BAB III PENEGAKAN HUKUM BAGI PELAKU USAHA YANG MENGGUNAKAN BAHAN BERBAHAYA PADA PRODUK MAKANAN OLAHAN INDUSTRI MAKANAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
3.1 penegakan hukum bagi pelaku usaha yang menggunaka bahan tambahan berbahaya pada prodak makanan olahan. Untuk memberikan gambaran pengaturan hukum perlindungan konsumen secara komperhensif dalam hukum positif indonesia, uraian berikut akan lebih diarahkan kepada pendekatan objek formal (sudut pandang) nya, yang dikelompokan
menjadi
aspek
hukum
perdata,
hukum
pidana,
hukum
administrasi. seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu
bagaimana memberikan
bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen. beberapa tahun belakangan ini, ada banyak masalah pelanggaran hak-hak konsumen yang justru makin bertambah. berbagai bentuk pelanggaran seperti penggunaan bahan tambahan berbahaya pada produk makanan olahan industry, menimbulkan keresahan yang sangat akut bagi kehidupan masyarakat. Tanggung jawab pelaku usaha juga didasarkan pada Contractual Liability yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha (barang dan/atau jasa), atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang
yang
dihasilkan
atau memanfaatkan
jasa
yang
diberikannya. tanggung jawab pelaku usaha yang tidak terdapat hubungan perjanjian (no Privity of Contract) antara pelaku usaha (produsen barang) dengan
35
konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggung jawaban produk (product Liability), yaitu tanggung jawab perdata secara langsung (Strictliability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan1. kaidah-kaidah hukum sangat diperlukan untuk menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab. konsumen pada umumnya tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk dibuat, bagaimana proses pembuatan serta strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang dapat melindungi. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi untuk menyeimbangkan kedudukan konsumen dan pengusaha. keadaan seimbang di antara para pihak yang saling berhubungan akan menimbulkan keserasian dan keselarasan materiil tidak sekedar formil, dalam kehidupan manusia sebagaimana yang dikehendaki oleh falsafah bangsa dan negara ini. mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa
sangat
penting dikarenakan makin majunya ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. dalam rangka mengejar dan mencapai
kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung
maupun tidak langsung konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya, dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan perlindungan 1
Budi F. Supriadi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen, Catatan Perkuliahan Hukum Perlindungan Konsumen, UNIKOM, Bandung, 2010
36
yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal penting dan mendesak untuk dicarikan segera solusinya. salah satu bentuk perlindungan hukum yang menyangkut tentang perlindungan konsumen terhadap makanan olahan
dengan
bahan
tambahan
berbahaya
adalah
dari
segi
hukum
perdata.hukum pidana dan hukum administrasi.
3.2. Penegakan Hukum Perdata Hukum keperdataan secara substansional merupakan area hukum yang sangat luas dan dinamis. Keluasan hukum perdata sekilas segera tampak dari judul-judul buku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab UndangUndang Hukum Dagang. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan leg spesialis, sementara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah leg generalisnya.Dalam azas hukum dikatakan, jika terjadi perselisihan pengaturan antara undang-undang khusus dan undan-undang lebih umum, maka yang khusus inilah yang digunakan (lex specialis derogate legi generalis) yang merupakan asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)2. Dalam KUHPerdata tidak pernah disebut kata “konsumen”. Istilah lain yang sepadan dengan itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang (debitur). Pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Pasal 1235 (Jo. Pasal 1033, 1157, 1236, 1236, 1365, 1444, 1473, 1474, 1482, 1550, 1560, 1706, 1744) :
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_generali
37
“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan suatu termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat penyerahan”. 2. Pasal 1236 (jo. Pasal-pasal 1235, 1243, 1264, 1275, 1391, 1444, 1480) ; “ Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, jika dia membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan
kebendaannya,
atau
tidak
merawatnya
sepatutnya
guna
menyelamatkannya”. 3. Pasal 1504 (Jo. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504, s.d 1511). “Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan selain dengan harga yang kurang”3. Dalam kaitan dengan hukum perlindungan konsumen, kategori kedua, yaitu perbuatan melawan hukum, sangat penting untuk dicermati lebih lanjut karena paling memungkinkan untuk digunakan oleh konsumen sebagai dasar yuridis penentuan terhadap pihak lawan sengketanya.pelaku usaha dapat di tanggung gugat atas perbuatannya sesuai pasal 1328 KUHper berdasarkan wan prestasi dan pasal 1365 KUHper berdasarkan perbuatan melawan hukum yang unsurnya
meliputi
perbuatan
melawan
hukum,adanya
perbuatan,adanya
kesalahan,adanya kerugian yang di derita. dalam pasal 1504 KUHper mengenai menanggung barang cacat tersembunyi dapat di kaitkan dengan UUPK pasal 11 huruf (b) dan pasal 8 ayat (2) dan (3).dapat di tuntut ganti rugi terhadap pelaku usaha.
