PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERDIMENSI SASTRA HIJAU YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER Dr. Farida Nugrahani, M.Hum. PBSI FKIP, MPBI Pascasarjana Univet Bantara Sukoharjo dan HISKI Komisariat Univet Bantara Sukoharjo Pos-El:
[email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengembangkan bahan ajar sastra dengan media film berdimensi sastra hijau. (2) mengujicobakan bahan ajar yang disusun untuk mengetahui validitas, keefektifan, dan kepraktisannya. (3) mendeskripsikan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam bahan ajar yang disusun. Penelitian ini mengikuti model rancangan pengembangan Plomp (1997) meliputi (1) tahap pengkajian awal, (2) tahap perancangan, (3) tahap realisasi (konstruksi), (4) tahap validasi dan revisi. Dalam keperluan perancangan bahan ajar sastra ini prototipe yang telah disusun dan dikembangkan diujicobakan kepada subjek penelitian, yaitu siswa SMA Veteran 1 Sukoharjo. Penelitian dilakukan sampai mendapatkan prototipe final, yaitu bahan ajar sastra dengan media film berdimensi sastra hijau yang efektif dan berkontribusi terhadap pendidikan karakter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Bahan ajar sastra dengan media film berdimensi sastra hijau dapat disusun dalam bentuk perangkat pembelajaran yang terdiri dari buku siswa dan buku guru sesuai silabus Bahasa Indonesia dalam Kurikulum. (2) Bahan ajar sastra yang disusun bersifat praktis, dan efektif digunakan dalam pembelajaran sastra di SMA. (3) Bahan ajar sastra yang disusun mengandung nilai-nilai karakter yang berkaitan dengan rasa cinta dan bangga atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta rasa syukur atas keindahan alam dan seisinya sebagi karunia Allah yang diciptakan untuk manusia. Kata kunci: bahan ajar, sastra hijau, media film, pendidikan karakter, siswa SMA.
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pandangan bahwa sastra dapat berperan besar dalam penanaman nilai-nilai luhur pada siswa, sudah banyak disampaikan oleh para pakar, bahkan tidak sedikit hasil penelitian yang mendukung pembenaran pandangan tersebut dalam duni pendidikan. Meskipun demikian, masih banyak orang yang meganggap bahwa membaca dan memahami sastra tidak lebih penting dari mempelajari teknologi dan hal-hal lain yang bersifat kebendaan. Kemampuan anak dalam bidang eksakta menjadi lebih utama daripada bidang sosial humaniora, yang dapat dipelajari melalui sastra. Akibat dari pandangan yang menyesatkan seperti itu, maka nasib pembelajaran sastra masih terabaikan di sekolah. Sebagai pilar utama pembelajaran sastra, diharapkan guru mampu menumbuhkan minat siswanya untuk membaca karya sastra, agar penanaman nilai-nilai kehidupan yang mendukung pembentukan karakter mulia dapat dilakukan. Namun demikian perlu dipahami bahwa tidaklah mudah mengajarkan sastra di sekolah, karena menyediakan teks sastra sebagai bahan ajar ke dalam kelas itu bukanlah pekerjaan mudah. Mempelajari sastra berarti membaca
teks sastra, memahami isinya, dan mengapresiasi
keindahan ceritanya serta menghayati nilai-nilai kehidupan yang disampaikan oleh pengarang untuk menangkap pesan yang disampaikan melalui karyanya.
Untuk mencapai tujuan itu, sangatlah
diperlukan kreativitas guru dalam tugasnya untuk mempersiapkan dan mengembangkan bahan ajar yang menarik, agar pembelajaran dapat berjalan efektif dan berhasil lebih optimal. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa pembelajaran sastra di Indonesia pada umumnya belum berhasil sesuai tujuan yang tertera dalam kurikulum. Keprihatinan terhadap rendahnya mutu pembelajaran sastra di sekolah telah menjadi topik pembicaraan dalam berbagai forum ilmiah bahasa dan sastra, baik melalui konggres bahasa, seminar, simposium, workshop, ataupun diklat profesi guru dalam sertifikasi guru bahasa di seluruh Indonesia (Nugrahani, 2014: 3). Pembicaraan tentang masalah yang dihadapi dalam pembelajaran sastra pada umumnya berkaitan dengan hal-hal berikut. (1) Kekacauan antara konsep dan praktik pembelajarannya. (2) Ketidaksesuaian desain pembelajaran dengan kebutuhan siswa dan tuntutan dari dunia kerja. (3) Ketidaksesuaian orientasi evaluasi dengan kompetensi yang dituju dalam pembelajaran yang dilakukan;dan (4) Rendahnya kompetensi guru dalam menyusun desain,
2
dan pengelolaan pembelajarannya, termasuk di dalamnya adalah rendahnya kemampuan guru dalam menyusun bahan ajar dan menerapkan media pembelajaran yang menarik minat siswa. Karya sastra merupakan salah satu bentuk karya seni, yang tentunya memiliki sifat menarik karena mengandung unsur keindahan. Karena itu menurut Satoto (2006:423), dalam kondisi bagaimanapun, sudah seharusnya pembelajaran sastra itu menarik apabila disampaikan dengan benar oleh guru yang profesional, yaitu guru yang mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam undang-undang, bahwa tugas guru adalah melaksanakan pendidikan dan pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar tumbuh menjadi manusia beriman, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Masalahnya, guru sastra di Indonesia belum semuanya profesional dalam menjalankan tugasnya. Sarumpaet (2002:xii) menyatakan, bahwa masih banyak guru sastra yang belum mampu memahami karya sastra yang akan diajarkan kepada siswanya. Demikian pula penelitian dari Direktorat Tenaga Kependidikan Depdiknas (dalam Harimansyah, dkk. 2013:1), yang menemukan bahwa 61,96% guru SD, SMP, SMA, dan SMK tidak menguasai materi yang diajarkan. Sementara itu, melalui berbagai penelitian yang terdahulu diketahui pula bahwa penyebab utama kegagalan pembelajaran sastra pada umumnya adalah karena gurunya tidak berkompeten, siswanya kurang berminat, dan fasilitas pembelajarannya sangat terbatas. Padahal tugas guru dalam proses pembelajaran
meliputi tugas-
tugas yang amat peting, dimulai dari menyusun perencanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, sampai melakukan evaluasinya.
