Bab-8. Pendekatan Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Kawasan Ekosistem Terumbu Karang. Oleh Alan F. Koropitan
KONSEP, TERMINOLOGI, DAN CCMA (CLIMATE CHANGE MITIGATION AND ADAPTATION) Pemanasan global (global warming) yang terjadi saat ini telah membawa perubahan dalam sistem kebumian atau dikenal dengan perubahan iklim (climate change). Pencairan es di kutub, cuaca ekstrim (badai es dan gelombang panas) dan peningkatan badai tropis adalah merupakan bukti-bukti nyata yang terjadi saat ini. Kemunculan badai tropis Bopha yang membawa korban banyak jiwa di Filipina Selatan, terjadi di lokasi yang tidak biasa sebagaimana dilaporkan oleh Joint Typhoon Warning Center. Hal ini semakin memperkuat dugaan akan dampak dari pemanasan global yang semakin nyata namun sulit diprediksi. Konsep pemanasan global, secara sederhana, dapat dijelaskan melalui pendekatan kesetimbangan energi panas di permukaan bumi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kiehl and Trenberth (1997), proses bumi menerima energi dari matahari dalam bentuk radiasi. Pada proses radiasi sebelah kiri gambar sekitar 30% radiasi matahari akan dipantulkan kembali sementara 70% sisanya akan diserap oleh permukaan bumi. Namun demikian, permukaan bumi tidak langsung secara mendadak mengalami pemanasan (atau bahkan pendinginan) karena radiasi matahari yang diserap akan dilepaskan kembali ke angkasa dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Dengan demikian, sistem kebumian memiliki proses alami dalam mengatur kesetimbangan suhu permukaan bumi. Dengan keberadaan gas rumah kaca di atmosfer (misalnya: karbon dioksida, methana, nitro oksida, dan lain-lain), maka kesetimbangan suhu permukaan bumi menjadi terganggu. Efek gas rumah kaca ini akan menyerap kembali energi panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi. Bumi yang berbentuk seperti bola, konsekuensinya akan menerima banyak energi panas di sekitar ekuator dan energi panas ini akan ditransportasikan ke lintang tinggi melalui sirkulasi atmosfer dan laut. Proses ini kemudian diasosiasikan sebagai pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim. Gas rumah kaca yang terutama adalah karbon dioksida (CO2), dimana emisi CO2 ke atmosfer akibat aktifitas manusia telah berlangsung sejak revolusi industri pada akhir abad 18. Eksploitasi besar-besaran minyak bumi serta konversi hutan menjadi lahan pemukiman merupakan penyumbang terbesar emisi CO2 ke atmosfer, atau dikenal dengan istilah karbon antropogenik. Perubahan iklim yang terjadi saat ini, merupakan konsekuensi dari aktifitas manusia. Upaya-upaya yang terkait dengan intervensi antropogenik untuk mereduksi pembangkit
antropogenik dalam sistem iklim, termasuk untuk mereduksi sumber-sumber gas rumah kaca dan meningkatkan penghilangan (sinks) gas rumah kaca disebut dengan mitigasi (IPCC, 2007a). Penggalangan kampanye untuk memelihara lingkungan akibat aktifitas manusia yang merusak, termasuk emisi karbon antropogenik, dimulai saat pelaksanaan Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UN Conference on Environment and Development UNCED) di Rio de Jenerio, Brasil, pada tahun 1992 atau dikenal dengan Earth Summit. UNCED kemudian menghasilkan penandatangan penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations Framework on Climate Change Convention (UNFCCC). Badan pengambilan keputusan konvensi adalah Conference of the Parties (COP). Selain itu, PBB menugaskan World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) untuk membentuk Inter-Governmental Panel on Climate Change (IPCC), yang terdiri atas ilmuan terkemuka dunia untuk pengukuran perubahan iklim secara ilmiah. Salah satu COP terkenal adalah COP ke-3 di Kyoto, pada Desember 1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto bermaksud menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (termasuk CO2) pada tingkat yang tidak membahayakan manusia, dimana masa berlakunya pada periode 2008 – 2012. Namun sampai berakhirnya Protokol Kyoto, tidak ada pengurangan yang berarti dari emisi CO2 ke atmosfer serta tidak ada kesepakatan yang mengikat untuk memperpanjang Protokol Kyoto. Perkembangan terakhir memperlihatkan tidak adanya harapan dalam penurunan emisi CO2 ke atmosfer, bahkan beberapa negara yang awalnya telah meratifikasi Protokol Kyoto telah mundur dari komitmen mereka. Untuk itu, diperlukan upaya terstruktur dalam beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim ini, selain upaya kampanye mitigasi tetap terus digalakkan. Adaptasi menurut IPCC (2007a) adalah penyesuaian terhadap sistem alami atau manusia dalam merespon perubahan iklim serta efeknya, baik yang terjadi saat ini maupun antisipasi perubahan di masa mendatang, penyesuaian dapat berupa upaya mengurangi hal buruk atau juga mengeksploitasi peluang-peluang yang menguntungkan. Beragam tipe adaptasi yang ada, antara lain: a. adaptasi proaktif yang dilakukan sebelum dampak perubahan iklim diamati (adaptasi antisipatif), b. adaptasi spontanitas yang dipicu karena adanya perubahan ekologis dalam sistem alami dan perubahan kesejahteraan dalam sistem manusia, c. adaptasi terencana, yang merupakan hasil dari keputusan kebijakan yang lahir dari kesadaran bahwa perubahan sedang atau akan terjadi sehingga membutuhkan langkah nyata untuk mengembalikan ke kondisi semula atau mengaturnya.
CCMA SEBAGAI KOMPONEN CORAL GOVERNANCE Dampak perubahan iklim terhadap ekosistem terumbu karang telah mengakibatkan penurunan proses kalsifikasi yang penting dalam pembentukan karang melalui deposit kalsium karbonat. De’ath et al. (2009) melaporkan bahwa sejumlah karang massive di Great Barrier Reef-GBR, Australia telah mengalami penurunan kalisifikasi sebesar 14,2 % sejak tahun 1990.
