Permasalahan Perencanaan Bahasa (Language Planning) dalam Praktik Pengajaran Bahasa Akhmad Humaidi STKIP PGRI Banjarmasin
Abstrak Persoalan pengajaran bahasa seringkali dibicarakan secara tersendiri dan terpisah dari berbagai persoalan yang melatarbelakanginya, padahal pengajaran bahasa hakikatnya merupakan bagian dari perencanaan bahasa (language planning). Perencanaan bahasa disusun untuk menciptakan kondisi yang aman bagi masyarakat multilingual, multirasial, dan multikultural di sebuah negara. Tulisan ini membicarakan permasalahan yang muncul terkait perencanaan bahasa yang diimplementasikan dalam pada bidang pengajaran bahasa. Masalah yang dibahas mengemukakan tentang dampak perencanaan bahasa yang tidak memperhatikan realitas sosial dan budaya masyarakat, pengaruh faktor historis terhadap pengajaran bahasa, kurikulum sebagai implementasi perencanaan bahasa, dan perencanaan bahasa di Indonesia. Penjelasan yang dikemukan lebih menekankan pada kasus-kasus yang terjadi di beberapa negara.
1. Latar Belakang Negara-negara yang terbentuk dari berbagai suku bangsa yang memiliki bahasa berbeda akan menghadapi masalah kebahasaan yang serius dan dapat mengakibatkan gejolak sosial dan politik yang cukup serius. Fenomena ini pernah disampaikan oleh Yudhoyono (2011: 25) ketika menceritakan pengalamannya bertugas di negara bekas negara Yugoslavia. Negara ini terpecah menjadi tiga negara baru, yaitu Kroasia, Serbia, dan Bosnia Herzegovina. Ketiganya memiliki ciri yang berbeda-beda baik identitas, agama, ras, maupun bahasa. Kedaan ini diperburuk dengan tidak tersedianya bahasa yang mampu menjembatani ketiga suku bangsa tersebut. Oleh sebab itu, faktor bahasa menjadi bagian penting dalam keberadaan dan dan keberlanjutan kehidupan sebuah bangsa. Keanekaragaman bahasa akan mengakibatkan masyarakatnya mau tidak mau harus menjadi penutur multilingual atau paling tidak bilingual bila tidak ingin terasing dengan lingkungan di sekitarnya. Bilingual bagi anak dapat
mengakibatkan kelemahan pemahaman bila dibandingan dengan monolingual karena kemampuan bahasa kedua seseorang dapat berbeda-beda. Persoalan ini dapat mengakibatkan defisit bahasa. Anak akan menghadapi kesulitan dalam pendidikan yang menggunakan sistem bilingual. Setidaknya ada empat persoalan yang muncul ketika anak menghadapi kondisi ini (Hassan, 2005: 8). Pertama, perbedaan akan membingungkan anak. Kedua, asimilasi budaya sangat penting dalam pembelajaran bahasa dan hal ini seringkali tidak dimunculkan oleh pihak yang berwenang. Ketiga, pembelajaran pada dasarnya ialah meniru model yang baik. Para orang tua tidak menunjukkan hal ini ketika berada di rumah. Orang tua seharusnya meluangkan waktunya untuk anak. Meskipun sedikit, anak sebenarnya secara kreatif bisa mengembangkan sendiri kemampuan berbahasanya. Greene (1974: 16) menyatakan bahwa meskipun kalimat yang diajarkan sedikit, seorang anak dapat mempelajari bahasa melalui pengalaman semua kemungkinan keterkaitan kalimat yang diperolehnya, yang nantinya akan menyadarkan mereka terhadap probabilitas hubungan stimulus respon antara kata yang berturut-turut dalam kalimat. Empat, anak mungkin telah melewati periode kritis untuk pemerolehan bahasa secara alami. Pendapat terakhir ini didasarkan pada keyakinan yang luas di kalangan akademisi bahwa pembelajar yang lebih muda umumnya dapat melakukan lebih baik dibandingkan pembelajar yang lebih tua (Ellis, 1995: 484). Pemerintah suatu negara harus mengatasi persoalan-persoalan ini melalui perencanaan bahasa (language