KONFLIK TOKOH DALAM KURZGESCHICHTE LUPINEN KARYA MARIE LUISE KASCHNITZ: ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA SIGMUND FREUD
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
oleh : YUNI SETIOASIH MARDIANA NIM 08203244005
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA JERMAN FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013
MOTTO
“... Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada dalam diri mereka sendiri ...” (QS Ar-Ra’d 13: 11)
Bahkan sekalipun kita berada dijalur yang benar, kita akan tertinggal jika kita hanya berpangku tangan dan tidak melakukan apa-apa.
Kamu tak bisa selalu menunggu sesuatu untuk datang, terkadang kamu harus meninggalkan tempatmu dan mendatanginya.
v
PERSEMBAHAN Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahirobbilalamiin, Kupanjatkan segala doa, dan puji syukur kepada Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan kasih sayang, nikmat dan karunia-Nya, serta atas kehendak dan ridho-Nya sehingga karya tulis inidapat terselesaikan dengan baik.
Karya tulis ini penulis persembahkan untuk: Teristimewa Bapak dan Ibuku tercinta, Safrudin dan Siti Maryam, terimakasih atas doa, pengorbanan, kepercayaan, semangat dan kasih sayang yang tak terbatas.
Skripsi ini adalah salah satu persembahan kecil dariku, semoga ini dapat membuat engkau bahagia dan bangga.
Adik laki-lakiku satu-satunya Aji Sugiarto, yang selalu memberiku semangat, dukungan dan hiburan padaku.
Dan untuk diriku sendiri.
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang senantiasa melimpahkan nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Konflik tokoh dalam Kurzgesichte Lupinen karya Marie Louise Kaschnitz melalui analisis Psikologi Sigmund Freud dengan baik, untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar sarjana S-1. Penulisan penelitian ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada, 1. Bapak Prof. Dr. Zamzani M.Pd, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, 2. Ibu Lia Malia, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman dan segenap dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, 3. Ibu Isti Haryati, S.Pd., M.A, Dosen Pembimbing, yang telah membimbing dan memberikan dorongan selama penelitian skripsi ini berlangsung, 4. Bapak Sulis Triyono M.Pd, Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa membimbing dan memberikan arahan serta nasihat yang membangun, 5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman atas semua ilmu dan motivasi yang selalu dicurahkan, 6. Mbak Ida beserta segenap karyawan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta atas bantuan administrasinya, 7. Teh Ina Antasari, teman sekaligus kakak yang selalu memberikan semangat serta nasihat, 8. Ka Lidya, Emmy, Teh Winda, Mba Endah, teman sepermainanku, 9. Dian dan Prisa serta teman-teman Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman angkatan 2008, yang selalu ku rindukan. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral, bantuan dan dorongan kepada penulis sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentu memiliki kekurangan. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan karya berikutnya. Semoga penelitian ini bermanfaat, khususnya bagi saya selaku penulis dan bagi pembaca pada umumnya.
Yogyakarta, 4 Februari 2013 Penulis
Yuni Setioasih Mardiana
viii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ...............................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ...............................................................
iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................
vi
KATA PENGANTAR ............................................................................
vii
DAFTAR ISI ..........................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xii
ABSTRAK .............................................................................................
xiii
KURZFASSUNG ....................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Fokus Permasalahan ..............................................................
7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
7
D. Manfaat Penelitian .................................................................
7
E. Batasan Istilah ........................................................................
8
BAB II KAJIAN TEORI A. Cerpen sebagai Karya Sastra .................................................
10
B. Tokoh dan Penokohan di dalam Cerpen ................................
14
C. Konflik dalam Cerpen ............................................................
18
D. Psikologi dalam Sastra ...........................................................
23
E. Penelitian yang relevan ..........................................................
40
ix
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ............................................................
42
B. Data Penelitian .......................................................................
42
C. Sumber Data Penelitian .........................................................
43
D. Teknik Pengumpulan Data ....................................................
43
E. Instrumen Penelitian ..............................................................
44
F. Teknik Analisis Data .............................................................
45
G. Keabsahan Data .....................................................................
46
BAB IV KONFLIK TOKOH DALAM KURZGESCHICHTE LUPINEN KARYA MARIE LUISE KASCHNITZ A. Deskripsi Cerpen ...................................................................
48
B. Deskripsi Perwatakan Tokoh Utama .....................................
50
C. Konflik Tokoh Utama ............................................................
63
D. Mekanisme Pertahanan Ego Tokoh Utama ...........................
77
E. Keterbatasan Penelitian ........................................................
80
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................
81
B. Implikasi ................................................................................
82
C. Saran ......................................................................................
82
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
83
LAMPIRAN ..........................................................................................
86
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran I
Sinopsis Kurzgeschichte Lupinen ..................................
87
Lampiran II
Biografi Marie Luise Kaschnitz ....................................
90
Lampiran III
Biografi Sigmund Freud.................................................
92
Lampiran IV
Tabel Data Kategorisasi Watak Tokoh Utama dalam Kurzgeschichte Lupinen ................................................ Data Konflik yang di alami Tokoh Utama dalam Kurzgeschichte Lupinen ................................................ Tabel Mekanisme Pertahanan yang dilakukan Tokoh Utama dalam Kurzgeschichte Lupinen ..........................
Lampiran V Lampiran VI
xi
94 97 102
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1: Hubungan Id, Ego, dan Superego ..........................................
xii
65
KONFLIK TOKOH DALAM KURZGESCHICHTE LUPINEN KARYA MARIE LOUISE KASCHNITZ ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA SIGMUND FREUD
oleh Yuni Setioasih Mardiana NIM 08203244005 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) perwatakan tokoh utama dalam cerita pendek Lupinen, (2) wujud konflik yang dialami tokoh utama dalam cerita pendek Lupinen, (3) mekanisme pertahanan ego yang dilakukan tokoh utama dalam cerita pendek Lupinen. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra Sigmund Freud. Sumber data dalam penelitian ini berupa cerita pendek Lupinen karya Marie Luise Kaschnitz, diterbitkan oleh Hanseatische Druckanstalt GmbH Hamburg, pada tahun 1966. Data diperoleh dengan teknik baca catat. Keabsahan data diperoleh dengan validitas semantis dan diperkuat dengan validitas Expert-Judgement. Reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas intrarater dan interrater. Instrumen utama penelitian ini adalah penulis sendiri (human instrument). Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Barbara sebagai tokoh utama dalam cerita pendek Lupinen memiliki watak mudah putus asa, pemberani, teliti, nekad, perhatian dan sabar, (2) wujud konflik yang dialami Barbara terdiri dari dua macam yaitu konflik eksternal dan internal. Konflik eksternal yang dialami Barbara adalah konflik sosial dan konflik fisik. Konflik sosial berupa penindasan dan konflik fisik berupa pemaksaan. Konflik internal yang dialami Barbara adalah konflik kejiwaan berupa kecemasan, ketakutan, kekecewaan, emosi serta rasa bersalah, (3) mekanisme pertahanan ego yang dilakukan Barbara yaitu represi, regresi dan introyeksi.
xiii
DER KONFLIKT IN DER KURZGESCHICHTE LUPINEN VON MARIE LUISE KASCHNITZ PSYCHOLOGISCHE LITERATURANALYSE VON SIGMUND FREUD
von Yuni Setioasih Mardiana Studentennummer 08203244005
KURZFASSUNG
Diese Untersuchung beabsichtigt (1) die Charakterisierung der Hauptfigur in der Kurzgeschichte Lupinen, (2) die Form des Konflikts der Hauptfigur der Kurzgeschichte Lupinen, (3) Abwehrmechanismus Ego, die die Hauptfigur der Kurzgeschichte Lupinen durchführt hat, zu beschreiben. Diese Untersuchung ist deskriptiv kualitativ. Diese Untersuchung benutzt Literaturpsychologie von Sigmund Freud. Die Daten dieser Untersuchung ist Kurzgeschichte Lupinen von Marie Luise Kaschnitz, die von Hanseatische Druckanstalt GmbH Hamburg in Jahre 1966 publiziert ist. Die Daten sind durch Lesen- und Notiztechnik gesammelt. Die Gültigkeit der Daten wurde durch die semantische Gültigkeit bewiesen und von der Expertenbeurteilung verstärkt. Intrarater und interrater sind die Zuverlässigkeit dieser Untersuchung. Das Instrument dieser Untersuchung ist die Forscherin selbst (human instrument). Die Ergebnisse dieser Untersuchung sind folgendermaβen: (1) Die Charakterisierung von Barbara als Hauptfigur der Kuzgeschichte Lupinen sind hoffnungslos, mutig, sorgfältig, tollkühn, verständnisvoll und geduldig, (2) Die Formen des Konflikts in dieser Kurzgeschichte zeigt sich durch die inneren und äuβeren Konflike. Die äuβeren Konflikte von Barbara sind der soziale Konflikt und physische Konflikt. Der soziale Konflikt ist die Unterdruckung und der physische Konflikt ist Streitigkeit. Die psychischen Konflikte von Barbara sind Besorgnis, Angst, Enttäuschung, Emotion und gefühl, (3) Abwehrmechanismus_Ego der Hauptfigur gemacht hat, sind Repression, Regression und Introjektion.
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Suatu karya sastra merupakan sebuah ungkapan kehidupan yang tuangkan melalui bahasa. Bahasa memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia, karena bahasa merupakan media untuk berkomunikasi. Kendati demikian, bahasa yang digunakan sehari-hari berbeda dengan bahasa yang digunanakan sastrawan dalam setiap karya-karyanya. Sebuah karya sastra menyajikan bentuk dalam kumpulan kata yang merupakan ungkapan jiwa dari seorang sastrawan. Wellek dan Warren (1990: 15) menjelaskan bahwa, bahasa sastra penuh ambigiutas dan homonim, serta memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan tak rasional. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca. Dengan bahasa, sastra dapat diungkapkan dengan banyak cara. Dalam kapasitasnya, seorang sastrawan mampu menyuguhkan fenomena-fenomena yang menyentuh pilar-pilar kehidupan manusia yang pahit dan sakit jika dialaminya atau dirasakan pada dunia nyata, namun menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra dengan balutan-balutan nilai estetik yang ditampilkan (Nurgiyantoro, 2005: 7). Kehidupan manusia serta segala aspek yang ada di dalamnya umum dijadikan sebagai permasalahan yang diangkat di dalam sebuah karya sastra. Banyak sekali rentetan kehidupan yang dialami manusia, mulai dari seseorang yang dilahirkan di dunia ini hingga dia akhirnya meninggal. Banyaknya aspek
1
2
yang ada di dalam kehidupan manusia, dapat dikembangkan menjadi cerita beraneka ragam. Cerpen sebagai salah satu sebuah karya sastra, isi ceritanya sangat akrab dengan kehidupan manusia sehari-hari dan memiliki zona tersendiri, yaitu hanya menceritakan kehidupan tokoh utama dan peristiwa di dalam kehidupannya yang paling menonjol. Cerpen atau yang dalam bahasa Jermannya disebut Kurzgeschichte terpusat pada suatu peristiwa dan tidak meluas terhadap permasalahan dan atau tokoh lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian atau peristiwa yang menjadi pokok cerita. Salah satu penulis yang banyak mengungkapkan kehidupan sehari-hari melalui bahasa adalah Marie Luise Kaschnitz. Isi cerita yang diangkat dalam karyanya, banyak yang bersumber dari cerita hidup yang telah dialaminya. Marie Luise Kaschnitz lahir di Karlsruhe pada tanggal 31 Januari 1901, putri ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya Max Freiherr seorang Mayor Jendral dan ibunya bernama Elsa. Selama hidup, dia tinggal di kota Potsdam. Meskipun dia tinggal di kota Potsdam, dia masih seringkali mengunjungi perkebunan keluarganya yang berada di Bollschweil, sebuah desa dekat Freiburg. Pada tahun 1925 dia menikah dengan arkeolog Guido Kaschnitz. Namun setelah kematian suaminya di tahun 1958,
dia
pindah
ke
tempat
asal
keluarganya
di Bollschweil.
(http://www.kaschnitz.de/sites/biofr.html) Dipilihnya pengarang Marie Luise Kaschnitz dalam penelitian ini, karena dia merupakan salah satu dari sedikit penulis perempuan yang telah menerima banyak penghargaan yang didominasi laki-laki penting di Jerman Barat. Beberapa
3
penghargaan yang telah diraihnya di antaranya Georg-Büchner-Preis (1955), beasiswa dari Villa-Massimo, Goetheplakette dari Frankfurt am Main (1966), Pour le mérite untuk kategori sains dan seni (1967), gelar doktor kehormatan dari Universitas Goethe (1968), Johann Peter Hebel Preis di Württemberg dan Mendali memorial Roswitha (1973). Saat dia menjadi penulis hampir semua orang mengagumi jurnal dan artikel surat kabar yang telah dibuatnya. Marie Luise Kaschnitz tumbuh menjadi seorang sastrawan terkenal. Tidak sedikit dari karyanya yang telah mendapatkan penghargaan dan buku-bukunya yang memiliki penjualan terbaik. Salah satu bukunya yang terkenal berjudul “Der Spiegel”. Novel pertamanya berjudul “Liebe beginnt” di tahun 1933. Selain itu banyak karya sastra berupa puisi yang telah ditulisnya antara lain “Zukunftsmusik” di tahun 1950, “Ewige Stadt” di tahun 1952, dan “Kein Zauberspruch” di tahun 1972. (http://www.gedichte.xbib.de/biographie_Kaschnitz.htm). Selain novel dan puisi, Kaschnitz juga menghasilkan karya berupa cerpen (Kurzgeschichte). Beberapa diantaranya adalah Das dicke Kind, Lange Schatten, Der Tulpenmann dan salah satu Kurzgeschichte terbaiknya berjudul Lupinen. Dari sekian banyak karya yang telah diciptakan oleh Kaschnitz, Kurzgeschichte berjudul Lupinen yang akan dijadikan objek di dalam penelitian ini. Kurzgeschichte Lupinen, merupakan salah satu karya terbaik Kaschnitz. Hal itu dikarenakaan dia menjadi salah satu pengarang yang berani mengkritik akibat kekuasaan NAZI pada saat Perang Dunia II. Saat Jerman dikuasai NAZI, banyak terjadi kesengsaraan dan penindasan terutama pada kaum Yahudi.
4
Lupinen menceritakan kisah dua gadis kakak beradik keturunan Yahudi yang bernama Fanny dan Barbara. Saat Perang Dunia II, kedua kakak beradik itu menjadi tawanan tentara NAZI. Pada suatu malam, mereka akan dibawa tentara NAZI dengan “kereta kematian”. Mereka ingin melarikan diri dengan lompat dari atas kereta itu, namun hanya Barbara yang berhasil melarikan diri sedangkan Fanny tidak selamat, terjatuh dari atas kereta dan mati seketika. Pelarian Barbara berhenti pada sebuah rumah. Rumah itu adalah rumah kakak iparnya sendiri. Sebelum menjadi tawanan NAZI, Fanny kakak Barbara telah menikah dengan salah seorang tentara NAZI bernama Kapfinger. Di dalam rumah, Kapfinger sudah menunggu Fanny datang, namun apa yang dilihatnya hanyalah Barbara. Kedatangan Barbara yang seorang diri, membuat kekecewaan pada tokoh Kapfinger. Meskipun dalam kekecewaannya, Kapfinger tetap membiarkan Barbara untuk tinggal bersamanya. Kekecewaan yang mendalam akan kematian istrinya, membuat Kapfinger bersikap dingin terhadap Barbara. Sejak itulah mereka tinggal dalam satu rumah namun hampir tidak melakukan komunikasi. Keadaan ini menimbulkan banyak konflik di antara keduanya. Konflik yang terjadi di dalam cerita ini beragam, mulai dari konflik yang terjadi dalam diri masing- masing tokoh, konflik batin, emosi antara keduanya serta konflik luar yang terjadi di antara tokoh. Akibat berbagai macam konflik yang dialaminya, mengakibatkan tekanan emosional pada jiwa Barbara. Hal itu membuatnya tidak kuat dengan keadaan yang dialaminya, hingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menabrak dirinya ketika kereta sedang melintas, tepat di tempat kakaknya mati.
5
Lupinen diciptakan oleh Kaschnitz sekitar tahun 1943, saat itu Jerman baru selesai dari Perang Dunia II. Saat itu keadaan perang dan setelahnya mengambarkan penindasan, kesengsaraan dan penderitaan tidak lepas dari kehidupan masyarakat pada masa itu. Tema cerita di dalam Kurzgeschichte ini sangat khas dengan perkembangan kesusastraan cerpen di masa itu. Ciri umum yang terlihat di dalam karya sastra khususnya cerpen di masa itu adalah menceritakan gambaran keadaan sisi kehidupan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Peneliti memilih Kurzgeschichte berjudul Lupinen karena di dalam Kurzgeschichte ini banyak terlihat konflik yang sangat kompleks diantara tokoh utama Barbara dan tokoh lainnya yang menarik untuk diteliti serta dibedah dari segi karaker, watak tokoh sehingga terjadi konflik tersebut dan bagaimana bentuk mekanisme pertahan diri yang dilakukan tokoh utama dalam menghadapi konflik tersebut. Dari awal pembacaan cerita pendek Lupinen disadari, bahwa keberadaan manusia baru menjadi sebuah cerita ketika di dalam peristiwa kehidupannya memunculkan konflik. Bahkan bagian cerita yang mengandung konflik, pasti banyak menyita perhatian pembaca. Suatu pengkajian perlu dilakukan untuk dapat mengetahui bagian ilmu dalam pengalaman yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Berdasarkan perwatakan dan berbagai konflik yang dialami tokoh utama dalam Kurzgeschichte ini, maka salah satu karya Kaschnitz ini menarik untuk dikaji dengan pendekatan psikologi sastra. Prinsip psikologi yang dijadikan dasar pendekatan dalam penelitian ini adalah teori psikologi sastra Sigmund Freud. Teori Psikologi sastra
6
Freud dianggap sesuai dengan karya sastra yang akan dibahas secara tertulis, dengan membahas aspek-aspek yang mengembangkan jiwa serta karakter tokoh utama sehingga mampu menimbulkan terjadinya suatu konflik. Teori tersebut memandang kepribadian manusia dibangun atas tiga struktur id, ego, dan superego. Berdasarkan struktur kepribadian tersebut, di dalam teks cerpen Lupinen dapat ditemukan adanya dinamika kepribadian yang dialami tokohtokohnya sehingga memicu terjadinya konflik antar tokoh yang ada di dalam cerpen tersebut. Watak ada hubungannya dengan kepribadian serta perilaku tokoh. Kepribadian dan perilaku tokoh dalam sebuah cerita tentu berhubungan erat dengan jiwa tokoh tersebut. Untuk mempelajari jiwa seseorang maka diperlukan ilmu jiwa atau ilmu psikologi. Oleh karena itu, untuk memahami watak dari tokoh dalam sebuah teks sastra, dapat dilakukan dengan pendekatan psikologis. Berkaitan dengan analisis yang akan dilakukan, Semi (1986: 53) berpendapat bahwa dalam setiap pemahaman karya sastra akan dapat ditemukan berbagai kemungkinan yang berhubungan dengan pengarang, pembaca, serta sisi kehidupan manusia yang diungkapkan penulis, seperti nilai moral, sosiologis, psikologis dan lain-lain. Hal ini berarti bahwa sebuah kajian tentang suatu karya sastra akan selalu berisi analisis tentang kehidupan manusia dan sesudah itu dapat dijadikan bukti adanya unsur menarik dan pelajaran yang bermanfaat dari sebuah karya sastra.
7
B. Fokus Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka peneliti memfokuskan pada hal-hal atau masalah yang berkaitan dengan psikoanalisis, di antara lain: 1. Bagaimanakah perwatakan tokoh utama dalam Kurzgeschichte Lupinen? 2. Bagaimanakah wujud konflik yang dialami tokoh utama dalam Kurzgeschichte Lupinen? 3. Bagaimanakah mekanisme pertahanan ego yang dilakukan tokoh utama dalam Kurzgeschichte Lupinen?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang akan dibahas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Mendeskripsikan perwatakan tokoh utama dalam Kurzgeschichte Lupinen? 2. Menguraikan wujud konflik yang dialami tokoh utama dalam Kurzgeschichte Lupinen. 3. Mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego yang dilakukan tokoh utama dalam Kurzgeschichte Lupinen.