Kuat dugaan bahwa penurunan kalsifikasi di GBR akibat peningkatan suhu laut dan penurunan kondisi kelarutan aragonite air laut. Beberapa hal lain yang mengancam ekosistem terumbu karang adalah asidifikasi laut, yaitu penurunan pH laut akibat penyerapan karbon antropogenik di atmosfer oleh laut. Asidifikasi dapat mengikis cangkang suatu biota laut ataupun karang yang terbentuk dari kalsiu karbonat. Selain itu, dampak peningkatan suhu permukaan laut, curah hujan yang ekstrim dapat memicu pemutihan karang. Dengan demikian, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim menjadi isu penting dalam tata kelola wilayah terumbu karang. Adaptasi di wilayah terumbu karang menjadi krusial karena berhubungan dengan fungsi ekologis yang sangat penting bagi sumberdaya perikanan, keanekaragaman hayati serta kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun, hal ini tidak terkait dengan peran terumbu karang sebagai penyerap atau pelepas karbon ke atmosfer. Isu ini sesungguhnya telah memicu perdebatan yang cukup panjang pada era 1990-an. Dengan adanya laporan dari Gattuso et al. (1999), maka cukup tegas dijelaskan bahwa wilayah terumbu karang serta wilayah perairan lainnya yang memiliki proses kalsifikasi adalah berfungsu sebagai pelepas karbon ke atmosfer. Persoalan pelepas atau penyerap karbon di wilayah terumbu karang sesungguhnya bukanlah persoalan yang terkait dengan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism-CDM) sebagaimana yang dihasilkan dalam Protokol Kyoto. CDM lebih mengarah pada pengurangan emisi karbon antropogenik dan bukanlah proses alami sebagaimana yang terjadi dalam ekosistem terumbu karang.
FAKTOR-FAKTOR PENENTU PERUBAHAN IKLIM Dalam sejarah perkembangan sistem kebumian, perubahan iklim bukanlah hal yang baru terjadi di muka bumi ini. Dalam hal ini, paling tidak ada 5 faktor penyebab perubahan iklim alami di waktu lampau yang terjadi sejak 100 juta tahun lampau sampai menjelang periode industri tahun 1790-an, yaitu: 1) pergeseran lempeng menurut skenario BLAG (Berner et al., 1983), 2) aktfitas biologis di laut dalam proses glasial-interglasial, 3) siklus presesi (precession cycle) dari sumbu rotasi bumi, 4) sirkulasi termohalin dan 5) badai matahari.
•
Skenario BLAG
Menurut skenario BLAG, mengacu pada nama penulis yaitu Berner, Lasaga dan Garrels (Berner et al., 1983), perubahan iklim yang terjadi dalam kurun waktu 100 juta tahun yang lampau adalah melalui proses pergeseran lempeng tektonik. Untuk memahami hal ini, perlu memahami teori Walker et al. (1981) yang dimulai dari kondisi bumi awal miliaran tahun yang lampau, dimana radiasi sinar matahari masih sangat lemah dibandingkan dengan saat ini. Kondisi ini dapat menyebabkan bumi membeku di masa awal pembentukannya, sehingga untuk kompensasinya maka memerlukan suhu yang panas di permukaan bumi. Pada kondisi 100 juta
tahun lampau, pergeseran lempeng bumi relatif lebih cepat dibanding masa kini, sehingga terjadi pelepasan CO2 melalui aktifitas pergeseran lempeng ini. Dengan demikian, suhu permukaan bumi menjadi lebih panas pada era tersebut dibanding saat ini. Dalam skenario BLAG ini, suhu permukaan bumi lebih panas 10°C dibanding kondisi masa kini. Kondisi saat ini telah terjadi pelemahan pergeseran lempeng sehingga pelepasan CO2 juga berkurang.
•
Periode glasial-interglasial
Periode glasial (periode es) dan interglasial (periode non-es, relatif hangat) teramati di stasiun Vostok, Antartika melalui rekonstruksi isotop melalui data hasil pengeboran (core) es (Gambar 8.1). Hasil rekonstruksi untuk CO2 atmosfer dan suhu udara memperlihatkan korelasi yang erat antar kedua parameter ini, yaitu kenaikan CO2 atmosfer akan diikuti oleh kenaikan suhu udara dan sebaliknya. Siklus ini membentuk periode sekitar 100 ribu tahun. IPCC (2007b) menjelaskan bahwa dari sekian banya teori yang berkembang, peranan laut dalam hal ini sangat besar. Laut merupakan tempat penyimpanan karbon yang besar di banding daratan dan lautan dengan komposisi sekitar 65:12:1 untuk laut, daratan dan udara. Proses-proses yang terjadi di laut seperti sirkulasi laut, akitifitas biologi, interaksi laut-sedimen, sistem karbonat laut serta pertukaran udara-laut diyakini bertanggung jawab dalam mengontrol CO2 di atmosfer dalam kurun periode glasial-interglasial. Tanpa aktifitas biologi di laut, maka CO2 di atmosfer akan meningkat tinggi. Dalam hal ini, Martin (1990) yang terkenal akan mengembalikan kondisi bumi ke periode glasial dengan fertilisasi unsur besi, melihat bahwa banyak lokasi di laut memiliki faktor pembatas unsur besi untuk pertumbuhan fitoplankton. Masukan unsur besi melalui partikel debu di udara terjadi beberapa kali dalam jumlah besar saat periode glasial.
Gambar 8.1. Data deret waktu periode glacial-interglasial di stasiun Vostok, Antartika. Deret waktu menurut skala waktu geologi untuk es (sumbu-x bawah) yang mengacu pada kedalaman es (sumbu-x atas) dengan sumbu-y sebelah kiri untuk (a) rekonstruksi secara isotop untuk CO2 atmosfer dan (b) rekonstruksi secara isotop untuk suhu udara (dimodifikasi dari Petit et al., 1999).