planning). Dilema dalam kebijakan bahasa menurut Ngonyani (1997: 417) bersifat universal. Di satu sisi perencanaan bahasa merupakan kebutuhan untuk menggunakan bahasa lokal dalam pendidikan karena bahasa seperti itu merupakan yang paling mudah diakses bagi orang-orang. Bahasa yang dimengerti masyarakat menekankan pada relevansi lokal, menambah pertahanan sendiri, dan mendorong kreativitas dalam pendidikan. Di sisi lain, setiap negara membutuhkan bahasa nasional dan bahasa internasional seperti bahasa Inggris dan Prancis sebagai jendela ilmu pengetahuan dan teknologi modern di berbagai belahan dunia. Penekanan yang berlebihan pada satu sisi akan berakibat negatif pada sisi yang lain
2. Pengertian Perencanaan Bahasa Perencanaan bahasa (language planning) dapat dipahami dari berbagai perspektif. Chaer (2004: 185) menyatakan bahwa perencanaan bahasa merupakan usaha untuk membuat penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa dalam suatu negara di masa depan dengan lebih baik dan lebih terarah. Perencanaan bahasa harus dipilih dengan hati-hati dengan mempertimbangkan pengembangan dan penanaman terhadap norma-norma tertentu (Hassan, 2005: 5). Perencanaan bahasa tidak boleh mengasingkan diri dari faktor-faktor eksternal bahasa. Perencanaan bahasa seharusnya tidak dijalankan setengah-setengah, tetapi harus menjadi bagian dari agenda yang lebih besar, seperti pengembangan ekonomi dan sosial (Rottet, 2004: 136). Perencanaan bahasa menyangkut tentang cara-cara terorganisir masyarakat yang disatukan oleh ikatan agama, etnis, atau politik secara sadar untuk berusaha mempengaruhi penggunaan bahasa anggotanya melalui pendidikan, akademi, penerbit, atau junalis untuk membuat perubahan bahasa (Paulston, 2002: 791). Dengan demikian, perencanaan bahasa secara tidak langsung mempengaruhi sistem pendidikan suatu negara yang merupakan medium paling efektif dalam mengimplementasikan ide-ide yang ingin dicapai oleh pemerintah terkait pilihan bahasa yang dianggap paling sesuai demi keberlangsungan negara. Pengajaran bahasa mau tidak mau harus mengikuti rancangan tersebut melalui kurikulum yang berlaku di sebuah negara. 2.1 Dampak Standardisasi Bahasa Perencanaan bahasa tidaklah selalu dapat diterima semua pihak. Dalam berbagai kasus yang terjadi di dunia terkadang ada dampak yang dihasilkan dari perencanaan bahasa. Kenyataan ini juga terjadi di Indonesia ketika standardisasi aksara latin mulai diterapkan di Indonesia. Standardisasi ini pada awal penggunaannya telah mengakibatkan pengasingan secara tidak langsung terhadap sejumlah komunitas muslim di Indonesia (Fogg, 2015). Standardisasi bahasa Indonesia sejak tahun 1940-an mengacu pada aturan normatif Eropa dan menghilangkan pengaruh bahasa Arab. Standardisasi untuk menggunakan alfabet
latin menyebabkan banyak muslim yang telah menggunakan aksara Arab selama beberapa dekade ketika itu menjadi buta huruf. Pada abad kedua puluh di Nusantara, seseorang dapat menulis bahasa Melayu dengan dua cara, yaitu alfabet latin atau tulisan Arab. Bahasa Melayu yang ditulis dengan menggunakan aksara Arab disebut Jawi, yakni turunan dari nama yang digunakan dalam bahasa Arab untuk merujuk ke Asia Tenggara. Literasi dengan menggunakan tulisan Jawi umum digunakan di antara para muslim di Selat Malaka pada abad ke-19. Muslim Indonesia sekitar tahun 1920an lebih menyukai aksara Jawi dibandingkan alfabet latin (Fogg, 2015: 90). Pada masa kolonialisme Belanda tulisan Jawi masih memiliki tempat tersendiri. Namun, sejak akhir periode itu, beberapa