BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1
Gambaran Umum Objek Penelitian Pada Bab IV, peneliti akan membahas secara mendalam mengenai pola asuh
Mrs.X dengan metode dramaturgi dan memaparkan hasil penelitian. Hasil penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil observasi peneliti dan didukung dengan wawancara yang mendalam. Di dalam penelitian ini, peneliti tidak dapat menyebutkan nama asli dari Objek Penelitian. Oleh karena itu, peneliti akan menggunakan “Mrs.X” sebagai nama samaran untuk objek penelitian. Latar Belakang Mrs.X dimulai dari pekerjaan Mrs.X saat ini adalah seorang Notaris. Sekarang beliau berusia 48 tahun. Ibu dari dua anak laki-laki yang berusia 15 dan 17 tahun ini dibesarkan oleh wanita single parent yang berdagang toko kelontong. Sedari kecil beliau dididik keras oleh mama beliau agar ketika menginginkan apapun harus berjuang meraihnya. Darah Sumatra tepatnya Aceh ini merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Bekerja keras sambil kuliah malam S1 jurusan hukum hingga akhirnya dapat menyelesaikan S2 sebagai Notaris sembari magang di firma terkenal di Jakarta. Beliau bercerita pada peneliti bahwa beliau dendam dengan kemiskinan dan hidup susah. Sehingga dengan beratnya perjuangan hidup beliau meraih sukses, beliau tidak mau anak-anaknya mengalami hidup sesusah beliau. Pada penelitian ini, peneliti terlibat sepenuhnya dalam kegiatan informan kunci yang menjadi subjek penelitian dan sumber informasi penelitian. Peneliti 64
http://digilib.mercubuana.ac.id/
65
terjun langsung dalam kehidupan objek penelitian. Yang menjadi instrument utama atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Dalam Sugiyono51 menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Dalam keadaan yang tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya. Peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai partisipan penuh artinya peneliti terlibat penuh secara langsung dilapangan dan kehadiran peneliti tidak diketahui statusnya sebagai peneliti oleh informan demi kualitas data yang diperoleh. Dan dalam hal ini bertepatan dengan kepergian orangtua peneliti ke tanah suci, Mrs. X telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk dapat tinggal di rumah Mrs. X selama 40 hari. Pada pra penelitian Mrs.X menunjukan bahwa komunikasi interpersonal yang terjadi antara Mrs.X sebagai Orang Tua dari kedua anaknya terdapat komunikasi interpersonal secara verbal dan non verbal, baik terang-terangan maupun yang secara halus tersirat dan terlihat tidak langsung (indirect approach). Pola asuh yang diterapkan adalah pola asuh otoriter, dimana pola yang satu arah ini cenderung bersifat keras, mengontrol, menuntut dan satu arah. Walaupun Mrs.X mengatakan bahwa dirinya sangat demokratis dan membebaskan anaknya
51
Sugiyono,. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung. 2008 hal 306
http://digilib.mercubuana.ac.id/
66
melakukan apapun tetapi tetap ada banyak syarat dan reward punishment nya. Selama observasi, peneliti banyak melihat apa yang dikatakan Mrs.X tidak sesuai dengan yang terlihat dan terasa saat di lapangan ketika peneliti berinteraksi dengan Mrs.X dan keluarganya, dengan kata lain memiliki dualisme dalam tindakan dan sesuai dengan teori Erving Goffman tentang dramaturgi yaitu setiap individu memiliki dualisme pencitraan disaat yang bersamaan, back stage dan front stage, bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam pertunjukan mereka dipanggung depan, mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya agar terlihat lebih sempurna dimata (penonton) orang lain. 4.1.1
Komunikasi Interpersonal Mrs. X Hubungan orang tua dan anak sangat berpengaruh dari komunikasi
interpersonal yang diterapkan oleh orang tua. Dalam Arnold52 yang menyatakan bahwa komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh keluarga (khususnya orangtua) dapat mempengaruhi perkembangan remaja dalam membina suatu hubungan nantinya. Komunikasi interpersonal diukur dengan menggunakan skala komunikasi interpersonal yang disusun berdasarkan efektivitas komunikasi interpersonal oleh Devito (2009:78-80) yang meliputi keterbukaan (openness), perilaku positif (positiviness), empati (empathy), perilaku suportif (suportiveness), kesamaan (equality). Dalam penelitian ini, Mrs.X menerapkan komunikasi interpersonal
52
L. B Arnold,. Family Communication: Theory and Research. Pearson. Boston. 2008 hal 27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
67
yang tidak efektif di dalam keluarga nya dan peneliti memfokuskan penelitian khusus kepada kedua anak lelaki nya. Mrs.X melakukan pola asuh reward dan punishment, dalam point of view Mrs.X atau menurut beliau hal ini merupakan hal yang sangat positif demi perkembangan anak-anaknya nanti. Akan tetapi berdasarkan teori dramaturgi apa yang biasa ditampilkan memiliki maksud yang berbeda dengan apa yang sebenarnya dipikirkan oleh orang tersebut. Dalam pola asuh otoriter ini, pada kenyataannya dapat menimbulkan konflik nanti pada saat anak memiliki hubungan sosial dan cenderung memiliki karakter kurang percaya diri, tidak mandiri tanpa ada campur tangan orang tua, sulit berkembang, destruktif baik ke diri sendiri ataupun orang lain dan introvert dalam pergaulan. Dengan membangun komunikasi interpersonal yang efektif dalam keluarga diharapkan dapat mengembangkan situasi lingkungan keluarga yang sehat. 4.1.2
Pola Asuh Mrs. X Komunikasi dan Pola Asuh merupakan dua hal yang tidak dapat
terpisahkan. Dalam penelitian ini, pola asuh Mrs.X merupakan sikap Mrs.X dalam berinteraksi, membimbing, membina, dan mendidik anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari dengan harapan menjadikan anak sukses menjalani kehidupan ini. Bisa disimpulkan bahwa pola asuh orang tua terhadap anak adalah bagaimana cara orang tua mendidik anak baik secara langsung maupun tidak langsung.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
68
4.1.3
Pola Asuh Otoriter Mrs. X Pola asuh otoriter adalah jenis pola asuh yang menuntut agar anak patuh
dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan untuk mengemukakan pendapat sendiri. Sesuai dengan pola asuh Mrs.X, dimana kebebasan anak-anak terbatasi dan harus sesuai dengan kemauan Mrs.X. Menurut pengamatan peneliti bisa berdasarkan ketakutan Mrs.X agar anak-anak bisa dikontrol saat dewasa, reward punishment harus ditanamkan sedari kecil. Contohnya saat Mrs.X mengatakan anak-anak dibebaskan memilih sekolah tetapi hanya diberikan tiga pilihan yang sudah ditetapkan Mrs. X dimana ketiga sekolah tersebut memiliki syarat dan standard masuk yang sangat tinggi. Dan terlihat juga saat anaknya dikira tidak masuk kelas favorit oleh Mrs.X, perjalanan ke Amerika mau dibatalkan dan mereka semua harus pulang dari luar negeri keesokan harinya. Pola tersebut terlihat seperti bargain atau tawar menawar dibandingkan pengasuhan tulus penuh kasih tanpa syarat. Sikap pola asuh otoriter ini bisa terlihat dari berbagai sisi, sesuai contoh diatas pada saat orang tua memberikan aturan terhadap anak, orang tua memberikan hadiah dan hukuman, dimana ini dipandang sebagai cara orang tua menunjukan otoriternya dan cara orang tua mencitrakan ini sebagai perhatian serta tanggapan terhadap keinginan anak. Dalam penelitian ini, dapat dilihat dalam interview Mrs. X bahwa Mrs. X menerapkan pola asuh otoriter kepada anaknya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
69
Sedari kecil pola asuh yang diterapkan oleh Mrs. X sangat over protective. Anak-anak dari kecil sudah dikondisikan untuk hidup dengan sangat teratur dan terstruktur. Bermain hanya di jam-jam tertentu, makan harus pada waktunya, rumah harus selalu bersih, barang-barang yang digunakan di taruh kembali pada tempatnya. Rutinitas harus terjaga. 4.1.4
Dramaturgi Peran yang ditunjukan oleh Mrs.X pada peneliti sangat berbeda dan
terdapat beberapa pernyataan yang kontradiktif dari apa yang ditampilkannya. Dramaturgi yang dipaparkan oleh Erving Goffman, mengenai Backstage dan Frontstage bisa terlihat pada kehidupan Mrs. X. Terlihat dengan jelas, Mrs. X ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima oleh orang lain. Seperti yang telah disampaikan pada bab dua bahwa fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya. Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknikteknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu Ritzer53. Ketika individu dihadapkan pada panggung, ia akan menggunakan simbolsimbol yang relevan untuk memperkuat identitas karakternya, namun ketika 53
George Ritzer,. Sociological Theory. Fourth Edition. Mc-Graw Hill Publication. New York. 1996 hal 215
http://digilib.mercubuana.ac.id/
70
individu tersebut telah habis masa pementasannya, maka di belakang panggung akan terlihat tampilan seutuhnya dari individu tersebut. Dalam kehidupan Mrs.X, dramaturgi dari sisi backstage adalah di mana ketika ia melakukan pementasan peran, ia juga memerlukan ruang ganti yang berfungsi untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Pada penelitian kali ini Mrs.X digambarkan sebagai sosok yang ditakuti, kaku, ekspresi wajah tegang, intonasi tinggi atau dalam ketika berbicara, penekanan pada kata-kata tertentu, dan kadang menggunakan kata-kata kasar ketika berkomentar, marah, mengumpat, menyindir, bertindak agresif atau memperolok anaknya. Menggunakan kalimat dengan pilihan kata-kata intimidatif yang kalau diulang demi menanamkan kepatuhan pada anak mereka sedari kecil. Dimana ketika anak masih kecil, orang tua masih dipandang sebagai figur yang otoritatif. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor sehingga semua aspek itu dapat dikendalikan. Menurut peneliti back stage Mrs.X yang otoriter yaitu memiliki ketakutan tersendiri dikarenakan beliau tahu bahwa anaknya tidak selamanya patuh, jadi ditanamkan trauma-trauma sedari kecil. Sementara itu, setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukan. Dimana orang tua memerlukan ruang untuk mereka berekspresi secara otoriter terhadap anak baik itu setting di rumah, di sekolah atau dimana pun didepan anak-anaknya yang dilengkapi tools yaitu iming-iming akan reward punishment beliau. Goffman mengakui bahwa panggung depan (front stage) cenderung tercitrakan aktor yang selalu benar tidak pernah salah, ditakuti sampai ingin
http://digilib.mercubuana.ac.id/
71
disegani.
Goffman berpendapat bahwa
umumnya
orang-orang berusaha
menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di pangung depan, mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya. Wilayah ini memperlihatkan sikap otoriter sang orang tua yang tergambar oleh anaknya. Berbeda dengan panggung belakang (back stage), disini memungkinkan orang tua takut (based on fear) akan asumsiasumsi mereka tentang ketidakpatuhan anak nantinya kalau orang tua tidak melakukan
ketegasan.
Adanya
panggung
belakang
dimaksudkan
untuk
melindungi rahasia pertunjukan sang orang tua, anak tidak diizinkan masuk ke wilayah ini. 4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Hasil Wawancara Penelitian Dalam sub bab hasil penelitian ini, peneliti akan memaparkan keseluruhan hasil yang diperoleh mengacu pada data observasi dan wawancara key informan dan para informan yang sudah di pindahkan dari rekaman suara kedalam transkrip wawancara berikut hasil kutipan wawancara berdasarkan dua puluh dua (22) pertanyaan didalam pedoman wawancara: 4.2.2 Hasil Wawancara Dalam rangka mengetahui latar belakang Mrs.X, peneliti menanyakan tentang perjalanan karir Mrs.X. Pada kesempatan tersebut beliau menjawab: “Saya di hukum, saya Notaris, tidak instan saya raih, jangan lihat hasil akhir orang, banyak bersyukur kalian lebih baik daripada ibu, itu saya terapkan ke anak-anak saya, banyak bersyukur sama Allah, kamu lebih baik daripada ibu, saya untuk kesuatu tempat harus punya uang sekian, tapi kalian bisa keliling dunia tanpa
http://digilib.mercubuana.ac.id/
72
uang sendiri, doakan ibu murah rezeki dan sehat, saya sering berkata itu sama anak-anak, banyak yang tidak seberuntung kalian, makanya bersyukur, jangan sombong, kalian tidak selamanya hidup seperti ini, masih ada nanti gelombang kehidupan, kalian akan merasakan hidup susah, harus berjuang, dekatkan diri sama Allah, iman dijaga, jangan lalai karena iman nanti akan naik turun, dari bayi sampai umur sekarang yang kalian inginkan tercapai dan kalian selalu ada, tapi nanti ada saja cobaan, tidak akan semulus ini terus.“54 Suami Mrs.X membenarkan , bahwa beliau adalah seorang Notaris: “istri saya sibuk banget, bahkan pekerjaan dikantor sering dibawa kerumah dan saya juga suka bantu kerjaa istri saya”55 Ketika anak-anak Mrs.X menjawab, mereka berdua hanya bicara: “ Tidak tahu” dan “Tahunya ibu kerjanya Notaris”56 Terkait
dengan peraturan dirumah,
peneliti
hendak
mengetahui,
bagaimana Mrs.X menerapkan peraturan:
“Kalau saya sama anak tidak pernah marah, dalam arti, ada komitmen antara saya dengan dia, terutama belajar, yang pertama kewajiban itu sholat kedua belajar, saya tidak pernah bilang, kamu harus belajar blablabla tidak, saya cuma bilang kalau dia sekolah tidak boleh nilai dibawah 9, minimal 9 tidak boleh dibawah 9, kalau dibawah sembilan, saya itu tiap tahun ada 2 kali berlibur, tadi juga saya kekantor jadi tadi pas buat visa ke UK (United Kingdom), jadi saya kalau secara akademik, dia harus pintar, karena buat saya kewajiban dia itu adalah belajar tidak lebih daripada itu, tidak fair kalau dia tidak belajar tidak menunjukkan prestasi dia, sementara hak dan kewajiban harus berjalan, apa hak saya, memberi nama yang baik, memberikan dia nafkah lahir batin, yah semua terpenuhi, kewajiban dia yah dia harus sholat harus belajar, kalau itu tidak berjalan dengan baik yah saya akan marahin, diumurnya dia, mengenal lawan jenisnya dia, saya bilang saya tidak mau kamu pacaran, karena anak laki-laki sampai kapanpun menjadi kewajiban orang tua kalau salah kita kena, beda dengan anak perempuan, selesai nikah sudah selesai tanggung jawab orang tua, tapi karena kamu laki-laki sampai 54
Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -13Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -2656 Wawancara peneliti dengan x1 dan x2 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3755
http://digilib.mercubuana.ac.id/
73
kapanpun kamu menikah pun tetap menjadi kewajiban saya, dalam agama pacaran pun haram hukumnya, kalau kamu melanggar aturan itu saya akan bertindak keras sama kamu, ok tidak bu (kata anaknya yang diperagakan oleh Mrs.X), waktu berjalan, dia tidak pernah minta apapun dari saya, karena saya pernah bilang sama dia, apapun yang saya punya di dunia ini buat kamu, kamu tidak perlu minta dengan saya, apapun , ibu pasti akan belikan, kalau ibu ada, kalau dirumah karena saya punya anak laki berdua, misalnya saya punya uang cuma untuk beli satu barang, dulu jamannya nintendo, psp, saya bilang sama dia, ibu hanya punya uang satu, bisa tidak kalian berbagi, dia tidak berantem, kalau bisa ibu beli, kalaupun tidak bisa nanti ibu tidak membelikan lagi, saya beli satu, untuk mereka berbagi terserah dia, mereka berbagi kamu main dua game yah nanti saya dua game lagi (kata anaknya yang diperagakan oleh Mrs.X) dan mereka akur, kalau berantem AWAS, jadi anak saya tidak pernah berantem, Saya juga tidak tahu, banyak yang bertanya sama saya bagaimana cara mendidik anak, kok aneh tidak berantem, namanya anak laki, tahu bagaimana , karena saya tidak seperti orang tua yang lain, dia mementingkan diri dia sendiri, sementara anaknya mau game tapi dia tidak mau beli, kalau tidak teriak baru dibeli, atau saya (orang tua) kasihh kamu (anak) kalau kamu bebegini, saya tidak senang kasihh reward seperti itu , saya tidak suka, kalau hidup itu kalau saya punya uang saya akan beli, walaupun orang akan berpikir saya memanjakan anak-anak, tetapi tidak juga, ada saatnya saya tidak beli buat anak saya karena buat saya tidak penting, jadi kepentingan itu berbeda cara pandang kita, Alhamdulillah selama ini saya terapkan apa yang saya lakukan berjalan dengan baik ya, dia tidak pernah merusak kepercayaan saya, misalnya bebegini, boleh main game, boleh main PS, hari libur, sabtu minggu, sampai jam sekian, kan dirumah kita main di cluster, boleh bermain jam 10 pm mesti pulang, jadi ada aturan yang saya terapkan, boleh bawa mobil tapi jangan pulang malam, kenapa, karena kamu belum punya SIM, belum 17, boleh kamu ini, asal bebegini jadi anak itu harus dikasih tahu alasannya, jangan mereka mencari tahu dari orang lain begitu, kenapa bebegini begitu, jadi saya lebih berkata, walau mungkin saja saat itu belum mengerti maksud dan tujuannya, tapi saya selalu jelaskan misalkan ibu belum punya uang tetapi kalau ibu punya uang pasti ibu beli, mungkin mereka selewat saja, tidak sadar omongan saya, tetapi di saat saya punya uang saya beli, tetapi kan waktu itu ibu pernah bilang kalau ada uang ibu beli, contohnya nanti kalau kamu SMA ibu belikan kamu mobil, itu janji saya sama dia dan saya langsung belikan dia mobil, akhirnya kan anak itu tidak merasa, jadinya ibu saya ini janjinya ditepati, akhirnya dia sendiri tidak akan pernah melakukan sesuatu yang akan mengecewakan saya karena saya tidak akan mengecewakan dia, saya tidak mau bohong sama dia, saya sering tanya, mau ganti handphone, dan teman saya malah bilang benar-benar yah kamu, anak saya aja merengek-rengek minta handphone, nah kamu malah menawarkan, anak saya malah ditawarin