•
Siklus presesi
Gambar 8.1. juga memperlihatkan bahwa dalam periode glasial, terlihat adanya variasi musiman dengan periode siklus 22000 tahun. Hal terkait erat dengan siklus presisi sumbu rotasi bumi dalam mengelilingi matahari. Dengan siklus ini, Broecker (2003) menjelaskan pada Gambar 8.2 bahwa ada masa bumi relatif dekat dalam mengelilingi matahari atau jauh dari matahari. Siklus ini memberi dampak terhadap variabilitas radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi sehingga mempengaruhi suhu udara.
Gambar 8.2. Siklus presisi bumi (Sumber: Broecker, 2003)
•
Sirkulasi termohalin
Pencatatan melalui rekostruksi isotop hasil pengeboran es di Greenland memberi informasi adanya perubahan iklim mendadak (abrupt climate change), khususnya periode Younger Dryas-YD (Gambar 8.3). Periode ini memperlihatkan adanya penurunan suhu selama beberapa tahun pada sekitar 15000 tahun yang lampau, kemudian diikuit oleh penaikan suhu secara tiba-tiba. Kondisi ini memiliki keterkaitan erat dengan sirkulasi termohalin, yaitu sirkulasi global laut yang membawa massa air hangat dan dingin. Arus Lintas Indonesia yang sedang hangat dikaji dekade terakhir ini merupakan bagian dari sirkulasi termohalin ini, yang membawa massa air dari Samudera Pasifik (relatif hangat dan salnitas tinggi) melewati perairan Indonesia
dan menuju ke Samudera Hindia. Massa air ini akan terus terbawa masuk ke Samudera Atlantik melalui Afrika bagian selatan kemudian melalui permukaan terus ke Samudera Atlantik bagian utara. Massa air yang melewati perairan tropis akan mencapai utara Samudera Atlantik yang relatif dingin sehingga densitas massa air ini meningkat dan terjadi penenggelaman. Hal ini dikenal dengan pembentukan massa air laut dalam utara Atlantik (North Atlantic Bottom WatterNABW). NABW selanjutnya akan bergerak ke selatan menuju Southern Ocean melalui lapisan dalam Samudera Atlantik. Demikian selanjutnya, massa air laut dalam ini akan memasuki kembali Samudera Pasifik dan Hindia kemudian naik ke permukaan melalui proses upwelling seperti diperlihatkan pada Gambar 8.4.
Gambar 8.3. Rekonstruksi akumulasi salju dan variabilitas suhu udara di Greenland (Sumber: Alley, 2004)
Gambar 8.4. Sirkulasi termohalin, dimana merah merupakan pergerakan massa air di permukaan sedangkan biru adalah pergerakan massa air di lapisan dalam (Sumber: Wikipedia).
Pencairan es yang terjadi pada periode YD terlihat dipengaruhi oleh penurutan suhu permukaan bumi. Kondisi ini dimungkinkan untuk wilayah Arktik dan Greenland, dimana sesungguhnya saat itu terjadi pemanasan yang mengakibatkan pencairan es di utara. Pencairan es ini akan berdampak pada penurunan densitas dan mengganggu proses pembentukan NABW akibat adanya pelemahan proses penenggelaman sirkulasi termohalin di utara Samudera Atlantik. Pada akhirnya, periode YD dikaitkan dengan berhentinya sirkulasi termohalin di wilayah tersebut sehingga memicu kenaikan suhu secara mendadak. Suhu yang turun pada beberapa tahun sebelum kenaikan suhu mendadak adalah akibat berkurangnya suplai bahang dari tropis Samudera Atlantik, sebagai respon dari perlambatan sirkulasi termohalin karena penurunan densitas di utara Samudera Atlantik. Kondisi yang sama terjadi saat ini di Eropa dan Amerika bagian utara, dimana dalam kurun dekade terakhir terjadi penurunan suhu yang ekstrim serta badai salju.
•
Badai Matahari
Pada Gambar 8.3 juga terlihat adanya periode Medieval Warm Period dan Little Ice Age. Periode ini terkait erat dengan aktifitas badai Matahari sebagaimana pengamatan oleh Bond et al. (2001) yang mengkaitkannya dengan material kosmik yang teramati di sedimen. Aktifitas badai
matahari, sayangnya baru tercatat ketika Galileo memulainya seperti terlihat pada Gambar 8.5 (Broeker, 2003). Jumlah badai matahari ini memiliki korelasi kuat dengan radiasi matahari, sehingga periode dimana aktifitas badai matahari ini kurang (Maunder minimum) terkait erat dengan Little Ice Age dimulai.
Gambar 8.5. Jumlah badai matahari yang bertanggung jawab terhadap periode Medieval Warm dan Little Ice Age (Sumber: Broecker, 2003).
INDIKATOR PERUBAHAN IKLIM DI TINGKAT GLOBAL Uraian di atas memperlihatkan bahwa dalam periode ratusan ribu tahun yang lampau sampai revolusi industri tahun 1790-an, memperlihatkan bahwa terjadi korelasi kuat antara CO2 di atmosfer dengan suhu udara permukaan bumi. Berdasarkan siklus presisi, bumi saat ini seharusnya berada relatif jauh dari edarannya dalam mengelilingi matahari. Namun, perubahan iklim yang dipicu oleh pemanasan global telah terjadi. Alley (2004) mempertanyakan hal tersebut dengan menambahkan emisi CO2 pasca revolusi industri sampai kini dengan data pengamatan di stasiun Volstok, Antartika (Gambar 8.6). Kondisi ini sangat sulit dibantah bahwa konsekuensi emisi CO2 besar-besaran di atmosfer pasca revolusi industri telah berdampak
terhadap kenaikan suhu permukaan bumi sehingga memicu perubahan iklim yang bukan alami, tetapi akibat aktifitas manusia (antropogenik).
Gambar 8.6. Variabilitas suhu dan CO2 dalam kurun waktu 400 ribu tahun lampau dan kemungkinan konsekuensi kenaikan emisi CO2 pada masa kini (Sumber: Alley, 2004).