D. Manfaat Penelitian Adanya kegiatan penelitian terhadap karya sastra diharapkan mampu menjembatani pemahaman antara karya sastra dan pembacanya. Oleh karena itu,
8
ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, di antaranya sebagai berikut. 1. Manfaat Teoretis a. Menambah pengetahuan mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman tentang sastra Jerman. b. Dapat menjadi referensi yang relevan untuk penelitian selanjutnya yang akan meneliti karya sastra dengan teori Psikologi Sastra Sigmund Freud. 2. Manfaat Praktis a. Mengetahui dan memahami pesan dan makna yang terkandung dalam Kurzgeschichte Lupinen karya Marie Luise Kaschnitz. b. Sebagian masukan bagi peminat sastra dalam upaya meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra asing, khususnya sastra Jerman melalui kerja penelitian karya sastra.
E. Batasan Istilah 1. Cerpen adalah salah satu jenis fiksi prosa yang menceritakan berbagai persoalan hidup yang kompleks. 2. Tokoh adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi yang dilakukan dan peristiwa serta aksi tokoh lain yang ditimpakan kepadanya. 3. Perwatakan adalah penggambaran kualitas tokoh baik yang berupa sifat batin dan lahir manusia yang mempengaruhi pikiran dan setiap tingkah lakunya.
9
4. Konflik adalah pergumulan yang dialami oleh karakter dalam cerita. Konflik ini merupakan inti dari sebuah karya sastra yang pada akhirnya membentuk plot. Ada empat macam konflik, yang dibagi dalam dua garis besar: a. Konflik internal Konflik ini tidak melibatkan orang lain, konflik ini ditandai dengan gejolak yang timbul dalam diri sendiri mengenai beberapa hal seperti nilainilai. Kekuatan karakter akan terlihat dalam usahanya menghadapi gejolak tersebut. b. Konflik eksternal Konflik yang dialami seseorang dengan orang lain, masyarakat atau perjuangan individu dalam usahanya untuk mempertahankan diri dalam kebesaran alam. 5. Psikologi merupakan suatu ilmu yang meneliti dan mempelajari tentang tingkah laku atau aktivitas-aktivitas manusia. 6. Psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
10
BAB II KAJIAN TEORI
A. Cerita Pendek sebagai Sebuah Karya Sastra Karya sastra dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu teks syair, drama dan cerita (novel dan cerpen). Karya sastra berupa novel dan cerpen sama-sama memiliki unsur berupa unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang dan lain-lain. Kendati keduanya memiliki unsur yang sama, namun terdapat perbedaan pada intensitas juga kuantitasnya dalam hal “pengoperasian” unsur-unsur cerita tersebut (Nurgiyantoro, 2005: 10) .Sebagai hasil kreatifitas manusia, sastra melalui perantara bahasa lisan
ataupun tertulis yang bersifat imajinatif, disampaikan secara khas, dan mengandung pesan yang bersifat relatif. Salah satu hasil karya sastra itu berupa cerita pendek, atau biasa disingkat dengan cerpen. Cerita pendek bermula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah terkenal seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan. Cerpen atau dalam Bahasa Inggrisnya disebut short story sebagai salah satu jenis karya sastra naratif, muncul pada awal abad ke-19 di Amerika Serikat (Washington Irving, The Sketchbook). Jenis sastra ini dipopulerkan oleh Nathaniel
11
Hawthorne dan E.A Poe yang dianggap sebagai guru dan tokoh utama dalam perkembangan jenis sastra ini. Zaidan dkk (2007: 55), memberikan definisi, cerpen adalah kisahan yang memberi kesan tunggal yang dominan tentang satu tokoh dalam satu latar dan satu situasi dramatik. Cerpen merupakan sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Hal ini kiranya tidak mungkin dilakukan untuk jenis karya sastra lain seperti novel (Poe via Nurgiyantoro, 2005: 10) Sejalan dengan Poe, Nurgiyantoro (2005: 10) berpendapat bahwa, cerpen sesuai dengan namanya adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Seorang penulis cerpen, dalam bercerita harus dilakukan dengan cermat dan efisien. Hal ini disebabkan dalam sebuah cerpen biasanya hanya ada dua atau tiga tokoh saja, hanya ada satu peristiwa, dan hanya ada satu efek saja bagi pembacanya. Short
story
dalam
kesusastraan
Jerman
dikenal
dengan
istilah
Kurzgeschichte. yang merupakan bentuk karya sastra peralihan dari beberapa jenis karya sastra seperti novel, sketsa dan anekdot. Duden (2005) menjelaskan Kurzgeschichte sebagai berikut. “Kurzgeschichte: eine Literarische Gatungen, deren Bezeihnung der Amerikanischen Short story entlehnt wurde. Mit dieser ist die Kurzgeschichte aber nicht deckungsgleich, da sie in der deutschen Literaturgeschichte von anderen Formen der Kurzprosa (Novelle, Skizze, Anekdote) abzugrenzen ist. Terjemahan: Cerita pendek: Sebuah genre sastra yang berasal dari cerita pendek Amerika. Ini adalah cerita pendek tetapi tidak sama, karena dalam sejarah
12
sastra Jerman dari bentuk-bentuk fiksi pendek (cerpen, sketsa, anekdot) harus digambarkan. Sejak berakhirnya Perang Dunia II perkembangan sastra Kurzgeschichte di Jerman mulai terasa, Kurzgeschichte di masa itu didominasi tema tentang kesenjangan sosial dan konflik dari para veteran perang, masalah interpersonal dan ekspresi diri mereka dalam situasi sehari-hari. Tema seperti ini muncul akibat dari adanya Perang Dunia II ketika Jerman mengalami kekalahan yang pada masa itu setelah berakhirnya perang, lebih banyak mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Jerman. Salah satu karya yang menandai berkembangan Kurzgeschichte di masa itu yaitu karya dari Wolfgang Borchert yang berjudul “Das Brot”, kemudian diikuti penulis lain seperti Wolfdietrich Schnurre, Ilse Aichinger, Hans Bender, Elisabeth Langgässer, Alfred Andersch, Siegfried Lenz, Gabriele Wohmann serta Marie Luise Kaschnitz yang telah menuliskan Lupinen. Meskipun di dalam isinya cerpen tidak sepanjang sebuah novel, namun panjang pendeknya sebuah cerpen itu sendiri bervariasi, dimulai dari cerpen yang pendek (short short story) berkisar lima ratusan kata, cerpen yang panjangnya cukupan (midle short story) serta cerpen yang panjang (long short story), yaitu terdiri sekitar puluhan bahkan beberapa puluh ribu kata (Nurgiyantoro, 2005: 10). Cerpen merupakan satu dari sekian genre sastra yang dikenal dengan teks naratif yang memiliki alur cerita yang tegas. Menurut Nurgiyantoro (2005: 11), karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang “kurang penting” yang lebih bersifat memperpanjang cerita.
13
Duden (2005) menjelaskan karakteristik Kurzgeschichte sebagai berikut. Kennzeichen der Kurzgeschichte sind u.a. ein geringer Umfang, eine straffe Komposition Montageelemente, ein meist offener Schluss, die Typisierung der Personen und i.d.R. die Konzentration auf einen entscheidenden, oft inmitten alltäglicher Begebenheiten stattfindenden Augenblick im Leben eines Meschen. Terjemahan: Karakteristik cerita pendek antara lain skala kecil, unsur komposisi padat, tamat ceritanya terbuka, menceritakan rakyat dan biasanya berfokus pada hal penting, sering di tempatkan pada situasi kejadian sehari-hari yang terjadi dalam kehidupan seorang. Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa cerita pendek (cerpen) merupakan cerita fiksi yang relatif singkat dan pendek, serta dapat selesai dibaca dalam sekali duduk, isinya mengisahkan salah satu moment dalam kehidupan manusia, sehingga jumlah dan pengembangan segi tokohnya terbatas. Sebuah cerita dalam cerpen pasti mengambil suatu kasus yang biasanya terjadi dalam masyarakat di mana pengarang tinggal, bahkan lebih dari itu dicampur dengan pengalaman spiritual, psikologis, serta ditambahkan beberapa imajinasi pengarang sehingga terciptalah sebuah cerpen. Di sinilah kelebihan ciri cerpen yang sangat terlihat adalah kemampuannya mengemukakan secara implisit dari sekedar apa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2005: 11). Sebuah cerpen harus merupakan satu kesatuan bentuk yang benar-benar utuh dan lengkap. Keutuhan dan kelengkapan cerpen tersebut dilihat dari segi unsur-unsur yang membangunnya. Adapun unsur-unsur itu adalah peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita (karakter), tema cerita, sudut pandangan (point of view), dan gaya (style) pengarangnya.
14
B. Tokoh dan Penokohan dalam Cerpen Dalam pembahasan sebuah cerita pendek sering dipergunakan istilahistilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Menurut Nurgiyantoro (2005: 165), istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, yaitu pelaku cerita. Tokoh adalah pelaku dan penderita kejadiankejadian yang bersebab akibat (Nurgiyantoro, 2005: 216). Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagi peristiwa dalam suatu cerita yang terjalin karena peristiwa yang terjadi merupakan hasil hubungan para tokohnya (Sudjiman, 1988: 17). Keberadaan tokoh dalam sebuah karya sastra merupakan rekaan pengarang, meskipun terkadang gambaran mengenai tokoh-tokohnya ditemukan di kehidupan nyata. Link (1993: 232), mengemukakan pendapatnya mengenai tokoh sebagai berikut. “Als literarische Figuren (zu lat. Figura=Gestalt) bezeichnen wir fiktive anthropomorphe Individuen, die als isotopiekonstitutive Aktanten literarischen Texte verwendet werden. Wir können groβer formulieren, daβ in literarischen Texten die Handlungen, Reden oder Gedanken solcher Figuren eine Rolle spielen” Terjemahan: Tokoh sastra (dalam bahasa Latin figura= tokoh) kita sebut individu fiktif yang dipergunakan dalam teks sastra sebagai pelaku perbuatan. Kita dapat merumuskan secara garis besar, bahwa tindakan, pembicaraan atau pemikiran di dalam teks sastra bisa memainkan peranan semacam tokoh. Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh periferal
15
atau tokoh tambahan (Suminto via Jabrohim dkk, 2001: 105-106). Korelasi antara unsur-unsur keseluruhan dalam sebuah cerita, peranan setiap tokohnya tidak sama. Menurut Nurgiyantoro (2005: 13), Jumlah tokoh cerita yang terlibat dalam sebuah cerpen terbatas, apalagi yang berstatus tokoh utama. Marquaβ (1997: 36), berpendapat bahwa “Die Figuren, besonders die Hauptfigur, stehen im Zentrum des Leserinteresses. Ihr Verhalten und ihr Schicksal finden (zumindest beim ersten lesen) die größte Aufmerksamkeit. Terjemahan: Penokohan, terutama tokoh utama, adalah pusat perhatian pembaca. Prilaku mereka dan pertemuan takdirnya (setidaknya pada bacaan pertama) terdapat perhatian yang besar. Dalam sebuah cerita tokoh utama memiliki kedudukan penting. Pentingnya keberadaan tokoh utama karena tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2005: 177). Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama adalah tokoh yang penggambarannya mendominasi isi sebuah cerita Dibandingkan sebuah novel, tokoh (-tokoh) cerita dalam cerpen lebih terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan, sehingga pembaca harus menyusun sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh itu (Nurgiyantoro, 2005: 13). Apabila membicarakan tokoh tentunya tidak akan terlepas dari perwatakannya. Karena dengan mengetahui dan memahami watak seorang tokoh, maka dapat membedakan tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya, bahkan melalui tingkah laku seorang tokoh dalam suatu cerita kita dapat menentukan bagaimana perwatakan tokoh tersebut. Singkatnya, tokoh cerita berperan
16
mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi wujud oleh pengarang. Oleh karena itu, seorang pembaca harus mengetahui atau mengenal tokoh atau watak dalam suatu karya sastra, hal itu bertujuan agar pembaca mengetahui isi serta pesan yang disampaikan pengarang dalam cerita. Menurut Nurgiyantoro (2005: 165), penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Untuk menilai karakter tokoh dapat dilihat dari apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan (Abrams via Fananie, 2000: 87). Lebih jauh, Marquaβ (1997: 36) menjelaskan bahwa terdapat dua teknik yang digunakan pengarang untuk memberitahukan pembaca dalam memperoleh informasi mengenai seorang tokoh, yaitu: (1) Penggambaran tokoh secara langsung (die direkte Charakterisierung). Penggambaran karakter tokoh secara langsung dapat dikenali melalui pencerita (durch den Erzähler), melalui tokoh lain (durch andere Figuren), dan melalui tokoh itu sendiri (durch die Figuren selbst) (2) Penggambaran tokoh secara tidak langsung (die indirekte Charakterisierung). Penggambaran karakter tokoh secara tidak langsung dapat diketahui melalui deskripsi tingkah laku tokoh (durch die Schilderung ihres Verhaltens), melalui penggambaran penampilan tokoh (durch die Beschreibung ihres Äußeren) dan melalui penggambaran hubungan para tokoh (durch die Darstellung ihrer Beziehungen). Nurgiyantoro (2005: 166) menjelaskan bahwa, istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus
17
mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Jadi, penokohan merupakan gambaran perwatakan seorang tokoh dapat ditemukan dengan memberi visualisasi mengenai tindak-tanduk, ucapan, dan sejalan tidaknya antara yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Dalam kaitannya dengan tokoh, menurut Jones (via Nurgiyantoro, 2005: 165), penokohan memiliki makna tersendiri, yaitu pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan juga sekaligus menunjuk pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Link (1993: 235) menjelaskan tentang penokohan, bahwa: “Die Gesamtheit aller literarischen Figuren eines gegebenen Textes heiβt Konfiguration. Innerhalb der Konfiguration stehen die Figuren nach bestimmten Gesetzmäβigkeiten in binären, ternären, oder mehr gliedrigen Oppositionen. Jede Konfiguration ins gesamt läβt sich also als synchrones System auffassen”. Terjemahan: Keseluruhan dari semua tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra dinamakan penokohan. Dalam sebuah penokohan terdapat tokoh-tokoh dengan peran yang sudah ditentukan dalam posisi sekunder, tertier atau dalam beberapa posisi. Penokohan secara keseluruhan adalah merupakan sebuah sistem yang sinkron. Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah penggambaran tentang seorang tokoh baik yang berupa watak, sifat, atau kebiasaan seorang tokoh, yang mempengaruhi setiap apa yang dikatakan dan apa yang dilakukannya sehingga membedakan dengan tokoh lainnya. Sedemikian banyak argumentasi tentang penokohan. Namun, pada prinsipnya semua
18
argumentasi bermuara pada satu hal, yakni penokohan sebagai ruh sebuah cerita (Sugiharto, 2008: 24).
C. Konflik di dalam Cerpen Perwatakan dan konflik memiliki hubungan yang kuat. Hal itu dikarenakan komunikasi antar tokoh yang memiliki perbedaan watak atau karakter berpotensi memicu terjadinya suatu konflik. Tokoh penyebab konflik disebut tokoh antagonis (Nurgiyantoro, 2005: 179). Tokoh antagonis tersebut beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung atau tidak langsung, bersifat fisik maupun batin. Dengan demikian, dapat diuraikan bahwa interaksi antar tokoh yang memiliki perbedaan karakter, sikap dan kepentingan menjadi pemicu terjadinya konflik dalam sebuah cerita. Karakter
merupakan
salah
satu
unsur
pembangun
cerita
yang
kedudukannya sangat penting. Karakter menjadi suatu ciri khas yang dimiliki tokoh untuk membedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Dengan adanya perbedaan karakter pada masing-masing tokoh, maka akan timbul suatu permasalahan atau ketidakcocokan yang dapat menimbulkan terjadinya konflik. Konflik dalam Sastra diartikan sebagai ketegangan atau pertentangan dalam cerita rekaan atau drama (KBBI, 2002: 518) Menurut Meredith & Fitzgerald (via Nurgiyantoro, 2005: 122), konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Lebih rinci, Daniel Webter (via Pickering, 2006: 1), mendefinisikan konflik sebagai berikut: (1)
19
Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain (2) Kadaan atau perilaku yang bertentangan (misalnya: pertentangan pendapat kepentingan, atau pertentangan atar individu) (3) Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan (4) Perseteruan. Wellek & Warren (via Nurgiyantoro, 2005: 122) berpendapat bahwa, di dalam masyarakat, yang memiliki berbagai dinamika dan penuh persaingan, timbulnya sebuat konflik tidak dapat dielakkan. Di mana kita berada, selalu ada pilihan-pilihan yang saling bertentangan. Konflik dengan demikian, dalam pandangan kehidupan yang normal-wajar-faktual, artinya bukan dalam cerita, menyaran pada konotasi yang negatif, sesuatu yang tak menyenangkan. Dalam kehidupan nyata, hal ini dapat disimpulkan itulah sebabnya orang lebih suka memilih menghindari konflik dan menghendaki kehidupan yang tenang (Nurgiyantoro, 2005: 122). Kendati demikian, di sisi lain untuk cerita yang di teksnaratifkan, kehidupan yang tenang tanpa adanya masalah (serius) yang memacu munculnya konflik, dapat berarti “tak ada cerita, tak akan ada plot” (Nurgiyantoro, 2005: 122). Konflik (conflict), yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting (jadi, ia akan berupa peristiwa fungsional, utama, atau kernel), merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot. Di dalam sebuah karya sastra, konflik merupakan pergulatan yang dialami oleh karakter di dalam cerita dan ini merupakan inti dari sebuah karya sastra yang pada akhirnya membentuk plot (Nurgiyantoro, 2005: 122).
20
Nurgiyantoro (2005: 123) menjelaskan bentuk peristiwa dalam sebuah cerita dapat berupa peristiwa fisik ataupun batin. Peristiwa fisik melibatkan aktifitas fisik, ada interaksi seorang tokoh cerita dengan sesuatu yang diluar dari dirinya: tokoh lain atau lingkungan. Peristiwa batin adalah sesuatu yang terjadi dalam batin, hati, seorang tokoh. Kedua bentuk peristiwa tersebut sangat berkaitan, saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain. Konflik batin yang dialami seorang tokoh dapat mendorong terjadinya konflik fisik. Begitu kuatnya konflik batin yang dialami seorang tokoh akan mendorong tokoh tersebut mencari jalan keluar atau penyelesaiannya. Untuk mendapatkan jalan keluar ini, seorang tokoh mungkin mengambil jalan yang menyebabkan dirinya terlibat konflik dengan sesuatu yang di luar dirinya. Menurut Marquaβ (1998: 87), wujud konflik di dalam sastra dibagi menjadi dua bagian, yaitu konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal adalah konflik yang terjadi pada seorang tokoh yang menyangkut keinginan, tuntutan dan harapan, sedangkan konflik eksternal adalah konflik yang terjadi pada dua tokoh atau lebih yang mempertentangkan kekuasaan kepemilikan, kebaikan seseorang, atau seperti pertengkaran. Sejalan dengan Marquaβ, Stanton (via Nurgiyantoro, 2005: 124) menjelaskan bentuk konflik sebagai bentuk kejadian, dapat pula dibedakan kedalam dua kategori: konflik eksternal (external conflict) dan konflik internal (internal conflict). Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dari dirinya, mungkin dengan lingkungan alam mungkin
21
lingkungan manusia. Lebih lanjut, Jones (via Nurgiyantoro, 2005: 124), membagi konflik eksteral ke dalam dua kategori yaitu: (a) Konflik fisik (psysical conflict). Konflik fisik atau disebut juga konflik elementa adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam. Misalnya konflik dan atau permasalahan yang dialami seorang tokoh akibat gempa, gunung meletus, banjir dan lain sebagainya (b) Konflik sosial (social conflict). Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan adanya kontak sosial antar manusia, atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia. Masalahmasalah itu berupa masalah perburuhan, penindasan, percekcokan, peperangan, atau kasus-kasus hubungan sosial lainnya. Waltkins (via Chandra, 1992: 20), menyatakan bahwa konflik eksternal terjadi bila terdapat 2 hal, yaitu (a) terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis/ operasional dapat saling menghambat, (b) terjadi bila ada satu sasaran yang sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya satu pihak saja yang akan mencapainya. Stanton (via Nurgiyantoro, 2005: 124) menjelaskan konflik internal atau konflik kejiwaan adalah konflik yang terjadi di dalam hati, jiwa seorang tokoh (atau: tokoh-tokoh) cerita. Dapat disimpulkan, konflik ini merupakan pergulatan permasalahan internal seorang tokoh dengan dirinya sendiri. Misalnya, hal itu terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan pilihan yang berbeda, harapan-harapan atau masalah-masalah lainnya. Konflik timbul karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Salah satu penyebab konflik karena adanya konsekuensi dari komunikasi yang buruk,
22
salah pengertian, salah perhitungan dan proses lain yang tidak kita sadari atau di luar jangkauan perkiraan kita. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi para tokoh yang ada di dalam sebuah cerita. Kita senantiasa berhubungan dengan masyarakat dan dalam berkomunikasi sudah pasti memiliki peluang terjadinya kesalah pahaman satu sama lain. Konflik di dalam diri sendiri maupun konflik dengan orang lain yang dialami oleh tokoh utama dalam cerita Lupinen ini dapat juga kita alami dalam dunia nyata. Pemenuhan kebutuhan yang berbeda dan persamaan antara dua pihak serta hambatan yang ada juga merupakan hal yang dapat memicu terjadinya konflik. Kaitan langsung antara konflik dan kebutuhan sangat bergantung bagaimana kebutuhan itu direalisasikan dalam keinginan-keinginan tindakan pemenuhnya. Kebutuhan memang sangat berperan dalam sebagai penyebab konflik karena kebutuhan akan menentukan tindakan dan perilaku seseorang (Chandra, 1992: 21). Jadi konflik berawal dari seorang manusia, yang dituntut oleh kebutuhan, kemudian timbul upaya untuk merealisasikan kebutuhan tersebut. Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai “perang dingin” antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata-kata yang mengandung amarah. Sesuai dari fokus masalah yang telah dipaparkan di dalam bab sebelumnya, maka penulis memilih pembagian jenis konflik menurut Stanton. Pembagian Konflik yang diuraikan oleh Stanton yaitu konflik eksternal dan
23
internal, yang sesuai dengan masalah dalam objek yang akan dikaji di dalam penelitian ini yakni mengenai konflik yang dialami tokoh utama dalam cerpen Lupinen.
