JURNAL
P
PENDIDIKAN
ROFESIONAL
Volume : II No 17 Juni 2008
EFEKTIVITAS PEMELIHARAAN ASET PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM RANGKA MENJAGA KETERSEDIAAN AIR WADUK PADA MUSIM KEMARAU PENGGUNAAN ROAD HUMP SEBAGAI FASILITAS PENGENDALI KECEPATAN DALAM MENGURANGI KECELAKAAN LALU LINTAS KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN DI SEMARANG
NO. ISSN 1829-5568
Dari Redaksi
Jurnal Pendidikan Profesional Diterbitkan Oleh: Bidang Teknik Konstruksi Pusat Pembinaan Keahlian dan Teknik Konstruksi, BPKSDM Dep. Pekerjaan Umum Pembina : Kepala Pusbiktek, BPKSDM Pemimpin Redaksi : Ir. Heriyadi Dwijoyanto, Dipl. HE Wakil Pemimpi Redaksi : RM. Bambang Ari Amarto, ST Penyunting : Ir. Yaya Supriyatna, M.Eng.Sc Ir. Christian Handry Laihad, M.Pd Ir. Sudradjat, M.Eng Redaktur Pelaksana : Kiagus Mochamad Ali, ST., Sp1 R. Belanto Hadiwido, ST., M.Si Ir. Setio Wasito, Sp1, MT Asep Wardiman, SH., M.Pd Wahyu Triwidodo, ST., M.Eng Ero, SPd., M.Pd Nugroho Wuritomo, ST., MT Muhammad Nizar, SE., MT Sekretariat : NBR. Noor Suarni, S.Sos., M.Si Anjar Pramularsih, ST Dewi Rahmawati, ST Iyan Hendrayanto, A.Md Ahmad Baharudin Alamat Redaksi Pusbiktek BPKSDM Jl. Abdul Hamid Cicaheum Bandung 40193 Tlp:(022) 7206892. Fax: (022) 7236224 E-mail:
[email protected]
Pembaca yang terhormat, puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dengan ijin-Nya kami dapat berjumpa kembali dengan Pembaca melalui Jurnal Pendidikan Profesional ini. Beberapa tulisan yang terdapat dalam tulisan edisi kali ini diantaranya bertajuk Efektifitas Pemeliharaan Aset, Peran Serta Masyarakat Dalam Rangka Menjaga Ketersediaan Air Waduk Pada Musim Kemarau, Penggunaan Road Hump Sebagai Fasilitas Pengendali Kecepatan Dalam Rangka Mengurangi Kecelakaan lalu Lintas, Kajian Karakteristik Berlokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Pada Kawasan Perdagangan Di Semarang . Sebagian besar tulisan ini mengangkat masalah pembangunan , pemeliharaan dan cara memberdayakan dari infrastruktur yang ada agar di dapat hasil yang lebih baik. Ulasan lebih lanjut dapat dilihat dalam isi Jurnal ini. Tak lupa kami menyampaikan terima kasih atas partisipasi dan jalinan kerjasama semua pihak dalam penerbitan Jurnal ini. Mohon maaf atas kekurangannya, karena Kesempurnaannya itu hanya milikNya. Terima kasih. Jurnal Pendidikan Profesional merupakan wahana komunikasi bagi seluruh stake holder Pusat Pembinaan Keahlian dan Teknik Konstruksi (Pusbiktek), BPKSDM, Departemen Pekerjaan Umum. Redaksi menerima sumbangan tulisan/artikel yang berkaitan dengan pendidikan profesional baik dari mitra kerjasama perguruan tinggi nasional, balai-balai, para profesional pendidikan, widyaiswara, karyasiswa dan segenap pihak pelaksana serta pemerhati pendidikan profesional. Tulisan disajikan dalam MS-Word dilengkapi tabel, grafik, gambar, foto sesuai kebutuhan. Tulisan ( satu eksemplar hard copy dan disket disampaikan ke alamat redaksi atau melalui e-mail :
[email protected] ( tulisan melalui e-mail, diharapkan mengirimkan draf melalui fax.no. (022) 7236224.)
Pemerintah kurang lestari dan tidak terpelihara dengan baik. Salah satu indikatornya adalah pada saat Pemerintah melaksanakan restrukturisasi yang dilakukan BPPN terhadap aset yang dikelolanya, hampir selalu berujung pada penjualan aset, dan sebagian bernilai jual jauh lebih rendah dari perkiraan penilaian semula, serta banyaknya keluhan masyarakat terhadap pemanfaatan infrastruktur Pemerintah. 1.2.
Trijono, Muhammad Rahman *) I. PENDAHULUAN ` 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beragam usaha dari berbagai sektor terus dikembangkan dalam usaha pencapaian tujuan tersebut. Salah satu hasil pembangunan adalah berupa harta kekayaan negara, ada yang terlihat (berwujud/fisik) maupun tidak terlihat (tidak berwujud/non fisik), ada bergerak dan tidak bergerak, ada yang berasal dari alam maupun hasil olahan/rekayasa manuasia. Dari pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak hasil fisik pembangunan prasarana dan sarana yang dibangun
Perumusan Masalah
Aset Negara berupa hasil pembangunan prasarana dan sarana yang belum atau yang kurang terpelihara dengan baik, berpengaruh pada fungsionalnya maupun nilai ekonomisnya. Salah satu contoh asset negara berupa prasarana Jalan Nasional. Secara umum tingkat efektifitas pengelolaan jalan Nasional dipandang saat ini masih belum optimal. Perumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana pengelolaan aset negara dapat terpelihara dengan efektif. 1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan wacana tentang pentingnya pemeliharaan aset serta bagaimana aset tersebut seharusnya dipelihara, baik dari sisi fungsionalnya maupun dari sisi nilai ekonomisnya, yang diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pembuat kebijakan atas pentingnya pemeliharaan aset Negara. Dengan studi kasus pada pemeliharaan jalan, diharapkan biaya ekonomi tinggi di Indonesia yang salah satunya akibat besarnya biaya transportasi, menjadi yang lebih murah, sebagai efek dari terpeliharanya jalan, sehingga transporter
Jurnal Pendidikan Profesional
EFEKTIFITAS PEMELIHARAAN ASET
2
sebagai pelaku distribusi memberikan harga yang lebih kompetitif, serta patuh terhadap ketentuan muat barang.
tidak termasuk kekayaan negara yang dipisahkan (dikelola BUMN) dan kekayaan Pemerintah Daerah.
14.
Secara singkat dapat disebut ”barang milik negara/kekayaan negara” sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP.225/MK/V/4/1971 pasal 1, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 350/KMK.03/1994 dan No. 470/KMK.01/1994 serta Peraturan Pemerintah RI No. 6 Tahun 2006 Pasal 1, bahwa yang dimaksud aset negara atau barang milik negara adalah semua barang milik/kekayaan negara yang meliputi barang tidak bergerak (tanah dan atau bangunan) dan barang bergerak (inventaris) :
Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup penulisan makalah ini terbatas pada kajian tentang pemeliharaan aset, berdasar kebijakan/perundangundangan atas pengelolaan aset Negara yang dikelola Pemerintah. Aset yang dimaksud beruwujud bangunan dalam hal ini produk Infrastruktur Pekerjaan Umum (I-PU), dengan studi kasus pada infrastruktur jalan. II. PENGELOLAAN ASET 2.1.
Aset Negara Berdasar Peraturan/Perundangan
Dasar hukum utama dalam pengelolaan aset negara untuk pencapaian tujuan pembangunan adalah Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 terutama ayat 2 dan 3, yaitu : ayat 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup oarang banyak dikuasai oleh negara.
Jurnal Pendidikan Profesional
ayat 3. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3
Aset negara adalah bagian dari kekayaan negara yang terdiri dari barang bergerak dan barang tidak bergerak, yang dimiliki, dikuasai oleh instansi Pemerintah, yang sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari perolehan yang sah,
yang sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban APBN serta perolehan yang sah; yang dimiliki/dikuasai oleh instansi Pemerintah, lembaga Pemerintah non Departemen, badan-badan yang didirikan Pemerintah;
tidak termasuk kekayaan negara yang dipisahkan dan dikelola BUMN serta bukan kekayaan Pemerintah Daerah. (sumber : Doli D, Siregar (2004), Manajemen Aset, PT Gramedia Pustaka Utama). 2.2.
Aset Negara Dipandang Dari Konsep Hukum
Aset negara adalah segala benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dimiliki/dikuasai oleh negara. Pengertian dimiliki/dikuasai negara disini dapat berupa penguasaan secara langsung oleh badan-badan hukum negara seperti departemen atau lembaga-lembaga pemerintah, atau penguasaan secara tidak
Properti dikelompokkan dalam 4 (empat jenis) properti, yaitu : a.Penguasaan dan pemilikan tanah dan bangunan b.Benda bergerak c.Kegiatan usaha d.Hak kepemilikan secara finansial.
Kondisi aset negara tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan tidak terpelihara (aset fisik) dengan baik. 2.3.
Aset Dipandang Dari Konsep Manajemen
Dalam konsep manajemen, pengertian aset adalah sesuatu yang bernilai (an asset is an item of value, not only is it something worth having, it goes beyond pure possession giving a service to mankind). Dalam pengelolaan aset terdapat proses yang meliputi : pengadaan; pengoperasian; pemeliharaan; rehabilitasi, dan pembuangan aset. Keberadaan aset untuk mendukung/memberikan pelayanan kepada masyarakat. Siklus aset serta outcome pengelolaan aset digambarkan sebagai berikut (sumber : Trijoko (1 Agustus 2006), Overview Management Magister Asset, Pusbiktek PU):
Outcome dalam pengelolaan aset digambarkan sebagai berikut :
Jurnal Pendidikan Profesional
langsung, yaitu melalui BUMN dan Pemerintah Daerah. Berkaitan dengan pengertian tersebut, tentunya sangat penting untuk diketahui potensi dan nilai serta manfaat harta kekayaan negara bagi kepentingan kemakmuran rakyat. Konsep hukum atas benda yang berwujud dan tidak berwujud yang mempunyai nilai disebut sebagai properti yaitu segala benda yang dapat dimiliki, yang bisa juga disebut aset sebagai dasar penilaian properti.
4
cara pemagaran dan pemasangan tanda batas tanah, sedangkan untuk selain tanah dan bangunan antara lain dilakukan dengan cara penyimpanan dan pemeliharaan. PEMBAHASAN 3.1.
Kondisi aset (infrastruktur jalan) saat ini
Banyak aset-aset negara dalam bidang kePU-an. Peninjauan asset negara dalam penulisan ini mengambil contoh kondisi infrastruktur jalan.
2.4.
Pemeliharaan Aset
Jurnal Pendidikan Profesional
Salah satu item sebagaimana penggambaran diatas adalah pemeliharaan asset (asset maintenance). Perencanaan strategi pemeliharaan diperlukan untuk menjaga agar aset dapat mendukung kegiatan bisnis atau memberikan pelayanan secara terus-menerus. Pemeliharaan juga untuk memastikan bahwa aset terjaga sesuai umur dan nilainya.
5
Dalam Undang-Undang No.38 Tahun 2004 tentang Jalan dijelaskan bahwa jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Pemerintah No. 6 tahun 2006, dalam penjelasan pasal 32 disebutkan bahwa : Pengamanan fisik antara lain ditujukan untuk mencegah terjadinya penurunan fungsi barang, penurunan jumlah barang dan hilangnya barang; Pengamanan fisik untuk tanah dan bangunan antara lain dilakukan dengan
Isu-isu spesifik dalam penyelenggaraan jalan terkait dengan pemeliharaan :
Dengan dana pemeliharaan yang terbatas, dilakukan optimasi penanganan jalan dengan prinsip bahwa tidak ada 1 km jalan yang tidak dipelihara. Beban prasarana jalan sangat berat dikarenakan lebih dari 80% angkutan Jalan sebagaimana aset yang lain secara barang menggunakan prasarana jalan. karakteristik mempunyai umur layak pakai tertentu. Untuk menjaga fungsinya Meningkatnya kerusakan jalan dan diperlukan pemeliharaan. Adapun jenis jembatan akibat bencana alam pada akhir pemeliharaannya sangat bervariasi tahun 2005 dan awal 2006. Diperkirakan tergantung kondisi medan, tipe jalan, akan terjadi lagi pada akhir 2006. kapasitas kendaraan yang lewat, dan sebagainya. Pengendalian muatan lebih masih belum efektif terutama pada jalur ekonomi Tingkat pelayanan dan kapan pemeliharaan utama (Jalintim dan Pantura). akan dilakukan, digambarkan dalam grafik sebagai berikut : Biaya pemeliharaan jalan secara hanya mampu untuk pemeliharaan rutin, seperti patching, penutupan lubang sementara, tetapi belum pada tahap ”nyaman dan DIAGRAM TINGKAT PELAYANAN VS UMUR JALAN aman” dilewati. & JENIS PENANGANAN 3.2.
Analisis Pemeliharaan Aset Infrastruktur Jalan PU
Berdasarkan UU RI No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, pemeliharaan jalan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, dan masyarakat, dengan pemanfataan pelayanan jalan yang handal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat. Konsep pendekatan penyelenggaraan pemeliharaan jalan :
Jurnal Pendidikan Profesional
Menjaga fungsi jalan sebagai asset negara dalam melayani kebutuhan kitis transportasi dengan memprioritaskan pemeliharaan dari pada pembangunan.
( sumber: Dirjen Bina Marga ( 5 Agustus 2006 ), Makalah MKUK, Kebijakan dan Prinsip pemeliharaan jalan dalam rangka Program penyelangaraan Sektor Jalan, Pusbitek PU) mempertahankan tingkat pelayanan jalan pada tingkat biaya total operasi kendaraan dan biaya konstruksi yang ekonomis.
6
Dari gambaran grafik tersebut menunjukkan : 1.Fungsi jalan semakin menurun kinerja/fungsionalnya seiring dengan bertambahnya umur jalan.
Siklus pemeliharaan aset dalam kerangka kebijakan dari input sampai dengan implementasi digambarkan sebagai berikut :
2.Pemeliharaan rutin diperlukan untuk menjaga fungsi jalan tidak langsung menurun secara ekstrim fungsionalnya. 3.Diperlukan pemeliharaan berkala untuk medayagunakan kembali fungsi jalan setelah umur tertentu. 4.Secara fisik daya guna jalan akan mendekati titik terendah sehingga diperlukan adanya peningkatan.
Jurnal Pendidikan Profesional
Salah satu hambatan dalam pemeliharaan jalan adalah ketidaktersediaan dana/anggaran yang mencukupi . Untuk standard minimal saat ini, paling tidak diperlukan 50 juta rupiah per 1 km jalan per 1 tahun, sedangkan saat ini baru dapat dianggarkan 40%-nya (20 juta), sehingga dapat dimaklumi bahwa kondisi jalan saat ini banyak menuai keluhan dari pengguna jalan. Kondisi tersebut juga menyrupai dengan kondisi pembiayaan infrastruktur Indonesia secara makro, yang hanya mencapai 2,33% (2002) dari PDB dan kecenderungan terus menurun, yang idealnya untuk negara berkembang sebesar 5% ~6%.
7
Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, ketersediaan infrastruktur di Indonesai masih jauh tertinggal. Sementara mereka berlomba-lomba dalam meningkatkan daya saingnya melalui upaya pengurangan biaya produksi dan distribusi, perlakukan pajak secara khusus dan pemberian insentif guna peningkatan efisiensi pengusahaan penyedia infrastruktur, kondisi di Indonesia cenderung sebaliknya.
