1| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Jurnalentera Nomor 1/2016
Perempuan, Kuasa Modal & Politik Lingkungan
DEWAN REDAKSI JURNALENTERA Pemimpin Umum LPM Lentera Arista Ayu Nanda Ketua Dewan Redaksi Bima Satria Putra Anggota Dewan Redaksi Andri Setiawan Alexio Alberto Caesar Priskilla Efatania Krispaty Septi Dwi Astuti David Adhyprawira Nonoputra Ilustrator Agus Handoko Christian Adi Chandra Redaktur Tamu Dr. Phil. Dewi Candraningrum (Jurnal Perempuan) Dr. Arianti Ina Restiani Hunga (Pascasarjana UKSW) Ahmad Badawi (Direktur YLSKAR)
Jln. Gajah Oya RT 02/RW X, Blondo Celong, Kel.Kutowinangun, Salatiga, Jawa Tengah Web
: www.portalentera.wordpress.com
Surel
:
[email protected]
Facebook
: Lentera Fiskom UKSW
Instagram
: @lpmlentera
Jurnalentera terbit satu (1) tahun sekali dan menerima karya tulis ilmiah yang relevan dengan tema yang dipilih.
1| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Daftar Isi EDITORIAL Melibatkan Perempuan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Terpadu Bima Satria Putra 3-8 KAJIAN Agar Air Tetap Mengalir, Agar Perempuan Tidak Berakhir: Perempuan sebagai Liyan dalam Pembangunan Sumur Resapan di Patemon Arya Adikristya & Arista Ayu Nanda 9-20 Politik Rahim : Perempuan Kendeng Menolak Tambang Semen Dewi Candraningrum 21-38 Derita Perempuan Itu ‗Menjual‘ : Analisis Framing pada Berita Korban Merapi di Harian Suara Merdeka Galih Agus Saputra 39-54 Eceng Gondok Tetap Ada dan Berlipat Ganda : Perempuan Rowoboni Menghadapi Permasalahan Ekonomi-Ekologi Rawapening Bima Satria Putra & Meilana Amrih Lestari 55-70 KASUS Istri sebagai Pekerja Utama Pertanian pada Masyarakat Melayu di Sambas, Kalimantan Barat Atem Kornadi 71-75 Merawat Bumi Alor Melalui Ingatan Perempuan Indriyani Sugiharto 76-82 Privatisasi Air dan Dampaknya Terhadap Perempuan di Muara Baru, Jakarta Utara Athina Triyananda Lupi 83-92
2| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
EDITORIAL
Melibatkan Perempuan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Terpadu Bima Satria Putra Pemimpin Redaksi LPM Lentera
Upaya untuk terus memperbarui penelitian mengenai relasi gender dengan
pengelolaan
lingkungan
hidup (tanah, air dan makhluk hidupnya) di kalangan akademisi menjadi penting mengingat dewasa ini,
perempuan
masih
menjadi
korban terhadap ketidakadilan yang terjadi. Isu yang diangkat dalam jurnal ini adalah salah satu dari berbagai struktural
macam di
permasalahan
masyarakat
yang
menawarkan pandangan baru atau mengevaluasi pandangan lama perihal relasi gender dan tata kelola SDA. Jurnal ini berisi kajian akademis berupa hasil laporan penelitian, tulisan reflektif berdasarkan pengalaman langsung dan studi kasus nyata yang terbuka bagi pengembangan praksis gerakan perempuan dan lingkungan hidup. 3| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Pada tulisan pertama, Arya Adikristya dan Arista Ayu Nanda mengkaji mengenai pembangunan sumur resapan di Desa Patemon yang bertujuan untuk meningkatkan debit mata air Senjoyo yang terus menurun tiap tahunnya. Patemon sebagai daerah tangkapan air yang juga sering dilanda kekeringan akhirnya dipilih sebagai salah satu lokasi pembangunan. Sayangnya, perempuan yang memiliki tanggungan yang berat untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan air, tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan tersebut. Pada tulisan kedua, Galih Agus Saputra mencoba melihat bagaimana media membingkai (framing) realitas yang terjadi dalam peristiwa erupsi Gunung Merapi pada 2010. Galih memilih beberapa berita yang terbit di Suara Merdeka perihal peristiwa tersebut. Dari analisis framing-nya, Galih menemukan bahwa media masih cenderung menjadikan perempuan korban bencana sebagai ‗objek jualan‘ untuk menarik perhatian (simpati dan empati) pembaca, sambil di satu sisi mensubordinasikan perempuan dengan memberikan penggambaran yang kurang baik terhadap mereka. Menjadikan korban perempuan sebagai ‗objek jualan‘ tampak dari bagaimana media mengangkat kisah korban perempuan yang sedih, takut dan khawatir. Sementara subordinasi terjadi dengan penggambaran buruk perempuan sebagai
kaum
yang
‗memiliki
bahasa
sendiri‘,
ngotot,
dan
tidak
mempertimbangkan segala macam resiko, karena selalu berupaya untuk tidak pergi dari rumah saat bencana terjadi, atau kembali ke rumah setelah dari pengungsian. Sementara itu Dewi Chandraningrum mencoba mengkaji perjuangan perempuan di Pegunungan Kendeng yang menolak pembangunan Pabrik Semen. Ia menemukan bagaimana agensi perempuan tidak hanya tercetak sebagai korban, tetapi secara diskursif perempuan secara politis aktif melawan perusakan lingkungan dalam sebuah paradigma tidak eksploitatif—bahwa mereka akan kehilangan air sebagai penopang kebutuhan hidup, atau 4| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
kehilangan air sebagai potensi kapital perikehidupan mereka. Tetapi perempuan-perempuan ini mengungkapkan bahwa ketahanan lingkungan, air dan ekologi Watu Putih merupakan metafora dari ibu mereka, yang memberikan susunya, dan seluruh kesuburannya, untuk anak-anaknya. Perempuan-perempuan
Kendeng
memandang
ekosistem
Watu
Putih
Rembang sebagai ibu, dan mereka adalah anak-anak yang harus melindungi ibunya dari serangan penghancuran oleh tambang-tambang. Kajian Bima Satria Putra, mengenai masyarakat di Kabupaten Semarang yang beberapa dekade terakhir ini menghadapi masalah serius di sekitar Rawapening terkait dengan pendangkalan danau dan penurunan kualitas air akibat sedimentasi, perluasan lahan pertanian dan limbah. Berbagai aktivitas masyarakat di sekitar Rawapening menyumbang kontribusi yang komplek terhadap permasalahan tersebut, sehingga muncul masalah ledakan populasi (blooming) salah satu vegetasi air di sana, yaitu eceng gondok (Eichhornia crassipes). Semuanya berujung kepada ancaman bahwa Rawapening dapat menjadi daratan dalam 2021. Kelompok Wanita Tani (KWT) Sekar Melati adalah kelompok perempuan di dusun Rowoboni yang berupaya untuk meningkatkan hajat hidup demi memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, dengan mengolah eceng gondok menjadi produk siap jual. Selain didasari atas murni motif ekonomi, perempuan Banyubiru secara tidak langsung telah melakukan upaya yang dapat membantu permasalahan ekologis di Rawapening dengan menggunakan eceng gondok yang menjadi bahan baku usahanya. Walau berdampak secara ekonomi, sayangnya upaya yang mereka lakukan tidak memberikan dampak yang cukup kepada kondisi ekologi danau. Populasi eceng gondok di Rawapening secara empirik tidak berkurang secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produksi KWT Sekar Melati akibat keterbatasan modal dan rendahnya keahlian anggota KWT Sekar Melati. Padahal jika dikelola dengan baik, upaya yang dilakukan dapat lebih 5| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
membantu perekonomian masyarakat dan membantu mengurangi populasi eceng gondok. Tulisan
selanjutnya
dari
Atem
Kornadi,
mencoba
menabrak
pandangan masyarakat yang sudah tertanam jauh di dasar pemikiran dan membudaya hingga saat ini. Menurut Kornadi, pemikiran-pemikiran yang selalu menempatkan peran laki-laki lebih utama dibanding perempuan juga dapat dimentahkan dengan adanya fenomena-fenomena di sejumlah masyarakat dimana pembagian kerja laki-laki tidak selamanya berperan lebih (dominan) ketimbang perempuan. Misalnya yang terjadi di kalangan istri dalam masyarakat Melayu yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di Dusun Semayong, Desa Sungai Kumpai, Kecamatan Teluk Keramat. Para istri di Dusun Semayong yang keterlibatannya di bidang pertanian khususnya pertanian padi jauh lebih dominan dibanding para suami. Dapat dikatakan bahwa istri ialah pekerja utama dalam mengelola ladang. Pekerjaan yang dilakukan para istri tidak sebatas kegiatan-kegiatan ringan, setiap tahap dalam pengelolaan pertanian di ladang tidak luput dari kontribusi istri, berbanding terbalik dengan kontribusi suami yang secara umum jauh lebih sedikit dan hal ini sudah berlangsung sejak lama. Indriyani Sugiharto dalam tulisan selanjutnya mengeksplorasi lebih jauh pengalamannya dengan perempuan di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Tinggal bersama masyarakat selama hampir dua bulan, menunjukkan kepada Indriyano bahwa perempuan Alor mempunyai peran yang signifikan dalam merawat alam. Walaupun, akhirnya ia sendiri mempertanyakan rasa kagumnya pada ―kerja perempuan‖ yang menurut mereka sudah diwariskan dan dijalankan sejak lama. Indriyani akhirnya buntu pada pemikiran untuk membiarkan ―kerja perempuan‖ di Alor—dengan banyaknya beban kerja serta kurangnya penghargaan pada perempuan—sebagai usaha penghargaan dan
6| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
pelestarian tradisi, atau memberikan pemahaman mengenai pilihan untuk menentukan sendiri kerja seperti apa yang masing-masing mereka inginkan. Kembali soal air, di Muara Angke, Jakarta Utara. Hal ini terjadi karena mafia dan privatisasi air menghilangkan kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan air yang bersih dan berkelanjutan. Pemerintah daerah, sebagai penanggung jawab pelayanan kepada masyarakat, punya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan air. Menurut, Indriyani Sugiharto, pengelolaan air seharusnya dilakukan oleh BUMD yang bertanggung jawab langsung kepada pemerintah daerah dan pemerintah daerah bertanggung jawab langsung kepada warga Jakarta. Pengelolaan oleh BUMD diharapkan dapat meminimalisir ketidakadilan ketimbang pengelolaan oleh pihak swasta yang hanya bertanggung jawab kepada investor, sehingga kewajibannya hanyalah menjamin profit maksimal. Persoalan air bersih dan hak perempuan yang harus dilindungi negara harus segera dipecahkan oleh pemerintah, baik di tingkat kota maupun nasional, yang sedang membangun citra lebih berpihak kepada rakyat. Dari beragam tulisan tersebut paling tidak, kita dapat menarik beberapa kesimpulan yang antara lain adalah pertama, isu ancaman kerusakan lingkungan, baik eksploitasi alam akibat keserakahan modal, kerusakan lingkungan, pemanasan global dan bencana alam –juga bencana manusia- memiliki sebuah garis yang sangat rapuh dan akan berdampak secara langsung kepada perubahan bagi manusia serta bagaimana manusia menjalin relasi antar sesama. Kedua, perubahan tersebut merugikan manusia, namun perempuan cenderung mendapatkan dampak yang lebih besar ketimbang
laki-laki.
Oleh
karena
itu,
pengelolaan
SDA
seharusnya
memerlukan keterlibatan aktif dari perempuan. Ketiga, masyarakat memiliki kearifan lokal (local wisdom) –tanpa bermaksud meromantisir- tentang bagaimana interaksinya dengan alam dapat berjalan dalam harmoni yang indah, dan hal tersebut dapat digunakan menjadi daya tawar terhadap cara 7| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
pandang yang eksploitatif. Keempat, perempuan seringkali tidak tinggal diam diri melihat dirinya sebagai korban, namun mentranformasikan diri untuk menjadi korban yang aktif terhadap politis untuk berusaha berjuang terhadap permasalahan tata kelola SDA dan lingkungan hidup yang terjadi di sekitarnya. *** Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Yayasan Jurnal Perempuan, Arrow dan Yayasan Lingkar Studi dan Kesetaraan Aksi dan Refleksi (YLSKAR) Salatiga. Mereka telah dengan sabar membantu dewan redaksi untuk mendapatkan materi yang mantap untuk diterbitkan dalam Jurnalentera, arahan teknis dalam penerbitan karya tulis ilmiah berkala, seleksi tulisan dan bantuan dananya. Kepada pembaca, semoga jurnal ini tidak berakhir di kolong meja atau lemari buku tanpa menghasilkan tindakan dan kebijakan yang lebih berpihak kepada perempuan dan lingkungan hidup.
8| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Agar Air Tetap Mengalir, Agar Perempuan Tidak Berakhir : Perempuan sebagai Liyan dalam Pembangunan Sumur Resapan di Patemon Arista Ayu Nanda Pemimpin Umum LPM Lentera Arya Adikristya Pemimpin Umum LPM Scientiarum ABSTRACT The reduces of water discharge in Senjoyo, district Semarang, has become the representataion of lack of water management in Salatiga. Starts with water crisis in Patemon village at 2005 – which is rely on clean water consumption from Senjoyo – a local farmer community and some NGOs giving hands to build catchment wells. But, men in Patemon dominates the project, so that most of women there has no equal space for participating. Keyword: Patemon‟s Women Participation, Water Crisis, Catchment Wells, Senjoyo, lack of water management
9| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
10| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
A. PENDAHULUAN
S
udah sejak lama mata air menjadi salah satu kebutuhan tetap manusia. Mulai dari konsumsi sehari-hari –pangan, mandi, cuci, kakus, hingga sebagai komponen utama industri dan irigasi. Karena air berkaitan
erat dengan hajat hidup orang banyak, maka dibutuhkan pengelolaan untuk menciptakan distribusi air yang lebih efisien dan berkelanjutan. Dalam pengelolaannya, sumber daya air masih terkotak-kotak pada budaya patriarki. Dengan kata lain, inilah bukti bahwa budaya patriarki tidak hanya terjadi pada interaksi sosial saja. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan politik kemasyarakatan, terutama dalam banyak pembuatan keputusan, menyebabkan adanya bias gender, sehingga membuat status quo peran perempuan. Semua implikasi ini, berkaitan dengan pengelolaan sumber daya dan lingkungan, dimana peran perempuan dianggap lebih rendah ketimbang peran laki-laki (Mitchel, 2010). Pemakaian air saat ini terspesialisasi oleh seks ataupun gender. Secara umum kebutuhan air banyak digunakan para perempuan, karena pembagian kerja masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai pekerja domestik seperti, memasak, mencuci piring, baju dan penggunaan lain yang membutuhkan air yang lebih. Ditambah lagi dengan siklus bulanan yang butuh banyak air untuk mandi dan membersihkannya. Kebutuhan air akan naik. Sehingga saat debit air menurun, perempuanlah yang paling dirugikan. Berbeda dengan laki-laki (walau tidak semua) yang menggunakan air hanya untuk kebutuhan mandi atau mencuci motor atau mobil. Senjoyo adalah salah satu contoh mata air yang mengalami penurunan debit air. Untuk 10 tahun terakhir ini saja, mata air yang menjadi pemenuh utama kebutuhan air masyarakat Salatiga mengalami penurunan sebanyak 500 liter/detik, yaitu dari 1.300 liter/detik menjadi 800 liter/detik pada 2014. Padahal untuk kebutuhan air se-kota Salatiga saja berkisar 250 liter/detik 11| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
(SPPQT, 2015). Penyebab turunnya debit air Senjoyo adalah tidak berfungsinya daerah tangkapan air, akibat alih fungsi lahan menjadi perumahan dan industri, serta kurangnya pepohonan. Salah satu cara untuk mengembalikan debit air yang berkurang karena perubahan iklim yang ekstrim dan pengelolaan mata air yang buruk, yaitu dengan membangun sumur resapan. Pembangunan sumur resapan perlu penelitian peta hidrogeologi untuk mengetahui daerah tangkapan airnya. Berdasarkan peta yang disusun Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT), daerah tangkapan air untuk Senjoyo antara lain berada di: a) Kelurahan Noborejo, Kota Salatiga; b) Desa Butuh, Desa Patemon, Desa Bener serta Desa Tegalwaton di Kecamatan Tengaran, Kab. Semarang dan; c) Desa Jetak di Kecamatan Getasan, Kab. Semarang. Pada 2013, di daerah tangkapan air di atas dibangun sumur resapan, termasuk Patemon. Desa Patemon adalah salah satu daerah tangkapan air untuk Senjoyo. Namun, sejak 2005 sumur-sumur di Patemon mengering dan sungainya makin dangkal. Salah satu penyebabnya, Patemon adalah daerah pertanian yang kian beralih menjadi daerah industri. Air tanah disedot industri mebel dan tekstil dalam jumlah besar. Puncaknya, pada 2012-2013 Patemon mengalami kekeringan parah. Warga kesusahan mendapatkan air, hingga meminta bantuan air dari pemerintah kabupaten, tapi tetap tidak cukup (Apriando, 2015). Melihat kenyataan perempuan adalah bagian dari masyarakat yang dirugikan dengan kekeringan air, benarkah perempuan telah menjadi subyek pembangunan konservasi air ini? Benarkah perempuan di Patemon dilibatkan secara aktif dalam pembangunan? Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengambilan data primer melalui observasi lapangan dan wawancara beberapa perempuan di Patemon dan SPPQT, sebagai 12| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
pendamping masyarakat selama proses pembangunan sumur resapan, serta penelusuran kepustakaan yang relevan. B. PEMBAHASAN Meningkatkan Daya Serap Air Sumur resapan adalah salah satu teknik rekayasa konservasi air, dengan ukuran dan spesifikasi tertentu, berupa sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan (bukan air limbah) sebanyak-banyaknya yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap air, lalu meresapkannya ke dalam tanah. Secara sederhana, prinsip kerja sebuah sumur resapan yaitu menyimpan air hujan (untuk sementara) dalam lubang yang sengaja dibuat. Selanjutnya air tampungan akan masuk ke dalam tanah sebagai air resapan (infiltrasi). Air resapan ini selanjutnya menjadi cadangan air tanah. Lokasi pembangunan sumur resapan umumnya ada di daerah peresapan air di kawasan budidaya, pemukiman, perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olahraga serta fasilitas umum lainnya. Pembangunan sumur resapan di rumah-rumah jelas mempunyai maksud dan tujuan yang digunakan untuk keuntungan manusia. Menurut Kusnaedi
(2011),
sumur
resapan
punya
banyak
manfaat.
Pertama,
mengurangi aliran permukaan (run off) sehingga dapat menghindari terjadinya genangan aliran permukaan secara berlebihan yang menyebabkan banjir. Meski demikian, aliran permukaan yang dapat dikurangi tergantung pada volume dan jumlah sumur resapan. Kedua, mengurangi erosi dan sedimentasi akibat aliran permukaan. Aliran permukaan sering kali membawa banyak material dari daerah yang dilewatinya, khususnya di hulu. Material yang terhanyut kemudian akan 13| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
tertimbun atau terkumpul dalam area tertentu di hilir. Erosi dapat membuat daerah tertentu menjadi tidak subur akibat kehilangan unsur hara serta dapat menimbulkan tanah longsor. Sementara sedimentasi dapat membuat pendangkalan aliran sungai, yang dapat berujung kepada kerusakan ekosistem sungai serta menyebabkan banjir. Bila aliran permukaan menurun, tanahtanah yang tergerus dan terhanyut pun akan berkurang, sehingga mengurangi resiko erosi dan sedimentasi.