http://digilib.mercubuana.ac.id/
74
bilang tidak bu karena tidak penting belum perlu, mungkin karena dari awal itu jadi tidak bisa instan, saya dari kecil didik anak seperti itu”57 Lain halnya yang dikatakan oleh suami Mrs.X yang berpendapat bahwa:
“Kalau saya kan jarang dirumah, kalau istri 50/50 terkadang sering dirumah terkadang sering diluar, saya terapkan ke mereka yang penting seperti pendidikan, yang utama agama bagi saya lalu pendidikan, saya tidak pernah menekan anak-anak harus jadi ini harus jadi itu, karena anak sekarang tidak seperti anak dulu olagia, tidak bisa ditekan seperti gitu, tapi anak saya Alhamdulillah dia mengerti, jadi waktu main dia main, waktu belsajar dia belsajar, dan kedua anak saya ini tidak pernah berkelahi dirumah, seperti tidak punya anak, tidak pernah berkelahi dirumah dari kecil, saya percaya dengan anak-anak saya, kalau yang pertama, dulu-dulunya harus dijaga kalau belsajar, harus dipantau dengan ibunya, harus belsajar dengan ibunya, waktu SD, ibunya jadi pembimbing dia, ibunya jadi guru dia, jadi kalau belsajar harus dipantau dengan ibunya, karena itu saya lebih percaya dengan istri saya menjaga anak-anak saya, masalah pendidikan saya serahkan 100% kepada istri saya, saya pun tidak pernah marah, jadi anak-anak lebih takut sama ibu nya, kalau saya tidak pernah marah, saya hanya beri masukan, seperti kamu jangan berbuat begini nanti akibatnya begini-begini..jadi anak-anak mengerti, yang ditakuti anak-anak yah cuma ibunya, bukan saya, karena setiap harinya anak-anak dengan ibunya, dan mereka tahu karakter ibunya, bahkan mereka tidak berani pacaran, ibunya melarang mereka pacaran, dan anak-anak tidak pernah minta apa-apa, kita belikan langsung, misal mau beli handphone, kita tidak pernah kasih, kita membeli untuk mereka tanpa mereka minta”58 Lain halnya lagi dari sisi anak-anak Mrs.X berpendapat bahwa peraturan yang diterapkan dalam rumah adalah: “Jam pulang jangan kemalaman”59 Dan
57
Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -1Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -2759 Wawancara peneliti dengan x1 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -4058
http://digilib.mercubuana.ac.id/
75
“Harus sholat.. belajar.. kalau libur pulang jangan malam-malam sore jam 6 malam 10”60 Selain karir dan peraturan didalam rumah, peneliti menanyakan tentang bagaimana Mrs.X mengatur waktu antara bekerja dan mengurusi anak, dan beliau pun berkata
“Dulu saya kerjanya bukan pergi pagi pulang sore, pagi saya bangun, terus sarapan, saya usahakan selalu mengantar anakanak pagi, pulang jam 2 saya jemput, sampai SMP saya lakukan, kalau sekarang ini jam kantornya tidak pas dengan jam anak sekolah pulang atau saya suruh supir untuk stay di sekolah mereka.. kehadiran saya tetap saya utamakan, belanja bulanan, dan selalu travelling bareng”61 Begitu pula dengan pendapat suaminya, yaitu:
“istri saya kantornya dekat rumah dan lebih sering mengerjakan pekerjaan dirumah, jadi beliau bisa atur rumah juga”62 Sedangkan dari sisi anak-anak Mrs.X sendiri, anak pertama dan anak kedua menjawab dengan: “Biasa aja” Dan’ “Ga tau”63 Peneliti menjadi bingung, apakah selama ini kehadiran Mrs.X tidak begitu banyak kepada anak-anaknya, karena anak-anaknya pun hanya menjawab seadanya. Setelah beberapa hari akhirnya peneliti mengetahuinya ternyata karena kesibukan Mrs.X sehingga anak-anak pun jarang bertemu beliau. Dari pagi belum bangun dan ketika anak-anak tidur, ibunya pun belum
60
Wawancara peneliti dengan x1 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -35Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -1362 Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -2663 Wawancara peneliti dengan x1 dan x2 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3761
http://digilib.mercubuana.ac.id/
76
pulang. Pertanyaan selanjutnya adalah rasa penasaran peneliti akan penerapan pola asuh Mrs.X dengan suami apakah berbeda dan perbedaan itu seperti apa, dan Mrs.X pun merespon dengan:
“ oh tidak suami saya selalu setuju dengan apapun keputusan saya”64 Sedangkan dari sisi suaminya adalah:
“Iya sama anak-anak kita kasih kebebasan tetapi kebebasan yang benar, jadi waktu sholat mereka sholat, jangan sampai tinggal sholat waktu shubuh tidak sholat shubuh, bahkan kadang mereka yang mengingatkan kita untuk sholat setiap kita jalan-jalan, seperti bu sholat shubuh bu, gantian saling mengingatkan anakibu-bapak, semua terbuka, untuk pendidikan saya pasrahkan ke ibunya, karena saya percaya istri saya”65 Lain lagi halnya dengan pendapat anak-anak yang merasakan langsung, yaitu menjawab dengan simple bahwa pengasuhan orang tua mereka: “Biasa aja” dan “belajar sama sholat”66 Sehingga memunculkan pertanyaan lain seperti apakah ada perbedaan pola asuh yang diterapkan kepada anak-anak ketika masih kecil hingga sekarang sudah remaja? Dan Mrs.X pun menjawab simple dengan: “ oh tidak sama saja”67
Dan suami nya pun merespon dengan panjang bahwa:
64
Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -24Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -2666 Wawancara peneliti dengan x1 dan x2 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3467 Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -765
http://digilib.mercubuana.ac.id/
77
“Tetap seperti itu, tanggapan istri karena anak SMP atau SMA tetap dianggap masih kecil kan, dulu waktu kecil, istri saya sebelum mau tidur pasti DIPERIKSA kaki anak-anak kalau ada lecet atau luka pasti marah, kenapa ini jatuh, jangan main ini, padahal biasa kalau laki-laki biasa kalau luka, tapi istri saya kalau untuk anak the best lah, saya lebih percayakan anak-anak ke ibunya daripada pembantu karena ada pembantu dirumah, tap kalau pagi istri saya kerja , jadi jaranglah waktu kecil semua istri saya semua”68 Dan tanpa diduga, anak-anak Mrs.X keduanya sama-sama menjawab dengan jawaban yang sama, padahal lokasinya berbeda ketika peneliti bertanya, dan jawabannya adalah: “Ga Tau”69
Pertanyaan berikut berkembang lagi untuk mengetahui apa pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua Mrs.X dahulu? apakah sama dengan penerapan pola asuh ke anak-anak Mrs.X sekarang? Dan Mrs.X pun menjawab:
“Tidak tidak orang tua saya tidak seperti itu, ibu bapak saya berpisah, saya ikut ibu saya di aceh, saya hidup keras dalam arti mendapatkan sesuatu itu saya harus berjuang sendiri, sekolah sendiri, kuliah malam, berjuang untuk mencapai karena saya DENDAM dengan kemiskinan, susah itu tidak enak banget, jangankan orang lain, orang terdekat saja tidak melihat kita, saya kasih tahu yah , sedih bgt saya meraih ini semua, saya tidak pengen anak saya seperti itu, sesusah saya, makanya saya bilang pada anak-anak, kamu tahu kamu harusnya bersyukur di sekolahkan bagus dan mahal dan gampang pakai supir saya sekolah naik antidakot, ibu saya tidak pernah mendidik saya , karena ibu saya dagang, bedakan, ibu saya membiayai kami, jadi saya tidak tahu juga pola yang saya ambil karena pengalaman saya sendiri, berjuang sendiri, pagi bekerja , malam kuliah, tidak ada didikan orang tua saya, kebalikan ini, jauh”70
68
Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -29Wawancara peneliti dengan x1 dan x2 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3570 Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -1269
http://digilib.mercubuana.ac.id/
78
Dan suaminya pun berpendapat beda yaitu:
“saya kurang tahu cara mertua saya mendidik istri saya tetapi setahu saya mertua saya kan orang aceh dan keras didikkannya sama istri saya karena beliau single parent dengan 5 anak, jadi keseringan kerja. Kalau orang tua saya sendiri mendidik saya dengan baik, karena kita orang jawa, sudah dibiasakan untuk tau sopan santun, toto kromo, hormati orang tua dan cara bicara lebih halus. Kalau saya keanak-anak lebih demokratis dan ikutin pola istri saya mendidik anak-anak saja”71 Dan lagi-lagi, anak-anak Mrs.X keduanya sama-sama menjawab dengan jawaban yang sama, yaitu: “Ga Tau”72
Untuk menggali lagi peneliti menanyakan soal bagaimana komunikasi bersama dalam rumah, dan jawaban mereka adalah:
“Anak saya tidak banyak omong, mesti saya yang ajak mereka berkata, kaya semalam anak saya tidur dikamar saya, papanya di kamar anak saya, kadang saya pulang mereka sudah duduk sama guru lesnya, kalau saya tanya sudah makan, mau delivery makanan, nanti saya pesan, kalau di telepon atau saya suruh pembantu yang ambil, komunikasih nya jarang berkatain orang, nama nya juga anak laki, kalau saya tanya tadi belajar apa, bisa tidak, jangan bilang bias-bisa saja, nanti dia jawab kan nanti ibu bisa lihat hasilnya,”73 Untuk tanggapan pertanyaan kali ini sang suami berbeda, yaitu:
“komunikasi lancar-lancar saja, Biasanya sama ibunya anak-anak lebih dekat dengan ibunya. Kalau ketika ada yg mereka takuti untuk dibahas sama ibunya, anak-anak bahas sama saya, contoh nginap rumah teman pasti tidak boleh, tidak ada itu, kalau mau teman-temannya saja yang menginap dirumah kita. Kalau hari libur kita sering makan diluar, disitu kita komunikasi, kadang kita musim hujan ini suka ngobrol dikamar berempat, tapi anak saya 71
Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -28Wawancara peneliti dengan x1 dan x2 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3573 Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -772
http://digilib.mercubuana.ac.id/
79
tidak banyak ngomong jadi kita orang tuanya yang aktif banyak nanya”74 Dan untuk kesekian kali anak-anak Mrs.X keduanya sama-sama menjawab dengan jawaban yang sama, yaitu: “Biasa aja”75
Entah apa yang tertanam di pikiran anak-anak, tetapi hampir semua jawaban sama, padahal mereka berdua di wawancara dengan situasi dan lokasi yang berbeda. Akhirnya peneliti menanyakan hobi mereka semua dan Mrs.X menjawab:
“Saya tidak tahu hobby saya apa, olah raga tidak juga,belanja kayanya hobi saya hahaha”76 Jawaban berbeda ditanggapi oleh sang suami, yaitu: “Saya bulutangkis dan jalan santai yang ringan2 bersama istri”77 Dari sisi anak pertama menjawab: “Bola, Renang, Travelling, Belanja”78 Dan anak kedua menjawab: “Bola sama nonton dan games bola”79
Semua harus berhubungan dengan bola karena memang dari kecil anakanak ini suka bola terutama club MU (Manchester United). Penelitipun bertanya soal sudah tingkat berapa sekolah anak-anak ini dan Mrs.X dan suami serta anak-anak pun menjawab:
74
Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -30Wawancara peneliti dengan x1 dan x2 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3576 Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -1477 Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3178 Wawancara peneliti dengan x1 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3979 Wawancara peneliti dengan x1 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3475
http://digilib.mercubuana.ac.id/
80
“kalau anak pertama sudah 1 SMA dan yang kecil sudah 3 SMP”80 Penelitipun menanyakan bagaimana pendidikan sekolah anak-anak, dan Mrs.X menjawab:
“semua berjalan memuaskan”81
baik-baik
saja
dan anak-anak nilainya
Sedangkan dari sisi suaminya menjawab:
“Anak-anak belum pernah ikut kejuaraan apapun, cuma waktu SMP anak pertama ikut sekolah di Karisma Bangsa yaitu sekolah unggulan olimpiade, sekolah turki, itu bahasa pakai english semua, anak-anak saya englishnya lancar juga, SD juga sudah pakai bahasa inggris di Al Izhar”82 Anak pertama hanya menjawab: “Sekolahnya bagus masuk pagi jam 7.15”83 Dan anak kedua menjawab: “Biasa.. biasa saja”
Anak-anak Mrs.X memang keduanya tipikal anak-anak pendiam, bahkan sangat pendiam. Mereka hanya menjawab apa yang ditanya tanpa mengembangkan menjadi sebuah cerita atau menambahkan hal atau informasi lainnya. Penelitipun menanyakan peraturan jadwal belajar yang diterapkan Mrs,X bagaimana dan Mrs.X pun merespon:
“Saya tidak pernah menetapkan jadwal belajar dia, biar dia atur sendiri, ada satu anak saya yang paling kecil, belajar hanya sepuluh menit, abis itu dia tidur, tapi hasilnya bagus, karena dia 80
Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -30Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -182 Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3183 Wawancara peneliti dengan x1 dan x2 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3581
http://digilib.mercubuana.ac.id/
81
lebih konsentrasi disekolah, kalau anak saya yang nomor 1 dia tekun bisa sampai jam malam, dia yang atur cara belajarnya, kalau dia tanya bu saya mau les, oh terserah saya tinggal bayar saja, kalau kamu mau karena tidak mampu, mau les lagi silahkan, saya tinggal bayar saja, saya mau eskul silahkan, saya tidak akan membantah, saya hanya memfasilitasi saja, anak no 2 kan 3 SMP, malah bilang saya mau les nanti, setelah awal tahun, kalau sekarang saya tidak perlu karena saya masi mampu, kalau kakaknya lain lagi, begitu masuk IPA dia sudah minta Les, kemarin dia bawa brosur untuk toefle, bu saya mau les ini karena saya mau jadi pilot, terserah pilihan kamu, saya beda cara mendidik anak, saya terbuka, saya juga bingung kenapa saya seperti itu”84 Kalau dari sisi suaminya lebih spesifik jam nya, yaitu
“kalau weekdays waktunya belajar habis isya, belajar sampai jam 9 atau setengah 10, belajar itu jam nya habis isya untuk belajar”85 Beda lagi dengan tanggapan anak pertama yaitu:
“Belajar setiap hari”
Dan pendapat anak kedua adalah:
“Kalau habis sekolah.. Pulang.. Makan.. Belajar, ekskul 2x seminggu… itu doank”86 Melihat jawaban anak-anak hanya itu-itu saja, peneliti ingin mengetahui apa saja tugas-tugas anak selain belajar dan Mrs.X menanggapi dengan:
“Dia tugasnya selain belajar tapi bukan berarti dia bisa memerintah orang dalam rumah, sembarangan tidak boleh, dia boleh suruh pembantu kalau masak, kalau ambil nasi sendiri, mau makan, dari kecil sejak 10 tahun, baju jangan sembarangan ditaruh, semua harus pada tempatnya, bagi saya itu sudah 84
Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -4Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -2886 Wawancara peneliti dengan x2 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3585
http://digilib.mercubuana.ac.id/
82
