GAMBARAN PENERAPAN METODE SBAR DALAM KOMUNIKASI INTERDISIPLIN DI RUMAH SAKIT ROEMANI MUHAMMADIYAH SEMARANG
Manuskrip
Oleh : Ismiatun NIM : G2A214049
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2016
http://jurma.unimus.ac.id
http://jurma.unimus.ac.id
GAMBARAN PENERAPAN METODE SBAR DALAM KOMUNIKASI INTERDISIPLIN DI RUMAH SAKIT ROEMANI MUHAMMADIYAH SEMARANG Ismiatun¹, Tri Hartiti², Ernawati³ 1. Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan FIKKES UNIMUS,
[email protected] 2. Dosen Keperawatan FIKKES UNIMUS,
[email protected] 3. Dosen Keperawatan FIKKES UNIMUS,
[email protected]
Abstrak Komunikasi interdisiplin terhadap berbagai informasi mengenai perkembangan pasien merupakan komponen yang fundamental dalam perawatan pasien. Salah satu contoh komunikasi interdisiplin di rumah sakit adalah komunikasi perawat-dokter via telpon untuk melaporkan perkembangan pasien. JCI dan IHI menganjurkan pemakaian model komunikasi efektif SBAR dalam pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efektifitas komunikasi pada saat transfer informasi pasien antar profesi. Tujuan penelitian untuk mendeskriptifkan penerapan metode SBAR dalam komunikasi perawat-dokter via telpon di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang. Metode penelitian non eksperimen deskriptif retrospektif dengan pendekatan survei dan skala data kuatitatif. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perawat ruang rawat inap rumah sakit Roemani yang sudah menggunakan metode SBAR dengan jumlah sample 82 perawat. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah instrumen penelitian. Hasil penelitian menunjukkan komponen Situation dalam kategori lengkap, komponen Background dalam kategori tidak lengkap, komponen Assesment dalam kategori lengkap dan komponen Recommendation dalam kategori lengkap. Secara umum , penilaian kelengkapan tool komunikasi SBAR dalam kategori lengkap. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diharapkan pihak rumah sakit dapat menyusun SPO komunikasi via telpon dengan metode SBAR dan memberikan pelatihan komunikasi SBAR kepada seluruh perawat. Kata kunci : SBAR, Komunikasi Interdisplin __________________________________________________________________________________ DESCRIPTION OF APPLICATION SBAR METHOD IN INTERDICIPLIN COMMUNICATION AT ROEMANI MUHAMMADIYAH HOSPITAL SEMARANG Abstract Interdicipline communication toward various information about the development of patient was a component in patient’s treatment. One example of interdicipline communication in hospital was the communication of nurse-doctor via telephone to report the patient’s development. JCI and IHI suggest the use of effective communication model SBAR in the health service to increase the effectiveness of communicationn when transfer patient’s information between profession. Purpose of research to describe the application of SBAR method in the communication between nurse and doctor via telephone at Roemani Muhammadiyah Hospital Semarang. Method design of research was Non Experiment Descriptive Restrospective by using survei and qualitative scale. The population of this research was hopitalization nurse of Roemani Hospital which had been used SBAR method with the amount of sample was 82 nurses. The data collection technique of this research was research instrument. The result shows that situation component was in complete catagory, but background componentism uncomplete catagory, both assesment and recommendation component were in complete catagory. In general, the reseach tool completeness of communication SBAR was in complete catagory. Based on the result of this reseach, the reseacher hoped the hospital deputy can arrange SPO communication via telephone using SBAR method and give coaching about SBAR communication to all nurses. Keyword : SBAR, Interdicipline Communication
http://jurma.unimus.ac.id
PENDAHULUAN Prinsip dasar pelayanan kesehatan memandang bahwa keselamatan pasien merupakan hak bagi setiap pasien dalam menerima pelayanan kesehatan (Supinganto dkk., 2015). WHO Collaborating Center For Patient Safety Solution bekerjasama dengan Joint Commision International (JCI) pada tahun 2005 telah memasukkan masalah keselamatan pasien dengan menerbitkan enam program kegiatan keselamatan
pasien di rumah sakit . Salah satunya
adalah komunikasi efektif (WHO, 2007).