Dengan demikian, pemahaman akan siklus karbon menjadi sangat penting dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. Data terakhir (29 Mei 2013) yang dikeluarkan oleh Scripps Institution of Oceanography menunjukkan bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer yang diukur pada stasiun Mauna Loa, Hawaii telah mencapai angka 400,33 ppm. Data Global Carbon Project (GCP) tahun 2007 melaporkan bahwa dari total emisi karbon global ke atmosfer (9,1 Pg C per tahun, 1 Pg sama dengan 10 pangkat 15 gram atau 1 milyar ton) maka 26% diserap oleh lautan global, 29% oleh daratan (hutan) dan sisanya terakumulasi di atmosfer (45%). Dalam hal ini telah terjadi peningkatan akumulasi CO2 di atmsofer, yaitu pada tahun 1960 berkisar 40% dan pada tahun 2008 meningkat 45%. Di lain pihak, potensi penyerapan oleh hutan cenderung konstan dalam kurun waktu tersebut. Ini artinya telah terjadi penurunan tingkat efisiensi laut dalam menyerap karbon antropogenik di atmosfer.
IPCC (2007b) melaporkan bahwa anomaly suhu udara rata-rata di permukaan bumi telah mencapai sekitar 0,8°C pada tahun 2005 (Gambar 8.7). Laporan terakhir menunjukan bahwa suhu naik lebih cepat dari dugaan, sehingga target IPCC untuk 2°C sebagai kondisi ‘aman’ bagi sistem kebumian dapat terlewati dalam beberapa tahun ke depan. Jika batas kondisi aman ini terlewati, maka kesetimbangan energi sistem kebumian akan terganggu dan respon iklim akan semakin sulit terdeteksi. Bahkan, laporan GCP tahun 2011 memperlihatkan bahwa peningkatan suhu bumi lebih cepat dari yang diprediksi IPCC, yaitu + 1,6 °C pada level konsentrasi CO2 atmosfer sebesar 395 ppm. Hal ini akibat tidak masuknya jenis-jenis gas rumah kaca lainnya dalam pemodelan iklim seperti N2O dan gas methan. Kenaikan suhu udara juga membawa konsekuensi pada pencairan es sehingga menaikkan muka laut rata-rata di bumi (Gambar 8.8). Laju kenaikan rata-rata muka laut di bumi untuk periode 1961 – 2003 menurut IPCC (2007b) adalah 0.4 ± 0.1 mm/tahun. Dengan demikian, jika tidak ada usaha nyata dalam mengontrol emisi gas rumah kaca di kemudian hari, maka perubahan-perubahan yang akan terjadi juga semakin sulit diduga.
Gambar 8.7. Anomali tahunan suhu udara di permukaan bumi (°C) pada 1850 sampai 2005 yang mengacu pada rata-rata tahun 1961 sampai 1990 (Sumber: IPCC, 2007b)
Gambar 8.8. Pengaruh ekspansi panas terhadap paras laut dan konversi volume es yang mencair. Merah adalah berdasarkan data rekonstruksi (Church and White, 2006), biru adalah data tide gauge di pantai (Holgate and Woodworth, 2004) serta hitam berdasarkan satelit Altimetry (Leuliette et al., 2004) (sumber: IPCC, 2007b).
INDIKATOR PERUBAHAN DI TINGKAT NASIONAL Perairan Indonesia dalam dekade terakhir ini telah menghadapi ancaman perubahan iklim yang nyata, seperti cuaca ekstrim akibat badai tropis yang efeknya meluas sampai ke perairan Indonesia yang notabene dekat dengan ekuator (hal yang tidak mungkin menurut hukum fisika, karena badai tropis sulit menjangkau ekuator yang efek Coriolis-nya (akibat perputaran bumi mendekati nol di ekuator) kecil. Beberapa parameter penting yang berkaitan dengan perubahan iklim di laut adalah kenaikan muka laut, suhu permukaan laut, kecepatan angin dan curah hujan. IPCC (2007b) memprediksikan bahwa peningkatan suhu permukaan laut tahunan untuk perairan Asia Tenggara berkisar antara 1,5 – 3,7 °C pada akhir abad 21. Demikian halnya dengan curah hujan ekstrim dan angin (badai tropis), IPCC (2007b) memperkirakan bahwa akan semakin meningkat di perairan Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia Selatan. Curah hujan tahunan akan berubah dalam kisaran -2% (penurunan) sampai 15% (kenaikan), bahkan secara khusus pada periode September – November dapat mencapai peningkatan sebesar 21% (maksimum). Dengan demikian, perairan Asia Tenggara, termasuk perairan Indonesia, akan mengalami pergeseran musim hujan, yaitu menjadi lebih cepat dan periodenya menjadi lebih lama, yaitu sekitar
September – Pebruari. Periode Maret – Agustus yang umumnya merupakan musim peralihan dan musim panas, juga akan mengalami kenaikan curah hujan yang dapat mencapai 17% (maksimum). Selain itu, dampak penyerapan karbon antropogenik oleh laut akibat kenaikan emisi CO2 di atmosfer, mampu menurunkan pH di laut yang selanjutnya berdampak terhadap perubahan ekosistem laut. Untuk kasus perairan Indonesia, terdapat indikasi kuat bahwa emisi CO2 akibat kebakaran hutan dan gambut di Kalimantan berdampak terhadap pertukaran CO2 udara-laut di permukaan Laut Jawa (Koropitan, 2013a). Orr et al. (2005) melaporkan bahwa beberapa ratus tahun sejak revolusi industri, penurunan pH telah mencapai 0.1 akibat penyerapan CO2 atmosfer oleh laut global. Perubahan iklim yang diuraikan diatas tentunya akan membawa konsekuensi terhadap perubahan ekosistem di perairan Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, dibutuhkan kajian yang terintegrasi, yang dapat memadukan aspek antropogenik dan perubahan iklim, sehingga diharapkan dapat menjadi landasan kebijakan untuk pelestarian lingkungan dan strategi adaptasi ekosistem laut menghadapi perubahan iklim. Selain itu, perairan Indonesia dipercaya oleh banyak ahli sebagai pengontrol iklim dan berperan juga dalam sirkulasi termohalin global melalui Arus Lintas Indonesia. Namun demikian, peran Laut Indonesia dalam siklus karbon global terkait dengan gas rumah kaca dan perubahan iklim masih belum banyak disinggung dalam laporan-laporan ilmiah ataupun dilaporkan dalam pertemuan-pertemuan IPCC.