standard, pagi harus bebegini, lalu ambil tas pada tempatnya, itu sudah tahu, tidak perlu disuruh-suruh karena sudah dari dalamnya mereka, dari awalnya dia mengerti, seperti abis mandi handuk dijemur, bahkan sholat pun waktu saya tanya, belum belajar, nanti bu abis sholat isya, atau kamu main games apa, tidak belajar, tidak bu besok saja cuma bahasa Indonesia, ya sudah saya memang tidak mau memaksakan mereka, karena kalau dipaksa nanti bisa malas mereka, mereka buka buku tapi tidak masuk ke otak mereka, tapi hasil akhir nanti wajib saya bermain disitu, apapun hasilnya, apapun cara anak-anak, hasil akhir saya lihat, kalau saya lihat di rapor dibawah sembilan, ini nanti saya batalin semua tiket ke UK, anak saya yang pertama nilainya 10 yang kedua 97 jadi tidak apa-apa saya bebaskan keluar negeri, makanya tadi saya dari kedutaan perancis mengurus visa”87 Pernyataan diatas diperjelas oleh suami Mrs.X yaitu
“Anak-anak hanya belajar saja, karena semua sudah diatur istri saya, seperti tugas rumah ada pembantu kalau kemana-mana ada supir”88 Anak pertamapun menjawab: “Ga ada belajar aja”
Anak kedua pun hanya mengatakan:“belajar .. gak tau yang lain”
Peneliti tertarik untuk mengetahui apa saja yang anak-anak Mrs.X lakukan dan menanyakan kegiatan mereka apa saja, Mrs.X merespon dengan:
“Yang no 1 ambil celebrity fitnes, bela diri muaythai, bola kalau yang nomor 2 basket, bisa 2-3 kali seminggu, mereka yang atur kapan mereka mau, tapi kalau cuaca buruk saya bilang jangan bawa mobil yah gelap ibu takut, karena belum punya SIM, jadinya, mereka tidak berangkat”89
87
Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -5Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -2889 Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -688
http://digilib.mercubuana.ac.id/
83
Mrs.x memang sangat over protektif dari hal ini terlihat beliau melarang anaknya sesuatu karena merasa ketakutan sendiri, padahal anak-anaknya lelaki bukan perempuan. Beda lagi dengan respon suaminya, yaitu:
“Mereka olah raga, si kecil agak gemuk suka basket, yang pertama jaga badan dan tertarik beladiri, bola, renang, dan gym. Lalu ikut EF waktu SMP sampai selesai semua, les klo mereka butuh les yg kita persiapkan gurunya yg private kerumah.”90 Dan anak-anak pun mengklarifikasikan, anak pertama menjawab:
“Ekskul, private class, gym, bola, berenang” Dan anak kedua menjawab:
“Kalau habis sekolah.. Pulang.. Makan.. Belajar, ekskul 2x seminggu… itu doank”91 Setiap manusia hidup, pasti mempunyai cita-cita yang didambakan, peneliti menanyakan ini semua kepada anak-anak Mrs.X dan responnya Mrs.X adalah:
“Oia anak pertama jadi pilot, kalau kedua berkata begini kalau jadi notaris banyak hapalan yah bu, saya tidak suka PKN, saya bilang tidak juga, kan dia suka berkata jadi dokter anak cuma 200 ribu pendapatannya, sedikit sekali uangnya padahal sekolahnya susah, anak saya yang kedua agak kritis terus dia bilang enakan jadi notaris, saya hanya jawab terserah kamu mau apa, kalau yang pertama sudah mau pilot, kemarin pulang pameran bawa brosur jadi pilot, dia bilang sudah dihitung sekitar 1.5 milyard selama 9 bulan, ini sudah semua, tapi 2015, aku bilang kamu memang bener mau di amerika, dia jawab tidak juga, test saja, ini di amerika 22 juta, mahal juga ya , kamu belajar yang bener yah nak, doain ibu kelebihan uang, cita-cita yang kamu ambil ini tidak sedikit biayanya, ibu sudah bisa prediksi kalau kamu cari di Jakarta atau 90 91
Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -30Wawancara peneliti dengan x2 pada bulan November 2015 di rumah Mrs.X, hal. -35-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
84
bali ibu bisa dari tempat tinggal dan makan kamu, tapi kalau amerika itu hitungannya dollar, bila terjadi satu hal bisa saja tabungan adikmu keambil sama kamu demi sekolah pilot ini, kalau kamu bilang 1,5M di US ibu harus siapkan 2M cadangin segitu, nah tabungan adik kamu keambil sama kamu, ada konsekwensi yang harus kamu berikan pada saya dan adik kamu, dia lihat saya bilang nanti kalau dia sudah bisa terbang dia harus bantu biaya sekolah adik, kan ibu juga tidak tahu apakah ibu sudah tidak ada klien, apa ibu mau pensiun, ada adiknya juga didepan kita bicara, dia bilang iya, itu secara terbuka saya utarakan ke mereka”92 Dari pernyataan Mrs,X yang panjang diatas, menjelaskan bahwa memang beliau dekat dengan anak-anak beliau, atau memang Mrs.X sengaja mengarahkan cita-cita anak-anaknya demi tujuan beliau. Lain halnya dari tanggapan suaminya yang tidak begitu dekat dengan anak-anak, yaitu: “Biasalah anak-anak mau jadi polisi, dokter, gtu gtu namanya juga anak-anak, kalau anak pertama jadi pilot”93 Anak pertama sendiri simple menjawab: “Pilot”
Dan anak kedua simple menjawab: “Belum tau”
Setelah menanyakan tentang kegiatan, tugas dan cita-cita anak-anak, peneliti menanyakan Mrs.X kapankah anak-anak dapat bermain:
“Alhamdulillah selama ini saya terapkan apa yang saya lakukan berjalan dengan baik ya, dia tidak pernah merusak kepercayaan saya, misalnya gini, boleh main game, boleh main PS, hari libur, sabtu minggu, sampai jam sekiaan, kan dirumah kita di cluster main, boleh bermain jam 10 mesti pulang, jd ada aturan yang saya lakukan, boleh bawa mobil tp jgn pulang malam, kenapa , krn kamu belum punya SIM, belum 17, boleh kamu ini, asal begini jd anak itu harus dikasi tau alasannya, jgn mereka mencari tau dari orang gtu loh, kenapa begini begitu, jd saya lebih ngomong, walau mungkin saja saat itu lom mengerti maksud dan tujuannya,”94 Begitu pula dengan pendapat suami yang sama dengan Mrs.X, yaitu: 92
Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -9Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -3094 Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -393
http://digilib.mercubuana.ac.id/
85
“Anak-anak bisa bermain pas weekend atau hari libur karena weekdays itu waktu mereka belajar, mereka jarang nonton TV biasanya main games di PS atau main dikomplek rumah”95 Kalau dari sisi anak pertama mengemukakan:
“Jumat malamnya sama Sabtu dan Minggu pagi” Dan anak kedua mengatakan: “libur atau weekend”
Memang aturan belajar dan bermain terletak di hari biasa dan hari libur, peraturan ini sudah diterapkan sedari anak-anak kecil. berkaitan dengan waktu bermain, peneliti ingin mengetahui bagaimana dengan peraturan gadget pada anak-anak Mrs.X:
“Kita tidak bisa menutup perkembangan jaman, terkadang guru meminta kita untuk memberikan gadget tersebut karena tugasnya dari sana, ada grup juga. saya cuma larang tidak boleh melihat gambar yang tidak boleh, internet macam-macam, saya tidak bisa kontrol 24 jam, mereka harus tahu batasan, sejauh ini anak saya masih suka main games online, saya tidak tahu mereka melihat pornografi tapi saya tidak tahu, misal ada kejadian di tv saya diskusikan, dan lagi main games ketika liburan atau weekend, prinsipnya selagi belajar beres semua OK”96 Lain lagi pendapa suami Mrs.X, yaitu:
“mereka tidak begitu suka main gadget handphone, hanya PS, dan untuk urusan bermain mereka hanya bisa weekend kalau weekdays waktunya belajar, biar lebih konsen saja”97 Dari sisi anak pertama hanya menjawab: “Main pas libur atau weekend”
95
Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -28Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -1697 Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -1696
http://digilib.mercubuana.ac.id/
86
Dan anak kedua sama menjawab: “Gak boleh main kalau weekdays”
Terkait dengan permainan, peneliti ingin mengetahui bagaimana pergaulan anak-anak Mrs.X dan apakah beliau mengetahui teman-teman anaknya:
“Semua baik-baik dan saya tahu semua saya temannya”
Berbeda dengan yang dikatakan Mrs.X, suaminya berpendapat:
“Anak-anak berinteraksi dengan lingkungan gampang, karakter anak pertama empatinya tinggi, cool dan tenang kalau yg kedua dia lebih talkactive, diajak ngobrol lebih banyak jawabannya, yang pertama kita bingung menebak dia karena diam sekali. Biasanya anak-anak main dengan teman kompleknya disekitar sini, apalagi jumat malamnya atau sabtu karena besoknya libur sekolah” 98 Anak pertama pun hanya menanggapi:
“Sama anak-anak di sekolah atau dirumah atau di gym”
Dan anak kedua hanya mengatakan:
Gak ada yang dekat, biasa biasa aja”
Selain pergaulan, peneliti ingin mengetahui penerapan jam pulang pada anak-anak Mrs.X:
“Jam pulang sekolah, misalnya supir tunggu disekolah tapi tibatiba mereka whatsapp saya ijin ada acara misal ada penambahan
98
Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -31-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
87
pelajaran nanti mereka pulang naik ojek kalau pulang lewat dari jam 5”99 Tanggapan diatas dilengkapi oleh suami Mrs.X yaitu:”
“Kalau istri saya jam 9-10 harus sampai rumah, yg banyak ngomel istri saya dibandingkan saya, saya mah diem”100 Anak pertama hanya menanggapi:
“Jam pulang jangan kemalaman”
Dan anak kedua: “klo libur pulang jangan malam2 sore jam 6 malam 10”
Ternyata jam pulang ke rumah sangat dibatasi, terkait hal itu peneliti ingin mengetahui apakah anak-anak Mrs.X penah melanggar peraturan rumah:
“Ada sekali anak pertama langgar peraturan dengan saya, tapi dia kasih penjelasan, waktu itu dia pergi malam bawa mobil, ternyata lama pulang karena temannya numpang minta di anterin ada 2-3 orang dia \tidak enak menolak temannya Dan dia jelaskan kondisinya pada saya”101 Suami, anak pertama dan kedua menjawab hal yang sama, yaitu:
“Pernah, Jam pulang jangan kemalaman”
Peneliti menanyakan apa saja pelanggarannya itu:
“Tidak, tapi saya pernah tahu ada orang disini yang senang dengan dia, buat saya tidak nyaman akhirnya saya panggil lalu, saya tanya, jawabannya teman, ibu tidak mau dengar kalau ada omongan tetangga, konsekwensinya apa, terserah ibu mau kasih 99
Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -6Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -27101 Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -6100
http://digilib.mercubuana.ac.id/
88
saya hukuman apa, tapi saya jadi tidak enak sama warga, kalau perempuan itu datang, anak saya jadi menghindar, padahal saya tidak maksud begitu, tapi mungkin dia berpikir ini yang baik, saya juga harus mengerti cara pikir dia, mungkin dia tahu kalau saya bilang jangan sampai ibu dengar dari orang lain, kalau tahu awal ibu marah, jadi dia selalu bilang kalau mau makan sama temantemannya, kalau saya bilang jangan ya dia tidak akan berangkat, terus kalau dia bilang mau ke mall sama temannya jalan yah saya kasih cuma saya bilang jangan pulang malam, nanti pulang sama siapa, nanti dengan teman terus kalau macet pakai gojek, sekarangkan sudah ada aplikasinya, dan kalau macet nanti dia foto, jadinya saya percaya saja, dia juga tahu di batas mana saya akan mentoleransi dia tentang waktu, dia tahu kalau melewati dia tahu saya akan marah, sekali waktu dia sakit, dia harus ambil seragam, dan itu adanya sore, tapi dia pulang dulu, ketika saya tanya kenapa tidak sekalian saja ditunggu, dia jawab nanti ibu marah, jadi dia pulang dulu terus pamitan sama saya, karena dia tunggu belum juga datang seragamnya, kata temannya malam mungkin karena banyak, makanya dia pulang dulu karena takut saya marah dan bilang kenapa ambil baju sampai malam, terus dia bilang pada temannya kalau sudah ada nanti dia ambil jemput kesana tapi sekarang dia tunggu saja dirumah dulu”102 Kalau dari sisi suami jawabannya berbeda, yaitu:
“jam 10 ini anak2 tidak pulang dan handphone sengaja tinggal dirumah, pinter kan, keduanya ditinggal dirumah jam setengah 10 ibunya sudah cari, kamar kosong keduanya, ditelp tidak diangkat, ada pembantu disuruh cari kalau sudah pulang dimarahin sama ibunya”103 Pendapat anak pertama sama seperti Mrs.X ceritakan, yaitu: “Kemaleman tapi tidak bilang karena antar teman atau macet” Dan anak kedua menjawab seperti yang ayahnya utarakan, yaitu:
“Kan main sekitar sini-sini saja jadi kelewatan soalnya belum selesai mainnya”
102 103
Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -8Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -28
-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
89
Penelitipun menanyakan apa konsekwensi pada pelanggaran tersebut:
“dia juga tahu di batas mana saya akan mentoleransi dia tentang waktu, dia tahu kalau melewati dia tahu saya akan marah, sekali waktu dia sakit, dia harus ambil seragam, dan itu adanya sore, tapi dia pulang dulu, ketika saya tanya kenapa tidak sekalian saja ditunggu, dia jawab nanti ibu marah, jadi dia pulang dulu terus pamitan sama saya, karena dia tunggu belum juga datang seragamnya, kata temannya malam mungkin karena banyak, makanya dia pulang dulu karena takut saya marah dan bilang kenapa ambil baju sampai malam, terus dia bilang pada temannya kalau sudah ada nanti dia ambil jemput kesana tapi sekarang dia tunggu saja dirumah dulu”104 Suami Mrs.X menjawab:
“kalau tidak dikunci pintu.. kebetulan karena ada mertua tinggal dirumah, biasanya ibu mertua yang suka manjain anak-anak untuk dibuka pintu sama neneknya.. dan kalau pulang malam, jam 10 ini anak-anak tidak pulang dan handphone di tinggal dirumah, pinter kan, dua-duanya ditinggal dirumah jam setengah 10 ibunya ssudah cari, kamar kosong, ditelp tidak diangkat, ada pembantu disuruh cari kalau ssudah pulang dimarahin sama ibunya”105 Lain halnya dengan anak pertama & kedua hanya mengatakan:
“Dimarahin ibu”
Dari semua pertanyaan yang diajukan, pertanyaan terakhir yang ingin diketahui peneliti adalah apa saja harapan orang tua terhadap anak:
“Saya mudah-mudahan cita-cita mereka yang terbaik menurut Allah, saya serahkan sama Allah, karena Allah lebih tahu daripada saya, syukur-syukur saya nanti bisa menemani mereka sampai nikah, saya hanya ingin menyiapkan semua kebutuhan mereka, meraih impian mereka, itu saja. Saya tidak mau memaksakan yang menurut saya baik kemereka, karena kalau 104 105
Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -8Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -28-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
90
ditengah jalan gagal mereka bisa salahkan saya kalau itu bukan maunya saya tapi ibu, kalau SD SMP SMU saya bisa arahkan kalau kuliah kan sudah mereka, paling saya kasih pengarahan tapi sejauh ini pilihan, dan lagi untuk jadi pilot kan harus jaga seluruh tubuh dan badan, jurusannya sulit, dia sudah berani pilih jadi pilot berarti dia sudah menjamin dirinya untuk ikut ini semua sudah dipikirkan dari kesehatannya, dari mata, gigi, dan bidang akademiknya dari sini yang saya takutkan dia terhindar dari rokok, narkoba karena ketika test nantikan ketahuan, kalau masuk perguruan lain kan tidak ada dicocokin seperti ini”106 Dan jawaban normative lainnya dari suami Mrs.X:
“Otomatis orang tua mau anaknya maju lebih dari orang tuanya, msudah-msudahan apa yang dicita-citakan anak-anak tercapai melebihi orang tuanya, berguna bagi agama dan orang lain , bagi negara dan banyak bantu orang”107 Sedangkan dari sisi anak pertama berpendapat bahwa orang tuanya ingin dia untuk : “Nilai bagus, sukses jadi pilot, ingat sholat”
Dan anak kedua pun mengatakan hal yang sama , yaitu: “jadi Notaris atau Dokter”
Selama wawancara, peneliti sembari mengamati setiap respon Mrs.X yang sangat semangat menjelaskan kehidupannya. Dimulai dari perjalanan karir yang panjang dan perjuangan yang hasilnya sekarang dapat dituai oleh Mrs.X. Perjuangan yang tidak gampang diraih oleh beliau, sehingga beliau mendidik anak-anaknya dengan disiplin tinggi agar dapat tangguh bertahan hidup. Beliau pun ingin anak-anaknya mengikuti jejak karir beliau sebagai Notaris tetapi anak pertama ingin jadi pilot dan anak kedua belum menentukan ingin berkarier apa 106 107
Wawancara peneliti dengan Mrs.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -15Wawancara peneliti dengan Mr.X pada bulan September 2015 di rumah Mrs.X, hal. -30-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
91
nanti. Pernyataan awal Mrs.X adalah “tidak pernah marah” tetapi sepanjang penjelasannya kebelakang secara tidak sadar beliau menjelaskan semua yang dilakukan anak-anaknya selalu dituntut untuk sesuai dengan apa yang dia mau dan ada
reward
punishment dimana
ketika
anak-anaknya
berprestasi akan
mendapatkan liburan dan fasilitas menyenangkan lainnya, kalau melanggar aturan sudah dipastikan mendapat punishment, sehingga anak-anaknya harus selalu berprestasi, mengikuti peraturan dan akur satu sama lain.
