JUDUL ARTIKEL PENGEMBANGAN METODE PENINGKATAN CITA RASA DAN KANDUNGAN ANTIOKSIDAN KATEKIN PADA BUBUK KAKAO UNTUK MENGEMBANGKAN KAKAO SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL DAN MENUJU INDUSTRI KAKAO UNGGUL DI SULAWESI TENGGARA Tamrin1), Sri Wahyuni1), dan Saefudin 1
Program Studi .Teknologi Pangan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo Jln. H.E.A. Mokodompit Kampus Bumi Tri Dharma Kendari Sulawesi Tenggara e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Tujuan jangka pendek dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh perlakuan enzim endojinus poligalakturonase pada pulp biji kakao terhadap peningkatan kualitas biji kakao untuk memacu reaksi kimia dan biokimia dalam keping biji untuk pembentukan prekursor cita rasa dan warna coklat, serta kandungan antioksidan katekin. Tujuan selanjutnya adalah mengabungkan metode pengolahan biji kakao dengan cara penyanggraian vakum untuk memperoleh bubuk kakao yang memiliki cita rasa yang lebih baik dengan kandungan antioksidan katekin tinggi. Target akhir penelitian ini akan dihasilkan produk bubuk kakao kaya antioksidan katekin yang bermanfaat sebagai pangan fungsional dengan jenis kemasan yang mampu mempertahankan mutu cita rasa dan kandungan antioksidan katekin selama penyimpanan serta informasi daya simpan produk. Selanjutnya tujuan jangka panjang yaitu hasil penelitian dapat diadopsi untuk pengembangan industri bubuk kakao. Tahapan awal penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi karakterisasi enzim yang berkaitan dengan suhu dan pH optimum untuk mengembangkan inovasi proses fermentasi pada pengolahan kakao. Kegiatan karakterisasi enzim endojinus dalam pulp biji kakao berkaitan dengan proses fermentasi dan peningkatan mutu. Enzim ini bekerja utk membantu reaksi kimia dan biokimia pada keping biji untuk pembentukan prekursor cita rasa dan warna coklat. S e l a n j u t n y a dilakukan kajian evaluasi mutu cita rasa dan kandungan antioksidan katekin menggunakan spectrophotometer (dengan kurva standar katekin) dan LC-MS serta uji organoleptik. Kegiatan kombinasi perlakuan enzimatik dan metode penyangraian vakum yang rencana kegiatannya pada tahun kedua, telah dapat dilaksanakan pada tahun pertama, namun beberapa analisis seperti aktivitas antioksidan, analisis katekin (lanjutan) belum sempat dilakukan. Pada tahun pertama juga sudah dihasilkan produk bubuk kakao dan panduan proses pengolahannya tetapi belum diujicobakan pada UKM Mitra karena hasil evaluasi kegiatan, penelitian tidak didanai lagi pada tahun kedua dan ketiga. Oleh karena itu, target tahun kedua dan ketiga serta potensi pertambahan nilai ekonomi dan peluang terbentuknya industri pengolahan kakao unggul di Sulawesi Tenggara belum dapat dijelaskan pada tulisan ini. Kata Kunci : Bubuk, kakao, enzim, endojinus, katekin, pangan fungsional
I.
dimulai
PENDAHULUAN Komoditas
kakao
telah
terbukti
memberikan sumbangan devisa yang besar 1 (Anonim ,
kepada Negara
2013).
Secara
nasional kakao telah menghasilkan devisa terbesar ketiga setelah kelapa sawit dan karet. Devisa dari kakao pada tahun 2009 mencapai
dengan
tidak
tepatnya
metode
fermentasi sehingga menyebabkan kurang tereksplosnya cita rasa dan
warna
coklat,
serta kehilangan antioksidan katekin yang merupakan sumber antioksidan unik dari biji coklat, kehilangan kandungan antioksidan katekin pada bubuk kakao yang hanya tersisa
USD 1,38 miliar (berasal dari biji dan kakao
1-2% saja (Hannum dan Erdman, 2004).
olahan). Biji kakao olahan menghasilkan
Penyelesaian masalah tersebut dengan produk
cocoa butter
iptek diharapkan menjadi keluaran riset ini
(lemak
kakao) dan cocoa sangat
dan kontribusi ilmiah dari hasil penelitian ini
dibutuhkan oleh masyarakat dunia terutama
dapat mengembangkan teknologi pasca panen
di Amerika dan Eropa, dengan permintaan
biji kakao menuju industri unggul kakao di
kakao
Indonesia.
powder
(bubuk
kakao)
yang
mencapai 2,5 juta ton per tahun.
