Penderitaan Ayub dan Kekerasan Massa: Refleksi René Girard dan Hannah Arendt C. Iman Sukmana Abstract. Assuming that violence can be found in many fields in our life, this article proposes
the logic of violence in the story of Job. It shows us how Job suffers in his life. His suffering was absurd in his eyes. He didn’t understand why he should suffer. The problem was not only why he got suffering in his life, but also why his friends and people around him changed their attitudes towards him. Many people thought that Job suffered because of his sin. Their thought was mimetic among them. So, many people had the same perception about Job. There was an unanimity of opinion which judged that Job was a sinner. They asked Job to confesse his sin if he wanted to be saved. The unanimity of their voice became verbal abuse to Job, but people didn’t know that they made Job as a “scapegoat”.
Kata Kunci. Ayub, kekerasan, kambing hitam, mimesis, banal, massa.
1.
Pendahuluan
Kekerasan adalah bagian dari realitas hidup kita. Tampaknya kita tidak dapat terpisah dari kekerasan. Beragam bentuk kekerasan terjadi dan sangat mudah kita menyebutkan contoh-contohnya. Ini membuktikan bahwa kekerasan itu inheren dengan kehidupan. Politik kekuasaan dan kekerasan tampaknya berjalin berkelindan satu sama lain. Dalam kehidupan rumah tangga, kekerasan tampaknya sangat “akrab”, yang disebut dengan kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Kehidupan beragama pun tidak lepas dari kekerasan.1 Ada berbagai bentuk kekerasan yang tergambar di sana. Berbagai ritual korban, atas nama keselamatan manusia, mencerminkan kekerasan juga. Berbagai Kitab Suci dari agama-agama yang ada menggambarkan kekerasan secara vulgar. Kisah-kisah perang suci dapat dibaca dalam Kitab Suci Ibrani RESPONS volume 14 no. 1 (2009): 101 - 123 (c) 2009 PPE - UNIKA ATMA JAYA, Jakarta.
ISSN : 0853-8689
RESPONS-J UL I 2009
(Perjanjian Lama). Mahabharata, yang mengisahkan perang saudara antara Pandawa dan Kurawa, mencerminkan perang dan kekerasan secara telanjang. Mungkin kitab itu dapat disebut sebagai “Kitab Peperangan”. Dalam rangka merefleksikan kekerasan, salah satu kitab yang menarik perhatian adalah Kitab Ayub. Kitab ini termuat dalam Tradisi Kitab Ibrani, atau Alkitab (khususnya dalam Perjanjian Lama). Al Quran pun memuat kisah Ayub itu. Kitab ini memang menarik perhatian dan layak dibicarakan. Bahkan, kitab ini dapat dilihat sebagai “karya sastera paling unggul yang dihasilkan gerakan kebijaksanaan di Israel.”2 Ini adalah satu pujian yang pantas bagi kitab itu. Salah satu alasan kitab ini begitu masyhur adalah karena ia mengisahkan penderitaan yang tidak masuk akal yang dialami oleh tokohnya, Ayub. Bagaimana seorang yang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayb 1:1) dapat mengalami kemalangan dan penderitaan yang luar biasa tanpa sebab yang jelas bagi penderitanya? Penderitaan yang dialami Ayub tampak absurd. Oleh sebab itu, siapa pun yang membacanya dapat digerakkan untuk mencari alasan: mengapa Ayub, yang sedemikian saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan, harus menderita?3 Dari mana asalnya penderitaan? Apakah Allah terlibat dalam penderitaan Ayub? Apakah Allah “dalang” dari peristiwa hidup Ayub? Di manakah Allah ketika dibutuhkan? Apakah artinya Allah Mahabaik, yang tidak akan mengabaikan umat-Nya menderita, sementara “di hadapan”-Nya seorang yang tidak pantas menderita menjeritjerit tak tersentuh? Apakah Allah lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa di hadapan penderitaan model Ayub? Atau, apakah sebenarnya Allah tidak ada, sehingga penderitaan apa pun tanpa sebab dapat saja terjadi dan tidak perlu dirisaukan karena tokh segalanya absurd belaka (bdk. Albert Camus)? Semua pertanyaan ini mudah saja diajukan dalam situasi demikian.4 Ada banyak tulisan yang telah menelisik kitab Ayub. Salah satunya adalah Ayub Korban Masyarakatnya5 yang ditulis oleh René Girard. Menurut Girard yang mengolah kisah Ayub dalam perspektif korban, Ayub adalah korban konspirasi masyarakatnya—yang diwakili oleh ketiga sahabatnya: Elifas orang Téman, Bildad orang Suah, dan Zofar orang Naama. Usaha para sahabat Ayub dalam rangka memahami penderitaan berakibat pada bertambahnya
-102Respons 14 (2009) 01
C. IMAN SUKMANA-PENDERITAAN AYUB DAN KEKERASAN MASSA: REFLEKSI RENÉ GIRARD DAN HANNAH ARENDT
penderitaan bagi Ayub. Demi mempertahankan pandangan ortodoks, Ayub dikorbankan oleh masyarakatnya. Upaya masyarakat, dengan pandangannya tentang penderitaan sebagai akibat dosa, yang berakibat bertambahnya penderitaan bagi Ayub, dalam arti tertentu, dapat dipahami sebagai kekerasan terhadap diri Ayub, yang semakin berkembang dan meluas karena sifat mimetis dari kehidupan bersama dalam masyarakat yang meniru. Apa yang dipikirkan oleh para sahabat merefleksikan pandangan masyarakat di sekeliling Ayub. Dan Ayub berhadapan dengan masyarakatnya dalam situasi yang buruk. Kekerasan yang menimpa Ayub karena pandangan yang berlaku di tengah masyarakatnya, akan dipahami lebih lanjut dalam perspektif Hannah Arendt, dalam ungkapan yang tepat: “the banality of evil”.6 Dalam refleksinya, Arendt memahami kekerasan dan kejahatan sebagai hal yang tampak dangkal atau biasa saja. Sebagai hal yang tampaknya biasa-biasa saja inilah, kekerasan yang menimpa Ayub dapat dilihat lebih lanjut: sungguhkah kekerasan itu biasa-biasa saja dalam kehidupan sehari-hari kita, khususnya dengan kasus hidup Ayub? Untuk membantu memahami usaha di sini, tulisan ini akan disusun sebagai berikut. Setelah mengangkat secara singkat kisah hidup Ayub, tulisan ini akan mencoba memahami bagaimana Ayub menjadi “korban” masyarakatnya, seperti yang diusahakan oleh Girard, yakni sebagai “kambing hitam”. Dari sana, “kekerasan” yang ditimbulkan oleh sikap para sahabat— dengan pandangan masyarakatnya—akan dibandingkan dengan perspektif Arendt, “kekerasan” yang banal terhadap diri Ayub.
2.