Dalam penggambaran tersebut, pemeliharaan adalah sebuah proses yang berkesinambungan, sejak diadakannya aset. Untuk membuat program pemeliharaan yang handal (pada akhirnya dapat diterapkan) harus dipersiapkan data-data maupun kajian input sebagai berikut :
Kondisi aset (inventarisasi). Perencanaan pemeliharaan (yang diinginkan / rencana standard dalam hal : kualitas, perfoma, ketersediaan). Anggaran yang diperlukan. Pengadaan untuk keperluan pemeliharaan.
3.3.
Teknis pelaksanaan pemeliharaan aset di lapangan
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemeliharaan terhadap aset pemerintah belum memberikan hasil yang memuaskan. Keluhan masyarakat terhadap kualitas jalan hampir terjadi di semua wilayah di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah belum handalnya program pemeliharaan, disamping keterbatasan anggaran, skala prioritas dan sebagainya. Secara teknis, kegiatan pemeliharaan di lapangan diuraikan sebagai berikut : 1.Inspeksi aset secara rutin (sebelum dilakukannya pemeliharaan ) dan bertanggung jawab. 2.Pemeliharaan Rutin, meliputi : 3.Pemeliharaan Berkala (lebih tipikal sesuai jenis aset), misalnya : 4.Pencadangan biaya pemeliharaan pasca FHO 5.Peningkatan kualitas SDM yang handal dalam mengelola manajemen pemeliharaan. Dalam pelaksanaan, inspeksi sering kali tidak dilakukan dengan tepat dan tidak lengkap, sehingga kesimpulan yang diambil kurang sempurna, padahal inspeksi adalah sumber data utama sebelum proses yang lain dilakukan. Untuk melakukan inspeksi yang dapat dipakai sebagai sumber
data diperlukan standard input dan keahlian Inspektor. Pemeliharaan rutin (harian atau mingguan) serta pemeliharaan berkala berdasarkan hasil inspeksi sangat diperlukan. Dapat dibayangkan jika misalnya terjadi keretakan minor pada konstruksi tidak segera ditangani, dalam waktu singkat akan menjadi kerusakan besar yang akan semakin menurunkan fungsi, bahkan menjadikan tidak berfungsi, yang pada akhirnya sebenarnya bukan lagi pemeliharaan yang dilakukan tetapi pembangunan baru. Selain teknis fisik diatas, penyusunan rencana anggaran biaya pemeliharaan (pasca konstruksi / FHO) dan penyediaan SDM yang mampu mengelola manajemen pemeliharaan sangat diperlukan. Biaya untuk kegiatan manajemen pemeliharaan secara menyeluruh agar tepat guna mulai dari penyiapan sistem, sourcing SDM yang handal, sampai dengan realisasi pemeliharaan tentunya tidak akan cukup dengan perhitungan saat ini yang hanya sebesar Rp.50 juta/1 km/1 tahun, apalagi realisasi saat ini Rp.20 juta/1 km/1 tahun. Perhitungan biaya pemeliharaan sebagai suatu manajemen pemeliharaan harus sudah dihitung sejak investasi aset dibuat, sehingga nilai ekonomis pengadaan aset dapat diketahui sejak awal (tidak termasuk kegiatan strategis yang dilakukan Pemerintah untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk menjaga kedaulatan negara, dll). Dalam kegiatan pemeliharaan terdapat 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi hasil pemeliharaan yaitu :
Jurnal Pendidikan Profesional
Hasilnya berupa program kerja pemeliharaan yang dapat diterapkan (applicable) yang di dalamnya terdapat pula kebijakan yang diambil dan karena sebagai suatu siklus maka proses tersebut akan ditinjau secara menerus untuk peningkatan kinerja (continuos improvement).
8
Jurnal Pendidikan Profesional
9
4.1. KESIMPULAN Kualitas/mutu (Quality) Berdasarkan pembahasan diatas, dapat Perfoma/daya guna (Performance) disimpulkan : Ketersediaan volume atau waktu pemanfaatan (availability). 1.Kondisi riil saat ini aset negara (studi kasus : infrastruktur jalan) belum Apabila ketiga faktor tersebut digabung, terpelihara dengan baik. dapat dirumuskan sebagai berikut : 2.Belum ada peraturan perundangan yang mengatur lebih terinci mengenai Efektifitas = Quality x Perfomance x pemeliharaan aset serta pola anggaran Availability yang berbasis pada pemeliharaan aset. (sumber : Total Productive Maintenance, PT 3.Belum adanya pola manajemen Wijaya Karya, 2006) pemeliharaan aset yang handal dan dapat diterapkan di lapangan. Monitoring pengukuran efektifitas 4.Pemeliharaan sangat diperlukan untuk pemeliharaan perlu dilakukan untuk tetap berfungsinya aset negara. memantau hasil pemeliharaan yang dilakukan dengan cara : 4.2. SARAN Untuk mencapai sasaran pemeliharaan aset Menentukan posisi awal/kondisi awal yang efektif diperlukan pengembangan (saat ini) dalam aspek Manajemen Pemeliharaan Menetapkan sasaran yang akan datang Aset, aspek Kebijakan Publik/Peraturan (bertahap meningkat sampai dengan Perundangan-undangan serta percepatan batas optimal yang ingin dicapai) program ”Road Fund” yaitu : Pengukuran pencapaian Realisasi terhadap Rencana 1.Aspek Manajemen Pemeliharaan Aset, meliputi : Untuk menjadikan pemeliharaan efektif, 1.1.Perencanaan pemeliharaan manajemen pemeliharaan aset seharusnya 1.2.Realisasi pemeliharaan dibakukan oleh Pengambil Keputusan 1.3.Monitoring dan Evaluasi sebagi suatu kebijakan yang jelas, berpola, pemeliharaan sasaran jelas (memenuhi syarat 1.4.Pengukuran efektifitas pemeliharaan akuntabilitas) dan berpihak pada 1.5.Peningkatan kualitas SDM dalam kepentingan masyarakat (stakeholder). pengembangan berkelanjutan bidang Pengkajian program pemeliharaan masih pemeliharaan (continuous dalam pembahasan pemerintah dalam improvement) program ”Road Fund”. 1.6.Pengembangan sistem manajemen pemeliharaan IV. PENUTUP 2.Aspek Kebijakan Publik / Peraturan Berdasarkan pembahasan dan analisis Perundangan : SWOT yang dilakukan (Lampiran 1~3), 2.1.Kebijakan anggaran dan manajemen diambil kesimpulan dan saran (usulanpemeliharaan usulan) sebagai berikut : 2.2.Kebijakan publik terkait SDM dan tertib hukum
3.Percepatan Program Road-Fund :
Usulan pokok kebijakan yang diperlukan sesuai analisis SWOT (lampiran 1 ~ 3) adalah : 1.Peningkatan kualitas SDM 2.Penegakan hukum 3.Penerapan sistem manajemen pemeliharaan yang handal 4.Pengkajian nilai ekonomis dalam pemeliharaan 5.Pengalokasian anggaran pemeliharaan yang wajar 6.Tertib anggaran LAMPIRAN LAMPIRAN 1. ANALISIS ”S W O T”
LAMPIRAN 2
A LT E R N AT I F K E B I J A K A N BERDASARKAN ANALISIS “S W O T” Sasaran : Efektifitas pemeliharaan sangat diperlukan untuk tetap berfungsinya aset negara : 1.Sesuaikan fungsi kelembagaan dengan peraturan yang ada 2.Lakukan kerjasama yang saling mendukung antara pemerintah, swasta dan masyarakat. 3.Tingkatkan kualitas SDM 4.Tertibkan penggunaan anggaran 5.Penegakan hukum 6.Buat sistem manajemen pemeliharaan 7.Hitung aspek ekonomis pemeliharaan terhadap beban anggaran 8.Buat mekanisme koordinasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat serta intra & antar departemen 9.Tetapkan anggaran pemeliharaan yang wajar
Jurnal Pendidikan Profesional
3.1.Road Fund merupakan alternatif pembiayaan pemeliharaan jalan dengan prinsip user-pay-principle / fee-forservices basis, melalui tarif dan pajak yang ditarik langsung dari sektor jalan. 3.2.Dana yang diperoleh dari pembebanan biaya pengguna tersebut tidak lagi dimasukkan ke general budget pada anggaran pemerintah tetapi langsung ditransfer ke rekening road fund. 3.3.Road Fund digunakan untuk membiayai pemeliharaan jalan nasional, jalan provinsi sampai jalan kabupaten/kota yang melibatkan banyak instansi pengelola pada masingmasing tingkat kewenangan tersebut. 3.4.Road fund dikelola oleh institusi independen untuk menghindari konflik kepentingan antar instansi yang terlibat, serta menjamin penyaluran dana berjalan dengan baik dan memiliki akuntabilitas publik.
10
LAMPIRAN 3. P E N I L A I A N A LT E R N AT I F KEBIJAKAN
Jurnal Pendidikan Profesional
* Karyasiswa Magister Teknik Manajemen Asset Angkatan 2005, Kerjasama Pendidikan Pusat Pembinaan Keahlian dan Teknik Konstruksi BPKSDM Institut Teknologi Sepuluh September Surabaya
11
PUJI SUTARTO, HARJAKA, DIAZ SHODIQ (*)
BAB I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang.
Jaminan ketersediaan air tawar muncul sebagai masalah global akibat semakin meningkatnya pemanfaatan sumber sumber air yang terbatas jumlahnya oleh jumlah penduduk yang terus bertambah. Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber air akibat pengelolaan yang belum optimal dan perubahan tata guna lahan untuk kepentingan mencari nafkah dan tempat tinggal juga menjadi penyebabnya. Dampak keterbatasan air ini semakin lama semakin dirasakan oleh masyarakat pemakai ar seperti ketersediaan air tidak merata sepanjang tahun yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau dan terjadi bencana banjir dan longsor pada musim penghujan. Wa d u k d i b a n g u n u n t u k menampung air pada periode kelebihan air (musim penghujan) dan dipakai pada waktu kekurangan air (musim kemarau) untuk berbagai kepentingan misalnya air minum, pariwisata, pengendalian banjir, pertanian dan lain lain. Pengelolaan operasional waduk yang optimal merupakan antisipasi nyata dalam mendistribusikan air sehingga dapat mengurangi dampak yang menjadi ancaman serius bagi keberhasilan program ketahanan pangan, penyediaan air untuk
berbagai keperluan, kelestarian lingkungan hidup dan mengurangi meningkatnya korban manusia dan kerugian harta benda akibat bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, erosi, abrasi, dan lainnya. Dampak yang menjadi ancaman tersebut menambah terpuruknya perekonomian masyarakat Indonesia sehingga program peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terwujud. Untuk itu sangat diperlukan pemahaman pentingnya kesadaran semua elemen masyarakat, swasta dalam pengelolaan air dan kesadaran pemerintah dalam menentukan kebijakan kebijakan pengembangan sumber daya air. 1.2.
Maksud dan Tujuan
Maksud pembuatan makalah secara akademis adalah supaya karyasiswa mampu menganalisis kebijakan dan strategi penyelenggaraan prasarana dalam rangka pengembangan sumber daya air setelah karyasiswa dibekali metodologi ilmiah dalam perumusan kebijakan dan strategi. Selain itu juga bertujuan agar karyasiswa dapat melakukan pengkajian identifikasi masalah dan melakukan pemecahan masalahnya sehingga didapatkan konsep usulan kebijakan yang dapat diambil dan tata cara teknis pengelolaan operasional wadu secara optimal dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan maksud dan tujuan dari penulisan Peran Serta Masyarakat dalam Rangka Menjaga Ketersediaaan Air Waduk Pada Musim Kemarau secara ilmiah adalah untuk mengefisiensikan pengelolaan waduk dan dana penanganan bencana akibat fluktuasi air waduk dengan perbedaan yang signifikan pada musim kemarau dan musim penghujan. Peran serta masyarakat untuk menjaga keseimbangan
Jurnal Pendidikan Profesional
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM RANGKA MENJAGA KETERSEDIAAN AIR WADUK PADA MUSIM KEMARAU
12
air waduk merupakan langkah penting dalam pengelolaan secara struktural dan non struktural. 1.3.
Gambaran Umum Wilayah Yang Akan Dikaji Studi Kasus pada Waduk Jatiluhur dimana Air waduk pada musim kemarau mengalami penurunan kuantitas dan kualitas air yang diindikasikan oleh : 1.Kekeringan panjang tahun ini sehingga memerosokkan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Citarum sebagai pemasok air Waduk Jatiluhur ke titik nadir, sebagai akibat perubahan tata guna lahan dan penanganan masih bersifat sektoral. 2.Rendahnya kesadaran masyarakat di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) dan potensi konflik masyarakat pengguna air yang bergantung pasokan air dari Sungai Citarum dan anak- anak sungainya. 3.Pendangkalan waduk akibat sedimentasi dan operasional waduk yang belum optimal. Ruang Lingkup. Maksud dari tulisan ini adalah untuk mengupayakan suatu sistem pengelolaan sumber daya air secara komprehensif khususnya air waduk untuk keperluan pertanian,air baku, pembangkit listrik tenaga air dan pengendalian banjir. Jurnal Pendidikan Profesional
1.4.
13
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menemukan langkah-langkah dan kebijakan kebijakan yang terkait dengan Sumber Daya Air Nasional untuk mengantisipasi menurunnya ketersediaan air waduk pada musim kemarau.
15..
Metodologi Penulisan.
Metodologi penulisan ini adalah studi literatur dari beberapa buku terkait masalah tersebut di atas sebagai data dalam penulisan,untuk lebih jelasnya secara skematis dapat dilihat pada flow chart sebagai alur pemikiran ,gambar 1.1 sebagai berikut : Gambar. 1.1 POLA PEMIKIRAN
2.1. Kebijakan Publik. Kebijakan publik adalah kebijakan pokok yang menjadi dasar hukum publik dalam suatu pengelolaan sumber daya air dan penanggulangan yang ditimbulkannya. Kebijakan publik dibuat untuk menggerakkan, menghambat, melarang, mengarahkan tindakan swasta dan masyarakat serta dibuat untuk dapat menyusun kebijakan publik. Perlu memahami dasar-dasar dan konsep kebijakan publik dan mengerti cara melakukan analisa kebijakan. 2.2. Manajemen Strategis. Manajemen strategi untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air secara komprehensif dalam upaya penanggulangan bencana bagi kehidupan manusia khususnya dengan cara pemantauan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Waduk dengan sistem periodik dan tergantung pada kondisi dana yang tersedia. 2.3. Kebijakan Pembangunan Wilayah. Kebijakan pembangunan wilayah adalah upaya mempercepat pembangunan dalam suatu wilayah atau daerah agar tercapai kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya alam secara optimal, efisien, efektif, sinergi dan sustainable dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi, perlindungan lingkungan, penyediaan infrastruktur dan peningkatan sumber daya manusia. 2.4.
