ISSN : 978-602-8405-53-9
Fluktuasi Produksi Serasah Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Supriadi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Email:
[email protected]
ABSTRAK Serasah lamun mempunyai peran bio-ekologis yang penting, baik bagi ekosistem lamun sendiri maupun bagi ekosistem lain yang berada di sekitarnya. Produksi serasah diduga mengalami fluktuasi sesuai dengan kondisi lingkungan sehingga diperlukan penelitian untuk menggambarkan fluktuasi tersebut. Penelitian dilakukan di Pulau Barranglompo Makassar dari bulan Desember 2010 sampai November 2011. Metode yang digunakan adalah metode kurungan. Kurungan terbuat dari waring dengan mesh size 3 mm dengan tinggi 1,5-2,0 meter dan masing-masing sisinya berukuran 0,5 m yang dipasang masing-masing 5 buah setiap sisi pulau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total 2 produktivitas serasah berkisar antara 0,1830-1,3077 gC/m /hari dengan produksi yang tinggi pada puncak musim hujan dan kemarau. Sebagian besar serasah tenggelam ke dasar perairan dengan jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii sebagai penyumbang terbesar. Kata kunci: serasah, lamun, Pulau Barranglompo, produksi
PENDAHULUAN Produksi lamun sebagai hasil dari proses fotosintesis tersimpan sebagai biomassa yang selanjutnya membentuk populasi dan komunitas lamun. Sebagian biomassa lamun kemudian masuk ke kompartemen lain, baik melalui grazing secara langsung oleh herbivora atau melalui produksi serasah yang kemudian tenggelam ke dasar atau diekspor keluar dari padang lamun. Serasah lamun mempunyai arti yang cukup penting karena bisa dimanfaatkan oleh beberapa jenis hewan detritivora sebagai makanan, sumber potensi hara dan sebagai stok karbon di sedimen ketika terkubur. Perairan Pulau Barranglompo Makassar mempunyai padang lamun sekitar 64,3 ha, lebih luas dibanding daratan pulau yang mempunyai luas 20,64 ha (Supriadi et al. 2012). Oleh karena itu serasah lamun diduga mempunyai peran bio-ekologis yang cukup besar terhadap produktivitas perairan sekitarnya. Namun demikian produksi lamun sangat dipengaruhi terutama oleh kondisi oseanografis perairan sehingga mengalami produksi yang berfluktuasi sepanjang tahun. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran fluktuasi produksi serasah komunitas lamun di Pulau Barranglompo Makassar. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2010 sampai bulan November 2011 di Perairan Pulau Barranglompo Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pulau Barranglompo terletak sekitar 12 kilometer sebelah barat laut Kota Makassar dan berada di kawasan Kepulauan Spermonde. Padang lamun yang luas tersebar di perairan sisi utara, barat dan selatan, sedangkan pada sisi timur, lamun hanya ditemukan pada area yang sempit di dekat pantai (Supriadi et al. 2012). Penelitian dibagi ke dalam 4 periode yang didasarkan pada kondisi musim/curah hujan, yaitu : 1. Periode 1: bulan Desember 2010 sampai Januari 2011, rata-rata curah hujan 576.7 mm/hari dan rata-rata jumlah hari hujan 27 hari. Periode ini merupakan puncak musim hujan. 2. Periode 2: bulan April sampai Mei 2011, rata-rata curah hujan 272.4 mm/hari dan ratarata jumlah hari hujan 17 hari. Periode ini termasuk musim peralihan menuju ke musim kemarau (musim peralihan I). Proceeding of International and national Conference on Marine Science and Fisheries
149
ISSN : 978-602-8405-53-9
3. Periode 3: bulan Juli sampai Agustus 2011, rata-rata curah hujan 0.4 mm/haridan ratarata jumlah hari hujan 1 hari. Periode ini termasuk musim kemarau. 