BAB I ISTILAH, PENGERTIAN, ASAL USUL DAN PERKEMBANGAN ASURANSI Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: pengertian asuransi, asal usul dan perkembangan asuransi. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan istilah asuransi dan pertanggungan 2. Menjelaskan defenisi dan konsep asuransi 3. Menjelaskan perbedaan asuransi dengan perjudian 4. Menjelaskan asal usul dan perkembangan asuransi. A. Pendahuluan Asuransi merupakan disiplin ilmu pengetahuan yang bersegi banyak, yaitu meliputi segi-segi ilmu ekonomi, teknologi dan hukum. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibahas adalah konsep asuransi dari segi ilmu hukum saja. Itupun masih perlu dibedakan lagi antara hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dapat dijelaskan, bahwa untuk menyelenggarakan suatu usaha asuransi, pihak-pihak yang terlibat bukan hanya pengusaha asuaransi (penanggung) dan peserta asuaransi (tertanggung) saja, tetapi juga melibatkan pula beberapa pihak lain dengan peranya masing-masing, anatara lain: a. Pihak penguasa, khususnya pejabat Departemen Keuangan, yang berwenang mengeluarkan persyaratan izin usaha, menetapkan 1
2 permodalan, mengadakan pengawasan serta penetapan badan usaha. b. Pihak kepolisian, sebagai petugas penyidik dalam kasus kejahatan dalam bidang asuaransi. c. Petugas kesehatan dalam kaitan dengan kasus kecelakaan yang menimbulkan korban luka-luka atau yang meninggal dunia. Untuk semua perbuatan yang dilakukan oleh pihak pengusaha asuransi (penanggung) dengan pihak-pihak lain selain tertanggung, melahirkan pula hubungan-hubungan hukum yang bersifat publik, yaitu yang menyangkut kebijaksanaan penguasa dalam mengeluarkan ketetapan-ketetapan (beschikking) dan yang menyangkut dengan ketertiban umum serta pekerjaan kedinasan. Sedangkan yang menyengkut dengan kepentingan pribadi (keperdataan) dari pihakpihak penanggung dan tertanggung dalam suatu perjanjian asuaransi, jelas merupakan hubungan hukum privat (perdata). Jadi ada hukum asuaransi publik dan ada hukum asuaransi privat. Selanjutnya dalam buku ini sebagian besar akan dibahas asuransi dalam ruang lingkup hukum privat (perdata), sebagaimana tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undangundang Hukum Dagang, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan polis-polis asuaransi yang berkembang di dalam prakteknya. B. Istilah Asuransi dan Pertanggungan Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda “assurantie”, yang sama dengan istilah “assurance” dalam bahasa Perancis. Selain istilah asurantie, dalam bahasa Belanda dikenal pula istilah “verzekering”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pertanggungan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah-istilah “insurance” dan “asurance”, dimana dengan istilah pertama lebih
3 banyak dipakai dalam bidang asuransi kerugian, sedangkan istilah yang disebut belakangan lebih banyak dipakai dalam bidang asuransi jiwa.1 Mengenai pemakaian istilah untuk bidang ilmu ini, di negeri kita belum ada keseragaman, ada yang mempergunakan istilah pertanggungan, ada pula yang memakai istilah asuransi.2 Beberapa pengarang seperti ibu Emy Pangaribuan Simanjuntak, Santoso Poedjosoebroto, HMN Purwositjipto dan Abdulkadir Muhammad menggunakan istilah pertanggungan. Sementara yang lain, misalnya Wiryono Prodjodikoro, JE Kaihatu, H. Gunanto dan Ny Sri Redjeki Hartono, memakai istilah asuransi. Dalam peraturan perundang-undangan juga terdapat pemakaian istilah yang tidak seragam. Beberapa diantaranya memakai istilah asuransi, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1963 tentang Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Sedangkan yang memakai istilah pertanggungan, misalnya Undangundang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Meskipun judul bukunya diberi istilah pertanggungan, namun Santoso Poedjosoebroto tidak membedakan kedua istilah tersebut di atas dan mengatakan asuransi adalah sinonim dengan pertanggungan.3 Demikian juga Ny Sri Redjeki Hartono mempergunakan istilah-istilah asuransi dan pertanggungan secara bersamaan.4 HMN Poerwadarminta dalam kamus umum Bahasa Indonesia juga 1
P.M. Tambunan, 1988, Pengertian dan Batasan Asuransi, Lembaga Pendidikan Asuransi Indonesia, Jakarta, hlm. 1. 2 Santoso Poedjosoebroto, Beberapa Aspekta tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia, 1969, Bhratara, Jakarta, hlm. 61. 3 Ibid, hlm. 2 4 Sri Redjeki Hartono, 1985, Asuransi dan Hukum Asuransi, IKIP Semarang Press, Semarang, hlm. 6.
