BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam tertua 1 yang berusaha menanamkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam (tafaqquh fî al-dîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. 2 Penyelenggaraan lembaga pendidikan di pesantren berbentuk asrama, yang merupakan komunitas tersendiri di bawah pimpinan kyai dan dibantu beberapa orang ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah para santri dengan masjid sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan. Gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar adalah pusat kegiatan belajar mengajar sementara asrama adalah tempat tinggal para santri.3 Arus modernisasi telah menyebabkan tantangan yang dihadapi pesantren menjadi semakin besar, kompleks, dan mendesak.4 Pergeseran-pergeseran nilai di pesantren, baik nilai-nilai yang mempunyai titik singgung pada pola
1
Hal ini bisa diketahui ketika terdapat pola pendidikan yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim pada awal abad XVII di daerah Gresik Jawa Timur (tahun 1619). Sahal Makhfud, KH. MA, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta, LKiS, 2003) h. 265 2 Dinamika Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Direktorat Kelembagaan Depag RI, 2003, hal. 8-9. 3 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta, INIS; 1994), h. 6 4 Dalam menanggapi modernisasi umat Islam secara umum terbagi atas tiga bagian; bagian pertama merespons secara berbalikan, yaitu sikap anti modernisme dan bahkan “anti Barat”. Sedangkan yang kedua terpengaruh oleh pola modernisasi dan beranggapan bahwa dalam konteks beragama perlu adanya pemisahan antara agama dan masalah-masalah politik ataupun permasalahan keduniawian lainnya. Dan yang ketiga lebih bersikap kritis, namun tidak secara otomatis anti modernisasi atau anti Barat. Dalam kaitannya dengan pondok pesantren, ada yang menyikapinya dengan sikap pertama yang “anti Barat” ini biasanya didominasi oleh pesantren-pesantren salafiyah yang masih tetap ingin mempertahankan kesalafiyahannya. Sedangkan yang lain bersikap seperti kelompok ketiga yang berusaha mengambil apa yang baik dari modernisasi meskipun tidak seluruhnya. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 28
1
pembelajaran maupun manajemen pendidikan terjadi dalam skala luas. Perlu adanya kesiapan dari semua elemen pesantren untuk bisa membenahi diri menjadikan pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan modern yang sesuai dengan keadaan zamannya serta mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pergeseran nilai tersebut menurut Azyumardi Azra juga diakibatkan adanya ekspansi sistem pendidikan umum ataupun mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum, atau setidaknya menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadaptasi isi dan metodologi pendidikan umum. 5 Hal ini wajar saja karena dinamika pesantren masa depan tak dapat dipisahkan dari proses globalisasi. Sebaliknya justru eksistensi pesantren masa depan sangat ditentukan oleh kemampuannya berintegrasi secara kultural dengan sistem internasional, yang ditandai dengan tata hubungan yang semakin rasional, dinamis, dan kompetitif. Salah satu syarat untuk bisa berintegrasi dengan sistem tersebut adalah menguasai iptek, maka dibutuhkan sains yang islami. Bagaimana merumuskannya? Tampaknya ada beberapa hal yang perlu diperbaharui sebelum mengetahui lebih lanjut peluang-peluang ataupun kemungkinan-kemingkinan pesantren menjadi pusat pengembangan sains dan teknologi yang islami itu.6 Pertama,
visi
pesantren
yang
cenderung
berorientasi
kepada
pengembangan moral/ etika harus diperbaharui dengan visi yang lebih mengacu kepada persoalan bagaimana menguasai sains dan teknologi dengan tidak mengesampingkan karakteristik utama pesantren yang berupaya menanamkan ajaran-ajaran Islam kepada para santri/ siswanya. Dengan kata lain, pesantren harus bisa melahirkan pandangan bahwa al-Qur’an dan Hadits adalah paradigma bagi pengembangan iptek untuk pegangan dan pedoman kehidupan masyarakat mutakhir, yaitu masyarakat sains dan teknologi yang bermoral. 5
Ahmad Susilo, MSi, Strategi Adaptasi Pondok Pesantren (Jakarta, Kucica, 2003), h. 2 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999) , h. 277-280 6
2
Kedua, adanya dikotomi antara ilmu agama dan umum,7 untuk konteks sekarang tidak relevan lagi. Sebaliknya pesantren harus memperkenalkan bahasa sains dan teknologi kepada para santri dengan lebih memfokuskan kurikulumnya kepada mata pelajaran : kimia, matematika, dan fisika, tentu saja dengan porsi yang seimbang dengan pelajaran agama. Ketiga, pesantren harus tetap konsisten pada pandangan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Melalui ijtihad inilah apresiasi terhadap agama dilakukan penafsiran di balik ungkapan linguistiknya tidak hanya terpaku pada pemaknaan apa yang tersurat. Pesantren
diharapkan
mampu membangun
bahkan menjadi pelopor terciptanya tradisi ilmiah umat Islam. Dalam upaya mengembangkan tradisi ilmiah inilah, pesantren memiliki agenda yang sangat krusial:
pembentukan
konsorsium
ilmu-ilmu
keislaman
dan
pencarian
metodologi pemahaman Islam. Ilmu-ilmu keislaman klasik seperti Ilmu Kalam, Syariah, dan Tasawuf yang sedemikian bakunya sehingga tidak ada penambahan dan pengayaan materi. Pesantren tidak lagi didominasi oleh pendekatan normatif yang kurang berwawasan empiris-historis dan kritis-historis dalam memahami berbagai aspek ajaran Islam. Pandangan dunia
pesantren cenderung
7
Terkait dengan ketertinggalan pendidikan Islam ini, menurut Muhaimin Ag. dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Jika melihat pendapat Muhaimin ini, maka akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan agama, yanga sakral dengan yang profan antara dunia dan akhirat. Cara pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomik. Adanya simtom dikotomik inilah yang menurut Abdurrahman Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan pendidikan Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antar akal dan wahyu, serta fakir dan zikir. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan paradigmatik, yaitu kurang berkembnagnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah). Susanto, MA. Modernisasi Pendidikan Islam, Artikel disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema Menggagas Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta, 3 April 2008
3
mengajarkan doktrin yang bersifat fiqh-sufistik
dan mistikal 8 yang membawa
para santrinya berperilaku sakral dalam kehidupan sehari-hari harus diubah dengan pandangan dunia yang lebih rasional, progresif, dan menekankan transformasi sosial. Jika demikian, maka akan lahir sikap kritis baik terhadap penafsiran keagamaan maupun prilaku sosial-politik dan negara. Keempat, pesantren disuplai oleh beberapa kalangan, baik ulama, ilmuwan, maupun cendekiawan. Visi pesantren masa depan sangat ditentukan oleh ulur tangan mereka. Keterlibatan mereka menjadi indikator bahwa pesantren mampu menjelma menjadi suatu institusi yang modern dan profesional. Sudah menjadi kesadaran umum di kalangan ulama’ pembaharu9 bahwa kata kunci untuk memajukan umat Islam adalah melalui jalur pendidikan, hanya saja sistem pendidikan yang selama ini berlangsung dirasa kurang signifikan 8
Hal ini dapat ditemukan pada tradisi yang melekat pada dunia pesantren, adanya kegiatan-kegiatan ritual yang mengindikasikan pengaruh-pengaruh mistis, menurut Jalaluddin Rahmat hal ini disebabkan karena umumnya Kyai pada sebuah pesantren juga mengajarkan ilmu tarîqat yang ternyata silsilah guru tarîqat tersebut pada urutan di bawah Rasulullah adalah Ali bin Abi Talib dan tujuh imam-imam Syi’ah. Maka menurutnya terdapat ritual-ritual masyarakat Islam Indonesia yang sama dengan apa yang sering dilakukan orang-orang Syi’ah. Seperti bacaan-bacaan shalawat khas Syi’ah, tradisi membaca al-barzanji, wirid-wirid tertentu yang menyebut lima ahlu bait, tradisi ziarah kubur, bahkan pada sebagian masyarakat muslim Jawa terdapat kebiasaan mengsakralkan bulan ‘asyura (muharram) karena pada bulan tersebut pernah terjadi peristiwa berdarah di bukit Karbala yaitu meninggalnya Hasan bin Ali bin Abi Talib.lihat Jalaluddin Rakhmat, Suara Ukhuwah Kang Jalal: “Dikotomi Sunni-Syi’ah tidak Relevan Lagi” dalam Dedy Djamaluddin Malik (ed) Zaman Baru Islam Indonesia, Pemikiran dan Aksi Politik, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), cet ke-1, h.294 9 Para ulama’ pada umumnya menyadari akan kemunduran Islam karena lemahnya semangat menuntut ilmu di kalangan umat Islam tidak seperti pada masa kebangkitan Islam, pandangan tersebut merupakan suatu keharusan seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Soorkati, Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Rasyid Ridha. Nikkie R. Keddie, “Sayyid Jamaluddin Al-Afghani”, dalam Ali Rahnema (ed) Para perintis Jalan Baru Islam,Ilyas Hassan (terj) (Bandung: Mizan, 1995), h. 19-20 Terlebih lagi ketika gerakan pembaharuan atau modernisasi di Timur Tengah memberikan nilai tersendiri bagi perkembangan umat Islam di Tanah Air. Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin Al-Afghani yang mengajarkan solidaritas Pan-Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana secara ilmiah dimodernisasikan. Gerakan ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kebangkitan Islam di Indonesia. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 257-258
4
bagi terwujudnya kemajuan umat Islam, karena sistemnya tidak mendukung, baik dari segi kelembagaan, metode dan sistem pengajaran, maupun dari segi tujuan dan kurikulumnya. Pada umumnya aspek-aspek tersebut mengikuti tradisi yang sudah ada, yaitu diselenggarakan secara tradisional kurang ada inisiatif untuk mengupayakan bagaimana agar lebih maju dan berkembang. Dengan demikian, maka yang menjadi
poin pertama bagi ulama pembaharu adalah
melakukan pembaharuan sistem pendidikan. Mengenai pembaharuan pendidikan (atau lebih tepatnya modernisasi pendidikan) menurut Azyumardi Azra bahwa gagasan modernisme Islam yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20 pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern. 10 Titik tolak
modernisme pendidikan Islam adalah dikelolanya sistem
kelembagaan pendidikan modern, bukannya sistem dan lembaga pendidikan tradisional. Menurut pendapatnya bahwa eksperimentasi bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri. Sistem pendidikan pesantren dan surau yang merupakan lembaga pendidikan Islam indigenous (tradisional) dimodernisasikan misalnya dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum, teknik, metode pengajaran dan sebagainya.11 Reaksi pesantren untuk melakukan perubahan dan pembaharuan sepanjang sejarahnya menunjukkan realitas yang beragam sejalan dengan kebijakan bidang pendidikan yang dilakukan oleh para penguasa negeri ini. Namun yang pasti, pesantren menunjukkan vitalitasnya yang tinggi untuk tetap bertahan dan melanjutkan kiprahnya bagi kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia. Pembaharuan politik nasional di masa orde baru telah memberikan 10
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), h.90 11 Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, h. 91
5
pengaruh terhadap perubahan-perubahan corak pendidikan pesantren. Adanya sistem persekolahan yang populer di masyarakat nyaris menyudutkan pesantren. Namun pola pendidikannya yang diperbaharui di lembaga-lembaga pesantren, menunjukkan bahwa realisasinya terhadap kelemahan sistem persekolahan memberikan implikasi semakin kokohnya keberadaan pesantren.12 Upaya pembaharuan tersebut boleh jadi berawal dari upaya membangun paradigma
baru
pendidikan
Islam
yang
merupakan
landasan
bagi
kelangsungannya. Paradigma baru dimaksud adalah upaya untuk mengevaluasi dan menata ulang dengan menganut azas al-muhâfazah ‘ala al-qadîm al-sâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-aslah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan dan memilih pola baru yang lebih baik).13 Berkaitan dengan pembaharuan pondok pesantren tersebut, maka Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an yang terletak di desa Mulyojati Kecamatan Metro Barat merupakan contoh dari pondok pesantren yang sedang menjalankan proses modernisasi. Ada beberapa faktor yang meyebabkannya antara lain: secara
12
Ivan A Hadar, Pengaruh Politik Pendidikan Pesantren, Makalah Seminar, Pesantren dalam Perspektif Pengembangan Ilmu dan Masyarakat.(Jakarta : 1985), h.8 13 Pembangunan paradigma baru sebagai landasan bangunan pendidikan Islam setidaknya mencakup empat landasan penting: pertama) landasan profetik; landasan ini mengacu pada upaya memperlakukan Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasulullah yang diutus oleh Allah SWT. dengan menjadi suri tauladan yang paling ideal. Karena di samping beliau menyampaikan wahyu, beliau pulalah yang menjadi pusat telaah interpretasi, kedua) Landasan Keilmuan; landasan ini memberi pengertian bagi upaya penelaahan suatu kajian ilmu dengan mempergunakan disiplin ilmu yang sesuai dengan obyek kajian, sehingga umat Islam tidak lagi membedakan antara ilmu dunia dengan ilmu akhirat, tetapi bagaimana umat Islam mampu menguasai keduanya tanpa harus menganggap ilmu yang satu lebih utama dari yang lainnya, ketiga) Landasan Moral; landasan ini mempunyai titik singgung dengan social justice, yaitu pendidikan yang mempertimbangkan perilaku pribadi dengan lingkungan sosial yang melingkupinya, keempat) Rekonstruksi Paradigma Keilmuan; merupakan upaya merekonstruksi paradigm keilmuan yang lebih komprehensif, mencakup yang mendorong berkembangnya scientific curiosity sampai memuarakan pada jiwa mutmainnah, paradigma keilmuan technological high weighted dan paradigm spiritual high weighted yang kesemuanya diberdayakan untuk mencapai kebahagiaan material dan spiritual dunia dan akhirat. Baca, Noeng Muhajir, Filsafat Penddikan Multikultural Pendekatan Postmodern (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2004), h. 15-18
6
geografis Desa Mulyojati merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Metro Barat Kota Metro dan merupakan sebuah desa yang menjadi wilayah penyangga Kota Metro. Sebelum didirikannya
lembaga pendidikan Roudlotul Qur’an ini
sebenarnya di desa tersebut telah ada lembaga pendidikan yang lain yakni Pondok Pesantren Darul A’mal. Bahkan Pendiri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dahulunya merupakan tenaga pengajar/ ustadz di pondok Darul A’mal. Akan tetapi corak pendidikan yang dilakukan bersifat semiformal pondok ini mengadakan pendidikan tradisional dan juga formal yang menginduk ke Departemen Agama, yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), meskipun pada tahun ajaran 2007-2008 membuka program pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).14 Berbeda dengan Pondok Pesantren Darul A’mal pada awal pendiriannya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an yang memilih berkonsentrasi terhadap alQur’an dan segala keilmuan yang mempunyai keterkaitan dengannya. Dalam hal ini Pondok Pesantren lebih mengedepankan pendidikan seni baca al-Qur’an (Tilâwat al-Qur’an), hafalan al-Qur’an (Tahfîz al Qur’an). Pendirinya (Drs. KH. Ali Qomaruddin) merupakan alumni Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta dan semasa beliau menjadi Mahasiswa pernah menjadi duta Negara Indonesia pada perlombaan Tilâwat al-Qur’an Tingkat Internasional di Mesir dan menjadi juara kedua.15 Pada perkembangan selanjutnya, ide untuk lebih mengembangkan program pendidikan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an muncul, karena santri yang mondok tidak kesemuanya menginginkan memperoleh keilmuan 14
Untuk tahap awal SMK membuka jurusan Komputer Terpadu dan mendapat status terdaftar dari Kantor Pendidikan Nasional Kota Metro, Muhammad Amin HS, S.PdI (Kepala Tata Usaha SMK Darul A’mal), Wawancara tanggal 22 Maret 2008 15 KH. Ali Komaruddin, al-Hafiz, Wawancara tanggal 21 Juni 2007
7
yang diajarkan selama ini. Di samping itu inovasi pendidikan pondok pesantren menuntut adanya pengayaan materi kurikulum, apabila ingin tetap eksis dalam mengelola pendidikan agama Islam. Sehingga jajaran pengurus yayasan dan pemimpin pondok pesantren berupaya mencari model yang cocok untuk diterapkan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dengan mempertimbangkan animo masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam saat itu.16 Kota Metro sebagai sebuah Kota, yang berumur sekitar enam tahun (sebelumnya Metro merupakan Ibukota Kabupaten Lampung Tengah) dan baru terjadi satu kali pergantian Wali Kota, tengah berupaya menjadi Kota Pelajar di Propinsi Lampung. Pada saat ini Kota Metro
telah mempunyai delapan
Perguruan Tinggi Negeri mupun swasta 17 sedangkan untuk tingkat Madrasah Aliyah. 18 Untuk Madrasah Tsanawiyah di Kota Metro 19 Sedangkan Pondok
16
Fakta tersebut meruntuhkan sebagian pandangan bahwa pesantren hanya berorientasi kepada taqdîs al-afkâr al-dîn. Menariknya berkah dari adanya ruang kebebasan berfikir yang dibangun pesantren melahirkan pelopor pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Seperti Nurcholis Madjid (cak nur), Abdurrahman Wahid (gus dur), dan lain-lain. Fakta ini agaknya dapat dicatat sebagai babak baru dalam lembaran sejarah pemikiran Islam Indonesia. Padahal tegas Greg Barton, sepanjang 25 tahun terakhir, kebangkitan Islam Indonesia bukan sebagai gerakan pemikiran yang main-main, namun tampak terlihat kebangkitan pemikiran Islam yang signifikan, penuh vitalitas, bermutu, dan tidak bisa disejajarkan dengan negara berpenduduk mayoritas muslim lain di belahan dunia. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 1. Fachry Ali dan Bahtiar Effendy dalam Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Islam Indonesia Masa Orde Baru (1986), M. Syafi’i Anwar dalam Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (1995), Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim dalam Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik (1998) 17 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Jurai Siwo, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Agus Salim, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ma’arif, Universitas Muhammadiyah Metro (UMM), Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Metro, Sekolah Tinggi Olahraga (STO) Metro, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Darma Wacana, Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Budi Luhur di samping itu Institut Agama Islam Negeri Bandar Lampung membuka program Pascasarjana di Kota Metro. (Dokumentasi Pemerintah Kota Metro tahun 2008) 18 Madrasah aliyah Negeri (MAN) II, Madrasah Aliyah Khusnul Khotimah, Madrasah Aliyah Darul A’mal, Madrasah Aliyah Muhammadiyah, Madrasah Aliyah Tuma’ninah Yasin, Madrasah Aliyah Al-Muhsin (Dokumentasi MAPENDA Kantor Departemen Agama Kota Metro tahun 2007)
8
Pesantren yang ada di Kota Metro selain Roudlotul Qur’an juga terdapat pondokpondok pesantren lain. Pondok Pesantren Darul A’mal, Pondok Pesantren AlMuhsin, Pondok Pesantren Mamba’ul ’Ulum, Pondok Pesantren Luhur Muhammadiyah, Pondok Pesantren Wahdatul Ummah, Pondok Pesantren Tuma’ninah Yasin, dan Pondok Pesantren Roudlotuththolibin. 20 Akan tetapi dari kesemua lembaga pendidikan pesantren tersebut belum ada yang menerapkan kurikulum yang secara terintegrasi dengan kegiatan asrama. Pada umumnya siswa belajar di sekolah siang hari dan mengikuti kegiatan diniyah di malam atau sore harinya,21 materi yang disajikan pun kendati ada kesamaan antara sekolah pagi yang formal dengan kegiatan asrama yang non formal namun tidak ada hubungan yang sinergis, sehingga dapat dipastikan hal ini akan berdampak pada kekurangmampuan siswa/ santri menangkap materi keilmuan karena dirasakan sangat banyak yang perlu dipelajari,22 meskipun pada 19
Madrasah Tsanawiyah Negeri, Madrasah Tsanawiyah Darul A’mal, Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah, Madrasah Tsanawiyah Mamba ul ’Ulum, Madrasah Tsanawiyah Tuma’ninah Yasin (Dokumentasi MAPENDA Kantor Departemen Agama Kota Metro tahun 2007) 20 Kota Metro yang hanya terdiri atas lima kecamatan yang berupaya untuk mewujudkan dirinya sebagai Kota Pendidikan merupakan salah satu strategi untuk menggiatkan aktivitas sosial ekonomi masyarakat dengan kebijakan mendukung berdirinya lembaga-lembaga pendidikan baik umum maupun agama disertai dengan dibangunnya asrama pelajar oleh Pemerintah Kota Metro di Kecamatan Metro Timur. Menariknya asrama pelajar ini memang dipersiapkan untuk para pelajar yang berasal dari luar Kota Metro. Dengan kebijakan ini tentunya akan dapat menambah pendapatan masyarakat pada sektor jasa. Saifurrizal SPd (Kepala Asrama Pelajar Kota Metro), Wawancara, tanggal 23 April 2008) 21 Seperti di Pesantren Darul A’mal dan Roudlotuttolibin yang keduanya merupakan pesantren yang memiliki lembaga pendidikan Madrasah Aliyah (belajar siang hari) dan juga memiliki lembaga pendidikan Madrasah Diniyah (belajar malam hari) akan tetapi antara lembaga tersebut berdiri sendiri, sehingga pelajaran yang diajarkan siang hari (Madrasah Formal) akan terulangi pada materi pelajaran di malam hari (Madrsah Diniyah) missal pada pelajaran Nahwu, Sharaf, fiqih, dan tauhid. Muhammad Syarif (Santri Pondok Pesantren Darul A’mal), Wawancara, tanggal 30 April 2008 22 Banyaknya jenis materi yang disampaikan ini dapat dilihat dari untuk materi pelajaran di sekolah formal saja sudah mencapai 25 materi pelajaran kurikuler maupun nonkurikuler dan ditambah lagi dengan materi pelajaran diniyah yang berjumlah 9 mata pelajaran. Ahmad Taslim (Santri Pondok Pesantren Darul A’mal), Wawancara, tanggal 1 Mei 2008
9
hakikatnya terdapat beberapa mata pelajaran yang terjadi pengulangan penyampaian. 23 Berawal dari kenyataan tersebut, maka pihak Yayasan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berupaya mencari model pendidikan yang tepat yang sekiranya dapat mempercepat para santri untuk lebih menguasai berbagai cabang keilmuan tanpa harus menggunakan waktu yang lebih banyak. Hal ini dimaksudkan agar nantinya out put pesantren ini telah siap terjun ke masyarakat menjadi motor penggerak kemajuan umat Islam. Dengan kesepakatan berbagai pihak dipilihlah sistem Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah (TMI) untuk diterapkan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Mengenai
Lembaga
Pendidikan sistem TMI yang dijadikan sebagai kiblat adalah Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura Jawa Timur. 24 Keseriusan dalam mengadopsi sistem ini tercermin pula dari sowan yang dilakukan pihak Yayasan Roudlotul Qur’an ke Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amien KH. Muhammad Idris Jauhari pada bulan Oktober 2003. atas izin beliau maka pada tahun ajaran 2004/ 2005 secara resmi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an membuka program Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah . 25 23
Pengulangan penyampaian ini terjadi ketika sebuah pesantren memiliki dua lembaga pendidikan yang tidak terintegrasi secara kurikulum, misal jika sebuah pesantren memiliki lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah yang di dalamnya terdapat materi Bahasa Arab. Sementara pesantren juga mempunyai lembaga pendidikan Madrasah Diniyah yang tentu saja dalam kurikulumnya terdapat mata pelajaran Nahwu. Hal ini setidaknya yang terjadi di Pondok Pesantren Darul A’mal yang lokasinya berdekatan dengan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Dokumentasi Lembaga Pendidikan Darul A’mal 2007 24 Sistem TMI yang diterapkan di sini merupakan penggabungan secara berkelanjutan antara Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sehingga masa pendidikan berlangsung selama 6 tahun. Meskipun pada 6 tahun pertama dari 46 orang siswa yang mendaftar pada saat pertama kali dibuka, hanya 11 orang santri saja yang bisa bertahan menjadi wisudawan TMI, pada September 1978. Akan tetapi setelah 29 tahun berjalan, TMI Al-Amin telah menjadi lembaga yang mapan dan diperhitungkan. Berkisar antara 1.900 alumni TMI. menyebar dan berjuang di tengah-tengah masyarakat Islam. Departemen Agama RI. Direktori Pesantren, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, 2007), h. 374-375. 25 Al-ustadz Saiful Hadi, LC. Wawancara, tanggal 23 Mei 2006
10
Ada hal-hal yang menarik dari sistem mu’alimin ini. Pertama, semua materi pelajaran disajikan dalam sebuah kelas formal yang berjenjang sesuai tingkatan kelas, dan sistem pengajarannya lebih modern dalam arti bukan sistem tradisional yang terkesan pasif karena hanya guru yang aktif murid cenderung hanya menerima tanpa ada kesempatan untuk mengkritisi. Kedua, perhatian yang lebih kepada fondasi keilmuan, materi pelajaran yang disajikan meskipun terkesan mendasar seperti kitab-kitab maraji’ (referensi) yang rendah seperti Nahwu Wadlîh 26 dan yang lainnya, tapi justru itulah yang harus diperkuat. Karena semakin kuat pondasi semakin kokoh bangunan di atasnya. Ditopang dengan sistem pengajaran yang aktif-aplikatif, bahasa Arab dan Inggris menjadi bahasa keseharian. Diibaratkan belajar dengan sistem ini para pengajar berusaha memberikan kunci dan kewajiban para anak didik selanjutnya adalah membuka khazanah-khazanah pengetahuan yang ada dengan kunci yang telah ia peroleh tersebut. Lemari apapun kalau sudah dipegang kuncinya dapat dibuka. Ketiga, al-’Ulǔm al-Tanzîliyyah
(ilmu-ilmu berbasis agama) disajikan secara
komprehensif (menyeluruh), berbeda dengan Madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah yang ada. Keempat, sebenarnya kalau dilihat dari arti secara bahasanya, TMI berarti Pendidikan Guru Islam seakan tidak jauh berbeda dengan Pendidikan Guru Agama (PGA) tempo dulu. Hal ini dimaksudkan bahwa sistem
26
Ali Jarim dan Mustofa Amin, Nahwu Wadlîh (Jakarta: Alaydrus, t.th) Dr. Mahmud Ismail al-‘Arabiyyah li an-Nâsyi in (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) merupakan kitab-kitab yang lazim disampaikan dalam mata pelajaran Nahwu, hal ini berbeda dengan kitab-kitab yang disampaikan di pesantren-pesantren salafiyah yang biasanya mengajarkan kitab Nahwu seperti Jurumiyyah, al-‘Umrity, Al-Fiyah karangan ibn Malik. Perbedaan ini didasarkan bahwa untuk kitab nahwu yang diajarkan di pesantren modern titik tekannya pada kemampuan berbahasa Arab secara aktif dalam percakapan sehari-hari, sedangkan di pesantren-pesantren salaf pengajaran bahasa Arab lebih ditekankan untuk memahami struktur gramatika Arab yang dipergunakan untuk memahami kitab-kitab klasik (kitab kuning).
11
ini berupaya mencetak kader-kader yang memiliki jiwa pendidik meskipun tidak harus berprofesi sebagai guru agama di sekolah. 27 Di lain pihak pemilihan Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah dan bukannya Kulliyatul Mu’allimîn al-Islâmiyyah
(TMI)
(KMI), menurut Ustadz
Saiful Hadi, LC, adalah terinspirasi dengan sistem mu’allimîn yang ada di Pondok Pesantren Al-Amin, Prenduan Madura Jawa Timur yang mempunyai sedikit perbedaan dengan Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur, yaitu perangkat pendidikan
TMI disesuaikan dengan kondisi sosial
keagamaan masyarakat yang masih kental dengan tradisionalitasnya sehingga lebih membumi. Jadi tradisi-tradisi seperti tahlilan, pembacaan al-Berzanji, dan pengajian kitab kuning dengan sistem sorogan 28 semuanya ada di Pondok Pesantren tersebut. Di samping Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan juga mempunyai program Tahfîz al-Qur’an yang merupakan cikal bakal dari Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Hal lain yang menarik adalah sistem mu’allimin di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dikombinasikan dengan kurikulum Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Maka praktis kurikulum
27
KH. Ali Komaruddin, SQ. Al-Hafiz (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an), Wawancara, Tanggal 27 Mei 2006 28 Tradisi semacam ini merupakan hal yang lazim dilakukan di pesantren-pesantren salafiyah, bahkan dalam tradisi yang berkembang di masyarakat Islam Lampung acara tahlilan pada malam Jum at, malam pertama hingga ketujuh sesudah seseorang meninggal, dan pada malam-malam ke 40, 100, 1000 dari meninggalnya seseorang merupakan tradisi yang sangat kuat. Di lain pihak pembacaan Al-Barzanji di malam walimatul ‘urs, walimatul khitan, syukuran kelahiran merupakan tradisi yang masih berlangsung. Sehingga dalam satu dusun (yang rata-rata terdiri atas 40 Kepala Keluarga) terdapat kelompok tahlilan, Berzanji baik yang dilakukan oleh ibu-ibu maupun bapak-bapak. Pada kenyataan inilah biasanya kyai pesantren juga bertindak sebagai pemimpin jamaah tahlilan di lingkungan pesantren. Kyai Rosyadi (Pemimpin Jamaah Yasin/ Tahlil dusun II Mulyojati Metro Barat), Wawancara, tanggal 22 Maret 2008
12
yang ada adalah kombinasi antara kurikulum Departeman Pendidikan Nasional dan kurikulum Mu’allimîn.29 Sehingga bukan mu’allimin an sich. Pada perkembangan selanjutnya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berhasil mendapat hati di kalangan umat Islam, hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat yang begitu tinggi untuk memondokkan
anaknya di
Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an. Terbukti dengan semakin menaiknya grafik jumlah santri, terutama setelah sistem mu’allimîn diberlakukan. 30 Secara umum santri yang belajar di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis; pertama, santri yang menghafalkan Al-Qur’an saja dan tidak terikat dengan institusi pendidikan manapun. Kedua, santri yang menghafalkan Al-Qur’an sambil melanjutkan pendidikan pada institusi pendidikan di luar Pondok Pesantren. 31 Ketiga, santri yang belajar pada SMP atau SMA Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah, mereka ini tidak menghafalkan al-Qur’an. Ketiga jenis santri tersebut tinggal di asrama Pondok Pesantren. Keempat, santri-santri Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang tidak bermukim di asrama pesantren. Akan tetapi dari keempat jenis tersebut, yang paling mengalami kenaikan yang cukup signifikan adalah santri yang mengikuti program pendidikan Tabiyatul Mu’allimin. Pada tahun perdana pembukaan SMP TMI (2004-2005) 29
Ketika Departemen Pendidikan Nasional memberlakukan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), maka kurikulum ini juga diberlakukan di SMP TMI Roudlotul Qur’an dan juga pada saat kurikulum berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Ahmad Komaruddin (Waka Kurikulum SMP TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara¸ tanggal 9 Mei 2008 30 Rata-rata kenaikan jumlah santri adalah 75 % untuk tahun ajaran pertama dibuka kelas SMP TMI, dan pada tahapan selanjutnya berkisar antara 35 - 50% pada tahun ajaran selanjutnya sampai pada tahun ajaran 2007-2008. (Dokumentasi Tata Usaha SMP TMI Roudlotul Qur’an tahun 2004 s.d 2008) 31 Santri tipe ini mayoritas adalah santri yang telah lulus dari SLTA di luar Pesantren Roudlotul Qur’an hanya saja mereka ingin melanjutkan ke perguruan tinggi di wilayah Metro dan Roudlotul Qur’an dipilih sebagai tempat untuk menimba ilmu di luar jam-jam kuliah. Ahmad Ansori (santri tahfizul Qur’an yang juga kuliah di Fakultas Teknik Sipil Jurusan Pertanian di Universitas Darma Wacana Metro. Ahmad Ansori, Wawancara, tanggal 29 Januari 2008
13
terjaring satu kelas dan mencapai angka 20 siswa/ siswi. Maka pada tahun kedua (2005-2006) terjaring dua kelas, berjumlah 57 siswa/siswi baru, dilanjutkan pada tahun ketiga
(2006-2007) mencapai
61 siswa/ siswi.