Komunikasi
terhadap berbagai informasi mengenai perkembangan pasien antar profesi
kesehatan di rumah sakit merupakan komponen yang fundamental dalam perawatan pasien (Riesenberg,2010). Komunikasi efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan dipahami oleh penerima akan mengurangi kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien. Maka dalam komunikasi efektif harus dibangun aspek kejelasan, ketepatan, sesuai dengan konteks baik bahasa dan informasi , alur yang sistematis dan budaya. Komunikasi efektif dapat dilakukan antar teman sejawat (dokter dengan dokter/ perawat dengan perawat) dan antar profesi (perawat dengan dokter). Salah satu contoh komunikasi perawat dengan dokter adalah ketika perawat menelpon dokter untuk melaporkan perkembangan kondisi pasien. Dalam proses komunikasi tersebut perlu adanya ketelitian dari perawat untuk menerima informasi / advis kolaborasi dari dokter. Sehingga perlu adanya perbaikan dalam model komunikasi antara perawat dengan dokter.
Pada tahun 2006 Institute of Medicine (IOM) menerbitkan angka kematian akibat Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) pada pasien rawat inap di seluruh Amerika Serikat berjumlah 1,5 juta per tahun. Publikasi oleh WHO pada tahun 2004, juga menemukan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dengan rentang 3,2% – 16,6 % pada rumah sakit diberbagai negara yaitu Amerika , Inggris, Denmark , dan Australia (Depkes RI, 2006). Data dari WHO pada tahun 2007 menyebutkan bahwa Komisi bersama Amerika Serikat antara tahun 1995 sampai 2006 terdapat 25000 – 30000 kejadian buruk yang dapat dicegah menyebabkan cacat permanen 11 %. Kejadian buruk ini adalah karena masalah komunikasi yang berbeda 6% dan juga tidak memadai tingkat keterampilannya.
Di Indonesia data tentang Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dan Kejadian Nyaris Cidera (KNC) masih langka , namun di lain pihak terjadi penuduhan “mal praktek“ yang belum tentu sesuai dengan pembuktian akhir. Oleh karena itu, sesuai dengan standart akreditasi 2012
http://jurma.unimus.ac.id
rumah sakit perlu melaksanakan program Sasaran Keselamatan Pasien (SKP), yang salah satu programnya adalah peningkatan komunikasi efektif .
Joint Commision International (JCI) dan Institute for Healthcare Improvement (IHI) menganjurkan pemakaian model komunikasi efektif Situation – Background – Assesment Recommendation (SBAR) dalam pelayanan kesehatan sebagai alat untuk meningkatkan efektifitas komunikasi pada saat tranfers informasi pasien antar profesi.
Berdasarkan penelitian Marjani (2015), didapatkan data bahwa dengan menggunakan metode komunikasi SBAR dalam dokumentasi timbang terima dapat menurunkan angka insiden keselamatan pasien. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Blom (2015) tentang penggunaan metode komunikasi SBAR dalam komunikasi antar tim kesehatan, yang menunjukkan hasil bahwa metode SBAR efektif
untuk transfer informasi pasien antar tim kesehatan yang
berpengaruh terhadap keselamatan pasien. Penelitian lain terkait komunikasi SBAR dilakukan oleh Supinganto (2015) yang hasilnya adalah metode komunikasi SBAR dapat menjadikan komunikasi perawat dalam kategori efektif. Dengan pelatihan komunikasi SBAR dapat meningkatkan motivasi dan psikomotor perawat, hal tersebut merupakan hasil penelitian Fitri pada tahun 2013. Dan bahkan secara spesifik penelitian dilakukan oleh Vardarman (2012) yang didapatkan hasil bahwa SBAR dapat berfungsi sebagai standart komunikasi antara perawat dengan dokter untuk transfer informasi pasien.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di rumah sakit Roemani Muhammadiyah Semarang, masih ditemukan adanya kesalahan dalam pengisian tool komunikasi SBAR perawat-dokter via telpon. Dari 10 dokumentasi rekam medis yang di observasi ada 50% komponen S (situation) yang sudah benar di isi, komponen B (background) benar 10%, komponen A (assessment) benar 20%, komponen R (recommendation) 90% . Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Penerapan Metode SBAR Dalam Komunikasi Interdisiplin Di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang”.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimen deskriptif retrospektif dengan pendekatan survei dan skala data kuantitatif. Data yang diambil adalah data sekunder berupa dokumentasi perawat di rekam medik terintegrasi pasien. Sampel adalah perawat ruang rawat inap yang sudah menerapkan metode SBAR dalam komunikasi perawat-dokter via telpon sejumlah 82
http://jurma.unimus.ac.id