Dramaturgi Mrs. X terlihat saat peneliti mulai mengamati kehidupannya sehari-hari ternyata tidak sesuai dengan apa yang beliau katakan sebelumnya. Apa yang ditunjukan oleh Mrs. X di wilayah depan (front stage), dimana disini Mrs. X menampilkan perannya sebagai orang tua demokratis dengan pencitraan yang baik, tidak pernah marah dan mengatakan bahwa anak-anaknya selalu mendapat nilai sembilan keatas di raport nya. Ternyata sembari berjalannya waktu akhirnya peneliti mencoba meminta bukti raport anak-anak melalui suaminya Mrs.X dan ternyata banyak nilai tujuh dan delapan, bisa dibuktikan dalam lampiran penelitian ini sebagai dokumen pendukung. Tetapi punishment berupa pembatalan jalanjalan keluar negeri tetap dilakukan dan desember 2015 pun Mrs.X tetap berangkat ke UK dengan anak-anaknya. Wilayah belakang (back stage) yang merujuk tempat dan peristiwa ysng memungkinkan mempersiapkan perannya di wilayah depan (front stage). Impresi yang ingin disajikan Mrs,X sangat meyakinkan, walaupun peneliti sekaligus penonton di kehidupan drama Mrs.X akhirnya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Pernyataan Mrs.X kepada peneliti hanyalah sebuah setting dan persona yang mencoba ditunjukan oleh Mrs.X. Bukti
http://digilib.mercubuana.ac.id/
92
nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan Mrs.X dapat dilihat pada interaksinya kepada anaknya yang justru membentuk proteksi diri sendiri dari pikiran nya sendiri terhadap apa yang dia pikirkan kepada anak-anaknya. Berbicara dengan suami Mrs.X, beliau lebih banyak diam dan suka lama dalam menjawab pertanyaan, suka dipikirkan terlebih dahulu dan sering melihat kebawah seperti sedang membayangkan dan memikirkan setiap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan peneliti. Suami Mrs.X yang keturunan Jawa memang tipe pengalah dan selalu menuruti apapun yang Mrs.X mau. Suami Mrs.X dirumah sering angkat telpon rumah, beliau juga yang suka beres-beres ruangan atau menyapu jika lantai kotor. Pribadi yang sangat santun, dan mau mengerjakan apapun walau statusnya adalah kepala keluarga. Bahkan saat pertama kali peneliti berkunjung kerumah, yang menyiapkan teh dan cemilan adalah suami Mrs.X. Saat itu memang pembantu sedang keluar rumah tetapi Mrs.X pun tidak mau melakukan hal-hal seperti itu dan membiarkannya sehingga suaminya pun mengalah untuk melakukannya. Hal ini menjadi contoh yang terlihat tidak baik di mata anak-anaknya karena harusnya dan sesuai dengan agama, bahwa istri yang harus melayani suami, apalagi ketika istri tidak sakit. Dalam wawancara ini, penerapan pola asuh pun sama dengan Mrs.X yaitu terbuka, disiplin dan fokus pada pendidikan dan agama untuk anak-anaknya. Dan terungkap bahwa memang anak-anak lebih dekat sekaligus lebih takut dengan Mrs.X walau sang suami membela kalau istrinya tipikal to the point, bukan hanya ke anaknya tapi pada siapapun, pembawaannya tegas, tidak mau ngomong dibelakang, istrinya straight, anak-anak takut krn istrinya sudah mau A yah A, tegas dan tidak mau bicara
http://digilib.mercubuana.ac.id/
93
dibelakang, selalu didepan, diterapin ke anak-anak, walau nantinya menurut sang suami setiap istrinya marah pada anak-anak, istrinya suka menyesal setelahnya. Tetapi dalam pengamatan peneliti, Mrs.X tidak menunjukkan penyesalan ketika habis marah, bahkan sering mengulang hal-hal atau kejadian yang membuat dia marah itu diungkit kembali sehingga membuat anak-anaknya trauma dan diam. Peneliti sering mengamati bahwa anak-anaknya sama sekali tidak ekspresif, walau mengikuti banyak kegiatan olah raga tetapi ketika dirumah anak seperti robot yang diam dan selalu menuruti apapun yang dikatakan oleh orang tuanya terutama ibunya. Karena peran suami Mrs.X sangatlah minim. Semua hal sudah dihandle oleh Mrs.X, dari bangun pagi, control belajar, menghubungi anakanak ketika pulang malam, menanyakan makan, menanyakan kegiatan harian dan suami Mrs.X jarang sekali komunikasi dengan anak-anaknya sampai ada statement dari suaminya menyatakan “kalau dirumah saya seperti merasa tidak punya anak” Awalnya peneliti diberitahukan demikian karena anak-anak Mrs.X memang akur dan tidak banyak bicara, tetapi lama-kelamaan diamati memang anak-anaknya seperti tidak menganggap ayahnya ada. Ketika masuk rumah langsung taruh sepatu pada tempatnya, lalu masuk kamar, setelah itu mandi atau turun makan lalu masuk kamar dan tidak keluar lagi, entah itu belajar atau tidur. Rutinitas itu berjalan seperti itu, peneliti sendiri melihat minimnya interaksi dari anak ke ayahnya, begitu juga sebaliknya. Apakah karena sudah di handle semua oleh Mrs.X atau ada keseganan yang peneliti tidak ketahui. Berbicara dengan anak pertama Mrs.X memang membutuhkan effort yang lebih, karena anaknya sangat pendiam. Padahal anak ini menguasai beberapa
http://digilib.mercubuana.ac.id/
94
bahasa yaitu inggris, turki dan perancis, karena selalu dilatih di sekolah internationalnya sejak SD. Kegiatan anak pertama memang lebih banyak daripada adiknya karena sudah SMA. Dimulai dari berangkat sekolah jam 6.15am lalu dilanjutkan bimbingan private, lalu olahraga seperti gym, bola, renang dan belajar sampai malam. Bahkan sabtu minggu pun juga les bimbingan. Kadang peneliti kebingungan akan perilaku anak pertama yang pendiam dengan segudang kegiatan setiap harinya. Apakah itu passionnya atau tuntutan orang tua. Peneliti pernah mencoba bertanya dengan anak pertama Mrs.X dan jawabannya simple. Makan pun dijaga agar kondisi badan tetap fit. Hubungan dengan ibu dan ayahnya juga seadanya, itupun kalau orang tuanya yang bertanya. Hubungan dengan adiknya pun hanya seputar bola dan mereka sama sekali tidak pernah berantem. Selama tinggal dengan mereka, suasana dirumah sangat hening bahkan jarang sekali terdengar lagu kencang-kencang, main games pun diam, jarang ada yang menonton TV dan ketika anak pertama ini belajarpun dengan posisi duduk dimeja belajar bukan sambil dengerin lagu atau diatas tempat tidur atau makan cemilan. Kondisi fisik anak pertama ini ganteng dan kulitnya hitam manis tubuhnya pun bugar, kurus dan berotot kering. Cita-citanya baru-baru ini adalah menjadi pilot, dikarenakan penghasilan pilot lebih banyak dan bisa keliling dunia gratis. Ketika peneliti bertanya memang penghasilan banyak untuk apa, dan jawabannya hanya untuk kebutuhan sehari-hari seperti makan dan juga belanja. Karena selain olahraga, anak pertama ini suka sekali belanja baju, mungkin karena baru memasuki tahapan ABG masa-masa mencari jati diri sehingga ada kebutuhan untuk wanting approval dari teman-temannya tinggi. Walau anak pertama ini
http://digilib.mercubuana.ac.id/
95
tidak narsis foto atau social media tetapi hobinya olahraga, bola dan belanja. Kesenangannya belakangan ini adalah berenang karena dia ingin tinggi. Anak pertama ini baru saja dibelikan mobil baru VW golf warna hitam karena menyukai desain bentuknya yang simple dan dinamis, tetapi karena belum punya SIM hanya boleh menyetir dari rumah kesekolah dan paling jauh ke mall di pondok indah dan sangat dilarang untuk pulang malam oleh orang tuanya. Mrs.X sering bilang kalau anak pertama ini sering menunjukkan brosur untuk pelatihan atau kuliah pilot, karena menurut Mrs.X itu adalah passion anaknya ini. Tetapi pada pengamatan peneliti lagi-lagi tidak seperti yang digambarkan oleh Mrs.X yang selalu semangat mengekspresikan kelakuan anakanaknya yang tergambar ceria, aktif, penuh motivasi dan memiliki keinginan kuat untuk jadi Pilot. Anak pertama nya ini santai dan melakukan rutinitas sehari-hari seperti itu-itu saja. Bangun pagi, ke sekolah, pulang langsung ikut bimbingan belajar, tidak ada keantusiasan yang berlebihan seperti yang diceritakan Mrs.X. Perawakan anak kedua Mrs.X ini agak gemuk dan kulitnya sama seperti kakaknya hitam manis. Berbicara dengan anak kedua Mrs.X memang lebih informatif tetapi pada dasarnya anak ini sama pendiam seperti kakaknya. Anak ini suka club bola Manchester United (MU) dengan alasan suka menang dan tahu dari kecil. bahkan pernah nangis cuma gara-gara MU kalah pas pertandingan. Anak kedua ini tidak suka fisika karena susah menghapal rumusnya dan lebih tertarik dengan biologi karena gurunya enak mengajar. Guru yang dia suka adalah guru senirupa karena alasannya tidak pernah marah. Disekolah suka main bola kaki dan basket. Lebih suka main dengan teman-teman sekolah daripada teman dirumah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
96
karena disekolah lebih banyak teman cowoknya. Kegiatan disekolah dari jam 7.15 sampai 14.15 membuatnya sering mengantuk. Sehingga kalau sudah sampai rumah biasanya istirahat dan makan lalu belajar sambil tiduran, karena anak ini lebih suka memaksimalkan belajar dikelas daripada belajar dirumah sendiri, kalau bimbingan pun lebih suka suasana tenang dan temannya hanya satu atau dua saat bimbingan belajar agar bisa konsentrasi. Cita-cita belum terpikirkan olehnya, tetapi ibunya (Mrs.X) menginginkan dia menjadi Notaris seperti dirinya atau dokter, karena anaknya suka biologi. Ibunya sering mengarahkan anaknya yang satu ini untuk memilih dokter atau notaris karena masa depan orang dengan karir tersebut sangat cemerlang. Tetapi bungsu ini masihh belum berminat walau Mrs.X selalu mencoba meyakinkan anaknya ini karena sering ketika peneliti sedang tanya soal pelajaran atau cita-cita, Mrs.X sering ikut nimbrung dengan kita dan bicara sendiri yang seakan-akan mewakili anak keduanya ini kalau “bagusnya karir sebagai notaris atau dokter, karena notaries bisa seperti ibu dan dokter bisa bantu orang tua dan orang banyak” walau respon anak bungsunya hanya diam atau senyum sambil menunduk kebawah tanpa berkata apapun lagi. Peneliti melihat baik anak pertama maupun anak kedua sama-sama tidak ekspresif layaknya anak cowok aktif lainnya. Tipikal anak pendiam yang agak introvert. Anak kedua ini tidak suka social media, hanya jadi viewer saja dan media komunikasi di handphonenya hanya LINE karena banyak teman-temannya yang menggunakan LINE dan itu pun untuk menanyakan tugas sekolah saja bukan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
97
untuk chat yang lain. Karena anak ini tidak suka bercanda dan basa-basi atau pun bergosip dengan teman-temannya, semua hanya urusan sekolah. Kalau urusan makanan, anak kedua ini sangat suka ayam dan sapi tetapi tidak suka ikan dan sayur. Mrs.X pernah mengatakan kalau anak bungsunya ini sangat menyukai coklat dan roti, tetapi setelah peneliti amati ternyata anak bungu ini suka kripik pedas. Disini peneliti melihat bahwa Mrs.X hanya mau melihat yang beliau mau dan hanya mau mendengar apa yang beliau mau sehingga selalu mensetting situasi ataupun kondisi dan dibicarakan sesuai yang Mrs.X mau. Karena tidak semua yang Mrs.X katakana itu sesuai dengan apa yang anak-anaknya ingin kana tau anak-anaknya lakukan. 4.2.3 Hasil Observasi Penelitian Tabel 4.1 Pedoman Observasi
No 1
Hal-hal Yang Diamati Pada Mrs.X Personality Melakukan pengamatan dari kepribadian Mrs.X. bagaimana sifat dan tingkah laku,karakter, minat, pendirian, kemampuan, potensi, fisik, gesture dan penampilan luar diri. Persona akhirnya menunjukkan penampilan luar, wajah luar yang diperlihatkan orang, seorang kepada
Hasil Pengamatan Back Stage
Front Stage
Karakter pemimpin yang kuat dan perfeksionis dilihat dari background keluarga bahwa beliau adalah anak pertama dari 5 bersaudara. Sudah dari kecil memimpin keluarga.
