9
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan pada permasalahan limbah / sampah yang jumlahnya semakin meningkat seiring bertambahnya aktivitas penduduk. Keberadaan limbah / sampah apabila tidak dikelola dengan baik menimbulkan permasalahan baik bagi manusia maupun lingkungan. Salah satu alternatif dalam upaya pengelolaan limbah / sampah dengan cara dibuat kompos / pengomposan.
Kompos adalah hasil penguraian parsial atau tidak lengkap dari campuran bahanbahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroorganisme dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab dan aerobik atau anaerobik. Sedangkan proses pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi (Isroi, 2008).
Lebih lanjut Setyorini dkk. (2006) mengungkapkan bahwa kompos merupakan bahan organik seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai, sehingga dapat
10
dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Kompos mengandung harahara mineral yang esensial bagi tanaman.
A. Limbah Padat Organik
Limbah merupakan hasil sampingan dari suatu proses produksi yang mengandung bahan yang dapat mencemari lingkungan baik limbah padat, cair dan gas. Limbah padat yang juga tergolong sebagai bahan organik apabila dikelola dengan baik masih dapat memberikan manfaat.
Bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber pupuk organik dapat berasal dari limbah / hasil pertanian dan non pertanian (limbah kota dan limbah industri) (Kurnia et al., 2001 dalam Setyorini dkk., 2006). Dari hasil pertanian antara lain berupa sisa tanaman (jerami dan brangkasan), sisa hasil pertanian (sekam padi, kulit kacang tanah, ampas tebu dan belotong), pupuk kandang (kotoran sapi, kerbau, ayam, itik dan kuda), dan pupuk hijau. Limbah kota atau sampah organik kota biasanya dikumpulkan dari pasar-pasar atau sampah rumah tangga dari daerah pemukiman serta taman-taman kota.
Proses perombakan bahan organik secara alami membutuhkan waktu yang relatif lama, hal ini dikarenakan berhubungan dengan kandungan senyawa dan sumber bahan organik tersebut. Tingkat kecepatan dekomposisi bahan organik ditentukan oleh perbandingan rasio C/N. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbon (C) dan nitrogen (N). Prinsip pengomposan adalah menurunkan rasio C/N bahan
11
organik hingga sama dengan C/N tanah. Namun pada umumnya bahan organik segar mempunyai rasio C/N tinggi: jerami padi 50-70, dedaunan tanaman 50-60, kayu-kayuan > 400 dan lain-lain (Setyorini dkk., 2006).
Beberapa jenis bahan organik atau limbah hasil pertanian memiliki perbedaan dalam komposisi atau susunan jaringan penyusunnya tergantung sumber bahan organik tersebut. Sumber dan komposisi bahan organik sangat menentukan kecepatan dekomposisi dan senyawa yang dihasilkannya. Soepardi (1983) mengungkapkan senyawa-senyawa yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan diklasifikasikan menurut tingkat mudah tidaknya senyawa tersebut dilapuk. Urutan tingkat cepat dilapuk hingga lambat dilapuk yaitu : 1. Gula, zat pati dan protein sederhana. 2. Protein kasar. 3. Hemiselulosa. 4. Selulosa. 5. Lignin, lemak, waks dan lain-lain.
Menurut Sutanto (2002) kemungkinan sumber bahan dasar kompos mengandung selulose 15%-60%, hemiselulose 10%-30%, lignin 5%-30%, protein 5%-40%, bahan mineral (abu) 3%-5%, disamping itu terdapat bahan larut panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea, garam amonium sebanyak 2%-30% dan 1%-15% lemak larut eter dan alkohol, minyak lilin.
12
B. Vermicomposting
Salah satu metode pengomposan adalah vermicomposting yang melibatkan cacing tanah sebagai dekomposer. Aira et al. (2002) mengungkapkan vermicomposting merupakan proses biooksidasi dan pemantapan bahan organik yang melibatkan tindakan bersama cacing tanah dan mikroorganisme. Lebih lanjut (Edwards dan Bohlen, 1986 dalam Parthasarathi, 2007) mengungkapkan vermicomposting merupakan proses biologi yang tergantung pada cacing dan aktivitas mikroorganisme dimana bergantung pada suhu, kelembaban, suplai oksigen dan kemampuan degradasi limbah organik sebagai substrat makanan untuk cacing tanah.