Dan pada tahun
selanjutnya (2007-2008) mencapai 64 siswa baru. 32 Dengan demikian dapat disimpulkan sementara bahwa sistem ini mendapat respon positif dari umat Islam. Hal ini dimungkinkan karena adanya upaya modernisasi pendidikan di Pondok pesantren Roudlotul Qur’an. Secara garis besar perkembangan jumlah santri dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1 Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur'an (tahun 2001-2008) Santri
Tahun 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Putra
8
9
11
21
56
106
176
233
Putri
7
10
16
27
54
140
187
239
19
27
48
110
246
363
472
Jumlah 15
Sumber : Sekretaris Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Ada beberapa hal yang
menarik untuk dicermati dari Pesantren
Roudlotul Qur’an ini. Pertama, adanya perpaduan antara teori-teori pendidikan yang lazim dilakukan di pondok-pondok pesantren tradisional/ salafiyah dengan teori-teori pendidikan yang umumnya dilakukan di Pondok Pesantren Modern.33
32
Dokumentasi Sekretaris TMI Roudlotul Qur’an tahun 2004-2007 Untuk konteks Lampung hal ini adalah fenomena baru, mengingat pada umumnya masing-pesantren ingin mempertahankan identitasnya masing-masing baik yang mengaku pesantren modern maupun salaf. Dan yang dilakukan oleh Roudlotul Qur’an merupakan upaya untuk tidak terlalu mempertentangkan identitas, kendati dalam pelaksanaannya juga mengandung berbagai konsekuensi yang tidak mudah. Muhammad Saiful Hadi, Lc, (Direktur TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 17 Maret 2008 33
14
Suatu contoh setiap malam Jum’at sehabis Sholat Maghrib Pengasuh dan para santri melakukan kegiatan istighotsah,34 tahlîlan selain itu pada malam-malam tertentu diadakan pembacaan al-Barzanji, pembacaan kitab kuning. Di pihak lain pesantren mewajibkan para santri untuk menggunakan Bahasa Arab dan Inggris secara aktif di luar maupun di dalam Pesantren yang dalam hal ini kita temukan di pondok-pondok pesantren modern. Kedua,
perpaduan antara
kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (SMP/ SMA) dengan kurikulum Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah
ternyata lebih memacu kreatifitas dan
prestasi siswa dalam berbagai ajang kompetisi baik di tingkat sekolah maupun di luar sekolah. Dalam hal ini para santri telah mampu berkiprah dan menjuarai berbagai even perlombaan, seperti : Juara pertama pada kegiatan Perkemahan yang diadakan Kwartir Cabang Metro untuk tingkat SLTP tahun 2006, Juara pertama Khitobah Bahasa Arab dan Inggris bagi pelajar Tingkat Kota Metro tahun 2006. Juara pertama MTQ tingkat Propinsi Lampung tahun 2005 kategori Tahfidz 5 juz, 30 juz, juara Tilawah anak-anak. Dengan demikian ternyata di usianya yang relatif muda ternyata mampu menunjukkan kemampuannya, sehingga dimungkinkan keberadaannya akan terus maju dan berkembang pesat. Ketiga,
adanya integrasi kegiatan pendidikan di sekolah dengan kegiatan
pesantren menjadikan pemahaman materi bagi para santri lebih mendalam.35 Hal ini dikarenakan pelajaran yang telah diperolehnya di sekolah pada siang harinya
34 Istilah istighatsah cukup dikenal di kalangan muslim tradisionalis yang umumnya berafiliasi dengan NU, maka sering dijumpai acara semacam istighatsah kubra yang merupakan tradisi dalam pesantren-pesantren salaf yang kyai pengasuhnya telah menjadi guru mursyid atau telah dibai’at dengan tariqah tertentu. KH. Aziz Mashuri (ed) Permasalahan Thariqah, Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabaroh Nahdlatul ‘Ulama (1957-2005M), (Surabaya: Khalista, 2006), h. 68-69 35 Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan tingkat kelulusan pada Ujian Nasional yang sudah berlangsung selama dua periode berhasil mencapai 100% dari keseluruhan siswa kelas IX (III SMP). Ahmad Komaruddin (Waka Kurikulum SMP TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara¸ tanggal 22 Juni 2008
15
akan dijadikan bahan kajian dan diskusi pada malam harinya, tentunya kegiatan ini selalu dimonitor oleh para ustadz dan pengurus pesantren. Sementara pembaharuan yang diadakan sudah barang tentu mendobrak tradisi lama yang belum tentu kurang baik, sebagai gambaran terdapat beberapa jenis santri yang mondok apakah perbedaan ini menimbulkan ekses yang kurang baik.36 Seperti dipahami bahwa santri yang menghafalkan al-Qur’an pada umumnya lebih menutup diri terhadap pola-pola kemodernan dan memilih kesakralan dalam upaya menghafalkan al-Qur’an. Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka permasalahan ini layak diajukan sebagai bahan penelitian. B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka permasalahan-permasalahan yang ada dapat diidentifikasikan sebagai berikut: pertama, Langkah-langkah Modernisasi yang perlu dilakukan oleh pesantren dalam upayanya memenuhi tuntutan zaman globalisasi dan bergerak sangat dinamis. Kedua, dampak yang terjadi setelah diberlakukan modernisasi. Ketiga, sambutan berbagai elemen pesantren setelah diberlakukannya modernisasi. 2. Pembatasan Masalah Penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian yang berusaha menemukan keterkaitan yang positif antara modernisasi pendidikan Islam di satu sisi dan pondok pesantren di sisi yang lain. Keterkaitan tersebut apakah menjadi sangat erat pada tiap aspek yang ada di Pondok Pesantren Roudlotul 36
Perbedaan yang muncul ke permukaan sebenarnya hanya berkisar pada aturan-aturan nonformal pesantren, misal dalam tradisi pesantren tahfizul Qur’an pakaian ala santri salaf sangat kental, seidaknya dapat dilihat dari penggunaan sarung dan kopiah bagi santri putra dan rok panjang serta jilbab yang panjang bagi santri putri, sementara di sisi lain dalam pondok modern santri putra tidak diharuskan memakai kopiah dan sarung dan bagi santri putri menggunakan celana panjang untuk kesempatan tertentu tidak menjadi masalah. Ira Shofiyatuzzulfa (santri tahfiz ul Qur’an), Wawancara tanggal 3 April 2008
16
Qur’an, atau hanya pada level-level tertentu modernisasi tersebut terkait, atau bahkan pada level yang lain malah bersikap resistan terhadap modernisasi itu sendiri. Sikap yang berbeda dalam menanggapi suatu proses tersebut pada gilirannya juga akan
berpengaruh pada interpretasi masing-masing terhadap
proses yang ada dan terjadi saat itu. Kendati semangat modernisasi timbul dari dalam pesantren, akan tetapi pola-pola yang ada diakui atau tidak tentu berasal dari luar, yang tentu saja bisa dari pola-pola pendidikan Islam atau pola-pola pendidikan yang dianggap sekuler.37 Oleh sebab itu dalam penelitian ini, penulis memilih aspek-aspek yang terkait dengan modernisasi, yaitu langkah-langkah modernisasi yang dilakukan oleh pesantren dalam upayanya memenuhi tuntutan zaman. Mengingat modernisasi pendidikan adalah suatu proses dari belum modern kemudian diupayakan menjadi modern, dan modernisasi yang sedang terjadi merupakan masa transisi, tentunya ini menimbulkan ekses-ekses tertentu. Responsitas yang berbeda dalam menanggapi makna modern juga berakibat pada perbedaan dalam menentukan kebijakan pendidikan. Dari perbedaan tersebut dapat juga melahirkan kelompok-kelompok baru yang terbentuk dari hasil sebuah proses modernisasi. Karena pada proses modernisasi tersebut Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an perlu melibatkan banyak pihak dan tentunya masing-masing mempunyai kepentingan masingmasing. C. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah dan ruang lingkup di atas, maka permasalahan utama yang diteliti dalam tesis ini dirumuskan sebagai berikut: (1) usaha-usaha
37
modernisasi pendidikan yang dilakukan pondok pesantren
Noeng Muhajir, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003). h. 23
17
(2) pengaruh modernisasi terhadap para pengelola pendidikan yang ada di pondok pesantren (3) respon dari komponen-komponen pondok pesantren terhadap modernisasi. Ketiga rumusan masalah tersebut yang hendak didiskusikan
dalam penelitian ini dengan menggunakan Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an sebagai obyek kasus. D. Penelitian Terdahulu Penelitian dilakukan,
38
mengenai pondok pesantren
memang telah sejak lama
hal ini menyangkut dengan keterkaitan masuknya Islam di
Nusantara maupun keterkaitannya dengan proses islamisasi yang terjadi sehingga Islam menjadi agama mayoritas. Penelitian yang terdahulu tentang pondok
pesantren misalnya Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi
Tentang Pandangan Hidup Kiai
39
yang diterbitkan oleh LP3ES Jakarta,
merupakan karya tulis tentang pesantren yang bisa dikatakan sebagai karya klasik tentang pesantren dan cukup representatif sehingga menjadi rujukan yang penting bagi penelitian tentang pondok pesantren di Indonesia. Dalam tulisannya Zamakhsyari banyak mengupas bangunan dasar pesantren yang termasuk di dalamnya kurikulum, model pendidikan, kitab-kitab yang diajarkan, jaringan yang dikembangkan pesantren serta tradisi keilmuan yang dikembangkan. Pemaparan mengenai sejarah sebuah pesantren biasanya lahir dari sebuah 38
Penelitian yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje pada masa penjajahan Belanda menjadi bukti bahwa kajian tentang pondok pesantren telah dilakukan sejak lama. Dalam catatannya dia mengkonfirmasi adanya sejumlah pesantren yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Snouck Hurgronje antara lain mengunjungi Garut, Cianjur, Bandung, Bogor, Cirebon, dan beberapa daerah lain di Indonesia. Catatan perjalanan ini juga merekam pesantren di berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam temuannya tersebut pada kenyataannya bahwa sebagian pimpinan pesantren pernah mengenyam pendidikan agama Islam di berbagai wilayah di Timur Tengah terutama di Mekkah. C. Snouck Hurgronje, Travel Notes in West and Central Java 1889-1991 (Leiden: University Library, t.th). Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Abad ke-20, Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007, disertasi tidak diterbitkan), h. 75 39 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1982)
18
pengajian di musholla/ masjid yang cukup sederhana
hingga tumbuh dan
berkembang menjadi institusi yang maju dan bahkan menjadi modern juga menjadi perhatian dalam tulisan tersebut.
Di satu sisi Zamakhsyari
mengemukakan tentang kehidupan para kyai pemangku pesantren-pesantren salaf/ tradisional dengan berbagai aktifitasnya dalam lingkup pesantren dan masyarakat, status sosial yang ada sampai pada ritual-ritual 40 yang biasanya dikembangkan para kyai. Tulisan lain yang juga penting disebutkan dalam kesempatan ini adalah karya Karel A Steenbrink
berjudul Pesantren, Madrasah, Sekolah-Sekolah
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,41
yang juga terbitan LP3ES Jakarta
yang diterbitkan empat tahun berselang setelah karya Zamahsyari Dhofier, yaitu pada tahun 1986. Dalam tulisannya Steenbrink memaparkan bahwa kesejarahan awal sejarah pesantren khususnya di Jawa dan umumnya di wilayah nusantara kabur, hal ini seperti yang diungkapkan Steenbrink ketika mempertanyakan tentang pesantren mana yang dianggap pertama kali ada karena dalam karya sastra Jawa Kuno “Serat Centini” 42 tidak pernah disingguh-singgung istilah pesantren, dan
belum ditemukan sebuah literatur
yang secara tegas
menyebutkan kapan mulai ada istilah pesantren. Kendati Steenbrink juga setuju kalau pesantren merupakan pendidikan yang berakar dari kebudayaan Indonesia (indigenous) dan bukan berasal dari kebudayaan tempat agama Islam lahir. Dalam pandangannya modernisasi dalam pendidikan pesantren merupakan hasil
40
Dalam tradisi kyai-kyai yang diteliti Zamakhsyari kebanyakan merupakan “Kyai NU” sehingga tradisi yang dimaksud sangat kental sekali dengan paham ahlussunnah wal jama’ah, yang pada ritual tertentu dianggap bid’ah oleh kelompok lain. Tawassul, ziarah kubur, tahlilan merupakan tradisi yang dianggap oleh sebagian umat Islam bukan tradisi yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad sehingga dianggap sebagai amalan bid’ah. H. Munawar Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2007), h. 29 41 Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah-Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern , (Jakarta: LP3ES, 1986)
19
dari berbagai persinggungan yang terjadi di kalangan ulama dengan berbagai kebudayaan sehingga melahirkan berbagai tipologi pesantren. 43 Buku karangan Pesantren
di
Marwan Saridjo
Indonesia,
dalam
yang berjudul Sejarah Pondok
bukunya
tersebut
Marwan
berusaha
mendeskripsikan pesantren-pesantren yang termasuk besar dan menjadi suatu institusi yang cukup memberi corak bagi pendidikan agama Islam di Indonesia dengan berbagai model kurikulum yang diajarkannya. Dalam bukunya tersebut dipaparkan pula pesantren-pesantren mana yang dianggap modern ataupun salaf. Modern dalam istilah Marwan Saridjo pada umumnya dijadikan referensi bagi pemaknaan modernitas sebuah pondok pesantren. Menurutnya pesantren lahir umumnya sangat bergantung pada otoritas pendiri pesantren dalam menentukan identitas pesantrennya, oleh karena itu pesantren modern akan lahir dari seseorang yang pernah/ mempunyai semangat modern. 44 Selain itu adalah sebuah buku hasil karya Abdullah Syukri Zarkasyi yang diberi judul Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren45 terbitan Raja Grafindo Persada Jakarta yang berusaha mengungkapkan sejarah dari awal berdirinya pesantren Gontor dalam melaksanakan program pendidikan yang diteruskan dengan pendapatnya mengenai peran pesantren Gontor bagi pembaharuan pesantren di Indonesia, menurutnya ini dapat dilihat dari para alumni Gontor yang tersebar di seluruh Indonesia banyak yang mendirikan pesantren ala Gontor Dalam penelitian yang penulis lakukan adalah tentang modernisasi yang sedang terjadi di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, yang dalam hal ini obyek yang penulis teliti berada dalam masa transisi dari pesantren salaf ke pesantren 43 44
Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah,... h. 7-9 Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti,
1983) 45
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
20
modern. Modernisasi yang terjadi penulis analisis dengan pendekatan modelmodel modern yang berasumsi bahwa modern pada tataran praktis mempunyai tiga model, yaitu: Pertama, teori historis, yang menurut teori ini kemodernan adalah apa yang berasal dari Barat karena dari sanalah isu tentang modern itu berasal. Tinjauan teori ini didasarkan pada kenyataan sejarah dari sejak munculnya istilah modern. Menurut teori historis mengenai modernisasi, maka acuan yang dipakai ialah masyarakat maju atau dalam hal ini adalah masyarakat Barat. Oleh sebab itu dalam teori ini modernisasi juga berarti westernisasi (west = Barat) Menurut Samuel Eisenstadt pengertian ini memang telah muncul sejak abad 17-19 di Eropa pada masa aûfklarung atau enlightenment (pencerahan) dengan rasionalismenya. Konsep ini merambat dari Eropa dan Amerika Utara ke Asia pada sekitar abad ke-20 M. Modernisasi merupakan suatu transformasi total dari masyarakat pra-modern ke masyarakat modern, yaitu suatu masyarakat yang sudah
berkembang teknologinya
serta
mendukungnya. Inilah yang dijadikan kriteria
organisasi
sosial
yang
dari negara ekonomi maju
dengan politik yang sudah mapan. Rumusan ini mempunyai suatu kekeliruan etnosentrisme, karena seakan-akan negara maju hanya di Eropa dan Amerika Utara-lah yang mempunyai hak dijadikan acuan suatu masyarakat maju.46 Kedua, Teori relativisme, teori ini tidak menjadikan Eropa dan Amerika Utara sebagai pusat masyarakat modern. Sesuai dengan namanya teori ini menghendaki bahwa modern tidak selamanya dimiliki oleh satu golongan saja, bisa jadi satu golongan yang pada awalnya dianggap paling modern, akan tetapi pada giliran selanjutnya golongan lain mampu menjadi pelopor kemodernan.
46
H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 16
21
Titik tekan teori ini adalah kemajuan suatu bangsa dalam menciptakan kebudayaan yang maju dalam berbagai bidang. Ketiga, teori analitik, yang melihat tingkat modernisasi suatu masyarakat dari berbagai aspek, yaitu: ekonomi, politik, pendidikan, keluarga, stratifikasi dan mobilisasi sosial, dan agama. Suatu masyarakat yang modern di bidang ekonomi akan menerapkan teknologi berdasarkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini dijadikan dasar pengembangan kehidupan ekonomi dengan perkembangan teknologinya.47 Bahwa Kajian ini menjadi penting, mengingat dalam konteks perkembangan
pesantren-pesantren
yang
ada
di
Lampung
khususnya,
modernisasi yang dilakukan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an merupakan proses penerusan (continuing) dari modernisasi yang mungkin saja pernah ada dan juga proses adaptasi terhadap modernitas itu sendiri dan juga adaptasi terhadap tuntutan kebutuhan umat Islam di masa mendatang. Di samping itu mengingat pesantren tersebut sedang berada dalam masa transisi dari tradisionalisme menuju ke arah modernisme; tarik menarik berbagai kelompok terhadap berbagai kepentingan, ideologi masih sangat kuat. 48
E. Tujuan Penelitian. Bagi penulis penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan suatu
kesimpulan empirik dan gambaran yang jelas mengenai modernisasi pendidikan yang telah/ sedang dilakukan oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an posisinya dalam kebangunan pesantren-pesantren
modern di Lampung pada
47
H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, h. 18 Tarik-menarik antar kelompok dimaksud merupakan wujud dari adanya diferensiasi kelompok-kelompok Islam dalam menanggapi modernisme. Mereka yang berasal dari alumni pesantren salafiyah umumnya yang menolak modernisme di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Meskipun dalam hal-hal tertentu, misal penggunaan sarana dan prasarana menyetujui penggunaan alat-alat modern. Abdurrahman (Ustadz Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an alumni Pesantren Salafiyah), Wawancara, tanggal 3 Desember 2007 48
22
khususnya dan Indonesia pada umumnya. Mengingat dalam asumsi awal penulis pesantren Roudlotul Qur’an merupakan pesantren yang memulai prinsip-prinsip modernitas yang diserap dari Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur dan Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan Madura. Dengan tercapainya tujuan tersebut di atas, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang komprehensif
mengenai pola-pola
pendidikan pesantren modern yang pada saat ini makin banyak didirikan. F. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif 49 dengan menggunakan paradigma fenomenologi. Yaitu yang berasumsi bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan. 50 Sedangkan menurut Edmund Hussrell Fenomenologi merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan realitas dari kita, realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. Intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas,
fenomen
harus
dimengerti
sebagai
sesuatu
hal
yang
menampakkan diri. Konstitusional merupakan proses tampaknya fenomenfenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. 49
Penelitian kualitatif merupakan sebuah model penelitian yang prosedur dan metodologinya sangat spesifik, didasari teori korespondensi sebagai teori kebenaran ilmiahnya, serta sangat menghargai keragaman data lapangan tanpa tendensi untuk melakukan generalisasi . Robert C. Bogdan and Knopp Biklen, Qualitative Research for Education, an Introduction to Theories and Methods, (Boston: Allen Publishing, 2003), h.314 50 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000). h. 116
23
Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran.
Konstitusi ini berlangsung dalam proses
penampakan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional. 51 Sebagai contoh dari konstitusi: misal ketika melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang terlihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, begitupun jika melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan seterusnya. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas..52 Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya. Maka
dalam paradigma fenomenologi
peneliti berusaha menjawab
pertanyaan, apa struktur pengalaman dari sebuah fenomena yang dilakukan oleh orang-orang dalam suatu komunitas tertentu, dan apa esensi dari pengalamanpengalaman tersebut dalam pandangan mereka.53 Sehingga pada penelitian ini peneliti berusaha memahami arti peristiwa, gejala/ fenomena dan kaitan51
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius. 1980), h. 1 konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai konstitusi genetisal. Proses yang mengakibatkan suatu fenomena menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis. Bertens. Filsafat barat Abad XX, Inggris-Jerman, (Jakarta : Gramedia. 1983) 53 John W. Best and James V. Kahn, Research in Education, (Boston: Allyn and Bacon,1993), h. 69 52
24
kaitannya terhadap orang-orang secara umum dalam situasi-situasi tertentu.54 dalam fenomenologi ini mempunyai titik tekan pada verstehen (understanding) yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka. Dalam fenomenologi ini peneliti dapat juga berada dalam lingkungan obyek yang diteliti secara aktif, artinya bila obyek yang diteliti sebuah organisasi, maka peneliti bisa saja termasuk salah satu anggota dari organisasi tersebut. Fenomenologi diartikan sebagai; 1) pengalaman subyektif atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Istilah fenomenologi sering digunakan sebagai angapan umum untuk menunjuk pada pengalaman subyektif dan berbagai jenis dan tipe subyek yang ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istilah ini mengacu pada penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang. Sebagai suatu disiplin ilmu hal ini kemukakan oleh filosuf Jerman, Edmund Husserl.55 1. Sumber Data Penulis melakukan studi eksplorasi 56 sebelum melakukan eksplanasi yaitu menjaring berbagai informasi tentang Pesantren Roudlotul Qur’an sebagai bahan untuk menemukan permasalahan penelitian. Penulis melakukan teknik in deep interview (wawancara mendalam) tentang perubahan yang terjadi di Pondok Pesantren Roudlotul terutama yang berkaitan dengan kelembagaan dan organisasi, kurikulum dan manajemen pendidikannya setelah diadakan 54
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 9 55 M. Suryana, Metodologis Penelitian Kontemporer, Bandung: Cendekia Press, 2004, h. 135. 56 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode, dan Teknik, (Bandung; Tarsito, 1982) h. 106
25
pembaharuan (modernisasi)
dengan para informan yang paling banyak
mengetahui masalah yang diteliti dan terlibat langsung sebagai pendiri dan pembina pesantren, seperti pimpinan dan pengurus Pesantren Roudlotul Qur’an, para pengajar, masyarakat luas, dan juga informasi dari pesantren-pesantren lain sebagai data pendukung yang berjumlah 21 orang. Selain itu informasi juga diperoleh melalui studi bahan bahan tertulis yang berhubungan dengan Pesantren Roudlotul Qur’an. 3. Teknik Pengumpulan Data Penulis mengumpulkan data yang diperoleh dari penelitian ini ada 2 macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dijaring melalui penelitian lapangan dan dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian yang akan diteliti, yaitu yang berkaitan dengan manajemen, kurikulum, organisasi dan kelembagaan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui kepustakaan mengenai sumber data yang berkaitan dengan obyek yang diteliti. Dalam penelitian ini digunakan tiga metode pengumpulan data yaitu : a. Metode Observasi Metode ini merupakan metode yang selalu ada dalam penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologi, karena dengan observasi peneliti yang dalam hal ini sebagai observer akan dapat melihat secara langsung fenomenafenomena
(gejala-gejala) baik itu yang terjadi pada individu-individu yang
diobservasi maupun struktur kerja yang terjadi di lapangan untuk kemudian menjadi acuan data yang siap dijadikan bahan penelitian selanjutnya. Observasi yang penulis lakukan pada umumnya adalah observasi partisipan, dalam arti peneliti melakukan observasi langsung kepada obyek yang diobservasi, sementara observer termasuk ke dalam kelompok yang diobservasi. Hal ini
26
bertujuan untuk dapat menangkap fenomena alamiah, bukan rekayasa karena diobservasi. Sementara tempat yang penulis jadikan sebagai media observasi adalah Pondok Pesantren Roudlotul Qur'an, Pondok Pesantren Darul A'mal, Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa, Pondok Pesantren Roudlotuttholibin, Pondok Pesantren Pondok Pesantren Wali Songo, Pondok Pesantren Nurul Qodiri, Pondok Pesantren Al-Muhsin, dan Pondok Pesantren Miftahul Falah. b. Metode interviu (wawancara) Metode interviu atau wawancara
yaitu penulis mengumpulkan data
melalui wawancara dengan pihak-pihak yang bersangkutan seperti pimpinan pondok pesantren, sekolah, para guru, murid, alumni dan sebagainya yang berjumlah 21 orang tentang fenomena-fenomena yang terjadi di dalam Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dengan mempertimbangkan adanya proses modernisasi dan sebagai pembanding untuk menambah informasi penulis mewawancarai pengasuh-pengasuh pondok pesantren lain yang ada di Provinsi Lampung. c. Metode Dokumentasi Metode dokumentasi merupakan pengambilan data melalui apa yang telah ada dalam dokumen, baik dokumen yayasan, sekolah, maupun dokumen pondok pesantren Roudlotul Qur’an. Metode dokumentasi menurut Koentjaraningrat adalah “Data variabel seperti yang terdapat dalam surat, catatan harian, kenangkenangan, laporan, dan sebagainya.”57 4. Analisis Data Penelitian Untuk menguji validitas data, penulis melakukan upaya validasi dengan proses triangulasi yaitu memperbandingkan antara data-data yang diperoleh dari
57
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997),
h. 129
27
sumber dan
menganalisa dengan teknik/ metode
penelitian. Pandangan
demikian diakui oleh Noeng Muhadjir, menurutnya suatu penelitian dipandang obyektif, bila seseorang dengan prosedur kerja yang sama menghasilkan kesimpulan penelitian yang sama. 58
Data-data yang dihimpun di Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an dan beberapa pesantren lainnya akan dianalisa dengan teori-teori yang sesuai dengan metode penelitian. Selain itu dalam menganalisis data penulis menggunakan paradigma induktif, yaitu penarikan kesimpulan setelah berbagai data terkumpul secukupnya kemudian dianalisis.
59
G. Sistematika Pembahasan Penelitian ini ditulis secara sistematis dalam lima bab, penyusunan secara sistematis dilakukan agar pembahasan di tiap-tiap bab tidak hanya mendalam namun juga dapat dibaca sebagai suatu kesatuan yang utuh. Pada Bab I berisi pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah tentang perlunya pesantren-pesantren melakukan perubahan ke arah lebih maju apabila ingin eksistensinya tetap hidup di masyarakat dan menjadi mesin pendorong bagi dinamika pendidikan Islam.
Identifikasi
masalah-
masalah yang ada dan selanjutnya dibahas pada bab-bab selanjutnya. Batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan juga tercakup pada bab pertama ini. Bab II berisi kajian tentang pondok-pondok pesantren yang ada di wilayah Lampung, baik para tokoh pendiri, pengasuh, maupun orang-orang yang dianggap memberi warna dalam dinamika pendidikan Islam di pondok pesantren. Diteruskan dengan gambaran sepintas tentang keadaan pesantrenpesantren yang merupakan cikal-bakal pendidikan Pondok Pesantren di Provinsi 58
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta; Rake Sarasin, 1996).
h. 36 59
Pembahasan lebih lengkap terkait dengan paradigma induktif, lihat Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (New Jersey: Little Fieed, Adam & Co, 1995), h. 146
28
Lampung. Pada bab ini dipaparkan lembaga-lembaga pendidikan Islam (pondok pesantren) berbagai tipe pondok pesantren di Lampung dengan berbagai variannya. Diteruskan dengan menimbang tingkat responsitas sebuah pesantren terhadap modernisasi. Bab III berisi
tentang akar-akar tradisionalisme pondok pesantren.
Kesejarahan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dari awal pembentukan hingga proses modernisasi. gambaran mengenai proses modernisasi pondok pesantren di Provinsi Lampung Bab IV membahas aspek modernisasi/ pembaharuan pendidikan yang ada di Pesantren Roudlotul Qur’an meliputi Modernisasi Aspek Kelembagaan dan Organisasi, Modernisasi Aspek Kurikulum dan Pembelajaran. Bab V adalah penutup dari kajian tesis ini yang berisi kesimpulan kajian serta beberapa hal yang menjadi saran-saran penulis setelah mengadakan penelitian.
29
BAB II KONTEKS MODERNISASI PONDOK PESANTREN DI LAMPUNG
Modern secara bahasa diartikan baru, kekinian, akhir, up to date, atau semacamnya, bahkan juga diartikan pembangunan. Sehingga modernisasi dapat diartikan sebagai kemodernan, pembaharuan.1
Istilah modern ini juga dapat
dikontraskan dengan istilah lama, kolot, atau sejenisnya.2 Istilah modern ini juga dapat dikaitkan dengan karakteristik.
Oleh karena itu istilah modern dapat
diterapkan untuk manusia dan juga yang lainnya, misalnya konsep bangsa, sistem politik, ekonomi, negara, kota, pendidikan sampai merambah pada sifat, perilaku, dan hampir apa saja. Misalnya saja predikat modern dapat disandarkan kepada pemikiran seseorang, dapat juga menyebut pakaian modern, rumah modern akan tetapi perlu diperhatikan setelah mmenjadi istilah yang merupakan predikat umum, istilah tersebut akan mempunyai pengertian/ definisi tersendiri. 3 Istilah modernisasi
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini.4 Oleh sebab itu jika modernisasi merupakan suatu proses menjadikan sesuatu modern, maka setiap yang diupayakan untuk sesuai dengan pola hidup kekinian misal pendidikan dapat disebut nodernisasi pendidikan (educational Modernization).5
Sedangkan
modernisme sebuah terminologi yang berlaku di masyarakat Barat yang 1
John M. Echols dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 384 2 Murtadha Mutahhari, Gerakan Islam Abad XX, (terj) Fahry Ali, (Jakarta, Boenabi Cipta, 1986), h. 15 3 Qadri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003), h. 5 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 589 5 Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam:Predicament and Promise, (London, Routledge, tth).
30
mengandung arti pikiran, adat-istiadat, institusi-institusi lama untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.6 Diskursus mengenai modernisasi menjadi menimbulkan tanggapan yang berbeda-beda. Sebagian kalangan tertentu merasa bahwa modernisasi merupakan ancaman bagi eksistensi kebudayaan lokal tertentu, mengingat modernisasi meniscayakan proses globalisasi yang menganggap bahwa dunia sebagai one world-one globe sehingga menghancurkan sekat-sekat pembeda yang ada di dunia ini. Hal inilah yang menurut Nurcholis Madjid perlu diwaspadai dalam rangka melestarikan
(mempertahankan) keberagaman manusia.7 Kendati menurut Cak
Nur modernisasi sendiri dipahami sebagai suatu proses perubahan sosial, yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari suatu sistem sosial praindustrial (misal agraris) ke sistem sosial industrial. Kadang-kadang juga disejajarkan dengan perubahan dari masyarakat pramodern ke masyarakat modern. Perubahan sosial inilah nampaknya yang menarik perhatian Cak Nur. Sehingga dalam konteks keagamaan menurutnya kehidupan industrial (yang menjadi ciri modern) dapat menimbulkan efek negatif, dan sekaligus menyimpan kandungan makna yang positif. Ia menyatakan "...bentuk hubungan dinamis antara religiusitas dan industrialisasi/ modernisasi merupakan suatu persoalan rumit yang banyak menimbulkan kontroversi."8 Pada sisi yang positif, industrialisasi menurut Cak Nur akan membawa kemakmuran (dan inilah yang menjadi cita-cita semua orang) dari kemakmuran inilah pada gilirannya akan melahirkan peningkatan manusia. Meskipun industrialisasi sendiri bukan tanpa harga atau pengorbanan, ia membutuhkan
6
Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 11 7 Nurcholis Madjid, "Masyarakat Religius dan Dinamika Industrialisasi" dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987), h. 141 8 Nurcholis Madjid, "Masyarakat Religius…h. 142
31
tumbal untuk membangunnya. Oleh karena itu manusia –dalam masyarakat modern- sering rentan terhadap depersonalisasi dan dehumanisasi. Akibatnya menurut Cak Nur "...ia tak lagi mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya atau alienasi."9
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai penopang
kukuh masyarakat industri modern, produknya lebih bersifat profan. Di sisi lain agama merupakan sesuatu yang sakral. Dengan demikian, posisi keduanya dalam pandangan Cak Nur terjadi antagonistik. Antagonisme inilah yang membuat sebagian orang berreaksi negatif terhadap modernisasi. Ini juga disebabkan karena mereka hanya melihat modernisasi dari sudut ekses negatif. Keadaan ini justru terjadi pada umat Islam, yang merasa kemodernan dapat mengakibatkan menjauhnya umat Islam dari keberagamaannya. Sehingga penolakan itu dianggap menjadi perisai untuk menghadapi ekses-ekses yang ditimbulkan oleh kemodernan tersebut. Sementara, Abdurrahman Wahid ketika menyinggung keterkaitan antara agama dan modernitas menyatakan: "...antara modernisasi dan agama adalah menyatu."10
Menurutnya
andaikata modernisasi dilepaskan dari agama maka
modernisasi akan tumbuh secara bebas nilai (free of value). Kalau ini terjadi, maka akan meruntuhkan nilai-nilai lama yang sudah ditetapkan agama. Di sini, ditandaskan Gus Dur, akan terjadi proses yang sifatnya saling menggusur antara proses modernisasi dengan agama.11 Jika demikian halnya, maka pertentangan antara agama dan modern malah justru dapat meruntuhkan bangunan nilai-nilai kemajemukan di antara masyarakat muslim yang mendukung modernitas dengan yang ingin mempertahankan tradisi lama yang tak jarang bertolak belakang dengan modernitas.
9
Nurcholis Madjid, "Peranan Agama dalam Kehidupan Modern", dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987), h. 124 10 Baca Abdurrahman Wahid, "Agama dan Modernisasi adalah satu", dalam Majalah Komunikasi Ekaprasetia Pancakarsa, No.40/tahun VI/ 1985, h. 47 11 Abdurrahman Wahid, "Agama dan Modernisasi adalah satu", h. 47
32
Dalam beberapa penelitian keagamaan yang diadakan sosiolog, tercermin bahwa agama memodofikasi sikap modernis terhadap umatnya. Modern bukan diartikan sebagai komponen Barat tetapi lebih
dimaknai sebagai
setting
keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Misalnya Weber, Robert N. Bellah dan Clifford Geertz,
melihat agama
sebagai
inspirator dari sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya (semuanya terangkum dalam kolaborasi makna modernisasi). Sehingga agama hadir dalam konteks apa pun. Dan itu dijadikan sebagai inspirator oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal untuk mencerahkan peradaban.12 Ada pula
yang mengaitkan modernisasi dengan pembangunan,13
sementara di sisi lain pembangunan akan terkait dengan kemerdekaan. Sehingga ketiga istilah ini merupakan satu rangkaian yang tak dapat dipisahkan (kemerdekaan-pembangunan-modernisasi), keterkaitan ini dapat dipahami dengan suatu negeri tidak akan dapat melakukan pembangunan manakala ia masih terkungkung oleh belenggu penjajahan, maka otomatis kemerdekaan di sini menjadi sarat pertama untuk melakukan modernisasi. Dengan kemerdekaan pembangunan dapat berjalan dengan sempurna tanpa ada hambatan dari bangsa lain. Dengan pembangunan itulah maka modernisasi dapat digerakkan. Oleh sebab itu ada pula yang memahami modernisasi dengan seberapa jauh suatu bangsa mempunyai berbagai fasilitas-fasilitas yang memudahkan manusia sebagai ukuran taraf kehidupannya. Ada pula yang memahami dengan seberapa jauh suatu bangsa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.14 Dalam kaitan ini nampaknya agama tidaklah menjadi penghalang derap langkah modernisasi. Karena parameter 12
Lihat Hebert W. Richardson, Toward an Amerikan Theology (New York; Harp & Row, 1967), h. 64 13 Baca Prem Kirpal, "Modernization of Education in South Asia" "http://science.jrank. org /pages/9065/Education-in-Asia-Traditional-Modern-Modernization.html" tanggal 8 September 2008 14 C. Arnold Anderson, "The Modernization of Education", dalam Modernization-The Dynamics of Growth, Myron Weiner (ed) (New York: Basic Books, inc, 1966), h. 68
33
kemodernan diukur dengan tiga indikator tersebut. Sehingga antara modernisasi dan agama tidak akan menjadi dua istilah yang saling bertentangan. Proses modernisasi pendidikan, dalam rangka merubah
diperoleh
melalui dua cara; Pertama, melalui injection mativation, dan kedua melalui revolusi think tank. Pada kasus modernisasi pertama, lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di Minangkabau misalnya, modernisasi dalam institusi pendidikan sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir.15 Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau, dan diterapkan dalam sistem pendidikan Islam lokal Minangkabau. Akhirnya terjadi pembaruan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah, yang lagi berhalaqah,
serta
klasikal dan tidak
terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum
pendidikan. Aktor pembaharuan ini, diantarannya syekh Ahmad Khatib, syekh Taher Djalaluddin, syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Rasul, dan Abdullah Ahmad.16 Kedua, mengilhami modernisasi itu adalah revolusi think tank, yakni gagasan pembaruan yang datang dari tokoh-tokoh pemikir yang tidak siap menerima
ketertinggalan
Menurut
kelompok
kelompoknya ini,
dalam meratas percaturan dunia.
ketertinggalan
itu
bisa
diatasi
melalui
pengotimalan pemahaman ajaran Islam. Dalam pandangan kalangan modernis Islam, ketertinggalan umat Islam merupakan kesalahan umat Islam itu sendiri, karena memahami agama secara picik dan kepicikan berfikir.17
15
Q. Edward Wang, Traditional Education in Asia and Modern– Modernization. http://science.jrank.org/pages/9065/Education-in-Asia-Traditional Modernization.html. dikutip tanggal 9 September 2008 16 Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. 17 Lihat Yudi Latif, Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan. (Bandung,Mizan: 1999), h. 48.