Pada saat observasi, peneliti melihat Mrs.X memiliki karakter yang kuat dan tegas, to the point, layaknya seorang pemimpin keluarga, energi Yang nya tinggi, maskulinitasnya lebih dominan.
Seluruh atribut yang ditonjolkan oleh Mrs.X sebelumnya sudah dipersiapkan diback
Perfeksionis Detail Tidak suka Menunda
http://digilib.mercubuana.ac.id/
98
orang-orang di sekitarnya (koswara,(1991:10).
stage demi tercipta persepsi baik akan dirinya baik Mrs>X sebagai Anak, sebagai istri maupun Notaris di front stage nanti. Menjunjung tinggi agama dan pendidikan, tetapi perlakuan terasa bahwa yang memimpin rumah tangga ini bukan Mrs.X bukan Suaminya, dikarenakan perbedaan penghasilan dan keturunan keluarga, padahal menurut agama Suamilah yang harus memimpin dan dilayani istri. Kadang Suami pun melakukan tugas membereskan rumah.
2
Komunikasi Interperso nal Verbal Non Verbal Efektivitas Komunikasi Interpersonal dimulai de ngan lima kualitas umu m yang dipertimbangka n yaitu keterbukaan (ope nness), empati (empathy
Anak-anak atau suami sekalipun minim sekali dalam berbicara, anakanak sangat pendiam, tidak kritis, kadang peneliti tidak mengetahui ada atau tidak kah orang didalam rumah. Situasi dirumah sangat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Fisik beliau tegap tetapi perawakan tidak menyeramkan karena tinggi badan yang hanya 155 cm dengan berat 60kg masuk kategori normal. Dikarenakan keturunan Aceh yang identik muslim, beliau sudah berjilbab dari kecil. Gesture atau Sikapnya selalu dijaga, dilengkapi tools yang menunjang seperti menggunakan mobil jeep besar Land Cruiser dengan plat nomor nama beliau sendiri. Menggunakan gadget terbaru, tas mahal, baju yang professional serta sepatu merk terkenal dengan desain klasik, ditambah dengan perhiasan berlian dengan ukurannya lumayan besar yang intimidatif selalu digunakan beliau walaupun di lingkungan rumah. Selama pengamatan peneliti dalam berkomunikasi dengan keluarganya Mrs.X sering berkata bahwa keterbukaan yang dijunjung tinggi keluarga ini tetapi yang terlihat hanya Mrs.X yang selalu bicara mengingatkan atau yang selalu memerintah.
99
3
), sikap mendukung (sup portiveness), sikap positi f (positiveness), dan kes etaraan (equality).( Devi to, 1997, p.259-264 ).
terasa dingin dan individualis. Dimana ayah, dan kedua anak melakukan rutinitas yang sama seperti baru pulang, mandi, makan, belajar, tidak ada interaksi layaknya keluarga normal lainnya, situasi dirumah tidak “semeriah” yang dijelaskan oleh Mrs.X
Pola Asuh Interaksi Bimbingan / Membimbing Didikan / Mendidik Binaan / Membina
Interaksi sangat minim di keluarga ini, baik verbal maupun non verbal, kadang rutinitas layaknya anak dan orang tua bersama contohnya cium tangan tidak terjadi dikeluarga ini, sambutan kedatangan atau kepergian tidak ada, sangat sepi yang peneliti rasakan, yang ada hanya suara Mrs.X yang bertanya banyak hal tetapi sembari melakukan aktivitas kerjaan beliau tidak langsung berhadapan dengan anak atau suami Bimbingan, didikan atau binaan yang peneliti amati rasanya hanya dari sekolah, Mrs.X hanya bertanya seperlunya dan suami Mr.X pun jarang bersuara ditambah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Secara verbal Mrs.X yang selalu banyak bicara. Komunikasi non verbal ketika Mrs.X marah beliau akan berjalan bolak balik kesana kemari, menghela napas panjang, kadang membanting pintu atau meletakkan sesuatu dengan kasar. Kalau keadaan tenang-tenang saja biasanya semua baikbaik saja dan normal Orang tua bagaikan guru pertama bagi anakanaknya. Interaksi dalam membimbing, mendidik dan membina anak-anak yang diamati oleh peneliti dalam kehidupan seharihari Mrs.X kepada anak lebih terlihat satu arah. Mrs.X selalu berbicara dan anak-anaknya selalu mendengar dan menjalankan apapun yang dikatakan oleh Mrs.X. setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh anak. Komunikasi dan Pola Asuh merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Dalam penelitian ini, pola asuh Mrs.X merupakan sikap Mrs.X dalam berinteraksi, membimbing, membina,
100
4
Pola Asuh Atoriter Peraturan Hukuman Kontrol Komunikasi Satu Arah
anak-anak pun sangatlah pendiam
dan mendidik anakanaknya dalam kehidupan sehari-hari dengan harapan menjadikan anak sukses menjalani kehidupan ini.
Peraturan jam belajar, main, tidur, tidak boleh pacaran dan bermain jauh tidak boleh pulang malam diterapkan
Pendidikan dan agama di junjung tinggi karena kewajiban anak-anak adalah belajar dan beribadah. Keterbukaan dan demokratis selalu dikemukakan oleh Mrs.X
Penetapan batasanbatasan dan kendali yang tegas terhadap anak dan kurang memberikan peluang kepada anak-anak untuk berdialog.
Mrs.X mempunyai aturan ketat salah satunya dilarang untuk pacaran kecuali sudah bekerja, Pendidikan dan agama alasannya karena masih di junjung tinggi tetapi sekolah dan harus fokus pada pengamatan ini di sekolah dan lagi peneliti sering melihat pacaran itu kata beliau anak tidak terlalu sering haram. belajar, hanya diam dikamar dan tidur, raport yang dikatakan Mrs.X tidak boleh dibawah 9, peneliti sudah melihat langsung dan banyak nilai 7 dan 8 tetapi tetap reward jalan keluar negeri dilaksanakan tanpa dicancel sesuai dengan perkataan beliau diawal bahwa tidak boleh nilai dibawah 9. Kebetulan peneliti mendapatkan bukti Raport dari suami Mrs.X.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
101
4.2.3.1 Personality Mrs.X Kepribadian (personality) berasal dari kata latin persona, persona adalah topeng yang digunakan oleh pemain pentas dalam sandiwara atau teater yunani. Kata persona (personality) berubah menjadi satu istilah yang mengacu pada gambaran social tertentu yang diterima oleh individu dari kelompok atau masyarakatnya, individu diharapkan bertingkah laku berdasarkan dengan gambaran sosial (peran) yang diterimanya. Dari sini kata persona akhirnya menunjukkan penampilan luar, wajah luar yang diperlihatkan orang, seorang kepada orang-orang di sekitarnya (Koswara)108. Kepribadian dapat dikatakan sebagai keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang. Menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Sjarkawim (2006) Personality adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain yaitu integrasi karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang; segala sesuatu mengenai diri seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain. Pada dasarnya, semua orang tua selalu ingin memberikan anaknya yang terbaik, hal ini yang mendorong Mrs. X untuk melakukan yang terbaik untuk kedua anaknya berdasarkan pendapat, pemahaman dan pengetahuannya. Setiap orang berbeda dalam tingkat energi, kesabaran, intelegensi, sikap dan
108
Koswara. 1991. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: Eresco. 1991 hal 10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
102
kematangannya. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orang tua dan bagaimana tingkat sensitifitas orang tua terhadap kebutuhan anak-anaknya. Kepribadian Mrs.X yang diamati oleh peneliti selama observasi adalah kepribadian otoriter atau tegas. Menurut peneliti kepribadian itu terjadi apabila lingkungan sosial individunya mendapati dirinya di posisi atas , yaitu posisi yang selalu memimpin orang lain. Energi Yang yang dimiliki oleh Mrs.X begitu kuat dibandingkan suaminya. Seperti yang peneliti tahu bahwa setiap manusia ada energi YING dan YANG, dimana YING yang disimbolkan warna hitam biasanya wanita miliki dimana energi yang negatif dalam artian disini lebih pasif, intuitif, dan lembut. Beda dengan energy YANG dimana energy lebig positif dlm artian lebih aktif, logic, dank eras disimbolkan wana putih yang biasanya dimiliki oleh kebanyakan pria. Dalam pengamatan peneliti melihat energi YANG Mrs.X lebih besar lebih mendominasi, terlihat pada kutipan wawancara saat itu beliau menceritakan bahwa teman-teman beliau bilang kenapa beliau terlalu tebuka dengan anak-anak dan beliau menjawab “saya bilang klo saya ragu sama dia, gimana orang terhadap dia, kalau saya gk berani berarti saya gagal, anak ini kan didikan saya, klo saya ragu berarti saya gagal donk mendidik mereka” statement beliau harusnya keluar dari suaminya dan dilengkapi dengan ketegasan yang menyiratkan beliau lah pemimpin rumah tangga dan beliaulah nahkoda dalam kapal rumah tangga.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
103
Dilihat dari back ground Mrs.X sebagai anak pertama yang memimpin empat (4) adik-adiknya yaitu tiga wanita dan satu pria. Hidup dari didikan mamanya yang single parent membuat beliau sudah sedari kecil mengemban tanggung jawab besar kepada keluarga untuk memberikan contoh baik pada adikadiknya dan membantu ibu nya untuk membiayai kehidupan sehari-hari dengan berdagang. Beliau juga kuliah malam sambil bekerja demi cita-citanya meraih kesuksesan. Integrasi tinggi dalam karir dipekerjaannya sebagai Notaris dan karakteristik yang perfektionis, bekerja dengan totalitas dan ketelitian yang tinggi. Mrs,X sendiri pernah mengatakan dalam wawancara “Saya itu tidak bisa kerja asal, saya well prepare, tanggal sekian saya kerjakan bayar gaji orang, saya sudah atur sebelum dekat, semua saya atur karena meringankan pekerjaaan, kalau bisa sebelum waktunya sudah saya lakukan, saya tidak suka menunda-nunda” Dilihat dari fisiknya yang tegap dan prima karena sering nge-gym ditunjang dari program makan yang sehat. Memang beberapa bulan yang lalu beliau jatuh di kamar mandi dan menyebabkan susah untuk bergerak. Tetapi dengan therapy yang intensif dan harusnya setahun baru bisa bergerak, ternyata dengan tekad yang kuat beliau hanya 6 bulan therapy sudah bisa beraktivitas dengan baik walau masih harus kontrol cek secara berkala ke dokter. Perawakan Mrs.X tidak menyeramkan, karena beliau tidak begitu tinggi cenderung pendek dengan berat badan normal. Sudah menggunakan jilbab sejak kecil karena dari
http://digilib.mercubuana.ac.id/
104
Aceh dan keturunan Aceh yang dimana identik Muslim disana para wanita sudah menggunakan hijab dari kecil. Selama observasi, penelitipun mengamati gesture Mrs.X. Gesture sendiri artinya adalah sikap atau pose tubuh yang mengandung makna atau menurut Wikipedia adalah suatu bentuk komunikasi non-verbal dengan aksi tubuh yang terlihat mengkomunikasikan pesan-pesan tertentu, baik sebagai pengganti wicara atau bersamaan dan paralel dengan kata-kata. Gestur mengikutkan pergerakan dari tangan, wajah, atau bagian lain dari tubuh. Peneliti sering mengamati Mrs.X ketika bicara dengan suaminya gesture yang otoritatif. Salah satunya ketika dalam acara keluarga, suaminya tidak mendengarkan omongan Mrs.X atau menyanggah pembicaraan Mrs.X. Gesture non verbal yang di tunjukkan adalah tolak pinggang dengan mata yang dipejam tetapi menghirup napas dengan dalam setelah itu memandang suaminya dengan tajam lalu memberikan kode untuk keruangan sebelah dengan lirikan mata beliau. Didalam beberapa meeting pun, Mrs.X tidak menyukai orang yang ngaret karena tidak menghargai waktu, biasanya beliau akan menggerak-gerakkan kelima jari dimeja yang menunjukkan beliau menahan emosi karena kesal menunggu orang tersebut. Atau ketika berjalan, Mrs.X selalu berjalan dengan tegap dan dagu condong keatas, intonasi suarapun kadang tinggi atau penuh penekanan untuk menegaskan sesuatu. Berbeda ketika menemui kliennya. Terutama klien besar, biasanya beliau selalu tersenyum dan melembutkan suara serta postur berdiri pun tidak setegap biasanya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
105
Karakter beliau pun tegas, Suami Mrs.X pernah mengatakan dalam wawancara “kalau ibunya to the point orangnya, bukan hanya ke anaknya tapi sama siapapun, sifat bawaannya tegas, tidak mau ngomong dibelakang, ibu straight, anak-anak takut karena istri saya klo A yah A, tegas dan gak mau bicara dibelakang, selalu didepan, diterapin ke anak2 gtu, klo saya masih ada ngelesnya , ya udah gampang , klo istri saya tidak.” Terakhir kepribadian Mrs.X ditunjang dari tools yang digunakan, seperti mobil jeep besar Land Cruiser dengan plat nomor nama beliau. Lalu menggunakan gadget terbaru, tas mahal, baju kerja yang professional serta sepatu merk terkenal dengan desain klasik, ditambah dengan perhiasan berlian dengan ukurannya lumayan besar dan intimidatif yang selalu digunakan beliau. Awal peneliti bertemu dengan Mrs.X dirumahnya, saat itu jam 3 sore dan lokasi pun dirumah. Mrs.X yang baru pulang dari gym menyambut peneliti sambil mengenakan kaos lengan pendek dengan celana training dilengkapi satu set perhiasan berlian yang beliau kenakan, 4 cincin, sepasang anting, kalung juga 2 gelang yang seakan-akan mencitrakan bahwa beliau wealthy enough didepan peneliti. Catatan tambahan saat itu peneliti datang dengan teman pria dan Mrs.X tidak mengenakan jilbab. Tetapi tidak melarang teman pria peneliti untuk masuk kedalam dan melihat beliau tanpa jilbab. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan Mrs.X saat komunikasi awal di telepon dengan peneliti yang selalu mengangkat dan menjunjung tinggi agama. Tetapi untuk hal ini membiarkan saja lawan jenis yang tidak ada hubungan keluarga untuk melihat dirinya tanpa hijab.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
106
4.2.3.2 Komunikasi Interpersonal Mrs.X Komunikasi merupakan dasar bagi setiap orang untuk dapat berinteraksi dengan orang lain dan berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Komponen komunikasi yang menjadi unsur-unsur utama dalam terjadinya komunikasi adalah komunikator sebagai pengirim pesan, pesan yang disampaikan, dan komunikan sebagai penerima pesan. Dalam kegiatan perkomunikasian, ketiga komonen itulah yang berinteraksi. Ketika suatu pesan disampaikan oleh komunikator dengan perantara media kepada komunikan, maka komunikator akan memformulasikan pesan yang akan disampaikannya dalam bentuk kode tertentu, yang sedapat mungkin dapat ditafsirkan oleh komunikan dengan baik. Dilihat dari prosesnya, komunikasi dapat dibedakan atas komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Sedangkan komunikasi non-verbal adalah komunikasi yang menggunakan isyarat, gerak gerik, gambar, lambang, mimik muka dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, komunikasi verbal Mrs.X yang peneliti amati terlihat baik diawal ketika Mrs.X berbicara dengan anak-anaknya demi tujuan tertentu seperti membangunkan anak-anaknya untuk sholat awalnya baik tetapi ketika anak-anaknya belum bangun Mrs.X pasti akan berteriak dengan lantang sehingga anak-anaknya kaget dan langsung kekamar mandi untuk berwudhu. Komunikasi interpesonal yang tidak efektif dalam keluarga mengakibatkan konflik dalam suatu keluarga. Hal ini dikarenakan adanya persepsi yang berbeda
http://digilib.mercubuana.ac.id/
107