4 menggunakan istilah asuaransi dan pertanggungan tersebut dalam pengertian yang sama.5 Oleh karena itu, meskipun dalam judul buku ini diberi istilah asuransi, namun dalam uraiannya, di samping istilah asuransi juga dipergunakan istilah pertanggungan dalam pengertian yang sama sebagai terjemahan dari istilah assurantie dan verzekering dalam bahasa Belanda. Dari istilah pertanggungan, tercipta istilah penanggung (assuradeur atau verzekeraar), sedangkan tertanggung (geassureerde atu vezekerde, dan dipertanggungkan yang sama dengan istilah diasuransikan (geassureed atau vezekerd). C. Defenisi dan Konsep Asuransi Definisi (perumusan otentik) asuransi termuat dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang menentukan bahwa:6 Asuransi atau pertanggungan adalah sutatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinnya terhadap tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti. Jika ditilik secara cermat, ternyata definisi asuransi yang tercantum dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang ini hanya cocok untuk satu golongan asuransi saja, yaitu asuransi kerugian. Sedangkan untuk golongan asuransi sejumlah uang, seperti asuaransi jiwa dan golongan asuaransi tanggung jawab hukum
5
W.J.S. Poerwadarminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 63. 6 Sitti Soemarti Hartono, 1980, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Peraturan Kepailitan (Terjemahan), Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, hlm. 81.
5 terhadap pihak ketiga, seperti asuaransi Tanggung Jawab Hukum Kenderaan Bermotor, tidak tercakup dalam definisi tersebut. Oleh karena itu dalam Undang-undang tentang Perasuransian (UU Nomor 40 Tahun 2014) dianggap perlu untuk memberikan suatu definisi yang lebih lengkap, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka (1), yaitu: Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar penerimaan premi oleh perusahaan sebagai imbalan untuk: a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita pihak tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Berdasarkan kedua definisi tersebut di atas dapat diperoleh adanya 3 (tiga) unsur pokok agar dapat disebutkan sebagai perjanjian asuransi, yaitu: 1. Pihak tertanggung, yang berjanji membayar premi kepada pihak penanggung sekaligus atau berangsur-angsur; 2. Pihak penanggung, yang berjanji akan membayar sejumlah uang atau ganti kerugian kepada pihak tertanggung sekaligus atau berangsur-angsur, kalau terlaksana unsur ketiga, yaitu; 3. Suatu peristiwa yang semula belum pasti akan terjadi dan yang menimbulkan kerugian bagi tertanggung.7 7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransidi Indonesia, PT. Intermasa, Jakarta, 1979, Hlm. 1.
6 Pada hakikatnya, semua asuransis bertujuan untuk menciptakan suatu kesiap-siagaan dalam menghadapi berbagai risiko yang dapat mengancam kehiupan manusia. Terutama risiko terhadap kehilangan atau kerugian yang membuat orang secara sungguh-sungguh memikirkan cara-cara yang paling aman untuk mengatasinya.8 Untuk mengatasi risiko-risiko yang sewaktu-waktu menimpa dalam kehidupannya, orang-orang yang menempuh cara-cara yang berbeda. Jika kerugian itu dapat diduga, mungkin saja dihindari dengan menerapkan cara-cara pencegahan, dan dalam hal jumlah kerugian yang kecil, mungkin saja akan ditanggulanginya sendiri. Akan tetapi kesulitan akan timbul, apabila kerugian itu tidak dapat diduga sebelumnya dan dalam jumlah besar pula, sehingga tidak mampu dicegah atau dipikulnya sendiri. Dalam keadaan demikian, seseorang dapat hancur sama sekali, jika bantuan dari masyarakat atau orang-orang sekelilingnya tidak ada. Sedangkan untuk masyarakat secara keseluruhan, kerugian yang demikian akan tidak seberat yang dirasakan oleh orang seseorang. Untuk itulah diperlukan asuransi, sebagaimana dijelaskan oleh A.L. Lavine sebagai berikut:9 Insurance is idemnification against the risk of loss, by distributing the losss ove a group. If each of handred of persons owns a vessel, the loss any single vessel might spell financial ruin for the owner. But if all agree to contribute a fund out of which to reimburce any one owner upon whom such loss might fall, the weight of the loss is distributed over the group and all are assured against from contingency named. Jelaslah kiranya, bahwa konsep (pengertian) yang paling umum dari asuransi adalah suatu kesepakatan dari sejumlah orang 8
Mehr dan Commac – A. Hasymi, 1981, Dasar-dasar Asuransi, Balai Aksara, Jakarta, hlm. 13. 9 AL. Lavine, 1991, Manual on Comercial Law, 2nd., Prentice Hall, Inc., Englewood Ciffs, New Jersey, hlm. 415.