Dalam menyusun perencanaan
pembelajaran,
tugas guru meliputi (1) merumuskan tujuan dan menetapkan kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran, (2) menyusun bahan ajar/materi yang akan digunakan sebagai sarana mencapai tujuan, (3) menyusun penjabaran dan urutan logis dari bahan/materi yang akan diajarkan sebagai dasar pengembangan media, metode, dan teknik evaluasinya. Jika guru tidak mampu menjalankan tugas-tugas tersebut dengan baik, niscaya kualitas pembelajaran yang diselenggarakan juga tidak optimal. Dari penelitian sebelumnya, diketahui bahwa dalam proses pembelajaran sastra, pada umumnya guru belum menyajikan materi ajar yang menarik. Karya sastra belum dihadirkan dalam kelas untuk diapresiasi siswa. Siswa belajar sastra hanya dari sinopsis ceritanya saja. Selain itu, karya sastra yang dibahas bukan merupakan karya terbaru yang isinya (content) sesuai dengan dunia remaja dewasa ini. Para guru belum menyajikan materi ajar yang sesuai dengan
3
perkembangan mental siswa remaja (adolescent), dan perkembangan teknologi informasi yang akrab dengan kehidupan siswa. Dengan demikian minat siswa untuk belajar sastra menjadi berkurang/rendah, demikian pula kompetensinya dalam bersastra (Nugrahani, 2011). Sebagai dampak dari rendahnya kemampuan guru sastra dalam menjalankan tugasnya, maka rata-rata prestasi belajar bahasa (sastra) Indonesia siswa di sekolah pada umumnya masih rendah, bahkan rata-rata nilai bahasa Indonesia lebih rendah dari nilai bahasa Inggris atau mata pelajaran yang lain. Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian sebelumnya itulah, maka dipandang penting untuk dilakukan penelitian tentang pengembangkan bahan ajar sastra yang menarik dalam pembelajaran sastra yang efektif, sesuai kemampuan, kreatifitas, dan perkembangan intelektual siswa, yang mendukung pembentukan karakter siswa. Melalui bahan ajar sastra yang dimaksud diharapkan siswa dapat belajar dengan aktif dan kreatif serta dengan perasaan senang (enjoy) dan berhasil sesuai tujuan yang dirumuskan dalam kurikulum yang diberlakukan. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan bahan ajar sastra berdimensi sastra hijau yang diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah baru yang bermakna penting bagi pengajaran sastra yang efektif, juga bermakna bagi pengambil kebijakan, serta semua pihak yang peduli terhadap pendidikan dan lingkungan. Selanjutnya, melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dalam mengubah orientasi pembelajaran sastra dari pemahaman kognitif menjadi pencapaian kompetensi apresiatif yang menunjang pendidikan karakter. Adapun karakter yang dituju adalah karakter penciri bangsa Timur yang ramah, santun dan suka bergotong royong, yang dilandasi rasa cinta dan bangga atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, serta rasa syukur terhadap keindahan alam semesta sebagai ciptaan Allah yang dikaruniakan untuk manusia. Dengan harapan itulah penelitian ini dilakukan untuk mampu mengantarkan siswa mencapai kompetensinya dalam bersastra, dan menjadi siswa yang berkarakter sesuai jatidiri bangsanya. Selanjutnya, bahan ajar yang dikembangkan dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), sehingga dapat memberikan urgensi praktis dalam hal-hal berikut. (1) Pengembangan bahan ajar berdimensi sastra hijau berbasis media film. (2) Peningkatan kualitas pembelajaran sastra melalui bahan ajar berdimensi sastra hijau dengan media film. (3) Pendidikan karakter siswa melalui pembelajaran berdimensi sastra hijau dengan media film. Lazar (2002:52) menyampaikan, bahwa bahan ajar sastra yang digemari siswa adalah novel, namun mengangkat novel sebagai bahan ajar di kelas tentu tidak mudah, sebab jumlah ketersediaan novel di perpustakaan sekolah pada umumnya sangat terbatas dan tidak mencukupi untuk dibaca
4