pemimpin Islam di sejumlah komunitas telah mulai melakukan transisi untuk menggunakan aksara latin. Keadaan ini berdampak pada para pemimpin muslim sehingga membuatnya terbagi menjadi tiga kelompok (Fogg, 2015: 95). Pertama, pemimpin muslim yang berkompeten dalam menggunakan aksara Jawi dan alfabet latin. Golongan ini antara lain ialah Hamka yang fasih menggunakan keduanya pada usia muda, tetapi terus menggunakan aksara Jawi untuk berhubungan dengan teman dekatnya hingga 1970-an. Tokoh lain ialah Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri organisasi Islam di Lombok. Kedua, kelompok muslim yang hanya menggunakan aksara Jawi dan tidak menggunakan alfabet latin. Kasus ini terjadi pada tokoh, seperti Sayyid Idrus al-Jufri pendiri organisasi Islam terbesar di Jambi, Alkhairaat. Ketiga, pemimpin muslim yang terus melanjutkan untuk menggunakan tulisan yang lebih akrab bagi mereka. Mereka terasingkan dari diskusi dan debat arus utama pemerintah, meskipun terus menulis sepanjang hidup mereka. Tokoh muslim yang mengambil pilihan ketiga ini ialah Haji Ahmad Bone yang merupakan pemimpin yang dihormati dalam komunitas Islam di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1954 dia pernah menulis surat bilingual dengan menggunakan bahasa Indonesia (ditulis dalam aksara Jawi) dan Bugis (ditulis dalam lontara) tentang persoalan kebijakan pemerintah di tingkat provinsi. Akibat reformasi yang dilakukan dengan standardisasi bahasa Indonesia, Ahmad Bone di provinsinya
ketika membahas tentang penghapusan prostitusi, diabaikan oleh gubernur karena ketidakmampuannya menyampaikan opininya dengan menggunakan aksara latin. Penghapusan Jawi memang bukan kebijakan pemerintah yang eksplisit, sebagaimana Turki. Penghapusan ini merupakan mandat sebagaimana yang terjadi dalam reformasi di Cina dan Jepang. Berbeda dengan karakter tertentu yang memberikan ruang bagi mereka untuk tetap hidup dalam sistem tulis utama, aksara Jawi tidak mampu mempengaruhi proses standardisasi di Indonesia. Hal ini juga dapat disebabkan mekanisme kelestarian bahasa pertama. Pengajaran bahasa ikut bertanggung jawab dalam penghapusan aksara Jawi. Pada masa kolonialisme Jepang, bahasa Indonesia mulai mendapatkan peran yang lebih menonjol dalam urusan publik. Jepang telah mengamanatkan masyarakat yang telah mendapat pendidikan Belanda untuk menggunakan bahasa Indonesia untuk pertama kali. Mereka pada umumnya menggunakan alfabet latin. Sejak saat itu alfabet latin mulai memperkuat dominasinya. Politik Indonesia di pusat bersatu dalam menggunakan aksara latin standar dalam bahasa. Penghilangan ini terjadi sekitar tahun 1948 hingga 1956. Pemerintah Indonesia yang lebih menyukai aksara latin menjadi jaminan penghapusan aksara Jawi. Selain aturan dan hukum, pendidikan di sekolah negeri secara keseluruhan menggunakan bahasa latin. Sekolah agama akhirnya terpaksa ikut mengajarkan alfabet latin. Pendidikan pada tingkat yang paling tinggi sama pun sekali tidak lagi mengajarkan aksara Jawi. Akhirnya, pengajaran bahasa secara tidak langsung menghilangkan penggunaan aksara Jawi sedikit demi sedikit. Reformasi standardisasi Indonesia bukan merupakan pilihan alami. Standardisasi nasional memerlukan kebijakan bahasa (language policy) yang dieksplisitkan dalam bentuk perencanaan bahasa (language planning) dan diimplikasikan pada pengajaran bahasa. Perencanaan bahasa yang terjadi di Indonesia melalui pendidikan memberikan dampak pada punahnya aksara Jawi yang merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia.