Gambar 3. Prinsip Kerja Sumur Resapan Penampungan Air Hujan Ketiga, memberi cadangan air tanah yang cukup dalam jangka waktu lama. Peresapan air melalui sumur resapan ke dalam tanah sangat penting, mengingat adanya perubahan tata guna tanah di permukaan bumi sebagai konsekuensi dari perkembangan penduduk dan perekonomian masyarakat. Hal ini mengingat semakin banyaknya tanah yang tertutupi tembok, beton, aspal, dan bangunan lainnya yang tidak meresapkan air. Dengan adanya perubahan tata guna tanah tersebut akan menurunkan kemampuan tanah untuk meresapkan air. Sumur resapan diharapkan meresapkan air ke dalam tanah menjadi air cadangan. Air yang tersimpan dalam tanah tersebut akan dapat dimanfaatkan melalui sumur-sumur atau mata air. 14| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Berdasarkan dari manfaat pembangunan sumur resapan, maka sumur resapan menjadi solusi untuk menyelesaikan permasalahan kekeringan di daerah tersebut. Pembangunan sumur resapan pada daerah tangkapan air Senjoyo, selain dapat meningkatkan debit air Senjoyo, juga memberikan cadangan air tanah pada daerah tangkapan tersebut. Sumur Resapan di Patemon Pembangunan sumur di Patemon melibatkan banyak pihak, antara lain SPPQT, Coca Cola Foundation Indonesia (CCFI), Indonesia Urban Water Sanitation And Hygiene (IUWASH), United State Agency International Development (USAID) dan perangkat desa pada daerah tangkapan air. CCFI adalah penyumbang dana, sementara USAID dan IUWASH melakukan kajian ―Kerentanan dan Rencana Adaptasi Penyedia Air Minum PDAM Kota Salatiga‖. Perangkat desa dan tokoh masyarakat memberikan pemahaman kepada masyarakat dan memberikan saran, informasi dasar, dukungan, mengundang warga dan penyediaan tempat pertemuan. SPPQT mendampingi dan menjembatani antara masyarakat Patemon dengan CCFI, USAID dan IUWASH. SPPQT juga memberikan sosialisasi, pelatihan terhadap tukang, mengawasi dan dokumentasi, melakukan program tindak lanjut pasca pembangunan sumur resapan dan melakukan studi banding pembangunan sumur resapan ke Jawa Timur. SPPQT bisa menjadi salah satu contoh keberhasilan dari pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Masyarakat dilibatkan dalam tahapan perencanaan, pengadaan sumur resapan, hingga pengawasan.
Pembangunan
partisipatif
dinilai
lebih
baik
karena
memunculkan rasa memiliki (sense of belonging). Masyarakat dalam hal ini menyediakan pekarangan rumahnya sebagai lokasi pembangunan sumur resapan. Ukuran sumur menyesuaikan dengan 15| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
luas pekarangan rumah yang bersangkutan. Pada proses pengadaan, sosialisasi jatuh pada awal 2014. Namun dalam berjalannya, masyarakat masih terus meminta informasi bahkan ketika proses pembangunan telah berlangsung. Kemudian April 2015, pembangunan sumur resapan di Patemon dinyatakan selesai. Pembangunan sumur resapan memiliki dampak bagi warga Patemon. Sejak dibangunnya sumur resapan di halaman rumah warga, sumur-sumur tersebut kembali mengeluarkan mata air. Budi, laki-laki Patemon pengguna sumur resapan, mengatakan, sejak sumur resapan dibangun ada 12 keluarga yang menggantungkan air bersih dari sumurnya. Sekarang, ia tidak pernah mengalami kekeringan lagi: “Tahun 2015, air tanah naik. Dulu satu jam disedot, air habis. Sekarang 24 jam non-stop, air masih berlimpah, walau musim kemarau.” (Apriando, 2016). Saat ini, desa Patemon sedang menyusun Perdes yang mengatur kedaulatan desa yang mengacu pada UU Desa. Isi Perdes tersebut antara lain adalah sanksi bagi yang menebang pohon sembarangan harus menanam ulang. Juga agar pabrik wajib membuat sumur resapan dengan volume 20 m 2. Menurut Puji Rahayu, Kepala Desa Patemon, desa harus punya kedaulatan dalam mengelola sumber daya alam: “Kita harus berbuat sesuatu, jangan sampai orang lain rugi. Prinsipnya, bukan Indonesia yang membangun desa, tetapi sebaliknya. Jika desa tidak punya kedaulatan, maka makin terjajah.” (Apriando, 2016).
16| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Perempuan Patemon sebagai Liyan Menurut SPPQT, perempuan mengambil peran penting dalam pembangunan sumur resapan di Patemon. Peran perempuan dalam pembangunan sumur resapan tersebut antara lain: 1. Tim pendamping dari IUWASH seorang perempuan. Tugasnya, mengawasi mutu sumur resapan agar sesuai dengan standar CCFI. 2. Satu dari dua orang tim teknis adalah perempuan. Ia bersama anggota tim lainnya yang mendampingi para tukang, mencermati sumur-sumur yang
dibangun,
menentukan
lokasi,
dan
mengawasi
proses
pembangunan. 3. Kepala
Desa
Patemon
mengkoordinasikan
adalah
seluruh
jajaran
perempuan. pemerintah
Ialah desa,
yang Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dan masyarakat Desa Patemon untuk memahami, serta menerima program sumur resapan ini. Menurut Lynch (dalam Mitchell, 2010), saat penelitiannya di Peru, pada umumnya perempuan tidak berpartisipasi dalam membangun sistem, perbaikan dan pemeliharaan prasarana, serta pembuatan keputusan tentang alokasi dan distribusi air. Hal ini nampak pula dalam pembangunan sumur resapan di Patemon. Walau Kepala Desa Patemon adalah perempuan, namun pembangunan itu tidak banyak melibatkan perempuan Patemon lainnya. Pada umumnya, perempuan Patemon tidak berpartisipasi dalam proses pembangunan sumur resapan. Menyoal sosialisasinya, perempuan Patemon hanya mendapat asupan informasi ketika pertemuan PKK. Selebihnya, perempuan di sana hanya menerima keputusan yang sudah disetujui oleh kepala keluarga (laki-laki). Warsiti, perempuan pemilik sumur resapan
2x2
meter,
mengatakan,
dirinya
tidak
tahu
banyak
soal
pembangunan. Sehari-hari ia mengurus anak dan bekerja sebagai buruh 17| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
tekstil di pabrik setempat. Perihal sumur resapan, ia mempercayakan pada suaminya: “Bapak yang sering ikut sosialisasi. Pengurus-pengurus itu yang sering kumpul. Saya nggak tahu apa-apa. Kadang kerja, tapi kalau lagi tidak kerja, saya ya ngurus anak.” Minimnya wawasan perempuan Patemon terhadap pembangunan sumur resapan, mengakibatkan mereka kurang aktif dalam mengawal pembangunan. Kepasifan tersebut melahirkan kontribusi alternatif: umumnya mereka menyiapkan makanan untuk para tukang. Atau membayar sejumlah upah sebagai bentuk kontribusi mereka dalam pembangunan sumur resapan. Jumilah, mengatakan bahwa sejak suaminya sakit-sakitan, ia tidak dapat berkontribusi banyak dalam pembangunan, karena harus merawat di rumah. Karena keterbatasan informasi sumur resapan, Jumilah mengandalkan Ketua RT setempat sebagai informan: “Pemerintah pernah bilang kalau ada program pembangunan sumur resapan. Kalo semua warga boleh sih, ya saya ngikut aja. Bilangnya untuk melestarikan mata air. Saya tidak pernah ikut sosialisasi, tapi diberi tahu kalau ada tukang, mbok dikasih makan minum.” Berdasarkan hasil wawancara, ada beberapa alasan mengapa perempuan Patemon tidak terlibat dalam proses pembangunan sumur resapan. Pertama, perempuan Patemon memang menyerahkan setiap perkumpulan warga atau pengambilan keputusan kepada suaminya. Kedua, perempuan Patemon memang tidak dilibatkan secara langsung dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini, pendapat laki-laki juga dianggap sebagai representasi pendapat perempuan pula. Keikutsertaan laki-laki dalam
18| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
pengambilan keputusan dianggap dipandang telah mewakili keseluruhan keluarga, termasuk anggot keluarga perempuan. C. PENUTUP Ekofeminisme memahami perempuan dan alam sebagai entitas yang saling terkait dan dekat. Saat alam rusak, perempuan akan merasakan dampaknya langsung yang lebih besar. Namun, berkaca dari konservasi mata air di Patemon, budaya patriarki membatasi ruang bagi perempuan untuk ikut terlibat dalam beragam pengambilan keputusan terkait pembangunan sumur resapan. Dibuktikan dari banyaknya perempuan dengan berbagai latar pekerjaan dan pendidikan tidak paham latar belakang, tujuan, dan proses pembangunan sumur resapan yang didominasi laki-laki. Terkadang perempuan sendiri tidak berani menyuarakan apa yang menjadi keluhannya sendiri, karena tidak diberi ruang yang cukup untuk menyuarakan dirinya dan perjuangannya. Mestinya, program pembangunan pemerintah, LSM, ataupun inisiatif masyarakat, lebih meningkatkan peran perempuan dalam proses perumusan, pelaksanaan serta pengawasan pengelolaan sumber daya dan lingkungan. Dalam hal ini perlu adanya pembaruan dalam cara pandang dan berpikir masyarakat. Sehingga, ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif, menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan itu sendiri. Daftar Pustaka Apriando, Tommy. 2015. Dulu Kerap Kekeringan, Kini Desa Patemon Kaya Air.
Mongabay.co.id.
Diakses
dari
http://www.mongabay.co.id/2016/01/10/dulu-kerap-kekeringankini-desa-patemon-kaya-air/ pada Rabu, 16 Maret 2016.
19| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Kusnaedi. 2011. Sumur Resapan untuk Pemukiman Perkotaan dan Pedesaan. Jakarta. Penebar Swadaya. IUWASH. 2015. Kajian Kerentanan dan Rencana Adaptasi Penyediaan Air Minum PDAM Kota Salatiga. Mitchell, Bruce, B. Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi. 2010. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
20| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Politik Rahim : Perjuangan Perempuan 21| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6 Kendeng Menolak Tambang Semen Dewi Candraningrum Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
ABSTRACT This paper is going to examine the political role of women in rejecting the cement quarry in the CAT Watu Putih, Kendeng Mountains, Rembang. The approach used in this paper is ecofeminism with emphasis on the links between reproductive health and climate change, the scarcity of water in the Watu Putih. This paper find out how the agency of women is not just printed that the woman is a victim, but as a discursive, women politically active against environmental destruction in a paradigm not exploitative - that they will lose water as the support needs of life, or loss of water as a potential capital their livelihoods. Keyword : Women, Kendeng Mountains, Politic of the Womb A. PENDAHULUAN
D
i
banyak
negara
perempuan
bertanggung-jawab
untuk
mengumpulkan air untuk keluarganya. Paling kentara adalah di masyarakat perdesaan, dimana kran-kran air tidak ada, kecuali
bahwa mereka harus menggendong air-air di atas kepala atau punggung mereka. Ibu, istri, anak perempuan menggunakan air untuk minum keluarga, memasak, mencuci, memberi suplai pada tanaman dan hewan atau ternak peliharaan. Mereka berjalan berkilo-kilometer untuk sampai kepada air. Suplai air di Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih Pegunungan Kendeng Rembang cukup kaya. Bahkan CAT Watu Putih dipakai PDAM Rembang dan Blora untuk mendukung penduduk dua kabupaten ini. Sukinah tinggal mengebor air beberapa meter, dan air bening berlimpah dapat keluar. Tak kurang dari belasan air sungai mengaliri sawah-sawah dan tanaman palawija di daerahnya. Kesuburan ini tak tergantikan dengan nominal uang apapun. 22| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Warga desa biasa saling membagi sayur, membagi empon-empon (kunyit, jahe, palawija dan lainnya). Mereka hidup guyub rukun tak kurang suatu apa. Hasrat etis dari perempuan-perempuan yang mengelola air dapat dijumpai dari bagaimana mereka menampung beban-beban pekerjaan domestik sekaitan dengan air dalam pengasuhan atas anak-anak, atas keluarga, atas ternak, atas tanaman-tanaman yang menjadi tanggung jawab ekonomi subsisten keluarga. Penduduk Watu Putih menanam padi, dan tidak menjualnya, atau mengganti bilangan beras menjadi bilangan rupiah. Tetapi tradisi ini kemudian lama-lama terkikis dengan hadirnya pelbagai tambang di Pegunungan Kendeng. Mulai dari tambang galian pasir, tambang semen, dan pembalakan pohon-pohon Jati untuk kebutuhan industri mebel. Kelangkaan air mulai dirasakan sejak tahun 2000-an. Sejak Soeharto turun di 1998, dan sejak otonomi daerah di tahun 2000, eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) oleh politisi dan pengusaha daerah marak dan tak terkendali lagi. Nurani lokal atas intrusi, intervensi, dan pengingkaran hak-hak ekologis warga lokal ini mempercepat friksi dan konflik horizontal tak hanya di kalangan warga Pegunungan Kendeng, tetapi menyebar di luar Pegunungan Kendeng. Laki-laki, perempuan, anak-anak memboikot tambang-tambang lokal, kadang memblokir jalan-jalan agar kendaraaan berat tidak lewat untuk mengeruk dan menghabisi SDA di sekitar perdesaan mereka. Kemudian banyak laki-laki dikriminalisasi dan ditangkapi. Rembug desa kemudian memutuskan bahwa perempuanlah, ibu-ibu, para istri, para anak-anak perempuan, yang kemudian keluar dari rumah, menduduki tapak-tapak tambang. Mereka bahu-membahu membangun tenda, dan mengebor air untuk kebutuhan sehari-hari sambil dilibas kendaraan berat yang lalu-lalang setiap harinya. Substitusi, reversi, pembalikan peran ini akan menjadi pisau kajian dalam analisis ini. Yaitu, peran politik perempuan dalam menolak tambang semen di CAT Watu Putih Pegunungan Kendeng, Rembang. Pendekatan yang 23| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
dipakai adalah ekofeminisme dengan menitikberatkan pada kaitan antara kesehatan reproduksi dan perubahan iklim, yaitu kelangkaan air di Watu Putih. Kajian ini menjadikan Sukinah, perempuan yang memimpin protes tolak tambang semen dan pada 23 September 2014 genap 100 hari menduduki mulut masuk tapak tambangnya, sebagai salah satu representasi utama dalam narasi tulisan ini. B. PEMBAHASAN Paradigma Politik Ekologi Rahim: Bayart, Foucault & Carson Jean-François Bayart memperkenalkan konsep politik perut (la politique du ventre) di tahun 1993 untuk mengurai beberapa kata kunci, yaitu. Pertama, politik diukur dari apa yang masyarakat makan. Politik mengukur derajat kerakusan manusia dalam konsumsi. Dalam perihal ini politisi dimata-matai dari hasratnya untuk berkuasa via menguasai sumbersumber pangan primer sebuah negara. Konsepsi kekuasaan adalah apa-apa yang dimakan dan dikonsumsi warga-negaranya. Hirarki dan sejarah kekuasaan dapat dilacak bagaimana penguasaan atas bahan-bahan pokok dimainkan oleh politisi dan penguasa. Hirarki politik yang menghasilkan kelas ini kemudian juga melahirkan solidaritas aksi-aksi empatik jika sumbersumber pangan kelas tertentu terancam langka atau punah. Kedua, rahim sebagai metafora dari perut, yang menguasai pangkal dari segala hajat reproduksi sebuah bangsa. Penguasaan politis atas rahim merupakan kunci kepada kekuasaan. Kapasitas kekuasaan dilekatkan pada tubuh perempuan dan bentang penguasaannya adalah kontrol negara atas organ-organ reproduktif dan seksual perempuan. Ambisi-ambisi politik ini mengambil topeng dalam aturan-aturan moral yang dilayangkan hanya kepada perempuan, saja. Bagaimana kontrol atas alat kontrasepsi, kontrol atas perilaku seksual, kontrol atas status tubuh (perawan, janda, dll), kontrol atas pakaian, dan lain-lain—yang kesemuanya tak ada atas tubuh laki-laki. Politik 24| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
benar-benar tak berdaya di hadapan rahim. Dus pemiliknya, hanya perempuan saja, harus dikontrol dan ditundukkan via kebijakan, hukum, undang-undang, perda, perbub, dan lain-lain agar patuh. Separuh warganegara ini merupakan kapital paling vital yang harus dapat ditundukkan oleh sebuah negara—atau dia akan menjadi negara gagal. Perihal kedua ini memaparkan bagaimana politik rahim menekankan bahwa perhatian atas organ reproduksi perempuan merupakan kunci dari generasi, persaudaraan, dan konstruksi bentang peradaban. Status yang tidak setara antara perempuan dan negara dalam mengontrol tubuhnya ini merupakan salah satu wajah ketahanan nasional yang penting diundangkan. Skenario untuk membajak otoritas perempuan atas rahimnya ini merupakan skenario negara paling pertama untuk membangun indeks demografinya. Politik rahim menaruh perhatian serius pada konsistensi dan disiplin dalam meregulasi reproduksi separuh warga-negaranya. Reproduksi merupakan cermin dari kehidupan sosial yang mendemonstrasikan dan menarasikan bagaimana kegiatan dan hasrat intim manusia menjadi sumber daya negara paling potensial. Dari satu kata kunci ini kemudian dapat dilahirkan konsepkonsep lain, yaitu kelahiran, sunat/sirkumsisi, pernikahan, kehamilan, rumah tangga, generasi, masyarakat dan lain-lain. Perempuan seumpama tubuh yang menjadi mesin-mesin pencetak manusia—karena sebuah negara mengalami paranoia keberlangsungan spesiesnya (ras atau etnis). Dalam bentang sejarahnya, status perempuan, kesehatannya, dan intimitas antara mereka dan laki-laki menjadi subjek kajian dari kebijakan-kebijakan. Maka perlu ada aturan-aturan untuk menghindari kerugian-kerugian negara. Kajian ini memberikan fokus pada hubungan antara gender, generasi dan tata kelola sumber daya alam di Watu Putih Rembang. Bagaimana politik mengacu pada infrastruktur konsumsi manusia akan makanan dan juga kesehatan reproduksi perempuan mendapat perhatian utama dalam kajian kehadiran tambang semen di wilayah mereka. Kontroversi dan percakapan 25| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
atas reproduksi menarasikan bagaimana hirarki kekuasaan telah menstimulasi kebijakan-kebijakan yang kemudian menjadikan tubuh perempuan, tubuh air, tubuh tanah, tubuh ekosistem sebagai modal dan kapital sebuah sistem masyarakat—tanpa mempertimbangkan hak paling asasinya: hak hidup. Politik rahim ini, meminjam Bayart, juga telah didedahkan sebelumnya oleh Foucault dalam terminologi yang lebih luas lagi yaitu ‗bio-power‘. Sejak 1980-an para sarjana meminjam terminologi Foucault untuk mengarahkan pranala pada modus negara menguasai, mengeksploitasi, dan mengontrol seksualitas warga negaranya (1980). Ada relevansi antara bio-power dengan teknologi politis yang diletakkan dalam rahim perempuan sebagai kalkulasi eksplisit untuk mendefinisikan populasi dan menjadikan kesehatan dan hak reproduksi & seksualitas menjadi salah satu kepentingan negara. Perihal ini diawali dari kelakuan Eropa pada masa kolonialisme untuk mengatur populasinya sendiri dan ras atau etnis yang mereka duduki di belahan dunia lain. Mereka kemudian menciptkan pemisahan (separation), hirarki, dan meregulasi seksualitas sebagai bagian dari bio-power. Yaitu, pernikahan, keluarga, dan lain-lain—yang menurut Eropa, pribumi demikian primitifnya. Heteroseksualisme ala Freudian merupakan cap negara paling pertama atas apa yang disebut sebagai keluarga. Imperialisme Eropa memiliki tanggungjawab besar dalam menghapus praktek-praktek seksualitas dan perkawinan yang
berbeda
dari
mereka,
dengan
cara
dihilangkan,
diatur,
atau
dikriminalkan (Foucault, 1991). Dan ini menciptakan disiplin-disiplin seksualitas yang mengekang, kaku, dan heteroseksis, yang langgeng sampai dengan sekarang di negara-negara poskolonial. Namun demikian, bio-power ini tidak hanya menciptakan modelmodel penundukkan, tetapi juga model-model resistensi. Resistensi, negosiasi, dan penolakan-penolakan masih ketara sampai dengan sekarang via praktekpraktek budaya yang disembunyikan dari stigma-stigma buruk dari penguasa dan negara modern. Praktek-praktek seksualitas, intimitas, kehamilan di luar 26| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
pernikahan diberi label sebagai kejijikan dan amoral. Dus negara memiliki hak untuk mengintervensi via pernikahan massal, misalnya. Bahkan, lebih buruk, praktek-praktek perdukunan perempuan yang membantu perempuan lainnya dalam bersalin, kelahiran, menyusui, dan mengasuh anak dikriminalkan sebagai berbahaya dan diganti dengan kedokteran modern yang mendekati tubuh ibu, tubuh bayi, hubungan antara ibu dan bayi sebagai hubungan fisiologis semata. Dus, menghilangkan akar-akar ekologis yang memasukkan unsur-unsur alam dalam pengasuhan bayi-bayi tersebut. Penyembuhan, pemeliharaan, diganti dengan terminologi ‗penyakit‘, dan pengobatan diganti dengan farmasi modern yang tidak lagi diketahui dari mana obat-obatan itu berasal. Penyembuhan yang dapat mereka petik dari kebun-kebun sekitar rumah dan hutan desa kemudian pelan-pelan ditinggalkan dan diganti dengan obat-obatan yang alat tukarnya adalah—mau tidak mau—uang. Praktek-praktek lain yang dihilangkan termasuk ritual-ritual, upacaraupacara adat dalam melepas bayi kepada tanah. Tanah dianggap sebagai ibu, ‗tedhak siti‘, yang dihargai dan dihormati, sebagai wujud ibu yang lain. Setelah keluar dari rahim ibu, anak-anak dilepaskan menuju rahim tanah, rahim bumi. Dari ritual ini ada kesetaraan posisi antara manusia dan bumi. Bumi sebagai organisme dan makhluk hidup. Perihal ini berbeda dengan paradigma modern yang menganggap bumi bagian dari kapital yang dianjurkan untuk dieksploitasi semaksimal mungkin. Apalagi kandungan mineral di dalam tanah. Tak dianggap sebagai tubuh sebagaimana tubuh manusia. Paradigma tambang dibangun dari paradigma ini. Eropa kemudian menciptakan terminologi dualisme: tradisional-modern, beradab-tak beradab, barbar, dukun-dokter, dan lain-lain. Rahim adalah lokus dimana pertempuran tak hanya dilakukan oleh negara, agama, dan praktek-praktek budaya tetapi juga filsafat modern yang memandang tubuh lingkungan sebagai semata produk dan kapital saja. Perempuan kemudian tak sungguh-sungguh bisa memiliki otoritas, hak dan 27| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
kepemilikan atas rahimnya sendiri, atas tubuhnya sendiri. Kampanyekampanye pemerintah kolonial pada waktu itu menarget perempuan, kehamilan di luar nikah, kelahiran, dan lain-lain dengan memperkenalkan hirarki moral atas dasar perilaku seksualitas. Pernikahan formal dan tercatat kemudian diperkenalkan, dan ritual pernikahan adat dianggap sebagai tidak lagi valid. Perihal ini memberikan efek anutan pada pola relasi antara anak perempuan, gadis-gadis, janda-janda, pada saudara laki-lakinya, ayahnya, kakek, dan pasangan/suami. Revisi-revisi dilakukan terutama agar tidak terjadi pernikahan dalam klan-klan keluarga sendiri, kecuali kelompok ningrat yang masih mempertahankan tradisi ini sebagai pertahanan akhir dari klan keluarga istana yang tak memperbolehkan ada percampuran kasta antara mereka yang ningrat dan mereka yang jelata. Dalam diskursus kontrol baru ini juga diciptakan terminologi baru mengenai anak haram, anak di luar pernikahan, dalam kalangan ningrat disebut sebagai ‗lembu petheng‘ (anak dari darah biru dan darah rakyat jelata), dan lain-lain. Kolonialisme
melahirkan
terminologi-terminologi
tabu
yang
sebelumnya dianggap sebagai bagian dari ritual atau kebiasaan komunitas tertentu. Dan sekarang tabu-tabu itu masih tumbuh, subur dan dianut, bahkan dicap sebagai ‗budaya timur‘ yang mentabukan apapun yang menyangkut praktek-praktek
kebertubuhan.