Kebijakan Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia. Kebijakan pengembangan keembagaan sumber daya manusia adalah dengan meningkatkan aspek kualitas yaitu usaha kerja dan jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi, sedangkan aspek
kuantitasnya yaitu manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau kerja dalam pengelolaan sumber daya alam untuk meningkatkan tatanan kehidupan dan mengurangi dampak negatif dari proses kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS). BAB III. DESKRIPSI MASALAH 3.1. Identifikasi Masalah. Penyebab utama krisis air adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal , kerusakan lingkungan yang secara implisit menambah lajunya krisis air semakin dipercepat oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi secara alami maupun migrasi. Bencana kekeringan yang merupakan bukti penurunan daya dukung lingkungan dari waktu ke waktu cenderung meningkat . Fenomena otonomi daerah yang kurang dipandang sebagai suatu kesatuan kerja antara pusat,Propinsi dan Kabupaten/Kota berakibat pada kurangnya koordinasi Pengelolaan Sumber Air yang pada hakekatnya mempercepat terjadinya k r i s i s a i r, d a l a m h a l i n i d a p a t diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut : 1.Penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Citarum sebagai pemasok air utama pada Waduk Jatiluhur ke titik nadir, sebagai akibat perubahan tata guna lahan, rendahnya kesadaran masyarakat di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) 2.Potensi konflik masyarakat pengguna air yang bergantung pasokan air dari Sungai Citarum dan anak- anak sungainya. 3.Kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan (Stake holders). 4.Pendangkalan waduk dan operasional waduk belum optimal.
Jurnal Pendidikan Profesional
BAB II. LANDASAN KONSEPTUAL
14
3.2. Perumusan Masalah. Citarum dan sungai lainnya, potensi yang Dari identifikasi masalah dapat dibuat belum terkendali dan terbuang ke laut + perumusan masalah : 5,45 miliar m3/tahun. (Gambar 3.3) Penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Citarum sebagai pemasok air untuk Waduk Jatiluhur ,yang mengakibatkan keberadaan air tidak seimbang pada musim kemarau terjadi kekeringan pada musim penghujan menimbulkan kerusakan yang sangat hebat. Berkurangnya pasokan air untuk keperluan irigasi sehingga terjadi kegagalan panen , dalam hal ini apabila tidak ada penanganan secara terpadu akan terjadi konflik horizontal.
Kebutuhan air baku untuk pelayanan daerah Jakarta yang dialirkan melalui bendung Curug berkurang ,demikian juga untuk daerah Cikampek.,lihat gambar 3.1 Skema Jaringan.
Jurnal Pendidikan Profesional
Kurangnya koordinasi antar pemangku Gambar 3.1. SKEMA JARINGAN kepentingan(Stake holders) untuk penanganan daerah tangkapan air Sungai Citarum. 3.3. Keadaan yang Diinginkan.
15
Daya tampung waduk berkurang dan Dengan adanya suatu pola pengelolaan Operation dan Maintenance waduk sumber air secara terpadu diharapkan belum opimal. dapat mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang Berkurangnya ketersediaan air dila memerlukan keterpaduan tindak untuk dibandingkan dengan tingkat kebutuhan menjaga kelangsungan fungsi dan air, lihat lampiran Tabel 3.2 Neraca Air manfaat air dan sumber air, serta Sungai Citarum dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai Potensi sumber daya air yang ada di sektor,wilayah,dan para pemilik daerah aliran Sungai (DAS) Citarum dan kepentingan dalam bidang sumber daya dari 74 sungai dan anaknya + 12,95 air,sehingga : miliar m3/tahun, yang tediri dari potensi Sungai Citarum + 6 miliar m3/tahun (46,3 Daya dukung daerah aliran sungai (DAS) %) dan sungai lainnya + 6,95 miliar meningkat dan keseimbangan air pada m3/tahun (53,7 %). Dalam pengendalian saat musim kemarau dan penghujan potensi sumber daya air dari Sungai terpenuhi.
Ketersediaan air untuk irigasi maupun pasokan air baku untuk keperluan air minum domestic maupun komersial dan PLTA terpenuhi. Dengan melakukan pemeliharaan (maintenance) waduk sesuai standar operation yang ditetapkan diharapkan kapasitas air waduk sesuai pada kondisi rencana BAB IV. PEMBAHASAN MASALAH Identifikasi Penyebab.
Dalam menyusun pola pengelolaan sumber daya air terutama upaya konservasi pada daerah aliran sungai (DAS), pihak-pihak terkait atau pemangku kepentingan (stake holders) dalam hal ini pemerintah pusat , daerah dan masyarakat, terbentur berbagai kendala yang menghambat proses penanganannya. Beberapa penyebab yang dapat terindentifikasi antara lain : 1.Kondisi toprografi, dan hidrologi yang berpengaruh terhadap ketersediaan air. 2.Pembangunan yang ada masih bersifat partial dan belum terpadu serta masih menitikberatkan pada program pengembangan sektoral. 3.Tuntutan kebutuhan akan pembangunan yang berwawasan kelestarian atas pengelolaan sumber daya air pada masa sekarang dan di masa yang akan datang.
Gambar. 4.1 GAMBAR SIKLUS HIDROLOGI
4.2.
Alternatif Pemecahan.
4.2.1 Upaya Konservasi Siklus hidrologi pada gambar 4.1 menggambarkan bagaimana air ini berubah bentuk kembali dalam bentuk semula membuat keseimbangan terhadap alam,lingkungan serta memberi kehidupan bagi mahkluk-mahkluk yang hidup di bumi ini,untuk itu perlu dilindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia. Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air dijadikan dasar dalam rangka ketersediaan sumber air di musim kemarau yang dilakukan dengan : a)Pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air di daerah tangkapan air. b)Perlindungan dan Pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif dan teknik sipil melalui pendekatan sosial, ekonomi,dan budaya.
Jurnal Pendidikan Profesional
4.1.
16
Yang dimaksud dengan cara vegetatif merupakan upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan dengan atau melalui penanaman pepohonan atau tanaman yang sesuai pada daerah tangkapan air atau daerah sempadan sumber air. Sedang yang dimaksud dengan cara sipil teknis adalah upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan melalui rekayasa teknis,seperti pembangunan bagunan penahan sediment, pembuatan teras (sengkedan) dan/atau perkuatan tebing sumber air. Pendekatan social, budaya dan ekonomi adalah bahwa dalam pelaksanaan perlindungan dan pelestarian sumber air harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi social, budaya dan ekonomi masyarakat setempat hal ini sesuai dengan UU Sumber Daya Air Bab III Konservasi Sumber Daya Air, Pasal 21, ayat 4.
Jurnal Pendidikan Profesional
Peran masyarakat disekitar daerah aliran sungai maupun pemakai air diharapkan berpartisipasi untuk melakukan konservasi di daerah tangkapan air dan optimalisasi penggunaan air untuk irigasi dengan ciri pembangunan berbasis komunitas (Sumber : Dr.Sugimin Pranoto, 2006, Designing Community Based Development, MKUK Pusbiktek )
17
Strategi strategi untuk mendorong partisipasi masyarakat untuk diperkenalkan ke pembangunan berbasis komunitas adalah penting, hal ini didasarkan pada penciptaan insentif bagi organisasi untuk berinteraksi satu sama lain untuk mencapai hasil yang di inginkan. Ada 4 (empat) strategi yang digunakan untuk mendorong dukungan dukungan bagi pendekatan berbasis komunitas dan efektifitas
pekerjaan, strategi ini terdiri dari keterlibatan para pemangku kepentingan (stake holders),konsultasi dengan pelakupelaku yang berbeda,kegiatan-kegiatan perintisan,dan pembelajaran yang terstruktur. Untuk melaksanakan perlindungan dan pelestarian dareah tangkapan air melibatkan peran masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya misalnya: GNPA (Gerakan Nasional Penyelamat Air) di tingkat Provinsi,Kabupaten/ Kota (Sumber : Ir.Siswoko,Dipl.HE, 2006,Kebijakan dan Program Penyelenggaraan Sektor Sumber Daya Air,MKUK Pusbiktek), Sedang dalam rangka penggunaan air irigasi melibatkan masyarakat pemakai air P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air). 4.2.2
Upaya Koordinasi
Aspek pengelolaan sumber daya air menurut Undang-Undang Sumber Daya Air No.7 Tahun 2004 antara lain konservasi sumber daya air. Otonomi Daerah dan Undang-Undang No.7 Tahun 2004 Sumber Daya air tidak terpisahkan dalam pelaksanaannya utamanya mengenai kewenangan dan tanggung jawab masingmasing Pemerintah untuk pelaksanaan konservasi daerah tangkapan air. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat diantaranya sebagai berikut :
Menetapkan kebijakan nasional sumber daya air Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilyah sungai lintas negara,dan wilayah sungai strategis nasional Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilayah sungai lintas Negara,dan wilayah sungai strategis nasional.
Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi diantaranya sebagai berikut :
Konservasi sumber daya air dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai s e k t o r, w i l a y a h , d a n p a r a p e m i l i k Menetapkan kebijakan pengelolaan kepentingan dalam bidang sumber daya air. sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan 4.2.3 Pengoperasian Waduk kepentingan provinsi sekitarnya. Menetapkan pola pengelolaan sumber air Waduk Jatiluhur merupakan waduk multi pada wilayah sungai lintas kabupaten purpose tempat penyimpanan air untuk Menetapkan dan mengelola kawasan irigasi, air baku untuk keperluan domestik lindung sumber air pada wilayah sungai atau komersial,pembangkit tenaga listrik lintas kabupaten/kota. dan pariwisata. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah kabupaten/Kota diantaranya sebagai berikut :
Jurnal Pendidikan Profesional
Pedoman opersional untuk memenuhi berbagai kebutuhan air atau pengguna fungsional waduk yang menyajikan kurva pengaturan operasi waduk dalam bentuk Menetapkan kebijakan pengelolaan grafik yang menunjukkan persyaratan sumber daya air di wilayahnya elevasi permukaan air minimum pada setiap berdasarkan kebijakan nasional sumber waktu guna memenuhi kebutuhan air untuk daya air dengan memperhatikan berbagai pemanfaatan dengan kondisi kepentingan kabupaten/kota sekitarnya. aliran yang ada. Menetapkan pola pengelolaan sumber air pada wilayah sungai dalam satu Dengan ketersediaan air waduk, kabupaten/kota penggunaan air dapat dilakukan untuk Menetapkan dan mengelola kawasan semua pemanfaatan dalam batas-batas lindung sumber air pada wilayah sungai kurva pengaturan operasi waduk. dalam satu kabupaten/kota. Dsb. 1.Langkah dasar pembuatan kurva pengatur waduk : Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Desa diantaranya sebagai berikut : a)Sifat sifat waduk harus dipertimbangkan karena kapasitas waduk untuk Menetapkan kebijakan pengelolaan penyimpanan air,akan memegang peran sumber daya air di wilayah desa yang penting dalam penyiapan kurva belum dilaksanakan oleh masyarakat pengaturan operasi. Sebagai dan/atau pemerintah di atasnya dengan penampungan air ,waduk akan mempertimbangkan asas kemanfaatan menunjukkan volume air yang dapat umum disimpan pada setiap ketinggian muka air. Menjaga efektivitas,efisiensi,kualitas,dan b)Waduk berfungsi untuk pemanfaatan ketertiban pelaksanaan pengelolaan untuk air irigasiair baku domestik atau sumber daya air yang menjadi komesrsial dan pembangkit tenaga kewenagannya. listrik,maka jadwal pemberian air yang 18
tepat harus ditentukan untuk memenuhi kebutuhan air dari berbagaisektor tersebut.Kehilangan air seperti penguapan/evaporasi dan sebagainya harus dipertimbangkan dalam kebutuhan air. c)Aliran yang masuk ke waduk(inflow) merupakan sumber air,oleh karena itu pengamatan yang cermat perlu dilakukan untuk berbagai macam aliran karena akan mempengaruhi volume air yang dapat ditampung oleh waduk. 2.Prosedure Pembuatan Kurva Pengaturan Operasi Waduk a) Aliran yang air waduk minimum yang diperkenankan ditetapkan pada akhir bulan dari periode kritis, berikut volume air waduknya,dengan menggunakan lengkung elevasi muka air dan volume air waduk.
Jurnal Pendidikan Profesional
b)Berdasarkan elevasi muka air waduk minimum dan volumenya tersebut,dilakukan perhitungan (routing procedure) untuk mencari elevasi muka air waduk yang diharapkan pada setiap akhir bulan dan.berurutan.
19
Elevasi muka air waduk didapat dengan membaca dari lengkung elevasi muka air dan volume air waduk d)Proses perhitungan tersebut diulang sampai pada akhir bulan dari awal perhitungan ( periode kritis) e)Jika ada volume air yang dapat ditampung ( aliran masuk ke waduk sama dengan aliran keluar , inflow = outflow ),perhitungan tersebut diatas tetap dilakukan. Jika elevasi muka air waduk lebih dari elevasi muka air waduk maksimum (elevasi air penuh/ EAPh untuk setiap bulan,aliran masuk yang ada dialirkan keluar dan elevasi air waduk dipertahankan sesuai sesuai EAPh). f)Dibuat kurva muka air yang memperlihatkan elevasi muka air waduk untuk setiap bulan dan dinamakan “ Kurva Pengaturan Operasi Waduk”
g)Jika elevasi muka air waduk pada bulan tertentu lebih rendah dari elevasi muka air minimum,maka akan terjadi kekurangan air,oleh karena itu pemberian air untuk air baku,pembangkit tenaga listrik dan irigasi harus dikurangi. Perhitungan elevasi muka air Pada saat elevasi muka air waduk turun waduk dengan cara sebagai berikut : dan terjadi keadaan darurat maka Pengelola dari Dep.PU atau Dinas PU Hitung volume air waduk pada setiap harus membuat Pola Pemberian Air yang akhir bulan dengan menambahkan baru dengan dikonsultasikan bersama volume air yang dapat ditampung secara sinergi dengan instansi terkait. terhadap volume air waduk dari bulan sebelumnya. 3.Kurva Pengaturan Operasi Waduk Volume air yang dapat ditampung yaitu : Dari data aliran masuk, terlihat pada Aliran masuk dikurangi aliran keluar , ( grafik 4.2 pemasukan aliran minimum Inflow Out flow) jatuh di bulan April,Mei, Juni sedangkan Aliran keluar adalah pemberian air pemasukan yang cukup besar mulai dari untuk irigasi,air baku untuk domestik bulan Juli sampai Desember. Jadi pada atau komersial dan lain-lain termasuk akhir bulan dari periode kritis tanggal 30 evaporasi (total evaporasi dikurangi curah hujan)
Juni 2006,pada saat elevasi muka air waduk minimum ( elevasi + 200) KEBIJAKAN STRATEGI
VI.
PENUTUP
6.1.
Kesimpulan.