2.2 Pengaruh Sosial Historis dalam Pengajaran Bahasa Faktor sejarah yang panjang dapat juga menjadi masalah dalam perencanaan bahasa dalam pengajaran bahasa. Persoalan ini terjadi di Namibia. Di negara ini kebijakan pendidikan bahasa Inggris tidak diimplementasikan berdasarkan rekomendasi pemerintah. Sistem Apartheid Pendidikan Bantu yang telah dijalankan oleh penjajah mereka selama bertahun-tahun masih melekat dalam kebiasaan masyarakat, terutama guru. Sistem ini menolak komunitas kulit hitam memiliki kesetaraan dalam mendapatkan kesempatan pendidikan dengan merampas dari mata pelajaran utama seperti matematika yang pada akhirnya mambatasi prospek kerja mereka. Sistem ini menghalangi siswa dalam mendapatkan pendidikan yang lebih lanjut. Kemerdekaan Namibia tahun 1990 mencoba menghilangkan ketidaksetaraan ini menunju sistem pendidikan yang disediakan untuk semua orang. Kelemahan sistem pendidikan sebelumnya telah disadari oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Menteri pendidikan Namibia yang mengatakan (dalam Krishnamurthy dan Aston, 2015: 203) “…previous education system did not equip us well for independence. Quite simply, our pool of educated Namibians is too small to staff the jobs our development requires. Consequently, we have had to ask our people to assume responsibilities for which their training and experience are not entirely adequate.” Setelah menjadi negara merdeka, organisasi masyarakat Afrika memilih bahasa Inggris sebagai bahasa resmi sama setara dengan bahasa asli masyarakat pribumi, seperti kelompok Oshiwambo dari 10 bahasa yang ditetapkan sebagai bahasa nasional. Keadaan ini juga berdampak di lingkungan pengajaran bahasa. Dalam sistem pendidikan di Namibia, bahasa Inggris memiliki bagian yang vital dalam kurikulum. Siswa yang ingin lulus kelas 10 harus mendapatkan nilai paling tidak 23 pada enam mata pelajaran, termasuk bahasa Inggris (Krishnamurthy dan Aston, 2015: 195). Sayangnya, Southern and Estern Africa Consortium for Monitoring Educational Quality II melaporkan bahwa nilai reading guru dan siswa pada tingkat enam masih di bawah nilai rata-rata. Selain itu, tahun 2010 pada tingkat 10 terlihat bahwa tidak semua siswa mendapatkan standar yang
diharapkan oleh pemerintah. Dari jumlah 16.33 siswa yang gagal secara nasional, 3.380 nilanya hanya antara 0-13 poin (Krishnamurthy dan Aston, 2015: 196). Bahasa Inggris telah diperkenalkan di sekolah dari kelas empat. Bahasa Inggris yang sebenarnya berstatus sebagai bahasa asing di negara ini diperlakukan sebagai bahasa pertama dengan mewajibkan penggunaan bahasa Inggris dalam mata pelajaran di sekolah Namibia. Padahal, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Namibia sendiri telah menyatakan bahwa bahasa Inggris di Namibia belum menjadi lingua franca. Sebuah lingua franca merupakan bahasa yang membantu dua kelompok budaya yang berbeda (bahasa ibu berbeda dan tidak dipahami oleh kelompok lain) untuk berkomunikasi satu sama lain. Bahasa Inggris seharusnya dilihat sebagai bahasa yang mendampingi masyarakat Namibia dan menjadi bahasa pendamping, daripada mengganti bahasa asli mereka. Pendidikan seharusnya ditujukan mempromosikan bahasa dan identitas budaya pembelajar melalui penggunaan bahasa ibu sebagai media instruksi di sekolah dasar dan mengajarkan bahasa ibu secara khusus melalui pendidikan formal. Hal ini dirancang dengan mengajarkannya sebagi mata pelajaran wajib. 2.3 Kurikulum Sebagai Bagian dari Perencanaan Bahasa Kurikulum memiliki peran yang sangat penting bagi pencapaian sebuah perencaan bahasa suatu negara. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal menjadi barisan pertama dalam pencapaian perencanaan bahasa. Salah satu contoh yang cukup menarik adalah Malaysia. Negara ini membuat aturan radikal dengan mengubah semua sekolah yang ada yang para siswanya berasal dari berbagai kelompok etnis yang berbeda menjadi sekolah nasional
(Hassan, 2005: 6).
Perencanaan yang diambil oleh pemerintah ialah dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar baru diikuti bahasa Inggris. Kebijakan ini cukup berisiko mengingat Malaysia merupakan negara multietnis dan multilingual. Secara umum memang ada tiga etnis utama yang bahasanya cukup luas digunakan, yaitu Melayu, Cina, dan India. Bagaimanapun memang benar orang Melayu menggunakan bahasa Melayu, tetapi bahasa ini sendiri memiliki sejumlah dialek yang berbeda, yaitu Temiar, Jah Hut, Kadazan, Bajau, Penan dan Mah
Meri. Bahasa Cina dan India pun juga demikian. Komunitas Cina memiliki sejumlah dialek yang berbeda, yaitu Hokkien, Kanton, dan Hakka, sedangkan etnis India setidaknya menggunakan delapan bahasa yang berbeda, yaitu Tamil, Telugu, Malayalam, Bengali, Gujerati, Marathi, Oriya, dan Punjabi. Keadaan ini memaksa ahli bahasa mempertimbangkan kembali bahasa yang layak dijadikan bahasa resmi. Lima puluh tahun perencanaan bahasa menurut pendapat Hassan (2005: 10), Malaysia telah memiliki pencapaian yang sukses. Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional telah digunakan dan bertahan dalam dunia pendidikan di sekolah dan administrasi kenegaraan. Keberadaannya merupakan kebutuhan dalam pengintegrasian negara. Perencaan bahasa melalui pendidikan tidak selalu sukses. Perencanaan bahasa dapat juga mengalami kegagalan bila tidak memperhatikan realitas masyarakat sebagaimana yang terjadi di Tanzania.