7 yang masing-masing berada dalam keadaan terancam bahaya yang sama, akibat suatu peristiwa yang tidak terduga, yang apabila benarbenar terjadi atas salah seorang diantara mereka, maka akan disumbangkan penggantinya oleh semua orang yang ada dalam kelempok itu. Konsep asuransi tersebut di atas, dapat dijumpai dalam semua bentuk usaha asuransi, apakah bentuk usaha asuransi koperatif atau bentuk usaha asuransi kepemilikan.10 Bentuk usaha asuransi koperatif, “disebut juga dengan pertanggungan saling menanggung”11, sebab para pesertanya berkedudukan sebagai penanggung. Sedangkan bentuk usaha asuransi pemilikan, disebut juga “pertanggungan premi”12, sebab di sini pesertanya hanya berkedudukan sebagai tertanggung yang harus membayar premi kepada pemilik usaha asuransi sebagai penanggung. Pada bentuk usaha asuransi koperatif, jelas menunjukan adanya unsur hubungan antar peserta, karena para peserta atau tertanggung adalah juga para anggota penyelenggara asuransi tersebut. Sedangkan pada bentuk usaha asuransi pemilikan, pada hakikatnya juga terdapat unsur hubungan itu, sebab pekerjaan dari pengusaha asuransi ini tidak lain dari pada mengumpulkan premi sebanyak-banyaknya dari para tertanggung dan menggunakanya untuk membayar kepada peserta atau tertanggung yang menderita kerigian tersebut. D. Perbedaan Asuransi Dengan Perjudian Dari unsur-unsur yang terdapat dalam definisi asuransi, dapat diketahui bahwa perjanjian asuransi adalah merupakan perjanjian timbal balik, yaitu perjanjian dimana kedua belah pihak (dalam hal ini 10
Mehr dan Cammack – A. Hasymi, Op. Cit, hlm. 59. H.M.N. Purwosutjipto, 1983, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia – Hukum Pertanggungan, Djambatan, Jakarta, hlm. 18. 12 Ibid, hlm. 19. 11
8 tertanggung dan penanggung), sama-sama harus melakukan prestasi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Akan tetapi oleh karena dari semua boleh dikata, bahwa prestasi timbal balik itu adalah tidak seimbang antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, maka asuransi termasuk perjanjian untung-untungan (konsoverreenkomst) yang diatur dalam Pasal 1774 Kitab Undangundang Hukum Perdata. Pemenuhan prestasi yang tidak seimbang itu jelas sekali, apabila perjanjian asuransi itu dilihat dalam hubungan antara seorang penanggung dengan seorang tertanggung. Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, perjanjian untung-untungan adalah “suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu”.13 Selain asuaransi yang termasuk dalam perjanjian untunguntungan adalah bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan. Menurut WJS Poerwadarminta, perjudian adalah perbuatan berjudi, yaitu “permainan dengan bertaruh uang (seperti main dadu, main kartu dan sebagainya)”14. Pertaruhan ialah “perbuatan bertaruh atau memasang taruh, yaitu uang dan sebagainya yang dipasang ketika berjudi”.15 Dari keterangan tersebut dapat dikatakan bahwa kedua perbuatan tersebut mempunyai hubungan yang erat sekali, yaitu permainan judi sebagai wadah dan memasang taruhan sebagai isi atau unsurnya. Oleh karena itu dalam uraian ini dipergunakan istilah perjudian saja. Meskipun asuransi dan perjudian itu ditempatkan dalam pasal yang sama sebagai perjanjian untung-untungan, namun antara kedua 13
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Terjemahan), Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 402 14 W.J.S. Poerwadarminta, Op. Cit, hlm. 424. 15 Ibid, hlm. 1023.