DAN
5.1. Perumusan Kebijakan. Kebijakan pemerintah dalam menyikapi persoalan yang terjadi didaerah aliran sungai (DAS) haruslah merupakan satu pendekatan yang bersifat terpadu, artinya dalam suatu pengelolaan di daerah aliran sungai harus mempunyai suatu perencanaan yang komprehensif dan melibatkan semua unsur terkait (stakeholder) dan juga dibuat sebuah aturan yang mengikat yang membuat masyarakat terkontrol dalam setiap tindakannya. 5.2. Penyesuaian Kebijakan. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) haruslah mendapat suatu pengawasan yang ketat, dimana setiap masyarakat yang akan membuat atau membangun di zona tersebut harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan instansi-instansi terkait. Dimana kebijakan-kebijakan tersebut disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang ada. 5.3. Rencana Strategis. Dalam suatu wilayah sungai yang akan dikembangkan haruslah dibuat suatu perencanaan yang terpadu dengan melibatkan semua pihak yang terkait sehingga lingkungan pantai tetap terpelihara dengan baik.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka akan timbul banyak masalah yang berhubungan dengan keterbatasan sumber daya air. Agar tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan maka diperlukan suatu sistem pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan komprehensif, khususnya yang berkaitan dengan konservasi daerah aliran sungai (DAS). Keberhasilan dari konservasi daerah aliran sungai akan meningkatkan ketersediaan air dan kesejahteraan masyarakat, yang akan sangat menunjang pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peran serta masyarakat dalam rangka menjaga ketersediaan air waduk pada musim kemarau sangat dominan peranannya. Bentuk peran serta masyarakat tersebut adalah : 1.Masyarakat yang berada di sekitar DAS mengubah lahan perkebunannya dengan tanaman keras seperti jengkol, petai, durian dll. 2.Masyarakat tidak membangun rumah di pinggiran Sungai Citarum yang mengakibatkan penyempitan lebar sungai. 3.Pencanangan moto “Hemat air”. 4.Melaporkan ke pihak yang berwajib bila ada oknum yang melakukan pengerusakan alam yang akan berakibat terhadap perubahan sumber daya air. 5.Ikut menjaga infrastruktur yang telah dibangun
Jurnal Pendidikan Profesional
B A B . V.
BAB
20
6.2.
Rekomendasi.
DAFTAR PUSTAKA
Perlu didorong peran aktif masyarakat 1.Undang-Undang Nomor 7, 2004. Sumber dan segenap pemangku kepentingan Daya Air untuk menjaga dan melakukan 2.Siswoko,Ir,Dipl.HE, MKUK, 2006 perlindungan terhadap kelestarian daerah Kebijakan Strategis dan Penyelenggaraan tangkapan air secara bekelanjutan . Sektor SDA. Koordinasi dengan instansi terkait agar 3.Sugimin Pranoto,Dr, 2006, Designing pelaksanaan lebih sinergi. Community Based Development, MKUK Melakukan pemeliharaan waduk secara Pusbiktek. berkesinambungan agar daya tampung 4.Robert J.Kodoatie,Ph.D dan Roestam waduk sesuai rencana. Sjarief,Phd,2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. 5.Kliping Koran Pikiran Rakyat, April 2005 6.Jasa Tirta II Jatiluhur, 2002, Company Profile. 7.Bahan ajar MKUK 2006, Pusbiktek,BPKSDM, Departemen Pekerjaan Umum.
Jurnal Pendidikan Profesional
(*) Karyasiswa Program Magister Teknik Perencanaan Lingkungan Permukiman Angkatan 2006, Kerjasama Pendidikan Pusbiktek Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
21
Sumber gambar : Dok. Teknik Konstruksi Lokasi Bengkulu.
VERA G. SANOE, LILIAN DIASTI DESSI W
ABSTRAK Pada daerah tertentu seperti pada pemukiman yang padat, sekolah, persimpangan jalan dan daerah rawan lainnya, kecepatan kendaraan harus dikendalikan sebagai jaminan keselamatan lalu lintas. Pengendalian atau pengurangan kecepatan dapat berupa fasilitas seperti Road Hump atau disebut juga jendulan jalan yang umum disebut dengan istilah “polisi tidur”. Fenomena awal pembuatan road humps di kotakota Indonesia mungkin sudah dimulai puluhan tahun lalu. Namun yang jelas, dalam dua tahun terakhir, road humps menjadi seperti trend. Ini dibuktikan dengan beberapa demo supir angkot, mereka mengeluhkan banyaknya road hump yang dipasang oleh masyarakat dengan jarak yang cukup rapat hal ini menyebabkan laju kendaraan menjadi lambat, bahkan para pedagang yang menggunakan gerobak dorong sering terlihat mengalami kesulitan atau kecelakaan karena jalan yang mereka lewati penuh dengan Road Hump . Dengan adanya permasalahan diatas maka dalam laporan ini akan mengemukakan tentang road hump sebagai fasilitas pengendali kecepatan dalam mengurangi kecelakaan lalu lintas. Dari hasil analisa laporan ini dapat disimpulkan bahwa Road Hump bisa mereduksi kecepatan hingga 20 % -25 % dan penurunan tingkat kecelakaan lalu lintas hingga 50%. Sehingga kenyamanan dan keselamatan lebih ditingkatkan serta kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terjadinya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pejalan kaki dan berbagai jenis kendaraan terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan prasarana dan sarana jalan serta jumlah kendaraan, terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut dapat disebabkan oleh faktor kendaraan, faktor pengemudi, faktor geometri jalan yang tidak sesuai, atau kombinasi dari beberapa faktor tersebut. Pada daerah tertentu seperti pada pemukiman yang padat, sekolah, persimpangan jalan dan daerah rawan lainnya, kecepatan kendaraan harus dikendalikan sebagai jaminan keselamatan lalu lintas. Pengendalian atau pengurangan kecepatan dapat berupa fasilitas seperti Road Hump atau disebut juga jendulan jalan yang umum disebut dengan istilah “polisi tidur”. Sebenarnya tidak ada yang tidak tahu apa itu road humps. Setiap hari, khususnya kita yang berdomisili di permukiman dan sering melintasi jalan-jalan kecil atau di kampung, pasti pernah melewatinya. Bentuknya memang beraneka ragam, mulai dari yang besar, kecil, halus, kasar, bergelombang, trapesium. Bahan yang dipergunakan untuk road hump bisa terbuat dari aspal beton, paving blok atau kombinasinya. Letaknya ada di tengah jalan, dengan posisi melintang, seperti memang sengaja diletakkan atau dibuat untuk menghalangi laju kendaraan. Fenomena awal pembuatan road humps di kota-kota Indonesia mungkin sudah dimulai puluhan tahun lalu. Namun yang jelas, dalam dua tahun terakhir, road humps menjadi seperti trend. Ini dibuktikan dengan adanya demo supir angkot di Jakarta (Komilet Jaya dan Kolamas Raya, 2004),
Jurnal Pendidikan Profesional
PENGGUNAAN ROAD HUMP SEBAGAI FASILITAS PENGENDALI KECEPATAN DALAM MENGURANGI KECELAKAAN LALU LINTAS
22
Jurnal Pendidikan Profesional
mereka mengeluhkan banyaknya road hump yang dipasang oleh masyarakat dengan jarak yang cukup rapat (8 10 m) hal ini menyebabkan laju kendaraan menjadi lambat, bahkan para pedagang yang menggunakan gerobak dorong sering terlihat mengalami kesulitan atau kecelakaan karena jalan yang mereka lewati penuh dengan road hump (Kompas, 2002).
23
Di belahan dunia lain, road humps telah lama menjadi bahan perdebatan yang cukup sengit. Direktur Pelayanan Ambulan di London menyatakan bahwa pemasangan road humps menjadi dilematis karena di satu sisi alat ini bertujuan untuk memberikan jaminan keselamatan, namun di sisi lain ternyata menghambat aksesibilitas ambulan yang akan membawa korban ke rumah sakit (Joe Murphy, 2003). Pihak lain yang memprotes eksistensi road humps adalah Association of British Drivers atau Asosiasi Pengemudi Inggris (ABD, 2002), atau organisasi lain di Amerika Serikat yang memberikan alasan bahwa road humps berefek buruk pada kesehatan orang tua dan penyandang cacat (RADA, 2002). Dengan adanya permasalahan diatas maka dalam laporan ini akan mengemukakan tentang road hump sebagai fasilitas pengendali kecepatan dalam mengurangi kecelakaan lalu lintas. 1.2 Tujuan Menurunkan kecepatan kendaraan pada suatu lokasi yang rawan kecelakaan serta meningkatkan keselamatan jalan khususnya bagi pejalan kaki. 13 Sasaran Memberikan pemahaman kepada masyarakat pada umumnya dan pengendara kendaraan khususnya terhadap kinerja fasilitas pengendali kecepatan lalu lintas berupa road hump.
1.4 Luaran Berupa hasil reduksi kecepatan kendaraan dan kecelakaan lalu lintas akibat dibangunnya road hump. 1.5 Ruang Lingkup Dalam pembahasan laporan ini dibatasi hanya pada pengaruh road hump terhadap kecepatan dan kecelakaan lalu lintas.
1.6 Metodologi Literatuir yang digunakan dalam laporan ini adalah : Buku buku pendukung Hasil download dari Internet dan hasil penelitian Litbang Jalan Bab II Tinjauan Pustaka 2.1
Road Hump
2.1.1 Karakteristik Road hump adalah fasilitas yang dirancang dalam bentuk gangguan geometrik vertikal. Pada prakteknya fasilitas ini dimaksudkan untuk memberikan efek paksaan bagi pengemudi untuk menurunkan kecepatan. Penurunan kecepatan ini dibutuhkan untuk mengantisipasi kondisi jalan yang kurang menguntungkan di depannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan :Implementasi fasilitas ini terbukti sangat efektif menurunkan tingkat kecepatan; -Fasilitas ini harus dirancang dan diimplementasikan sesuai standar yang disyaratkan karena bila tidak justru dapat menciptakan potensi kecelakaan lalu lintas atau kerusakan kendaraan; -Perlu diberikan rambu dan fasilitas pendukung lain untuk meningkatkan efektifitas.
2.1.2 Kriteria Jalur yang memotong suatu tata guna lahan yang memiliki tingkat aktifitas tinggi dan masih merupakan suatu sistem kegiatan, dengan intensitas penyebrangan (pedestrian crossing) yang tinggi. Implementasi pada jalan lokal, tidak dibenarkan dipasang pada jalan arteri dan kolektor, dapat diimplementasikan untuk jalan searah maupun dua arah, baik terpisah (devided) maupun tidak terpisah (undevided).
2.1.3
Bahan
Material yang digunakan adalah bahan aspal beton Dimensi Dimensi yang digunakan adalah : - Panjang : 370 - 400 cm - Tinggi : 10 cm
Jenis rambu yang digunakan pada fasilitas ini meliputi : - Peringatan jalan cembung. Rambu No. 23, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 61 Tahun 1993 tentang Rambu Rambu Lalu Lintas
Gambar 2.2 Rambu Peringatan Jalan Cembung
Jurnal Pendidikan Profesional
Gambar 2.1 Jenis bahan Road Hump (a)Paving Blok, (b) Aspal. (c) Beton, (d) Kombinasi
24
Larangan melebihi batas kecepatan tertentu Rambu No. 9, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 61 Tahun 1993 tentang Rambu Rambu Lalu Lintas
Gambar 2.4 Penempatan Road Hump serta utilitasnya 2.2 Gambar 2.3 Rambu Larangan melebihi batas kecepatan.
Jurnal Pendidikan Profesional
20
25
20
Road Hump ditinjau dari kultur budaya dan mamajemen Lalu Lintas.
Sebenarnya pembuatan Road Hump tidak terlepas dari bergesernya kultur budaya masyarakat di kota-kota di Indonesia, dari kultur tradisional yang sarat dengan tata krama, sopan santun, saling menghargai, gotong royong menjadi budaya urban yang cenderung egocentris termasuk dalam budaya berlalu lintas yang identik dengan efisiensi waktu dan kecepatan akses dan apabila budaya untuk menghargai orang lain seperti pejalan kaki dan penyebrang jalan dikalahkan oleh kebutuhan efisiensi waktu dan kecepatan itu maka hasilnya akan berakibat hingga kecelakaan. Masyarakat kemudian bereaksi dengan membuat tulisan-tulisan di sudut-sudut jalan : “Jalan Pelan-pelan” , “Banyak Anakanak” , “Hati-hati”. Namun ketika peringatan tersebut tidak dihiraukan maka redaksi tulisan berubah menjadi keras seperti “ Ngebut Benjut “. Ketika itu dirasakan masih kurang, masyarakat menjadi lebih terpaksa dengan membangun road hump. Dalam teori manajemen lalu lintas, road hump bertujuan memaksa pengendaraan untuk memperlambat kecepatan kendaraannya. Efektifitas road hump
memang cukup ampuh. Namun efek samping yang dihasilkan adalah ketidaknyamanan pengendara, kerusakan kendaraan, sistem drinase yang terganggu hingga bahkan kecelakaan kendaraan yang diakibatkan keberadaan road hump itu sendiri. Hal ini sangat mungkin terjadi karena bentuk fisik yang tidak seragam, tidak mengikuti standar bakudengan pengerjaan secara swadaya masyarakat dengan tidak mengikuti kaidah-kaidah teknis yang tepat.
Gambar 2.6 Kerusakan Taper 2.4 Tata Letak Penempatan Road Hump 2.4.1 Penempatan road hump tegak lurus perkerasan jalan.
2.3 Jenis kerusakan pada Road Hump 2.3.1 Kerusakan pada chanal. Penyebab kerusakan karena Road Hump tidak dilengkapi saluran pengalir air antara sisi Road Hump dengan kerb jalan
Bahu jalan
Perkerasan jalan Road Hump
2.3.2 Kerusakan akibat kualitas material Penyebab kerusakan pada bagian miring (taper) jendulan akibat kualitas material yang digunakan tidak memenuhi spesifikasi
Bahu jalan
Gambar 2.7 Penempatan Road Hump tegak lurus perkerasan jalan Jurnal Pendidikan Profesional
Gambar 2.5 Kerusakan chanal
26
Bahu jalan
Perkerasn jalan
Bahu jalan
Gambar 2.7 Penempatan Road Hump diagonal perkerasan Jalan BAB III Analisis dan Pembahasan 3.1
Pengaruh Road Hump terhadap kecepatan
Jurnal Pendidikan Profesional
Tabel 3.1
27
Data kecepatan kendaraan yang ada di Indonesia
Sumber : PACTS Reasearch Briefing, may 2004
Road Hump
3.2
Pengaruh Road Hump terhadap Kecelakaan
Jurnal Pendidikan Profesional
Dari kedua grafik tersebut diatas (Lokasi Indonesia & London) dapat dilihat bahwa adanya perbedaan kecepatan antara sebelum dan sesudah dipasang Road Hump. Kecepatan kendaraan lebih rendah setelah adanya Road Hump. Sehingga dapat dikatakan bahwa Road Hump merupakan fasilitas pengendali yang dapat mereduksi kecepatan dari berbagai jenis kendaraan
28
Dari grafik tersebut diatas dapat dilihat bahwa adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah dipasang Road Hump. Kecelakaan lalu lintas menurun setelah adanya Road Hump. Sehingga dapat dikatakan bahwa Road Hump merupakan fasilitas pengendali yang dapat mereduksi kecelakaan lalu lintas
Bab. IV Kesimpulan dan Saran
Jurnal Pendidikan Profesional
4.1 Kesimpulan Keberadaan Road Hump sebenarnya mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak Negatif yang dihasilkan adalah ketidaknyamanan pengendara, kerusakan kendaraan, sistem drainase pembuangan air hujan yang terhambat dan berakibat banjir, hingga bahkan kecelakaan kendaraan akibat keberadaan road humps itu sendiri. Hal ini sangat mungkin terjadi karena bentuk fisiknya yang tidak seragam, tidak mengikuti standar baku. Sedangkan apabila dilihat dari dampak positifnya, ternyata Road Hump bisa mereduksi kecepatan hingga 20 % -25 % dan penurunan tingkat kecelakaan lalu lintas hingga 50%. Sehingga kenyamanan dan keselamatan lebih ditingkatkan serta kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.