Praktek
kebertubuhan
Nusantara
dibandingkan dengan Eropa kala itu, abad 18-19, jauh lebih inklusif—yang memandang tubuh sebagai bagian dari pengetahuan—seperti contoh Yoni Lingga Payudara pada candi-candi Purba. Perihal-perihal ini kemudian dimasukkan pemerintah kolonial Belanda sebagai dalam diskursus tabu. Pandangan ini diperkuat dengan diperkenalkannya sekolah-sekolah modern, yang lagi-lagi mengontrol tubuh—salah satu contoh mudahnya adalah kontrol pemakaian sepatu—yang kurang dikenal masa itu. Pandangan terhadap tubuh perempuan yang sebelumnya menyatu dengan alam, dan alam sebagai bagian integral dalam mitos dewa-dewi kemudian hilang begitu saja. Sejak saat 28| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
itulah, masyarakat memandang alam tak lebih dari bagian dari kapital yang mudah dan boleh diperjualbelikan dan diubah menjadi uang. Paradigma modern via kapitalisme tak hanya menjadikan rahim, tubuh perempuan dan keluarga sebagai modal dasar dan kapital sebuah negara baru tetapi juga mereduksi alam sebagai entitas eksploitasi untuk memperbesar lokus dan fokus kekuasaan sebuah negara. Dari sini kemudian alam kehilangan wibawanya di mata masyarakat. Jika sebelumnya alam merupakan bagian integral dan makhluk yang dihormati, kemudian dia sekarang dianggap sebagai sumber khayalan yang dicurigai disembah oleh manusia-manusia tak beriman, atau dianggap sebagai modus penghasil uang saja. Penebangan hutan, pertambangan, pengubahan hutan hujan tropis menjadi perkebunan monokultur mulai dari gula, kopi, teh dan lain-lain mengubah bentang identitas ekologi nusantara saat itu. Ini lebih jauh mempengaruhi proses konservasi dan perlindungan yang tak menemu jalan solusinya sama sekali karena perspektif terhadap alam tak mau berubah menjadi, yaitu menganggap alam sebagai ‗makhluk‘ yang memiliki hak hidupnya. Pengalaman tanah mendapatkan perlakuan dari paradigma modern menegaskan bagaimana agrikultur, pertanian, perkebunan, relasi ekologi dan sosial telah tergenderkan dalam bentang sejarah patriarki. Patriarki kemudian bukan serta merta musuh bersama para perempuan yang tersingkirkan, atau alam yang dieksploitasi, tetapi menerangkan bagaiman hirarki kekuasaan dan gender memainkan peran penting dalam relasi masyarakat pedesaan. Baik laki-laki, perempuan, minoritas seksual mendapatkan pengalaman dan menerima pengaruh yang tidak sedikit dari perubahan, transformasi, negosiasi bentang rural pada semi-urban dan urban. Gender menentukan peran yang berbeda, tanggung jawab atas sumber daya alam yang berbeda, dan kekuasaan politik yang berbeda antaranya. Isu gender tak hanya menyangkut perihal kelamin spesies manusia, tetapi juga kelamin alam. Bagaimana varietas-varietas vegetasi tertentu, atau hewan-hewan tertentu 29| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
dianggap
sebagai
lebih
menguntungkan
daripada
yang
lain,
lalu
dibudidayakan secara monokultur yang kemudian mengancam diversifikasi pangan dan data keragaman hayati-hewani untuk menopang keseimbangan alam. Dengan semakin cepatnya proses urbanisasi, terjadi migrasi laki-laki desa ke kota untuk mencari uang, dan akses perempuan pada lahan, sawah, perkebunan, dan hutan desa menjadi jauh lebih mudah daripada sebelumnya (feminization of land). Feminisasi tanah ini dibarengi dengan ancaman eksploitasi masif tambang atas sumber daya di sekitar mereka. Mereka tak bisa menikmati lahan, tanah, dan kesuburannya seperti sebelumnya ketika dikuasai laki-laki. Lelaki yang menjadi buruh-buruh kasar di kota-kota mendapatkan paparan polusi khas kota—karbon, air tak bersih, ruang tak layak, dan lain-lain. Sedang perempuan di sawah, perkebunan, hutan desa yang terkena tambang terpapar polusi yang tak kalah mengerikan—merkuri dari tambang emas, pencemaran air dari tambang semen, dan lain-lain. Feminisasi tanah kemudian diikuti dengan feminisasi pertanian. Sejak tahun 1960-an telah terjadi proses ‗feminisasi pertanian‘, yaitu meningkatnya jumlah perempuan menjadi petani dan menjadi kepala keluarga karena pasangan bermigrasi ke kota-kota menjadi buruh. Ester Boserup merupakan salah satu perempuan pertama yang mengangkat perihal ini dalam kajiannya: Women‟s Role in Economic Development, Male and Female Farming Systems, London: Earthscan (1970). Feminisasi pertanian tidak hanya bermatra gender, tetapi juga bermatra kemiskinan. Pertanian perempuan lebih banyak adalah pertanian subsisten, yaitu untuk menyokong konsumsi pangan keluarga. Kebanyakan mereka adalah keluarga-keluarga miskin yang kemudian terhimpit oleh pasar bebas dan kedatangan tambangtambang. Akses perempuan pada status sosial dan sumber daya reproduktif sekali lagi, jauh lebih terbatas, daripada laki-laki. Peran gender tradisional juga mempengaruhi situasi ekonomi, akses pada tanah, jenjang pendidikan 30| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
dan kesempatan perempuan dalam pasar kerja. Akibatnya perempuan hanya mendapatkan
remah-remah
dari
‗pembangunan‘,
alih-alih
globalisasi.
Pendekatan feminisme dalam kajian ini merupakan nomenklatur linguistik yang membantu memaparkan setiap kata kunci dalam konsep-konsep yang telah sebelumnya tergenderkan. Aplikasi metaforis dari alam sebagai yang berpikir, bernafas, merasa, mengindera, dan ikut merasakan gembira, bahagia, sedih, sakit, muram, dan histeria merupakan juga narasi dasar dari kajian ini. Modus epistemologi, analisis sosial-politik, dan pergeseran iklimcuaca merupakan praktek-praktek yang diintegrasikan dalam matra studi tubuh dan gender. Berpikir secara ekologis (ecological thinking) yang menjadi ketakutan dasar dari Rachel Carson Silent Spring merupakan strategi imajinatif, retoris, dan praktek sains yang kemudian diwajahkan secara etis, estetis, dan asketis untuk kelangsungan kehidupan ekosistem. Darinya perhatian-perhatian atas kerusakan alam—pencemaran air, udara, tanah— tidak hanya merupakan bukti empirik laboratorium tetapi juga komitmen ekologis, satu integrasi epistemologi yang menghasilkan keteganganketegangan produktif yang aktif menantang kapitalisme. Tak hanya bersandar pada ‗sains normal‘, meminjam Carson (1962), tetapi melawan segala perihal tentang materialisme, saintisme, dan teknologi yang berkehendak mengontrol alam—sebagai dasar asumsi dan proses mental. Paradigma ini menyadari bahwa dirinya berada dalam jaring tak terpisahkan dari ekologi, interkoneksi yang abadi antara manusia dan bumi sebagai makhluk hidup yang memiliki hak-hak ekologisnya. Sukinah Sungsang Bentang teoritis di atas membekali saya dalam perjalanan menuju Pegunungan Karst Kendeng, Rembang. Ada tiga perihal dalam permenungan perjalanan dari Solo ke CAT Watu Putih Pegunungan Kendeng: udara, tanah, dan air. Tiga perihal ini juga menandai, mengiringi kematian ekosistem demi 31| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
pembangunan Bendungan Besar Narmada di India yang diprotes mati-matian oleh Arundhati Roy; juga Bendungan Aswan di Mesir oleh ayah Leila Ahmed. Ekosida, kematian ekologi, ada di mana-mana. Bangkai-bangkai ekologi telah berubah menjadi debu putih dari karst yang digerus ledakan-ledakan dinamit. Debu menyebar seperti lalat yang tak mau kalah meratap di dinding kaca truk yang dikendarai sopir-sopir yang didatangkan dari Gresik—tempat asal salah satu mega tambang dan Pabrik Semen. Keempat roda diaktifkan merangkak melewati beberapa ledokan tikungan di luar aspal di sepanjang tanjakan Gunung Botak—yang sejak 1998 sering longsor karena penebangan liar (illegal-logging) dan penambangan liar (illegal-mining). Debu saling terbangan, sedang di belakang, truk-truk menggendong batu-batu keluar masuk hutan Jati. Terkadang bangkai-bangkai kayu Jati ditata, setelah sebelumnya diteres agar berkurang kambiumnya, kemudian siap ditebang dan dijadikan mebel-mebel yang diekspor ke Amerika dan Korea Selatan, juga belahan dunia lain. Tak ada kekayaan yang demikian melimpah selain terasiring sawah yang menawan di Watu Putih—yang diklaim oleh gubernur sebelumnya Bibit dan gubernur sekarang Ganjar Pranowo sebagai tandus, kering, tak subur sehingga boleh dan laik untuk tambang semen. Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang (JMPPKR) telah tahunan menginisiasi penolakan tambang ini, dalam wawancara dengan Ming Ming Lukiarti (aktivis, ekofeminis yang tinggal di kota Rembang). Warga Sukolilo Pati juga telah berhasil berkeras hati melindungi ketiga jati diri nasion itu: udara, tanah, air. Ini seperti persaksian tentang kematian-kematian baru. Penyaliban Yesus menemu jalan-Nya pada ekosida Watu Putih. Kami mengunjungi mayat-mayat sungai yang mulai mengering, mulai diurug, mulai kehilangan debit airnya. Kami merinding, menekan seluruh amarah, setiap berada di sumber-sumber airnya. Sendang Andong, Sendang Sukun, dan sungai-sungai bawah tanah yang mulai diledakkan satu demi satu. Suara dinamit, setidaknya sehari empat sampai 32| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
dengan lima kali dapat didengar dari tenda-tenda yang didirikan oleh 85 ibuibu ketika pertama kali tambang semen membuka tapaknya. Rasa sakit sekujur tubuh diceritakan Sukinah dengan mata berkaca-kaca. ―Rasanya seperti tubuh saya ini yang dirusak. Koyo ngandhut bayi sungsang‖. Kami pun berkaca-kaca. ―Kesuburan yang membentang di cekungan ini sampai kapan ada?‖ demikian tanya Sukinah lagi. Bumi sebagai makhluk tak memiliki harkat eksistensinya, selain puluhan mata ibu-ibu yang meringkuk di bawah tiga tenda di mulut tapal pembangunan tambang Semen Kendeng di Rembang ini. Kami duduk bersama di bawah tenda biru dengan terik matahari menyengat dan kendaraan berat lalu lalang terbangkan debu putihnya. Yu Nah, panggilan akrab Sukinah, lebih banyak menceritakan cucunya yang baru lahir, sedang saya menceritakan anak autis saya Ivan, pada waktu itu. Ibu-ibu yang lain bercerita tentang anak-anak mereka yang ditandai di sekolahan, sebagai keluarga penolak semen. ―Seperti cap PKI, seperti najis,‖ curhat ibuibu. Stigma ini merupakan ‗narasi simbolik‘, muasal dari seluruh konflik horisontal di Watu Putih. ―Dulu, kami membagi sayur. Sekarang, jika tak ada sayur, kami harus beli. Biyen guyub. Saiki crah‖. Watu Putih demikian muram. Tak terbayangkan darah menstruasi yang mengalir dari perut bumi— dari gua-gua, ponor-ponor, dan sungai bawah tanah yang mereka ledakkan dengan semena-mena. Ibu-ibu menceritakan bagaimana Bupati yang sekarang dipenjara, membujuk ibu-ibu bahwa tanah bekas tambang semen akan jauh lebih subur daripada sebelumnya. Dan kami pun tertawa bersama-sama mendengarkan bagaimana kebohongan-kebohongan semacam ini sudah tidak mempan lagi bagi mereka. Mata air Beru Bulan di Desa Pasucen, mendapatkan airnya dari Gua Menggah yang telah menyiapkan tubuhnya untuk dibantai habis oleh dinamitdinamit rakus uang. Tak ada yang lebih muram daripada kematian sebuah mata air. Seperti perempuan yang menyandang darah nifas melahirkan anak33| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
anaknya dalam kondisi mematikan. Rahim Watu Putih tak lagi dapat mengandung pada tahun-tahun mendatang karena dia telah dilacurkan dan diubah seluruhnya menjadi kapital. Ekosistem hidrologi Watu Putih demikian sekarat dan sungsang. Seperti laporan salah satu aktivis perempuan yang mengadvokasi PSK bahwa ke-29 perempuan-perempuan di Bandungan meregang nyawa di usianya menjelang 30 karena terkena HIV-AIDS. Perihal serupa terjadi juga di tambang-tambang di Kalimantan dalam temuan penelitian Petra Mahy (2011). Hal sama mulai terjadi di Watu Putih, terjadi di kalangan ibu-ibu yang ditulari oleh suami-suami mereka yang membeli PSK di salah satu kafe yang didirikan di Watu Putih untuk pekerja tambang semen. Sukinah tidak hanya bercerita tentang fenomena HIV-AIDS yang baru-baru saja terjadi dan ada setelah penambangan, tetapi juga dengan senang hati mengabarkan tentang cucunya yang baru saja lahir. Selama pendudukan bakal tapak tambang semen sampai dengan bulan September 2014, setidaknya ada empat perempuan hamil, yaitu Winarsih (5 bulan), Sulikah (7 bulan), Yulasha (telah melahirkan), Anis (telah melahirkan). Dari 85 ibu-ibu yang menduduki tambang di tenda-tenda yang dimulai pada Ramadhan lalu, bulan Juli, sekarang telah meningkat menjadi kurang lebih 300-an ibu-ibu yang ikut aktif dalam tenda. Dan mereka kemudian mengatur jadwal supaya masing-masing masih dapat mengatur urusan domestik. Setiap pagi mereka memasak, mencuci baju, menyiapkan segala sesuatu untuk anakanak dan suaminya, kemudian menuju tenda perjuangan kembali. Sewaktu saya tanya apa kebutuhan mereka, mereka meminta dibawakan buku. Kami dari Jurnal Perempuan membagikan sedikit dari jurnal-jurnal dan buku-buku sebagai bahan bacaan. Kemudian saya meminta penerbit Jalasutra untuk mengirimkan buku Kartini. Lokasi tenda mereka dari makam Kartini di Bulu cukup dekat, yaitu kurang lebih 7 km. Kondisi ekosistem dan hutan-hutan desa di sepanjang pegunungan karst semakin memburuk sejak penambangan semen mulai marak, baik oleh penambang kecil, menengah, dan yang terakhir 34| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
mega—yang diduduki tapaknya oleh ibu-ibu Watu Putih. Dalam wawancara ibu-ibu mulai terkena sakit pilek dan batuk yang disebabkan oleh debu-debu karst yang berterbangan karena penambangan dan diperparah oleh musim kemarau di bulan September. Petani mulai kesulitan mendapatkan rumput untuk ternak-ternaknya karena rumput tertutup debu karst yang mulai dirusak oleh tambang. Ekologi air, harkat ternak, harkat mata air keluarga pada saat ini menjadi semakin sungsang dan jungkir balik. Ada beberapa keluarga lansia yang mulai tersingkirkan, dan pindah ke desa lain yang lebih aman secara ekologis karena air tanah mereka sudah mulai tercemar debu karst. Beberapa keluarga juga tersingkir dari tanahnya sendiri karena matinya sumur-sumur mereka. Setidaknya ada empat bayi yang telah dan akan lahir dan ikut menduduki tenda di tapak tambang untuk melakukan penolakan atas tambang semen. Dan hajat hidup generasi paling muda inilah yang akan mendapatkan ancaman paling serius. Ketahanan air Watu Putih akan habis seketika tambang mulai melakukan ekspansi. Protes ibu-ibu hamil menolak tambang ini merupakan simbol bagaimana perempuan melakukan migrasi ke ruang publik, yaitu tapak tambang semen, untuk melindungi rahim air yang berada dalam gua-gua karst, yang mengalirkan air-airnya melalui sungai-sungai bawah tanah. Ancaman terhadap mata air-mata air adalah ancaman bagi peri kehidupan bayi-bayinya. Dalam wawancara dijelaskan bagaimana kemudian politik rahim ini mendapatkan simpati dari pekerja-pekerja tambang, satpam tambang, dan tenaga ahlinya. Jika berpapasan melalui tambang selalu membunyikan klakson sebagai tanda menyapa. Ini mungkin berbeda dari yang terjadi di daerah-daerah lain, ketika senjata digunakan untuk menyingkirkan protesprotes, atau ketika pertama kali ibu-ibu ini mendirikan tenda, yang kemudian diseret oleh para polisi dan aparat yang ikut mendukung pendirian tambang. Ketika diwawancarai perihal sikap pemerintah, Sukinah menjelaskan bahwa 35| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
mereka telah dibeli oleh korporasi tambang dan tak menepati janji mereka sebelum jadi dan dipilih oleh rakyat. Misalnya beberapa lurah Watu Putih berjanji akan menolak tambang semen jika jadi lurah, tetapi setelah jadi lurah, justru membela tambang. Perihal ini mengkonfirmasi bagaimana negara abai dan
tak
peduli
perempuannya.