Bila dilihat dari segi
penuturnya, 90 persen masyarakat Tanzania berbicara dengan menggunakan bahasa Kiswahili dan paling tidak satu bahasa daerahnya, sementara bahasa Inggris hanya digunakan oleh 15 persen saja. Sebenarnya, hanya 10 persen masyarakat yang menggunakan bahasa Kiswahili sebagai bahasa ibu (Ngonyani, 1997: 413). Pendidikan di Tanzania seolah-oleh menutup mata dengan keadaan ini. Permasalahannya terletak pada aturan penggunaan bahasa Kiswahili dan bahasa Inggris. Sejak 1968, bahasa pengantar untuk tingkat SD yang direkomendasikan ialah Kiswahili, dengan bahasa Inggris yang diperkenalkan pada tingkat pertama. Di SMP, keduanya diajarkan sebagai mata pelajaran wajib selama empat tahun. Kebijakan bahasa Tanzania didasarkan pada demografik, sejarah, politik, ekonomi, dan faktor linguistik. Ngonyani (1997: 413) menemukan bahwa antara kebijakan bahasa dan praktik tidak konsisten. Bahasa Inggris yang telah ditetapkan sebagai pengantar efektif dalam pendidikan justru digantikan oleh secara de facto oleh bahasa Kiswahili. Sebagian besar guru SMP mengajarkan mata pelajaran dengan bahasa Kiswahili. Mereka memang menggunakan terminologi dalam bahasa Inggris, tetapi penjelasannya menggunakan bahasa Kiswahili. Persoalan ini muncul akibat siswa tidak bisa mengikuti instruksi guru
dengan menggunakan bahasa Inggris. Situasi ini memperlihatkan tiga poin. Pertama, pemerintah menutup mata dengan realitas sosial bahasa yang digunakan di sekolah. Kedua, kebijakan sepertinya menolak bahwa pengetahuan dapat diperoleh dan ditransmisikan secara efektif dengan bahasa Kiswahili. Ketiga, kebijakan ini terkesan menganggap bahasa Inggris memiliki status superior. Kebijakan bahasa seharusnya mempertimbangkan (1) status dan fungsi bahasa; (2) korpus atau pilihan dialek dan standar tata bahasa; dan (3) pemerolehan bahasa. Pertimbangan ketiga didasarkan pada kenyataan bahwa ternyata faktor sosial memiliki dampak yang besar pada pemerolehan bahasa, meskipun tidak berpengaruh secara langsung. Efeknya dimediasi oleh sejumlah variabel. Satu variabel yang cukup penting ialah sikap pembelajar. Faktor sosial membantu membentuk sikap pembelajar yang akhirnya mempengaruhi hasil pembelajaran (Ellis, 1995: 197). Guru bahasa akan menghadapi tantangan pemikiran tentang bagaimana kebijakan bahasa dibuat, dipertahankan, dan dipaksa, dan bagaimana efek institusi dan program yang di dalamnya mereka bekerja, serta individu yang belajar dan diajarkan. Kebijakan bahasa akan menganjurkan ide baru dan pendekatan baru bagi para ahli untuk berusaha memahami hak bahasa, konfilk bahasa, dan kesempatan pendidikan untuk siswa minoritas (Lynch, 2004: 166). Guru tidak boleh mengabaikan siswa minoritas yang kesulitan menggunakan bahasa utama di sekolah karena ada bukti-bukti penelitian yang menunjukkan bahwa dengan membiarkan anak-anak ini tetap menguasai bahasa ibu, mereka akan dapat memberikan keuntungan dari segi pendidikan, sedangkan menindas bahasa ibu akan menimbulkan penurunan-penurunan kemampuan pada anak. Temuantemuan ini membangkitkan kesadaran tentang apa sebenanya yang dibutuhkan oleh anak-anak dari etnis minoritas ini (Singh, 1999: 160). Perencanaan Bahasa di Indonesia Perencanaan bahasa Indonesia telah berlangsung sejak lama. Pada tahun 1928, beberapa pemuda telah membangun konsensus dasar untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Kenyataannya pilihan itu didasarkan