9 perbuatan itu terdapat perbedaan yang prinsipil, yang menyebabkan asuransi diterima oleh undang-undang dan diatur lebih lanjut di dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang, sedangkan perjudian ditolak oleh undang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1778 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa: “Undangundang tidak memberikan suatu tuntutan hukum dalam halnya suatu hutang yang terjadi karena suatu perjudian atau pertaruhan”. Dalam uraian berikut, dicoba untuk menjelaskan beberapa perbedaan asuransi (khususnya asuransi kerugian) dan perjudian, munurut penglihatan tertentu. 1. Dilihat dari “tidak pastinya prestasi” Pada perjudian tidak pastinya prestasi ada pada semua pihak (peserta perjudian atau penjudi). Para penjudi menggangtungkan kewajiban untuk melakukan prestasi, manakala suatu “peristiwa yang tidak pasti” terjadi, dengan mana telah menyebabkan timbulnya ketidak samaan nilai dari prestasi diantara mereka.16 Pada asuransi, tidak pastinya prestasi, hanya ada pihak penanggung. Penanggung akan membayar prestasi yang mungkin jauh lebih besar dari yang diterimanya, manakala “peristiwa yang tidak pasti” terjadi. Sedangkan pihak tertanggung, terjadi atau tidak peristiwa itu tetap akan membayar prestasi (dalam hal ini berupa premi) kepada penanggung.17 2. Dilihat dari “prinsip idemnitas (pembatasan ganti kerugian)” Pada asuransi, penanggung akan membayar ganti kerugian berdasarkan jumlah atau besarnya kerugian yang sesungguhnya diderita oleh tertanggung, yang disebut asas (prinsip) idemnitas. Sedangkan pada perjudian, asas idemnitas ini tidak ada. Karena 16
Disimpulkan dari ketentuan Pasal 1774 KUH Perdata tentang perjanjian untunguntungan. 17 Disimpulkan dari ketentuan Pasal 246 KUHD tentang defenisi asuransi.
10 pihak yang menang akan menerima pembayaran berdasarkan jumlah pertaruhan atau menurut yang diperjanjikan diantara para penjudi. 3. Dilihat dari “segi risiko” Pada asuransi, risiko atau kemungkinan tertimpa berbagai bahaya menyebabkan hilangnya kekayaan atau timbulnya kerugian, telah ada sejak semula dan akan tetap ada, terlepas dari apakah suatu harta kekayaan itu dipertanggungkan atau tidak. Pada perjanjian, risiko hilangnya kekayaan (dalam hal ini uang pertaruhan), adalah sesuatu yang sebelumnya tidak ada sama sekali. Risiko itu baru ada setelah seorang penjudi itu mengeluarkan uang pertaruhannya, yang sebenarnya dapat dihindarkan, kalau ia ingin berbuat untuk itu.18 4. Dilihat dari segi tujuan Pada perjudian dengan mengeluarkan uang pertaruhan, para penjudi ingin memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, dengan mengharapkan terjadinya “peristiwa yang tidak pasti” yang memberi kemenangan baginya.19 Pada asuransi, dengan mengeluarkan uang premi, seorang tertanggung sama sekali mengharapkan terjadinya “peristiwa yang tidak pasti”, walaupun dengan terjadinya peritiwa itu ia dapat menuntut ganti kerugian dari penanggung. Tujuan asuransi adalah semata-mata untuk berjaga-jaga kalaukalau terjadi kerugian kerena peristiwa yang tidak pasti dan bukan mengharapkan terjadinya peristiwa itu. Apa yang diperoleh tertanggung dalam hal terjadinya kerugian atas dirinya itu, tidak
18
Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1984, Insurance in An Islamic Economy, The Islamic Foundation, Leicester, U.K, hlm. 27. 19 Loc. Cit.