4. Periode 4: bulan Oktober sampai November 2011, rata-rata curah hujan 110.0 mm/haridan rata-rata jumlah hari hujan 18 hari. Periode ini termasuk musim peralihan ke musim hujan (musim peralihan II). Prosedur Penelitian Metode yang digunakan untuk mengetahui produksi serasah komunitas lamun adalah metode kurungan (Nojima & Mukai, 1996). Kurungan terbuat dari waring dengan mesh size 3 mm dengan tinggi 1,5-2,0 meter dan masing-masing sisinya berukuran 0,5 m (Gambar 1) (Supriadi & Arifin, 2005). Sebelum lamun dikurung, substrat dasar dibersihkan dari serasah dan organisme bentos. Setiap 24 jam, serasah yang jatuh di dasar dan melayang dikumpulkan secara terpisah, kemudian dipisah menurut jenis lamunnya dan dimasukkan ke dalam kantong sampel untuk dibawa ke laboratorium. Serasah yang melayang/terapung diasumksikan sebagai serasah yang akan diekspor dari padang lamun. Pengumpulan serasah dilakukan selama 3 hari berturut-turut. Sebelum dikeringkan, serasah dibersihkan dari epifit dan perifiton. Selanjutnya dilakukan pengeringan menggunakan oven dengan suhu 60°C sampai didapatkan berat konstan. Jumlah kurungan yang digunakan sebanyak 5 buah pada semua stasiun yang ditempatkan tegak lurus pantai ke arah laut, kecuali pada Stasiun Timur. Pada Stasiun Timur, kurungan dipasang sejajar garis pantai karena distribusi lamun yang sempit tidak memungkinkan kurungan dipasang secara tegak lurus garis pantai. Kelima kurungan tersebut dipasang berdasarkan distribusi lamun sehingga semua jenis lamun yang ada dapat terwakili. Nilai karbon pada serasah dikonversi dari nilai biomassanya dengan menggunakan nilai nisbah kandungan karbon dan biomassa kering (Supriadi, 2012).
Gambar 1. Kurungan untuk pengamatan produktivitas serasah Produktivitas serasah dibandingkan berdasarkan stasiun dan periode sampling, baik yang tenggelam maupun yang melayang dengan menggunakan analisis parametrik Kruskal Wallis dan Man-Whitney. Selain itu analisis ini juga digunakan untuk membandingkan antara serasah yang tenggelam dan serasah yang melayang pada semua stasiun. HASIL DAN PEMBAHASAN Total produktivitas serasah (terapung dan tenggelam) berkisar antara 0,1830-1,3077 gC/m2/hari. Analisis Kruskall Wallis menunjukkan adanya variasi produktivitas serasah Proceeding of International and national Conference on Marine Science and Fisheries
150
ISSN : 978-602-8405-53-9
secara nyata, baik antar stasiun maupun antar periode sampling (P<0.05). Stasiun Selatan dan Timur mempunyai serasah yang kecil dan berbeda nyata dengan stasiun lainnya (P<0.05), sedangkan Stasiun Barat mempunyai rata-rata serasah yang paling besar (Gambar 2).
Produksi Serasah (gC/m2/hari)
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 Selatan Periode 1
Barat Periode 2
Utara Periode 3
Timur Periode 4
Gambar 2. Produksi Serasah Lamun Berdasarkan Periode Sampling (gC/m2/hari) pada Masing-Masing Stasiun Tingginya produktivitas serasah di Stasiun Barat diduga disebabkan karena posisinya yang relatif terbuka terhadap pengaruh gelombang dan kedalaman perairan yang rendah sehingga lebih lama terpapar ketika terjadi surut rendah. Rata-rata kedalaman pada Stasiun Barat hanya 70 cm (kedalaman pada saat surut), sementara di Stasiun Selatan 80 cm, Stasiun Utara 90 cm dan Stasiun Timur 101 cm. Selama periode 3, rata-rata lama waktu terpapar pada siang hari di Stasiun Barat adalah 3 jam yang terjadi sekitar jam 12:00 sampai 15:00. Produktivitas serasah berdasarkan periode sampling mempunyai pola yang sama pada semua stasiun. Pada periode 1 dan 3, produktivitas serasah lebih besar dibanding periode sampling lainnya. Besarnya produktivitas serasah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik perairan yang terjadi selama penelitian. Periode 1 merupakan puncak musim hujan dan kondisi gelombang yang relatif lebih besar. Energi gelombang mampu mematahkan daun-daun lamun sehingga produktivitas serasah lebih tinggi. Pada periode 3, surut rendah terjadi pada siang hari sehingga lamun sering terpapar dan menyebabkan daun mengering. Daun-daun yang mengering lebih mudah patah ketika terkena gelombang sehingga menyebabkan produktivitas serasah relatif tinggi. Serasah lebih banyak tenggelam di dasar perairan dibanding yang melayang pada semua stasiun dan periode sampling (Anova, P<0.05). Serasah yang tenggelam berkisar antara 0,1309–0,8664 gC/m2/hari, sedangkan yang melayang berkisar antara 0,0517-0,5443 gC/m2/hari (Gambar 3). Serasah yang tenggelam ke dasar perairan di Pulau Pari berkisar 0,21-1,13 gC/m2/hari, sedangkan yang melayang berkisar antara 0,10-0,46 gC/m2/hari (Kiswara, 2010). Sementara di Pulau Langkai Kepulauan Spermonde, jumlah serasah yang diekspor mencapai 165,1 kg bk/hari, terdiri dari 27,1 kg bk/hari diekspor ke pantai dan 138.0 kg bk/haridiekpor melewati terumbu karang (Stapel et al., 1996).
