BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah Walaupun tidak tahu pasti sejak kapan terjadinya kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam rumah tangga, namun yang jelas bahwa kasus-kasus demikian sudah sejak lama terjadi. Harus diakui pula bahwa tidak semua perempuan mengalami perlakuan keras dalam hidupnya, tetapi cukup banyak perempuan yang mengalami perlakuan keras dan kejam dari suaminya. Disisi lain, terjadi juga kekerasan oleh perempuan terhadap perempuan, begitu pula kekerasan oleh laki-laki terhadap laki-laki atau bahkan kekerasan oleh perempuan terhadap laki-laki. Tetapi bahasan dari tulisan ini, hanya memfokuskan tentang kekerasan terhadap wanita dalam perkawinan atau kekerasan perempuan dalam rumah tangga. Kebudayaan manusia yang menghasilkan perempuan secara fisik dan psikis menjadi atau merasa lemah, sehingga mudah sekali menjadi target dari kekerasan. Mulai dari tindakan pelecehan, penyiksaan, kejahatan, sampai dengan perkosaan yang brutal yang dialami perempuan. Kekerasan dapat terjadi pada setiap perempuan, kaya miskin, tua muda, bisa terjadi dimana saja, dirumah atau diluar rumah, mulai dari baru lahir sampai akhir ahayat dan dapat saja dilakukan oleh pria manapun. Yang menyedihkan adalah sangat banyak kejadian perempuan tidak berdaya melawan kekerasan itu, baik secara fisik maupun secara psikis. Bahkan ada juga yang menerimanya sebagai kodrat atau nasib, terdapat pendapat percuma melawan kodrat atau nasib, padahal mendapat perlakuan keras dari pria bukanlah kodrat atau ansib padahal mendapat perlakuan keras dari pria bukanlah kodrat atau nasib perempuan. Teringat lirik lagu pada tahun lima puluhan yag kata-katanya antara lain : “ ……. Sejak dulu wanita dijajah pria, dijadikan perhiasan sangkar madu……” lagu yang melodinya cukup indah namun sangat menyedihkan karena sampai sekarang, di era millennium ketiga ini, secara fsiik dan psikis banyak perempuan masih dijajah oleh pria dan dijadikan perhiasan sanggar madu. Kekerasan terhadap perempuan yagn paling menyedihkan apabila terjadi di dalam rumah tangga. Lembaga perkawinan yang merupakan alat pembentukan rumah tanga menurut pandangan bangsa Indonesia adalah lembaga sacral, menjadi tempat terjadinya kekerasan dan penyiksaan terhadap perempuan. Harus diakui bahwa didalam lembaga perkawinan banyak sekali terjadi kekerasan/penyiksaan yang dialami oleh istri, yang tidak pernah diketahui oleh orang lain, antara lain perkosaan dalam perkawinan, memperbudak istri, mengurung istri dirumah tanpa member kesempatan untuk bersosiakusasi dengan masyarakat luar atau tidak diberi untuk melakukan aktivitas ekonomi dan seringkali sampai akhir hayat para istri, penderitaan itu terkubur bersama kasad mereka. Bukan hanya kekerasan fisik yang
dialami istri, juga banyak sekali terjadi kekerasan psikis yang lebih sulit lagi diketahui oleh orang luar dan membuat istri sangat menderita. Disadari atau tidak disadari oleh suami, perselingkuhan suami dengan perempuan lain begitu sering diketahui oleh sang istri karena nalurinya istri tahu bahwa ada “wanita lain”, tetapi karena berbagai macam alas an, sang istri tidak memberikan reaksi dan bersikap seakan-akan tidak tahu, tetapi yang pasti didalam batin seseorang istri terpendam sejumlah penderitaan. Para istri yang megalami penyiksaan, secara fisik dan atau psikis oleh suami, banyak yang hanya berani secara anonym untuk menyampaikan keluhan melalui rubric-rubrik di media cetak yang menyediakan tempat untuk menampung keluhan atas kekerasan yang dialaminya. Tetapi tidak dapat juga dipungkiri bahwa dalam perkawinan, suami juga banyak yang mengalami penderitaan, walaupun kekerasan fisik yang dilakukan istri sangat jarang lebih banyak terjadi kekerasan sperti itu, biasanya berupaya mempertahankan perkawinan karena berbagai alas an. Rumah tangga seyogianya menjadi tempat berlindung bagi seluruh anggota keluaga, akan tetapi kenyataanya justru banyak rumah tangga menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan karena terjadi tindakan kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga menurut pasal 1 Undang-undang nomor 23 tahun 1994 tentang penghapusan kekersan dalam rumah tangga didefenisikan sebagai berikut, yaitu setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan dan penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau pelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga termasuk ancaman unuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pasal 1 Undang- Undang nomor 1 tahun 1974 memberikan definisi Perkawinan yang sangat indah yaitu : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang maha Esa.” Berdasarkan bunyi pasal 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menjadi kaidah tanpa arti sebab banyak suami/istri mengabaikan ketentuan pasal tanpa sanksi tersebut. Fakta ini kasus-kasus yang ditangani lembaga-lembaga yang peduli terhadap masalah perempuan, misalnya : Data komnas perempuan menunjukkan bahwa pada tahun 2001 terjadi 3.169 kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan tersebut mengalami peningkatan menjadi 5.163 kasus pada tahun 2002 (naik 61 persen) kemudian pada tahun 2003 kembali mengalami peningkatan menjadi 7.787 kasus (naik 66 persen), tahun 2004 menjadi 14.020 kasus (naik 80 persen), tahun 2005 berjumlah 20.394 kasus (naik 69 persen) dan data terbaru yang dikeluarkan pada 7 maret 2007 mencatat 22.512 kasus yang ditangani 257 lembaga di 32 provinsi. Persentase terbesar dari kasus kekerasan terhadap perempuan dilakukan dalam lingkup rumah tangga, berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Data 2007 dari Komnas Perempuan menunjukkan, kasus KDRT menempati urutan tertinggi dari keseluruhan bentuk kekerasan terhadap perempuan yakni,
