertama, untuk melakukan verifikasi terhadap potensi agronomis berbagai varitas padi lokal yang ditemukan pada tahun pertama penelitian, melalui petak percobaan agronomis yang dibuat di Malang dan Banyuwangi. Melalui kegiatan ini berbagai varitas padi lokal yang hampir lenyap dapat diketahui potensinya dan diselamatkan dari kemungkinan kepunahan, serta terpelihara sistem penyediaan benihnya. Selanjutnya, tujuan ke dua riset ini adalah untuk memverifikasi pengetahuan dan praktek asli petani mengenai sistem manajemen benih padi lokal yang telah dilakukan petani secara tradisional. Dengan demikian metoda tradisional yang dipraktekkan oleh petani tersebut dapat dikonfirmasi dan dikembangkan bilamana perlu, sehingga dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Kunci dari keberlanjutan sistem budidaya dan usahatani padi lokal tergantung pada ketersediaan sumber benih padi lokal. Tujuan ke tiga dari penelitian ini ialah untuk mengevaluasi kelemahan dan potensi dari sistem penyediaan dan pertukaran benih yang dikembangkan oleh petani, dan mencarikan solusi, berupa model pengembangan sistem yang lebih efektif. Penelitian dilakukan di dua sentra produksi padi lokal di Jawa Timur, yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Malang, dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu pusat-pusat sumber plasma nutfah padi lokal. Berbagai kombinasi metode penelitian digunakan untuk mengukur tiga tujuan penelitian tersebut. Varitas padi lokal yang akan diuji ada 13 buah, yang terdiri dari 10 varitas padi lokal dan 3 varitas ketan dengan menggunakan teknik "Rancangan Acak Kelompok". Persemaian telah dimulai padi Januari 2008, sedang penanamannya dimulai pada bulan Februari 2008. Metode eksperimen, survei dan observasi lapang digunakan untuk mengukur berbagai tujuan penelitian int. In-depth interview, focus-group discussion digunakan untuk menopang berbagai teknik penelitian di atas. Hasil evaluasi didasarkan atas perforrna berbagai praktek asli dibandingkan dengan hasil eksperimen ilmiah, dan pengetahuan modern. Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat variasi potensi agronomis yang cukup besar antar berbagai varitas padi lokal yang telah diuji-cobakan, baik tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, jumlah anakan, jumlah gabah total dan jumlah gabah isi per malai, maupun berat dalarn satuan COO butir. Di Banyuwangi, rata-rata tanaman padi lokal memiliki postur yang lebih tinggi, berumur lebih pendek, memiliki jumlah anakan lebih sedikit, tetapi justru memiliki jumlah gabah total dan gabah isi yang lebih banyak. Rata-rata potensi hasil di Banyuwangi dan di Malang tidak jauh berbeda, masing-masing 6.8 ton/ha di Banyuwangi dan 6.9 ton/ha di Malang.
Di Banyuwangi, varitas Hoing Jaher dan varitas Untup Ruyung -nerupakan dua varietas padi lokal yang cukup diminati oleh petani. Hoing Jaher mempunyai jumlah anakan yang relatif banyak (14 batang), serta memiliki potensi hasil yang tinggi (10.3 ton/ha). Sedangkan Untup Ruyung memiliki potensi hasil yang lumayan (8.5 ton/ha) disertai dengan keberadaan jumlah gabah total, jumlah gabah isi, berat 1000 butir dan jumlah anakan produktif yang cukup banyak. Sri Kuning adalah varietas padi lokal lain yang juga disukai petani karena memiliki rasa yang dianggap enak dan memiliki aroma harum, meskipun potensi produksinya ternyata hanya mencapai 6.6 ton/ha. Bahak adalah jenis padi lokal yang kurang diminati oleh petani karena potensi produksinya relatif rendah, yaitu hanya mencapai 5.4 ton/ha. Sementara itu, varietas Ketan Tawonan yang juga memiliki potensi produksi yang rendah (5.5 ton/ha), tetap ditanam oleh petani, varitas ini memiliki aroma yang kuat dan rasa yang enak. Tambak Urang adalah varitas padi lokal yang paling diminati di daerah Malang. Hal ini konsisten dengan hasil uji yang dilakukan, dimana varitas ini memiliki jumlah gabah total dan gabah isi terbanyak, sehingga memiliki potensi produksi tinggi (8.3 ton/ha). Selain itu, di Banyuwangi, Hoing juga diminati karena memiliki jumlah anakan yang banyak, yang berdampak pada potensi hasil yang tinggi, yaitu 8.5 ton/ha. Ketan Hitam kurang diminati oleh petani karena memiliki potensi hasil rendah, yaitu hanya mencapai 4.6 ton/ha. Meskipun potensi hasilnya rendah, tetapi ketan hitam memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa sistem manajemen benih yang dilakukan oleh petani, walaupun dilakukan secara tradisional, terbukti telah memenuhi prinsip-prinsip penting dari manajemen benih modern. Prosedur penseleksian dilakukan dengan sangat cermat pada panen terdahulu, beberapa kriteria penting digunakan untuk mendapatkan benih yang baik (antara lain menyangkut faktor-faktor kuantitas, kualitas, kesehatan benih). Contoh lain dari efektifnya manajemen benih di tingkat petani adalah dalam hal pengeringan benih. Walaupun hanya menggunakan tanda-tanda visual dan mengandalkan pendengaran ternyata hasilnya tidak berbeda secara nyata dengan rekomendasi ilmiah mengenai kadar air benih (kadar air benih dengan cara-cara petani adalah 14%, sedikit di atas batas rekomendasi pengetahuan ilmiah yaitu di bawah 13%). Hanya beberapa saja dari aspek manajemen benih tradisional (indigenous) yang perlu disempurnakan. Sistem manajemen benih tradisional yang perlu diperbarui adalah dalam hal aplikasi jumlah benih padi lokal yang ditanam. Pada umumnya petani cenderung boros dalam menggunakan benih (yaitu sekitar 60 kg/ha), karena adanya kekuatiran bahwa banyak benih yang mati pada waktu disemaikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cukup 15-25 kg/ha (atau sepertiga dari jumlah tersebut) sudah memadai. Penghematan ini penting karena ada kalanya petani mengalami kesulitan untuk mendapatkan varitas benih padi lokal tertentu. Ada beberapa petani yang sebenarnya ingin menanam benih di luar yang biasa ditanam selama ini, tetapi mereka kesulitan mendapatkan benih padi lokal yang lain karena keterbatasan informasi, atau benih yang tersedia terbatasjumlahnya. Masalah utama lain berkaitan dengan manajemen benih yang dilakukan oleh petani adalah menyangkut prosedur penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara menyimpan benih cenderung bervariasi antar petani, misalnya ada yang diletakkan di
para-para (dengan hasil mutu benih yang relatif bagus), dan ada pula yang sekedar digeletakkan saja di tempat tertentu (menyebabkan mutu benih menjadi tidak menentu). Benih akan lebih terjaga kualitasnya bila petani memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjaga benih dengan cara yang lebih bisa dipercaya, seperti menggunakan teknik para-para tersebut. Praktek manajemen benih tradisional yang lain, seperti menyeleksi benih, mengeringkan, menyiapkan lahan persemaian, dan transplanting dinilai sudah baik ditinjau dari sudut pandang ilmiah. Hasil kajian terhadap penyediaan dan pertukaran benih padi lokal antar petani (local seed exchange) menunjukkan beberapa ragam yang dilakukan petani dalam mekanisme kegiatan ini, namun dalam tingkatan tertentu sistem ini relatif rapuh keberadaannya. Pada dasarnya ada dua cara penyediaan benih padi lokal: dari petani sendiri dan dari petani atau sumber benih yang lain. Melalui petani sendiri benih bisa diperoleh dari warisan pendahulunya, cadangan benih dari musim sebelumnya, dan dari penemuan secara tidak sengaja. Dari petani lain, benih didapat dengan cara meminjam, tukar-menukar, atau membelinya. Namun sayangnya sistem pertukaran benih padi lokal ini berlangsung secara terbatas. Tidak seluruh petani padi lokal memiliki akses ke sumber-sumber benih yang ada. Hal ini bisa membahayakan sistem penyediaan benih padi lokal setempat, karena bila karena suatu hal -misalnya pihak sumber benih meninggal dunia—maka petani akan kehilangan jejak dari para penyedia benih padi lokal, yang umumnya adalah petani juga. Hal ini bisa menyebabkan terputusnya penyediaan benih padi lokal tersebut di masa depan. Hasil penelitian ini memberi konfirmasi penting bahwa apa yang terjadi di tingkat petani konsisten dengan prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah. Keraguan bahwa petani kurang rasional dalam menetapkan kerangka persepsi atau preferensi dan keputusankeputusan agribisnis padi lokal bisa ditepis. Pada satu sisi petani padi lokal tentu saja mempertimbangkan aspek-aspek agronomis, misalnya produksi padi lokal yang tinggi, dalam mengambil keputusan usahataninya. Namun kenyataannya faktor produksi ini saja tidak cukup memaksa petani untuk menanamnya. Banyak faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan dalam keputusan usahatani padi lokal, di