siswa secara bersama-sama. Oleh sebab itu perlu dicari alternatif yang memungkinkannya, misalnya mengajarkan materi novel yang dikemas dalam berbagai komoditas, seperti film, lagu, drama musikal, sinetron, dan sebagainya. Disinyalir hal itu merupakan alternatif cerdas sebagai jembatan menuju apresiasi novel yang dipilih sebagai materi ajarnya. Dengan hadirnya teknologi informasi yang sangat digemari siswa, maka sastra (dengan komoditas derivasinya) menjadi lebih dekat dengan siswa meskipun belum langsung melalui teks aslinya. Hal itu tentu tidak perlu dipermasalahkan mengingat bahwa melalui bantuan teknologi informasi (seperti film, video, drama musikal, sinetron dan sebagainya), para siswa berkesempatan untuk bereksplorasi, berimajinasi, dan menantang kreativitasnya untuk mengapresiasi karya seni yang bersumber pada sastra yang syarat akan nilai-nilai yang merupakan pesan pengarang yang disampaikan melalui amanat cerita. Keberadaan media internet dan semua media audiolingual berbasis komputer seperti film, video, sinetron, dan sebagainya dalam pembelajaran sastra sangat mudah membantu siswa dalam belajar dan fleksibel dalam ukuran tempat, waktu,
serta biayanya. Melalui bahan ajar sastra
berbasis media film, guru mendapatkan kemudahan dalam tugasnya menghadirkan karya sastra untuk dinikmati siswa. Sementara itu, para siswa juga dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan. Moody (1971:91) menyampaikan bahwa tujuan pembelajaran sastra adalah untuk membantu keterampilan siswa dalam berbahasa, meningkatkan pengetahuan budayanya, mengembangkan daya cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak/karakter yang terpuji. Sejalan dengan pendapat Moody tersebut, maka tujuan pembelajaran sastra adalah mempersiapkan siswa tumbuh menjadi manusia berbudaya, dan berkarakter, sehingga bermanfaat bagi kehidupannya. Pembelajaran sastra merupakan proses interaksi komunikasi antara pengajar dan pembelajar sebagai komponen utamanya. Menurut Bruner (dalam Sudjana, 1991:137), dalam pembelajaran, peserta didik melakukan proses belajar, yaitu mengalami, dan menemukan pengetahuan baru melalui transformasi dan pengkajian pengetahuan. Dalam pembelajaran terjadi proses komunikasi interaktif, bagi pertukaran pemikiran dan perasaan, antara dua orang atau lebih yang menghasilkan pengaruh bagi keduanya (Brown, 2001:165). Piaget (dalam Sunarto & Hartono, 2002:25) menyampaikan bahwa pada usia remaja (SMA) anak berada pada tingkat perkembangan operasional yang mampu memperkirakan apa saja yang mungkin terjadi. Disampaikan pula oleh Elkins (1976:4), bahwa anak usia remaja sudah mampu menggeneralisasikan
permasalahan,
berpikir
5
abstrak,
dan
memberikan
keputusan
yang
bersangkutan dengan moral Pada masa itu perkembangan kognitif siswa mencapai tingkat yang sempurna bila ditunjang perkembangan kognitif lain, seperti kematangan, pengalaman fisik, dan interaksi sosial. Sejalan dengan karakteristis usia remaja tersebut, maka bahan ajar yang sesuai untuk siswa SMA menurut Sayuti (1994:21), bisa berupa apa saja, namun mengingat masa adolesen itu ditandai dengan kecenderungan perilaku mandiri, idealis, dan moralis, maka tema yang menarik adalah kepahlawanan, percintaan, persaudaraan, dan keagamaan. Dikemukakan pula oleh Lazar (2002:52), bahwa dalam memilih bahan ajar sastra
untuk remaja, perlu mempertimbangkan
kemampuan siswa dalam memahami teks sastra, dan pengalaman belajar yang menyertai untuk menunjang keterampilannya dalam bersastra. Sementara itu, menurut Moody (dalam Rohmadi, 2005:8), dalam memilih bahan ajar sastra harus perlu mempertimbangkan kesesuaian dan kepantasan bahasa (dalam teks sastra) yang akan diajarkan dengan perkembangan psikologis dan latar belakang sosial budaya siswa. Pada kategori tersebut karya sastra hijau sangat sesuai untuk dipilih sebagai bahan ajar sastra di SMA. Dalam tujuan mendidik anak agar memiliki jiwa cinta terhadap alam semesta, maka bahan ajar sastra berdimensi sastra hijau sangat tepat digunakan. Menurut Naning Pranoto (2016:1), istilah sastra hijau (Green Literature), dicetuskan dan dipopulerkan oleh William Rueckert (1978). Istilah tersebut sering pula disebut dengan ecocriticismn. Sastra hijau merupakan gerakan yang dimulai dari negara-negara yang masyarakatnya peduli lingkungan, seperti Brazil, Australia dan Amerika. Di Indonesia sastra hijau mulai marak dan dikenal sekitar lima tahun terakhir, dan masih terus berkembang hingga saat ini. Sastra hijau yang juga disebut sebagai ekokeritisisme yaitu konsep kearifan ekologi yang dipadukan ke dalam karya sastra.