29
4.2 Saran Sosialisasi kepada masyarakat tentang penerapan Road Hump, baik bentuk maupun dimensi yang sesuai dengan standar baku.
*) Karyasiswa Magister TPJJ UNPAR angkatan 2006
Oleh: Oktarina Dwijayanti dan Retno Widjajanti(*) Jurusan Perencanaan Wilayah Dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Semarang (email:
[email protected]
Abstract Street vendors as a real sector in urban life, the existence of the street vendors almost all the time was being neglected in the city spatial planning. Nowadays, the street vendors take place almost in the entire city, mostly in the city functional space. It happens because they have no place to run their earnings, makes them use the public area, and bring another city problems. This article tries to analyze the character of street vendors locating charactheristic in the city commercial area and to understand the connection between the location and the activity of the street vendors that take place in the location which show some specific character. Through the study, it has shown that the activity of the street vendors have the strong relationship with the main activity happens in the commercial area.
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi di Indonesia, tidak hanya menumbuhkan dan mengembangkan industri-industri besar serta programprogram resmi pemerintah, yang dikenal dengan sektor formal, namun juga menumbuhkan usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi yang sangat bebas menentukan cara bagaimana dan dimana usaha mereka dijalankan yang diistilahkan dengan sektor ekonomi informal. Salah satu masalah yang paling sering muncul adalah kegiatan informal di bidang perdagangan, yaitu kegiatan pedagang kaki lima (PKL). Tidak berbeda dengan sektor ekonomi informal, PKL yang merupakan bagian di dalamnya juga selalu dikonotasikan dan dijadikan penyebab dari masalah kota yang ada. Kecenderungan PKL adalah tidak terlepas dari eksistensi sektor formal di daerah tersebut, dan dalam hal ini pemerintah pada umumnya hanya melakukan kegiatan sporadis dengan membebaskan jalanan dari kegiatan perdagangan liar, dimana hasilnya justru menciptakan masalah baru dan kebijakan yang lahir bukan untuk menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya. Hal tersebut terjadi karena Pemerintah Kota tidak pernah menyediakan ruang bagi PKL dalam Rencana Tata Ruang Kota terutama di ruang-ruang fungsional kota dimana memiliki potensi untuk berkembangnya PKL. Lokasi berdagang PKL seringkali terkait dengan sektor formal yang ada disekitarnya. Dalam studi di Cali, oleh Bromley dalam Manning (1996:232) para pedagang kaki lima dijumpai dalam semua sektor kota, namun terutama berpusat di tengah kota di sekitar stadion dan pusat-pusat hiburan lainnya ketika ada pertunjukan yang bisa menarik sejumlah besar penduduk dan sekitar tempat-tempat pemberhentian
Jurnal Pendidikan Profesional
KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN DI SEMARANG (Studi Kasus: JALAN KARTINI, KOTA SEMARANG)
30
Jurnal Pendidikan Profesional
31
sepanjang jalur bus. Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Waworoentoe dalam Widjajanti (2000:28), PKL biasanya akan tumbuh berkembang pada ruang-ruang fungsional kota (pusat perdagangan/pusat perbelanjaan/pertokoan, pusat rekreasi/hiburan, pasar, terminal/pemberhentian kendaraan umum, pusat pendidikan, pusat perkantoran). Keberadaan PKL yang umumnya berada di kota-kota besar yang padat penduduknya, juga muncul di Kota Semarang. Beberapa kawasan fungsional di Kota Semarang saat ini berkembang aktivitas PKL yang cukup pesat yang keberadaannya mulai menimbulkan permasalahan serius bagi lingkungan di sekitarnya. Salah satu kawasan fungsional dimana PKL berkembang dengan pesat adalah di kawasan jalan Kartini. Koridor Jalan Kartini, sesuai dengan RDTRK BWK I Kota Semarang 2000-2010 memiliki fungsi sebagai area perdagangan dan jasa. Namun sekarang citra Jalan Kartini lebih dikenal sebagai area PKL burung dan pakaian bekas. Perkembangan PKL muncul pada awalnya dikarenakan terdapat pasar burung Karimata yang memiliki skala pelayanan kota, sehingga berkembang PKL yang menjual dagangan sejenis. Hal ini terkait dengan yang dikemukakan oleh McGee (1977:20) bahwa PKL hadir di mana-mana dan bergerak sepanjang jalan-jalan menjual barangnya, mengerumuni sekitar pasar umum atau mereka berada di sepanjang tepi jalan di berbagai bagian kota. Adanya kawasan PKL Barito di sebelah timur kawasan dan kedekatan kawasan dengan Jl. MT Haryono (Mataram) yang merupakan salah satu areal perdagangan Kota Semarang menjadikan aliran pengunjung ke kawasan ini cukup tinggi. Hal tersebut menjadikan daya tarik Kartini semakin besar untuk dijadikan lokasi berjualan bagi PKL.
Awalnya para PKL berkembang di Jalan Kartini bagian barat yang berdekatan dengan Jl. Dr. Cipto. Berkembangnya area tersebut oleh PKL, menjadikan pada tahun 1999 pemerintah Kota Semarang mengeluarkan kebijakan untuk memindahkan PKL dengan menyediakan kios-kios semi permanen di sebelah timur yang juga menempati area ruang hijau di bagian tengah jalan. Hal ini sesuai dengan SK Walikota Semarang No. 511.3/16 Tentang Penetapan Lahan/Lokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Wilayah Kota Semarang, bahwa lokasi PKL Kartini berada di Jl. Kartini Timur dengan batas areal mulai Jembatan Kali Banger sampai Jl. Barito yang menempati jalur pemisah. Namun, pemindahan lokasi yang tidak jauh dari lokasi semula menjadikan muncul kembali pedagang liar di tempat semula. Sebagian pedagang yang menempati area larangan juga merupakan anggota pedagang yang sudah memiliki kios semi permanen tersebut. Istilahnya mereka membuka cabang ataupun menjadikan kios semi permanennya sebagai gudang. Pemkot dalam hal ini kurang memiliki pemahaman terhadap karakteristik berlokasi PKL dan karakteristik konsumennya. Semakin lama, Kawasan Kartini menjadi semakin padat karena perkembangan aktivitas PKL dan barang dagangan yang dijual. Hal ini memunculkan titik-titik lokasi yang memiliki daya tarik bagi PKL di kawasan Kartini. Salah satu tempat yang semakin padat adalah di area boulevard. Di area paling timur saat ini berkembang PKL yang menjual pakaian bekas. Sebelumnya area tersebut juga merupakan PKL burung, namun karena keuntungan yang didapat tidak besar sehingga ditinggalkan atau disewakan oleh pemiliknya dan berkembang menjadi PKL pakaian bekas terutama jas, yang cukup dikenal di Kota Semarang. Mereka umumnya berasal dari
terutama karakteristik berlokasi. Karakteristik berlokasi ini adalah ciri khas dari lokasi PKL dan kecenderungannya beraktivitas pada lokasi tersebut yang membedakannya dengan lokasi yang lain, yang tidak hanya dilihat secara makro dalam kawasan Kartini, namun juga titiktitik lokasi/koridor yang diminati PKL. Pentingnya faktor lokasi sebagai akar permasalahan dalam pengaturan dan penertiban PKL menjadikan perlunya studi mengenai karakteristik berlokasi PKL. Dalam studi ini akan dikaji karakteristik PKL baik aktivitas maupun ruang serta persepsi pedagang dan pengunjung kawasan tersebut mengenai keberadaan PKL pada kawasan perdagangan Jalan Kartini. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukenali karakteristik berlokasi pedagang kaki lima (PKL) sesuai dengan aktivitasnya pada kawasan perdagangan Jalan Kartini.
Ruang Lingkup Wilayah Studi Kawasan perdagangan Kartini berada di K e c a m a t a n S e m a r a n g Ti m u r d a n merupakan bagian dari BWK I Kota Semarang. Jalan Kartini merupakan jalan kolektor sekunder dengan fungsi sebagai area perdagangan dan jasa yang dapat dicapai dari arah Barat yakni melalui Jl. Mayjend Sutoyo, dari arah selatan dan utara melalui Jl. Dr. Cipto ataupun Jl. MT. Haryono dan dari arah timur melalui Jl. Barito. PKL Kawasan Kartini yang dikaji dalam studi ini dibagi dalam 4 lokasi karena setiap koridor jalan memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi aktivitas, persebaran dan tempat usaha PKL maupun sektor formal yang ada. Jl. Kartini I, dengan batas Jl. MT Haryono dan Jl. Dr Cipto. Aktivitas formal yang Jurnal Pendidikan Profesional
Kota Palembang. Selain itu, trotoar juga tetap dimanfaatkan seperti adanya bengkel, penjual jok, beberapa pedagang makanan dan tempat parkir kendaraan. Hal ini menjadikan sirkulasi pejalan kaki menjadi terganggu dan juga beberapa rumah yang trotoar depannya digunakan sebagai area berjualan. PKL juga meluas hingga ke Jl. Purwosari yang menempati pinggir jalan di tepi Kali Banger. Pemindahan lokasi yang tidak memperhatikan karakteristik berlokasi menyebabkan pedagang kembali ke lokasi semula sekaligus bertambah jumlahnya. Hal ini menyebabkan terjadinya kemacetan di Jalan Kartini. Kemacetan seringkali timbul di jalan tersebut, terutama pada waktu puncak ataupun hari libur. Parkir yang memenuhi trotoar hingga ke badan jalan ditambah pedagang dan pembeli yang melakukan transaksi hingga ke badan jalan, menjadikan lokasi tersebut menjadi tidak teratur dan mengganggu sirkulasi kendaraan. Permasalahan PKL di koridor Jalan Kartini tersebut, keberadaannya semakin tidak terkendali dan lokasinya tidak tertata. Fungsi ruang yang ada juga menjadi berubah dan mengganggu kepentingan publik. Ruang yang seharusnya berfungsi sebagai taman kota dan dapat mempercantik kota menjadi lokasi yang sangat tidak sedap dipandang, terlebih lokasi tersebut dilegalkan oleh pemerintah kota. Selain itu tempat berdagang pada RTH merupakan saluran air kota dari Simpang Lima dan kini didirikan bangunan permanen di atasnya. Faktor lokasi merupakan hal yang paling penting dalam permasalahan PKL. Lokasi yang strategis mempunyai andil yang sangat besar bagi pendapatan PKL (Alisjahbana, 2005:75). Munculnya pro dan kontra dalam penataan PKL, dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai kondisi dan karakteristik PKL,
32
Jurnal Pendidikan Profesional
mendominasi adalah ruko/pertokoan dan kuantitatif maupun kualitatif untuk terdapat pasar Langgar. Jumlah PKL di mempertajam analisis dan memperoleh lokasi ini cukup sedikit dibanding di lokasi rumusan karakteristik berlokasi PKL. lain pada kawasan tersebut. Selain itu penelitian ini merupakan jenis Jl. Kartini II, dengan batas Jl. Dr Cipto penelitian survai yang digunakan untuk hingga jembatan Kali Banger. Aktivitas tujuan penelitian deskriptif, dimana formal yang mendominasi adalah berusaha menjelaskan suatu karakteristik. permukiman dan sebagian terdapat toko. Penelitian ini melibatkan baik PKL Kartini PKL gelaran menempati seluruh median itu sendiri maupun pengunjung PKL. jalan dan bergerombol sangat padat. Penentuan sampel kepada PKL Jl. Kartini III, dengan batas jembatan Kali menggunakan teknik stratified random Banger hingga Jl. Barito. Terdapat pasar sampling, dimana populasi terbagi atas burung dan beberapa toko serta tingkat-tingkat atau strata, pengambilan perumahan. PKL menempati seluruh sampel tidak boleh dilakukan secara median jalan dengan sarana kios. random dan setiap strata harus diwakili Jl. Purwosari, dimana terdapat PKL yang sebagai sampel sehingga penyebaran cukup banyak di trotoar sebagai luapan dilakukan secara proporsional (Arikunto, aktivitas PKL Kartini dan mendekati 1997:115). Penentuan sampel kepada lingkungan permukiman. pengunjung PKL Kartini ini dilakukan Secara lebih jelas lokasi studi yang diteliti, dengan teknik accidental sampling, dimana dapat dilihat pada gambar berikut :
33
Metodologi Studi Penelitian mengenai kajian karakteristik berlokasi PKL ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif dimana menjadikan teori yang sudah diketahui sebelumnya sebagai dasar dalam merumuskan variabel-variabel penelitian, yang nantinya akan digunakan dalam proses pengumpulan data melalui penelitian survai (survey research). Dalam prosesnya, penelitian ini memerlukan baik metode
dalam teknik sampel ini siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2000:60). Hal ini karena jumlah populasi pengunjung PKL Kartini tidak dapat diketahui secara pasti.
Jurnal Pendidikan Profesional
Teknik analisis yang diperlukan dalam sifat atau hubungan atau tingkat studi mengenai kajian karakteristik keterhubungan tersebut (derajat sosial) berlokasi PKL di kawasan perdagangan digunakan perhitungan Koefisien Jalan Kartini, adalah : Kontingensi. Distribusi Frekuensi/Deskriptif Statistik Teknik Analisis Deskriptif Kualitatif Alat analisis ini merupakan langkah awal Teknik ini diperlukan untuk mempertajam dalam analisa data. Tujuan penggunaan hasil perhitungan deskriptif statistik dan teknik distribusi frekuensi dalam menjelaskan informasi tambahan yang penelitian ini adalah untuk melihat diperoleh dari hasil pengumpulan data dominasi yang ada dari setiap variabel terutama melalui wawancara. Teknik ini baik PKL maupun pengunjung. Tabel mentransformasikan data mentah ke frekuensi merupakan analisa satu dalam data yang mudah dimengerti variabel yang disusun untuk semua melalui hasil interpretasi. Teknik ini variabel penelitian secara tersendiri. terutama bertujuan untuk mengetahui Melalui pengelompokan jawaban tiap proses perkembangan PKL di kawasan variabel, akan dapat dihitung besarnya Jalan Kartini sehingga diperoleh frekuensi sehingga akan dapat diperoleh kecenderungan PKL dalam berlokasi prosentase hasil jawaban responden. Cara terkait dengan aktivitasnya. ini merupakan cara sederhana, yang Teknik Analisis Deskriptif Komparatif hasilnya dapat dianalisis lebih jauh secara Teknik analisis ini merupakan proses akhir kualitatif. dimana bertujuan untuk mengetahui Tabulasi Silang (crosstab) rumusan karakteristik berlokasi PKL Metode tabulasi silang adalah suatu berdasarkan persepsi pedagang (PKL) metode untuk mentabulasikan beberapa d e n g a n p e n g u n j u n g . Te k n i k i n i variabel yang berbeda ke dalam suatu merangkum setiap temuan yang matriks. Tujuan penggunaan teknik dihasilkan dalam analisis sehingga analisis tabulasi silang dalam penelitian diperoleh simpulan karakteristik ini adalah untuk mengetahui keeratan berlokasi yang dikomparasikan dengan hubungan antar variabel, sehingga teori yang ada dan disajikan secara mempengaruhi PKL dalam berlokasi. deskriptif. Teknik ini dapat mempertajam hasil analisis dan melengkapi perhitungan I.TINJAUAN MENGENAI yang sudah dilakukan melalui teknik PEDAGANG KAKI LIMA PADA analisis distribusi frekuensi. Hasil KAWASAN PERDAGANGAN KOTA tabulasi silang disajikan dalam bentuk Kawasan Perdagangan Kota tabel dengan variabel-variabel yang Jalan Kartini merupakan salah satu kawasan berfungsi sebagai kolom dan baris tabel di Kota Semarang yang diperuntukkan bagi tersebut. Melalui tabel tabulasi dapat kegiatan perdagangan dan jasa. Aktivitas dibaca frekuensi masing-masing kasus yang ada adalah aktivitas distribusi dan persentase masing-masing frekuensi perdagangan eceran dan aktivitas jasa. terhadap masing-masing kasus. Untuk Terkait dengan fungsi jalan Kartini, menguji apakah ada hubungan antar disebutkan dalam Kamus Tata Ruang variabel-variabel tersebut maka (1994:44), mengenai kawasan pusat dibandingkan antara chi square hitung perniagaan/usaha yakni tempat pusat dan chi square tabel. Untuk mengukur kegiatan perniagaan kota; letaknya tidak 34
Jurnal Pendidikan Profesional
selalu di tengah-tengah kota dan mempunyai pengaruh besar terhadap kegiatan ekonomi kota. Yeates (1980:318324) membagi pola pemilihan lokasi untuk kegiatan perdagangan dalam 3 (tiga) komponen utama yang berkaitan dengan aktivitas perdagangan yang terjadi, meliputi :daerah perdagangan khusus, daerah perdagangan sepanjang jalan/pita dan daerah perdagangan berkelompok. Kawasan perdagangan yang dimaksud dalam studi ini adalah kawasan dengan pola kegiatan perdagangan eceran dan aktivitas jasa yang memiliki karakter barang dagangan yang dijual dimana berlokasi di sepanjang jalan raya dan memiliki aksesibilitas tinggi.