antaranya adalah faktor rasa atau aroma nasinya, usia panen, umur tanaman, dan juga harganya. Rasa skeptis mengenai sistem manajemen asli (indigenous) berkaitan dengan benih padi lokal juga nampaknya perlu dipertanyakan. Dari 9 (sembilan) kegiatan utama dalam manajemen benih yang dikaji, terbukti bahwa 7 (tujuh) di antaranya layak mendekati kriteria manajemen benih modern, walaupun dikerjakan secara amat sederhana. Satusatunya masalah yang menonjol yang bisa terungkap di sini adalah menyangkut lemahnya sistem sosial asli dalam mekanisme pertukaran benih padi lokal. Rekayasa sosial nampaknya akan menjadi suatu «ebijakan yang tidak bisa dihindarkan, bila keberlanjutan dari keberadaan padi lokal ini menjadi suatu visi penting. Disarankari untuk membangun jaringan petani padi lokal, baik secara oka lit (internal desa atau kecamatan), maupun jaringan yang lebih luas (dengan caerah lain di luar kabupaten), Jaringan ini hendaknya melibatkan stakeholders yang lain, seperti Dinas Pertanian, Perguruan Tinggi, Organisasi Non-pemerintah ■-SM), pemerhati padi lokal. Organisasi berbasis masyarakat, seperti masyarakat adat di Banyuwangi perlu
dilibatkan dalam menjaga kelangsungah padi lokal, karena padi lokal pada hakekatnya adalah bagian dari teknologi budaya masyarakat setempat. Para peneliti dari budidaya tanaman maupun sosial ekonomi pertanian sepakat bahwa petani memiliki potensi besar untuk menjaga ketahanan benih padi lokal karena memiliki pengetahuan asli dan kemampuan teknis untuk mengelolanya. Namun diperlukan bantuan dari para imuwan dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mendukung dan menghargai apa yang telah dilakukan oleh petani selama ini dalam menjaga kelangsungan ketkersediaan benih padi lokal. Perlu disadari bahwa benih merupakan faktor produksi pertanian yang sangat strategis. Bila benih dapat diproduksi secara berkelanjutan oleh para petani setempat, maka ketergantungan benih dari sumber-sumber luar, dan terutama dari luar negeri akan dapat dibatasi. Hal ini, secara politis, ketahanan pangan nasional juga akan lebih tangguh. Keywords: padi lokal, pengetahuan dan praktek asli, manajemen benih, penyediaan dan pertukaran benih, model pengembangan
ABSTRACT This research is the continuation of the first-year research, regarding the existance, preference, and management of local rice seeds. This second year phase was conducted for the following reasons: availably of the germ plasm of some local rice as part of our inventory in the first year, (2) the quetions of local rice seeds management system realibility.and (3) the perceived weakness of local rice seeds supplying system and local seed exchange. The aims of this research were, firstly, to verify agronomical potencies for several local rice varieties which have been collected in the first year. Secondly, the research was to verify the indigenous knowledge and practices regarding local rice seeds management system. Thirdly, the research was conducted to evaluate potencies and weakness the indigenous supply system of local rice seeds. It is expected that this research will provide some crucial data regarding the potencies of some local rice, confirm the indigenous system of seed supply in scientific perspective, and develop a model of seed supply of local rice. Research will be implemented in two local rice production centers in East Java, namely Banyuwangi and Malang regencies. Combination of research methods were applied to measure and evaluate the proposed research activities. Ten of local variety of rice seeds and three sticky rice were examined using randomized block design. Seedling have been started in January 2008, followed by planting activities the month after. The combination of field and laboratory experiment, survey, case study, and observation were applied to measure and study the research aims. Indepth interview, and focus-group discussion were "nitiated to support the data collection. Evaluation was based on the absolute and relative production-related performance of varieties to be tested, comparison indigenous knowledge and practices to scientific-based knowledge and experiment. The research was able to verify the production potencies of several varieties of local rice. Hoing Jaher, the existing variety in Banyuwangi, was