iii
iv
v
ABSTRAK
Nama
: Verona Shaqila Efmaralda
NIM
: 1112102000035
Program Studi
: Farmasi
Judul Skripsi
: Pengaruh Drug Related Problem Terhadap Outcomes Klinik Pasien Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan secara terus-menerus sehingga berdampak terjadinya interaksi obat. Interaksi obat merupakan salah satu dari drug related problem yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi potensi interaksi obat pada pasien DM tipe 2, proporsi pasien yang mencapai outcome klinik, dan hubungan interaksi obat terhadap outcome klinik berupa tercapainya target pengendalian glukosa darah. Penelitian ini dilakukan dengan metode analitik dengan rancangan cross-sectional. Subjek penelitian adalah pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat inap di RS X di Tangerang Selatan pada bulan Juli 2014-Juni 2015. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif melalui data rekam medis dari 90 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis data hubungan kerasionalan terapi dan outcome klinik menggunakan Chi-square. Hasil penelitian ditemukan 52 pasien yang mengalami kejadian potensi interaksi obat dengan frekuensi potensi interaksi 57.78%. Interaksi paling banyak adalah interaksi metformin dan ranitidin sebanyak 17 kasus (22.67%). Pasien yang mencapai outcome klinik yaitu tercapainya target glukosa darah puasa dan atau glukosa darah sewaktu ada 52.22%. Hasil analisis yang dilakukan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara interkasi obat terhadap outcome klinik pasien yang berupa tercapainya target pengendalian glukosa darah (p=0.000). Kata kunci : DM tipe 2, interaksi obat, outcome klinik
vi
ABSTRACT
Name
: Verona Shaqila Efmaralda
NIM
: 1112102000035
Major Study
: Farmasi
Title
: Effect of Drug Related Problem Against Clinical Outcome in Patients with Diabetes Mellitus in the X Hospital South Tangerang period July 2014 - June 2015
Diabetes mellitus (DM) is a chronic disease that requires continuous treatment and it can affect the occurrence of drug interactions. Drug interaction is a one of drug related problem which identified as an occurence or state of drug therapy which able to affect patients clinic outcomes. The purpose of this study was to determine the frequency of potential drug interactions in patients with diabetes mellitus type 2, the proportion of patients who achieved clinical outcome, and relationship drug interaction against clinical outcomes such as achievement of blood glucose control targets. This research was conducted with the analytical method with cross-sectional design. Subjects were patients with type 2 diabetes are outpatients in the X Hospital South Tangerang in July 2014 to June 2015. Data were collected retrospectively through medical records of 90 patients who met the inclusion criteria. Data analysis therapeutic relationship rationality and clinical outcomes using Chi-square. The results showed that 52 medical records experienced the incidence of potential drug interactions with frequencies of potential interaction is 57.78%. The most interaction is the interaction of metformin and ranitidin were 17 cases (22.67%). Patients who achieve clinical outcomes namely the achievement of a target fasting blood glucose or blood glucose when there is 52.22% of patients. Results of the analysis carried out suggests that there is a relationship between drug interaction to the clinical outcome of patients who achieved the target in the form of blood glucose control (p=0.000) Keywords: type 2 diabetes, drug interaciton, clinical outcomes.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada saya. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat. Syukur atas limpahan cinta dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Drug Related Problem Terhadap Outcomes Klinik Pasien Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015”. Skripsi ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari dalam penlitian dan penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud dan berjalan lancar tanpa bantuan, dukungan, bimbingan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Yardi., Ph.D, Apt dan ibu Dr. Delina Hasan, M.Kes Apt selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, dalam penlitian ini juga untuk kesabaran dalam membimbing, memberikan saran, dukungan serta kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Dr. H. Arif Sumantri S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Nurmeilis M.Si, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Segenap Bapak/Ibu dosen program studi Farmasi yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis. 5. Kepala Instalasi Farmasi RS X di Tangerang Selatan, dan seluruh civitas Farmasi RS X di Tangerang Selatan yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian. 6. Kedua orang tua tercinta, mami Thelma Aries dan papi Haryo Abrianto yang tidak pernah lelah untuk memberikan doa, dukungan moril maupun materil,
viii
cinta, kasih sayang, semangat dan motivasi kepada penulis dari kecil hingga saati ini. 7. Adik tersayang Zerelda Azzahra, dan kakak terkasih Edo Alfiando, serta seluruh keluarga besar atas semangat, dukungan dan doa kepada penulis. 8. Teman seperjuangan penelitian, Nabilah Urwatul, Anissa Florensia, dan Rouli Meparia atas masukan, bantuan, kesabaran, dan semangat selama masa penelitian hingga penyusunan skripsi. Sahabat-sahabat tersayang Nita Fitriani, Ade Rachma, dan Nurul Fitri, atas kebersamaan, persaudaraan, persahabatan, doa, semangat, dukungan, serta selalu menemani dan mendengarkan penulis. 9. Teman-teman Farmasi 2012 khususnya Farmasi BD 12 atas kebersamaan, serta berbagi suka dan duka selama perkuliahan 10. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian dan penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis berharap kritik dan saran atas kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dunia kefarmasian.
Jakarta, Juni 2016
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Verona Shaqila Efmaralda
NIM
: 1112102000035
Program Studi : S-1 Farmasi Fakultas
: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya
: Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui/karya ilmiah saya, dengan judul: PENGARUH DRUG RELATED PROBLEM TERHADAP OUTCOMES KLINIK PASIEN DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT INAP RS X DI TANGERANG SELATAN PERIODE JULI 2014 – JUNI 2015 Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal
: 25 Juni 2016
Yang menyatakan,
(Verona Shaqila Efmaralda)
x
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS................................................ iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iv LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ..................................................................v ABSTRAK ............................................................................................................ vi ABSTRACT ......................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................................................x DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xiv DAFTAR TABEL............................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii BAB 1. PENDAHULUAN .....................................................................................1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................3 1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................4 1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................4 1.5 Ruang Lingkup Penelitian .....................................................................5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................6 2.1 Diabetes Mellitus (DM) ........................................................................6 2.1.1 Definisi DM.................................................................................6 2.1.2 Etiologi ........................................................................................6 2.1.3 Epidemiologi ...............................................................................7 2.1.4 Faktor Resiko ..............................................................................8 2.1.5 Klasifikasi....................................................................................9 2.1.6 Patofisiologi ..............................................................................10 2.1.7 Gejala Klinis ..............................................................................11 2.1.8 Diagnosis ...................................................................................13
xi
2.1.9 Komplikasi ................................................................................13 2.1.10 Kriteria Pengendalian DM .......................................................16 2.1.11 Penatalaksanaan .......................................................................18 2.2 Drug Related Problem ........................................................................28 2.3 Drug Related Problem Terkait Interaksi Obat ....................................30 2.3.1 Definisi Interaksi Obat ..............................................................30 2.3.2 Mekanisme Interaksi Obat ........................................................30 2.4 Outcomes Klinik .................................................................................34 2.5 Peran Apoteker di Rumah Sakit ..........................................................37 2.6 Rekam Medik ......................................................................................43 BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ...............44 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................44 3.2 Definisi Operasional ............................................................................45 BAB 4. METODE PENELITIAN .......................................................................47 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................47 4.2 Desain Penelitian .................................................................................47 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ..........................................................47 4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel ..................................................48 4.5 Prosedur Penelitian ..............................................................................48 BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................51 5.1 Hasil ....................................................................................................51 5.1.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian .....................................51 5.1.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetes .......................................52 5.1.3 Karakteristik Kejadian Interaksi Obat pada Pasien ...................53 5.1.4 Gambaran Interaksi Obat pada Pasien ......................................54 5.1.5 Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes ............59 5.1.6 Hubungan Subjek Penelitian dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes ......................................................................59 5.1.7 Pengaruh Kejadian Interaksi Obat terhadap Outcomes pada Pasien DM Tipe 2..............................................................60 5.2 Pembahasan .......................................................................................62 5.2.1 Karakteristik Pasien...................................................................62 5.2.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetes .......................................64 xii
5.2.3 Karakteristik Potensi Interaksi Obat pada Pasien DM ..............70 5.2.4 Gambaran Interaksi Obat pada Pasien berdasarkan Mekanisme dan Tingkat Keparahan .........................................71 5.2.5 Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes ......................71 5.2.6 Tingkat Keparahan Interaksi Obat Antidiabetes .......................73 5.2.7 Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes ............74 5.2.8 Hubungan Subjek Penelitian dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes .....................................................................75 5.2.9 Pengaruh Kejadian Interaksi Obat terhadap Outcomes .............76 5.2.10 Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan DM ...........................76 5.3 Keterbatasan Penelitian ....................................................................82 5.3.1 Kendala......................................................................................82 5.3.2 Kekuatan....................................................................................82 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................83 6.1 Kesimpulan..........................................................................................83 6.2 Saran ....................................................................................................84 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................85 LAMPIRAN ..........................................................................................................94
xiii
DAFTAR ISTILAH
AACE
: American Association of Clinical Endocrinologists
ACE
: Angiotensin converting enzyme inhibitor
ADA
: American Diabetes Associaton
AGE
: AdvancegGlycosilation end products
AKI
: Acutek kidney injury
ARB
: Angiotensin receptor blockers
AT
: Angiotensin
CAD
: Coronary arteri disease
CHF
: Chronic heart failure
CKD
: Chronic kidney disease
DAK
: Diabetic ketoacidosis
DHF
: Dengue haemorrhagic fever
DM
: Diabetes mellitus
DPP IV
: Dipeptidyl peptydase IV
DRP
: Drug related problem
EPO
: Evaluasi penggunaan obat
FPG
: Fasting plasma glukose
GDP
: Glukosa darah puasa
GDS
: Glukosa darah sewaktu
GIP
: Gastric inhibitory polypeptide
GLP-1
: Glucagon-like peptide-1
HbA1c
: Hemoglobin A1c
HDL
: High density lipoprotein
IDDM
: Insulin dependent diabetes mellitus
IDF
: Internatonal Diabetes Federation
IFG
: Impaired fasting glucose
ISDN
: Isosorbit dinitrat
ISK
: Infeksi saluran kemih
KGD
: Kadar glukosa darah
KHNK
: Hiperosmoler non ketotik xiv
LDL
: Low density lipoprotein
MESO
: Monitoring efek samping obat
NIDDM
: Non insulin dependent diabetes mellitus
NSAID
: Non steroid anti inflammatory drugs
PDGM
: Pemantauan glukosa darah mandiri
PGE
: Prostaglandin
PIO
: Pelayanan informasi obat
PKOD
: Pemantauan kadar obat dalam darah
PPAR
: Peroxisome proliferator activated reseptor
PTO
: Pemantauan terapi obat
PVD
: Peripheral vascular disease
ROTD
: Reaksi obat yang tidak dikehendaki
SPSS
: Statistical Package for the Social Sciences
TB Paru
: Tubercolosis paru
WHO
: World Health Organization
xv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Kriteria Penegakan Diagnosis DM .......................................................18 Tabel 2.2 Target Pengendalian DM......................................................................18 Tabel 2.3 Target Penatalaksanaan DM.................................................................26 Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ...........................................................51 Tabel 5.2 Data Distribusi Penyakit Penyerta Pasien DM Tipe 2 .........................52 Tabel 5.3 Persentase Penggunaan Obat Antidiabetes...........................................53 Tabel 5.4 Karakteristik Kejadian Interaksi Obat pada Pasien DM Tipe 2 ...........53 Tabel 5.5 Interaksi Obat-Obat yang Berpotensi Hipoglikemia pada Pasien DM Tipe 2 .................................................................................54 Tabel 5.6 Interaksi Obat-Obat yang Berpotensi Hiperglikemia pada Pasien DM Tipe 2 .................................................................................57 Tabel 5.7 Obat Antidiabetes yang Memiliki Potensi Interaksi.............................58 Tabel 5.8 Persentase Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes ................58 Tabel 5.9 Persentase Tingkat Keparahan Potensi Interaksi..................................59 Tabel 5.10 Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Klinik ...........59 Tabel 5.11 Analisis Hubungan Usia dengan Interaksi Obat..................................60 Tabel 5.12 Analisis Hubungan Jumlah Penyakit Penyerta dengan Interaksi Obat ......................................................................................60 Tabel 5.13 Analisis Hubungan Jumlah Obat dengan Interaksi Obat.....................61 Tabel 5.14 Analisis Hubungan Interaksi Obat dengan Outcomes Klinik Pasien DM Tipe 2 ................................................................................61
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM ......................................................26 Gambar 2.2 Terapi Antihiperglikemik pada Pasien DM Tipe 2..........................27
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Surat Permohonan Izin Penelitian dari Prodi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .....................................................91 Lampiran 2 Jawaban Surat Permohonan Izin Penelitian dari RS X di Tangerang Selatan ............................................................................92 Lampiran 3 Data Sampel .....................................................................................93 Lampiran 4 Data Interaksi Obat dan Manajemen .............................................123 Lampiran 5 Analisis Hubungan Usia dengan Interaksi Obat ............................131 Lampiran 6 Analisis Hubungan Jumlah Penyakit Penyerta dengan Interaksi Obat ................................................................................132 Lampiran 7 Analisisi Hubungan Jumlah Obat dengan Interaksi Obat ..............133 Lampiran 8 Analisis Hubungan Interaksi Obat dengan Outcomes ...................134
xviii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan kronik pada metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut (Novitasari, et al., 2011). Jumlah penderita DM terus meningkat dan merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21 (Novitasari, et al., 2011). Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federation (IDF) tingkat prevalensi global penderita DM pada tahun 2012 sebesar 8,4 % dari populasi penduduk dunia, dan mengalami peningkatan menjadi 382 kasus pada tahun 2013. Penyakit DM juga merupakan salah satu penyakit yang menarik perhatian di Indonesia karena penderitanya terus bertambah banyak. Global status report on NCD World Health Organization (WHO) tahun 2010 melaporkan bahwa DM menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab kematian. Sekitar 1,3 juta orang meninggal akibat DM dan 4 persen meninggal sebelum usia 70 tahun. Menurut hasil RISKESDAS 2013 yang dipublikasikan dari Departemen Kesehatan terjadi peningkatan penderita DM dari 1,1% (2007) menjadi 2,4% (2013) (Riskesdas, 2013). Peningkatan insidensi
DM menyebabkan peningkatan insiden
komplikasi dan penyakit penyerta (Waspadji, 2010). Di Indonesia menurut IDF terdapat 1785 penderita DM yang mengalami komplikasi neuropati (63,5%), retinopati (42%), nefropati (7,3%), makrovaskuler (16%), mikrovaskuler (6%), luka kaki diabetik (15%) (Purwanti, 2013). Berdasarkan survey Medical Expenditure Panel, kebanyakan pasien DM dewasa mempunyai setidaknya satu penyakit penyerta (komorbid) kronis dan 40%-nya memiliki setidaknya 3 penyakit kronis (Piette & Kerr, 2006). Dari hasil studi yang dilakukan pada 22.694 pasien DM, didapatkan hasil bahwa pasien DM memiliki rata-rata 6 kondisi medis yang berlainan,
1
2
dengan 49% pasien dari sampel memiliki ≥ 5 komorbid, dan 19% pasien memiliki ≥ 10 komorbid (Cipolle et al., 2013). Komplikasi DM
jangka lama termasuk penyakit kardiovaskuler
(risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan ganggren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius dan meningkatknya penyakit lain dapat terjadi bila kontrol kadar gula darah buruk (Purnamasari, 2009). Dengan banyaknya penyakit komplikasi dan komorbid terhadap DM, hal ini dapat menimbulkan Drug Related Problem (DRP). Drug Related Problem (DRP) adalah setiap peristiwa atau keadaan yang melibatkan terapi obat yang menghalangi atau berpotensi menghalangi pasien mencapai hasil yang optimal dari perawatan medis. Salah satu bentuk dari DRP adalah interaksi obat (Parthasarathi, et al., 2005). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Hasilnya dapat berbahaya jika interaksi menyebabkan peningkatan toksisitas obat. (Stockley, 2008). Interaksi obat didefinisikan oleh Mateti, et al. (2009) sebagai dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga efektivitas atau toksisitas salah satu atau lebih obat berubah. Rambhade, et al. (2012) menemukan bahwa polifarmasi menyebabkan interaksi antar obat di pusat pelayanan kesehatan di Bhopal, India tahun 2009. Sari, et. al. (2008) juga menemukan 41,69% resep obat antidiabetik oral memiliki interaksi di rumah sakit X Depok, Indonesia. Se lain itu, menurut Elmiati (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Rawat Inap Diabetes Mellitus di Rumah Sakit Umum Kabuten Karanganyar” diperoleh 26,7% pasien mengalam interaksi obat yang cukup bermakna.
Banyaknya interaksi yang ditimbulkan pada pasien DM, maka diperlukan tindakan untuk mencegah timbulnya komplikasi dan penyakit lain, yaitu dengan melakukan kontrol kadar gula darah, latihan jasmani,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
konsumsi obat anti diabetik, dan perawatan kaki diabetik yang penting dilakukan oleh penderita DM (Purwanti, 2013). Beberapa penelitian tentang kontrol glukosa darah pada pasien rawat inap menyatakan bahwa pasien yang mencapai outcome klinik atau tercapainya pengendalian glukosa darah masih sangat rendah. Berdasarkan standar ADA (American Diabetes Association), nilai kontrol plasma postprandial pada pasien DM adalah < 180 mg/dl dan menurut standard AACE (American Association of Clinical Endocrinologists) nilai kontrol plasma postprandial adalah < 140 mg/dl. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Cina, pasien yang mencapai target kriteria ADA hanya 40,2%. Penelitian di Amerika menyatakan bahwa tidak lebih dari 36% pasien yang mencapai target plasma postprandial < 180 mg/dl. Pengendalian glukosa darah secara ketat mampu mengurangi komplikasi mikrovaskuler pada DM tipe 2 dengan kadar plasma postprandial < 180 mg/dl berdasarkan ADA dan plasma postprandial < 140 mg/dl berdasarkan AACE (Yan Bi et al., 2010 ; Ajayi et al., 2010). Berdasarkan data-data laporan yang telah diuraikan di atas, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kejadian Drug Related Problems (DRP) dalam penanganan pasien DM, serta meneliti korelasi antara kejadian DRP terhadap outcomes (keberhasilan terapi) pasien. Kategori DRP yang diteliti yaitu mengenai interaksi obat pada pasien DM dengan/tanpa penyakit penyerta.
1.2
Rumusan Masalah a. Kasus penyakit DM masih menjadi masalah yang serius dan terus meningkat jumlahnya, dengan presentase kejadian 2,4% di Indonesia pada tahun 2013 (Riskesdas,2013). b. Dari beberapa penelitian, banyaknya jumlah penggunaan obat dan adanya penyakit penyerta (komorbid) pada pasien DM menjadi salah satu faktor resiko terjadinya DRP terkait interaksi obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
c. Terapi dengan obat biasanya akan menimbulkan beberapa hal selain kesembuhan, yaitu terjadi DRP yang dapat berpengaruh terhadapat outcomes klinik pasien DM. d. Pemantuan terapi obat sangat penting guna untuk mengetahui masalah yang mungkin ditimbulkan dari suatu pengobatan, salah satunya terkait pengaruh interaksi obat terhadap outcomes pasien DM di RS X di Tangerang Selatan.
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum: Untuk mengetahui pengaruh Drug Related Problem (DRP) ditinjau dari
interaksi obat terhadap outcomes klinik pasien DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan pada periode Juli 2014 – Juni 2015. 1.3.2
Tujuan Khusus: a. Untuk mengetahui angka kejadian Drug Related Problem (DRP) pada pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan berdasarkan mekanisme interaksi obat. b. Untuk mengetahui angka kejadian Drug Related Problem (DRP) pada pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan berdasarkan tingkat keparahan interaksi obat. c. Untuk mengetahui pengaruh potensi interaksi obat terhadap outcome klinik pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta
wawasan tentang pengaruh Drug Related Problem (DRP) ditinjau dari potensi terjadinya interaksi obat terhadap outcome klinik pasien DM tipe 2.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
1.4.2
Secara Metodologi Metode penelitian ini dilakukan secara retrospektif dan diharapkan dapat
dijadikan referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis sejenis di RS X di Tangerang Selatan. 1.4.3
Secara Aplikatif Secara aplikatif penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan
pertimbangan ataupun kebijakan dalam peresepan obat DM tipe 2 di instalasi rawat inap RS X di Tangerang Selatan dan dapat memberikan saran bagi dokter dan tenaga kefarmasian dalam meningkatkan pemberian terapi optimal sehingga diperoleh terapi yang efektif, aman dan efisien. 1.5
Ruang Lingkup Penelitian a. Penelitian dengan judul “Pengaruh Drug Related Problems (DRPs) Terhadap Outcome Klinik Pasien Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015” b. Masalah yang berkaitan dengan Drug Related Problem (DRPs) sangatlah luas, maka dalam penelitian ini hanya dibatasi pada kajian Drug Related Problem (DRPs) mengenai studi interaksi obat terhadap outcomes klinik (tercapainya target pengendalian kadar glukosa darah dan tekanan darah) pasien di RS X di Tangerang Selatan. c. Besar sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 90 sampel. d. Pada penelitian ini desain yang dilakukan adalah cross sectional dengan pendekatan retrospektif. e. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai Juni di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Diabetes Melitus
2.1.1
Definisi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu penyakit karena tubuh tidak mampu
mengendalikan jumlah gula, atau glukosa dalam aliran darah. Ini menyebabkan hiperglikemia, suatu keadaan gula darah yang tingginya sudah membahayakan (Setiabudi, 2008). Faktor utama pada DM ialah insulin, suatu hormon yang dihasilkan oleh kelompok sel beta di pankreas. Insulin memberi sinyal kepada sel tubuh agar menyerap glukosa. Insulin, bekerja dengan hormon pankreas lain yang disebut glukagon, juga mengendalikan jumlah glukosa dalam darah. Apabila tubuh menghasilkan terlampau sedikit insulin atau jika sel tubuh tidak menanggapi insulin dengan tepat terjadilah DM (Setiabudi, 2008). DM biasanya dapat dikendalikan dengan makanan yang rendah kadar gulanya, obat yang di minum, atau suntikan insulin secara teratur (Setiabudi, 2008).
2.1.2
Etiologi Penyebab DM sampai sekarang belum diketahui dengan pasti tetapi
umumnya diketahui karena kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter memegang peranan penting. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenille Diabetes, gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah) (Bare&Suzanne,2002). Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh karena itu insiden lebih tinggi atau adanya infeksi virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM ( Bare & Suzanne, 2002). Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau – pulau langerhans pankreas, yang membuat kehilangan produksi insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana antibody sendiri akan menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya memainkan peran munculnya penyakit ini (Bare & Suzanne, 2002). Pada Non Insulin
6
7
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran terjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Riset melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan terjadinya NIDDM sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup menghasilkan insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau mengalami gangguan. Faktor resiko dapat dijumpai pada klien dengan riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yang besar. Pencegahan utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan ideal. Pencegahan sekunder berupa program penurunan berat badan, olah raga dan diet. Oleh karena DM tidak selalu dapat dicegah maka sebaiknya sudah dideteksi pada tahap awal tanda-tanda atau gejala yang ditemukan adalah kegemukan, perasaan haus yang berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih dari berat badan normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila ditemukan peningkatan gula darah ( Bare & Suzanne, 2002).
2.1.3
Epidemiologi Menurut data terkini dari International Diabetes Federation (IDF),
sebanyak 285 juta orang di seluruh dunia menghidap DM. Angka ini dikemukakan pada 20th World Diabetes Congress di Montreal, Canada. Hanya di Asia Tenggara saja sebanyak 59 juta orang menghidap DM. Dari jumlah itu Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus DM yang paling tinggi yaitu sebanyak 7 juta orang (International Diabetes Federation, 2008). Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita DM (Waspada Online, 2009). Pada tahun 2009 ini diperkirakan terdapat lebih dari 14 juta orang dengan DM, tetapi baru 50% yang sadar mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar 30% yang datang berobat teratur (Waspada Online, 2009). Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi masyarakat Indonesia serta pelayanan kesehatan yang makin baik dan merata, diperkirakan tingkat kejadian penyakit DM akan makin meningkat. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosio ekonomi. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia di dapatkan prevalensi sebesar 1,5-2,3 % pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
penduduk usia lebih besar dari 15 tahun. Pada suatu penelitian di Manado didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di Jakarta pada tahun 1993 menunjukkan prevalensi 5,7% (Hiswani, 2001). Melihat pola pertambahan penduduk saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 2 %, akan didapatkan 3,56 juta pasien DM, suatu jumlah yang besar untuk dapat ditanggani sendiri oleh para ahli DM (Hiswani, 2001).