D. Psikologi Dalam Sastra 1. Psikologi Sastra Psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno: psyche= jiwa dan logos=kata dalam arti bebas adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/ mental. Jadi psikologi ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah laku manusia (Atkinson via Minderop, 2011: 3). Psikologi tidak mempelajari jiwa/ mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut, yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental (Zaviera, 2008: 19). Secara sederhana, psikologi sastra dapat diartikan sebagai gabungan disiplin psikologi dan sastra (Endraswara, 2008: 70). Psikologi sastra adalah ilmu yang mempelajari sastra dari sisi psikologi. Gabungan kedua disiplin ilmu itu dilakukan karena tuntutan keadaan. Tuntutan sastra sulit untuk ditawar lagi karena di dalamnya juga mengisahkan kondisi psikologis, terkait dengan tiga kutub sastra, yaitu teks, pengarang, dan pembaca. Dasar konsep yang memunculkan psikologi sastra adalah pemahaman sastra terkadang menemui jalan buntu. Pemahaman dari sisi lain, dipandang belum
24
menampung tuntutan psikis. Maka, lahirlah psikologi sastra untuk menjembatani kesenjangan interpretasi. Banyak pihak mungkin sependapat dengan istilah psikologi sastra karena kedua cabang ilmu ini berbeda objek. Sastra, di satu sisi adalah karya imajinatif, di lain pihak psikologi adalah ilmu jiwa yang mempelajari manusia secara nyata. Wellek dan Waren (1993: 90), memberikan pengertian psikologi sastra sebagi berikut: jadi yang dimaksud analisis psikologi dalam penelitian ini adalah suatu pandangan/ penglihatan terhadap sesuatu dilihat dari sudut pandang ilmu jiwa yang dikaitkan dengan aspek psikologi tokoh dalam karya sastra. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra adalah ilmu pengkajian atau penelitian sastra yang membicarakan persoalan-persoalan manusia dari aspek kejiwaan. Menurut Wellek (via Suroso dkk, 1998: 42) dalam buku teori kesussastraannya, menyatakan bahwa psikologi memasuki bidang kritik sastra melalui bebrapa cara, yaitu: 1) Pembahasan tentang proses kreatif penciptaan karya sastra 2) pembahasan psikologi terhadap pengarangnya, baik sebagai tipe maupun sebagai pribadi 3) pembicaraan tentang ajaran dan kaidah-kaidah psikologi yang dapat ditimba dari karya sastra dan 4) pengaruh karya sastra terhadap pembacanya. Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra merupakan kajian terhadap kejiwaan dalam tokoh-tokoh fiksi yang terdapat dalam suatu karya sastra. Selanjutnya pendekatan psikologi dalam penelitian terhadap
25
karya sastra dapat berpijak pada psikologi kepribadian yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
2. Psikoanalisis Sigmund Freud Sigmund Freud menciptakan istilah psikoanalisa untuk pertama kalinya di tahun 1896. Penemuannya itu yang menjadikan namanya tersohor hingga saat ini. Di antara deretan orang-orang cendekiawan saat ini, nama Sigmund Freud sudah tidak asing di telinga orang-orang berpendidikan saat ini khususnya di bidang psikologi dan psikiatri. Sigmund Freud lahir di Freiberg, kota kecil di daerah Moravia, yang saat itu merupakan daerah kekaisaran Austria-Hongaria, kini termasuk daerah di Cekoslowakia. Freud berasal dari suatu keluarga Yahudi. Ketika usianya empat tahun, keluarganya pindah ke Wina. Saat menginjak bangku perkuliahan, ia belajar ilmu kedokteran di Universitas Wina. Hingga usianya menginjak 82 tahun, ia menetap di ibu kota Austria itu. Dokter asal Austria ini terlihat sangat kuat pengaruhnya hingga saat ini, tidak hanya dalam bidang ilmu pengetahuan tentang psikologi, melainkan penemuannya telah dimanfaatkan untuk perkembangan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi budaya. Dalam dunia Filsafat, Freud memiliki andil besar. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dua buku berbahasa Perancis tentang filsafat abad ke-20 dengan panjang lebar dibicarakan tentang pemikiran Freud, tetapi dalam uraian-uraian sistematis tentang filsafat sering kali
26
namanya tidak terlupakan. Pengaruh lain dalam peradaban modern di bidang kesenian, dikenal dengan aliran “surrealisme” (Bertens, 1987: xi). Psikoanalisis sendiri pada awalnya adalah sebuah metode psikoterapi untuk menyembuhkan penyakit-penyakit mental dan syaraf, dengan menggunakan teknik tafsir mimpi dan asosiasi bebas. Di sini pasien harus meninggalkan setiap sikap kritis terhadap fakta-fakta yang disadari dan mengatakan apa saja yang timbul dalam pemikirannya. Teori ini kemudian meluas menjadi sebuah teori tentang kepribadian. Konsep-konsep yang terdapat dalam teori kepribadian versi psikoanalisis ini termasuk yang paling banyak dipakai di berbagai bidang hingga saat ini. Di antara berbagai aliran dalam psikologi, psikoanalisis adalah aliran yang paling akrab dengan seni. Sigmund Freud, sebagai penggagas psikoanalisis, adalah seorang yang menghargai kebudayaan, menyukai seni, dan gemar membaca sastra sejak muda. Tidak heran kalau kemudian ia menjadikan sastra sebagai medan penelitian sekaligus ilustrasi untuk membuktikan teori-teori yang dikembangkannya. Freud menempatkan tokoh-tokoh di dalam teks sastra sebagai pasien yang sedang bercerita mengenai kehidupannya. Dalam karya-karya sastra besar, misalnya Oedipus (Sophokles), Hamlet (Shakespiere), dan The Brother Karamazov (Dostoyevsky), Freud menemukan tipe-tipe manusia yang menyerupai dan sesuai dengan pemikirannya. Dalam proses analisis, peneliti memposisikan dirinya sebagai seorang psikiater yang memiliki keharusan untuk mendeskripsikan persoalan kepribadian yang dialami para tokoh di dalam Kurzgeschichte Lupinen. Untuk mengulas itu semua digunakan teori kepribadian menurut Freud.
27
Menurut Freud (via Suryabrata, 2003: 124), ada 3 hal utama yang berhubungan dengan kepribadian atau karakter seseorang di antaranya struktur kepribadian, dinamika kepribadian dan perkembangan kepribadian. Berikut ini mengenai uraian dari ketiga hal tersebut. 1) Struktur kepribadian Pada awal perkembangan teori Freud tentang struktur kepribadian dan sebab-sebab gangguan jiwa. Manusia pada hakekatnya bersifat biologis, dilahirkan dengan dorongan-dorongan instingtif, dan perilaku merupakan fungsi mereaksi secara mendalam terhadap dorongan-dorongan tersebut. Manusia bersifat tidak rasional, tidak sosial, dan destruktif terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Yusuf dkk (2007: 41) menjelaskan bahwa, teori psikoanalisa Freud membagi struktur kepribadian ke dalam tiga komponen di antaranya: a) Id (das Es) Id adalah aspek biologis yang merupakan sistem kepribadian yang asli. Hidup psikis janin sebelum lahir dan bayi yang baru lahir hanya terdiri dari id saja. Id itu yang akan menjadi bahan dasar bagi pembentukan hidup psikis lebih lanjut (Freud, 1987: xl). Freud (via Koeswara, 1991: 32), menyatakan bahwa id adalah sistem kepribadian yang paling dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Di antara dua sistem pokok kepribadian, id berperan sebagai penyalur energi yang dibutuhkan oleh sistem-sistem tersebut untuk kegiatan-kegiatannya.
28
Das es berisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir (unsur-insur biologis), termasuk instink-instink; das Es merupakan “reservoir” energi psikis yang menggerakan Das Ich dan Das Über Ich (Suryabrata, 2003: 125) Menurut Koeswara (1991: 32), di dalam hal energi, id tidak bisa mentoleransi penumpukan energi yang bisa menyebabkan meningginya taraf tegangan organisme atau individu secara keseluruhan. Dalam keadaan bagaimanapun, bagi setiap invidu meningginya tegangan itu, merupakan keadaan yang tidak menyenangkan. Lebih lanjut, Koeswara (1991: 32) menguraikan bahwa ketika tegangan pada organisme meningkat, baik karena adanya stimulasi dari luar (suhu, cahaya, dan bunyi yang intensitasnya tinggi) maupun karena adanya stimulasi dari dalam (lapar, haus, kekurangan oksigen), maka id akan berusaha meredakan atau mengurangi tegangan yang meninggi itu, serta mengembalikannya kepada taraf semula. Ketika id menjalankan fungsi serta operasinya, dilandasi oleh maksud mempertahankan konstansi (the principle of constancy). Hal ini juga diamini oleh profesor psikologi Feist (2010: 32), meskipun id tidak memiliki kontak dengan dunia nyata, namun id selalu berupaya untuk meredam ketegangan dengan cara memuaskan hasrat-hasrat dasar. Semua ini dikarenakan karena fungsi tunggal id adalah untuk memperoleh kepuasan sehingga disebut sebagai prinsip kesenangan (pleasure principle). Seperti yang telah dijelaskan, karena tidak ada hubungan id dengan kenyataan, maka id tidak akan berubah seiring perjalanan waktu atau akibat pengalaman.
29
Menurut Freud (Feist, 2010: 32), pada id keinginan di masa kanak-kanak tak berubah sampai berpuluh-puluh tahun. Secara singkat Feist (2010: 32), menjelaskan bahwa id adalah wilayah primitif, kacau balau, dan tak terjangkau oleh alam sadar. Id tak sudi diubah, amoral, tidak logis, tak bisa diatur, dan penuh energi yang datang dari dorongan-dorongan dasar serta dicurahkan semata-mata untuk memuaskan prinsip kesenangan, sehingga prinsip dari fungsi id adalah menghindari diri dari ketidaknyamanan dan mengejar keenakan. Pedoman seperti ini disebut Freud (via Sujanto dkk, 2004: 60) sebagai prinsip kenikmatan atau prinsip keenakan. Sehinnga dapat disimpulkan bawa prinsip dasar cara kerja id adalah menghindarkan diri dari ketidaknyamanan dan mengejar keenakan atau kenikmatan. Menurut Sujanto dkk (2004: 60), untuk menghilangkan ketidakenakan dan mencapai kenikmatan itu, das es mempunyai dua cara (alat proses) yaitu: (a) Refleks dan reaksi-reaksi otomatis, seperti misalnya bersin, berkedip dan sebagainya (b) Proses primer, seperti misalnya orang lapar membayangkan makanan. Akan tetapi, ketika seseorang dengan keadaan lapar tidak akan menjadi kenyang, hanya dengan membanyangkan makanan. Karena itu sudah menjadi keharusan kodrati adanya sistem lain yang menghubungkan pribadi dengan dunia objektif. Sistem yang demikian itu yang Freud sebut dengan ego (das ich) (Sujanto dkk, 2004: 60). b) Ego (Das Ich) Ego atau dalam bahasa Jermannya das ich disebut juga dengan sistem der Bewussten Verbewussten. Menurut Sujanto dkk (2004: 60), aspek ini adalah aspek
30
psikologis daripada kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk hubungan secara baik dengan dunia kenyataan (realitas). Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Feist (2010: 32), bahwa ego dikendalikan oleh prinsip kenyataan (reality principle), yang berusaha menggantikan prinsip kesenangan milik id. Sebagai satu-satunya wilayah dari pikiran yang berhubungan dengan dunia luar, maka ego pun mengambil peran eksekutif atau pengambil keputusan dari kepribadian. Akan tetapi, oleh karena ego sebagian bersifat sadar, dan sebagian lagi tidak sadar maka ego bisa mengambil keputusan diketiga tingkat tersebut. Sebagai contoh, ego seorang wanita, secara sadar, memotivasi untuk memilih pakaian yang dijahit rapi dan sangat licin karena ia merasa nyaman saat mengenakan busana seperti itu. Pada saat bersamaan, ia mengingat secara samar-samar (secara bawah sadar) bahwa sebelumnya ia pernah dipuji karena memilih pakaian yang bagus. Keputusan seperti itu bisa terjadi di tiga tingkat kehidupan mental. Menurut Freud (via Bertens, 1987: xl), ego terbentuk dengan deferensiasi dari id karena kontaknya dengan dunia luar. Aktivitasnya bersifat sadar, prasadar maupun tak sadar. Untuk sebagian ego bersifat sadar, dan sebagai contohnya disebut: presepsi lahiriah, presepsi batiniah, proses-proses intelektual. Aktifitas prasadar, sebagai contohnya dapat dikemukakan fungsi ingatan serta aktifitas tak sadar ego dijalankan dengan mekanisme-mekanisme pertahanan (defence mechanisms). Pada waktu menjalankan fungsi kognitif dan intelektual, ego harus menimbang-nimbang antara sederetan tuntutan id yang tidak masuk akal dan
31
saling bertentangan dengan superego. Jadi ego terus-menerus berupaya untuk mengendalikan tuntutan buta dan irasioanal dari id serta superego dengan tuntutan realistis dari dunia luar. Terjepit oleh tiga sisi kekuatan yang saling berbeda dan berlawanan satu dengan yang lainnya, maka ego pun memunculkan reaksi yang sudah bisa diperkirakan sebelumnya yaitu, cemas. Kecemasan memiliki arti penting karena fungsinya membantu individu agar
mengetahui
adanya
bahaya
yang
sedang
mengancamnya.
Tetapi
bagaimanapun, kecemasan akan menjadi pengganggu yang sama sekali tidak diharapkan kemunculannya oleh individu apabila kecemasan itu berlebihan, serta taraf tegangan yang ditimbulkan relatif tinggi. Apabila hal ini terjadi, maka ego individu akan menjalankan mekanisme pertahanan. Dengan kata lain ego sendirilah yang secara aktif membangkitkan rasa cemas agar mekanismemekanisme pertahanan dapat dijalankan. Freud (via Feist, 2010: 32) juga menjelaskan bahwa ego menggunakan represi dan mekanisme pertahanan (defense mechanisms) lainnya untuk melindungi diri dari kecemasan tersebut. Menurut Freud (via Feist, 2010: 40) mekanisme pertahanan ego itu adalah mekanisme yang rumit dan banyak macamnya, di antaranya: a. Represi (Repression) Represi adalah mekanisme yang dilakukan oleh ego untuk meredakan kecemasan dengan jalan menekan dorongan-dorongan atau keinginan-keinginan yang menjadi penyebab kecemasan tersebut ke dalam alam tidak sadar. Menurut Feist (2010: 40), dalam banyak kasus represi ini bisa muncul sepanjang hidup.
32
Misalnya seorang perempuan muda bisa selamanya menekan rasa marah pada adik perempuannya karena rasa benci tersebut melahirkan kecemasan yang terlalu besar. Dorongan yang mengalami tekanan tersebut jua bisa tersalurkan lewat mimpi, salah ucap, ataupun bentuk-bentuk mekanisme pertahanan lainnya. b. Pembentukan Reaksi (Reaction Formation) Salah satu cara agar dorongan yang ditekan tersebut bisa disadari adalah dengan cara menyembunyikan diri dalam selubung yang sama sekali bertentangan dengan bentuk semula. Mekanisme pertahanan seperti ini disebut sebagai pembentukan reaksi (reaction formation). Menurut Freud (via Feist, 2010: 40), perilaku reaktif seperti ini bisa dikenali dari sifatnya yang berlebih-lebihan dan bentuk yang obsesif juga kompulsif. Contoh dari pembentukan reaksi seperti ini bisa dilihat dari seorang anak yang sangat marah dan benci terhadap ibunya, tetapi karena kebencian dan kemarahan terhadap ibu itu merupakan suatu sikap yang tercela maka kesadaran akan benci terhadap ibunya membuatnya mengalami rasa berdosa dan kecemasan yang besar, maka si anak berkosentrasi pada dorongan-dorongan yang sebaliknya yaitu cinta dengan menyayangi bunya secara berlebihan. Akan tetapi cintanya pada sang ibu tidak tulus. Cintanya terlalu ditonjolkan dan berlebihan serta dibuatbuat. Si anak menipu dirinya sendiri dan berpegang pada pembentukan reaksinya, yang membantu dirinya menyembunyikan kebenaran rasa marah kepada sang ibu yang membuatnya cemas. c. Pengalihan (Diplacement)
33
Pengalihan adalah pengungkapan dorongan yang menimbulkan kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya atau kurang mengancam dibandingkan dengan objek atau individu semula. Sebagai contoh, seorang siswa yang dihukum oleh gurunya melampiaskan keinginan untuk melakukan pembalasan dengan merusak perabotan sekolah. d. Fiksasi (Fixation) Secara umum, pertumbuhan psikis lazimnya bergerak secara kontinu melalui serangkaian tahap perkembangan. Akan tetapi proses pendewasaan secara psikologis tidaklah bebas dari momen-momen yang penuh dengan stres maupun kecemasan. Jika melangkah ketahap perkembangan lebih lanjut memunculkan kecemasan yang begitu besar, maka ego bisa mengambil strategi untuk tetap bertahan ditahap psikologis saat ini, yang lebih nyaman. Pertahan semacam ini disebut sebagai fiksasi. Serupa dengan mekanisme pertahanan lainnya, fiksasi bersifat universal. Orang-orang yang terus-menerus mendapatkan kepuasan lewat makan, merokok atau bicara bisa jadi memiliki fiksasi oral, sebagaimana mereka yang terobsesi pada kerapihan dan keteraturan memiliki fiksasi anal. e. Regresi (Regression) Regresi merupakan suatu mekanisme di mana individu untuk menghindari diri dari kenyataan yang mengancam dimasa-masa penug stress dan kecemasan, kembali kepada taraf perkembangan yang lebih rendah serta berperilaku seperti ketika dia dalam taraf perkembangan yang lebih rendah itu. Contohnya, ketika seorang anak yang merasa cemas kasih sayang kedua orang tuanya direbut oleh adiknya yang baru lahir, menjadi sering ngompol seperti ketika dia masih bayi.