pada fakor sejarah yang panjang. Chaer (2004: 184) meyakini perencanaan bahasa Indonesia telah dimulai sejak Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa Melayu yang merupakan akar dari bahasa Indonesia tahun 1901, yang disusul dengan berdirinya Commisie voor de Volkslectuur tahun 1908 yang saat ini bernama Balai Pustaka. Indonesia yang memiliki ratusan bahasa dan suku bangsa yang berbedabeda cukup beruntung sebab persoalan bahasa dapat diselesaikan sejak dulu. Pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pada peristiwa sumpah pemuda hingga ditetapkan dalam undang-undang dasar 1945 tidak pernah menimbulkan protes dan reaksi negatif. Keadaan ini tidak terjadi begitu saja. Bahasa Melayu sebagai akar dari bahasa Indonesia memang sejak dulu telah digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) di wilayah kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia disebabkan beberapa faktor (Arifin dan Tasai, 2008: 8). Pertama, Sistem bahasa yang sederhana, mudah dipelajari karena di dalamnya tidak dikenal tingkatan bahasa sebagaimana bahasa Jawa yang sebenarnya memiliki jumlah penutur paling banyak di Indonesia. Kedua, bahasa ini memiliki kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas. Ketiga, suku-suku yang lain dengan sukarela menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Perencanaan bahasa di Indonesia menetapkan secara politis tiga buah bahasa, yaitu bahasa nasional Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa Indonesia ditetapkan sesuai dengan kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa daerah berfungsi sebagai lambang kedaerahan dan alat komunikasi intrasuku, sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai alat komunikasi antarbangsa dan alat penambah ilmu pengetahuan (Chaer dan Agustina, 2004: 178). Ketentuan mengenai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 32 ayat 2, pasal 36, dan pasal 36C. pasal 32 ayat 2 berbunyi “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional,” pasal 36 berbunyi “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia,” dan pasal 36C berbunyi “Ketentuan lebih lanjut tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu
Kebangsaan
diatur
dalam
undang-undang.”
Pasal
36C
telah
mengamanatkan perlunya undang-undang yang mengatur lebih lanjut secara rinci tentang bagaimana bahasa Indonesia diatur dalam berbagai situasi di masyarakat. Kridalaksana (2003: 40) telah menjelaskan bahwa selama bertahun-tahun telah berkembang pemikiran dan pembahasan agar negeri ini mempunyai politik bahasa yang eksplisit sehingga bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing yang lazim di Indonesia dapat dimanfaatkan secara maksimal. Ketentuan yang dibuat diharapkan mampu menegaskan bidang penggunaan bahasa yang harus menggambarkan pengunggulan bahasa nasional. Secara lebih tegas, Hardjasoemantri (2003: 51) mengusulkan adanya sanksi terhadap pelanggaran bahasa. Sanksi yang diusulkan hanya dikhususkan kepada para pejabat. Hardjasoemantri lebih mengkhususkan kepada mereka karena pejabat dinilai sebagai pegangan masyarakat. Pemilihan ini didasarkan pada kenyataan yang terjadi, yakni para pejabat masih melakukan pelanggaran aturan bahasa yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1972 tentang Ejaan yang Disempurnakan. Sanksi yang diusulkan dalam bentuk sanksi administratif dalam bentuk pemberian insentif dan disintentif yang dikaitkan dengan persyaratan kenaikan pangkat bagi pejabat yang bersangkutan. Sayangnya, usulan ini belum terlihat tindak lanjutnya secara nyata. Akibatnya, dalam bidang pendidikan guru dan siswa melihat penggunaan bahasa Indonesia standar bukan menjadi prioritas utama. Akhirnya, masalah dalam bidang pengajaran bahasa belum bisa diselesaikan dengan tuntas. Sayuti (2003: 809-810) merumuskan dua permasalahan dalam pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Pertama, penyampaian materi teoretis terlalu berlebihan. Pengajaran aspek gramatik cenderung diajarkan secara terpisah sehingga kesempatan praktik berbahasa menjadi begitu terbatas. Kedua, pembelajaran apresiasi sastra lebih banyak membahas nama-nama pengarang dan karyanya tanpa mendapat kesempatan untuk mengenal, menikmati, dan menghayati karya sastra. Adapun Suparno (2003: 820) merumuskan tiga persoalan terkait dengan pengajaran bahasa. Pertama, pemakaian bahasa Indonesia oleh tokoh masyarakat dan media massa yang kurang baik. Kedua,