34
Mengenai pendidikan Islam di Lampung,18 atau lebih tepatnya pesantren, terkait dengan program transmigrasi yang dilaksanakan di Propinsi Lampung dari daerah Jawa. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari sebagian besar
pondok
pesantren yang berdiri sejak lama di wilayah Lampung kyai/ pendirinya adalah berasal dari pulau Jawa.19 Hal ini bukan berarti mengecilkan peran masyarakat Islam pribumi Lampung, karena di daerah-daerah perkotaan terdapat yayasanyayasan pendidikan Islam yang dibangun oleh penduduk asli Lampung. Akan tetapi pondok pesantren yang bersifat tradisional/ salafiyah hampir dipastikan kesemua pendirinya adalah transmigran/ putera transmigran asal Jawa, sehingga kultur yang ada dalam pesantren tersebut mengadopsi dari pesantren-pesantren tempat kyai tersebut menimba ilmu di Jawa.20 Hal ini bisa dipahami pula mengingat pulau Jawa merupakan pusat penyebaran agama Islam di seluruh Nusantara sejak zaman Wali Songo. 21 18
Luas Provinsi Lampung adalah 2.969,313 km² yang saat ini terbagi menjadi sembilan Kabupaten dan dua Kota yaitu Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Tulang bawang, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran serta Kota Bandar Lampung dan Kota Metro, www. Indonesia Tourism, peta lampung, Tanggal 23 Mei 2008 19 Dari tujuh pesantren yang ada pada Direktori Pesantren terbitan Departemen Agama Pusat menunjukkan bahwa kesemua pendiri/ kyainya adalah berasal dari Jawa, namun data yang dimuat dalam buku tersebut ternyata merupakan data yang pernah diterbitkan pada buku dengan judul yang sama pada penerbitan-penerbitan sebelumnya dan tidak diup date datanya sehingga tidak dapat mengcover dari keseluruhan pesantren yang ada di Provinsi Lampung. Baca Direktori Pesantren, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, (Jakarta: DEPAG RI, 2007) h. 135-154 20 Dari 14 pondok pesantren yang penulis kunjungi, hanya Pondok Pesantren Darussalam Tegineneng Kabupaten Pesawaran yang pendirinya bukan transmigran asal Jawa. Sehingga pantas kalau pondok pesantren ini bercorak modern. Untuk pondok-pondok selain itu dapat dilihat dari teori transliterasi kitab kuningnya yang menggunakan bahasa Jawa, munculnya istilah utawi dalam mengartikan dan merumuskan kode untuk mubtada’, iku untuk khabar, sopo/ opo untuk fa’il(pelaku pekerjaan), ing untuk maf’ul bihi (obyek) dan lain-lain merupakan bentuk tradisi yang ada di pesantren-pesantren salafiyah, Muhammad Ma’sum, SHI, Kamus Santri, Pedoman Pembacaan Kitab Kuning, ( Raman Utara, Pon-Pes Tri Bhakti Attaqwa,2003), h. 5 21 Kendati wilayah Lampung berada di pulau Sumatera yang juga terdapat pintu awal masuknya Islam di Nusantara (misal di daerah Peurlak, Pasai/ Aceh) akan tetapi secara historis tidak ada yang menyimpulkan bahwa proses islamisasi di Lampung berasal dari Aceh. Hal ini dimungkinkan karena jalur transportasi antara Lampung yang merupakan wilayah paling ujung
35
Sebut saja misalnya Pondok Pesantren Darussalamah yang berada di desa Braja Dewa Kecamatan Way Jepara yang merupakan salah satu pondok pesantren tua dan para alumninya sudah banyak yang mendirikan lembaga pendidikan pondok pesantren, pendirinya adalah KH. Ahmad Shodiq yang berasal dari Kediri Jawa Timur.22 Selain itu di daerah Ambarawa Kecamatan Pring Sewu Kabupaten Tanggamus juga terdapat pondok pesantren yang berkonsentrasi pada ‘Ulum alQur’an dengan prioritas tahfîz al-Qur’an pendirinya (KH. Rois Abdillah alHafiz, MA, ) juga berasal dari Jawa Timur tepatnya daerah Jember. Kemunculan modernisasi di Lampung juga tak dapat dilepaskan dari kemunculan-kemunculan pesantren-pesantren yang berorientasi modern di wilayah Jawa. Selain Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo juga menjadi salah satu pesantren yang menyemai bibit-bibit pesantren modern di Lampung. Sebagai sebuah contoh adalah Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, istri dari KH. Ali Komaruddin (pendiri Pesantren Roudlotul Qur’an) adalah alumni pesantren Wali Songo tersebut. Perannya kendati hanya sebagai istri namun juga menentukan karena di sisi lain dia juga termasuk dalam komposisi kepengurusan yayasan yang bertindak sebagai Bendahara II. Ketika mendirikan sistem TMI yang mula-mula direkrut untuk mengelola adalah Dra. Siti Nurjanah, M.Pd, dan Laila Rismadiati S.PdI yang keduanya merupakan alumni Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo.23 Munculnya modernisasi di berbagai pesanten turut serta mempengaruhi pesantren-pesantren di wilayah Lampung. Pengaruh yang cukup signifikan terjadi pada pola pembelajaran
sedang dalam materi pelajaran yang disampaikan
Timur pulau Sumatera lebih dekat dengan Jawa daripada Aceh yang berada di ujung Barat Sumatera. Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1983), h. 20 22 Team Redaksi Memori 2007, Risalah Kenangan Alumni Santri Darussalamah, (Way Jepara: kelas III Madin Darussalamah, 2007), h. 38 23 Laila Rismadiati, SPdI (alumni Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo/ Dewan Pembina Asrama Pondok pesantren Roudlotul Qur’an), Wawancara tanggal 20 Juni 2008
36
cenderung masih meneruskan tradisi klasik. Kultur yang ada juga masih belum begitu berbeda dengan kultur yang ada dalam pesantren salafiyah.24 Munculnya berbagai varian pondok pesantren di wilayah Lampung merupakan fenomena awal kebangunan pesantren-pesantren modern di wilayah tersebut. Pendidikan Islam yang bercorak modern diyakini pertama muncul pada permulaan abad ke-20, seiring dengan modernisasi dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Muslim Indonesia. Istilah Pondok Pesantren Modern umumnya dikontraskan dengan Pondok Pesantren Tradisional yang dianggap identik dengan kejumudan berpikir, taqlid,25 dan sistem pendidikan yang kurang efektif.26 Diantara para tokoh pendidikan Islam Indonesia yang dianggap mempunyai peran dalam merumuskan konsep Pondok Pesantren Modern adalah KH. Imam Zarkasyi, Pendiri Pondok Modern Gontor Jawa Timur. Dalam pandangannya pesantren harus menerapkan kebebasan berpikir, manajemen yang efektif dan efisien dan tak kalah pentingnya santri harus dikenalkan dengan modernitas dalam berbagai aspek. 27 Pola pembelajaran santri yang mengagungkan salah satu mazhab dapat menyebabkan santri menjadi kurang mempunyai kebebasan berpikir. Sejak awal Gontor berupaya untuk tidak
terlalu mementingkan mazhab tertentu dalam
24
Karakteristik dari kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut merupakan suatu keunikan. Keunikan tersebut yang dalam pandangan Clifford Geertz sebagai subkultur masyarakat Indonesia yang hanya berkutat pada soal “kuburan dan “ganjaran”. Geetz, “The Javanese Kyai: The Changing Role on a Cultur Broker” dalam Comparative Studies in Society and History, 1989, h. 245. baca juga Siti Zahrah, Rekonstruksi Pesantren, Menuju Kompetisi Global, Yogyakarta: Citra Press, 2006, h. 34. 25 Taqlid merupakan bentuk peniruan/ melakukan suatu amal ibadah syar’i dengan meniru kepada para ulama’ yang meletakkan dasar-dasar hukumnya dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad saw. Praktek semacam ini dikarenakan ketidakmampuannya untuk berijtihad, maka hukum bertaqlid dalam tradisi NU tidak dipermasalahkan. H. Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, (Yogyakarta: Tradisi Pesantren, 2007), h. 20 26 Jajang Jahroni,”Merumuskan Modernitas: Kecenderungan dan Perekembangan Pesantren di Jawa Tengah” dalam Jajat Burhanuddin, Mencetak Muslim Modern, Peta Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). h. 113 27 Panitia Penyusunan Riwayat Hidup dan Perjuangan K.H. Imam Zarkasyi, Biografi K.H. Imam Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pondok Modern, (Ponorogo: Gontor Press, 1996), h. 33-35
37
pengamalan ibadah keagamaan. Meskipun fiqih yang diajarkan kepada para santri adalah figih Mazhab Syafi'i, namun santri ditekankan untuk tidak terjebak dalam khilafiyah. Untuk menghindari hal ini, sudah sejak lama Gontor mengajarkan fiqih perbandingan kepada para santrinya. Kitab yang menjadi rujukan untuk pelajaran ini adalah Bidâyatul Mujtahid karangan Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd, atau yang terkenal dengan sebutan Ibn Rusyd.28 Sementara itu, manajemen yang efektif dan efisien diterjemahkan bahwa pesantren harus memiliki sistem administrasi dan keuangan yang baik, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut sistem manajemen pesantren modern diwujudkan dengan mengembangkan sistem kepemimpinan pesantren. Untuk masalah ini, Gontor sejak awal menggagas apa yang disebut 'badan wakaf,' lembaga tertinggi dalam pesantren di mana setiap persoalan dibicarakan dan diputuskan. Di bawah badan wakaf terdapat badan pelaksana yang terlibat dalam urusan hari per hari pesantren. Meski pada umumnya orang yang terlibat dalam lembaga ini berasal dari keluarga tertentu di Gontor misalnya didominasi oleh Bani Zarkasyi29 sistem ini bekerja dengan efektif. Salah satu sebabnya adalah, dalam setiap kepengurusan badan wakaf, sejumlah orang luar, biasanya alumni, dilibatkan sehingga birokrasi menjadi lebih impersonal.30 Pengenalan santri terhadap modernitas diwujudkan dengan cara membekali santri dengan kecakapan bahasa Inggris dan Arab, kepramukaan, keterampilan,
28
Kitab Bidâyatul Mujtahid merupakan kitab yang berisi hukum-hukum fiqh dengan metode komparasi dari berbagai Imam Mazhab. Kendati yang dijadikan rujukannya tidak mesti langsung kepada Imam Mujtahid Mutlaq (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbaly) sehingga terkadang Ibn Rusyd juga menukil dari golongan mazhab tersebut. Seperti Hanabilah untuk menyebut golongan penganut Mazhab Hanbaly dan Syafi’iyyah untuk Mazhab Syafi’i, Hanafiyah untuk Mazhab Hanafy, dan Malikiyah untuk Mazhab Maliky. Baca, Ibn Rusyd, Bidâyatul Mujtahid, (Mesir: Dâr al-Fikr, t.th). 29 Panitia Penyusunan Riwayat Hidup dan Perjuangan K.H. Imam Zarkasyi, Biografi K.H. Imam Zarkasyi:, h. 37 30 Keterlibatan alumni dalam jajaran kepengurusan badan ini berkisar antara 35 – 45% . Panitia Penyusunan Riwayat Hidup dan Perjuangan K.H. Imam Zarkasyi, Biografi K.H. Imam Zarkasyi:, h. 39
38
musik, dan olah raga-satu hal yang pada waktu itu tidak dilakukan di pesantren. Pengakuan akan pentingnya nilai-nilai modern disimbolkan dengan membiasakan para santri mengenakan jas dan dasi. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan agama dan umum, Gontor menciptakan kurikulum yang di dalamnya terdiri atas ilmu agama dan ilmu umum untuk diajarkan kepada santri. Para pendiri Gontor membuat sendiri buku-buku pelajaran yang dibutuhkan, baik pelajaran agama maupun pelajaran umum. Di sini sebenarnya visi integrasi ilmu umum dan ilmu agama mulai dibangun.31 Konsep yang digagas oleh KH. Imam Zarkasyi ini ternyata menjadi blueprint bagi perkembangan pesantren modern selanjutnya. Santri yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara mendirikan pesantren-pesantren ala Gontor. Ini dimulai sejak tahun 1970-an. Dan Lampung yang merupakan provinsi terdekat dengan pulau Jawa juga menunjukkan hal itu. Untuk kasus di Lampung secara umum pengaruh modernisasi pesantren ala Gontor pada awalnya dimotori oleh Pondok Pesantren Darussalam Tegineneng Lampung Selatan. 32 Pesantren ini secara tegas menyatakan bahwa pesantren Gontor menjadi panutannya dalam semua aspek kependidikan yang sebagian besar tenaga pendidiknya merupakan alumni pesantren Gontor. Pesantren Darussalam ini bisa dikatakan sebagai Pondok Pesantren Modern yang pertama di Lampung dan mempunyai jumlah santri yang cukup banyak. Kuantitas santrinya mampu menyamai pesantrenpesantren lain yang telah lebih dulu eksis di wilayah Lampung. 31
Abdullah Syukri Zarkasyi.M.A. Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005) h. 25 32 Pertama kali didirikan oleh KH. Ali Raja Marga bin Hi. Abdul Karim yang secara resmi dibuka pada tahun 1974. Pendiri pondok pesantren ini adalah seorang Muslim yang taat dan berasal dari keturunan pribumi asli Lampung, pertautan dengan Islam yang ada di Jawa adalah semasa mudanya ia pernah belajar di Pondok Pesantren Gontor Ponorogo Jawa Timur. Dan pada umumnya tokoh pendidikan yang berasal dari pribumi Lampung mendirikan pesantren modern. Fenomena ini juga terjadi di Pondok Pesantren Modern Al-Madinah yang berada di Bandar Negeri Labuhan Maringgai Lampung Timur yang didirikan oleh KH. Maisani Liswan. Pondok Modern Makkah di Ogan Lima, Kabupaten Way Kanan yang dipimpin oleh Muhammad Harisun. Muhammad Sayyid Wijaya (alumni Pondok Pesantren Darussalam Tegineneng), Wawancara, tanggal 22 Juni 2008
39
A. Tokoh Pendidikan Islam Lampung 1. KH. Muhammad Adnan RRJ. Pada saat Provinsi Lampung masih banyak daerahnya yang terisolir karena letak geografis dan jalur transportasi darat yang masih kurang memadai peran KH Muhammad Adnan, RRJ cukup signifikan bagi perkembangan agama Islam dan pendidikan pondok pesantren khususnya daerah Lampung. Dia berasal dari Kediri Jawa Timur dan sempat menimba ilmu di berbagai pondok pesantren salafiyah di Jawa Timur kemudian di sekitar tahun 1950-an beliau hijrah ke Lampung dan merintis pendidikan pondok pesantren. Di daerah Raman Utara yang pada saat sebagiannya merupakan daerah transmigrasi menjadi pilihan beliau untuk mulai mengembangkan pendidikan pondok pesantren. Berbekal semangat perjuangan yang kuat dan bantuan ayah kandung dia KH. Raden Rahmat Joyo Ulomo dan adik kandungnya Ky. Muhammad Masyhuri, RRJ, pada tahun 1961 berdirilah pondok pesantren yang diberi nama Tri Bhakti Attaqwa.33 Penamaan ini merupakan manifestasi dari cita-cita pengamalan taat kepada Allah SWT, taat pada Rasulullah, dan pada ulil amri/ pemerintah. Pada awal berdiri hingga dekade berikutnya corak salafiyah menjadi pilihan utama, mengingat keadaan sosio-kultural masyarakat pada saat itu masih mempunyai respon yang baik. Dari ketiga tokoh inilah, yakni KH. Raden Rahmat Joyo Ulomo, KH. Muhammad Adnan RRJ, dan Ky. Muhammad Masyhuri RRJ, pondok pesantren makin lama makin berkembang. Pembagian wilayah kerja masing-masing pun juga tertata dengan baik. Khusus wilayah kepesantrenan dengan segala selukbeluknya dikuasakan kepada KH. Muhammad Adnan, RRJ. Sedangkan untuk pengajian-pengajian kaum muslim secara umum di wilayah sekitar pesantren di percayakan kepada adik kandung beliau Ky. Muhammad Masyhuri, RRJ. Di sisi 33
Pengurus Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa, Dokumentasi Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa Masa Awal¸ (Raman Utara, PP Tri Bhakti Attaqwa, 2006 ), h. 2
40
lain KH. Raden Rahmat Joyo Ulomo mengembangkan tareqat ke berbagai daerah Lampung. 34 Dalam upaya hidmat al-dîn KH Muhammad Adnan, RRJ. tidak hanya mengelola pondok pesantren saja, beliau juga aktif dalam berbagai organisasi keagamaan. Sebut saja organisasi tareqat yang merupakan organisasi keagamaan yang membidangi tentang dzikrullah. Beliau juga menjadi Guru Mursyid Tariqat Qodiriyyah wa Naqsyabandiyah dan menjabat Rois Syuriah Jam’iyyah Tareqat AlMu’tabaroh An-Nahdliyyah Wilayah Lampung.35 Di lain pihak beliau juga pernah menjabat Ketua Tanfidyah Nahdlatul Ulama Cabang Lampung Tengah. Pada saat itulah perannya tidak bisa dianggap kecil, mengingat pada saat itu jangkauan pengaruh maupun kaum muslimin yang menimba ilmu dari ceramah-ceramah agama dari beliau cukup jauh, tidak hanya di wilayah Provinsi Lampung, namun beliau juga seringkali diundang untuk ceramah agama di Provinsi Sumatera Selatan, Jambi maupun Riau.36 Dalam kancah politik figur KH Muhammad Adnan, RRJ merupakan figur yang berupaya memegang erat panji-panji keislaman, sehingga hanya partai yang menggunakan asas Islam
yang dipilihnya sebagai sarana untuk menyalurkan
aspirasi, tercatat pada masa Orde Baru beliau menjadi salah satu Juru Kampanye 34 Ajaran tareqat yang dikembangkan oleh KH. Raden Rahmat Joyo Ulomo dan kedua puteranya merupakan tareqat yang ijazahnya diperoleh dari KH. Romli dari Banyuwangi yang merupakan ayah kandung dari KH. Musta’in Romli, salah satu pengembang tareqat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah di daerah Jawa Timur. Tareqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah ini termasuk aliran tareqat yang diakui oleh kalangan Nahdlatul Ulama’ sehingga ia disebut sebagai tareqat yang mu’tabaroh. Gus Muhammad Muballighin Adnan, S.H.I, Wawancara, tanggal 17 Juni 2008 35 Figur kyai selain memimpin pondok pesantren juga memimpin ajaran tareqat tertentu nampaknya merupakan fenomena yang cukup lazim. Sehingga peranan kyai sebagai ‘guru tariqat’ ini menjadikan kyai dan pesantrennya memiliki jaringan yang sama luas dan saling menopang. Hal ini bisa dipahami dari para orang tua yang menjadi murid tareqat pimpinan kyai tersebut akan memilih pesantren tersebut untuk pendidikan anak-anaknya, sehingga besarnya jumlah santri sebuah pesantren akan bergantung pada otoritas dan kharisma kyai pemimpin pesantren. Zulkifli, Sufism in Java: The Role of Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002), h. 73. baca juga Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 135-140. 36 Fuad Kamali, S.PdI (Pengurus Tareqat Lampung Tengah), Wawancara, 23 Februari 2008
41
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tingkat wilayah Lampung. Dan pada era reformasi beliau sebagai Ketua Wilayah Partai Nahdlatul Ummat (PNU) dan sempat menduduki jabatan sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Rakyat Daerah Lampung, bahkan beliau memimpin Komisi C yang kemasyarakatan dan Pendidikan.
membidangi sosial
37
Pada masa beliau bertugas menjadi wakil rakyat, kendati harus sering meninggalkan pondok pesantren, namun pondok pesantren tidak mengalami kendala yang berarti dalam pengelolaan. Dalam hal ini karena di dalam pesantren juga masih banyak para ustadz dan kyai yang menjadi figur panutan. Saat itu pula banyak dari para petinggi pemerintahan provinsi Lampung yang mengajak beliau untuk mengembangkan pondok pesantren di beberapa wilayah.38 Atau ada juga yang menawarkan tanahnya untuk digarap menjadi pondok pesantren baru.39 Akan tetapi dari berbagai tawaran tersebut beliau tidak langsung mengiyakan, mengingat untuk mendirikan sebuah pondok pesantren yang baru harus dipertimbangkan dari berbagai aspek. Dengan jangkauan beliau yang cukup luas ini pula, akhirnya pondok pesantren Tri Bhakti Attaqwa dapat berkembang dengan pesat dengan santri yang berasal dari berbagai daerah. Kyai yang menjadi figur sentral dalam kultur pesantren salafiyah masih kental pada saat itu, sehingga seorang kyai dituntut
37
Team Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat I Lampung, Personalia Wakil Rakyat Provinsi Lampung (Bandar Lampung: Sekretariat DPRD I Lampung, 2000), h. 37 38 Pada saat itu Ketua Wilayah Partai Persatuan Pembangunan (PPP)Dra. Sadeki Yaqub pernah menawarkan pola kemitraan dengan para ustadz pesantren ataupun santri untuk memelihara kambing dengan pembagian hasil yang lebih banyak diperuntukkan bagi santri atau ustadz. Akan tetapi belum sempat terrealisir KH. Muhammad Adnan RRJ meninggal dunia. Dan bentuk kerja sama kemitraan tersebut tidak dilanjutkan sampai kepemimpinan pondok pesantren digantikan oleh putranya, yaitu KH. Kholiq Amrullah Adnan. Ustadz Drs. Agus Nasrullah (asisten pribadi KH. Muhammad Adnan, RRJ sewaktu menjadi anggota DPRD Lampung), Wawancara, tanggal 19 Juni 2008 39 Tawaran tersebut merupakan bentuk kepercayaan publik terhadap KH. Muhammad Adnan, RRJ. tanah tersebut berlokasi di desa Kayu Labu, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Lampung Selatan. Ustadz Drs. Agus Nasrullah Wawancara, tanggal 19 Juni 2008
42
untuk bisa melayani masalah-masalah keagamaan, namun juga hal-hal lain yang bersifat sosial kemasyarakatan.
Peran inilah yang nampaknya cukup berhasil
dilakukan oleh KH Muhammad Adnan, RRJ. Kedalaman ilmu agamanya yang tidak diragukan lagi dan beliau juga dianggap mempunyai kelebihan yang tidak banyak dimiliki oleh orang lain40. Kemampuan KH Muhammad Adnan, RRJ dalam berorasi juga cukup menonjol, sehingga ceramah agamanya cukup disukai oleh berbagai kalangan. Untuk kalangan sekitar, dalam hal ini Kecamatan Raman Utara, KH Muhammad Adnan,RRJ merupakan figur yang berjasa dalam pengembangan agama Islam. Jumlah kelurahan di Kecamatan Raman Utara adalah sembilan, dan dua diantaranya merupakan basis penduduk yang beragama Hindu-Bali.41 Persentuhan antara kebudayaan Hindu yang cukup kuat ini bila tidak diimbangi dengan upaya pembentengan yang kuat terhadap masyarakat Islam pada gilirannya akan mengaburkan nilai-nilai islami yang ada pada masyarakat Islam. Oleh sebab itu berbagai upaya telah dilakukannya untuk memperkuat pertahanan akidah Islam dan menjaga kultur keislaman, upaya-upaya tersebut antara lain: pembinaan majlis ta’lim, khutbah keliling, dan pelestarian seni Islam semisal hadroh.42 Usaha lain yang tak kalah penting dikemukakan di sini adalah keberhasilan beliau membuka daerah baru (ihya’ al-mawat) di daerah-daerah yang masih berupa hutan belantara untuk dibuka menjadi daerah baru dan dirintis lembaga pendidikan pesantren. Daerah tersebut antara lain: Umbul Raman dan Keramat, Spontan yang berada di wilayah Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten Lampung Tengah. Gedong Aji Baru yang berada di Kecamatan Penawar Tama Kabupaten 40
Hal ini misalnya dapat ditemukan pada banyaknya tamu yang bersilaturahmi untuk memohon keberkahan doa atas terkabulnya suatu hajat maupun kepentingan-kepentingan lain. Tak jarang di antara kaum muslimin banyak yang meminta air putih untuk obat dari berbagai penyakit yang diderita. Ustadz Drs. Agus Nasrullah Wawancara, tanggal 19 Juni 2008 41 Dokumentasi Kecamatan Raman Utara tahun 2007 42 Khalimi (Ta’mir Masjid Darul Muttaqin, desa Rejokaton Kecamatan Raman Utara), Wawancara, tanggal 15 Juni 2008
43
Tulang Bawang Lampung, daerah Sungai Somor dan Air Putih yang berada di Kecamatan Sungai Selapan Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan.43 Di daerah-daerah baru tersebut di samping mendirikan lembaga pendidikan pesantren, juga diupayakan pendidikan masyarakat Islam di daerahdaerah sekitarnya dengan media majlis ta’lim. Dari daerah yang dibuka inilah
akan menjadi daerah-daerah koloni
pesantren yang menjadi cabang pesantren Tri Bhakti Attaqwa. Untuk tenaga pengajarnya biasanya diambilkan dari para alumni pesantren induk. Di samping juga memanfaatkan
sumber daya manusia lingkungan sekitar. Pembukaan
pesantren baru tersebut
selalu mengedepankan upaya kemandirian pesantren
dengan penguatan di sektor ekonomi, di desa Umbul Raman
dan Keramat,
Spontan yang berada di wilayah Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten Lampung Tengah sebelum dirintis lembaga pendidikan pesantren diupayakan penanaman Karet agar nantinya dapat menopang perekonomian pesantren. Di Gedong Aji Baru yang berada di Kecamatan Penawar Tama Kabupaten Tulang Bawang Lampung merupakan daerah perkebunan kelapa sawit, dengan harapan hasil panen kelapa sawit dapat menunjang ekonomi Pesantren. Dan di daerah Sungai Somor dan Air Putih yang berada di Kecamatan Sungai Selapan Kabupaten Ogan
43
Yang menarik di daerah ini adalah keberhasilan KH. Muhammad Adnan RRJ merubah daerah pinggiran pantai utara pulau Sumatera yang terbengkalai akibat ulah para penebang hutan liar menjadi daerah pertambakan udang windu dan ikan bandeng yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Pada saat panen raya dalam satu kavling tambak (2 hektar) biasanya mampu menghasilkan minimal 3 kwintal udang windu. Jika harga udang windu perkilo mencapai Rp 150.000,00 maka penghasilan bruto yang didapat berkisar Rp 45.000.000,00. belum lagi kalau dikalikan dengan jumlah tambak pribadi KH. Muhammad Adnan RRJ yang mencapai 10 kavling. Keberhasilan ini juga telah membukakan mata penduduk sekitar yang pada awalnya enggan mengolah daerah pesisir pantai dan mengandalkan hasil dari menebang hutan dan sebagian lagi melaut mencari ikan. Sehingga pada perkembangan selanjutnya keberadaan santri-santri yang ditempatkan di daerah pertambakan tersebut tidak hanya berkecimpung di pengajian-pengajian saja, akan tetapi juga di bidang perekonomian yang mampu menunjang perekonomian pesantren Tri Bhakti Attaqwa. Ahmad Sukemi (Ketua Kelompok Santri Tambak) Wawancara, tanggal 25 Februari 2007
44
Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan merupakan lahan tambak yang menghasilkan udang windu dan ikan bandeng. 44 Ide kemandirian bagi pesantren merupakan langkah pembaharuan yang dilakukan KH. Muhammad Adnan, RRJ. keteguhannya untuk menghindarkan diri dari meminta bantuan orang lain merupakan langkah kongkrit bagi perjuangannya dalam menyebarkan ilmu agama. Sehingga langkah dan kebijakan apapun yang ditempuh merupakan ide murni yang lahir dari sebuah keikhlasan dalam berjuang. Bila sebelumnya seorang kyai terkesan apa adanya dalam mencukupi kebutuhan ekonominya, maka berbeda dengan pandangan KH. Muhammad Adnan, RRJ. dengan kemampuannya dalam mengupayakan perbaikan ekonomi inilah yang pada gilirannya berdampak pada baiknya citra kyai dalam masyarakat karena tidak saja mumpuni di bidang ilmu agama namun juga mapan di bidang ekonomi. Di sisi lain kegiatannya di bidang politik dengan terjun langsung menjadi juru kampanye dan anggota legislatif telah membuka peluang bagi masuknya ideide pembaharuan bagi pola pikir santri.45 Dalam hal ini dia telah menanamkan semangat berdemokrasi lewat jalur politik. Penanaman sikap-sikap berpolitik ini pada kelanjutannya diharapkan santri mempunyai pola pikir bahwa setelah ia keluar dari pesantren tanggung jawab di masyarakat tidak sekedar mengajarkan 44
Muhammad Muhibbin (Pengasuh Pesantren Tri Bhakti Al-Mubarok, desa Umbul Raman Keramat, Spontan yang berada di wilayah Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten Lampung Tengah), Wawancara, tanggal 12 Mei 2008 45 Karena kebijakan politik Kyai yang terjun ke dunia politik ini melahirkan politikuspolitikus yang berasal dari kalangan santri Tri Bhakti Attaqwa. Terdapat sejumlah nama yang menjadi actor di berbagai partai politik yang pada awalnya nyantri di Pondok Pesantren Tri Bhakti, nama-nama tersebut antara lain: 1) KH. Ihwanul Faruq yang menjabat Ketua Syuriah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Lampung Tengah, 2) KH. Mahmud Rifa’i yang menjadi DPRD Lampung Timur dari Partai Nahdlatul Ummah, 3) Drs. Kamali Azhari sebagai Sekretaris Dewan Tanfidyah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) tingkat Wilayah Lampung, 4) Siti Sholehah sebagai Ketua Cabang Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) Kabupaten Tulang Bawang, 5) Fuad Kamali, BA sebagai Ketua Cabang Tanfidyah Partai Nahdlatul Ummah Kabupaten Lampung Tengah, KH. Kholiq Amrullah Adnan menjabat DPRD Lampung Timur dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dan masih banyak lagi alumni Tri Bhakti yang berkiprah di panggung politik praktis di tingkat kecamatan. KH. Ihwanul Faruq (Ketua Ikatan Alumni Santri Tri Bhakti Attaqwa), Wawancara, tanggal 7 Juni 2008
45
ilmu agama saja, akan tetapi bagaimana umat Islam bisa menguasai ekonomi dan politik. 2. KH. Ahmad Shodiq Sebelum hijrah ke Lampung, KH. Ahmad Shodiq menuntut ilmu di Pondok Pesantren Darussalamah yang berada di desa Sumber Sari, Pare, Kediri Jawa Timur yang dirintis oleh KH. Imam Faqih Asy’ari, yang merupakan murid dari KH. Hasyim Asy’ari pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. 46 Di samping itu KH. Ahmad Shodiq juga menuntut ilmu Al-Qur’an dengan Ky. Munawir Krapyak Yogyakarta. Sebelum berangkat ke Lampung, KH. Ahmad Shodiq juga pernah membantu mengajar di Pondok Pesantren Darussalam yang diasuh oleh guru beliau KH. Imam Faqih Asy’ari. Ketika menginjakkan kaki di Lampung, pada pertengahan Mei 1964, setelah sekitar setahun berada di Lampung beliau kembali lagi ke Jawa untuk nyantri guna menambah wawasan keilmuan. Barulah pada tanggal 15 November 1965 beliau mengajak serta orang tuanya untuk tinggal di Lampung. Pada masa awal mukimnya di Lampung beliau tidak langsung mendirikan
pesantren.
Langkah pertama yang dilakukannya adalah berusaha menyelami keberadaan masyarakat pada lapis bawah. Kerusakan moral yang terjadi di wilayah Brajadewa Way Jepara Lampung Timur pada saat itu menjadi pilihan utama untuk dibenahi oleh KH. Ahmad Shodiq. Metode adaptasi yang baik merupakan metode pilihan yang digunakan, sehingga tak jarang KH. Ahmad Shodiq terjun langsung ke tempat perjudian untuk berusaha mengajak ke jalan yang benar.47
46
Pesantren Tebu Ireng didirikan pada tahun 1317 H/ 1901 M. terletak di Jombang Jawa Timur Lahir pada masa penjajahan rupanya mendapat tantangan yang kuat dari Belanda. Sehingga dalam pelaksanaan pendidikannya selalu mendapat tekanan, baik teror fisik maupun mental, bahkan pada suatu ketika terjadi pertumpahan darah antara pasukan Belanda dan para santri Tebu Ireng. Dari pesantren inilah lahir pesantren-pesantren turunannya yang cukup mewarnai khazanah kepesantrenan di Indonesia. Abdul Rosyad Shiddiq, KH. Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Cita Putra Bangsa, 2007), h. 12 47 Team Redaksi Memori 2007, Risalah Kenangan, h. 40
46
Situasi geo-politik Indonesia yang pada masa itu sedang bergolak akibat manuver-manuver yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dengan segala ormas-ormas yang ada di bawahnya menuntut KH. Ahmad Shodiq untuk berperan aktif dalam menangkal serangan-serangan yang dilakukan PKI kala itu.48 Pada saat itu beliau sempat didaulat menjadi anggota Pertahanan Sipil/ Hansip yang bertugas menjaga pertahanan dan keamanan di lapis paling bawah.