2.1.4
Faktor Resiko Faktor-faktor risiko terjadinya DM menurut ADA dengan modifikasi
terdiri atas: 1. Faktor risiko mayor: a. Riwayat keluarga DM. b. Obesitas. c. Kurang aktivitas fisik. d. Ras/Etnik. e. Sebelumnya teridentifikasi sebagai IFG (Impaired Fasting Glucose). f. Hipertensi. g. Tidak terkontrol kolesterol dan HDL (High Density Lipoprotein). h. Riwayat DM pada kehamilan. 2. Faktor risiko lainnya: a. Faktor nutrisi. b. Konsumsi alkohol. c. Kebiasaan mendengkur. d. Faktor stress. e. Kebiasaan merokok. f. Jenis kelamin. g. Lama tidur. h. Intake zat besi. i. Konsumsi kopi dan kafein. (ADA, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
2.1.5
Klasifikasi
2.1.5.1 Diabetes Melitus Tipe 1 Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. DM tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi hormon somastatin. Namun demikian serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defesiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita DM tipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia, hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapatkan terapi insulin. 2.1.5.2 Diabetes Melitus Tipe 2 Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut resistensi insulin. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada DM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
tipe ini, dan sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar dengan pasien DM tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel α terhadap glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuver-manuver teurapetik yang mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). 2.1.5.3 Diabetes Melitus Gestasional DM gestasional adalah keadaaan DM yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara. Keadaan ini terjadi karena pembentukan hormon pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin (Tandra, 2008).
2.1.6
Patofisiologi
2.1.6.1 Diabetes Melitus Tipe I Pada DM tipe I terdapat ketidakmampuan pankreas menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial (Corwin, 2000). Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia) (Corwin, 2000). Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000). 2.1.6.2 Diabetes Melitus Tipe II Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa (Corwin, 2000). Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II (Corwin, 2000).
2.1.7
Gejala Gejala DM pada umumnya yaitu :
1.
Glukosa darah puasa ≥126 mg/dl
2.
Konsentrasi glukosa plasma ≥200mg/dl
3.
2 jam setelah pemberian glukosa pada postprandial ≥200 mg/dl
4.
HbA1c >5,9-6,0 % (Dipiro, dkk., 2009).
Gejala berdasarkan klasifikasi DM yaitu: a.
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
b.
Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Soegondo, dkk.,2005). Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan
gejala kronik. 2.1.7.1 Gejala Akut Diabetes Melitus Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi bahkan, mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. 1. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (Poli), yaitu:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
a.
Banyak makan (poliphagia).
b.
Banyak minum (polidipsia).
c.
Banyak kencing (poliuria). Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
a.
Banyak minum.
b.
Banyak kencing.
c.
Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu).
d.
Mudah lelah.
e.
Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik
2.1.7.2 Gejala Kronik Diabetes Melitus Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah sebagai berikut: 1.
Kesemutan.
2.
Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
3.
Rasa tebal di kulit.
4.
Kram.
5.
Capai.
6.
Mudah mengantuk.
7.
Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata
8.
Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.
9.
Gigi
mudah
goyah
dan
mudah
lepas
kemampuan
seksual
menurun,bahkan impotensi. 10. Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg
2.1.8
Diagnosis Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala poliuria, polidipsia,
polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Diagonosis DM dapat dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
sewaktu ≥ 200 mg/dl dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut ini. Tabel 2.1. Kriteria Penegakan Diagnosis DM Glukosa plasma puasa
Glukosa Plasma 2 jam setelah makan
Normal
<100 mg/dL
<140 mg/dL
Diabetes
≥126 mg/dL
≥200 mg/dL
Sumber: International Diabetes Federation
2.1.9
Komplikasi Diabetes Melitus Komplikasi
akut
menurut
Soegondo,
2005
yakni
hipoglikemia,
hiperglikemia dan ketoasidosis merupakan keadaan gawat darurat yang terjadi pada perjalanan penyakit DM. 1.
Hipoglikemia Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah. Gejala ini ringan berupa gelisah sampai berat, koma dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah kurang dari 50 mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang. Hipoglikemia ditandai dengan lemas, gemetar, pusing, pandangan berkunang-kunang, keluar keringat dingin pada muka terutama dihidung, detak jantung meningkat dan kehilangan kesadaran. 2.
Hiperglikemia Secara anamnesis ditemukan adanya masukan kalori yang berlebihan,
penghentian obat oral maupun insulin yang didahului oleh stres akut. Tanda khas adalah kesadaran menurun disertai dehidrasi berat. 3.
Ketoasidosis Diabetik Ketoasidosis merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu
perjalanan penyakit DM. Keadaan komplikasi akut ini memerlukan pengelolaan tepat. Timbulnya komplikasi ini merupakan ancaman kematian bagi penyandang DM. faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut adalah:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
a.
Terlambat ditegakkannya diagnosis karena biasanya penyandang DM dibawa setelah koma
b.
Pasien belum tahu mengidap DM
c.
Sering ditemukan bersam-sama dengan komplikasi lain yang berat misalnya: sepsis, renjatan, infark miokard, dan CVD
d.
Kurangnya keterampilan menangani kasus-kasus ketoasidosis karena belum adanya protokol yang baik. Sedangkan komplikasi kronis yang dipaparkan oleh Suzanna Ndraha
(2014), bahwa yang dapat terjadi akibat DM yang tidak terkendali adalah: a. Kerusakan saraf (neuropati) Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidakbisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena. b. Kerusakan ginjal Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dalam tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
Gangguan ginjal pada penderita DM juga terkait dengan neuropathy atau kerusakan saraf. c. Kerusakan mata (retinopati) Penyakit DM bisa merusak mata penderitanya dan menjadi penyebab utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh DM, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata. d. Penyakit jantung koroner (PJK) DM merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi. e. Stroke Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan DM tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan DM tipe 2. f. Hipertensi Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita DM juga terkena hipertensi. g. Penyakit pembuluh darah perifer Kerusakan pembuluh darah di perifer atau ditangan dan kaki, yang dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita DM daripada orang yang tidak menderita DM. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
Bila DM berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping di ikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung. h. Gangguan pada hati Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita DM tidak makan gula dapat mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit DM itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita DM, penderita DM lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita DM harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada penderita DM adalah perlemakan hati atau fattyliver, biasanya (hampir 50%) pada penderita DM tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya. i. Penyakit paru Pasien DM lebih mudah terserang infeksi tuberculosis paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosio ekonomi cukup. DM memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah. j. Gangguan saluran cerna Gangguan saluran cerna pada penderita DM disebabkan karena kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan biasa juga timbul akibat pemakaian obatobatan yang diminum.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
k. Infeksi Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita DM mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin.Kadar glukosa darah yang tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya infeksi (Ndraha, 2014).
2.1.10 Kriteria Pengendalian Diabetes Melitus Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik. Kriteria lengkap dari keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada tabel 2.2 (Ndraha, 2014). Tabel 2.2. Target Pengendalian DM (Ndraha, 2014). Parameter Tekanan darah sistolik/diatolik (mmHg)
Nilai Target <130/80
Glukosa Darah Puasa (mg/dl)
<100
Glukosa darah 2 jam PP (mg/dl)
<140
HbA1c (%)
<7
Kolesterol LDL (mg/dl)
<100
Kolesterol HDL (mg/dl)
Pria >40 Wanita >50
Trigliserid (mg/dl)
<150
2.1.11 Penatalaksanaan Pada penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dalam langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasi dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
2.1.11.1 Terapi Non Farmakologi 1. Pengaturan diet Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan DM. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada DM adalah: a.
Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar normal.
b.
Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c.
Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d.
Meningkatkan kualitas hidup. Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien DM, yang
terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa. 2. Olah raga Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). 2.1.11.2 Terapi Farmakologi 1. Insulin Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel. Macam-macam sediaan insulin: a.
Insulin kerja singkat Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.
b. Insulin kerja panjang (long-acting) Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human. c.
Insulin kerja sedang (medium-acting) Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002). Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin (Waspadji, 2010). 2. Obat Antidiabetik Oral Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). a. Golongan Sulfonilurea Sulfonilurea bekerja dengan menstimulasi pelepasan insulin. Sulfonilurea memiliki aksi menutup kanal ion K+ ATP sehingga meningkatkan pemasukan kalium ke dalam sel dan meningatkan sekresi pada sel beta pankreas. Peningkatan sekresi insulin akan menekan produksi glukosa di hati (Triplitt et al., 2005). Obat golongan ini merupakan pilihan pertama untuk pasien dengan berat badan normal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
dan kurang, karena efek samping dari obat ini adalah menaikkan berat badan pasien (Perkeni, 2011). Semua obat yang termasuk dalam golongan sulfonilurea memiliki efektivitas yang sama dalam menurunkan kadar glukosa darah. Obat golongan ini dapat menurunkan A1c 1,5-2 % dan penurunan FPG (Fasting Plasma Glukose) 60 hingga 70 mg/dl. Efek samping utama obat ini adalah hipoglikemia dan kenaikan berat badan. Efek samping lain berupa hiponatremia banyak terjadi pada penggunaan tolbutamid dan klorpropamid (Wells et al., 2012). Sulfonilurea Generasi Pertama Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati. Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan Suharto, 1995). Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995). Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995). Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002). Sulfonilurea Generasi Kedua Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
(Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal (Handoko dan Suharto, 1995). Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal (Katzung, 2002). Glimepirid dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepirid mempunya waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif (Katzung, 2002). b. Golongan Biguanida Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). Metformin dianjurkan sebagai terapi lini pertama untuk semua pasien DM tipe 2 kecuali pada pasien yang mempunyai kontraindikasi dengan obat tersebut misalnya gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, gagal jantung kongestif, asidosis metabolik, dehidrasi, hipoksia, dan pengguna alkohol (Kurniawan, 2010). Metformin bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin pada hati dan otot sehingga meningkatkan pengambilan glukosa di hati. Metformin dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan kadar insulin (Triplitt et al., 2005), serta tidak merangsang pelepasan insulin dari pankreas dan pada umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia, bahkan dalam dosis besar (Brunton et al., 2008). c. Golongan Tiazolidindion Tiazolidindion (pioglitason) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Reseptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak (Perkeni, 2011). Selain itu tiazolidindion dapat memperbaiki berbagai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
marker fungsi sel β pankreas antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya sekresi insulin selama 6 bulan, tetapi efek tersebut hanya bersifat sementara karena setelah 6 bulan terapi dengan tiazolidindion akan terjadi penurunan fungsi sel β pankreas (Kurniawan, 2010). Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema dan juga pada gangguan faal hati (Perkeni, 2011). Pioglitazon dan rosiglitason berisiko menimbulkan gagal jantung, bahkan rosiglitason dapat memicu kejadian iskemia miokard (Kurniawan, 2010). Contoh: Pioglitazone, Troglitazon. d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase Obat golongan α glukosidase inhibitor bekerja dengan cara mencegah pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks di usus halus, sehingga absorbsi karbohidrat diperlambat. Obat golongan ini dapat menurunkan konsentrasi glukosa posprandial sebesar 40-50 mg/dL, tetapi tidak menurunkan kadar glukosa puasa secara signifikan. Pasien yang tepat mendapatkan obat golongan ini adalah pasien dengan nilai A1c yang mendekati normal dan nilai FPG yang mendekati normal. Penurunan A1c karena penggunaan obat ini adalah 0,3-1% (Wells et al., 2012). Contoh: Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2002). e. DPP IV Inhibitor Hormon pencernaan glucagon-like peptide-1 (GLP-1) dan gastric inhibitory polypeptide (GIP) merupakan hormon inkretin yang dilepaskan secara posprandial, hormon tersebut berfungsi menambah sekresi insulin yang terstimulasi glukosa melalui sensitisasi aksi sel β terhadap glukosa. Glucagon Like Peptide-1 juga menunjukkan efek penting terhadap homeostasis glukosa lainnya, yaitu menghambat sekresi glukagon, penundaan pengosongan lambung, dan menstimulasi biosintesis insulin. Efek tersebut secara potensial dapat meningkatan aksi insulin perifer. Glucagon Like Peptide-1 dapat menurunan kadar glukosa darah puasa dan posprandial pada pasien DM tipe 1 dan 2, tetapi GLP-1 secara cepat terdegradasi dalam plasma oleh enzim dipeptidyl peptydase IV (DPP-IV), enzim yang dapat ditemukan pada tubuh baik dalam plasma ataupun dinding endotel pada beberapa organ seperti ginjal, hati, dan usus. Enzim DPP-IV ini memecah beberapa peptida yang aktif secara biologis termasuk GLP-1, dan juga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
GIP melalui mekanisme yang hampir sama. Efek degradasi GLP-1 oleh enzim DPP-IV adalah terjadinya penurunan waktu paruh GLP-1 < 1 menit (Triplitt et al., 2005). Salah satu cara agar GLP-1 terjaga ketersediaannya di dalam tubuh adalah dengan cara menghambat enzim DPP-IV. Penghambatan enzim DPP-IV dapat meningkatan waktu paruh hormon inkretin, dalam hal ini adalah GLP-1 dan juga GIP. NVP DPP728 merupakan suatu senyawa yang aktif secara oral dan selektif menghambat enzim DPP-IV. Berdasarkan data farmakodinamik dan farmakokinetik pada subyek sehat, total dosis harian yang dapat diberikan yaitu 300 mg (Triplitt et al., 2005). Obat-obat golongan DPP-IV inhibitor rata-rata dapat menurunkan A1c sekitar 0,7%-1% pada dosis 100 mg per hari (Dipiro et al., 2009). f. Meglitinid Glinid merupakan obat yang memiliki cara kerja sama dengan sulfonilurea, yaitu dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Meglitinid dapat meningkatkan sekresi dan sistesis insulin oleh kelenjar pankreas. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin). Obat golongan glinid diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian peroral dan diekskresikan secara cepat melalui hati, dosis penggunaan repaglinid adalah 0,5-1,6 mg/hari sedangkan nateglinid adalah 120360 mg/hari (Triplitt et al., 2005).
2.1.11.3 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 American Diabetes Association (2015) telah mengeluarkan algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 dengan tahapan sebagai berikut: a.
Tahap 1 Kebanyakan pasien harus memulai dengan perubahan gaya hidup (konseling gaya hidup, edukasi penurunan berat badan, olahraga, dll.). Apabila
perubahan
gaya
hidup
saja
tidak
cukup
untuk
mempertahankan tujuan glikemik, monoterapi metformin harus ditambahkan apabila tidak intoleransi dan dikontraindikasikan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
Metformin adalah agen farmakologis awal yang lebih disukai untuk DM tipe 2. b. Tahap 2 Apabila target HbA1C tidak tercapai dalam 3 bulan dengan monoterapi, metformin dapat digunakan kombinasi dengan salah satu dari agen berikut: sulfonilurea, thiazolidindion, inhibitor DPP-4, agonis reseptor GLP-1, penghambat SGLT-2, atau insulin basal. Pilihan obat didasarkan pada variasi pasien, penyakit, karakteristik obat, dengan sasaran menurunkan KGD dan meminimalisir efek samping, terutama hipoglikemia. Obat golongan lain, misalnya αglukosidase inhibitor, kolesevelam, bromokriptin, pramlintide karena biasa digunakan pada keadaan spesifik, tetapi tidak diutamakan disebabkan efikasinya sederhana, frekuensi pemberian, dan/atau efek sampingnya. Mulai terapi dengan kombinasi saat HbA1C ≥9%. c.
Tahap 3 DM tipe 2 merupakan penyakit degeneratif yang semakin lama akan semakin parah dikarenakan progres alaminya sehingga terapi insulin akhirnya banyak diindikasikan untuk pasien ini. Pertimbangan terapi kombinasi dengan insulin dimulai saat KGD ≥300-350mg/dL (16,719,4 mmol/L) dan/atau HbA1C ≥10-12%. Insulin basal sendiri adalah regimen insulin awal yang cocok. Insulin basal biasanya diresepkan dengan metformin dan kemungkinan dengan satu tambahan agen noninsulin. Apabila insulin basal yang telah dititrasi untuk KGD puasa dapat diterima, tetapi kadar HbA1C masih diatas target, kombinasi terapi injeksi dapat dipertimbangkan untuk dimulai guna menangani fluktuasi glukosa postprandial. Pilihan menambahkan agonis reseptor GLP1-1 atau insulin saat makan, yang terdiri dari satu sampai tiga injeksi analog insulin kerja ultra pendek (lispro, aspart, glulisine) dapat diberikan saat sebelum makan. Atau juga dapat menggunakan insulin campuran (formulasi NPH-regular premixed 70/30, 70/30 asprat mix). Alternatif terapi “basal-bolus” dengan multipel injeksi harian (insulin pump) jarang digunakan dan relatif lebih mahal.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
Pemilihan agen farmakologis didasarkan pada individu dan pertimbangan seperti efikasi, biaya, efek samping yang potensial, resiko hipoglikemia, dan preferensi pasien.
Tabel 2.3 Target Pelaksanaan DM (Dipiro, dkk., 2009) Parameter
ADA
ACE dan AACE
Kadar plasma preprandial
90-130 mg/dl
< 110 mg/dl
Kadar plasma postprandial
< 180 mg/dl
<140 mg/dl
Kadar hemoglobin A1c
< 7%
≤ 6,5%
Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM (Dipiro, dkk., 2009)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
Gambar 2.2
Terapi Antihiperglikemik pada Pasien DM Tipe 2: Rekomendasi
Umum (ADA, 2015)
Keterangan: DPP-4-i, inhibitor DPP-4; fx, fraktur; GI, gastrointestinal; GLP-1-RA, reseptor agonis GLP-1; GU, genitourinari; HF, heart failure (gagal jantung); Hipo, hipoglikemia; SGLT2-i, inhibitor SGLT 2; SU, sulfonilurea; TZD, thiazolidindion. * Pertimbangkan memulai tahap ini saat A1C ≥9%. ** Pertimbangkan mulai tahap ini saat KGD ≥300-350 mg/dL (16,7-19,4 mmol/L) dan/atau A1C ≥10-12%, terutama apabila tanda atau ciri katabolik muncul (penurunan berat badan, ketosis), dalam hal ini insulin basal + insulin waktu makan lebih disukai sebagai regimen awal (ADA, 2015).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
2.2
Drug Related Problem Drug related problem (DRP) adalah sebuah kejadian atau problem yang
melibatkan terapi obat penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. DRP merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki (Cipolle, 1998). DRP dapat diatasi atau dicegah ketika penyebab dari masalah tersebut dipahami dengan jelas. Dengan demikian perlu untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan DRP dan penyebabnya. Jenis-jenis DRP dan penyebabnya menurut standar disajikan sebagai berikut 1.
Membutuhkan Terapi Tambahan Obat a.
Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi awal pada obat.
b.
Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat berkesinambungan.
c.
Pasien
mempunyai
kondisi
kesehatan
yang
membutuhkan
parmakoterapi kombinasi untuk mencapai efek sinergis atau potesiasi. d.
Pasien dalam keadaan risiko pengembangan kondisi kesehatan baru yang dapat dicegah dengan penggunaan alat pencegah penyakit pada terapi obat dan / atau tindakan paramedis.
2.
Terapi Obat yang Tidak Perlu a.
Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi pada waktu itu.
b.
Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja kemasukan sejumlah racun dari obat atau kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu.
c.
Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok.
d.
Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat.
e.
Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana hanya satu terapi obat yang terindikasi.
f.
Pasien yang mendapatkan terapi obat untuk pengobatan yang tidak tepat dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan dengan pengobatan lainnya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
3.
Terapi Obat Salah a.
Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.
4.
b.
Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.
c.
Bentuk sediaan obat tidak tepat.
Dosis Terlalu Rendah a.
Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon kepada pasien.
b.
Konsentrasi obat dalam darah pasien dibawah batas teurapetik yang diharapkan.
c.
Jarak dan waktu pemberian obat terlalu jarang untuk menghasilkan respon yang diinginkan.
5.
Reaksi Obat yang Merugikan a.
Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan.
b.
Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan pasien
c.
Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki yang tidak terkait dengan dosis.
d. 6.
Penggunaan obat yang kontraindikasi.
Dosis Terlalu Tinggi a.
Dosis terlalu tinggi untuk pasien.
b.
Pasien dengan konsentrasi obat dalam darah diatas batas teurapetik obat yang diharapkan.
7.
c.
Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat untuk pasien.
d.
Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien.
Kepatuhan a.
Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan, pengobatan, pemberian, pemakaian).
b.
Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan.
c.
Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.
d.
Pasien tidak mengambil beberapa obat-obat yang diresepkan karena kurang mengerti.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
e.
Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah merasa sehat.
2.3 Drug Related Problems (DRP) terkait Interaksi Obat 2.3.1 Definisi Interaksi Obat Interaksi obat merupakan satu dari tujuh kategori Drug Related Problems (DRPs) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien (Piscitelli, 2005). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya (Stockley, 2008). 2.3.2 Mekanisme Interaksi Obat Pemberian satu obat (A) dapat mengubah aksi obat lain (B) dapat terjadi melalui dua mekanisme umum yaitu interaksi farmakokinetik (terjadi perubahan konsentrasi obat B yang mencapai tapak kerja reseptor) dan interaksi farmakodinamik (terjadi modifikasi efek farmakologis obat B tanpa mengubah konsentrasinya dalam cairan jaringan). Selain dua mekanisme tersebut masih ada yang disebut interaksi farmaseutik yaitu obat berinteraksi secara in vitro sehingga satu atau kedua obat tidak aktif. Tidak ada prinsip-prinsip farmakologi yang terlibat dalam interaksi farmaseutik, hanya reaksi secara fisika atau kimia. (Hashem, 2005). 2.3.2.1 Interaksi Farmakokinetika Interaksi farmakokinetik yaitu interaksi yang dapat mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi (Baxter, 2008). Perubahan ini pada dasarnya adalah terjadi modifikasi konsentrasi obat. Dalam hal ini dua obat bersifat homergic jika memiliki efek yang sama dalam organisme dan heterergic jika efeknya berbeda (Anonim, 2012). 1.
Interaksi pada Level Absorpsi Obat Absorpsi
gastrointestinal
diperlambat
oleh
obat
yang
menghambat pengosongan lambung, seperti atropin atau opiat, atau dipercepat oleh obat (misalnya metoklopramid) yang mempercepat pengosongan lambung. Atau, obat A dapat berinteraksi dengan obat B
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
dalam usus sedemikian rupa untuk menghambat penyerapan obat B (Hashem, 2005). Selain itu dapat juga terjadi karena dampak perubahan pH pencernaan, adsorpsi, khelasi dan mekanisme kompleks lainnya, perubahan motilitas gastrointestinal, induksi atau inhibisi protein transporter obat, dan malabsorpsi disebabkan oleh obat (Baxter, 2008). Beberapa contoh interaksi absorpsi obat: a.
Kalsium (dan juga besi) membentuk kompleks tak larut dengan tetrasiklin dan menghambat penyerapan obat,
b.
Penambahan
epinefrin
pada
suntikan
bius
lokal
yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperlambat penyerapan obat bius, akibatnya memperpanjang efek lokal obat bius tersebut (Hashem, 2005). 2.
Interaksi pada Level Distribusi Obat Mekanisme interaksi utama pada level distribusi adalah terjadinya kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma. Dalam kasus ini, obat yang tiba pertama berikatan dengan protein plasma akan meninggalkan obat lain yang larut dalam plasma, sehingga memodifikasi konsentrasi yang obat bebas (Anonim, 2012). Distribusi obat ke dalam otak dan beberapa organ lainnya seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein aktif ini mengangkut obat keluar dari sel ketika obat telah secara pasif menyebar masuk ke dalam sel. Ada beberapa obat dapat menghambat transporter ini sehingga meningkatkan penyerapan obat (Baxter, 2008). Beberapa contoh interaksi disitribusi obat: a.
Salisilat menggantikan metotreksat pada tapak ikat albumin dan mengurangi sekresinya ke dalam nefron.
b.
Quinidine dan beberapa obat lainnya termasuk antidisritmia verapamil dan amiodaron menggantikan digoksin pada tapak ikatjaringan sekaligus mengurangi ekskresi ginjal, dan akibatnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
menyebabkan disritmia parah akibat toksisitas digoxin (Hashem, 2005). 3.
Interaksi pada Level Metabolisme Obat Interaksi pada Level Metabolisme terjadi karena metabolisme obat objek dirangsang atau dihambat oleh obat presipitasi. Terikat dengan metabolisme ini ada dua hal penting. Pertama, diantara obat yang berinteraksi ada yang menginduksi enzim dan yang kedua ada yang menghambat aktivitas enzim (Hashem, 2005). a.
Induksi Enzim Induksi enzim adalah perangsangan atau induksi enzim yang terjadi dalam retikulum endoplasik sel hati dan sitokrom P 450 (CYP) oleh obat tertentu, sehingga aktivitas metabolik bertambah. Akibatnya metabolisme obat menjadi lebih aktif dan konsentrasi obat objek dalam plasma berkurang, sehingga efektivitasnya pun menurun (Hashem, 2005).
b.