16.709 kasus atau 76 persen. Data serupa juga tercantum dalam laporan lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Pada periode Januari-april 2007, terjadi 140 kasus KDRT itu artinya bahwa 35 kasus terjadi setiap bulan atau 1 kauss perhari. Tentunya kasus dengan jumlah sebanyak itu bias terjadi karena minimnya perhatian baik pemerintah maupun masyarakat terhadap perempuan. Ketidakpedulian masyarakat dan Negara terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga karena adanya ideology gender dan budaya patriarhi. Gender adalah perbedaan peran social dan karakteristik laki-laki dan perempuan yang dihubungkan atas jenis kelamin (seks) mereka. (Rika Samwah 2006:3). Pengertian patriarkhi adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai yang utama superior dibandingkan dengan perempuan. Adanya ideology gender dan budaya patriarkhi kemudian oleh pemerintah dilegitimasi di semua aspek kehidupan, misalnya bidang domestic seperti rumah tangga dan reproduksi dikategorikan privat dan bersifat personal misalnya, relasi suami-istri keluarga dan seksualitas. Hal-hal yang bersifat privat dan dimestic ini merupakan persoalan yang berada diluar campur tangan masyarakat individu lain dan Negara. Akibat budaya patriarkhi dan ideology gender diatas, sangat berpengaruh pada ketentuan undang-undang perkawinan yang membedakan peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga (pasal 31 undang-undang perkawinan) yang menimbulkan persepsi pada masyarakat seolaholah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar sehinga dapat memaksakan semua kehendaknya termasuk melalui kekerasan. Situasi ini menimbulkan akibat kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan yang terjadi didalam ruang lingkup privat/domestic menjadi tindakan yang tidak dapat dijangkau oleh Negara. Tindakan-tindakan yang melanggar hak perempuan dan seharusnya menjadi tanggung jawab Negara dana parat, justru disingkirkan untuk menjadi urusan keluarga. Pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan rumah tangga timbul diantara suami istri yang hubungan hukum diantara individu tersebut terjadi karena terikat didalam perkawinan yang merupakan lingkup hukum perdata. Dengan demikian apabila terjadi pelanggaran didalam hubungan hukum antara individu tersebut, penegakan hukumnya dilakukan dengan cara mengajukan gugatan yang merasa dirugikan. Undang-undang perkawinan tidak mengatur saksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kekrsan dalam rumah tangga seperti halnya hukum pidana. Persoalan kekerasan atau penganiayaan yang terjadi dalam rumah tangga menurut UU perkawinan merupakan salah satu penyebab putusnya suatu perkawinan sebagaimana disebutkan pasal 38 UU perkawinan. Lembaga hukum perdata digunakan didalam UU perkawinan untuk menyelesaikan penegakan hukum kepada pelaku kekerasan rumah tangga yaitu dilakukan dengan cara mengajukan gugatan oleh pihak yang merasa dirugikan. Sepanjang pihak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga maka tidak akan muncul gugatan ke
pengadilan. Berbeda dengan hukum pidana yang memiliki sifat apabila terjadi pelanggaran hukum, penegakkan hukumnya dilakukan oleh penguasa karena tujuan hukum public adalah untuk menjaga kepentingan umum. Meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga dan akibat yang ditimbulkan bagi korban menyebabkan sebagian masyarakat menghendaki pelaku kekerasan dalam rumah tanga pidana melalui instrument ketentuan kitab undangundang hukum pidana (KUHP) yang mengatur tentang kekerasan adalah didalam pasal 89 dan pasal 90 KUHP, akan tetapi kekerasan yang diatur dalam KUHP adalah menyangkut kekerasan fisik. Selain itu KUHP juga tidak mengatur kekerasan seksual yang dapat terjadi di rumah tangga antara suami-istri dan juga tidak adanya perintah perlindungan atau perintah pembatasan gerak sementara yang bias dikeluarkan oleh pengadilan untuk emmbuat pelaku melakukan kekearsan dalam rumah tangga. Kelemahan-kelemahan UU Perkawinan dan KUHP mendorong pemerintah membuat aturan khusus mengenai kekerasan dalam rumah tangga yaitu dengan menerbitkan UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Undang-undang tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang telah sesuai dengan tujuan pancasila dan UUD 1945 guna menghapus segala bentuk kekerasan, di Indonesia, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu juga Indonesia telah meratifikasi konversi perserikatan bangsa-bangsa tentang penghapusan diksminasi terhadap perempuan melalui Undang-undang No.7 tahun 1974. Seiring dengan diterbitkannya UU nomor 23 tahun 2004, terlihat adanya perubahan pandangan dari pemerintah mengenai kekerasan yang terjadi di rumah tangga bukan semata-mata persoalan privat, melainkan juga masalah public dan urusan rumah tangga dalam UU perkawinan yang merupakan lingkup perdata menjadi lingkup public. Walaupun UU nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan Dalam rumah tangga tidak serta merta akan memenuhi harapan para perempuan yang merupakan sebagian besar korban kekerasan dalam mendapatkan keadilan, mengingat kondisi penegakkan hukum yang masih jauh adri harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lbih menguntungkan pihak yang mempunyai kekuasaan, baik kekuasaan ekonomi, social maupun budaya. Pemahaman dan kesadaran bahwa kesadaran bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagian suatu kejahatan harus disebarluaskan sehingga diperoleh kesatuan pemahaman dalam masyarakat. Tanpa adanya pemahaman dan kesadaran dlam penegakkan hukum yang diharapkan tidaka akan dapat berjalan dengan baik. Selain itu, kaum perempuan sebagai bagian dari masyarakat juga harus memiliki kemauan membawa kasusnya ke bidang peradilan pidan. Menumbuhkan kemauan menuntut hak merupakan suatu langkah yang amat berat bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga karena banyak kendali yang harus dihadapi, sebab tanpa dukungan dari anggota keluarga dan masyarakat dan ataupun aparat hukum yang responsive, maka langkah yang akan ditempuh perempuan para korban kekerasan dalam rumah tangga hanya akan berakhir sia-sia ditengah jalan.