49
Barulah
pada pertengahan Januari 1966 KH. Ahmad Shodiq menanggalkan baju hansipnya untuk berkonsentrasi pada pembinaan agama melalui jalur pendidikan. Sebagaimana lazimnya pondok pesantren salafiyah yang lahir dari masyarakat tradisional, langkah pertama yang dilakukan oleh KH. Ahmad Shodiq adalah membangun sebuah mushola untuk kegiatan sholat wajib berjamaah. Musholla ini beliau dirikan pada tanggal 18 Juni 1966 yang pada saat itu jumlah santri beliau baru berjumlah 7 orang. Sebagaimana halnya dengan KH. Muhammad Adnan RRJ, pengaruh kuat yang menjadikan Pondok Pesantren Darussalamah menjadi berkembang cepat adalah karena KH. Ahmad Shodiq juga menjadi guru mursyid tareqat yang cukup berpengaruh. Kombinasi antara guru mursyid di satu sisi dan guru fiqh di lain pihak menjadikan KH. Ahmad Shodiq sebagai tokoh yang menjadi panutan. Sehingga untuk pengembangan pondok pesantren beliau tidak harus mengadakan promosimisal membuat brosur, atau yang lainnya- akan tetapi cukup dengan pengaruhnya yang kuat dan mengakar pada anggota jamaah tareqat. Tradisi rutin yang cukup berpotensi mengembangkan dan melestarikan pengaruhnya antara lain adanya
48
Informasi tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya khusus di wilayah Lampung sulit ditemukan, mengingat pada saat itu bias dipastikan di wilayah Lampung belum ada surat kabar lokal yang mampu merekam kejadian pada saat itu. Oleh sebab itu dalam hal ini cerita dari mulut ke mulut (oral history) menjadi bahan rujukan penulis. Ustadz Darori Ahmad (Putra KH. Ahmad Shodiq), Wawancara, tanggal 23 Juni 2008 49 Team Redaksi Memori 2007, Risalah Kenangan, h. 39
47
peringatan haul Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Sang Guru Mursyid50 yang begitu diagungkan. Pelaksanaannya biasanya dilakukan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal di setiap tahun. Sukses dan tidaknya acara ini, bila dilihat dari sisi jumlah jamaah yang datang juga dipengaruhi oleh siapa muballigh yang memberikan tausiah pada acara tersebut. Seperti yang dilaksanakan pada tahun 2008 ini, bertepatan dengan tanggal 19 April sementara muballigh yang diundang adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Mantan Ketua Tanfidyah Pusat Nahdlatul Ulama. Sepanjang pengetahuan penulis ketika berkunjung ke Pondok Pesantren Darussalamah pelaksanaan haul ini seolah-olah merupakan acara yang begitu penting. Tidak hanya untuk santri, namun juga untuk jamaah tareqat, sebagai ajang silaturahmi antara jamaah yang dalam hal ini sebagai murid tareqat dan kyai sebagai guru mursyid tareqat.51 Dalam acara haul ini pula diadakan ritual-ritual tareqat, misal istighosah, tahlil, dan sebagai acara puncak adalah pengajian akbar. Melalui haul ini jalinan silaturahmi antara kyai-jamaah, kyai-alumni pesantren berlangsung. Terlebih lagi apabila alumni juga menjadi jamaah tareqat pimpinan kyainya, maka hubungan antara kyai-santri akan tetap terjaga. Pada acara haul ini biasanya akan diadakan pula berbagai acara yang bertujuan untuk
menampilkan kreatifitas
santri di
samping itu juga untuk ajang show up bagi para pengunjung yang datang ke
50
Nama lengkapnya adalah Abu Shalih Sayyidi ‘Abdul Qadir ibn Musa ibn ‘Abdullah ibn Yahya az-Zahid ibn Muhammad ibn Dawud ibn Musa ibn al-Jun ibn ‘Abdullah al-Mahdhi ibn alHasan al-Mutsanna ibn al-Hasan ibn Ali bin Abi Thalib. Terkenal dengan nama Jailani sebenarnya adalah ‘Abdul Qâdir al-Jîlanî yang lahir pada tahun 470 H, dan wafat pada tahun 561 H dan dimakamkan di Baghdad Irak. Jîlan adalah sebuah nama daerah di Baghdad, dan menjadi suatu kelaziman menyantumkan nama daerah asal di belakang nama. Banyak orang yang secara khusus mengarang kitab tentang perjalanan hidupnya (biografi/ manaqib). Dan manaqib inilah yang umumnya dibaca pada perayaan haul dan acara-acara tertentu. Al-Ghuniyyah li tâlibi tariq al-Haq, ‘Abdul Qâdir al-Jîlanî, Nunu Burhanuddin (pen) (Jakarta: Sahara Publiser, 2004), h. 5 51 Perayaan haul ini seolah menjadi hal yang penting bagi jamaah tariqah, karena itu sudah menjadi agenda tahunan menghadiri haul tersebut setahun sekali. Ki. Dahlan Rasyid (anggota jamaah tariqah), Wawancara, tanggal 17 Juni 2008
48
pesantren mengingat rangkaian acaranya biasanya lebih dari dua hari.52 Sesuatu yang menarik lagi biasanya pada acara tersebut terdapat pasar malam di area pondok pesantren yang makin menambah ramai suasana.53
B. Pondok Pesantren di Lampung Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam masih tetap eksis dalam memperjuangkan
yang diakui
pendidikan Islam. Dari berbagai
tipologi pesantren yang ada ternyata jumlah pesantren yang bercorak tradisional masih mendominasi. Untuk kasus Lampung berkembangnya pesantren-pesantren menuju arah kemajuan tidak dapat dilepaskan dari bentuk asalnya yang tradisional. Perubahan biasanya dilakukan oleh pihak pondok pesantren menurut animo masyarakat muslim yang ada. Maka lahirnya tipologi pondok pesantren yang bercorak tradisional dan modern
secara bersamaan dalam satu lembaga
pendidikan pesantren menjadi sebuah wacana baru pondok pesantren.54
52
Acara di hari pertama biasanya berkaitan dengan amalan-amalan dan dzikir tariqah. Misalnya istighâtsah, pembacaan manâqib, pada acara-acara ini umumnya hanya dihadiri oleh orang yang telah masuk menjadi anggota tariqah. Dan pada hari kedua pengajian akbar yang dihadiri oleh masyarakat Islam yang tidak mesti menjadi jamaah tariqah. Sukron Makmun (Seksi Humas Pengajian Akbar Haul Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Pondok Pesantren Darussalamah), Wawancara, tanggal, 29 Maret 2008 53 Terdapat sekitar 50 kios yang disediakan pihak panitia untuk dijadikan kios-kios pasar malam. Berbagai barang dagangan ditawarkan di setiap kios. Pakaian ala santri/ muslim dan pernik-pernik asesoris Islam biasanya yang paling banyak dijual. Selebihnya menjual kitab-kitab, makanan, dan souvenir bahkan pada pasar malam tahun ini ada yang menjual obat-obatan herbal. Secara global perputaran uang yang ada pada pasar malam tersebut mencapai 15 juta rupiah. Ali Imron (Penjual Teh Hitam/ Black Tea), Wawancara, tanggal 2 Juni 2008 54 Dari jumlah pesantren yang mencapai 14.656 pondok pesantren sampai saat ini, secara garis besar memiliki tiga macam corak tipologi. Pertama, pondok pesantren yang memiliki corak tardisional/ salafiyah mencapai 9.105 pesantren. Kedua, pondok pesantren yang memiliki corak modern mencapai 1.172 pondok pesantren. Ketiga, pondok pesantren yang merupakan perpaduan antara corak tradisional dan modern mencapai 4.379 pondok pesantren. Baca, Direktori Pesantren, (Jakarta: Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Departemen Agama RI, 2007), h. iii. Dari data ini jelas menunjukkan bahwa pondok pesantren yang telah lama eksis dan masih menjadi pilihan masyarakat adalah yang bercorak tradisional. Modernitas di kalangan pesantren yang dilakukan oleh berbagai kalangan tidak serta-merta mendapat tanggapan yang antusias dari kalangan muslimin. Bahkan dalam kasus tertentu terdapat resistensi terhadap modernisasi pesantren. Di wilayah Lampung dari beberapa pesantren yang penulis kunjungi, Pondok Pesantren
49
Fenomena ini
biasanya terjadi manakala tampuk pimpinan pondok
pesantren telah beralih dari generasi awal (dalam hal ini para pendiri pertama) kepada generasi selanjutnya (misal anak keturunan kyai) yang telah menimba ilmu pengetahuan di pesantren lain dan menganggap bahwa modernisasi perlu dilakukan dengan tidak meninggalkan warisan tradisi para kyai pendahulunya. Sebut saja pondok pesantren Darul A’mal yang berada di Kota Metro, setelah kepemimpinan pondok pesantren berpindah ke generasi kedua, pesantren ini telah membuka Madrasah Tsanawiyah Formal, Madrasah Aliyah Formal dan Sekolah Menengah Kejuruan. Dan diyakini bahwa fenomena ini terjadi karena gagasan yang timbul dari pengelola pesantren yang baru. Karena pada generasi awal pesantren kultur salafiyah masih an figur kyai manjadi dominan. Mengingat KH. Khusnan Mustofa Ghufron (almarhum) merupakan salah satu kyai salaf yang ada di Lampung.55
1. Pondok Pesantren Tri Bhakti At-Taqwa Berdiri pada tahun 1961, Tri Bhakti Attaqwa merupakan pondok pesantren yang berhasil mempertahankan eksistensinya. Kekuatan terbesar yang mampu membuat pesantren tetap eksis adalah figur KH. Muhammad Adnan, RRJ yang mengasuh pondok tersebut. Dengan dinamika pesantren yang pada saat awal juga masih sederhana, maka kultur salafiyah dalam Pondok Pesantren Tri Bhakti
Darussalamah yang berada di Brajadewa Way Jepara Lampung Timur merupakan salah satu pesantren besar yang resistance terhadap modernisasi, berbagai alasan dikemukakan misalnya untuk kalangan lapis bawah masyarakat muslim Lampung masih memilih pondok pesantren salafiyah, karena alumni yang banyak berkiprah di masyarakat adalah alumni pesantren salaf, muatan kurikulum pondok pesantren modern biasanya kurang mengerucut pada bidang keagamaan murni-dalam hal ini kajian fiqh yang menjadi muatan utama pondok pesantren salaf. Muhammad Tohir, Wawancara Pribadi, 25 Februari 2008. 55 Ky. Umar Ansori (Pengasuh generasi kedua pondok Pesantren Darul A’mal Metro), Wawancara, tanggal 27 Februari 2008
50
Attaqwa masih kental sampai pada pertengahan tahun 1980-an.56 Cara berpikir dan bertindak KH. Muhammad Adnan, RRJ menjadi inspirasi para santri. KH. Muhammad Adnan, RRJ yang tekun dan rajin bekerja membuat para santri terinspirasi untuk lebih berbuat banyak ketika tinggal di asrama pesantren. Misalnya banyak dari para santri yang memulai belajar ketrampilan untuk menghasilkan uang dari sejak di pesantren. Sawah garapan milik pesantren yang cukup luas juga menjadi lahan pembelajaran tersendiri para santri di samping belajar di madrasah. Ilmu yang luas dan lahan ekonomi yang baik membuat nama besar KH. Muhammad Adnan, RRJ cukup baik. Hal ini pula yang memungkinkan pesantren enggan menerima bantuan dana dari pemerintah. Di samping pada saat itu resistensi terhadap berbagai kebijakan pemerintah cukup kuat, terutama para kyai yang tidak mau bergabung dengan
salah satu partai politik, terlebih
GOLKAR. 57 Resistensi yang kuat juga diberikan oleh pesantren-pesantren lain di wilayah Lampung. Ada
keengganan madrasah-madrasah di pesantren untuk
memasukkan pelajaran-pelajaran umum atau mengubahnya menjadi formal.58 Menambahkan pelajaran umum dalam pandangan kyai saat itu hanya akan 56
Muhammad Muballighin Adnan, S.HI, Attaqwa), Wawancara, tanggal 18 Juni 2008
(Kepala Lembaga Pendidikan Tri Bhakti
57
Pada masa orde baru penolakan terhadap GOLKAR berujung pada keengganan untuk spontan menerima uluran tangan dari pemerintah. Sehingga pada saat itu, kyai/ seorang ulama yang tidak mau bergabung/ tidak mau menerima pemberian fasilitas yang diberikan GOLKAR akan dianggap lebih mempunyai wira’i dan pamornya akan tetap baik. Ada beberapa contoh figur yang dianggap tetap mempertahankan pendiriannya dan tidak mau bergabung ke GOLKAR antara lain: Ky. Abrori (alm) (salah satu Mantan Ketua Maarif Lampung), hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh KH. Imam Subawaih (alm) yang dengan terbuka masuk ke dalam kancah politik menjadi salah satu Anggota Legislatif dari GOLKAR. Ky. Muhammad Masyhuri RRJ (adik kandung KH. Muhammad Adnan RRJ), Wawancara, tanggal 13 Mei 2008 58 Fenomena ini terjadi di beberapa pesantren yang kyainya enggan bergabung dengan GOLKAR. Pondok Pesantren Darussalamah Lampung Timur, Pondok Pesantren Miftahul Falah Raman Utara Lampung Timur, Pondok Pesantren Darussa’adah, Pondok Pesantren Baitul Mustaqim Punggur Lampung Tengah, Pondok Pesantren Al-Furqon Totokaton Lampung Tengah merupakan pesantren-pesantren yang enggan memasukkan kurikulum umum dalam pendidikannya pada saat itu. Pondok Pesantren Miftahul Jannah Sekampung Lampung Timur. KH. Ainun Suha (Pengasuh Pesantren Miftahul Jannah), Wawancara, tanggal 25 Mei 2008
51
menambah beban belajar santri hingga berdampak pada kurangnya alokasi waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu agama utamanya nahwu dan fiqh- yang menjadi kajian utama pesantren salaf. Pendirian tersebut diperparah lagi dengan parameter berhasil dan tidaknya sebuah pesantren dapat diukur dengan frekuensinya dalam melaksanakan hataman kitab-kitab nahwu, mulai dari kitab Jurumiyah, al-‘Imriti, dan Alfiyah Ibn Malik yang dihafalkan.59 Oleh sebab itu apabila alokasi waktu untuk menghafalkan berkurang, maka hal ini menjadi kendala tersendiri untuk lebih mempelajari ilmu-ilmu agama. Dan tak jarang jenjang pendidikan di pesantren salaf
mengacu pada kitab-kitab nahwu, sehingga istilah kelas
Jurumiyah, kelas ‘Imriti menjadi istilah yang umum di pesantren salaf. Begitu juga apa yang dilakukan oleh KH. Muhammad Adnan, RRJ keengganan beliau untuk bergabung dengan GOLKAR secara
pro-aktif
mendukung
dan
menjadi
dilampiaskan dengan
simpatisan
Partai
Persatuan
Pembangunan (PPP) yang merupakan partai hasil fusi dari berbagai partai Islam sebelumnya.60 Namun karena kegiatan partai yang biasanya hanya lima tahun sekali, hanya pada saat hendak Pemilu, maka peran KH. Muhammad Adnan, RRJ di dalam kancah politik praktis tidak begitu menonjol dan dikalahkan dengan keaktifan beliau di organisasi tareqat dan Nahdlatul Ulama’. Hal yang sama juga dilakukan oleh KH. Muhammad Adnan, RRJ terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru saat itu, yaitu beliau menolak untuk memasukkan pelajaran-pelajaran umum
59
Bentuk dari upaya pelestarian metode hafalan ini berlanjut hingga diadakannya eveneven perlombaan hafalan kitab nahwu di tingkat intra pesantren atau bahkan dengan beberapa pesantren yang diadakan setahun sekali secara bergiliran di beberapa pesantren. Dan pada saat lomba ini tidak semua pesantren mengikuti mengingat di pesantren-pesantren yang sudah memasukkan pendidikan formal metode hafalan ini sudah mulai ditinggalkan. Muhammad Muslih (Panitia Lomba Hafalan Nahwu Pondok Pesantren Darul A’mal Metro Barat tahun 2007), Wawancara, tanggal 7 Maret 2008 60 Kebijakan Orde Baru mengenai perpolitikan di Indonesia diatur dengan memperkecil jumlah partai politik dengan menggabungkan berbagai partai. Untuk partai-partai Islam seperti PERTI, NU, PERSIS, PSII dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Partai-partai nasionalis dan kristen bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Donald Wilhelm, Indonesia Bangkit, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1981), h. 185
52
ke dalam madrasah di pesantren yang diasuhnya. Bahkan untuk melestarikan kultur salafiyah, KH. Muhammad Adnan, RRJ mengarang berbagai kitab nazam berbahasa Jawa dan telah dipakai sebagai kitab pelajaran wajib di berbagai pesantren di sekitarnya. Dalam ilmu Nahwu beliau mengarang Jurumiyah Jawan, dan bidang Tauhid beliau mengarang Tauhid Jawan.61 Sistem salafiyah murni ini berlangsung hingga dua dasawarsa dari sejak pesantren didirikan dan pada pertengahan dasawarsa selanjutnya, yakni di tahun ajaran 1985-198662 Pondok Pesantren mengambil kebijakan untuk mengikutkan santrinya mengikuti Ujian Akhir dengan menggabungkan diri ke sekolah-sekolah formal di luar pesantren. Hal ini dilakukan agar tamatan pesantren nantinya memiliki ijazah resmi yang bisa dipergunakan untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Keadaan ini berlangsung hingga pada saat selanjutnya Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa secara resmi membuka sekolah formal dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.63 Perubahan tersebut di atas terjadi bukan karena terjadi dengan tanpa alasan. Perubahan tersebut banyak dilandasi semangat kemajuan dari beberapa komponan yang ada dalam tubuh Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa. Rutinitas KH. Muhammad Adnan RRJ. di luar pesantren yang cukup padat sehingga program pembelajaran di pesantren lebih banyak dilakukan oleh para kyai dan ustadz 61
Dalam penelitian penulis ke berbagai pondok pesantren selain Tri Bhakti Attaqwa, setidaknya terdapat sekitar 15 pondok pesantren yang menggunakan kitab Nahwu Jawan karangan KH. Muhammad Adnan, RRJ. Dan ini tidak hanya pondok pesantren yang kyai/ pendirinya alumni pesantren Tri Bhakti Attaqwa. Seperti Pesantren Nurul Qodiri yang berada di Bandar Sakti Way Pengubuan Lampung Tengah kendati bukan alumni Tri Bhakti Attaqwa namun menggunakan kitab tersebut, ternyata ketika Sang Kyai pengasuh nyantri di Pesantren Darussaa’dah kitab tersebut diajarkan di sana. Sehingga diteruskan hingga beliau mendirikan pondok pesantren. KH. Imam Suhadi (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qodiri), Wawancara, tanggal 3 Maret 2008 62 Pada saat itu santri mengikuti Ujian Nasional dengan bergabung ke sekolah umum yang statusnya sudah diakui, sehingga pada saat itu santri untuk sementara tinggal di rumah/ koskosan yang dekat dengan sekolah tersebut. Muhammad Zamroni Aly (santri Tri Bhakti Attaqwa tahun 1987-1997 yang saat ini menjabat sebagai Kepala Madrasah Ibtidaiyah Tri Bhakti Attaqwa), Wawancara, tanggal 18 Juni 2008 63 Muhammad Muballighin Adnan, S.HI, (Kepala Lembaga Pendidikan Tri Bhakti Attaqwa) Wawancara, tanggal 5 Maret 2008
53
lainnya. Sehingga peran KH. Muhammad Adnan RRJ di pesantren berkisar pada Pimpinan Yayasan sedangkan tenaga operasional di bawah didominasi oleh para ustadz. Dengan masuknya kurikulum Departemen Agama ke Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa menjadikan pesantren ini berada dalam posisi antara salafiyah dan semi modern. Pada masa-masa awal kondisi ini masih meninggalkan pro-kontra dari yang setuju kurikulum formal masuk ke pesantren dengan yang ingin mempertahankan salafiyah murni. Berbagai alasan dikemukakan oleh yang pro maupun yang kontra. Akan tetapi seiring berjalannya waktu pada akhirnya pesantren
tetap
memberlakukan
pendidikan
formal.
Kemudian
untuk
mempertahankan corak salafiyahnya pesantren membentuk lembaga Madrasah Diniyah yang bertanggung jawab mengelola pendidikan berjenjang ala diniyah yang diawali dengan kelas Ula, Wustho, dan Aliyah. 64 Madarasah Diniyah yang dibentuk ini juga diupayakan secara profesional. Ada penjenjangan kelas secara klassikal dan ditinjau dari segi usia (tidak berdasarkan kitab Nahwu yang diajarkan), absensi siwa yang tertib, administrasi yang baik, adanya raport dan ijazah, serta sistem pendidikan yang sudah mengacu pada pola-pola modern akan tetapi esensi dari kurikulum tetap 100% materi agama Islam.65 Dengan demikian Pesantren Tri Bhakti Attaqwa telah berupaya untuk melakukan berbagai inovasi untuk memperbaiki sistem pendidikan dengan tetap menjaga tradisi kesalafiahannya. Buah dari sitem pendidikan ini telah mampu 64
Untuk tingkat Ula dan Wustho merupakan tanggung jawab Madrasah Diniyah, sedangkan tingkat Aliyah yang di dalamnya terdapat materi-materi tingkat tinggi dan menjadi tanggung jawab Ma’had Aly yang kepengurusannya langsung di bawah komando Pengasuh Pesantren Tri Bhakti Attaqwa. Drs. Agus Nasrulloh (Kepala Madrasah Diniyyah Tri Bhakti Attaqwa An-Nahdliyyah), Wawancara, tanggal 5 Maret 2008 65 Untuk madrasah diniyah kelas Ula materi pelajaran yang disampaikan adalah: khat/ imla’, Tajwid, Tauhid, Fiqih, Nahwu, Saraf, Khulasah, Qawa’id al-I’lal, Ahlaq, sedangkan untuk madrasah diniyah Wustho materi yang disampaikan meliputi: khat/ imla’, Tajwid, Tauhid, Fiqih, Nahwu, Saraf, Khulasah, Qawa’id al-I’rab, Ahlaq, Duras al-Falakiyyah, Faraidl/ ilmu warits. Muhammad Nurul Baqy (Kepala Madrasah Diniyah Tri Bhakti Attaqwa An-Nahdliyyah), Wawancara, tanggal 17 Juni 2008
54
melahirkan pesantren-pesantren baru yang dibangun oleh para alumni Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa. Pesantren-pesantren tersebut antara lain: 1) Pondok Pesantren Tri Bhakti Assalam, Bumi Nabung Ilir, Rumbia, Lampung Tengah. 2) Pondok Pesantren Tri Bhakti Al-Ikhlas, Bumi Mas, Adi Jaya Bandar Jaya Lampung Tengah. 3) Pondok Pesantren Tri Bhakti Darun Najah, Taman Sari Purbolinggo Lampung Timur.
4) Pondok Pesantren Al-Husna, Bumi Jawa
Sukaraja Nuban Lampung Timur. 5) Pondok Pesantren Darul Hidayah, Uman Agung Seputih Mataram Lampung Tengah. 6) Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Ketibung Lampung selatan. 7) Pondok Pesantren Tri Bhakti Al-Bahari, Keramat, Bandar Surabaya Lampung Tengah. 8) Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa II, Lempuing Lubuk Siberuk Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. 9) Pondok Pesantren Hidayatul Muttaqien, Indra Giri Hilir Riau. 10) Nahdlotuttolibin, Pekalongan Lampung Timur. 11) Hidayatul Muttaqien, Bumi Mas Batanghari Lampung Timur. 12) Pondok Pesantren Miftahul Falah, Rukti Sedio Raman Utara Lampung Timur.66 Dan masih banyak lagi yang jumlah santrinya di bawah seratus orang santri. 67 2. Pondok Pesantren Darussalamah Pondok Pesantren yang secara resmi didirikan pada tahun 1966 ini merupakan pesantren yang secara tegas memilih metode salafiyah
dalam mengembangkan
pendidikan Islam di pesantren. Nuansa salafiyah ini dapat dijumpai di semua aspek
66
Jalinan silaturahmi di antar pesantren-pesantren ini pada awal pembentukan Ikatan Alumni Santri Tri Bhakti Attaqwa (IKASTA) cukup solid. Hal ini dibuktikan dengan adanya pertemuan reuni di setiap satu tahun sekali yang dilaksanakan pada minggu terakhir di Bulan Syawal dengan tempat yang digilir di masing-masing pesantren tersebut. Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu berbagai perbedaan muncul ketika masing-masing anggota berafiliasi ke berbagai partai politik pascareformasi. Berbagai kepentingan politik yang berbeda menjadikan IKASTA jalan di tempat dan tidak mampu menampung semua aspirasi warganya dan pada gilirannya komponen pengurus IKASTA kurang mampu menjalankan berbagai program yang dahulu pernah berjalan dengan baik. Drs. Agus Nasrullah (Sekretaris Umum IKASTA), Wawancara, tanggal 27 Mei 2008 67 Muhammad Muballighin Adnan, S.H.I, (Kepala Lembaga Pendidikan Tri Bhakti Attaqwa) Wawancara, tanggal 5 Maret 2008
55
yang ada dalam Pondok Pesantren Darussalamah. Baik yang berkaitan dengan kurikulum yang dipergunakan, muatan materi yang disampaikan hingga masalahmasalah yang terkait dengan kultur santri di pondok pesantren. KH. Ahmad Shodiq yang merupakan lulusan Pondok Pesantren Darussalamah, Kepung Pare Kediri Jawa Timur berasumsi bahwa pola salafiyah yang diadopsi dari pesantren tersebut masih merupakan pilihan terbaik. Sehingga tidak hanya metode, maupun kurikulum bahkan nama pesantren pun dinamakan dengan nama yang sama yakni Darussalamah. 68 Lingkungan pedesaan Brajadewa yang cukup asri menjadikan pesantren ini cocok untuk tetap melestarikan tradisi salafiahnya. Dukungan masyarakat sekitar yang cukup tinggi menjadi nilai tambah tersendiri bagi Pondok Pesantren Darussalamah.69 Sebagaimana layaknya juga pesantren-pesantren salafiyah di Jawa yang pada umumnya lahir dan berkembang di wilayah pedesaan. Metode salafiyah murni yang dijalankan di pesantren ini diakui cukup memberi kontribusi bagi dinamika pesantren di berbagai daerah khususnya Lampung. Di tengah kuatnya deru pembaharuan/ modernisasi di berbagai lembaga pendidikan yang pondok pesantren termasuk juga mendapat pengaruhnya, pesantren Darussalamah tetap bersikukuh mempertahankan kesalafiahannya. Apa yang dilakukan seluruh komponan pesantren untuk tetap eksis di jalur salafiyah ini ternyata menjadikan
pesantren lebih mempunyai nilai tersendiri
dibandingkan dengan pesantren-pesantren lain yang awalnya salafiyah tetapi mengubah menjadi pesantren modern. Dengan kekurangan dan kelebihannya pesantren salafiyah bagi sebagian umat Islam tertentu merupakan pesantren yang masih tetap ideal. Ditambah dengan kenyataan bahwa para ulama yang berkiprah di 68
Syukron Makmun (Anggota Pengurus Pondok Pesantren Darussalamah), Wawancara, tanggal 7 Maret 2008. 69 Dukungan tersebut dapat dilihat dari loyalitas penduduk sekitar terhadap pesantren. Gotong-royong yang dilakukan warga sekitar dalam membangun sarana dan prasarana pesantren menjadi hal yang lazim. Bentuk dukungan lainnya adalah di desa-desa sekitar Brajadewa terdapat para tokoh agama yang bersedia dengan ikhlas meluangkan waktu untuk membantu mengajar di Pesantren Darussalamah dengan tanpa upah sepeserpun. Ky. Wahib Ma’sum (salah seorang kyai dari luar pesantren yang ikut membantu mengajar di pesantren), Wawancara, tanggal 9 Mei 2008
56
pesantren-pesantren Lampung umumnya lahir dari pesantren salafiyah. Hal ini pulalah yang meneguhkan KH. Ahmad Shodiq untuk tetap menerapkan tradisi salafiyah. Usaha-usaha untuk tetap mempertahankan tradisi ini juga dilakukan, misalnya mengirim putra-putrinya nyantri ke pondok pesantren salafiyah di Jawa,70 dengan harapan pengalaman yang telah diperoleh selama di pondok pesantren di sana bisa dikembangkan di pesantren Darussalamah. Sebagaimana layaknya pesantren salafiyah yang lain, maka di pesantren Darussalamah ini dapat dijumpai metode-metode pengajaran seperti bandongan, wetonan, musyawirin, dan lalaran. Khusus mengenai lalaran ini setiap santri dalam suatu kelas diwajibkan menghafalkan seluruh isi kitab berbahasa Arab yang biasanya disusun secara puitisasi71 untuk mempermudah penghafalan. Tahun pelajaranpun tidak sama waktunya dengan kalender pendidikan formal. Jika kalender pendidikan formal biasanya dimulai pada sekitar bulan Juli, akan tetapi tahun pelajaran di Pondok Pesantren Darussalamah dimulai pada pertengahan bulan Syawal dan diakhiri pada bulan Sya’ban. Sedangkan untuk bulan Ramadhan akan diisi dengan pengajian kitab kuning secara umum. Pengajian kitab kuning yang diadakan pada bulan Ramadhan ini biasanya diikuti oleh bukan hanya santri Pondok Pesantren Darussalamah akan tetapi juga khalayak umum sekitar pesantren yang sengaja mengikuti pengajain di bulan Suci tersebut.72
Selain itu pengajian tariqah yang diadakan tiap hari Selasa yang
70
Dari ketiga putera KH. Ahmad Shodiq yaitu Ky. Dardiri Ahmad, Ky. Imam Mudzakir, dan Imam Sibawaihi dipondokkan di Pondok Pesantren Darussalam Pare Kediri Jawa Timur. Imam Sibawaihi, Wawancara, tanggal 13 Juni 2008 71 Puitisasi/ nazam dalam kitab-kitab kuning biasanya bermacam-macam coraknya, yang biasa disebut dengan bahr. Maka akan ditemui misalnya bahr basît, bahr rajaz, bahr sarî’, bahr raml, bahr khafîf, bahr madîd, bahr mutadrak, bahr tâwil, bahr mutaqârib, bahr wâfir, bahr hazj, dan bahr kamil. Prof. Dr.Khotibul Umam, Al-Muyassar fî ‘ilm al-‘Arûdl¸ (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1992), h. 18 72 Pengajian rutin Bulan Ramadhan ini berlangsung ketika pembelajaran di Madrasah Diniyah sedang berada dalam masa libur panjang. Karena kalender akademik dimulai pada bulan Syawal tahun sebelumnya. Keadaan ini sudah menjadi suatu keumuman, sehingga peserta yang mengikuti program ini tidak mesti santri dari Pondok Pesantren Darussalamah. Ada juga santri Darussalamah yang mempergunakan kesempatan liburan ini untuk pulang ke rumah orang tua. Di
57
diikuti para jamaah ahli tariqah juga merupakan program yang dilaksanakan Pondok Pesantren Darussalamah kendati hal tersebut diikuti sebagian besar dari luar pesantren. Baik pengajian kitab kuning maupun pengajian tariqah
ini
kesemuanya merupakan upaya berkesinambungan dalam rangka melestarikan tradisi pesantren salaf. Dipandang dari segi sarana dan prasarana pendidikan maupun asrama di Pondok Pesantren Darussalamah masih juga menunjukkan karakteristik salafiyah. Kendati lembaga pendidikan sudah berbentuk madrasah dan bersifat klasikal-yang menjadi ciri lembaga pendidikan modern- namun kurikulum sistem pembelajaran, dan pembagian tugas para guru masih bersifat tradisional. Misal saja untuk guru kelas biasanya disebut dengan istilah mustahiq,73 mustahiq dalam hal ini dianggap mampu mengajarkan berbagai macam mata pelajaran atau bahkan mengajar semua materi pelajaran. Ini tentu saja berbeda dengan pola pendidikan modern yang berupaya untuk memberikan tugas mengajar kepada orang yang memang mempunyai keahlian di bidang tersebut. 74 sisi lain santri yang mondok di luar Lampung dan kebetulan sedang libur dan rumahnya dekat dengan Pesantren Darussalamah mengikuti pengajian ini. Untuk kegiatan ini pengurus biasanya melakukan tertib administrasi dengan mempersyaratkan pendaftaran dengan biaya tertentu bagi siapa saja yang mengikuti pengajian ini. Dana dari uang pendaftaran ini nantinya dialokasikan untuk seluruh biaya kegiatan pengajian tersebut. Dari buku pendaftaran pengajian Ramadhan tahun 1429 H. yang lalu terdapat 576 santri putra dan putri yang mendaftarkan diri dengan perbandingan 13% merupakan santri dari luar Pesantren Darussalamah dan selebihnya santri dari dalam pesantren. Ustadz Tohiruddin (Sekretaris Panitia Pengajian Ramadhan 1429 H), Wawancara, tanggal 13 Juni 2008 73 Istilah mustahîq ini hanya lazim ada di pesantren-pesantren salafiyah, peran mustahîq ini cukup vital karena pertanggungjawabannya tidak hanya di dalam kelas akan tetapi juga di asrama tempat para santri tinggal. Jika dalam jenjang pendidikan tersebut terdiri dari kelas 1 sampai dengan 3 selama tiga tahun, maka selama 3 tahun itu pulalah mustahîq mendampingi santri-santri didiknya. Oleh sebab itu kedekatan batin antar keduanya cukup kuat, bahkan ada seorang mustahîq ketika hendak mendirikan pondok pesantren yang baru, anak didiknya dalam satu kelas tersebut yang diajak untuk membantu. Pengalaman tersebut terjadi pada KH. Imam Suhadi ketika mendirikan Pondok Pesantren Nurul Qodiri di Kali Palis, Bandar Agung, Way Pengubuan Kabupaten Lampung tengah. KH. Imam Suhadi (Pendiri/ Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qodiri, Wawancara, tanggal 3 Maret 2008 74 tingkat keberhasilan belajar tergantung beberapa komponan yang salah satu di antaranya adalah ustadz/ guru. Tugas guru diantaranya membimbing dan mengarahkan cara belajar warga belajar agar mencapai hasil optimal. Besar kecilnya peranan guru akan tergantung pada tingkat
58
Di samping pengenalan Mazhab Syafi’i merupakan materi dalam kajian fiqh, pengenalan teologi ahlussunnah wal-jamaah diajarkan lewat kitab-kitab tauhid.75 Kitab-kitab yang berbeda dengan pemahaman teologi ahlussunnah biasanya tidak akan diajarkan.76 Sehingga santri diarahkan kepada satu mazhab yang sudah baku. Sisi kekurangan dari metode ini antara lain pada level tertentu santri cenderung akan hanya membenarkan teologi yang selama ini dipelajarinya dan menolak teologi di luar yang dipelajarinya. Namun kendati demikian santri juga diajarkan untuk bersifat tasammuh terhadap perbedaan yang ada. Pada tahapan selanjutnya Pondok Pesantren
Darussalamah telah
melahirkan pesantren-pesantren baru yang didirikan oleh para alumninya. Pesantren-pesantren tersebut antara lain: 1) Pondok Pesantren Darussa’adah, Mojo Agung Gunung Sugih, Lampung Tengah. 2) Pondok Pesantren Darussalam Terbanggi Besar Lampung Tengah. 3) Pondok Pesantren Darul Furqan, Pujo Dadi 13 Polos, Trimurjo Lampung Tengah. 4) Pondok Pesantren Darul A’mal, Metro Barat Kota Metro. C. RESPON TERHADAP MODERNISASI PESANTREN DI LAMPUNG Pendidikan di Indonesia secara umum –yang di dalamnya termasuk juga pesantren -mengalami pembaharuan bermula dari diperluasnya kesempatan belajar bagi penduduk pribumi yang terjadi pada akhir abad ke-19 M pada masa penjajahan Hindia-Belanda.77 Meskipun pola pendidikan yang diterapkan bersifat penguasaan materi, metodologi, dan pendekatannya. Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar Madrasah Diniyah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 4 75 Yang umum diajarkan dalam materi teologi adalah kitab ‘Aqidah Ahl as-Sunnah wa alJama’ah karya Syaikh al- ‘Alim al-‘Allamah ‘Aly Ma’sum, (Pekalongan: Maktabah ibn Mashudi, t th). Sementara untuk materi fiqh kitab-kitab Syafi’iyyah cukup mendominasi seperti Kitab Fathul Mu’in, Fathul Qârib. Muhammad Maksum S.HI (mantan Kepala Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa), Wawancara, tanggal 22 Juni 2008 76 Kitab-kitab yang seperti Ar-radd ‘ala al-mantiqiyyîn karya Ibn Taimiyyah, dan risalah al-tauhîd karya Muhammad ‘Abduh sangat jarang dijumpai diajarkan di pesantren-pesantren salafiyah. Muhammad Maksum S.HI, Wawancara, tanggal 22 Juni 2008 77 Moh Tauchid, Masalah Pendidikan Rakyat, (Bogor: Dewan Partai-Partai Sosialis Indonesia Bagian Pendidikan dan Penerangan, 1954), h. 7
59
diskriminatif yaitu didasarkan pada ras dan agama, dikotomis, sekularistik, dan menciptakan mental budak karena didesain untuk menjadi pegawai pada pemerintahan penjajah dengan upah yang murah. Klasifikasi sekolah-sekolah yang didirikan penjajah Hindia-Belanda pada waktu itu adalah : 1) Europeeesce Legere School, diperuntukkan
bagi orang Eropa, 2) Hollandsch Chinese School,
diperuntukkan bagi orang-orang Cina dan Asia Timur, 3) Hollandsch Inlandsche School, diperuntukkan bagi orang-orang Bumi Putera dari kalangan ningrat, 4) Inlandsche School, khusus sekolah orang pribumi pada umumnya. 78 Di lain pihak, Pemerintah Hindia-Belanda memberikan pendidikan dengan sistem perjenjangan. Pertama, dikenal dengan istilah Volkschoolen, artinya Sekolah Rakyat (Sekolah Desa), dengan masa belajar 3 tahun. Jenjang ini setingkat dengan Sekolah Dasar yang kemudian masa belajarnya ditambah 2 tahun. Sekolah tersebut dikenal dengan istilah Vervolgschool (Sekolah Lanjutan yang diselenggarakan di Kota Distrik atau Kabupaten).
Kedua, Sekolah
Menengah Pertama atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Ketiga, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau Algemene Middelbare Schoolen (AMS).79 Selain model perjenjangan tersebut Belanda juga mengenalkan sistem sekolah yang dalam konteks sekarang diistilahkan berbasis kompetensi, yang setara/ sederajat dengan sekolah perjenjangan menengah pertama dan atas. Seperti untuk pegawai negeri (STOVIA), untuk pembantu dokter pribumi (NIAS), untuk kejuruan (OSVIA) dan untuk teknik (Middle Technische School; MTS).80 Kebijakan Pemerintah Hindia – Belanda ini mendapat respon beragam dari kalangan umat Islam Indonesia pada saat itu. Di Jawa terdapat resistensi yang kuat, sebagai imbas dari rencana pemerintah kolonial Belanda yang berusaha
78
Moh Tauchid, Masalah Pendidikan Rakyat, h. 8-9 Moh Tauchid, Masalah Pendidikan Rakyat, h. 11 80 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, 79
h.87-95
60
melakukan Westernisasi atau mem-Belanda-kan peserta didik pribumi.81 Bahkan kalangan Ulama tradisional ada yang menganggap bid’ah mengikuti apa-apa yang dilakukan oleh penjajah yang nyata-nyata musuh umat Islam. Ini juga terlihat dari cara para Ulama Jawa yang ketika mendirikan suatu Lembaga Pendidikan (baca: pesantren) lebih suka memilih daerah yang masih sepi, jarang penduduknya dengan tujuan menarik diri sejauh-jauhnya dengan pola-pola yang diterapkan Belanda. Maka, tidaklah mengherankan apabila pada saat itu seorang Ulama enggan memakai pakaian ala Belanda (misal celana panjang/ pantalon), makan diusahakan tidak dengan sendok karena
hal itu merupakan bentuk ekstrinsik
persetujuan terhadap penjajah. Dan dari kalangan penyelenggara pendidikan agama di pesantren juga timbul pertanyaan mengapa Belanda tidak mempunyai keberpihakan terhadap Islam (tidak mengakui pendidikan pesantren). Untuk itu Belanda berdalih untuk menjaga netralitas pendidikan dari pengaruh agama manapun. Akan tetapi pada saat yang sama pemerintah Belanda malah mendirikan Sekolah Tinggi Kristen.82 Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran dari kalangan ulama’ terhadap misi yang dilakukan oleh Belanda. Padahal seharusnya pembaharuan dilakukan sebagai proses perubahan untuk memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya ke cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dan lebih maju untuk mencapai suatu tujuan yang lebih baik pula.83 Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan
Priesterreden
(Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 (Staatsblaad No.550) yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama
yang
81
Abdullah Syukri Zarkasyi.M.A. Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) h. 7 82 Sumarsono Moestoko, Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 123 83 Abdul Rahman Saleh, Konsepsi dan Pengantar dasar Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: DPP GUPPI, 1993), h. 8
61
akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat.84 Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa saja yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah.85 Di lain pihak ternyata kebijakan tersebut mendapat respon yang relatif baik-untuk tidak mengatakan antusias- terhadap didirikannya sekolah-sekolah tersebut, menurut Azyumardi Azra, justru muncul di kalangan Muslim Melayu, khususnya Minangkabau.86
Transmisi atau corak kelembagaan pendidikan
Belanda waktu itu lebih sering diadakan di surau-surau dan meunaseh (Aceh), kemudian ditransformasikan menjadi sekolah-sekolah negeri atau diistilahkan sebagai
madrasah
yang secara yuridis-formal-negara statusnya diakui oleh
pemerintah Belanda.87 Dengan demikian terhadap kebijakan pendidikan yang dilakukan penjajah Belanda, di kalangan umat Islam timbul tiga kelompok : Pertama,
kelompok yang mengisolasi diri dan menentang kebijakan
tersebut, sambil terus mengobarkan semangat anti penjajah dan mengusirnya lewat
84
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 115 85 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, h. 116 86 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, h.92 87 Istilah madrasah adalah lembaga pendidikan (dalam arti luas) yang lebih dikenal di Melayu, khususnya Aceh dan Minangkabau, seiring dengan pengaruh pemikiran modern di Indonesia pada abad ke-20. Kata madrasah di sini sama sekali berbeda penggunaannya dengan istilah dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada pendidikan dasar dan menengah. Pada masa pramodern, madrasah (Arab)-menurut Azyumardi Azra- menunjuk pada jenis dan jenjang pendidikan tinggi yang secara luas mulai dikenal masyarakat sejak abad ke-5/ 11 M. Lihat, Departemen Agama RI, Sejarah Perkembangan Madrasah dan Azyumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. h. 67
62
konsep Perang Suci dengan menjadikan Pondok Pesantren sebagai basisnya serta pengajaran agama Islam sebagai dasarnya.88 Kedua,
sikap yang mengimbangi kemajuan yang dicapai pemerintah
Belanda dengan cara memodernisasikan lembaga pendidikan tradisional (pesantren khususnya) menjadi madrasah.89 Ketiga, sikap yang mengadopsi model pendidikan Belanda namun di dalamnya masih terdapat pelajaran agama.90 Bagaimanapun penjajah Belanda telah membuka mata sebagian umat Islam untuk
memajukan
lembaga
pendidikannya
dalam
rangka
mengejar
keterbelakangannya dalam segala bidang melalui pembaharuan lembaga
88
Pondok Pesantren Tebu Ireng yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari merupakan pesantren yang menolak segala bentuk yang datangnya dari Belanda. Zuharini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 202 89 Di sebagian besar ulama tradisional pesantren pada masa 70-an dan 80-an cenderung menaruh kecurigaan terhadap apa yang mereka definisikan sebagai Barat dan mereka lebih mengambil sikap apologetik. Di dunia Islam pada umumnya, paling tidak ada tiga sikap kaum muslimin ketika mereka berhadapan dengan Barat, yaitu apologetik, identifikatif, dan affirmatif. Pertama, sikap apologetik (pembelaan diri) biasanya dilakukan kaum muslimin dengan mengemukakan kelebihan-kelebihan Islam, di samping untuk menjawab hegemoni politik Barat juga tantangan intelektual Barat yang mempertanyakan beberapa aspek dari “ajaran” Islam seperti jihad, poligami, kedudukan perempuan, dan sebagainya. Respon tersebut biasanya mempunyai kecenderungan normative dan idealistic, sehingga cenderung mengabaikan realitas sosial di samping juga mencerminkan sikap ancaman, tantangan dan anti kritik dari luar. Kedua, sikap identifikatif diambil untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi untuk merumuskan respond an sekaligus identitas Islam di masa modern. Respon tersebut sejatinya lebih membuka peluang munculnya pemikiran-pemikiran kreatif dan pro aktif untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Ketiga, pendekatan afirmatif dilakukan untuk menegaskan kembali kepercayaan kepada Islam dan sekaligus menguatkan eksistensi masyarakat muslim sendiri. Lihat Azyumardi Azra,Perspektif Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. iii-vi 90 Sumatera Tawalib merupakan lembaga pendidikan yang berusaha melakukan pembaharuan di bidang pendidikan tanpa mempersoalkan kedudukan Belanda yang sedang menjajah Indonesia. Zuharini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, h. 174. Di lain pihak Abdullah Ahmad mendirikan lembaga pendidikan modern dengan menggunakan sistem yang dilaksanakan penjajah Belanda. Kebijakan ini berbuntut pada kecaman dan tantangan dari para ulama’ tradisionalis. Namun Abdullah tetap pada pendiriannya dan mendirikan lembaga pendidikan Hollands Maleische School (HMS) atau Hollands Inlandsche School (HIS). Perbedaan HIS yang dibangun oleh Abdullah Ahmad dengan HIS yang dibangun Belanda adalah pelajaran agama dan Al-Qur’an merupakan pelajaran wajib selain pengetahuan umum. Dr. H. Abudin Nata, MA, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 160-162
63
pendidikannya. Terlebih lagi ketika gerakan pembaharuan atau modernisasi di Timur Tengah memberikan nilai tersendiri bagi perkembangan umat Islam di Tanah Air. Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin AlAfghani (1987) yang mengajarkan solidaritas Pan-Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana secara ilmiah dimodernisasikan. Gerakan
ini memberikan pengaruh yang besar terhadap
kebangkitan Islam di Indonesia.91 Bermula
dari pembaharuan pemikiran dan
pendidikan Islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia. Prakarsa
awal terhadap pembaharuan ini ditandai dengan kemunculan
organisasi-organisasi Islam yang mengarah kepada pembaharuan seperti Jami’at Khair
yang
didirikan
pada
tahun
1905,
Persyarikatan
Ulama
(1911),
Muhammadiyah (1912), Syarikat Islam atau yang biasa disingkat SI (1912), AlIrsyad (1913), Persis (1923), dan Nahdlatul Ulama yang didirikan di Surabaya oleh para ulama yang dimotori oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1926, dimana organisasi-organisasi tersebut mendirikan lembaga pendidikan
dengan corak
masing-masing.92 Beberapa corak pembaharuan pendidikan Islam juga Sumatera sebagai reaksi
marak berdiri di
atas pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh
pemerintah Belanda. Di Padang Panjang, Abdullah Ahmad mendirikan Madrasah Adabiyah (1909). Dua bersaudara, Zaenuddin Labay el-Yunusi dan Rahmah Labay el-Yunusi, mendirikan Diniyyah Putera (1915) dan Diniyyah Puteri (1923). Abdul Karim Amrullah di Minangkabau juga mendirikan Sumatera Thawalib (1916). Pada tahun 1931, Mahmud Yunus mendirikan Normal Islam (Islamic Training College) atau yang dikenal Kulliyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyah (KMI).