Inhibisi Enzim Inhibisi enzim adalah apabila suatu obat menghambat metabolisme
obat
lain,
sehingga
memperpanjang
atau
meningkatkan aksi obat. Sebagai contoh, allopurinol mengurangi produksi asam urat akibat hambatannya terhadap enzim santin oksidase, pada waktu yang sama metabolisme beberapa obat yang berpotensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin juga dihambat. Penghambatan santin oksidase secara bermakna meningkatkan efek obat-obat tsb. Sehingga jika diberikan bersama allopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus diturunkan sampai 1/3 atau ¼ dosis biasanya (Anonim, 2011). 4.
Interaksi pada Level Ekskresi Obat Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal disepanjang arteri renal, pertama kali akan dikirim ke glomeruli tubulusmo dan molekul-molekul kecil akan melewati membran glomerulus (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel darah akan ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain tubulus ginjal sehingga terjadi transport aktif yang memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena perubahan ekskresi aktif di tubulus ginjal, perubahan pH, dan perubahan aliran darah ginjal (Anonim, 2011). 2.3.2.2 Interaksi Farmakodinamika Interaksi farmakodinamik dapat terjadi dalam berbagai cara. Berikut ini beberapa interaksi yang perlu dipertimbangkan. Antagonis β-adrenoseptor mengurangi efektivitas agonis β-reseptor, seperti salbutamol atau terbutaline. Beberapa diuretik dapat menurunkan konsentrasi plasma kalium, sehingga meningkatkan efek digoksin dan menyebabkan risiko toksisitas glikosida tersebut. Penghambat monoamin oksidase meningkatkan jumlah norepinefrin yang disimpan dalam terminal saraf noradrenergik dan interaksinya dengan obat lain akan berbahaya, seperti efedrin atau tiramin yang bekerja melepaskan norepinefrin. Ini juga dapat terjadi dengan makanan kaya tiramin seperti keju hasil fermentasi misalnya keju Camembert. Warfarin bersaing dengan vitamin K, mencegah sintesis hepatik berbagai faktor koagulasi. Jika produksi vitamin K dalam usus dihambat (misalnya dengan antibiotik), aksi antikoagulan warfarin meningkat. Obat yang menyebabkan perdarahan dengan mekanisme yang berbeda (misalnya aspirin, yang menghambat biosintesis tromboksan A2 trombosit dan dapat merusak lambung) akan meningkatkan risiko perdarahan yang disebabkan oleh warfarin. Sulfonamid mencegah sintesis asam folat oleh bakteri dan mikroorganisme
lainnya;
trimetoprim
menghambat
pengurangan
untuk
tetrahydrofolate. Jika diberikan bersama dengan obat yang memiliki aksi sinergis dalam mengobati Pneumocystis carinii. Non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID),
seperti
ibuprofen
atau
indometasin,
menghambat
biosintesis
prostaglandin, yang bersifat sebagai vasodilator ginjal / natriuretik prostaglandin (PGE2, diikuti PGI2). Jika diberikan kepada pasien yang menerima pengobatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
untuk hipertensi, akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, dan jika diberikan kepada pasien yang menerima diuretik untuk gagal jantung kronis akan menyebabkan retensi garam dan air dan dekompensasi jantung. Antagonis reseptor H1, seperti mepiramin, sering menyebabkan rasa kantuk sebagai efek yang tidak diinginkan. Ini lebih parah jika obat tersebut diberi bersamaan dengan alkohol, dan dapat menyebabkan kecelakaan di tempat kerja atau di jalan (Hashem, 2005). 2.3.3
Tingkat Keparahan Interaksi Obat Keparahan interaksi dapat diklasifikasikan ke berdasarkantingkatan
keparahanan : minor, moderate, atau major. 1. Keparahan minor Interaksi obat minor biasanya memberikan potensi yang rendah secara klinis dan tidak membutuhkan terapi tambahan. Contoh interaksi minor adalah interaksi hidralazin dan furosemid. Dimana efek farmakologis furosemid dapat meningkat jika diberikan bersamaan dengan hidralazin, tetapi secara klinis tidak signifikan. Interaksi obat minor dapat diatasi dengan menilai rejimen pengobatan. 2.
Keparahan moderate Interaksi moderate sering membutuhkan pengaturan dosis atau dilakukan
pemantauan. Contohnya, obat rifampisin dan isoniazid yang dapat menyebabkan peningkatan terjadinya hepatotoksisitas. Namun, kombinasi ini masih sering digunakan dan diiringi dengan melakukan pemantauan enzim hati. 3.
Keparahan major Interaksi major pada umumnya harus dihindari bila memungkinkan,
karena dapat menyebabkan potensi toksisitas yang serius. Contohnya, ketokonazol yang dapat menyebabkan peningkatan cisaprid sehingga dapat memperpanjang interval QT dan mengancam jiwa. Sehingga kombinasi ini tidak disarankan untuk digunakan (Atkinson, dkk., 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
2.4
Outcomes Klinik Outcomes klinik pada pasien DM yaitu tercapainya kontrol glukosa darah
dipengaruhi oleh faktor lain seperti gaya hidup, edukasi tentang DM, dan durasi DM. Gaya hidup pasien seperti pola makan dan olahraga secara signifikan berhubungan dengan outcome klinik pasien DM (Sanal et al., 2011). Berdasarkan Standards of Medical Care for Diabetes-2014 pada Diabetes Care Volume 37 parameter untuk target pengendalian glukosa pada pasien DM antara lain: 1.
Kontrol Kadar Glukosa HbA1c yang ditargetkan untuk pasien pada umumnya adalah < 7%. Kadar glukosa darah prepandialnya 70-130 mg/dl (3,9 -7,2 mmol/l) dan kadar glukosa darah postprandialnya < 180 mg/dl (<10,00 mmol/l).
2.
Tekanan Darah Tekanan darah harus diukur setiap kali kunjungan dilakukan. Target tekanan darah untuk pasien DM adalah < 140/80 mmHg. Target tekanan darah < 130/80 mmHg dilakukan untuk pasien tertentu seperti pasien yang masih muda.
3.
Kadar Lipid Target LDL < 100 mg/dl, kadar trigliserid < 150 mg/dl, dan HDL > 40 mg/dl untuk laki-laki dan > 50 mg/dl untuk perempuan. Hasil terapi DM tipe 2 harus dimonitor terus-menerus dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan Perkeni tahun 2011 pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain : a.
Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah Tujuan dari dilakukannya pemeriksaan glukosa darah adalah : Untuk mengetahui pencapaian sasaran terapi Untuk melakukan penyesuaian dosis obat jika sasaran terapi belum tercapai. Pemeriksaan kadar glukosa darah yang dilakukan adalah pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, 2 jam postprandial,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
atau kadar glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan. b.
Pemeriksaan HbA1c Pemeriksaan
HbA1c
bertujuan
untuk
menilai
efek
perubahan terapi 8-12 minggu pengobatan. Pemeriksaan HbA1c merupakan tes hemoglobin terglikosilasi atau disebut juga glikohemoglobin atau hemoglobin glikosilasi (Perkeni, 2011). Frekuensi pemeriksaan nilai HbA1c tergantung pada kondisi klinis, regimen terapi yang digunakan, dan diagnosis dokter (ADA, 2014). 4.
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan bervariasi tergantung pada tujuan pemeriksaan yang terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan, menjelang waktu tidur, dan di antara siklus tidur. PDGM terutama dianjurkan pada : a.
Pasien DM yang direncanakan mendapat terapi insulin
b.
Pasien DM dengan terapi insulin berikut yaitu pasien dengan HbA1c yang tidak mencapai target setelah terapi, wanita yang merencanakan hamil, wanita hamil dengan hiperglikemia, dan kejadian hipoglikemia berulang.
5.
Pemeriksaan Glukosa Urin Pemeriksaan ini hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.
6.
Pemantauan Benda Keton Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama pada pasien DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah >300mg/dL). Tes benda keton urin mengukur kadar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
asetoasetat, sedangkan benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah < 0,6 mmol/l (normal), di atas 1,0 mmol/l (ketosis), dan melebihi 3,0 mmol/l (indikasi diabetik ketoasidosis). 2.5
Peran Apoteker di Rumah Sakit Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa peran Apoteker di Rumah Sakit salah satunya adalah melakukan Pelayanan Farmasi
Klinik.
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin (PMK Nomor 58, 2014). Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi: A. Pengkajian dan Pelayanan Resep Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error). Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai
persyaratan
administrasi,
persyaratan
farmasetik,
dan
persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi meliputi:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
a Nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien. b Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter c Tanggal resep d Ruangan/unit asal resep. Persyaratan farmasetik meliputi: a Nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan b Dosis dan jumlah obat c Stabilitas d Aturan dan cara penggunaan. Persyaratan klinis meliputi: a Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat b Duplikasi pengobatan c Alergi dan reaksi obat yang tidak dikehendaki d Kontraindikasi e Interaksi obat B. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien. Tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat: a. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaan obat b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan c. Mendokumentasikan adanya alergi dan reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
e. Melakukan
penilaian
terhadap
kepatuhan
pasien
dalam
menggunakan obat f. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang digunakan h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu kepatuhan minum obat. C. Rekonsiliasi Obat Rekonsiliasi obat merupakan prosesmembandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah: a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter. D. Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan
Informasi
Obat
(PIO)
merupakan
kegiatan
penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit. PIO bertujuan untuk:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah sakit b. Menyediakan
informasi
untuk
membuat
kebijakan
yang
berhubungan dengan oba/sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, terutama bagi tim farmasi dan terapi c. Menunjang penggunaan obat yang rasional. E. Konseling Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap apoteker. Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko ROTD, dan meningkatkan costeffectiveness
yang
pada
akhirnya
meningkatkan
keamanan
penggunaan obat bagi pasien (patient safety). F. Visite Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care). G. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko ROTD. Kegiatan dalam PTO meliputi: a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, ROTD. b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat. H. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. MESO bertujuan: a. Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru saja ditemukan c. Mengenal
semua
faktor
yang
mungkin
dapat
menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO d. Meminimalkan risiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki e. Mencegah
terulangnya
kejadian
reaksi
obat
yang
tidak
dikehendaki. I.
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
a. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat b. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu c. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat d. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat. e. Kegiatan praktek EPO: f. Mengevaluasi pengggunaan obat secara kualitatif g. Mengevaluasi pengggunaan obat secara kuantitatif. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan: a. Indikator peresepan b. Indikator pelayanan c. Indikator fasilitas J.
Dispensing Sediaan Steril Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Dispensing sediaan steril bertujuan: a. Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk c. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya d. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
K. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter. PKOD bertujuan: a. Mengetahui kadar obat dalam darah; dan b. Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat. Kegiatan PKOD meliputi:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan PKOD b. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan PKOD c. Menganalisis hasil PKOD dan memberikan rekomendasi (PMK Nomor 58, 2014).
2.6
Rekam Medik Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekam medik dan memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita rawat tinggal maupun penderita rawat jalan. Rekam medik ini harus secara akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat dipergunakan, mudah ditelusuri kembali (retrieving) dan lengkap informasi. Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas, dan akurat dari kehidupan dan kesakitan penderita, ditulis dari sudut pandang medik. Definsi rekam medik menurut surat keputusan Direktur jenderal pelayanan medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama dirawat dirumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat tinggal (Siregar dan Lia, 2003). Kegunaan dari rekam medik : a. Digunakan sebagai dasar perencanaan berkelanjutan perawatan penderita. b. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap professional yang berkontribusi pada perawatan penderita. c. Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan atau penderita dan penanganan atau pengobatan selama tiap tinggal di rumah sakit. d. Digunakan sebagai dasar untuk kajian ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada pasien. e. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang bertanggung jawab.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
f. Menyediakan atau untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan. g. Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data rekam medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang penderita (Siregar dan Lia, 2003).
2.7
Review Literatur
2.7.1
Drug Related Problem Drug Related Problems (DRP) merupakan situasi tidak ingin dialami oleh
pasien yang disebabkan oleh terapi obat sehingga dapat berpotensi menimbulkan masalah bagi keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki. Suatu kejadian dapat disebut DRPs bila memenuhi komponen-komponen. Komponen tersebut adalah kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien berupa keluhan medis, gejala, diagnosis, penyakit, dan ketidakmampuan (disability) serta memiliki hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat dimana hubungan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat atau kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi maupun preventif (Cipolle et al., 2004). Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006). 2.7.2
Interaksi Obat Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat
adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki (desirable drug interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (undesirable/adverse drug interactions) yang lazimnya
menyebabkan
efek
samping
obat
dan/atau
toksisitas
karena
meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya menyebabkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
munculnya interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi (Ament PW, 2000). Beberapa laporan studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain (antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi pada pasien rawat-inap dan 9,2% sampai 70,3% terjadi pada pasien-pasien rawat jalan, walaupun kadangkadang evaluasi interaksi obat tersebut memasukkan pula interaksi secara teoretik selain interaksi obat sesungguhnya yang ditemukan dan terdokumentasi (Peng, CC, et al, 2003). Di Indonesia, data yang pasti mengenai insidens interaksi obat masih belum terdokumentasi antara lain juga karena belum banyak studi epidemiologi dilakukan di Indonesia untuk hal tersebut. Sebagian besar informasi diperoleh dari laporan-laporan kasus terpisah, uji-uji klinik, dan/atau studi-studi farmakokinetik pada subyek sehat dan usia muda yang tidak sedang menggunakan obat-obat lainnya, sehingga untuk menetapkan risiko efek samping akibat suatu interaksi obat pada seorang pasien tertentu seringkali tidak dapat secara langsung. Profil keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan setelah obat tersebut sudah digunakan cukup lama dan secara luas di masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik obat tersebut.
2.7.3
Diabetes Mellitus Tipe 2 DM tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan/atau ganguan fungsi insulin yang terjadi melalui 3 cara, yaitu rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia,dll); penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas; atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Penderita DM biasanya mengeluhkan gejala khas seperti poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari) nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) mudah lelah, dan kesemutan. Kejadian DM Tipe 2 lebih banyak terjadi pada wanita sebab wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008 prevalensi DM di Indonesia membesar hingga 57%. Peningkatan Kejadian DM tipe 2 di timbulkan oleh faktor faktor seperti
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
riwayat diabetes melitus dalam keluarga, umur, obesitas, tekanan darah tinggi, dyslipidemia, toleransi glukosa terganggu, kurang aktivitas, riwayat DM pada kehamilan. Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 2 yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang khas dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl. Penatalaksanaan DM dapat dilakukan dengan pemilihan obat oral hiperglikemik dan insulin serta modifikasi gaya hidup seperti diet, dan olahraga teratur untuk menghindari komplikasi seperti ketoasidosis diabetik, koma hiperosmoler non ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongetif, stroke, nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan ulkus diabetikum (Fatimah, Restyana Noor., 2015).
2.7.4
Interaksi Obat DM tipe 2 Interaksi Obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat
(drug related problems) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuuuh diubah oleh kehadiran suatu enzim yang berinteraksi (Piscitelli, 2005). Interaksi obat adalah suatu intekasi yang terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang laiinya (Baxter, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nazria Sabella (2015) yang berjudul Studi Potensi Interaksi Obat pada Pasien DM Tipe 2 di RSUD dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh, ditemukan sebanyak 62,3% resep yang memiliki potensi interaksi obat, dimana potensi interaksi obat paling tinggi terjadi pada pasien dengan usia> 45 tahun (62,9%). Interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah antara insulin dengan metformin sebanyak 46 kasus (22,28%), diikuti dengan glimepirid dan simvastatin sebanyak 21 kasus (10,45%). Mekanisme interaksi obat metformin dan insulin diduga melibatkan peningkatan mekanisme seluler yang dikendalikan oleh insulin seperti uptake glukosa, sintesis glikogen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
protein dan lipid. Kejadian potensi interaksi antara glimepirid dan simvastatin diketahui simvastatin meningkatkan efek hipoglikemia dengan mekanisme yang tidak diketahui. Namun apabila terjadi interaksi solusinya adalah dengan menurunkan dosis sulfonilurea. Selain itu, berdasarkan penelitian oleh Ovilia Della (2015) yang berjudul Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap DM Tipe 2 di RSUD dr. Pirngadi, Medan Juli-Desember 2014, diketahui profil penggunaan obat antidiabetes pada pasien rawat inap DM tipe 2 Juli- Desember 2014 tertinggi adalah insulin aspart 41,30%, insulin detemir 24,78%, dan metformin 18,70%. Persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes menunjukkan hasil yang cukup tinggi, yaitu sebesar 68,90%. Obat antidiabetes yang sering berpotensi interaksi adalah insulin aspart 38,40%, metformin 30%, dan insulin detemir 20,80%, dengan mekanisme potensi interaksi obat antidiabetes tertinggi adalah farmakodinamik 72%, serta tingkat keparahan potensi interaksi obat antidiabetes yang teringgi adalah moderate 82,40%. Dari hasil penelitian di RSUD dr. Pirngadi, Medan terdapat hubungan bermakna antara usia dengan potensi interaksi obat dan ada hubungan bermakna antara jumlah obat dengan potensi interaksi obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Rekam Medik Pasien DM Tipe 2 Periode Juli 2014 – Juni 2015 (90 sampel)
a. Obat DM tipe 2 b. Obat Lain
Karakteristik Pasien: a. Usia b. Jenis Kelamin c. Penyakit Penyerta d. Jumlah Penggunaan Obat
Drug Related Problems Interaksi Obat
Ada Interaksi Obat
Tidak Ada Interaksi Obat
Presentase Interaksi Obat
Mekanisme Interaksi Obat
Tingkat Keparahan Interaksi
Outcomes pasien: GDS
GDP
Terkendali
Tidak terkendali
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
47
Terkendali
Tidak terkendali
48
3.2. Definisi Operasional No
Nama Variable
1
Karakteristik Pasien : 1)Jenis kelamin
2)Usia
3)Penyakit penyerta
4)Jumlah obat
3
Obat DM tipe 2: a.Sulfonilurea b.Biguanida c.Tiazolidindion d.Inhibitor alfa glukosidase e.DPP IV inhibitor f.Meglitinid g.Insulin
4
Drug Related Problem:
1)
Interaksi obat
Definisi Operasional
Cara Pengukuran
Skala ukur
Kategori
1)Kondisi fisik yang menentukan status seseorang laki-laki atau perempuan 2)Lamanya hidup seseorang dilihat dari tanggal lahir atau ulang tahun terakhir. 3)Keadaan klinis dimana timbulnya penyakit lain pada pasien DM tipe 2
Membaca data rekam medis pasien
Nominal
1: laki-laki 2:perempuan
Membaca data rekam medis pasien
Nominal
1: < 45 tahun 2: ≥45 tahun
Melihat data rekam medis pasien
Nominal
4)Banyaknya obat DM tipe 2 dan obat penyakit penyerta yang digunakan pasien DM tipe 2 Obat yang digunakan dalam pengobatan DM tipe 2 baik itu obat-obatan kimiawi ataupun non kimiawi.
Melihat data rekam medis pasien
Nominal
1: <5 Penyakit Penyerta 2: ≥ 5 Penyakit Penyerta 1: < 5 Obat 2: ≥ 5 Obat
Dengan membaca data rekam medis pasien
Pasien mendapat pengobatan DM tipe 2
Masalah yang timbul karena penggunaan obat yang telah diresepkan, ditinjau dari Interaksi Obat.
Dengan melihat rekam medis
Nominal
Keadaan yang terjadi ketika menggunakan 2 atau lebih jenis obat.
Melihat referensi pada Drugs.com, Medscape, Cipolle dan Drug Information Handbook.
1: Terdapat interaksi obat 2: Tidak terdapat Interaksi obat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
5
Outcomes pasien DM tipe 2
Keberhasilan terapi yang dinilai berdasarkan parameter nilai target GDP (70-130 mg/dl ) dan/atau GDS (< 180 mg/dl).
Dengan melihat rekam medis
Nominal
1: Tercapai nilai target GDP dan/atau GDS 2: Tidak tercapai nilai target GDP dan/atau GDS
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
4.1.1
Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di RS X di Tangerang Selatan, yang terletak di
Tangerang Selatan, Banten 15417. 4.1.2
Waktu Penelitian Waktu penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juli
2016. 4.2
Desain Penelitian Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian cross sectional, yaitu
pengumpulan data variabel untuk mendapatkan gambaran Drug Related Problems pada pasien DM tipe 2 sebagai variabel terikat, dengan teknik pengambilan data secara retrospektif, melalui pengamatan data dari rekam medik pasien di RS X di Tangerang Selatan pada periode bulan Juli 2014 – Juni 2015. 4.3
Populasi dan Sampel
4.3.1
Populasi Populasi adalah seluruh unsur yang akan diteliti. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh pasien DM yang dirawat inap RS X di Tangerang Selatan Juli 2014 – Juni 2015. Jumlah populasi berdasarkan hasil studi pendahuluan yaitu sebanyak 147 sampel. 4.3.2
Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi yaitu sebanyak 90 sampel, sehingga besar sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 90 sampel. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua rekam medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai penelitian. 4.4
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
4.4.1
Kriteria Inklusi 1. Rekam medik pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan. 2. Pasien DM tipe 2 dengan atau tanpa penyakit penyerta dan/atau komplikasi, berupa neuropati, nefropati, retinopati, penyakit jantung koroner, stroke, hipertensi, gangguan hati, gangguan ginjal, penyakit paru, dan infeksi. 3. Pasien dengan rekam medis dan status pasien yang lengkap (memuat informasi dasar yang diperlukan dalam penelitian).
4.4.2
Kriteria Eksklusi 1. Pasien yang tidak memiliki rekam medis lengkap dan jelas (42 sampel). Lengkap dan jelas seperti terdapat nomor rekam medis, identitas pasien ( nama, jenis kelamin, dan usia), tanggal perawatan pasien. 2. Wanita hamil (2 sampel). 3. Pasien pulang paksa (13 sampel).
4.5
Prosedur Penelitian
4.5.1
Persiapan 1. Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Kepala Instalasi RS X di Tangerang Selatan. 2. Penyerahan surat persetujuan penelitian dari RS X di Tangerang Selatan kepada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.5.2
Pengumpulan Data 1. Penelusuran pada data pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan periode Juli 2014 – Juni 2015. 2. Proses pemilihan pasien yang termasuk ke dalam kriteria inklusi. 3. Pengambilan data dan pencatatan data hasil rekam medis, berupa :
a. Nomor rekam medis.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
b. Identitas pasien (nama, jenis kelamin, umur ). c. Diagnosa penyakit, riwayat penyakit pasien dan keluhan pasien. d. Penggunaan obat (jenis, regimen dosis, dan aturan penggunaan). e. Outcomes pasien (kadar GDP dan GDS). 4. Menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga didapatkan kesimpulan dari penelitian 4.5.3
Pengolahan Data (Notoatmodjo, 2012) 1. Editing data. Sebelum melakukan penilaian pada data mentah, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kembali kebenaran data yang diperoleh dan mengeluarkan data yang tidak memenuhi kriteria penelitian. 2. Coding data. Coding berupa kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Penelitian melakukan coding terhadap data yang terpilih dari proses seleksi untuk mempermudah analisis di program Microsoft Excel. 3. Entry data. Setelah dilakukan coding lalu data dimasukan ke dalam program Microsoft Excel dalam bentuk tabel. 4. Cleaning data. Data yang sudah dimasukan diperiksa kembali sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, untuk menghindari terjadinya ketidaklengkapan atau kesalahan data.