bagaimana
Reproduksi
perikehidupan air
alam,
alamnya,
reproduksi
demikian
perempuan,
juga bukan
merupakan bagian identitas negara, tetapi merupakan kapital yang ditambang untuk sebuah keuntungan. Tambang telah mengubah perikehidupan Watu Putih jadi sungsang. C. PENUTUP Tambang, dalam jejak sejarahnya, memiliki persoalan etik atas lingkungan (Lynch, 2002) dan dia memiliki persoalan dengan pembangunan ekonomi (Gralau, 2008). Tambang dengan sengaja menyembunyikan perempuan dari peran-peran profesinya karena eksklusif banyak dilakukan oleh pekerja laki-laki. Tambang bersifat amat maskulin. Bahaya tambangtambang baru adalah mengubah masyarakat agraris menjadi masyarakat tambang. Mau tidak mau, perempuan dan anak-anak akan diseret menjadi penambang informal jika alam sudah hancur dan tak bisa menyediakan persediaan untuk ekonomi keluarga para petani—karena air tercemar, karena air tidak ada, karena situasi lingkungan memburuk karena proses-proses ekstraksi tambang. De-agrikulturasi masyarakat Watu Putih ini akan menghancurkan perikehidupan mereka. Tidak hanya sistem sosial yang rusak, tetapi, paling pertama adalah sistem ekologi di Watu Putih. Sebagai penopang ketersediaan air bagi PDAM Rembang dan Blora, Rembang akan mengalami darurat air jika benar tambang semen ini berdiri, dan menjadi besar, dan menghabisan hutan-hutan di Pegunungan Kendeng. Kurang lebih 300-an ibuibu Watu Putih meminta seluruh alat-alat berat keluar dari wilayah tapak
36| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
tambang dan perlawanan masih dilanjutkan bahkan mendapat dukungan dari kota-kota di Indonesia, misalnya: Jakarta, Semarang, Solo, dan lain-lain. Tulisan ini menemukan bagaimana agensi perempuan tidak hanya tercetak bahwa perempuan adalah sebagai korban, tetapi secara diskursif perempuan secara politis aktif melawan perusakan lingkungan dalam sebuah paradigma tidak eksploitatif—bahwa mereka akan kehilangan air sebagai penopang kebutuhan hidup, atau kehilangan air sebagai potensi kapital perikehidupan mereka. Tetapi perempuan-perempuan ini mengungkapkan bahwa ketahanan lingkungan, air dan ekologi Watu Putih merupakan metafora dari ibu mereka, yang memberikan susunya, dan seluruh kesuburannya,
untuk
anak-anaknya.
Perempuan-perempuan
Kendeng
memandang ekosistem Watu Putih Rembang sebagai ibu, dan mereka adalah anak-anak yang harus melindungi ibunya dari serangan penghancuran oleh tambang-tambang. Daftar Pustaka Bayart, Jean-François. The State in Africa: The Politics of the Belly. New York: Longman, 1993. Originally published as L‟Etat en Afrique: La politique du ventre (Paris: Librairie Arthème Fayard, 1989). Carson, Rachel. 2002. Republished Houghton Mifflin 1962. Silent Spring. Mariner Books. Foucault, Michel. The History of Sexuality. Vol. 1, An Introduction. Translated by Robert Hurley. New York: Vintage Books, 1980. ———.―Governmentality.‖ In The Foucault Effect: Studies in Governmentality with Two Lectures by and an Interview with Michel Foucault, edited by Graham Burchell, Colin Gordon, and Peter Miller, 87–104. Chicago: University of Chicago Press, 1991. 37| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Graulau, Jeannette. 2008. ‗Is mining good for development?‘ The intellectual history of an unsettled question. Progress in Development Studies 8, No. 2: 129–62. Lynch, M. 2002. Mining in World History. London: Reaktion Books. Mahy, Petra. 2011. Beyond victims: Mining and sex-work in Kalimantan, Indonesia. In Gendering the Field: Mining, Gender and Sustainable Livelihoods, ed. Kuntala Lahiri-Dutt, 49–65. Canberra: ANU E Press.
38| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
39| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Derita Perempuan Itu ‘Menjual’ : Analisis Framing Berita Bencana Erupsi Merapi di Harian Suara Merdeka Galih Agus Saputra Staf Pengembangan Sumber Daya Manusia LPM Lentera ABSTRACT The mass media are basically working on two different orientations, with regard to social and business affairs. When should intersect with the business of profit, the rules of ethics of a journalist is often reduced. In addition, the media also doubles the structural inequities, including the commodification problematic
of
women.
concerning
the
It
creates
'objectivity
a of
knowledge', whether that represented the objective or "ideological" (loaded with prejudice, bias or subjectivity particular). The author wanted to find out if the practice of journalism in Suara Merdeka is directly proportional to what is called feminists. Research shows that, the image of women in Suara Merdeka events Merapi eruption in 2010 has not been a top priority. Keywords: Mass Media, Framing, Woman, Suara Merdeka, Merapi Eruption in 2010. 40| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
A. PENDAHULUAN
A
shadi Siregar (2001), mengungkapkan bahwa media massa jatuh ke dalam dua orientasi yang berbeda, yaitu urusan bisnis dan sosial. Oleh karenanya pekerja media –jurnalis pun berwajah ganda, atau
tampil sebagai pekerja manajemen dan sebagai pelaku profesi. Sebagai pekerja manajemen, orientasi kerja seorang jurnalis bersifat inward looking (profit), sementara sebagai pelaku profesi orientasinya bersifat outward looking (benefit). Kerja profit mereduksi kinerja jurnalis, karena persoalan profit bertolak belakang dengan kerja-kerja manfaat –manfaat yang seharusnya dapat diperoleh dari hasil liputan. Dengan kata lain, kaidah jurnalis di korporasi itu bertolak dengan kaidah etik jurnalistik. Menurut
Ashadi,
media
sebagai
replikator
juga
berperan
menggandakan ketidakadilan struktural, termasuk komodifikasi perempuan. Komodifikasi perempuan berlangsung dua tahap, yaitu pada saat menjadi fakta sosial dan setelah menjadi fakta media (informasi). Relasi antara representasi
(pemberitaan
tentang
perempuan)
dan
apa
yang
direpresentasikan (realitas perempuan), kata Yasraf A. Piliang (2002), menciptakan
sebuah
problematika
yang
menyangkut
‗objektivitas
pengetahuan‘, apakah yang direpresentasikan tersebut bersifat obyektif atau ‗ideologis‘ (dimuati dengan prasangka, bias atau subyektivitas tertentu). Berangkat dari pemikiran tersebut, penulis hendak mencari tahu apakah praktik jurnalistik masih berbanding lurus dengan yang diserukan oleh pejuang feminis. Berbagai berita di
media, khususnya dalam kasus
bencana alam dapat menjadi acuan bagi kita untuk mengetahui bagaimana relasi dan kedudukan gender dikonstruksikan. Suara Merdeka adalah salah satu media, yang secara geografis, lebih dekat dengan Gunung Merapi. Oleh karena itu, media massa tersebut dipilih sebagai objek penelitian karena 41| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
sangat memungkinkan terdapatnya informasi yang lebih cepat dan tepat dalam mengabarkan bencana Erupsi Merapi 2010. Sampel penelitian adalah lima berita yang terbit di Harian Suara Merdeka sejak 26 Oktober hingga 31 Oktober 2010 dan secara purposive sampling
(sampel
bertujuan).
Purposive
sampling
adalah
metode
pengambilan sampel yang dipilih dengan cermat yang didasarkan atas tujuan dan pertimbangan tertentu dari peneliti sehingga relevan dengan penelitian (Liey
dan
Herwandito
2013:
446).
Sampel
penelitian
dicermati
pembingkaiannya menggunakan analisis framing model Zongdang Pan dan Gerald M. Kosicki yang disajikan dalam bentuk tabel untuk mempermudah pemahaman penulis maupun pembaca. B. PEMBAHASAN Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki membagi perangkat framing ke dalam empat struktur besar meliputi; struktur sintaksis; struktur skrip; struktur tematik; dan struktur retoris 1. Keempat struktur besar tersebut merupakan suatu rangkaian utuh yang dapat digunakan untuk menunjukkan framing suatu berita (Eriyanto, 2002). Berikut adalah struktur framing berita bencana Erupsi Merapi 2010, di Harian Suara Merdeka: Struktur Framing Berita 1 Struktur Framing Sintaksis
Judul Berita
Tanggal Terbit
Wis Biasa, Rak Sah Wedi2
26 Oktober 2010
Berita ini menjelaskan situasi di lokasi titik
1
Pengertian empat struktur framing baca lebih lanjut di buku Eriyanto (2002), Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. 2 Sudah Biasa Jangan Takut
42| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Skrip
Tematik
kumpul. Berita juga mencoba menjelaskan situasi di salah satu lokasi, yang sebelumnya pernah dilanda bencana alam erupsi Gunung Merapi, namun di bagian ini fokus pemberitaan bukanlah evakuasi warga, melainkan testimoni dari beberapa saksi mata. Laporan disajikan berdasarkan pengamatan langsung dua wartawan, di dua lokasi yang berbeda. Pernyataan salah satu narasumber yaitu “Wis Biasa, Rak Sah Wedi,” juga digunakan sebagai judul berita. Secara keseluruhan, terdapat 10 pernyataan narasumber yang digunakan sebagai sumber kutipan. Adapun jumlah narasumber yang diwawancarai adalah tujuh orang. Diantaranya, tiga narasumber berjenis kelamin perempuan dan empat narasumber lainnya berjenis kelamin lakilaki. Peryataan yang disampaikan oleh narasumber kepada wartawan bersifat, ‗himbauan,‘ ‗permohonan,‘ ‗testimoni atau kesaksian,‘ ‗menjelaskan sikap (misalnya, setuju atau tidak setuju),‘ ‗maupun ungkapan perasaan (misalnya, takut atau tidak takut, bahkan trauma atau tidak trauma).‘ What: Situasi Why: Evakuasi Who: Warga Where: (1). Balai Desa Kaliurang, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, (2). Kaliadem When: Senin, 25 Oktober 2010 How: Menggunakan kendaraan bermotor (mobil dan truk) Secara keseluruhan berita ini terdiri dari 25 paragraf. Paragraf pertama berisi susunan kalimat yang menjelaskan situasi di lokasi kejadian. 43| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Retoris
Kemudian, susunan kalimat di paragraf kedua hingga keempat menjelaskan adanya perbandingan sikap dalam menghadapi situasi, antara warga berjenis kelamin perempuan dan warga berjenis kelamin laki-laki. Tidak hanya itu, perbandingan sikap warga dalam menghadapi situasi, antara perempuan dan lakilaki terus berlanjut di paragraf kelima hingga kedelapan. Namun, terdapat perbedaan di paragraf kelima hingga kedelapan, karena susunan kalimat lebih berpihak ke warga berjenis kelamin laki-laki ketimbang warga berjenis kelamin perempuan. Itupun terus berlanjut hingga paragraf terakhir. Berita ini dimuat di halaman utama Suara Merdeka, dilengkapi foto sejumlah perempuan lanjut usia sedang berusaha menaiki sebuah kendaraan bermotor yang disediakan untuk menggungsi. Sejumlah perempuan tersebut juga dibantu tiga orang laki-laki. Diantaranya, dua orang berbaju biasa, satu orang berseragam polisi. Adapun keterangan atau caption foto berita tersebut ialah, ―sejumlah warga lanjut usia diungsikan menggunakan truk di Desa Kalitengah Lor, Glagah Harjo, Sleman, Yogyakarta, seiring naiknya status Gunung Merapi menjadi awas. Senin (25/10). (46).‖ Di sebelah kanan berita ini terdapat infografis jumlah warga yang harus dievakuasi dilengkapi gambar seorang perempuan bersama anaknya yang membawa tas. Perempuan tersebut juga sedang memanggul dan menenteng perbekalan, yang dibalut menggunakan kain dan diikat menggunakan tali.
Struktur Framing Berita 2 Struktur
Judul Berita
Tanggal Terbit
44| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Framing
Pengungsi Pilih Pulang
Sintaksis
Skrip
Tematik
28 Oktober 2010
Berita ini menjelaskan situasi di salah satu lokasi pengungsian, dimana para pengungsi lebih memilih untuk pulang dan beraktifias seperti biasa. Laporan disajikan berdasarkan pengamatan langsung seorang wartawan, di tempat pengungsian. Keputusan warga untuk meninggalkan tempat pengungsian dan pulang ke rumah masing-masing juga digunakan sebagai judul berita. Secara keseluruhan, terdapat 8 pernyataan narasumber yang digunakan sebagai sumber kutipan. Adapun jumlah narasumber yang diwawancarai oleh wartawan adalah empat orang. Diantaranya, dua narasumber berjenis kelamin perempuan dan dua narasumber lainnya berjenis kelamin laki-laki. Peryataan yang disampaikan oleh narasumber kepada wartawan berupa, ‗alasan‘ dan ‗himbauan.‘ What: Pulang dari tempat pengungsian Why: Teringat ladang dan ternak Who: Warga Where: (1). Dukuh Bangunsari, Desa Klakah, (2). Dukuh Stabelan, Desa Tlogolele, (3). Dukuh Bakalan, Desa Klakah. When: How: Secara keseluruhan berita ini terdiri dari 9 paragraf. Susunan kalimat di paragraf pertama berisi laporan adanya isu bahwa para pengungsi memilih meninggalkan tempat pengungsian beserta alasannya. Kemudian, susunan kalimat di paragraf kedua berisi himbauan terhadap warga yang memilih pulang agar tetap waspada. Sedangkan, susunan kalimat di paragraf ketiga hingga ketujuh berisi alasan warga yang memilih untuk pulang. Selanjutnya, di paragraf kedelapan dan kesembilan berisi himbauan dan penjelasan tentang 45| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Retoris
kondisi di Gunung Merapi. Berita ini dimuat di halaman utama Suara Merdeka, lebih tepatnya di salah satu rubrik khusus yang menyajikan informasi seputar daerah Solo, Jawa Tengah. Di atas berita terdapat dua foto berita. Foto sejumlah perempuan di tempat pengungsian, dengan keterangan atau caption, ―Ruang Sekolah: Ruang kelas SDN 1 Dempol, Kecamatan Kemalang, Selasa (26/10) malam digunakan untuk tidur para pengungsi setelah Gunung Merapi meletus. (34),‖ serta foto sejumlah pengungsi lanjut usia sedang turun dari kendaran bermotor. Adapun keterangan atau caption berita foto tersebut ialah, ―Turun: Para pengungsi turun dari truk di Jl. Raya Kemalang Desa Sidorejo, Rabu (27/10). (34).‖
Struktur Framing Berita 3 Struktur Framing
Sintaksis
Skrip
Judul Berita Tanggal Terbit Warga Magelang Selamat dari 29 Oktober 2010 Wedhus Gembel Berita ini menjelaskan adanya luncuran awan panas di salah satu Pos Pengamatan Gunung Merapi. Laporan disajikan berdasarkan pengamatan langsung seorang wartawan, di dua lokasi kejadian. Adanya lokasi Pos Pengamatan dan peristiwa di daerah tersebut juga digunakan sebagai judul berita. Secara keseluruhan, terdapat 8 pernyataan narasumber yang digunakan sebagai sumber kutipan. Adapun jumlah narasumber yang diwawancarai oleh wartawan adalah satu orang berjenis kelamin laki-laki. Pernyataan yang disampaikan narasumber kepada wartawan berupa ‗testimoni.‘ What: Kesaksian Why: Terjangan awan panas Who: Petugas Pos Pengamatan Where: Pos Babadan, Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang 46| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Tematik
Retoris
When: Selasa, 26 Oktober 2010 How: Ditandai dengan suara atau sinyal seismograf dan pena di layarnya, yang bergerak dengan cepat. Secara keseluruhan, berita ini terdiri dari 12 paragraf. Susunan kalimat di paragraf pertama menjelaskan adanya luncuran awan panas di beberapa daerah. Sedangkan susunan kalimat di paragraf kedua hingga paragraf 10, berisi testimoni dari seorang petugas Pos Pengamatan Gunung Merapi. Selanjutnya, di paragraf ke 11 dan 12 menjelaskan adanya korban akibat terjangan awan panas. Berita ini juga disertai foto seorang anak sedang dirawat oleh perawat. Adapun keterangan atau caption foto tersebut ialah, ―Dirawat: Warsino (13) dirawat di RSU Muntilan karena tertabrak truk saat proses evakuasi. (28)‖
Struktur Framing Berita 4 Struktur Framing
Sintaksis
Skrip
Judul Berita Tanggal Terbit Warga Takeran dan Stabelan 30 Oktober 2010 Diungsikan Berita ini menjelaskan adanya proses evakuasi warga di suatu daerah. Laporan disajikan berdasarkan pengamatan langsung seorang wartawan, di tempat berlangsungnya evakuasi. Nama tempat berlangsungya evakuasi juga digunakan sebagai judul berita. Secara keseluruhan, terdapat 2 pernyataan narasumber yang digunakan sebagai sumber kutipan. Adapun jumlah narasumber yang diwawancarai oleh wartawan adalah satu orang berjenis kelamin perempuan, dan satu orang berjenis kelamin laki-laki. Adapun sifat pernyataan yang disampaikan narasumber kepada wartawan berupa penjelasan.