Indonesia memasok 13.6% biji kakao dunia Produksi
(Anonim2, 2013).
biji
kakao
Sulawesi
Tenggara seluruhnya dijual dalam bentuk Provinsi
Sulawesi
Tenggara
merupakan salah satu sub koridor ekonomi dari MP3EI, yang fokusnya ditujukan pada peningkatan nilai tambah dari komoditas kakao. Data menunjukkan bahwa propinsi Sulawesi Tenggara termasuk penghasil kakao terbesar ketiga di Indonesia setelah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah yaitu sekitar 17,05% (Goenadi et al., 2005; Anonymous, 2007).
bahan
mentah
teknologi
sehingga
inovasi
mulai
diperlukan dari
metode
fermentasi sampai metode pengolahan untuk meningkatkan
nilai
tambah
biji
kakao
sehingga dapat meningkatkan nilai jual kakao Indonesia
di
penanganan Sulawesi
pasar
pasca Tenggara
Internasional.
panen
Cara
biji kakao
sangat
di
bervariasi.
Fermentasi yang selama ini dilakukan pada biji kakao rata-rata hanya dilakukan selama
Hasil sebagian
produksi
besar
kakao
diekspor
Indonesia
dalam
bentuk
bahan mentah berupa biji kakao kering. Hal ini cukup memprihatinkan karena harga biji kakao
kering
Indonesia
di
pasaran
internasional lebih rendah dibandingkan harga rata-rata kakao dunia dan kadang dikenakan potongan
harga
(Goenadi
et
al., 2005;
Supriyanto et al., 2007). Untuk itu diperlukan peningkatan nilai tambah untuk mempertinggi nilai jual biji kakao Indonesia. Berbagai penanganan
pasca
masalah panen
tentang kakao
yang
dua belum
hari
dalam
memenuhi
yang sesungguhnya,
karung
plastik
dan
standar
fermentasi
khususnya
berkaitan
dengan terbentuknya aroma dan cita rasa terbaik, sehingga harga jual biji kakao yang diterima petani masih sangat rendah. Hasil penelitian Putra (2007) menunjukkan enzim poligalakturonase endojinus dapat diekstrak dari pulp biji kakao sehingga aplikasi selama ini yang dilakukan dalam teknologi fermentasi biji kakao dapat diperbaiki dan dikembangkan melalui aplikasi enzim endojinus dari pulp biji kakao. Namun belum ada laporan hasil penelitian tentang kandungan antioksidan katekin dalam bubuk kakao hasil fermentasi menggunakan enzim endojinus dari pulp biji kakao dan belum adanya penelitian
tentang karakteristik enzim endojinus dari pulp biji kakao yang umumnya dihasilkan dari propinsi Sulawesi Tenggara. Informasi ini penting karena beragamnya jenis varietas kakao yang dibudidayakan petani di Sulawesi Tenggara. Dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa metode penyangraian vakum mampu mencegah kerusakan antioksidan katekin 50% dibandingkan penyangraian tanpa vakum (Tamrin et. al., 2012a, 2012b).
Analisis dan interprestasi data Seluruh data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis menggunakan prosedur statistik (análisis varian dan perbedaan hasil diuji menggunakan Duncan Multiple Range Test pada taraf 5%. III.
HASIL DAN DAMPAK PENELITIAN
Survey lokasi dan pengambilan sampel Survey lokasi
II.
menentukan lokasi pengambilan sampel buah
METODOLOGI
kakao dengan mempertimbangkan ketersediaan
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dimulai bulan Juni 2013 dan berakhir pada bulan Desember 2013. Penelitian dilaksanakan pada sentra produksi kakao
di sub koridor
Tenggara
laboratorium
dan
dimaksudkan untuk
Sulawesi
Kimia
THP
Faperta Unhalu yang direncanakan berlangsung dalam tiga tahap selama tiga tahun. Tahapan dan Luaran penelitian
dan mudah dijangkau.