Selama ini, perempuan yang mengalami korban kekerasan dalam rumah tangga lebih memilih menyelesaikan kasusnya melalui perceraian yang merupakan lingkup hokum perdata dari pada menyelesaikan kasusnya secara pidana. Sangat sedikit kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dislesaikan scara pidana, hal ini dikarenakan keengganan dari korban untuk menempuh penyelesaian kasusnya kejalur pidan. Situasi ini menunjukkan bahwa banyak kendala yang harus dihadapi perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, seperti peraturan hukumnya, aparat hukumnya dan amsyarakat. Perempuan korban kekerasan rumah tangga cenderung memilih penyelesaian secara perdata (perceraian) karena prosesnyanya cepat, tetapi biaya yang harus dikeluarkan agak banyak terutama bagi mereka yang tidak bekerja, sebab biaya pendaftaran perkara perdata atau gugatan ke pengadilan ke pengadilan akan menghabiskan dana yang bervariasi yaitu sekitar Rp. 1.000.000 – Rp 1.500.000. Angka atau biaya ini cukup tinggi terutama bagi perempuan yang tidak memiliki pekerjaan, dibandingkan dengan korban kekerasan dalam rumah tangga yang membawa kasusnya ke penyelesaian pidana jumlahnya sangat sedikit. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, untuk itu perlu dirumuskan masalah untuk diteliti yaitu : a. Bagaimana penyelesaian hokum yang ditempuh korban kekerasan dalam ruumah tangga di wilayah kota Meadan ? b. Apakah factor-faktor pendukung dan penghambat penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga melalui jalur hokum pidana ? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui nbagaimana penyelesaian hokum yang ditempuh korban kekerasan dalam rumah tangga di wilayah kota Medan. b. Untuk mengetahui apakah factor-faktor pendukung dan penghambat penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga melalui jalur hokum pidana. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan berguna atau bermanfaat : a. Untuk memberikan motivasi kepada kaum perempuan agar mau dan dapat menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dihadapinya melalui jalur peradilan pidana b. Untuk mendorong pemerintah agar lebih mensosialisasikan bentuk-bentuk penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada masyarakat luas.
BAB III METODE PENELITIAN
III.I Sifat dan Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat denkriptif nalitis, artinya hasil penelitian ini bermaksud memberikan gambaran yang menyuruh dan sitematis mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang diselesaikan secara hokum perdata dan hokum pidana. Bersifat analitis karena dilakukan sesuatu analisis atas penyelesaian yang ditempuh korban kekerasan dalam rumah tangga dari hukum perdata ke hukum pidana. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis yaitu merupakan gabungan antara penelitian lapangan yang menggunakan data primer berupa kasus kekerasan dalam rumah tangga dan penelitian kepustakaan yang menggunakan data sekunder berupa bahan-bahan hokum. III.2 Bahan atau Materi Penelitian Penelitian ini memelurkan bahan atau materi yang dijadikan sebagai sumber data, baik bahan hokum primer ataupun bahan hokum sekunder. Untuk keperluan data primer diperlukan penelitian lapangan melalui penelitian di LBH APIK di Sumatera Utara. REsponden diambil dari klien LBH-APIK yang membawa kasusnya ke penyelesaian pidana dalam kurun waktu tahun 2007, respon yang diwawancarai hanya 4 orang. Sedikitnya jumlah responden yang diwawancarai karena dalam kenyataan hanya sedikit perempuan korban kekersan yang membawa kasusnya ke pengadilan untuk diproses scara pidana meskipun yang mengadukan kasusnya berjumlah ratusan orang.
III.3 Alat Pengumpulan Data Alat atau bahan pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua bagian yaitu sekunder dan primer. Pararel dengan itu diperlukan pula dua jenis data yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder dengan studi kepeustakaan atas bahanbahan hukum seperti bahan hokum primer (bahan hokum yang bersifat mengikat). Seperti Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, KUH Pidana dan undang-uandang perkawinan. Bahan hokum sekunder yaitu bahan hokum yang member penjelasan mengenai bahan hokum primer, seperti putusan pengadilan, data-data dari LBH-APIK Sumatera Utara, data di Kepolisian (Poltabes Medan), penelitian terdahulu, kliping Koran dan literature lain yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Bahan hukum tertier yaitu bahan hokum pendukung bahan hokum primer dan sekunder berupa kamus dan ensiklopedia. Akan tetapi untuk melengkapi dan memperjelas diperlukan alat peneliti yaitu daftar pertanyaan yang disusun secara terstruktur dan jalannya peneliti dilakukan dengan wawancara secara lisan denagn nara sumber dan wawancara menggunakan daftar pertanyaan tertulis kepada responden. III. 4 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada wilayah kota Medan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara. Terdapat beberapa alasan mengapa kota Medan dijadikan sebagai lokasi penelitian antara lain : 1. Mengingat jumlah penduduk Kota Medan yang cukup padat, yaitu terdiri dari 1.027.807 orang laki-laki dan 1.039.681 orang perempuan dengan total rumah tangga mencapai 465.218 rumah tangga (Data BPS tahun 2006). 2. Kota Medan merupakan kota yang dihuni oleh penduduk yang heterogen yaitu terdiri dari berbagai etnis sehingga diprediksi angka kekerasan dalam rumah tangga akan sangat tinggi, sebab berbagai perilaku manusia dari berbagai suku dan etnis ada di kota Meadan. 3. Para peneliti tinggal dan bermukim di kota Medan, sehingga dengan demikian akan sangat memudahkan dilaksanakannya kegiatan peneliti ini, karena disamping merupakan daerah tempat tinggal peneliti, juga para peneliti sudah mengenal dan memahami lebih jauh akan kondisi kota Medan.
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL
IV.I Penyelesaian Hukum Yang Ditempuh Korban kekerasan dalam Rumah tangga IV.1.A Penyelesaian kekerasan Dalam Rumah Tnagga Pada bab sebelumnya telah diuraikan tentang makna/deenisi kekerasan yang mempunyai arti yang berbeda-beda, dan oleh karma itu bentuk-bentuk kekerasan menjadi berbeda-beda antara satusama lain. Dari sekian bentuk kejahatan atau kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun dari poltabes Medan dari tahun 2006-2008 dapat diuraikan sebagai berikut :
Tabel I No. 1.
Keterangan Kejahatan seksual,
2006 147
Tahun 2007 203
2008 226
88
190
192
3
1
5
394
423
perkosaan, perbuatan cabul/pelecehan 2.
Kekerasan dalam rumah tangga
3.