34
Regresi ini bersifat temporer, sementara fiksasi menuntut pengarahan energi psikis yang sedikit banyak bersifat permanen. f. Proyeksi (Projection) Manakala dorongan dari dalam menyebabkan kecemasan yang berlebihan, ego biasanya mengurangi rasa cemas tersebut dengan mengarahkan dorongan yang tak diinginkan ke objek eksternal, biasanya kepada orang lain. Inilah yang dimaksud mekanisme pertahanan proyeksi, yang diartikan oleh Freud (via Feist 2010: 42), sebagai dorongan atau perasaan orang lain yang tidak dapat diterima, padahal sebenarnya perasaan atau dorongan tersebut ada di alam tidak sadar diri sendiri. Contoh dari mekanisme seperti ini, saat seorang siswa malas dan kemudian tidak lulus ujian mengatakan kepada orang tuannya, bahwa dia tidak lulus ujian bukan karena dia bodoh tapi karena gurunya sentimen kepadanya. Prasangka-prasangka sosial atau pengkambinghitaman atas individu atau kelompok lain (biasanya minoritas) juga merupakan bentuk proyeksi. g. Introyeksi (Introjection) Introyeksi adalah mekanisme pertahanan di mana seseorang meleburkan sifat-sifat positif orang lain kedalam egonya sendiri. Contohnya adalah seorang remaja yang melakukan introyeksi atau mengadopsi perilaku, nilai atau gaya hidup seorang bintang film. Introyeksi seperti ini memberikan remaja tersebut rasa menghargai diri sendiri yang belebihan dan meminimalkan perasaan-perasaan inferiornya. h. Sublimasi (Sublimation)
35
Setiap mekanisme pertahanan diri yang telah dijelaskan sebelumnya, membantu individu melindungi ego dari kecemasan. Akan tetapi mekanisme pertahanan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat. Dalam teori psikoanalisis Freud, hanya ada satu mekanisme pertahanan yang dapat diterima baik oleh individu maupun kelompok sosial yaitu mekanisme pertahanan diri sublimasi (Freud, via Feist 2010: 43). Sublimasi merupakan represi dari tujuan genital dari eros dengan cara menggantinya ke hal-hal yang bisa diterima, baik secara kultural ataupun sosial. Tujuan sublimasi diungkapkan secara jelas terutama melalui pencapaian kultural kreatif, seperti ada seni musik juga sastra, lebih tepatnya pada segala bentuk hubungan antar manusia dan aktifitas-aktifitas sosial lainnya. Freud (via Feist, 2010: 40), menjelaskan bahwa ego membangun mekanisme pertahanan agar seseorang tidak perlu menghadapi ledakan-ledakan seksual dan agresif secara langsung dan untuk mempertahankan diri sendiri dari kecemasan yang mengikuti dorongan-dorongan tersebut. Secara singkat semua mekanisme pertahanan menjaga ego dari kecemasan. Mekanisme-mekanise tersebut bersifat univeral yang artinya semua orang melakukan perilaku-perilaku defensif sampai pada tahap tertentu.
c) Superego (Das über Ich) Superego adalah aspek sosiologis yang mencerminkan nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat yang ada di dalam kepribadian individu.
36
Superego merupakan bagian dari jiwa atau kepribadian yang berkembang dari penggabungan standar-standar moral dan larangan-larangan yang diberikan oleh orangtua, khususnya dari ayah. Secara kasarnya superego ini adalah sama atau ekuivalen dengan kesadaran (Chaplin, 2008: 494). Menurut Freud (via Bertens, 1987: xli), superego adalah buah hasil proses internalisasi, sejauh larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya ditemui sebagai “asing” bagi si subjek, akhirnya dianggap sebagai suatu yang berasal dari subjek sendiri. Contohnya, “engkau tidak boleh ... atau engkau harus ...” menjadi “aku tidak boleh ... atau aku harus ...” . Superego merupakan dasar nurani moril. Aktivitas superego menyatakan ciri dalam konflik dengan ego yang dirasakan dalam emosi-emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dan lain sebagainya. Sikap-sikap seperti observasi diri, kritik diri, dan inhibisi berasal dari superego. Sujanto dkk (2004: 62) menjelaskan fungsi pokok das Über ich yang dilihat dari hubungan ketiga aspek kepribadian sebagai berikut: a) Merintangi impuls-impuls das es, terutama impuls-impuls sexuil dan agresif yang pernyataannya sangat ditentang oleh masyarakat, b) Mendorong das ich untuk lebih mengejar hal-hal irrealistis daripada realistis, c) Mengejar kesempurnaan. Secara singkat dapat simpulkan bahwa superego (das über ich) cenderung menentang baik das ich maupun das es serta membuat dunia menurut konsepsi yang ideal. Struktur kepribadian yang telah dijelaskan oleh Freud, terdiri atas tiga aspek, yang perlu diingat, dari ketiga aspek tersebut hanya nama-nama untuk berbagai proses psikologi yang berlangsung dengan prinsip-prinsip yang berbeda
37
satu sama lain. Dalam keadaan biasa, ketiga sistem itu bekerja sama dengan diatur oleh das ich (Suryabrata, 2003: 128). 2) Dinamika kepribadian Dinamika kepribadian terdiri atas cara bagaimana energi psikis itu di distribusikan serta digunakan oleh id, ego, dan superego. Masing-masing fungsinya id, ego, dan superego menggunakan energi psikis dengan hasil atau dampak yang berbeda terhadap kepribadian individu. Demikian pula dominasi salah satu sistem akan memberi corak tertentu kepada kepribadian individu, yang bisa dilihat dari kecenderungan individu tersebut dalam bertingkahlaku (Koeswara, 1991: 43). Dominasi dari id misalnya, menyebabkan kepribadian individu tidak matang
dan
bercorak
lust-principe,
sehingga
individu
tersebut
dalam
bertingkahlaku akan cenderung tanpa pertimbangan dan ditujukan hanya kepada pencapaian kesenangan saja. Apabila yang dominan itu superego, maka yang akan tampil adalah sebaliknya, yakni kepribadian individu yang moralistis, kaku dan tidak realistis, dengan tingkah laku yang selalu dipertimbangkan dan bahkan dihambat oleh kode-kode moral. Dalam kedua keadaan seperti ini, ego selaku eksekutif kepribadian akan berada dalam posisi yang sulit. Baik id maupun superego selalu berusaha agar ego berada dipihaknya. Apabila ego dengan antikateksisnya cukup kuat, maka kedua sistem yang bertolak belakang dan samasama ingin tampil dominan itu bisa didamaikan sehingga kepribadian akan terintegrasi dengan baik. 3) Perkembangan kepribadian
38
Kepribadian individu menurut Freud (via Suryabrata, 2003: 140), telah mulai terbentuk pada tahun-tahun pertama di masa kanak-kanak. Pada umur 5 tahun hampir seluruh struktur kepribadian telah terbentuk, pada tahun-tahun berikutnya hanya menghaluskan struktur dasar tersebut. Kesimpulan ini diambil atas
dasar
pengalaman-pengalamanya
dalam
melakukan
psikoanalisis.
Penyelidikan dalam hal ini selalu menjurus ke arah masa kanak-kanak, yaitu masa mempunyai peranan yang menentukan dalam hal timbulnya neurosis pada tahuntahun yang lebih kemudian. Kanak-kanak adalah ayahnya manusia (The Child ist the Father of Man). Dalam penyelidikan masa kanak-kanak ini Freud tidak langsung menyelidiki kanak-kanak, akan tetapi membuat rekonstruksi atas dasar ingatan orang dewasa mengenai masa kekanak-kanaknya (Freud, via Suryabrata 2003: 141). Menurut Suryabrata (2003: 141) kepribadian itu berkembang dalam hubungan dengan empat macam sumber tegangan pokok, yaitu: 1) proses pertumbuhan filosofis, 2) frustasi, 3) konflik, dan 4) ancaman. Sebagai akibat dari meningkatnya tegangan karena keempat sumber itu, maka orang terpaksa harus belajar cara-cara yang baru untuk mereduksi tegangan. Belajar mempergunakan cara-cara baru dalam mereduksi tegangan inilah yang disebut perkembangan kepribadian. Konsep
Freud
yang
paling
mendasar
adalah
teorinya
tentang
ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga lapisan itu, taksadar adalah bagian
39
terbesar yang memengaruhi perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, di mana bagian paling atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan, sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili tak sadar. Freud berpendapat bahwa alam bawah sadar adalah sumber dari motivasi dan dorongan yang ada dalam diri kita, apakah itu hasrat yang sederhana seperti makanan atau seks, daya-daya neurotic, atau motif yang mendorong seorang seniman atau ilmuwan berkarya. Namun anehnya, kita sering terdorong untuk menampik atau menghalangi seluruh bentuk motif ini naik ke alam sadar. Oleh karena itu, motif-motif itu kita kenali dalam wujud samar-samar. Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya. Psikoanalasis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen di luar karya sastra. Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya.
40
Seperti yang telah ditunjukan Sigmund Freud melalui karya-karyanya, Freud menjadikan sebuah teks sastra sebagai objek, interpretasi di dalam penelitian ini melalui dua tahapan. Tahap pertama penelitian difokuskan pada teks cerpen itu sendiri yang bertujuan untuk memperoleh data bagaimana kepribadian tokoh serta permasalahan yang telah dialaminya. Tahap selanjutnya penelitian akan menginterpretasikan bagaimana konflik demi konflik bisa terjadi diantara tokoh-tokohnya.
F. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah : 1. Penelitian Arif Widianto, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Jerman Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul “Drama Tragedi Gyges und sein Ring karya Friedrich Hebbel (Suatu Tinjauan Psikoanalisis)”. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan pergolakan batin jiwa para tokoh sentral dalam drama. Tragedi Gyges und sein Ring menurut tinjuan psikoanalisis. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiga tokoh utama di dalam drama ini, masing-masing dikuasai oleh tiga sistem psikologi yang berbeda yaitu Kandaules yang cenderung dikuasai oleh sistem id, Gyges yang memiliki dorongan ego lebih dominan dan Rhodope, sosok yang memiliki dominan superego dalam dirinya. 2. Penelitian Maria Magdalena Dwi H, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Jerman Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul “Kajian Psikologi Perwatakan Tokoh Klara dalam Drama Maria
41
Magdalena Karya Friedrich Hebbel”. Di dalam penelitian Drama Maria Magdalena, peneliti telah berhasil menemukan bahwa (1) Perwatakan tokoh Klara adalah baik, memiliki kepercayaan, pemurung, penakut dan penurut. (2) Permasalahan psikologi yang dihadapi oleh Klara adalah kecemasan, kekecewaan, keputusasaan, ketidakberdayaan, keragu-raguan, dan keinginan untuk bunuh diri. (3) Usaha yang dilakukan oleh toko Klara dalam mengatasi permasalahan psikologi yang dihadapi adalah pembentukan reaksi, represi, penggeseran (displacement), rasionalisasi, regresi, sublimasi, menahan diri dan bunuh diri.
42
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian pustaka yang menggunakan teknik deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra Sigmund Freud. Data dan informasi dikumpulkan melalui berbagai sumber, baik dari perpustakaan maupun tempat lain. Analisis data menggunakan metode deskriptif, yakni mendeskripsikan teks cerita berdasarkan unsur struktur cerita dan unsur didaktisnya disertai kutipan teks yang mendukung. Penelitian ini akan mendeskripsikan watak dan konflik yang dialami tokoh utama di dalam Kurzgeschichte Lupinen karya Marie Luise Kaschnitz, serta bagaimana jalan keluar yang ditempuh tokoh utama dalam menyelesaikan konfliknya.
B. Data Penelitian Data penelitian ini berupa kata-kata, frasa atau kalimat-kalimat sesuai dengan analisis pengumpulan data yang menggambarkan karakter serta konflikkonflik yang dialami tokoh utama dalam Kurzgeschichte Lupinen karya Marie Luise Kaschnitz, kemudian konflik-konflik tersebut diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis konflik dan setelahnya dicari penyelesaian yang diambil tokoh utama dalam konflik yang terjadi. Dengan demikian pembahasan dalam penelitian ini akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian pembahasan tersebut.
43
C. Sumber Data Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pustaka karena yang menjadi sumber data adalah sebuah teks. Sumber data yang digunakan adalah Kurzgeschichte Lupinen karya Marie Luise Kaschnitz. Cepen itu diambil dari buku berjudul Marie Luise Kaschnitz Ferngespräche yang terdapat di halaman 19-25 terbitan Hanseatische Druckanstalt GmbH Hamburg, pada tahun 1966.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik baca dan catat, karena penelitian ini digolongkan penelitian kepustakaan. Teknik yang dilakukan dengan mencari, mengumpulkan, membaca, dan mempelajari buku-buku acuan, artikel serta tulisan yang berhubungan dengan fokus penelitian. Pembacaan dilakukan dengan mencermati dan memahami setiap kata, frasa dan kalimat untuk menemukan perwatakan, konflik yang meliputi pergolakan batin atau jiwa yang dialami tokoh dalam Kurzgeschichte Lupinen dan bagaimana cara penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh. Data tersebut berupa ujaran, kalimat, alinea, dan konteks yang memiliki keterkaitan dengan tokoh utama dan tokoh lain dalam cerpen Lupinen.
44
E. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah peneliti sendiri yang berperan sebagai perencana, pengumpul data, penafsir data, penganalisis, dan pelapor hasil penelitian (Moleong, 1994: 121). Dengan kata lain, instrumen penelitian berupa manusia (human instrument). Dalam pengumpulan data peneliti juga menggunakan alat bantu berupa buku-buku acuan yang mendukung penelitian serta hasil kerja pengumpulan data kemudian dicatat dalam kartu data, yang merupakan hasilpencatatan sesudah pembacaan Kurzgeschichte Lupinen. Kartu data yang digunakan peneliti adalah sebagai berikut: Tabel 1. Perwatakan Tokoh Utama Kutipan Data No.
B. Jerman
Hlm /
Wujud
Struktur
Baris
perwatakan
kepribadian
Terjemahan
Id
Ego
Super Ego
1. 2.
Tabel 2. Konflik Para Tokoh Utama Kutipan Data No. B. Jerman
1. 2.
Terjemahan
Hlm /
Wujud
Baris
Konflik
Struktur kepribadian
Id
Ego
Super Ego
45
Tabel 3. Penyelesaian Konflik Tokoh Utama Kutipan Data No.
B. Jerman
Terjemahan
Hlm / Baris
Bentuk Mekanisme Pertahanan
Keterangan
1. 2.
Kegiatan membaca dengan pencatatan melalui kartu data inilah yang menjadi alat pengumpulan data yang digunakan untuk mencatat data-data yang berkaitan dengan tujuan penelitian.
F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif interpretatif (Endraswara, 2008: 71) dengan pendekatan psikologi sastra Sigmund Freud. Deskriptif interpretatif merupakan metode penelitian yang menggunakan data-data penelitian berupa data verbal bersifat interpretatif yang memerlukan penjelasan secara deskriptif. Adapun langkahlangkah yang digunakan dalam teknik analisis deskriptif interpretatif adalah sebagai berikut: (1) Mendeskripsikan perwatakan dan konflik yang dialami tokoh utama menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. (2) Tabulasi yaitu proses analisis data yang digambarkan dalam bentuk tabel berdasarkan identifikasi unsur-unsur yang sesuai dengan tujuan penelitian. (3) Interpretasi menggunakan pendekatan psikologi sastra dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. (4) Inferensi, yaitu dilakukan dengan cara mengaitkan teori-teori pada bab
46
II dan referensi pada pengetahuan lain yang mendukung. Berdasarkan data penelitian, hasil referensi merupakan dasar bagi tercapainya hasil penelitian dan pembahasan. Langkah terakhir dalam penelitian ini adalah pengambilan kesimpulan. Kesimpulan diambil setelah dilakukan penelitian serta pembahasan menyeluruh mengenai aspek-aspek yang diteliti dalam Kurzgeschichte Lupinen. Inferensi penelitian ini meliputi perwatakan dan konflik yang dialami tokoh utama dalam Kurzgeschichte Lupinen.
G. Keabsahan Data Keabsahan data dalam penelitian ini diperoleh melalui pertimbangan validitas dan reliabilitas. Validitas dalam penelitian ini menggunakan validitas semantis, yaitu melihat seberapa jauh data yang ada dimaknai sesuai dengan konteksnya. Hal itu sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Endraswara (2004: 164), ia berpendapat bahwa validitas semantik digunakan untuk mengukur tingkat kesensitifan makna simbolik yang bergayut (relevan) dengan konteks tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengamati data-data berupa unit-unit kata, frasa, kalimat, wacana dialog, monolog, deskripsi pengarang dan interaksi anatar tokoh. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengamati seberapa jauh, data tentang perwatakan dan konflik yang dialami tokoh utama dimaknai sesuai dengan
konteksnya.
Selain
itu,
penelitian
ini
menggunakan
validitas
expertjudgement, yaitu data yang diperoleh dikonsultasikan kepada orang yang ahli di bidangnya untuk mendapatkan hasil penelitian dengan data yang valid
47
yaitu dosen pembimbing yang merupakan dosen di jurusan Pendidikan Bahasa Jerman Universitas Negeri Yogyakarta. Endraswara (2004: 165) menyatakan bahwa reliabilitas selalu berdasarkan pada ketekunan pengamatan dan pencatatan. Pembacaan yang cermat akan berpengaruh pada kestabilan pencarian data. Reliabilitas data diperoleh melalui pengamatan dan pembacaan secara berulang-ulang (intrarater) terhadap objek penelitian. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar penulis dapat memperoleh data-data dengan hasil yang diharapkan
dan
konsisten.
Selain
reliabilitas
intrarater,
peneliti
juga
menggunakan reliabilitas interrater, yaitu mendiskusikan hasil penelitian yang dianggap masih perlu untuk diperbaiki dengan teman sejawat.
BAB IV KONFLIK TOKOH DALAM KURZGESCHICHTE LUPINEN KARYA MARIE LUISE KASCHNITZ
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan cerpen Lupinen. Hasil penelitian ini menyajikan data-data yang diperoleh dari sumber data yang sudah disesuaikan dengan tujuan penelitian. Hasil penelitian ini meliputi uraian tentang Kurzgeschichte Lupinen, deskripsi perwatakan tokoh utama, konflik yang dialami tokoh utama, serta bagaimana mekanisme pertahanan ego yang dilakukan tokoh utama dalam menyelesaikan konflik yang dialaminya. Keempat pokok permasalahan tersebut akan disajikan dalam bentuk rangkuman dan data berupa tabel yang selengkapnya disertakan dalam lampiran. Untuk lebih jelasnya diuraikan di bawah ini.
A. Deskripsi Kurzgeschichte Lupinen Karya Marie Luise Kaschnitz Lupinen adalah salah satu Kurzgeschichte karya Marie Luise Kaschnitz yang terdiri atas enam halaman, ditulis pada masa Perang Dunia ke II sekitar tahun 1943. Dalam penceritaannya, sudut pandang (Erzählperspektive) yang digunakan Kaschnitz pada Kurzgeschichte ini adalah Personal-Erzӓhlung. Hal ini dibuktikan dalam cerpen menggunakan Personal Pronomen yang berupa kata ganti orang pertama tunggal yaitu sie dan penyebutan nama. “Barbara sagte nicht, aber sie zitterte am ganzen Körper, sie war zwanzig Jahre alt und hatte gehofft, das alles vorüberging. Hatte auch manchmal kichernd, ein bleicher Kobold, in der Bodenluke gesessen und eben das
48
49
gesungen, es geht alles vorüber, es geht alles vorbei, und den ziehende Wolken nachgeschaut”. (Kaschnitz, 1966: 22) Barbara merupakan tokoh utama dari Kurzgeschichte ini. Selain Barbara ada pula beberapa tokoh lain seperti Kapfinger (Ipar laki-laki Barbara) serta tokoh pendukung yang penggambarannya muncul pada awal cerita dalam cerpen ini seperti Fanny (kakak Barbara) dan para tentara NAZI. Kurzgeschichte Lupinen adalah sebuah cerpen yang menceritakan tentang kisah dua gadis kakak beradik keturunan Yahudi yang bernama Fanny dan Barbara. Pada saat Perang Dunia II, Fanny dan Barbara serta semua warga keturunan Yahudi ditawan oleh tentara NAZI. Setiap hari secara berkala mereka diangkut menggunakan “kereta kematian” untuk dibawa ke suatu tempat. Di malam-malam panjang sebelum tidur, Fanny dan Barbara menyusun rencana dengan sangat detail bagaimana agar mereka dapat meloloskan diri dari tawanan tentara NAZI. Tiba disuatu malam, saat mereka akan dibawa ke sebuah Camp (tenda yang telah dipersiapkan tentara NAZI untuk mengumpulkan bangsa Yahudi) saat di dalam kereta, mereka menjalankan rencana pelarian namun ketika kejadian itu, hanya Barbara yang berhasil melancarkan aksinya sedangkan Fanny tidak selamat. Di tengah-tengah kebingungan Barbara, dia memutuskan untuk pulang ke rumah iparnya, Kapfinger. Barbara berhasil sampai di rumah kakak iparnya. Sebelum Barbara dan Fanny menjadi tawanan NAZI, Fanny telah menikah dengan seorang tentara NAZI. Di dalam rumah suami Fanny, Schwager telah menanti kedatangan Fanny, namun apa yang dilihatnya hanyalah Barbara. Meskipun Schwager sangat kecewa terhadap keadaan yang telah dialaminya,
50
Barbara tetap diterima untuk tinggal bersamanya. Meskipun mereka tinggal di dalam satu rumah, kekecewaan Schwager terhadap Barbara atas meninggalnya Fanny, membuat Schwager dan Barbara tidak saling melakukan komunikasi, bahkan mereka terkesan asing satu sama lain.