Narasi Derita Ayub
Peristiwa yang menimpa Ayub adalah kisah yang mengejutkan. Di awal kisah diceriterakan bahwa Ayub adalah seorang yang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayb 1:1). Kesalehannya bahkan tampak ketika ia membuat korban bakaran bagi kesepuluh anaknya yang telah berpestapora dengan alasan: “Mungkin anak-anakku telah berbuat dosa dan telah
-103Respons 14 (2009) 01
RESPONS-J UL I 2009
mengutuki Allah di dalam hati” (Ayb 1:5). Ayub sangat terkenal di tengah masyarakatnya. Orang ini adalah orang yang terkaya (Ayb 1:3). Kekayaannya berlimpah dengan ribuan ternak dan hamba-hambanya yang turut melayaninya. Ia tampil sebagai seorang yang sungguh mengagumkan. Kekayaan yang berlimpah menunjukkan sisi lain hidup Ayub. Dalam konteks masyarakatnya, situasi Ayub menggambarkan bahwa ia adalah seorang yang sungguh penting dan punya kuasa.7 Namun demikian, kekayaan yang berlimpah itu dalam sekejap mata musnah. Membaca prolog Kitab Ayub, kita terbantu dengan adanya peran Iblis yang menunjukkan kecemburuannya terhadap Ayub, karena Ayub dipuji oleh Allah di hadapan para malaikat-Nya, khususnya di hadapan Iblis.8 Iblis tidak percaya atas pujian TUHAN. Bagaimana mungkin ada manusia sedemikian saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan, sehingga TUHAN sendiri memujinya. Adakah makhluk yang sedemikian “sempurna” sehingga pantas dipuji oleh Penciptanya? Kecemburuan Iblis mendorongnya untuk menguji sungguhkah Ayub demikian atau apakah sikap hidup positif Ayub itu berlatarbelakang mentalitas do ut des, artinya, saya memberi supaya engkau memberi. Artinya, Ayub bersikap saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan itu sungguhsungguh suatu tindakan tanpa pamrih atau tindakan yang mencari pujian dan berkat. Ijin dengan syarat pun Allah berikan kepada Iblis, maka kekayaan dan anak-anak Ayub lenyap dalam sekejap oleh pencobaan (Ayb 1:6-20). Kemalangan yang menimpa Ayub tidak melenyapkan jati dirinya. Ayub tetap setia kepada Allah, bahkan ia tetap memuji-Nya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN pula yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayb 1:21-22). Karena sikap inilah Allah kembali memujinya. Namun Iblis tetap tidak percaya. Maka ia meminta untuk mengujinya kembali secara lebih dahysat. Kali ini diri Ayub sendiri yang mendapat serangan. Ayub dikenai barah dari telapak kaki Iblis, hingga ia menderita sakit yang hebat (Ayb 2:1-8). Dalam penderitaannya demikian, istri Ayub coba membujuknya supaya
-104Respons 14 (2009) 01
C. IMAN SUKMANA-PENDERITAAN AYUB DAN KEKERASAN MASSA: REFLEKSI RENÉ GIRARD DAN HANNAH ARENDT
Ayub mengutuki Allah dan mati saja. Namun Ayub menolaknya (Ayb 2:910). Tetapi sejurus kemudian, ia meratapi hari kelahirannya; bahwa untuk apa dilahirkan bila akhirnya harus menderita seperti itu. Lebih baik mati daripada hidup berlanjut dan menanggung penderitaan. Oleh sebab itu, Ayub mengutuki hari kelahirannya (Ayb 3). Para sahabat yang sudah tujuh hari berada bersama Ayub, dengan maksud menghiburnya dan berdukacita karena situasi Ayub, menemukan titik awal mereka untuk berbicara setelah selama itu mereka diam (Ayb 2:11-13). Mereka mulai menasihati dan mengajar Ayub, yang dikenal bijaksana di tengah masyarakatnya. Namun Ayub menolak nasihat dan ajaran mereka. Sebab, kata Ayub: “Apa yang kamu tahu, aku juga tahu, aku tidak kalah dengan kamu” (Ayb 13:2). Dialog di antara mereka berlangsung dalam tiga putaran, yang makin lama makin berkembang dan bertambah panas. Para sahabat berusaha “membantu” Ayub supaya menerima keadaannya dan mengaku bersalah agar Allah memulihkan situasi dirinya. Namun Ayub menolak mereka; bahkan ia menganggap para sahabat sebagai para penipu, yang bermulut manis demi membenarkan diri mereka sendiri (bdk. Ayb 13:4-6; 16:2-3). Perdebatan antara Ayub dan para sahabatnya yang tidak berhasil memecahkan permasalahan Ayub seakan menambah derita bagi Ayub. Ayub yang telah kehilangan kekayaan dan anak-anaknya, serta kini menderita penyakit kulit yang aneh, semakin bertambah beban ketika para sahabat melihat bahwa Ayub pantas menderita karena ia telah berdosa (mis. Ayb 8; Ayb 11; Ayb 15; Ayb 18; dll.). Anggapan bahwa Ayub berdosa inilah yang menyiksa Ayub. Pandangan para sahabat dapat merupakan refleksi dari pandangan masyarakatnya, bahwa orang menderita tentu disebabkan karena ulahnya sendiri, yakni karena dosa atau kesalahan yang telah ia perbuat. Sebaliknya, orang akan sejahtera bila ia melakukan kebajikan. Orang jahat mungkin saja akan mujur, namun itu hanya sesaat, sebab sesudahnya mereka akan ditimpa kemalangan (bdk. Ayb 15; 18; 20, dll.). Inilah “jalan lama” yang ditempuh oleh orang fasik. Menerima pandangan masyarakat demikian sama saja dengan mengakui
-105Respons 14 (2009) 01
RESPONS-J UL I 2009
bahwa Ayub memang telah berdosa. Menolaknya berarti harus memberikan jawaban mengapa Ayub menderita, sementara alam pikiran masa itu belum memiliki jawaban yang memuaskan. Maka perdebatan tidak pernah selesai, kecuali Ayub sendiri mengakhirinya dengan menerima pandangan tersebut. Namun Ayub menolak dan terus mempertahankan kebenaran dirinya; bahwa dirinya bersih. Usaha gagal para sahabat berakhir dengan kebungkaman mereka karena tidak mampu meyakinkan keberdosaan Ayub di hadapannya. Ayub tampak memenangkan perdebatan di tengah desakan para sahabat, dengan ucapan yang serupa pujian (bdk. Ayb 28). Meskipun asal penderitaan Ayub tidak begitu jelas bagi Ayub dan ketiga sahabatnya akhirnya kitab Ayub mengakhiri penderitaan Ayub dengan memulihkannya kembali di akhir kisah, setelah Allah menampakkan diri— meskipun Dia juga tidak memberikan jawaban mengapa Ayub harus menderita tanpa sebab. Tampaklah bahwa kisah hidup Ayub seperti suatu permainan. Ada “dalang” yang berperan di balik seluruh kehidupan, sementara itu masyarakat memiliki pandangan tertentu yang dapat digunakan untuk “mengadili” realitas—secara subjektif yang karena berkembang secara mimetis di antara mereka maka menjadi suatu realitas itu tersendiri dan objektif.
3.
Ayub Korban Masyarakatnya
Bagi seorang seperti Ayub hanya ada satu kemungkinan, yakni hidup sejahtera. Sehingga kemalangan yang dialami dengan penderitaan yang sedemikian rupa memunculkan soal: adakah alasan yang dapat diterima oleh masyarakat pada waktu itu dengan adanya pandangan hukum pembalasan di bumi?9 Penderitaan yang tidak dapat dipahami itu menarik perhatian para sahabat untuk mempertanyakan hidup Ayub sendiri: sungguhkah Ayub itu seorang yang saleh, yang jujur, yang takut akan Allah dan karenanya menjauhi kejahatan? Atau apakah penampilan Ayub selama ini adalah topeng kemunafikan saja, sehingga penderitaan yang dialaminya dapat dibenarkan dan diterima?