Karena itu survey
dilakukan di daerah sentra produksi kakao dan diutamakan pada kabupaten terdekat dari kota kendari yaitu Konawe Selatan (Kecamatan Konda) dan Kolaka Timur (Kecamatan Ladongi). Hasil survey dari kedua lokasi tersebut dipilih Kabupaten Konawe Selatan Kecamatan Konda karena memenuhi syarat untuk pengambilan sampel buah kakao. Pemeraman buah dan fermentasi biji kakao tanpa penggunaan Enzim Tahap ini dilakukan untuk mengetahui kondisi awal biji kakao sebelum aplikasi enzim dalam proses fermentasi biji kakao. Pemeraman buah kakao merupakan salah satu tahapan dalam proses pasca panen buah yang bertujuan untuk memudahkan proses pemecahan buah.
Buah
kakao yang dipecahkan tanpa tahap pemeraman menyulitkan Prosedur penelitian Prosedur isolasi dan karakterisasi enzim poligalakturonase mengacu pada metoda Putra (2004), metoda ekstrakai enzim pektolitik (Munoz Barchelo, 1996; Zhou et al., 2000), metode penyangraian vakum dilakukan menurut metoda hasil modifikasi Tamrin (2012). Metoda uji organoleptik bubuk kakao mengacu pada Sukarto (1985), prosedur identifikasi dan penentuan konsentrasi katekin menurut metode yang dilakukan Othman et al., (2010). Prosedur Accelerated Shelf-life Testing (ASLT) mengacu pada metode kurva isotermis (Labuza, 1982).
pelepasan biji dari kulit
Namun pada tahap
buah.
ini juga dapat terjadi
penurunan kadar antioksidan.
Afoakwa et al.,
(2012) melaporkan bahwa proses pemeraman buah
dan
fermentasi
menurunkan
kadar
polifenol, tetapi penurunan tersebut tergantung dari
lama
pemeraman
Penurunan polifenol
dan
kurang dari
fermentasi. 10% jika
pemeraman buah tidak lebih dari 7 hari dan 6 hari fermentasi.
Tetapi jika pemeraman buah
lebih dari 7 hari (dengan lama fermentasi 6 hari) polifenol akan
mengalami penurunan
secara drastis. Aikpokpodion and Dongo (2010) menjelaskan
bahwa
fermentasi
biji
sebaiknya berlangsung 5-7 hari. terjadi pada
pulp
dari
biji
kakao
Fermentasi yang
Konsentrasi substrat dan aktivitas enzim
banyak
Tabel 1. Konsentrasi substrat dan aktivitas enzim PG dari Pulp Buah Kakao pada Berbagai Lama pemeraman
mengandung glukosa, fruktosa, dan sukrosa (total 10-15%) dan pH awal yang relatif rendah (pH = 3,3-4,0).
Khamir
lebih aktif pada
awal
fermentasi (karena kadar gula tinggi, pH rendah dan oksigen yang terbatas) dan etanol dan asam sitrat. Fermentasi akan menghasilkan prekusor aroma, warna dan citarasa. Namun pada saat yang sama akan terjadi penurunan polifenol. Stark et al., (2005) menjelaskan bahwa katekin, epikatekin,
dan
procyanidin,
mengalami
penurunan yang sangat tajam selama proses fermentasi.
Oleh
karena
itu
dilakukan
pemeraman buah kakao dengan perlakuan 3, 5, dan 7 hari serta dilanjutkan dengan perlakuan fermentasi dengan lama fermentasi 3, 5 dan 7 hari.
Saat ini biji kakao tersebut telah
dikeringkan dengan sinar matahari (dengan kadar air sekitar 7 %) dan akan segera dianalisis kadar katekinnya serta beberapa komponen kimia lainnya. Analisis tersebut tidak dapat dilakukan karena penelitian tidak lagi didanai pada tahun berikutnya.