AGENDA DAN STRATEGI MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Terkait dengan mitigasi perubahan iklim, maka sebagimana yang diuraikan sebelumnya bahwa mitigasi adalah upaya-upaya yang terkait dengan intervensi antropogenik untuk mereduksi pembangkit antropogenik dalam sistem iklim, termasuk untuk mereduksi sumbersumber gas rumah kaca dan meningkatkan penghilangan (sinks) gas rumah kaca. Secara alami, lautan tropis pada umumnya berfungsi sebagai pelepas, sementara perairan subtropis dan lintang tinggi berfungsi sebagai penyerap. Hal ini dikontrol oleh pompa daya larut (solubility pump), yaitu pompa daya larut gas yang merupakan fungsi dari suhu perairan, DIC (dissolved inorganic carbon), TA (total alkalinitas) dan angin (piston velocity). Arah fluks itu sendiri ditentukan oleh gradien tekanan parsial CO2 (pCO2). Jika pCO2 di atmosfer lebih tinggi dari permukaan laut, maka laut berperan sebagai penyerap, namun sebaliknya jika pCO2 di atmosfer lebih rendah maka laut berperan sebagai pelepas. Perairan tropis yang memiliki suhu permukaan laut yang relative tinggi cenderung menurunkan daya larut gas sehingga pCO2 di permukaan laut tinggi. Hasil perhitungan pertukaran CO2 di lapisan permukaan laut-atmosfer untuk perairan Indonesia diuraikan oleh Koropitan (2013b), berdasarkan model OCMIP (Ocean Carbon cycle Model Intercomparison Project). Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa perairan Indonesia
berfungsi sebagai pelepas CO2, yaitu berkisar 0,1 mol/m2/tahun atau secara keseluruhan, perairan Indonesia melepaskan CO2 ke atmosfer sebesar 0,052 PgC/tahun. Dengan demikian, strategi mitigasi perubahan iklim dari laut perlu melihat aspek lainnya, dalam hal ini adalah blue carbon seperti yang diusulkan oleh Badan Lingkungan PBB (Nellemman, et al., 2009). Sebagai catatan, blue carbon yang dimaksud dalam hal ini bukanlah perairan laut, tetapi vegetasi di pesisir yaitu rawa payau (salt marshes), padang lamun (sea grass) dan mangrove. Potensi blue carbon yang dimaksud adalah kemampuan vegetasi pesisir tersebut dalam menyimpan karbon di sedimen. Pada neraca karbon global yang dikeluarkan oleh Sabine, et al. (2004) menyebutkan bahwa laut global menyimpan karbon sekitar 0,5 Pg C/tahun (atau 500 Tg C/tahun). Namun, dalam laporan UNEP ini, penyimpanan karbon di sedimen semakin diperjelas, dimana potensi blue carbon global dalam menyimpan di sedimen adalah sekitar 329 Tg C/tahun (atau 329 juta ton C/tahun). Namun demikian, terumbu karang dalam hal ini tidak termasuk dalam potensi blue carbon. Uraian Gatusso et al. (1999) pada prinsipnya telah mengakhiri perdebatan selama kurun waktu 10 tahun sebelumnya mengenai apakah terumbu karang berfungsi sebagai pelepas atau penyerap karbon di atmosfer. Hasilnya adalah sebagai pelepas, akibat dominannya pengaruh proses kalsifikasi yang berperan dalam pertumbuhan karang dibading fotosintesis. Proses kalsifikasi ini berkaitan dengan pertumbuhan karang yang menghasilkan kalsium karbonat dan sekaligus melepaskan CO2. Untuk itu, harapan potensi blue carbon lebih tertuju kepada rawa payau dan padang lamun. Dengan asumsi bahwa wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi 1% dari total potensi blue carbon global (329 Tg C/tahun) maka berarti potensi menyerap karbon di atmosfer oleh blue carbon Indonesia mencapai sekitar 3,3 juta ton/tahun. Tetapi, terlepas dari potensi penyerapan tersebut, sistem terumbu-karang, mangrove dan padang lamun di pesisir perlu dijaga berkaitan dengan fungsi ekologisnya (daerah bertelur dan pembesaran ikan, keanekaragaman hayati, perlindungan pantai dari kenaikan muka laut dan gelombang, dll).
AGENDA DAN STRATEGI ADAPTASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM Terkait kegiatan adaptasi, kajian di Desa Marlasi, Pulau Kola, Kepulauan Aru (Koropitan, 2013c) menjadi contoh pembelajaran yang dapat diterapkan pada wilayah CTI. Kajian ini terfokus pada penyusunan indeks kerentanan yang mengacu pada prinsip pemetaan kerentanan (vulnerability) menurut IPCC (2001), yaitu sejauh mana iklim dapat merusak atau membahayakan suatu sistem; ini tidak hanya tergantung pada sensitivitas sistem, tetapi juga pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan kondisi iklim yang baru. Persamaan yang digunakan dalam penentuan indeks kerentanan adalah: Vulnerability = ƒ(exposure, sensitivity, adaptive capacity)
dimana: exposure (E) atau paparan adalah tingkat tekanan terhadap iklim dalam suatu analisis unit tertentu, dimana dapat mewakili suatu perubahan dalam jangka waktu lama atau perubahan dalam variabilitas iklim, termasuk besaran dan frekuensi dari masa-masa yang ekstrim, sensitivity (S) atau sensitifitas adalah respon sejauh mana suatu sistem akan dipengaruhi oleh, atau responnya terhadap suatu rangsangan, dan adaptive capacity (A) atau kapasitas adaptasi mengacu pada potensi atau kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim serta mampu mengelola E/S sehingga menghasilkan dampak yang baik. Jadi, semakin besar E atau S, semakin besar pula kerentanannya, tetapi A berbanding terbalik, dimana peranan A mampu mereduksi tingkat kerentanannya. Dalam kajian ini, penentuan tingkat kerentanan lebih didasari pada penilaian pakar, tanpa melakukan pembobotan nilai. Pada kajian tahap ini, lebih mengarah pada proses identifikasi parameter penting yang tergolong E, S dan A, dimana proses adaptasi (A) merupakan suatu proses iteratif yang membutuhkan masukan dari masyarakat melalui wadah sekolah iklim (yang akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya).