responden, dengan metode systematic sample yaitu teknik pemilihan sampel dengan menggunakan prinsip proposional. (Notoadmodjo,2010). Proses penelitian dilakukan pada bulan Mei 2016 dengan cara melihat data rekam medis pasien rawat inap bulan Januari 2016 sampai dengan Maret 2016.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukan distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin sebagian besar perempuan yaitu 65 responden (79,3 %). Pendidikan responden sebagian besar D III Keperawatan sebanyak 78 responden (95,1 %). Masa kerja responden sebagian besar 1 tahun yaitu 19 responden (23,2 %). Dan Rata-rata umur responden adalah 28,5 tahun dengan umur termuda 22 tahun dan tertua 48 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian tool komunikasi SBAR komponen Situation (kondisi terkini yang terjadi pada pasien) tabel 4.5, pada penilaian I didapatkan hasil sebagian besar tidak lengkap yaitu 51 responden (62,2 %) dengan nilai rata-rata 4,463. Penilaian II sebagian besar lengkap yaitu 58 responden (70,7 %) dengan nilai rata-rata 4,878. Dan penilaian III sebagian besar lengkap yaitu 68 responden (82,9 %) dengan nilai rata-rata 5,354. Dari ketiga penilaian tersebut menunjukkan bahwa pengisian tool komponen situation dalam kategori lengkap. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Supinganto (2015). Pada komponen ini perawat akan menyebutkan dan mendokumentasikan identitas pasien, keluhan utama pasien, tanda-tanda vital (tensi, nadi, suhu, skala nyeri, RR dan juga saturasi oksigen). Walaupun hasil penelitan komponen situation dalam kategori lengkap tetapi nilai rata-rata paling tinggi hanya 5,354 dan nilai tertinggi hanya 8 yang seharusnya 10. Ini berarti masih banyak komponen situation yang didokumentasikan dengan tidak lengkap sehingga hanya mendapatkan nilai 1 (ada tidak lengkap). Terutama komponen tanda-tanda vital . Pada komponen ini perawat tidak mendokumentasikan tanda-tanda vital secara komplit yaitu suhu, nadi, tensi dan RR. Pada komponen saturasi oksigen dan skala nyeri banyak yang mendapat nilai 0 (tidak ada). Padahal data-data tersebut sangat penting disampaikan saat lapor kondisi pasien terkini. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya perawat tidak memahami data hemodinamik apa saja yang harus dilaporkan, atau data hemodinamik tersebut sudah dilaporkan tapi tidak didokukmentasikan.
Hasil penelitian tool komunikasi SBAR komponen Background (riwayat penyakit dan ringkasan dari seluruh situasi pasien) tabel 4.6, pada penilaian I didapatkan semua tidak
http://jurma.unimus.ac.id
lengkap yaitu 82 responden (100%) dengan nilai rata-rata 4,744. Penilaian II sebagian besar tidak lengkap yaitu 81 responden (98,8 %) dengan nilai rata-rata 7,476. Dan penilaian III sebagian besar tidak lengkap yaitu 79 responden (96,3 %) dengan nilai rata-rata 8,573. Dari ketiga penilaian menunjukkan bahwa pengisian tool komponen background dalam kategori tidak lengkap. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Supinganto (2015). Dalam komponen ini perawat mendokumentasikan riwayat penyakit sekarang, diagnosa medis, riwayat alergi, riwayat pembedahan, infus, NGT, DC, pemberian obat yang sudah diberikan, hasil diagnostik, GCS, hasil pemeriksaan fisik. Sebagian besar hasil penilaian komponen background dalam kategori tidak lengkap. Nilai maximal dari ketiga penilaian hanya 18 yang seharusnya 30. Komponen yang mendapat nilai 0 (tidak ada) antara lain dokumentasi tentang GCS, status nutrisi, hasil pemeriksaan fisik nyeri, eliminasi, riwayat alergi, riwayat pembedahan. Data-data tersebut seharusnya sudah didapatkan perawat sebelum lapor kondisi pasien ke dokter karena untuk pasien baru perawat wajib melakukan pengkajian awal rawat inap saat pasien tiba diruangan. Dan data yang ada di komponen background sebagian besar adalah data pengkajian awal rawat inap. Hal ini menunjukkan masih banyak komponen background yang tidak disampaikan dalam komunikasi dengan dokter via telpon. Sehingga informasi kondisi pasien yang disampaikan tidak lengkap. Dengan tidak lengkapnya informasi yang disampaikan saat melaporkan kondisi pasien maka akan memungkinkan rekomendasi / advis dari dokter juga tidak lengkap. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap keselamatan pasien. Seperti hasil penelitian Blom (2015) yang menunjukkan bahwa metode komunikasi SBAR efektif untuk transfer informasi pasien antar tim kesehatan yang berpengaruh terhadap keselamatan pasien. Tidak lengkapnya komponen background dipengaruhi beberapa faktor antara lain ratio perawat dan pasien yang tidak sesuai, pengalaman perawat mengelola pasien masih kurang karena sebagian besar responden mempunyai pengalaman kerja 1 tahun dan perawat tidak melakukan dokumentasi komponen backgound karena sebagian besar data sudah ada di lembar pengkajian awal pasien. Sehingga perawat hanya melaporkan hasil pengkajian dengan melihat lembar pengkajian awal.