Hasil akhir proses vermicomposting berupa vermikompos / vermicast. Biokonversi limbah hasil vermicomposting menghasilkan dua produk yang berguna yaitu biomassa cacing tanah dan vermicompost (Garg et al., 2005). Mashur (2001) mengemukakan bahwa vermikompos adalah kompos yang diperoleh dari hasil perombakan bahan-bahan organik yang dilakukan cacing tanah. Vermikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah (casting) dengan sisa media atau pakan dalam budidaya cacing tanah. Vermicast juga diyakini mengandung hormon dan enzim yang terkandung selama proses bahan organik melewati usus cacing tanah. Hormon-hormon dan enzim diyakini untuk merangsang pertumbuhan tanaman dan mencegah patogen tanaman (Gajalakshmi dan Abbasi, 2004).
13
Keberhasilan vermicomposting tergantung pada kualitas limbah organik yang diberikan sebagai makanan untuk cacing tanah dan juga pada kelembaban, suhu, pH, dan aerasi yang merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi pengomposan (Parthasarathi, 2007).
C. Cacing Tanah
Cacing tanah termasuk dalam ordo Oligochaeta dan filum Annelida. Tubuh cacing dilindungi oleh kutikula (kulit bagian luar) dan memiliki segmen yang berbentuk cincin dimana setiap segmennya terdapat seta. Seta merupakan rambut yang relatif keras dan berukuran pendek pada setiap segmen (Palungkun, 2006).
Lee (1985) dalam Ilyas (2009) mengelompokkan spesies cacing tanah ke dalam tiga kategori ekologi berdasarkan strategi mencari makanan dan membuat liang yaitu spesies epigeic, endogeic dan anecic. Cacing tanah epigeic hidup di dalam atau dekat permukaan sampah dan memakan sampah organik yang kasar serta sejumlah sampah yang belum terurai. Cacing tanah epigeic membuat liang ephemeral ke dalam tanah mineral selama periode diapause. Tubuhnya kecil dengan pigmen warna seragam (Gajalakshmi dan Abbasi, 2004). Cacing tanah endogeic hidup di dalam tanah yang lebih dalam dan memakan tanah serta kumpulan bahan-bahan organik. Cacing tanah ini tidak memiliki pigmen tubuh dan membuat liang horizontal yang bercabang kedalam. Cacing tanah anecic hidup di dalam sistem liang vertikal yang lebih permanen yang dapat meluas beberapa meter ke dalam tanah.
14
Tidak semua jenis cacing dapat dibudidayakan dalam proses vermicomposting. Gajalakshmi dan Abbasi (2004) mengemukakan spesies cacing yang cocok untuk vermicomposting dengan kriteria: mudah untuk dibudidayakan, menyukai bahan yang akan di vermicompost dan tingkat menghasilkan vermicast yang tinggi per cacing dari tiap unit volume yang didegradasi.
Jenis cacing yang umum dipakai dalam proses vermicomposting yaitu jenis L. rubellus dan E. fetida dikarenakan kedua jenis cacing ini memiliki keungulankeunggulan. Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (2003) menyatakan cacing jenis L. rubellus memiliki keunggulan dibandingkan cacing jenis Pheretima dan Perionyx karena produktivitasnya tinggi (penambahan berat badan, produksi telur / anakan dan produksi bekas cacing ”kascing”) serta tidak banyak bergerak.
E. fetida mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan spesies lain terutama kemampuannya yang tinggi dalam reproduksi dan merombak bahan organik sebagai pakannya. Seekor induk cacing tanah E. fetida atau ”earthworm breeder” menghasilkan satu kokon setiap 7-10 hari. Kokon tersebut menetas antara 14-21 hari apabila keadaannya lembab dengan temperatur 29-30°C. Setiap kokon dapat menghasilkan 2-20 ekor anak dengan perkiraan rata-rata tujuh anak cacing (Lee, 1985 dalam Mashur dkk., 2001).