budaya belajar siswa yang hanya ditujukan untuk ujian dan kondisi kelas yang kurang kondusif. Ketiga, kemampuan guru yang masih belum memadai berupa keteladanan yang kurang dan metode pembelajaran yang kurang efektif. Penyelesaian yang bisa dilakukan dalam bidang pengajaran bahasa antara lain dengan merancang kurikulum yang mampu menjawab hal yang esensial dalam permasalahan pendidikan. Kurikulum ini harus dibuat untuk mengatasi kemajuan zaman atau kebutuhan yang mendesak (Sidi, 2003: 822). Kesadaran terhadap keunikan dan kebutuhan pembelajar terhadap bahasa daerah telah tumbuh beberapa waktu terakhir. Perencanaan bahasa perlu dibuat untuk menjaga keberlangsungan bahasa daerah di sebuah negara. Dinamika kebijakan bahasa dan pendidikan bahasa daerah dapat diamati pada beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di beberapa negara. Bale (2010: 60) mengemukakan beberapa poin yang perlu diperhatikan untuk menjaga keberlangsungan bahasa daerah berdasarkan kajiannya pada berbagai penelitian yang berkembang tentang perencanaan bahasa di beberapa negara, yaitu Afrika (Botswana, Kenya, Malawi, Nigeria, Uganda, dan Zimbabwe); Hong Kong, Malaysia dan Singapura; India; Amerika Utara (Kanada dan Amerika Serika); Oseania (Selandia Baru dan Australia); Irlandia dan Inggris. Bale menjelaskan bahwa kesuksesan kebijakan bahasa didukung oleh beberapa faktor. Dalam bidang linguistik hal ini dipengaruhi oleh kompetensi pedagogis guru terhadap program perencanaan bahasa daerah. Materi kurikulum pada sasaran bahasa daerah
harus
memperhatikan
kesesuaiannya
secara
kultural,
persoalan
standardisasi bahasa, perencanaan korpus, pendampingan, dan penemuan cara mengintegrasikan beberapa tempat untuk sistem administratif dan akreditasi. Sekolah formal tidak bisa menjadi satu-satunya tempat untuk revitalisasi atau program pendidikan bahasa daerah (Groff, 2004: 303). Bahasa daerah yang diajarkan di kelas perlu menekankan pada revitalisasi dan penggunaan berbagai sumber untuk pengembangan keterampilan akademik kognitif siswa. Bahasa asing di Indonesia cukup banyak yang diajarkan dalam pendidikan formal khususnya pada tingkat perguruan tinggi. Namun, bahasa asing yang cukup berpengaruh dalam bidang pengajaran bahasa ialah bahasa Inggris. Bahasa
ini telah menjadi bagian dalam kurikulum sejak tingkat sekolah dasar selama bertahun-tahun. Meskipun demikian, kedaan ini mulai diubah sejak pemerintah Indonesia membuat kurikulum baru, yakni kurikulum 2013. Secara bertahap pemerintah akan mulai menghapuskan mata pelajaran bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar. Bale (2010: 60) mengatakan Bahasa Inggris seringkali dianggap sebagai ancaman atau alat untuk memperkuat integrasi kepada globalisasi. Pemikiran ini pun telah berkembang di berbagai belahan dunia. Meskipun demikian, penggunaan bahasa asing tidak perlu dimusuhi. Tidak perlu ada konflik antara bahasa nasional dengan bahasa asing sepanjang penutur mengetahui betul kapan kapan menggunakan bahasa Indonesia dan kapan menggunakan bahasa Inggris sebagaimana yang telah diatur dalam politik bahasa nasional. 3. Kesimpulan Perencanaan bahasa menimbulkan berbagai persoalan ketika dipraktikkan dalam pengajaran bahasa. Pengajaran bahasa harus mempertimbangkan berbagai faktor sosial yang muncul ketika sebuah bahasa diajarkan kepada anak. Dampak yang akan muncul juga harus dapat diperkirakan sebelumnya agar tidak ada pihak yang dirugikan atau kesulitan akibat dari pendidikan yang ditempuh oleh generasi muda. Berbagai kasus yang terjadi di beberapa negara dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi pelaku pendidikan untuk mempertimbangan baik dan buruk suatu pengajaran bahasa dalam pendidikan formal bagi anak. Perencanaan bahasa harus dilihat dalam lingkup yang lebih luas, tidak hanya mempersoalan cara agar seorang siswa mampu berbicara dengan bahasa yang diajarkan. Para pelaku pendidikan tidak bisa menutup mata dengan persoalan ini. Pengajaran bahasa harus disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat demi kepentingan semua pihak di sebuah negara untuk berkomunikasi.