4.5.4
Analisis Data Analisis data yang dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences). Variabel dianalisis dengan menggunakananalisa univariat dan bivariat. 1. Analisis univariat. Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap variabel (terikat maupun bebas) yang akan diteliti secara deskriptif. Tujuannya adalah untuk melihat sebaran data setiap variabel.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
Adapun pengolahan data dengan menggunakan analisis univariat adalah karakteristik pasien, yang meliputi: a. Usia b. Jenis kelamin c. Penggunaan obat DM tipe 2 d. Outcomes pasien (kadar GDP dan GDS). 2. Analisis bivariat. Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan / berkorelasi dan untuk melihat kemaknaan antara variabel. Adapun pengolahan data dengan menggunaan analisis bivariat ialah : Karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, penggunaan obat DM tipe 2) terhadap DRP yang meliputi interaksi obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil
5.1.1
Karakteristik Umum Subjek Penelitian Demografi pasien dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, jenis
penyakit penyerta dan jumlah penggunaan obat. Jumlah pasien DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan pada tahun 2014 dan 2015 adalah 147 pasien dan kemudian dipilih 90 pasien yang masuk kriteria inklusi dalam penelitian ini. Tabel 5.1 Karakteristik Pasien DM Tipe 2 Berdasarkan Jenis kelamin, Usia, Jumlah Penyakit Penyerta, dan Jumlah Penggunaan Obat di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015 No. 1
2
3
4
Karakteristik Subjek Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Usia a. < 45 tahun b. ≥45 tahun Jumlah Penyakit Penyerta a. < 5 Penyakit Penyerta b. ≥ 5 Penyakit Penyerta Jumlah Penggunaan Obat a. < 5 Obat b. ≥ 5 Obat
Jumlah Rekam Medik (n=90)
Presentase (%)
18 72
20,0 80,0
17 73
18,8 81,1
69 21
76,6 23,3
34 56
37,7 62,2
Berdasarkan Tabel 5.1, diperoleh gambaran mengenai karakteristik umum subjek penelitian. Gambaran umum karakteristik subjek yang dominan antara lain 80% perempuan; 81,11% usia pasien berusia ≥45 tahun; 76,6% pasien menderita <5 penyakit penyerta; serta 62,2% pasien menerima ≥5 obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Tabel 5.2 Distribusi Penyakit Penyerta Pasien DM Tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015 No
Penyakit Penyerta
Frekuensi
Presentase (%)
1 2 3
Hipertensi Dispepsia CHF
17 12 10
14,1 10,0 8,3
4
Ulkus
10
8,3
5 6
CKD Anemia
10 9
8,3 7,5
7 8 9 10
Stroke, Infark, Hemiprasedektra DKA TB Paru AKI
7 6 6 5
5,8 5,0 5,0 4,1
11 12
Febris Gastropati diabetikum
5 4
4,1 3,3
13 14
Hiperglikemia CAD
4 3
3,3 2,5
15
Hepatitis
3
2,5
16 17
DHF Nefropati
2 2
1,6 1,6
18
Sirosis
2
1,6
19 ISK 2 1,6 20 Hiponatremia 1 0,8 Keterangan: AKI = Acute Kidney Injury; CAD = Coronary Arteri Disease; CHF = Chronic Heart Failure; CKD = Chronic Kidney Disease; DAK = Diabetic Ketoacidosis; DHF= Dengue Haemorrhagic Fever; ISK = Infeksi Saluran Kemih; TB Paru = Tubercolosis Paru
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis penyakit penyerta yang paling banyak terjadi pada pasien DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan adalah hipertensi sebanyak 17 pasien (14,16%); diikuti dispepsia sebanyak 12 pasien (10%); CHF, ulkus, dan CKD sebanyak 10 pasien (8,33%); anemia sebanyak 9 pasien (7,5%), serta penyakit lainnya yang berada dibawah 7%. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.2 5.1.2
Profil Penggunaan Obat Antidiabetes Persentase penggunaan obat antidiabetes di RS X di Tangerang Selatan
periode Juli 2014 - Juni 2015 yang diambil dari 90 rekam medik. Terdapat 115 penggunaan obat antidiabetes ditunjukkan oleh Tabel 5.3.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
Tabel 5.3 Persentase Penggunaan Obat Antidiabetes Pasien Rawat Inap DM Tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 - Juni 2015 No. Nama Obat Jumlah Penggunaan Presentase (n=115) (%)
1 2 3 4 5
Insulin Aspart (Novorapid) Insulin Glargline (Lantus) Metformin Glimepirid Acarbosa
47 34 23 11 1
40,8 29,5 20,0 9,5 0,8
Berdasarkan tabel 5.3, menunjukkan bahwa persentase tertinggi penggunaan obat antidiabetes yakni insulin aspart 40,8%; insulin glargline 29,5%; metformin 20,0%; glimepirid 9,5%; dan acarbosa 0,8%. 5.1.3
Karakteristik Kejadian Interaksi Obat pada Pasien
Berdasarkan penelitian terhadap 90 rekam medik pada periode Juli 2014 Juni 2015, diperoleh jumlah interaksi obat sebanyak 57,7% dengan karakteristik kelompok usia ≥45 tahun (48,8%); pasien dengan <5 penyakit penyerta (51,1%); dan mendapat terapi ≥5 obat (50%). Gambaran umum kejadian interaksi obat secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Distribusi kejadian interaksi obat pada pasien DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan periode Juli 2014 – Juni 2015 No. Karakteristik Subjek Berinteraksi Tidak berinteraksi
1
2
3
Usia a. < 45 tahun b. ≥ 45 tahun Jumlah Penyakit Penyerta a. < 5 penyakit penyerta b. ≥ 5 penyakit penyerta Jumlah Penggunaan Obat a. < 5obat b. ≥ 5 obat
Frekuensi (n=52)
% (n=57,7)
Frekuensi (n=38)
% (n=42,2)
8 44
8,8 48,9
10 28
11,1 31,1
46 6
51,1 6,6
18 20
20,0 22,2
7 45
7,7 50,0
27 11
30,0 12,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
5.1.4
Gambaran Interaksi Obat pada Pasien Berdasarkan Mekanisme dan
Tingkat Keparahan Analisis terhadap 90 rekam medik menunjukkan hasil persentase potensi interaksi obat antidiabetes yaitu 57,7%, dari 165 resep ditemukan 115 resep memiliki potensi interaksi obat, yang terdiri dari 20 jenis kasus interaksi obat yang berpotensi menyebabkan hipoglikemia dan 6 jenis kasus interaksi yang berpotensi menyebabkan hiperglikemia (Tabel 5.5 dan Tabel 5.6). Obat yang paling sering mengalami potensi interaksi adalah metformin 38,6%, glimepirid 33,3%, insulin aspart 20%, dan insulin glargline 8% (Tabel 5.7), dengan mekanisme interaksi farmakokinetik 48%, farmakodinamik 38,6%, dan unknown 13,3% (Tabel 5.8). Tingkat keparahan potensi interaksi obat antara lain minor 13,9%, moderate 86%, dan major 0% (Tabel 5.9). Tabel 5.5 Interaksi Obat-Obat yang Berpotensi Hipoglikemia/Menurunkan Kadar Gula Darah pada Pasien DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015 No Nama Obat Pola Mekanisme Tingkat Mekanisme Interaksi Jumlah % Interaksi Keparahan Kejadian Interaksi (n=64) 1 Glimepirid + unknown Moderate Asam mefenamat 1 1,3 asam meningkatkan efek mefenamat glimepirid melalui mekanisme yang tidak diketahui. Beresiko hipoglikemia. 2 Glimepirid + farmakokinetik Moderate Aspirin dapat 1 1,3 aspirin menstimulasi sekresi insulin atau meningkatkan konsentrasi plasma dari glimepirid dengan menggantinya dari situs pengikatan protein dan/atau menginhibisi metabolismenya . beresiko hipoglikemia 3 Glimepirid + farmakodinamik Moderate Captopril meningkatkan 1 1,3 captopril efek glimepirid oral melalui sinergisme farmakodinamik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
(peningkatan sensitivitas insulin)
4
Glimepirid + ciprofloxacin
farmakodinamik
Moderate
5
Glimepirid + insulin aspart (Novorapid)
farmakodinamik
Moderate
6
Glimepirid + ketorolak
unknown
Moderate
7
Glimepirid + natrium diklofenak
farmakokinetik
Moderate
8
Glimepirid + omeprazole
farmakokinetik
Moderate
9
Glimepirid + ranitidin
farmakokinetik
Moderate
Ciprofloxacin meningkatkan efek glimepirid melalui sinergisme farmakodinamik. Glimepirid, insulin aspart. Salah satunya meningkatkan efek yang lain melalui sinergisme farmakodinamik Ketorolac meningkatkan efek glimepirid melalui mekanisme yang tidak diketahui. Beresiko hipoglikemia. Na Diclofenac dapat menstimulasi sekresi insulin atau meningkatkan konsentrasi plasma dari glimepirid dengan menggantinya dari situs pengikatan protein dan/atau menginhibisi metabolismenya . beresiko hipoglikemia
1
1,3
4
5,3
1
1,3
1
1,3
Penghambatan metabolisme CYP2C9 sulfonilurea. Konsentrasi sulfonilurea serum dapat meningkat, meningkatkan efek hipoglikemia Antagonis reseptor H2 seperti simetidin dan ranitidin dapat meningkatkan efek hipoglikemik. Mekanismenya diduga berhubungan dengan inhibisi metabolisme
5
6,7
9
12,0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
10
Glimepirid + simvastatin
unknown
Minor
11
Insulin aspart (Novorapid) + aspirin
farmakodinamik
Moderate
12
Insulin aspart (Novorapid) + captopril
farmakodinamik
Moderate
13
Insulin aspart (Novorapid) + ciprofloxacin
farmakodinamik
Moderate
14
Insulin glargline (Lantus) + metformin
farmakodinamik
Moderate
15
Metformin + asam folat
unknown
Minor
16
Metformin + ciprofloxacin
farmakodinamik
Moderate
17
Metformin + digoxin
farmakokinetik
Moderate
sulfonilurea di hati oleh simetidin sehingga meningkatkan efeknya. Konsentrasi sulfonilurea meningkat, meningkatkan efek hipoglikemia Aspirin meningkatkan efek insulin aspart dengan sinergisme farmakodinamik (peningkatan sekresi insulin) Captopril meningkatkan efek insulin aspart oral melalui sinergisme farmakodinamik (peningkatan sensitivitas insulin) Ciprofloxacin meningkatkan efek insulin aspart melalui sinergisme farmakodinamik. Beresiko hiperglikemia Metformin dapat meningkatkan efek hipoglikemik insulin glargine dengan meningkatkan mekanisme kontrol selular oleh insulin atau efek pada reaksi biokimia komplementer. Metformin menurunkan level asam folat melalui mekanisme interaksi yang tidak diketahui Ciprofloxacin meningkatkan efek metformin melalui sinergisme farmakodinamik. Beresiko hiperglikemia Digoxin akan meningkatkan level/efek
1
1,3
1
1,3
5
6,6
3
4,0
5
6,6
2
2,6
1
1,3
2
2,6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
18
Metformin + diltiazem
farmakokinetik
Minor
19
Metformin + furosemid
unknown
Moderate
20
Metformin + ranitidin
farmakokinetik
Moderate
metformin dengan kompetisi pembasaan obat untuk kliren tubular renal. Beresiko asidosis laktat. Diltiazem akan meningkatkan level/efek metformin dengan kompetisi pembasaan (kationik) obat untuk klirens renal tubular. Furosemid meningkatkan level metformin, beresiko hipoglikemia Ranitidin akan meningktkan level/efek metformin melalui penurunan klirens ginjal/kompetisi transport tubular renal.
1
1,3
2
2,6
17
22,6
Tabel 5.6 Interaksi Obat-Obat yang Berpotensi Hiperglikemia/Meningkatkan Kadar Gula Darah pada Pasien DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015 No Nama Obat Pola Mekanisme Tingkat Mekanisme Interaksi Jumlah % Interaksi Keparahan Kejadian Interaksi (n=11) 1 Insulin aspart farmakodinamik Moderate Dexamethasone 2 2,6 (Novorapid) + menurunkan efek insulin dexamethasone aspart melalui antagonism farmakodinamik. Dapat menyebabkan hiperglikemia dan intoleransi glukosa. 2 Insulin aspart farmakodinamik Moderate Levofloxacin 1 1,3 (Novorapid) + menurunkan efek insulin levofloxacin aspart melalui antagonism farmakodinamik. Beresiko hiperglikemia. 3 Insulin aspart farmakodinamik Moderate Metilprednisolon 3 4,0 (Novorapid) + menurunkan efek insulin metil aspart melalui
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
Prednisolon 4
5
6
Insulin glargline (Lantus) + metil prednisolon Metformin + dexamethasone
farmakodinamik
Moderate
farmakodinamik
Moderate
Metformin + ISDN
unknown
Minor
antagonisme farmakodinamik Metilprednisolon menurunkan efek insulin glargline melalui antagonisme farmakodinamik Dexamethasone menurunkan efek metformin melalui antagonism farmakodinamik. Dapat menyebabkan hiperglikemia dan intoleransi glukosa. ISDN menurunkan level metformin mekanisme interaksi tidak diketahui.
1
1,3
1
1,3
3
4,0
Tabel 5.7 Distribusi pasien DM tipe 2 yang memiliki potensi interaksi obat berdasarkan jenis obat di RS X di Tangerang Selatan periode Juli 2014 – Juni 2015 No. Nama obat Jumlah % (n=75) 1 Metformin 29 38,6 2 3 4
Glimepirid Insulin aspart Insulin glarlgine
25 15 6
33,3 20,0 8,0
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh obat antidiabetes yang sering memiliki potensi interaksi obat adalah metformin 38,6%, dan glimepirid 33,3% (Tabel 5.7). Hasil yang diperoleh dipengaruhi dari tingginya peresepan obat yang melibatkan obat-obat tersebut di RS X di Tangerang Selatan. Tabel 5.8 Persentase Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien DM Tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015 No Jenis interaksi Jumlah % (n=75) 1 Farmakokinetik 36 48,0 2 Farmakodinamik 29 38,6 3 Unknown 10 13,3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh jenis interaksi yang paling banyak terjadi
adalah
interaksi
farmakokinetik
sebesar
48%,
diikuti
interaksi
farmakodinamik sebesar 38,6%, serta interaksi unknown sebesar 13,3%. Tabel 5.9 Persentase Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien DM Tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015 No Jenis interaksi Jumlah (n=75) % 1 Moderate 68 86 2 Minor 7 13,9
Berdasarkan tingkat keparahan, interaksi obat yang terjadi mayoritas mempunyai tingkat keparahan moderate 86%, dan tingkat keparahan minor 13,9%. Data ditunjukkan pada Tabel 5.9. 5.1.5
Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Pasien Diabetes
Mellitus Berdasarkan penelitian terhadap 90 rekam medik pada periode Juli 2014 Juni 2015, diketahui terdapat 42 pasien (46,6%) yang memiliki potensi interaksi obat, yang mengakibatkan tidak tercapainya outcomes klinik pasien (kontrol gula darah). Tabel 5.10 Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Klinik Pasien DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015 No.
Interaksi Obat Berinteraksi
1 2 3 4
5.1.6
Outcomes Klinik Tidak berinteraksi
√ √
Outcomes tidak tercapai √
√ √
Hubungan
Outcomes tercapai √
Subjek
√ √
Penelitian
dengan
Jumlah (n= 90)
%
10 42 37 1
11,1 46,6 41,1 1,1
Potensi
Interaksi
Obat
Antidiabetes Peneliti melihat dari hasil analisa data crosstabs, apakah nilai p> 0,05 atau nilai p> 0,05. Jika nilai p> 0,05 maka uji dapat dikatakan tidak memiliki hubungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
yang signifikan. Jika nilai p< 0,05 maka uji dapat dikatakan memiliki hubungan yang signifikan pada kedua variabel.
5.1.6.1 Hubungan Usia dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes Berdasarkan analisis hubungan antara usia dengan interaksi obat menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini. Tabel 5.11 Analisis Hubungan Antara Usia dengan Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien DM Tipe2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015 Intekasi Obat Nilai P Usia Berinteraksi Tidak Berinteraksi Jumlah % Jumlah % < 45 tahun 8 8,8 10 11,1 0,200 ≥ 45 tahun 44 48,8 28 31,1 Total 52 57,7 38 42,2
Hasil analisis Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya hubungan yang tidak bermakna antara variabel usia dan interaksi obat antidiabetes, dimana nilai p=0,200 (p>0,05). 5.1.6.2 Hubungan Jumlah Penyakit Penyerta dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes Berdasarkan analisis hubungan antara jumlah penyakit penyerta dengan interaksi obat menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini. Tabel 5.12 Analisis Hubungan Antara Jumlah Penyakit Penyerta dengan Interaksi Obat Antidiabetes Interaksi Obat Nilai P Penyakit Berinteraksi Tidak berinteraksi penyerta Jumlah % Jumlah % < 5 penyakit 46 52,2 18 20,0 penyerta 0,000 ≥ 5 penyakit 6 6,6 20 22,2 penyerta Total 52 57,7 38 42,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Hasil analisis chi square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara variabel jumlah penyakit penyerta dan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes dimana nilai p=0,000 (p<0,05). 5.1.6.3 Hubungan Jumlah Obat dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes Berdasarkan analisis hubungan antara jumlah penyakit penyerta dengan interaksi obat menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini. Tabel 5.13 Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan Interaksi Obat Antidiabetes Interaksi Obat Nilai P Jumlah obat Berinteraksi Tidak berinteraksi Jumlah % Jumlah % < 5 obat 7 7,7 27 30,0 0,000 ≥ 5obat 45 50,0 11 12,2 Total 52 57,7 38 42,2
Hasil analisis Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara variabel jumlah penggunaan obat dan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes dimana nilai p=0,000 (p<0,05).
5.1.7
Pengaruh Kejadian Interaksi Obat terhadap Outcomes pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 Berdasarkan analisis hubungan antara interaksi obat dengan outcomes klinik menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini. Tabel 5.14 Analisis Hubungan Antara Interaksi Obat dengan Outcomes Klinik Pasien DM Tipe 2 Outcomes klinik Nilai P interaksi Tercapai Tidak tercapai Jumlah % Jumlah % Interaksi 10 11,1 42 46,6 0,000 Tidak 37 41,1 1 1,1 berinteraksi Total 47 52,2 43 47,7
Hasil analisis Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara variabel interaksi obat dan outcomes klinik pasien DM tipe 2 dimana nilai p=0,000 (p<0,05).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
5.2
Pembahasan
5.2.1
Karakteristik Pasien
5.2.1.1 Karakteristik Umum Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah pasien DM perempuan lebih banyak daripada pasien laki-laki. Hal ini sesuai dengan data RISKESDAS tahun 2013 yang menyatakan bahwa pasien DM pada wanita lebih banyak (1,7%) dibandingkan pada laki-laki (1,4%). Pernyataan tersebut juga didukung dengan penelitian lainnya, dimana setelah usia 30 tahun, wanita memiliki risiko terkena DM lebih tinggi dibandingkan pria (Ramaiah, 2007). Kemudian dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tigauw, et al., (2014) menunjukkan pasien DM perempuan lebih banyak (66,7%) daripada laki-laki (33,3%). Namun, penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari University of Glasgow, Skotlandia menunjukkan jenis kelamin lakilaki menderita DM lebih tinggi daripada perempuan (Pramudiarja, 2011). Penyakit DM lebih banyak terjadi pada perempuan disebabkan karena pada perempuan memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita beresiko menderita DM tipe 2 (Sustrani, 2006). 5.2.1.2 Karakteristik Umum Berdasarkan Usia Berdasarkan hasil penelitian, penderita DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan usia pasien yang paling muda adalah 23 tahun, dan yang paling tua adalah 89 tahun. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok usia penderita DM paling banyak terjadi pada usia ≥ 45 tahun. Riskesdas (2013) melaporkan bahwa usia penyakit DM dominan terjadi pada usia 55-64 tahun dan cenderung menurun setelah usia ≥65 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Kekenusa, et al. (2006) juga menunjukkan bahwa pasien DM tipe 2 didominasi kelompok usia ≥45 tahun. Usia ≥45 tahun memiliki resiko 8 kali lebih besar terkena penyakit DM tipe 2 dibandingkan usia <45 tahun. Hal ini dapat terjadi karena pada lansia terjadi perubahan fisik dan penurunan fungsi tubuh yang mempengaruhi kemampuan fisik dan menurunkan kekebalan tubuh, serta proses
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
metabolisme yang menurun yang tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik (Maryam, et al., 2008). Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. DM sering muncul setelah seseorang memasuki usia rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun (Irawan, 2010). Menurut Waspadji (2008), usia lanjut mengalami peningkatkan produksi insulin glukosa dari hati (hepatic glucose production), cenderung mengalami resistensi insulin, dan gangguan sekresi insulin akibat penuaan dan apoptosis sel beta pankreas. Pada usia lanjut dengan indeks tubuh normal, gangguan lebih banyak pada sekresi insulin di sel beta pankreas, sementara pada usia lanjut dengan obesitas, gangguan lebih banyak pada resistensi insulin di jaringan perifer seperti sel otot, sel hati, dan sel lemak (adiposit) (Pramono, 2010). 5.2.1.3 Karakteristik Umum Berdasarkan Penyakit Penyerta Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penderita DM paling banyak memiliki ≤5 penyakit penyerta. Menurut literatur, dikatakan bahwa pasien DM mengalami rata-rata 5 penyakit penyerta (Cipolle, et al., 2013). Jenis penyakit penyerta yang dialami pasien rawat inap penyakit DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan yang paling banyak adalah hipertensi dan dispepsia. Penyakit Hipertensi pada pasien DM adalah komplikasi makroangiopati (kelainan pada pembuluh darah besar) (Carlisle,2005). Tingginya penyakit penyerta hipertensi yang dialami pasien DM tipe 2 dikarenakan terjadinya peningkatan kadar gula darah pada pasien DM yang dapat menyebabkan hiperfiltrasi glomeruler dan albuminuria. Hiperglimia dapat menyebabkan perubahan jalur metabolisme dan feedback tubuloglomeruler akibat stres oksidatif dan agregasi AGE (Advance Glycosolation End Product). Perubahan feedback tubuloglomeruler dapat menyebabkan perubahan hemodinamik dalam ginjal, termasuk hiperfiltrasi, vasodilatasi renal, dan peningkatan aliran darah ginjal. Adanya tekanan glomeruler dapat meningkatkan aktivasi sistem renin-angiotensin dan endotelin yang dapat meningkatkan tekanan darah sistemik (Schutta, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Penyakit hipertensi juga dapat disebabkan karena pasien DM tipe 2 umumnya memiliki usia ≥ 45 tahun, dimana dengan bertambahnya usia maka tekanan darah juga akan meningkat. Setelah usia 45 tahun dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot sehingga pembuluh darah berangsur angsur akan mengalami penyempitan dan menjadi kaku (Anggraini, dkk., 2009; Manroe, 2007; Yusnidar, 2007). Penyakit penyerta dispepsia juga termasuk penyakit penyerta terbanyak setelah hipertensi, yang diderita oleh pasien DM tipe 2. Gangguan fungsi saluran cerna merupakan masalah yang sering ditemui pada penderita DM, dimana hal ini berkaitan dengan terjadinya disfungsi neurogenik dari saluran cerna tersebut atau kelainan motilitas lambung yang memicu terjadinya dispepsia (Sutadi, 2003). DM juga dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual dan muntah (Hadi, 2002). 5.2.1.4 Karakteristik Umum Berdasarkan Jumlah Obat Berdasarkan
jumlah
obat
yang
digunakan,
diperoleh
data
yang
menunjukkan bahwa peresepan ≥5 obat memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan peresepan <5 obat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mayasari (2013), menunjukkan bahwa pada pasien DM lebih dari 50% menerima obat ≥5. Hal ini dapat terjadi karena pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin dan sekresi insulin yang semakin rendah dari waktu ke waktu. Kebanyakan individu dengan DM tipe 2 menunjukkan sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik. Karena kelainan ini, pasien dengan DM tipe 2 beresiko mengalami komplikasi (Triplitt, et al., 2008). Hal tersebut menyebabkan pasien membutuhkan terapi lebih dari satu obat atau memerlukan terapi kombinasi untuk mendapatkan kontrol yang baik (Shastry, et al., 2015).
5.2.2
Profil Penggunaan Obat Antidiabetes Profil penggunaan obat bertujuan untuk mengetahui obat apa saja yang
digunakan oleh pasien DM di RS X di Tangerang Selatan. Berdasarkan penelitian ini, obat antidiabetes yang paling banyak digunakan adalah insulin aspart.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Penggunaan insulin ini diberikan pada kondisi pasien DM telah mengalami ketidaksadaran atau memiliki kadar glukosa darah yang sangat tinggi. Pasien dengan kadar glukosa yang tinggi menunjukkan bahwa pasien telah mengalami komplikasi lainnya. Banyaknya penggunaan insulin aspart disebabkan karena memiliki kerja yang cepat (rapid acting) serta memiliki keunggulan dalam hal penyuntikannya. Insulin dapat disuntikkan 15 menit sebelum makan dan insulin regular dapat disuntikkan 30 menit sebelum makan. Penelitian yang dilakukan oleh Istiqomatunnisa (2014) juga menunjukkan bahwa insulin merupakan salah satu obat antidiabetes injeksi yang banyak digunakan pada pasien rawat inap DM. Penggunaan insulin diberikan jika kondisi pasien memiliki kadar glukosa yang sangat tinggi dan mengalami komplikasi. Jika kadar glukosa darah sudah relatif stabil maka dapat dilakukan evaluasi terhadap penyakit komplikasi yang diderita oleh pasien. Insulin aspart banyak digunakan karena memiliki kerja onset kerja cepat dan menurunan kadar glukosa postprandial lebih cepat dibandingkan insulin regular. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah, seperti ketika penderita mengalami stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut atau stroke, ketoasidosis diabetik. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang
meningkat,
secara
bertahap
memerlukan
insulin
eksogen
untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin (Depkes RI, 2005). Penggunaan obat diabetes oral yang paling banyak digunakan adalah metformin, yang termasuk dalam golongan biguanida, sedangkan sisanya berasal golongan sulfonilurea yaitu glimepirid. Pemilihan obat yang digunakan dalam terapi sudah sesuai dengan tatalaksana pengobatan DM dimana lini pertama terapi menggunakan obat golongan biguanida, dan lini kedua menggunakan golongan sulfonilurea (Mclntosh, et al 2001).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
Metformin dapat meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi glukosa di jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam hati dan meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer (Tjay dan Rahardja, 2007). Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas (Schteingart, 2005). Metformin juga dapat menurunkan kadar trigliserida hingga 16%, LDL kolesterol hingga 8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat meningkatkan HDL kolesterol hingga 2% (Soegondo, 2004). Pada pemakaian tunggal, metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20% (Waspadji, 2004). 5.2.2.1 Profil Obat Profil obat merupakan seluruh kelompok obat yang digunakan oleh pasien DM tipe 2 yang terdiri dari beberapa golongan obat dan mempunyai masing-masing tujuan pengobatan yang sama yang diberikan kepada pasien, yang digunakan untuk mengobati penyakit komplikasi dan penyerta yang diderita pasien. Penggolongan obat ini dilakukan berdasarkan formularium RS X di Tangerang Selatan. Dari hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa obat antidiabetes digunakan oleh semua pasien. Obat yang paling banyak digunakan pertama yaitu obat gastrointestinal, sedangkan obat kardiovaskular diurutan kedua. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria Fea Fessy tahun 2010, dimana frekuensi penggunaan obat terbanyak setelah obat antidiabetes yaitu obat kardiovaskular. Penggolongan obat pada pasien geriatri penderita DM tipe 2
yang
mendapat obat hipoglikemia kombinasi ini terdiri dari 10 kelas terapi yang meliputi: a.