3
hukum.unsrat.ac.id/uu/kolonial_kuh_perdata.pdf
38
3.3. Penegakan Hukum Pidana Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut-sebut kata “konsumen”. Kendati demikian, secara implicit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen antara lain : 1.
Pasal 204 “ Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau
membagi-bagikan barang, yang diketahui membahayakan itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 2. Pasal 205 “ Barang siapa karena kealpaannya menyabebkan bahwa barangbarang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurung paling lama satu tahun. 3. Pasal 359 “ Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun ( LN 11906 No.1). 4.
Pasal 360 “ Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Barang siapa dengan kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu
39
tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah. 5.
Pasal 382 “ Barang siapa menjual, menawarkan, atau menyerahkan
makanan, Minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. 6.
Pasal 382 bis “ Barang siapa yang mendapatkan, melangsungkan atau
memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu diancam, jika karenanya dapat timbul kerugian bagi konkirenkonkoren orang lain itu, karena persaingan curang, dengan
pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. 7. Pasal 383 “ Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang, terdapat pembeli : (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat”. 8. Pasal 390 “ Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong yang menyebabkan harga barang dagangan, dana-dana atau surat berharga menjadi turun atau naik, diancam pidana pejara paling lama dua tahun delapan bulan”4.
4
hukum.unsrat.ac.id/uu/kuhpidana.htm
40
Pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi pidana apabila terbukti melakukan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,yaitu: 1.
:
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah). 2.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f di pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda 3.
paling
banyak
Rp
500.000.000,00
(lima
ratus
juta
rupiah).
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku5. Dalam kasus penggunaan bahan tambahan berbahaya dalam makanan olahan pelaku usaha yang terbukti telah melakukan perbuatan curang dengan menggunakan bahan tambahan berbahaya pada produk makanan olahannya maka pelaku usaha tersebut dapat dimintai tanggung jawab berupapemberian ganti rugi kepada konsumen, dapat berupa penggantian
barang
ataupun
perawatan
pengembalian
kesehatan
dan
uang
tidak
atau
tertutup
kemungkinan dapat masuk ke rana pidana. tergantung pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalan. perbuatan yang di lakukan oleh produsen makanan olahan yang menggunakan bahan tambahan berbahaya dapat di
5
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/532/jbptunikompp-gdl-rinianggra-26585-6-unikom_r-v.pdf
41
kategorikan sebagai tindak pidana penipuan karen telah mengelabuhi konsumen dengan menggunakan bahan tambahan berbahaya pada produk makanan olahan tanpa sepengetahuan konsumen.