Pembelajaran sastra dengan materi
berdimensi sastra hijau antara lain dapat membantu meningkatkan kesadaran akan hidup yang bergantung kepada alam yaitu bumi dan seluruh isinya. Melalui sastra hijau kesadaran untuk melestarikan bumi serta isinya, dapat ditanamkan kepada para siswa. Dengan materi ajar sastra berdimensi sastra hijau, siswa dapat terbiasa mengamati lingkungan sebagai sumber inspirasi sehingga muncul kepedulian dan kecintaan untuk merawat dan melestarikan lingkungan. Siswari (2016:2) menjelaskan, bahwa karya sastra yang dikelompokkan dalam sastra hijau pada umumnya memiliki kriteria
bahwa bahasa yang digunakan banyak menggunakan diksi
ekologi, isi karya dilandasi ‘rasa cinta pada bumi’, ‘rasa kepedihan bumi yang hancur’, ungkapan kegelisahan dalam menyikapi penghancuran bumi, melawan ketidakadilan atas perlakuan sewenang-wenang terhadap bumi dan isinya, ide pembebasan bumi dari kehancuran dan
6
implementasinya. Selain itu, sastra hijau memiliki visi dan misi penyadaran dan pencerahan yang diharapkan dapat mengubah gaya hidup perusak menjadi pemelihara merawat bumi (go green). Berkaitan dengan peran media dalam pembelajaran, Bovee (1997:3), menjelaskan bahwa media pembelajaran adalah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Pesan mudah ditangkap siswa bila disampaikan melalui bantuan sarana penyampai pesan atau media. Menurut Hubbard (1983:38), media pembelajaran yang baik mampu meningkatkan motivasi siswa untuk belajar, dan membantu siswa berperan aktif selama pembelajaran. Sementara itu, media yang kini digemari siswa adalah media berbasis komputer. Menurut Lee (1996:49), komputer dapat membantu siswa memperoleh materi otentik, dan termotivasi untuk kreatif belajar dalam suasana menyenangkan. Mulyasa (2002:73-76), menjelaskan, bahwa penggunaan teknologi sebagai media pembelajaran dapat mendorong peningkatan kesadaran sistem sosial dan belajar (social awareness & learning awareness). Tujuan akhir pembelajaran sastra adalah penanaman nilai-nilai sebagai pembentukan karakter anak. Karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Membentuk karakter tentu tidak semudah memberi nasihat, tetapi memerlukan proses pendidikan karakter, yaitu keseluruhan proses pembentukan kepribadian melalui pemahaman tentang nilai, dilanjutkan dengan penanaman nilai-nilai yang telah dipahami melalui pembiasaan, pengulangan, dan pembudayaan, agar tercermin dalam sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter merupakan proses perkembangan yang melibatkan pengetahuan, perasaan, dan tindakan, secara koheren dan komprehensif. Oleh karena itu perlu melibatkan berbagai komponen, yaitu: (1) masyarakatpemegang konsensus tata krama. (2) pemangku kepentingan,(3) kurikulum terpadu, moral dan etikamenjadi bagian dalam proses pendidikan, (4) model, dan (5) keterlibatan peserta didik, dalamkegiatan positif. Dengan perhatian khusus serta komitmen dari semua komponen niscaya pendidikan karakter terlaksana dengan baik.
METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan. Objek yang dikembangkan adalah bahan ajar sastra hijau berbasis media film yang berkontribusi terhadap pendidikan karakter, yang valid, praktis dan efektif. Fokus penelitian ini adalah pengembangan bahan ajar sastra yang terdiri dari lembar kerja siswa (LKS) dan buku guru.
Rancangan penelitian pengembangan yang
digunakan mengikuti model rancangan pengembangan Plomp (1997) meliputi tahap pengkajian
7
awal, tahap perancangan, tahap realisasi/konstruksi dan tahap tes, evaluasi, dan revisi. Pada tahap tes, evaluasi, dan revisi dapat terjadi pengulangan, sehingga diperoleh prototipe yang memenuhi persyaratan valid, praktis dan efektif. Untuk keperluan perancangan bahan ajar, prototipe yang telah disusun dan dikembangkan diujicobakan kepada subjek penelitian, yaitu siswa SMA Veteran 1 Sukoharjo. Secara umum rancangan penelitian pengembangan ini dari awal hingga memperoleh prototipe final dilakukan dalam berbagai tahap yaitu tahap pengkajian awal, tahap perencanaan, tahap validasi dan revisi serta tes, evaluasi, dan revisi. Dalam tahapan penelitian tersebut diperoleh Prototipe 1, 2, 3, dan selanjutnya yang merupakan suatu kesinambungan. Masing-masing ptototipe yang lebih kemudian merupakan perbaikan dari prototipe-prototipe sebelumnya.