Bila dibandingkan dengan L. rubellus, E. fetida memiliki toleransi temperatur 40 -90ºF. Kondisi yang ideal adalah 70-75ºF. L. rubellus dapat bertahan di bawah
15
temperatur tersebut. Menurut Vermiplex (2005) ukuran cacing tanah L. rubellus sekitar 4 inchi sedangkan E. fetida sekitar 2,5 inchi. Kedua jenis cacing ini ditemukan di permukaan tanah tetapi L. rubellus bergerak jauh lebih dalam dibandingkan E. fetida yang lebih menyukai permukaan tanah.
Cacing tanah, rayap dan semut merupakan organisme-organisme tanah yang berfungsi sebagai ”ecosystem engineer”, peranannya sangat penting didalam proses - proses yang terjadi di dalam tanah (Fragoso et al., 1997 dalam Nurida, 2001). Lebih lanjut diungkapkan Mulat (2003) dalam Agus (2005) cacing tanah berperan dalam membangun rongga-rongga tanah yang berakibat tanah menjadi gembur sehingga aerasi tanah menjadi lebih baik dan juga sebagai pemakan berbagai sisa bahan organik (saphrofagus). Selain memakan bahan organik, cacing tanah juga memakan mikroorganisme tanah dan tanah itu sendiri dan kemudian dikeluarkan dalam bentuk kotoran cacing yang disebut kascing. Kotoran cacing (kascing) mengandung unsur hara yang lengkap baik unsur hara makro dan mikro yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.
Perkembangan dan aktivitas cacing tanah juga dibatasi oleh faktor pH. Menurut Singh et al. (2005) cacing tanah sangat sensitif terhadap pH, sehingga pH tanah atau limbah kadang - kadang menjadi faktor yang membatasi distribusi, jumlah dan jenis cacing tanah.
Menurut Soepardi (1983) cacing-cacing tertentu memerlukan sejumlah kapur. Oleh karena itu di daerah yang banyak mengandung kapur yang dapat
16
dipertukarkan, jumlah cacing melonjak tinggi. Karena keterbatasan sistem pencernaannya, cacing tanah membutuhkan tingkat asam tertentu untuk mencerna makanannya. Menurut Waluyo (1993) dalam Brata (2006) penambahan kapur 0,3 % dari berat campuran media akan menaikkan pH 0,14-0,39 dan pH tertinggi yang dicapai sebesar 7,91.
Tingginya kemampuan cacing tanah dalam merombak limbah organik dan meredam bau busuk yang menyengat maka cacing tanah juga dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk mencegah pencemaran lingkungan terutama yang ditimbulkan oleh limbah ternak, limbah pasar dan limbah rumah tangga (Mashur dkk., 2001).
D. Mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri dan fungi)
Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain atau bahkan mati (Isroi, 2001).
Mikroorganisme menggunakan nitrogen tanah sebagai sumber energi dan untuk berkembang biak. Dengan demikian cukup banyak senyawa karbon yang dimanfaatkan mikroorganisme dan kegiatan ini akan melepaskan CO2 ke udara (Sutanto, 2002).
17
Bakteri berperan sebagai penginisiasi proses dekomposisi senyawa-senyawa menjadi bentuk yang lebih sederhana. Fungi dan aktinomisetes berkemampuan mendekomposisi bahan yang sulit terurai (Graves et al., 2000 dalam Sulistyawati dkk., 2008).
Jenis mikroorganisme yang terlibat dalam proses vermicomposting tergantung pada kondisi lingkungan, di bawah kondisi aerobik termasuk fungi, aktinomisetes dan bakteri dan di bawah kondisi anaerobik hampir secara khusus (Lynd et al., 2002 dalam Aira et al., 2006).
a. Aktinomisetes
Berdasarkan klasifikasinya, Actinomycetes termasuk kelas Schizomycetes, ordo Actinomycetales
yang
dikelompokkan
menjadi
empat
familia,
yaitu:
Mycobacteriaceae, Actinomycetaeceae, Streptomyceae, dan Actinoplanaceae. Genus yang paling banyak dijumpai adalah Streptomyces (hampir 70%), Nocardia,
dan
Micronospora.