Obat Susunan Saraf Obat-obat yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) merupakan obat yang
hampir semua obat SSP bekerja pada reseptor khusus yang mengatur transmisi sinaps. Obat susunan saraf terdiri dari beberapa golongan yaitu analgesikantipiretik,
antiinflamasi
nonsteroid
dan
anti
reumatik,
preparat
gout,
antisiolitik/antiansietas, antipsikosis, hipnotik-sedatif, nootropik dan neurotonik,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
antiepilepsi-antikonvulsi, antidepresi, anti emetik, dan relaksan otot. Namun terdapat golongan yang tidak terdapat pada penelitian yaitu golongan antidepresi. Obat analgesik antipiretik serta obat NSAID merupakan salah obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter. Salah satu fungsi dari golongan seperti golongan antiinflamasi nonsteroid-antipiratik untuk penyakit artritis rheumatoid, osteoatrhtritis, dan spondilitis. Tetapi harus diingat bahwa obat ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah jaringan pada kelainan muskoskeletal (Gunawan, dkk., 2009). Contoh obat yang digunakan adalah meloksikam yang diindikasikan untuk menangani penyakit penyerta yang diderita oleh pasien geriatri penderita DM tipe 2, seperti nyeri dan radang, gangguan skelet dan osteoatritis. Pasien usia lanjut memiliki kerentanan terhadap efek samping obat golongan NSAID yaitu gangguan saluran cerna, untuk itu diperlukan pemantauan yang lebih. b.
Obat Kardiovaskular Penyakit kardiovaskular merupakan masalah yang sangat penting pada usia
lanjut. Karena hal ini dapat mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyakitpenyakit lainnya sehingga harus cepat ditangani. Penggunaan obat kardiovaskular oleh pasien berada diurutan nomor dua terbanyak yang digunakan oleh pasien. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria Fea Fessy tahun 2010, dimana penggunaan obat kardiovaskular pada pasien geriatri dengan DM terbanyak yaitu golongan Angiotensin Receptor Blockers (ARBs). Golongan ini bekerja dengan cara menghambat aktivitas angiotensin II hanya di reseptor AT 1 dan tidak di reseptor AT2 . AT1 bloker juga tidak menimbulkan efek samping batuk kering (Gunawan, dkk., 2009). Obat-obat golongan ini tidak memiliki efek terhadap metabolisme bradikinin sehingga merupakan penghambat yang lebih selektif terhadap efek angiotensin dibandingkan dengan penghambat ACE. Mereka juga memiliki potensi untuk menghambat kerja angiotensin secara lebih menyeluruh dibandingkan dnegan penghambat ACE sebab terdapat enzim-enzim lain selain ACE yang dapat menghasilkan angiotensin II. Obat golongan ini mempunyai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
keuntungan sama seperti obat golongan penghambat golongan ACE. Dan efek samping keduanya pun mirip yaitu tidak boleh digunakan selama kehamilan (Katzung, 2010). Penggunaan obat golongan obat anti hipertensi cukup banyak, hal ini sesuai seperti yang digambarkan pada karakteristik subjek penelitian berdasarkan penyakit komplikasi yang paling banyak diderita yaitu hipertensi (Gunawan, dkk., 2009). c. Obat Saluran Pernapasan Terdapat 2 golongan obat yang digunakan pada obat saluran pernapasan ini yaitu antitusif/ mukolitik dan anti asma. Obat-obat saluran penapasan khususnya untuk asma, memiliki efek farmakologi penting dalam pengobatannya yaitu melemaskan otot polos saluran napas dan menghambat pelepasan mediator bronkokonstriksi dari sel-sel mast. Salbutamol dapat menyebabkan bronkodilatasi yang setara dengan yang dihasilkan isoproterenol. Salbutamol mengandung albuterol yang juga merupakan golongan obat selektif β 2 yang paling banyak digunakan dalam pengobatan asma (Katzung, 2010). Sedangkan obat mikolitik ialah obat yang dapat mengencerkan sekret saluran
napas
dengan
jalan
memecah
benang-benang
mukoprtein
dan
mukopolisakarida dari sputum (Gunawan, dkk., 2009). Contoh obat yang digunakan oleh pasien DM tipe 2 pada penelitian adalah ambroksol. d. Obat Saluran Cerna Obat saluran cerna merupakan obat yang paling banyak digunakan oleh pasien rawat inap geriatri DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan. Obat saluran cerna yang digunakan dalam penelitian ini adalah obat golongan antiulkus peptikum, anti spasmodik, laksatif, antasida, anti diare, pencahar, serta enzim pencernaan. Obat-obat tersebut digunakan untuk mengatasi efek samping yang timbul dari penggunaan obat antidiabetik, serta obat lainnya yang digunakan oleh pasien untuk mengatasi keluhan lainnya. Salah satunya, obat kelompok antagonis histamin H2 yaitu ranitidin digunakan oleh banyak pasien. Mekanisme kerja ranitidin yaitu dengan cepat menyerap di usus, ranitidin mengalami metanolisme lintas-pertama di hati sehingga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
membuat biovailabilitasnya manjadi sekitar 50%.Antagonis H 2 menunjukkan inhibisi kompetitif di reseptor H2 sel parietal dan menean sekresi asam, baik eksresi asam basal maupun yang di rangsang oleh makanan, secara linear dan bergantung pada dosis. Obat ini sangat selektif dan tidak mempengaruhi reseptor H 1 dan H2 volume sekresi lambung dan kadar pepsin berkurang (Katzung, 2010). e.
Cairan Untuk Keseimbangan Air, Elektrolit, Dialisis dan Nutrisi Obat yang digunakan pada golongan obat ini yaitu KSR yang diberikan
dalam bentuk sediaan tablet. Kedua obat ini digunakan untuk membantu meningkatkan kadar ion kalium dalam darah yang kurang. f.
Anti Infeksi Penggunaan antiinfeksi sebagai agen antibakteri pada pasien DM sangat
penting karena jika terjadi luka akan lebih sukar sembuh. Hal ini karena pada lingkungan yang mengandung kadar glukosa yang tinggi merupakan tempat perkembangan bakteri yang baik. Obat yang digunakan pada penelitian terdapat beberapa golongan yaitu golongan penicillin, sefalosforin, antifungi dan golongan lain. Salah satu yang banyak digunakan adalah siprofloksasin yang termasuk dalam kelompok kuinolon. Siprofloksasin dapat melawan bakteri gram positif dan negatif. Antibiotik ini diindikasikan untuk mengobati pneumonia dan beberapa beberapa stafilokokus. Mekanisme aksi obat siprofloksasin ini dengan menyekat sintesis DNA bakteri dengan menghambat topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV bateri. DNA girase mencegah relaksasi DNA supercoiled positif yang diperlukan untuk trasnkripsi dan replikasi normal sehingga sintesis DNA terganggu (katzung, 2010). g.
Vitamin dan Mineral Vitamin dan beberapa mineral penting untuk metabolisme. Vitamin
merupakan senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil untuk mempertahankan kesehatan dan sering kali bekerja sebagai kofaktor untuk enzim metabolisme. Sedangkan mineral merupakan senyawa anorganik yang merupakan bagian penting dari enzim, mengatur berbagai fungsi fisiologis, dan dibutuhkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan termasuk tulang (Gunawan, dkk., 2009). h. Obat Penyakit Kulit Obat yang digunakan untuk penyakit kulit yaitu fluconazol golongan imidazol. Obat fluconazol digunakan secara topikal (seperti kulit), atau pada membran mukosa untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh fungi. Fluconazol terutama efektif untuk histoplasmolisis paru, tulang, sendi, dan jaringan lemak. Mekanisme kerjanya dengan cara fluconazol masuk kedalam sel jamur dan menyebabkan kerusakan dinding sel sehingga permeabilitas terhadap zat intrasel meningkat. Sedangkan obat kemisetin umumnya bersifat bakteriostatik. Obat ini terikat pada ribosom subunit 50S dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman, mekanisme ini juga diduga dapat menyebabkan efek toksik pada obat ini (Gunawan, dkk., 2009).
5.2.3
Karakteristik Potensi Interaksi Obat pada Pasien Diabetes Melitus
5.2.3.1 Karakteristik Berdasarkan Usia Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh potensi interaksi obat paling tinggi terjadi pada pasien dengan usia ≥ 45 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang, pasien DM yang berusia ≥ 45 tahun lebih berisiko mengalami interaksi obat dibandingkan dengan pasien yang berusia < 45 tahun (Putro, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sivva, et al. (2015) juga menunjukkan hal serupa, kelompok usia lansia adalah usia yang terbanyak mengalami interaksi obat, secara umum pasien lansia memiliki resiko terjadinya interaksi obat karena mereka kebanyakan memiliki banyak penyakit dan polifarmasi yang biasanya muncul dengan meningkatnya durasi dari kondisi penyakit dan perubahan fisiologi (Aravind, et al., 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
5.2.3.2 Karakteristik Berdasarkan Jumlah Penyakit Penyerta dan Jumlah Penggunaan Obat Berdasarkan jumlah penyakit penyerta dan jumlah penggunaan obat, potensi interaksi obat lebih tinggi pada pasien yang mengalami ≤ 5 Penyakit Penyerta dan pasien yang menerima ≥ 5 obat. Kemungkinan terjadinya interaksi obat semakin besar dengan adanya penyakit penyerta dan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan saat ini dan kecenderungan praktik polifarmasi (Tatro, 2009). Suatu survey yang dilaporkan pada tahun 1977 pada penderita yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insiden efek samping pada penderita yang mendapat 0-5 jumlah obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat 16-20 jumlah obat adalah 54%. Peningkatan efek samping obat ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga semakin meningkat (Setiawati, 2007). Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan meningkatnya penyakit penyerta, sehingga juga meningkatkan jumlah obat yang digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan mengalami penyakit kronis, karena mereka akan menggunakan obat-obatan lebih banyak daripada populasi umum. Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap yang diresepkan banyak pengobatan (Tatro, 2009).
5.2.4
Gambaran Interaksi Obat pada Pasien berdasarkan Mekanisme dan
Tingkat Keparahan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh obat antidiabetes yang sering memiliki potensi interaksi obat adalah
metformin, kemudian diikuti oleh
glimepirid. Hasil yang diperoleh dipengaruhi dari tingginya peresepan obat yang melibatkan obat-obat tersebut di RS X di Tangerang Selatan. Dari data penelitian, dapat dilihat pula bahwa potensi interaksi yang paling banyak adalah interaksi metformin dengan ranitidin. Mekanisme interaksi metformin dan ranitidin adalah farmakokinetik dimana ranitidin merupakan obat bersifat kationik dan secara teori dapat menurunkan ekskresi metformin dengan berkompetisi pada transport tubular ginjal (drugs.com, 2016)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
Potensi interaksi obat antara glimepirid dan ranitidin juga cukup banyak terjadi. Diketahui bahwa antagonis reseptor H2 seperti simetidin dan ranitidin dapat meningkatkan efek hipoglikemik. Mekanismenya diduga berhubungan dengan inhibisi metabolisme sulfonilurea di hati oleh ranitidin sehingga meningkatkan efeknya. Maka diperlukan pemantauan kadar glukosa darah, gejala hipoglikemia dan penyesuaian dosis sulfonilurea (drugs.com, 2016). 5.2.5
Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Subjek Penelitian Berdasarkan hasil penelitian diperoleh jenis interaksi yang paling banyak
terjadi adalah interaksi farmakokinetik, diikuti interaksi farmakodinamik, serta interaksi unknown. a. Mekanisme Farmakokinetik Interaksi farmakokinetik adalah jenis interaksi obat yang paling banyak terjadi. Dalam penelitian ini salah satu obat yang mempunyai potensi terjadinya interaksi obat secara farmakokinetik adalah interaksi antara metformin dan ranitidin. Mekanisme dari potensi interaksi obat antara metformin dan ranitidin, diketahui ranitidin akan meningktkan level/efek metformin melalui penurunan klirens ginjal/kompetisi transport tubular renal. Peningkatan level metformin dapat meningkatkan resiko asidosis laktat. Oleh karena itu titrasi dosis metformin direkomendasikan. Monitoring kadar glukosa darah dan tanda-tanda asidosis laktat seperti malaise, myalgia, gangguan pernapasan, hiperventilasi, detak jantung lambat atau tidak normal, kantuk, tidak nyaman pada perut, atau tanda-tanda tidak biasa lainnya (drugs.com, 2016). b. Mekanisme Farmakodinamik Berdasarkan penelitian ini, beberapa obat mempunyai potensi interaksi dengan mekanisme farmakodinamik seperti insulin-metformin dan insulin-aspirin. Kejadian potensi interaksi antara insulin dan metformin diketahui metformin dapat meningkatkan efek hipoglikemik insulin dengan meningkatkan mekanisme kontrol selular oleh insulin atau efek pada reaksi biokimia komplementer (drugs.com, 2016). Efeknya berhubungan dengan penurunan konsentrasi glukosa pada pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
dengan DM, sementara toleransi glukosa secara umum tidak diubah pada individu normal (Tatro, 2009). Tanda-tanda hipoglikemia termasuk sakit kepala, pusing, kantuk, kegugupan, bingung, tremor, nausea, lapar, lemah, perspirasi, palpitasi, dan detak jantung cepat. Penyesuaian dosis dan monitoring kadar glukosa darah secara ketat diperlukan pada pasien yang menerima terapi metformin dengan insulin (drugs.com, 2016). c. Mekanisme Tidak Diketahui (Unknown) Selain interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik, potensi interaksi obat yang terjadi dapat berupa interaksi yang tidak diketahui mekanismenya (unknown) seperti glimepirid-asam mefenamat dan glimepirid-ketorolac. Kejadian interaksi antara glimepirid dan asam mefenamat diketahui asam mefenamat meningkatkan efek glimepirid melalui mekanisme yang tidak diketahui dan beresiko menyebabkan hipoglikemia (drugs.com, 2016). Penggunaan kombinasi kedua obat ini perlu penyesuaian dosis glimepirid atau memantau risiko hipoglikemia (Medscape, 2016).
5.2.6
Tingkat Keparahan Interaksi Obat Antidiabetes pada Subjek
Penelitian Berdasarkan tingkat keparahan, potensi interaksi obat yang terjadi pada penilitian ini mayoritas mempunyai tingkat keparahan moderate. Beberapa interaksi lainnya memiliki tingkat keparahan minor. Tingkat keparahan dari interaksi penting dalam menilai resiko dan keuntungan dari suatu alternatif terapi. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi jadwal pemberian, efek negatif kebanyakan interaksi dapat dihindari (Tatro, 2009). Dalam penelitian ini ditemukan tingkat keparahan antara lain minor dan moderate. Suatu interaksi termasuk kedalam tingkat keparahan minor efeknya biasanya ringan, konsekuensinya dapat mengganggu atau tidak terlihat tetapi seharusnya tidak mempengaruhi keberhasilan terapi secara signifikan. Perlakuan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009). Kejadian potensi interaksi kategori minor pada penelitian ini sangat sedikit terjadi, salah satu contohnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
adalah interaksi antara metformin dengan ISDN. Diketahui ISDN dapat menurunkan level metformin dengan mekanisme interaksi tidak diketahui. Perlu dilakukan pemantau KGD, simptom hiperglikemia, serta pengaturan dosis (drugs.com, 2016). Interaksi kategori moderate menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan
tambahan, rawat inap, atau perpanjang perawatan di rumah sakit
mungkin diperlukan (Tatro, 2009). Kejadian potensi interaksi kategori moderate yang banyak ditemukan adalah metformin dengan ranitidin, diketahui ranitidin merupakan obat bersifat kationik dan secara teori dapat menurunkan eksresi metformin dengan berkompetisi untuk transport tubular ginjal. Peningkatan level metformin dapat meningkatkan resiko asidosis laktat. Oleh karena itu titrasi dosis metformin direkomendasikan. Monitoring kadar glukosa darah dan tanda-tanda asidosis laktat seperti malaise, myalgia, gangguan pernapasan, hiperventilasi, detak jantung lambat atau tidak normal, kantuk, tidak nyaman pada perut, atau tandatanda tidak biasa lainnya (Medscape, 2016).
5.2.7
Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Pasien Diabetes
Mellitus Dari hasil penelitian, diketahui bahwa mayoritas pasien yang memiliki potensi interaksi obat, memiliki kadar glukosa darah tidak mencapai nilai yang direkomendasikan (outcome klinik tidak tercapai). Berdasarkan efek yang mempengaruhi outcomes klinik pasien, potensi interaksi obat yang terjadi dapat mengakibatkan hipoglikemia, hiperglikemia dan beberapa diantaranya mengalami efek interaksi obat yang tidak diketahui. Hipoglikemia terjadi ketika kadar glukosa darah pasien mengalami penurunan glukosa darah >80-85 mg/dL atau kadar glukosa darah <100mg/dL (Restu, et al., 2015). Pada pasien dengan usia lajut dan pasien yang mengalami hipoglikemia berulang, respon sistem saraf otonom dapat berkurang sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak menyadari kalau kadar gula darahnya rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat memperberat akibat dari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
hipoglikemia karena penderita terlambat untuk mengkonsumsi glukosa untuk meningkatkan kadar gula darahnya (Restu, et al., 2015). Salah satu contoh potensi interaksi obat yang dapat menyebabkan hipoglikemia yang paling banyak terjadi adalah interaksi antara ranitidin dan metformin. Ranitidin akan meningktkan level/efek metformin melalui penurunan klirens ginjal/kompetisi transport tubular renal, sehingga beresiko menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia juga dapat terjadi karena penggunaan antidiabetes oral yang memiliki cara kerja meningkatkan sekresi
insulin
pada
pankreas,
sehingga
dapat
menyebabkan
terjadinya
hipoglikemia. Obat – obat tersebut antara lain dipeptidil peptidase-4 inhibitor, glucagon-like peptide-1, golongan glinid, golongan sulfonilurea: glibenklamid, glimepirid (Hirao, 2015). Pada beberapa pasien juga terjadi hiperglikemia, yaitu keadaan dimana kadar gula di dalam darah meningkat yaitu kadar gula darah 2 jam setelah makan di atas 200 mg/dL (Tandra, 2009). Salah satu contoh potensi interaksi obat yang dapat menyebabkan hiperglikemia yang paling banyak terjadi adalah interaksi antara insulin aspart dan metil prednisolon. Metilprednisolon menurunkan efek insulin aspart melalui antagonisme farmakodinamik,sehingga dapat menyebabkan resiko hiperglikemia (drugs.com, 2016). 5.2.8 Hubungan Antidiabetes
Subjek
Penelitian
dengan
Potensi
Interaksi
Obat
5.2.8.1 Hubungan Usia dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes Hasil analisis chi square dengan program IMB SPSS 16, diketahui nilai signifikansi yang diperoleh = 0,200. Hal ini menunjukkan bahwa p>0,05, yang berarti adanya hubungan yang tidak bermakna antara variabel usia dan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harding., et al (2003) dalam jurnal penelitannya yang berjudul Dietary Fat and The Risk of Clinic Type 2 Diabetes, yang menyatakan bahwa umur mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 dan memberikan risiko
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
kejadian DM tipe 2 sebesar 0,84 kali. Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disebabkan perbedaan tempat penelitian dan terbatasnya jumlah sampel yang diteliti. 5.2.8.2 Hubungan Jumlah Penyakit Penyerta dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes Hasil analisis chi square dengan program IMB SPSS 16, diketahui nilai signifikansi yang diperoleh = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa p<0,05, yang berarti adanya hubungan yang bermakna antara variabel jumlah penyakit penyerta dan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes (p<0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Manley, H. J., et al (2003) yang menunjukkan bahwa DRP berkorelasi positif dengan jumlah penyakit penyerta pasien. Jumlah DRP meningkat pada masingmasing pasien sama dengan meningkatnya jumlah penyakit penyerta (Manley, H. J., et al., 2003). 5.2.8.3 Hubungan Jumlah Obat dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes Hasil analisis chi square dengan program IMB SPSS 16, diketahui nilai signifikansi yang diperoleh = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa p<0,05, yang berarti adanya hubungan yang bermakna antara variabel jumlah penggunaan obat dan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes (p<0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Belaiche, S., et al (2012) di Perancis, yang menyatakan resiko kejadian DRP meningkat signifikan terhadap kondisi lanjut usia (p=0,0027) dan jumlah pengobatan (p=0,049) (Belaiche, S., et al., 2012).
5.2.9
Pengaruh Kejadian Interaksi Obat terhadap Outcomes pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 Hasil analisis chi square dengan program IMB SPSS 16, diketahui nilai signifikansi yang diperoleh = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa p<0,05, yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
berarti adanya hubungan yang bermakna antara variabel potensi interaksi obat dan outcomes klinik pasien DM tipe 2 (p<0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayah. N,. (2011) yang menyatakan bahwa DRP memiliki hubungan dengan outcomes pasien DM, dimana DRP yang berkorelasi paling besar terhadap outcomes pasien berturut-turut adalah indikasi tanpa obat, interaksi obat, dan salah dosis. Namun, penelitian oleh Ruspandi. S., et al (2015) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara DRP yang terjadi pada pasien DM tipe 2 dengan outcomes pasien (p=0,719).
5.2.10 Peran Apoteker Dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus (Depkes RI, 2005) Penatalaksanaan DM yang berhasil membutuhkan kerjasama yang erat dan terpadu dari penderita dan keluarga dengan para tenaga kesehatan yang menanganinya, antara lain dokter, apoteker, dan ahli gizi. Dalam penatalakasanaan DM, para apoteker terlibat dalam berbagai aspek farmakoterapi atau yang berhubungan dengan obat, dan dapat terlibat dalam berbagai tahap dan aspek pengelolaan DM, mulai dari skrining DM sampai dengan pencegahan dan penanganan komplikasi. Kebanyakan pasien dengan DM tidak mendapatkan perawatan optimal, seringkali kadar gula tidak terkontrol dengan baik. Masalah ini memberikan kesempatan kepada apoteker untuk memberikan kontribusinya dalam perawatan pasien dengan DM. Menurut The National Community Pharmacists Association’s National Institute for Pharmacist Care Outcome di USA, kontribusi apoteker berfokus kepada pencegahan dan perbaikan penyakit, termasuk mengidentifikasi dan menilai kesehatan pasien, memonitor, mengevaluasi, memberikan pendidikan dan konseling, melakukan intervensi, dan menyelesaikan terapi yang berhubungan dengan obat untuk meningkatkan pelayanan ke pasien dan kesehatan secara keseluruhan. Kontribusi apoteker ini pada intinya adalah penatalaksanaan penyakit, berarti mencakup terapi obat dan non-obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
a.