Demikian
penelitian terus dilakukan sampai mendapatkan prototipe final, yaitu bahan ajar berdimensi sastra hijau dengan media film yang inovatif, efektif dan berkontribusi terhadap pendidikan karakter. Pada tahap awal, dilakukan kegiatan perancangan dalam 4 tahap yaitu: pengkajian awal, perancangan, realisasi (konstruksi), validasi dan revisi. Dengan jabaran sebagai berikut. (1) Tahap pengkajian awal. Tahap ini merupakan langkah awal dengan mengamati kondisi faktual di lapangan. Mengkaji teori belajar dan metode pembelajaran, serta mengkaji tentang proses pembentukan karakter. (2) Tahap perancangan. Tahap ini meliputi tahapan perancangan perangkat pembelajaran, dan instrumen. Pada tahapan ini dirancang petunjuk penggunaan bahan ajar yang disusun disesuaikan dengan perangkat pembelajaran. (3) Tahap realisasi. Tahap ini dilakukan penetapan komponen model, meliputi sintaks, sistem sosial, sistem pendukung, dampak instruksional dan dampak pengiring. Perangkatnya meliputi rencana pembelajaran, buku siswa, lembar kerja siswa dan buku guru. (4) Tahap validasi dan revisi. Pada tahap ini dilakukan validasi dengan meminta pertimbangan kepada ahli pengajaran sastra dan praktisi di lapangan. Hasil dari tahap ini apabila sudah valid, disebut prototipe-1. Jika model sudah valid dan layak tanpa revisi, dilanjutkan dengan uji coba di lapangan. Revisi dari hasil ujicoba selanjutnya disebut sebagai prototipe-2. Demikian selanjutnya untuk dilakukan uji coba kembali di lapangan sampai mendapatkan model yang diinginkan. Adapun luaran penelitian ini adalah bahan ajar sastra dengan media film yang berkontribusi terhadap pendidikan karakter, meliputi buku siswa, lembar kerja siswa, dan buku guru untuk satu pokok bahasan. Untuk mendapatkan bahan ajar yang memenuhi syarat valid, praktis dan efektif ini diperlukan data dan sumber data berikut. (1) Data dan sumber data untuk validasi. Data yang
8
diperlukan untuk mengetahui validitas konstruksi dari buku yang disusun berupa penilaian para pakar pengajaran sastra dan praktisi di lapangan. Perangkat yang divalidasi meliputi buku siswa, lembar kerja siswa dan buku guru. (2) Data dan sumber data tentang kepraktisan bahan ajar yang disusun. Data tentang kepraktisan ini diperoleh dari berbagai sumber, yaitu (a) pernyataan tentang dapat atau tidaknya buku yang disusun diterapkan dalam pembelajaran sastra di SMA; (b) hasil pembelajaran di kelas yang disampaikan oleh para ahli dan guru yang melaksanakan dengan menerapkan buku yang disusun,. (3) Data dan sumber data tentang keefektipan bahan ajar yang disusun. Data dan sumber data tentang keefektipan bahan ajar sastra yang disusun dapat diperoleh dari data aktifitas siswa dan guru selama proses pembelajaran, kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan respon siswa dalam mengikuti proses pembelajaran dan data hasil belajar siswa serta karakter pribadi siswa yang terbentuk. Analisis kevalidan, kepraktisan dan keefektipan bahan ajar sastra dengan media film yang berkontribusi terhadap pendidikan karakter, dilakukan sebagai berikut. (1) Analisis Kevalidan. Analisis dilakukan dengan cara mencari rata-rata dari penilaian validator. Skor rata-rata (V) dikonfirmasikan dengan interval penentuan kategori validitas model sebagai berikut. V < 1,5
berarti tidak valid
1,5
V < 2,5
berarti kurang valid
2,5
V < 3,5
berarti cukup valid
3,5 4,5
V < 4,5 V
berarti valid berarti sangat valid
(2) Analisis Kepraktisan melalui Kelayakan dan Keterlaksanaan. Analisis kelayakan dilakukan dengan cara mencari rata-rata dari penilaian validator. Skor rata-rata (L) dikonfirmasikan dengan interval penentuan kategori kelayakan penerapan bahan ajar yang disusun berikut. L < 1,5 1,5
L < 2,5
berarti sangat tidak layak berarti kurang layak
2,5 L < 3,5
berarti cukup layak
3,5 L < 4,5
berarti layak
4,5 L
berarti sangat layak
(3) Analisiis keterlaksanan dilakukan dengan cara mencari rata-rata dari observer yang mengamati proses pembelajaran di kelas. Skor rata-rata (T) dikonfirmasikan dengan interval penentuan kategori
9
keterlaksanaan penerapan model yang disusun, dengan criteria sebagai berikut.