Perdagangan perempuan (hukan trafficking)
Jumlah 238 Sumber : Unit PPA Sat Reskrim Poltabes Medan
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kasus-kasus kekerasan rumah tangga setiap tahunnya meningkat tajam setiap tahunnya. Menurut kanit PPA Poltabes Medan munculnya kasus kekerasan dalam rumah tangga disebabkan beberapa factor antara lain : Pertengkaran, minuman keras (Miras), ekonomi, perselingkuhan, masalah mendidik anak, suami tidak betah dirumah, serta istri kurang merawat diri, sedangkan timbulnya kasus asusila adalah disebabkan factor situs/film porno, miras materialism korban lelaki hidung belang, penginapan/kafe-kafe, serta pergaulan bebas sementara itu untuk kasus hum,an trafficking factor penyebabnya mencakup rendahnya pendidikan, factor
kemiskinan, mudahnya dibujuk rayu, keluarga berantakan (Broken Home), pengaruh lingkungan serta jaringan pelaku terorganisir. Salah satu kendala penyelesaian dalam rumah tangga melalui institusi polri adalah banyaknya masyarakat ksnya kaum perempuan tidak mengetahui sebuah institusi polri dapat menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat diatasi. Menurut direktur LBH Asosiasi perempuan Indonesia untuk keadilan (APIK) sumut bahwa tahun 2007 sebanyak 2007 sebanyak 1.146 Perempuan mengalami kekerasan dengan berbagai bentuk kekerasan antara lain : kekerasan dalam rumah tangga, kejahatan seksualitas, pembunuhan, penganiayaan, Human Traffiking. Jika diperhatikan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani institusi polri dan LBH APIK terjadi perbedaan tajam sekali adalah akibat ketidak tahuan perempuan bahwa institusi polri dapat menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Untuk mengetahui bagaimana proses atau kemauan seseorang perempuan korban kekerasan melaporkannya ke aparat hokum hingga berlanjut ke pengadilan pidana, maka dalam bagian ini disampaikan 4 kasus berkaiatan dengan kekerasan rumah tangga di pengadilan Negeri Medan yaitu tahun 2007 sampai dengan tahun 2008. 1. Kasus nomor : 902/pid.B/2007/PN-Medan a. Duduk Perkara Candra gunawan alias acan, umur 22 tahun tempat lahir Medan, tempat tinggal JL. KL. Yos Sudarso Gg. Famili, Agama Islam, kebangsaan Indonesia, pekerjan karyawan swasta, pendidikan SLTA bahwa pada hari senin tanggal 22 Desember 2006 sekitar pukul 11.00 yang masih termasuk dalam wilayah hokum pengadilan Negeri Medan, melakukan perbatan fisik dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a yakni terhadap saksi korban yakni Mayasari. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut : Pada hari senin tanggal 25 Desember 2006 sekitar pukul 11.00 wib ketika saksi korban dan terdakwa sedang berada ditempat tidur didalam kamar. Kemudian sanksi korban bertanya tentang Hnad phone yang dijual terdakwa, akan tetapi terdakwa malah marah terhadap sanksi korban dan mengatakan agar sanksi korban terjadi pertengkaran mulut dan saat posisi berhadapan ditempat tidur dengan jarak lebih kurang 30 cm, terdakwa menampar pipi korban, menumbuk rahang kiri saksi korban sebanyak 1 kali dengan menggunakan tangannya. Akibat perbuatan terdakwa sanski korban mengalami luka memar dipipi kiri bawah 2x2 cm. Sesuai dengan visum et repertum No. 010/V/RSU/BS/2007 tanggal 25 desember 2006 ditanda tangani oleh Dr. Dian dari RSU Bina Sejahtera dengan kesimpulan luka memar tersebut akibat benda tumpul. b. Tuntutan jaksa Tuntutan dari penuntut umum pada kejaksaan negeri Medan adalah sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa Candra Gunawan alas an bersalah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagai mana diatur dan diancam dapal pasal 5 huruf adipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000 9lima belas juta rupiah) 2. Menyatakan bahwa terdakwa Chandra Gunawan alasan terbukti berslah secara sah tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga sebagai mana diatur dalam pasal 44 (1) UU No. 23 tahun 2004. 3. Agar menjatuhkan pidana terhadap Chandra Gunawan alas an dengan pidana selama 1 tahun 8 bulan penjara potong tahanan. 4. Menetapkan supaya terdakwa dibebankan membayar biaya perkara Rp. 1.000 c.
Pertimbangan Hakim 1. Menimbang bahwa atas tuntutan pidana tersebut, terdakwa mengajukan permohonan yang pada pokoknya mohon agar dijatuhkan hukuman yang seringan-ringanya. 2. Menimbang bahwa terdakwa didakwakan penuntut umum berdasarkan sundakwaan tanggal 8 maret 2007 No. 135/Rp.9/ep.1/02/2007 3. Menimbang bahwa untuk menguatkan dakwaan tersebut penuntut umum telah menguatkan saksi-saksi yaitu : - Yuni - Mayasari - Lena - Iriani Saksi-saksi tersebut memberikan keterangan dibawah sumpah yang pada pokoknya sama dengan BAP 4. Mebimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti, majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang memenuhi semua unsure pasal 44 (1) UU no.23 tahun 2004 5. Menimbang bahwa oleh karena itu terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan oleh karena itu harus dijatuhi pidana 6. Menimbang bahwa majelis hakim dalam persidangan tidak menemukan alasan pemaaf atau alasan pembenaran dan terdakwa dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan oleh karena terdakwa harus dijatuhi pidana 7. Menimbang bahwa mengenai barang barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum dipersidangan akan ditetapkan dalam amar putusan 8. Menimbang bahwa oleh karena itu terdakwa dinyatakan bersalah maka dinyatakan membayar uang perkara. 9. Yang meringankan - Terdakwa belum pernah dihukum - Terdakwa mengaku tersu terang perbuatannya dan merasa menyesal - Terdakwa berlaku sopan dipersidangan - Terdakwa telah berdamai dengan sanksi korban