3.4. Penegakan Hukum Administrasi Seperti halnya hukum pidana, hukum admministrasi adalah instrument hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. sanksi-sanksi hukum secara pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administrative. sanksi administrative tidak ditunjukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada pengusaha, baik produsen maupun para penyalur hasil-hasil produknya. sanksi admninistrative berkaitan dengan perizinan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha/penyalur tersebut. jika terjadi pelanggaran, izinizin tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh pemerintah. pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari produsen/penyalur. produksi ini diartikan secar luas, dapat berupa barang dan jasa. dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. campur tangan administrative idaelnya harus dilatarbelakangi iktikad melindungi masyarakat luas dari bahaya. .
Masalah mengenai pelanggaran perlindungan konsumen yang
dilakukan oleh pelaku usaha ini, dapat juga dikenakan sanksi administratif apabila pelaku usaha tidak memenuhi seluruh kewajibannya kepada konsumen, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
42
1.
Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi
administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26. 2.
Sanksi
administratif
berupa
penetapan
ganti
rugi
paling
banyak
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) 3.
Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.”6
Sanksi administrasi ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau sanksi pidana. ada berupa alasan untuk mendukung pernyataan ini. pertama, sanksi administrative dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak izin tidak perlu meminta terlebih dahulu dari pihak manapun. persetujuan, kalau itu dibutuhkan mungkin dari instansi-instansi pemerintah terkait. Sanksi adminitratif juga tidak perlu melalui proses pengadilan. memang, banyak pihak yang tekena sanksi ini dibuka kesempatan untuk membela diri, antara lain mengajukan kasus tersebut kepengadilan tata usaha negara, tetapi sanksi itu senidri dijatuhkan terlebih dahulu, sehingga berlaku efektif.
kedua, sanksi perdata dan/atau pidana
terkadang tidak membawa efek jera pada pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif produsen. Dalam lapangan hukum adminitrasi, perlindungan yang diberikan biasanya lebih bersifat tidak langsung, prefentif dan proaktif. pemerintah biasanya mengeluarkan berbagai ketentuan normatif yang membebani pelaku
6
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/532/jbptunikompp-gdl-rinianggra-26585-6-unikom_r-v.pdf
43
usaha dengan kewajiban tertentu. walaupun sasaran langsungnya kepada pelaku usaha, tetapi dampak positif dari kebijakan itu sebenarnya ditujukan kepada konsumensebagai warga masyarakat terbesar. karena pemerintah sebagai instansi pengeluar perizinan, maka dalam bidang administrasi, pemerintah berwenang meninjau kembali setiap izin yang dinilai disalahgunakan. hal ini berarti, sanksi administrative juga dapat bersifat represif, lazimnya berupa pencabutan izin usaha. Permasalahan tersebut tidak akan terjadi apabila antara produsen dan konsumen memiliki kesadaran bahwa hubungan yang dilakukannya mempunyai ketergantungan yang sangat erat dan saling membutuhkan, sehingga produsen tidak akan melakukan perbuatan membahayakan kepentingan konsumen dengan mencampurkan bahan-bahan kimia berbahaya kedalam makanan pada saat proses pembuatan melebihi ambang batas dengan tujuan agar biaya produksi lebih murah, tampilan lebih menarik dan apapun itu tujuannya tanpa memikirkan akibat terhadap produsen. konsumen juga tidak harus selalu mengedepankan harga tanpa memperdulikan mutu atau kualitas barang, sehingga mengorbankan kesehatannya serta lebih teliti terhadap barang dan/atau jasa yang banyak beredar di masyarakat.
3.5 Tindakan Hukum yang dapat Dilakukan oleh Konsumendari terhadap dampak penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan olahan yang mereka konsumsi.
Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai mutu dan keamanan
44
pangan menyebabkan maraknya kasus keracunan makanan serta pelanggaran hak-hak konsumen, hal tersebut juga diperparah dengan berbagai jenis bahan tambahan makanan (BTM) yang bersumber dari produk-produk senyawa kimia dan turunannya. Praktek-praktek yang salah telah menyebabkan seringnya bahan kimia berbahaya yang dilarang digunakan untuk makanan seperti formalin, boraks, pewarna tekstil dan lain-lain dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan pada saat proses pembuatan tanpa memperhatikan takaran atau ambang batas serta bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia tersebut kepada konsumen. Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, keamanan pangan diartikan sebagai kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dan kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan. karena keamanan pangan di Indonesia masih jauh dari keadaan aman, konsumen pada umumnya belum mempunyai kesadaran tentang keamanan makanan yang dikonsumsinya, sehingga belum banyak menuntut produsen untuk menghasilkan produk makanan yang aman. hal ini juga menyebabkan
produsen
makanan
semakin
mengabaikan
keselamatan
konsumen demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan dilain pihak konsumen juga memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang dikonsumsinya, sehingga konsumen mempunyai keterbatasan dalam menilai makanan dan sulit untuk menghindari resiko dari produk-produk makanan tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan.
45
Akhirnya konsumen dengan senang dan tanpa sadar mengkonsumsi produk-produk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah. keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam memperoleh informasi konsumen seringkali beranggapan bahwa makanan dengan harga tinggi identik dengan mutu yang tinggi pula. bagi golongan ekonomi rendah akan memilih harga yang murah karena golongan ini lebih menitikberatkan
pada
harga
terjangkau
daripada
pertimbangan
lainnya.
Penanggulangan agar makanan yang aman tersedia secara memadai, perlu diwujudkan suatu sistem makanan yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat yang mengonsumsi makanan tersebut sehingga makanan yang diedarkan tidak menimbulkan kerugian serta aman bagi kesehatan. Keadaan yang menimbulkan kerugian tersebut sering kali menyudutkan konsumen tersebut, mengakibatkan timbulnya sengketa atau permasalahan antara konsumen dan pelaku usaha, untuk melakukan penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yaitu : a. Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum Sengketa konsumen disini dibatasi pada sengketa perdata, masuknya suatu perkara ke pengadilan harus melalui beberapa prosedur yang didahului dengan pendaftaran surat gugatan di
kepaniteraan perkara perdata di
pengadilan negeri. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan : (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
46
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. (4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.” 7
Konsumen yang dirugikan haknya tidak hanya diwakilkan oleh jaksa dalam penuntutan peradilan umum untuk kasus pidana, tetapi konsumen dapat juga menggugat pihak lain dilingkungan peradilan tata usaha Negara jika terdapat sengketa administrasi didalamnya. hal ini dapat terjadi jika dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang ternyata dipandang merugikan konsumen secara individual. b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Maraknya kegiatan bisnis tidak dapat dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) antara pihak yang bersengketa, dimana penyelesaiannya dilakukan melalui proses peradilan (litigasi). proses
ini membutuhkan waktu
yang lama, namun alasan yang mengemuka dipilihnya penyelesaian alternatif, yaitu karena ingin meminimalisasi birokrasi perkara, biaya dan waktu, sehingga lebih cepat dengan biaya relatif lebih ringan, lebih dapat menjaga harmonisasi
7
http://jdih.pom.go.id/produk/UNDANG-UNDANG/UU8%20tahun%201999.pdf
47
sosial (social harmony) dengan mengembangkan perdamaian, musyawarah dan budaya nonkonfrontatif akan tetapi tetap mempunyai kekuatan hukum sama seperti pengadilan biasa, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement) yaitu apabila perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta, dimana kedua belah pihak yang bersengketa harus mentaati perjanjian yang dibuat dalam akta tersebut. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyatakan mengenai alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara seperti berikut : 1) Konsultasi Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut klien, dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan yang memberikan pendapatnya pada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Pendapat tersebut tidak mengikat, artinya klien bebas untuk menerima pendapat tersebut atau tidak. 2) Negosiasi Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi) dan pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase dan litigasi). Negosiasi biasanya dipergunakan dalam sengketa yang tidak terlalu rumit, di mana para pihak masih beritikad baik untuk duduk bersama dan memecahkan masalah. Negosiasi dilakukan apabila komunikasi antarpihak yang bersengketa masih