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa aktivitas enzim PG endogenous pada beberapa konsentrasi substrat citrus pectin mengalami peningkatan sesuai dengan meningkatnya , konsentrasi substrat, sampai pada konsentrasi substrat 0,9%, namun kemudian mengalami penurunan
pada
saat
konsentrasi
ditingkatkan menjadi 1,0%.
substrat
Kondisi tersebut
terjadi karena suatu reaksi enzimatis akan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi substrat [S], akan tetapi setelah [S] meningkat lebih lanjut akan sampai pada kecepatan yang tetap. Kecepatan reaksi tersebut
akan berada
pada kondisi konstan atau tidak akan bertambah lagi walaupun substrat ditingkatkan karena kecepatan reaksi telah mencapai kecepatan maksimum (Vmaks).
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kecepatan maksimum dari
Aplikasi enzim poligalaturanase fermentasi biji kakao
pada
Isolasi dan karakterisasi Enzim Proses isolasi enzim di awali dengan perlakuan pemeraman buah kakao selama 3 hari,
enzim PG endogenous akan di capai pada konsentrasi substrat 0,9% dan aktivitas enzim yang
terbaik
diperoleh
pada
perlakuan
pemeraman buah 3 hari (0,082 U/mL ) dan 5 hari (0,086 U/mL).
5 hari dan 7 hari. Perlakuan ini dilakukan untuk
Penentuan Vmaks akan menghasilkan
mengetahui lama pemeraman buah kakao yang
gambaran tentang sifat-sifat kinetika enzim lain,
terbaik
enzim
½ Vmaks, yaitu suatu konsentrasi substrat yang
poligalakturanase pada pulp kakao. Selanjutnya
separuh lokasi aktifnya telah terisi atau bila
enzim yang diisolasi dari ekstrak pulp kakao
kecepatan reaksi enzimatis telah mencapai
dikaraktersisasi dengan menguji aktivitas relatif,
setengah dari kecepatan maksimum, yang dikenal
suhu dan pH optimum dari enzim yang diperoleh
dengan Km (tetapan Michaelis-Menten). Nilai
dari setiap perlakuan.
Km digunakan selain sebagai ukuran afinitas E-S
terhadap
aktivitas
juga berhubungan dengan tetapan keseimbangan
disosiasi kompleks E-S menjasi E dan S. Nilai Km kecil berarti kompleks E-S mantap dan afinitas
enzim
terhadap
substrat
tinggi,
Aktivitasenzim (mg/mL) 0.1
Suhu optimum (mg/mL)
0.08
0.06 0.04 0.02 0
sedangkan bila nilai Km besar afinitasnya menjadi rendah. Harga Km enzim sangat bervariasi tergantung dari jenis substrat, keadaan lingkungan dan kekuatan ion (Putra, 2009).
0
10
20
30
40
50
60
Suhu (oC)
Gambar 3. Aktivitas enzim PG pulp kakao (fermentasi 3 hari) pada suhu optimum
Suhu dan pH optimum Tabel 2. Suhu dan pH optimum enzim PG dari Pulp Buah Kakao pada Berbagai Lama pemeraman.
Tabel 2 menggambarkan bahwa suhu optimum
Gambar 4. Aktivitas enzim PG pulp kakao (fermentasi 5 hari) pada suhu optimum
terhadap aktivitas enzim sama pada semua perlakuan (lama pemeraman 3, 5, dan 7 hari) yaitu 60oC. Sementara Gambar 4, 5, dan 6 menunjukkan
bahwa
aktivitas
enzim
mengalami peningkatan sejak dari suhu 30oC dan mencapai titik optimum pada suhu 60oC. Hal ini dapat menjelaskan bahwa semakin meningkat suhu maka aktivitas enzim akan
Gambar 5. Aktivitas enzim PG pulp kakao (fermentasi 7 hari) pada suhu optimum
meningkat. Kondisi tersebut karena suhu berkaitan dengan laju reaksi yang dikatalisis oleh
enzim.