91
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 257-
258 92
Abdullah Syukri Zarkasyi.M.A. Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, h.8
64
Diterapkannya sistem hidup berdisiplin di asrama, dan sistem pengajaran bahasanya metode langsung yang mewajibkan para santri-santrinya untuk menggunakan bahasa Arab dan Inggris sebagai percakapan sehari-hari.93 Melalui pendidikan, pembaharuan atau tajdid dilakukan dengan cara memperbaharui atau menyegarkan kembali faham-faham dan komitmen terhadap ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman.94 Dalam masa pengaruh Islam berkembang pola pendidikan langgar (mushola/ surau) dan pesantren dengan tujuan memberikan pengetahuan agama dengan orientasi agar murid dapat membaca dan menamatkan bacaan al-Qur’annya. Di sini, metode yang digunakan masih bersifat tradisional dengan lingkungan belajar seadanya, waktu belajar tidak dibatasi, biaya belajarpun serelanya saja, dan apabila murid telah khatam, maka diadakan selamatan/ khataman. Setelah memasuki abad XX, di Indonesia muncul upaya-upaya penegakan dan pembaharuan Islam secara benar. Upaya ini diiringi dengan pembaharuan di segala aspek kehidupan termasuk pendidikan.95 Untuk kasus di Lampung, dari dua pesantren besar di atas (Tri Bhakti Attaqwa dan Darussalamah), secara sepintas dapat dianalisa bagaimana modernisasi direspon. Respon yang beragam tersebut adalah hal yang wajar-wajar saja mengingat Pondok Pesantren Salafiyah pada umumnya dimiliki oleh Kyai sebagai pendiri pesantren dan dibantu oleh para sanak keluarga dalam pengelolaannya dan ciri utamanya adalah figur tunggal kyai menjadi dominan. Dominasi kuat dari kyai inilah yang menentukan apakah pesantrennya akan diarahkan kepada modernisasi atau tetap mempertahankan tradisi salafnya. Dalam hal ini masing-masing mempunyai konsekwensi sendiri.
93
Zarkasyi.M.A. Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, h.9 Abdul Gani dan Syamsuddin, Tajdid Dalam Pendidikan Dan Masyarakat, (Kuala Lumpur: Persatuan Ulama Malaysia, 1989), h. 11 95 Mustafa kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 87 94
65
Dari berbagai pesantren yang ada di Lampung dalam menyikapi modernisasi yang sedang bergulir setidaknya terdapat tiga bagian: 1) Pondok Pesantren yang secara tegas menolak modernisasi. Ini dimotori oleh Pondok Pesantren Darussalamah dan pesantren-pesantren yang dibangun oleh para alumninya. Kendati jumlah santrinya belum begitu banyak, akan tetapi bila dipandang dari lembaga pendidikan/ pesantren jumlahnya cukup signifikan.
96
Ditambah lagi dengan pesantren-pesantren kecil yang tidak secara legal-formal berdiri namun belum diberi nama secara resmi dan ini jumlahnya lebih banyak daripada yang sudah resmi membuat sebuah nama pondok pesantren. Dengan demikian sulit untuk diidentifikasi apakah mereka yang mempertahankan kesalafiyahannya tersebut memang ingin mendirikan pesantren salafiyah, atau karena memang untuk dimodernkan mereka masih terkendala dengan berbagai komponen, misal SDM tenaga pengajar, sarana dan prasarana, managemen, dan lain-lain. Alasan lain yang menimbulkan resistensi terhadap modernitas pondok pesantren adalah karena modernitas yang ada dalam pesantren bukan berasal dari pesantren yang dahulu pernah dijadikan sang kyai menimba ilmu. Sehingga dianggap berasal dari orang lain dan bukan dari golongannya. Hal ini muncul biasanya berasal dari para kyai yang cukup konservatif.
97
Bahkan dalam hal-hal
tertentu kebijakan kyai sebuah pesantren masih melibatkan kyainya ketika masih
96
Dari 14 pondok pesantren yang penulis teliti 8 pondok pesantren yang memilih salaf murni dalam pembelajarannya. Dan didominasi oleh alumni-alumni Pondok Pesantren Darussalamah Way Jepara Lampung Timur. 97 Bentuk ketaatan (sam’an wa ta’atan) yang menjadi karakteristik khusus dalam pesantren salafiyah dapat pula dilihat dari metode pembelajaran di pesantren yang disamakan dengan pesantren dahulu semasa kyainya belajar. Seperti pesantren-pesantren di daerah Serang Banten, terdapat pengajian yang diadakan ketika membahas suatu kitab kuning ditafsirkan dengan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan sebagai bentuk ketaatan dan ta’zim pada kyainya yang memang orang Jawa dan semasa mengaji dahulu penafsiran suatu kitab kuning menggunakan bahasa Jawa. Zaenal Arifin (tokoh agama/ Pengasuh Pesantren Al-Ma’rifah, Cibitung Barat Kabupaten Bekasi yang pernah nyantri di daerah Serang Banten), Wawancara, tanggal 3 Desember 2007.
66
di pesantren dulu. Oleh karena itu, jika pesantrennya dahulu bercorak salafiyah, maka pesantren turunannya akan bercorak salafiyah pula. 2) Pesantren yang menerima modernisasi tetapi tidak utuh, artinya dalam beberapa hal setuju dimodernkan akan tetapi dalam hal-hal tertentu menolak. Pada kasus di Lampung, Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa termasuk ke dalam bagian ini. Tingkat antusiasme dalam menerima modernisasi lebih didominasi oleh para pengurus pesantren di level bawah sedangkan pada level atas, dalam hal ini para pengelola yayasan dan pengasuh penerimaannya terhadap modernisasi lebih rendah.98 Keadaan ini secara umum karena disebabkan oleh belum tersentuhnya modernisasi ketika para pengasuh mondok dahulu, sedangkan di tingkat bawah (para ustadz) yang juga berasal dari luar pesantren Tri Bhakti Attaqwa, sehingga nilai-nilai modernisasi masuk. Pertemuan antara dua kutub salafiyah dan modern inilah menghasilkan wacana baru dengan pola salafiyah-modern. Sehingga dalam beberapa hal dapat dijumpai sistem pendidikan modern dan pada saat yang lain dapat ditemukan pola-pola pesantren salafiyah. Pesantren tipe ini jumlahnya lebih banyak daripada pesantren yang murni salafiyah. Dan umumnnya perkembangannya cukup pesat karena animo masyarakat yang menginginkan anaknya belajar di pesantren salafiyah terpenuhi, dan di saat yang sama mendapatkan ijazah, baik dari Sekolah 98
Ciri modernisasi dalam sebuah pesantren diantaranya adalah terbukanya kesempatan masing-masing komponen untuk menyalurkan pendapat/ ide secara bebas dengan prosedur yang berlaku. Demokratisasi dibangun atas dasar permufakatan bersama, tidak didasarkan pada otoritas sepihak. Dalam hal ini keputusan-keputusan bersama yang yang dibangun atas dasar demokrasi pada tataran pengurus pesantren akan menjadi tidak berlaku ketika pihak yayasan tidak menyetujuinya. Peristiwa yang menunjukkan hal tersebut adalah ketika personalia kepengurusan pesantren mengalami regenerasi untuk periode 2005-2006, yayasan memberlakukan sentralisasi keuangan. Segala iuran yang dibebankan kepada santri masuk ke dalam satu pintu Bendahara Yayasan Pendidikan Tri Bhakti Attaqwa. Bendahara Pengurus Pesantren Putra/ Putri tidak diberi kewenangan untuk mengelola anggaran sendiri-sendiri. Bendahara pesantren hanya bertindak sebagai perancang anggaran untuk diajukan kepada Bendahara Yayasan. Permasalahannya tidak setiap anggaran yang diajukan langsung diterima atau besarnya nilai uang yang diajukan diturunkan sehingga dalam pelaksanaan di lapangan perlu merubah dari rencana awal karena berbedanya anggaran. Muhammad Samsul Hadi (Wakil Bendahara Pesantren Putra Tri Bhakti Attaqwa), Wawancara, tanggal 23 Januari 2008
67
Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas maupun dari Madrasah Tsanawiyah, ataupun Madrasah Aliyah. Satu hal yang menarik adalah, bahwa pesantren-pesantren yang pada awalnya mendirikan pesantren salafiyah dan kurang berkembang dan setelah memasukkan sistem pendidikan modern kendati tidak secara total pesantren menjadi berkembang pesat. Keadaan ini karena tuntutan masyarakat sekarang yang memang sudah berbeda dengan keadaan sebelumnya, oleh sebab itu pesantren yang menginginkan perkembangannya lebih pesat akan memilih cara ini.99 3) Pesantren yang secara utuh menerima modernisasi.100
Pesantren
dalam tipe ini pada umumnya didirikan oleh alumni pesantren modern yang telah kembali ke daerah asalnya, baik Gontor Ponorogo, Al-Amin Madura, maupun pondok pesantren modern lainnya. Di samping itu terdapat pula pesantrenpesantren modern yang pendirinya merupakan alumni dari Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.101 Namun ada pula pesantren modern yang
merupakan hasil
perubahan dari pesantren salafiyah, dan perubahan tersebut berubah secara total 99
Contoh nyata dari fenomena ini adalah terjadi di Pondok Pesantren Darul Hidayah, setelah mendirikan pesantren dan bercorak salafiyah sekitar sepuluh tahun, grafik perkembangannya cukup lamban, akan tetapi setelah membuka pendidikan formal berupa Madrasah Tsanawiyah perkembangan pesantren menjadi pesat. Dari jumlah santri yang rata-rata 250 santri (waktu masih salafiyah) menjadi rata-rata 375 santri setelah mempunyai pendidikan formal. KH. Ihwanul Faruq (Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hidayah, Uman Agung Seputih Mataram Lampung Tengah), Wawancara, tanggal 23 Desember 2007 100 Istilah modernisasi yang dimaksud dalam hal ini adalah modernisasi yang diadakan di Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur. Karena dalam beberapa kasus pesantren yang menyebut dirinya pesantren modern adalah pesantren yang mengadopsi sistem pembelajaran di Gontor. Dalam hal ini muncul istilah pesantren modern pure Gontor yang mengadopsi seluruh tradisi dan pakem Gontor apa adanya. Di sisi lain muncul pula istilah non-pure Gontor yang mengadopsi sebagian tradisi dan pakem Gontor namun juga menggunakan kurikulum mandiri. Jajang Jahroni, “Merumuskan Modernitas: Mencetak Muslim Modern, Peta Pendidikan Islam Indonesia, h. 125 101 Untuk wilayah Metro yang hanya mempunyai 5 Kecamatan Pondok Pesantren yang didirikan oleh alumni Al-Azhar Mesir adalah Pondok Pesantren Darussalam, 15 A Kampus, Metro Timur dan Pondok Pesantren Wahdatul Ummah yang terletak di 21 C Yosorejo, Metro Timur. Ustadz Ramadhan, LC, (Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Metro Timur, Lampung), Wawancara, tanggal 27 Juni 2008
68
mengadopsi pesantren Gontor tidak secara parsial. Fenomena yang terjadi di Pondok Pesantren Wali Songo yang beralamat di Jl. Ridho No.03 Bandar Keagungan Raya Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara 34581adalah sebuah contoh dari perubahan pesantren yang secara keseluruhan pada tahun 2001 meleburkan diri dari pesantren salafiyah ke pesantren ala Gontor. Pada awalnya pesantren didirikan dengan sistem pendidikan salafiyah,102
namun setelah
berkisar sembilan belas tahun pesantren membuka pendidikan hanya memiliki jumlah santri di bawah 13 orang saja. Baru setelah dimodernkan ala Gontor dalam jangka tiga tahun jumlah santri pesantren telah mencapai 300 orang santri.103 Modernisasi lainnya yang tak kalah penting adalah managemen yang berkaitan dengan kesejahteraan para ustadz. Kendati usia pesantren tergolong muda, akan tetapi penyediaan sarana dan prasarana sudah cukup memadai, pihak pesantren juga telah mampu memberikan honorarium yang tergolong tinggi kepada para ustadz dan karyawan di sekolah bila dibandingkan dengan sekolah/ madrasah lainnya, fasilitas perumahan para ustadz juga menjadi perhatian serius dari pengsuh pesantren, bahkan dalam setiap musim haji Pesantren Wali Songo mampu memfasilitasi seorang ustadz untuk beribadah haji yang diatur secara bergantian. Karena Pondok ini pada mulanya bernuansa salafiyah (100% ilmu agama) dan para santrinya pun sebagain besar berasal dari lapisan sosial ekonomi lemah 102
Pesantren Wali Songo sebenarnya didirikan oleh alumni Pondok Pesantren Pacul Gowang, Kediri Jawa Timur, (KH. Drs. M. Noer Qomaruddin AS., MH. dan Ustadz Sholihin) dan merupakan figur yang kental dengan pesantren salafiyah, akan tetapi dengan pertimbangan dari berbagai hal akhirnya pesantren dimodernkan dengan mengadopsi pesantren Gontor. Ustadz Hi.Sholihin (Pengasuh Pesantren Modern Wali Songo), Wawancara, tanggal 27 Nopember 2007. 103 Pada tahun 1982 dengan modal yang minim dibangunlah 3 lokal ruang belajar beratap seng tanpa jendela dan pintu. Bangunan ini di atas tanah seluas 3.100. m2, pemberian wakaf dari Drs. H. Ridho Dinata (seorang tokoh agama Lampura). Siswanya pun hanya 13 orang pada waktu itu yaitu 4 putri dan sisanya putra. Kelangsungan hidup Ponpes tetap berjalan meski harus tertatihtatih. Berbarengan dengan rentetan kegagalan dalam memberdayakan ekonomi pesantren respon masyarakat terhadap ponpes ini semakin memudar sehingga pada tahun 1993 santrinya tinggal 8 orang. Namun setelah modernisasi diberlakukan respon masyarakat makin lama makin membaik hingga sekarang ini. Dikutip dari pp.walisongo kotabumi.html
69
maka dari awal sampai tahun 2001, (ketika Madrasah Tsanawiyah didirikan sekitar 60-an) santri tidak dipungut biaya sepeserpun. Hal ini memang menjadi komitmen kuat para pengasuh demi tegak dan terciptakan genersi muda yang memiliki imtaq berkualitas. Diawali dari adanya pendidikan formal Madrasah Tsanawiyah, dan berlanjut pada tahun 2004 didirikan lagi tingkat Madrasah Aliyah, yang kini berjumlah 300 santri, maka secara meyakinkan perkembangan Ponpes ini menunjukan peningkatan yang signifikan. Bahkan pada tahun 2007 dengan bekal SK Menkes RI Nomor : Hk. 03.2. 4. 1. 03203 dan SK Mendiknas RI Nomor : 131/D/O/2007 maka didirikanlah Akademi Kebidanan An Nur Husada Walisongo yang kini sudah beroprasi dengan 48 Mahasiswa.104 Pada perkembangan berikutnya Ponpes Walisongo adalah sebuah Lembaga Pendidikan yang mengarah kepada menejemen modern. Dengan sarana dan fasilitas yang dapat dibilang memadai dan representative saat ini. Itulah sebabnya Ponpes senantiasa bermitra kepada semua pihak khususnya dalam menggali sumber utama keuangan. Misalnya yang sudah berlangsung dengan : Peternakan Sapi Umas Jaya (GGP Lampung Tengah), Bidang Kesehatan bermitra dengan RS Yukum Medical Centre (YMC Bandar Jaya) dan RS. Urip Sumoharjo (Bandar Lampung). Disamping itu PT. Djarum Super Lampung Utara, dan POLDA Lampung merupakan bagian dari mitra kerja Ponpes Walisongo. 105 Terhadap masyarakat luas dan lingkungan sekitar, pondok pesantren yang diasuh Ustadz dan Dosen 57 Orang ini, memiliki program pengabdian masyarakat, antara lain yang sudah berjalan sampai angkatan ke 5 tahun ini adalah Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Hajar Aswad, telah membimbing 650 jamaah haji. Kemudian Panti Sosial Walisongo berdiri tahun 2003, yang melayani 164 orang terdiri dari santri dan ustadz. 104
pp.walisongo kotabumi.html, tanggal 7 Juni 2008 Bentuk kerja sama antara tersebut antara lain berupa penyaluran para alumni AKBID untuk bekerja di rumah-rumah sakit tersebut. pp.walisongo kotabumi.html 105
70
Dengan demikian, pesantren-pesantren di daerah Lampung dalam menyikapi modernisasi mempunyai tingkat respon positif yang berbeda. Perbedaan tersebut pada umumnya bergantung pada figur kyai yang menjadi tokoh sentral dalam sebuah pondok pesantren.
71
BAB III MODERNISASI PONDOK PESANTREN ROUDLOTUL QUR’AN (DARI TRADISIONALISME KE MODERNISME)
A. Akar-Akar Tradisionalisme Penelusuran mengenai akar tradisionalisme pesantren merupakan bahasan yang harus disentuh jika ingin membahas lintasan sejarah yang pernah dilaluinya. Pasalnya, kendati mayoritas
para peneliti, seperti Zamakhsyari Dhofier, Karel
Steenbrink, Cliffort Geerts, dan yang lainnya sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia,1 namun mereka mempunyai pandangan yang berbeda dalam melihat proses lahirnya pesantren tersebut.2 Perbedaan pandangan ini setidaknya dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu: Pertama,
kelompok ini berpendapat bahwa pesantren merupakan hasil
kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra-Islam. Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan 1
Dalam konteks sekarang tradisionalitas seringkali dituding sebagai salah satu kelemahan_ pesantren. Persoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak tradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh karena itu, penyebutan tradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesifik. Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As'ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia. Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata 'adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat 1997, 140). 2 Pada umumnya, hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para sarjana, baik dari dalam maupun luar negeri terpublikasikan dalam bentuk buku, diantaranya: Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Zamakhsyari Dhofier), Pesantren, Madrasah dan Sekolah, (Karel A. Steenbrink), Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Martin Van Bruinessen), dan lain sebagainya..
72
dengan sistem pendidikan Hindu-Budha3. Pesantren biasanya disamakan dengan mandala/ asrama
dalam khazanah lembaga pendidikan pra-Islam. Pesantren
merupakan komunitas independen yang pada awalnya mengisolasi diri di sebuah tempat yang jauh dari pusat perkotaan (pegunungan). Termasuk dalam kelompok ini adalah Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat; dan Nurkholis Majdid dalam Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan.4 Cak Nur pernah mengomentari bahwa pesantren adalah artefak peradaban Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak tradisional, unik dan indigenous.5 Sebagai sebuah artefak peradaban, keberadaan pesantren dipastikan memiliki keterkaitan yang kuat dengan sejarah dan budaya yang berkembang pada awal berdirinya. Jikapun ini benar maka pesantren selaras dengan dimulainya misi dakwah Islam di Nusantara, berarti hal itu menunjukkan keberadaan pesantren dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang sebelumnya, tiada lain kebudayaan Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya melalui proses Islamisasi dengan segala bentuk penyesuaian dan perubahannya. 3
Sistem pendidikan Hindu kuno, yakni siswa dan guru tinggal dalam satu ashram atau asrama dalam mengikuti proses belajar-mengajar, membuahkan hasil cukup gemilang dibanding guru dan siswa tinggal di rumah masing-masing. Siswa yang tinggal dalam satu ashram bersama gurunya selain mengikuti proses belajar-mengajar juga meniru keteladanan dari kehidupan para guru, Dengan demikian para guru atau pendidik akan mengetahui kepribadian para siswanya secara mendalam, karena mereka memperhatikan gerak-gerik siswa sehari-hari.Dalam sistem pendidikan Hindu kuno ditekankan ajaran etika dan agama (moralitas) disamping diberikan pengetahuan yang tinggi tentang filsafat dan hal-hal praktis, Pada sistem pendidikan itu wanita dibenarkan mengikuti pendidikan yang mempunyai hak yang sama dengan pria. Seorang wanita dengan pendidikan yang baik dapat menjadi sarjana dan guru berdasarkan pengetahuan yang dimiliki.Kondisi masyarakat terpelajar penuh dengan dharma (kebaikan). Prof Dr I Made Titib (Dekan Fakultas Brahma Widya Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Makalah Seminar Internasional bertajuk Sumber Daya Manusia Di Kalangan Wanita Hindu Menghadapi Persaingan GlobalDekan Fakultas Brahma Widya Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Prof Dr I Made Titib di Denpasar, yang dimuat dalam Harian Pelita Edisi Senin 26 Mei 2008 4 Amin Haedari & Abdullah Hanif (ed) Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global,(Jakarta: IRD Press, 2005),h. 2 5 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan,(Jakarta: Paramadina,1997) h.10
73
Agaknya pemahaman di atas didasarkan pada anggapan adanya pola kesinambungan antara pesantren dengan lembaga-lembaga keagamaan di Jawa praIslam disebabkan adanya kesamaan antara keduanya. Misalnya, letak dan posisi keduanya yang cenderung mengisolasi diri dari pusat keramaian, serta adanya ikatan kebapakan antara guru dan murid sebagaimana ditunjukkan antara Kyai dan santri, di samping kebiasaan ber-‘uzlah (menyepi) dan melakukan rihlah 6(bepergian) guna melakukan pencarian ruhani dari suatu tempat ke tempat lainnya. Di samping itu komunitas pesantren biasanya akan mempunyai karakteristik hidup yang cenderung menjauhi keduniawian yang profan dan menggantinya dengan kesederhanaan hidup, hal ini cukup terlihat dari pola pakaian mereka seperti, memakai peci hitam, sarung, baju panjang (piyama), serta alas kaki seadanya.7 Beberapa indikator inilah yang selanjutnya menjadi landasan pijakan untuk berkesimpulan bahwa pesantren merupakan suatu bentuk indegeneous culture8 yang muncul bersamaan waktunya dengan penyebaran misi dakwah Islam di kepulauan Melayu-Nusantara. Kedua, kelompok yang berpendapat, pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur-Tengah. Kelompok ini meragukan kebenaran pendapat yang menyatakan bahwa lembaga mandala dan asrama yang sudah ada semenjak zaman Hindu-Budha merupakan tempat berlangsungnya praktek pengajaran tekstual sebagaimana di pesantren. Termasuk dalam kelompok ini adalah Martin Van Bruinessen, salah seorang sarjana Barat yang mempunyai concern terhadap sejarah 6
Konsep rihlah dalam tradisi pendidikan Islam telah berlangsung sudah lama, bahkan tidak hanya rihlah fî talab al-'ilm (travel in searching knowledge) akan tetapi dalam kajian ilmu hadits ditemukan pula istilah rihlah fî talab al-hadîst. Ibn Zubair 540- 614 H /1145-1217 M. merupakan muslim yang pernah melakukan hal ini, tradisi ini tetap berkembang sampai pada zaman Ibnu Batutah yang mengadakan pengembaraan dan mencatat berbagai peristiwa sejarah yang terjadi saat itu. Encyclopaedia of Islam (Leiden, Koninklijke Brill NV 1999), h. 337 7 Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), h. 44 8 indigenous culture merupakan istilah yang dapat digunakan untuk menjelaskan kebangunan sebuah kebudayaan dalam suatu kawasan tertentu di bumi ini yang merupakan kebudayaan asli dan lahir dari daerah tersebut. Pengertian ini merujuk pada suatu fenomena yang tidak/ belum pernah terjadi di daerah lain. Bartholomew Dean and Jerome Levi (eds.) At the Risk of Being Heard: Indigenous Rights, Identity and Postcolonial States University of Michigan Press (2003), h. 1
74
perkembangan dan tradisi pesantren di Indonesia.9 Menurutnya pesantren yang ada di Indonesia cenderung lebih dekat dengan salah satu model sistem pendidikan di Al-Azhar dengan sistem pendidikan riwaq yang didirikan pada akhir abad ke-18 M. Senada dengan Martin Van Bruinessen, Zamakhsyari Dhofier, dalam Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Kyai
menjelaskan pesantren-pesantren,
khususnya di Jawa, merupakan kombinasi antara madrasah dengan pusat kegiatan tarekat, dan bukannya antara Islam dengan Hindu-Budha.10 Abdurrahman Mas’ud pernah menegaskan, sebagai lembaga pendidikan yang unik dan khas, awal keberadaan pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), atau dikenal sebagai spiritual father Wali Songo.11
Keterangan-keterangan sejarah yang berkembang dari mulut
ke mulut (oral history) memberikan indikasi yang kuat bahwa pondok pesantren tertua, baik di Jawa maupun luar Jawa, tak kan dapat dilepaskan dari inspirasi yang diperoleh melalui ajaran yang dibawa Wali Songo. Lebih jauh lagi, Martin juga menyangkal pendapat yang menyatakan, pesantren ada seiring dengan keberadaan Islam di Nusantara sebagai pendapat yang ekstrapolasi. Menurutnya, pesantren muncul bukan sejak masa awal Islamisasi, tetapi baru sekitar abad ke-18 M dan berkembang pada abad ke-19 M. Meski menurutnya pada abad ke-16 dan ke-17 sudah ada guru yang mengajarkan agama Islam di mesjid dan istana yang memungkinkan pesantren berkembang dari tempat-tempat tersebut. Hal ini menurutnya dibuktikan dengan tidak disebutkannya istilah pesantren pada
9
Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 35 10 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 34 11 Lihat Abdurrahman Mas’ud dalam, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Ismail SM. Et.al. (ed) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 3-10
75
karya-karya sastra klasik Nusantara, seperti Serat Centhini,12 dan Sejarah Banten, naskah lama yang ditulis pada abad ke-17.13 Sejarah pesantren, sudah dapat dipastikan berkaitan erat dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mengenai hal ini, para peneliti tidak mengetahuinya secara pasti, mengingat kurang adanya data-data dan peninggalan yang cukup kuat untuk dijadikan bukti mengenai awal mula penyebaran Islam di Jawa. Problem selanjutnya adalah bagaimana keterkaitannya dengan penyebaran Islam di Asia tenggara. Naquib al-‘Attas,14 mencatat mengenai kemungkinan sudah bermukimnya orang-orang Muslim di Kepulauan Indonesia bersumber dari laporan Cina tentang pemukiman Arab di Sumatera Utara yang dikepalai oleh seorang Arab pada tahun 672 M. sedangkan Hazzard menyatakan bahwa orang Islam yang
pertama
mengunjungi Indonesia boleh jadi adalah saudagar Arab pada abad ke-7 M. yang singgah di Sumatera ketika mengadakan perjalanan menuju Cina. 15 Berbeda dengan sejarawan di atas, Marco Polo (1254-1323) berkebangsaan Inggris yang mengunjungi Indonesia pada tahun 1292-1297 M. menceritakan bahwa penduduk negeri (Perlak, Basma, Samudera, dan Pasai) sebagian besar memeluk agama Islam dan banyak juga di antara mereka yang berusaha mengembangkan agama Islam ke daerah pegunungan di sekitar
tempat tinggal mereka dengan
12
Serat Centhini merupakan karya sastra Jawa kuno yang ditulis oleh sejumlah pujangga dii lingkungan Keraton Surakarta yang diketuai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV. Karya yang terkenal dengan sebutan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa, atau 1814 dalam tahun Masehi. Karya ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi mengenai dunia dalam masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, atau katakanlah semacam database pengetahuan Jawa. Jumlah keseluruhan serat ini adalah 12 jilid. Aspek-aspek ngelmu yang dicakup dalam serat ini meliputi persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, kerawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon atau horoskop, soal makanan dan minuman, adat istiadat, cerita-cerita kuna mengenai tanah Jawa dan lain-lainnya. Dikutip dari http://wisatasolo.com/sastra_jawa_centini.html, tanggal 12 Juli 2008 13 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, h. 223 14 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), h. 5 15 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam: h. 5
76
membangun suatu tempat ibadah sekaligus mengajarkan agama yang diistilahkan meunaseh. Sedangkan Ibnu Batutah pada tahun 1304-1377 M. dalam kunjungannya ke Samudera dan Pasai menceritakan bahwa Raja pada saat itu adalah seorang yang alim dan bijaksana, di dalam kota banyak terdapat tempat pengajian dan pelajar dari seluruh Indonesia berkumpul mempelajari hukum dan pengetahuan Islam. Dalam catatan Ibnu Batutah pula dikatakan bahwa kebanyakan mereka berasal dari Arab yaitu kawasan Teluk Persia, dan menganut Mazhab Syafi’i.16 Pada perkembangan selanjutnya, ketika para penyebar Islam sampai ke Pulau Jawa
mereka mendapat respon yang cukup baik. Sehingga pada
dekade
ini
kemajuan agama Islam cukup signifikan. Keberhasilan ini tidak lepas dari perjuangan para Wali Songo yang mampu merumuskan metode yang tepat dalam berdakwah, mengingat pada saat itu sosio-kultural masyarakat Jawa dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan animisme-dinamisme, hinduisme, budiisme.
17
Tokoh
yang dianggap mampu memadukan antara ajaran Islam dan tradisi Jawa adalah Sunan Kalijaga,18 mitos-mitos yang menggambarkan konversi Sunan Kalijaga dan pencapaian pengetahuan mistiknya mengungkapkan bahwa santri yang ideal adalah orang yang melakukan kesalihan paripurna
yang berpusat pada syari’at Islam
dengan praktek mistik. Hal ini dapat dilihat pada fenomena kepemimpinan di pesantren (kiai dan ulama) yang dibangun atas dasar relasi sosial antara santri dan kiai, berlandaskan kepercayaan dan mengharapkan barakah yang didasarkan pada doktrin emanasi kaum sufi.19
16
Mark R. Woodward, Islam Jawa (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 84 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS,1994), h. 3 18 Selain memadukan Sunan Kalijaga dianggap sebagai pencipta kesenian Jawa yang mengandung unsur-unsur syiar agama Islam, antara lain: menciptakan baju taqwa, tembang dandang gula, seni ukir motif floral, menciptakan bedhuk, mencanangkan upacara grebek maulud, menciptakan wayang kulit sebagai media dakwah, lihat, Abu Khalid MA, Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, (Surabaya: Karya Ilmu, t.th), h. 84-86 19 Abdurrahman Wahid, Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan, dalam Manfred Oepen, dan Wolfgang K. (ed), Dinamika Pesantren, (Jakarta: P3M, 1988) h. 1 17
77
Maka, akar historis-kultural pesantren berbanding lurus dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia khususnya Jawa yang bercorak mistis dan sufistik. Dalam pergumulannya, pesantren banyak menyerap budaya masyarakat Jawa pedesaan yang pada saat itu cenderung statis dan sinkretis. Oleh karena itulah, di samping karena basis pesantren adalah masyarakat pinggiran yang berada di desadesa, pesantren sering disebut sebagai masyarakat atau Islam tradisional.20 Oleh sebab itu pulalah pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dianggap produk budaya Indonesia yang indigenous. Tradisi Jawa ini berkelindang dengan corak tasawuf yang kental dengan proses awal Islamisasi yang merupakan cikal bakal tradisi pesantren. Dengan demikian menjadi suatu kewajaran apabila muncul anggapan bahwa secara historis pesantren adalah hasil rekayasa umat Islam yang mengembangkan dari sistem agama Jawa (religion of Java).21 Di pesantren-pesantren tempo dulu (salafiyah), kegiatan belajar-mengajar berlangsung tanpa penjenjangan kelas atau kurikulum yang ketat, dan biasanya hanya ada pemisahan tempat duduk antara santri laki-laki dengan santri perempuan. Tidak hanya itu terdapat pula pesantren yang memisahkan santri putra dengan santri putri pada seluruh kegiatan pembelajaran.