evidently one of the most productive variety, signed by a lot of number of tillering,high potency of production (10.3 ton/ha). Meanwhile, Untup Ruyung has also high potency of production (8.5 ton/ha), with high number of spikelets, number of filled spikelets, weight, and productive number of tillering. Sri Kuning, the variety which is likely preffered by farmers due to its delicious taste and aroma, has proven to be less productive (6.6 ton/ha of production potency). Bahak a variety which was less popular evidently has low potency of production (only 5.4 ton/ha), likewise the ketan tawonan variety (5.5 ton). The latest variety was still planted by farmers due to aroma and taste considerations. In Malang, the current most famous variety of Tambak Urang, was also proven to be productive, with total number of spikelets and bountiful number of filled spikelet, high potency of production (8.3 ton/ha). Indigenous seed management of local rice, rehgardless its traditionally, has proven in accordance with modern seed management. Seed management procedures has been applied with high level of accuracy, in which some criteria have been developed (such as quantity, quality, and health of seeds) to produce the best seeds. Indicators were also developed to ensure the drought level of seeds (based on visual and sound-based sign).These indicators were not in contrast with scientific recommendation which
normally use modern measurement equipments. There were, certaintly, a little problems with some seeds management, such as seeds quantity for planting. Farmers tend to use overly the seeds (around 60 kg/ha) due to their anxiety of seed mortality during the transplantation period. Our experiment shows that this number may be reduced to only one-third. We also found that farmers have no standard of the way how they kept their local rice seeds. This has lead to unrealibility of seeds quality. Other aspects, such as seeds selection procedures, drainage, nursury and transplanting management, have been demonstrated as having high standard of quality from the scientific point of views. Several models developed by farmers regarding seeds supply management were considered poor. Self-relience model of seeds supply has caused farmers to be exclusive in some way. Relying to seeds sources (through the mechanism of farmersto-farmers exchange, borrowing or buying), on the other hand, has also not an easy choice. This was due to poor social network for getting and delivering local rice seeds. The danger that seeds sources may dwindle to the vanishing point was possible. Factors such as age (mostly farmers Has already old), poor regeneration and education, as well as less concerns of stakeholdersTay worsen the local rice seeds availabilty in the future. -5 ,ve have been convinced that what have been practised at farmers - T E /.e-e concord with scientific principles, it is urgent to create farmers 'network rice, in local and broader levels. This network should involve stakeholders like governmental agricultural institution, university, NGO, people *-:i concern with local rice, and possibly the localindigenous institutions. By the T:=: shment of this network, it is hoped that the sustain ability of local rice and practical system will be maintained. • r.v.ords: local rice, indigenous knowledge and practices, seed management, seeds supply and exchange
DAFTAR PUSTAKA Almekinders, C.J.M, N.P. Louwaars and G.H. de Bruijn. 1994. Local Seed System and Their Importance fo an Improved Seed Supply in Developing countries. Euphytica. Vol. 78 Brokensha, D., D.M. Warren and O. Werner. 1980. Indigenous Knowledge Systems and Development. Washington, DC: University Press of America. Cahyono, Edi Dwi. 2007. Integrasi Pengetahuan Asli Dalam Revitalisasi Pertanian Dalam Upaya Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani. Presiding Konperensi Nasional Ke XV Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi). Surakarta, 3-4 Agustus Eka Cicin Wulandari. 2008. Studi Keberadaan Padi Lokal di Malang Raya. Skripsi. FP Unibraw. Malang. Eyzaguirre, Pablo B. 2001. Global Recognition of Indigenous Knowledge: is this the latest phase of 'globalization'? Indigenous Knowledge and Development Monitor (9-2) Flora, C. (1992). Reconstructing Agriculture: The Case for Local Knowledge. Rural Sociology, 57(1), pp. 92-97. Garforth, Chris. 