What: Evakuasi Why: Terjadi letusan Gunung Merapi Who: Warga 47| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Tematik
Retoris
Where: (1). Dukuh Takeran dan (2). Dukuh Stabelan, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo When: How: Menggunakan kendaraan bermotor (mobil dan truk) Secara keseluruhan berita ini terdiri dari 7 paragraf. Susunan kalimat di paragraf pertama menjelaskan adanya proses evakuasi warga dari suatu daerah ke daerah lainnya. Sedangkan di paragraf kedua menjelaskan bagaimana proses evakuasi berlangsung. Kemudian, paragraf ketiga hingga kelima menjelaskan, kendala yang dialami selama proses evakuasi. Adapun pihak-pihak yang mengevakuasi warga dijelaskan di paragraf keenam dan ketujuh.
–
Struktur Framing Berita 5 Judul Berita
Struktur Framing
Sintaksis
Tanggal Terbit
Mereka Memilih Kembali 31 Oktober 2010 Bersanding dengan Merapi Berita menjelaskan korban jiwa akibat bencana erupsi Gunung Merapi. Berita ini juga menjelaskan adanya harapan warga terhadap pemerintah setelah dilanda bencana. Adapun keputusan warga untuk tetap tinggal di daerah rawan bencana beserta alasannya juga dapat diketahui di berita ini, keputusan tersebut digunakan sebagai judul berita. Laporan disajikan berdasarkan pengamatan langsung seorang wartawan, di tempat pengungsian. Secara keseluruhan, terdapat 9 pernyataan narasumber yang digunakan sebagai sumber kutipan. Adapun jumlah narasumber yang diwawancarai oleh wartawan adalah tiga orang berjenis kelamin laki-laki. Pernyataan yang disampaikan narasumber kepada wartawan ialah berupa testimoni, keputusan (misalnya 48| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Skrip
Tematik
Retoris
tetap tinggal atau pergi mencari tinggal di daerah lain), harapan dan penjelasan. What: Keputusan untuk tetap tinggal di daerah rawan bencana Why: Rumah dan tanah adalah warisan Who: Warga Where: Balai Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, When: 30 Oktober 2010 How: Mendapat bantuan, atau tanpa bantuan dari pemerintah. Secara keseluruhan, berita ini terdiri dari 24 paragraf. Susunan kalimat di paragraf pertama, berisi penjelasan secara menyeluruh dari apa yang hendak diceritakan dalam artikel ini. Paragraf kedua menjelaskan, jumlah korban meninggal, berserta gambaran singkat bagaimana beberapa orang tersebut menjadi korban meninggal. Paragraf ketiga hingga kelima menjelaskan alasan warga yang memilih untuk tetap tinggal di kediamannya. Paragraf keenam dan ketujuh berisi testimoni atau kesaksian narasumber terkait anggota keluarganya yang meninggal, lengkap disertai nama dan umur. Selain itu, tema tersebut terus berlangsung dari paragraf delapan hingga ke 19. Namun, terdapat sedikit perbedaan beberapa paragraf tersebut, karena dijelaskan juga harapan para korban selamat terhadap pemerintah perihal pemulihan daerah pemukiman pasca bencana alam erupsi Gunung Merapi. Selanjutnya, di paragraf 20 hingga 23, dijelaskan pula gambaran singkat lingkungan atau desa korban pasca di landa bencana. Kemudian, di paragraf terakhir dijelaskan secara singkat pula kehidupan para warga di tempat pengungsian. Berita ini dimuat di halaman utama Suara Merdeka, dilengkapi foto sejumlah warga di tempat pengungsian. Adapun keterangan atau caption foto berita tersebut 49| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
ialah, ―Keluarga Kinahrejo: Keluarga asal Kinahrejo, dari kiri ke kanan, Purwanto (65), Priyanto (35), Pariman (33), dan Sumarno (40) di barak pengungsian Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. (46). ‖ Selain itu, di atas berita ini juga terdapat infografis, yang menjelaskan fluktuasi letusan Gunung Merapi.
Dari kesuluruhan sampel di atas, 4 dari 5 berita yang ditulis mengkonstruksikan atau menggambarkan perempuan sebagai korban yang ketakutan, lemah dan menyedihkan, serta ngotot dan susah diatur (sulit diajak bekerja sama-red). Adapun konstruksi perempuan yang dimaksud penulis, dapat diamati melalui tabel di bawah ini: Konstruksi Perempuan di Harian Suara Merdeka
Judul Berita
Wis Biasa, Rak Sah
Wedi
Sejumlah pengungsi (2 dari 3 adalah perempuan) yang diwawancarai memutuskan untuk tetap pulang dari tempat pengungsian.
Salah satu perempuan, korban luncuran awan panas, yang kemudian dirawat di RSUD Muntilan.
Pengungsi Pilih Pulang
Warga Magelang Selamat dari Wedhus Gembel
Ketakutan sejumlah perempuan yang hendak diungsikan ke tempat pengungsian terakhir (TPA), Muntilan. Usaha Kepala Desa Kaliurang dan tokoh masyarakat setempat dalam menyakinkan perempuan yang hendak diungsikan dengan menggunakan ‗bahasa kaum‘ perempuan. Pedagang perempuan di Kaliadem beserta keluarganya, yang trauma dengan erupsi Gunung Merapi
50| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Warga Takeran dan Stabelan Diungsikan
Sejumlah penduduk perempuan yang enggan diungsikan, lantaran menunggu suami yang sedang meladang atau menyiapkan pakaian.
Demikan, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Suara Merdeka belum menyadari
kerentanan
(vulnerability)
perempuan
dalam
menghadapi
bencana alam. Padahal beberapa catatan terakhir menunjukan bahwa perempuan adalah pihak yang paling rentan menjadi korban, saat terjadi bencana alam yang sifatnya masif. Kala Bangladesh dilanda angin topan pada 1991 misalnya, 90% korbannya adalah perempuan. Sementara saat terjadi Tsunami di sebagian wilayah Asia pada 2004, jumlah korban meninggal perempuan di India 3 kali lipat dari jumlah laki-laki. Sedangkan di Indonesia, jumlah korban meninggal perempuan 4 kali lipat dari jumlah laki-laki. Bahkan, Oxfam menemukan data 70% korban tewas akibat tsunami di Aceh kala itu adalah perempuan (Basarnas, 2013). Ada satu berita terkait peristiwa bencana alam yang dapat dijadikan contoh untuk Suara Merdeka, dalam menerbitkan beritanya. Secara singkat, berita tersebut menjelaskan adanya dua perempuan (satu bertugas, satu lagi relawan) yang tengah bekerja sama dalam suatu tim yang didukung oleh suatu organisasi pemulihan daerah bencana alam. Judulnya Perempuan-perempuan Tangguh di Tengah Bencana, melalui berita ini khalayak dapat memahami bahwa perempuan juga berperan aktif dalam kondisi kritis sekalipun. Berikut kutipan berita yang diterbitkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) daring tersebut: “SATUNGAL - (8/5) Perawat Serma (K) Dwi Afriati NS S.ST dari Puskes TNI dan Rachma Hussein pengajar di Fisipol Universitas Muhamadiyah Yogyakarta merupakan contoh nyata perempuan-perempuan tangguh yang ada di Tim Indonesia Peduli Nepal yang hadir pada 30 April 2015 51| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
beberapa hari setelah gempa Nepal yang berkekuatan 7,8 skala richter mengguncang.” C. PENUTUP Hasil analisis menunjukan bahwa, objektifitas praktisi jurnalistik di Suara Merdeka terhadap suatu peristiwa bencana alam, tidak sepenuhnya sensitif gender. Citra perempuan di Harian Suara Merdeka belum menjadi prioritas utama, melainkan menjadi bagian semata-mata hanya untuk merangsang minat baca. Demikian, dalam hal ini jelas bahwa Suara Merdeka dalam menerbitkan beritanya hanya berorientasi pada keuntungan (profit), dan bukan pada manfaat (benefit). Beberapa susunan kalimat yang digunakan juga sarat akan budaya patriarki. Suara Merdeka menganggap bahwa perempuan harus tunduk pada keputusan yang dibuat oleh laki-laki. Tidak ada kesetaraan, malah beberapa berita merepresentasikan adanya pihak yang perlu dijadikan panutan dan siapa yang harus tunduk pada aturan. Sekalipun perempuan hendak mengutarakan pendapat atau pemikiran, hal tersebut dianggap salah. Praktisi jurnalistik di Suara Merdeka menganggap gagasan perempuan masih perlu dikomparasikan dengan gagasan laki-laki. Kemudian, salah satu hal yang perlu dicermati, sekalipun Suara Merdeka menyediakan wacana yang mampu menggerakan masyarakat, dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik, itu pun masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang lemah, menderita, dan selalu mengharapkan bantuan. Demikian, dalam hal ini beberapa berita yang di terbitkan Suara Merdeka belum berpihak pada perempuan yang memiliki hak atas keadilan di ranah publik maupun domestik. Jika Suara Merdeka mengakui keberadaan perempuan seutuhnya, gagasan soal kondisi bencana alam seharusnya dikomparasikan antar perempuan. Perempuan memiliki kemampuan serta mental yang setara 52| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
dengan laki-laki, dan seharusnya itu disadari. Kemudian, jika pemimpin redaksi yang memiliki otoritas terhadap laporan wartawannya, sadar akan kesamaan hak, kemerdekaan dan kebebasan perempuan sama seperti yang dimiliki kaum laki-laki, ketimpangan gender diwilayah publik dapat tereduksi. Sebab, jika ‗politik representasi‘ Suara Merdeka berpihak pada perempuan, maka kondisi sosial dan budaya disekitarnya –pembaca juga akan ramah perempuan pula. Selanjutnya,
untuk
menjalankan
fungsi
pers
yang
sifatnya
interpretatif maupun direktif, praktisi jurnalistik di Suara Merdeka juga dirasa perlu untuk berperan aktif dalam menghadirkan berita, yang menginspirasi dan bukan malah menyudutkan perempuan di tengah-tengah bencana. Dengan demikian, di berbagai pemberitaannya, perempuan tidak lagi tampil sebagai pihak yang tereksploitasi. Sebaliknya, melalui berita yang inspiratif, perempuan semakin ‗tangguh dan kuat‘ dalam menghadapi bencana dan semakin jauh dari kerentanan (vulnerability).
DAFTAR PUSTAKA Al-Ahmed, Sholahuddin. 2010. Warga Magelang Selamat dari Wedhus Gembel. Suara Merdeka, 29 Oktober 2010. Ayu. BNPB. 2015. Perempuan-Perempuan Tangguh di Tengah Bencana. http://www.bnpb.go.id/berita/2468/perempuan-perempuantangguh-di tengah-bencana (diakses pada Selasa, 12 Januari 2016, pukul 13.16 WIB). Basarnas. 2013. Peran Wanita Dalam Siaga SAR dan Bencana. http://www.basarnas.go.id/artikel/peran-wanita-dalam-siaga53| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
sar-dan-bencana (diakses pada Senin, 11 April 2016, pukul 00.09 WIB). Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta. LkiS. G10-26. 2010. Warga Takeran dan Stabelan Diungsikan. Suara Merdeka, 30 Oktober 2010. Habib Shaleh, MH & Sony Wibisono. 2010. Wis Biasa, Rak Sah Wedi. Suara Merdeka, 26 Oktober 2010. Liey, Valen & Seto Herwandito. 2013. ―Konstruksi Media Terhadap Kasus Penembakan di LP Cebongan (Analisis Framing Berita Kasus Penembakan di LP Cebongan di Portal Berit Kompas.com dan Detik.com)‖ dalam Cakrawala Jurnal Penelitian Sosial –Vol II. Salatiga. Fiskom UKSW. Murdowo, Joko. 2010. Pengungsi Pilih Pulang. Suara Merdeka, 28 Oktober 2010. Piliang, Yasraf A. 2002. “Gender Horrography”: Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam
Pemberitaan
Pers.
https://kippas.wordpress.com/2007/07/18/%E2%80%9Cgender -horrography%E2%80%9D-kekerasan-terhadap-perempuandalam-pemberitaan-pers/ (diakses pada Kamis, 7 April 2016, pukul 9.32 WIB). Siregar, Ashadi. 2001. Kesetaraan Gender dan Kapitalisme Media (2). https://kippas.wordpress.com/2007/12/14/kesetaraan-genderdan-kapitalisme-media-2/ (diakses pada Selasa, 5 April 2016, pukul 23.01 WIB). Wibisono, Sony. 2010. Mereka Memilih Kembali Bersanding dengan Merapi. Suara Merdeka, 31 Oktober 2010. 54| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
55| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Eceng Gondok, Tetap Ada dan Berlipat Ganda : Pergulatan Perempuan Rowoboni Menghadapi Permasalahan Ekonomi-Ekologi Rawapening Bima Satria Putra Pemimpin Redaksi LPM Lentera Meilana Amrih Lestari Mahasiswa Fakultas Pertanian dan Bisnis (FPB) UKSW ABSTRACT Rawapening is currently facing economic-ecological problems are quite complicated and complex. Poverty on the one side and environmental degradation on other caused by the explosion of water hyacinth population. This research seeks to describe the role of women in KWT Sekar Melati as an attempt to resolve the economic-ecological problems that occur in Rawapening through water hyacinth handicraft business. The results showed that the active role of the woman turned out to generate a positive contribution to their economies in order to meet the needs of the household. Unfortunately, their efforts did not have a significant influence on the ecological problems due to the limitation of capital and human resources. Keyword : Women, Eceng Gondok, Rawapening, Ecology-Economic Problems 56| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
A. PENDAHULUAN
K
ementerian Lingkungan Hidup melaporkan bahwa dalam dua dekade terakhir kerusakan SDA dan pencemaran lingkungan di Indonesia berlangsung sangat cepat, sehingga sulit untuk mencegah
dan mengendalikan degradasi lingkungan hidup dan ironisnya, banyak kebijakan seringkali tidak melibatkan perempuan secara aktif. Padahal pada banyak negara dunia ketiga, perempuan dalam posisi yang rentan terhadap perubahan iklim, kerusakan lingkungan dan bencana alam. Pembangunan yang tidak berkelanjutan dan industri skala besar sering kali berkontribusi terhadap krisis air dan ketahanan pangan yang selama ini dekat dengan perempuan. Seperti masyarakat di Kabupaten Semarang yang beberapa dekade terakhir ini menghadapi masalah serius di sekitar Rawapening terkait dengan pendangkalan danau dan penurunan kualitas air akibat sedimentasi, perluasan lahan pertanian dan limbah. Berbagai aktivitas masyarakat di sekitar Rawapening menyumbang kontribusi yang komplek terhadap permasalahan
tersebut,
sehingga
muncul
masalah
ledakan
populasi
(blooming) salah satu vegetasi air di sana, yaitu eceng gondok (Eichhornia crassipes). Semuanya berujung kepada ancaman bahwa Rawapening dapat menjadi daratan dalam 2021 (Soeprobowati, 2012). Kelompok Wanita Tani (KWT) ‗Sekar Melati‘ di Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang adalah kelompok perempuan yang berupaya untuk berpartisipasi secara aktif dalam mengatasi permasalahan yang terjadi dilingkungannya. KWT Sekar Melati adalah contoh mengenai peran perempuan dalam mengatasi permasalahan ekonomi-ekologi di Rawapening. Di Indonesia, kajian mendalam mengenai peranan dan pengalaman perempuan terkait isu pengelolaan SDA dan lingkungan hidup sudah banyak dilakukan. Kajian yang dilakukan oleh penulis di Banyubiru ini hanyalah salah 57| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
satu potongan kecil dari berbagai perjuangan perempuan di berbagai belahan bumi dalam kerangka ekofeminisme. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peranan perempuan dalam
mengatasi
permasalahan
ekonomi-ekologi
Rawapening
dan
pengaruhnya pada perekonomian masyarakat dan permasalahan ekologi. Penelitian yang dilakukan penulis adalah jenis penelitian deskriptif dengan mewawancarai perempuan pengerajin eceng gondok di Banyubiru dan observasi lapangan. Selain itu penulis juga melakukan dokumentasi dan melakukan penelusuran kepustakaan terhadap literatur yang relevan. Penelitian dimulai sejak November 2015 hingga Februari 2016 di desa Rowoboni, Banyubiru, Kab. Semarang. B. PEMBAHASAN Ekofeminisme dan Peran Perempuan Merawat Alam Kata ―eko‖ dalam ekologi berasal dari bahasa Yunani yaitu oikos, yang berarti rumah tempat tinggal; tempat tinggal semua perempuan dan laki-laki, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, dan matahari. Sementara itu penambahan feminisme dalam kata ‗ekofeminisme‘ dimaksudkan untuk menyadari keterkaitan antara perempuan dengan alam. Hal yang lebih penting dan perlu digarisbawahi di sini adalah menyadari adanya hubungan kekuasaan yang tidak adil, adanya model relasi dominasi di dalam wacana lingkungan hidup yang sama persis dengan wacana perempuan. Langkah selanjutnya, adalah untuk tidak menginterpretasikan karakteristik perempuan dengan alam
yang melemahkan perempuan. Ketidakadilan terhadap