Mengidentifikasi dan menilaian kesehatan pasien Apoteker dapat mengidentifikasi pasien-pasien yang tidak menyadari kalau
mereka menderita DM. Identifikasi mentargetkan pasien-pasien dengan resiko tinggi, termasuk pasien obesitas, pasien > 45 tahun, pasien dengan tekanan darah tinggi atau dislipidemia, pasien dengan sejarah keluarga DM, dan pasien yang mempunyai sejarah gestasional diabetes atau melahirkan anak dengan berat badan > 4,5 kg. Pasien-pasien ini dapat di identifikasi pada saat mereka mengambil obat di apotik/rumah sakit. Apoteker dapat menyarankan pasien untuk memeriksakan kadar gula darahnya. Menilai status kesehatan pasien dengan diabetes dan membuat rencana jangka pendek dan jangka panjang merupakan suatu tantangan bagi apoteker, terutama di farmasi komunitas dimana akses ke data laboratorium terbatas. Berdasarkan ADA disarankan untuk menilai keperluan pasien dan meyakinkan agar perawatan standar terpenuhi. b.
Merujuk pasien Salah satu peran apoteker yang tidak kalah penting adalah merujuk pasien
kepada tim perawatan diabetes lainnya seperti bagian gizi, poliklinik mata, pediatris, gigi dan lainnya bila diperlukan. Depresi juga sering dijumpai pada pasien diabetes, sehingga dapat dirujuk ke bagian penyakit jiwa bila diperlukan. c.
Memantau penatalaksanaan DM Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan apoteker pada saat
pertemuan konsultasi rutin atau pada saat penderita menebus obat, atau dengan melakukan hubungan telepon. Pemantauan kondisi penderita sangat diperlukan untuk menyesuaikan jenis dan dosis terapi. Apoteker harus mendorong penderita untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan yang dirasakannya sesegera mungkin. Apoteker harus bekerja sama dengan tim kesehatan lainnya dalam penyesuaian dosis obat hipoglikemik oral (OHO). Kebanyakan morbiditas dan mortalitas pada pasien diabetes disebabkan karena komplikasi, antara lain komplikasi makrovaskular. Hasil penelitian menunjukkan, penurunan kadar gula saja tidak dapat menurunkan komplikasi makrovaskular. Oleh karena itu ada hal lain pada pasien diabetes yang harus diperhatikan untuk menurunkan mortalitas dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
morbiditas secara keseluruhan, antara lain adalah tekanan darah (target < 130/80 mm Hg); LDL kolesterol (target < 100 mg/dl); penggunaan aspirin untuk pasien DM dengan hipertensi dan resiko jantung, pemeriksaan mata, kaki, gigi (1x/tahun); vaksinasi influenza dan pneumokokal d.
Menjaga dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal terapi Salah satu faktor utama kegagalan sebuah terapi adalah ketidakpatuhan
terhadap terapi. Apoteker dapat memegang peran penting dalam membantu pasien mengikuti terapi. Untuk melakukan hal ini secara efektif, apoteker harus mengerti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan ketidakpatuhan pasien terhadap terapi, antara lain regimen yang kompleks; kurang pengetahuan pasien terhadap penyakitnya; kurang keyakinan pasien terhadap terapi; kebingungan tentang petunjuk cara minum obat; biaya pengobatan yang cukup tinggi bagi pasien; ada gangguan psikologi terutama depresi; ada gangguan kognitif; serta kurangnya dukungan sosial dari keluarga atau kerabat. Mencermati hal-hal tersebut, maka salah satu upaya penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi adalah konseling dan pemberian informasi yang lengkap dan akurat tentang terapi tersebut. Di dalam hal ini, farmasis/apoteker sangat penting untuk memberikan penjelasan umum maupun khusus tentang terapi yang dijalani pasien, baik farmakoterapi maupun nonfarmakoterapi. e.
Membantu penderita mencegah dan mengatasi komplikasi ringan Mencegah dan mengatasi komplikasi diabetik adalah salah satu hal penting
dalam pengelolaan diabetes. Informasi mengenai komplikasi yang mungkin muncul menyertai diabetes sangat penting disampaikan kepada penderita dan keluarganya agar dapat melakukan antisipasi seperlunya. Disamping itu, apoteker juga dapat terlibat
langsung dalam
tindakan-tindakan
pencegahan
dan
pengendalian
komplikasi yang muncul. f.
Menjawab pertanyaan penderita dan keluarga mengenai DM Seorang apoteker dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penderita dan
keluarganya tentang segala hal menyangkut diabetes dan pengelolaannya, sesuai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
dengan kompetensinya, misalnya tentang penyebab penyakit dan bagaimana gejalagejala yang harus diwaspadai, tentang berbagai pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan, hal-hal apa yang harus dihindari untuk mencegah atau memperlambat perkembangan penyakit, tentang terapi obat dan efek samping obat, tentang komplikasi dan pencegahannya, sampai pada perawatan kaki, kulit, mulut dan gigi dan lain sebagainya. g.
Memberikan pendidikan dan konseling Tujuan pendidikan kepada pasien adalah untuk memberikan pengetahuan
dan kemampuan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam pengobatannya. Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang tidak pernah mendapat pendidikan mengenai diabetes, resiko untuk komplikasi major meningkat 4 kali lipat. Konseling dalam penatalaksanaan diabetes sangat penting sebab diabetes merupakan penyakit yang sangat erat hubungannya dengan gaya hidup. Konseling diberikan kepada penderita untuk mendapatkan hasil penatalaksanaan diabetes yang maksimal. Keberhasilan penatalaksanaan diabetes sangat bergantung pada kerja sama penderita dan keluarganya dengan petugas kesehatan. Kepatuhan penderita terhadap program penatalaksanaan sangat bergantung pada tingkat pemahamannya tentang penyakit tersebut. Penderita DM yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang DM umumnya dapat mengendalikan perilakunya sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik 5.4
Keterbatasan Penelitian
5.4.1 Kendala 1.
Pengambilan data dan jumlah sampel Pada proses pengambilan data ada beberapa data pasien yang kurang lengkap dan tulisan yang kurang jelas, serta adanya pasien yang sedang dirawat kembali sehingga tidak dapat diambil data pasien dan menyebabkan sampel menjadi semakin sedikit.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
2.
Diagnosis data Hasil laboratorium untuk pemeriksaan kadar gula darah sewaktu tidak rutin dilaksanakan sehingga tidak dapat melihat perkembangan gula darah sewaktu pasien perhari. Dan hasil laboratorium lainnya juga tidak dilakukan secara rutin.
5.4.2 Kelemahan Penelitian ini memiliki kekurangan, diantaranya: 1.
Penelitian deskriptif retrospektif Pada penelitian deskriptif hanya dapat dilakukan demografi berupa hasil analisis ketepatan untuk mengetahui pengaruh DRP terhadap outcomes pada terapi yang digunakan oleh pasien. Selain itu metode retrospektif, dimana waktu kejadian sudah terjadi, tidak dapat dilakukan pertanyaan secara langsung pada pasien.
2.
Penelitian ini tidak dapat dikatakan seutuhnya rasional, dikarenakan penilaian diagnosis pasien tidak secara langsung, melainkan menarik kesimpulan dari diagnosis yang tercatat di rekam medis.
5.4.3
Kekuatan Penelitian ini sebelumnya belum pernah dilakukan di RS X di Tangerang
Selatan. Maka, diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dan gambaran hubungan Drug Related Problem terhadap outcomes klinik pada pasien rawat inap dengan DM tipe 2.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Pengaruh Drug Related
Problems (DRP) Terhadap Outcome Klinik Pasien Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pasien DM tipe 2 mayoritas berusia ≥ 45 tahun, dan berjenis kelamin perempuan. Pasien umumnya menderita < 5 penyakit penyerta, dengan jenis penyakit penyerta yang paling banyak adalah hipertensi. Dari segi jumlah penggunaan obat, mayoritas pasien mendapat ≥ 5 obat . 2. Antidiabetes yang paling banyak digunakan adalah insulin aspart, diikuti oleh insulin glargline, kemudian metformin, glimepirid, dan acarbosa. 3. Persentase potensi interaksi obat antidiabetes pada periode Juli 2014 – Juni 2015 adalah 57,78%. 4. Obat antidiabetes yang paling sering berpotensi interaksi adalah metformin, kemudian glimepirid, insulin aspart dan
insulin glargline. Mekanisme
potensi interaksi obat antidiabetes yang tertinggi adalah farmakokinetik dan tingkat keparahan potensi interaksi obat antidiabetes yang teringgi adalah moderate. 5. Terdapat pengaruh yang tidak bermakna antara usia dengan DRP terkait interaksi obat pada pasien DM tipe 2. 6. Terdapat pengaruh yang bermakna antara jumlah obat penyerta dengan DRP terkait interaksi obat, dan jumlah penyakit penyerta dengan DRP terkait interaksi obat pada pasien DM tipe 2. 7. DRP terkait interaksi obat berkorelasi secara signifikan terhadap outcomes pasien DM tipe 2. Interaksi obat menunjukkan korelasi yang kuat terhadap outcomes pasien.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
86
6.2
Saran 1. Perlu adanya monitoring dan evaluasi penggunaan antidiabetik secara sistematis yang dilaksanakan secara teratur untuk mengatasi DRP terkait interaksi obat. 2. Perlu adanya monitoring dan evaluasi hasil laboratorium pasien yang dilakukan secara berkelanjutan selama perawatan, baik tes kadar gula darah, dan hasil laboratorium lainnya yang terkait untuk mengatasi DRP terkait interaksi obat. 3. Perlu adanya kerjasama dan kolaborasi yang tepat antara dokter, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian dan pengobatan pada pasien, sehingga didapatkan terapi yang tepat, efektif, dan aman.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
DAFTAR PUSTAKA
Ajayi, E.A., A.O. Ajayi, O.E. Olalekan, 2010, Treatment to targets in type 2 diabetics: analysis of out-patients practice at a remote Western Nigerian hospital, Internet Journal of Medical Update, 5 (2), Halaman 8-14. Al-Mahroos F., Al-Roomi K., dan McKeigue P.M., 2000, Relation of high blood pressure to glucose intolerance, plasma lipid, and educational status in an Arabian Gulf population, International Journal Of Epidemiology, 29, Halaman 71- 76. Almeida, S. M., C. S. Gama., N. Akamine. 2007. Prevalence and Calssification of drug-drug interaction in Intensive Care Patient. Einstein. 5(4): Halaman 347351. American Diabetes Association (ADA), 2011. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diakses pada 10 Maret 2016 dari: www.care.diabetesjournals.org/content/34/Supplement_1/S62.full American Diabetes Association (ADA), 2013. Standards of Medical Care in Diabetes-2013. Diakses pada 10 Maret 2016 dari: http://care.diabetesjournals.org/content/36/Supplement_1/S11.full.pdf+html American Diabetes Association, (ADA), 2015. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, Diabetes Care, Vol 38, Supplement 1. Anggraini, A.D., Asputra, H., Siahaan. S.S., Situmorang, E., and Warren, A., 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan kejadian Hipertensi pada Pasien yang Berobat di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang. FK UNRI. Aravind, G., Bhowmik, D., Duraivel, S., & Harish, G., 2013, Traditional and Medicinal Uses of Carica papaya, Journal of Medicinal Plants Studies, 1 (1), 7-15. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI(2013). Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS 2013). Jakarta: Depkes RI.Available from: http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%2020 13.pdf(Accessed 30 Maret 2016) Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, (Edisi 8), EGC Jakarta. Barclay L, 2010. Diabetes Diagnosis & Screening Criteria Reviewed. Available from : http://www. medscape.com. [Accessed 14 April 2016]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
Baxter, K. (2008). Stockley’s Drug Interactions. Pharmaceutical Press. Halaman 285-291
Eighth
Edition.
UK:
Belaiche, Stephanie, et al. (2012). Pharmaceutical Care in Chronic Kidney Disease: experience at Grenoble University Hospital from 2006 to 2010. Journal Nephrol. 25, (4), 558-565. Benowitz, N. L., 2007, Obat Antihipertenasi, dalam Katzung, B. G., Farmakologi Dasar dan Klinik (Basic & Clinical Pharmacology), diterjemahkan oleh Dwipa Sjabana, Buku 1, edisi 10, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakata Brunton, L.L., dan Parker, K.L. (2008). Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutic.. New York: Mc Graw Hill. Halaman 563 – 579. Carlisle, 2005. Karakteristik Diabetes Melitus. [Accessed 4 Mei 2010]. Available from: http//prevalensi/Pusat%20Data%20&%20Informasi%20PERSI.htm Cyber Nurse. 2009. Konsep Diabetes Melitus. Available from: [Accessed 4 April 2016]. Charles, J., dan Ivar, F. (2011). Relationship Polychlorinated Byphenyls With Diabetes Tipe 2 and Hipertesion. Environmental Monitoring of The Journal. 13(4): Halaman 241-251. Chobanian, A. V., Bakris, G.L., Black , H.R., Chusman, W.L., Green I.A., Izzo, J.L, Jones, D.W., Materson, B.J., Oparil, S, Wrihat, J.T. 2003, JNC VII Express: The Seventh Report of the Joint National Commite on Preventian, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Presure, U.S. Deparment of Health and Human Services, Halaman 12-33. Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice, McGraw-Hill, New York. Coons, S.J., 2005, Health Outcomes and Quality of Life, in Dipiro, J.T (Eds), Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, sixth edition, 1-5, Appleton and Lange, Standford Connecticut. Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisologi edisi 3. EGC : Jakarta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Jakarta, 2009. Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., dan Posey, L.M. (2008). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. New York: The McGraw-Hill Companies. Halaman 747. Dipiro, J. T., Wells, G.B., Schwinghammer, T. L., Hamiton, C. W., 2000, Pharmacotherapy Handbook, Second Edition, 94, McGraw-Hill, USA.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 37- 49. Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2006). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 25-43. Elmiati, L. (2007). Drug Related Problem Pada Pasien Rawat Inap Diabetes Dengan Komplikasi Hipertensi Rumah Sakit Umum Kabupaten Karanganyar. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Gray, H.H., Dawkins, K.D., Simpson, A., dan Morgan, J.M. (2006). Lecture Notes On Cardiology. Edisi 4. Jakarta: Erlangga. Halaman 57. Gunawan, dkk., 2007.Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru. Handoko, T., dan Suharto B. (1995), Insulin Glukagon dan Antidiabetik Dalam Farmakologi dan Terapi, edisi IV, editor: Sulistia G. Ganiswara, Jakarta, Gaya Baru. Halaman 469, Halaman 471-472. Harding, Anne Helen., et al. 2003. “Dietary Fat and The Risk of Clinic Type 2 Diabetes”. American Journal Of Epidemiology. Vol. 159, No. 1. 2003. Hashem. (2005). Drug-Drug Herb-Drug & Food-Drug Interaction. Kairo: Faculty of Medicine Cairo University. Halaman 3. Hiswani, 2001. Penyuluhan Kesehatan pada penderita Diabetes Mellitus. USU Repository, 2006. Available from: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmhiswani3.pdf. [Accessed 10 Maret 2016] International Diabetes Federation, 2008 : Latest diabetes figures paint grim global picture. Available from: http://www.idf.org/latest-diabetes-figurespaint-grimglobal-picture. [Accessed 10 Maret 2016] Irawan, D. 2010. Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Daerah Urban Indonesia (Analisa Data Sekunder Riskesdas 2007). Tesis. Depok : FKM UI. Istiqomatunissa.2014. (Skripsi) Rasionalitas Obat Antidiabetes dan Evaluasi Beban Biaya.Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. James, P.A., Oapril, S., Carter, B.L., Cushman, W.C., Himmelfarb, C.D., Handler, J., et al. 2013, 2014, Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eight Joint National Commite (JNC 8), JAMA, doi: 10.1001. Katzung, B. G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi II. Jakarta, Salemba Medika. Halaman 671, 677-678.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
Kekenusa j., Ratag B. T & Wuwungan, G., 2006. Analisis Hubung antara Umur dan Riwayat Keluarga Menderita DM dengan Kejadian DM Tipe 2 pada Pasien Rawat Jalan di Poliklinik Penyakit Dalam BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Kurniawan, 2010, Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut, Majalah Kedokteran Indonesia, 60:12, Halaman 576-584. Lucas, C.P., Estigarriba J.A., Darga L.L., dan Reaven G.M., 1985, Insulin and blood pressure in obesity, Hypertension, 7, Halaman 702-706. Mansjoer, Arif, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius. Maryam, R. Siti, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika Mateti, U.V., Rajakannan, T., Nekkanti, H., Rajesh, V., Mallaysamy, S.R., dan Ramachandran, P.. (2009). Drug-Drug Interaction in Hospitalized Cardiac Patients. Journal of Young Pharmacists. 3(4): 329. Ndraha, S., 2014, Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini, MEDICINUS, vol. 27, no.2 Novitasari, D., Sunarti, dan Arta, F. (2011). Emping Garut (Maranta arundinacea Linn) Sebagai Makanan Ringan dan Kadar Glukosa Darah Angiostensin II Plasma Serta Tekanan Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2). Media Medika Indonesia. 45(1): Halaman 53-57. Parthasarathi, G., Karin, N.Y., dan Milap, C.N.. (2005). Clinical Pharmacy Practice. Chennai: Orient Longman Private Ltd. Halaman 222. Perkeni, 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2011. PB. Perkeni : Jakarta Piette, J.D. & Kerr, E.A., 2006, The Impact of Comorbid Chronic Conditions on Diabetes Care, Diabetes Care, 29 (3), 725-731 Piscitelli, S. C., and Rodvold, K. A. (2005). Drug Interaction in Infection Disease. Second Edition. New Jersey : Humana Press. Halaman 1-9. Pramono, Laurentius Aswin. 2010. Prevalensi dan Faktor-faktor Prediksi Diabetes Melitus Tidak Terdiagnosa pada Penduduk Usia Dewasa di Indonesia. Tesis FKMUI. Jakarta Purnamasari, D., 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Suroyo, A. W., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V, Jilid III. Jakarta: InternaPublishing, 1880-1883.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
Purwanti, O.S. 2013. Analisis Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Ulkus Kaki pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUD DR.Moewardi Surakarta, Prosiding Seminar Ilmiah nasional, ISSN: 2338-2694, http://journal.ui.ac.id/index.php/jkepi/article/view/2763, diakses tanggal 30 Maret 2016. Putro, W. (2011) Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 (Studi Kasus di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi). Karya Tulis Ilmiah. Universitas Diponegoro Ramaiah, S. 2007. Diabetes, Cara Mengetahui Gejala Diabetes dan Medeteksinya sejak Dini Ed 2. Jakarta : T. Bhuana Ilmu Populer. Rambhade, S., Anup, C., Anand, S., Umesh, K., dan Ashish, R.. (2012). A Survey on Polypharmacy and Use of Inappropriate Medications. Toxicology International Journal. 19(1). Halaman 68-73. Sari, S. P., Mahdi, J., dan Dini, P.S.. (2008). Analisis Interaksi Obat Antidiabetik Oral Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit X Depok. Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indoneisa. Jurnal Farmasi Indonesia. 4(1): 8. Sassen, J.J., dan Carter, B.L. (2005). Hypertension. Pharmacotherapy: A Phatophysiologic Approach. Editor: Joseph Dipiro, Robert Talbert, Gary Yee, Gary Matzke, Barbara Wells, dan Michael Posey. Edisi 8. New York: Appleton and Lange. Halaman 186-217. Schutta, M.H., 2007, Diabetes and Hypertension: Epidemiology of the Relationship nd Pathophysiology of Factor Associated With These Comorbid Conditition, JCMC Spring, 2:124-130. Setiawati, A.. (2013). Interaksi Obat. Dalam: Gunawan, S.E. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Halaman 862. Siregar, C. J.P. (2004). Farmasi Rumah Sakit Teori dan Terapan. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta. Halaman 17-20. Sivasankari, V., Manivannan, E., Priyadarsini, S.P., 2013, Drug Utilization Pattern of Antidiabetic Drugs in A Rural Area of Tamildanu, South India- A Prospective, Observational Study, International Journal of Pharma and Bio Sciences, 4 (1), Halaman 514-519. Skvrce1, Nikica Mirošević., Viola Macolić Šarinić1., Iva Mucalo2., Darko Krnić1., Nada Božina3., Siniša Tomić4., 2011, Adverse drug reactions caused by drug-drug interactions reported to Croatian Agency for Medicinal Products and Medical Devices: a retrospective observational study, Halaman 604 – 606.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
Soegondo S. Diagnosis dan Kalsifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Dalam Soegondo S dkk (eds), Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit FKUI. Jakarta. 2005. Stockley, L.H. (1999). Drug Interaction. Edisi 5. London: Pharmaceutical Press. Halaman 72. Stockley, I.H. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Edisi kedelapan. Great Britain: Pharmaceutical Press. Halaman 1-9. Sustrani, L., S. Alam., dan I. Hadibroto. Diabetes. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama; 2004. Tandra, hans. (2008). Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang Diabetes. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Umum Tatro, D.S., 2009, Drug Interaction Facts, Wolters Kluwers Health. Inc, California. Tigauw, H., 2014. Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Kadar Adiponektin Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Kota Manado. Tjay, T.H., Rahardja, K. (2002). Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi VI. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Halaman 540-541. Triplitt, C. L., Reasner, C. A., Isley, W. L., 2005. Diabetes Mellitus, 1333 dalam Dipiro J. T., et al.,., Eds, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, edisi keenam, McGraw-Hill Companies, USA. Wade, A Hwheir, D N Cameron, A. 2003. Using a Problem Detection Study (PDS)to Identify and Compare Health Care Privider and Consumer Views of Antihypertensive therapy. Journal of Human Hypertension, Jun Vol 17 Issue 6, Halaman 397. Waspada Online, 2009. Medan, Terbanyak Penderita Diabetes. Available from: http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=7117 5:-medan-terbanyak-penderita-diabetes&catid=14:medan&Itemid=27 [Accessed 10 Maret 2016] Waspadji, S. (2010). Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, dan Siti Setiati. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Halaman 1922-1933. Wells, William, Jhon Burnett, Sandra Moriarty. Advertising, Principles and Practice, sixth edition. New Jersey: Pearson Education, Inc, 2003.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
93
Yan Bi, Zhu, D., Cheng, J., Zhu, Y., Xu, N., Cui, S., Li, W., Cheng, X., Wang, F., Hu, Y., Shen, S., Weng, J., 2010, The Status of Glycemic Control: A CrossSectional Study of Outpatients With Type 2 Diabetes Mellitus Across Primary, Secondary, and Tertiary Hospital in the Jiangsu Province of China, Clinical Therapeutics, 32 (5), Halaman 973-983. Yogiantoro, M. (2010). Hipertensi Esensial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, dan Siti Setiati. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Halaman 1079. Yulianto. (2012). Penderita Diabetes Hipertensi Indonesia Berada Di Peringkat 12 Dunia. http:// palembang.tribunews.com. [Accessed 12 Maret 2016] Yusnidar, 2007. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian PJK pada wanita usia > 45 tahun, Tesis Mahasiswa PPS Magister Epidemiologi UNDIP, Semarang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
94
Lampiran 1. Surat Permohonan Data dan Izin Penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
95
Lampiran 2. Surat Jawaban Permohonan Data dan Izin Penelitian dari RS X di Tangerang Selatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
96
Lampiran 3. Data Sampel N o
L / P
Usi a
1
P
65
2
L
65
Hasil Laboratoirum Obat
nama generik
Rute
Dosis obat
Ket.