-106Respons 14 (2009) 01
C. IMAN SUKMANA-PENDERITAAN AYUB DAN KEKERASAN MASSA: REFLEKSI RENÉ GIRARD DAN HANNAH ARENDT
Keraguan yang dilayangkan para sahabat Ayub terhadapnya menjadi tekanan tersendiri bagi seorang Ayub. Ia yang menurut kisah adalah seorang yang bersih, karena situasi penderitaan dirinya yang tidak dapat dipahami oleh masyarakatnya, menjadi objek pandangan masyarakatnya itu. Ayub dianggap pantas mendapat kemalangan. Jangan-jangan Ayub memiliki masa lalu yang buruk yang tersembunyi di mata publik, atau barangkali itu adalah dosa yang dibuat anak-anaknya (bdk. dugaan Zofar, dalam Ayb 8:4). Dan kini karma perbuatan itu hadir sebagai bukti kejahatan yang pernah ia lakukan. Maka, para sahabat pun mulai mencerca Ayub dengan kata-kata yang menyakitkannya. Yang tidak dapat diabaikan juga adalah bahwa Ayub tidak pernah mengatakan bahwa ia tidak berdosa; hanya yang menjadi masalahnya adalah mengapa ia harus menderita sedemikian rupa tanpa sebab yang setimpal. Bila membaca prolog, kita seakan-akan mengerti bahwa ada peran Iblis yang menentukan hidup Ayub. Peran Iblis ini terkait erat dengan ijin yang diberikan TUHAN kepadanya, sehingga bila diusut secara sepintas kita dapat mengatakan bahwa Iblis atas ijin TUHAN menjadi sebab kemalangan Ayub. Namun timbul persoalan ketika seluruh dialog antara Ayub dan para sahabatnya tidak satupun dari mereka menyebut Iblis sebagai “bapa” dari kelahiran penderitaan Ayub. Tampaknya tidak ada hubungan antara Iblis yang menganiaya Ayub dengan dialog antara Ayub dan para sahabatnya. Dengan demikian, Penyebab kemalangan Ayub tidaklah berhubungan dengan sesuatu yang ilahi, bukan pula dengan roh jahat atau pun bersifat fisik, melainkan sesuatu yang semata-mata manusiawi.10 Penyebab penderitaan Ayub terkait dengan kehidupan konkretnya bersama masyarakatnya.11 Prolog yang mengisahkan Iblis yang menjadi sebab penderitaan Ayub tidak sebanding dengan dialog antara Ayub dan para sahabatnya yang sama sekali tidak menyebut Iblis.12 Oleh sebab itu, Girard menganjurkan secara hati-hati supaya prolog itu “sebaiknya tidak dianggap serius”.13 Girard merasa heran karena para penafsir cenderung mengabaikan sebab mengapa Ayub menderita, yang tampaknya merupakan perhatian Ayub sendiri. Girard menulis:
-107Respons 14 (2009) 01
RESPONS-J UL I 2009
Ayub dengan jelas mengucapkan penyebab dari penderitaannya – suatu fakta bahwa ia disingkiri dan disiksa oleh orang-orang di sekitarnya. Ia tidak melakukan sesuatu pun yang buruk, namun setiap orang berpaling darinya dan yang ada di hadapannya adalah maut. Ayub menjadi kambing hitam dari komunitasnya 14
Orang yang menderita sekarang adalah orang yang sebelumnya jaya. Orang ini tetap sama kini maupun sebelumnya. Tapi mengapa sikap orangorang berubah terhadapnya setelah kemalangan menimpanya? Bukankah orang tidak perlu berubah sikap terhadap seorang tertentu, hanya karena ia mengalami kemalangan dan nasib sial? Dalam kata-kata Ayub sendiri tampaklah sebab penderitaannya itu: Saudara-saudaraku dijauhkan-Nya dari padaku, dan kenalan-kenalanku tidak lagi mengenal aku. Kaum kerabatku menghindar, dan kawan-kawanku melupakan aku. Anak semang dan budak perempuanku menganggap aku orang yang tidak dikenal, aku dipandang mereka orang asing. Kalau aku memanggil budakku, ia tidak menyahut; aku harus membujuknya dengan kata-kata manis. Nafasku menimbulkan rasa jijik kepada isteriku, dan bauku memualkan saudara-saudara sekandungku Bahkan kanak-kanakpun menghina aku, kalau aku mau berdiri, mereka mengejek aku. Semua teman karibku merasa muak terhadap aku; dan mereka yang kukasihi, berbalik melawan aku. (Ayb 19:13-19) Perubahan sikap orang-orang di sekitar Ayub itulah yang menarik perhatian Girard, yang menurutnya adalah sebab penderitaan bagi Ayub. Memperhatikan hal tersebut, penderitaan Ayub lebih bersifat sosiologis. Ayub yang semula -108Respons 14 (2009) 01
C. IMAN SUKMANA-PENDERITAAN AYUB DAN KEKERASAN MASSA: REFLEKSI RENÉ GIRARD DAN HANNAH ARENDT
berjaya dan dipuja, setelah kemalangan dan kehancurannya, kini dibenci dan dijadikan objek oleh masyarakatnya.15 Girard berpendapat bahwa Ayub tengah menjadi “kambing hitam”. Gagasan tentang “kambing hitam” ini perlu dibedakan dari kambing hitam yang dikisahkan dalam Kitab Imamat, yakni binatang korban. “Kambing hitam” yang dimaksud oleh Girard ini lebih terkait dengan kehidupan seharihari, dengan masalah politik, pekerjaan dan keluarga. “Kambing hitam adalah pihak tak berdosa yang mempertentangkan suatu kebencian universal, yang dengan jelas muncul dalam keluhan Ayub.”16 Ayub memang mengeluhkan keadaan dirinya, seperti penyakit yang dideritanya. Namun tidak hanya itu. Keluhan Ayub dapat dengan mudah dikaitkan dengan penderitaan psikologis yang ia alami. Sebab “Ia adalah korban dari begitu banyak kebrutalan; tekanan psikologis yang ia alami tak tertahankan.”17 Tekanan yang dialami oleh Ayub ternyata berasal dari masyarakatnya, dari “mereka” yang mengklaim dirinya sebagai “sahabat”, yakni sahabat dalam arti “sahabat dari orang terkenal”. Persahabatan semacam ini hanyalah suatu istilah lain saja dari “mereka” yang suka cari muka (bdk. Ayb 29).18 Girard menuliskan bahwa, Ada yang beranggapan bahwa hidup Ayub sebenarnya tidaklah terlalu terancam, dan bahwa tak ada alasan untuk membunuhnya. Ia dilindungi oleh para sahabat di sekelilingnya. Pandangan ini mutlak salah. Ayub beranggapan bahwa orang-orang di sekitarnya benar-benar menginginkan hidupnya. Ia mengharapkan segera mati bukan karena penyakit yang sementara masih didiagnosa oleh para tabib. Ayub pikir ia akan mati karena kekerasan: Ayub membayangkan penumpahan darahnya sendiri.19
Anggapan Girard demikian merupakan tafsirannya atas Ayb 16:18, yang berbunyi: “Hai bumi, janganlah menutupi darahku, dan janganlah kiranya teriakku mendapat tempat perhentian.” Tafsiran ini terinspirasi dari tafsiran dalam “catatan kaki dari The Jerusalem Bible tentang ayat tersebut.20 Peristiwa Ayub tampak menunjukkan peristiwa pertukaran atau silih,
-109Respons 14 (2009) 01
RESPONS-J UL I 2009
yakni kambing hitam merupakan hal yang digunakan untuk mengganti atau sebagai korban pengganti. Bagi Girard, “… pengenyahan secara cerdik dari korban kambing hitam ini adalah kelanjutan dari kekerasan fisik masa purba.”21 Maksudnya, bahwa kekerasan itu sesungguhnya adalah realitas yang bersifat primordial, barangkali sejak manusia ada,22 dan supaya kekerasan ini dapat dibenarkan dan diterima publik, maka perlu dibuat menjadi seakanakan sakral. Kekerasan yang bersifat laten dalam diri setiap individu menjadi aktual dalam korban kambing hitam yang disepakati secara kolektif. Hal ini hanya akan terjadi ketika seluruh warga menerima korban kambing hitam itu secara unanim. Kebulatan suara itu terjadi karena adanya mimesis dari tiap warga seperti ungkapan orang-orang Romawi, Vox populi vox dei.