Hasil penelitian tool komunikasi SBAR komponen Assesment (hasil kesimpulan dan penilaian data S dan B) tabel 4.7, pada penilaian I sebagian besar lengkap yaitu 68 responden (82,9 %) dengan nilai rata-rata 2,203. Penilaian II sebagian besar lengkap yaitu 75 responden (91,5 %) dengan nilai rata-rata 2,902. Dan penilaian III sebagian besar lengkap dengan nilai rata-rata 2,609. Dari ketiga penilaian menunjukkan bahwa pengisian tool komponen assesment dalam kategori lengkap. Hasil penelitian ini tidak sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
http://jurma.unimus.ac.id
Supinganto (2015). Dalam komponen ini perawat mendokumentasikan masalah keperawatan dan masalah medis yang muncul. Nilai rata-rata tertinggi dari komponen assesment 2,902 dengan nilai maximal 4. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perawat sudah bisa menyimpulkan dan mendokumentasikan masalah keperawatan dan masalah medis yang muncul.
Hasil penelitian tool komunikasi SBAR komponen Recomendation (rekomendasi dokter / advis dokter) tabel 4.8, pada penilaian I sebagian besar lengkap yaitu 81 responden (98,8 %) dengan nilai rata-rata 5,703. Penilaian II semua lengkap yaitu 82 responden (100 %) dengan nilai rata-rata 5,951. Dan penilaian III semua lengkap yaitu 82 responden (100 %) dengan nilai rata-rata 5,854. Hasil penelitian ini juga tidak sama dengan hasil penelitian Supinganto (2015). Dalam komponen ini perawat mendokumentasikan advis dokter dengan jelas, melakukan konfirmasi ulang terhadap rekomendasi dokter, perawat mendokumentasikan nama dan tanda tangan. Nilai rata-rata tertinggi pada komponen ini 5,951 dengan nilai tertinggi 6. Hal tersebut menunjukkan masih ada perawat yang mendokumentasikan komponen recomendation dengan tidak lengkap. Komponen yang tidak lengkap terdapat pada bukti konfirmasi komunikasi / TBK dan pada dokumentasi nama dan tanda tangan perawat. Banyak perawat yang hanya menulis nama saja atau tanda tangan saja. Hal tersebut dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman perawat terhadap pentingnya aspek legal dokumentasi. Tabel 4.5 Distribusi frekuensi penilaian I, II, III responden berdasar komponen SBAR : Situation (S) di RS. Roemani Muhammadiyah Semarang tahun 2016 (n=82) Situation (S) Penilaian I Penilaian II Penilaian III F % F % F % Tidak lengkap 51 62,2 24 29,3 14 17,1 Lengkap 31 37,8 58 70,7 68 82,9 Jumlah 82 100 82 100 82 100 Tabel 4.6 Distribusi frekuensi penilaian I, II, III responden berdasar komponen SBAR : Background (B) di RS. Roemani Muhammadiyah Semarang tahun 2016 (n=82) Background (B) Penilaian I Penilaian II Penilaian III F % F % F % Tidak lengkap 82 100 81 98,8 79 96,3 Lengkap 0 0 1 1,2 3 3,7 Jumlah 82 100 82 100 82 100
http://jurma.unimus.ac.id
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi penilaian I, II, III responden berdasar komponen SBAR : Assesment (A) di RS. Roemani Muhammadiyah Semarang tahun 2016 (n=82) Assesment (A) Penilaian I Penilaian II Penilaian III F % F % F % Tidak lengkap 14 17,1 7 8,5 2 2,4 Lengkap 68 82,9 75 91,5 80 97,6 Jumlah 82 100 82 100 82 100 Tabel 4.8 Distribusi frekuensi penilaian I, II, III responden berdasar komponen SBAR : Recomendation (R) di RS. Roemani Muhammadiyah Semarang tahun 2016 (n=82) Recomendation (R) Penilaian I Penilaian II Penilaian III F % F % F % Tidak lengkap 1 1,2 0 0 0 0 Lengkap 81 98,8 82 100 82 100 Jumlah 82 100 82 100 82 100 Tabel 4.9 Distribusi responden perawat berdasarkan hasil penilaian tool komunikasi SBAR di RS. Roemani Muhammadiyah Semarang tahun 2016 (n=82) Variabel Mean Min Max SD N Situation Penilaian I 4,463 2 8 1,298 82 Situation Penilaian II 4,878 0 8 1,535 82 Situation Penilaian III 