48
terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan meneruskan hubungan baik. 3) Mediasi Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator
hanya membantu para pihak untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. 4) Konsiliasi Konsiliasi tidak jauh berbeda dengan perdamaian, sebagaimana diatur dalam pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) . konsiliasi sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pihak ketiga dalam konsiliasi mengupayakan pertemuan di antara pihak yang berselisih pihak ketiga mengupayakan perdamaian. pihak ketiga selaku konsiliator tidak harus duduk bersama dalam perundingan dengan pihak yang berselisih, konsiliator biasanaya tidak terlibat secara mendalam atas substansi dari perselisihan. 5) Penilaian Ahli Penilaian ahli adalah pendapat hukum oleh lembaga arbitrase. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dimaksud dengan lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
49
sengketa. di luar peradilan umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuat terobosan dengan memberikan fasilitas kepada para konsumen yang merasa dirugikan sebagaimana kasus yang banyak terjadi akibat penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya pada makanan yang sengaja dicampurkan oleh pelaku usaha pada saat proses pembuatan makanan sehingga menyebabkan kerugian yang fatal kepada konsumen, yaitu dengan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha diluar peradilan, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). mekanisme gugatan diselesaikan secara sukarela dari kedua belah pihak yang bersengketa, hal ini berlaku untuk gugatan secara perorangan, sedangkan gugatan secara kelompok (class action) dilakukan melalui peradilan umum. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah pengadilan khusus konsumen (small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara berjalan cepat, sederhana dan murah. pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh pihak ketiga (pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak diperkenankan. Putusan BPSK tidak dapat dibanding kecuali bertentangan dengan hukum yang berlaku. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa terhadap konsumen dibentuk Majelis yang terdiri atas sedikitnya 3 (tiga) anggota dibantu oleh seorang panitera, putusan yang dijatuhkan Majelis BPSK bersifat final dan mengikat. BPSK wajib menjatuhkan putusan selama-lamanya 21 (dua puluh satu) hari sejak gugatan diterima, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
50
Keputusan BPSK wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah diterimanya atau apabila keberatan dapat mengajukannya kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari. Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha memutus perkara tersebut dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya keberatan tersebut, selanjutnya kasasi pada putusan Pengadilan Negeri ini diberi luang waktu 14 (empat belas) hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. keputusan Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Masalah mengenai pelanggaran perlindungan konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha ini, dapat juga dikenakan sanksi administratif apabila pelaku usaha tidak memenuhi seluruh kewajibannya kepada konsumen, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu : 1).Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26. 2).Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 3).Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.”8 Pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi pidana apabila terbukti melakukan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
8
http://jdih.pom.go.id/produk/UNDANG-UNDANG/UU8%20tahun%201999.pdf2014
51
1).Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah). 2).Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f di pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 3).Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku9. Permasalahan tersebut tidak akan terjadi apabila antara produsen dan konsumen memiliki kesadaran bahwa hubungan yang dilakukannya mempunyai ketergantungan yang sangat erat dan saling membutuhkan, sehingga produsen tidak akan melakukan perbuatan membahayakan kepentingan konsumen dengan mencampurkan bahan-bahan kimia berbahaya kedalam makanan pada saat proses pembuatan melebihi ambang batas dengan tujuan agar biaya produksi lebih murah, tampilan lebih menarik dan apapun itu tujuannya tanpa memikirkan akibat terhadap produsen. Konsumen juga tidak harus selalu mengedepankan harga tanpa memperdulikan mutu atau kualitas barang, sehingga mengorbankan kesehatannya serta lebih teliti terhadap barang dan/atau jasa yang banyak beredar di masyarakat.
9
http://jdih.pom.go.id/produk/UNDANG-UNDANG/UU8%20tahun%201999.pdf2014
52