4. Kekerasan yang Banal Terhadap Diri Ayub Tekanan yang Ayub alami karena tuduhan atau pendapat-pendapat para sahabatnya merupakan kekerasan yang merefleksikan pandangan masyarakatnya. Dengan kata lain, Ayub seorang diri berhadapan dengan massa yang sepakat untuk mempersalahkannya, supaya penderitaan yang dialaminya dapat dimengerti dan diterima. Karenanya menurut para sahabatnya, jalan satu-satunya bagi Ayub adalah ia mesti bertobat. Ayub harus mengakui dirinya berdosa, maka TUHAN akan memulihkan keadaannya (seperti diusulkan oleh Elifas, bdk. Ayb 22). Inilah pandangan umum yang berlaku di tengah kehidupan Ayub. Inilah yang disebut dengan “jalan lama yang dilalui orang fasik”, yakni setelah mereka berjaya, mereka akan mengalami kehancuran.23 Dan antara keduanya: antara kejayaan dan kehancuran, tidak terpisahkan, serta untuk memulihkannya hanya pertobatan yang diterima semua pihak. Bila membaca Kitab Ayub, kita akan melihat bahwa ketiga sahabat itu, secara berkesinambungan dan saling mendukung satu sama lain, memojokkan Ayub; bahkan di kemudian, seorang Elihu, yang mengaku dirinya lebih muda daripada keempat lainnya di muka (Ayb 32), turut serta menekan Ayub, sehingga kini Ayub dihadapi oleh empat orang. Kenyataan ini menunjukkan
-110Respons 14 (2009) 01
C. IMAN SUKMANA-PENDERITAAN AYUB DAN KEKERASAN MASSA: REFLEKSI RENÉ GIRARD DAN HANNAH ARENDT
bahwa tekanan atau kekerasan terhadap Ayub itu tidak otonom. Kekerasan itu diciptakan, entah sadar atau tidak, karena adanya mimesis terhadap kekerasan serupa, dan terakumulasi membentuk kebulatan suara.24 Untuk menyelesaikan masalah Ayub, bagi masyarakatnya, jalan yang dapat ditempuh adalah membuat Ayub mengaku bersalah. Tekanan serupa ini, atau kekerasan terhadap Ayub, dapat dianggap berlaku umum dan menular dari satu orang hingga membentuk kerumunan—bahkan dapat saja berubah menjadi amok massa.25 Dalam situasi seperti inilah terjadi “banality of evil”— ungkapan yang digemakan oleh Hannah Arendt (1906-75), yakni kejahatan yang dangkal, meskipun kejahatan itu tidak dapat dianggap sederhana. Banalitas kejahatan ini lahir dari kedangkalan berpikir yang tidak mampu menilai suatu perkara secara kritis. Bila diingat bahwa para sahabat Ayub adalah para bijaksana dan terpelajar, agaknya sulit kita menerima bahwa “mereka” adalah kalangan yang berpikiran dangkal. “Mereka” pun mempertaruhkan kredibilitasnya di hadapan Ayub (dan tentu saja di hadapan para pembaca Kitab Ayub). Sehingga kegagalan debat mereka dapat meruntuhkan reputasinya. Namun itulah yang terjadi. Kenyataan yang terjadi terhadap diri Ayub membuat para sahabat berbalik memusuhinya. Inilah masalahnya, yakni bukanlah seorang Ayub telah berubah sifat begitu saja, melainkan masyarakat berbalik memusuhinya.26 Pembalikan inilah yang dapat dikategorikan sebagai sikap yang dipengaruhi oleh pandangan tertentu tentang Ayub. Pandangan inilah yang akhirnya mengelabui, atau menutupi mata “para sahabat”, atas kebenaran diri Ayub sendiri. Ayub yang semula menjadi idola, dia yang sungguh dikagumi—yang kekaguman ini pun bersifat mimetis, sehingga seluruh warga menghargainya (bdk. Ayb 29), berubah menjadi Ayub yang dibenci dan dimusuhi—yang mana kebencian ini pun menular dari satu orang ke yang lainnya. Berdasarkan fenomena aksi “para sahabat” itu, tampaklah pada kita bahwa mimesis kekerasan atau kejahatan, sehingga kejahatan itu tampak banal, ternyata berlaku di kalangan yang cerdik pandai; artinya tidak hanya berlaku bagi kalangan tidak terpelajar yang mudah digiring oleh opini publik—entah
-111Respons 14 (2009) 01
RESPONS-J UL I 2009
melalui media massa, entah melalui orasi provokatif. Demi membenarkan pandangan “sendiri”, para sahabat mengorbankan Ayub. Dengan kata lain, seperti dikatakan Girard, Ayub tengah menjalani kambing hitam supaya massa puas. Ritual sakral yang dijalani oleh Ayub, dan juga oleh seluruh masyarakatnya—entah sadar atau tidak—membenarkan pendapat Arendt tentang banalitas kejahatan tadi. Bedanya adalah Arendt memperhatikan sikap pelaku kejahatan sebagai sikap yang tampak wajar atau biasa-biasa saja.27 Hal yang tampak demikian inilah yang memang dimaksudkannya dengan kata “banal”. Karena tindakan “jahat” itu tampak wajar atau biasa-biasa saja, maka pelaku kejahatan tidak merasa bersalah ketika bertindak. Argumentasi tindakannya adalah “ia” atau “mereka” mengikuti perintah atasan atau birokrasi yang mengaturnya. Di sini tidak ada rasa benci terhadap korban yang ditampilkan oleh si eksekutor.28 Bahkan ada kalanya hal tersebut dianggap sebagai suatu yang normal, karena menjadi rutin dan diterima sebagai “the way things are done”.29 Lain dari Arendt, Girard memandang bahwa kekerasan yang menimpa Ayub rupanya dibarengi dengan kecemburuan atau iri hati dari kalangan tertentu atas kesuksesan seseorang sehingga, saat kehancurannya merupakan saat-saat yang dinantikan. Kecemburuan yang terpendam meluap dalam aksi kekerasan ketika yang dicemburui telah kehilangan kuasa dan kejayaannya. Sementara itu, kecemburuan yang berubah jadi aksi konkret itu rupanya dibumbui oleh pemahaman untuk membenarkan tindakannya tadi. Dalam kasus Ayub, pemahaman itu berakar pada pandangan hukum pembalasan di bumi; bahwa orang baik pasti diganjar dan orang jahat pasti dihukum. Bila ada orang yang menderita sengsara, jangan-jangan ia sedang menjalani hukuman; yang artinya ia seorang yang berdosa atau orang jahat. Pandangan ini mendukung aksi kekerasan terhadap si penderita itu. Lain dari itu, aksi massa terhadap korban tadi rupanya dipahami sebagai cerminan hukum ilahi. Sehingga bagi massa yang terlibat, mereka tidak merasa sedang melakukan kekerasan, apalagi kejahatan. Melainkan mereka merasa sedang menjalankan kewajibannya, yakni menjadi wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan. Sedangkan bagi korban, ia merasa menjadi kambing
-112Respons 14 (2009) 01
C. IMAN SUKMANA-PENDERITAAN AYUB DAN KEKERASAN MASSA: REFLEKSI RENÉ GIRARD DAN HANNAH ARENDT
hitam yang tidak mengerti mengapa ia harus menderita sedemikian rupa untuk kesalahan yang tidak ia perbuat.