11 dapat dipandang sebagai suatu keuntungan.20 Bagaimanapun dalam hukum asuransi, pihak tertanggung tidak diperkenankan memperoleh kekayaan melebihi dari apa yang dipunyai sebelum terjadinya kerugian. 5. Dihat dari “fungsi uang premi” Pada perjudian, jika seorang penjudi kalah dalam permainan, maka uang taruhan yang telah dikeluarkan itu, merupakan sesuatu yang hilang secara percuma.21 Dengan jalan apapun ia tidak akan dapat memperoleh kembali kehilangan itu. Satu-satunya yang dapat dikatakan sebagai imbangan ialah harapan untuk mendapatkan kemenangan pada permainan berikutnya. Tatapi harapan itu akan membawa penjudi itu untuk terus bermain dalam jangka waktu lama dan tidak terkendali. Pada asuransi, setelah membayar premi, seorang tertanggung mendapat jaminan untuk memperoleh penggantian atas setiap kerugian yang terjadi karena peristiwa yang dipertanggungkan. Premi dalam hal ini berfungsi sebagai modal atau biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pengamanan.22 Dalam pada itu pengamanan merupakan sesuatu yang sangat penting dan mempunyai jangkauan yang jauh bagi kelangsungan hidup perekonamian, yang kegunaannya itu tidak akan berkurang, baik dalam hal tejadi atau tidak terjadinya peritiwa yang tidak diharapkan itu. E. Asal Usul dan Perkembangan Asuransi Dalam masyarakat yang masih yang sangat sederhana (primitif), orang-orang yang hidup bersama dalam keluarga atau kaum, di dalam 20
Ibid, hlm. 28 Ibid, hlm. 29. 22 Loc. Cit. 21
12 mana segala kebutuhan hidup terpenuhi melalui kerja sama di antara mereka. Sesuai dengan konsepsi asuransi yang telah dijelaskan di atas, maka dalam masyarakat yang demikian tidak diperlukan asuaransi, karena tanpapun asuaransi, kehidupan mereka sepenuhnya terlindungi dari segala bentuk risiko oleh keluarga atau kaumnya. Hal yang demikian, tidak dijumpai lagi pada masa peradaban kuno di Mesir, Phunisia, Yunani dan Roma. Ketika kehidupan perkotaan dimulai dimana orang-orang berada dalam keadaan terancam oleh bermacam bahaya tanpa memperoleh perlindungan lagi dari keluarga atau kaumnya.23 Karena mereka mencari suatu bentuk perlindungan yang lain. Dari keterangan di atas, dapatlah dipahami bahwa asuransi pada mulanya timbul dari kebutuhan manusia untuk mendapatkan perlindungan terhadap kemungkinan adanya bahaya yang mengancam keselamatan dirinya, harta bendanya. Dari uaraian di atas dapat dipahami bahwa asuransi pada mulanya timbul dari kebutuhan manusia untuk mendapatkan perlindungan terhadap kemungkinan adanya bahaya yang mengancam keselamatan dirinya, harta bendanya atau kepentingan-kepentingan lainnya, tetapi kapan, bagaimana dan dengan apa orang yang memulainya, masih bersifat rahasia dan tidak jelas. Ahli antropologi menerangkan, bahwa bangsa Babilonia adalah orang-orang bisnis yang pandai yang mempunyai pikiran yang cerdas dalam hal kontrak-kontrak dagang dan konsep pembungaan uang. Tetangganya bangsa Phunisia telah menerapkan konsep mereka dan telah memberikan pula kepada bangsa Yunani dan kemudian Rumawi
23
Dever Victor, 1970, Handbook to Marine Insurance, London, seperti dikutip oleh Afzalur Rahman, Banking and Insurance Vol.4, The Muslim Scoll Trust, London, hlm. 19
13 yang mengembangkannya menjadi asuransi seperti yang dikenal sekarang.24 Menurut Claiton, bangsa Babilonia telah memiliki kepandaian yang tinggi dalam bidang perdagangan dengan membuat kontrak dan memanfaatkan nilai uang sebagai suatu cara untuk memperoleh banyak pinjaman dengan pembungaan baik dengan sistem bunga sederhana maupun dengan sistem bunga gabungan. Mereka mempraktekkan suatu kontrak dagang yang dipergunakan dan dikenal diseluruh dunia sebagai perjanjian bottomry.25 Bottomry adalah suatu bentuk perjanjian dagang, dimana uang atau barang dibayarkan dimana untuk maksud memperoleh keuntungan, baik sebagai pinjaman (utang) pada tingkat bunga tertentu, dalam hal ini sipemberi pinjaman tidak mempunyai wewenang untuk mencampuri proses usaha dagang tersebut maupun sebagai pinjaman campur kongsi, dalam mana disamping membayar tingkat bunga tertentu kepada sipemberi pinjaman, memberi hak pula untuk mendapatkan bagian keuntungan, apabila usaha dagang itu memperoleh keuntungan melebihi jumlah tertentu. Ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa sipenerima pinjaman harus atas dasar bunga yang tinggi, dibebaskan dari tanggung jawab dalam hal terjadi peristiwa tertentu, seperti tidak sampainya barang-barang ke tempat tujuan. Jika barang tersebut tiba dengan selamat, maka sipenerima pinjaman berkewajiban untuk membayar kembali pinjaman itu ditambah dengan bunga.26 Mengenai bottomry yang disebut juga dengan bodemerij, dijelaskan oleh JE Kaihatu sebagai berikut:27 24