Koloni
Actinomycetes
muncul
perlahan,
menunjukkan konsistensi berbubuk dan melekat erat pada permukaaan media. Pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan adanya miselium ramping bersel satu yang bercabang membentuk spora aseksual untuk perkembangbiakannya (Lechevalier dan Lechevalier, 1967; Nonomura dan Ohara, 1971a dalam Kanti 2005).
18
Aktinomisetes adalah bakteri yang mirip jamur, memiliki miselia mirip jamur tatapi hifa aktinomisetes jauh lebih kecil dibandingkan hifa jamur, berukuran panjang 10-15µm dan diameter 0,5-1µm. Komposisi dinding sel aktinomisetes sesuai dengan kriteria bakteri gram positif. Aktinomisetes bukan organisme fotosintesis tetapi organisme yang tumbuh melalui dekomposisi bahan organik. Pertumbuhan aktinomisetes tanah terjadi dari hypal apices dengan cabang reguler yang terjadi dibalik apices utama dari hifa. Aktinomisetes menghasilkan spora reproduktif yang kurang resisten terhadap lingkungan dibandingkan dengan endospora bakteri. Spora aktinomisetes dihasilkan pada aerial_sporophores yang dapat dibedakan dengan hifa substrat atau miselium vegetatif. Aktinomisetes banyak dijumpai dalam tanah, kompos, lumpur sungai dan dasar danau. Jumlahnya kedua terbanyak setelah bakteri (105-108 g-1) (Handayanto dan Hairiah, 2007).
Hampir semua aktinomisetes memerlukan O2 untuk pertumbuhannya, kecuali beberapa spesies yang bersifat mikroaerofilik dan kapnofilik (O2 rendah, CO2 tinggi) misalnya Actinomyces, Agromyces, Micromonospora. Pada umumnya aktinomisetes tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah-tanah basah. Aktinomisetes lebih banyak dijumpai pada tanah yang lebih panas dibandingkan bakteri. Pertumbuhan terhambat pada temperatur 5ºC, temperatur optimum untuk pertumbuhan aktinomisetes adalah 28-37ºC. Namun demikian, ada juga aktinomisetes termofilik yang dapat tumbuh pada temperatur 55-65ºC pada timbunan kompos. Aktinomisetes dapat tumbuh pada kisaran pH 4-10, tetapi pada pH < 5, populasi aktinomisetes < 1 dari populasi mikroorganisme. Aktinomisetes
19
tidak toleran asam tetapi toleran pada kondisi basa. Sebagian besar aktinomisetes dalam tanah adalah saprofit yang hidup bebas, dapat melapukkan berbagai macam substrat karbon dalam bentuk polimer yang resisten seperti khitin, selulosa dan hemiselulosa. Aktinomisetes mempunyai peranan yang penting pada pH tinggi. Pada pH netral atau asam proses pelapukan ini umumya dilakukan oleh bakteri dan / jamur (Handayanto dan Hairiah, 2007). Aktinomisetes tidak toleran terhadap asam dan jumlahnya menurun pada pH 5,0. Rentang pH yang paling cocok antara 6,5-8,0.
Aktinomisetes dapat menyerang lignin dan mengubahnya menjadi senyawa sederhana dan berperan dalam mineralisasi nitrogen (Hakim dkk., 1986). Aktinomisetes juga mampu mendegradasi polimer selulosa namun dengan kemampuan yang lebih rendah dibandingkan fungi (Saraswati dkk., 2006). Beberapa aktinomisetes penting dalam tanah : Rhodococcus, Nocardia, Frankia, Streptomyces (Handayanto dan Hairiah, 2007).