Proceeding of International and national Conference on Marine Science and Fisheries
151
Persentase
ISSN : 978-602-8405-53-9
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Selatan
Barat Tenggelam
Utara
Timur
Ekspor
Gambar 3. Persentase Produksi Serasah Lamun (%) Berdasarkan Kategori Tenggelam dan Melayang pada Masing-Masing Stasiun. Notasi angka pada masing-masing stasiun menunjukkan periode sampling.
Secara umum rata-rata serasah yang tenggelam lebih besar dibanding yang melayang. Namun demikian, jenis lamun S. isoetifolium mempunyai serasah melayang lebih besar dibanding serasah yang tenggelam. Struktur daun yang mempunyai rongga udara (Waycott et al., 2004; Kuo & den Hartog, 2006) menyebabkan jenis lamun ini sangat mudah terapung dan terbawa arus keluar dari ekosistem lamun (Cebrian, 2002). Besarnya serasah tenggelam dibanding yang melayang semakin memperkuat hipotesis bahwa sebagian besar kebutuhan ekosistem lamun bisa dipenuhi dari proses yang terjadi di ekosistem lamun sendiri. Serasah yang tenggelam berperan sebagai potensi hara maupun sebagai bahan makanan detritivora. Detritivor memanfaatkan serasah secara langsung di atas substrat ataupun dibawa masuk ke lubang. Jenis krustase Neaxius acanthus mempunyai kebiasaan memasukkan serasah ke dalam lubang. Kemampuan hewan ini untuk mengambil dan mengubur serasah di lubang yang dibuatnya cukup besar yaitu 1,920 gbk/lubang/hari (Kneer, 2006). Serasah tenggelam yang tidak terdekomposisi atau dimanfaatkan oleh detritivora akan terkubur oleh sedimentasi dan akan tersimpan sebagai karbon di sedimen. Serasah yang terkubur sebagai karbon di sedimen dapat mencapai 16% sampai lebih dari 60% dari produktivitas daun (Duarte & Cebrian, 1996; Mateo et al., 2006). Adanya proses sedimentasi di perairan membuat penguburan karbon dari serasah lamun berjalan lebih cepat sehingga laju penguburan karbon lebih tinggi dibanding pada ekosistem darat. Kennedy dan Bjork (2009), merangkum data kecepatan akumulasi karbon di sedimen dari beberapa vegetasi pantai dan darat mendapatkan bahwa akumulasi karbon oleh lamun P. oceanica 9-112 gC/m2/tahun, lebih tinggi dibanding hutan tropis (2,3-2,5 gC/m2/tahun) dan hutan di daerah subtropik (1,4-12,0 gC/m2/tahun). Tingginya akumulasi karbon oleh serasah lamun dibanding oleh vegetasi daratan juga ditemukan oleh Cebrian dan Duarte (2001). Serasah yang terkubur bisa tersimpan ribuan tahun sehingga merepresentasikan carbon sink jangka panjang (Mateo et al., 2006). Dengan demikian Fourqurean et al. (2012) mengestimasi karbon organik tersimpan di sedimen pada daerah hotspot vegetasi lamun sekitar 2 kali dibanding rata-rata karbon organik per hektar pada tanah vegetasi daratan. Rata-rata produktivitas serasah yang melayang pada periode 1 untuk semua stasiun lebih banyak dibanding pada periode sampling lainnya. Kuatnya gelombang menyebabkan serasah lebih banyak yang terbawa arus gelombang. Daya apung material lamun dan Proceeding of International and national Conference on Marine Science and Fisheries
152
ISSN : 978-602-8405-53-9