d. Putusan Hakim 1. Menyatakan bahwa terdakwa Chandra Gunawan alasan tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara 1 (satu) tahun 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan 4. Menetapkan terdakwa ditahan 5. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah) e. Pemabahasan Kasus Kekerasan yang dialami korban adalah kekerasan bersifat emosional/psycologis karena korban dan suami korban sering bertengkar hanya karena masalah sepele dan suami korban sering melakukan penganiayaan terhadap korban suami korban pun pernah meninggalkan korban ketika korban hamil 7 bulan dan setelah anaknya lahir setelah berumur 7,5 bulan korban suami korban rujuk kembali dengan perjanjian korban tidak lagi melakukan penganiayaan. Berdasarkan Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tindakan pelaku terhadap korban adalah kekerasan fisik. Dalam pasal 44 ayat 1 undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, seseorang yang melakukan kekerasan fisik dapat dipidana 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah). Menurut penulis seharusnya ancaman yang diberikan harus lebih tinggi guna memberikan efek jera kepada pelaku. 2. Kasus Nomor : 1.308/Pid.B/2007/PN Medan a. Duduk perkara Harapan Erwin Batubara, umur 41 tahun, tempat lahir Balige, tempat tinggal jati 3 Gg. Srikandi Medan, Agama Kristen, kebangsaan Indonesia, pekerjaan tidak ada. Bahwa pada hari sabtu 17 Februari 2007, sekira pukul 8.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Februari 2007 bertempat di Jl. Jati 3 Gg. Srikandi Medan atau setidaknya dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dengan cara, pada hari sabtu 17 Februari 2007 pada saat terdakwa ada dlam rumah, saksi korban Elva Tampubolon (Istri Harapan Batubara, terdakwa) menyuruh terdakwa mencari pekerjaan namun tiba-tiba saja terdakwa marah, sehingga antara terdakwa saksi korban terjadi pertengkaran mulut, kemudian terdakwa mengambil cangkir yang terbuat dari perak yang terletak diatas bofet, lalu terdakwa melakukan perbuatan kekerasan fisik terhadap istrinya dengan cara memukulkan cangkir tersebut kekepala korban sebanyak 1 (satu) kali, sehingga saksi korban mengalami sakit dan luka sehingga mengeluarkan darah, sesuai dengan hasil Fisum Et Repertum. Luka Robek pada pertengahan kepala dan sudah dijahit 2 jahitan. Akibat perbuatan tersebut terjadi dengan paksa keras dan benda tumpul dan Qs dapat melakukan
pekerjaan sehari-hari sebagaimana tertuang dalam pasal 89 dan pasal 90 KUHP. KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga dan rumusan atau ketentuan pasal-pasalnya belum menjalankan bentuk-bentuk kekerasan selain kekearasan fisik, seperti emosional atau kekerasan psicologis, ekonomi dan seksual. Akibatnya pasal yang digunakan juga terbatas. Istilah kekrasan dalam rumah tangga tidak dikenal dalam KUHP karena masyarakat selalu menanamkan harmonisasi dalam keluarga sehingga tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga dipandang sebagai masalah domestic atau privat. b. Tuntutan Jaksa Tuntutan dari penuntut umum pada kejaksaan negeri medan adalah seabgai berikut : - Menyatakan terdakwa Harapan Erwin Batubara telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana di atur dan di ancam pidana dalam pasal 44 ayat (1) UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. - Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Harapan Erwin batubara dengan pidana penjara selama 5 ( lima ) bulan penjara dengan perintah Terdakwa tetap di tahan. - Menyatakan barang bukti berupa : 1 ( satu ) buah cangkir terbuat dari perak, di rampas untuk di musnahkan. - Menyatakan agar terdakwa di bebani untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp.1000 ( seribu rupiah ) c. Pertimbangan hakim - Bahwa terdakwa melalui nota pembelaan mengakui terus terang perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi dan memohon hukuman yang seringan ringannya. - Bahwa menimbang dakwaan penuntut umum ter dakwa telah di dakwa melanggar pasal 44 ayat (1) No.23 thn 2004. - Menimbang bahwa keterangan yang telah didengar dari saksi saksi yang telah di sumpah dan para saksi membenarkan keterangan yang telah diberikan kepada penyidik didepan persidangan sebagaimana diuraikan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya. - Menimbang bahwa dipersidangan terdakwa telah memberikan keterangan keseluruhan para saksi dan membenarkan telah melakukan suatu tindakan pidana sebagaimana diuraikan didalam surat dakwaan oleh penuntut umum. - Menimbang bahwa dari keterangan saksi-saksi dan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti, majelis hakim telah menemukan adanya fakta-fakta yudiris yaitu adanya persesuaian antara keterangan saksi saksi dan keterangan terdakwa yang telah terjadi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. - Menimbang bahwa majelis hakim berdasarkan pertimbangan hokum,maka terdakwa teelah terbuki secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan pertama, melanggar pasal 44 ayat (satu) UU No.23 tahun 2004 dan oleh karenanya tidak ada alasan pemaaf dan pembenaran daloam perbuatan terdakwa serta terdakwa dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang telah dilakukannya. Maka terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dwengan perbuatannya yang telah dilakukannya. - Hal-hal yang memberatkan Perbuatan terdakwa dapat meresahkan masyarakat - Hal-hal yang meringankan Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya. Terdakwa belum pernah dihukum. d. Putusan Hakim - Menyatakan terdakwa harapan Erwin Batubara telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. - Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. - Memerintahkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hokum yang telah dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. - Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan. - Memerintahkan agar barang bukti berupa: 1 (satu) buah cangkir terbuat dari perak dirampas untuk dimusnahkan. - Membebani terdakwa dengan biaya perkara sejumlah Rp.1000. e. Pembahasan kasus Jenis kekerasan yang dialami korban adalah kekerasan secara ekonomi dan fisik.Meski kekerasan secara ekonomi tidak terungkap secara jelas tetapi berdasarkan pengakuan terdakwa bahwa ia melakukan kekerasan fisik karena terdakwa jengkel kepada istri karena jengkel terdakwa diminta oleh korban untuk meminjam uang kepada keluarganya untuk membeli beca sehingga membuat ia marah. Hal ini telah mengindikasikan adanya kebutuhanekonomi yang tidak terpenuhi. Masyarakat pada umumnya berpendapat bahwa tanggung jawab suami didalam keluarga adalah mencari nafkah untuk keluarganya meski tidakn selalu suami bertindak sebagai kepala keluarga yang juga mencari nafkah atau penopang utama kehidupan keluarganya. Persoalan ekonomi yang telah berlangsung lama dan memuncak dengan tindakan fisik kepada korban. Konisi instabilitas dalam rumah tangga rupanya menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa budaya kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk fisik rupanya menjadi penyelesaian yang paling mudah dipilih oleh pelaku yang menyebabkan istri mengalami luka-luka. 3. Kasus nomor : 1947/Pid.b/2007/PN-Medan a. Duduk perkara Tarzi nasution, lahir di padang, umur 24 tahun, jenis kelaminm laki-laki, kebangsaan Indonesia,agama islam,,pendidikan SMP, pada hari minggu