2001. Agricultural Knowledge and Information System in Hagaz, Eritrea. International and Rural Development Department. The University of Reading. UK. Green, T. 1987. Farmer to Farmer Seed Exchange in the Eastern Hills of Nepal: the Case of "Pokhrell Masino" Rice. Kathmandu. Nepal. Pakhribs Agricltural Centre. Working Paper 05. Grenier, Louise. 1998. Working with Indigenous Knowledge: A Guide for Researcher. International Development Research Centre. Ottawa, Canada. Hailey, A., H.VerkuijI, W. Mwang and Amare Yellow. 1998, Farmers' Wheat Seed source and Seed Management in the Enebssie . Ethiopia. Mexico D.F. IAR and CYMMIT. Research Report. Igbokwe, Edwin M. 2001. Between Conservation And Production: Traditional Ware Yam Cultivation In Igbo-Etiti, Nigeria. Indigenous Knowledge and Development Monitor (9-2) Ison, Ray and D. Russel. 2000. Agricultural Extension and Rural Development: Breaking Out of traditions. Cambridge University Press. UK. Komisi Nasional Sumber Daya Genetik (KNSDG) (2007) www.indoplasma. id.org Kurniawan H., I.H. Somantri, T.S. Silititonga, S.G. Budiarti, Hadiatmi, Asadi, S.A Rais, N. Zuraida, S., T. Suhartini, N. Edi, M. Setyowati. 2004. Katalog Data Paspor Tanaman Pangan Edisi Pertama. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian McArthur, C.L. 1989. Evaluation Choice and Use of Potatoes Varieties in Kenya. C,P. Lima. Mortiss, P.D., 1988. Agricultural Extension: A Practical Manual. Queensland Department of Primary Industries, Australia Purnamaningsih, S.R., E.D. Cahyono, S.Y. Tyasmoro. 2006. Studi Persepsi Tentang Varitas dan Eksplorasi Manajemen Benih Padi Lokal.
Universitas Brawijaya. Malang Radias Fury Widyantari. 2007. Eksplorasi Plasma Nutfah PAdi Lokal di Kabupaten Banyuwangi. Skripsi. FP Unibraw. Malang. Rajasekaran, B. 1993. Indigenous Technical Pratices In A Rice-Based Farming System. Ames, IA: Center for Indigenous Knowledge for Agriculture and Rural Development. Draft. Roshetko, James M., Mulawarman, and A. Daniarto. 2004, Tree Seed Procurement-Diffusion Pathways in Wonogiri and Ponorogo, Java; Indonesia's main souce of tree seed. ICRAF Southeast Asia Working Paper, No. 2004_1 Seboka, B. and Deressa, A. 2000. Validating Farmers' Indigenous Social Networks for Local Seed Supply in Central Rift Valley of Ethiopial. Journal of Agricultural Education Extension 6, 4 Shinta, Agustina dan E.D. Cahyono. 2006. Eksplorasi Pengetahuan Asli (Indigenous Knowledge) Petani dalam Sistem Pertanian Padi Berbasis Benih Lokal. Universitas Brawijaya, Malang Susilowati, Sri dan Cahyono, Edi Dwi. 2004. Evaluasi Kesetaraaan Jender dalam Proses Produksi dan Pemasaran Padi Organik. Universitas Katolik Widya Karya, Malang Timsina, N.P, and Upreti, B.R.. 2005. Loosing Traditional Seed Management Systems: A Threat to Small Farmers' Food Security in Nepal. University of Reading, International and Rural Development Department, Reading -- King's College London, School of Social Sciences and Public Policy, London, United Kingdom Teguh, Yuandhika. Analisis Aspek Sosial Ekonomi Pada Usahatani Padi Berbasis Benih Lokal Dan Benih Unggul (Kasus Di Desa Bocek, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang). Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Vanclay, F.and Lawrence, G. 1996. Farmer Rationality and the Adoption of Environmentally Sound Practices; A Critique of the Assumptions of Traditional Agricultural Extension. Journal of Agricultural Education and Extension. Warren, D.M., L.J. Slikkerveer and S.O. Titilola (eds.) (1989). Indigenous Knowledge Systems; Implications for Agricultural and International Development. Studies in Technology and Social Change, No 11. Ames, Iowa: Technology and Social Change Program, Iowa State University. Warren, D.M. 1991. Using Indigenous Knowledge In Agricultural Development', World Bank Discussion Papers. The World Bank, Washington, D.C. i Zamora, Oscar B.1998. Sustainable Agriculture: the Framework, Misconceptions, Myths and Barriers to Adoption. Seminar-Workshop on Development of Curriculum on Sustainable Agriculture for Indonesia Universities. 21-23 February 2000 ata Brawijaya University, Malang. Departement of Agronomy, UPLB-College of Agriculture. Laguna, Philippines.