b. Bakteri
Bakteri merupakan jasad bersel satu, bentuk hidup sederhana dan terkecil. Berkembangbiak dengan membelah diri dan sangat cepat pada kondisi kesuburan yang baik. Ukuran bakteri yang terbesar tidak lebih dari 4-5µm sedangkan ukuran terkecil hampir sama dengan liat. Berdasarkan sumber energi bakteri dibagi atas dua kelompok yaitu ototrofik (memperoleh energi dari oksidasi mineral dan karbon yang diperoleh dari CO2), sedangkan heterotrofik energinya bersumber
20
dari bahan organik. Peranan bakteri sangat penting dalam tanah karena turut dalam semua perubahan bahan organik, memonopoli dalam reaksi enzimatik seperti nitrifikasi, oksidasi bakteri dan fiksasi nitrogen. Peranan bakteri sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kelembaban, oksigen (aerasi), suhu, bahan organik, pH dan kalsium dapat ditukar (Hakim dkk., 1986).
Pada dasarnya terdapat empat bentuk utama bakteri yaitu cocci (spherical), batang (rod), vibrio (bentuk koma) dan spiral dengan panjang bakteri 1-3µm dan diameter 0,5-1µm. Di dalam tanah, pernyebaran bakteri umumnya lebih beragam dibanding organisme tanah lainnya, diperkirakan lebih dari 200 genera. Terdapat dua divisi utama bakteri ditinjau dari ekologinya yaitu indigenus (Autochthonous): penghuni sebenarnya yang permanen dan bukan penghuni atau pendatang (Allochthonous): penyerang atau penjelajah. Reproduksi bakteri umumnya melalui pembelahan yaitu bentuk pembiakan aseksual dimana pembelahan suatu sel tunggal atau kromosom diikuti dengan pembelahan sitoplasma untuk membentuk dua sel kembar.
Berdasarkan fungsinya di dalam tanah, bakteri tanah dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu: 1. Bakteri perombak (decomposer): merupakan kelompok terbesar yang mengkonsumsi senyawa karbon sederhana seperti eksudat akar dan sisa tanaman segar. Melalui proses ini, bakteri mengkonversi energi dalam bahan organik tanah menjadi bentuk yang bermanfaat untuk organisme tanah lain di dalam rantai makanan (food web) tanah. 2. Bakteri mutualis: bakteri yang membentuk asosiasi dengan tanaman, paling dikenal
21
adalah bakteri penambat nitrogen. 3. Bakteri patogen: termasuk spesies Xymomonas dan Erwinia dan spesies Agrobacterium yang menyebabkan pembentukan ’gail’ pada tanaman. 4. Bakteri litotrof atau khemoautotrof: yaitu bakteri yang memperoleh energi dari senyawa nitrogen, sulfur, besi atau hidrogen selain senyawa karbon (Campbell, 1989 dalam Handayanto dan Hairiah, 2007).
Beberapa bakteri penting di dalam tanah yaitu: Pseudomonas, Arhtrobacter, Rhizobium, Bradyrhizobium, Azotobacter, Agrobacterium, Nitrosomonas, dan Nitrobacter (Handayanto dan Hairiah, 2007).
Bakteri perombak bahan organik dapat ditemukan di tempat yang mengandung senyawa organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik di laut ataupun di darat. Berbagai bentuk bakteri dari bentuk yang sederhana (bulat, batang, koma dan lengkung), tunggal sampai bentuk koloni seperti filamen/spiral mendekomposisi sisa tumbuhan maupun hewan. Sebagian bakteri hidup secara aerob dan sebagian lagi secara anaerob, sel berukuran 1 µm-≤1000 µm. Dalam merombak bahan organik biasanya bakteri hidup bebas di luar organisme lain, tetapi ada sebagian kecil yang hidup dalam saluran pencernaan hewan (mamalia, rayap dan lain-lain). Bakteri yang berkemampuan tinggi dalam memutus rantai ikatan C penyusun senyawa lignin (pada bahan yang berkayu), selulosa (pada bahan yang berserat) dan hemiselulosa yang merupakan komponen penyusun bahan organik sisa tanaman, secara alami merombak lebih lambat dibandingkan pada senyawa polisakarida yang lebih sederhana (amilum, disakarida dan monosakarida) (Saraswati dkk., 2006).