tanggal 4 februari 2007,jam 15.00 WIB bertempat dijalan Chaidir Blok J No.53 Kp. Nelayan indah, kecamatan Medan Labuhan yang merupakan wilayah hokum Pengadilan Negeri Medan , telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri bernama Ika yang dilakukan dengan cara berikut: Ketika terdakwa baru pulang dari melaut pada hari, tanggal 4 februari 2007, terdakwa lalu makan dan selanjutnya berbincang-bincang itu terdakwa lalu menanyakan keada saksi korban apakah saksi korban sering meninggalkan anak-anak dengan berpergian dengan laki-laki lain, lalu terdakwa terus mendesak saksi korban sehingga saksi korban mengaku bahwa dengan mengatakan “saya tidak ada berjalan dengan laki-laki lain”, yang ada saya berjalan dengan kaki ka yang bekerja dicafe dengan tujuan saya berjalan dengan kaki ka untuk mencari pekerjaan.” Karena jawaban saksi korban tidak memuaskan terdakwa, terdakwa kemudian emosi kemudian menendang paha saksi korban sebanyak 2(dua) kali dengan mempergunakan kaki kanan terdakwa, lalu saksi korban saksi meninggalkan terdakwa dan mengajukan kejadian tersebut kerumah orang tuanya dan tak lama kemudian datang beberapa orang tetangga diantaranya saksi Iskandar alias His dan saksi Juliana Rohi Aalias juli bersama-sama dengan ibu korban mala lalu ibu saksi korban bertanya kepada terdakwa : “apa yang terjadi sebetulnya, kok sering kali kalian bertengkar” lalu dijawab oleh terdakwa :’ ibu sendirian tau bagaimana tingkah laku si Yunita (saksi korban)’, namun ibu saksi korban diam saja selanjutnya terdakwa pergi masuk kedalam rumah bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi korban mengalami luka memar pada paha sesuai dengan VER No. 020/V/RSUBS/02/2007 tanggal 5 februari 2007 yang ditandatangani oleh Dr. Ridwan dokter rumah sakit Bina sehjahtera labuhan. Dalam dakwaan jaksa terdakwa didakwa melanggar pasal 44 (1) UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga 9dakwaan kesatu) sedangkan dalam dakwaan kedua terdakwa didakwa melanggar pasal 356 ke (1) KUHP. b. Tuntutan Jaksa Tuntutan dari penuntut umum pada kejaksaan Negeri Belawan adalah sebagai berikut : - Menyatakan terdakwa Tazri Nasution terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ kekerasan fisik dalam rumah tangga “sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 44 (1) UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. - Menjatuhkan pidana terdakwa pidana penjara 1 (satu) tahun 10 bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan. - Menyatakan dan menetapkan agar terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 1000 (seribu rupiah) c. Pertimbangan Hakim Menimbang bahwa dari keterangan para saksi yang pada pokoknya dibenarkan oleh terdakwa sehingga memberatkan terdakwa sehingga memberatkan terdakwa dihubungkan dengan keterangan terdakwa yang secara terus menerus akan diperbuatannya dihubungkan lagi dengan visum
et repertum juga yang dibenarkan oleh terdakwa telah melakukan tindak pidana yang memenuhi unsure pasal 44 (1) UU No. 23 tahun 2004. - Yang memberatkan : Perbuatan terdakwa mengakibatkan saksi korban Yunita terluka - Yang meringankan Terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi Terdakwa belum pernah dihukum Dalam persidangan saksi korban telah memaafkan terdakwa sebagai suaminya. d. Putusan Hkaim - Menyatakan terdakwa Tazri Nasution telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “kekerasan dalam rumah tangga” - Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara 1 (satu) tahun - Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan - Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah) e. Pembahasan Kasus Dalam kasus ini yang menonjol adalah kekearsan fisik dan psikologis yang dilakukan oleh terdakwa sebagai tindakan menendang paha istri dengan kaki terdakwa sehingga menimbulkan luka memar. Alasan terjadinya percekcokan adalah karena terdakwa mendengar bahwa saksi korban yaitu istri terdakwa selingkuh dengan pria lain, terdakwa akhirnya emosional sehingga melakukan kekerasan fisik. Namun dalam pertimbangan hakim persoalan perselingkuhan tidak disinggung oleh hakim. 4. Kasus Nomor : 1720/Pid.b/2007/PN-Medan a. Duduk Perkara Terdakwa tumpal Purba jenis kelamin laki-laki lahir di Medan 36 tahun agama Kristen, tempat tinggal jalan tuamang Nomor 210 A Medan Kel. Siderejo Hilir Kecamatan Medan Tembung pekerjaan Karyawan swasta. Dakwaaan Pertama : - Bahwa ia terdakwa Tumpal purba pada hari senin tanggal 06 Nopember 2006 sekira pukul 17.30 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dibulan Nopember 2006 bertempat di jalan Tuamang No. 210 A Medan Kel. Siderejo Hilir Kec Medan Tembung atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, perbuatan mana dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut : - Bahwa berawal pada tanggal 3 juli 1999 terdakwa dengan saksi korban Julita Br. Simbolon menikah 2 (dua) tahun yang lalu terjadi pertengkaran antara saksi korban dengan terdakwa sehingga terdakwa tidak lagi tinggal serumah dengan saksi korban. Kemudian kira-kira bulan September 2006 terdakwa menjemput anak-anak terdakwa dari saksi korban yang selama ini tinggal bersama saksi korban untuk tinggal bersama terdakwa dirumah orang tua terdakwa yang terletak
-
-
dijalan Tuamang No. 210 A Medan Kel. Sidorejo Hilir Kec. Medan Tembung. Lalu saksi korban mendengar bahwa anak saksi korban sedang sakit kemudian pada hari senin tanggal 06 Nopember 2006 sekira pada pukul 17.30 Wib saksi korban mendatangi rumah orang tua terdakwa dan diruang tamu rumah tersebut saksi korban bertemu dengan terdakwa yang baru pulang dari pesta dengan membawa anak terdakwa dan saksi korban yang sedang sakit. Lalu saksi korban bertemu dengan anak terdakwa dan saksi korban yang sedang sakit. Lalu saksi korban akan membawa anak mereka dengan maksud untuk dibawa berobat akan tetapi terdakwa tidak mengijinkan sehingga terjadi pertengkaran mulut antara terdakwa dengan saksi korban. Kemudian terdakwa mendekati saksi korban dan angsung memukul berulang kali kearah kepala dan badan saksi korban dengan menggunakan kedua tangannya sehingga saksi korban menjerit kesakitan lalu terdakwa menendang badan saksi korban dipintu depan sehingga saksi korban keluar teras rumah akibat perbuatan terdakwa maka saksi korban mengalami bengkak dibagian kepala belakang dengan ukuran 3 x 3cm dan bengkak didahi kiri dengan ukuran 3 x 3 sesuai dengan surat Visum Et Repertum No. 17/LPV/11/2006 yang dikeluarkan oleh rumah sakit umum “ Martondi” yang ditanda tangani oleh Dr. Lusi N. Nst Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam pasal 44 ayat (1) UU No. 23 tahun 2004 tentang pengahpusan kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa ia terdakwa tumpal purba pada hari senin tanggal 06 Nopember 2006 sekira pukul 17.