•
Paparan (E)
Paparan dalam hal ini terdiri dari parameter perubahan iklim, yaitu tren perubahan Suhu Permukaan Laut (Gambar 8.9) dan tren perubahan curah hujan (Gambar 8.10). Model asimilasi memperlihatkan kenaikan sebesar 0,66° C dalam 50 tahun terakhir (1960-2010), demikian juga halnya curah hujan yang memiliki kenaikan 6 mm/bulan. Kenaikan Suhu Permukaan Laut yang ekstrim di suatu lokasi perairan dapat memicu cuaca ekstrim lokal seperti curah hujan ekstrim, badai serta gelombang tinggi, sehingga perlu diwaspadai sedini mungkin.
Gambar 8.9. Tren peningkatan suhu permukaan laut di sekitar Pulau Kola (diolah dari hasil model asimilasi data Geophysical Fluid Dynamic Laboratory-GFDL).
Gambar 8.10. Tren peningkatan curah hujan di sekitar Pulau Kola (diolah dari data Climate Prediction Center Morphing Technique-CMORPH).
•
Sensitivitas (S)
Sejauh ini respon perairan Pulau Kola terhadap kenaikan Suhu Permukaan Laut belum terdata dengan baik, namun pada lokasi lainnya seperti Wakatobi telah memperlihatkan adanya indikasi pemutihan karang (coral bleaching) akibat kenaikan suhu perairan. Namun demikian, di sekitar Pulau Kola terdapat karang patah dan tertutup alga yang kemungkinan besar diakibatkan adanya masukan nutrien, yang umumnya berasal dari hasil dekomposisi bahan organik atau limbah domestik (pemukiman) yang besar sehingga mempercepat pertumbuhan alga penutup karang (turf algae). Kemungkinan lainnya adalah penangkapan ikan-ikan jenis tertentu, seperti ikan ‘parrot’ (Scaridae), ikan ‘rabbit’ (Siganidae), ikan ’surgeon’ (Achanturidae), ikan ‘damsel’ (Pomacentridae), dan ikan ‘benny’ (Blennidae) yang memiliki kemampuan memangsa turf algae. Sensitifitas terkait curah hujan, memiliki keterkaitan dengan suplai limbah domerti melalui sungai ataupun air limpasan. Untuk itu, solusi terhadap limbah domestik menjadi faktor penentu untuk mereduksi respon yang negatif dari alam. Isu lain yang perlu diwaspadai terkait sensitifitas ini adalah pengasaman laut yang sifatnya sangat lambat. Pengasaman laut dapat berdampak negatif terhadap ekosistem laut, seperti terumbu karang dan plankton jenis tertentu yang memiliki cangkang karbonat.
•
Kapasitas Adaptasi (A)
Dalam hal ini, komponen A merupakan proses adaptasi perubahan iklim atau upaya peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat (nelayan). Peningkatan kapasitas adaptasi ini dapat didekati melalui modal alami, modal teknologi dan infrastruktur, serta modal sosial. 1. Modal Alami Modal alami yang dimiliki oleh Desa Marlasi adalah ekosistem pesisir yang lengkap (Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang) yang sangat menunjang untuk aktiftas perikanan dan parawisata. Selain itu, Desa Marlasi dilindungi oleh pulau-pulau kecil yang ditumbuhi oleh mangrove sehingga mampu melindungi dari cuaca ekstrim serta gelombang tinggi. Sebagai contoh, cerita turun-temurun yang berkembang di masyarakat Desa Marlasi adalah kejadian tsunami pada waktu lampau tidak sampai menerjang Desa Marlasi akibat keberadaan pulaupulau tersebut. Dengan menjaga ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut dari ancaman abrasi (tetap mempertahankan mangrove di pulau-pulau kecil), maka modal alami ini dapat memperkuat kapasitas adaptasi masyarakat Desa Marlasi.
2. Modal Teknologi dan Infrastruktur Terkait dengan akses informasi, khususnya cuaca ekstrim, saat ini belum memungkinkan karena jaringan telekomunikasi sedang dalam tahap pembangunan. Namun diharapkan pada waktu yang akan datang, nelayan Desa Marlasi dapat memiliki akses informasi melalui sistem informasi internet ataupun layanan SMS. Untuk itu, untuk membantu nelayan Desa Marlasi dalam beradaptasi terhadap cuaca ekstrim, maka perlu disambungkan dengan SMS Gateway BMKG untuk bidang kenelayanan. Untuk aktifitas nelayan (penangkapan dan budidaya), para nelayan Desa Marlasi dapat disambungkan dengan SMS Gateway BPSDM KKP sehingga memperoleh akses informasi dan penyuluhan terkait berbagai hal dalam bidang perikanan. Selain itu, kendala yang dihadapi oleh masyarakat Desa Marlasi saat ini adalah akses transportasi yang sulit, sehingga kebutuhan pangan dasar seperti beras, sayuran dan buah-buahan serta kebutuhan energi untuk listrik dan melaut mengalami kendala akibat keterbatasan transportasi ini. Pembangunan pelabuhan yang sedang berlangsung saat ini di Desa Marlasi, diharapkan dapat menjadi solusi dari akses transportasi ini.