35
Sektor Informal Perkotaan Konsep sektor informal lahir pada tahun 1971 yang dipelopori oleh Keith Hart berdasarkan penelitiannya di Ghana. Kemudian konsep itu diterapkan dalam sebuah laporan oleh tim ILO tahun 1972 dalam usaha mencari pemecahan masalah tenaga kerja di Kenya. Sejak adanya penelitian tersebut, mulai banyak penelitian dan kebijakan yang menyoroti masalah kesempatan kerja kelompok miskin di perkotaan. Menurut Ahmad (2002:73) sektor informal disebut sebagai kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal (kecilkecilan) yang memperoleh beberapa ciri seperti kegiatan tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap, berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus, lingkungan kecil atau keluarga serta tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan maupun perkreditan. Keberadaan sektor informal dalam kegiatan perdagangan dan jasa merupakan suatu dikotomi karena di satu sisi sektor informal
mampu menyerap tenaga kerja terutama pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah serta modal kecil. Namun di sisi lain, sektor ini merupakan sektor yang tidak memiliki legalitas atau perlindungan hukum dan merugikan sektor formal karena menyebabkan permasalahan lingkungan kota. Seiring dengan perkembangan masyarakat, kegiatan sektor informal pun berkembang dan mengambil berbagai macam bentuk. Dari berbagai macam bidang pekerjaan yang ada pada sektor informal, menurut Alisjahbana (2005:14) salah satu yang dominan dan menonjol aktivitasnya adalah pedagang kaki lima. Pedagang Kaki Lima (PKL) Sebagai Bagian Sektor Informal Perkotaan Istilah atau definisi munculnya pedagang kaki lima, konon berasal dari jaman pemerintahan Rafles, Gubernur Jendral Pemerintah Kolonel Hindia Belanda, yaitu dari kata “five feet” yang berarti jalur pejalan kaki dipinggir jalan selebar 5 (lima) kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan berjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (dalam Widjajanti, 2000:28). Kemudian muncul beberapa ahli yang mengemukakan definisi dari pedagang kaki lima (PKL) ini diantaranya menurut McGee (1977:28) menyebutkan PKL sebagai hawkers adalah orang-orang yang menawarkan barangbarang atau jasa untuk dijual di tempat umum, terutama jalan-jalan dan trotoar. Definisi ini tidak termasuk PKL yang berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain menjual barang-barangnya atau menawarkan jasa. Pembagian tipe komoditas yang dijual PKL, oleh McGee & Yeung (1977:81) dibedakan dalam 4 (empat) kelompok, yakni : 1.Makanan yang tidak diproses dan semi olahan (unprocessed and semi processed
Berdasarkan sifat layanannya, McGee & Yeung (1977:82-83) membagi dalam 3 tipe, yaitu : 1.Pedagang keliling (mobile) Pedagang ini merupakan pedagang yang dengan mudah dapat membawa barang dagangannya, mulai dari menggunakan sepeda atau keranjang. Sifat dari pedagang tipe ini adalah bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain, menjual sepanjang siang ataupun malam. Biasanya pedagang ini mempunyai volume dagangan yang kecil. Pedagang mempunyai sifat yang selalu berusaha mendatangi atau mengejar konsumen. 2.Pedagang semi menetap (semistatic) Pedagang ini mempunyai sifat menetap sementara, dimana kios atau tempat usahanya akan berpindah setelah beberapa waktu berjualan di tempat tersebut, pada umumnya saat berakhirnya hari. Pedagang ini akan menetap bila ada kemungkinan datangnya pembeli yang cukup besar. 3.Pedagang menetap (static) Sifat layanan pedagang ini memiliki frekuensi menetap yang paling tinggi, dimana lokasi tempat usahanya permanen di suatu tempat seperti di jalan atau ruang
ruang publik. Pembeli atau konsumen harus datang sendiri ke tempat pedagang berada, sehingga faktor lokasi sangat penting untuk terus menarik pembeli. Menurut Waworoento (dalam Widjajanti, 2000:39-40), bentuk sarana fisik berdagang yang digunakan oleh pedagang kaki lima adalah : 1.Gerobak/kereta dorong Bentuk sarana ini terdiri dari 2 macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap (static) dan semi menetap (semistatic) yang umumnya dijumpai pada pedagang kaki lima yang menjajakan makanan, minuman atau rokok. 2.Pikulan/keranjang Bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile) ataupun semi menetap (semi static). Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat. 3.Tenda Bentuk ini terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari kain plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air. Berdasarkan sarana usaha tersebut, pedagang kaki lima ini dapat dikategorikan pedagang menetap (static). 4.Kios Kios ini menggunakan papan-papan atau sebagaian menggunakan batu bata, sehingga menyerupai sebuah bilik semi permanen, yang mana pedagang yang bersangkutan juga tinggal di tempat tersebut. Pedagang kaki lima ini dikategorikan sebagai pedagang menetap.
Jurnal Pendidikan Profesional
food). Makanan yang tidak diproses, termasuk makanan mentah seperti daging, buah-buahan, ataupun sayuran. Sedangkan makanan yang semi olahan, seperti beras. 2.Makanan siap saji (prepared food), yakni penjual makanan yang sudah dimasak dan minuman. 3.Barang bukan makanan (nonfood items), kategori ini terdiri dari barang-barang dalam skala yang luas, mulai dari tekstil hingga obat-obatan 4.Jasa (services), yang terdiri dari beragam aktivitas seperti jasa perbaikan sol sepatu dan tukang potong rambut.
36
5.Gelaran/alas Pedagang pada bentuk ini, menggunakan alas berupa tikar, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangannya. Berdasarkan sarana tersebut, pedagang ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (semi static). Umumnya dapat dijumpai pada PKL yang berjualan kelontong dan makanan. 6.Jongko/meja Bentuk sarana berdagang yang menggunakan meja/jongko dan beratap/tidak beratap. Sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap.
Gambar 2 Pola Penyebaran Mengelompok PKL Pedagang pada tipe ini pada umumnya mengelompok dan terfokus pada satu kegiatan, seperti mengelilingi pasar umum, ruang-ruang terbuka/lapangan kota, tamantaman dan sebagainya. Pola penyebaran pada tipe ini dipengaruhi oleh pertimbangan aglomerasi, dimana terjadi pemusatan atau pengelompokan dari pedagang yang menjual barang dagangan sejenis atau memiliki sifat sama dengan area/sektor formal yang dikelilinginya. 2.Pola Penyebaran Linear (Street Concentrations)
Pada dasarnya, pola penyebaran dari lokasi PKL memiliki ciri tertentu, yang menurut McGee (1977:37-38) dapat dibedakan dalam dua tipe konsentrasi (pemusatan), yakni : 1.Pola Penyebaran Mengelompok (Market Focused Agglomeration)
Jurnal Pendidikan Profesional
Sumber : McGee dan Yeung (1977:37)
37
Sumber : McGee dan Yeung (1977:37)
Gambar 3 Pola Penyebaran Linear PKL Pola penyebaran pedagang tipe ini adalah terjadi di sepanjang atau dipinggir jalan utama atau jalan yang menghubungkan jalan utama. Tempatnya dapat di jalan itu sendiri ataupun di trotoar. Pola kegiatan linier banyak dipengaruhi oleh pertimbangan aksesibilitas yang tinggi pada lokasi yang bersangkutan, misalnya pada
aktivitas retail yang berdekatan. 3.Keterkaitan dengan tipe unit usaha PKL. PKL cenderung untuk berlokasi di pinggir-pinggir jalan dan pintu masuk pasar dimana aliran pejalan kaki berada pada waktu puncak (peak hour). Kesulitan bagi pembuat kebijakan adalah bagi pedagang semi menetap dan mobile yang dapat muncul sewaktu-waktu. 4.Kecenderungan PKL untuk berada di wilayah dengan kepadatan populasi yang tinggi. Dalam suatu negara mereka akan cenderung memilih kota dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi, dan di dalam kota tersebut mereka juga akan memilih lokasi kawasan yang paling padat. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Ir. Goenadi Malang Joedo dalam Widjajanti (2000:35), penentuan lokasi yang diminati sektor informal atau PKL adalah sebagai berikut : -Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang relatif sama, sepanjang hari -Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat-pusat kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering dikunjungi dalam jumlah besar -Mempunyai kemudahan untuk terjadi hubungan antara pedagang kaki lima dengan calon pembeli, walaupun dilakukan dalam ruang sempit -Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum Gejala aglomerasi yang terjadi pada PKL terkait dengan teori lokasi yang dikemukakan oleh Palander dan Hoover dalam teori mengenai ketergantungan lokasi. Lokasi usaha lebih ditentukan oleh penyebaran permintaan dan ketergantungan lokasi terhadap usaha lain yang sejenis (Djojodipuro, 1992: 119-120). Keuntungan
Jurnal Pendidikan Profesional
jalan dengan lalu lintas yang padat dan pada kegiatan perdagangan dimana terdapat pertokoan. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan pedagang dengan konsumen. Secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut : PKL dalam studi ini adalah orang-orang yang menawarkan barang/jasa dengan menempati ruang-ruang publik kota, baik trotoar, badan jalan, bantaran sungai maupun RTH, berada di sekitar pasar atau pertokoan dimana mereka tidak memiliki legalitas hukum berusaha, Sifat layanannya adalah yang menetap, menetap sementara ataupun datang dan menetap sesaat pada waktu-waktu tertentu di lokasi studi. Karakteristik Lokasional Berdagang PKL McGee & Yeung (1977:63-64) mengatakan bahwa PKL tidak berlokasi di seluruh ruang kota, menurutnya terdapat beberapa kecenderungan dari mereka dalam berlokasi, yakni : 1.PKL cenderung untuk berkonsentrasi pada area dengan kepadatan populasi yang tinggi pada titik-titik persimpangan transportasi, atau berdekatan dengan aktivitas-aktivitas seperti komplek hiburan, pasar umum dan area komersial/perdagangan dimana mereka mendapat keuntungan dari produkproduk yang melengkapi dan tarikan konsumen secara bersama. Kecenderungan PKL berkonsentrasi pada area dengan tingkat kunjungan konsumen yang besar dan aliran transportasi yang tinggi dapat meningkatkan volume penjualan. 2.Kecenderungan berjualan pada area dengan komoditas yang sama (adanya bentuk kluster). Penelitian yang dilakukannya di Hong Kong dan kotakota di Asia Tenggara lainnya, mengindikasikan bahwa pola-pola konsentrasi komoditas PKL umumnya memiliki hubungan simbiotik dengan
38
Jurnal Pendidikan Profesional
yang tinggi akan mengundang masuknya pedagang lain ke dalam lokasi tersebut. Hal ini akan menimbulkan persaingan dalam menguasai pasar seluas mungkin, tanpa membanting harga tetapi dengan mengatur lokasinya terhadap saingannya. Adanya pengelompokan tersebut akan memudahkan pembeli dalam memilih barang terbaik yang diinginkannya.
39
I.ANALISIS KARAKTERISTIK BERLOKASI PKL PADA KAWASAN PERDAGANGAN JALAN KARTINI
mendapatkan pekerjaan (sebesar 40%). Alasan lainnya adalah untuk menambah penghasilan baik menjadikan PKL sebagai usaha sampingan atau utama. Hal ini menunjukkan PKL sebagai sektor yang mudah untuk mendapatkan peluang kerja dan sektor nyata/riil di perkotaan yang keberadaannya tidak dapat diabaikan. Adanya keterkaitan perkembangan PKL Kartini dengan terjadinya krisis moneter ditunjukkan dari 34% PKL dulunya merupakan pegawai swasta serta 32% berdagang di Kartini selama 6-10 th dimana pada kurun waktu tersebut terjadi krisis moneter di Indonesia.
Analisis Karakteristik Profil PKL pada Kawasan Perdagangan Jalan Kartini Analisis profil ini bertujuan untuk mengetahui daya tarik PKL sebagai salah satu lapangan pekerjaan bagi masyarakat perkotaan. Berdasarkan hasil analisis ini ditemukan bahwa 61% PKL bertempat tinggal dari luar Kartini bahkan terdapat PKL dari luar Kota Semarang. Hal tersebut dikarenakan Kartini sebagai kawasan perdagangan berskala kota memiliki tingkat kunjungan konsumen yang tinggi sekaligus merupakan jalur penghubung pusat aktivitas perdagangan lain (Mataram, Dr.Cipto dan Barito) sehingga tarikan kunjungan yang kuat ke dalam kawasan dimanfaatkan PKL sebagai lokasi berdagang. Temuan lain adalah adanya PKL luar kota yang homeless berdampak terhadap kawasan dan lingkungan sekitarnya, terutama karena pemenuhan kebutuhan sarana prasarana yang tidak layak. Angka prosentase yang cukup berimbang di tiap tingkatan pendidikan menunjukkan PKL saat ini dimasuki oleh tingkat pendidikan manapun, tidak hanya golongan yang berpendidikan rendah. Alasan utama menjadi PKL adalah karena sulitnya
Analisis Karakteristik Aktivitas Usaha PKL pada Kawasan Perdagangan Jalan Kartini Berdasarkan analisis karakteristik aktivitas usaha PKL Kartini, temuan yang diperoleh adalah : Sebanyak 52% PKL Kartini berlokasi di Jl.Kartini II dikarenakan koridor jalan tersebut memiliki tarikan pengunjung yang paling tinggi. Legalitas lokasi berdagang dan peran pemerintah dalam mengantisipasi pertumbuhan PKL Kartini serta melakukan penataan PKL Kartini akan mempengaruhi banyaknya PKL yang menempati lokasi tersebut. Tarikan konsumen yang tinggi ke Kartini dan tidak adanya antisipasi dari pemerintah sehingga tempat usaha PKL memenuhi median jalan/RTH serta menempati trotoar, bahu jalan bahkan badan jalan. Hal tersebut menyebabkan penurunan fungsi dan kualitas ruang publik bahkan menyebabkan kemacetan di kawasan tersebut. Jenis dagangan pakan burung, sangkar dan hewan peliharaan merupakan jenis dagangan utama yang membentuk citra kawasan perdagangan Kartini sebagai kawasan PKL, sedangkan PKL lain
seperti PKL pakaian, VCD, sepatu, makanan siap saji dan lain-lain adalah aktivitas ikutan dari berkembangnya PKL tersebut. Jenis dagangan yang dijual berkaitan satu dengan yang lain seperti adanya PKL burung diikuti dengan kebutuhannya yakni pakan burung, sangkar burung serta adanya reparasi sangkar ataupun penjual VCD suara burung.