Semakin
tinggi
menyebabkan meningkatnya energi
suhu kinetik
molekul-molekul yang bereaksi, sehingga laju reaksinya semakin meningkat. Namun karena enzim adalah suatu protein, maka peningkatan suhu akan mempengaruhi laju kerusakan/ denaturasi
atau
inaktivasi
enzim
juga
meningkat. (Putra, 2007). Oleh sebab itu suhu 60oC dapat dikatakan sebagi suhu optimum, karena peningkatan suhu diatas 60oC akan semakin mendekati suhu inakvasi enzim.
Tabel 2 menunjukkan bahwa pH optimum dari aktivitas enzim dari semua perlakuan
berkisar antara 6 – 7.
Hal ini
menggambarkan pH optimum untuk akvitas enzim PG berada pada kisaran pH normal. pH optimum
berhubungan
dengan
aktivitas
maksimal dari suatu enzim. Bila pH berada di atas atau di bawah pH optimum maka aktivitas enzim akan mengalami penurunan. Dengan kata lain stabilitas enzim PG sangat tinggi pada kondisi pH netral.
Proses fermentasi biji kakao dengan penambahan enzim poligalaturanase.
selain
pemeraman,
fermentasi
dan
pengeringan,
perendaman dan pencucian merupakan salah satu tahapan penting dalam penanganan pasca panen biji
Kegiatan
fermentasi
biji
kakao
untuk
penambahan enzim poligalakturonase dilakukan dengan menggunakan aktivitas crude enzim tertinggi.
Hasil
karakterisasi menunjukkan bahwa aktivitas crude enzim tertinggi terdapat pada tahap pemeraman 7 (tujuh) hari, Nilai Vmaks tertinggi terdapat pada enzim hasil isolasi dari pemeraman buah selama 7 hari sebesar 0.15 U/ml, dengan nilai Km =-0,10 %, dan kombinasi suhu sebesar 60,0oC dan pH optimum 6-7. Oleh karena itu kegiatan ini diawali dengan pengambilan sampel buah kakao dan diperam selama 7 hari. Pemeraman buah dilakukan dengan cara buah yang baru dipanen tidak langsung
kakao. Perendaman dan pencucian dilakukan setelah tahap fermentasi atau sebelum biji kakao dikeringkan. Tujuan
kedua
tahapan
tersebut
adalah
untuk
menghentikan proses fermentasi, menghilangkan sisa pulp yang masih melekat pada biji, meningkatkan jumlah biji bulat dan warna biji (coklat) yang cerah. Selain itu, biji kakao yang melalui tahapan pencucian dan perendaman proses pengeringan berlangsung lebih cepat
karena
tidak
terdapat
lagi
kotoran
yang
menghalangi penetrasi panas ke dalam biji kakao. Tahap pengeringan pada sampel biji kakao dalam penelitian ini dilakukan sampai tercapai kadar 6–7%.
dipecahkan, tapi dibiarkan selama 7 hari sehingga biji dan kulit buah sudah terpisah atau tidak melengket lagi
Pengolahan biji kakao menjadi bubuk
pada kulit. Hal ini dimaksudkan agar pada saat pemecahan buah, biji kakao mudah dilepaskan serta memberikan kondisi maksimal bagi aktivitas enzim PG. Setelah proses pemeraman, dilakukan ekstraksi enzim
Biji kakao yang telah dikeringkan selanjutnya diolah menjadi bubuk. Pada Tahap pengolahan bubuk kakao, dilakukan penyangraian pendahuluan dengan
PG dengan tahapan proses yang sama pada penelitian sebelumnya. Crude enzim PG yang diperoleh kemudian digunakan dalam fermentasi biji kakao sesuai perlakuan yaitu 3, 5 dan 7 hari.
suhu 120oC selama 15 menit. Penyangraian ini dimaksudkan untuk memudahkan proses pengupasan kulit biji kakao sehingga diperoleh nib (biji kakao tanpa
Fermentasi dilakukan dengan cara biji yang diperoleh dari hasil pemecahan buah dimasukkan ke dalam wadah fermentasi, selanjutnya ditambahkan larutan crude enzim PG. Proses fermentasi dilakukan
kulit). Selanjutnya, nib dipanaskan pada suhu 80 oC selama
10
menit
untuk
memudahkan
proses
pengempaan lemak menggunakan alat press hidrolik.
pada suhu 60oC sesuai suhu optimum dari aktivitas enzim PG. Tahapan berikutnya setelah proses fermentasi yaitu tahap pencucian dan perendaman biji kakao.