Azitromicin
Azitromicin
oral
1x500mg
antibiotik
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
antihipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Alprazolam
Alprazolam
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
antiansietas antidiabetik injeksi
Ranitidin Asam Mefenamat
Ranitidin Asam Mefenamat
iv
2x0,5mg 1 unit/kg BB tiap 4jam 2x1ampul (25mg/ml)
oral
3x500mg
NSAID
Glimepirid
Glimepirid
oral
antidiabetik oral
Ketorolac
Ketorolac
oral
1x1mg 2x1 ampul (10mg/ml)
Nimotop
Nimodipin
oral
2x250mg
antihipertensi
Citicolin
Citicolin
oral
2x1 gr
vasodilator perifer
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Omeprazol Metil prednisolon
Omeprazol Metil prednisolon
oral
2x20mg
lambung
oral
2x125mg
kortikosteroid
IVFD RL
IVFD RL
iv
tiap 12 jam
cairan infus
Manitol
Manitol
iv
3x150cc
diuretik osmotik
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Pro renal Natrium diklofenak
oral
3x1tablet
vitamin
Natrium diklofenak
oral
2x50mg
NSAID
Allopurinol
Allopurinol
oral
1x100mg
NSAID
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Dexamethasone
Dexamethasone
oral
4x5mg
kortikosteroid
GDS masuk 193
GDS keluar 187
outcomes klinik
Interaksi
Penyakit Penyerta
tidak tercapai
ada
HT gr II, sups CFD
tidak tercapai
ada
ulkus DM, HT, dyspepsia
lambung
analgesik
269
Meninggal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
3
4
P
P
72
57
Bicnat
Natrium bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Carbamazepin
Carbamazepin
oral
2x200mg
antikonvulsan
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
antibiotik antidiabetik injeksi
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr 1 unit/kg BB tiap 4jam 2x1ampul (25mg/ml)
Meropenem
Meropenem
oral
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
3x20mg 2x2ampul (20mg/2ml)
oral
3x1tablet
vitamin
3x500mg 2x1ampul (25mg/ml) 1 unit/kg BB tiap 4jam
anti diabetik oral
antihipertensi
Pro renal
lambung
antihipertensi
Metformin
Metformin
oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
Mycardis
Telmisartan
oral
Lasix
Furosemid
iv
1x80mg 2x2ampul (20mg/2ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik lambung
287
189
tidak tercapai
ada
CKD S + IV nefropati, CHF
292
201
tidak tercapai
ada
Stroke Infark,HT
lambung antidiabetik injeksi
antihipertensi
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1ampul (25mg/ml)
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Aspirin
Aspirin
oral
3x80mg
antiplatelet
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x2mg
antidiabetik oral
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Omeprazol
Omeprazol
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
2x20mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
lambung antidiabetik injeksi
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x10unit
antidiabetik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
98
injeksi 5
6
P
P
50
58
Pro renal
oral
3x1tablet
vitamin
Bicnat
Natrium bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Pro renal
7
P
40
oral
3x1tablet
vitamin
Bicnat
Natrium bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,8mg
vitamin
Clonidin
Clonidin
oral
2x0,5mg
antihipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
antihipertensi
Lasix
Furosemid
iv
1x8mg 2x2ampul (20mg/2ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x8unit
antibiotik antidiabetik injeksi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Vitamin C
Vitamin C
oral
1x30mg
vitamin
NaCl 0.9%
NaCl 0.9%
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
28tpm 1 unit/kg BB tiap 4jam
cairan infus antidiabetik injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
Humalog
Insulin lispro
oral
antibiotik antidiabetik injeksi
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr sliding scale tiap 2 jam 2x1ampul (25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
265
194
tidak tercapai
ada
CKD
273
168
tercapai
tidak ada
ht grade 2,dyspepsia low intake
182
120
tercapai
tidak ada
antihipertensi
lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
99
8
9
1 0
P
P
P
28
73
40
New diatab
Attapulgit
oral
3x2tablet
Ulsafat
Sukralfat
oral
3x15cc
antidiare anti ulkus peptikum
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x100mg
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
iv
Transamin
Ranitidin Asam traneksamat
2x1gr 2x1ampul (25mg/ml)
Vitamin K
Vitamin K
oral
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x8unit
lambung antidiabetik injeksi
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Ambroxol
Ambroxol
oral
3x10ml
mukolitik
Meloxicam
Meloxicam
oral
1x15mg
NSAID
Allopurinol
Allopurinol
oral
1x300mg
NSAID
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
3x500mg 2x2ampul (20mg/2ml)
asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Bicnat
asam folat Natrium bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
oral
3x1tablet
vitamin
iv
2x1ampul
lambung
Pro renal Ranitidin
Ranitidin
oral
254
165
tercapai
tidak ada
anemia ec.hematemesis melena
341
178
tercapai
tidak ada
HT,CHF,tine cruris
614
315
tidak tercapai
ada
Hiperglikemi ec susp KAD
lambung menghentikan perdarahan vitamin
antihipertensi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
100
(25mg/ml)
1 1
1 2
1 3
1 4
P
P
P
L
55
37
63
52
Cefotaxim
Cefotaxim
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
Paracetamol
Paracetamol
oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
Lantus
Insulin glarglin
Pro renal
2x250mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
antibiotik antidiabetik injeksi
3x500mg 2x1ampul (25mg/ml)
antipiretik
sc
3x4mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
sc
1x15unit
antiemetik antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
oral
3x1tablet
vitamin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Bisoprolol
Bisoprolol
oral
1x2,5mg
beta blocker
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr 2x1ampul (25mg/ml)
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x40mg
lambung
Cefixim
Cefixim
oral
2x100mg
Lansoprazol
Lansoprazol
oral
2x30mg
antibiotik pompa proton inhibitor
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
Ulsafat
Sukralfat
oral
antiemetik anti ulkus peptikum
Metformin
oral
3x500mg
Transamin
Metformin Asam traneksamat
anti diabetik oral menghentikan perdarahan
Vitamin K
Vitamin K
oral
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
vitamin antidiabetik injeksi
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
oral
3x1tablet
vitamin
Pro renal
168
tercapai
tidak ada
dyspepsia, TB paru, DHF
447
220
tidak tercapai
ada
kad , dhf perbaikan
282
185
tidak tercapai
ada
KAD, Abd. Pain e.c. Ileus
245
176
tercapai
tidak ada
Selulitis,Susp.DM AKI Riflle
lambung
Metformin
oral
238
lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
101
1 5
1 6
P
P
72
43
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
Lasix
Furosemid
iv
2x1gr 2x2ampul (20mg/2ml)
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
ISDN
Isosorbit Dinitrat
oral
antiangina
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x5mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x2mg
antidiabetik oral
oral
3x1tablet
vitamin
Pro renal ISDN
P
57
antihipertensi antidiabetik injeksi
oral
3x5mg
antiangina
oral
1x25mg
obat jantung
Bicnat
oral
3x500mg
antasida
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,8mg
vitamin
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Ascardia
Asetosal
oral
1x80mg
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antiplatelet antidiabetik injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1 gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x8mg
antiemetik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ranitidin
Ranitidin
iv
IVFD RL
IVFD RL
iv
2x1ampul (25mg/ml)
271
Meninggal
tidak tercapai
ada
CAD fc III-IV,DM tipe II,anemia
tidak tercapai
ada
H T emergency, CKD,CAD
tidak ada
Syndrom Fatiqe pd Geriatri ,AKI Rifle R e.c. dehidrasi dd/ infark celebri
lambung
Digoxin Natrium bikarbonat
Digoxin
1 7
Isosorbit Dinitrat
antibiotik
lambung
222
525
193
118
tercapai
cairan infus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
102
1 8
1 9
2 0
P
L
P
25
75
59
Novorapid
Insulin aspart
sc
1 unit/kg BB tiap 4jam
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Ceftriaxone
iv
2x1gr
Transamin
Ceftriaxone Asam traneksamat
Novorapid
Insulin aspart
sc
Ranitidin Metil prednisolon
Ranitidin Metil prednisolon
iv
1 unit/kg BB tiap 4jam 2x1ampul (25mg/ml)
antibiotik menghentikan perdarahan antidiabetik injeksi
oral
2x125mg
oral
286
207
tidak tercapai
ada
lambung kortikosteroid
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Captopril
Captopril
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
2x25mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
antihipertensi antidiabetik injeksi
Aspilet
oral
1x80mg
NSAID
ISDN
Asetosal Isosorbit Dinitrat
oral
3x5mg
antiangina
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x100mg
antihipertensi
Digoxin
Digoxin
oral
1x25mg
Musin
Sukralfat
oral
obat jantung anti ulkus peptikum
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x8unit
vitamin antidiabetik injeksi
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x8mg
antiemetik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Bicnat
Natrium bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
321
226
tidak tercapai
ada
HT gr II, low intake, dyspepsia, vomitus, anemia, ulkus
326
276
tidak tercapai
ada
HT emergency on CKD Fatigue
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
103
asam folat
asam folat
Pro renal
2 1
2 2
2
P
P
P
52
54
48
oral
1x0,6mg
vitamin
oral
3x1tablet 1 unit/kg BB tiap 4jam
vitamin antidiabetik injeksi antiemetik
Novorapid
Insulin aspart
sc
Ondancentron
Ondancentron
oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x4mg 2x1ampul (25mg/ml)
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Laxadin
Bisakodil
oral
laksatif
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x5ml 2x1ampul (25mg/ml)
Aspilet
oral
1x80mg
NSAID
Neurodex
Asetosal pyridoxine thiamine hydrochloride
oral
3x1tablet
vitamin
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Dulcolax
oral
1x5mg
laksatif
ISDN
Bisakodil Isosorbit Dinitrat
oral
3x5mg
antiangina
Clonidin
Clonidin
oral
2x0,5mg
antihipertensi
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x40mg
lambung
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Levofloxacin
Levofloxacin
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x500mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antibiotik antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x50mg
antihipertensi
lambung
259
237
tidak tercapai
ada
H T II, DM II, Fatigue, Dyspepsia
259
264
tidak tercapai
ada
CVD, infark, HT grade I
244
164
tercapai
tidak ada
CHF, CKD,
lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
104
3 Ascardia
Asetosal
oral
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
oral
3x1tablet
vitamin
Pro renal
2 4
2 5
P
P
53
70
1x80mg
antiplatelet antiplatelet
Vitamin B12
Vitamin B13
oral
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin vitamin
New diatab
Attapulgit
oral
antidiare
Lasix
Furosemid
iv
3x2tablet 2x2ampul (20mg/2ml)
Clonidin
oral
2x0,5mg
antihipertensi
ISDN Asam Mefenamat
Clonidin Isosorbit Dinitrat Asam Mefenamat
oral
3x5mg
antiangina
oral
3x500mg
NSAID
Ciprofloxacin
Ciprofloxacin
oral
2x500mg
antibiotik
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x4mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antiemetik antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
antihipertensi
254
178
tercapai
ada
A bses Cervikal
ada
DM Tipe II tak terkontrol,Riw. KAD, Asma akut sedang pd APR,CAP dg sepsis,Hipernatremi
lambung
Azitromicin
Azitromicin
oral
1x500mg
antibiotik
Acetylcystein
Acetylcystein
oral
3x200mg
antiplatelet
532
459
tidak tercapai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
105
2 6
2 7
P
L
76
54
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x1mg
antidiabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr 2x1ampul (25mg/ml)
Citicolin
Citicolin
oral
2x500mg
vasodilator perifer
Ceftazidim
Ceftazidim
oral
1x1 gr
antibiotik
NaCl 0.9%
NaCl 0.9%
iv
cairan infus
Pulmicort
Pulmicort
oral
28tpm 0,125mg tiap 5 jam
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Metyl cobalt
Metyl cobalt
oral
Nistatin
Nistatin
oral
4x1ml
antijamur
Aspilet
Asetosal
oral
NSAID
Lasix
Furosemid
iv
1x80mg 2x2ampul (20mg/2ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg 2x1ampul (25mg/ml)
Curcuma
Curcuma
oral
Novorapid
Insulin aspart
Spironolakton
Spironolakton
Propanolol
Propanolol
oral
Vostrin
Erdostein
oral
lambung
antiradang 274
145
tercapai
ada
ulkus diabetikum
ada
Bronchitis dd/ TB, DM tipe II, Susp Sirosis hepatis,anemia
vitamin
antihipertensi
lambung
sc
3x20mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
vitamin antidiabetik injeksi
oral
1x50mg
antihipertensi
376
meinggal
tidak tercapai
beta blocker mukolitik
Lasix
Furosemid
iv
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x2ampul (20mg/2ml) 2x1ampul (25mg/ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ketorolac
Ketorolac
oral
1x1 ampul
analgesik
antihipertensi lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
106
(10mg/ml) 2 8
2 9
3 0
P
P
P
41
57
25
Dexamethasone
Dexamethasone
oral
2x5mg
kortikosteroid
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Vitamin C
Vitamin C
oral
Vitamin K
Vitamin K
oral
Eritromisin
Eritromisin
oral
2x500mg
antibiotik
Levofloxacin Metil prednisolon
Levofloxacin Metil prednisolon
oral
1x500mg
antibiotik
oral
2x125mg
kortikosteroid
Nebulizer
Salbutamol
oral
Nifedipin
Nifedipin
oral
1x5mg
antihipertensi
Ibuprofen
Ibuprofen
oral
3x200mg
NSAID
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Neurodex
Candesartan pyridoxine thiamine hydrochloride
oral
3x1tablet
vitamin
Aspilet
Asetosal
oral
NSAID
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x80mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antiemetik antidiabetik injeksi
165
105
tercapai
tidak ada
451
265
tidak tercapai
ada
CHF, DM tipe II
vitamin vitamin
inhaler
lambung
anti ulkus peptikum
Ulsafat
Sukralfat
oral
New diatab
oral
Transamin
Attapulgit Asam traneksamat
vitamin K
vitamin K
oral
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
NaCl 0.9%
NaCl 0.9%
iv
28tpm
cairan infus
3x2tablet
oral
254
169
tercapai
tidak ada
Gastropati diabetikum + infeksi sekunder + DM tipe II
antidiare menghentikan perdarahan vitamin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
107
3 1
3 2
3 3
3 4
P
P
L
P
53
52
75
34
Neurodex
pyridoxine thiamine hydrochloride
oral
3x1tablet
vitamin
Codipront
Codipront
oral
3x1tablet
expectorant
Metronidazole
Metronidazole
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x500mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
lantus
sc
1x10unit
Neurodex
Insulin glarglin pyridoxine thiamine hydrochloride
antibiotik antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
oral
3x1tablet
vitamin
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
lantus
Insulin glarglin
sc
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x10unit 1 unit/kg BB tiap 4jam
antibiotik antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
oral
3x1tablet
vitamin vitamin
Pro renal Asam folat
Asam folat
oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x0,8mg 2x1ampul (25mg/ml)
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x1mg
antidiabetik oral
Paracetamol Natrium diklofenak
Paracetamol Natrium diklofenak
oral
3x500mg
antipiretik
oral
2x50mg
NSAID
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
2x1gr 2x2ampul (20mg/2ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Clonidin
Clonidin
oral
2x0,5mg
antihipertensi
Dm tipe II, Abses pedis sinistra
393
276
tidak tercapai
ada
251
161
tercapai
tidak ada
284
212
tidak tercapai
ada
Ulkus Pedis, HT, CKD, Anemia pro transfusi
312
261
tidak tercapai
ada
Hipertensi urgency, DM tipe II
lambung
antihipertensi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
108
3 5
L
47
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Ciprofloxacin
Ciprofloxacin
oral
2x500mg
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Bisoprolol
Bisoprolol
oral
1x2,5mg
beta blocker
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
KSR
oral
2x600mg
obat hipokalemia
ISDN
KSR Isosorbit Dinitrat
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x5mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
antiangina antidiabetik injeksi
IVFD RL
IVFD RL
iv
cairan infus
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Spironolakton
Spironolakton
oral
antihipertensi
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x100mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
2x1gr 2x2ampul (20mg/2ml)
IVFD RL
IVFD RL
iv
Lantus
Insulin glarglin
sc
Novorapid Metil prednisolon
Insulin aspart Metil prednisolon
333
348
tidak tercapai
ada
DM tipe II tak terkontrol,KAP,Tromb ositopenia
lambung
antihipertensi
sc
1x10unit 1 unit/kg BB tiap 4jam
cairan infus antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
oral
2x125mg
kortikosteroid
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
109
3 6
3 7
P
L
39
46
anti ulkus peptikum
Musin
Sukralfat
oral
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Levofloxacin
Levofloxacin
oral
1x500mg
antibiotik
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ulsafat
Sukralfat
oral
Curcuma
Curcuma
oral
3x20mg
vitamin
Lactulac
Lactulac
oral
1x15cc
laksatif
New diatab
Attapulgit
oral
3x2tablet
antidiare
anti ulkus peptikum
421
172
tercapai
tidak ada
Dyspepsia sindrome dd/ gastropati NSAID,anemia ringan e.c. susp hepatitis, DM tipe II tak terkontrol, Dislipidemia
187
125
tercapai
tidak ada
DM tipe II,Sirosis hepatis
259
192
tidak tercapai
ada
Malnutrisi, Infark cerebri
oral
3 8
P
84
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Cefotaxim
oral
2x250mg
Transamin
Cefotaxim Asam traneksamat
antibiotik menghentikan perdarahan
vitamin k
vitamin k
oral
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x40mg
lambung
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Neurodex
Amlodipin pyridoxine thiamine hydrochloride
oral
3x1tablet
Ulsafat
Sukralfat
oral
vitamin anti ulkus peptikum
Fenitoin
Fenitoin
oral
2x100mg
antiepilepsi
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
1X75mg
antiplatelet
oral
vitamin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
110
3 9
4 0
4 1
P
P
P
34
58
53
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Dexamethasone
Dexamethasone
oral
2x5mg
kortikosteroid
Manitol
Manitol
iv
diuretik osmotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x150cc 2x1ampul (25mg/ml) 1 unit/kg BB tiap 4jam
Amoxicillin
oral
3x500mg
antibiotik
Methergin
Amoxicillin Methylergomet rine
oral
3x0,125mg
uteretonik
Musin
Sukralfat
oral
Domperidon
Domperidon
oral
Metoklopramid
Metoklopramid
oral
Omeprazol
oral
Transamin
Omeprazol Asam traneksamat
Cefotaxim
Cefotaxim
oral
vitamin k
vitamin k
oral
lambung antidiabetik injeksi
anti ulkus peptikum 3x10mg
217
162
tercapai
tidak ada
457
177
tercapai
tidak ada
Gastropati DM tipe II
tidak ada
Febris hr 2 e.c. Susp BP, dyspneu e.c. CHF, DM tipe II
antiemetik antiemetik
2x20mg
lambung menghentikan perdarahan
2x250mg
antibiotik
oral
vitamin
Paracetamol
Paracetamol
oral
Vostrin
Erdostein
oral
3x500mg
antipiretik
Ambroxol
Ambroxol
oral
3x10ml
mukolitik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr 2x1ampul (25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Metronidazole
Metronidazole
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x500mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
antibiotik antidiabetik injeksi
292
146
tercapai
mukolitik
lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
111
4 2
L
30
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
iv
2x1gr 2x1ampul (25mg/ml)
Ranitidin
Ranitidin
Dexamethasone
Dexamethasone
oral
4x5mg
Fenitoin
kortikosteroid
Fenitoin
oral
3x100mg
antiepilepsi
Eritromisin
Eritromisin
oral
2x500mg
lantus
Insulin glarglin
sc
1x10unit
Aminofillin
Aminofillin
oral
1x100mg
antibiotik antidiabetik injeksi bronkodilator santin
Salbutamol
Salbutamol
oral oral
sliding scale tiap 2 jam
bronkodilator antidiabetik injeksi
Humalog 4 3
4 4
P
P
49
48
Insulin lispro
Pro renal
273
171
tercapai
tidak ada
Obs. Kejang susp meningitis TB, DM tipe II, TB on OAT bln 9
tidak tercapai
ada
DM Type II, AKI
tidak tercapai
ada
DM Tipe II, ISK
lambung
oral
3x1tablet
vitamin
Bicnat
Natrium bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Trombopop
Trombopop
oral
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
1X75mg
antiplatelet
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Furosemid
Furosemid
oral
1x40mg
antihipertensi
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x8mg
antiemetik
KSR
KSR
oral
2x600mg
obat hipokalemia
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
462
Meninggal
antiradang
lambung
287
193
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
112
4 5
4 6
P
P
34
45
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1ampul (25mg/ml)
lambung
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Neurodex
Metformin pyridoxine thiamine hydrochloride
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x1tablet 1 unit/kg BB tiap 4jam
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
vitamin antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
NaCl 0.9%
iv
28tpm
cairan infus
ISDN
NaCl 0.9% Isosorbit Dinitrat
oral
3x5mg
antiangina
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x100mg
antihipertensi
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Candesartan
Candesartan
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x8mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
antihipertensi antidiabetik injeksi
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x2 gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
Humalog
Insulin lispro
oral
3x4mg sliding scale tiap 2 jam
antiemetik antidiabetik injeksi
Pro renal
275
153
tercapai
tidak ada
CHF ec CAD syndrome nefrotik, DM type II belum terkontrol
372
158
tercapai
tidak ada
DM II, Abses, ISPA
lambung
oral
3x1tablet
vitamin
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
NSAID antidiabetik injeksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
113
4 7
4 8
4 9
5 0
P
L
P
L
59
58
64
74
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Ciprofloxacin
Ciprofloxacin
oral
2x500mg
antibiotik
Erdostein
Erdostein
oral
Digoxin
Digoxin
oral
Lasix
Furosemid
iv
Ranitidin
Ranitidin
iv
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
Paracetamol Amlodipin
obat jantung
sc
3x4mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
antiemetik antidiabetik injeksi
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
antiplatelet
Ranitidin
Ranitidin
iv
1X75mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x8mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
antiemetik antidiabetik injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antibiotik antidiabetik injeksi
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
antiemetik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x8mg 2x1ampul (25mg/ml)
Captopril
oral
174
tercapai
ada
chf,gea low intake dm tipe 2
198
164
tercapai
tidak ada
Febris, HT, AKI, HW
283
194
tidak tercapai
ada
Anemia, DM, ulkus diabetikum
ada
CHF FC 3-4, Dyspepsia Low Intake, Dm Tipe 2, Penaikan Transmirase
expectorant 1x25mg 2x2ampul (20mg/2ml) 2x1ampul (25mg/ml)
Captopril
282
2x12,5mg
antihipertensi lambung
lambung
lambung
antihipertensi
214
194
tidak tercapai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
114
5 1
5 2
L
P
56
50
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Glucodex
Glikazid
oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Furosemid
Furosemid
oral
antihipertensi
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x40mg 2x1ampul (25mg/ml)
IVFD RL
IVFD RL
iv
Pro renal
antidiabetik oral
lambung cairan infus
oral
3x1tablet
vitamin
Allopurinol
Allopurinol
oral
1x100mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
Nistatin
Nistatin
oral
Humalog
oral
Transamin
Insulin lispro Asam traneksamat
vitamin k
vitamin k
oral
Furosemid
iv
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
antiemetik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x4mg 2x1ampul (25mg/ml)
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
oral
Glikazid
oral
tidak ada
ada
CHF Fc IV, Acute Long Oedeme + Asid Metabolit, CKD Stg III ec. Nefropati DM, DM II Tdk Terkontrol
vitamin
Lasix
Metformin
tercapai
antijamur antidiabetik injeksi menghentikan perdarahan
2x2ampul (20mg/2ml)
Glucodex
163
antiplatelet 4x1ml sliding scale tiap 2 jam
oral
Metformin
244
DM Tipe II, Riwayat Hiperglikemia, CKD, Ulkus Pedis Sinistra
3x500mg
antihipertensi
lambung
antidiabetik oral
382
218
tidak tercapai
antidiabetik oral
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
115
Pro renal
oral
3x1tablet
vitamin
oral
1x0,6mg
vitamin
ISDN
Asam folat Isosorbit Dinitrat
oral
antiangina
Lasix
Furosemid
iv
3x5mg 2x2ampul (20mg/2ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
IVFD RL
IVFD RL
iv
cairan infus
Nebulizer
Salbutamol
oral
inhaler
Captopril
Captopril
oral
2x25mg
antihipertensi
Cefixim
Cefixim
oral
2x100mg
antibiotik
Acarbosa
Acarbosa
oral
Musin
Sukralfat
oral
Ondancentron
Ondancentron
oral
Ranitidin
Ranitidin
Ceftriaxone
Ceftriaxone
lantus
Asam folat
5 3
5 4
P
P
24
58
antihipertensi
268
193
tidak tercapai
ada
DM Tipe II, ISK, Susp. BSK
246
156
tercapai
ada
chf,dm tipe 2
antidiabetik oral anti ulkus peptikum antiemetik
iv
3x4mg 2x1ampul (25mg/ml)
iv
2x1gr
Insulin glarglin
sc
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x12unit 1 unit/kg BB tiap 4jam
antibiotik antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x100mg
antihipertensi
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
ISDN
Simvastatin Isosorbit Dinitrat
oral
3x5mg
antiangina
Digoxin
Digoxin
oral
obat jantung
Lasix
Furosemid
iv
Ranitidin
Ranitidin
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x25mg 2x2ampul (20mg/2ml) 2x1ampul (25mg/ml) 1 unit/kg BB tiap 4jam
lambung
antihipertensi lambung antidiabetik injeksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
116
5 5
5 6
5 7
P
P
P
53
31
59
Bicnat
Natrium bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
CaCO3
CaCO4
oral
Diltiazem
Diltiazem
oral
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
2x2 gr 2x2ampul (20mg/2ml)
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Bicnat
Metformin Natrium bikarbonat
oral
antasida
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg 2x1ampul (25mg/ml)
Cefotaxim
Cefotaxim
oral
2x250mg
antibiotik
Glimepirid
Glimepirid
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x1mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
antidiabetik oral antidiabetik injeksi
Captopril
Captopril