Sumber : Hasil Observasi Penyusun, Mei 2006
Gambar 5 Aktivitas Ikutan PKL Kawasan Kartini
Jurnal Pendidikan Profesional
Sumber : Hasil Observasi Penyusun, Mei 2006 Gambar 4 Jenis Dagangan Utama PKL Kawasan Kartini
Adanya ketidaksesuaian aktivitas PKL Kartini dengan PERDA PKL sekaligus ketidaktegasan aparat terlihat dari penggunaan sarana yang tidak mudah dibongkar pasang, waktu berdagang PKL yang tidak mengikuti aturan serta terdapat PKL yang menyewakan tempat usahanya kepada pihak lain. Sebanyak 95% PKL Kartini memiliki sifat layanan menetap, menunjukkan tingkat kunjungan konsumen Kartini yang tinggi sehingga mereka tidak perlu mencari lokasi lain atau berpindah tempat dalam berjualan. Adanya sifat layanan semi menetap PKL luar kota akan cenderung menarik PKL lain, sehingga semakin lama terdapat kecenderungan 40
Jurnal Pendidikan Profesional
41
PKL tersebut untuk menetap dan pengunjung berpendapatan menengah ke memenuhi seluruh sudut-sudut kota yang bawah yang memilih datang ke PKL tidak hanya di Kawasan Kartini saja. terkait faktor harga. Masyarakat Adanya kemudahan PKL Kartini dalam berpendapatan tinggi umumnya lebih memperoleh barang dagangannya dengan memperhitungkan segi kualitas atau adanya relasi spasial dimana suplier kenyamanan dalam berbelanja sehingga mengantarkan dagangan kepada PKL lebih memilih untuk datang ke sektor langsung di lokasi berdagang. formal. Kemudahan ini menunjukkan bahwa Banyaknya yang datang di hari libur lokasi bahan baku tidak menjadi terkait pekerjaan pengunjung karena jenis hambatan bagi PKL Kartini dalam dagangan yang dijual bukan barang berlokasi. kebutuhan primer. Bagi pengunjung terutama yang berpendapatan menengah ke bawah lokasi PKL tersebut sekaligus Analisis Karakteristik Profil PKL pada dapat untuk berekreasi seperti melihat Kawasan Perdagangan Jalan Kartini burung. Banyaknya pengunjung yang Analisis yang dilakukan terhadap datang di siang hari memperlihatkan pengunjung ini bertujuan mengetahui adanya keterkaitan dengan aktivitas pasar karakteristik pengunjung PKL dan aktivitas burung ataupun pertokoan. Keberadaan kunjungan yang dilakukan pada kawasan PKL Kartini menarik pengunjung yang PKL di Jalan Kartini sekaligus ingin datang ke pasar burung maupun menemukenali pentingnya keberadaan PKL pertokoan. bagi masyarakat. Temuan yang diperoleh Seringnya pengunjung datang ke PKL adalah : Kartini terkait dengan tujuan Sebesar 76% pengunjung berasal dari luar kunjungannya. Daya tarik PKL Kartini Kawasan Kartini dikarenakan fungsi yang khas karena jenis dagangannya yang Kartini sebagai kasawan perdagangan spesifik terutama PKL burung dapat skala kota dimana terdapat pasar burung menarik banyak konsumen untuk sering sekaligus berada di antara pusat aktivitas datang ke lokasi tersebut, yang tidak lain, sehingga pengunjung yang lewat dan hanya berbelanja namun juga berekreasi. tertarik menuju ke PKL semakin besar. Dominasi pengunjung yang Berdasarkan tingkat pendidikan menggunakan kendaraan pribadi yakni pengunjung PKL menunjukkan bahwa sebesar 78% dikarenakan mayoritas yang datang ke PKL Kartini bukan hanya pengunjung bertempat tinggal di luar mereka yang berpendidikan rendah. PKL Kartini dan merupakan pekerja/pegawai sebagai sektor informal perkotaan juga swasta. PKL memanfaatkan baik dimasuki oleh segala lapisan pendidikan. pengunjung yang ingin datang ke Adanya ciri khas dari dagangan yang kawasan maupun yang melintas. Tidak dijual menjadikan masyarakat dari adanya ruang parkir ditambah berbagai lapisan/golongan datang ke pengunjung yang membeli langsung dari Kartini, baik yang sudah bekerja, pelajar kendaraan mereka berdampak pada maupun pensiunan sehingga tidak timbulnya kemacetan kawasan. menunjukkan adanya dominasi konsumen tertentu di PKL Kartini. Dominasi tingkat pendapatan yang rendah menunjukkan lebih banyak
Jurnal Pendidikan Profesional
Analisis Persepsi Pengunjung Terhadap Kestrategisan lokasi yakni karena Keberadaan Aktivitas PKL Pada kedekatan lokasi dengan aktivitas Kawasan Perdagangan Jalan Kartini perdagangan dan adanya pasar yang tidak Analisis ini bertujuan untuk mengkaji dijumpai di lokasi lain menarik hubungan antara karakteristik pengunjung pengunjung dari berbagai lokasi untuk dengan persepsinya terhadap keberadaan datang. Pengunjung yang ingin menuju ke lokasi PKL pada kawasan Jalan Kartini. pasar tertarik akan keberadaan PKL di Variabel yang dikaji dalam analisis ini lokasi tersebut sehingga datang dan meliputi : motivasi kunjungan, membeli barang di PKL. aksesibilitas, kestrategisan lokasi, tujuan Adanya ruang hijau dengan pepohonan kunjungan dan kenyamanan. Temuan yang yang teduh menjadi faktor kenyamanan diperoleh adalah : utama yang menjadi daya tarik sehingga Dominasi motivasi pengunjung datang ke pengunjung datang ke PKL Kartini. Hal PKL Kartini karena adanya barang ini terlihat di Jl.Kartini II dan III dengan spesifik, semakin menguatkan adanya banyaknya pengunjung yang datang dan kekhasan dari PKL Kartini yang tidak menjadikan perkembangan PKL di kedua dijumpai di lokasi lain. Kekhasan lokasi tersebut semakin padat. Sedangkan tersebut menyebabkan tingkat di Jl.Kartini I dan Jl.Purwosari penghasilan ataupun tingkat pendidikan kenyamanan lebih dirasakan pengunjung pengunjung tidak mempengaruhi atau karena ketersediaan ruang parkir yang mengurangi motivasi pengunjung untuk mencukupi. datang karena keberadaan PKL Kartini dikunjungi oleh berbagai lapisan Analisis Karakteristik Berlokasi PKL masyarakat dan tidak ada dominasi pada Kawasan Perdagangan Jalan konsumen tertentu. Kartini Analisis ini bertujuan untuk mengetahui Kekhasan jenis dagangan PKL Kartini karakteristik berlokasi PKL Kartini yang yakni pakan burung, sangkar dan hewan didasarkan pada persepsi PKL yang peliharaan menjadi motivasi utama. dikaitkan dengan profil dan aktivitas usaha Sedangkan jenis non makanan lain PKL serta persepsi pengunjung akan dikarenakan banyaknya pilihan dan keberadaan PKL Kartini. Variabel harganya yang murah sehingga karakteristik berlokasi yang dikaji dalam pengunjung tertarik untuk datang dan analisis ini meliputi : aksesibilitas, membeli. kestrategisan lokasi, keterkaitan kegiatan Kedekatan Kartini dengan pusat aktivitas utama, pola pengelompokan jenis lain, menyebabkan persepsi pengunjung dagangan, ketersediaan prasarana, alasan akan aksesibilitas dari dan ke dalam berlokasi pada tiap koridor/penggal jalan kawasan mayoritas adalah mudah.. dan alasan bertempat usaha. Faktor ketersediaan angkutan umum tidak terlalu mempengaruhi tarikan Secara makro kawasan, temuan yang pengunjung untuk datang karena lokasi diperoleh adalah : Kartini yang berada di antara pusat Kemudahan akses dari dan ke dalam aktivitas lain dengan kemudahan kawasan menjadikan lokasi tempat angkutan. Kemudahan akses ke kawasan tinggal tidak menjadi hambatan PKL menjadikan mayoritas pengunjung sering berlokasi dan pengunjung untuk datang. datang ke PKL Kartini 42
Jurnal Pendidikan Profesional
Keterbatasan moda transportasi umum lebih memilih untuk membeli di luar tidak mempngaruhi frekuensi kunjungan pasar. Kegiatan utama yang menjadi daya pengunjung yang mayoritas memiliki tarik PKL Kartini untuk berlokasi tidak kendaraan pribadi. Aktivitas kawasan hanya didominasi oleh aktivitas yang menurun pada malam hari dan tidak perdagangan namun juga melayani tersedianya angkutan umum, aktivitas permukiman di sekitar kawasan menyebabkan jumlah PKL Kartini yang tersebut. PKL yang menjual pada malam berdagang pada malam hari tidak besar hari dengan jenis makanan dan minuman dan aktivitas yang dilayani adalah siap saji cenderung lebih memanfaatkan permukiman. kedekatan dengan lingkungan Adanya aktivitas perdagangan dengan permukiman, sehingga pengunjung yang pasar burung sebagai kegiatan utamanya dilayani terutama masyarakat sekitar menjadi faktor kestrategisan lokasi. kawasan tersebut. Adanya aktivitas pasar burung tersebut Adanya tarikan pasar burung yang kuat memberikan tarikan kunjungan tinggi ke sehingga membentuk pola dalam kawasan sehingga banyak lalu pengelompokan PKL yang mendekati lalang pengunjung. Selain itu kedekatan aktivitas pasar dan memiliki kesamaan kawasan dengan pusat aktivitas lain jenis dagangan (pakan burung, sangkar semakin memperkuat tarikan pengunjung dan hewan peliharaan). Semakin yang melewati kawasan tersebut. mendekati pasar burung, PKL Adanya hubungan yang erat antara PKL mengelompok semakin banyak dan Kartini dengan pasar burung terlihat dari semakin jauh dari pasar PKL semakin kesamaan waktu dan intensitas berdagang sedikit. Pola pengelompokan campuran keduanya. PKL berusaha memotong jalur PKL non makanan (pakaian, perkakas, aktivitas perdagangan formal tersebut VCD, dan sebagainya) dengan tujuan ikut dengan berada di sekitar pasar yang memanfaatkan aliran pengunjung yang mudah dilihat, sehingga konsumen akan melintas/lewat maupun ke pasar burung.
43
Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2006
Gambar 6 Analisis Pola Pengelompokan Jenis Dagangan PKL
Pola pengelompokan PKL makanan siap saji berada di antara PKL lain baik sejenis maupun bercampur, terkait fungsi layanannya yang melayani kebutuhan primer masyarakat, pengunjung atau PKL sendiri
Adanya kemudahan dalam memperoleh prasarana menyebabkan PKL Kartini nyaman berdagang menetap di lokasi tersebut sehingga menarik PKL lain untuk berdagang. Adanya aktivitas PKL Kartini berdampak pada menurunnya kondisi lingkungan terutama akibat sampah yang tidak dikelola dengan baik termasuk menurunnya kualitas air sungai.
Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2006
Secara mikro kawasan, karakteristik berlokasi PKL dibagi dalam tiap lokasi/penggal jalan. Berikut alasan berlokasi PKL di tiap penggal jalan : Adanya keterkaitan antara kegiatan utama dengan lokasi berdagang PKL terlihat pada gambar berikut :
Implikasi Karakteristik Berlokasi PKL Kartini terhadap Perkembangan Kota Semarang Implikasi dari karakteristik berlokasi PKL yang mendekati kawasan fungsional kota adalah pertumbuhan PKL yang sporadis karena berada di ruang-ruang kota terutama sepanjang jalan-jalan protokol yang memiliki populasi dan arus lalu lintas tinggi, sehingga muncul titik/spot dalam ruang kota yang menjadi incaran PKL.
Jurnal Pendidikan Profesional
Gambar 7 Alasan Berlokasi PKL Kartini di Tiap Lokasi Berdagang
44
Jurnal Pendidikan Profesional
45
Implikasi terhadap ketersediaan suburnya sektor informal di bidang sewaprasarana/utilitas menyewa, kontrak atau rumah kos di Pola operasi PKL yang menempati ruang kawasan-kawasan fungsional yang publik dengan membuang sisa dagangan berdekatan dengan aktivitas PKL. di sembarang tempat menyebabkan -Munculnya permukiman (pondok) boro timbulnya kekumuhan kawasan terlebih liar karena pemerintah tidak dapat serta adanya keterbatasan akses akan prasarana merta menyediakan pondok boro bagi bagi golongan tersebut. Oleh sebab itu mereka. Dampak lebih lanjut adalah perlu peningkatan pengelolaan prasarana munculnya kantong-kantong berdagang PKL. Selain itu adanya permukiman liar yang kemudian kecenderungan sarana dagangan PKL menimbulkan permukiman kumuh. sebagai tempat tinggal dan apabila Permukiman informal tersebut dapat dilarang maka PKL akan memanfaatkan muncul karena keterbatasan ekonomi jalan lingkungan untuk menyimpan yang umumnya dialami oleh PKL, sarana dagangan yang menyebabkan sebab tidak semua PKL dapat menyewa fungsi jalan menjadi menurun. rumah atau kos. Kebutuhan akan ruang bagi sarana Implikasi Terhadap Kebijakan dagangan diperlukan dalam setiap Semakin berkembangnya PKL yang penataan PKL. memenuhi sudut kota menyebabkan Implikasi terhadap perkembangan perlunya penyediaan ruang bagi PKL permuiman (baik spatial terutama hingga kedalaman Indikasi adanya PKL Kartini yang berasal RTBL maupun ekonomi). Selain dari segi dari luar kota akan cenderung spatial dimana PKL selalu tidak diberi menyebabkan terjadinya arus migrasi ke ruang, dalam pengaturannya-pun terjadi Kota Semarang, sehingga menimbulkan : tumpang tindih. Kebijakan Pemkot yang -Adanya kecenderungan tumbuh selama ini selalu melakukan penataan
IV. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1.PKL merupakan alternatif lapangan kerja yang mudah ditembus oleh masyarakat dari tingkat pendidikan manapun. Selain itu PKL dapat menyediakan “economic cushion” (jaminan ekonomi) dalam situasi fluktuasi/ketidaktepatan pekerjaan. Hal tersebut ditunjukkan dari tingginya jumlah PKL Kartini setelah krisis moneter, didukung dengan pekerjaan sebelum menjadi PKL mayoritas bekerja sebagai pegawai swasta. 2.Keberadaan PKL Kartini diperlukan oleh masyarakat umum dari berbagai golongan, baik tingkat pendidikan, pendapatan maupun pekerjaan. PKL dapat memberikan kenyamanan yang tidak hanya barang yang murah dan berkualitas namun dapat dijadikan sarana berekreasi bagi pengunjung. 3.Karakteristik berlokasi PKL terkait dengan karakteristik aktivitas kawasannya. Karakteristik berlokasi PKL Kartini dapat dilihat secara makro kawasan maupun mikro kawasan. Karakteristik berlokasi makro adalah karakteristik keseluruhan kawasan, sedangkan secara mikro adalah karakteristik tiap lokasi yang ada dalam kawasan tersebut sehingga menjadi lokasi pilihan berdagang PKL.