3. Modal Sosial Modal sosial adalah berupa kearifan lokal seperti sashi serta perjanjian adat untuk batas laut (termasuk wilayah penangkapan) dapat menjadi modal sosial yang tinggi dalam beradaptasi. Namun demikian, dewan adat perlu diperkuan peranannya karena akhir-akhir ini semakin ditinggalkan. Modal sosial lainnya adalah pendidikan. Perlu ada terobosoan dalam hal
pendidikan baik formal maupun non-formal. Pendidikan formal dapat berupa pengintegrasian pemahaman lokal, khususnya fungsi ekologis ekosistem pesisir, dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan atas. Pendidikan non-formal berupa sekolah lapang yang dapat menjangkau masyarakat luas, seperti nelayan, pegawai kelurahan dan kecamatan serta guru. Untuk menangkal pengaruh dari luar akibat terbukanya akses transportasi, maka modal sosial ini perlu diperkuat dengan mendorong lahirnya Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur dan melindungi ekosistem pesisir. Perdes ini diharapkan kedepan dapat diangkat pada tingkat yang lebih tinggi yaitu kabupaten dan propinsi.
•
Kerentanan dan Sekolah Lapang Iklim
Uraian di atas memperlihatkan bahwa kerentanan perubahan iklim di Desa Marlasi, Pulau Kola tergolong sedang, dimana komponen-komponen penting diperlihatkan pada Tabel 1. Sekolah Lapang Iklim bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat Desa Marlasi dan sekitarnya dalam beradaptasi dengan perubahan iklim. Kegiatan sekolah ini bertujuan untuk memberikan pelatihan kepada nelayan dalam memahami perubahan iklim secara global, cara mengakses data cuaca serta intepretasi menurut kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Selain itu, nelayan juga diajarkan untuk menggali kearifan lokal dalam beradaptasi dengan iklim di laut serta melakukan dokumentasi iklim yang sudah lewat dan yang sedang terjadi. Konsep Sekolah Lapang Iklim di Desa Marlasi nantinya akan terfokus pada upaya adaptasi seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. Konsep Sekolah Lapang Iklim Desa Marlasi ini pada prinsipnya bertujuan: a. meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang perubahan iklim global dan cuaca ekstrim, b meningkatkan akses terhadap informasi iklim dan pelaporan, c. membantu masyarakat dalam merumuskan upaya adaptasi. Tujuan instruksional kurikulum sekolah lapang meliputi: 1. Mampu memahami konsep iklim, perubahan iklim dan cuaca global, prakiraan cuaca dan akses informasinya, serta pengintegrasian istilah iklim dalam bahasa lokal. 2. Mampu mengenali parameter iklim penting serta membuat data historis untuk kepentingan komunitas lokal (Desa Marlasi dan sekitarnya) maupun berkontribusi dalam pelaporan ke institusi nasional. 3. Mampu memahami ekosistem pesisir (Mangrove, Terumbu Karang dan Lamun) serta fungsi ekologisnya. 4. Mampu menemukan upaya adaptasi dengan meningkatkan modal alami, modal informasi dan infrastruktur serta modal sosial.
Tabel 8.1. Parameter kunci kerentanan perubahan iklim di Pulau Kola serta upaya adaptasi Parameter Kenaikan Laut
Suhu
Dampak
Upaya Adaptasi
Permukaan Cuaca ekstrim lokal (curah Memperkuat modal alami hujan, badai, gelombang) (penanaman kembali mangrove yang dikonversi), akses informasi dan infrastruktur (transportasi, energi dan listrik)
Kenaikan tingkat curah hujan
Suplai organik ke laut Memperkuat modal sosial meningkat, kematian karang (dewan adat), perbaikan MCK
Pengasaman laut
Perusakan panjang
karang
jangka Memperkuat modal sosial (sashi dan pengelolaan perikanan)
Tujuan instruksional kurikulum ini akan dituangkan dalam Materi Kurikulum Sekolah Lapang secara terpisah yang sasarannya adalah para perwakilan masyarakat yang terdiri atas: LSM, nelayan, tokoh adat dan agama, serta guru. Hasil pembelajaran di Desa Marlasi ini dapat diterapkan pada seluruh wilayah CTI. Pada prinsipnya, upaya adaptasi ini sangat progresif dan memerlukan proses iterasi terus-menerus sehingga diperoleh kondisi yang tepat untuk beradaptasi. Konssep adaptasi umum untuk wilayah Kepulauan Indonesia diperlihatkan pada Gambar 8.11.
Gambar 8.11. Proses iterasi adaptasi perubahan iklim secara umum
AGENDA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Dengan melihat perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini dalam COP terakhir, menunjukkan adanya kemunduran dalam hal komitmen negara-negara maju, serta tidak adanya kejelasan kelanjutan Protokol Kyoto, maka perkembangan perubahan iklim ke depan menjadi suram. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hasil pengamatan IPCC memperlihatkan bahwa kenaikan suhu di udara lebih tinggi dari yang diprediksi, serta kenaikan CO2 di atmosfer telah mencapai sekitar 400 ppm pada Mei 2013 (dibanding 280 ppm pada era sebelum revolusi industri). Dampak perubahan iklim umumnya menghasilkan pemanasan global, cuaca ekstrim, pergeseran periode curah hujan dan pada ekosistem laut dapat mengkibatkan pengasaman laut (ocean acidification) yang berdampak pada kerusakan cangkang plankton serta penyusutan terumbu karang, kenaikan suhu laut dapat mengganggu rekruitmen ikan serta perubahan pola migrasi ikan. Untuk itu, Indonesia harus siap menghadapi ancaman ini, sehingga upaya adaptasi harus menjadi prioritas dalam kajian-kajian jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk menghasilkan kajian yang fokus dan efektif, maka perlu disusun suatu road map riset saintifik untuk mengisi gap hasil riset selama ini dengan melibatkan berbagai institusi riset, pengambilan kebijakan maupun LSM. Penyusunan peta jalan kajian adaptasi dapat mencakup lingkungan fisik pesisir dan pulau-pulau kecil, biota laut (terumbu karang, ikan, larva, plankton, dll) dan sosial-ekonomi masyarakat (asuransi iklim, kearifan lokal, dll). Secara ringkas, topiktopik riset penelitian dan pengembangan adaptasi iklim kelautan diperlihatkan pada Gambar 8.12. Dalam hal ini, aktifitas manusia juga berpengaruh dan dapat menambah daya rusak ketika bergabung dengan efek perubahan iklim.