B. Deskripsi Perwatakan Tokoh Utama dalam Kurzgeschichte Lupinen Karya Marie Luise Kaschnitz Tokoh menurut Zaidan dkk (2007: 206) merupakan orang yang memainkan peran dalam karya sastra. Menurut keterlibatannya terhadap karya fiksi itu sendiri, ada dua macam jenis tokoh, yaitu tokoh utama (sentral) dan tokoh penunjang (periferal) (Sayuti, 2000: 6). Dalam beberapa cerita terutama dalam dalam cerita pendek, sering ditemukan satu tokoh sebagai pusat utama dan segala kejadian berpusat pada tokoh utama tersebut. Tokoh utama adalah tokoh cerita baik pria maupun wanita yang memegang peran terpenting dan menjadi tonjolan setiap persoalan; protagonis (Zaidan dkk, 2007: 207). Cara menentukan yang mana tokoh utama dan yang mana tokoh penunjang adalah dengan membandingkan setiap tokoh di dalam cerita. Adapun kriteria tokoh utama adalah: bertindak sebagai pusat pembicaraan dan sering diceritakan, sebagai pihak yang paling dekat kaitannya dengan tema cerita, dan lebih sering melakukan interaksi dengan tokoh lain dalam cerita (Sayuti, 2000: 6). Dalam cerpen Lupinen ini, yang dapat dikategorikan sebagai tokoh utama adalah Barbara. Pemilihan Barbara sebagai tokoh utama, karena watak, perilaku
51
serta pengambarannya dalam cepen ini paling menonjol di antara tokoh lainnya. Barbara mendominasi isi cerpen ini, serta ia selalu memiliki keterkaitan tingkah laku yang dilakukan tokoh lainnya. Dalam kaitannya dengan tokoh, penokohan memiliki makna yang lebih luas. Penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan memberikan watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita (Zaidan dkk, 2007: 206). Sejalan dengan Zaidan dkk, Aminuddin (1991: 85) juga berpendapat bahwa, penokohan adalah cara bagi sastrawan menampilkan tokoh. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sikap, sifat, tingkah laku, atau watak-watak tertentu. Penokohan merupakan salah satu faktor terpenting dalam sebuah cerita fiksi. Setiap karya fiksi sudah otomatis terdapat tokoh yang ada di dalamnya. Suatu cerita bukanlah merupakan urutan kejadian-kejadian saja. Kejadiankejadian tersebut ada yang berhubungan dengan orang-orang tertentu atau pada kelompok orang. Pendeknya pada setiap cerita harus ada pelaku atau tokoh utama. Pada prinsipnya struktur suatu cerita bergantung pada penentuan tokoh utama. Meskipun demikian, tentu saja diperlukan tokoh-tokoh tambahan lainnya sebagai pelengkap (Tarigan, 1985: 138). Tokoh yang dianalisis dalam Kurzgeschichte ini yaitu tokoh utama (tokoh sentral). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Barbara merupakan tokoh utama dalam cerpen ini. Barbara adalah gadis keturunan Yahudi yang memiliki kakak bernama Fanny. Karakter yang ada di dalam tokoh Barbara di antaranya adalah mudah putus asa, pemberani, teliti, nekad, perhatian dan sabar. Sesuai dengan teori yang telah dipaparkan sebelumnya, Freud menjelaskan bahwa di
52
dalam diri seseorang ada 3 hal utama yang menyangkut terbentuknya karakter seseorang. Tiga hal tersebut di antaranya struktur kepribadian, dinamika kepribadian, perkembangan kepribadian. 1) Struktur Kepribadian Dalam teori psikoanalisa, kepribadian dipandang sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga unsur atau sistem, yakni id, ego dan superego. Kendati ketiganya memiliki fungsi, kelengkapan, prinsip-prinsip operasi, dinamisme, dan mekanisme yang berbeda, ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk suatu totalitas yang tidak mungkin dipisahkan. Watak pada diri seorang Barbara juga tidak terlepas dari pengaruh ketiga struktur kepribadian itu. Berikut ini adalah uraian mengenai watak tokoh utama yang dipengaruhi oleh id, ego, dan superego. a. Mudah Putus Asa Seseorang yang merasa dirinya tidak mempunyai harapan lagi dapat dikatakan sebagai seseorang yang putus asa (KBBI, 2002: 914). Mudah putus asa merupakan sikap mudah patah semangat yang ada pada diri seseorang. Watak mudah putus asa adalah sikap menyerah terhadap keadaaan dan tidak mau berusaha untuk memperbaikinya. Watak mudah putus asa Barbara muncul pada saat dirinya telah putus asa dengan keadaan yang telah dialaminya. Selama Barbara tinggal satu rumah dengan iparnya, Kapfinger memperlakukanya dengan buruk, sehingga membuat Barbara merasa dirinya seperti sudah tidak lagi memiliki kebahagiaan untuk hidup. Keputusasaan Barbara terdapat dalam kutipan berikut.
53
...warum für sie alles anders sein sollte, keine Liebe, keine Hoffnung auf Glück. (Kaschnitz, 1966: 24) (...tetapi kenapa untuk dia berbeda, tidak ada cinta, tidak ada harapan untuk bahagia). Sikap Barbara yang mudah putus asa, digambarkan pengarang secara tidak langsung (die inderekte Charackterisierung) melalui perilaku Barbara (durch die Schilderung ihres Verhaltens) yang nampak sudah putus asa dengan keadaan yang dialaminya. Dalam kutipan tersebut Barbara merasa bahwa sudah tidak ada lagi cinta serta kebahagiaan untuk dirinya. Barbara putus asa dengan sikap iparnya yang masih menganggap dirinya seperti orang asing. Barbara tahu bahwa dirinya sudah tidak diharapkan oleh siapapun, termasuk iparnya. Fanny sebagai kakak tercintanyapun telah meninggal. Sekarang Barbara hanya merasa dirinya sendiri meskipun ada Kapfinger, kakak iparnya. Pengaruh id yang berada pada wilayah dasar membuat Barbara tidak dapat mampu mengambil tindakan untuk memperbaiki keadaannya dengan Schwager, sehingga ia hanya bisa pasrah dengan keadaan yang ada pada dirinya. Dalam keputusasaannya, energi id yang sangat kuat membuat Barbara memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Hal itu dapat ditemukan dalam kutipan berikut. Einen Selbstmörderin, hieβ es später, als Barbaras unkennlicher Körper in die Leichenkammer gebracht, von niemandem identifiziert und schlieβlich im Armensarg bestattet wurde. (Kaschnitz, 1966: 25)
54
(Seseorang yang bunuh diri, yang kemudian diketahui, ketika tubuh Barbara yang tidak dikenali dibawa ke kamar jenazah, tidak dapat diidentifikasi dan dikuburkan dalam peti orang miskin). Pada kutipan tesebut nampak Barbara sudah putus asa atas nasib dirinya yang terus-menerus tertekan. Bahkan keadaan setelah perangpun tidak mampu memperbaiki keadaannya, terutama hubungannya denga Kapfinger, iparnya. Sikap Barbara yang mudah putus asa digambarkan pengarang secara tidak langsung (die inderekte Charackterisierung) melalui perilaku Barbara (durch die Schilderung ihres Verhaltens). Pada kutipan di atas sikap Barbara yang mengakhiri hidupnya merupakan salah satu indikator bahwa dirinya putus asa dengan keadaan yang dialaminya saat ini. Barbara merasa bahwa kehidupan yang dilaluinya terasa sia-sia. Ego sebagai pengambil keputusan dari kepribadian, tidak dapat mengekang energi id yang ingin mencari kepuasan dan keadaan nyaman tanpa memperhitungan kehidupan nyata lingkungannya. Dorongan id membuat Barbara nekad untuk bunuh diri, karena dengan itu ia merasa bahwa masalahnya akan selesai dan terbebas dari kesengsaraan. Seharusnya jika ego lebih kuat, Barbara bisa tetap hidup dengan baik, karena perangpun akan usai dan ia dapat menjalani kehidupan yang normal, tanpa harus sembunyi di rumah iparnya. b. Pemberani Berani adalah mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya (KBBI, 2002: 138). Jadi, pemberani adalah sikap
55
berani pada diri seseorang yang memiliki rasa kepercayaan diri yang besar ketika menghadapi suatu masalah atau bahaya. Pada masa Perang Dunia ke- II, semua keturunan Yahudi yang berada dinegara Jerman ditawan oleh tentara NAZI, tidak terkecuali Fanny dan Barbara yang juga merupakan keturunan Yahudi. Ketika mereka menjadi tawanan, mereka tidak hanya diam, menerima perlakuan dari tentara. Fanny dan adiknya berusaha mecari jalan keluar agar mereka berdua dapat melarikan diri dari sekapan tentara NAZI. Di malam-malam penyekapan, sebelum terlelap mereka merencakan dengan menggambarkan bagaimana jalan keluar agar mereka bisa melarikan diri. Keadaan tersebut, terdapat dalam kutipan berikut ini. Wir wagen es, hatten sie gesagt, und hatten alles genau besprochen, sogar den Weg, aufgezeichnet... (Kaschnitz, 1966: 19) (Kita berani menghadapi ini, kata mereka, dan kami telah membicarakan dengan sangat detail, bahkan jalan keluarnya...). Sikap Barbara yang berani mengambil jalan keluar ketika menjadi tawanan NAZI, menunjukan Barbara memiliki karakter yang berani. Keberanian itu ditunjukan oleh pengarang secara langsung (die direkte Charackterisierung) melalui tokoh itu sendiri (durch die Figuren selbst) dengan mengatakan bahwa dia dan kakaknya harus berani mengambil jalan keluar untuk melarikan diri dari sekapan tentara NAZI. Keinginan untuk kabur didasarkan oleh dorongan kuat ego yang memang bertugas untuk menjalankan mental utama, misalnya: penalaran, penyelesaian masalah, dan pengambilan keputusan. Dorongan ego membuat Barbara dan
56
kakaknya Fanny berfikir realistis dengan berani menghadapi masalah diskriminasi yang dialaminya dan berusaha mencari jalan keluar untuk kabur dari tawanan tentara, meskipun mereka tahu hal ini tidak akan mudah untuk mereka lalui. Situasi lain yang menunjukan Barbara sebagai seorang yang berani, terlihat ketika saat dia dan kakaknya Fanny akan melakukan pelarian dari tentara NAZI. Mereka merencanakan untuk lompat bersama-sama dari atas kereta. Namun saat waktunya tiba hanya Barbaralah yang berani melompat untuk melarikan diri dari tawanan NAZI. Barbara merasa sangat mantap untuk ikut melompat dari atas kereta yang masih melaju. Adegan itu seperti terdapat dalam kutipan berikut. Und dann war auch sie es gewesen, die wirklich die Tür aufgerrisen hatte und herausgesprungen war, während Fanny einfach sitzen blieb, stumpfsinng und gleichgültig,... (Kaschnitz, 1966: 19) (Dan kemudian dia (Barbara) jugalah yang membuka pintu dan melompat keluar, sementara itu Fanny hanya duduk, lesu dan tidak peduli, ... ). Dalam kutipan kejadian tersebut, keberanian Barbara, digambarkan oleh pengarang secara tidak langsung (die indirekte Charackterisierung) melalui deskripsi pencerita (durch den Erzähler). Pada kutipan diatas, Fanny merasa takut dan tidak berani melompat bersama Barbara dari atas kereta. Saat kejadian itu Fanny hanya duduk terdiam. Dorongan id yang kuat membuat Barbara berani melompat, karena prinsip id yang seperti menjadi penguasa absolut, sewenangwenang serta mementingkan dirinya sendiri. Pencerita mendeskripsikan keadaan Barbara dengan memberanikan diri untuk segera melariakan diri dengan melompat dari atas kereta. Dalam hal ini Barbara lebih mementingkan keadaannya
57
dirinya dengan tidak memperdulikan akibat yang akan terjadi dari tindakannya. Barbara tahu, dia harus bisa terlepas dari penderitaan sebagai tawanan NAZI. c. Teliti Teliti adalah sikap ketika seseorang melakukan suatu hal, ia akan benarbenar cermat, mempersiapkan serta memperhitungkan bagaimana sebuah rencana agar berjalan dengan baik (KBBI, 2002: 1163). Watak teliti juga dimiliki oleh Barbara. Hal ini terdapat dalam keadaan ketika Barbara dan kakaknya benar-benar memperhitungkan rencana jalan keluarnya untuk meloloskan diri dari tawanan tentara NAZI. Hal tersebut seperti pada kutipan berikut. Wir wagen es, hatten sie gesagt, und hatten alles genau besprochen, sogar den Weg, aufgezeichnet, an den langen Abenden, in den Nächten... (Kaschnitz, 1966: 19) (Kita berani menghadapi ini, kata mereka, dan kami telah membicarakan dengan sangat detail, bahkan jalan keluarnya, di malam-malam panjang, ditengah malam...). Ketelitian yang dilakukan Barbara dalam menyusun rencara pelariannya, digambarkan oleh pengarang secara langsung (die inderekte Charackterisierung) melalui tokoh itu sendiri (durch die Figuren selbst). Pada kutipan “und hatten alles genau besprochen” jelas terlihat ketika Barbara dan kakaknya sudah sangat detail merencanakan pelariannya itu. Dorongan ego yang ada pada diri Barbara maupun kakaknya membuat mereka memperhitungkan setiap rencana yang akan mereka lakukan, karena jika
58
hal itu tidak dibicarakan dengan sebaik-baiknya maka nantinya dapat membahayakan diri mereka sendiri. d. Nekad Nekad adalah cerminan watak yang tidak memikirkan akibat yang dari tindakan yang dilakukannya (KBBI, 2011). Watak nekad pada diri Barbara nampak pada saat ia mengakhiri hidupnya. Permasalahan yang dialami Barbara semenjak kematian Fanny hingga mengharuskan ia hidup bersama iparnya membuatnya mengalami tekanan emosional dalam dirinya. Hal ini membuat Barbara kehilangan akal sehatnya. Dia mengakhiri hidupnya dengan menjatuhkan diri di tengah kereta yang sedang melaju. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. Einen Augenblick lang stand Barbara keuchend dort oben in warmen Oktoberwind, wuβte nicht, wollte nichts, Lieβ sich nur fallen in das stoβen, Stampfen und Klappern des Zuges hinein. (Kaschnitz, 1966: 25) (Selama beberapa saat Barbara berdiri terengah-engah diatas sana ketika terjadi angin Oktober berhembus, dia tidak tau apa-apa, tidak ingin apaapa, hanya membiarkan dirinya terjatuh ke tengah, di dalam laju dan gemerincing Kereta). Kenekadan Barbara, ditunjukan oleh pengarang secara tidak langsung (die inderekte Charackterisierung) melaui perilakunya (durch die Schilderung ihres Verhaltens) yang dengan nekad menabrakan diri tepat di depan kereta yang sedang melaju. Pada kutipan di atas menunjukan bahwa Barbara memliki watak nekad. Fungsi ego yang dominan dalam diri Barbara menjadi penghubung dengan
59
dunia realitas. Hal itu membuat Barbara berfikir agar dia terbebas dari keadaan tidak nyaman yang dialaminya selama ini, yaitu dengan mengakhiri hidupnya. e. Perhatian Dalam KBBI (2002: 857), perhatian diartikan sebagai sikap seseorang yang menaruh minat pada suatu hal. Perhatian juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk kasih sayang berupa perhatian seseorang kepada yang lainnya yang diwujudkan dalam bentuk sikap, perbuatan maupun perkataan. Selama Barbara tinggal bersama Kapfinger, watak perhatiannya diwujudkan dengan perilaku Barbara yang ingin membuat suasana hati iparnya agar selalu baik. Meskipun telah sekian lama sikap iparnya terkesan tidak perduli dengan keberadaan Barbara, Barbara tetap memperhatikan keadaan iparnya. Hal tersebut seperti terdapat dalam kutipan berikut. Den Sommer über hatte Barbara noch Geduld, sie bemühte sich, den Schwager bei Laune zu erhalten, ... (Kaschnitz, 1966: 23-24) (Hingga musim panas Barbara masih bersabar, dia berusaha agar iparnya suasana hatinya tetap baik, ...). Sikap Barbara yang berusaha untuk menjaga suasana hati iparnya agar tetap baik, memperlihatkan bahwa Barbara juga menyayangi iparnya, sehingga ia memberikan perhatian kepadanya. Perilaku itu, digambarkan oleh pengarang secara tidak langsung (die inderekte Charackterisierung) melaui tingkah lakunya (durch die Schilderung ihres Verhaltens) terhadap iparnya. Sistem ego pada diri Barbara timbul ketika dirinya melihat keadaan iparnya yang seperti orang frustasi hanya sering melamun dan mabuk-mabukan.
60
Barbara tidak ingin melihat iparnya berlarut-larut merasa sedih karena kematian kakaknya, Fanny. Melihat keadaan itu Barbara selalu berusaha membuat suasana hati iparnya agar tetap baik. Perilaku Barbara merupakan salah satu indikator bahwa Barbara memiliki watak perhatian. Barbara khawatir jika dia membuat suasana hati iparnya tidak baik, maka hal itu akan memperburuk hubungannya dengan Kapfinger. f. Sabar Sabar adalah sikap ketika seseorang tahan dalam menghadapi cobaan (tidak lekas marah) (KBBI, 2002: 973). Kesabaran yang dimiliki oleh tokoh utama Barbara, ditunjukan saat keadaan rumah iparnya tempat ia tinggal tidak berubah hingga sekian lama. Meskipun di dalam satu atap, namun mereka seperti orang asing yang tidak saling melakukan komunikasi. Den Sommer über hatte Barbara noch Geduld, sie bemühte sich, den Schwager bei Laune zu erhalten... (Kaschnitz, 1966: 23) (Hingga musim panas Barbara masih bersabar, dia berusaha agar Schwager suasana hatinya tetap baik...). Kesabaran Barbara, digambarkan oleh pengarang secara tidak langsung (die inderekte Charackterisierung) melaui perilakunya (durch die Schilderung ihres Verhaltens). Sampai musim panas datang, Barbara masih tetap bersabar dengan keadaan yang dialaminya tinggal bersama Kapfinger. Meskipun mereka tidak berkomunikasi, Barbara dalam batinnya merasakan bahwa Kapfinger masih menyalahkan dirinya atas meninggalnya Fanny. Superego mendorong Barbara
61
dengan bersabar atas apa yang dialaminya. Di dalam suasana yang seperti ini, Barbara selalu berusaha membuat suasana hati iparnya tetap baik. 2) Dinamika Kepribadian Dinamika kepribadian dalam konsep psikoanalisa pada diri Barbara telah diuraikan melalui bagaimana karakter seorang Barbara yang dilihat dari sistem kepribadian id, ego, dan superego yang mempengaruhi tindakannya. Sesuai uraian tentang bagaimana karakter seorang Barbara, dapat disimpulkan bahwa Barbara adalah seorang tokoh yang merupakan individu yang sehat. Secara sederhana, penjelasan mengenai hal itu tergambar dalam diagram berikut ini.
Ego Id
Superego
Gambar 1. Hubungan diantara Id, Ego, dan Superego pada individu secara hipotesis Dari pembahasan mengenai watak Barbara serta gambaran antara id, ego, dan superego pada diagram di atas dapat disimpulkan bahwa Barbara adalah seseorang yang memiliki ego kuat, dan merangkul tuntutan-tuntutan, baik dari id maupun superego, sehat secara psikologis dan mampu memegang kendali atas prinsip kesenangan dan prinsip moralistis.