5. Siapa Bertanggung Jawab? Siapa yang bertanggung jawab atas penderitaan Ayub? Mengikuti analisis Girard, Iblis memang dapat saja dieliminasi dalam diskusi kita, yakni bila disepakati bahwa prolog tidak sebanding dengan dialog, di mana Iblis tak pernah dibicarakan sebagai penyebab penderitaan Ayub oleh para dramawan. Iblis pun tidak pernah disebut-sebut di akhir kisah ketika Allah hadir dalam teofani; sehingga tidak ada alusi terhadapnya sebagai pendakwa Ayub yang gagal. Dikatakan di sana bahwa penderitaan Ayub itu lebih diakibatkan oleh kekerasan yang sifatnya banal dan terkait dengan kemanusiaan sendiri. Penyebabnya lebih bersifat manusiawi. Namun demikian, dalam kasus-kasus tertentu, untuk “membela” Allah sering kali “Iblis” dijadikan tertuduh. Ada keberatan dengan sikap seperti ini. Dapat dikatakan banyak pembelaan untuk ‘membersihkan’ Allah di hadapan keberatan kejahatan lebih merugikan daripada bermanfaat karena memberi kita suatu gambaran tertentu mengenai Allah dan manusia yang penuh dengan distorsi dan melukai kepekaan moral manusia. Sejumlah penafsir beranggapan bahwa prolog ini ditambahkan supaya penderitaan Ayub dapat ditemukan jejak genealogisnya, yakni Iblis atas perijinan dari Allahlah penyebab Ayub menderita. Sebaliknya, ada yang beranggapan bahwa tanpa prolog, kisah Ayub dalam dialog sudah merupakan satu kisah tersendiri yang mandiri. Hal ini terkait dengan pentarikan dan proses pembuatan Kitab Ayub, sehingga ada yang beranggapan bahwa prolog-epilog sudah ada sebelum Kitab Ayub sekarang terbentuk. Prolog-epilog kadang dianggap sebagai ceritera rakyat yang berlaku sebelumnya di sana. Cerita rakyat ini digunakan oleh pengarang lain untuk membentuk konteks bagi refleksinya tentang penderitaan orang benar,30 supaya pergulatan absurd tanpa jelas maknanya menemukan pembenarannya dari konteks yang
-113Respons 14 (2009) 01
RESPONS-J UL I 2009
dihadirkan oleh prolog tersebut. Persoalan ini merupakan perdebatan tersendiri di kalangan ekseget. Hingga kesulitan yang timbul tidak pernah terpecahkan. Dan kemalangan serta penderitaan yang terjadi dalam hidup Ayub memang sungguh sukar untuk dipecahkan. Siapakah dalang seluruh kehidupan ini? Bila Allah adalah “dalang”, paham Allah bagaimana yang melatarbelakangi kehidupan Ayub dan para sahabatnya pada masa itu?31 Girard menuliskan, Allah dari ketiga sahabat Ayub ini hampir tidak tampak bersikap ksatria – Ia tidak pernah berkelahi dengan satria, dan mengadu sebanyak mungkin orang untuk melawan seorang musuh tunggal. Bagi kita, Allah semacam ini bukanlah allah yang sportif, namun jenis reaksi ironis ini agaknya tak mengenai sasaran, bahkan dianggap ketinggalan zaman.”32
Memandang Allah sebagai “yang turut serta” menghadirkan penderitaan bagi Ayub dapat dipahami dalam perspektif bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu. Segala ciptaan berasal dari Sang Causa Prima, sehingga penderitaan sebagai yang ada dalam kehidupan tentu berasal dari satu-satunya sumber segala sesuatu. Pandangan ini dapat dikaitkan atau dibandingkan dengan ucapan-ucapan Ayub, seperti dikatakannya: Bila Ia membongkar, tidak ada yang dapat membangun kembali; Bila Ia menangkap seseorang, tidak ada yang dapat melepaskannya. Bila Ia membendung air, keringlah semuanya; bila Ia melepaskannya mengalir, maka tanah dilandanya. Pada Dialah kuasa dan kemenangan, Dialah yang menguasai baik orang yang tersesat maupun orang yang menyesatkan. (Ayb 12:14-16, dst.) Ayub percaya bahwa Allah dapat melakukan segala sesuatu, seturut kehendakNya, tentu saja Ia pun dapat berbuat apa saja terhadap ciptaannya. Tentang dirinya yang malang, Ayub berkata:
-114Respons 14 (2009) 01
C. IMAN SUKMANA-PENDERITAAN AYUB DAN KEKERASAN MASSA: REFLEKSI RENÉ GIRARD DAN HANNAH ARENDT
Tetapi sekarang, Ia telah membuat aku lelah dan mencerai-beraikan segenap rumah tanggaku, sudah menangkap aku; inilah yang menjadi saksi; kekurusanku telah bangkit menuduh aku. Murka-Nya menerkam dan memusuhi aku, Ia menggertakkan giginya terhadap aku; lawanku memandang aku dengan mata yang berapi-api. Mereka mengangakan mulutnya melawan aku, menampar pipiku dengan cercaan, dan bersama-sama mengerumuni aku. Allah menyerahkan aku kepada orang lalim, Dan menjatuhkan aku ke dalam tangan orang fasik. (Ayb 16:7-11, dst.) Mengikuti teorinya dalam buku Violence and the Sacred (1977), Girard menuliskan: “Dalam dialog di Kitab Ayub, hukuman tanpa proses pengadilan atas diri Ayub dan semua ‘orang jahat’ identik dengan campur tangan dari pembalasan dendam ilahi.”33 Ritual kambing hitam yang dijalani oleh Ayub adalah kenyataan yang tidak begitu saja disadari oleh para pelaku penganiaya. Girard menulis lebih lanjut: “Semakin mereka ambil bagian dalam kekerasan terhadap orang yang sial ini semakin mereka terbawa jauh oleh ungkapan emosi barbar mereka sendiri dan mereka semakin tak memahami apa yang mereka lakukan.”34 Ketika kerumunan massa itu menyerang Ayub, hal ini memberi hasutan atas semua tuduhan namun, dalam kasus Ayub, mereka tidak turun tangan, mereka tidak menikam Ayub—seperti dalam kasus-kasus lain yang mudah ditemukan; para sahabat itu segera dilupakan. Hal ini disebabkan karena Ayub memperjuangkan ketidakberdosaannya hingga akhir. Bila “para sahabatnya” berhasil membuat Ayub terdiam, keyakinan para penganiaya atas kesalahan korban akan menjadi kesepakatan bulat. Bila Ayub tidak memberikan perlawanan terhadap tuduhan para sahabatnya, dan ia keukeuh mempertahankan bahwa dirinya tidak pantas
-115Respons 14 (2009) 01
RESPONS-J UL I 2009
mendapat penderitaan sedemikian rupa, sehingga ia ngotot supaya Allah, yang ia takuti, dapat hadir dan menjadi hakim atas hidupnya, maka kita hanya akan memiliki satu perspektif, yaitu perspektif sahabat Ayub. Bila pembaca hanya memiliki satu perspektif saja, maka dapat diduga pembaca pun akan tergiring oleh opini yang dikembangkan oleh “mereka”. Hal ini sangat mungkin terjadi ketika argumentasi mereka sungguh kuat dan berdasarkan pada paham atau pandangan yang umum di tengah masyarakatnya. Bila hal ini terjadi, maka kita hanya akan memiliki satu mitos. Girard merumuskan mitos sebagai “suatu keyakinan yang mutlak pada kuasa penuh dari kejahatan sang korban yang membebaskan para penganiaya dari saling menuduh dan oleh karena itu identik dengan keyakinan mutlak pada kuasa penuh dari kebaikan.”35 Mitos ini, yang bersifat menular, adalah anggapan para sahabat terhadap diri Ayub. Mereka menuduh Ayub bersalah, maka pantas mendapat hukuman. “Tuduhan-tuduhan [mereka] akan menjadi sesuatu yang amat berdaya karena akan dimunculkan hingga ke status kebenaran.”36