22
c. Fungi
Fungi adalah organisme eukariot umumnya mempunyai berbagai bentuk dan ukuran, berkisar dari sel tunggal sampai sel berantai. Fungi dicirikan oleh adanya tubuh yang tidak bergerak (thallus) tersusun dari filamen panjang berdinding disebut hifa dengan diameter 3-8µm. Komponen dinding selnya adalah khitin dan glukan. Reproduksi secara seksual, membentuk spora dari dua fusi dua nukleus pada stadium tertentu dalam siklus hidupnya, miselium menghasilkan spora yang berkecambah untuk menghasilkan hifa baru. Sampai saat ini dikenal 5 kelas fungi yaitu Oomycetes, Zygomycetes, Ascomycetes, Deuteromycetes dan Basidiomycetes (Alexopoulus et al., 1996 dalam Handayanto dan Hairiah, 2007).
Fungi berperan penting dalam kaitannya dengan dinamika air, siklus hara, dan pengendalian penyakit. Bersama-sama dengan bakteri, fungi berperan penting sebagai organisme perombak di dalam rantai makanan (food web) tanah. Fungi mengkonversi bahan organik yang keras untuk dilumat menjadi bentuk yang dapat digunakan oleh organisme lainnya. Hifa fungi secara fisik mengikat partikel tanah, menghasilkan agregat stabil yang membantu meningkatkan infiltrasi air dan kapasitas tanah menahan air.
Fungi tanah dikelompokkan menjadi 3 kelompok fungsional atas dasar cara memperoleh energi yaitu: 1. Perombak (decomposer): merupakan fungi saprofit yang mengkonversi bahan organik mati, karbondioksida, dan molekul-molekul kecil seperti asam-asam organik. Fungi ini umumnya menggunakan substrat yang
23
komplek seperti selulosa dan lignin dalam kayu dan esensial dalam dekomposisi struktur rantai karbon dalam beberapa bahan pencemar. 2. Mutualis: fungi yang terkenal adalah fungi mikoriza yang mengkoloni akar tanaman. 3. Patogen atau parasit: menyebabkan produksi tanaman menurun atau tanaman mati jika fungi ini mengkoloni akar dan organisme lainnya. Beberapa fungi penting di tanah yaitu Aspergillus, Fusarium, Penicillium, Trichoderma, Saccharomyces dan Rhizopus (Carroll dan Wicklow, 1992 dalam Handayanto dan Hairiah, 2007)
Fungi merupakan jasad renik yang dapat menghancurkan selulosa, zat pati, gum, lignin dan senyawa organik yang mudah didekomposisikan seperti protein dan gula. Dalam agregasi tanah fungi lebih berperan daripada bakteri terutama dalam suasana asam (Hakim dkk., 1986). Fungi biasanya tumbuh baik pada lingkungan yang agak asam (pH sekitar 5) dan dapat tumbuh pada substrat dengan kadar air yang sangat rendah (Webster, 1970 dalam Handayanto dan Hairiah, 2007).
Fungi terdapat di setiap tempat terutama di darat dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna. Pada umumnya mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam mengurai sisa-sisa tanaman (hemiselulosa, selulosa dan lignin). Sebagian besar fungi bersifat mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan memakai mikroskop), kumpulan miselium atau spora yang dapat dilihat dengan mata. Tetapi fungi dari kelas Basidiomycetes dapat diamati dengan mata telanjang sehingga disebut makrofungi. Makrofungi menghasilkan spora dalam bangunan yang berbentuk seperti payung, kuping, koral atau bola, bahkan beberapa
24
makrofungi tersebut sudah banyak dibudidayakan dan dimakan (Saraswati dkk., 2006).
E. Kapur Kalsit (CaCO3)
Kapur memiliki peranan dalam dekomposisi bahan organik. Pengapuran berfungsi sebagai sumber Ca, meningkatkan pH dan mengurangi kejenuhan Al (Hakim dkk., 1986). Rahayu (2002) mengemukakan bahwa kapur akan menetralisir asam-asam yang dibentuk sebagai hasil antara penguraian bahan organik. Dengan adanya netralisir tersebut maka keasaman akan menurun sehingga proses mikrobiologis dapat berlangsung dengan baik dan bahan organik dapat cepat terurai.