pemaparan terhadap energi secara fisik menentukan besarnya ekspor material lamun (Alongi, 1998; Barranguet et al., 1998). Serasah dan karbon terlarut lamun yang diekspor memainkan peranan penting pada siklus karbon laut global (Heck et al., 2008). Secara umum jenis lamun yang mempunyai kontribusi besar terhadap produktivitas serasah adalah E. acoroides dan T. hemprichii (Gambar 4). Serasah daun lamun E. acoroides lebih dominan ditemukan pada periode 1 karena pengaruh aksi gelombang yang besar. Sedikitnya ada dua hal yang diduga bisa menyebabkan tingginya serasah daun lamun E. acoroides pada periode ini. Pertama, secara morfologi lamun ini mempunyai daun yang paling panjang dibanding lamun lainnya, sehingga pengaruh hempasan gelombang yang diterimanya juga lebih besar. Kedua, walaupun daun E. acoroides relatif lebih kuat dibanding daun lamun lainnya, namun secara alamiah bagian daun yang lebih tua (daun bagian atas) sangat tipis karena berkurang atau hilangnya lapisan epidermis, berbeda dengan lamun lainnya. Kondisi daun yang tipis sangat mudah terputus ketika terkena hempasan gelombang. Menurut Supriadi et al. (2006), daun E. acoroides yang tua akan mulai menipis dan gugur secara alami ketikarata-rata berumur 5 sampai 6 minggu.
Persentase (%)
100% 80% 60% 40% 20% 0% 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Selatan
Barat
Utara
Timur
E. acoroides
T. hemprichii
C. rotundata
C. serrulata
H. uninervis
H. pinifolia
H. ovalis
S. isoetifolium
Gambar 4. Persentase Produksi Serasah Lamun (%) Berdasarkan Jenis Lamun pada Masing-Masing Stasiun. Notasi angka pada masing-masing stasiun menunjukkan periode sampling. Produktivitas serasah jenis lamun T. hemprichii pada periode 3 lebih besar dibanding jenis E. acoroides. Kontribusi serasah T. hemprichii pada periode 3 juga ditemukan paling tinggi dibanding periode lainnya pada semua stasiun. Kondisi perairan yang sering terpapar pada siang hari menyebabkan T. hemprichii lebih rentan terhadap kekeringan karena mempunyai daun yang lebih tipis dibanding E. acoroides. Tingginya total serasah lamun yang didapatkan pada periode 1 dibanding periode 3 menunjukkan bahwa pengaruh gelombang dan arus terhadap gugurnya serasah lamun lebih besar dibanding pengaruh kekeringan pada saat lamun terpapar. Cebrian (2002) mengemukakan bahwa keterbukaan terhadap faktor lingkungan fisik akan menyebabkan tingginya serasah. Kontribusi serasah E. acoroides yang tinggi pada periode 1, tidak ditemukan pada periode 3, bahkan cenderung relatif kecil. Pemaparan sinar matahari ketika surut rendah tidak banyak membuat daun E. acoroides menjadi kering karena daunnya relatif tebal. Supriadi (2003) menemukan bahwa kondisi perairan yang terpapar sekitar 4 jam belum menyebabkan kekeringan yang berarti pada jenis E. acoroides sedangkan T. Proceeding of International and national Conference on Marine Science and Fisheries
153
ISSN : 978-602-8405-53-9
hemprichii memperlihatkan kondisi sebaliknya. E. acoroides memiliki struktur morfologi daun yang tebal dan kuat memungkinkan lebih tahan terhadap kekeringan, sementara T. hemprichii memilik daun yang relatif tipis sehingga sangat rentan terhadap kekeringan yang menyebabkan daun gugur ketika terpapar beberapa saat. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi serasah di perairan sisi barat Pulau Barranglompo lebih tinggi dibanding pada perairan sisi pulau lainnya. Produksi serasah yang tinggi ditemukan pada puncak musim hujan dan musim kemarau. Jumlah kategori serasah yang melayang lebih tinggi dibanding serasah yang tenggelam. Kontribusi yang besar terhadap produksi total serasah disumbangkan oleh jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. DAFTAR PUSTAKA Alongi DM. 1998. Coastal Ecosystem Processes. Boca Raton: CRC Press. Barranguet C, Krompkamp J, Peene J. 1998. Factor controlling primary production and photosynthetic characteristics of intertidal microphytobenthos. Mar Ecol Prog Ser 173: 117-126. Cebrian J. 2002. Variability and control of carbon consumption, export and accumulation in marine communities. Limnol Oceanogr 47 (1): 11-22. Cebrian J, Duarte CM. 2001. Detritial stock and dynamics of seagrass Posidonia oceanica (L) Delile in the Spanish Mediterranean. Aquat Bot 70: 295-309. Duarte CM, Cebrian J. 1996. The fate of marine autotrophic production. Limnol. Oceanogr. 