Loc. Cit. Claiton, 1971, British Insurance, London, hlm. 13, seperti yang dikutip oleh Afzalur Rahman, Ibid, hlm. 20. 26 Ibid, hlm. 21. 27 J.E. Kaihatu, 1970, Asuransi Pengangkutan, Djambatan, Jakarta, hlm. 1-2. 25
14 Menurut Pasal 569 lama dari KUHD, maka dengan bodemerij ini diartikan: suatu persetujuan antara pelepas-uang (geldsschieter) dan seorang pengambil-uang (geldopnemer) dalam hal mana pihak tersebut belakangan ini adalah pemilik atau nahkoda sebuah kapal. Dalam rangka persetujuan ini, oleh sipelepas uang tadi diberikan suatu jumlah uang muka kepada pengambil uang, dengan muka yang tertentu, di samping kapal atau barang-barang muatan ataupun kedua-keduanya dari pihak pengambil uang dijadikan barang jaminan. Persetujuan, yang bersangkutan ini kemudian juga menetapkan, bahwa apabila pokok persetujuan, yakni kapal atau barang-barang muatan ataupun kedua-duanya, disebabkan bahaya-bahaya di laut tenggelam atau turun harganya, si pelepas uang akan hilannya haknya atas uang muka dan bunga termaksud, tetapi hanya sepanjang sisa dari kerugian yang diderita tidak dapat diperhitungkan dengan pinjaman ini. Sebaliknya apabila barang jaminan, ialah kapal atau barangbarang muatan ataupun kedua-duanya tiba dengan selamat di tempat tujuan, maka uang muka tadi ditambah dengan premi (bunga) harus dibayar kembali oleh pengambil uang kepada pelepas uang. Apabila persyaratan dari bodemerij ini kita hubungkan dengan pesyaratan dari suatu perjanjian asuransi, maka di dalamnya terdapat unsur yang sama dengan yang terdapat di dalam asuransi, yaitu jika pokok atau barang jaminan terhadap mana telah diberikannya uang muka itu hilang atau musnah, maka pinjaman atau hutang itu pun menjadi batal. Jadi terdapat unsur ketergantungan pada terjadi atau tidaknya suatu peristiwa yang tidak terduga, seperti halnya dalam asuransi. Perbedaannya terletak pada cara pembayaran jaminan. Pada asuransi, sebagai ganti pembayaran di muka, dilakukan pembayaran belakangan, jika terjadi kerugian karena peristiwa yang tidak terduga. Perbedaan lain lagi terletak pada pembayaran premi. Kalau pada asuransi, ganti kerugian dibayar oleh penanggung berdasarkan premi,
15 maka pada bodemerij uang-muka dibayarkan oleh pelepas uang atas dasar tingkat bunga yang tinggi yang akan dibayar oleh pengambil uang, jika kapal dan barang muatannya selamat tiba ditempat tujuan. Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dipahami, bahwa bottomry atau bodemerij mempunyai pengertian yang dekat sekali dengan asuransi, khususnya asuransi laut. Menurt J.E. Kaihatu: “Pertanggungan pengangkutan adalah bentuk pertanggungan yang tertua, setidaknya jika kita tinjau perusahaan menanggung kerugian ini dalam arti yang seluas-luasnya”.28 Dalam hal asuransi jiwa atau asuransi sejumlah uang, dapat diikuti uraian HJ Scheltema dalam bukunya “Verzekeringsrecht”, bahwa pada zaman Yunani Purba, di beberapa negara kota (kotapraja), untuk mendapatkan uang yang dibutuhkan, meminjam sejumlah uang, misalnya 3600 drachme, dengan janji bahwa si tukang uang itu diberi bunga sebesar 30 drachme setiap bulan sampai wafatnya, sedang pada waktu wafatnya itu diberi 150 drachme untuk biaya penguburan. Ini mirip dengan pertanggungan jiwa.29 Praktik asuransi laut yang pertama sekali dalam bentuknya yang ilmiah, dan atas dasar “premi, dimulai oleh para pedagang dari kotakota Lombardy dan Florence pada tahun 1250 di Italia. Pada abad pertengahan, perdagangan terutama dipusatkan di wilayah Mediterrania, yang terkenal dengan rute-rute perdagangan ke arah Timur (Konstantinopel dan India) dan ke arah Utara. Kota-kota Bagian Utara Italia, seperti Genoa, Florence dan Venesia menjadi pusat-pusat perbankan, perdagangan dan asuransi.30
28 29 30
Ibid, hlm. 1. Santoso Poedjsoebroto, Op. Cit, hlm. 16. Afzalur Rahman, Op. Cit, hlm. 25.