Bahkan di pesantren-pesantren yang
benar-benar salafi, kerap ditemukan adanya sistem pemisahan waktu belajar antara 20
M. Affan Hasyim, Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta: Qirtas, 2003), cet. I,
h. 77 21
Menurut Manfred Ziemek, pesantren merupakan hasil perkembangan secara pararel dari lembaga pendidikan pra-Islam yang telah melembaga berabad-abad lamanya. Bahkan menurut Nurcholish Madjid, pesantren mempunyai hubungan historis dengan lembaga-lembaga pra Islam. Lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada masa itu. Senada dengan Cak Nur, Denys Lombard menyatakan bahwa pesantren mempunyai hubungan dengan lembaga keagamaan pra-Islam karena terdapat kesamaan di antara keduanya. Argumentasi Lombard begini: Pertama, tempat pesantren jauh dari keramaian, seperti halnya pertapaan bagi ‘resi untuk menyepi’, santri pesantren juga memerlukan ketenangan dan keheningan untuk menyepi dan bersemedi dengan tenteram. Pesantren seringkali dirintis oleh kiai yang menjauhi daerah-daerah hunian untuk menemukan tanah kosong yang masih bebas dan cocok untuk digarap. Seperti halnya rohaniawan abad ke-14 M, seorang kiai membuka hutan di perbatasan dunia yang sudah dihuni, mengislamkan para kafir daerah sekeliling, dan mengelola tempat yang baru dibabad. Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan sosial, (terj) M. Butche B. Sunjono, (Jakarta: P3M, 1986), h. 2
78
santri laki-laki dengan santri perempuan, misalnya santri laki-laki masuk pagi dan santri perempuan masuk siang ataupun sebaliknya.22 Pondok pesantren diperkirakan mengalami pertumbuhan pesat sebagai lembaga pendidikan Islam pada abad ke-19. perkiraan ini didukung oleh dua informasi berikut ini: Pertama, inspeksi pendidikan untuk pribumi yang dilakukan oleh pemerintahan Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1937 menyebutkan jumlah pesantren yang begitu besar, yaitu berkisar pada angka sampai dua puluh lima ribu buah pondok pesantren dengan jumlah santri berkisar antara tiga ratus ribu orang santri.23 Melihat besarnya jumlah pondok pesantren tersebut nampaknya pendataan yang dilakukan mencakup semua tempat pembelajaran agama Islam baik itu pondok pesantren, musholla, madrasah dan lain sebagainya. Akan tetapi terlepas dari akurasi angka tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu pesantren telah terkonsolidasi sebagai lembaga pendidikan Islam. Kedua, catatan perjalanan Snouck Hurgronje pada abad ke-19 di beberapa wilayah Indonesia. Catatan itu mengkonfirmasi adanya sejumlah pesantren yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Snouck Hurgronje antara lain mengunjungi Garut di Jawa Barat dan mencatat Pondok Pesantren Caringin yang diasuh oleh KH. Muhammad Rafi’i, Pondok Pesantren Sukaregang dipimpin Kyai Adrangi, dan Pondok Pesantren Kiara Koneng dibawah pimpinan KH. Mu’allim. Daerah lain di Jawa Barat adalah Cianjur, Bandung, Bogor, Cirebon, dan beberapa daerah lain di Indonesia. Catatan perjalanan ini juga merekam pesantren di berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam temuannya tersebut pada kenyataannya bahwa sebagian pimpinan pesantren
22
Amin Haedari dan M. Ishom El-Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyyah, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), h. 4 23 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 161
79
pernah mengenyam pendidikan agama Islam di berbagai wilayah di Timur Tengah terutama di Mekkah. 24 Mekkah dan Madinah penting dipertimbangkan dalam melihat pertumbuhan pesantren di Indonesia. Keduanya –disamping Mesir- sebagai pusat pembelajaran Islam merupakan jaringan Internasional Islam Indonesia (Nusantara) yang sudah terbentuk sejak abad ke-17.25 Melalui jaringan tersebut tradisi intelektual Islam yang berkembang di pesantren terintegrasi dengan pusat-pusat keilmuan Islam. Dalam konteks itu, haji dan tradisi talab al-‘ilm (belajar) ke Timur Tengah merupakan dua buah faktor yang ikut memperkuat terbentuknya jaringan intelektual tersebut. Bertambahnya jumlah jamaah haji akibat perbaikan sistem transportasi laut dan pembukaan terusan Suez pada 1869 menjadikan Mekah sebagai jantung dinamika Islam di Melayu-Nusantara abad ke-19.26 Seperti disebutkan pada bagian terdahulu, para pelajar Melayu Indonesia di kota suci itu, yang disebut sebagai komunitas Jawi, telah terlibat dan berinteraksi dalam diskusi mengenai topik-topik yang berkenaan dengan perkembangan Islam di Melayu-Nusantara, termasuk lembaga pendidikan. Komunitas Jawi inilah yang kemudian menjadi aktor terkemuka dan menenentukan dalam perkembangan Islam Melayu-Indonesia. Dalam konteks perkembangan pesantren tokoh tokoh seperti Syekh Nawawi Al-Bantani (wafat 1897), Syekh Mahfud al-Tirmisy (wafat 1919), Kyai Kholil Bangkalan Madura (wafat 1924), Kyai Asnawi Kudus (wafat 1959), dan KH. Hasyim As’ari (wafat 1947)27 merupakan para arsitek pesantren Indonesia. 24
C. Snouck Hurgronje, Travel Notes in West and Central Java 1889-1991 (Leiden: University Library, t.th). Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Abad ke-20, Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007, disertasi tidak diterbitkan), h. 75 25 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1997), h. 37 26 Azra, Jaringan Ulama, h. 39 27 Sejak dari pada zaman mereka inilah inklusifitas dalam beragama dibangun, sehingga menjadi suatu kewaajaran jika para penerus beliau/ kalangan ulama’ Nahdliyyin lebih bersikap inklusif dari pada tokoh-tokoh di luar NU. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari tokoh-tokoh NU seperti Abdurrahman Wahid, Masdar Farid Mas’udi, Said Aqil Siradj, dan lain sebagainya. Meskipun
80
Melalui komunitas Jawi tersebut tradisi pembelajaran Islam di pesantren, dan Islam di Melayu Indonesia secara umum, semakin terintegrasi ke dalam perkembangtan Islam yang berbasis di Timur Tengah. Salah
arus utama
satu indikator
pentingnya adalah semakin besarnya jumlah dan beragamnya kitab-kitab yang dipergunakan di pesantren di Indonesia, yang juga dipakai di berbagai lembaga pendidikan Islam di dunia muslim, khususnya mereka yang berafiliasi dengan mazhab Syafi’i.28 Di antara elemen-elemen sebuah pondok pesantren, asrama (funduq), masjid, pengajaran kitab-kitab klasikal, santri, dan kyai, sebagaimana yang dipaparkan Zamakhsyari Dhofier29
kyai merupakan elemen terpenting. Kyai bukan hanya
pendiri pesantren, tetapi juga perumus materi-materi pembelajaran di dalamnya. Keahlian kyai dalam berbagai bidang keilmuan Islam tertentu, seperti hadits, bahasa Arab, dan tafsir pada umumnya menjadi ciri khas dari sebuah pondok pesantren. Lebih dari itu otoritas kyai tidak hanya dirasakan di dalam pesantren, tetapi juga di luar pesantren dan lingkungan masyarakat luas. Kyai tidak hanya pemimpin pesantren, tetapi juga guru dalam ilmu-ilmu keislaman dan tidak jarang juga merupakan guru tarekat. Peranan kyai sebagai guru tarekat ini menjadikan kyai dan pesantrennya memiliki jaringan yang sama luasnya dengan jaringan penyebaran tarekat tertentu. Besarnya jumlah santri biasanya juga bergantung kepada otoritas dan kebesaran nama serta kharisma kyai sebagai pimpinan pondok pesantren tersebut. Melihat peran-peran kyai pesantren, jelas bahwa pesantren merupakan fenomena pendidikan yang berbasis kepada kebudayaan pedesaan. Budaya pedesaan ini yang memberikan ciri khas hubungan antara kyai-santri. Kyai masih dipandang dalam kenyataannya mereka mengusung Islam tradisionalis. Floriberta Aning. S. 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, (Yogyakarta: Narasi, 2007), h. 81 28 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, h. 154 29 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi pesantren, h. 44
81
sebagai figur yang penuh kharisma, hubungan guru-murid didasarkan atas ketaatan, dan kyai senantiasa dijadikan referensi tunggal dalam melihat dan memecahkan masalah. Apabila dilihat secara demografis, kebanyakan pesantren di Indonesia memang berlokasi di wilayah pedesaan. 30 Sebagai
lembaga
pendidikan
yang
berbasis
agama
(religion-based
educational institution), pada mulanya pesantren merupakan pusat penggemblengan santri untuk mendalami ajaran dan penyiaran agama Islam. Namun dalam perkembangannya, lembaga pendidikan ini
semakin
memperlebar wilayah
garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan pemberian materi disiplin keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial).31 Karena keduanya merupakan potensi yang dapat dikembangkan oleh pesantren.
Pesantren yang dapat mengembangkan kedua potensi tersebut, yaitu
potensi pendidikan dan potensi kemasyarakatan, bisa diharapkan melahirkan ulama yang tidak saja luas wawasan pengetahuan dan cakrawala pemikirannya, dalam ilmu pengetahuan keagamaan, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan zamannya dalam rangka pemecahan persoalan umat.32 Maka tidaklah mengherankan apabila pada suatu pondok pesantren tertentu figur kyai menjadi cukup vital, tidak hanya sebagai tempat mencari pencerahan rohani berupa ilmu-ilmu agama, namun juga berbagai persoalan kemasyarakatan figurnya menjadi acuan. Ini dibuktikan dengan banyaknya figur kyai yang menjadi anggota legislatif baik di tingkat daerah (DPRD
30
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Abad ke-20, Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007, disertasi tidak diterbitkan), h. 127 31 Dalam konteks keberagamaan, Islam tentunya tidak hanya mengajarkan bagaimana beribadah menyembah Allah akan tetapi perlunya menjaga harmoni dengan sesamanya merupakan ajaran Islam yang meniscayakan pengamalan. Dalam level ibadah inilah, terbagi kepada ibadah yang mahdlah (terdapat aturan-aturan dari al-Qur’an maupun Hadits, seperti sholat, zakat haji, puasa dsb) dan ghairu mahdlah (yang berkaitan dengan mu’amalat sesama manusia), Ulil Absar Abdalla, “Islam Sosial” artikel, (http.Islam Liberal), tanggal 13 Mei 2008 32 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS , 2003), h. 351
82
tingkat I dan II) maupun pusat. Hal ini menjadi indikasi bahwa keberadaan figur kyai mampu berkiprah tidak hanya dalam bidang pendidikan. Oleh sebab itu
pesantren, kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang
berbasis keagamaan (religion-based curriculum) dan cenderung idealistis, fiqih oriented, tetapi sudah mulai menerapkan
kurikulum yang menyentuh persoalan
kekinian masyarakat (society-based curriculum). Di samping itu, munculnya diversifikasi literatur di pesantren semakin memperluas wawasan santri-santri yang ada di pesantren. Hal ini menandai era baru pesantren yang mulai terbuka. Dengan demikian
pesantren tidak bisa lagi dituding
semata-mata sebagai lembaga
keagamaan murni yang menutup mata terhadap realitas sosial, bahkan lebih dari itu ia telah memposisikan diri sebagai lembaga sosial yang hidup dan terus-menerus merespons segala persoalan masyarakat di sekelilingnya. 33 Pergeseran orientasi semacam ini tidak harus disikapi dengan anggapan akan memudarkan aura ataupun identitas pesantren dengan segala keunikannya, melainkan justru semakin mempertegas bahwa pesantren sejak berdirinya merupakan lembaga pendidikan yang lahir dan tumbuh besar di dalam dan dari masyarakat yang berorientasi pada masyarakat dan dikembangkan atas dasar swadaya masyarakat. Dalam perkembangannya pesantren memang
sudah seharusnya melakukan
reintegrasi kehidupan dalam pesantren dengan realitas di luarnya yang dalam masamasa sebelumnya dua ranah ini cukup mempunyai jarak, untuk tidak mengatakan berseberangan.
33
Ada satu hal yang menarik dari kehidupan santri, kemampuannya dalam mewarnai suatu kebudayaan di masyarakat umumnya setelah para santri ini keluar pesantren. Keberadaanya di pesantren terkadang malah kurang merefleksikan keberadaannya setelah keluar pesantren. Dalam kasus seperti ini kerap terjadi santri yang semasa belajar di pesantren tidak menonjol keilmuannya/ kurang terlihat pandai, akan tetapi setelah pulang dan membaur di masyarakat ternyata mampu berkiprah menyebarluaskan agamanya. Hal inilah yang dipercayai sebagai barakah dari guru/ kyai / irsyâdu ustadz turut menentukan, sebagaimana tertuang dalam kitab ta’lîm al-muta’allim. Syaikh Burhânuddîn az-Zarnŭdjî, ta’lîm al-muta’allim, (Semarang: Toha Putera, t.th), h. 5
83
Sementara tradisionalisme dalam dunia pesantren
merupakan fenomena
awal dari eksistensi pesantren itu sendiri, mengingat pesantren pada tahap-tahap awal merupakan proses tahapan dari pendidikan Islam tradisional.34
Sebagai sebuah
contoh kasus adalah pendirian Pondok Pesantren Nahdlotut Tholibin di Desa Gondang Rejo, Pekalongan Lampung Timur. Pada awalnya pesantren ini merupakan pengajian di kediaman Ustadz Purnomo Sidik yang terdiri dari seorang guru ngaji dan tujuh orang murid dengan pola pembelajaran yang sederhana. Seiring dengan perkembangan waktu jumlah santri makin banyak dan akhirnya masyarakat sekitar mendukung untuk didirikan sebuah institusi pondok pesantren. Faktor yang menunjang lahirnya pesantren tersebut juga tak lepas dari dakwah yang dilakukan oleh Kyai Purnomo melalui kegiatan-kegiatan tariqah bersama jamaah muslimin di lingkungan pesantren.35 Gambaran di atas nampaknya terjadi hampir di setiap pesantren yang berciri salafiyah/ tradisional. Untuk kasus yang sama terjadi juga di Pesantren Tri Bhakti Attaqwa, Raman Utara Lampung Timur, Pondok Pesantren Darul Hidayah, Uman Agung Seputih Mataram Lampung Tengah. Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an Matla’ul Huda, Ambarawa Pring Sewu, Kabupaten Tanggamus. Dan pesantrenpesantren lainnya di wilayah Lampung. Selain fenomena tradisional di atas muncul pula suatu institusi pesantren yang lahir dari keinginan seorang kyai pengasuh pesantren yang cukup kharismatik untuk melebarkan sayapnya membangun pesantren baru. Pesantren baru ini akan 34
Unsur-unsur tradisionalitas ini dapat dilihat dari sarana/ prasarana yang dipergunakan dalam mendidik santri di pesantren tersebut. Pada masa awal misalnya ketika Syeikh Maulana Malik Ibrahim mendirikan pesantren, maka hanya tersedia bangunan masjid untuk mengajarkan berbagai ilmu agama, demikian juga ketika Sunan Ampel (Raden Rahmat) mendirikan pesantren, jumlah santrinya hanya tiga orang saja yaitu: Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning. Kesederhanaan ini berlangsung hingga masa sekarang, yaitu kelahiran pesantren pada umumnya diawali dari sebuah pengajian kecil di sebuah desa yang kemudian berkembang menjadi sebuah institusi pesantren. Drs. Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1983), h. 25 35 Kyai Purnomo Sidik, Wawancara, tanggal 10 Juni 2008
84
mengadopsi secara total pesantren awal yang menjadi induknya dan akan terjadi jalinan silaturahmi yang baik antara pesantren induk dengan pesantren yang baru. Sehingga pada gilirannya pesantren baru tersebut akan cepat tumbuh besar dan terkenal karena kharisma dari kyai pertama yang cukup kuat sehingga pesantren tersebut bisa tetap eksis.36 Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan cara mengikutsertakan para santri yang sudah mempunyai keilmuan agama Islam yang cukup dan pengalaman bermasyarakat yang baik untuk disiapkan menjadi para ustadz di pesantren baru tersebut. 37 Untuk tipe pesantren di atas dapat dilihat di Pondok Pesantren Hidayatut Tullab di Way Jepara Lampung Timur, pesantren ini merupakan pesantren yang dibangun dari lahan yang awalnya tanah kosong dan berada di kawasan yang rawan perampokan. Berkat kharisma dari KH. Muhtar Sya’roni yang mengasuh Pondok Pesantren Miftahul Falah, Sumber Sari, Teluk
Dalem Mataram Baru Lampung
Timur pesantren yang dibangun di lahan tersebut perlahan-lahan menjadi besar. Dalam hal ini kuatnya pengaruh KH. Sya’roni menjadi salah satu faktor penting yang membuat Pondok Pesantren Hidayatut Tullab diterima di masyarakat sekitar pesantren baru tersebut. 38 36
Contoh nyata dari hal tersebut adalah pendirian Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa AlBahari yang terletak di desa Keramat Kelurahan Sidang Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. Pada awalnya di desa ini terdapat hutan “kayu gelam” yang berada di sekitar muara sungai Way Seputih yang berdekatan langsung dengan pantai Timur pulau Sumatera, kemudian diubah menjadi areal pertanian dan yang lebih dekat ke sungai dijadikan areal pertambakan ikan air tawar. Pertimbangan lahan yang mempunyai potensi ekonomi menjanjikan, beberapa alumni Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa Raman Utara Lampung Timur akhirnya ikut pula membuka lahan dan ada yang menetap di sana dan ada pula yang hanya menjadikannya umbulan (tinggal sementara di sekitar lahan ketika musim tanam saja). Akhirnya di kawasan tersebut didirikan Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa Al-Bahari pada tanggal 17 Januari 1995. Ky. Sholihin, Wawancara, tanggal 17 Februari 2008 37 Muhammad Fahimul Huda (Ketua Dewan Asatidz Pondok Pesantren Hidayatut Tullab, Lampung Timur), Wawancara, tanggal 7 April 2008 38 Sebenarnya pesantren tersebut merupakan upaya kerjasama dengan KH. Muntaha yang berasal dari Banyuwangi Jawa Timur. Karena beliau juga masih mempunyai ikatan persaudaraan yang dekat dengan KH. Muhtar Sya’roni, maka pesantren ini seolah-olah menjadi pesantren yang dikelola dengan kolektif, akan tetapi struktur kepengurusan dan pembagian job kerja masing-masing sudah
85
Hal yang sama terjadi pula di Pondok Pesantren Nurul Qodiri yang berada di desa Simpang Bandar Sakti, Kali Palis Lempuyang Bandar Kecamatan Way Pengubuan Kabupaten Lampung Tengah. Pesantren ini didirikan dengan bekal memboyong santri kelas III Aliyah dari Pondok Pesantren Darus Sa’adah Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah untuk bersama-sama mendirikan pondok pesantren baru di lahan yang pada awalnya kawasan untuk menanam singkong. Meski umur pesantren tersebut baru tiga tahun, namun perkembangannya cukup baik sehingga pada peringatan ulang tahun pesantren yang ketiga jumlah santri sudah mencapai 200 orang santri mukim dan sekitar seratus santri kalong (hanya mengaji di pondok, namun tidurnya di rumah masing-masing).39 Angka ini tentu saja cukup fantastis mengingat lokasi pesantren yang berada di pedesaan yang tidak terlalu padat penduduknya dan berdekatan dengan kawasan perkebunan nanas milik PT. Great Giant Pineapple Company.40 Di sisi lain Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an merupakan prototype dari pesantren yang berasal dari figur KH. Ali Qomaruddin, SQ, al-Hafiz yang pada awalnya membentuk pengajian Al-Qur’an di rumah beliau. Dengan berkembangnya waktu jumlah santri yang tertarik untuk mengikuti pengajian semakin banyak, sehingga pada perkembangan selanjutnya didirikanlah secara resmi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an hingga berkembang sampai saat ini. jelas. Upaya ini nampaknya mirip dengan awal mula kebangunan pesantren-pesantren modern yang biasanya dibangun secara kolektif dan masih mempunyai ikatan saudara. Ustadz Fahimul Huda (Ketua Pondok Pesantren Hidayatut Tullab), Wawancara, tanggal 12 Nopember 2007 39 Seksi Dokumentasi Panitia Ulang Tahun ketiga Pondok Pesantren Nurul Qodiri, (Way Pengubuan: PPNQ, 2008). h. 3 40 Di kawasan tersebut terdapat beberapa perusahaan perkebunan swasta misal PT. Umas Jaya Farm (nanas, kelapa sawit, bambu, dan mengkudu), PT. Gunung Madu (tebu), PT. Gula Putih Mataram (tebu), Sweet Indo Lampung (tebu), dan Indo Lampung Perkasa (tebu). Sehingga di kawasan perusahaan-perusahaan tersebut banyak terdapat housing/ bedeng tempat bermukimnya para karyawan tetap maupun harian/ temporal bersama sanak keluarganya. Dari sinilah akhirnya beberapa dari karyawan tersebut memilih Pondok Pesantren Nurul Qodiri untuk memondookan anak-anaknya. Ustadz Saiful Anwar (Ketua Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Nurul Qodiri, Wawancara tanggal 13 Mei 2008
86
B. Sejarah Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Pondok pesantren Roudlotul Qur’an merupakan lembaga pendidikan Islam yang pada awal mulanya didirikan oleh Drs. KH. Ali Komaruddin, SQ. al-Hafidh yang secara resmi dibuka pada tanggal 27 Juli 2001.41 Motivasi utama didirikannya pondok pesantren ini adalah sebagai respon atas kian langkanya ulama yang menguasai disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulǔm al-Qur’an) baik yang berkaitan langsung dengan tahfîz
al-Qur’an maupun keilmuan al-Qur’an yang lain.42
Mengingat penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, maka seharusnya ada sebagian muslim yang menjaga dan men-tadabburi Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam
di dunia ini. Karena sesungguhnya al-Qur’an itu
sebagai
petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.43 Momentum awal yang mengagumkan adalah di tahun pertama pendiriannya pondok pesantren telah berhasil mewisuda empat orang hâfiz
disusul dengan
diwisudanya tujuh orang hâfiz pada acara wisuda kedua.44 Sebelum didirikan Lembaga Pendidikan Roudlotul Qur’an ini sebenarnya di desa tersebut telah ada lembaga pendidikan yang lain yakni Pondok Pesantren Darul A’mal. Bahkan Pendiri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dahulunya merupakan 41
Dokumentasi Yayasan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, h. 3 Dari pendataan yang dilakukan pihak Kolonial Belanda dalam laporan statistik tahun 1885 tersebut dapat ditemukan bahwa bentuk dan tingkatan dalam sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa, ternyata 4/5 dari jumlah lembaga tersebut adalah lembaga pengajian yang mengajarkan pembacaan al-Qur'an, dasar-dasar bahasa Arab, kitab-kitab pengetahuan agama tingkat dasar sampai tinggi yang tergolong sebagai pesantren hal tersebut merupakan kesimpulan yang diberikan oleh LWC van Den Berg. Hanun Asrahah, Pesantren di Jawa: Asal-usul, Perkembangan, dan Pelembagaan (Jakarta: Departemen Agama RI-INCIS, 2002), h. 7 43 QS. Al-Baqarah: 2 44 Pada awal pendiriannya, pondok pesantren hanya mengelola pendidikan yang masih sederhana baik perangkat kasarnya (hardware) maupun perangkat lunaknya (software). Program tahfîz al-Qur’an merupakan program inti yang wajib diikuti oleh seluruh santri, diantaranya dimulai dengan khatam al-Qur’an dengan lancar, fasih, dan sesuai dengan hukum tajwîd bi nazar (membaca al-Qur’an)44 kegiatan pembelajaran semuanya belum menggunakan sistem klasikal, semua lini pendidikan hanya menggunakan sistem sorogan dan kyai merupakan figur sentral terhadap apapun yang berkenaan dengan pembelajaran dan keadaan lingkungan asrama/ pondok. KH. Ali Komaruddin, Wawancara tanggal 23 Agustus 2006 42
87
tenaga pengajar/ ustadz di Pondok Darul A’mal. Sedangkan Pondok Pesantren Darul A’mal sendiri corak pendidikan yang dilakukan bersifat semi formal artinya mengadakan pendidikan tradisional dan juga formal yang menginduk ke Departemen Agama, yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA).45 Berbeda dengan awal pendirian Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an yang memilih konsentrasi terhadap al-Qur’an dan segala keilmuan yang mempunyai keterkaitan dengannya. Dalam hal ini
Pondok Pesantren lebih mengedepankan
pendidikan seni baca al-Qur’an (Tilâwah al-Qur’an), hafalan al-Qur’an (tahfîz al Qur’an). Ini dilandasi karena pendirinya (Drs. KH. Ali Qomaruddin) merupakan alumni Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta dan semasa beliau menjadi Mahasiswa pernah menjadi duta Negara Indonesia pada perlombaan Tilâwah alQur’an Tingkat Internasional di Mesir. Pada perkembangan selanjutnya, santri yang menginginkan spesialisasi mempelajari ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulǔm al-Qur’an) semakin bertambah, meskipun perkembangan jumlah santrinya relatif lamban,46 hal ini disebabkan umumnya yang mondok hanya yang ingin menghafalkan al-Qur’an dan mempelajari seni baca alQur’an. Dan dipersempit lagi umumnya mereka yang aktif pada perlombaan Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ)47 belum mengacu secara umum ke halayak 45
Dokumentasi Lembaga Pendidikan di Kecamatan Metro Barat, Arsip Kecamatan Metro
Barat. 46
Dari tahun pertama pendirian (2001) sampai hingga tahun 2004 jumlah santri hanya berkisar 17 orang santri mukim. Karena program belajar yang masih sederhana, maka tak jarang dari jumlah tersebut santri tidak selalu aktif berada di asrama. Ahmad Sonhaji, (Santri Tahfîzul Qur an), Wawancara. tanggal 12 Maret 2008 47 Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) merupakan agenda kegiatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an (LPTQ) yang berada di bawah naungan Departemen Agama RI. Kegiatan ini bertujuan mengembangkan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup umat Islam. Di samping itu juga sebagai ajang untuk menyeleksi para qâri'/ qâri'ah, hâfiz/ah untukj dikirim pada even-even internasional. Seperti pada pada 23 Oktober 2007 Provinsi Jawa Timur akan mengirimkan pesertanya untuk mengikuti Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) Tingkat Internasional yang berlangsung di Saudi Arabia. Surabaya (ANTARA News, tanggal 11 Agustus 2007) Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an ini secara resmi dibentuk pada tahun 1977 dan selama ini kiprahnya dalam memajukan umat Islam di bidang tulis-baca Al-Qur'an sudah cukup signifikan.bahkan dewasa
88
ramai. Keadaan demikian berdampak pada
kurang adanya optimalisasi peran
pesantren bagi umat Islam, mengingat kajian yang dibutuhkan umat Islam saat ini tidak hanya berkutat pada hal-hal tersebut. Peran optimal pesantren yang mempunyai spesialisasi dengan Al-Qur’an manakala Al-Qur’an yang turun dari langit tersebut mampu diaplikasikan dalam kehidupan. Tidak hanya terlepas pada upaya menjadikan Al-Qur’an sebagai barang yang sakral, namun kering dari makna yang mampu mengilfitrasi jiwa umat Islam.48 Al-Qur’an yang turun dari langit harus diupayakan menjadi spirit dalam peri hidup umat manusia, untuk itu perlu usaha nyata agar dapat diterjemahkan tidak hanya dalam tataran linguistik akan tetapi haruslah diejawantahkan dalam setiap sisi kehidupan, meminjam istilah Quraisy Shihab49 untuk dapat mengamalkan al-Qur’an maka harus dibumikan. Jika demikian halnya, maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh pihak pesantren Roudlotul Qur’an adalah membuat suatu sistem pembelajaran yang diharapkan bisa menjadi jembatan antara Al-Qur’an di satu sisi dan pengamalan kaum muslimin di lain sisi. Rumusan tersebut haruslah dapat pula memuat ilmu-ilmu penunjang lain yang berasal dari Hadits Nabi Muhammad SAW. maupun yang bersifat umum demi terciptanya keilmuan santri yang paripurna. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi dikotomi yang tajam antara ilmu agama dan ilmu umum. Mengingat pada umumnya pesantren-pesantren kurang memperhatikan ilmu umum karena dipandang sebagai ilmu dunia yang bersifat sementara. Padahal ini mulai berkembang LPTQ di tingkat Perguruan Tinggi Agama Islam (WWW. Waspada.on-line, Jum'at 9 Mei 2008) 48 Kenyataan bahwa Al-Qur’an menjadi sesuatu yang hanya dibaca ataupun dihafalkan saja dengan tidak ada upaya untuk lebih memahami makna kandungannya hingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan merupakan salah satu tujuan dari Al-Qur’an itu sendiri yang dalam Surat al-Baqarah disebutkan sebagai hudan lil-muttaqîn. Konteks ini rasanya akan sulit terwujud manakala Al-Qur’an hanya dianggap sebagai sesuatu yang sakral, tanpa ada upaya untuk membongkar untuk dapat menggali isi kandungannya yang maha luas. Membaca Al-Qur’an memang bernilai ibadah yang besar. Namun besarnya nilai pahala tersebut hendaknya tidak serta-merta menghentikan dari upaya pengakajian lebih lanjut. Manna’ al-Qattân, Mabâhits fî ‘ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 21 49 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), h. iii
89
pandangan tersebut untuk konteks zaman sekarang yang telah mengglobal ini perlu dikaji lagi.50 Pada perkembangan selanjutnya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berhasil mendapat hati di kalangan umat Islam, hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat yang begitu tinggi untuk memondokkan anaknya di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Terbukti dengan semakin menaiknya grafik jumlah santri, terutama setelah sistem mu’allimîn diberlakukan. Secara umum santri yang belajar di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis; pertama, santri yang menghafalkan Al-Qur’an saja dan tidak terikat dengan institusi pendidikan manapun.51 Kedua, santri yang menghafalkan Al-Qur’an sambil melanjutkan pendidikan pada institusi pendidikan di luar Pondok Pesantren. Ketiga, santri yang belajar pada SMP atau SMA Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyah, mereka ini tidak menghafalkan al-Qur’an. Ketiga jenis santri tersebut tinggal di asrama Pondok Pesantren. Keempat, santri-santri Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang tidak bermukim di asrama pesantren. Akan tetapi dari keempat jenis tersebut, yang paling mengalami kenaikan yang cukup signifikan adalah santri yang mengikuti program pendidikan Tabiyatul Mu’allimin. Pada tahun perdana pembukaan SMP TMI (2004) terjaring satu kelas, kurang lebih 20 siswa/siswi. Maka pada tahun kedua terjaring dua kelas, kurang lebih 60 siswa/ siswi. Jadi kenaikannya berkisar antara 300%. Dengan demikian dapat disimpulkan sementara bahwa sistem ini mendapat respon positif dari umat
50
A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, (Jakarta: Diva, 2001), h. 13 Santri tahfîz ini merupakan cikal-bakal dari santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an yang ada, akan tetapi dengan seiringnya waktu jumlahnya paling sedikit diantara santri lain. Bukan karena mengalami pengurangan jumlah santri, akan tetapi lebih dikarenakan lebih banyak santri yang memilih masuk sekolah formal daripada mengikuti program tahfîz ini. Dan pada umumnya yang mengikuti adalah mereka yang sudah tamat jenjang SLTA (Madrasah Aliyah maupun Sekolah Menengah Umum) ataupun dalam pendidikan diniyah sudah tamat tingkat Wustho, KH. Drs Ali Qomaruddin, al-Hâfiz, Wawancara, tanggal 7 Januari 2008 51
90
Islam. Hal ini dimungkinkan karena adanya upaya modernisasi pendidikan di Pondok pesantren Roudlotul Qur’an. Mengenai proses perkembangan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, yang selama ini melakukan pembaharuan menuju modernisasi pendidikan, baik dari segi organisasi kelembagaan, metode pembelajaran dan kurikulumnya. Tentu saja hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama dan mengembangkan ajaran Islam yang lebih universal dan akomodatif.52
C. Visi dan Misi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 1. Visi Visi merupakan mimpi besar yang ingin dicapai pada suatu program atau kegiatan. Dalam hal ini Visi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah : a. Menjaga kelestarian al-Qur’an yang sarat dengan pengetahuan (science).
53
berbagai disiplin ilmu
Hal ini dimaksudkan agar al-Qur’an tetap terpelihara
keasliannya di samping berusaha menggali kandungannya untuk mendapatkan rujukan yang qath’i dari apa yang dipesankan al-Qur’an. Pemeliharaan alQur’an ini dimaksudkan sebagai pengamalan surat al-Hijr ayat 9.54
b. Menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dan pandangan hidup dalam kehidupan sehari-hari.55 Mengupayakan pengamalan isi kandungan al-Qur’an dapat diserap dalam semua sisi kehidupan, sehingga al-Qur’an tidak hanya menjadi suatu bacaan sakral yang nisbi dari proses al-Qur’an yang membumi. Al-Qur’an sudah 52
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1945, (Jakarta : LP3ES, 1980), h.
322 53
Akta Notaris Yayasan Roudlotul Qur’an. h. 2-3
54
óäæõÙöÝ Ç?Íóá?åóáÇ?äöÅ?æ ?Ñßú ?Ð áÇ Ç?äúá?Ò?ä?ä?Íä? Ç?äöÅ
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya_. (Q.S.al-Hijr : 9) 55 Akta Notaris Yayasan Roudlotul Qur’an. h. 2-3
91
selayaknya dipandang sebagai sumber ilmiah yang menjadi motivator bagi kita untuk membedah isi kandungannya dan diaplikasikan dalam kehidupan. Visi ini merupakan pengejawantahan dari Surat Al-Isra’ ayat 9.
2. Misi Misi merupakan kelanjutan daripada misi, artinya dalam mengupayakan tercapainya visi tersebut di atas, maka ditentukanlah misinya, yang adalah : a. Mencetak dan melahirkan kader-kader generasi penerus yang hafal al-Qur’an yang mempunyai kulitas tinggi. b. Membina qâri’/ qâri’ah, tahfîz/ tahfîzah yang mempunyai kualifikasi dan memiliki wawasan qur’ani yang luas. c. Mencetak lulusan santri dan tenaga pendidik yang handal, berwawasan dan cerdas.56 Visi yang digagas oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an nampaknya masih
berada dalam posisi yang idealistis, sehingga pada tataran aksi
yang
diaplikasikan pada misi pesantren, kiranya menjadi suatu angan-angan yang tidak mudah diwujudkan. Misal, pada visi pertama berupaya melestarikan Al-Qur’an_ ini menjadi suatu istilah yang terlalu luas untuk dijangkau, apakah pelestarian itu dimaksudkan untuk memproduksi hafiz yang dengan hafalan tersebut Al-Qur’an dimaksudkan akan tetap lestari, atau ada upaya-upaya lain, seperti berupaya memahaminya dengan mengajarkan kitab-kitab tafsir? Sementara apabila santrisantri yang berkonsentrasi pada penghafalan Al-Qur’an hanya mendapatkan pengajian Al-Qur’an dengan metode sima’i (santri menghafalkan Al-Qur’an dan memperdengarkan bacaannya kepada guru) dan metode talaqqy (santri berhadapan langsung dengan guru). 56
Bagi santri putra waktunya
sehabis sholat subuh dan
Akta Notaris Yayasan Roudlotul Qur’an, h. 3
92
sehabis sholat maghrib, sementara untuk santri putri waktunya sehabis subuh dan sehabis sholat ‘isya.57 Untuk mencapai tingkat ideal yang dicita-citakan tersebut, kiranya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
mempunyai pekerjaan rumah yang berat.
Sebut saja misi pada poin pertama (a), kendati pada dekade awal pesantren telah berhasil melaksanakan beberapa kali upacara wisuda, akan tetapi bila dilihat dari jumlah keseluruhan santri yang ada pada tahun ajaran 2006/ 2007, dari 294 santri, hanya 34 santri yang mengambil spesialisasi tahfîz al-Qur’an, atau hanya sekitar 11,5 % santri dari jumlah keseluruhan. Dengan demikian pada gilirannya alumni yang hafal al-Qur’an
berada pada level minoritas.
Pesantren Roudlotul Qur’an
Dengan demikian Pondok
yang pada awal pendiriannya merupakan pesantren
tahfîz al-Qur’an58 akan kehilangan identitasnya, dan dikhawatirkan hal ini akan memudarkan spirit yang termaktub pada visi di atas. Tabel 2 Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berdasarkan Jenjang Pendidikan TA. 2006/ 2007 No 1 2 3 4 5
Jenjang Pendidikan Laki-laki Perempuan TPA 21 29 SMP TMI 76 82 SMA TMI 9 35 Tahfidhul Qur’an 15 19 Lain-lain* 3 5 JUMLAH 124 170 Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 2007
Jumlah 50 158 44 34 8 294
57
Ahmad Ansori (Pengurus Santri Putra), Wawancara , 23 Juni 2006 Perlu dicatat di sini, bahwa dalam sosialisasi awal kebangunan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dalam nama resminya selalu menyertakan tahfîz al-Qur’an, baik dalam kop surat, papan nama, dan penulisan-penulisan resmi lainnya, kendati dalam akta notaris pendirian yayasan hanya mencantumkan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an tahfîz al-Qur’an. (Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an). 58
93
Di sisi lain, visi dan misi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an apabila dihadapkan dengan modernisasi, pada level tertentu berada pada posisi yang selaras, ini setidaknya terlihat dari semangat yang terkandung dalam visi maupun misi yang cukup terbuka dan adaptatif, namun dalam level yang lain, nampaknya terdapat ambivalensi terutama pada ketiga poin misi pondok pesantren yang seakan hanya mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu mempunyai lulusan hafîz/ hafîzah , kemudian yang kedua qari’/ qari’ah dan yang ketiga guru. Dari sini tentu saja apabila modernisasi bergerak sejajar dengan globalisasi, tentu saja akan
menjadi
penghambat modernisasi, dimana modernisasi menuntut adanya profesionalitas dalam berbagai bidang,59 dan ini tidak akan cukup hanya mengandalkan ketiga varian lulusan tersebut. D. Keadaan Santri, Pengurus, dan Tenaga Pengajar 1. Santri Secara umum santri yang belajar di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian. Pembagian tersebut mengacu pada pola pendidikan yang diikuti santri dimaksud dan tersedia di dalam Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an maupun lembaga / institusi pendidikan lainnya yang ada di lingkungan sekitar dan Kota Metro pada umumnya. Berdasar pada kondisi faktual tersebut, maka dapatlah dikategorisasikan menjadi: 1. Santri yang belajar dan tinggal di pondok mengikuti program pendidikan yang diadakan oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, mereka umumnya yang mengikuti jenjang pendidikan pada tingkat SLTP. dan SLTA. Ini merupakan santri yang mendominasi dari keseluruhan santri. Dan pada umumnya mereka yang tertarik mengikuti pendidikan di tarbiyat al-mu’allimîn wa al-mu’allimât 59
H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 16
94
al-islâmiyyah. Dan juga santri yang secara intens mengkhususkan diri bergelut dalam program tahfîz al-Qur’an, dalam kuantitasnya santri ini menduduki porsi berkisar 70 – 72% (lihat tabel 2) dari total keseluruhan santri yang ada.60 2. Santri yang tinggal di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, akan tetapi juga mengikuti pendidikan di luar pondok, dalam kelompok ini terdiri atas santri yang menginginkan jalur pendidikan lain yang tidak/ belum ada di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, umumnya santri yang yang berada pada jenjang pendidikan Perguruan Tinggi dan Sekolah Dasar (SD), ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan santri, karena biasanya santri yang sudah mengambil program pendidikan di perguruan tinggi hanya mereka yang sudah mengajar (ustaz). 3. Santri yang tidak tinggal di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an akan tetapi mereka mengikuti program pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok, umumnya adalah mereka yang berada di lingkungan desa Mulyojati dan pendidikan yang diikuti adalah Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA).