Setelah proses pengempaan diperoleh lemak dan bungkil kakao. Tahap berikutnya adalah penggilingan bungkil kakao sehingga diperoleh bubuk kakao.
Tahapan ini sangat penting karena hasil fermentasi menggunakan crude enzim PG memerlukan pemisahan
Proses penyangraian vakum bubuk kakao
pulp yang sempurna dari biji kakao. Tahapan tersebut disamping membantu membersihkan sisa-sisa pulp, juga untuk meningkatkan kadar biji bulat sehingga mutu (secara fisik lebih meningkat). Wahyudi dkk., (2008) menjelaskan bahwa
Penyangraian vakum dilakukan pada bubuk kakao mengikuti prosedur Tamrin et al., (2012), sesuai perlakuan
terbaik
untuk
meningkatkan o
kadar
antioksidan katekin yaitu suhu 100 C selama 25 menit
pada tekanan vakum 60 cmHg. Proses penyangraian
fermentasi
biji kakao berpengaruh terhadap aroma,
vakum menggunakan vakum system water jet.
warna dan citarasa. Bubuk kakao yang diolah dari biji
Ramli et al., (2006) menjelaskan bahwa citarasa
kakao yang difermentasi selama 5 hari menunjukkan
kakao
dikembangkan dibawah dua tahap penting
aroma dan warna bubuk kakao yang disukai konsumen,
selama
pengolahan
dan
sementara untuk citarasa bubuk kakao yang sangat
penyangraian. Precursor citarasa yang dikembangkan
disukai adalah pada perlakuan fermentasi selama 7 hari.
selama
fermentasi
kakao
yaitu
proses
Asep et al., (2008) menjelaskan bahwa untuk
menghasilkan citarasa cokelat yang
menghasilkan produk kakao sebagai bahan pangan
diinginkan. Ciri dari kakao sangrai seperti konsentrasi
diperlukan beberapa proses perlakuan pada biji seperti
senyawa citarasa volatile, total asam dan lemak
fermentasi,
tergantung pada kondisi penyangraian terutama suhu
(penampihan/pemisahan), penggilingan dan alkalisasi.
dan lama penyangraian. Selain itu kelembaban dan
Fermentasi adalah aspek yang sangat penting untuk
kecepatan aliran udara juga menunjukkan pengaruh
munculnya prekursor flavor dan selanjutnya proses
terhadap kualitas produk akhir. Misnawi (2005)
penyangraian sangat penting dalam pengembangan cita
menambahkan bahwa senyawa pembentuk aroma khas
rasa dan aroma. Fermentasi dan pengeringan adalah dua
cokelat, seperti pirazin, dan ester meningkat secara
langkah utama proses pengolahan biji kakao, yang
nyata selama penyangraian.
sangat penting dalam menghasilkan prekursor aroma
penyangraian
berinteraksi
fermentasi
dalam
pengeringan,
penyangraian,
winnowing
dan mengurangi astringency (zat yang menciutkan) dan Uji organoleptik terhadap aroma, warna dan citarasa bubuk kakao
kepahitan.
Kedua
proses
tersebut
juga
akan
membebaskan biji dari gas, uap air, mengganggu Peningkatan warna dan citarasa pada bubuk kakao dapat dilakukan antara lain dengan menerapkan
struktur sel sehingga biji lebih rapuh dan menyebabkan penurunan kualitas perekat dari kulit kakao.
Tahap alkalisasi dalam proses pengolahan. Wahyudi et al., (2008) menjelaskan bahwa alkalisasi dilakukan untuk meningkatkan dispersibilitas / daya suspensi bubuk kakao di dalam air serta memperbaiki warna dan citarasa. Beberapa bahan alkali yang bisa digunakan adalah
kalium
karbonat,
natrium
karbonat,
kalium/natrim bikarbonat, kalium/natrim hidroksida, ammonium karbonat
atau ammonium hidroksida.