6. Kesimpulan Kekerasan yang tampak dalam kisah Ayub, yang terungkap dalam dialog di antara Ayub dan ketiga sahabatnya, dapat memberikan gambaran bagi kita bahwa di sana ada korban yang tengah digiring oleh massa. Apakah massa sungguh mengetahui bahwa aksinya adalah upaya mengkambinghitamkan seorang idola? Menurut Girard, karena keterlibatan seluruh massa dalam rangka menggiring Ayub, ternyata hal ini menutup mata mereka bahwa Ayub tengah menjadi kambing hitam. Para sahabat Ayub “tidak mengetahui apa yang mereka buat”. Girard menuliskan: Karena mereka terlibat dalam menghukum mati tanpa proses pemeriksaan pengadilan, para sahabat Ayub tidak memahami bahwa Ayub sedang memainkan peran sebagai kambing hitam. Di sinilah paradoks kekerasan yang bisa menurun disingkapkan dalam suatu cara
-116Respons 14 (2009) 01
C. IMAN SUKMANA-PENDERITAAN AYUB DAN KEKERASAN MASSA: REFLEKSI RENÉ GIRARD DAN HANNAH ARENDT
yang spektakuler. Mereka yang menciptakan sesuatu yang sakral dengan kekerasan mereka justru tidak dapat melihat kebenarannya.37
Para sahabat Ayub tidak melihat Ayub sebagai kambing hitam, karena “Seperti semua orang lain yang menciptakan kambing-kambing hitam, para sahabat Ayub ini menganggap korban mereka sebagai orang yang bersalah. Oleh karena itu … tidak ada kambing hitam.”38 Dengan demikian banalitas kejahatan itu terlihat jelas di sini. Para pelaku tidak merasa bersalah atas kekerasan atau kejahatan yang “mereka” perbuat. Para pelaku tidak merasa bersalah, meskipun mereka telah bertindak sedemikian rupa, karena, seperti dalam kasus Eichmann, Arendt menuliskan, “The deeds were monstrous, but the doer … was quite ordinary, common place, and neither demonic nor monstrous.”39 Girard menuliskan: Pernyataan mengenai kambing hitam adalah sesuatu yang tidak nyata baik bagi keturunan Ayub maupun bagi para sahabatnya. Namun demikian, kita sedang sungguh-sungguh mencoba memperhatikan apa yang dikatakan Ayub; kita prihatin kepadanya sebab ia tidak dipahami orang. Tetapi kita pun amat takut meletakkan semua ketidakberuntungan manusia pada tanggung jawab Allah, terutama bila kita tidak percaya kepadaNya, yang hasil akhirnya toh sama. Kita hanya sedikit lebih munafik ketimbang para sahabat Ayub. Bagi semua orang yang sudah selalu mendengarkan Ayub namun belum juga memahami dia, maka kata-kata Ayub hanyalah angin lalu belaka yang akan menguap di udara. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa kita tidak berani menyatakan ketidakacuhan kita, sebagaimana yang dilakukan para sahabatnya: “Berapa lamakah lagi engkau akan berbicara begitu, dan perkataan mulutmu seperti angin yang menderu?” (Ayb 8:2).40
Umumnya, seorang kambing hitam mestilah berakhir tragis. Namun Ayub sebaliknya. Maka, ia adalah seorang kambing hitam yang gagal.41 Ia menyimpang dari apa yang hendak dibungkuskan kisah mitologi terhadapnya dengan cara mempertahankan sudut pandangnya sendiri di hadapan unanimitas suara massa yang mengelilinginya. “Dengan tetap meyakini kebenaran seperti
-117Respons 14 (2009) 01
RESPONS-J UL I 2009
yang dinyatakan oleh sang korban”, kata Girard, “Ayub menjadi seorang pahlawan pengetahuan”.42 Para sahabat sendiri, yang dalam diskusi di sini dipandang sebagai pelaku kekerasan terhadap Ayub dan bertindak atas nama “kebenaran”, menemukan diri mereka salah – justru oleh Dia yang mereka “bela”. Di akhir kisah yang happy ending, Allah berkata kepada Elifas, sahabat Ayub yang paling tua: “Murka-Ku menyala terhadap engkau dan terhadap kedua sahabatmu, karena kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub” (Ayb 42:7b). Akhirnya, Allah memulihkan kembali keadaan Ayub dua kali lipat dari semula, setelah Ayub mendoakan para sahabatnya. Semua orang akhirnya kembali kepada Ayub—yang semula mereka meninggalkannya—untuk bersama-sama bergembira hingga akhir hayatnya (Ayb 42:10-17). Dengan pulihnya Ayub, maka keadilan Allah dinyatakan. Hukum pembalasan di bumi pun ditegakkan kembali, sesuatu yang khas dari seluruh tradisi Kitab Kebijaksanaan Ibrani pada masa itu, meskipun Kitab Ayub tampaknya hendak menunjukkan keberatannya atas hukum tersebut.
Catatan Akhir 1 Kekerasan yang dikaitkan dengan agama seringkali membuat agama dipandang secara sinis. Paskalis Edwin Nyoman, SVD., seorang imam Katolik, merasa kagum terhadap Dr. Killebrew, seorang perempuan Yahudi, ketika ia belajar di Yerusalem. Paskalis kagum terhadap perempuan itu karena ia mampu terbuka dan akrab dengan para imam Katolik yang belajar di sana. Lantas Paskalis bertanya tentang agama yang dianutnya, pertanyaan ini didorong oleh kekaguman tadi. Tetapi Killebrew menjawab dengan sinis bahwa ia tidak mau memeluk satu agama pun, karena agama itu pemecah belah umat manusia dan sumber tindak kekerasan. (Paskalis Edwin Nyoman, SVD., Lic.SS., “Agama dan Kekerasan”, dalam Dr. Armada Riyanto, CM. [ed.], Agama-Kekerasan, Membangun Eksklusivisme, (Malang: Dioma bekerja sama dengan STFT Widya Sasana, 2000), hal. 35. 2 “Kitab Ayub: Pengantar”, dalam Kitab Suci (Alkitab Katolik Deuterokanonika, dengan pengantar dan catatan lengkap, 1999/2000), hal. 851-852. 3 Perjuangan Ayub, dari yang sabar menjadi yang memberontak, seringkali menjadi model bagi kita. Di sanalah tampak perjuangan Ayub dalam memahami penderitaannya (Jesse Nash, O.S.B., “Images of Job”, dalam Review for Religious, 1983, vol 42, hal. 28-33.) 4 Louis Leahy menulis sejumlah ungkapan terkait argumentasi logis atas keberatan akan
-118Respons 14 (2009) 01
C. IMAN SUKMANA-PENDERITAAN AYUB DAN KEKERASAN MASSA: REFLEKSI RENÉ GIRARD DAN HANNAH ARENDT
eksistensi Allah ketika dikaitkan dengan kejahatan. Seperti tulisan Dokter Morgentaler, yang berkata, “Jelas bagi saya bahwa jikalau Allah itu ada dan Dia benar-benar Mahakuasa dan Mahabaik, Dia tidak akan pernah membiarkan datangnya kejahatan bertubi-tubi …” Juga tulisan Gabriel Marcel yang mengatakan, “Meskipun para teolog dan para filsuf sudah sejak permulaan mengajukan semua argumentasi mereka, dalam adanya kejahatan dan penderitaan orang-orang yang tidak berdosalah terdapat dasar permanen ateisme.” A. Vergotte menyatakan, “Menurut penyelidikan kami, adanya kejahatan dan penderitaan merupakan sebab utama keragu-raguan iman dan pemberontakan melawan Allah”. (Kutipan-kutipan ini dapat dilihat dalam Louis Leahy, “Kata Pengantar” buku Robini M., Johanes & H. J. Suhendra, Penderitaan dan Problem Ketuhanan: Suatu Telaah Filosofis Kitab Ayub (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 5. 5 René Girard, Ayub Korban Masyarakatnya (Penerj. Daniel K. Listijabudi), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003). 