62
Dalam setiap tindakan yang dilakukan Barbara, perilakunya lebih banyak didasari oleh sistem ego, dan id serta superego hanya sebagai aspek yang mendukung dirinya dalam bertingkahlaku, maka Barbara dapat dikatakan sebagai individu yang sehat, dimana id dan superego terintergrasi kedalam ego yang berfungsi baik dan beroperasi harmonis dengan konflik yang minim. 3) Perkembangan Kepribadian Dalam teori psikoanalisa Freud, tahun-tahun permulaan masa kanak-kanak merupakan masa dimana seseorang meletakkan dasar-dasar struktur kepribadian. Salah satu kepribadian yang dibawa Barbara sejak kecil adalah rasa takut yang dimilikinya. Rasa takut yang dimilikinya sering terlihat pada diri Barbara dalam menghadapi suatu keadaan. Di usia 6 tahun, dia dan kakaknya menaiki kereta. Di tengah perjalanan Fanny yang melihat kumpulan bunga Lupinen, langsung meloncat dari atas kereta, kejadian itu sering Fanny lakukan ketika mereka melewati jalanan itu. Setiap kejadian itu juga, Barbara selalu merasa cemas ketakutan melihat kakaknya dengan nekadnya melakukan tindakan yang membahayakan dirinya. Hal tersebut dapat ditemukan pada kutipan berikut. Abspringen hatte man können und neben dem Zug herlaufen, und die um sechs Jahre ältere Fanny hatte es sogar einmal gewagt und war mit einem Arm voll ausgeraufter Lupinen wieder auf die Plattform gesprungen, natürlich die Eltern weren damals nicht dabei. Der ängstlichen Barbara hatte das Herz im Hals geschlagen, übrigens auch jedes spätere Mal noch, wenn sie im groβen Bogen auf dem Lupinendamm fuhren. (Kaschnitz, 1966: 19) (Seseorang dapat melompat keluar dan berlari disamping kereta, ketika Fanny yang berusia 6 tahun lebih tua dari Barbara berani melakukan itu dan mendekap Lupinen lalu kembali meloncat ke dalam kereta, ketika orangtuanya tidak bersama mereka. Saat itu Barbara yang ketakutan
63
hatinya berdebar-debar, juga setiap kali hal itu terjadi lagi selalu takut, ketika dia (Fanny) menjauhi kumpulan Lupinen itu). Di dalam kutipan di atas, sedari kecil digambarkan bahwa Barbara adalah seseorang yang penakut. Pada kalimat “übrigens auch jedes spätere Mal noch” ketakutan Barbara terjadi secara berulang- ulang dan hal ini dibawanya hingga ia dewasa. Penakut merupakan suatu sikap di mana diri seseorang merasa tertekan dalam menghadapi sesuatu. Dalam kutipan berikut ini, di usia dewasa hal demikian juga terjadi seperti dalam kutipan berikut. Barbara sagte nichts, aber sie zitterte am ganzen Körper. (Kaschnitz, 1966: 22) Barbara tidak berkata apapun, tetapi dia badannya menggigil ketakutan. Ketakutan-ketakutan Barbara saat menghadapi suatu masalah diwaktu kecil, terbawa hingga saat dia dewasa juga masih sering ketakutan saat mengalami kejadian yang serupa. Dari beberapa kutipan di atas perkembangan kepribadian Barbara masih sangat dipengaruhi oleh pengalaman kehidupan di masa kanakkanaknya, sehingga karakter yang ada di saat usianya masih kecil terbawa hingga dia tumbuh dewasa.
C. Konflik Tokoh Utama Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan. Cerpen sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui unsur intrinsiknya seperti plot, tokoh, latar, dan tema yang semuanya juga bersifat
64
imajinatif dari pengarang. Hal yang menarik dalam sebuah cerita karya sastra berupa diciptakannya konflik antar pelaku akibat gesekan berbeda karakter atau watak para tokoh. Hal ini dapat disimpulkan bahwa perwatakan dan konflik memiliki hubungan yang erat. Akibat terjadinya konflik menyebabkan kecemasan yang pada seeseorang yang berwujud frustasi emosional. Kecemasan yang diakibatkan dari terjadinya konflik merupakan mekanisme kerja dari mekanisme psikologi yang berupa struktur kepribadian pada seseorang yang meliputi id (das Es), ego (das Ich) dan superego (das Ueber Ich). Ketiga struktur kepribadian tersebut saling berkaitan, apabila terjadi ketidak seimbangan antara ketiga struktur kepribadian tersebut akan membuat manusia selalu berperang melawan dirinya sendiri. Tingkah laku manusia merupakan hasil dari rentetan konflik internal yang terus-menerus (Freud via Yusuf, 2007: 51). Lebih lanjut Yusuf (2007: 51), menjelaskan bahwa konflik (peperangan) antara id, ego, superego merupakan hal yang biasa terjadi. Hal ini dapat terjadi karena id menginginkan kepuasan dengan segera, sementara ego menundanya sampai
ada
kecocokan
dengan
dunia
luar,
dan
superego
seringkali
menghalanginya. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bagaimana konflik yang terlihat di dalam naskah cerpen Lupinen. Dalam cerpen yang berjudul Lupinen, sebagai tokoh utama Barbara mengalami berbagai macam konflik. Konflik yang terjadi di dalam cerpen ini merujuk kepada pembagian konflik menurut Stanton.
65
Ada dua macam konflik yang dialami Barbara, keduanya yaitu konflik eksternal (Äusere Konflikte) dan konflik internal (Innere Konflikte). Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang diluar dari dirinya, mungkin dengan lingkungan alam mungkin lingkungan manusia, sedangkan konflik internal atau konflik kejiwaan adalah konflik yang terjadi di dalam hati, jiwa seorang tokoh (atau: tokoh-tokoh) cerita (Stanton via Nurgiyantoro, 2005: 124). Konflik eksternal yang dialami Barbara adalah konflik sosial berupa penindasan dan konflik fisik berupa pemaksaan, sedangkan konflik internal yang dialamin Barbara adalah konflik kejiwaan berupa kecemasan, ketakutan, kekecewaan, emosi serta rasa bersalah. Uraian mengenai konflik yang dialami para tokoh disajikan dalam bentuk deskripsi sebagai berikut: 1. Konflik Eksternal yang dialami Tokoh Utama Barabara dalam cerpen Lupinen Konflik eksternal yang dialami Barbara terbagi kedalam kedua kategori berikut: a. Konflik Sosial Salah satu bentuk konflik sosial yang dialami tokoh utama yaitu berupa penindasan. Penindasan merupakan salah satu bentuk konflik sosial yang dialami oleh Barbara. Penindasan dalam KBBI (2002: 1195) berarti proses, cara, perbuatan menindas. Menindas memiliki makna memperlakukan dengan sewenang-wenang (dengan lalim, dengan kekerasan). Konflik sosial berupa
66
penindasan di dalam cerpen Lupinen ini, bermula saat Barbara dan kakaknya Fanny yang merupakan warga keturunan kaum Yahudi yang hidup di Jerman, menjadi tawanan Tentara NAZI. Mereka dengan kaum Yahudi lainnya ditangkap dan disekap di dalam sebuah ruangan. Selama menjadi tawanan mereka diperlakukan dengan kasar. Keadaan ini membuat Barbara dan kakaknnya ketakutan setiap kali mendengar pintu dibuka dengan kasarnya oleh para tentara NAZI. Dari sinilah konflik yang dialami tokoh utama dalam Kurzgeschichte yang berjudul Lupinen dimulai. Konflik yang terjadi tergambarkan pada salah kutipan narasi berikut ini. In den Nächten, als sie auf das Klingelzeichen warteten, manchmal wurde auch gar nicht geklingelt, sondern mit dem Gewehrkolben gegen die Türe geschlagen, aufmachen, Judenpack, fort mit euch in den Zug. (Kaschnitz, 1966: 19) (Di tengah malam, ketika mereka menunggu lonceng berdentang, terkadang lonceng itu tidak berbunyi sama sekali, melainkan tangkai senapan yang beradu dengan pintu, terbuka, Hai Yahudi, cepat segera masuk ke dalam kereta). Di dalam kutipan di atas jelas digambarkan bagaimana penindasan yang dialami Barbara beserta tawanan yang lain. Sebagai seorang tawanan membuat Barbara dan kakaknya di posisi tidak nyaman, dalam hal ini dorongan id tidak cukup kuat untuk melakukan perlawanan terhapat para tentara. Dorongan ego membuat mereka berfikir bahwa tidak mungkin dalam keadaan seperti ini mereka akan melawan tentara. Salah satu tindakan kasar yang mengindikatorkan bahwa
67
itu berupa penindasan adalah ketika seorang tentara menyuruh mereka untuk keluar. Salah satu tentara dengan kasarnya membuka pintu menggunakan tangkai senapan dan memaksa mereka untuk masuk ke dalam kereta. b. Konflik Fisik Konflik Fisik yang terjadi berupa pemaksaan. Pemaksaan dalam Kamus Bahasa Indonesia (2002: 490) adalah tindakan memaksa. Konflik ini berupa paksaan yang terjadi saat Kapfinger kecewa dengan keadaan yang dialaminya. Dia melampiaskan kekesalan dan kekecewaannya kepada Barbara. Dengan brutal dia memegang tangan Barbara kemudian mengatakan kepada Barbara bahwa Barbara seharusnya menjadi seseorang yang lebih berguna. Maksud dari perkataan iparnya kepada Barbara merujuk pada kejadian saat Fanny, istrinya meninggal, dan Barbara tidak berdaya dan tidak berusaha menyelamatkan Fanny. Keadaan itu seperti terdapat dalam kutipan berikut. Am einen andern Abend aber griff er nach dem Mädchen, brutal und hochmütig, so als wolle er sagen, du könntes doch zu etwas nützlich sein, und lieβ die heftig Widerstrebende gleich wieder fahren. (Kaschnitz, 1966: 24) (Pada suatu malam dia menggerayangi gadis itu, dengan brutal dan arogan, seolah-olah dia mengatakan, kamu seharusnya bisa berguna, setelah itu dia pergi meninggalkannya). Dalam kutipan itu digambarkan Barbara berusaha melepaskan tangannya dari tangan iparnya yang mencoba mengrayanginya dengan kasar dan
68
mengancamnya, Barbara berusaha melepaskan tangan iparnya dan segera pergi berlalu. Keadaan Barbara merupakan gambaran dari kekuatan ego yang mampu membuat Barbara berani untuk melawan perlakuan kasar dari iparnya. Dalam keadaan ini ego menjembatani antara id yang menginginkan kenyamanan Barbara yang ingin terlepas dari sikap kasar iparnya dengan kondisi lingkungan sekitar yang diharapkannya terlepas dari genggaman iparnya dan segera pergi berlalu. 2. Konflik Internal yang dialami Tokoh Utama Barbara dalam cerpen Lupinen Dalam cerpen ini ada lima wujud konflik internal yang dialami Barbara di antaranya kecemasan, ketakutan, kekecewaan, emosi, dan rasa bersalah. Berikut ini uraian mengenai konflik yang terjadi. a. Kecemasan Kecemasan dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008: 273) berarti keadaaan sesorang ketika merasakan hatinya tidak tentram karena khawatir, takut, gelisah. Barbara sangat cemas dan berdebar-debar setiap kali mereka dengan kereta melalui daerah itu, Fanny kakaknya, melompat dari atas kereta hanya untuk mengambil beberapa bunga Lupinen. Kecemasan yang dialami Barbara sangat wajar, karena ia mengkhawatirkan keselamatan kakaknya, ia tidak ingin melihat kakanya terjatuh, meskipun kereta selalu melambat ketika melewati daerah itu. Berikut adalah kecemasan yang dialami Barbara.
69
Der ängstlichen Barbara hatte das Herz im Hals geschlagen, übrigens auch jedes spätere Mal noch, wenn sie im groβen Bogen auf dem Lupinendamm fuhren. (Kaschnitz, 1966: 19) (Saat itu Barbara yang ketakutan hatinya berdebar-debar, juga setiap kali hal itu terjadi lagi selalu takut, ketika dia (Fanny) menjauhi kumpulan Lupinen itu). Keadaan tidak nyaman yang menimbulkan Kecemasan pada diri seseorang Barbara dipengaruhi oleh id, dalam hal ini id sebagai unsur yang belum mengenal dunia luar hanya mampu mencari kesenangan dan kenyamanan untuk dirinya sendiri serta tidak mampu membuat keputusan atas nilai dasar hal yang baik atau buruk. Namun dalam keadaan ini, fungsi id Barbara tidak mampu mereduksi ketegangan yang dialami Barbara, sehingga setiap kali peristiwa itu terulang kembali, Barbara hanya bisa cemas dan tidak berani mengambil keputusan untuk menghentikan tindakan Fanny. b. Ketakutan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012), Ketakutan adalah keadaan seseorang yang merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana. Ketakutan yang dialami Barbara terjadi ketika pada suatu malam iparnya mengatakan kepada Barbara bahwa ia bisa membunuh Barbara dan dirinya sendiri. Saat itu Barbara tidak hanya ketakutan ketika Schwager mengatakan hal itu, tetetapi Barbara juga menggigil, Barbara merasa apa yang dikatakan iparnya telah mengancamnya. Keadaan tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini.
70
Einmal sagte er, warum tue ich das alles, ich bin SA-Mann, ich habe ein Revolver, ich kann zuerst dir und dann mir eine Kugel in den Kopf schieβen. Wenn meine Mutter in Hamburg nicht wäre, hätte ich es längst getan. Barbara sagte nicht, aber sie zitterte am ganzen Körper, sie war zwanzig Jahre alt und hatte gehofft, das alles vorüberging. (Kaschnitz, 1966: 22) (Suatu ketika dia mengatakan, mengapa aku mengakhiri ini, saya seorang SA, saya memiliki Revolver, saya dapat menembakan peluru pertama pada kepalamu selanjutnya pada kepalaku sendiri. Seandainya ibu saya tidak di Hamburg, saya akan melakukan hal ini sejak dulu. Barbara tidak berkata, tetapi dia badannya menggigil ketakutan. Dia sudah dua puluh tahun dan berharap, semuanya akan berlalu). Dari kutipan di atas, jelas terlihat suasana batin yang dialami Barbara yang sangat ketakutan akan perkataan yang diucapkan iparnya. Dalam keadaan tertekan seperti malam itu, membuat Barbara tidak dapat mengatakan apapun dan hanya menggigil ketakutan. Keadaan ini terjadi akibat kekuatan energi yang di jalankan ego lebih dominan dari aspek psikologis lain. Ego menjalankan fungsinya dengan menciptakan harmoni dalam kepribadian, yang memungkinkan ego sendiri mampu melakukan negosiasi dengan dunia luar dengan lebih baik dan efisien. Oleh karena itu, dalam bagian cerita ini, ego dalam diri seorang Barbara menjalankan fungsinya dengan tetap berfikir positif bahwa semuanya akan baikbaik saja, sehingga dengan itu ia dapat tetap menjalankan kehidupan selanjutnya. c. Kekecewaan Kekecewaaan adalah perasaan tidak puas karena tidak terkabul keinginan atau harapannya (KBBI, 2008: 658). Konflik batin yang berupa kekecewaan ini sering dialami oleh Barbara. Ketika iparnya mengetahui kedatangan seseorang di depan rumahnya, iparnya hanya melihat Barbara dan tidak menemukan Fanny.
71
Di saat itu Barbara kecewa, merasa bahwa dirinya tidak diharapkan kedatangannya karena iparnya hanya menunggu kedatangan Fanny, istrinya. Beberapa kutipannya sebagai berikut. Nur daβ es nun eben nur eine war und die falsche, wie Barbara sich sagte, als sie die Steine ans Fenster geworfen hatte. (Kaschnitz, 1966: 20) (Memang hanya ada satu orang dan orang itu keliru, seperti Barbara berkata kepada dirinya, ketika dia melemparkan batu ke jendela). Konflik batin yang terjadi di sini, membuat Barbara merasa tidak diharapkan kedatangannya. Konflik batin yang menyelimutinya terus berlangsung dalam hatinya sehingga menimbulkan kekecewaan dalam dirinya. Dorongan id yang lemah tidak dapat membuat Barbara berbuat apa-apa untuk menghilangkan kekecewaan dan rasa ketidaknyamanan dalam hatinya. Barbara hanya bisa berharap iparnya masih mau menerimanya. Meskipun iparnya tidak mengharap kedatangan Barbara, tetetapi ia tetap membiarkan Barbara untuk tinggal dirumahnya. iparnya memberi aturan bahwa Barbara selama ia tinggal bersama iparnya, Barbara tidak boleh melakukan hal-hal yang bisa membuat tetangganya curiga karena lingkungan rumahnya hanya tau iparnya tinggal sendiri. Barbara menjelaskan kepada iparnya mengapa dirinya hanya datang sendiri tanpa kakaknya. Barbara menceritakan kejadian waktu itu. Namun iparnya marah mengapa Barbara tidak membantu kakaknya pada saat itu. Di suatu malam Barbara ingin menjelaskan lagi bagaimana gentingnya situasi saat itu, namun
72
Barbara tahu bahwa iparnya pasti tidak akan mengerti keadaannya. Kejadian itu terdapat pada kutipan sebagai berikut. Wenn sie den Schwager beim Abendessen gegenübersaβ, aber sie wuβte schon, er konnte es nicht begreifen. (Kaschnitz, 1966: 21) (Ketika makan malam mereka berhadapan, tetapi dia tahu, iparnya tidak akan mengerti). Barbara sangat merasa kecewa dengan iparnya yang tidak dapat mengertinya, karena dia tidak mau memperdulikan keadaannya saat kejadian waktu itu. Sikap iparnya yang seperti itu membuatnya kecewa. Id menyebabkan batin Barbara bergejolak, hal tersebut tampak dalam pernyataan “er konnte es nicht begreifen” (iparnya tidak akan mengerti). Di lain sisi sistem ego menyadari, Barbara memaklumi sikap iparnya yang demikian, karena iparnya kecewa atas meninggalnya Fanny. Meskipun iparnya terlihat membenci Barbara, namun ketika ada serangan bom, iparnya bersikap lain, ia seperti ingin berusaha melindunginya. Keadaan tersebut terdapat di dalam kutipan berikut. Das war die Zementfabrik, jetzt brennt die Schule, jetzs kommen sie hierher. Bei den folgenden Angriffen verhielt sich der Schwager nicht anders, er wurde dem Mädchen immer rätselhafter, sie wuβte nicht, haβte er sie oder war er nur unglücklich. (Kaschnitz, 1966: 23) (Dulu itu
pabrik semen, sekarang sekolah terbakar, sekarang mereka
datang ke sini. Dalam serangan bom berikutnya perilaku kakak iparnya
73
berbeda, dia makin menjadi teka-teki bagi Barbara, Barbara tidak tahu apakah laki-laki itu membencinya atau dia hanya tidak bahagia). Di dalam kutipan tersebut iparnya menjadi semakin membingungkan bagi Barbara. Mengapa setiap ada serangan justru dia menjadi baik, Barbara merasa iparnya telah membencinya. Barbara tidak habis pikir, kenapa iparnya sebegitu benci terhadap dirinya. Pergolakan batin pada hati Barbara tentang sosok iparnya membuatnya terus memikirkan hal itu. Barbara juga ingin dicintai tetetapi ia tahu bahwa itu tidak mungkin. Keadaan seperti itu membuat kekecewaan di dalam hati Barbara. Hal itu terdapat di dalam kutipan di bawah ini. Warum für sie alles anders sein sollte, keine Liebe, keine Hofnung auf Glück. (Kaschnitz, 1966: 24) (Tetetapi kenapa untuk dia berbeda, tidak ada cinta, tidak ada harapan untuk bahagia). Kekecewaan itu jelas terlihat pada kutipan tersebut, seperti Barbara sudah kecewa dengan sikap iparnya selama ini.