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dibulan Nopember 2006 bertempat di jalan Tuamang No. 210 A Medan Kel. Sidorejo Hilir Kec. Medan Tembung atau setidak-tidaknyatidaknya pada tempat lain yang termasuk dalam daerah hokum Pengadilan Negeri Medan dengan sengaja melakukan penganiayaan terhadap saksi korban julita Br. Simbolon perbuatan dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut : Bahwa pada hari senin pada tanggal 06 Nopember 2006 sekira pukul 17.30 wib saksi korban mendatangi rumah orang tua terdakwa dan diruang tamu tersebut saksi korabn bertemu dengan terdakwa yang baru pulang adri pesta dengan membawa anak terdakwa dan saksi korban yang sedang sakit. Lalu saksi korban akan membawa anak terdakwa dengan maksud untuk dibawa berobat akan tetapi terdakwa tidak mengizinkan sehingga terjadi pertengkaran mulut antara terdakwa dengan saksi korban.kemudian terdakwa mendekati saksi korban dan langsung memukul berulang kali kearah kepala dan badan saksi korban dengan menggunakan kedua tangannya sehingga saksi korban menjerit kesakitan lalu terdakwa menendang badan saksi korban di depan pintu sehingga saksi korban keluar keteras rumah.Akibat perbuatan terdakwa maka saksin korban mengalami bengkak kepala dibagian belakang dengan ukuran 3x 3cm dan bengkak didahi kiri dengan ukuran 3x3 cm sesuai dengan surat Visum Et Repertum No.:17/LPV/XI/2006 tanggal 6 november 2006 yang dikeluarkan oleh rumah sakit umum “ Martondi “ yang ditanda tangani oleh Dr.Lusi N,nst.
-
b.
c. d.
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam dalam pasal 351 ayat ( 1 ) KUHP. Tuntutan jaksa - Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tinda pidana”melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga” menurut pasal 44 ( 1) No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dalam dakwaan pertama. - Menghukum terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000 ( satu juta rupiah ) subsidair 1 ( satu ) bulan kurungan. - Menetapkan barang bukti nihil. - Menghukum terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 500 ( lima ratus rupiah ). Keterangan saksi dan terdakwa Para saksi berjumlah 4 orang menerangkan sesuai dengan BAP polisi. Keterangan terdakwa - Bahwa benar pada tanggal 3 juli 1999 terdakwa dengan saksi korban julita Br. Simbolon menikah dan 2 ( dua ) tahun yang lalu terjadi pertengkaran antara terdakwa dengan saksi korban julita Br. Simbolon ( istri terdakwa ) sehingga terdakwa dengan saksi korban tidak tinggal serumah lagi. Lalu saksi korban mendengar bahwa anak saksi korban sedang sakit dirumah orang tua terdakwa yang terletak di jalan tuamang No. 210 A Medan Kel. Sidorejo Hilir Kec.Medan Tembung. - Bahwa benar kemudian di hari senin tanggal 06 Nopember 2006 sekira pukul 17.30 wib saksi korban mendatangi rumah orang tua terdakwa untuk membawa anak mereka dengan amksud berobat akan tetapi terdakwa tidak mengizinkan sehingga terjadi pertengkaran mulut antara tidak mengizinkan sehingga terjadi pertengkaran mulut antara terdakwa dengan saksi korban - Bahwa benar kemudian terdakwa mendekati saksi korban dan langsung memukul berulang kali kearah kepala dan badan saksi korban dengan menggunakan kedua tangannya hingga saksi korban menjerit kesakitan lalu terdakwa menendang badan saksi korban dipintu depan sehingga saksi korban keluar keteras rumah. e. Pertimbangan Hakim - Menimbang bahwa dari keterangan masing-maisng saksi dibawah sumpah yang pada pokoknya hamper sama dalam keterangan berita acara dan keterangan terdakwa dan dihubungkan barang bukti, majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsure pasal 44 (1) UU No. 23 tahun 2004. - Menimbang bahwa oleh karena itu terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, dan oleh karenanya harus dijatuhi pidana - Yang memberatkan Akibat perbuatan terdakwa terhadap saksi korban - Yang meringankan : Akibat perbuatan terdakwa terhadap saksi korban Terdakwa telah melakukan perdamaian dengan saksi korban Terdakwa sopan dalam persidangan
f. Putusan Hakim - Menyatakan terdakwa tumpal purba telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga.” - Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti denagn pidana kurungan selama I (satu) bulan - Memerintahkan barang bukti berupa Nihil - Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa Rp. 500 (lima ratus rupiah) g. Analisa Kasus Kekerasan yang dialami korban adalah kekerasan yang bersifat emosi/psikologis karena suami korban (terdakwa) selama 2 tahun yang lalu tidak serumah lagi dengan korban. Selanjutnya kira-kira bulan September 2006 suami korban atau terdakwa menjemput 2 orang anaknya yang selama itu tinggal dengan korban. Saksi korban mencoba mendatangi anaknya karena saksi korban mendengar anaknya sakit dan ingin membawanya. Melihat alasan suami korban (terdakwa) melakukan pemukulan merasa suami korban tidak bertanggung jawab kepada anak-anaknya yang sudah tentu munculnya kemarahan kepada saksi korban. Selain itu juga budaya patriarki atau ideology gender yang melekat pada pola piker pelaku menyebabkan yang bersangkutan tersinggung dan merasa direndahkan. Apabila dilihat dari putusan hakim yang hanya menjtuhkan hukuman pidana denda sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dengan ketentuan jika tidak dibayar denda harus diganti kurungan selama 1 (satu) bulan kurungan adalah tidak adil. Dalam membuat putusannya hakim tidak mempertimbangkan bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat. Hal ini tidak sesuai dengan sifat dari hukuman pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum dari perbuatan terdakwa. Kemudian, pertimbangan bahwa terdakwa seharusnya melindungi istrinya dapat dikategorikan kedalam pertimbangan yang bersifat perdata karena yang memicu peristiwa tersebut adalah dikarenakan kedua-duanya yaitu terdakwa dan saksi korban tidak saling menghormati kedudukannya sebagai suami dan istri.