pada saat berinteraksi dengan lawan bicara, yang mengakibatkan masing-masing pihak memiliki pandangan yang berbeda sehingga menghasilkan respon yang berbeda pula (Sinclair & Monk, 2004 dalam Arnold, 2008). Kita tidak pernah tahu apa yang dirasakan oleh anak-anak Mrs.X nantinya, karena mereka sangatlah pendiam. Dalam artian bagaimana nanti jika anak yang pendiam ini menjadi anti sosial, masa bodoh, cuek, acuh terhadap lingkungan dikarenakan sering menahan apapun yang dirasa tanpa di ekspresikan. Menurut peneliti, Mrs.X kurang membebaskan anak-anaknya untuk lebih berekspresi. Anak-anaknya cenderung menahan rasa saat dimarahi anaknya diam, saat di puji anaknya diam, saat dibelanjakan anaknya diam, tidak suka difoto dan sangat jarang sekali tersenyum. Peneliti mengasumsikan bahwa anaknya seperti menahan rasa yang nantinya akan dikeluarkan di saat-saat tak terduka. Atau memungkinkan disalurkan ke hal lain untuk ajang pembuktian dirinya dapat berekspresi dan menjadi free human being tanpa batasan atau tuntutan yang diberikan oleh Mrs.X. Efektivitas Komunikasi Interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap men dukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality) 109. Dalam keluarga Mrs.X sering bicara kalau prinsip dirumah ini adalah keterbukaan, tetapi yang ada anak-anak sangat pendiam jadi harus sangat aktif Mrs.X untuk mengetahui apa yang dimau anak-anaknya. Saat Mrs.X marah pasti
109
J.A.Devito,.Human Communication:The Basic Course. Boston: Allyn and Bacon. 1997 hal 259-264
http://digilib.mercubuana.ac.id/
108
anak-anak diam, saat Mrs.X memberikan sesuatu pada anak-anaknya pasti responnya hanya seadanya, tidak ada antusias seperti dibelikan mobil hanya seadanya, seakan-akan yang diberikan oleh Mrs.X tidak begitu penting dalam kehidupan anak-anaknya. Untuk empati, didalam rumah ada orang tua Mrs.X atau neneknya anak-anak. Umurnya sudah sangat tua yaitu 98thn, tetapi masih segar bugar. Kadang anak-anak kalau pulang kerumah tidak ada respon positif ke neneknya, mereka hanya respon kalau dipanggil. Disituasi lain pun saat ada tamu ketika orang tuanya suruh salam pada tamu itu yang diutamakan adalah tamunya, padahal kebiasaan cium tangan harusnya orang tua terlebih dahulu baru orang lain. Sopan santun seperti ini tidak diterapkan oleh orang tuanya. Sikap mendukung dalam keluarga ini minim sekali, semua rutinitas terlihat seperti robot. Hanya menjalankan rutininas seperti itu lagi dan lagi. Mrs.X pernah cerita saat itu beliau ingin membelikan anak keduanya mobil nanti ketika sudah masuk SMA, dan beliau menceritakan anak pertamanya menyarankan mobil lebih mahal daripada mobil yang diberikan kepadanya, terlihat anak pertama tidak iri dan mendukung ibunya membelikan mobil untuk adiknya bahkan yang lebih mahal daripada dirinya. Tetapi saat dikonfirmasi ke anak pertama soal cerita ibunya, anak pertama hanya menjawab simple “ya terserah ibu”. Didalam rumah pun untuk sikap positif ditegaskan oleh ibunya seperti harus selalu belajar setiap weekdays dan bermain boleh pas libur atau weekend. Kebiasaan untuk selalu sholat lima waktu tidak boleh tinggal. Lalu peraturan tidak boleh merokok, tidak boleh pacaran, tidak boleh minum minuman keras dan narkoba serta tidak boleh pulang malam adalah upaya Mrs.X dalam menerapkan hal positif dirumah.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
109
Batasan-batasan inilah yang harus dituruti anak-anaknya untuk menghindari hal negatif yang nantinya ditakutkan tidak dapat ditolak anak-anaknya diluar lingkup keluarga. Dengan bekal agama dari kecil yang ditanamkan Mrs.X diharapkan anak-anak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Untuk kesetaraan biasanya yang dilakukan Mrs.X adalah bersikap adil dan tidak pilih kasih. Penerapan ini dilakukan sejak anak-anak kecil. Dalam buku Agus110 Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tulisan. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan penting. Dari yang diamati peneliti, dalam keluarga ini kurang begitu efektif pada komunikasi verbalnya, contoh anak-anak jarang sekali mengungkapkan perasaan, jarang sekali menunjukkan emosi, atau memberikan pemikiran atau gagasan atau maksud yang mereka inginkan. Dalam menyampaikan atau menjelaskan informasi pun harus dipancing dulu oleh Mrs.X, moment curhat atau moment saling bertukar perasaan dan pemikiran jarang sekali terlihat. Tidak pernah ada perdebatan atau pertengkaran dalam rumah. Rumah selalu terasa adem ayem kecuali kalau Mrs.X sudah marah.
110
Agus M. Hardjana. Komunikasi Intrapersonal & Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius. 2003 hal 22.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
110
Dalam buku
Agus111 menjelaskan Komunikasi nonverbal adalah
komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk nonverbal, tanpa kata-kata. Dalam hidup nyata komunikasi nonverbal jauh lebih banyak dipakai daripada komuniasi verbal. Dalam berkomunikasi hampir secara otomatis komunikasi nonverbal ikut terpakai. Karena itu, komunikasi nonverbal bersifat tetap dan selalu ada. Komunikasi nonverbal lebih jujur mengungkapkan hal yang mau diungkapkan karena spontan. Contoh lain ketika Mrs.X menerima kabar bahwa anak-anaknya mendapat kelas D yang dimana biasanya anak-anaknya masuk kelas unggulan yaitu kelas A, Mrs.X langsung berbicara pada anaknya dengan tegas. Contoh lain lagi ketika anak-anaknya telat pulang melewati batas toleransi jam pulang yaitu diatas jam 10 malam, Mrs.X pasti sudah geram dan ketika anaknya pulang, Mrs.X akan menceramahi anak-anaknya dengan intonasi naik turun beserta penekanan di kalimat tertentu untuk menegaskan bahwa Mrs.X tidak suka dengan perlakuan anaknya saat itu, ditambah komunikasi non verbal seperti mengerenyitkan kening, tolak pinggang dan menarik napas sangat panjang disertai mata yang melotot seakan-akan akan meledakkan amarahnya yang sudah ditahan dari tadi. Beda lagi saat anak-anaknya sakit atau anak-anaknya mendapatkan nilai terbaik di raport mereka. Cara bicara Mrs.X akan melembut ditambah senyuman lebar menghiasi wajahnya sepanjang hari. Tetapi kalau sakit saat berlibur, Mrs.X akan menceramahi anak-anaknya dengan suara yang halus tetapi lama dan
111
Ibid, hal 26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
111
panjang, katakanlah Mrs.X tidak pernah cape untuk cerewet kepada anakanaknya. 4.2.3.3 Pola Asuh Mrs.X Awal pembicaraan dengan Mrs.X adalah beliau hanya melakukan yang menurut beliau benar dan beliau berkata tanpa mencontek pola asuh siapapun. Contohnya beliau berkata akan memberikan apapun kebutuhan anak-anaknya bahkan tanpa anak-anaknya harus merengek-rengek meminta seperti anak tetangga beliau yang selalu iri dengan anak-anak Mrs.X yang selalu punya gadget terbaru atau sering liburan keluar negri dua kali setahun sewaktu liburan sekolah. Mrs.X sendiri juga mengatakan bahwa beliau selalu terbuka kepada anak-anaknya dari uang yang beliau miliki sampai dengan semua asset yang beliau miliki. Sehingga anak-anaknya dapat termotivasi untuk belajar setinggi mungkin karena ibunya memiliki dana yang cukup untuk sekolah setinggi-tingginya. Mrs.X sendiri menjanjikan kepada anak-anaknya kalau sudah memasuki jenjang pendidikan SMU, maka beliau akan membelikan anak-anaknya mobil pribadi dan ijin untuk mengendarainya kalau sudah memiliki SIM, kalau belum harus dengan supir yang mengantar mereka. Selain menginginkan anak-anaknya berprestasi dalam pelajaran, Mrs.X juga mengajarkan agama sedini mungkin kepada anak-anaknya. Bahkan pengenalan Al Quran sendiri sudah dari anak-anaknya berumur 1 tahun. Mungkin yang dimaksud oleh Mrs.X bahwa ilmu dan agama harus selalu sejalan agar tidak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
112
terjadi penyimpangan dikedepannya nanti, karena menurut ilmu tanpa iman akan berbahaya dan iman tanpa ilmu tidak akan membuat seseorang dapat berkembang. Pola asuh orang tua dalam keluarga adalah sebuah frase yang menghimpun empat unsur penting, yaitu pola, asuh, orang tua, dan keluarga. Pola asuh yang terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (stuktur) yang tetap112. Ketika pola diberi arti bentuk / struktur yang tetap, maka hal itu semakna dengan istilah “kebiasaan”. Asuh yang berarti mengasuh, memiliki makna sebagai menjaga (merawat dan mendidik), membimbing (membantu, melatih). Kata asuh mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan dan bantuan sehingga seseorang dapat berdiri dan menjalani hidupnya dengan baik. Pola asuh orang tua dalam keluarga berarti sebuah kebiasaankebiasaan orang tua (ayah dan ibu), dalam memimpin, mengasuh dan membimbing anak dalam keluarga. Mengasuh dalam arti menjaga dengan cara merawat dan mendidiknya. Arti membimbing jika ditinjau dari segi isi, maka membimbing berkaitan dengan norma dan tata tertib. Dilihat dari segi prosesnya, maka mendidik dapat dilakukan dengan menyampaikan atau mentransfer bahan ajar yang berupa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan menggunakan strategi dan metode mengajar yang sesuai dengan perbedaan individual masing-masing siswa. Lalu kalau dilihat dari strategi dan metode yang digunakan, maka membimbing lebih berupa pemberian motivasi dan pembinaan. Pengertian membina sendiri adalah 112
Kamus besar bahasa indonesia, 1988 hal 54.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
113
usaha kegiatan mengarahkan anak dalam melaksanakan suatu kegiatan pendidikan baik secara teori maupun praktek agar kegiatan berjalan sesuai dengan tujuan yang
diinginkan
http://satyadarmabhakti.blogspot.co.id/2011/05/cara-melatih-
mendidik-membina-dan.html. Orang tua bagaikan guru pertama bagi anak-anaknya. Interaksi dalam membimbing, mendidik dan membina anak-anak yang diamati oleh peneliti dalam kehidupan sehari-hari Mrs.X kepada anak lebih terlihat satu arah. Mrs.X selalu berbicara dan anak-anaknya selalu mendengar dan menjalankan apapun yang dikatakan oleh Mrs.X. setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh anak. Diawali setiap perilaku Mrs.X tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan bahan peniru dan identifikasi bagi anak-anaknya. Kesadaran diri juga harus ditularkan pada anak-anak dengan mendorong mereka agar perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu Mrs.X senantiasa membantu anak-anak agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis baik secara verbal maupun non verbal, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu anak-anak memecahkan permasalahannya. Membimbing anak untuk menghormati orang tua contohnya ketika keluar atau masuk rumah untuk cium tangan sama orang tua, dan itu bukan hanya si ibu tetapi si bapak dan si nenek yang kebetulan juga ada di dalam rumah. Selama ini anak-anak tidak dididik Mrs.X untuk melakukan hal simple seperti itu sehingga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
114
peran ayah dan peran nenek dalam keluarga tidak di hormati. Peneliti melihat anak-anak hanya berkomunikasi dengan ibu sebatasnya dan jarang sekali berinteraksi dengan ayah atau nenek mereka. Mrs.X tidak membina anak-anaknya untuk melakukan hal simple seperti itu, walau peneliti melihat dampaknya akan besar seperti dengan adanya sentuhan seperti cium tangan setiap hari akan menumbuhkan rasa penghormatan dari anak terhadap orang tua. Sama halnya seperti pelukan, ada penelitian yang meneliti seseorang yang sering berpelukan akan lebih bahagia daripada seseorang yang jarang sekali berpelukan. Bahkan ada slogan “hug heals” atau pelukan menyembuhkan. 4.2.3.4 Pola Asuh Otoriter Mrs.X Hasil Observasi penelitian secara umum dapat dijelaskan perilaku orang tua dalam hal ini Mrs. X melakukan pola asuh otoriter, salah satu contohnya adalah ketika Mrs. X tidak memperbolehkan anak membuat keputusan atau pendapatnya sendiri, anak tidak boleh memiliki privacy, dan menuntut disiplin dari anak-anaknya. Pada dasarnya, dalam teori yang dikemukakan oleh Baumrind terdapat empat macam pola asuh, namun tidak ada pola asuh yang ideal yang dapat diterapkan kepada anak. Jika dilihat pada sisi yang positif, pola asuh otoriter bisa diterapkan kepada anak yang memiliki masalah perilaku. Peneliti dalam penelitiannya selama observasi dapat menyimpulkan bahwa Mrs.X memiliki ciri-ciri orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter, terlihat dari adanya peraturan yang semua harus sesuai dengan Mrs.X, lalu hukuman kepada anak-anaknya jika mereka melanggar perintah Mrs.X dan pastinya ada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
115
kontrol yang sangat ketat seperti jadwal bermain, jadwal belajar, jadwal pulang kerumah sampai dengan jadwal tidur dan jadwal bangun tidur. Komunikasi satu arah pun diterapkan dikarenakan Mrs.X selalu mengulang-ulang bahwa beliau adalah orang yang fair dan selalu menepati janji, dimana ketika beliau sudah memenuhi semua kewajibannya terhadap anakanaknya seperti menyekolahkannya, memberi makan, tempat tinggal, gadget mahal, fasilitas antar jemput dan liburan. Hal yang sama pun beliau tuntut adalah hak nya yang menerima hasil kerja atau hasil belajar anak-anaknya tidak boleh nilai dibawah sembilan (9), atau punishment yang diterapkan adalah dicabut semua fasilitas sampai nilai mereka balik kembali ke yang seharusnya yaitu sembilan (9) keatas. Pola asuh Mrs.X terlihat bersifat menghukum, membatasi dan berusaha agar anak-anak mengikuti pengarahan yang diberikan dan menghormati pekerjaan dan usaha-usaha yang telah dilakukan Mrs.X. Penetapan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap anak dan kurang memberikan peluang kepada anakanak untuk berdialog. Mrs.X mempunyai aturan ketat salah satunya dilarang untuk pacaran kecuali sudah bekerja, alasannya karena masih sekolah dan harus fokus di sekolah dan lagi pacaran itu kata beliau haram. Pendidikan dan agama di junjung tinggi karena kewajiban anak-anak adalah belajar dan beribadah. Ciri-ciri pola asuh otoriter ada di diri Mrs.X dilihat dari posisi dia sebagai orang tua sehingga memiliki kuasa dalam menentukan segala sesuatu untuk anak, Mrs.X pun tidak segan-segan memberikan hukuman terhadap anak-anaknya,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
116
contohnya jika nanti nilai final atau nilai raport anak-anak dibawah sembilan (9), maka semua fasilitas yang diberikan akan dicabut dan apa saja yang dilakukan anak harus sesuai dengan keinginan orang tua seperti penerapan jam pulang, kalau pulang sekolah paling lambat sampai rumah jam 6 sore dan kalau weekend jam pulang paling lama jam 9-10 malam. Atau pemilihan sekolah, Mrs.X memang memberikan kebebasan anak-anaknya untuk memilih sekolah mana nanti, tetapi diberikan batasan pilihan yaitu harus pilih sekolah A, B atau C, diluar itu tidak boleh dikarenakan kedua sekolah itu tidak jauh dari rumah dan kedua sekolah itu adalah sekolah unggulan di Jakarta. Pola asuh otoriter cenderung tidak memikirkan apa yang akan terjadi di masa kemudian hari, fokusnya lebih masa kini. Orang tua atau pengasuh primer mengendalikan anak lebih karena kepentingan orang tua atau pengasuhnya untuk memudahkan pengasuhan. Mereka menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan sepihak oleh orang tua atau pengasuh, memutlakkan kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun. Orang tua atau pengasuh merasa tidak pernah berbuat salah. Orang tua mau menerima dan menyayangi anak asal anak tunduk mutlak pada perintah-perintah orang tua, dan menjauhi larangan-larangan tertentu. Anak juga harus sanggup menolak atau mengingkari dorongan, impuls, dan keinginan sendiri. perasaan keinginan dan kemampuan sendiri harus ditekan atau dibuang, karena ada larangan dan tekanan-tekanan orang tua113.