6 “The banality of evil” adalah sebuah frase yang diciptakan oleh Hannah Arendt dan dimasukkan dalam judul bukunya, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963). Frase ini menggambarkan suatu tesis bahwa kejahatan-kejahatan besar dalam sejarah, secara khusus Holocaust, tidaklah dilakukan oleh orang-orang fanatik atau orang-orang anti kehidupan sosial (sosiopaths) tetapi terlebih oleh orang-orang biasa yang menerima premis pernyataan mereka dan karenanya terlibat dalam pandangan tersebut yang memandang tindakan-tindakan mereka itu netral. Buku tersebut merupakan reportase Arendt tentang pengadilan Otto Adolf Eichmann di Yerusalem. Misi Arendt ini merupakan upaya reportasenya untuk The New Yorker’s, ketika itu direkturnya adalah William Shamn. 7 Dalam tulisannya, Guinan berpendapat bahwa jaman hidup Ayub adalah jaman dengan budaya kesukuan. Ayub sendiri adalah seorang kepala suku yang berhasil, yang memperhatikan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya, yang tampak dari kekayaan yang berlimpah. Ciri masyarakat budaya kesukuan adalah adanya budaya lisan. Komunikasi macam ini tampak dalam dialog antara Ayub dengan para sahabatnya. Di sana hal-hal penting terungkap dalam kata-kata; “hal yang penting bukan hanya bahwa sesuatu dikatakan, melainkan juga bagaimana hal itu dikatakan.” (Michael D. Guinan, OFM., “Ayub”, dalam Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hh. 404). 8 Kiranya dapat membantu kita di sini adalah bahwa “Iblis” ini bukanlah nama diri, seperti yang umum dikenal dalam teologi Kristen, yang menunjuk pada “sosok” tertentu. Iblis di sini kiranya dapat dilukiskan sebagai suatu jabatan atau tugas: “lawan”. Iblis ini semacam agen rahasia Allah yang harus mengawasi segala hal di dunia (Guinan, 2002:406). Iblis dikisahkan dalam Kitab Ayub sebagai pihak yang berkeliling dan menjelajahi dunia (bdk. Ayb 1:7b; 2:2b) 9 Tentang hukum pembalasan ini dapat dibaca dalam “Ekskursus Pembalasan di Bumi” (Wim van der Weiden, MSF., Seni Hidup (Yogyakarta: Kanisius 2008), hal. 204-213. 10 Girard, Ayub Korban Masyarakatnya, op.cit., hal. 3. 11 Sindhunata, Kambing Hitam, Teori Rene Girard (Jakarta : Gramedia, 2006), hal. 227. 12 Ada penafsir lain yang beranggapan bahwa barangkali Iblis diselipkan dalam prolog, karena dalam epilog sendiri tidak terdapat alusi terhadap kegagalan Iblis dalam menguji Ayub (Weiden, 2008:108). 13 Girard, Ayub Korban Masyarakatnya, op.cit., hal. 4. Berbeda dengan Girard yang memandang dialog yang puitis tampaknya lebih memberikan nuansa, daripada prolog (dan juga epilog), sejumlah penafsir lain memandang bahwa prolog ini tetap memiliki arti penting, bahkan termasuk integral dari Kitab Ayub sendiri, misalnya Atkinson, yang menulis: “Beberapa penafsir menganggap ps 3 sebagai permulaan peristiwa Ayub dan ps 1-2 sebagai tambahan di kemudian hari.” Atkinson menambahkan:
-119Respons 14 (2009) 01
RESPONS-J UL I 2009
“Nanti akan kelihatan bahwa ps 1-2 adalah mutlak bagian dari peristiwa itu. Dalam ps 1-2 latar belakang peristiwa Ayub dituturkan untuk mempersiapkan pembacanya bagi tema-tema yang menyusul pada bagian-bagian berikutnya” (David Atkinson, Ayub [Gwyneth Jones, Penerj.], Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2002, hal. 15). Ekseget lain berpandangan bahwa prolog dan epilog malah sudah ada lebih dahulu daripada dialog yang puitis dalam Kitab Ayub (lih. Weiden, 2008:106-107; lih. Lawrence E. Boadt, CSP, “Pengantar Sastra Kebijaksanaan”, dalam Terjemahan Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 393; atau berdasar teori Duhm bahwa prosa itu termasuk dalam buku popular yang mengandung cerita tentang Ayub [lih. E.S.P. Heavenor, “Ayub”, dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini 2: Ayub-Maleakhi, {W.B. Hutabarat, Penerj.}. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,1999, hal. 57], sebagai framework yang sudah ada sebelum Ayb disusun [lih. Clarence H. Benson, LITT. D. “Ketulusan Hati Orang yang Ditebus: Ayub”, dalam Pengantar Perjanjian Lama: Puisi dan Nubuat.Malang: Penerbit Gandum Mas, 1980, hh. 6-7]). Artinya prolog-epilog menjadi bingkai dari Kitab Ayub supaya dialog dapat ditempatkan, hal ini dapat juga dihubungkan dengan anggapan bahwa penyusun Kitab Ayub adalah seorang pelajar yang tengah membuat kritik atas pandangan umum yang berlaku, seperti simplifikasi persoalan pederitaan sebagai disebabkan oleh si penderita. 14 Girard, Ayub Korban Masyarakatnya, op.cit., hal. 4-5. 15 Ibid., hal 17-22 Girard menulis: “Ia adalah seorang pemimpin besar yang pada mulanya dihormati orang-orang dan sekarang tiba-tiba dihina mereka” (2003:12). Peristiwa peralihan dari kejayaan menuju kehancuran adalah suatu cara pandang yang disebut “jalan lama yang dilalui orang-orang jahat” (bdk. Ayb 22:15-20). Nasib Ayub, seperti pujaan pada umumnya, ditentukan oleh orang banyak yang semula memujanya namun berubah menjadi penghancur atau penganiaya. Dan, yang mengejutkan adalah bahwa ada anggapan penghukuman massa terhadap tokoh pujaan itu rupanya tidak “diarahkan untuk melawan yang ‘berkuasa’ dan ‘para tiran’.” “Kekerasan ini selalu dianggap sebagai suatu tindakan pembalasan dendam ilahi, sebagai suatu intervensi yang menghukum dari yang ilahi” (2003:20-21). Sebab sang idola telah dianggap bersalah, sehingga massa merasa dirinya sebagai wakil Tuhan untuk menghukumnya. Kekerasan ini “mereka” benarkan atas nama Tuhan. 16 Ibid, hal. 5. 17 Ibid., hal. 7. 18 Ibid., hal. 62. 19 Ibid. 20 Tafsiran dari The Jerusalem Bible yang dikutip oleh Girard berbunyi: “Bila darah tidak ditutupi oleh bumi, maka darah itu berteriak-teriak ke langit minta pembalasan […] Ayub, yang terluka dan sekarat berharap dapat meninggalkan suatu pemulihan nama baik; di atas bumi, darahnya, dengan Allah, seruan doanya …” (lih. ibid, h. 8). Model ungkapan “darah yang berteriak-teriak meminta pembalasan” mengingatkan kita pada kisah Kain dan Habil. Ketika Habil telah dibunuh oleh Kain, dituliskan di sana: “Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah” (Kej 4:10). 21 Ibid, hal. 10. 22 Kitab Suci mengangkat kisah Kain dan Habil (Kej 4) sebagai permulaan kehadiran kekerasan antar manusia. Bila kekerasan sudah ada sejak awal manusia, maka bila kekerasan masih berlangsung memang dapat dianggap wajar bila kekerasan itu bersifat menular. 23 Girard, Ayub Korban Masyarakatnya, op.cit., 17-22. 24 Girard memperhatikan faktor mimesis dari kekerasan yang terjadi di tengah massa ini sebagai satu dimensi yang esensial dari tesisnya tentang kambing hitam , hal. 61.