61
Untuk
santri yang bukan TPA hampir bisa dikatakan tidak ada, karena kendatipun ada biasanya mereka hanya pada waktu-waktu tertentu dan tidak secara reguler, misalnya karena akan diadakan even Musabaqoh Tilawatil Qur’an, sehingga ada beberapa orang/ santri yang belajar tilawah/ hafiz karean akan mengikuti even MTQ tersebut. Mengacu pada ketiga kelompok santri tersebut, secara lebih detail dapat dilihat dalam tabel berikut :
60 61
Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 2008) Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an TA. 2006-2007
95
Tabel 3 Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berdasarkan pendidikan yang diikuti TA. 2006/ 2007 No Santri Laki-laki Perempuan 1 Tinggal di asrama dan 100 136 mengikuti pendidikan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur'an 2 Tinggal asrama tetapi 3 5 mengikuti pendidikan di luar Pondok Pesantren Roudlotul Qur'an 3 Santri yang tidak tinggal 21 29 di Pondok tetapi mengikuti pendidikan di pesantren Roudlotul Qur'an JUMLAH 124 170 Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 2007
Jumlah 246
8
50
294
Tabel 4 Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur'an (tahun 2001-2008) Santri
Tahun 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Putra
8
9
11
21
56
106
176
233
Putri
7
10
16
27
54
140
187
239
19
27
48
110
246
363
472
Jumlah 15
Sumber : Sekretaris Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Dari
tabel tersebut dapat dipahami bahwa Yayasan Pendidikan Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an mempunyai santri dengan jumlah seluruhnya 294 orang.
96
Hal ini menunjukkan
kenaikan jumlah yang cukup dinamis bila dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Dan setelah diteliti dengan mendalam dari berbagai sumber ternyata latar belakang keluarga (orang tua) santri yang mempunyai animo tinggi terhadap Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berasal dari latar belakang yang cukup heterogen, kendati latar belakang ekonomi menengah ke bawah mendominasi, dan pekerjaan orang tua sebagai petani menduduki tempat yang paling tinggi. Ditambah lagi secara umum mereka adalah yang secara kultural 62 adalah kaum nahdliyyin yang kental dengan Islam yang tradisionalis. Hal ini apabila penulis kaitkan dengan pola-pola kemodernan, maka akan timbul suatu pertanyaan apakah mereka yang mengirimkan anaknya ke Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an untuk belajar adalah karena semata-mata aspek-aspek kemodernan menjadi alasan utama? Atau karena figur sentral kyai sebagai top leader begitu dominan bagi ketertarikan orang tua santri terhadap pesantren ini? Untuk itu perlu kiranya penulis memaparkan latar belakang sosial ekonomi wali santri untuk mendapatkan gambaran apakah wali santri mempunyai kecenderungan kepada pendidikan Islam yang modern, mengingat dalam lapisan masyarakat tertentu modern masih dianggap sebagai suatu ancaman bagi keberlangsungan budayanya. Sehingga mereka pada umumnya sedapat mungkin berusaha menghindarkan diri atau melakukan filterisasi yang cukup ketat. Hal ini setidaknya dapat dilihat dalam tabel berikut:
62
Untuk kasus di Lampung pada umumnya, mereka yang secara faktual adalah kalangan pendatang/ transmigran dan tidak secara tegas menolak tradisi-tradisi keagamaan yang dilegalkan dan mentradisi di kalangan NU maka secara kultural ‘dianggap’ sebagai orang NU, meski secara organisasi tidak jelas kapan ia resmi menjadi anggota atau apakah ia benar-benar memahami apa itu NU. Hal ini seperti dikatakan KH. Drs. Khoiruddin Tahmid (Mantan Ketua Tanfidiyah NU Wilayah Lampung) yang dalam satu kesempatan di suatu Seminar yang diadakan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) JURAI SIWO Metro mengklaim keanggotaan warga NU dapat dilihat dari ketidakpunyaannya Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah, Salafi, atau Hizbut Tahrir. Hal ini kendati tidak dapat dijadikan argumen yang kuat, namun dapat dijadikan suatu gambaran bahwa kebanyakan warga NU yang ada merupakan mereka yang secara kultur sama dengan kultur NU. KH. Khoiruddin Tahmid, Nahdlatul Ulama’ dan Dakwah Kultural, Makalah Seminar tanggal 13 Juli 2007
97
Tabel 5 Latar Belakang Ekonomi Wali Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an No Latar Belakang Ekonomi Kuantitas 1 PNS 10% 2 Pedagang/ pengusaha 9% 3 Wira usaha 12% 4 Petani 61 % 5 Karyawan swasta 8% Sumber: Data base Ahmad Komaruddin (Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum). Dari masyarakat yang sebagian besar adalah petani dan tinggal di pedesaan, tentu saja mereka adalah golongan yang masih bisa dikatakan marginal dengan tingkat ekonomi yang berada pada level bawah dan tingkat penyerapan teknologi dan informasi yang masih rendah. Dari kenyataan di lapangan sebenarnya sebagian besar para wali santri ketika memilih Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah karena semangat modernisasinya, yang dengan pola kemodernan ini diharapkan anaknya akan mendapat keilmuan yang lebih daripada yang lain. Akan tetapi di sisi lain mereka juga mempunyai kekhawatiran terhadap berkurangnya substansi materi keagamaan yang disampaikan, mengingat dari sejumlah materi pelajaran yang disampaikan porsi pelajaran agama menjadi menyempit waktunya karena banyaknya kegiatan ekstrakurikuler.63 Banyaknya waktu yang tersedia untuk memberikan materi agama sebelum dilakukan modernisasi dianggap lebih berpotensi bagi santri untuk mendalami ilmu agama Islam dibandingkan dengan
ketika materi keagamaan
disampaikan bersamaan dengan materi umum, sehingga beban pelajaran yang harus dipelajari santri menjadi banyak. Keadaan ini pada gilirannya akan menyulitkan santri yang tingkat kecerdasannya rendah dan boleh jadi akan mengaburkan hasil
63
Subandi, (Wali Santri Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 3 Mei 2008
98
akhir santri, sehingga kekhawatiran yang paling ditakuti adalah ilmu agama kurang menguasai dan ilmu umum juga kurang berhasil diperoleh.64 Kekhawatiran tersebut cukup beralasan, mengingat pesantren yang selama ini ada dalam pikiran mereka adalah pesantren salaf yang memberikan porsi lebih besar atau keseluruhan materi-materi pelajaran agama. Dan di saat yang bersamaan mereka dihadapkan pada keinginan generasi penerusnya untuk bisa menguasai ilmu pengetahuan umum dan tidak juga buta terhadap ilmu-ilmu agama. Hal yang berbeda dapat ditemukan pada orang tua yang berlatar belakang Pegawai Negeri Sipil yang secara umum mendukung modernisasi pendidikan yang dilakukan dengan segala konsekuensinya. Ini lebih disebabkan karena mereka pada awalnya lebih memilih pendidikan umum (SMP/ SMA) untuk membekali anakanaknya dan menginginkan tambahan pelajaran agama meski dalam porsi lebih sedikit. Dan kesempatan bagi anaknya untuk memperoleh pendidikan umum yang nantinya dapat dipergunakan untuk mencari kerja/ menjadi PNS lebih berpeluang. Oleh sebab itu SMP/ SMA Tarbiyat al-Mu’allimîn wa al-Mu’allimât Al-Islâmiyyah (TMI) dianggap sebagai pilihan yang tepat. Kemudian bila ditelusuri latar belakang orang tua dari sisi kesenderungannya pada golongan-golongan keagamaan, maka dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 6 Kecenderungan Wali Santri pada Organisasi Keagamaan No Kecenderungan Pada Golongan 1 Nahdlatul Ulama’ 2 Muhammadiyah 3 Lain-lain65
Kuantitas 85 % 12 % 13 %
64
Memang diakui kendati sistem TMI yang dijalankan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an mengadopsi sistem TMI ala Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan Madura, akan tetapi untuk hal-hal tertentu mempunyai perbedaan. Diantaranya semua materi umum yang diajarkan di SMP juga diajarkan semua di SMP TMI.. Roudlotul Qur’an. Saiful Hadi, LC, (Direktur TMI Roudlotul Qur’an)
99
Dengan mempertimbangkan latar belakang
ini,
setidaknya akan dapat
dilihat keberpihakannya pada modernisasi. Seperti diketahui bahwa modernisasi pendidikan Islam lebih mendapat respon yang baik di kalangan Muhammadiyah, dan
berbanding
silang dengan Nahdlatul Ulama yang ingin mempertahankan
identitas kesalafiyahannya .66 Dengan demikian, ini menjadi suatu hal yang patut dicermati, dari latar belakang yang kebanyakan NU,67 namun menginginkan pendidikan yang mulai menerapkan prinsip-prinsip modernitas. Dari kenyataan tersebut, boleh jadi orientasi orang tua yang menyekolahkan anaknya di pesantren mengalami perubahan. Pesantren yang hanya memberikan pelajaran agama dan cenderung fiqh oriented yang didominasi pesantren-pesantren salaf, lulusannya dianggap kurang mampu bersaing di dunia kerja dan ini menjadi persyaratan di zaman globalisasi ini. Sehingga mereka mengharapkan anaknya yang lulus dari pesantren juga mengantongi ijazah umum yang bisa dipergunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya dan tidak mesti memilih spesialisasi ilmu-ilmu agama. Atau boleh jadi alasan lainnya karena elemen yang ada di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an bukanlah dari kalangan Muhammadiyah ataupun yang lainnya, karena Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah salah satu pengurus Tanfidyah Nahdlatul Ulama tingkat Cabang di Kota Metro.68
65
Komaruddin, Wawancara, tanggal 23 Januari 2008. Data tersebut memang belum bisa dianggap valid mengingat proses pengambilan sumbernya tidak bisa langsung kepada para wali santri sebagai obyek observasi. 66 Baca Fuad Jabali Membangun Pesantren di Ranah Sunda: Belajar dari Darul Arqam_ dalam Jajat Burhanudin dan Dina Afrianty (penyunting) Mencetak Muslim Modern, Peta Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 272-274. 67 Kendati pada lapis bawah masyarakat nahdliyyin sering diidentikkan dengan yang kurang merespon modernisme, akan tetapi sebenarnya di lapis atas di kalangan intelektual NU lahir tokohtokoh yang merefleksikan semangat modernisasi dengan pemikiran dan gagasan yang demokratis, liberal, inklusif, serta moderat yang menjadi ciri dari modernisme. Majalah Taswirul Afkâr, edisi No.6 tahun 1999, h. 97 68 Dokumentasi Susunan Dewan Pimpinan Cabang NU Kota Metro tahun 2006
100
Berbeda dengan kasus yang terjadi di Pondok Pesantren Al-Muhsin69 yang juga berada di Kota Metro dan mempunyai afiliasi dengan gerakan Islam salafi, pesantren ini meskipun berusaha melakukan modernisasi pada aspek-aspek pendidikan Islamnya, namun respon masyarakat cenderung dingin (untuk tidak mengatakan menolak) sehingga pesantren ini terkesan eksklusif. 2. Pengurus Kepengurusan yang ada di sebuah pesantren merupakan unsur yang cukup vital. Dalam hierarki struktur organisasi pengurus merupakan pembantu pengasuh/ kyai pesantren dalam menjalankan roda kepemimpinan pesantrennya. Oleh sebab itu kepengurusan ini direkrut berasal dari para santri yang sudah lama mondok dengan harapan selain mereka memiliki kemampuan lebih bila dibanding dengan santri yuniornya, mereka juga dianggap lebih memiliki loyalitas yang tinggi. Kinerja kepengurusan juga menentukan bagi keberhasilan proses pendidikan di suatu pesantren. Hal ini lebih disebabkan karena pengurus lah yang mengawal santri selama mereka berada di asrama atau bahkan di sekolah. Untuk itu dituntut kepedulian, semangat mengasuh, membimbing yang tinggi. Dilihat dari sisi ini Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an telah melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas SDM pengurus yang antara lain memilih orang-orang yang memang 69
Pondok Pesantren Al-Muhsin disinyalir merupakan cabang dari Pesantren Al-Mukmin yang ada di Ngruki Solo yang dipimpin Ustaz Abu Bakar Ba’asyir yang cukup mengundang kontroversi. Beliau yang disebut-sebut sebagai Amir Jamaah Islamiyah yang merupakan sayap AlQaida di Asia Tenggara dianggap bertanggung jawab atas serangkaian aksi teror di Indonesia. Pola pengajaran yang disampaikan di pesantrennya dalam beberapa hal memiliki watak yang spesifik. Hal ini dapat dilihat dari ideologi pengajaran yang disampaikan memperlihatkan tingkat kedekatan yang tinggi terhadap gerakan salafi. Juga pandangan mereka yang memandang Islam sebagai agama yang harus diamalkan secara kaffah, yang dalam konteks ini penolakan terhadap negara yang mereka anggap tidak menggunakan aturan Islam –kendati dalam pemaknaan mereka- dapat dibenarkan. Untuk selanjutnya golongan ini biasanya digeneralisasikan ke dalam Islam radikal/ garis keras. Baca Azyumardi Azra dan Jamhari Pendidikan Islam Indonesia dan Tantangan Globalisasi: Perspektif Sosio-Historis_ dalam dalam Jajat Burhanudin dan Dina Afrianty (penyunting) Mencetak Muslim Modern, Peta Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 17-19
101
mempunyai kualifikasi dan dedikasi yang tinggi dan mempunyai semangat modernis. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari komposisi pengurus yang sebagian besar berasal dari alumni Pesantren Darussalam Gontor dan Pesantren Modern Al-Amin Madura yang keduanya dianggap sebagai pioner lembaga pendidikan modern di Indonesia. Seperti pada komposisi yang ada pada personalia kepengurusan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an pada seksi pendidikan merupakan alumni pondok modern.70 Sehingga dari tataran ideal roda kepengurusan akan dapat berjalan beriringan dengan
modernisasi
yang digulirkan.
Akan tetapi
sejauhmana
keberhasilan itu dapat dicapai agaknya perlu dilihat aspek-aspek lain, mengingat dalam proses pendidikan santri terkait pula dengan struktur kepengurusan sekolah SMP/ SMA yang pada kenyataannya pemegang kendali kebijakan di sekolah tidak semuanya berasal dari dalam pesantren dan tidak terlibat langsung dalam jajaran kepengurusan pondok pesantren. Oleh sebab itu kerja sama yang baik antara kedua elemen ini perlu dilakukan. Sehingga pada gilirannya nanti tidak akan ada jarak (gap) yang memisahkan antara kabijakan yang satu dengan yang lain. Seperti pada kasus liburan tengah semester tahun ajaran 2007-2008, ketika pihak sekolah meliburkan santri, ternyata ini mendapat perlawanan dari pihak pengasuh dan pengelola asrama karena menghendaki santri tidak diliburkan. Hal ini tentu tidak akan terjadi andai saja terdapat koordinasi yang baik antar masing-masing elemen pesantren.71
70
Kebijakan Pondok Pesantren Gontor Ponorogo yang memberlakukan sistem pengabdian ke lembaga-lembaga pendidikan baik di Gontor maupun luar Gontor menjadikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an menjadi salah satu lembaga pendidikan yang dipilih oleh para santri Gontor untuk mengabdi di sana selama satu tahun. Dari awalnya pengabdian ini ada juga yang meneruskan mengajar di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, karena di samping mengajar ia juga dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Kota Metro meskipun berada di luar pesantren. Ustazah Dayu Fitria (Dewan Guru TMI. Roudlotul Qur’an alumni Pondok Modern Darussalam Gontor), Wawancara, tanggal 23 Juni 2008 71 Muhammad Alfan Huda, (Santri/ siswa SMP Tarbiyat Al-Mu’allimîn Wa Al-Mu’allimât Al-Islâmiyyah) Wawancara, 20 Desember 2007
102
Anggota kepengurusan yang ada pada hakikatnya adalah mereka yang juga mengajar di sekolah. Hal ini menunjukkan hal yang positif karena dari segi interaksi hubungan guru-murid juga tetap tercipta pola korelasi santri dengan pengurus pesantren tidak hanya ketika santri berada di asrama. Kenyataan ini memungkinkan tersedianya waktu yang cukup bagi kalangan pengurus untuk selalu mengawasi dan membimbing santri demi terbantunya proses pembelajaran mereka. Ini juga yang mendukung santri untuk belajar lebih intensif, karena permasalahan-permasalahan kurikuler bisa saja dipecahkan di asrama jika guru tersebut juga pengurus di pesantren. Berbeda dengan guru yang berasal dari luar pesantren yang semua persoalan hanya bisa ditangani di sekolah. Secara hierarki pengurus yang dimaksudkan di atas merupakan lapisan pengurus yang berada pada ujung tombak. Pada level ini pengasuh pesantren (kyai) masih menjadi figur sentral bagi kebijakan pesantren secara umum.72 Meskipun anggota mempunyai hak berpendapat secara demokratis, akan tetapi karena figur kyai yang dominan, sehingga terkadang kebijakan yang dilakukan masih mengindikasikan kesan otoriter. Hal ini tentu saja kurang sejalan dengan semangat modernisasi yang meletakkan dasar-dasar demokratis dan penentuan kebijakan dalam suatu kerja kolektif menuntut adanya permufakatan yang terbuka dengan pertimbangan suaru terbanyak (quorum). Sedangkan jenjang kepengurusan pada tingkat tinggi adalah pengurus yayasan yang secara resmi dibentuk pada awal pendirian yayasan dan diperbaharui dengan
komposisi
bertambah
banyak
yang
dimaksudkan
untuk
lebih
mengoptimalkan kerja yayasan sebagai unsur tertinggi dalam roda kegiatan baik 72
Pola semacam ini umumnya terjadi pada pondok pesantren salafiyah/ tradisional dimana nama besar kyai/ pengasuh pesantren menjadi alasan utama santri mondok di pesantren tersebut. Dalam konteks Roudlotul Qur’an tentunya hal in tidak relevan lagi, terlebih karena pesantren berusaha untuk melakukan modernisasi. Jika hal ini tetap berkelanjutan dikhawatirkan modernisasi yang sedang dilaksanakan akan berjalan timpang. Ustadz Musnad Ngaliman. S.H.I, (Ketua Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Periode 2004-2005) Wawancara,13 Maret 2007
103
yang di pondok maupun di sekolah. Pertimbangan lain dilakukannya pembentukan struktur yang baru adalah karena yayasan makin dituntut oleh situasi dan perkembangan kegiatan pembelajaran yang kian meningkat. Bentukan ini secara resmi dilaksanakan pada tanggal 26 Juli 2006 berbagai unsur terkait yang dalam hal ini
dengan mempertimbangkan dari adalah anggota pengurus yayasan
terdahulu, pendiri yayasan, dan pendapat dari para tokoh agama dan masyarakat. Kemudian struktur personalia kepengurusan yang baru ini disahkan berdasarkan Surat Keputusan nomor: 007/MUS.YPRQ/KPTS/VII/2006. Tabel 7 Struktur Personalia Pengurus Yayasan Roudlotul Qur’an No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama KH. Syamsuddin Thohir KH. Zakaria Ahmad Moch. Yanis DR. Sowiyah, M.Pd H. Benny Mustofa, SH H. Miswadi Miftah Arifien Nurul Huda H. Ansori Bustami, SE Hj. Siti Rumzanah Hamim Huda, S.PdI Drs. Supardi Susetyo, SE H. Djumiran H. Warsito H. Suparman H. Subandi H. Zakaria Arjuna Wiwaha Djoko Purwanto Drs. H. Rasiman Hebriansyah (alex)
Jabatan Dewan Eksekutif Dewan Eksekutif Dewan Eksekutif Dewan Eksekutif Ketua Wakil Ketua Sekretaris Wakil Sekretaris Bendahara Wakil Bendahara Bidang Litbang Bidang Pendidikan Bidang Pendidikan Bidang Dakwah & Wakaf Bidang Dakwah & Wakaf Bidang Usaha & Ekonomi Bidang Usaha & Ekonomi Bidang Usaha & Ekonomi Bidang Kesra Bidang Kesra Bidang Kesra Bidang Humas & Publikasi
104
23 24 25 26 27
M. Djaelani Redy, SE Drs. Muhtarom drg. Ismudijanto Dr. Agung
Bidang Humas & Publikasi Bidang Humas & Publikasi Bidang Humas & Publikasi Balai Kesehatan Santri & Masyarakat
Sumber : Surat Keputusan Yayasan Roudlotul Qur’an nomor: 007/MUS.YPRQ /KPTS/VII/2006. Dari struktur anggota pengurus yayasan yang baru tersebut diambil dari berbagai elemen masyarakat yang ada, bahkan tidak mempertimbangkan
dari
golongan mana mereka berafiliasi. Sehingga dari anggota-anggota tersebut cukup heterogen.73 Dari keragaman ini tentu saja akan berpengaruh dengan pola modernisasi, tanggapannya terhadap modernisasi juga berbeda. Dari kalangan sesepuh dan berafiliasi
kepada NU sebenarnya menginginkan modernisasi tidak harus
mengurangi substansi materi keagamaan yang diajarkan. Dalam arti lain kesalafiahan yang menjadikan pengajaran Al-Qur’an
aspek
sebagai materi inti tetap
menjadi prioritas mengingat dari awal Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an merupakan pesantren tahfîz al-Qur’an dengan menggabungkannya dengan pola pendidikan modern. Di sisi lain, bagi anggota pengurus yang
berasal dari kalangan muda
modernisasi yang dibangun mesti secara total dengan mengadopsi pondok pesantren modern ala Gontor atau Al-Amin, dan jika terdapat santri yang menghafalkan AlQur’an, hal ini merupakan lembaga varian lain yang ada di pesantren.
73
Dari 27 anggota pengurus tersebut 20 orang diantaranya berasal dari kalangan nahdliyyin, sedangkan 2 orang dari kalangan Muhammadiyah dan selebihnya cenderung tidak mempunyai afiliasi pada organisasi keagamaan, baik pada Muhammadiyah maupun NU. Bahkan sekretaris yayasan adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan pernah menjadi Anggota Legislatif dari Partai tersebut. Miftah Arifien (Sekretaris Yayasan Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 27 Juni 2008
105
3. Tenaga Pengajar Untuk menunjang kegiatan pembelajaran yang efektif Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berupaya memanfaatkan tenaga pendidik baik yang ada di lingkungan pondok maupun dari luar, akan tetapi yang menjadi prioritas adalah kapabilitasnya. Maka tenaga pendidik yang ada tidak mesti alumni pondok pesantren, mengingat muatan pelajaran yang disampaikan juga banyak materi-materi pendidikan umum. Pada awal masuknya tenaga pengajar yang bukan dari pesantren memang sedikit menjadi kendala dimana mereka belum mengetahui kultur pesantren secara komprehensif, akan tetapi dengan seiringnya waktu kendala tersebut sudah dapat diatasi. Tabel 8 Keadaan Tenaga Pengajar Pondok Pesantren Raudlatul Qur’an SMP TMI No Nama
Bidang Studi
Pendidikan Terakhir
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Bahasa Arab Nahwu Ushul Fiqh Imla’ Mahfudzot Hadist Tilawah Imla' PPKN Mutola'ah/Mahfudhot Pengetahuan Alam Bahasa Inggris B. Indonesia Matematika Bahasa Lampung Komputer Sosiologi Kesenian
STAI/ pesantren STAI / pesantren Pesantren Pesantren Pesantren Pesantren STAI/ pesantren STAI/ pesantren STAI/ non pesantren STAI/ pesantren Universitas Muhammadiyah Universitas Lampung Universitas Muhammadiyah Universitas Muhammadiyah Universitas Muhammadiyah Universitas Muhammadiyah Universitas Muhammadiyah Universitas Muhammadiyah
Komaruddin, SpdI Laila Rismadiyati, SpdI
M. Iqbal Harnawati Ariyantini Belli Saputri A. Shonhaji, SpdI Husni Mubarok Milatun Yuniati, Sag A. Fauzi Yana Samadi, SPd Yos Maria, Amd Ela Novita, SPd Eva Maryana, SS.I Dra. Anita Perly M. Arif Mustofa Hanan Wijaya Evit Setiawan
106
19 Heni Lidiyanti, SPd Pengetahuan Alam STAI/ non pesantren 20 Sriati, Amd Bahasa Inggris STAI/ non pesantren 21 Winda, SPd Pengetahuan Sosial Universitas Muhammadiyah 22 Dra. Astina Biologi Universitas Muhammadiyah 23 Sri Hartini, S.TP Fisika/ Kimia Universitas Muhammadiyah 24 Farida Tri Sati, SPd Matematika Universitas Lampung Sumber : Kepala Tata Usaha SMP TMI Roudlatul Qur’an SMA TMI No
Nama
Bidang Studi
Pendidikan Terakhir
1
Musnad Ngaliman, SH.I Penjas/ SKI
STAI/ pesantren
2
Saiful Hadi, S.S.I.
Tauhid/ Ushul Fiqh
UIN/ pesantren
3
Drs. Haikal
Sejarah/ PPKN
STAI/ non pesantren
4
Komaruddin, S.Pd.I
Bahasa Arab
STAI/ pesantren
5
Muhammad Iqbal
Mahfudzot
STAI/ non pesantren
6
Ariyantini. R
Hadist
Pesantren
7
Belli Saputri
Imla'
Pesantren
8
A.Sonhaji. S.Pd.I
Tilawah
STAI/ pesantren
9
Husni Mubarok
Hadist/ Tarbiyah
STAI/ pesantren
10
Titin Rohmatin
Mutola'ah/Mahfudhot
STAI/ pesantren
11
Mas Ruhan, A.Md
Komputer
AMIK/ non pesantren
12
Abdul Rohman
Fiqih/ Shorof
Pesantren
13
Winda Pratiwi, S.Pd.
IPS
Universitas Muhammadiyah
14
Dra. Astina
B. Indonesia
Universitas Muhammadiyah
15
Uswatun Khasanah
Sejarah Islam
Pesantren
16
Ujang Kartono, SE
Ekonomi
Universitas Muhammadiyah
17
Dra. Nurhayati
Sosiologi
Universitas Muhammadiyah
18
Maya Shofia, S.Pd
B. Inggris
Universitas Muhammadiyah
19
M. Sholihul Amin
Fikih/ Tafsir
STAI/ pesantren
20
Khoerudin,S.Pd.I
Tauhid/ Tauhid
STAI/ pesantren
21
Dra. Mushilah
Matematika
Universitas Muhammadiyah
107
22
Sari Kartini, S.Pd
Biologi
Universitas Muhammadiyah
23
Heni Lidiyanti, S.Pd
Fisika/ Kimia
Universitas Muhammadiyah
24
Sumainah
Sorof/ mahfudhot
Pesantren
Sumber : Kepala Tata Usaha SMA TMI Roudlatul Qur’an Dengan memperhatikan latar belakang pendidikan tinggi para pengajar dapat dianalisa bagaimana keberpihakannya terhadap modernisasi yang ada pada lembaga pendidikan dimana mereka mengajar. Dewan guru yang berasal dari non pesantren baik yang kuliah di Universitas Muhammadiyah maupun yang bukan mempunyai antusiasme terhadap modernisasi, akan tetapi keterbatasan mereka dalam memahami kultur pesantren biasanya kurang mampu beradaptasi.74 Sisi positif dari pandangan ini, membuat mereka lebih leluasa bagi siswa untuk melakukan komunikasi maupun konsultasi karena tidak terlalu segan terhadap guru tersebut. Dan ini berbeda halnya ketika santri berhadapan dengan ustadz pesantren. Akan tetapi kekurangannya adalah dewan guru yang berasal dari luar pesantren rata-rata kurang dapat berkomunikasi aktif dengan bahasa Inggris terlebih bahasa. Sehingga jika dilihat secara obyektif keberpihakan terhadap modernitas dari segi kebahasaan dewan guru yang berasal dari luar pesantren kurang mendukung. Akan tetapi demi menghindari adanya mismatch75 dalam mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah guru dari luar pesantren masih diperlukan.
74
Sebagai contoh dalam dunia pesantren modern penggunaan Bahasa Arab merupakan alat komunikasi yang dianggap lebih sopan bagi santri terhadap ustaznya, sementara itu guru-guru yang mengasuh pelajaran umum tidak menguasai bahasa Arab dengan baik. Dra. Mushilah (Guru Bidang Studi Matematika TMI), Wawancara, tanggal 3 Juni 2008 75 Fenomena guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang yang dipelajarinya ketika menempuh pendidikan di jenjang sarjana (S1) juga masih terjadi di TMI Roudlotul Qur’an. Hal ini bisa disebabkan karena minimnya tenaga pengajar untuk bidang studi tertentu. Sebagai contoh bidang studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan Bahasa Daerah yang jangankan mencari sarjana PPKn atau sarjana bahasa daerah, perguruan tinggi yang membuka jurusan tersebut juga masih sulit ditemui. Untuk memperbaiki keadaan tersebut sebenarnya pihak Departemen Agama pernah menjalankan program pendidikan bagi guru-guru yang mismatch ini melalui proyek Peningkatan Perguruan Agama Islam Tingkat Menengah Lampung, Development of Madrasah
108
E. Kegiatan Akademik Kegiatan akademik dimaksudkan adalah segala aktifitas santri selama di kelas maupun di asrama mengingat kegiatan kependidikan yang ada di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
terintegrasi antara kegiatan pondok dan sekolah.
Kegiatan di sekolah adalah kegiatan induk yang mempunyai penekanan pada kajian teoritis dan mengacu pada ranah kognitif sedangkan kegiatan di asrama diupayakan sebagai pendidikan pendukung yang mempunyai titik singgung pada kajian praktis dan diarahkan untuk pencapaian ranah afektif dan psikomotor santri/ siswa. Pola integrasi ini sebenarnya sudah terjadi di kalangan pendidikan pesantrenpesantren tradisional, sebagaimana diketahui bahwa kata santri menurut Nurcholish Madjid berasal dari kata cantrik yaitu orang yang mengikuti seorang yang pandai baik dalam agama maupun kesaktian, sang cantrik ini akan selalu diawasi tingkah lakunya oleh orang pandai tersebut. Begitu pula santri yang selalu sam’an wa to’atan (patuh dan taat) pada Kyai, begitupun selama ia nyantri selalu dalam pengawasan kyai. Jalinan hubungan santri-kyai ini akan terus bersambung sehingga santri telah keluar dari pesantren untuk mengembangkan ilmu agama. Bahkan terkesan kurang baik apabila santri yang sudah keluar dari pesantren (silaturrahmi) kepada kyainya.
tidak pernah
sowan
76
Tradisi pesantren semacam inilah yang masih
terus dibudayakan oleh
Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an untuk membimbing para santri, sedangkan pola ini tidak terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan umum yang tidak mempunyai asrama bagi para siswanya. Atau terkadang ada pondok pesantren yang mempunyai pendidikan formal, namun pola pendidikan yang dijalankan sendiri-sendiri, dalam Aliyahs Project (DMAP). Dokumentasi Kanwil Depag Propinsi Lampung tanggal 15 September 2001. Jika proyek tersebut dijalankan lagi, kemungkinan terjadinya mismatch bisa dihindari. 76 Pola hubungan (relasi) guru-murid pada pondok pesantren digambarkan ibarat seorang anak dan orang tua (ibu maupun bapak), sehingga seorang guru/ kyai secara sababi merupakan bapak. Dalam kitab Ta’lîmul Muta’allim digambarkan jika orang tua yang bertanggung jawab di bidang materi, maka gurulah yang bertanggung jawab di bidang mental spiritualnya. Burhanuddin azZarnuji, Ta’lîmul Muta’allim, (Semarang: Toha Putra, t.th). h. 7
109
arti antar pendidikan formal dan pendidikan diniyahnya tidak terintegrasi, sehingga hal ini berdampak pada kurang mampunya santri mendalami pelajaran karena dirasa begitu banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari. Pada kasus seperti ini hal terburuk yang bisa terjadi adalah bukannya mampu menguasai keduanya (materimateri pendidikan formal dan diniyyah) akan tetapi malah mengaburkan keduanya. Untuk menghindari hal itu, maka pola integrasi yang dibangun adalah mengupayakan pengawasan terhadap santri baik dari pengasuh pesantren maupun para pengajar untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran agama, untuk itu diupayakan tenaga pengajar yang mengajarkan agama kebanyakan tinggal di asrama ataupun bertempat tinggal di lingkungan pesantren, sehingga diharapkan dapat berperan aktif mengawasi santri di luar jam-jam sekolah. Secara rinci dapat digambarkan kegiatan pembelajaran dan alokasi waktunya sebagai berikut. Tabel 9 Kegiatan Rutin Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 1 2 3 4 5
No
Waktu 03.30 - 04.00 04.00 – 04.30 04.00 – 04.30 04.30 – 05.00 05.00 – 06.00
6
05.00 – 06.00
7 8 9 10 11 12
06.00 – 07.00 07.00 – 12.00 12.00 – 13.30 13.30 – 15.00 15.00 – 16.00 16.00 – 17. 00
13 14 15 16
17.00 – 18.00 18.00 – 18.30 18.30 – 19.30 19.30 – 20.00
Kegiatan Qiyâm al-lail Belajar mandiri Menghafal al-Qur’an Sholat Shubuh berjamaah Muhâdatsah yaumiyyah/ daily conversation Menghafal al-Qur’an metode tasmi’ (memperdengarkan pada guru Mandi, mencuci, sarapan, dll Masuk sekolah SMP/ SMA Sholat dhuhur, makan siang Masuk sekolah SMP/ SMA Sholat ‘asar, istirahat Kegiatan ekstra kurikuler (drum band, olah raga, kaligrafi, dll) Mandi, mencuci, makan sore Sholat maghrib berjamaah Mengaji al-Qur’an Sholat isya’ berjamaah
Keterangan Seluruh santri Santri TMI Santri tahfîz Seluruh santri Santri TMI Santri tahfîz Seluruh santri Santri TMI Seluruh santri Santri TMI Seluruh santri Santri TMI Seluruh santri Seluruh santri Seluruh santri Seluruh santri
110
17
20.00 – 22.00
18 19
20.00 – 22.00 22.00 – 03.30
Diskusi/ Mengevalusi pelajaran sekolah di Santri TMI bawah bimbingan pengurus dan ustadz Menghafal al-qur’an metode tasmi’ Santri tahfidh Istirahat malam Seluruh santri77
Dari seluruh kegiatan yang telah ditetapkan melalui permusyawaratan pengurus yayasan dan segenap elemen pesantren tersebut dapat dilihat bahwa aspek modernitas sudah berjalan, setidaknya ini dapat dilihat pada pembelajaran Bahasa Arab maupun Inggris yang sudah efektif yaitu langsung dipraktekkan dalam kehidupan di pesantren maupun di sekolah. Kegiatan Muhâdatsah yaumiyyah/ daily conversation78 merupakan kegiatan yang berusaha memotivasi santri untuk dapat berkomunikasi
aktif dalam kedua bahasa asing tersebut di luar jam kegiatan
tersebut. Hanya saja kendala yang muncul di luar kegiatan ini adalah masih terdapat dewan guru di sekolah yang tidak menguasai bahasa Inggris maupun bahasa Arab secara aktif-komunikatif sehingga ketercapaian hasilnya kurang bisa memenuhi target yang diharapkan. Sementara adanya perbedaan kegiatan bagi santri Tarbiyat al-Mu’allimîn alMu’allimîn al-Islâmiyah (TMI) dengan santri Tahfîz al-Qur’an menjadikan kegiatan berjalan sesuai dengan program yang memang dipilih oleh santri. Hal ini juga mempermudah bagi pengurus pesantren untuk menentukan langkah-langkah kebijakan dalam mengelola santri. Sehingga program kegiatan yang dijalankan dapat berjalan efektif dan efisien. Dan andaikata dilihat lebih jauh mengenai ketercapaian
hasil
program
dengan keadaan riil di lapangan, nampaknya program Tarbiyat al-Mu’allimîn al77
Ahmad Ansori, S.TP, (Lurah Pondok Putera) Wawancara, tanggal 22 September 2006 Kewajiban menggunakan bahasa Arab/ Inggris di asrama mulai diwajibkan setelah santri tinggal di asrama selama 3 bulan. 3 bulan yang pertama merupakan masa pembelajaran santri baru dalam berkomunikasi aktif dengan dua bahasa tersebut. Untuk mendisiplikan program tersebut, maka diberlakukan sangsi bagi santri yang menggunakan bahasa lainnya. Ahmad Ansori, Wawancara, tanggal 22 September 2006 78
111
Mu’allimîn al-Islâmiyah (TMI) yang termasuk di dalamnya SMP dan SMA untuk empat tahun awal ini nampaknya belum dapat sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Anggapan ini dapat ditinjau dari segi pemaknaan bahwa TMI adalah pendidikan untuk guru agama Islam. Sementara ketika SMP telah meluluskan satu kelas yang kemudian dari satu kelas tersebut menjadi terkotak-kotak ada yang keluar, ada pula yang tetap melanjutkan SMA di TMI Roudlotul Qur’an mereka belum mampu untuk menjadi seorang mu’allim seperti yang dituangkan dalam misi sekolah. Tabel 10 Kegiatan Mingguan Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an No 1
Waktu 18.30 – 19.30
Keterangan Seluruh santri tiap malam jum’at 2 18.30 – 19.30 Tahlîlan, yasinan Khusus santri dewasa dengan masyarakat sekitar pondok 3 20.00 – 22.00 Muhadarah, khitobah, pembacaan Seluruh santri tiap al-berzanji, dibaiyyah, seni malam jum’at sholawat/ hadroh 4 20.00 – 22.00 Zikrul Ghofilin Setiap Malam Jum at Kliwon Sumber : wawancara pribadi Lurah Pondok Putera tanggal 22 September 2006 Dengan
Kegiatan Mujâhadah/ istighotsah
kegiatan-kegiatan
tersebut
yang
disusun
dengan
berbagai
pertimbangan, diharapkan proses pembelajaran yang dilaksanakan mampu diserap santri dengan sempurna dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan seharihari sebagai bekal kelak ketika mereka telah terjun di masyarakat. Dalam posisi ini pesantren Roudlotul Qur’an sebenarnya masih berusaha untuk menerapkan kegiatan pesantren ala pesantren salafiyah yang dianggap masih relevan untuk diajarkan kepada santri. Kegiatan yang ada merupakan representasi dari kebudayaan keagamaan Islam yang ada di tengah masyarakat. Misalnya diadakannya kegiatan mujahadah/ istighotsah setiap malam Jum at yang merupakan tradisi yang sudah ada dan
112
berkembang dalam masyarakat Islam (khususnya daerah Lampung).79 Terlepas dari adanya pro dan kontra tentang hukum kegiatan istighotsah. Begitu juga keikutsertaan santri dewasa mengikuti acara yasinan/ tahlilan, karena dalam perspektif masyarakat muslim awam terkadang tolok ukur untuk menentukan keberhasilan seorang santri juga terletak pada kemampuan melakukan/ memimpin acara-acara keagamaan semisal tahlilan.80 Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka santri yang sudah dewasa yang umumnya telah tamat pendidikan sarjana strata satu diharapkan nanti setelah mereka mengembangkan ilmunya akan langsung disambut baik. Di bidang kesenian seperti sholawat, hadroh pesantren berupaya untuk melakukan modernisasi, hal ini bisa dilihat dari penggunaan alat-alat musik instrumental yang modern.