113
Kartini, Kartono. Hygiene Mental. Bandung: Mandor Maju.2000 hlm 185
http://digilib.mercubuana.ac.id/
117
Orang tua sering tidak menyadari bahwa dikemudian hari anak-anaknya dengan pola pengasuhan otoriter mungkin akan menimbulkan masalah yang lebih rumit, meskipun anak-anak dengan pola pengasuhan otoriter ini memiliki kompetensi dan tanggung jawab cukupan, namun kebanyakan cenderung menarik diri secara sosial, kurang spontan dan tampak kurang percaya diri. Kebanyakan anak-anak dari pola pengasuhan otoriter melakukan tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman. Jika orang tua atau pendidik telah mendidik seorang anak dengan keras, maka sebenarnya dia telah menghilangkan kesempatan dalam mendidik dengan sebuah didikan yang benar, bahkan hal tersebut bukan merupakan bimbingan yang benar, tidak mengajak berfikir, dan tidak mengajak mengoreksi kebiasaan salah yang dilakukan sang anak, sehingga hasilnyapun nihil, walaupun sang anak nurut dikarenakan takut, walaupun sang anak mendengar bukan karena kewibawaannya sebagai pendidik yang benar tetapi karena takut, di belakang akan berkelekar dan akan timbul dendam atau ketidak hormatan sang anak terhadap orang tua tersebut. Dan tidak sedikit anak yang mendapatkan kekerasan dari orang tua, ketika berada di luar rumah mereka melampiaskannya dengan bergaul dengan kesesatan karena merasa inilah jalan keluar dan yang terbaik bagi mereka 114. 4.3 Pembahasan Efektivitas Komunikasi Interpersonal pada keluarga Mrs.X dimulai dilihat dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu keterbukaan (openness),
114
A. Fulex, Bisyri. Ketika Orang Tua Tak Lagi Dihormati. Bandung: Mujahid. 2004 hlm 59
http://digilib.mercubuana.ac.id/
118
empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality). Semua dijelaskan oleh Devito, 1997;259-264. 1. Keterbukaan (Openness) Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Mrs.X mengatakan bahwa beliau selalu menjunjung tinggi keterbukaan dan demokrasi tetapi sesuai dengan pengamatan peneliti selama observasi Mrs.X tidak efektif melakukan komunikasi dengan keluarganya baik itu kepada Suami maupun anak-anaknya. Contohnya ketika anak-anak pulang sekolah pertanyaan yang selalu dilontarkan adalah bagaimana sekolahnya dan sudah makan atau belum. Tetapi beliau melakukan komunikasi dengan multi tasking, maksudnya bertanya tetapi sembari melakukan pekerjaan lain tanpa melihat atau memperhatikan gerak-gerik anak-anaknya yang baru pulang sekolah, sehingga terasa hanya pertanyaan rutinitas yang menbutuhkan jawaban ya dan tidak tanpa ada komunikasi yang berlanjut setelah pertanyaan tersebut. Memang hal ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya.memang ini mungkin menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut. Anak-anak Mrs.X
sangatlah pendiam, mereka
biasanya raruh sepatu pada tempatnya lalu masuk kamar untuk tidur atau belajar, turun dari kamar hanya untuk makan saja. Aspek keterbukaan yang kedua
http://digilib.mercubuana.ac.id/
119
mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Peneliti melihat itu dari anak-anaknya dan Mrs.X tidak menstimulus dengan aktif. Setiap orang ingin orang lain bereaksi secara terbuka terhadap apa yang diucapkan. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan. seseorang memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain. Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner dan Kelly, 1974). Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang seseorang lontarkan adalah memang miliknya dan orang tersebut bertanggungjawab atasnya. Peneliti merasa poin keterbukaan tidak ada dalam hubungan di keluarga ini, semua hampir individu padahal hanya orang tua dan dua anak yang masi remaja. 2. Empati (empathy) Henry Backrack (1976) mendefinisikan empati sebagai ”kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
120
mereka untuk masa mendatang. Individu dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi komtak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya. Melanjuti dari point pertama yaitu keterbukaan, untuk Mrs.X sendiri hanya berempati ketika didepan banyak orang, misalkan didepan rumah, di depan sekolah ketika banyak orang tua murid lainnya dan didepan keluarga besar ketika kumpul, selebihnya empati tidak berjalan di rumah tangga Mrs.X, contohnya perlakuan terhada suami, Mrs.X sangat lah acuh dan lebih konsen terhadap pekerjaan nya yang selalu menumpuk. 3. Sikap mendukung (supportiveness) Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat
berlangsung
dalam
suasana
yang
tidak
mendukung.
Seseorang
memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategik, dan (3) profesional, bukan sangat yakin. Pada kehidupan Mrs.X sikap mendukung tidak seperti yang dikemukakan, yang diamati oleh peneliti bahwa sikap menduku hanya ketika awal peneliti tinggal bersama, selebihnya semua berjalan dengan sangat datar (flat) dan anak-anak pun hanya minim sekali dalam berinteraksi kepada peneliti terlebih lagi kepada orang tuanya termasuk Ayahnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
121
4. Sikap positif (positiveness) Setiap individu mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi. Dalam kehidupan Mrs.X memang banyak hal positif dibalik peraturan ketat yang di terapkan didalam rumah, contohnya jadwal bermain ketika sabtu minggu agar konsen dalam belajar selama senin sampai jumat. Tetapi anak-anak Mrs.X yang keduanya laki-laki terlihat tidak berkembang, teman-teman yang dimiliki terbatas, kegiatan hanya les bimbingan belajar dan olah raga. Memang peneliti jarang mengikuti anak-anak Mrs.X dalam kegiatan extra mereka tetapi sikap positif memang sedikit terasa tetapi untuk pengembangan hidup anak-anak Mrs.X seperti lebih memiliki inisiatif, jarang mengungkapkan perasaan terasa sedikit ganjil untuk perkembangan sosial mereka nanti kedepan. 5. Kesetaraan (Equality) Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai, lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis
http://digilib.mercubuana.ac.id/
122
daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam s egala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl Rogers, kesetaraan meminta seseorang untuk memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain. Untuk point terakhir ini Mrs.X memang adil kepada anak-anaknya contohnya seperti hak waris, segala fasilitas, rumah, mobil dan gadget memang sama, terlihat dari anak-anaknya yang memang benar tidak pernah berseteru, dan tercitrakan bahwa beliau adil dan anakanak tidak perlu cemas akan masa depan mereka selama mengikuti semua yang ditetapkan oleh Mrs.X. Pada Mrs. X, pola asuh otoriter diterapkan dengan dramaturgi, walaupun Mrs. X tidak sadar atas apa yang dia terapkan kepada anaknya. Mrs. X tidak pernah memberikan pendapat kepada anaknya, karena ia menganggap kedua anak lelakinya bisa diatur seperti apa yang Mrs. X harapkan kepada mereka. Menurut peneliti, Mrs. X dalam hal ini sebagai orang tua boleh memberikan masukan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
123
kepada anak-anaknya, termasuk konsekuensi dari keputusan yang akan diambil, tapi pengambilan keputusan tetap berada ditangan Mrs.X. Menurut peneliti, konsep dramaturgi yang dilakukan Mrs. X terhadap anaknya yaitu tidak memiliki keterbukaan (openness) terhadap anak-anaknya, seperti yang dikemukakan Devito, keterbukaan komunikasi terhadap anak dapat efektif yang mampu memberikan dampak positif terhadap anak. Pada dasarnya, semua orang tua selalu ingin memberikan anaknya yang terbaik, hal ini yang mendorong Mrs. X untuk melakukan yang terbaik untuk kedua anaknya berdasarkan pendapat, pemahaman dan pengetahuannya. Sayangnya, hal yang dianggap terbaik oleh Mrs. X belum tentu menjadi yang terbaik bagi anakanaknya karena hal ni dipengaruhi oleh banyak faktor. Perbedaan ini yang menurut peneliti seringkali membuat Mrs. X menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan karena kurang memahami apa yang menjadi penyebab perbedaan serta kurang mengetahui apa yang diharapkan oleh anak. Sehingga, Mrs. X secara tidak sadar melakukan pola-pola dramaturgi dalam penerapan pola asuh kepada anaknya. Sehingga apa yang dianggap baik oleh Mrs. X menjadi cara atau jalan keluar yang tidak sesuai dengan kebutuhan kedua anaknya. Secara tidak sadar Mrs. X melakukan pola asuh otoriter kepada anaknya. Sedangkan kedua anak Mrs. X memang sangat pintar secara akademis dan menurut kepada kedua orang tuanya. Akan tetapi, peneliti menemukan bahwa anak-anak mereka tidak memiliki kebebasan berpendapat, memiliki kecenderungan sangat bergantung terhadap pendapat orang tua khususnya Mrs. X.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
124
Mrs. X seperti berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain, dalam hal ini kedua anaknya. Hal ini sangat terlihat bahwa pola dramaturgi, terdapat perbedaan Mrs. X antara harapan orang terhadap apa yang mesti kita harapkan. Seperti teori Goffman, pendekatan dramaturgi pada kasus Mrs. X bukan apa yang ia lakukan, akan tetapi bagaimana Mrs. X melakukannya. Mrs. X seperti menjalankan kehidupan dalam sebuah teater, interaksi sosial yang mirip pertunjukan drama yang menampilkan sebuah peran. Untuk memainkan peran tersebut, Mrs. Melakukan bahasa verbal dan perilaku non verbal kepada kedua anaknya. Sehingga apa yang ditunjukan oleh Mrs. X di wilayah depan (front stage), dimana disini Mrs. X menampilkan perannya dan wilayah belakang (back stage) yang merujuk tempat dan peristiwa ysng memungkinkan mempersiapkan perannya di wilayah depan (front stage). Peneliti telah menganalisis berbagai interaksi-interaksi yang terjadi antara Mrs. X dan anak-anaknya dengan model dramaturgical. Dan dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter yang diterapkan oleh Mrs. X, banyak sekali peneliti temukan pola-pola dramaturgi didalamnya. Teori Dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Dramaturgi adalah bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
125
Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan
perilaku-perilaku
yang
mendukung
perannya
tersebut.
Selayaknya pertunjukan drama, seorang actor drama kehidupan juga harus mempersiapkan
kelengkapan
pertunjukan.