Karakteristik berlokasi makro PKL Kartini yakni sebagai berikut : a.Kestrategisan lokasi yang berada pada kawasan perdagangan dengan adanya pasar burung Kestrategisan lokasi yang mendekati aktivitas perdagangan/pasar menyebabkan semakin banyak pengunjung yang mengetahui keberadaan PKL sehingga tertarik untuk membeli karena tarikan pengunjung baik pejalan maupun kendaraan yang melintasi kawasan tersebut tinggi. b.Kemudahan aksesibilitas yang didukung dengan ketersediaan jalan yang baik Kemudahan akses ini akan dapat mempengaruhi frekuensi kunjungan pengunjung ke PKL menjadi lebih sering. Kedekatan lokasi PKL dengan kegiatan utama kawasan menjadikan keterbatasan faktor angkutan umum tidak menjadi hambatan untuk berlokasi. c.Memiliki keterkaitan aktivitas dengan kegiatan utama kawasan yakni pasar burung Karakteristik aktivitas usaha PKL Kartini terkait dengan aktivitas kegiatan utama yakni Pasar Burung Karimata. Keterkaitan tersebut terutama terlihat dari intensitas waktu pelayanannya. PKL berusaha memanfaatkan akumulasi konsumen dan memotong jalur perdagangan dengan menjual dagangan pada waktu yang sama dengan aktivitas pasar. d.Adanya pengelompokan jenis dagangan PKL mendekati pasar burung Karakteristik berlokasi PKL Kartini adalah mengelompok dengan PKL lain baik dagangan sejenis maupun bercampur. Karakteristik ini menunjukkan adanya ketergantungan lokasi dengan usaha yang sejenis sehingga PKL akan berlokasi mendekati PKL lain karena dapat memberikan keuntungan tinggi. Tarikan
Jurnal Pendidikan Profesional
secara represif tanpa memperhatikan karakteristik berlokasi PKL harus diubah dengan cara yang lebih menguntungkan semua pihak. Setelah menyediakan ruang, pembatasan-pembatasan dengan ketegasan aparat sangat diperlukan.
46
Jurnal Pendidikan Profesional
yang kuat dari kegiatan utama yakni pasar burung, membentuk pola pengelompokan yang semakin mendekati kegiatan utama (pasar burung) pengelompokan PKL semakin terlihat/padat dan semakin menjauhi pasar pengelompokan PKL semakin sedikit/renggang. e.Jenis dagangan utama yang dijual pakan burung, sangkar dan hewan peliharaan Karakteristik jenis dagangan tersebut disesuaikan dengan target konsumen PKL yakni pengunjung yang akan menuju ke pasar burung sehingga dominasi jenis dagangan yang dijual PKL Kartini adalah pakan burung, sangkar dan hewan peliharaan. f.Menempati ruang hijau yang dapat memberikan kenyamanan Terkait dengan jenis dagangan utama yang dijual terutama hewan peliharaan (burung, anjing, kucing, dan lainnya) sehingga karakter PKL dalam memilih tempat usahanya adalah pada ruang hijau yang memberikan keteduhan sekaligus kenyamanan bagi pengunjung. g.Kebutuhan akan ketersediaan prasarana terutama prasarana sampah Terkait dengan dominasi jenis dagangan dan waktu pelayannnya sehingga karakteristik berlokasi PKL Kartini adalah membutuhkan ketersediaan prasarana terutama prasarana sampah.
47
Karakteristik berlokasi mikro PKL dalam Kawasan Kartini adalah berada pada spotspot lokasi yakni : a.Jl. Kartini I PKL berlokasi karena memanfaatkan pengunjung yang melintasi jalan ini sekaligus pengunjung yang menuju ke areal ruko dan pertokoan. Tidak adanya dagangan yang spesifik pada pertokoan, sehingga tidak menunjukkan adanya dominasi dagangan tertentu pada PKL Jl. Kartini I.
b.Jl. Kartini II Lebih banyaknya pengunjung dan PKL yang berada di lokasi ini dibanding lokasi lain dikarenakan jalan ini merupakan jalur utama menuju Pasar Burung dan area permukiman, sehingga tarikan pengunjung lebih tinggi. Karakteristik jalan ini adalah adanya dua pengelompokan jenis dagangan, yakni PKL pakan burung, sangkar dan hewan peliharaan serta PKL non makanan lain (perkakas, sepatu, bunga dan sebagainya) dikarenakan banyaknya orang dan kendaraan yang lewat terutama pengunjung yang menuju ke pasar burung sehingga dimanfaatkan PKL untuk menarik pengunjung tersebut dengan menempati median jalan/RTH yang mudah dilihat dan dicapai. c.Jl. Kartini III Karakteristik jalan ini adalah pengelompokan PKL pakan burung, sangkar dan hewan peliharaan karena lokasinya yang merupakan pintu keluar masuk Pasar Burung Karimata, PKL berusaha memotong aktivitas perdagangan menuju pasar tersebut. Adanya penataan yang dilakukan pemerintah sehingga PKL pada lokasi ini menempati seluruh median jalan/RTH. d.Jl. Purwosari PKL berlokasi karena terkait dengan kegiatan utama yakni aktivitas permukiman sehingga dominasi PKL makanan siap saji yang mengelompok dengan penyebaran secara linear di trotoar berusaha memanfaatkan pengunjung yang menuju areal permukiman. Dominasi konsumen yang dilayani terutama adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Kartini.
Jl.Kartini II sehingga selalu bertambah tiap tahunnya, tidak hanya di median jalan Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan namun hingga ke trotoar dan bahu jalan dan kesimpulan yang diperoleh, maka dan sarana dagangannya yang menjadi dapat direkomendasikan beberapa hal tidak mudah dibongkar pasang. berkaitan dengan karakteristik berlokasi 3.Adanya Juklak yang melengkapi PERDA PKL Kartini khususnya bagi Pemerintah PKL Kota Semarang, yakni sebagai berikut : Pengaturan PKL yang terdapat pada 1.Adanya stabilisasi (pengaturan ruang dan PERDA PKL No.11 Tahun 2000 tidak aktivitas PKL) dapat mengakomodasi karakteristik PKL Keberadaan PKL yang tidak dapat yang berbeda di tiap lokasi. Oleh sebab itu dihilangkan dari ruang kota, sehingga perlu adanya Juklak sebagai pelengkap harus diwadahi dalam rencana tata ruang PERDA di tiap lokasi PKL yang dapat dikota. Pendekatan yang dilakukan, proses update tiap tahunnya. pembuatan kebijakan dan pengambilan Implikasi dari karakteristik berlokasi PKL keputusan dalam pengaturan PKL harus Kartini akan berpengaruh terhadap juga melibatkan PKL dan masyarakat perkembangan kota, sehingga rekomendasi sekitar (transparan). Ketegasan aparat lebih lanjut adalah : untuk mengatur aktivitas sesuai dengan Penyediaan ruang bagi sektor informal aturan yang telah ditetapkan sangat (PKL) hingga kedalaman Rencana Tata penting untuk dilakukan. Pengaturan Bangunan dan Lingkungan (RTBL) tersebut diantaranya meliputi : sehingga tidak hanya berhenti pada Pengaturan ruang berdagang RDTRK. Pengaturan waktu berdagang Pembangunan pondok boro pada lokasi Pengaturan sarana berdagang yang memiliki aksesibilitas tinggi dan Adanya manajemen pengelolaan PKL tidak hanya di pinggiran kota. Adanya Kartini kemudahan akses akan prasarana dalam 2.Pengendalian pertumbuhan PKL pondok boro tersebut dan biaya sewa yang Pemerintah Kota seringkali terjangkau sehingga PKL akan merasa terlambat/kurang antisipatif dalam aman dan nyaman untuk menempatinya. menangani PKL kemudian melakukan Peningkatan peran lembaga yang khusus pembongkaran atau relokasi apabila menangani permasalahan PKL termasuk jumlah mereka banyak dan mulai dalam pengaturan ruang, kebersihan kota mengganggu aktivitas sekitarnya. hingga pembinaan terhadap PKL seperti Pengendalian pertumbuhan PKL ini adanya fasilitas pinjaman/kredit kepada terutama perlu dilakukan pada lokasiPKL. lokasi yang potensial akan berkembang Adanya lembaga organisasi non formal PKL. Pengendalian tersebut diantaranya PKL (bukan hanya dalam bentuk seperti jumlah PKL yang melebihi batas paguyuban PKL) yang dapat kapasitas atau pengembangan terlibat/masuk ke dalam tata bangunan/kios PKL. Peran paguyuban pemerintahan sehingga PKL tidak selalu PKL penting dalam membatasi PKL baru menjadi pihak yang dirugikan. untuk masuk berdagang.Sebagai contoh kurang tegasnya pengendalian pertumbuhan jumlah PKL gelaran pada Jurnal Pendidikan Profesional
V. REKOMENDASI
48
Jurnal Pendidikan Profesional
DAFTAR PUSTAKA
49
Ahmad, Ahmaddin. 2002. Redesain Jakarta 2020. Jakarta : Kota Press. Alisjahbana. 2005. Sisi Gelap Perkembangan Kota : Resistensi Sektor Informal dalam Perspektif Sosiologis. Yogyakarta : Laksbang Pressindo. _________.2005. Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan. Surabaya : ITS Press Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Yogyakarta : Rineka Cipta. Bintarto, R. 1984. Urbanisasi dan Permasalahannya. Yogyakarta : Ghalia Indonesia. Carr, Stephen et al. 1992. Public Space. Cambridge University Press. Chapin, F. Stuart dan Edward J Kaiser. 1979. Urban Land Use Planning. Chicago : University of Illinois Press. Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative & Quantitative A p p ro a c h e s . L o n d o n : S A G E Publication. Dewanto, Luci Agung. 2003. “Studi Persepsi Penghuni terhadap Ketersediaan Ruang Terbuka Publik di Perumahan "Kota Wisata Cibubur" Tugas Akhir tidak diterbitkan, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Engel, James.F et al. 1995. Perilaku Konsumen. Jakarta: Binarupa Aksara. Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Kamus Tata Ruang. 1994.
Kristina, Diana. 2001. “Studi FaktorF a k t o r Ya n g M e m p e n g a r u h i Kecenderungan Pemilihan Lokasi Kegiatan PKL (Studi Kasus Kawasan Perdagangan Johar)” Tugas Akhir tidak diterbitkan, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, F a k u l t a s Te k n i k U n i v e r s i t a s Diponegoro, Semarang. Manning, Chris dan Tadjuddin Noer Effendi. 1996. Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. McGee, T.G dan Y.M Yeung. 1977. Hawkers in Southeast Asian Cities : Planning for the Bazaar Economy. Canada : IDRC Publishers. Nugroho, Radika Pinto. 2003. “Studi Kesesuaian Ruang Aktivitas Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampung Kali Semarang (Karakteristik PKL, Kebijakan Pemerintah dan Dukungan Masyarakat)” Tugas Akhir tidak diterbitkan, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. PERDA No.15 Tahun 1981 Tentang Penghijauan dan Pertamanan (Ruang Terbuka Hijau) di Kota Semarang. PERDA Kota Semarang No. 11 Tahun 2000 Tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima Poerwadarminta. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rahayu, Sri. 2005. SPSS Versi 12.00 : dalam Riset Pemasaran. Bandung : CV. Alfabeta Rachbini, Didik J dan Abdul Hamid. 1994. Ekonomi Informal Perkotaan. Jakarta : LP3ES Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) BWK I Kota Semarang 2000-2010
Kesesuaian Ruangnya Di Jalan Malioboro Ahmad Yani Yogyakarta” Tugas Akhir tidak diterbitkan, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. Widjajanti, Retno. 2000. “Penataan Fisik Kegiatan Pedagang Kaki Lima Pada Kawasan Komersial Di Pusat Kota (Studi Kasus : Simpanglima Semarang)” Tesis Tidak Diterbitkan, Magister Teknik Pembangunan Kota Institut Tekhnologi Bandung, Bandung. Widodo, Ahmadi. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Usaha PKL (Studi Kasus Kota Semarang)” Tesis tidak diterbitkan, Magister Teknik Pembangunan Kota Institut Tekhnologi Bandung, Bandung. Yeates, Maurice dan Barry Garner. 1979. The North American City. San Fransisco : Harper & Row Publishers. Yustika, Ahmad Erani. 2000. Industrialisasi Pinggiran. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. _________. 2003. Negara vs Kaum Miskin.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Utomo, Tri Widodo W. 2005. PKL : Masalah atau Solusi?. Available at : http://www.geocities.com. Diakses pada tanggal 30 April 2006. “Tak Ada Jalan yang Bebas”. 2005. Suara Merdeka, 8 April. Available at: http://www.suaramerdeka.com/haria n/0504/08/kot16.htm. Diakses pada tanggal 20 Mei 2006.
Jurnal Pendidikan Profesional
Ridlo, Mohammad Agung. 2001. Kemiskinan di Perkotaan. Semarang : UNISSULA Press. Rukayah, Siti. 2005. Simpang Lima Semarang : Lapangan Kota Dikepung Ritel. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro Rushton. 1979. Optimal Location for Facilities.Wentworth : Com Press Rustan, Hakim dan Hardi Utomo. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap : Prinsip-prinsip dan Aplikasi Disain. Jakarta : Bumi Aksara Shirvani, Hamid. 1985. The Urban Design Process. New York : Van Nostrand Reinhold Company Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES SK Walikota Semarang No. 511.3/16 Tentang Penetapan Lahan / Lokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Wilayah Kota Semarang. Sugiyono. 2000. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : CV Alfabeta. Sulistyawati, Heti. 2006. “ Studi Perkembangan Guna Lahan Komersial di Kota Baru Bandar Kemayoran Jakarta” Tugas Akhir tidak diterbitkan, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, F a k u l t a s Te k n i k U n i v e r s i t a s Diponegoro, Semarang. Tontey, Joksen Thomas. 2003. “Kajian Kebijakan Penataan Aktivitas Pedagang Kaki Lima di Pusat Kota Manado” Tesis tidak diterbitkan, Magister Teknik Pembangunan Kota Universitas Diponegoro, Semarang. Usman, Sunyoto. 2006. Malioboro. Yogyakarta : PT. Mitra Tata Persada. Widihapsari, Ratih. 2001. “Identifikasi Hubungan Karakteristik Kegiatan PKL dan Kegiatan Formal Serta
50
PUSAT PEMBINAAN KEAHLIAN DAN TEKNIK KONSTRUKSI BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI DAN SUMBER DAYA MANUSIA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
NO. ISSN 1829-5568