Gambar 12. Hipotesis perubahan ekosistem laut Indonesia akibat perubahan iklim dan aktifitas manusia.
Daftar Pustaka
Alley, R. B. 2004. Abrupt climate changes: oceans, ice and us. Oceanography (17): 194-206 Berner, R. A., A. C. Lasaga, and R. M. Garrels, 1983, The carbonate-silicate geochemical cycle and its effect on atmospheric carbon dioxide over the past 100 million years, Am. J. Sci. (283): 641-683. Bond, G., Kromer, B., Beer, J., Muscheler, R., Evans, M.N., Showers, W., Hoffmann, S., LottiBond, R., Hajdas, I. and Bonani, G. 2001. Persistent solar influence on North Atlantic climate during the Holocene. Science (294): 2130-2136, Broecker, W. 2003. Fossil fuel CO2 and the angry climate beast. Eldigio Press, 115p Church, J.A., and N.J. White, 2006: A 20th century acceleration in global sea-level rise. Geophys. Res. Lett., 33, L01602, doi:10.1029/2005GL024826 De’ath, G. J. M. Lough and K. E. Fabricius. 2009. Declining Coral Calcification on the Great Barrier Reef. Science (323): 116-119. Gattuso, J-P, M. Frankignoulle and S. V. Smith. 1999. Measurement of community metabolism and significance in the coral reef CO2 source-sink debate. Proceedings National Academy of Sciences (96): 13017–13022. Holgate, S.J., and P.L. Woodworth, 2004: Evidence for enhanced coastal sea level rise during the 1990s. Geophys. Res. Lett., 31, L07305, doi:10.1029/2004GL019626. IPCC. 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Houghton, J.T.,Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer, P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C.A. Johnson (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, 881pp. IPCC, 2007a. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 976pp. IPCC, 2007b: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, 996 pp. Kiehl, J. T. and Trenberth, K. E. 1997. Earth's Annual Global Mean Energy Budget. Bulletin of the American Meteorological Association (78): 197-208. Koropitan, A. F. 2013a. Studi pendahuluan pemodelan fluks karbon di Laut Jawa menggunakan model biogeokimia 1-dimensi. Submitted to Jurnal Ilmu Kelautan.
Koropitan, A. F. 2013b. Fluks pertukaran CO2 di Lapisan Udara-Laut dan Bujet Karbon di Perairan Indonesia. Manuscript untuk Buku: Perubahan Iklim: Kontribusi Laut Indonesia dan Upaya Adaptasinya. IPCC Indonesia Gugus Tugas Kelautan. Koropitan, A. F. 3013c. Peningkatan kapasitas adaptasi perubahan iklim di Desa Marlasi, Pulau Kola, Kabupaten Kepulauan Aru. Laporan Penelitian. Kerjasama Center for Oceanography and Marine Technology (COMT), Surya Suniversity dengan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Jakarta. Leuliette, E.W., R.S. Nerem, and G.T. Mitchum, 2004: Calibration of TOPEX/Poseidon and Jason altimeter data to construct a continuous record of mean sea level change. Mar. Geodesy, 27(1–2), 79–94. Martin, J. H., 1990, Glacial-interglacial CO2 change: The iron hypothesis, Paleoceanography, 5, 1-13. Nellemann, C., E. Corcoran, C. M. Duarte, L. Valdés, C. De Young, L. Fonseca, G. Grimsditch (Eds). 2009. Blue Carbon. A rapid response assessment. United Nations Environment Programme, GRID-Arendal, www.grida.no Orr, J.C., V. J. Fabry, O. Aumont, L. Bopp, S. C. Doney, R. A. Feely, A. Gnanadesikan, N. Gruber, A. Ishida, F. Joos, R. M. Key, K. Lindsay, E. Maier-Reimer, R. Matear, P. Monfray, A. Mouchet, R. G. Najjar, G.-K. Plattner, K. B. Rodgers, C. L. Sabine, J. L. Sarmiento, R. Schlitzer, R. D. Slater, I. J. Totterdell, M.-F. Weirig, Y. Yamanaka and A. Yool. 2005: Anthropogenic ocean acidification over the twenty first century and its impact on calcifying organisms. Nature, 437(7059), 681–686. Petit, J.R., J. Jouzel, D. Raynaud, N.I. Barkov, J.-M. Barnola, I. Basile, M. Benders, J. Chappellaz, M. Davis, G. Delayque, M. Delmotte, V.M. Kotlyakov, M. Legrand, V.Y. Lipenkov, C. Lorius, L. Pépin, C. Ritz, E. Saltzman, and M. Stievenard. 1999. Climate and atmospheric history of the past 420,000 years from the Vostok ice core, Antarctica. Nature (399): 429-436. Roy, C. 1996. Variability of sea surface features in the Western lndonesian archipelago: inferences from the COADS dataset, p. 15-23. In D. Pauly and P. Martosubroto (eds.) Baseline studies of biodiversity: the fish resources of Western Indonesia. ICLARM Stud. Rev. 23, 312 p. Sabine, C.L., R. A. Feely, N. Gruber, R. M. Key, K. Lee, J. L. Bullister, R. Wanninkhof, C. S. Wong, D. W. R. Wallace, B. Tilbrook, F. J. Millero, T.-H. Peng, A. Kozyr, T. Ono dan A. F. Rios. 2004. The oceanic sink for anthropogenic CO2. Science (305): 367–371. Walker, J. C. G., P. B. Hays, and J. F. Kasting, 1981, A negative feedback mechanism for the long-term stabilization of Earth's surface temperature, Jour. Geophys. Res. (86): 97769782.