perempuan dalam lingkungan ini berangkat pertama-tama dari pengertian adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap non-manusia atau alam. Perempuan selalu dihubungkan dengan alam, maka secara konseptual, simbolik dan linguistik ada keterkaitan antara isu feminis dan ekologis (Astuti, 2012). 58| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Ekofeminisme mencoba memberikan kritik terhadap cara pandang modernitas yang menempatkan alam sekaligus perempuan sebagai objek eksploitasi. Selain itu mempertanyakan bahwa bangunan politik-ekonomi sebenarnya mengenalkan konsep perdagangan bebas atau perdagangan yang dipaksakan. Perempuan yang memiliki kearifan tentang pilihan-pilihan beragam sebagai bentuk penghormatan terhadap alam justru tidak lagi diperhitungkan (Asriani, 2015). Oleh karena itu ekofeminisme, dapat dipandang sebagai bentuk varian dari feminisme yang mencoba untuk melawan ketidakadilan, baik terhadap permasalahan perempuan dan lingkungan hidup. Caranya beragam, termasuk memberikan ruang untuk melakukan sebuah gerakan perebutan wacana, agar makna-makna lokalitas yang ada selama ini tetap menjadi sumber kekuatan (Asriani, 2015). Kajian ini menjadi salah
satu
usaha
untuk
mengartikulasi
kepentingan
perempuan
di
Rawapening dalam usaha merawat dan memperjuangkan lingkungannya. Kondisi Danau Rawapening dan Masyarakat di sekitarnya Secara administratif, Rawapening terletak pada empat kecamatan di Kabupaten Semarang, yaitu Kecamatan Tuntang, Banyubiru, Bawen dan Ambarawa. Pada musim penghujan luas danau dapat mencapai ±2.667 Ha dan menyusut menjadi ±1.650 Ha pada akhir musim kemarau. Berada di ketinggian antara 455-465 meter di atas permukaan laut (mdpl), Rawapening dikelilingi oleh tiga Gunung, yaitu Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Letak danau ini strategis karena berada di tepian jalan raya nasional Semarang-Solo, Semarang-Yogyakarta, dan Ambarawa-Salatiga. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Balitbang Provinsi Jawa Tengah (Mochtar, 2004), potensi sumberdaya air Rawapening secara kuantitas sangat besar, dengan pemasukan rata-rata tahunan sebesar 420 juta m3. Daerah pinggiran Rawapening merupakan lahan pertanian yang subur dengan kadar bahan organik yang tinggi serta dimanfaatkan untuk usaha 59| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
perikanan, baik budidaya dan penangkapan ikan. 52% penduduk sekitar Rawapening berpencaharian sebagai petani dan buruh tani, sementara 7% penduduk berkerja sebagai nelayan. Sebagian besar masyarakat juga memanfaatkan keberadaan Rawapening untuk beternak bebek. Rata-rata tiap peternak memiliki sekitar 50-100 ekor bebek (LIPI, 2015). Potensi wisata di Rawapening antara lain Bukit Cinta, pemandian, dan pemancingan di Banyubiru. Selain itu, wisata perahu di Tuntang dan wisata kuliner bebek goreng dan sate keong menjadi potensi lain di Rawapening. Saat ini, Rawapening berhadapan dengan dua permasalahan utama, yaitu permasalahan ekonomi pada masyarakat di sekitar Rawapening dan permasalahan ekologi pada danau itu sendiri. Permasalahan ekonomi yang merujuk kepada persentase penduduk miskin yang masih tinggi di desa Rowoboni, Rowosari, Kesongo, dan Bajelan. Sebagian besar masyarakat di sekitar
Rawapening
hidup
dengan
kondisi
tingkat
pendidikan
dan
keterampilan yang terbatas yang menyebabkan ketergantungan terlalu tinggi terhadap sumberdaya alam secara langsung. Hingga 2005, 48% penduduk di sekitar Rawapening sama sekali tidak mengenyam bangku pendidikan dan 8% penduduknya tidak tamat SD. Selain itu persepsi masyarakat atas peluang ekonomi cenderung masih bias ke sektor primer sehingga dorongan mencari alternatif peluang ekonomi sangat rendah (LIPI, 2015). Permasalahan ekologi di Rawapening saat ini secara garis besar adalah terkait dengan penurunan kualitas air akibat limbah dan kenyataan bahwa Rawapening dapat berubah menjadi daratan akibat perluasan lahan pertanian dan sedimentasi. Perluasan lahan sawah di pinggiran Rawapening yang terus menjorok ke tengah dapat merubah wajah danau menjadi dangkal, sempit dan tidak menarik. Berdasarkan data Pemkab Semarang (dalam Soeprobowati, 2012), sejak tahun 1976 hingga 1999 terjadi penurunan volume air 29,34% dengan jumlah endapan di dasar Rawapening yang mencapai ±9,75 juta m³ akibat proses sedimentasi danau yang mencapai 778,93 ton/tahun. 60| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Merebaknya populasi eceng gondok disebabkan oleh eutrofikasi3 akibat limbah penduduk, limbah ternak, limbah pertanian dan limbah pakan ikan. Limbah ternak adalah sumber utama pencemaran air di Rawapening dengan kontribusi 20.000 kg total nitrogen/hari. Saat ini, populasi eceng gondok mencapai 7,1% per tahun dengan pertumbuhan mencapai 37,6 kali dalam setahun sehingga menutupi ±613 Ha atau sekitar 75% dari jumlah luas permukaan air (Soeprobowati, 2012). Selain itu, pendangkalan terjadi karena penumpukan bahan organik dan partikel terlarut dari beberapa sungai yang mengalir ke danau. Berdasarkan kajian LIPI (2015), masih banyak lahan gundul terutama Gunung Telomoyo, Gunung Kendil dan Gunung Ungaran yang menjadi Daerah Tangkapan Air
(DTA) mengalami kerusakan akibat konversi lahan,
penambangan, pengambilan air secara berlebihan, dan kerusakan hutan di area Perhutani. Kerusakan itu menimbulkan tingkat erosi yang tinggi dari daerah hulu, dan menghasilkan sedimentasi yang besar di daerah hilir (danau Rawapening), serta munculnya daerah dataran banjir. Dari studi empirik di lapangan dan penelusuran kepustakaan, dapat terlihat bahwa permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat di sekitarnya secara tidak langsung berdampak kepada permasalahan ekologi dan begitu juga sebaliknya. Pengambilan eceng gondok untuk dijadikan bahan baku kerajinan biasanya dilakukan dengan memotong batang enceng gondok dan melemparkan sisanya (akar dan daun) ke danau. Pola pengambilan eceng gondok yang tidak ramah lingkungan tersebut berdampak terhadap pendangkalan danau. Hal ini dimungkinkan selain karena rendahnya kesadaran masyarakat dan rendahnya kualitas SDM, tetapi juga karena
3
Pengkayaan perairan terutama oleh unsur nitrogen dan fosfor sehingga menyebabkan pertumbuhan tidak terkontrol dari alga maupun tumbuhan air. Sumber nitrogen dan fosfor terutama berasal dari pupuk pertanian, perikanan, dan limbah rumah tangga (Soeprobowati, 2012). 61| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
keterbatasan modal untuk mendapatkan peralatan atau teknik yang lebih ramah lingkungan. Sedimentasi menjadi ancaman yang sangat besar bagi masyarakat di sekitar Danau Rawapening. Ancaman tersebut antara lain : 1) sedimentasi yang terjadi di daerah inti danau mengakibatkan banjir di daerah sekelilingnya dan menggenangi sawah pasang surut yang dapat merugikan masyarakat yang menggantungkan dirinya pada sektor pertanian, 2) menjadikan nilai jual potensi danau untuk pariwisata menurun dan mengakibatkan kerugian bagi sektor pariwisata yang menyewakan perahu; dan 3) kemungkinan Rawapening menjadi daratan membuat masyarakat di sekitarnya, khususnya perempuan, terancam kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti mandi, memasak, mencuci dan memperparah kondisi HKRS (Hak & Kesehatan Reproduksi & Seksual) perempuan. Peningkatan
populasi
eceng
gondok
secara
berlebihan
juga
memberikan berbagai macam dampak buruk, antara lain : 1) turunnya nilai estetika lingkungan yang mengurangi tingkat keindahan permukaan air, karena tidak dapat melihat dengan jelas dan tepat seberapa luas daerah perairan tersebut, 2) terhambatnya kelancaran lalu lintas transportasi air, 3) percepatan proses pendangkalan karena eceng gondok yang sudah mati akan turun ke dalam dasar danau, hal ini juga membantu percepatan pertumbuhan bibit-bibit penyakit, 4) menurunnya jumlah cahaya yang masuk ke dalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air dan akan menyebabkan makhluk hidup seperti ikan dapat mati karena kehabisan udara, dan 5) meningkatkan evapotranspirasi atau penguapan yang dilakukan oleh tumbuhan tersebut karena daun-daunnya yang lebar serta pertumbuhannya yang cepat (Wulandari, 2013). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Semarang, LSM dan masyarakat sekitar Rawapening untuk mengurangi populasi eceng gondok. Pada 2007, dilakukan penggelontoran eceng gondok ke kanal 62| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Tuntang. Di tahun yang sama hingga 2010, dilakukan program pengangkatan eceng gondok 150 Ha tiap tahunnya. Pada 2011, telah dilakukan pemanenan 30 Ha. Sejak 2015, organisasi Salatiga Peduli juga aktif melakukan pembersihan eceng gondok melalui kegiatan Save Rawapening. Pemanenan eceng gondok dilakukan hampir setiap tahun, namun hanya menyelesaikan permasalahan sesaat, untuk kemudian tumbuh sangat melimpah lagi. Hal ini berkaitan
dengan
pertumbuhan
eceng
gondok
yang
sangat
pesat
(Soeprobowati, 2012). Upaya KWT Sekar Melati Di sekitar Rawapening, terdapat beberapa kelompok usaha masyarakat yang dengan bantuan pemerintah membuat kerajinan berbahan dasar eceng gondok. Penduduk yang pencahariannya bergantung pada eceng gondok baik sebagai pencari, pengumpul maupun pengrajin adalah sekitar 872 orang atau sekitar 1,43% yang berasal dari berbagai desa yang ada di sekitar Rawapening. Di masa mendatang, jumlah tersebut tidak tertutup kemungkinan akan bertambah (Mochtar, 2004). KWT Sekar Melati adalah salah satunya. Kelompok perempuan yang berada di Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang ini berupaya untuk berpartisipasi secara aktif dalam mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi dilingkungannya. Komsah, perempuan berusia 43 tahun, saat ini menjadi Ketua KWT Sekar Melati. Ia sudah tidak asing lagi berurusan dengan eceng gondok sebagai aktivitasnya sehari-hari. Sejak 1994 Komsah bersama Syafii, kakak kandungnya, berkerja menjadi pencari eceng gondok di Rawapening untuk didistribusikan kepada pengrajin di Yogyakarta. Namun, sejak usaha kakaknya bangkrut pada 2007, selama beberapa tahun Komsah bekerja serabutan di pasar dan pengolahan ikan. Upaya untuk mengolah eceng gondok menjadi sebuah produk yang siap untuk dijual sebenarnya dimulai dari rasa malu Komsah dengan para pengrajin eceng gondok di Yogyakarta. 63| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Masa, yang punya eceng gondoknya saja tidak bisa membuat. Kalah dengan pengrajin eceng gondok di Yogyakarta, kan malu.4 Komsah kemudian mengikuti Pelatihan Kewirausahaan yang diadakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di Semarang pada 2013. Dalam pelatihan tersebut, peserta diberikan pengetahuan mengenai pengolahan bahan baku eceng gondok menjadi sebuah produk yang siap jual. Berbekal keterampilan yang dimilikinya, Komsah bersama perempuan-perempuan baik dari desa Rawaboni dan Kebumen di Banyubiru yang tergabung ke dalam KWT Sekar Melati mengolah eceng gondok yang melimpah di Rawapening untuk dijadikan produk kerajinan. KWT Sekar Melati beranggotakan 30 orang perempuan hingga saat ini. Ada yang mencari eceng gondok, kemudian ada yang menjemurnya, lalu menjadikannya anyaman setengah jadi hingga membuatnya menjadi produk utuh dan memasarkannya. Berbagai macam produk telah dibuat oleh KWT Sekar Melati. Pada awalnya, mereka hanya mampu membuat pot bunga, tempat sampah maupun tempat parsel. Namun seiring dengan berjalannya waktu, KWT Sekar Melati mulai membuat dompet, tas, hingga sandal jepit. Harganya bervariasi mulai dari Rp 7.000 hinga Rp 150.000. Bagi Komsah, Rawapening adalah sumber alam yang dapat menjadi solusi bagi masyarakat di sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini nampak bagaimana masyarakat sangat bergantung dan tidak dapat terpisahkan dengan Rawapening mulai dari mandi, makan-minum dan mencuci, hingga untuk keperluan perikanan, peternakan, pertanian dan pariwisata. Rawapening dengan demikian menjadi penyedia kelangsungan hidup bagi kebutuhan masyarakat dan penting bagi masyarakat untuk melestarikan lingkungan hidup. Namun bagamanapun juga, setiap potensi
4
Wawancara dengan Komsah, pada 3 Desember 2015 di sekretariat KWT Sekar Melati, dusun Sukodono, Kec. Banyubiru, Kab Semarang.
64| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
alam yang tersedia tidak dapat memberikan keuntungan jika tidak dapat dikelola dengan baik. KWT Sekar Melati selama ini memiliki permasalahan akibat keterbatasan modal dan rendahnya keterampilan anggota. Rendahnya kualitas SDM anggota membuat KWT Sekar Melati hanya mampu memproduksi barang-barang dalam jumlah yang terbatas dan jangka waktu yang lebih lama. Sebagian besar anggota KWT Sekar Melati hanya mampu membuat anyaman eceng gondok. Hanya segelintir orang saja yang mampu membuat anyaman eceng gondok menjadi produk yang utuh seperti tas atau sendal. Walau demikian, anggota KWT Sekar Melati sangat terbantu perekonomiannya dengan kegiatan kerajinan eceng gondok. Untuk pencari, eceng gondok kering dibeli oleh pengepul seharga Rp 5.000/kg atau bisa mendapat ±Rp 40.000 untuk sekali pencarian. Pengepul kemudian bisa mendapatkan ±7 kwintal eceng gondok kering per minggu dan dijual kepada pengrajin dengan harga ±Rp 6.000/kg. Sementara pengrajin menjual hasil kerajinannya dengan harga yang variatif sesuai dengan tingkat kesulitan dalam pembuatannya. Seperti pernyataan seorang anggota KWT Sekar Melati dibawah ini : Tidak seberapa sih, tapi lumayan. Kalau tidak bertani, yang menjadi tumpuan ya eceng gondok untuk kebutuhan sehari-hari.5 Pengurangan populasi eceng gondok karena aktivitas KWT Sekar Melati tidak begitu signifikan. Penutupan eceng gondok di Rawapening terus meningkat dengan masing-masing pertumbuhan sebesar 18% (1994), kemudian 60-70% (2004-2005) dan menjadi 85% (2006) atau sebesar 7,1% per tahun. Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan eceng gondok yang sangat pesat. Satu tumbuhan eceng gondok menjadi 2 tumbuhan dalam waktu 14 hari. Dalam waktu 52 hari, satu batang eceng gondok mampu menghasilkan 5
Wawancara dengan Siti Lestari, pada 10 Januari 2015 di dusun Sukodono, Kec. Banyubiru, Kab Semarang.
65| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
tumbuhan baru seluas 1 m2. Laju pertumbuhan eceng gondok 7,1% per tahun sehingga pertumbuhannya dapat mencapai 37,6 kali dalam 1 tahun (Soeprobowati, 2012)6. Sekitar 20 anggota KWT Sekar Melati yang sering dibantu oleh suaminya dalam mencari eceng gondok, hanya mampu mendapatkan 1 kwintal eceng gondok basah yang menjadi ±8 kg eceng gondok kering per hari. Pencarian eceng gondok tidak menentu per minggu dan berlangsung rutin hanya pada musim kemarau. Pada musim hujan, pencari eceng gondok menghentikan pencariannya karena kesulitan untuk menjemur eceng gondok. Sebenarnya bantuan mesin pengering eceng gondok sudah diterima oleh masyarakat, namun karena mesin tersebut menggunakan daya listrik yang tinggi, penggunaan mesin dihentikan.7 Saat ini, KWT Sekar Melati juga belum berbadan hukum akibat keterbatasan modal. Menurut keterangan yang didapatkan dari Komsah, ketidaksadaran anggota KWT Sekar Melati akan pentingnya badan hukum untuk pengembangan usaha yang tengah mereka jalani menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, hingga kini KWT Sekar Melati masih kesulitan dalam memasarkan produk-produk yang telah mereka hasilkan yang lagi-lagi akibat keterbatasan modal. Selama ini mereka masih mengandalkan pameran, penjualan secara daring, serta membuka toko di sekretariat KWT Sekar Melati yang juga menjadi kediaman Komsah. Upaya membuat katalog dan baliho untuk mempromosikan produknya, hingga artikel ini ditulis, masih belum selesai. Kedepannya KWT Sekar Melati berharap dapat membuka outlet di tempat yang lebih strategis untuk memasarkan produk-produknya.
6
Lebih lanjut mengenai permasalahan ekologi terkait peledakan populasi eceng gondok, serta pemecahan masalahanya baik secara mekanik, kimia dan biologi dapat membaca kajian Soeprobowati (2012), Mitigasi Danau Eutrofik : Studi Kasus Danau Rawapening. 7 Wawancara dengan beberapa anggota KWT Sekar Melati, pada 10 Januari 2015 di dusun Sukodono, Kec. Banyubiru, Kab Semarang.
66| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Secara singkat, permasalahan KWT Sekar Melati dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini : Tabel 1 Permasalahan yang dialami KWT Sekar Melati dan Penyebabnya No
Permasalahan
Penyebab Rendahnya kualitas SDM
1.
Rendahnya kemampuan produksi
anggota; Rendahnya peralatan (teknologi) produksi Keterbatasan modal;
2.
Ketidaksadaran akan pentingnya
Tidak memiliki badan hukum
badan hukum untuk pengembangan usaha
3. 4.