5,354 2 8 1,148 82 Background Penilaian I 4,744 0 12 2,926 82 Background Penilaian II 7,476 0 16 3,656 82 Background Penilaian III 8,573 0 18 3,471 82 Assesment Penilaian I 2,203 0 4 1,303 82 Assesment Penilaian II 2,902 0 4 1,302 82 Assesment Penilaian III 2,609 0 4 1.027 82 Recomendation Penilaian I 5,703 2 6 0,838 82 Recomendation Penilaian II 5,951 4 6 0,268 82 Recomendation Penilaian III 5,854 3 6 0,499 82 KESIMPULAN Penilaian I, II dan III hasil ketepatan pengisian tool komunikasi SBAR komponen situation dikategorikan lengkap, komponen background dikategorikan tidak lengkap, komponen assesment dan recomendation dikategorikan lengkap. Dari 4 komponen hanya ada 1 komponen yang tidak lengkap sehingga bisa disimpulkan bahwa penerapan metode SBAR dalam kategori lengkap.
http://jurma.unimus.ac.id
SARAN Bagi manajemen rumah sakit harus segera menyusun SPO komunikasi via telpon dengan metode SBAR dan memberikan pelatihan serta
informasi yang tepat terkait penerapan
metode SBAR dalam komunikasi perawat-dokter via telpon. Sehingga semua perawat dapat menerapkan metode SBAR dengan benar sesuai standart akreditasi rumah sakit versi 2013 dan rekomendasi JCI. Bagi institusi pendidikan keperawatan dapat memasukkan metode komunikasi SBAR dalam kurikulum pembelajaran dikampus serta melakukan role play pada saat mahasiswa praktek klinik sehingga mahasiswa sudah terpapar metode komunikasi SBAR sejak di akademik. Untuk peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian terkait observasi pelaksanaan metode SBAR secara langsung sehingga bisa diketahui apakah readback / konfirmasi ulang terkait rekomendasi / advis dokter sudah dilakukan dengan benar karena akan sangat berpengaruh terhadap keselamatan pasien.
DAFTAR PUSTAKA Notoatmojo,S.2010.Metodologi Penelitian Kesehatan.Rineka Cipta,Jakarta. Fitria,C.N.2013.Efektifitas pelatihan komunikasi SBAR dalam meningkatkan motivasi dan psikomotor perawat di ruang medikal bedah RS.PKU Muhammadiyah Surakarta. Supinganto,A.2015.Identifikasi komunikasi efektif SBAR di RSUD kota Mataram. Chaharsoughi,N.T.2014.Comparison the effect of teaching of SBAR technique with role play and lecturing on communication skill of nurse.Journal of Caring Sciences III (2) : 141-147. Vecchia,E.D.2015.High fidelity simulator experience for enhancing communication effectiveness : applications to quality and safety education for nurse.Journal of Nursing Educatiob and Practice V (9). Vardaman,J.M.,et.al.2012.Beyond communication : the role of standardized protocols in a changing health care environment.Health Care Management Review,37(1) : 88-97. Blom,L.2015.SBAR model for communication between health care professionals: a clinical intervention pilot study.International Journal of Caring Sciences VIII(3): 530. Boykins,A.D.2014.Core communication competencies in patient-centered care. ABNF Journal 25(2) : 40. Kwong,A.Y.Y.2011.Using a standardized communication tool SBAR to improve LVN student’s shift reporting.Doctoral Dissertations.paper 281. Rumanti,E.2009.Analisis pengaruh pengetahuan perawat tentang indikator kolaborasi terhadap praktek kolaborasi perawat dokter di unit rawat inap rumah sakit jiwa daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
http://jurma.unimus.ac.id
Marjani,F.2015.Pengaruh dokumentasi timbang terima pasien dengan metode SBAR terhadap insiden keselamatan pasien di ruang medikal bedah RS. Panti Waluyo Surakarta. Parry,J.2012.Improving Clinical Communication Using SBAR. Muhajir., Fuad, A., & Hasanbasri, M. (2007). Komunikasi antar shift di instalasi rawat inap rsud dr. H.M.. Rabain kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan.
http://jurma.unimus.ac.id