Namun dalam penelitian ini tahap alkalisasi tidak diterapkan karena dua pertimbangan. Pertama untuk
Pengadukan terhadap biji kakao selama fermentasi juga dilakukan sehari setelah proses fermentasi. Kegiatan tersebut dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari yaitu pada waktu pagi dan sore hari.
Pengadukan selama
fermentasi penting dilakukan sehingga oksigen dapat terlibat pada proses tersebut. Selama proses fermentasi suhu akan meningkat dan mencapai kisaran 45-50oC mengakibatkan kemampuan kecambah dari biji akan hilang serta pH menjadi asam (Blizt and Crosch, 1987).
mengurangi kontaminasi bahan kimia sintetis dengan bubuk kakao, dan pertimbangan kedua terkait dengan penurunan kadar antioksidan.
KESIMPULAN
Ziegleder dan Biehl,
Enzim PG endojinus dapat diekstrak dari pulp
(1988) menjelaskan bahwa proses alkalisasi dapat
biji Kakao. Adapun karakteristik enzim PG endojinus
menurunkan kadar antioksidan.
pulp biji Kakao jenis Trinitario, meliputi: Aktivitas
Hasil analisis
organoleptik terhadap aroma,
enzim PG endojinus pada pulp biji kakao pada berbagai
warna dan citarasa terhadap 54 sampel bubuk kakao
tahap pemeraman buah Kakao berkisar 0,46-0,52 U/ml,
menggambarkan bahwa perlakuan enzim selama proses
aktivitas crude enzim tertinggi terdapat pada tahap
pemeraman 7 (tujuh) hari, Nilai Vmaks tertinggi terdapat pada enzim hasil isolasi dari pemeraman buah selama 7 hari sebesar 0.15 U/ml, dengan nilai Km =0,10 %, dan kombinasi suhu dan pH optimum sebesar 60,0oC dan 6-7. Namum masih perlu dilakukan permurnian filtrat enzim lebih lanjut untuk mendapatkan karakteristik Selanjutnya
enzim
yang
berdasarkan
lebih
karakteristik
komprehensif. enzim
PG
endojinus pulp biji kakao, khususnya kondisi suhu dan pH optimum, dapat digunakan sebagai acuan untuk
pod gum. p. 475-478. In J. Janick and J.E. Simon (eds.). New Crops. Wiley, New York. Fox, P. F. 1991. Food Enzimology. Vol. 1. Elsevier Applied Science Publishers Ltd., London. Hannum SM., and Erdman JW. 2004. Emerging Health Benefit from Cocoa and Chocolate. Journal of Medicine Food, 3(2): 73-75 Hardiman dan B. Kartika. 1980. Pedoman Pemungutan dan Pengolahan Hasil-hasil Perkebunan. Kerjasama Dirjen Perkebunan dengan FTP UGM, Yogyakarta.
pengembangan proses fermentasi pada pengolahan kakao. DAFTAR PUSTAKA
Haryadi dan M. Supriyanto. 1991. Pengolahan Kakao Menjadi Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Alamsyah, T.S. 1991. Peranan fermentasi dalam pengolahan biji kakao kering. Suatu Tinjauan. Berita Perkebunan, 1(2) : 97-103.
Huang, L.K.and R.R. Mahoney. 1999. Purification and characterization of an endo-polygalacturonase from Verticillium albo-atrum. J. App. Microb., 86 (1) : 145-156.
Alamsyah, T.S. dan P. Naibaho. 1991. Pengaruh pengempaan sebelum fermentasi, pengadukan dan waktu fermentasi terhadap mutu biji kakao kering. Prosiding Konperensi Nasional Kakao III, Medan, Hal : 109-117.
Laemmli, U.K. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of A. Bacteriophage T4. Nature, 227 : 680- 685.