-120Respons 14 (2009) 01
C. IMAN SUKMANA-PENDERITAAN AYUB DAN KEKERASAN MASSA: REFLEKSI RENÉ GIRARD DAN HANNAH ARENDT
25 Girard menuliskan, “Hampir sulit dibayangkan bahwa kata-kata para sahabat Ayub mendorong munculnya kekerasan masyarakat. … Oleh karena itu, pasti ada suatu jeda waktu yang jelas antara reaksi dari para elite dengan reaksi massa” , hal. 62. Maka dapat dipikirkan bahwa Ayub tidak berakhir dengan pembantaian, karena adanya jeda itu. Jeda antara kata-kata para sahabat dengan kekerasan fisik oleh massa. 26 Sindhunata, Kambing Hitam, Teori Rene Girard (Jakarta : Gramedia, 2006), hal. 230. 27 Bethania Assy menuliskan reaksi pertama Arendt terhadap Eichmann, “the man in the glass booth,” adalah – nicht einmal unheimlich – tidak menakutkan atau menyeramkan (sinister). (lih. Bethania Assy, “Eichmann, the Banality of Evil, and Thinking in Arendt’s Thought”, ΠΑΙΔΕΙΑ Contemporary Philosophy, http://www.bu.edu/wep/Papers/Cont/ContAssy.htm, p.1. dicetak tanggal 22 Juli 2009. (Assy mengutip dari catatan korespondensi antara Arendt dan Heinrich Blücher, 15 April 1961, [Hannah Arendt’s Papers, Manuscript Division, Library of Congress, unpublished], dikutip dari Elizabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt – For Love of the World [New Haven and London: Yale University Press, 1982], hal. 329.) 28 Otto Adolf Eichmann, dalam tulisan Arendt, adalah seorang Letkol dalam pasukan elit Nazi, SS (Schutzstaffel), di bawah perintah Himmler. Ia bertugas memfasilitasi dan mengatur logistik terhadap deportasi besar-besaran orang Yahudi menuju kamp konsentrasi dan kamp pembantaian di Eropa Timur, yang diduduki Nazi. Sebagai pelaksana, Eichmann adalah seorang yang terdidik, intelektual dan tidak punya kebencian terhadap orang Yahudi yang menjadi korban. Yang mengherankan adalah ia dapat melakukan tindakannya secara sistematis dan terorganisasi, tanpa merasa bersalah atau melanggar norma. Setelah perang usai, ia pindah ke Argentina, dengan menggunakan dokumen laissezpasser (dokumen perjalanan, semacam pasport darurat yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah atau organisasi yang bergabung dalam perjanjian internasional). Di sana, ia bekerja dengan identitas palsu, hingga 1960. Kemudian ia ditangkap oleh agen Mossad Israel, dan diperiksa dengan lima belas tuduhan, termasuk kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang. Ia dinyatakan bersalah dan digantung. 29 Edward S. Herman, “The Banality of Evil”, dalam Information Clearing House, http://www. informationclearinghouse.info/article7278.htm, diakses tgl 22 Juli 2009, hal. 1. 30 Konteks Kitab Ayub sendiri seringkali dikaitkan dengan situasi politis dan religius masyarakatnya, misalnya masa pembuangan ke Babilonia, dll. Konteks sosial tersebut dapat turut membentuk konteks penulisan Kitab Ayub sendiri (tentang konteks ini dapat dibaca dalam Roderick Mackenzie, “The Cultural and Religious Background of the Book of Job”, Concillium, 1983 (019-169), hal. 3-7. 31 Tentang “paham Allah” dapat dibaca lebih lanjut dalam Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2001). 32 Girard, Ayub Korban Masyarakatny, op.cit., hal. 32. 33 Ibid., hal. 35. 34 Ibid., hal. 34. 35 Ibid., hal. 42. 36 Loc. cit. 37 Ibid., hal. 34. 38 Ibid., hal. 38. 39 Hannah Arendt, The Life of Mind – Thinking – Willing (New York-London: Ed. Harvest/ HJB Book, 1978), hal. 4.
-121Respons 14 (2009) 01
RESPONS-J UL I 2009
40 Ibid., hal. 8-9. 41 Contoh kambing hitam yang berhasil, yang dianalisis Girard, adalah Oedipus. Ia, seorang idola, namun ketika tiba kehancurannya, ia mengakui kesalahannya: membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Pengakuannya membuat penghakiman massa dibenarkan. Ayub gagal menjadi kambing hitam, karena pembelaannya yang gigih akan ketidakadilan dirinya untuk layak menderita sedemikian rupa. 42 Girard, Ayub Korban Masyarakatnya, op.cit., hal. 43-44.
Daftar Pustaka Alkitab (TBI - 2007). Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. Arendt, Hannah. (1978). The Life of Mind – Thinking – Willing. New York-London: Ed. Harvest/HJB Book. Atkinson, David. (2002). Ayub (Gwyneth Jones, Penerj.). Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Benson, Clarence H., LITT. D. (1980). “Ketulusan Hati Orang yang Ditebus: Ayub”, dalam Pengantar Perjanjian Lama: Puisi dan Nubuat.Malang: Penerbit Gandum Mas. Boadt, Lawrence E., CSP. (2002). “Pengantar Sastra Kebijaksanaan”, dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius. Girard, Rene. (2003). Ayub Korban Masyarakatnya (Penerj. Daniel K. Listijabudi). Jakarta: BPK Gunung Mulia. Guinan, Michael D., OFM. (2002). “Ayub”, dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius. Jacobs, Tom. (2001). Paham Allah. Yogyakarta: Kanisius. Heavenor, E.S.P. (1999). “Ayub”, dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini 2: Ayub-Maleakhi, (W.B. Hutabarat, Penerj.). Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Kitab Ayub. (1999/2000). “Pengantar”, dalam Kitab Suci (Alkitab Katolik Deuterokanonika, dengan pengantar dan catatan lengkap). MacKenzie, Roderick. (1983). “The Cultural and Religious Background of the Book of Job”, dalam Concillium. Nash, Jesse, O.S.B. (1983). “Images of Job”, dalam Review for Religious. Nyoman, Paskalis Edwin, SVD., Lic.SS. (2000) “Agama dan Kekerasan”, dalam Dr. Armada Riyanto, CM. (Ed.), Agama-Kekerasan, Membongkar Eksklusivisme. Malang: Dioma bekerjasama dengan STFT Widya Sasana. -122Respons 14 (2009) 01
C. IMAN SUKMANA-PENDERITAAN AYUB DAN KEKERASAN MASSA: REFLEKSI RENÉ GIRARD DAN HANNAH ARENDT
Robini M., Johanes & H. J. Suhendra. (1998). Penderitaan dalam Problem Ketuhanan, Suatu Telaah Filosofis Kitab Ayub. Yogyakarta: Kanisius. Sindhunata. (2006). Kambing Hitam, Teori René Girard. Jakarta Gramedia. Weiden, Wim van der. Dr., MSF. (2008). Seni Hidup, Yogyakarta: Kanisius, (cet. ke-2). www.bu.edu/wcp/Papers/Cont/ContAssy.htm www. informationclearinghouse.info/article7278.htm
-123Respons 14 (2009) 01