16 Wirjono Projodikoro menjelaskan:31 “Pada penghabisan abadabad pertengahan dan sesudahnya, ternyata asuransi laut berkembang cepat, sehingga menjadi hal yang biasa di Eropah Barat. Lama kelamaan menyusul perkembangan asuransi kebakaran”. Menurut Nolst Trenite, yang dikutip oleh Wirjono Prodjodikoro:32 “Asuransi kebakaran ini mulai diadakan di Negeri Inggris pada penghabisan abad XVII dan suatu abad kemudian di Negeri Perancis dan di Negeri Belanda”. Asuransi masuk ke Indonesia melalui Hukum Barat yang dibawa dan diperkenalkan oleh bangsa Belanda yang menjajah Indonesia selama tiga setengah abad. Menurut Santoso Poedjosoebroto:33 Di dalam tulisan-tulisan sarjana-sarjana hukum adat (Van Vollenhoven, Ter Haar) berkebangsaan Belanda, maupun dari Indonesia sendiri (Soepomo, Djojodiguno – Tirtawinata, Hazairin) tidak dapat dijumpai uraian mengenai lembaga pertanggungan jiwa yang berasal dari bumi Indonesia sendiri. Dengan demikian, maka sekiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa lembaga pertanggungan jiwa berasal dari luar Indonesia. Meskipun dalam tulisan Santoso Poedjosoebroto ini tidak menyinggung tentang asuransi kerugian, namun kesimpulan beliau tersebut di atas, kiranya dapat mencakup juga jenis asuransi kerugian, lebih-lebih lagi apabila dilihat dari segi perannya dalam perlindungan kepentingan perdagangan. Masuknya hukum Barat ke Indonesia, khususnya di dalam bidang Asuransi, terjadi dengan diberlakukannya WvK Hindia Belanda, pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan S. 1847-23, tanggal 30 April 1847. Pembuatan WvK Hinda Belanda dilakukan oleh 31
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm. 17. Loc.Cit. 33 Santoso Poedjosoebroto, Op. Cit, hlm. 46. 32
17 Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan asas konkordansi sebagaimana tercantum di dalam Pasal 131 I.S., yaitu mengikuti hukum asuransi yang telah diundangkan di dalam WvK Negeri Belanda yang mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1838.34 Di dalam WvK Negeri Belanda, selain memuat peraturanperaturan tentang asuransi laut, juga memuat peraturan-peraturan mengenai asuransi kebakaran, asuransi hasil bumi, dan asuransi jiwa.35 Dengan asas konkordansi pula maka sistem asuransi tersebut juga dianut didalam WvK Hindia Belanda yang sejak tanggal 17 Agustus 1945, WvK Hindia Belanda itu kita sebut Kitab UndangUndang Hukum Dagang, disingkat KUHD.36 RANGKUMAN Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda “assurantie”, yang sama dengan istilah “assurance” dalam bahasa Perancis. Selain istilah asurantie, dalam bahasa Belanda dikenal pula istilah “verzekering”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pertanggungan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah-istilah “insurance” dan “asurance”, dimana dengan istilah pertama lebih banyak dipakai dalam bidang asuransi kerugian, sedangkan istilah yang disebut belakangan lebih banyak dipakai dalam bidang asuransi jiwa. Definisi (perumusan otentik) dalam asuransi termuat dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang menentukan bahwa: Asuransi atau pertanggungan adalah sutatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinnya terhadap tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena 34
H.M.N. Purwosutjipto, Op. Cit, hlm. 4-5. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm. 18. 36 H.M.N. Purwosutjipto, Op. Cit, hlm. 5. 35
18 kehilangan, kerugian atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti. Jika ditilik secara cermat, ternyata definisi asuransi yang tercantum dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang ini hanya cocok untuk satu golongan asuransi saja, yaitu asuransi kerugian. Sedangkan untuk golongan asuransi sejumlah uang, seperti asuaransi jiwa dan golongan asuransi tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, seperti asuransi Tanggung Jawab Hukum Kenderaan Bermotor, tidak tercakup dalam definisi tersebut. Oleh karena itu dalam Undang-undang tentang Perasuransian (UU Nomor 40 Tahun 2014) dianggap perlu untuk memberikan suatu definisi yang lebih lengkap, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka (1), yaitu: Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar penerimaan premi oleh perusahaan sebagai imbalan untuk: a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita pihak tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat diperoleh adanya 3 (tiga) unsur pokok, yaitu: 1. Pihak tertanggung, yang berjanji membayar premi kepada pihak penanggung sekaligus atau berangsur-angsur;
19 2.