Daftar Pustaka Arifin E. Z. dan Tasai, S. A. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo. Bale, J. 2010. International comparative perspectives on heritage language education policy research. Annual Review of Applied Linguistics, 30, 42-65. (online), (http://dx.doi.org/10.1017/S0267190510000024), diakses 7 Desember 2015. Chaer, A. dan Agustina, L. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. Ellis, Rod. 1995. The Study of Second Language Acquisition. New York: Oxford University Press. Fogg, K. W. 2015. The Standardisation of The Indonesian Language and Its Consequences for Islamic Communities. Journal of Southeast Asian Studies, 46 (1). (online), (http://go.galegroup.com/ps/i.do?id=GALE% 7CA404272260&v=2.1&u=kpt11025&it=r&p=GPS&asid=ed6c24bd93 daddeeb98cb9447d5008e8), diakses 9 Desember 2015. Greene, J. 1974. Psycholinguistics: Chomsky and Psychology. Australia: Penguin Education. Groff, C. 2004. Norbert Francis & Jon Reyhner. Language and Literacy Teaching for Indigenous Education: A bilingual approach. Clevedon, England: Multilingual matters, 2002. Language in Society, 33(2), 301303. (online), (http://search.proquest.com/docview/204592669? accountid=62696), diakses 7 Desember 2015. Hardjasoemantri, K. 2003. Sanksi terhadap Pelanggaran Berbahasa. Makalah disajikan pada Kongres Bahasa Indonesia VIII, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 14-17 Oktober 2003. Hassan, A. 2005. Language Planning in Malaysia: The First Hundred Years. English Today, 21(4), 3-12. (online), (http://search.proquest.com/doc view/205250625?accountid=62696) diakses 9 Desember 2015. Kridalaksana, H. 2003. Undang-Undang Bahasa sebagai Sarana Pemantapan Politik Bahasa Nasional. Makalah disajikan pada Kongres Bahasa Indonesia VIII, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 14-17 Oktober 2003. Krishnamurthy, S., & Aston, N. 2015. 8. Impact of the language policy of Namibia: an investigation of grade ten learners in English as a second language across the Khomas region from 2007 to 2010. Nawa: journal of language and communication, 9 (1), (online), (http://go.galegroup.
com/ps/i.do?id=GALE%7CA435095415&v=2.1&u=kpt11025&it=r&p =GPS&asid=b5277b83572b176a9aee63084d0e39b6) diakses 9 Desember 2015. Lynch, B. 2004. Language policies in education: Critical issues. College Composition and Communication, 56(1), 165-166. (online), (http://search.proquest.com/docview/220692274?accountid=62696), diakses 7 Desember 2015. Ngonyani, D. 1997. The failure of language policy in Tanzanian schools. Social Education, 61 (7), 412-418. (online). (http://search.proquest. com/docview/210630981?accountid=62696), diakses 7 Desember 2015. Paulston, C. B. 2002. Dennis Ager. motivation in language planning and language policy. Language in Society, 31(5), 790-796. (online), (http://search.proquest.com/docview/204585400?accountid=6269), diakses 9 Desember 2015. Rottet, K. J. 2004. Colin H. Williams (ed.). Language Revitalization: Policy and Planning in Wales. cardiff: University of wales press, 2000. 388. Language in Society, 33(1), 133-136. (online) (http://search.proquest. com/docview/204655226?accountid=62696), diakses 9 Desember 2015. Sayuti, S. A. 2003. Menuju Pengajaran Bahasa dan Sastra yang Bermakna. Makalah disajikan pada Kongres Bahasa Indonesia VIII, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 14-17 Oktober 2003. Sidi, I. D. 2003. Penyelesaian Masalah dalam Pembelajaran Bahasa yang Esensial. Makalah disajikan pada Kongres Bahasa Indonesia VIII, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 14-17 Oktober 2003. Singh, I. 1999. Bahasa dan Etnisitas. Dalam Thomas, Linda dan Wareing, Shan (Ed.), Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan (hlm. 136-164) Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suparno. 2003. Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah. Makalah disajikan pada Kongres Bahasa Indonesia VIII, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 14-17 Oktober 2003. Yudhoyono, S. B. 2003. Bahasa Indonesia sebagai Pemerkukuh Persatuan Bangsa dan Kesatuan Negara. Sambutan yang disampaikan pada Kongres Bahasa Indonesia VIII, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 14-17 Oktober 2003.