Keterbatasan modal; Rendahnya
Terbatasnya kemampuan pemasaran
kualitas SDM anggota
Pencarian eceng gondok terhenti
Kesulitan untuk mengeringkan
pada musim hujan
eceng gondok C. PENUTUP
Masyarakat yang hidup di sekitar Rawapening saat ini sedang menghadapi permasalahan yang mendesak dari dua sisi. Sisi pertama adalah permasalahan ekonomi termasuk kemiskinan dan pengangguran, sisi sebaliknya adalah permasalahan ekologi akibat limbah yang membuat populasi eceng gondok meledak disertai terjadinya proses pendangkalan. KWT Sekar Melati adalah kelompok perempuan di Banyubiru yang berupaya untuk meningkatkan
hajat
hidup,
demi
memenuhi
kebutuhan
sehari-hari
keluarganya dengan mengolah eceng gondok menjadi produk siap jual. Dengan demikian, selain didasari atas murni motif ekonomi, perempuan Banyubiru secara tidak langsung telah melakukan upaya yang dapat 67| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
membantu permasalahan ekologis di Rawapening dengan menggunakan eceng gondok yang menjadi bahan baku usahanya. Walau berdampak secara ekonomi, sayangnya upaya yang mereka lakukan tidak memberikan dampak yang cukup kepada kondisi ekologi danau. Populasi eceng gondok di Rawapening secara empirik tidak berkurang secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produksi KWT Sekar Melati akibat keterbatasan modal dan rendahnya keahlian anggota KWT Sekar Melati. Padahal jika dikelola dengan baik, upaya yang dilakukan dapat lebih membantu perekonomian masyarakat dan membantu mengurangi populasi eceng gondok. KWT Sekar Melati adalah contoh yang baik tentang bagaimana perempuan berperan aktif dalam wacana permasalahan lingkungan hidup di sekitarnya. Pemerintah dalam kasus ini perlu mengambil langkah untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi-ekologi di Rawapening. Penulis kemudian menyarankan beberapa hal terhadap pemberdayaan KWT Sekar Melati, antara lain : 1) pemberian modal dan pendampingan usaha bagi KWT Sekar Melati dan kelompok usaha masyarakat lain di Rawapening, khususnya usaha kerajinan eceng gondok agar peningkatan populasi eceng gondok dapat ditekan, 2) memberikan bantuan pemasaran baik dalam bentuk katalog dan baliho, serta pembuatan outlet, 3) memberikan peralatan pengering eceng gondok dengan daya listrik lebih rendah, dan 4) memperkenalkan teknik dan peralatan, serta modal untuk pengambilan eceng gondok yang lebih ramah lingkugnan sehingga pencari eceng gondok tidak membuang sisa eceng gondok ke dasar danau. Untuk perawatan ekologi danau, penulis menyarankan antara lain: 1) pembuatan pupuk dari perakaran eceng gondok dan endapan danau untuk mengurangi pendangkalan danau, 2) mencegah perluasan lahan sawah yang menjorok ke tengah-tengah danau Rawapening untuk mempertahankan luas danau, 3) reboisasi dan mempertahankan kehijauan DTA di hulu untuk 68| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
meminimalisir endapan ke hilir (Danau Rawapening). Aktivitas masyarakat sekitar dan pengunjung Danau Rawapening sangat mempengaruhi kualitas danau dan kualitas hidup masyarakat. Harapannya, dengan adanya interaksi antara alam dan manusia yang lebih sehat, tercipta ekosistem Rawapening dan ekonomi masyarakat sekitar yang lebih adil dan berkelanjutan, baik lakilaki dan perempuan. Daftar Pustaka Astuti, Tri Marhaeni Pudji. 2012. ―Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam Lingkungan‖ dalam Indonesian Journal of Conservation Vol. 1 No.1 Juni 2012. Hal. 49-60. Asriani, Desintha D. 2015. ―Perempuan Molo Merawat Tubuh & Alam: Aleta Baun, Paham Nifu & Pegunungan Mutis‖ dalam Jurnal Perempuan Vol. 20 No. 3 Agustus 2015. Hal. 31-44. Soeprobowati, Tri Retnaningsih. 2012. ―Mitigasi Danau Eutrofik : Studi Kasus Danau Rawapening‖. Makalah. Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012. Mochtar, Tasambar. 2004. ―Studi Optimalisasi Potensi di Kawasan Rawapening‖. Balitbang Provinsi Jateng. Semarang. LIPI.
―Danau
Rawapening‖
diakses
dari
http://limnologi.lipi.go.id/danau/profil.php?id_danau=jaw_rwpg&tab =gambaran%20umum pada 16 Desember 2015. Wulandari, Natalia. 2013. ―Kajian Nilai Ekonomis Dan Persepsi Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Eceng Gondok Di Desa Rowoboni Kabupaten Semarang Tahun 2013‖. Jurnal Ilmu Ekonomi, Hal. 1-10.
69| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
70| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Istri Sebagai Pekerja Utama Bidang Pertanian pada Masyarakat Melayu di Sambas, Kalimantan Barat Atem Kornadi Mahasiswa Program Sosiologi Pasca Sarjana Universitas Padjajaran
K
esetaraan gender maupun perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan memang sedang banyak dibicarakan saat ini. Seperti diketahui banyak pernyataan maupun pemahaman yang beredar luas
saat ini yang menyatakan perempuan memiliki posisi lebih rendah dibanding laki-laki, ruang lingkup kerja perempuan identik dengan bidang-bidang domestik, yakni memasak, mengurus anak dan keluarga serta kegiatankegiatan yang tidak memerlukan kekuatan fisik seperti laki-laki. Perempuan identik dengan sifatnya yang feminin sedangkan laki-laki maskulin. Kedua pernyataan itu sudah tertanam jauh di dasar pemikiran masyarakat dan membudaya hingga saat ini. Dangkalnya pemahaman mengenai konsep gender
mengakibatkan banyak
kalangan masyarakat—termasuk
kaum
intelektual itu sendiri—yang menganggap sama antara konsep gender dan jenis kelamin. Pemahaman yang demikian akan membentuk pemikiran-pemikiran yang tidak tepat. Seperti yang diungkapkan oleh Fakih (2005), ―Perbedaan gender yang berdasar pada anggapan dan penilian oleh konstruksi sosial pada akhirnya menimbulkan sifat atau stereotip yang terkukuhkan sebagai kodrat kultural, dan dalam proses yang panjang telah mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan‖ (p. 147-151). 71| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Oleh karena itu pemahaman yang tidak tepat tersebut perlu diluruskan, setidaknya perlu diketahui mengenai perbedaan antara gender dan jenis kelamin (sex). Ada perbedaan pengertian antara keduanya. Istilah gender menurut Sugandi adalah ―suatu sistem hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang tidak diterapkan secara biologis, kodrati atau alami,
melainkan merupakan rekayasa sosial berdasar nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat dan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial politik budaya, hankam dan iptek‖ (Anwar, 2007, p. 84). Sebaliknya, jenis kelamin (sex) sendiri merupakan suatu yang sudah ada secara alami dan merupakan kodrat masing-masing individu, seperti perempuan secara biologis dengan organ reproduksinya, bisa hamil dan menyusui. Perbedaan biologis tersebut seharusnya tidak menimbulkan kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi terdapat konstruksi budaya yang membuat posisi perempuan sebagai subordinat lakilaki, yang muncul dalam istilah-istilah yang menunjukkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, yang paling sering didengar ialah patriarki. Istilah ini mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat (Mosse, 2007). Konsep patriarki ini juga ada dalam budaya masyarakat Indonesia, yang berarti kebebasan perempuan masih terhalang dengan nilai-nilai budaya yang menempatkan perempuan dengan peran dan status sebagai istri yang diatur sepenuhnya oleh suami. Dengan kata lain istri harus mendapatkan izin suami untuk menjalankan peran dan aktivitas di ruang publik. Hal ini yang selanjutnya semakin membuat perempuan berada dalam posisi subordinat di dalam keluarga, kerja seorang istri hanya berada pada bidang-bidang rumah tangga saja, seperti menyiapkan makanan, mencuci pakaian, merawat anak, dan 72| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
sebagainya, sedangkan tugas suami sebagai pencari nafkah sebagai sumber penghasilan utama bagi keluarga. Perempuan Dominan dalam Pertanian Sebenarnya pemahaman mengenai subordinasi perempuan dan superioritas laki-laki harus digeser sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis saat ini. Pemikiran-pemikiran yang selalu menempatkan peran laki-laki lebih utama dibanding perempuan juga dapat dimentahkan dengan adanya fenomena-fenomena di sejumlah masyarakat dimana laki-laki tidak selamanya berperan melebihi perempuan. Misalnya yang terjadi dikalangan istri dalam masyarakat Melayu yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di Dusun Semayong Desa Sungai Kumpai Kecamatan Teluk Keramat. Laki-laki (suami) pada umumnya dalam mengelola pertanian memiliki peran yang lebih dominan dibanding istri, kegiatan istri tidak tampak begitu menonjol, hanya sebagai pendamping suami untuk melakukan kegiatankegiatan yang lebih ringan, misalnya, mengantarkan makanan untuk suami ke sawah/ladang, atau melakukan kegiatan memanen padi. Namun tidak demikian halnya dengan para istri di Dusun Semayong yang keterlibatannya di bidang pertanian khususnya pertanian padi di ladang jauh lebih dominan dibanding para suami. Dapat dikatakan bahwa istri ialah pekerja utama dalam mengelola ladang. Pekerjaan yang dilakukan para istri tidak sebatas kegiatankegiatan ringan, setiap tahap dalam pengelolaan pertanian di ladang tidak luput dari kontribusi istri, berbanding terbalik dengan kontribusi suami yang secara umum jauh lebih sedikit dan hal ini sudah berlangsung sejak lama. Adapun kegiatan atau aktivitas pertanian yang dilakukan para istri di ladang sangat beragam dan tentunya sangat menguras waktu dan tenaga mereka. Peran yang dilakukan istri dapat dijadikan indikator berhasil atau tidaknya pertanian yang dikerjakan. Sangat jarang sekali istri tidak terlibat 73| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan di ladang. Hampir semua istri pernah melakukan segala aktivitas yang berhubungan dengan pengelolan pertanian, mulai dari membuka lahan, menyemai benih, menanam, merawat, memanen dan bahkan mengangkut hasil panen ke rumah atau tempat penyimpanan. Keterlibatan suami sangat jarang, jika ada itupun hanya pada kegiatankegiatan tertentu seperti membunuh gulma melalui penyemprotan dan membawa hasil panen, sedikit sekali para suami yang secara penuh bekerja di ladang. Secara umum pekerjaan pertanian ladang di Dusun Semayong memang didominasi oleh perempuan terutama para istri. Perempuan Dominan dalam Pertanian Fenomena di atas adalah salah satu contoh bahwa tidak selamanya anggapan atau asumsi mengenai peran perempuan yang selalu menjadi sekunder atau yang kedua terjadi di lapangan. Hanya saja tentu masih ada bias antara pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Pekerjaan yang dilakukan perempuan banyak yang tidak dianggap. Ini berkaitan dengan pandangan umum mengenai pekerjaan yang dinilai dari segi ekonomi, seberapa besar nilai ekonomi yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut. Sehingga pekerjaan yang banyak dilakukan perempuan seperti pekerjaan-pekerjaan domestik di rumah tidak dipandang sebagai pekerjaan melainkan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang istri. Dalam kenyataannya seseorang bisa melakukan kerja upahan dan kerja bukan upahan sekaligus, ia bisa berada dalam hubungan kerja yang berbedabeda. Tidak bisa dikatakan hanya melakukan kerja bukan upahan terutama oleh perempuan karena dalam bentuk-bentuk masyarakat atau sistem ekonomi tertentu kerja bukan-upahan merupakan bentuk kerja yang umum, baik oleh laki-laki maupun perempuan (Saptari dan Holzner, 1997). 74| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Jadi pada dasarnya kerja tidak dapat ditentukan oleh seberapa besar nominal yang dapat dihasilkan atau diterima, tetapi lebih pada bentuk hal-hal apa yang harus dilakukan untuk dapat memenuhi atau dapat menunjang keberlangsungan hidupnya. Begitu juga mengenai pandangan terhadap perempuan yang selalu diposisikan di bawah laki-laki dalam semua hal, dalam kenyataannya di beberapa bidang dan di beberapa daerah perempuan jauh lebih berperan dibanding laki-laki. Tidak hanya sebatas peran dalam ruang domestik akan tetapi juga ruang publik. Maka dari itu seharusnya perbedaan jenis kelamin bukanlah penentu utama dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Daftar Pustaka Anwar. (2007). Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial Melalui Pebelajaran Vocational Skill Pada Keluarga Nelayan). Bandung: Alfabeta. Mansour Fakih. (2005).
Analisis
Gender dan Transformasi
Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mosse, J.C. (2007). Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna Saptari & Brigitte, Holzner. (1997). Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial, Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti untuk Yayasan Kalyanamitra.
75| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
76| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Merawat Bumi Alor Melalui Ingatan Perempuan Indriyani Sugiharto Mahasiswa Fakultas Filsafat, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta
S
ebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sudah menempuh lebih dari 100 sks, saya wajib mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) sebagai salah satu syarat kelulusan. Bagi sebagian besar
mahasiswa UGM, KKN menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu. Kami diperbolehkan membentuk tim sendiri dan memilih lokasi yang kami inginkan, di pelosok manapun dari Aceh sampai Papua. Saya belajar di Fakultas Filsafat, yang termasuk di dalam klaster Sosio-Humaniora. Oleh karena itu, letak fakultas saya berdekatan dengan kampus Sosio-Humaniora lainnya seperti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Hukum, Ilmu Budaya, Ekonomika dan Bisnis serta Psikologi. Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa saya jarang bertemu dengan mahasiswa dari klaster lain seperti Agro, Kesehatan dan Teknik. Melalui KKN inilah kami, seluruh mahasiswa UGM dari berbagai klaster disatukan dalam berbagai tim yang terdiri dari 20-30 mahasiswa untuk belajar pada masyarakat selama kurang lebih 50 hari. Saya mengikuti KKN UGM periode 2013 di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Bersama dengan 27 rekan dari tiga klaster yaitu Sosio-Humaniora, Agro dan Teknik, tim KKN kami mengusung tema ―Inventarisasi Budaya‖. Untuk sampai ke Alor, kami menghabiskan waktu 2-3 hari perjalanan dari Yogyakarta. Memang terdengar sangat lama, dan sesungguhnya ada cara yang lebih cepat untuk menuju ke Alor. Namun setelah melalui jalur udara dari 77| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Surabaya menuju Kupang, kami ber 27 dan satu dosen pemimbing lapangan memilih jalur laut selama 18 jam dari Kota Kupang menuju Pulau Alor. Sesampainya di Alor, sebagian besar dari kami yang belum pernah bepergian ke Indonesia bagian Tengah atau Timur, merasa belum bisa beradaptasi dengan kondisi alam dan masyarakat setempat. Masyarakat Alor masih memelihara adat dan tradisi dari leluhurnya. Menurut tradisi yang ada, setiap tamu yang akan tinggal beberapa waktu di sana harus disambut dengan baik dan ―diangkat‖ menjadi keluarga. Sistem ―anak angkat‖ yang mengharuskan kami terpisah satu sama lain dan tinggal bersama orang tua angkat masing-masing, sangat membantu proses adaptasi kami. Saya tinggal di Desa Sebanjar, Kecamatan Alor Barat Laut dan diangkat anak oleh keluarga Djasa Samiun. Selama hampir lima puluh hari tinggal bersama, saya mengamati keluarga saya hidup dengan cara yang sederhana serta selalu mematuhi adat istiadat yang berlaku. Bapak angkat saya sangat disegani oleh anggota keluarga lainnya di rumah. Bapak mempunyai dua istri, saya memanggilnya dengan sebutan Mama Kecil dan Mama Besar karena ukuran tubuh mereka yang berbeda cukup signifikan. Baru beberapa hari tinggal bersama, saya merasa sedikit aneh dan kurang paham dengan cara hidup keluarga angkat saya, yang mungkin juga merepresentasikan cara hidup masyarakat Alor. Bapak saya lebih banyak di rumah untuk menonton televisi atau duduk di pinggiran rumah. Sesekali bapak pergi beberapa jam dan kembali lagi ke rumah, namun hal itu jarang terjadi. Sedangkan dua mama angkat saya terlihat lebih sering di rumah kecuali pagi hari. Mama Kecil banyak menghabiskan waktunya mengurus jagung-jagung dalam ―rumah lumbung‖ yang sisanya digantung di atap dapur. Sedangkan Mama Besar bertugas mengurus kebun sayuran di samping dan belakang rumah. Disamping itu, mereka berdua juga mengurus beberapa pekerjaan rumah lainnya seperti memasak, mencuci atau membersihkan rumah. 78| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Waktu KKN kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadhan. Terdapat dua kepercayaan yang dianut mayoritas masyarakat Alor yaitu, Islam dan Kristen. Orang islam tinggal di pesisir, sedangkan orang kristen tinggal di gunung. Kami tinggal di pesisir, oleh karena itu kami yang sebagian besar muslim menjalankan ibadah dan berbagai perayaan bulan Ramadhan bersama warga. Terdapat kebiasaan atau mungkin bisa disebut tradisi masyarakat Alor untuk berkumpul, berbincang dan makan di dalam masjid setelah salat tarawih. Saya dan teman-teman lain memutuskan ikut berbincang-bincang di dalam masjid. Saya baru sadar kalau tidak ada perempuan lain yang ikut duduk di dalam masjid selain saya dan teman perempuan lain dari tim KKN saya. Setelah mengamati beberapa saat, yang menjadi perhatian saya adalah beban para mama dalam kebiasaan ini. Para mama menyiapkan makanan di dapur-dapur, lalu menyajikannya ke dalam masjid agar bapak-bapak bisa memakannya sambil mengobrol. Saya melihat beberapa mama hanya berdiri di belakang jendela masjid sambil melihat kami yang di dalam masjid berbincang. Setelah kami selesai berbincang, barulah para mama masuk untuk membereskan piring dan makan bila mungkin ada yang tersisa. Karena rasa penasaran saya pada cara hidup masyarakat Alor, saya menanyakan pada teman-teman lain bagaimana pengalaman mereka tinggal bersama keluarga angkatnya. Kebanyakan dari keluarga teman-teman saya juga memiliki pola yang sama, yaitu peran mama lebih ―aktif‖ dalam mengurus rumah tangga. Memang ada beberapa yang tidak, namun hanya sedikit di antara keluarga angkat kami. Terkadang Mama Besar membawa saya jalan-jalan. Beberapa kali kami pergi ke pasar tradisional yang diadakan hanya dua kali seminggu. Sesekali mama juga membawa saya ke rumah perempuan penenun di dekat rumah pada siang hari. Dan setiap sore sebelum waktu buka puasa, mama selalu mengajak saya memasak. Mama memperlihatkan saya bagaimana memilih sayur yang baik, memetik buah, menumbuk jagung atau mengolah hasil 79| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