T < 1,5
berarti tidak ada yang terlaksana
1,5
T < 2,5
berarti sebagian kecil terlaksana
2,5
T < 3,5
berarti sekitar separuh terlaksana
3,5
T < 4,5
berarti sebagian besar terlaksana
4,5
T
berarti seluruhnya terlaksana
(4) Analisis Keefektivan. Analisis keefektivan model meliputi analisis hasil belajar siswa, aktifitas siswa, respon siswa, dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran. Analisis hasil belajar siswa diperoleh dari evaluasi hasil belajar (tes), pengerjaan tugas. Ketuntasan belajar dilihat dari ketuntasan individu dan klasikal. Ketuntasan individu apabila siswa memperoleh skor minimal 6. Ketuntasan klasikal tercapai kalau siswa yang memperoleh ketuntasan belajar individu minimal 80% dari banyaknya siswa. Analisis aktifitas siswa diperoleh dari pengamatan dalam mengikuti pembelajaran. Pengamatan dilakukan oleh pengamat yang ditentukan. Analisis dilakukan terhadap frequensi rata-rata dari hasil pengamatan oleh pengamat. Analisis respon siswa dilakukan dengan menentukan respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan model yang disusun. Model dikatakan efektif jika siswa yang merespon posistip minimal 80 % dari jumlah siswa yang ada. Analisis kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dilakukan dengan mencari rata-rata dari observer yang mengamati proses pembelajaran. Skor rata-rata (K) dikonfirmasikan dengan interval penentuan kategori keterlaksanaan penerapan model yang disusun, sebagai berikut. K < 1,5
berarti sangat rendah
1,5
K < 2,5
berarti rendah
2,5
K < 3,5
berarti sedang
3,5
K < 4,5
berarti tinggi
4,5
K
berarti sangat tinggi
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejalan dengan masalah dan tujuan penelitian yang dirumuskan, maka hasil penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga bagian, meliputi: (1) bahan ajar
sastra dengan media film
berdimensi sastra hijau. (2) hasil uji validitas, efektivitas dan kepraktisan penggunaan modul
10
yang disusun. (3) nilai-nilai karakter yang terdapat dalam bahan ajar berdimensi sastra hijau yang disusun. Bahan ajar yang disusun dan dikembangkan dapat dibedakan menjadi dua macam bentuk, yaitu buku lembar kerja siswa (LKS) dan buku guru. Lembar kerja siswa atau LKS adalah modul bahan ajar yang disusun untuk membantu siswa dalam belajar. Lembar kerja siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang disusun melalui penelitian ini mencakup 2 kegiatan yaitu kegiatan 1 meliputi pembangunan konteks sastra hijau. Kegiatan 2 meliputi pemodelan keterkaitan film Tanah Surga Katanya dan Laskar Pelangi dengan konsep sastra hijau. Untuk dapat lebih memahami masing-masing kegiatan, diuraikan 5 tugas yang harus diselesaikan oleh siswa. Kelima tugas tersebut terdiri dari soal-soal latihan yang berbentuk uraian panjang dan uraian singkat. Soal dengan jawaban uraian panjang terdapat pada tugas 2, 3 dan 4. Sedangkan soal dengan jawaban uraian pendek terdapat pada tugas 1 dan 5. Sementara itu, buku guru merupakan buku petunjuk untuk guru sebagai patokan dalam proses belajar mengajar. Buku guru
berisi
tentang
petunjuk umum dan petunjuk khusus.
Petunjuk umum di dalamnya memuat materi, metode, dan evaluasi. Sementara itu petunjuk khusus memuat
kriteria penilaian hasil tugas siswa rekaman kegiatan siswa. Dalam petunjuk umum
diuraikan pendahuluan, konsep sastra hijau dan penilaian. Adapun dalam petunjuk khusus diuraikan tentang pembangunan konteks dan pemodelan teks yang didalamnya mencakup kegiatan yang perlu dilakukan guru dalam proses pembelajaran. Dalam petunjuk khusus juga diuraikan mengenai bentuk penilaian yang diterapkan. Selain itu, dalam buku guru juga terdapat informasi tentang silabus dan RPP. Silabus merupakan program pembelajaran yang akan dijadikan dasar dalam membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Silabus disusun berdasarkan pedoman yang memuat informasi tentang: nama sekolah, mata pelajaran, kelas, semester, alokasi waktu dan standart kompetensi. Tampilan silabus dalam kurikulum 2013 untuk SMA seperti tertera di bawah ini. Nama Sekolah
: SMA N 1 Veteran Sukoharjo
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas
: XI
Semester
:1 (Satu)
Alokasi Waktu
: 22 X 30 Menit
11
Kompetensi Inti
:Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan,kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. Pengalaman
Kompetensi
Materi
Indikator
Belajar
Dasar
Alokasi
Sumber Penilaian
Waktu
Tugas guru sebelum mengajar adalah membuat perencanan pembelajaran. Administrasi pembelajaran yang dibuat sebelum mengajar adalah RPP.