41(8): 1758-1766. Fourqurean JW, Duarte CM, Kennedy H, Marba N, Holmer M, Mateo MA, Apostolaki E, Kendrick GA, Krause-Jensen D, McGlathery KJ, Serrano O. 2012. Seagrass ecosystems as a globally significant carbon stock. Nature Geoscience. DOI: 10.1038/NGEO1477. Publikasi online tanggal 20 Mei 2012 [Akses: 25 Mei 2012]. Heck Jr KL, Carruthers TJB, Duarte CM, Hughes AR, Kendrick G, Orth RJ, Williams SW. 2008. Trophic transfers from seagrass meadows subsidize diverse marine and terrestrial consumers. Ecosystems 11: 1198-1210. Kennedy H, Bjork M. 2009. Seagrass meadows. Di dalam: Laffoley D, Grimsditch G, editor.The Management of Natural Coastal Carbon Sinks. Gland Switzerland: IUCN. hlm. 23-29. Kiswara W. 2010. Studi pendahuluan: potensi padang lamun sebagai karbon rosot dan penyerap karbon di Pulau Pari Teluk Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36 (3): 361-376. Kneer D. 2006. The role ofNeaxius acanthus (Thalassinidea: Strahlaxiidae) and its burrows in a tropical seagrass meadow, with some remarks onCorallianassa coutierei(Thalassinidea: Callianassidae) [Thesis]. Berlin: Freie Universitat. Kuo J, den Hartog C. 2006. Seagrass morphology, anatomy and ultrastructure. Di dalam: Larkum ADW, Orth RJ, Duarte CM, editor. Seagrass: Biology, Ecology and Conservation. Dordrecth: Springer. hlm. 51-87. Mateo MA, Cebrian J, Dunton K, Mutchler T. 2006. Carbon flux in seagrass ecosystems. Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. Dordrecht: Springer. hlm 159-192. Nojima S, Mukai H. 1996. The rate and fate of production of seagrass debris in cages over a Syringodium isoetifolium (Aschers.) Dandy Meadow in Fiji. Di dalam: Kuo J, Phillips RC, Walker DI, Kirkman H, editor. Seagrass Biology: Proceedings of an International Workshop, Rottnest Island, Western Australia 25-29 Januari 1996.
Proceeding of International and national Conference on Marine Science and Fisheries
154
ISSN : 978-602-8405-53-9
Stapel J, Nijboer R, Philipsen B. 1996. Initial estimates of the export of leaf litter from a Seagrass bed in The Spermonde Archipelago, South Sulawesi, Indonesia. Di dalam: Kuo J, Phillips RC, Walker DI, Kirkman H, editor. Seagrass Biology: Proceedings of An International Workshop. Rottnest Island, Western Australia, 25-29 Januari 1996. hlm 155-162. Supriadi. 2003. Produktivitas lamun Enhalus acoroides (Linn. F) Royle dan Thalassia hemprichii (Enhrenb.) Ascherson di Pulau Barang Lompo Makassar [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Supriadi, Arifin. 2005. Pertumbuhan, biomassa dan produksi lamun Enhalus acoroides di Pulau Bone Batang Makassar. Protein12 (2): 293 – 302. Supriadi. 2012. Stok dan Neraca Karbon Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo Makassar. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supriadi, Kaswadji RF, Bengen DG, Hutomo M. 2012. Komunitas lamun di Pulau Barranglompo Makassar: Kondisi dan karakteristik habitat. Maspari 4 (2) : 148-158. Supriadi, Soedharma D, Kaswadji RF. 2006. Beberapa aspek pertumbuhan lamun Enhalus acoroides (Linn.F) Royle di Pulau Barrang Lompo Makassar. Biosfera23 (1): 1-8. Waycott M, McMahon K, Mellors J, Calladine A, Kleine D. 2004. A Guide to Tropical Seagrasses of The Indo-West Pacific. Townsville: James Cook University.
Proceeding of International and national Conference on Marine Science and Fisheries
155