oral
2x25mg
antihipertensi
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Aminofluid
Aminofluid
iv
465
253
tidak tercapai
ada
DM tipe II, HT grade II
285
194
tidak tercapai
ada
HT gr II, Hipokalemia
ada
Hemiparese dektra,DM type II tak terkontrol,Stroke lama
antasida ca chanel blocker
antihipertensi
lambung
cairan infus
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
1X75mg
antiplatelet
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
319
272
tidak tercapai
antiplatelet
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
117
5 8
P
46
Lasix
Furosemid
iv
2x2ampul (20mg/2ml)
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
IVFD RL
IVFD RL
iv
Amlodipin
Amlodipin
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x10mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x8unit
anti hipertensi antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
oral
Pro renal
5 9
6 0
P
P
65
48
cairan infus
3x1tablet
vitamin
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
2x1gr 2x2ampul (20mg/2ml)
Citicolin
Citicolin
oral
2x500mg
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
vasodilator perifer antidiabetik injeksi
Clindamicin
Clindamicin
oral
Ambroxol
Ambroxol
oral
Vostrin
Erdostein
oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x2mg
antidiabetik oral
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Cotrimoxazol
Cotrimoxazol
oral
175
tercapai
ada
194
165
tercapai
tidak ada
278
177
tercapai
ada
antihipertensi
antijamur 3x10ml
254
Apasia motorik ec susp stroke, hiperglikemi, DM type II, AKI dd akut on CKD, anemia, HT Dyspneu ec CHF
mukolitik mukolitik
General weakness, GEA, DM type II
antibiotik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
118
6 1
6 2
P
P
58
54
New diatab
Attapulgit
oral
3x2tablet
antidiare
Spironolakton
Spironolakton
oral
antihipertensi
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x100mg 2x1ampul (25mg/ml)
Aminofluid
Aminofluid
iv
Nifedipin
Nifedipin
oral
1x5mg
antihipertensi
Ibuprofen
Ibuprofen
oral
NSAID
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x200mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
lantus
sc
1x10unit
Neurodex
Insulin glarglin pyridoxine thiamine hydrochloride
antihipertensi antidiabetik injeksi
oral
3x1tablet
vitamin
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Vitamin B1
Vitamin B2
oral
vitamin
Mertigo
Mertigo
oral
antivertigo
Aspilet
oral
1x80mg
NSAID
ISDN
Asetosal Isosorbit Dinitrat
oral
3x5mg
antiangina
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Laxadin
Bisakodil
oral
1x5ml
laksatif
Micardis
Telmisartan
oral
Allopurinol
Allopurinol
oral
1x100mg
NSAID
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x50mg
antihipertensi
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
lambung cairan infus 375
247
tidak tercapai
ada
DM tipe II + ulkus diabetikum
341
178
tercapai
tidak ada
chf dm tipe 2
lambung
antiplatelet
antihipertensi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
119
6 3
6 4
6 5
6 6
L
P
P
P
49
64
60
76
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
1X75mg
antiplatelet
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Citicolin
Citicolin
oral
2x500mg
vasodilator perifer
Lapibal
Lapibal
oral
vitamin
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1ampul (25mg/ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Aminofluid
Aminofluid
iv
lantus
Insulin glarglin
sc
Humalog
Insulin lispro
oral
1x12unit sliding scale tiap 2 jam
cairan infus antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
Bisoprolol
Bisoprolol
oral
1x2,5mg
beta blocker
Paracetamol
Paracetamol
oral
antipiretik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg 2x1ampul (25mg/ml)
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
lambung antidiabetik injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x4mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
antiemetik antidiabetik injeksi
Aminofluid
Aminofluid
iv
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Digoxin
Digoxin
oral
obat jantung
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x25mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Aminofluid
Aminofluid pyridoxine thiamine
iv
Neurodex
oral
lambung
DM + Hemiparase Dextra ec. Stroke Infark dd/SH
245
174
tercapai
tidak ada
274
168
tercapai
tidak ada
324
174
tercapai
tidak ada
dm, kad
276
152
tercapai
ada
dm type 2, general weakness
cairan infus
lambung cairan infus
3x1tablet
vitamin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
120
hydrochloride
6 7
6 8
6 9
P
L
P
65
57
61
Novorapid
Insulin aspart
sc
1 unit/kg BB tiap 4jam
antidiabetik injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Hp pro
Fructus Schizandrae
oral
Allopurinol
Allopurinol
oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
lambung antidiabetik injeksi
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x100mg
antihipertensi
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
1X75mg
antiplatelet
Nitrokaf
Nitrokaf
oral
Captopril
Captopril
oral
2x25mg
antihipertensi
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Laxadin
Bisakodil
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x5ml 1 unit/kg BB tiap 4jam
laksatif antidiabetik injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
Lasix
Furosemid
iv
2x1gr 2x1ampul (25mg/ml) 2x2ampul (20mg/2ml)
IVFD RL
IVFD RL
iv
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Mertigo
Mertigo
oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
vitamin
262
165
tercapai
tidak ada
Obs. Febris, DM Tipe II, HT Stage I
305
153
tercapai
tidak ada
DM Tipe II + KAD
231
167
tercapai
ada
Myalgia, DM Tipe II, HT
NSAID
antiangina
lambung antihipertensi cairan infus
antivertigo 2x1ampul (25mg/ml)
lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
121
7 0
7 1
7 2
L
P
P
49
67
54
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x4mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
antiemetik antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x10unit
Paracetamol
Paracetamol
oral
antipiretik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x8mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
antiemetik antidiabetik injeksi
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Aminofluid
Aminofluid
iv
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
Aminofluid
Aminofluid
iv
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x1mg
antidiabetik oral
Metformin
Metformin
oral
anti diabetik oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ulsafat
Sukralfat
oral
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Betahistin
Betahistin
oral
Ulsafat
Sukralfat
oral
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ciprofloxacin
Ciprofloxacin
oral
2x500mg
lantus
Insulin glarglin
sc
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x10unit 1 unit/kg BB tiap 4jam
antibiotik antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
483
348
tidak tercapai
ada
375
286
tidak tercapai
ada
442
248
tidak tercapai
tidak ada
lambung
cairan infus 2x1gr
antibiotik cairan infus
lambung anti ulkus peptikum Dm Tipe II Tdk terkontol, Vertigo
histamin analog anti ulkus peptikum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
122
7 3
P
71
Captopril
Captopril
Pro renal
7 4
7 5
P
P
38
66
oral
2x12,5mg
antihipertensi
oral
3x1tablet
vitamin
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Levofloxacin
Levofloxacin
oral
1x500mg
antibiotik analgesik
Ketorolac
Ketorolac
oral
3x1 ampul (10mg/ml)
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x1mg
antidiabetik oral
Cefixim
Cefixim
oral
2x100mg
antibiotik
Aminofluid
Aminofluid
iv
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x2 gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Candesartan
Candesartan
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x8mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antihipertensi antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
Betahistin
263
148
tercapai
tidak ada
247
206
tidak tercapai
ada
dyspepsia,dm tipe 2
ada
selulitis pedis sinistra,dm tipe2,vertigo,dyspepsi a
cairan infus
oral
Neurodex
Betahistin pyridoxine thiamine hydrochloride
histamin analog
oral
3x1tablet
vitamin
Meloxicam
Meloxicam
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x15mg 1 unit/kg BB tiap 4jam
NSAID antidiabetik injeksi
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
lambung
Ketorolac
Ketorolac
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
2x40mg 2x1 ampul (10mg/ml) 1 unit/kg BB tiap 4jam
lantus
Insulin glarglin
sc
1x15unit
antidiabetik
254
142
tercapai
analgesik antidiabetik injeksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
123
injeksi 7 6
L
59
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1 gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
antiemetik
Ketorolac
Ketorolac
oral
3x4mg 3x1 ampul (10mg/ml)
oral
3x1tablet
vitamin
Pro renal
7 7
7 8
P
P
52
42
loratadin
loratadin
oral
IVFD RL
IVFD RL
iv
135
tercapai
tidak ada
,dm tipe2
analgesik antihistamin
Humalog
Insulin lispro
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
sliding scale tiap 2 jam 1 unit/kg BB tiap 4jam
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
Pro renal
194
cairan infus antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
oral
3x1tablet
vitamin
Bicnat
Natrium bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,8mg
vitamin
Aminofluid
Aminofluid
iv
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Furosemid
Furosemid
oral
1x40mg
antihipertensi
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Curcuma
oral
3x20mg
Transamin
Curcuma Asam traneksamat
Novorapid
Insulin aspart
sc
vitamin menghentikan perdarahan antidiabetik injeksi
268
176
tercapai
tidak ada
gastropati diabetik,dm tipe2,abses tungkai kiri
286
142
tercapai
tidak ada
susp.dbd grade 2,febris,dm
cairan infus
oral 1 unit/kg BB tiap 4jam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
124
7 9
P
63
Nistatin
Nistatin
oral
CaCO3
oral
Hp pro
CaCO4 Natrium bikarbonat Fructus Schizandrae
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Bicnat
Pro renal
8 0
8 1
P
P
49
60
oral
4x1ml
antijamur antasida
3x500mg
oral
225
154
tercapai
tidak ada
286
175
tercapai
ada
fatique,dm tipe 2
tidak ada
obs.abd.pain anemia sedang ec.gastrisis erosif,dm tipe 2
antasida vitamin
oral
3x1tablet
vitamin
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
antiplatelet
Lasix
Furosemid
iv
1X75mg 2x2ampul (20mg/2ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Levofloxacin
Levofloxacin
oral
1x500mg
antibiotik
Citicolin
Citicolin
oral
vasodilator perifer
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x500mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ibuprofen
Ibuprofen
oral
3x200mg
NSAID
Ciprofloxacin
Ciprofloxacin
oral
2x500mg
antibiotik
KSR
KSR
oral
2x600mg
obat hipokalemia
New diatab
Attapulgit
oral
3x2tablet
antidiare
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x2mg
antidiabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg 2x1ampul (25mg/ml)
antihipertensi
lambung
lambung
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
Ulsafat
Sukralfat
oral
antipiretik anti ulkus peptikum
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
321
154
tercapai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
125
8 2
8 3
8 4
P
L
P
43
63
72
Cefotaxim
Cefotaxim
oral
2x250mg 2x2ampul (20mg/2ml)
antibiotik
Lasix
iv
Transamin
Furosemid Asam traneksamat
oral
antihipertensi menghentikan perdarahan
Aminofluid
Aminofluid
iv
cairan infus
Ambroxol
Ambroxol
oral
3x10ml
mukolitik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x250mg
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x40mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Hp pro
Fructus Schizandrae
oral
Curcuma
Curcuma
oral
Musin
Sukralfat
oral
Alprazolam
Alprazolam
Ambroxol
Ambroxol
vitamin K
vitamin K
oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
oral
3x4mg
Transamin
Ondancentron Asam traneksamat
Novorapid
Insulin aspart
sc
1 unit/kg BB tiap 4jam
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antiemetik menghentikan perdarahan antidiabetik injeksi antidiabetik injeksi
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
CaCO3
CaCO4
oral
Pro renal
vitamin 3x20mg
vitamin anti ulkus peptikum
oral
2x0,5mg
anti ansietas
oral
3x10ml
mukolitik
148
tercapai
tidak ada
294
175
tercapai
tidak ada
hiperglikemia,dm tipe2,tb paru on oat
364
215
tidak tercapai
ada
ckd,ht emergency,dm tipe2
vitamin
oral
oral
224
dm tipe 2,dyspepsia,tb.paru dalam pengobatan
antasida 3x1tablet
vitamin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
126
Captopril
8 5
8 6
P
L
78
69
oral
2x25mg
antihipertensi
Bicnat
Captopril Natrium bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Gluneoran
Gluneoran
oral sliding scale tiap 2 jam
antidiabetik oral antidiabetik injeksi
Humalog
Insulin lispro
oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
Lasix
Furosemid
iv
Novorapid
Insulin aspart
Candesartan
antibiotik
sc
2x1gr 2x2ampul (20mg/2ml) 1 unit/kg BB tiap 4jam
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr 2x1ampul (25mg/ml)
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ketorolac
Ketorolac
oral
3x500mg 2x1 ampul (10mg/ml)
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Aminofluid
Aminofluid
iv
antihipertensi antidiabetik injeksi
487
178
tercapai
tidak ada
DM Tipe II, GDS Tidak Terkontrol, Ulkus DM
tidak ada
Dm tipe 2,vomitus,post debridement,ulkus femur dexstra
lambung
analgesik cairan infus
Paracetamol
Paracetamol
oral
Betahistin
Betahistin
oral
3x500mg
antipiretik histamin analog
Cefoperazin
Cefoperazin
oral
antibiotik
Ketorolac
Ketorolac
oral
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
antiemetik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x4mg 2x1ampul (25mg/ml)
Ulsafat
Sukralfat
oral
244
164
tercapai
analgesik
lambung anti ulkus peptikum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
127
8 7
8 8
8 9
P
L
P
48
82
53
Omeprazol
Omeprazol
oral
Heparin
Heparin
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
Ondancentron
Ondancentron
oral
Ranitidin
Ranitidin
Ceftriaxone
Ceftriaxone
Metronidazole
2x20mg
lambung
1 unit/kg BB tiap 4jam
antikoagulan antidiabetik injeksi antiemetik
iv
3x4mg 2x1ampul (25mg/ml)
iv
2x1 gr
antibiotik
Metronidazole
oral
3x500mg
lantus
Insulin glarglin
sc
1x10unit
antibiotik antidiabetik injeksi
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Aspirin
Aspirin
oral
3x80mg
antiplatelet
Furosemid
Furosemid
oral
1x40mg
antihipertensi
Meropenem
Meropenem
oral
2x30mg
antibiotik
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x2mg
antidiabetik oral
Amoxicillin
Amoxicillin
oral
3x500mg
antibiotik
Metformin
Metformin
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
anti diabetik oral antidiabetik injeksi
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg 1 unit/kg BB tiap 4jam 2x1ampul (25mg/ml)
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
lambung
Ranitidin
Ranitidin
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
2x20mg 2x1ampul (25mg/ml) 1 unit/kg BB tiap 4jam
285
194
tidak tercapai
ada
274
186
tidak tercapai
ada
338
214
tidak tercapai
ada
dm tipe 2,ulkus pedis sinistra
lambung
lambung febris leukositosis,dm tipe 2
lambung antidiabetik injeksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
128
9 0
P
72
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antidiabetik injeksi
Fluconazol
Fluconazol
oral
1x150mg
antijamur
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ketorolac
Ketorolac
oral
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Levofloxacin
Levofloxacin
oral
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
1x500mg 2x2ampul (20mg/2ml)
IVFD RL
IVFD RL
iv
lantus
Insulin glarglin
sc
241
193
tidak tercapai
ada
analgesik
1x12unit
antihipertensi cairan infus antidiabetik injeksi
Outcomes Klinik: Kadar Glukosa Darah Sewaktu <180mg/dL (American Association Diabetes, 2015)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
129
Lampiran 4. Data Interaksi Obat dan Manajemen No
Nama Obat
Pola Mekanisme Interaksi
Tingkat Keparahan Interaksi
Jumlah Kejadian
Mekanisme Interaksi
Managemen
1
Glimepiride +
unknown
Moderate
1
Asam mefenamat meningkatkan efek glimepiride melalui mekanisme yang tidak diketahui. Beresiko hipoglikemia.
Pantau kadar glukosa darah
farmakokinetik
Moderate
1
Aspirin dapat menstimulasi sekresi insulin atau meningkatkan konsentrasi plasma dari glimepirid dengan menggantinya dari situs pengikatan protein dan/atau menginhibisi metabolismenya . beresiko hipoglikemia
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi
farmakodinamik
Moderate
1
Captopril meningkatkan efek glimepirid oral melalui sinergisme farmakodinamik (peningkatan sensitivitas insulin)
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi
farmakodinamik
Moderate
1
Ciprofloxacin meningkatkan efek glimepirid
Pengaturan dosis dan kontrol
asam mefenamat
2
Glimepiride + aspirin
3
Glimepiride + captopril
4
Glimepiride +
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
130
ciprofloxacin
5
Glimepiride +
Glimepiride +
Moderate
4
Glimepirid, insulin aspart. Salah satunya meningkatkan efek yang lain melalui sinergisme farmakodinamik
Perlu adj dosis pada penggunaan kombinasi saat memulai /menghentik an terapi
unknown
Moderate
1
Ketorolac meningkatkan efek glimepirid melalui mekanisme yang tidak diketahui. Beresiko hipoglikemia.
Pantau KGD, simptomp hipoglikemi a, pengaturan dosis antidiabetes jika perlu.
farmakokinetik
Moderate
1
Na Diclofenac dapat menstimulasi sekresi insulin atau meningkatkan konsentrasi plasma dari glimepirid dengan menggantinya dari situs pengikatan protein dan/atau
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikem
ketorolac
7
Glimepiride + natrium diklofenak
KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi, atau hiperglikem ia
farmakodinamik
insulin aspart (Novorapid)
6
melalui sinergisme farmakodinamik. Hiper dan hipoglikemia telah dilaporkan padapasien yang dirawat bersamaan dengan quinolones dan agen antidiabetes
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
131
menginhibisi metabolismenya . beresiko hipoglikemia 8
Glimepiride +
farmakokinetik
Moderate
5
Penghambatan metabolisme CYP2C9 sulfonilurea. Konsentrasi sulfonilurea serum dapat meningkat, meningkatkan efek hipoglikemia
Berdasarkan data yang tersedia, tidak ada tindakan pencegahan khusus diperlukan. Jika terjadi interaksi, sesuaikan dosis sulfonilurea
farmakokinetik
Moderate
9
Antagonis reseptor H2 seperti simetidin dan ranitidin dapat meningkatkan efek hipoglikemik. Mekanismenya diduga berhubungan dengan inhibisi metabolisme sulfonilurea di hati oleh simetidin sehingga meningkatkan efeknya.
Memantau kadar glukosa darah, gejala hipoglikemia dan penyesuaian dosis sulfonilurea.
unknown
Minor
1
Konsentrasi sulfonilurea meningkat, meningkatkan efek
Berdasarkan data yang tersedia, tidak ada tindakan
omeprazole
9
Glimepiride + ranitidine
10
Glimepiride + simvastatin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
132
11
Insulin aspart (Novorapid) +
Insulin aspart (Novorapid) +
Moderate
1
Aspirin meningkatkan efek insulin aspart dengan sinergisme farmakodinamik (peningkatan sekresi insulin)
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi
farmakodinamik
Moderate
5
Captopril meningkatkan efek insulin aspart oral melalui sinergisme farmakodinamik (peningkatan sensitivitas insulin)
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi
farmakodinamik
Moderate
3
Ciprofloxacin meningkatkan efek insulin aspart melalui sinergisme farmakodinamik. Hiper, hipoglikemia telah dilaporkan pada penggunaan quinolones dan antidiabetes.
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi /hiperglike mi.
captopril
13
Insulin aspart (Novorapid) + ciprofloxacin
pencegahan khusus diperlukan. Penurunan dosis sulfonilurea mungkin diperlukan jika interaksi terjadi.
farmakodinamik
aspirin
12
hipoglikemia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
133
14
Insulin aspart (Novorapid) +
farmakodinamik
Moderate
2
Dexamethasone menurunkan efek insulin aspart melalui antagonism farmakodinamik. Dapat menyebabkan hiperglikemia dan intoleransi glukosa.
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hiperglikem ia
farmakodinamik
Moderate
1
Levofloxacin meningkatkan efek insulin aspart melalui sinergisme farmakodinamik. Hiper dan hipoglikemia telah dilaporkan padapasien yang dirawat bersamaan dengan quinolones dan agen antidiabetes.
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi, atau hiperglikem ia
farmakodinamik
Moderate
3
Metilprednisolon menurunkan efek insulin aspart melalui antagonisme farmakodinamik
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hiperglikem ia
dexamethasone
15
Insulin aspart (Novorapid) + levofloxacin
16
Insulin aspart (Novorapid) + metil prednisolon
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
134
17
Insulin glargline (Lantus) +
farmakodinamik
Moderate
5
Metformin dapat meningkatkan efek hipoglikemik insulin glargine dengan meningkatkan mekanisme kontrol selular oleh insulin atau efek pada reaksi biokimia komplementer.
Monitor ketat tandatanda hipoglikemi a, pengaturan dosis dapat diperlukan saat memulai/ menghentik an terapi
farmakodinamik
Moderate
1
Metilprednisolon menurunkan efek insulin glargline melalui antagonisme farmakodinamik
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hiperglikem ia
unknown
Minor
2
Metformin menurunkan level asam folat melalui mekanisme interaksi yang tidak diketahui
Tidak memerlukan manajemen khusus
farmakodinamik
Moderate
1
Ciprofloxacin meningkatkan efek metformin melalui sinergisme farmakodinamik. Hiper dan hipoglikemia telah dilaporkan padapasien yang dirawat bersamaan dengan quinolones dan agen
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi, atau hiperglikem ia
metformin
18
Insulin glargline (Lantus) + metil prednisolon
19
Metformin + asam folat
20
Metformin + ciprofloxacin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
135
antidiabetes. 21
Metformin +
farmakodinamik
Moderate
1
Dexamethasone menurunkan efek metformin melalui antagonism farmakodinamik. Dapat menyebabkan hiperglikemia dan intoleransi glukosa.
Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hiperglikem ia
farmakokinetik
Moderate
2
Digoxin akan meningkatkan level/efek metformin dengan kompetisi pembasaan obat untuk kliren tubular renal. Beresiko asidosis laktat.
Titrasi sangat lambat dan hati-hati metformin, dosis maksimal metformin sebaiknya diturunkan, pantau gejala asidosis laktat
farmakokinetik
Minor
1
diltiazem akan meningkatkan level/efek metformin dengan kompetisi pembasaan (kationik) obat untuk klirens renal tubular.
Tidak memerlukan manajemen khusus
unknown
Moderate
2
Furosemid meningkatkan level metformin mekanisme interaksi tidak diketahui. metformin
Pantau ketat bukti bahwa salah satu obat diubah. Monitor KGD dan tanda-tanda
dexamethasone
22
Metformin + digoxin
23
Metformin + diltiazem
24
Metformin + furosemid
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
136
25
Metformin +
Metformin + ranitidine
asidosis laktat
unknown
Minor
3
ISDN menurunkan level metformin mekanisme interaksi tidak diketahui.
Pantau KGD, simptom hiperglikem ia, pengaturan dosis jika perlu
farmakokinetik
Moderate
17
Ranitidin akan meningktkan level/efek metformin melalui penurunan klirens ginjal/kompetisi transport tubular renal.
Titrasi sangat lambat dan hati-hati metformin, dosis maksimal metformin sebaiknya diturunkan, pantau gejala asidosis laktat
ISDN
26
menurunkan level furosemid melalui mekanisme interaksi yang tidak diketahui.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
137
Lampiran 5. Analisis Hubungan Antara Usia dengan Interaksi Obat Antidiabetes Case Processing Summary Cases Valid N usia * interaksi
Missing Percent
90
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 90
100.0%
usia * interaksi Crosstabulation Count interaksi berinteraksi usia
tidak berinteraksi
Total
< 45 tahun
8
10
18
> 45 tahun
44
28
72
52
38
90
Total
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square
Asymp. Sig. (2sided)
df
1.640a
1
.200
Continuity Correction
1.028
1
.311
Likelihood Ratio
1.621
1
.203
b
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.286 1.621
1
.203
90
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,60. b. Computed only for a 2x2 table
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Exact Sig. (1sided)
.155
138
Lampiran 6. Analisis Hubungan Antara Jumlah Penyakit Penyerta dengan Interaksi Obat Antidiabetes Case Processing Summary Cases Valid N penyakit_penyerta * interaksi
Missing Percent
90
N
98.9%
Total
Percent 1
N
1.1%
Percent 91
100.0%
penyakit_penyerta * interaksi Crosstabulation Count interaksi 1 penyakit_penyerta
2
Total
< 5 penyakit penyerta
46
18
64
> 5 penyakit penyerta
6
20
26
52
38
90
Total
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square
Asymp. Sig. (2sided)
df
18.047a
1
.000
Continuity Correction
16.102
1
.000
Likelihood Ratio
18.441
1
.000
b
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.000 17.847
1
.000
90
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,98. b. Computed only for a 2x2 table
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Exact Sig. (1sided)
.000
139
Lampiran 7. Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan Interaksi Obat Antidiabetes Case Processing Summary Cases Valid N jumlah_obat * interaksi
Missing Percent
90
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 90
100.0%
jumlah_obat * interaksi Crosstabulation Count interaksi berinteraksi jumlah_obat
tidak berinteraksi
Total
>5 obat
7
7
14
<5 obat
45
31
76
52
38
90
Total
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
30.979a
1
.000
Continuity Correctionb
28.578
1
.000
Likelihood Ratio
32.519
1
.000
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.000 30.635
1
.000
90
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,36. b. Computed only for a 2x2 table
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Exact Sig. (1sided)
.000
140
Lampiran 8. Analisis Hubungan Antara Interaksi Obat dengan Outcomes
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Case Processing Summary Cases Valid N interaksi * outcomes
Missing Percent
90
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 90
100.0%
interaksi * outcomes Crosstabulation Count outcomes outcomes tidak outcomes tercapai interaksi
tercapai
Total
berinteraksi
10
42
52
tidak berinteraksi
37
1
38
47
43
90
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
53.726a
1
.000
Continuity Correctionb
50.640
1
.000
Likelihood Ratio
64.427
1
.000
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.000 53.129
1
.000
90
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,16. b. Computed only for a 2x2 table
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
.000