Kelengkapan
ini
antara
lain
memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management” atau pengelolaan kesan. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung “front stage” dan di belakang panggung “back stage” drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Dalam
berkomunikasi
seseorang
harus
mampu
menyampaikan
informasinya dengan baik agar tidak terjadinya misscommunication. Hal ini dapat terjadi dimana pun ketika informasi yang disampaikan seseorang tidak mendapatkan tanggapan yang sesuai, termasuk juga dalam keluarga. Dalam hal ini, lingkungan keluarga berperan penting karena dalam lingkungan keluarga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
126
seorang anak untuk pertama kalinya diajarkan berkomunikasi. Tata cara berkomunikasi dalam keluarga mencerminkan bagaimana pola asuh orangtua. Pola asuh orangtua bersifat otoriter, memiliki komunikasi yang rendah dan gagal untuk berinisiatif. komunikasi antar anggota keluarga pun tidak dapat berjalan secara efektif. 4.3.1
Latar belakang Suami Mrs. X Untuk mendukung dan menguatkan pembahasan peneliti maka peneliti
mencoba memaparkan latar belakang awal bertemunya Mrs. X dengan suaminya. Menurut penuturan sang suami kepada peneliti yang saat itu berlokasi dirumah mereka di daerah elite Jakarta selatan. Kisah ini bermula saat sang suami ditinggalkan oleh ayahnya yang tercinta untuk selama-lamanya. Saat itu sang suami baru saja lulus SMA. Dengan tidak adanya ayah tercinta yang selama ini sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga, sang suami memutuskan menerima tawaran dari paman untuk merantau ke Australia untuk belajar sambil bekerja disana. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa adik-adik sang suami masih sekolah dan butuh biaya untuk menunjang keberlangsungan pendidikan mereka. Sesampainya di Australia hidup ternyata tidak semudah yang dibayangkan sewaktu di Indonesia. Sang suami ternyata harus tetap membayar tempat tinggal kepada sang paman sebagai biaya sewa kamar. Untuk memenuhi segala kebutuhan sang suami harus melakukan beberapa pekerjaan sekaligus, meskipun pekerjaan itu terasa sangat kasar dan rendahan. Karir dimulai sebagai seorang kitchen hand yaitu tukang cuci piring di restaurant. Dengan bayaran under table
http://digilib.mercubuana.ac.id/
127
untuk menghindari pajak dan tidak melampaui batas jam kerja student karena menurut sang suami di Australia, student kalau mau bekerja ada batasan jam per minggu. Selain itu dia menjadi cleaning service diperumahan. Waktu berlalu dan insting bisnis sang suamipun menyala, sang suami melihat peluang usaha dibidang cleaning service. Dengan mengandalkan uang yang berhasil ditabung setelah bekerja keras sekian lama di Australia, dia memutuskan untuk membuka usaha cleaning service dengan spesialisasi kamar mandi. Di sela waktunya sang suami sering meluangkan waktu untuk berjalan ditepi pantai, saat itulah sang suami bertemu dengan Mrs.X yang saat itu sedang berlibur di Australia. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, sang suami mencoba untuk menyapa Mrs.X. tak disangka ternyata gayungpun bersambut, Mrs. X merespon sapaan sang suami dan mengatakan beliau sedang liburan disana. Akhir dari petang itu mereka pun bertukar nomor telpon, karena pada saat itu belum ada social media atau aplikasi untuk berkomunikasi lainnya seperti zaman sekarang dan kejadian itu tepatnya itu 19 tahun lalu dari sekarang. Setelah beberapa kali berkomunikasi jarak jauh yang dimana sering disebut LDR atau long distance relationship, sampai akhirnya mereka menikah. Dimana saat itu terdapat perbedaan renggang usia 5 tahun yaitu sang suami 28 tahun dan Mrs.X 33 tahun. Setelah menikah mereka masih berhubungan jarak jauh dimana Mrs.X tetap tinggal di Indonesia dan sang suami juga tetap di Australia. Kadang sang suami mengunjungi keluarga setahun sekali. Layaknya
seperti
kebanyakan
keluarga
yang
lain
mereka
pun
mengharapkan adanya si buah hati. Malangnya tidak seperti yang mereka
http://digilib.mercubuana.ac.id/
128
harapkan, sang buah hati pun tak kunjung tiba, Mrs. X tak kunjung hamil sehingga mereka memutuskan untuk melakukan inseminasi, yaitu salah satu teknik untuk membantu proses reproduksi dengan cara menyemprotkan sperma yang telah dipreparasi (diproses) ke dalam rahim menggunakan kateter dengan tujuan membantu sperma menuju telur yang telah matang (ovulasi) sehingga terjadi pembuahan. Seperti yang dijelaskan mereka kepada peneliti, dokter menjelaskan bahwa proses inseminasi ini berpotensi berhasil hanya 30% untuk wanita diatas 30 tahun. Dipilih sperma yang terbaik dan dalam kondisi Mrs. X yang terbaik sehingga dokterpun mengatakan bahwa nanti kalau berhasil anaknya akan pintar. Berkat kuasa Allah SWT pasangan ini pun memiliki anak pas 6 bulan kemudian karena proses pembuahan memang membutuhkan waktu. Setelah waktu berlalu buah cinta mereka pun bersemi, anak pertama lahir sempurna setelah 9 bulan dalam kandungan. Dan tidak membutuhkan waktu yang lama, setahun kemudianpun anak kedua mereka lahir. Anak pertama dan kedua sangat dekat jarak lahirnya. LDR yang mereka jalankan setelah nikah berlangsung cukup lama yaitu selama 16 tahun. Sang suami hanya setahun sekali balik kejakarta karena mengurusi bisnis di Australia. Sehingga kedekatan sang suami dengan anak pun tidak lah seperti kedekatan ayah dan anak. Anak-anak dekat dengan Mrs.X karena memang hanya Mrs.X yang selalu didekat anak-anak. Bahkan ada ketika sang suami sering berujar beliau seperti tidak memiliki anak. Respect dari anak-anak pun hanya seadanya dan bahkan sang suami merasa seperti orang asing dan merasa sendiri.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
129
Seiring berjalannya waktu, karir Mrs. X pun semakin meningkat dan tidak berbanding lurus dengan suaminya yang stagnan. Pekerjaan Mrs.X sebagai notaris memang cemerlang. Beda dengan suaminya yang akhirnya memutuskan untuk hijrah kembali ke tanah air meninggalkan usaha nya di Australia dan memulai karir di Jakarta dari nol sebagai pegawai swasta dengan gaji bulanan karena hanya lulusan SMA. Konflik pun terjadi, tetapi di telan sendiri oleh sang suami karena dia berpikir bahwa ini hanya ujian dari Allah SWT dan dia akan berusaha melewati ini semua dengan sabar dan bijak. Karir suami belum secemerlang sang istri, sehingga ada benturan-benturan kecil yang tidak sepantasnya seorang pemimpin keluarga tidak dapat memegang tampuk kepemimpinan dalam rumah tangga hanya karena masalah penghasilan. Ketika dalam satu perahu ada dua nakhoda, pastilah kapal akan cepat karam, satu-satunya yang dilakukan sang suami hanya menurut dan bersabar. 4.3.2
Dramaturgi Proses Penciptaan panggung belakang Mrs.X dalam hal ini, subjek
penelitian memiliki mekanisme tersendiri dimana dengan peran tersebut, Mrs.X bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu. Dalam hal ini, Panggung Belakang yang diperankan oleh Mrs.X adalah ketika seringkali Mrs.X mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah marah kepada anaknya. Akan tetapi, semua hal yang diinginkan oleh Mrs.X sudah dikondisikan dari anaknya sejak kecil. Di satu sisi, jika anaknya memiliki kesalahan. Mrs.X cenderung menuntut dan akan teriak marah-marah kepada anak-anaknya. Hal ini sangat kontradiktif dari apa yang disampaikan oleh Mrs.X kepada peneliti. Oleh karena itu, pernyataan Mrs.X
http://digilib.mercubuana.ac.id/
130
kepada peneliti hanyalah sebuah setting dan persona yang mencoba ditunjukan oleh Mrs.X. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan Mrs.X dapat dilihat pada interaksinya kepada anaknya yang justru membentuk proteksi diri sendiri dari pikiran nya sendiri terhadap apa yang dia pikirkan kepada anakanaknya. Di dalam membahas sebuah pertunjukan, dalam hal ini Panggung Depan Mrs.X, Goffman mengungkapkan bahwa individu dapat menyajikan suatu pertunjukan (show) bagi orang lain, tetapi kesan (impression) si pelaku terhadap Front Stage. Mrs. X mencitrakan dirinya sebagai seseorang yang berhasil dan sukses, dan mengasuh anak-anaknya dengan peran yang demokratis, pada wilayah ini Mrs.X menciptakan image yang skenarionya sudah diatur sedemikian rupa dan sangat berbeda dari back stage. Peneliti sangat yakin tindakan yang dilakukan oleh Mrs.X adalah pembenaran dari apa yang diperlihatkannya, dan cenderung sinis terhadap apa yang disembunyikan dari Back Stage nya. Ada perbedaan besar saat Mrs.X berada pada Panggung depan dan Panggung Belakang. Saat itu Mrs.X berusaha memainkan peran sebaik-baiknya agar menunjukan kepada peneliti dan lingkungan memahami tujuan dari perilaku Mrs.X. Perilaku Mrs.X dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil maka dari itu identifikasi Back stage ini tergantung pada lingkungan yang bersangkutan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
131
4.3.2.1 Front Stage & Back Stage Mrs. X Setelah pengamatan yang dijalani oleh peneliti, dramaturgi Mrs.X selalu berbeda, tergantung pada siapa yang beliau hadapi. Peran Mrs.X peneliti berbeda dengan peran Mrs.X
dihadapan
dihadapan anak-anaknya, suaminya,
kliennya atau siapapun yang hadir dalam panggung Mrs.X. Semua tergantung dengan kebutuhan Mrs.X untuk memberikan impresi kepada setiap penonton atau pemeran lainnya. Back stagenya satu tetapi front stage nya banyak. Entah itu back stage nya pola asuh otoriter atau pun based on fear atau insecurerity atau ketakutan-ketakutan dalam diri yang diproyeksikan dengan tindakan. Dan front stagenya bisa orang tua yang demokratis, bisa ibu muslimah yang taat agama, bisa suami yang sangat pengertian akan kondisi ekonomi suami, atau sebagai pejabat umum yang professional dalam karirnya. Apapun itu semua orang memiliki banyak topeng. Topeng akan berubah seiring dengan settingan atau lingkungan yang mempengaruhi. Back stage Mrs.X pada anak-anaknya adalah otoriter, dan Front stage Mrs.X adalah pola asuh demokratis. Karena back stage adalah motif dibalik ini semua sedangkan front stage adalah pencitraan Mrs.X yang ingin ditampilkan. Diibaratkan ketika kita ingin membuat film, konten akan selalu mengikuti konteks. Dimana konteks itu adalah kerangkanya dan konten adalah isinya. Ketika kita mau membuat film horror sebagai konteks, walaupun kontennya para aktor dan artis komedi, tetap saja settingannya harus film horror, dan film pun akan tetap horror bukan komedi, karena konten akan selalu mengikuti konteks.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
132
Perilaku manusia sangat bergantung pada waktu, tempat dan khalayaknya. Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Layaknya
drama,
aktor
dramaturgy
memperhitungkan
setting,
kostum,
penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain. Dalam dramaturgi yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Wilayah Depan Front Stage Tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan seseorang menampilkan peran formal atau berperan layaknya seorang aktor dalam sebuah drama. Wilayah ini juga disebut front stage (panggung depan) yang ditonton oleh khalayak. Panggung depan mencakup, setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri), kemudian terbagi lagi menjadi appearance (penampilan) dan manner (gaya). Wilayah Belakang Back Stage Tempat untuk individu mempersiapkan perannya di wilayah depan, biasa juga disebut back stage (panggung belakang) atau kamar rias untuk mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Bersifat informal. Di tempat ini dilakukan semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan akting atau penampilan diri yang ada pada panggung depan. Observasi pada keluarga dengan pola asuh otoriter berawal pada kesalahan dalam menerapkan harapan, kesalahan dalam interaksi simbolik, kesalahan dalam interaksi fisik, kesalahan dalam interaksi psikis, pendidikan orang tua, latar belakang atau bawaan orang tuanya, budaya, kepribadian orang tua, konsep
http://digilib.mercubuana.ac.id/
133
mengenai peran orang tua dewasa dan situasi anak. Orang tua yang memberikan pola asuh yang baik untuk anak agar tidak menghambat perkembangan anak kearah yang lebih baik demi lahirnya generasi penerus bangsa yang cerdas dan berkarakter. Pola asuh yang dikaji melalui Dramaturgi menurut Goffman adalah interaksi sosial mewujud dalam bentuk latar depan (front stage) dan latar belakang (back stage) yang dimana teori ini erat hubungannya dengan teori causal and effect, atau hubungan sebab dan akibat. Front stage adalah bagaimana kita mempresentasikan buah pemikiran kita di alam back stage. Berkaitan dengan itu, back stage adalah tempat rehearsal sebelum kita memainkan peran di front stage. Menurut Hale dalam The Sedona Method115 menjelaskan hubungan front stage-back stage tercipta dikarenakan ego yang melekat pada setiap manusia sejak lahir berdasarkan wanting approval, wanting to control, wanting security, wanting to be separate but in the same time we want to be one. Dasar dari semua ego tersebut adalah we want to survive as a body dan sesuai dengan naluri dasar manusia adalah bertahan hidup dan meneruskan keturunan. Oleh karena itu, agar dapat bertahan, manusia secara naluri menjalani proses self enquiry atau proses penyelidikan dan pertanyaan kepada diri sendiri bagaimana caranya untuk “survive” lalu memanipulasi dunia luar dirinya
115
Hale, Dwoskin. The Sedona Method. Jakarta. Ufuk Press. 2005 hal 155-185
http://digilib.mercubuana.ac.id/
134
berdasarkan ketakutan-ketakutan tersebut. Seperti kita tahu, umur seseorang tidak berbanding lurus dengan kedewasaan seseorang, tetapi mayoritas manusia enggan menghadapi kenyataan bahwa, agar menjadi dewasa dibutuhkan keberanian untuk bertanggung jawab atas perkembangan kepribadian dirinya sendiri, bukannya berharap dengan berjalannya waktu, dirinya akan tambah bijaksana dengan sendirinya. Proses bertanggung jawab atas perkembangan kepribadian diri sendiri ini akan menentukan arah pola pikir di alam back stage yang akan mewujud nantinya di dunia front stage. Why we do what we do? Menurut peneliti, pola otoriter terhadap anak sebagian besar disebabkan oleh ketakutan orang tua itu sendiri akan masa depan atau keengganan bertanggung jawab terhadap perkembangan kedewasaan diri mereka sendiri yang akhirnya diproyeksikan terhadap anak. Sesuai dengan pendapat Goffman dimana front stage tercipta dari kebutuhan untuk memanipulasi. Dari sudut pandang anak, akan umum sekali menanyakan diri mereka sendiri tentang "what's wrong with me?", "what's wrong with the world?", "what can i do about it?" and yes, Something's wrong!!. Perlu diingat, suatu kerangka berpikir anak tidak diciptakan oleh satu kejadian saja, tetapi dari beberapa kali interaksi kejadian yang serupa. Scenario self enquiry dalam backstage anak yang tertekan, contohnya bisa saja seperti berikut:
a) Mistakes and failure are bad b) I'm not good enough. c) Change is difficult.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
135
d) I'm not important. e) What makes me good enough or important is having people think well of me. f) Nothing I do is good enough. g) I'm not capable. h) I'm not competent. i) I'm inadequate. j) If I make a mistake or fail I'll be rejected. k) I'm a failure. l) I'm stupid. m) I'm not worthy. n) I'll never get what I want. o) I'm powerless. p) People aren't interested in what I have to say. q) What I have to say isn't important. r) It's dangerous to have people put their attention on me (something bad will happen). s) What makes me good enough or important is doing things perfectly.
Jika kata-kata diatas adalah pikiran yang diucapkan berulang-ulang dalam back stage sang anak, maka “performance seperti apa yang akan anak sajikan di front stage sang anak?”. Peneliti berpendapat bahwa hal ini mempengaruhi masa depan pertumbuhan sang anak.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
136
Perlu dipahami pula, pada kenyataannya akan ada konflik yang konstan antara apa yang orang tua inginkan dan apa yang anak ingin lakukan. Orang tua ingin anak melakukan yang orang tua katakan, dimana sang anak ingin melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Dibandingkan dengan mematikan kreativitas berpikir anak, akan lebih bijak jika anak diberi pemahaman akan konsekuensi perilaku dan harus belajar bertanggung jawab. Proses pemahaman konsekuensi, memacu kreativitas berpikir dan pendewasaan sang anak. Memang proses ini terlihat membutuhkan kesabaran lebih dari orang tua, dibandingkan pola asuh otoriter dimana hasilnya "terlihat" lebih instant. Tetapi bukankah “kita tidak pernah lelah untuk mencintai orang yang kita cintai? apakah anda mencintai anak anda?” Oleh karena itu, sangat krusial agar calon orang tua menyelesaikan pendewasaan dirinya terlebih dahulu sebelum memutuskan berumah tangga. Mempelajari dahulu apa itu cinta, bukannya ketakutan yang diberi label baru dan mengatasnamakan cinta. Sehingga front stage adalah tempat kita menampilkan performance yang penuh passion dan kecintaan kita agar dunia ini menjadi panggung yang menyenangkan. Performance front stage kita didasarkan keinginan kita membagi kebahagiaan, bukannya proyeksi ketakutan-ketakutan. Keinginan menampilkan pertunjukan yang memberi arti, sehingga audience pulang kerumah dengan lebih baik. Dunia yang bahagia dan membahagiakan. Akhir kata, peneliti setuju dengan (Morty Lefkoe, Re-create Your Life, page 135): "The essential function of parents, initially, is to assist their children to create positive conclusions about themselves and life and then, when children reach their
http://digilib.mercubuana.ac.id/
137
teen years, to help them discover that they are the creators of their lives." (Fungsi penting dari orang tua, awalnya, adalah untuk membantu anak-anak mereka untuk membuat kesimpulan yang positif tentang diri mereka sendiri dan kehidupan dan kemudian, ketika anak-anak mencapai usia remaja mereka, untuk membantu mereka menemukan bahwa mereka adalah pencipta kehidupan mereka) Berdasarkan pemikiran ini, diharapkan dapat meminimalisir penerapan pola asuh otoriter demi membangun komunikasi interpersonal yang efektif dalam keluarga, dan mengembangkan situasi lingkungan kondusif dan keluarga yang sehat. Dalam penelitian ini, peneliti masih merasa banyak kekurangannya, karena keterbatasan waktu dan keterbatasan sumber. Dibutuhkan banyak keluarga yang diteliti dan waktu yang cukup untuk mengkaji lebih dalam pola asuh otoriter orang tua kepada anak dengan melihat sisi dramaturgi. Penelitian ini harus dibuktikan lebih dalam, sehingga peneliti berpendapat bahwa penelitian ini harus dibuktikan pada studi lanjut khususnya studi Strata dua.
http://digilib.mercubuana.ac.id/