IV.2 Faktor-faktor pendukung dan penghambat penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga melalui jalur hukuman pidana Berdasarkan putusan pengadilan maupun hasil wawancara dengan LBHAPIK Sumatera Utara dapat diketahui bahwa factor-faktor yang mendukung dan menghambat diselesaikannya kasus kekerasan rumah tangga melalui jalur hukum pidana seabgai berikut : 1.
Faktor pendukung yang utama untuk membawa dan menyelesaikan kasus rumah tangga melalui hukum pidana adalah korban sndiri. Korban yang
2. 3.
4.
5.
sudah menyadari bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa dirinya adalah suatu hal yang benar. Korban harus menyadari bahwa ia memiliki hak not to be abused. kekerasan demikian pada hakikatnya menghina harkat dan amrtabatnya sebagai perempuan sehingga korban punya hak untuk mengubah situasi, selain itu kesadaran dari korban punya hak asasi yang memudahkan korban untuk melaporkan kekerasan yang terjadi kepada pihak yang berwenang, seperti ketua RT/RW, atasan atau polisi langkah korban untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang akan semakin mudah apabila di dukung oleh keluarga dekatnya misalnya ayah,ibu dan saudara dan masyarakat baik secara perorangan maupun lembaga. Hak-hak korban yang demikian juga dijamin dalam undang undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang di aur dalam pasal 10 yang menentukan bahwa korban berhak mendapat perlindungan dari pihak keluarga,kepolisian,kejaksaan,pengadilan/advokat lembaga social,atau oihak lainnya. Baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Selain itu juga tindakan dengan mengantarkan korban ke rumah sakit atau mengantar ke polisi, membantu memanggil pelaku untuk mencari penyelesaian,member dukungan dana untuk meringankan beban nafkah,pendampingan selama proses hukum ditingkat kepolisian,kejaksaan dan di pengadilan sangat membantu korban yang melaporkan kasusnya keaparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasusnya melalui pengadilan pidana. Faktor penghambat yang berasal dari korban sendiri antara lain seperti korban tidak tega melihat suaminya ditahan tidak ada lagi pencari nafkah,menjaga nam suami/keluarga ataupun menjaga perasaan anak anak . Faktor penghambat yang datang dari masyarakat itu sendiri yang sering menyalahkan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan dan menuduh korban yang melaporkan suami sendiri kepada polisi. Kondisi ini sudah tentu tak mendukung dan sering kali menyebabkan korban kemudian mencabut laporannya. Faktor penghambat yang datang dari penegak hukum seperti polisi yang dinilai kurang serius memperhatikan kasus-kasus dengan korban perempuan Aparat kepolisian serig memiliki persepsi yang cenderung menyalahkan korban ketika terjadi kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Persepsi demikian juga terjadi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, perempuan lebih sering disalahkan sebagai penyebab suaminya melakukan kekearsan. Akan tetapi dalam perkembangannya dewasa ini telah ada kemajuan dari pihak kepolisian untuk lebih aktif dalam menangani korban kekerasan, selain itu juga ditandai dengan adanya ruang pelayanan khusus (RPK) dan pusat pelayanan terpadu (PPT) di rumah sakit polri menunjukkan adanya kepedulian pemerintah dalam melayani dan menangani korban kekerasan yang berbasis gender. Factor penghambat yang datang dari aparat penegak hukum yang lain yaitu jaksa penuntut umum dan hakim yang masih memandang bahwa penganiayaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri berbeda dengan penganiayaan yang dilakukan oleh orang terhadap orang lain yang tidak mempunyai hubungan suami istri. Perbedaan yang dimaksud karena jaksa penuntut umum dan hakim melihat bahwa diantara suami istri tersebut
ternyata masih ada rasa saying sehingga menimbulkan anggapan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya tidak dilauakn sungguh-sungguh, berbeda dengan penganiayaan oleh orang lain yang benarbenar dilandasi rasa benci dan keinginan untuk menyakiti atau membunuh.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
V. A Kesimpulan Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah : 1. Bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditandatangani institusi polri dan LBH APIK terjadi perbedaan yang tajam sekali. Hal ini disebabkan ketidaktahuan perempuan memiliki kemauan untuk menyelesaikan kasus kekerasan yang dihadapinya melalaui jalur pidana. 2. Bahwa factor pendukung dan penghambat penyelesaian kasus kekearsan dalam rumah tangga melalui hukum pidana adalah : a. Faktor kemauan dari korban sendiri b. Factor yang datang dari masyarakat c. Factor yang datang dari penegak hukum seperti polisi d. Factor yang datang dari aparat penegak hukum seperti jaksa dan hakim V.B Saran-saran 1. Agar UU kekerasan dalam rumah tangga lebih disosialisasikan lagi terhadap perempuan dan laki-laki sehingga semakin menimbulkan kesadaran untuk saling menghormati hak asasi masing-masing. 2. Agar pendidikan keberpihakan gender sudah dimulai sejak anak-anak masih dini dengan memasukkan kurikulum yang berbasis gender ke buku-buku pelajaran.