Komponen RPP meliputi hal-hal
berikut. (1) Identitas mata pelajaran terdiri dari: satuan pendidikan, kelas,
semester, program
studi, mata pelajaran dan jumlah pertemuan. (2) Kompetensi Inti, yaitu kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada suatu mata pelajaran. (3) Kompetensi Dasar, yaitu sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi dalam suatu pelajaran. (4) Indikator pencapaian kompetensi, adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan. (5) Tujuan pembelajaran, menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar. (6) Materi ajar,
memuat fakta, konsep,
prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi. (7) Alokasi waktu, ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar. (8) Metode pembelajaran, digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap indikator dan
12
kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran. (9) Kegiatan pembelajaran, untuk mencapai suatu kompetensi dasar harus dicantumkan langkah-langkah kegiatan setiap pertemuan. Pada dasarnya, langkah-langkah kegiatan. (10) memuat unsur kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Kegiatan inti terdiri atas, eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. (11) Penilaian hasil belajar, prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi dan mengacu kepada Standar Penilaian. (12) Sumber belajar, penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi. Berkaitan dengan tujuan penelitian yang kedua, yaitu mendapatkan seperangkan bahan ajar yang valid dan praktis, maka langkah berikutnya adalah melakukan validasi pada bahan ajar yang telah dikembangkan, Validasi produk bahan ajar sastra yang dikembangkan dalam penelitian ini dilakukan oleh ahli yang sesuai dengan bidangnya. Seperti yang telah direncanakan sebelumnya bahwa validasi dilakukan atas dasar ketercapaian aspek (1) bentuk/format buku, (2) kesesuaian antara isi buku dengan kurikulum, ( 3 ) bahasa yang digunakan dan ( 4 ) manfaat bagi proses pembelajaran. Masing-masing aspek juga terperinci dalam sub-sub aspek. Hasil validasi yang dilakukan dengan penilaian pakar, dibedakan dalam beberapa kriteria berikut. (1) Skor 1 artinya tidak baik, (belum dapat dipakai, masih memerlukan konsultasi). (2) Skor 2, artinya cukup baik (dapat dipakai, tetapi dengan banyak revisi). (3) Skor 3, artinya baik (dapat dipakai tetapi sedikit revisi). Skor 4, artinya sangat baik (dapat dipakai tanpa revisi). Adapun, hasil validasi yang dilakukan terhadap bahan ajar sastra yang disusun menunjukkan bahwa bahan ajar berdimensi sastra hijau yang disusun termasuk dalam kelompok kriteria ketiga, yaitu masuk dalam katagori baik, dan dapat dipakai namun masih memerlukan sedikit revisi. Selanjutnya, berdasarkan pandangan bahwa sastra dapat berperan besar dalam penanaman nilai-nilai luhur pada siswa, maka untuk mencapai tujuan itu, dalam penelitian ini dikembangkan bahan ajar sastra dengan media film yang berdimensi sastra hijau. Melalui media film diharapkan pelajaran lebih dapat menarik minat siswa dalam mempelajari sastra. Sastra hijau yang juga disebut sebagai ekokeritisisme adalah konsep kearifan ekologi yang dipadukan ke dalam karya sastra. Sastra hijau membantu meningkatkan kesadaran akan hidup yang bergantung kepada alam yaitu bumi dan seluruh isinya. Sastra hijau ditulis untuk melestarikan bumi serta isinya, khususnya hutan dan lingkungan hidup manusia. Sastra yang sering dikenal khalayak adalah sastra tertulis seperti
13
novel atau puisi. Untuk novel yang sudah diangkat dalam sebuah film, maka film tersebut sangat cocok diguanakn sebagai media dalam pembelajarannya. Berkaitan dengan topik penelitian ini, film yang bersumber pada novel sastra adalah film yang berjudul “Tanah Surga Katanya” dan film “Laskar Pelangi”.
Kedua film tersebut merupakan film yang termasuk dalan genre sastra hijau. Keduanya menawarkan inspirasi dan mengajak untuk mengingat keindahan alam Indonesia. Sastra hijau merupakan sastra yang menginspirasi dan mengajak manusia kembali ke alam. Tidak hanya novel, puisi ataupun cerpen yang bisa dikaitkan penulisannya dengan sastra hijau, film juga dapat dijadikan media untuk mengajak umat manusia kembali kepada alam. Dalam Film terdapat visualisasi dan dialog-dialog tokoh yang difungsikan sebagai alat untuk menyampaikan pesan kepada penonton. Film “Tanah Surga Katanya” merupakan film yang menyuguhkan visual yang berlatar perbatasan Indonesia-Malaysia. Film ini mengajak penontonnya untuk mencintai alam Indonesia yang kaya akan sumber daya alam. Film ini memberikan gambaran nyata yang sangat hidup, bahwa Indonesia merupakan negeri dengan sumber daya alam yang begitu kaya. Pesan itu tergambar dalam kutipan dialog antara Haris dan ayahnya yang bernama Hasyim berikut ini. “Malaysia Negri yang makmur, yah” (haris). “Negri kita (indonesia) lebih makmur, ris” (Hasyim). Melalui visual yang ditampilkan dalam film tersebut, dapat ditangkap pesan bahwa negeri yang indah dan memiliki kekayaan alam yang melimpah harus disyukuri, dibanggakan, dan dirawat
14
dengan baik. Melalui pesan inilah maka rasa cinta terhadap alam semesta dari para siswa dapat dikembangkan dan ditanamkan. Sementara itu, Film ”Laskar Pelangi” yang diangkat dari sebuah novel yang berjudul ’’Laskar Pelangi” menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung dari komunitas Melayu yang sangat miskin di Belitung, yang mencoba memperbaiki masa depannya. Melalui visual yang ditampilkan oleh film “Laskar Pelangi” itu, semangat khalayak untuk berperan penuh menjaga alam dapat dibangkitkan. Hal itu terlihat dari latar film yang menyuguhkan alam Belitong yang sangat asri. Selain itu, ada beberapa dialog film yang menginspirasi dan mengajak untuk hidup kembali dengan alam seperti dialog Ikal (salah satu tokoh dalam Laskar Pelangi) sebagai berikut. “Gambar-gambar ini merupakan bukti tak terbantahkan Belitong salah satu pulau terkaya di Indonesia. Pulau dengan uat-urat timah yang melimpah ruah, urat-urat yang mengundang bangsa lain untuk mengambil semua potensi ini” (Ikal; Prolog Laskar Pelangi). Tentu masih banyak film-film di Indonesia yang menginspirasi seluruh umat manusia untuk melestarikan lingkungan dan menjaga alam Indonesia yang sangat kaya ini. Namun melalui contoh kedua film ini disampaikan pemikiran bahwa film yang bersumber pada karya sastra sangat bagus digunakan sebagai media pembelajan. Dari kedua film yang dipilih dalam pengembangan bahan ajar ini dapat dilakukan penanaman karakter selama proses pembelajaran sastra. Melalui pembelajaran sastra dengan menerapkan media film sastra dapat dilakukan penanaman jiwa cinta dan bangga atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta rasa syukur atas keindahan alam dan seisinya sebagi karunia Allah untuk manusia.