Barbara juga merasa bahwa tidak
memiliki harapan untuk berbahagia. Sikap dan perlakuan Barbara selama tinggal dengan iparnya membuat Barbara kecewa. Id menyebabkan Barbara merasa menjadi seseorang yang tidak berharga, namun dorongan ego mendorong Barbara menyadari bahwa sikap iparnya terhadap dirinya karena kejadian yang menimpa istrinya, yang tidal lain adalah kakaknya sendiri, Fanny. d. Emosi Emosi merupakan reaksi psikologis dan fisiologis seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan dan kemarahan (KBBI, 2008: 387). Hari demi hari dilalui
74
Barbara. Meski tanpa komunikasi yang baik, emosi kegembiraan ditunjukan Barbara ketika ia merasa dirinya telah jatuh hati pada iparnya sendiri. Hal tersebut terdapat di dalam kutipan berikut ini. Das Leben ist voller Rätsel, es muβ doppelt rätselhaft gewesen sein für die kleine Barbara, die den Schwager im geheimen liebte und gehofft hatte, einmal die Stelle ihrer Schwester einzunehmen. (Kaschnitz, 1966: 23) (Hidup ini penuh dengan misteri, ini adalah dua kali membingungkan bagi Barbara kecil, yang mencintai kakak iparnya secara diam-diam dan berharap,
suatu
saat
ingin
menggantikan
kedudukan
kakak
perempuannya). Barbara telah jatuh cinta terhadap kakak iparnya sendiri. Ini terjadi karena mereka telah hidup dalam satu rumah, dan hanya kakak iparnyalah yang dilihatnya selama ini. Sifat id yang tidak mudah diatur, terjadi pada wilayah pikiran serta batin Barbara yang mencintai iparnya sendiri. Di lain sisi Barbara sebenarnya tahu bahwa hal itu tidak seharusnya ia rasakan. Di sini id telah menguasai pemikiran Barbara. Jelas terlihat disini id telah menjalankan fungsi utamanya dengan mencari kesenangan batinnya mencintai iparnya tanpa memperdulikan keadaan realitas sekitarnya. Kenyataannya iparnya masih bersedih dengan kejadian yang menimpa istrinya, yang tidak lain adalah kakak Barbara sendiri. Luapan kebahagiaan ditunjukan Barbara saat dia mengetahui bahwa perang akan segera berakhir. Dalam keadaan ini, id mendominasi dengan mencurahkan energi sepenuhnya untuk memuaskan kesenangan. Kebahagiaan itu
75
ditunjukan Barbara dengan menggunakan pakaian yang mencolok, dan melompatlompat. Keadaaan tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini. Barbara sprang auf, zog ein helles Kleid an, holte auch, verstohlen durch Fenster greifend. (Kaschnitz, 1966: 23) (Barbara melompat, menggunakan pakaian terang, juga mengambil, melalui jendela meraih tangkai anggur). Menggunakan pakaian yang mencolok, dan melompat-lompat merupakan indikator tindakan dari ego sebagai pengarah individu kepada dunia objek kenyataan. Barbara tahu bahwa ketika perasaannya bahagia, maka ia juga akan mengekspresikan kebahagiaan selayaknya orang yang bahagia. e. Rasa Bersalah Rasa bersalah adalah perasaan seseorang, yang dirinya merasa telah melakukan kekeliruan atau kesalahan (KBI: 2011). Barbara merasa bersalah dengan kejadian yang menimpa kakaknya Fanny. Dengan perasaan itu Barbara selalu berusaha ingin segera menjelaskan kepada iparnya agar tidak terjadi kesalah pahaman denganya. Hal tersebut terdapat di dalam kutipan berikut. Ich muβ es him begreiflich machen, dachte Barbara oft in den folgenden Monaten. (Kaschnitz, 1966: 21) (Saya harus membuatnya mengerti, Barbara memikirkan berkali-kali pada bulan-bulan berikutnya). Dominasi superego menginternalisasi nilai-nilai oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh atau berarti bagi individu tersebut. Superego menjalankan fungsinya dengan menunjuk iparnya sebagai sosok yang
76
berperan dalam kehidupan Barbara. Hal itu digambarkan dalam kutipan monolog di atas. Kata “muβ” yang berarti “harus” menunjukan bahwa Barbara benar-benar ingin menjelaskan keadaan sebenarnya saat kejadian itu. Barbara merasa sikap iparnya selama ini membuatnya merasa bersalah akan kejadian itu dan segera ingin menjelaskan agar iparnya mengerti dirinya. Tekanan psikologi berupa kekecewaan, kecemasan, ketakutan, emosi, serta perasaan bersalah yang dialami Barbara yang berlarut-larut pada akhirnya tidak dapat di pertahankan oleh ketiga aspek psikologi id, ego maupun superego yang tidak bisa mengontrol tindakannya, sehingga ia mengalami depresi yang begitu berat. Barbara ingin mengakhiri hidupnya. Ia berfikir sudah tidak ada lagi orang yang mengharapkan keberadaannya. Barbara berusaha bunuh diri dengan menabrakkan dirinya di depan kereta yang sedang melaju. Barbara bunuh diri tepat di tempat kakaknya Fanny juga meninggal di tempat itu. Hal tersebut tergambar pada kutipan narasi berikut ini. Eine Selbstmörderin, hieβ es später, als Barbara unkenntlicher Körper in die Leichenkammer gebracht, von niemanden identifiziert und schlieβlich im Armensarg bestattet wurde. (Kaschnitz, 1966: 25) (Seseorang yang bunuh diri, yang kemudian diketahui, ketika tubuh Barbara yang tidak dikenali dibawa ke kamar jenazah, tidak dapat diidentifikasi dan dikuburkan dalam peti orang miskin). Sikap yang dipilih Barbara merupakan ciri khas id yang berisi dorongan mendidih berupa keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Dorongan tersebut terus
77
memuncak sebagai akibat dari stimulasi permasalahan-permasalah yang muncul dalam diri Barbara. Puncaknya keadaan emosional Barbara tidak dapat terkontrol menyebabkan ia melakukan tindakan bodoh dengan tetap mengakhiri hidupnya.
D. Mekanisme Pertahanan Ego Tokoh Utama Mekanisme pertahanan ego merupakan proses mental yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan dilakukan melalui dua karakteristik khusus yaitu (1) tidak disadari dan (2) menolak, memalsukan atau mendistorsi (mengubah) kenyataan (Yusuf, 2007: 53). Mekanisme pertahanan dapat terjadi karena adanya dorongan atau perasaan beralih untuk mencari objek pengganti. Misalnya impuls agresif yang ditujukan kepada pihak lain yang dianggap aman untuk diserang. Mekanisme pertahanan ego itu adalah mekanisme yang rumit dan banyak macamnya. Pada cerpen ini hanya terdapat tiga wujud bentuk pertahanan yang dilakukan Barbara yaitu represi, regresi, introyeksi. Adapun jenis mekanisme pertahanan ego yang dilakukan oleh tokoh Barbara adalah sebagai berikut. a. Represi Represi merupakan ini merupakan proses penekanan dorongan-dorongan ke alam tak sadar, karena mengancam keamanan ego. Represi merupakan satu fungsi dari ego. Impuls yang timbul dari id primitif, dan selalu mencari kesenangan, berusaha mencapai kesadaran begitu rupa sehingga mungkin bisa memaksa ego atau jiwa rasional untuk mencari kepuasan bagi mereka. Lebih lanjut Freud menegaskan bahwa mekanisme dasar dari represi dinyatakan sebagai
78
tidak disadari atau involunter (Freud via Chaplin, 2008: 430). Pertahanan seperti ini dilakukan oleh Barbara dalam kutipan berikut. Wir wagen es, hatten sie gesagt, und hatten alles genau besprochen, sogar den Weg aufgezeichnet, An den langen Abenden, in den Nächten, als sie auf das Klingelzeichen warteten, mancmal wurde auch gar nicht geklingelt, sondern mit dem Gewehrkolben gegen die Türe geschlagen, auf machen, Judenpack, fort mit euch in den Zug. (Kaschnitz, 1966: 19) (Kita berani menghadapi ini, kata mereka, dan kami telah membicarakan dengan sangat detail, sudah melukiskan jalan keluarnya, di tengah malam, ketika mereka menunggu lonceng berdentang, terkadang lonceng itu tidak berbunyi sama sekali, melainkan tangkai senapan yang beradu dengan pintu, terbuka, Hai Yahudi, cepat segera masuk ke dalam kereta) Penindasan yang terjadi pada Barbara saat menjadi tawanan tentara NAZI membuat Barbara takut dan diselimuti kecemasan. Meskipun demikian di malammalam dirinya dan kakaknya menjadi tawanan tentara NAZI. Mereka tetap berusaha menacari jalan keluar dengan menyusun rencana untuk melolosakan diri dari tentara NAZI. Hal ini dilakukan mereka untuk menekan rasa cemas yang yang terlalu besar. Disini id memberikan kekuatan berupa stimulus-stimulus yang menyebabkan ego mampu berfikir untuk mencari jalan keluar agar dapat mengurangi rasa ketidaknyamanan. b. Regresi Menurut Koeswara (1991: 48), yang dimaksud dengan regresi adalah suatu mekanisme ketika individu, untuk menghindarkan diri dari kenyataan yang mengancam, kembali kepada taraf perkembangan yang lebih rendah serta bertingkah laku seperti ketika berada dalam taraf yang lebih rendah itu. Tujuan utama regresi adalah untuk memperoleh bantuan dalam menghadapi peristiwa yang traumatik (Yusuf, 2007: 55). Berikut upaya pertahanan diri berupa regresi yang dilakukan Barbara.
79
Barbara sprang auf, zog ein helles Kleid an, holte auch, verstohlen durchs Fenster greifend, ein wenig Weinlaub. (Kaschnitz, 1966: 23) (Barbara melompat, menggunakan pakaian terang, melaui jendela, meraih beberapa tangkai Anggur) Bagi orang-orang yang membenci NAZI merupakan berita baik ketika mendengar siaran radio tentang orang-orang Amerika telah mendarat di Jerman, tak terkecuali Barbara juga senang, untuk melampiaskan kesenangannya ia menggunakan pakaian mencolok dan melompat-lompat serta memetik beberapa tangkai anggur untuk diletakan pada vas di dalam rumahnya. Hal ini juga dilakukannya untuk mengalihkan perasaan kecewanya terhadap sikap iparnya pada dirinya. Dorongan id yang mencari jalan keluar untuk mencari kepuasan, memfungsikan ego menentukan pilihan untuk mengekspresikan kebahagiaannya dengan cara yang membuat Barbara merasa nyaman. c. Introyeksi Introyeksi merupakan mekanisme pertahanan di mana seseorang meleburkan sifat-sifat positif orang lain kedalam egonya sendiri. Mekanisme pertahanan diri berupa introyeksi pada Barbara terlihat dalam kutipan berikut ini. Barbara dachte nur ratlos, aber jetzt wird doch alles gut, sie vertrieb sich am Nachmitag die Zeit mit Haareschneiden und Haarebürstein und sah am Abend aus wie Fanny, deren Frisur sie ganz unwillkürlich nachgeahmt hatte. (Kaschnitz, 1966: 23) (Barbara hanya berfikir, tetapi sekarang semua akan menjadi baik-baik saja, dia menghabiskan waktu di sore hari dengan memotong rambut dan menyisir rambut dan berdandan di malam hari seperti Fanny, secara tidak sadar dia telah meniru rambutnya).
80
Barbara mengalihkan rasa cemas terhadap iparnya dengan melakukan pertahanan diri berupa introyeksi. Introyeksi yang dilakukan Barbara adalah dengan berpenampilan layaknya seperti Fanny, untuk menyenangkan suasana hati iparnya. Dalam wilayah egonya, dengan perilaku ini Barbara berharap akan dapat menyenangkan iparnya, dan dengan itu maka keadaan hubungannya dengan iparnya akan membaik. Dari uraian diatas dapat tarik kesimpulan bahwa mekanisme pertahanan yang dilakukan oleh Barbara terjadi akibat adanya dorongan atau perasaan beralih untuk mencari objek pengganti, dari ancaman-ancaman internal maupun eksternal yang dapat menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi dirinya.
E. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekeurangan dikarenakan keterbatasan peneliti, sehingga menyebabkan hasil penelitian ini menjadi kurang maksimal. Adapun keterbatasan penelitian tersebut sebagai berikut. 1. Peneliti yang masih pemula, sehingga banyak memiliki kekurangan baik dari segi pengetahuan maupun kinerja dalam melaksanakan penelitian. 2. Materi dalam penelitian ini diterjemahkan oleh peneliti sendiri. Jadi, masih banyak terdapat kesalahan dalam penerjemahannya.
BAB VI PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap cerpen Lupinen karya Marie Luise Kaschnitz, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Berdasarkan teori Sigmund Freud perwatakan yang dimiliki Barbara adalah mudah putus asa, pemberani, teliti, nekad, perhatian dan sabar. Pengaruh ego sangat dominan dalam watak yang dimiliki Barbara, hal ini menunjukan bahwa seorang tokoh seperti Barbara dapat mengendalikan diri atas prinsip kesenangan (id) dan prinsip moralistis (superego). Dalam hal ini, Barbara dapat dikategorikan sebagai seseorang yang sehat secara psikologis dan mampu memegang kendali atas prinsip kesenangan dan prinsip moralistis. 2. Wujud konflik yang dialami tokoh Barbara sebagai tokoh utama di dalam cerpen ini terdapat dua macam konflik, di antaranya konflik eksternal dan konflik internal. Konflik eksternal yang dialami Barbara adalah konflik fisik berupa pemaksaan dan konflik sosial berupa penindasan, sedangkan konflik internal yang dialami Barbara adalah konflik kejiwaan berupa kecemasan, ketakutan, kekecewaan, emosi serta rasa bersalah. Konflik yang dialami oleh tokoh utama di dalam cerpen ini sebagian besar terjadi di dalam hati jiwa seorang tokoh bernama Barbara. Konflik ini lebih cenderung kepada konflik intern yang dialami Barbara dengan dirinya sendiri.
81
82
3. Konflik terjadi di dalam diri Barbara lebih cenderung kepada tekanan kecemasan serta ketakutan yang berlebihan, untuk menghilangkan atau mereduksi tegangan Barbara menggunakan tiga macam bentuk mekanisme pertahanan diri (ego) berupa represi, regresi dan introyeksi.
B. IMPLIKASI Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diimplikasikan sebagai berikut: 1. Karya sastra ini bisa diterapkan juga sebagai bahan ajar untuk keterampilan membaca
(Leseverstehen)
dengan
mempermudah
bahasanya
atau
menggunakan versi vereinfachte Fassung. 2. Hasil penelitian dari Kurzgesichichte karya Marie Luise Kaschnitz yang mengkaji tentang watak serta konflik yang dialami tokoh utama dengan pendekatan psikologi sastra dapat diimplikasikan dalam pengajaran apresiasi sastra bahasa Jerman khususnya mata kuliah Literatur. 3. Isi cerita serta pesan yang terdapat di dalam cerpen ini, dapat dijadikan cerminan diri bagi penulis maupun bagi pembaca lainnya.
C. SARAN Penelitian terhadap cerpen tersebut masih terbatas pada perwatakan tokoh utama dan konflik yang dialami tokoh utama saja. Oleh karena itu disarankan agar dilakukan penelitian lanjutan yang membahas tentang perwatakan semua tokoh di dalam cerpen Lupinen. Menganalisis karya sastra yang
83
menggunakan pendekatan Psikologi sastra Sigmund Freud dapat dikatakan kerja yang besar. Oleh karena itu perlu adanya keseriusan, pemahaman, dan ketelitian yang baik, guna memperoleh hasil yang baik dan pemahaman yang mendalam. Permasalahan yang ada di dalam cerpen tersebut, memungkinkan untuk dikaji menggunakan pendekatan lain seperti pendekatan sosiologi sastra, strukturalisme, pendekatan pragmatik atau pendekatan lain yang masih relevan dengan karya ini. Penelitian cerpen Lupinen karya Marie Luise Kaschnitz diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan bahan referensi terutama bagi mahasiswa Pendidikan Bahasa Jerman yang ingin berkonsentrasi di bidang sastra.
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. Bertens, K. 1987. Memperkenalkan Teori Psikoanalisa. Jakarta: PT. Gramedia. Chaplin, James P. 2008. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Chandra, L. Robby. 1992. Konflik dalam Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta. Kanisius. Duden, 2005. Schülerduden Literatur. Mannheim: A-Z Satztechnik GmbH. Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. . 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Med Press. Fakultas Bahasa dan Seni. 2011. Panduan Tugas Akhir. Yogyakarta: UPP Universitas Negeri Yogyakarta. Fananie, Zaenudin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: IKIP Muhammadiah Press. Feist, Jess. Gregory J. Feist. 2010. Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika. Freud,
Sigmund. 1987. Memperkenalkan Psikoanalisa lima (diterjemahkan oleh K. Bertens). Jakarta: PT Gramedia.
ceramah
Jabrohim, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. Kaschnitz, Marie Luise. 1966. Ferngespräche Hanseatische Druckanstalt GmbH.
Erzählungen.
Hamburg:
Koeswara, E. 1991. Teori-teori Kepribadian Psikoanalisis, Behaviorisme, Humanistik. Bandung: Eresco. Link,
Jürgen. 1993. Literaturwissentschaftliche Grundbegriffe –Eine programmierte Einführung auf Strukturalistischer Basis. München: Wilhelm Fink Verlag GmbH & Co.KG.
83
84
Marquaβ, Reinhard. 1997. Duden Abiturhilfen: Analysieren. Berlin: Dudenverlag.
Erzählende
Prosatexte
. 1998. Dramen Analysieren. Jerman: Dudenverlag. Minderop, Albertine. 2011. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Moleong, Lexy. 1994. Metode Penulisan Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pickering, Peg. 2006. Kiat Menangani Konflik. Erlangga. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka. Semi, Atar. 1986. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. Sayuti, A. Suminto. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sugiharto, R Toto. 2008. Pandai Menulis Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sujanto, Agus dan Halem Lubis. Taufik Hadi. 2004. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Suroso. Puji Santosa. Pardi Suratno. 1998. Kritik Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Suryabrata, Sumadi. 2003. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tarigan, Henry guntur. 1985. Prinsip-psrinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusatraan terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia. . 1993. Teori Kesusastraan terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia. Yusuf, Syamsu dan A. Juntika Nurihsan. 2007. Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
85
Zaidan, Abdul Rozak, Anita K. Rustapa, Hani’ah. 2007. Kamus Istilah Sastra. Balai Pustaka. Zaviera, Ferdinand. 2008. Teori Kepribadian Sigmund Freud. Yogyakarta: Prismasophie. http://www.kaschnitz.de/sites/biofr.html. Diunduh pada hari Rabu, 11 Januari 2012 pukul 08.22. http://www.gedichte.xbib.de/biographie_Kaschnitz.htm. Diunduh pada hari Rabu, 11 Januari 2012 pukul 08.22.
LAMPIRAN
Lampiran I
SINOPSIS Marie Luise Kaschnitz Lupinen
Fanny dan Barbara setiap malam telah membicarakan dengan sangat detail bagaimana caranya agar mereka dapat lolos dari tawanan tentara NAZI. Setiap hari hingga tengah malam mereka selalu membicarakan rencana itu dengan melukiskan jalan keluar yang akan mereka lalui. Tiba di suatu malam di mana sekarang mereka akan dibawa oleh Tentara NAZI menggunakan kereta ke sebuah Camp (tenda) yang telah dipersiapkan tentara NAZI untuk mengumpulkan bangsa Yahudi. Seorang tentara NAZI masuk ke dalam tempat di mana Barbara dan Fanny ditawan. Tentara itu dengan kasarnya membuka pintu dengan tangkai senapan. Barbara dan kakanya tahu kemana arah kereta itu akan melaju, melewati deretan rumah-rumah yang di sekitarnya ditumbuhi tanaman-tanaman yang lebat. Mereka juga sangat tahu jelas, tempat di mana kereta akan melambat. Saat Fanny berusia 6 tahun, ia pernah melalui daerah itu saat menjenguk keluarga, ia menggunakan kereta dan tanpa rasa takut ketika kereta melambat, ia berani melompat dari kereta untuk mengambil beberapa genggam bunga Lupinen kemudian kembali ke Plattform. Tentu saat itu tidak ada orangtua mereka dan Barbara selalu ketakutan ketika hal itu terjadi. Tetapi sekarang tahun 1943 keadaan berbeda saat mereka masih kecil, sekarang mereka menjadi tawanan
87
88
tentara NAZI, setiap malam mereka menunggu akan dibawa menggunakan kereta ke suatu tempat, yang mereka sendiri tidak tahu apa nama tempatnya. Di suatu malam, tiba saatnya giliran Fanny dan Barbara serta tawanan lainnya dipaksa untuk masuk ke dalam kereta. Di tengan perjalanan Fanny dan Barbara bersiap menjalankan rencana pelariannya, berusaha untuk melarikan diri dengan melompat dari atas kereta kemudian bersembunyi pada semak-semak, namun malangnya, hanya Barbara yang lancar menjalankan aksi itu, sedangkan Fanny tidak berhasil melompat dengan selamat dan mati seketika di tempat itu. Melihat kejadian itu Barbara bingung dan hanya terdiam. Barbara segera melarikan diri, hingga sampai pada suatu rumah. Rumah yang didatangi Barbara adalah rumah kakak iparnya, yang merupakan suami dari Fanny. Iparnya merupakan keturunan bangsa Arya, warga asli Jerman. Namun dia tidak menjadi bagian dari tentara NAZI karena dia memiliki luka di bagian pundaknya. Saat kedatangan Barbara, iparnya hanya terdiam, ia bertanya-tanya mengapa hanya ada satu orang yang datang di depan rumahnya. Dengan kecemasan Barbara berusaha menjelaskan keadaan yang telah terjadi kepada iparnya. Sekuat hati, Barbara selalu berusaha menjelaskan keadaan saat itu, namun iparnya tidak mau mengerti, dan menganggap Barbara tidak berguna. Meskipun mereka tinggal dalam satu rumah, sikap dingin yang ditunjukan iparnya membuat mereka sangat jarang melakukan komunikasi, sesekali mereka melakukan komunikasi, Schwager hanya membicarakan masalah perang, hal itu selalu berujung pada kekecewaan pada batin Barbara. Meskipun demikian pada akhirnya Barbara merasa bahwa dia telah merasa jatuh cinta terhadap kakak
89
iparnya sendiri. Barbara ingin suatu hari nanti ia dapat menggantikan posisi Fanny. Dalam perasaan itu, untuk menyenangkan hati iparnya, Barbara selalu berusaha menjaga suasana hati iparnya dengan tidak membicarakan hal-hal yng dapat menyinggungnya. Salah satu tindakan untuk menyenangkan iparnya adalah dengan berpenampilan layaknya kakaknya, Fanny. Barbara memangkas rambutnya dan berbusana layaknya Fanny, berharap iparnya akan menyukai tindakannya. Ternyata apa yang diperkirakan Barbara berbanding terbalik, saat melihat Barbara berpenampilan seperti Fanny, iparnya hanya terdiam, dan kemudian berlalu. Hal itu membuat Barbara untuk kesekian kalinya kecewa. Keadaan emosional Barbara yang berisi tumpukan-tumpukan kekecewaan membuatnya depresi. Meskipun di radio telah di siarkan keadaan perang yang akan berakhir, hal itu membuat Barbara merasakan kebahagiaan sesaat. Di lain sisi dirinya merasa bahwa kehidupannya saat ini sia-sia, karena dia tidak dapat merasakan kebahagiaan dengan saudara satu-satunya Fanny yang telah tiada, dan sekarang apa yang tersisa, iparnyapun seperti tidak mengharapkan kehadirannya. Dalam keadaan emosional yang seperti itu Barbara memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menabrakan diri di depan kereta yang sedang melaju tepat di mana kakaknya juga tewas seketika. Tubuh Barbara tidak ada yang mengenali, sehingga jasadnya kemudian dibawa ke kamar jenazah, kemudian dimakamkan di dalam peti orang miskin.