tangkapan ikan dari laut. Saya yang sebelumnya tidak bisa memasak, dipaksa mama belajar mengolah dedaunan menjadi sup yang bisa dimakan, menumbuk biji kenari menjadi sepotong kue, serta mol (sejenis menggiling) jagung supaya bisa dicampur dengan beras untuk ditanak. Setiap hari mama selalu membangunkan saya dari tidur siang untuk memasak karena dia memahami memasak sebagai kodrat perempuan. Kehidupan tidak akan bisa berjalan bila manusia tidak punya energi, maka manusia harus makan dan minum. Uniknya, kemampuan mengolah makanan menurutnya diturunkan sebagai kerja perempuan. Semakin lama saya tinggal, semakin saya mengagumi mama angkat saya dan perempuan Alor lainnya. Dipertengahan KKN, saya menderita sakit perut yang lumayan hebat. Saya pikir, mungkin disebabkan karena sambal Alor yang sangat pedas dan asam, yang saya campur dengan sup daun kelor tiap harinya. Beberapa teman akhirnya menemani saya untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Hanya ada satu Rumah Sakit Pemerintah di Pulau Alor yang jaraknya sekitar 1-2 jam dari desa saya. Karena oto (angkutan umum) sangat jarang melewati desa kami, maka seringkali kami menyewa sepeda motor warga untuk pergi ke kota. Sesampainya di rumah sakit, saya berkonsultasi dengan dokter muda yang kebetulan sama-sama dari Yogyakarta. Setelah memeriksa saya, dokter bilang mungkin gejala usus buntu. Namun dia hanya memberi beberapa antibiotik dan penahan rasa sakit, yang sewaktu saya tebus tidak lebih dari sembilan ribu rupiah. Saya menanyakan apakah mungkin dilakukan operasi? Dia menyarankan untuk tidak buru-buru melakukan operasi karena tidak ada satupun dokter spesialis di Pulau Alor. Saya sungguh kaget, entah karena waktu itu menjelang Idul Fitri sehingga para dokter yang sebagian besar perantau pulang ke Jawa, atau memang tidak pernah ada sama sekali? Saya lupa menanyakannya. Walaupun sudah mendapat obat dari dokter, saya masih was-was bila penyakit saya tidak kunjung membaik. Tidak disengaja saya bertemu dengan 80| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
seorang mama sepulang dari rumah sakit. Berawal dari perkenalan dan perbincangan sederhana, saya menceritakan sakit yang sedang saya alami dibagian perut kanan. Saya sedikit kaget dan kurang percaya ketika mama tersebut bilang, dia tahu obat untuk penyakit saya. Dia melihat ke sekeliling dan mencabut rerumputan berwarna ungu dan memberikan kepada saya untuk dijemur hingga kering, lalu direbus dengan pinang kering. Entah dari mana resep tersebut dia dapatkan, namun saya pikir tidak ada salahnya mencoba obat tradisional setempat. Saya tidak begitu khawatir meminumnya ketika mama tersebut bilang dia sendiri pernah mencobanya dan berhasil. Alhasil, percaya tidak percaya, sejak hari itu saya tidak lagi merasa sakit di perut bagian kanan. Pengalaman berinteraksi dengan perempuan Alor mengingatkan saya kepada tulisan Vandana Shiva yang menyuarakan ekofeminisme. Dalam salah satu bukunya, Bebas dari Pembangunan, dia bicara mengenai pekerjaan perempuan di India untuk memproduksi dan mereproduksi kehidupan yang akhirnya dianggap kurang produktif. Di Alor, perempuanlah yang mewarisi kemampuan mengambil biji jagung langsung dari wajan panas yang terbuat dari tanah liat, lalu menumbuknya di atas batu, serta menjadikannya jagung titi yang selalu tersedia setiap sore di atas meja makan. Hanya para mama yang mampu mengingat bagaimana daun kelor yang tumbuh di depan rumah bisa jadi santapan lezat. Melalui perempuan juga, masyarakat Alor mengingat bagaimana cara meramu rumput, daun atau pinang menjadi obat yang bisa menyembuhkan sakit. Memang, kita tidak bisa mengesampingkan peran bapak seperti, memancing atau menombak ikan di laut. Namun perlu diingat, para mama yang mempunyai ingatan dan pengetahuan untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang bisa dimakan. Menurut Shiva, pekerjaan-pekerjaan yang seringkali tidak tampak ini sangat erat dengan alam dan kebutuhan. Perempuan melestarikan alam melalui pemeliharaan siklus ekologi, melestarikan kehidupan manusia melalui 81| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar akan pangan, gizi dan air. Namun, perendahan serta kurangnya penghargaan terhadap pekerjaan perempuan tersebut yang akhirnya menciptakan pemahaman akan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki. Tinggal bersama masyarakat selama hampir dua bulan, menunjukkan kepada saya bahwa perempuan Alor mempunyai peran yang signifikan dalam merawat alam. Walaupun, akhirnya saya sendiri mempertanyakan rasa kagum saya pada ―kerja perempuan‖ yang menurut mereka sudah diwariskan dan dijalankan sejak lama. Seperti dalam kebiasaan setelah salat tarawih, perempuan tidak diizinkan atau sebaiknya tidak ikut berkumpul di dalam masjid. Pada saat itu, walaupun saya perempuan, saya dibiarkan masuk. Menurut pendapat pribadi saya, hal tersebut mungkin karena mereka menilai saya sebagai ―perempuan dari Jawa‖ yang dianggap berpendidikan. Saya berpikir, apakah bila semua perempuan Alor mendapatkan akses pendidikan tinggi seperti saya, mereka juga akan mendapatkan hak istimewa seperti saya untuk duduk berbincang di dalam masjid setelah salat tarawih? Pada akhirnya saya buntu pada pemikiran untuk membiarkan kerja perempuan di Alor— dengan banyaknya beban kerja serta kurangnya penghargaan pada perempuan—sebagai usaha penghargaan dan pelestarian tradisi, atau memberikan pemahaman mengenai pilihan untuk menentukan sendiri kerja seperti apa yang masing-masing mereka inginkan? Daftar Pustaka Shiva, Vandana. 1997. Bebas dari Pembangunam : Pembangunan, Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
82| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
83| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Privatisasi Air dan Dampaknya Terhadap Perempuan di Muara Baru, Jakarta Utara Athina Triyananda Lupi Project Officer Advocacy di SNV Netherlands Development Organization
S
iang yang panas membakar, tak mengurungkan niat Ibu Lina, seorang ibu rumah tangga di Muara Baru, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, untuk pergi membeli air demi memenuhi kebutuhan air rumah
tangganya. Rupanya, di Muara Baru, air bukanlah barang yang murah dan mudah didapatkan. Warga di sana menderita kelangkaan air sepanjang tahun. Bagaimana tidak, kebanyakan warga mengaku, pada siang hari air sangat sulit didapatkan. Akses warga terhadap air justru lebih terbuka pada malam hingga dini hari. Akses terhadap air yang layak guna semakin terasa sulit pasca privatisasi PDAM PAM Jaya tahun 1998. Kini, pengelolaan air minum Jakarta diserahkan kepada PT PALYJA (PAM LyonnaiseJaya) dan PT Aetra Air Jakarta, sebagai mitra swasta PAM Jaya. Pasca pengelolaan pelayanan air oleh swasta, ketidakadilan bagi warga miskin semakin terasa. Sulitnya akses terhadap air membebani warga Muara Baru yang tergolong sebagai masyarakat menengah bawah. Mereka tidak punya pilihan lain selain membeli air kepada sumber-sumber informal, seperti pedagang air keliling dan hidran umum, dengan harga yang berkali lipat lebih mahal. Warga Muara Baru membeli air pada pedagang air keliling dengan harga Rp 2-3 ribu/pikul, atau setara 40 liter. Itu berarti mereka membeli air dengan harga Rp 50-75 84| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
ribu/m3. Tentu angka yang jauh lebih mahal dari harga yang seharusnya mereka bayar, jika mereka mendapatkan akses yang lancar dari jaringan pipa perumahan, yakni sebesar Rp 1.050/m 3. Bahkan, warga yang tinggal di perumahan mewah pun tidak membayar air dengan harga mahal seperti yang dibayarkan oleh warga Muara Baru. Dampak privatisasi air memberatkan masyarakat menengah bawah, terutama perempuan pada khususnya, yang dalam pengalaman di berbagai negara berkembang merupakan pihak yang paling dirugikan. Perempuan berperan sentral dalam urusan rumah tangganya, termasuk urusan pemenuhan kebutuhan atas air. Di kebanyakan negara berkembang, perempuan harus berjalan belasan kilometer untuk mendapatkan air bersih, dan menimba belasan kilogram air dalam sekali perjalanannya untuk mencari air bersih. Vandana Shiva, seorang penulis, aktivis lingkungan, dan aktivis perempuan dari India menyoroti bahwa pemerintahan kini telah dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar. Kini, ada empat bidang baru yang dibawa ke dalam perdagangan yakni, pertanian, intelektual, layanan dan investasi. Layanan, dalam hal ini, termasuk didalamnya adalah pelayanan air. Vandana Shiva menekankan bahwa air bukan barang substitusi, akibatnya ketika terjadi kelangkaan atas air, berarti masyarakat harus tetap mencari sumber alternatif lainnya. Kajian Shiva semakin menegaskan bahwa yang paling terkena dampak dari privatisasi dalam layanan air ini adalah perempuan. Persoalan kronis seperti jauhnya jarak ke sumber air, distribusi air yang buruk, kenaikan tarif air, dan lainnya, membuktikan kebijakan privatisasi air tidak peka terhadap dimensi gender di masyarakat. Perusahaan privat pengelola air gagal meningkatkan akses masyarakat miskin dan perempuan terhadap air. Padahal air adalah hak asasi manusia. Hak atas air sebagai hak asasi, merupakan hak guna, artinya air bisa dimanfaatkan tapi tidak boleh dimiliki. Fakta bahwa hak atas air ada di dalam hukum-hukum 85| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
kuno, termasuk dalam dharmasastra dan hukum Islam. Kenyataan bahwa hak-hak itu masih terus eksis sebagai hukum adat atau kebiasaan di masa modern, secara jelas menghapus gambaran bahwa hak-hak atas air semata mata adalah hak legal, yaitu hak yang diberikan oleh negara atau hukum. Kembali ke potret keadaan di Muara Baru, terbukti akses terhadap air pasca privatisasi semakin sulit. Seluruh komponen masyarakat di Muara Baru merasakannya, menanggung
namun dampak
sangat buruknya
nyata
bahwa perempuan
kualitas
dan
kurangnya
lebih air
berat bersih.
Perempuanlah yang setiap hari wajib memastikan kebutuhan air rumah tangga terpenuhi demi mengurusi urusan rumah tangga, seperti mencuci, membersihkan rumah, memasak dan lain-lain. Baik mereka yang menjadi ibu rumah tangga, maupun perempuan yang bekerja di luar rumah, sama-sama bertanggung jawab atas pemenuhan air keluarga. Perempuan merasakan beban ganda karena pembagian kerja yang sangat bias gender dalam keluarga dimana laki-laki relatif bebas untuk mengejar aktivitas dalam waktu luang dan wanita yang bertanggung jawab untuk membesarkan anak, akuisisi dan persiapan makanan, dan tugas-tugas rumah tangga lainnya. Tidak peduli bagaimanapun keadaannya, bahkan ketika akses air sangat sulit, perempuan lah yang harus berjuang untuk itu. Merekalah yang harus menunggu aliran air hingga larut malam, sehingga keluarganya dapat menikmati air yang mencukupi. Menunggu aliran air hingga larut malam, bahkan terkadang hingga dini hari, merupakan aktivitas sehari-hari perempuan Muara Baru. Air hasil tampungan untuk keperluan air keluarga selama beberapa hari ini hanya keluar malam hingga dini hari, dan tak tentu waktunya. Ibu Alipah, salah satu ibu rumah tangga di Muara Baru, mengatakan: Satu bulan paling keluar (air) ya, dalam satu minggu adalah mati..setiap minggu paling keluar air satu kali, paling full deh 86| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
dua kali, ini udah lima hari ini baru keluar dua malem.. kadang udah lima hari ga keluar ya (air) kita pada ah siapa tau entar malem keluar, siapa tau entar malem keluar.. begadang situ rame situ sampe malem (ibu rumah tangga setempat), kadang sampe pagi, kalo udah jam empat ga keluar udah tinggal tidur.8 Ibu Siti Jubaidah, yang juga merupakan ibu rumah tangga di Muara Baru, juga mengakui bahwa air merupakan barang langka di Muara Baru. Ia mengatakan: Kadang jam 11 ga nyala kadang jam 2 baru ngalir, jam 3, ya ga tentu kita kan dapet ga tentu sih air mah.. ya maksudnya biar malem yang tentu ya jamnya kan kita enak ya, kan kita kadang udah semaleman ampe pagi begadang takut lewat gitu air ya eh ga dapet..kadang kita begadang aja sampai sakit kepala, takutnya kalo kita ga begadang ga dapet (air).9 ‗Hak Perempuan atas Air‘ sebenarnya sudah diatur dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Konvensi tersebut, kendati tidak merinci secara spesifik bentukbentuk diskriminasi kepada perempuan, namun secara tegas menyebutkan bahwa harus ada jaminan akan hak perempuan untuk mendapatkan pelayanan secara layak, termasuk didalamnya pelayanan air. Hal tersebut disebutkan dalam pasal ke-14 poin (h) dalam konvensi tersebut: „Pihak negara harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan untuk memastikan, atas dasar kesetaraan 8 9
Wawancara dengan Ibu Alipah warga RT 7 Muara Baru, 4 Mei 2013. Wawancara dengan Ibu Siti Jubaidah warga RT 7 Muara Baru, 4 Mei 2013.
87| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
antara pria dan wanita, bahwa mereka berpartisipasi didalamnya, dan mendapat manfaat dari pembangunan pedesaan dan, khususnya, harus menjamin hak wanita yaitu: (h) Untuk menikmati kondisi kehidupan yang memadai, khususnya terkait dengan perumahan, sanitasi, listrik dan air minum, transportasi dan komunikasi.‟ Kenyataannya, sulitnya akses perempuan terhadap air tidak hanya dirasakan di daerah pedesaan saja. Pengalaman banyak daerah di perkotaan seperti Muara Baru menunjukkan, bagaimana perempuan miskin perkotaan merasakan hal yang sama. Permasalahan air menjadi semakin kompleks, karena tidak hanya terkait kepada ketersediaan air itu sendiri, namun juga kepada distribusinya. Diskriminasi dalam pelayanan air di Muara Baru, dapat disimpulkan secara sederhana terjadi karena tiga hal: pertama, adanya praktik mafia air, yang adalah para pengusaha hidran umum. Kelangkaan air di Muara Baru secara tidak langsung disebabkan oleh adanya hidran umum. Hidran umum adalah sumber air bagi pedagang eceran yang menjual air kepada warga Muara Baru. Pada awalnya, Palyja memasang hidran umum di wilayahwilayah yang belum terjangkau oleh jaringan perpipaan sebagai kompensasi. Namun, kini Muara Baru merupakan wilayah yang sudah memiliki jaringan perpipaaan, oleh sebab itu hidran umum seharusnya sudah tidak ada lagi di sana lantaran hidran umum dapat menyedot air dalam kapasitas besar. Ketika hidran umum menyedot air dalam kapasitas besar, maka air yang seharusnya mengalir ke pipa-pipa perumahan menjadi terkuras, hingga pada akhirnya habis sama sekali. Kedua, diskriminasi pelayanan terjadi karena adanya pembiaran oleh Palyja atas praktik mafia air di Muara Baru. Meski ilegal, kini pengusaha 88| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
hidran umum semakin berkembang pesat di sana. Tidak hanya hidran umum lama, namun hidran umum baru justru banyak bermunculan pasca pemasangan jaringan perpipaan ke rumah-rumah warga. Sebagaimana diakui oleh pihak Palyja, ketika ada upaya penutupan, para pengusaha hidran umum, seringkali menggunakan kekerasan guna mempertahankan usahanya tersebut. Mereka mempertahankan hidran umum karena usaha tersebut memberikan keuntungan yang cukup besar. Mafia air ini, mengonsumsi air dalam jumlah banyak untuk dijual, sehingga air yang seharusnya mengalir kepada pelanggan rumahan menjadi berkurang secara signifikan. Meski Palyja pernah beberapa kali berupaya untuk menutupnya, para pengusaha hidran umum terbukti masih menjamur di sana. Semakin banyaknya hidran umum yang dibuka di Muara Baru, mengindikasikan tidak signifikannya Palyja sebagai penyedia pelayanan air dalam upaya menjamin keadilan dalam distribusi air. Lantas, dimana peran pemerintah dalam hal ini? Bagaimana pemerintah melindungi warga Negara untuk mendapatkan barang kebutuhan paling mendasar dalam hidup? Tidak berperannnya pemerintah dalam proses pelayanan air menjadi faktor ketiga dalam terjadinya diskriminasi, yang pada akhirnya lebih membebani kaum perempuan. Padahal dalam CEDAW, konvensi internasional yang diratifikasi 184 negara sebagai anggotanya, termasuk Indonesia, dijelaskan bahwa pihak negara harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan menjamin hak perempuan atas air. Perhatian tersebut muncul sebagai indikasi banyaknya kasus perempuan yang tidak memiliki akses air bersih yang layak. Konvensi tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), merupakan realisasi atas hak-hak tersebut. CEDAW menegaskan bahwa merupakan tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa tidak ada otoritas publik yang boleh mendiskriminasi perempuan. 89| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Tentu bukanlah persoalan mudah untuk memenuhi kebutuhan warga Jakarta atas air. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan kuantitas air layak guna yang semakin menurun, tak bisa dipungkiri menjadi penghalang bagi Ibu Alipah dan ribuan warga lainnya untuk dapat mengakses air secara mudah. Namun, ketika pelayanan air diserahkan kepada swasta, pemerintah tidak lagi memiliki wewenang untuk mengawasi jalannya pelayanan air. Karena perusahaan swasta hanya terikat kepada hukum privat. Berbeda ketika pelayanan air masih dikelola oleh PAM Jaya, maka pemerintah provinsi dan pemerintah kota berhak untuk mengevaluasi kinerja PAM Jaya. Selama ini, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kota tidak dapat mengawasi dan menindaklanjuti keluhan masyarakat terkait pelayanan air, karena Palyja dan Aetra merupakan perusahaan swasta. Sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Walikota Jakarta Utara, Tri Kurniadi berikut: Kita, pemerintah kota, justru kesulitan dengan adanya seperti itu (privatisasi air)… kita kalo hanya sekedar keluhan paling kita sampaikan.. jadi memang pemerintah kota tidak mempunyai kewenangan apa-apa, dalam hal pendistribusian, pengawasan.. kita hanya sekedar mengordinasikan, terus kita undang dalam rapat. Palyja kita undang gimana kendalanya, nah yang paling utamanya adalah debit air memang rendah karena pasokannya memang sedikit ke sana.. Anda tulis saja kewenangan pemerintah tidak ada karena itu kan sudah swasta murni…10 Selama kurang lebih 16 tahun lamanya, warga Muara Baru menderita kelangkaan air, suara-suara untuk mengambil alih PT Palyja dan Aetra kini mulai menemukan titik cerah. Pemprov DKI telah menunjuk dua BUMD di bidang konstruksi, yaitu PT Jakarta Propertindo dan PT Pembangunan Jaya 10
Wawancara dengan Wakil Walikota Jakarta Utara, 25 April 2013.
90| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
dalam usaha mengakuisisi saham Palyja dari kepemilikan Astratel dan Suez Environment. PT Pembangunan Jaya rencananya akan membeli sebanyak 51 persen saham Suez Environment, sedangkan PT Jakarta Propertindo mengakuisisi 49 persen saham Astratel. Jika akuisisi ini berhasil, pemerintah akan mendapatkan kembali wewenangnya untuk mengawasi pelayanan air di DKI Jakarta. Pemprov DKI akan memiliki wewenang untuk mengendalikan para pimpinan BUMD yang menjalankan operator air minum tersebut. Sehingga jika pelayanannya buruk atau bahkan terjadi diskriminasi terhadap pelanggan, Pemprov DKI Jakarta memiliki hak untuk memutuskan kebijakan terhadapnya. Tidak ada yang bisa menjanjikan apakah seluruh warga di Jakarta dapat menikmati akses air yang mencukupi apabila pengelolaan air diserahkan kepada BUMD, mengingat pasokan air bersih baik secara kuantitas dan kualitas di Jakarta memang terus menurun. Namun, BUMD bertanggung jawab langsung kepada pemerintah daerah, dan pemerintah daerah bertanggung jawab langsung kepada warga Jakarta, sehingga ketidakadilan dapat diminimalisir semaksimal mungkin. Berbeda dari pihak swasta yang hanya bertanggung jawab kepada investor, sehingga kewajibannya hanyalah menjamin profit maksimal. Persoalan air bersih dan hak perempuan yang harus dilindungi negara harus segera dipecahkan oleh pemerintah, baik di tingkat kota maupun nasional, yang sedang membangun citra lebih berpihak kepada rakyat. Daftar Pustaka Vandana Shiva. 2002. Water War: Privatisasi, Profit, dan Polusi. South End Press. Kanada. CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Diakses dari http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/text/ econvention.htm. 91| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
Kompas. Ahok Senang Karyawan PAM Jaya Dukung Ambil Alih Palyja.. http://megapolitan.kompas.com/read/2014/04/25/1843441/Ahok.Se nang.Karyawan.PAM.Jaya.Dukung.Ambil.Alih.Palyja. (Diakses pada tanggal 24 Agustus 2013 pukul 10:21)
92| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6
2| J U R N A L E N T E R A N O 1 / 2 0 1 6