Pihak penanggung, yang berjanji akan membayar sejumlah uang atau ganti kerugian kepada pihak tertanggung sekaligus atau berangsur-angsur, kalau terlaksana unsur ketiga, yaitu; 3. Suatu peristiwa yang semula belum pasti akan terjadi dan yang menimbulkan kerugian bagi tertanggung. Meskipun asuransi dan perjudian itu ditempatkan dalam pasal yang sama sebagai perjanjian untung-untungan, namun antara kedua perbuatan itu terdapat perbedaan yang prinsipil, yang menyebabkan asuransi diterima oleh undang-undang dan diatur lebih lanjut di dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang, sedangkan perjudian ditolak oleh undang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1778 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa: “Undangundang tidak memberikan suatu tuntutan hukum dalam halnya suatu hutang yang terjadi karena suatu perjudian atau pertaruhan”. LATIHAN 1. Jelaskan pengertian asuransi menurut Pasal 246 KUHD dan menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014, serta sebutkan unsur-unsur yang terkandung dari pengertian tersebut. 2. Jelaskan perbedaan defenisi asuransi menurut Pasal 246 KUHD dan menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014. 3. Jelaskan asal usul dan perkembangan asuransi. 4. Jelaskan beberapa perbedaan antara perjanjian asuransi dengan perjudian. GLOSSARIUM 1. Beschikking adalah melahirkan pula hubungan-hubungan hukum yang bersifat publik, yaitu yang menyangkut kebijaksanaan penguasa dalam mengeluarkan ketetapan-ketetapan.
20 2.
3.
4.
5.
6.
Assurantie”, yang sama dengan istilah “assurance” dalam bahasa Perancis diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah asuransi. Verzekering” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pertanggungan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah-istilah “insurance” dan “asurance”, dimana dengan istilah pertama lebih banyak dipakai dalam bidang asuransi kerugian, sedangkan istilah yang disebut belakangan lebih banyak dipakai dalam bidang asuransi jiwa. assuradeur atau verzekeraar adalah penanggung, sedangkan tertanggung (geassureerde atu vezekerde), dan dipertanggungkan yang sama dengan istilah diasuransikan (geassureed atau vezekerd). Konsoverreenkomst adalah perjanjian untung-untungan. Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Bottomry adalah suatu bentuk perjanjian dagang, dimana uang atau barang dibayarkan dimana untuk maksud memperoleh keuntungan, baik sebagai pinjaman (utang) pada tingkat bunga tertentu, dalam hal ini sipemberi pinjaman tidak mempunyai wewenang untuk mencampuri proses usaha dagang tersebut maupun sebagai pinjaman campur kongsi, dalam mana disamping membayar tingkat bunga tertentu kepada sipemberi pinjaman, memberi hak pula untuk mendapatkan bagian keuntungan, apabila usaha dagang itu memperoleh keuntungan melebihi jumlah tertentu. Ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa sipenerima pinjaman harus atas dasar bunga yang tinggi, dibebaskan dari tanggung jawab dalam hal terjadi peristiwa
21 tertentu, seperti tidak sampainya barang-barang ke tempat tujuan. Jika barang tersebut tiba dengan selamat, maka sipenerima pinjaman berkewajiban untuk membayar kembali pinjaman itu ditambah dengan bunga. DAFTAR PUSTAKA AL. Lavine, 1991, Manual on Comercial Law, 2nd., Prentice Hall, Inc., Englewood Ciffs, New Jersey. Claiton, 1971, British Insurance, London. Dever Victor, 1970, Handbook to Marine Insurance, London, seperti dikutip oleh Afzalur Rahman, Banking and Insurance Vol.4, The Muslim Scoll Trust, London. H.M.N. Purwosutjipto, 1983, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia – Hukum Pertanggungan, Djambatan, Jakarta. J.E. Kaihatu, 1970, Asuransi Pengangkutan, Djambatan, Jakarta. Mehr dan Commac – A. Hasymi, 1981, Dasar-dasar Asuransi, Balai Aksara, Jakarta. Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1984, Insurance in An Islamic Economy, The Islamic Foundation, Leicester, U.K. P.M. Tambunan, 1988, Pengertian dan Batasan Asuransi, Lembaga Pendidikan Asuransi Indonesia, Jakarta. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Terjemahan), Pradnya Paramita, Jakarta. Santoso Poedjosoebroto, Beberapa Aspekta tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia, 1969, Bhratara, Jakarta.
22 Sitti Soemarti Hartono, 1980, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Peraturan Kepailitan (Terjemahan), Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM. Sri Redjeki Hartono, 1985, Asuransi dan Hukum Asuransi, IKIP Semarang Press, Semarang. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, PT. Intermasa, Jakarta, 1979. W.J.S. Poerwadarminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.