PENUTUP Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasannya dapat disimpulkan bahwa bahan ajar sastra berdimensi sastra hijau dapat disusun dalam bentuk perangkat pembelajaran yang berupa buku siswa atau lembar kegiatan siswa (LKS) dan buku guru yang sesuai dengan silabus Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. Kedua bentuk buku yang berisi bahan ajar yang dikembangkan tersebut telah diuji validitas, kepraktisan dan keefektivitasannya. Adapun hasil ujinya menunjukkan bahwa bahan ajar sastra berdimensi sastra hijau yang disusun termasuk dalam katagori baik, dan dapat dipakai namun masih memerlukan sedikit revisi. Sementara itu, nilai-nilai karakter yang terdapat dalam bahan ajar yang disusun adalah nilai nilai karakter yang berkaitan dengan rasa cinta dan bangga atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta rasa syukur atas
15
keindahan alam dan seisinya sebagi karunia Allah yang diciptakan untuk manusia. Berdasarkan temuan-temuan seperti yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar sastra berdimensi sastra hijau dengan media film yang telah disusun itu bersifat valid dan praktis, sehingga efektif digunakan dalam pembelajaran sastra di sekolah menengah atas (SMA). Melalui bahan ajar yang disusun, siswa menjadi lebih aktif dalam belajar dan dalam suasana yang menyenangkan. Selain itu, bahan ajar yang disusun juga sangat mendukung pembentukan karakter anak, sesuai dengan pilar-pilar karakter yang telah ditetapkan dalam pendidikan karakter di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA Bovee, Courland. 1997. Business Communication Today, Prentice Hall: New York. Brown. H.D. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. (2 nd ed.). New York: Addison Wesley Longman, Inc. Elkins, Deborah. 1976. Teaching Literature. Ohio: Charles Merrill & Publishing Co. Harimansyah, Ganjar. Marliana, Lina. dan Widodo, Edi Rakhmat. 2005. “Uji Kompetensi Guru Bidang Sastra di SMA Perlu atau Tidak?” Makalah dalam Konferensi Internasional Himpunan Sarjana Kesusasteraan (HISKI), 18-21 Agustus 2005 di Swarna Dwipa Palembang. Hubbard, Peter. 1983. A Training Course for TEFL, Oxford University Press: Oxford. Lazar, Gillian. 1993. Literature and Language Teaching, Answer Guide Teachers and Trainers. United Kingdom: Cambridge University Press. Lee, Kwuang-wu. 2000. “English Teachers’ Barriers to the Use of Computer-assisted Language Learning”. The Internet TESL Journal, Vol. VI, No. 12, December 2000, dalam
. Moody, H.L.B. 1971. Theaching of Literature. London: Longman. Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasinya. Bandung: Rosda. Naning, Pranata. 20016. “Peranan-bahasa-ibu-sebagai-pilar-sastra-hijau”. http://laskarpenahijau .com/index.php/2015/10/13/peranan-bahasa-ibu-sebagai-pilar-sastra-hijau/ Nugrahani, Farida. 2014. “Laskar Pelangi Novel By Andrea Hirata as Acreative Industry and Educative Media (A Review of Sociologi Literature)”, Makalah Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT) di Dewan Bahasa dan Pustak Berakas Negara Brunai Darussalam, 15-19 Sept 2014
16
Rohmadi, Muhammmad. 2005. “Kaderisasi dan Motivasi Menulis dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah/ Kampus”. Makalah dalam Konferensi Internasional Himpunan Sarjana Kesusasteraan (HISKI), 18-21 Agustus 2005 di Swarna Dwipa Palembang. Sarumpaet, Riris K. Toha. 2002. “Bagaimana Sastra Membangun Bangsa” dalam Riris K. Toha-Sarumpaet (Ed). Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesiatera Satoto, Sudiro. 2006.”Profil dan Profesionalisme Guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang Ideal dalam Perspektif Pergaulan Antarbangsa” dalam Kumpulan Makalah Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia dalam Perspektif Pergaulan Antarbangsa PIBSI XXVIII Tanggal 2-4 Juli 2006. Semarang: IKIP PGRI. Sayuti, Suminto A. 2002. “Sastra dalam Perspektif Pembelajaran: Beberapa Catatan”, dalam Riris K. TohaSarumpaet (Ed). Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesiatera. Siswari,
Ryke L.S. 2016. “Mencintai Hutan dan Lingkungan Melalui Sastra”. http://bp2sdmk.dephut.go.id/emagazine/index.php/umum/80-mencintai-hutan-danlingkungan-melalui-sastra.htSudjana, Nana. 1991. Teori-teori Belajar Untuk Pengajaran. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sunarto & Hartono, Agung. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen .
17