Lampiran II BIOGRAFI Marie Luise Kaschnitz
Marie Luise Kascnitz lahir di Karlsruhe pada tanggal 31 Januari 1901, putri ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya Max Freiherr seorang Mayor Jendral dan ibunya bernama Elsa. Dia hidup di kota Potsdam, meskipun dia tinggal di kota Potsdam, dia masih seringkali mengunjungi perkebunan keluarganya yang berada di Bollschweil, sebuah desa dekat Freiburg. Setelah meninggalkan bangku sekolah, dia dilatih sebagai seorang penjual buku di Weimar (1922-1924) dan kemudian bekerja di sebuah penerbitan Munich rumah dan toko buku di Roma. Pada tahun 1925 dia menikah dengan arkeolog Guido Kaschnitz Weinberg. Dia dan suaminya hidup, di mana tempat suaminya bekerja sebagai seorang profesor arkeologi di Johann Wolfgang Goethe-University yang terletak di kota Frankfur. Setelah kematian suaminya di tahun 1958 dia pindah ke tempat asal keluarganya di Bollschweil dekat Freiburg. Marie Luise Kaschnitz adalah salah satu dari sedikit penulis perempuan yang telah menerima banyak penghargaan yang didominasi laki-laki penting di Jerman Barat. Beberapa penghargaan yang telah diraihnya diantaranya GeorgBüchner-Preis (1995), beasiswa dari Villa-Massimo, Goetheplakette dari Frankfurt am Main (1966), Pour le mérite untuk kategori sains dan seni (1967), gelar doktor kehormatan dari Universitas Goethe (1968), Johann Peter Hebel Preis di Württemberg dan Mendali memorial Roswitha (1973).
90
91
Saat dia menjadi penulis hampir semua mengagumi jurnal dan artikel surat kabar yang telah dia buat. Marie Luise tumbuh menjadi seorang sastrawan terkenal. Tidak sedikit dari karyanya yang telah mendapatkan penghargaan dan buku-bukunya yang memiliki penjualan terbaik. Salah satu bukunya yang terkenal adalah “Der Spiegel”. Novel pertamanya berjudul “Liebe beginnt” di tahun 1933. Kemudian banyak karya puisi yang telah ditulisnya di antaranya “Zukunftsmusik” di tahun 1950, “Ewige Stadt” di tahun 1952, “Kein Zauberspruch” di tahun 1972. Selain itu dia juga menghasilkan karya berupa cerita pendek (Kurzgeschicte). Salah satu dari cerita pendek itu berjudul Lupinen. Kaschnitz
meninggal
pada
10 Oktober 1974 di
Roma,
kemudian
dimakamkan di Bollschweil, tempat keluarga asalnya. Sebuah monumen sastra dibuat untuk mengenang karya-karya yang telah dibuatnya, monumen itu terletak di kota Frankfurt, tempat dia dahulu tinggal bersama suaminya.
Lampiran III BIOGRAFI Sigmund Freud Sigmund Freud yang dikenal dengan Bapak Psikoanalisis dilahirkan di Moravia pada tanggal 6 Mei 1856 yang telah meninggal di London pada tanggal 23 September 1939. Selama hampir 80 tahun Freud tinggal di Wina dan baru meninggalkan kota ketika NAZI menakhlukan Austria. Di masa usia muda Freud bercita-cita ingin menjadi ahli ilmu pengetahuan, serta mendorong rasa keingin tahuannya terhadap kodrat manusia, dengan keinginannya itu pada tahun 1873 masuk Fakultas Kedokteran Universitas Wina dan tamat pada tahun 1881. Sebenarnya Freud tidak bermaksud melakukan praktek sebgai dokter, tetapi karena keadaan desakan ekonomi keluarga yang dibina bersama Martha Bernays, istrinya yang dinikahi pada tahun 1886, memaksa untuk membuka praktek. Di sela-sela waktu prakteknya menyempatkan diri untuk melakukan kegiatan penelitian dan menulis, adapun minat ilmiah Freud adalah Neurologi. Pada tahun 1885 ia menerima bantuan dana dan memutuskan untuk belajar selama satu tahun di Paris bersama seorang ahli penyakit jiwa yang terkenal di Perancis yaitu Jean Charot. Dalam merawat pasiennya Charot melakukan dengan metode hipnosis. Dengan metode hipnosis merasa tidak puas dengan hasilnya, oleh karena itu ketika mendengar seorang dokter di Wina bernama Joseph Beuer, mempergunakan metode lain yaitu metode dengan mengajak pasien berbicara, dan hal hasilnya memuaskan. Breuer dan Freud kemudian bersama-sama menulis tentang histeria yang disembuhkan dengan percakapan itu (Studien Über Hysterie, 92
93
1859). Akan tetapi kedua ahli ini berbeda pendapat mengenai pentingnya faktor seksual dan histeria. Freud berpendapat mengenai konflik-konflik seksual merupakan sebab daripada hosteria, sedangkan Breuer berpendapat lain. Sejak perpisahan dengan Breuer, Freud menempuh jalannya sendiri dan menemukan gagasan-gagasan yang mejadi dasar teori psikoanalisis. Puncaknya ia menerbitkan karya pertamanya yang diberi judul “Traumdeutung” (Takbir mimpi, The Interpretation of Dream, 1990). Model ini memuat tentang jiwa di mana ia menggambarkan dengan jelas perjuangan psikis sebagai konflik antara kekuatankekuatan tak sadar dan kekuatan sadar. Buku-buku serta tulisan-tulisannya yang lain membuat pandangannya menjadi pusat perhatian yang kemudian diikuti oleh para ahli dari berbagai negara,anatara lain Ernest Jones dari Inggris, Carl Gustav Jung dari Zurich, A.A. Bril dari New York. Setelah
gagasannya
mengenai
takbir
mimpi,
kemudian
Freud
memperkenalkan suatu model struktural yang tidak menggambarkan fungsi mental sebagai subsistem-subsistem yang terpisah dalam The Id, The Ego, The Superego (1923). Bagi Freud bagian yang sangat primitif adalah id (das Es), bagian kedua adalah ego (das Ich) serta bagian ketiga adalah superego (das Über Ich). Bagian-bagian ini tidak memiliki wilayah tertentu, Tetapi hanya merupakan gagasan hipotesis. Ketiganya berinteraksi dengan tiga tingkat kehidupan mental sehingga ego melintasi semua tingkat topografis dan memiliki komponen sadar, prasadar dan tak sadar, sedangkan superego adalah prasadar dan tak sadar.
Lampiran IV. Kategorisasi Watak Tokoh Utama dalam Kurzgeschichte Lupinen Kutipan Data No 1.
B. Jerman
Halaman
Terjemahan
...warum für sie alles anders Tetapi
kenapa
untuk
dia
sein sollte, keine Liebe, keine berbeda, tidak ada cinta, tidak Hofnung auf Glück. 2.
Wujud Perwatakan
24
Struktur Kepribadian (yang mendominasi) Super Id Ego Ego
ada harapan untuk bahagia.
Einen Selbstmörderin, hieβ es Seseorang yang bunuh diri, später,
als
Barbaras yang
kemudian
Mudah Putus
diketahui,
Asa
unkennlicher Körper in die ketika tubuh Barbara yang Leichenkammer
gebracht, tidak
dikenali
dibawa
ke
25
von niemandem identifiziert kamar jenazah, tidak dapat und schlieβlich im Armensarg diidentifikasi dan dikuburkan bestattet wurde. 3.
dalam peti orang miskin
Wir wagen es, hatten sie Kita berani menghadapi ini, gesagt,
und
hatten
alles kata mereka, dan kami telah
genau besprochen, sogar den membicarakan dengan sangat Weg, aufgezeichnet ...
detail,
bahkan
jalan
94
19
Pemberani
keluarnya... 4.
Und dann war auch sie es Dan kemudian dia (Barbara) gewesen, die wirklich die Tür aufgerissen
hatte
und
herausgesprungen
war,
jugalah yang membuka pintu dan
melompat
keluar,
während Fanny einfach sitzen sementara itu Fanny hanya blieb,
stumpfsinng
gleichgültig,... 5.
und
duduk, lesu dan tidak peduli, ...
Wir wagen es, hatten sie Kita berani menghadapi ini, gesagt,
und
hatten
alles kata mereka, dan kami telah
genau besprochen, sogar den membicarakan dengan sangat Weg, aufgezeichnet, an den detail, langen
Abenden,
Nächten... 6.
19
in
bahkan
jalan
19
Teliti
25
Nekat
den keluarnya, di malam-malam panjang, ditengah malam...
Einen Augenblick lang stand Selama beberapa saat Barbara Barbara keuchend dort oben berdiri terengah-engah diatas in
warmen
Oktoberwind, sana
ketika
terjadi
angin
95
wuβte nicht, wollte nichts, Oktober berhembus, dia tidak Lieβ sich nur fallen in das tau apa-apa, tidak ingin apastoβen,
Stampfen
und apa,
Klappern des Zuges hinein.
hanya
membiarkan
dirinya terjatuh ke tengah, di dalam laju dan gemerincing Kereta.
7.
Den
Sommer
über
hatte Hingga musim panas Barbara
Barbara noch Geduld, sie masih bersabar, dia berusaha bemühte sich, den Schwager agar iparnya suasana hatinya bei Laune zu erhalten, ... 8.
Den
Sommer
über
tetap baik, ... hatte Hingga musim panas Barbara
Barbara noch Geduld, sie masih bersabar, dia berusaha bemühte sich, den Schwager agar bei Laune zu erhalten.
23-24
Schwager
suasana
23
Sabar
hatinya tetap baik.
96
Lampiran V. Konflik yang di alami Tokoh Utama dalam Kurzgeschichte Lupinen Kutipan Data No 1.
B. Jerman
Terjemahan
In den Nächten, als sie auf das Di Klingelzeichen
Halaman
tengah
warteten, mereka
malam,
menunggu
ketika
Wujud Konflik
Struktur Kepribadian Id
Ego
S 19, Z 3-6
Super Ego
lonceng
manchmal wurde auch gar nicht berdentang, terkadang lonceng geklingelt, sondern mit dem itu tidak berbunyi sama sekali, Gewehrkolben gegen die Türe melainkan geschlagen,
auf
tangkai
senapan
Penindasan
Pemaksaan
machen, yang beradu dengan pintu,
Judenpack, fort mit euch in den terbuka, Hai Yahudi, cepat Zug. 2.
segera masuk ke dalam kereta.
Am einen andern Abend aber Pada
suatu
malam
dia
gadis
itu,
griff er nach dem Mädchen, menggerayangi brutal und hochmütig, so als dengan
brutal
dan
S 24, Z 3-6
arogan,
wolle er sagen, du könntes doch seolah-olah dia mengatakan, zu etwas nützlich sein, und lieβ kamu seharusnya bisa berguna, die heftig Widerstrebende gleich setelah wieder fahren.
itu
dia
pergi
meninggalkannya. 97
3.
Der ängstlichen Barbara hatte Saat
itu
das Herz im Halz geshlagen ketakutan
Barbara hatinya
yang
berdebar-
S 19 Z 20-23
übrigens auch jedes spätere Mal debar, juga setiap kali hal itu
Kecemasan
noch, wenn sie im groβen Bogen terjadi lagi selalu takut, ketika auf dem Lupinendamm fuhren.
dia
(Fanny)
menjauhi
kumpulan Lupinen itu. 4.
Einmal sagte er, warum tue ich Suatu ketika dia mengatakan,
S 22, Z 15
das alles, ich bin SA-Mann, ich mengapa aku mengakhiri ini, habe ein Revolver, ich kann saya
seorang
SA,
saya
zuerst dir und dan mir eine memiliki Revolver, saya dapat Kugel in den Kopfschieβen. menembakan peluru pertama Wenn meine Mutter in Hamburg pada nicht wäre, hätte ich es längst pada
kepalamu
selanjutnya
kepalaku
sendiri.
Ketakutan
getan. Barbara sagte nicht, aber Seandainya ibu saya tidak di sie zitterte am ganzen Körper, Hamburg,
saya
akan
sie war zwanzig Jahre alt und melakukan hal ini sejak dulu. hatte
gehofft,
vorüberging.
das
alles Barbara tidak berkata, tetapi dia
badannya
menggigil
ketakutan. Dia sudah dua puluh 98
tahun dan berharap, semuanya akan berlalu. 5.
Nur daβ es nun eben nur eine Memang hanya ada satu orang S 20, Z 8-9 war
und
die
falsche,
wie dan orang itu keliru, seperti
Barbara sich sagte, als sie die Barbara
berkata
Steine ans Fenster geworfen dirinya, hatte. 6.
kepada
ketika
dia
melemparkan batu ke jendela
Wenn sie den Schwager beim Ketika makan makam mereka
S 21, Z 3-4
Abendessen gegenübersaβ, aber berhadapan, tetapi dia tahu,
sie wuβte schon, er konnte es ipar tidak akan mengerti. nicht begreifen. 7.
Kekecewaan
Das war die Zemenfabrik, jetzt Dulu
itu
brennt die Schule, jets kommen sekarang
pabrik sekolah
semen, S 23, Z 6-10 terbakar,
sie hierher. Bei den folgenden sekarang mereka datang ke Angriffen
verhielt
Schwager
nicht
sich
der sini. Dalam
anders,
er berikutnya
serangan perilaku
bom kakak
wurde dem Mädchen immer iparnya berbeda, dia makin rätselhafter, sie wuβte nicht, menjadi teka-teki bagi Barbara, haβte er sie oder war er nur Barbara tidak tahu apakah laki99
unglücklich.
laki itu membencinya atau dia hanya tidak bahagia.
8.
Warum für sie alles anders sein Tetapi sollte,
keine
Liebe,
Hofnung auf Glück. 9.
kenapa
untuk
dia
keine berbeda, tidak ada cinta, tidak
S 24, Z 1113
ada harapan untuk bahagia.
Das leben ist voller Rätsel, es Hidup
ini
penuh
dengan
S 23, Z 19
muβ doppelt rätsel haft gewesen misteri, ini adalah dua kali sein für die kleine Barbara, die membingungkan bagi Barbara den Schwager im geheimen kecil, yang mencintai kakak
liebte und gehofft hatte, einmal iparnya secara diam-diam dan die
Stelle
ihrer
einzunehmen.
Schwester berharap,
suatu
saat
menggantikan
ingin
Emosi
kedudukan
kakak perempuannya. 10.
Barbara sprang auf, zog ein Barbara
melompat,
S 23
helles Kleid an, holte auch, menggunakan pakaian terang, verstolhlen greifend. 11.
durch
Fenster juga
mengambil,
melalui
jendela meraih tangkai anggur.
Ich muβ es him begreiflich Saya
harus
membuatnya
machen, dachte Barbara oft in mengerti, Barbara memikirkan
S 21, Z 1-2
Rasa Bersalah
100
den folgenden Monaten.
berkali-kali pada bulan-bulan berikutnya.
() : Struktur kepribadian yang mendominasi terjadinya konflik.
101
Tabel VI. Mekanisme Pertahanan yang dilakukan Tokoh Utama dalam Kurzgeschichte Lupinen Kutipan Data
No. 1.
B. Jerman
Terjemahan
Wir wagen es, hatten sie Kita berani menghadapi gesagt, und hatten alles ini, kata mereka, dan kami genau besprochen, sogar telah
membicarakan
den Weg aufgezeichnet, An dengan
sangat
detail,
den langen Abenden, in sudah
melukiskan
jalan
den Nächten, als sie auf keluarnya, das
Klingelzeichen malam,
di
tengah
ketika
mereka
warteten, mancmal wurde menunggu
lonceng
auch gar nicht geklingelt, berdentang, sondern
mit
dem lonceng itu tidak berbunyi
Gewehrkolben gegen die sama Türe
geschlagen,
auf tangkai
machen, Judenpack, fort beradu mit euch in den Zug.
terkadang
sekali,
melainkan
senapan
yang
dengan
pintu,
terbuka, Hai Yahudi, cepat segera masuk ke dalam
Hlm / Baris
Bentuk Mekanisme Pertahanan
Keterangan
S 19, Z 1-6
Represi
Barbara saat menjadi tawanan tentara
NAZI
membuat
barbara takut dan diselimuti kecemasan, demikian
meskipun dimalam-malam
dirinya dan kakaknya menjadi tawanan
tentara
mereka
tetap
NAZI, berusaha
menacari jalan keluar dengan menyusun
rencana
untuk
melolosakan diri dari tentara
102
NAZI.
kereta 2.
melompat, Barbara sprang auf, zog Barbara menggunakan pakaian ein helles Kleid an, holte terang, melaui jendela, auch, verstohlen durchs meraih beberapa tangkai Anggur. Fenster greifend, ein wenig Weinlaub.
S 23, Z 19-20
Regresi
Bagi
orang-orang
yang
membenci NAZI merupakan berita baik ketika mendengar siaran radio tentang orangorang Amerika telah mendarat di
Jerman,
tak
terkecuali
Barbara juga senang, untuk melampiaskan kesenangannya ia
menggunakan
pakaian
mencolok dan bertingkah laku layaknya
anak
melompat-lompat
kecil dengan
melewati jendela
103
3.
Barbara dachte nur ratlos, Barbara aber jetz wird doch alles tetapi
hanya sekarang
gut, sie vertrieb sich am akan
menjadi
Nachmitag die Zeit mit saja,
dia
Haareschneiden
Abend aus wie Fanny, menyisir Frisur
semua baik-baik
menghabiskan
und waktu di sore hari dengan
Haarebürstein und sah am memotong deren
berfikir,
sie
rambut rambut
dan dan
ganz berdandan di malam hari
unwillkürlich nachgeahmt seperti Fanny, secara tidak hatte.
sadar dia telah meniru rambutnya.
S 23, Z 31-34
Introyeksi
Barbara
mengalihkan
rasa
cemasnya terhadap Schwager dengan melakukan pertahanan diri
berupa
Introyeksi barbara
yang adalah
berpenampilan seperti
Fanny,
introyeksi. dilakukan dengan layaknya untuk
menyenangkan suasana hati Schwager.
104