Barense, R.I., M.A. Chellegatti, M.J.V. Fonseca and S. Said. 2001. Partial purification and characterization of exopolygalacturonase I and II of Penicillium frequentans. Braz. J.Microbiol., 32 (4): 5-8. Blanco, P., C. Sieiro and T. G. Villa. 1999. Production of pectic enzymes in yeasts (Mini Review). FEMS Microbiology Letters, 175 : 1-9 Case, C.L. 2004. The Microbiology of Chocolate. http://smccd.edu/accounts/case/chocolate.html Diakses tanggal 6 November 2013. Dinu, D. 2001. Enzymatic hydrolysis of pectic acid and pectins by polygalacturonase from Aspergillus niger. Roum. Biotechnol., 6 (5) : 397-402. Fayyaz, A., B.A. Asbi, H.M. Ghazali, Y.B. Che-Man and S. Jinap. 1995. Kinetics of papaya pectinesterase. Food Chemistry, 53 : 129-135. Figueira, A., J. Janick, and J.N. BeMiller. 1993. New products from Theobroma cacao: Seed pulp and
Martins ES, Leite RS, da Silva R, Gomes E. 2013. Purification and Properties of Polygalacturonase Produced by Thermophilic Fungus Thermoascus aurantiacus CBMAI-756 on Solid-State Fermentation. Enzyme Res. doi: 10.1155/2013/438645. Epub 2013 Sep 12 Martínez, M.J., R. Martínez and F. Reyes. 1998. Effect of pectin on pectinases in autolysis of Botrytis cinerea. Mycopathologia (Historical Archive), 102 (1): 37-43 Munoz, R. and A.R. Barcelo. 1996. Enzymes. In L.M.L. Nollet (Ed.). Handbook of Food Analysis. Vol. 1. Marcel Dekker, Inc., New York. Mertens JA. 2013. Kinetic Properties of Two Rhizopus Exo-polygalacturonase Enzymes Hydrolyzing Galacturonic Acid Oligomers Using Isothermal Titration Calorimetry. Applied Biochemistry and Biotechnology. 8(170): 2009-2020. Putra GGP. Harijono, Susanto T, Kumalaningsih S. 2007. Ekstraksi dan Karakterisasi Enzim poligalakturonase Endojinus pada Pulp Biji Kakao. Jurnal Teknologi Pertanian. 8(1): 1-9.
Said, M.B., M.P.G.S. Jayawardena, R.J. Samarakhody and W.T. Parera. 1990. Preconditioning of fresh cocoa beans prior to fermentation to improve quality : A commercial approach. The Planter, 66 : 332-345. Stephen., A.M. 1995. Food Polysaccharides and Their Applications. Marcel Dekker Inc., New York. Teixeira, M.F.S., J.L. Filho and D. Nelson. 2000. Carbon sources effect on pectinase production from Aspergillus japonicus 586. Braz. J. Microbiol., 31 (4). Tu T, Meng K, Bai Y, Shi P, Luo H, Wang Y, Yang P, Zhang Y, Zhang W, Yao B. 2013. High-yield production of a low-temperature-active polygalacturonase for papaya juice clarification. Food Chem. 141(3):2974-2981 Wakabayashi, K and D. J. Huber. 2001. Purification and catalytic properties of polygalacturonase isoforms from ripe avocado (Persea americana) fruit mesocarp. Physiologia Plantarum, 113 (2 ) : 210 218.
Whitaker, J. R. 1996. Enzymes. In O. R. Fennema (Ed.). Food Chemistry. 3rd Edition. Maecel Dekker, Inc., New York. Wiseman, A. 1989. Handbook of Enzymes Biotechnology. 2nd. Edition. Ellis Howard, New York. Zhou, H.W., R. Ben-Arie and S. Lurie. 2000. Pectin esterase, polygalacturonase and gel formation in peach pectin fractions. Phytochemistry, 55 : 191195. Barbosa-Cánovas, G.V., Góngora-Nieto, M.M., Pothakamury, U.R., and Swanson, B.G. 1999. Preservation of foods with pulsed electric fields. Academic Press, San Diego, CA . Evrendilek, G.A., Jin, Z.T., Ruhlman, K.T., Qiu, X., Zhang, Q.H. and Richter, E.R. 2000. Microbial safety and shelf-life of apple juice and cider processed by bench and pilot scale PEF systems. Innovative Food Science and Emerging Technologies 1: 77-86.