79
Dari 15 pondok pesantren yang penulis kunjungi, hanya pondok pesantren Darussalam Tegineneng, Kabupaten Pesawaran yang tidak melakukan tradisi semacam tahlîlan, istighâtsah, sedangkan yang lainnya melakukan, bahkan di pesantren-pesantren tertentu (Pondok Pesantren Nurul Qodiri, Kali Palis Way Pengubuan Lampung Tengah, Pondok Pesantren Wali Songo, Kota Bumi Lampung Utara) kegiatan tersebut merupakan kegiatan rutin yang melibatkan masyarakat luas di luar pesantren. Di Pondok Pesantren Nurul Qodiri kegiatan ini dinamakan Manaqîb Terang Bulan, karena diadakan selalu di malam bulan purnama (tanggal 14 ke 15 penanggalan Hijriyah). KH. Imam Suhadi, Wawancara, tanggal 12 Mei 2008. 80 Kondisi semacam ini merupakan fenomena yang terjadi pada masyarakat Islam tradisional yang masih melembagakan tradisi-tradisi tahlîlan dan sejenisnya menjadi sesuatu yang penting. Sehingga acara-acara dimaksud untuk saat ini tidak saja dilakukan pada malam Jum at atau ketika ada keluarga yang meninggal, akan tetapi pada acara-acara hitanan, pesta pernikahan, membangun rumah, acara aqiqah, syukuran karena mendapatkan rejeki, hendak berangkat haji (walimatussafar), salah seorang anggota keluarga yang sedang sakit parah juga dilakukan. Dan acara-acara tersebut umumnya mendatangkan seorang figur ustadz yang cakap dalam ilmu agama dan terbiasa mengikuti acara-acara tersebut. Ustadz Heri Suwarto, S.PdI (Ketua Persatuan Guru Diniyah Indonesia) Kota Metro, Wawancara, tanggal 1 Mei 2008
113
BAB IV PONDOK PESANTREN ROUDLOTUL QUR’AN DALAM WACANA MODERN
A. Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Masa Awal Sebelum kebijakan modernisasi dijalankan pesantren dalam hal-hal tertentu sebenarnya sudah mempunyai identitas tersendiri yakni sebagai pondok pesantren yang mempunyai spesialisasi pada penghafalan Al-Qur’an (tahfîz al-Qur’an) dan mempunyai santri yang secara khusus memang ingin memperdalam Al-Qur’an. Dengan spesialisasi ini memungkinkan untuk pesantren dapat membina santri secara baik sesuai dengan keinginan santri belajar di Pesantren Roudlotul Qur’an. Maka pada saat itu para santri tidak hanya berasal dari kalangan anak muda saja, akan tetapi yang sudah berkeluarga pun juga menyempatkan diri untuk mengaji.1 Manajemen yayasan kendati belum terprogram secara baik, namun sudah mampu memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi keberlangsungan Pondok Pesantren secara umum. 2 Meskipun pada saat itu figur sentral kyai pengasuh pesantren masih sangat dominan. Akan tetapi dominasi kyai tersebut pada saat itu cenderung dapat diterima oleh berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan kharisma kyai yang masih cukup menonjol. 3 Maka eksistensi pesantren saat itu lebih
1
Kenyataan seperti ini memang hal yang lazim terjadi di pesantren-pesantren tahfîz alQur’an, motif dari para santri yang sudah berkeluarga ini umumnya mereka yang pernah mondok di tempat lain baik yang memang sudah hatam maupun yang belum. Bagi yang sudah hatam pengajian ini dipergunakan sebagai media untuk mengulang kembali hafalan-hafalannya agar tidak lupa. Dan bagi santri yang belum hatam, hal ini merupakan usaha untuh mentashîh hafalanhafalannya. Muhammad Qodam Siddiq (alumni santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an) Wawancara, tanggal 29 Maret 2008 2 Struktur yang ada pada yayasan baru terdapat lima komponen personalia yang terdiri atas : Pembina Yayasan, Ketua Yayasan, Sekretaris Yayasan, Bendahara Yayasan, dan ditambah satu Pengawas Yayasan, sebagaimana yang tertera dalam Akte Notaris Pendirian Yayasan. Dokumentasi Akte Notaris Yayasan. 3 Peran kyai pengasuh bisa diterima mengingat saat itu santri cukup homogen, yaitu hanya mereka yang memang ingin mendalami tahfîz al-Qur’an, sehingga pengelolaannya belum
114
dikarenakan kharisma bukan karena manajemen pembelajaran yang sudah tertib. Hal ini berkelanjutan hingga tiga tahun awal pendirian pesantren. Besarnya sumbangan dari para donatur yang mempercayakan dananya untuk dikelola kyai dan para pembantunya membuat roda pembangunan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an tetap berjalan, 4 kendati para donatur tidak dikelola dengan tertib dengan membentuk semacam badan donatur atau badan wakaf seperti yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Darussalam Gontor. 5 Motivasi para donatur untuk memberikan dana ini juga disebabkan oleh keinginan mereka untuk mewujudkan sebuah model pesantren yang dapat mengembangkan Al-Qur’an yang pada saat itu jumlah pesantren tipe itu masih sangat jarang. Meskipun ada
di pesantren-pesantren, akan tetapi pembelajaran
pada sebuah pondok pesantren, biasanya hanya bersifat komplementer. Hal ini juga terjadi di Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa, Raman Utara Lampung Timur, Pondok Pesantren Miftahul Falah Mataram Baru Lampung Timur, Pondok Pesantren Nurul Ulum Kota Gajah Lampung Tengah, Pondok Pesantren Khozinatul Ulum, Seputih Banyak Lampung Tengah, dan pesantren-pesantren lain.6
membutuhkan personal yang banyak. KH. Ali Qomaruddin SQ, Al-Hâfiz, Wawancara, tanggal 9 Desember 2007 4 Donatur yang menyumbang pesantren pada umumnya karena tingkat kepercayaannya terhadap pengelolaan dana di pesantren cukup tinggi, sehingga mereka dengan penuh keikhlasan untuk menyumbangkan dananya. Hal ini dapat saja berubah kondisi manakala tingkat kepercayaan para donatur berkurang, sehingga mungkin saja bisa menghentikan sumbangannya. Hi. Ma’ruf (Donatur Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 17 November 2007 5 Pembentukan Badan Wakaf yang ada di Pondok Pesantren Darussalam Gontor merupakan lembaga tertinggi dalam pesantren dimana setiap persoalan dibicarakan dan diputuskan. Di bawah badan wakaf inilah terdapat pelaksana harian yang mengurusi seluruh kegiatan pesantren. Jajang Jahroni, Merumuskan Modernitas: Kecenderungan dan Perkembangan Pesantren di Jawa Tengah. dalam Mencetak Muslim Modern, Peta Pendidikan Islam Indonesia, Dina Afrianty (peny) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 114 6 Dari awal pendirian umumnya pesantren-pesantren tersebut tidak membuka program tahfîz al-Qur’an, namun pada generasi selanjutnya ketika salah satu keluarga/ anak dari kyai pendiri pesantren ada yang telah hafal Al-Qur’an, maka
115
Dengan spesialisasi tahfîz al-Qur’an ini diharapkan sistem pembelajaran dan juga metode yang digunakan lebih efisien karena tidak tercampur dengan materi pembelajaran yang lain. Sehingga misi yang diembanpun menjadi jelas bahwa out put dari Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah para hâfiz dan hâfizah.7 Modernisasi
yang dilakukan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
merupakan salah satu upaya
untuk memenuhi harapan masyarakat tentang
lembaga pondok pesantren yang sesuai dengan tuntutan masa depan. Modernisasi dimaksudkan
sebagai proses perubahan yang dilakukan sebagai upaya
memaksimalkan kinerja unit-unit yang ada di pesantren, upaya ini berkelanjutan mulai dari merevisi susunan keanggotaan hingga pembentukan organisasi baru. Di samping itu modernisasi merupakan langkah antisipatif terhadap derap laju era globalisasi yang sudah tak dapat dihindari lagi. 8 Di sisi lain, upaya untuk lebih memajukan pesantren, Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berupaya melebarkan sayapnya hingga menjangkau ke luar 7 Keadaan ini sama dengan apa yang terjadi di Pondok Pesantren Lembaga Kaligrafi AlQur’an (LEMKA), Gunung Puyuh Sukabumi Jawa Barat yang didirikan oleh KH. Drs. Didin Sirojuddin AR. M.Ag.Di pesantren tersebut karena spesialisasinya adalah kaligrafi al-Qur’an (khat) maka tidak diajarkan disiplin ilmu yang tidak terkait dengan kaligrafi. Dengan demikian bagi siapa saja yang ingin mendalami kaligrafi bisa secara efektif dan efisien memilih di tempat tersebut. Didin Sirajuddin, AR, Mag, Serba-Serbi Pesantren Kaligrafi Al-Qur’an Lemka, (Jakarta: Lemka Press, 2003), h. 7 8 Sebagai konsekwensi dari upaya untuk menghadapi era globalisasi tersebut menurut Qodri Azizy dewasa ini tipologi pondok pesantren menjadi semakin bertambah bila dibandingkan dengan keberadaannya pada masa sebelumnya. Kelima tipolohi tersebut menurutnya adalah: 1) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional baik yang hanya memiliki sekolah-sekolah agama (MI, MTs, MA) maupun yang memiliki sekolahsekolah umum (SMP, SMA) dan Perguruan Tinggi, seperti Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Pesantren Futuhiyyah Mranggen, dll. 2) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan meng jarkan ilmu-ilmu umum, akan tetapi tidak menerapkan kurikulum nasional , seperti pesantren Gontor Ponorogo, Darurrohman Jakarta, Pesantren Maslakul Huda, Kajen Pati Jawa Timur. 3) pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam madrasah diniyah seperti pesantren salafiyah Langitan, Pesantren Lirboyo Kediri dan Pesantren Tegal Rejo Magelang. 4) pesantren yang hanya merupakan tempat pengajian (tidak ada santri yang tidur di asrama) atau dalam istilah lain hanya sebagai majlis ta’lim. 5) pesantren yang kini mulai berkembang dengan nama pesantren asrama pelajar sekolah umum dan mahasiswa. Ismail SM, dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), h. viii
116
pesantren. Masyarakat sekitar juga menjadi agenda garapannya, khususnya dalam bidang sosial dengan pendirian koperasi yang melibatkan warga sekitar. Pada giliran selanjutnya pesantren menjadi suatu institusi pendidikan yang cukup diterima di kalangan umat Islam.9
B. Bentuk Modernisasi Modernisasi yang berkembang pada dasarnya merupakan suatu dinamika dalam kehidupan manusia, sebagaimana dikenal bahwa selama peradaban manusia ada telah berganti pula zaman dari sejak pra modern hingga modern dan akan mengalami penerusan hingga postmodern. Semantara
modernisasi dalam
pesantren merupakan sesuatu yang lahir dari proses dinamika kesejarahan pesantren itu sendiri. Dalam pada itu pesantren mengalami modernisasi timbul dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Terdapat beberapa pendapat yang timbul mengenai hal ini. antara lain: Pertama) tumbuh
dan berkembang dari lembaga yang pernah ada
misalkan surau (Minangkabau), meunaseh, rangkang (Aceh)10 surau menurut Sidi Gazalba merupakan bangunan peninggalan masyarakat setempat sebelum datangnya agama Islam di Nusantara. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kaum, suku atau indu. 11 Ia didirikan oleh suatu kaum tertentu sebagai
9
Lembaga tersebut adalah “Koperasi Roudlotul Qur’an” yang legalitasnya telah diakui dan berbadan hukum berdasarkan Surat Keputusan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Metro dengan nomor Badan Hukum : 518/003/BH/D.7.04/111/2007. Kendati pada tahap awal Koperasi Roudlotul Qur’an kegiatan pokoknya baru berupa Warung Serba Ada (WASERDA), akan tetapi untuk rancangan jangka panjang ke depan akan diupayakan usaha-usaha lainnya. Usaha ke depan diupayakan bagaimana melibatkan masyarakat muslim sekitar Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an untuk berupaya bersama-sama meningkatkan taraf hidup dengan bekerja sama di bidang ekonomi. Hi. Zakaria (Anggota Pengurus Yayasan Bidang Usaha dan Ekonomi), Wawancara, tanggal 27 Juni 2008 10 Munawir Sadzali, Pendidikan Agama dan Pembangunan Pemikiran Keagamaan, (Kumpulan Pidato Menteri Agama), (Jakarta: Depag RI, 1983/1984), h. 103 11 Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Antara, 1983), h. 314-316
117
bangunan pelengkap dari rumah gadang, di sini beberapa keluarga yang saparuik (berasal dari satu perut/ keturunan) berada di bawah pengasuhan seorang Datuk (penghulu/ kepala suku) berdiam.12 Kedua) Muncul karena dilatarbelakangi semangat pembaruan Islam. Semangat pembaruan tersebut boleh jadi lahir dari kesadaran umat Islam untuk bangkit dengan berbagai motivasi antara lain: a) keinginan yang kuat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis dalam merujukkan hukum-hukum syari’at, karena diyakini bahwa kebesaran Islam hanya akan dapat tercapai apabila umat Islam kembali ke zaman Rasulullah dan para sahabat dimana al-Qur’an dan Hadits menjadi rujukan pertama. b) tumbuhnya semangat nasionalisme di kalangan umat Islam terhadap
penjajahan yang dilakukan oleh Barat yang kafir.
c) ingin
memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan. d) faktor pembaruan pendidikan Islam di Indonesia13 Ketiga) respon terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintahan penjajah kolonial Belanda dalam melaksanakan program pendidikan khusus untuk para keturunan Belanda (MULO) 14 yang dinilai sudah lebih modern daripada lembaga pendidikan yang dikelola para pribumi. Akan tetapi dalam menyikapi kebijakan Belanda tersebut para pelopor pendidikan Islam mempunyai perbedaan. Dalam hal ini mereka terbagi dalam tiga kelompok : a) kelompok yang bersikap non kooperatif terhadap pola-pola yang dibangun dalam pendidikan Belanda. Alasan utama mereka yang bersikap semacam ini adalah pendidikan Belanda 12
Azyumardi Azra, Surau Penddikan Islam Tradisional dalam transisi dan modernisasi, (Jakarta: Logos, 2003), h. 8 13 Berbagai motivasi tersebut merupakan hasil dari akumulasi perkembangan dinamika pesantren yang terus beerkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Hal ini juga mengindikasikan bahwa pesantren selalu berupaya untuk melakukan improvisasi. Meskipun dalam kasus tertentu ada yang ingin mempertahankan eksklusivitas pesantrennya dengan tidak mau menerima yang berasal dari luar pesantren. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Penddikan Islam dalam kurun modern, (Jakarta: LP3ES , 1994), h.26-29 14 Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau Sekolah Menengah Pertama pada masa penjajahan Belanda Moh Tauchid, Masalah Pendidikan Rakyat, (Bogor: Dewan Partai-Partai Sosialis Indonesia Bagian Pendidikan dan Penerangan, 1954), h. 8-9
118
mengindikasikan nilai-nilai kristenisasi. Proses kristenisasi ini merupakan paketpaket yang diterapkan dalam kebijakan kolonisasi. Implikasi dari hal tersebut memunculkan respon yang bervariasi bergantung pada sisi mana mereka berupaya untuk menjawab. Pada level bawah berupa penolakan terhadap segala bentuk yang datangnya dari penjajah Belanda yang kafir. Menirukan yang kafir berarti bersikap tasyabbuh yang dapat berakibat menjadi murtad. Ungkapan man tasyabbaha bi qaum fahuwa minhum menjadi senjata ampuh untuk meligitimasi penolakan terhadap Belanda. 15
Pada
tingkat yang lebih tinggi memunculkan bebagai
pertempuran yang berkobar atas nama agama (Islam) secara logis, kehadiran pemerintahan kolonial Belanda menjadi ancaman signifikan bagi Islam.16 Sejarah perkembangan pondok pesantren di Indonesia terkait erat dengan faktor-faktor kompleks. Pesantren itu sendiri, gerakan pembaruan Islam (Islamic reform movement), dan sistem pendidikan ala Belanda (Barat) merupakan tiga faktor penting yang secara bersama-sama menyediakan sebuah environment bagi kemunculan pondok pesantren modern di Indonesia. Sementara pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang merupakan basis penyebaran sistem pendidikan agama (madrasah) di Indonesia. Gerakan pembaruan Islam (Islamic reform movement) merupakan jembatan perantara yang menjadi media transmisi gagasan-gagasan modern dalam pengelolaan pendidikan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia. Sedangkan sekolah-sekolah gaya Eropa yang diprakarsai pemerintah Kolonial Belanda yang menjadi inspirator sekaligus
15
Konteks perdebatan semacam ini muncul pada awal abad ke-20, mengenakan dasi, jas, pantalon dianggap kebiasaan orang Belanda yang kafir. Sementara itu kalangan pribumi mengenakan sarung, peci, blangkon, dan sejenisnya. Natalie Mobini Kesheh, The Hadrami Awakening, Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942, (Ithaca: Cornell University Press, 1999), h. 27 16 Ansari, “Kolonialisme dan Kristenisasi di Indonesia: Dua Sisi Mata Uang yang tak Terpisahkan (Suatu Tinjauan Sejarah)", Jurnal Agama & Budaya MIMBAR, Vol. 23 No.3. tahun 2006
119
kompetitor kaum Muslim Indonesia dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam modern di Indonesia. 17 Pondok pesantren di Indonesia merupakan lembaga pendidikan yang sangat dinamis. Interaksi antara pondok pesantren dengan modernisasi yang berlangsung secara berkelanjutan mendorong munculnya model-model lembaga pendidikan pesantren khas Indonesia. Di samping itu muncul pula pesantrenpesantren di Indonesia yang mengusung konsep baru yang umumnya dibangun oleh para muslim reformis.18 Pada umumnya pondok pesantren bernaung di bawah sebuah yayasan pendidikan. Yayasan ini dapat saja merupakan milik pribadi/ perorangan maupun milik bersama/ kolektif. Perbedaan ini biasanya juga akan berimplikasi pada corak managerial yang berlangsung di yayasan tersebut, bahkan ke pesantren yang bernaung di bawahnya. Perbedaan ini juga akan menjadi sangat berarti apabila dikaitkan dengan
perspektif pembinaan dan pengembangan pesantren dalam
struktur relevansinya dengan pengembangan Sistem Pendidikan Nasional di masa mendatang, yang tentu saja masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Kelebihan pesantren dengan yayasan yang dimiliki perorangan adalah, antara lain: mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri dan bebas merencanakan pola pengembangannya. Tokoh sentral (dalam hal ini kiai) menjadi sangat dominan sehingga dalam gerak langkah organisasi
17
Abudin Nata, Pendidikan Islam di Era Global (Pendidikan Multikultural, Pendidikan Multi Iman, Pendidikan Agama, Moral dan Etika), (Jakarta: UIN Press, 2005),h. 202-205 18 Muslim reformis pada umumnya disandarkan pada mereka yang menerapkan pola pendidikan pondok pesantren modern secara langsung, maksudnya pesantren yang dibangun tidak mesti berasal dari sebuah pengajian yang ada di suatu masjid kemudian menjadi besar layaknya pesantren-pesantren tradisional terdahulu (seperti hasil penelitian Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren), tetapi langsung membuka pendaftaran untuk masuk ke pesantren. Tradisi ala NU dalam peribadatan pondok pesantren jenis ini juga tidak nampak, bahkan dalam hal-hal tertentu mereka menolak tradisi yang ada di kalangan NU. Pendirinya umumnya berasal dari mereka yang mendapatkan pendidikan ala Timur Tengah, baik yang langsung belajar di sana maupun yang belajar di Indonesia. Ustadz Romadhon, Lc, (Pengasuh Pesantren Darussalam Metro), Wawancara, tanggal 13 Mei 2008
120
pesantren semacam ini akan lebih banyak ditentukan oleh figur kiai yang biasanya menjadi figur yang disegani. 19 Akan tetapi mereka juga memiliki kelemahankelemahan antara lain: ia akan selalu tergantung oleh kemauan dan kemampuan perorangan yang
belum tentu
konsisten dalam melaksanakan kebijakan.
Manajemennya biasanya tertutup dan kurang bisa mengakomodir masukanmasukan dari luar yang mungkin saja tepat untuk diterapkan. Pola semacam ini tak pelak lagi melahirkan implikasi manajemen otoritarianistik. Oleh karena itu pembaharuan menjadi suatu hal yang acap sulit diwujudkan terlebih lagi apabila figur pemilik yayasan tersebut kurang aspiratif dengan perkembangan zaman. Di samping itu pola seperti ini akan berdampak kurang prospektif bagi kesinambungan
pesantren di masa depan. Maka banyak pesantren yang
sebelumnya populer, tiba-tiba jatuh kehilangan pamor, ketika sang kiai meninggal.20 Sebaliknya kelebihan pesantren yang berada di bawah sebuah institusi/ lembaga yang dikelola secara kolektif antara lain tidak selalu bergantung pada perorangan, tetapi tergantung pada institusi yang lengkap dengan mekanismesistem kerjanya, sehingga dapat dikontrol dan dievaluasi kemajuan dan kemundurannya dengan menggunakan tolok ukur yang obyektif dan proporsional. Sedangkan kelemahannya antara ialah: adanya kemungkinan terbelenggu dengan aturan-aturan birokrasi sehinga kurang lincah dalam mengambil keputusan yang dapat menjadi penghambat kemajuan. Di sisi lain mengingat kebijakan pesantren
19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 90-92 20 Oleh karena itu pondok pesantren yang masih tetap melestarikan manajemen semacam ini biasanya meskipun terkadang membentuk yayasan yang anggotanya juga kolektif, namun pada tataran aksi lebih cenderung monoleader. Pola ini dapat ditemukan pada pondok-pondok pesantren tradisional/ salafiyah. Lihat A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia , 1999), h. 115
121
tidak ditentukan oleh satu orang, sehingga membuka peluang adanya benturanbenturan berbagai ide dan kepentingan.21 Akan tetapi secara keseluruhan, baik pesantren dengan status milik pribadi maupun milik institusi/ kolektif, figur kiai tetap merupakan tokoh kunci dan keturunannya memiliki peluang terbesar untuk menggantikan posisinya. Tradisi semacam ini mengingat proses pembudayaan yang terjadi di pesantren sejak awal adalah demikian halnya. Sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam pesantren menyebarkan ajaran agama Islam melalui proses pembudayaan
kehidupan
masyarakat Islam, terutama mengenai pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. 22 Demikian halnya pada Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Keadaan awal Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dipandang dari kuantitatif anggota pengurus masih sangat minim untuk ukuran kelayakan sebuah yayasan pendidikan, dan lembaga pendidikan yang dikelola baru merupakan pondok pesantren yang mengandalkan pola-pola pendidikan klasik, 23 belum 21 Secara umum pondok pesantren yang dikelola secara kolektif merupakan wujud dari adanya upaya pembaharuan dari berbagai elemen pondok pesantren tersebut. Pembaharuan ini merupakan respon dari pondok pesantren tradisional yang dalam pandangannya terdapat sisi-sisi kelemahan, pada akhirnya pembaharuan dijadikan alat untuk mengantisipasi sisi kelemahan tersebut. Sehingga dapat ditemukan orientasi yang baru pada visi, misi dan tujuan pondok pesantren. baca Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h.73 22 Pondok pesantren bisa dikatakan sebagai “bapak” pendidikan Islam di Indonesia, ia didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zamannya hal ini bisa dilihat dari perjalanan historisnya, bahwa sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah islamiyah, yakni mengembangkan dan menyebarkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama’. Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren dari sudut historal kultural dapat dikatakan sebagai “training centre” yang secara otomatis menjadi “cultural central” Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat, setidaknya oleh masyarakat Islam sendiri, oleh karena itu gelar ataupun status yang diperoleh semata-mata berasal dari masyarakat. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 40 23 Pemikiran Islam ala pesantren salafiyah yang menggarisbawahi perlunya melestarikan tradisi keilmuan Islam yang telah dibangun secara kokoh sejak berabad-abad yang lalu. Tradisi keilmuan Islam lebih khusus tradisi keilmuan pesantren, dianggap sebagai kekayaan dan kekuatan spiritual yang perlu dipertahankan, tanpa harus ditawar apalagi dipertanyakan bagaimana asal-usul tradisi tersebut. Mempertanyakan tradisi berarti meragukannya, dan bahkan dapat dianggap mengingkari wujud tradisi yang selama ini dipegangi dengan kokoh. Dalam pandangan kebanyakan muslim Indonesia, mempertanyakan tradisi setidaknya akan membingungkan umat. Tradisi
122
menggunakan sistem klasikal. Hal ini dapat dilihat dari pola/ sistem sorogan yang merupakan metode pembelajaran klasik. Hanya
perbedaannya kitab yang
dijadikan bahan sorogan bukan kitab kuning yang merupakan karangan ulama’ulama’ terdahulu, akan tetapi kitab yang dikaji untuk bahan sorogan adalah kitab suci Al-Qur’an, mengingat pada saat itu kegiatan pesantren terfokus pada upaya menghafalkan Al-Qur’an ditambah dengan kegiatan diniyyah ala pesantren klasik. Hingga pada perkembangan selanjutnya pesantren ini berupaya mengembangkan sayapnya untuk menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam yang sehingganya alumni pesantren ini diharapkan mampu berkiprah di masyarakat di tengah pergumulan masyarakat sosial yang kompleks.24 Pada saat itu pengurus/ pendiri yayasan hanya terdiri dari 5 orang sebagaimana tertuang dalam akta notaris Arief Hamidi Budi Santoso, SH tertanggal 3 Agustus 2004. Kelimanya tersebut adalah : 1. 2. 3. 4. 5.
Pembina yayasan : Drs. H. Ali Qomaruddin al-hafiz Ketua yayasan : Lamijiono, SPd. MM Sekretaris yayasan : Muslim, SPd.I Bendahara yayasan : Siti Rumzannah Pengawas yayasan : Hi. Miswadi, Bms25 Pola kelembagaan pesantren masih didominasi oleh kiai sebagai figur
sentral mengingat corak pesantren pada awal pendirian masih mempertahankan
(pesantren) merupakan sumber kekuatan yang ampuh untuk menahan badai perubahan di era gelombang perubahan sosial budaya yang kurang bersahabat dengan masyarakat muslim. Bentuk piramida pemikiran Islam yang meliputi Kalam, Fiqh, Tasawuf adalah bentuk bangunan yang “paten”, yang ghairu qabilin li al-taghyir, ghairu qabilin li al-niqas. Generasi sekarang tinggal mewarisi begitu saja warisan kekayaan intelektual-spiritual generasi terdahulu tanpa disertai sikap kritis. Tidak ada kreativitas yang bersifat inovatif untuk mengembangkan tradisi sesuai dengan perkembangan wilayah pengalaman manusia. Karya-karya manusia (ulama) klasik diposisikan sebagai panduan dan tak ada ruang berpikir untuk mempertanyakannya. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, h. 32. Martin Van Bruinessen, “Pesantren dan Kitab Kuning: Pemeliharaan dan Kesinambungan Tradisi Pesantren”, Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 4, th. 1992, h. 73-85. 24 KH. Ali Qomaruddin al-Hafiz, (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 7 Desember 2007. 25 salinan akta notaris Yayasan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
123
tradisi-tradisi lama/ klasik. Dan pada saat awal jumlah santri masih terhitung sedikit sehingga masih dapat dikontrol oleh kiai. Proses pembaharuan selanjutnya dilakukan pada bulan September 2006 dengan melengkapi anggota lain dengan harapan akan lebih mengoptimalkan gerak langkah yayasan dalam mengelola pendidikan. 26 Pembaharuan yang paling signifikan diarahkan pada komposisi personal anggota pengurus yayasan. Nama yayasan yang sebelumnya Yayasan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an diubah menjadi Yayasan Roudlotul Qur’an. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas ruang gerak yayasan, karena diharapkan pada perkembangan selanjutnya yayasan tidak hanya berada dalam ruang lingkup pesantren akan tetapi juga dapat keluar pesantren yaitu ke masyarakat luas. Penambahan anggota pengurus tidak
dapat dielakkan mengingat
kebutuhan personal dalam menjalankan organisasi yang mengalami perubahan mutlak dibutuhkan. Hal ini karena gerak-langkah yayasan yang baru telah berubah dari yayasan terdahulu, dimana kalau yayasan yang dulu hanya mengacu pada bidang pendidikan saja. Akan tetapi untuk yayasan yang baru diagendakan pula program-program lain yang tidak saja berkaitan erat dengan pendidikan an sich,
26
Kenyataan tersebut di atas menggambarkan bahwa pola pendidikan Islam yang pada giliran selanjutnya menjadi wahana pembaharuan pendidikan Islam. Karena pendidikan dipandang sebagai pintu gerbang pembuka bagi masuknya unsur-unsur pembaharuan. Pembaharuan pendidikan Islam pada esensinya adalah pembaharuan pemikiran dan perspektif intelektual, khususnya melalui penerjemahan sejumlah literatur Eropa yang dipandang esensial ke dalam pembaharuannya. Pembaharuan tersebut banyak menggunakan wahana pendidikan baik dengan cara mendirikan sebuah lembaga sebagai proyek percobaan pembaharuannya, maupun dengan cara mengembangkan pemikirannya mengenai bentuk pendidikan alternatif kepada umat Islam. Bertolak dari uraian ini, maka yang dimaksud dengan pembaharuan pendidikan Islam adalah upaya umat Islam baik oleh tokoh maupun lembaga untuk melakukan perubahan dalam pendidikan Islam ke arah yang lebih berkualitas dengan cara menyumbangkan pemikirannya sesuai dengan tuntutan zaman dengan tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, sebuah pengantar dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (terj), (Jakarta: Logos,1994) h. xiii
124
sehingga dapat dilihat dalam struktur yang ada di atas terdapat anggota-anggota yang bukan dari kalangan praktisi pendidikan.27 Pada periode 2006-2007 terdapat pembaharuan dari aspek kelembagaan yakni berupa peningkatan jumlah pengurus yayasan yang pembentukannya diharapkan akan lebih mengoptimalkan kinerja yayasan. Dalam upaya pemilihan anggota tersebut dipilih berdasarkan atas pertimbangan dedikasi dan kompetensi yang mereka miliki. Pembenahan ini diharapkan menimbulkan
adanya
peningkatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif pengurus lembaga pendidikan ini. Dari satu periode ke periode berikutnya. Namun demikian yang penting dalam penetapan jumlah pengurus yang semakin bertambah adalah aspek efisiensi dan efektifitas kerja mereka, meskipun ada sebagian pengurus yang juga merangkap sebagai tenaga pengajar. 28 Berdasar komposisi pengurus tersebut, masing-masing anggota yayasan berupaya untuk mengembangkan pesantren ini. Maka bila dikaji lebih lanjut, para pengurus di atas tidak meski orang-orang yang mempunyai latar belakang pendidikan pesantren ataupun sekolah agama. Namun berasal dari berbagai kalangan yang diharapkan mempunyai kapabilitas di bidang yang dibebankan kepadanya. Penekanan yang paling utama adalah bagaimana mereka mampu dan mau melaksanakan tanggung jawab bersama demi kebesaran yayasan. Kondisi obyektif di lapangan selama penulis melakukan observasi langsung menunjukkan bahwa aktivitas para pengurus cukup berperan dalam mengembangkan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, meskipun dalam beberapa kasus masih terdapat kekurangan. 27
Rekrutmen yang dilakukan mengacu pada pembagian tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada masing-masing anggota pengurus yayasan, contohnya untuk bidang Hubungan Masyarakat (HUMAS) dan Publikasi yayasan, maka ditunjuk seorang Wartawan dari stasiun TV Lampung (LTV). Dokumentasi Surat Keputusan Yayasan Roudlotul Qur’an nomor: 007/MUS.YPRQ /KPTS/VII/2006. 28 Hi. Beni Mustofa (Ketua Yayasan Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 23 Mei 2007
125
Di sisi lain akibat dari pembentukan pengurus yayasan yang baru ini mengakibatkan terbaginya komponen yayasan ke dalam beberapa bagian, kendati perpecahan ini tidak secara kasat mata, akan tetapi nampak dari keberpihakannya beberapa komponen ke dalam bagian-bagian tertentu. Bagian pertama merupakan para donatur awal yang tidak menginginkan
modernisasi pesantren dengan
mengubah identitas pesantren dari yang murni Al-Qur’an menjadi pesantren modern yang membuka program-program pendidikan lainnya. 29 Sementara di bagian lain para pengurus yang lebih banyak berkecimpung pada tarap praktis menginginkan modernisasi dengan membuka program pendidikan baru. Kelanjutan dari munculnya perbedaan pandangan dalam membangun dan mengembangkan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an ini adalah keengganan para donatur
terdahulu untuk menyumbangkan dananya ke pesantren. 30 Dengan
demikian pesantren perlu mengupayakan donatur baru untuk membangun pesantren lebih lanjut. Sementara
pembukaan program baru yang merupakan
pendidikan formal mendapat bantuan dari Pemerintah berupa BOS. (Bantuan Operasional Sekolah), DAK (Dana Alokasi Khusus) dan bantuan-bantuan lain. Sehingga dalam pemikiran donatur terdahulu pesantren sudah memiliki sumber dana baru yang dapat dipergunakan untuk pengelolaan pesantren.31 Di bidang kelembagaan pendidikan pada tahun ajaran 2004/2005 pesantren membuka program pendidikan Tarbiyatul Mu’allimin Wal Mu’allimat al-
29
Kelompok ini umumnya para generasi tua yang pada awal pendirian sangat antusias mendukung pesantren dengan spesialisasi Al-Qur’an. Latar belakang mereka yang umumnya semasa muda menuntut ilmu di pondok pesantren salafiah menjadikan mereka tetap pada pendirian untuk menjaga pola pendidikan ala pesantren klasik. Modernisasi bagi mereka seharusnya tidak harus membuka program baru yang berimplikasi pada hilangnya identitas tahfîz al-Qur’an. Hi. Muhammad Ma’ruf (Donatur Yayasan Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 12 Oktober 2007 30 Ustadz Ahmad Ansori (Lurah Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 17 Juni 2007 31 Selain dana-dana tersebut pihak pondok pesantren juga mendapatkan dana dari bedah APBD. yang biasanya dikucurkan oleh Pemerintah Kota Metro melalui Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) yang turun setahun sekali. Untuk tahun anggaran 2008 ini Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an mendapat bantuan dana sebesar Rp 25.000.000,00.
126
Islamiyyah (TMI)
yang berupaya memadukan pendidikan formal Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang menginduk ke Dinas Pendidikan Nasional dengan pola pendidikan Tarbiyatul Mu’allimin Wal Mu’allimat al-Islamiyyah (TMI) yang ada di Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan Madura Jawa Timur. Sehingga sekolah dengan pola seperti ini berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional dan tidak di bawah naungan Departemen Agama. Dan untuk SMP telah dikeluarkan Surat Keputusan dari Dinas Pendidikan Kota Metro tentang perizinan penyelenggaraan pendidikan dengan nomor: 420/670/01/d.3/2005. dengan Nomor Statistik Sekolah : 202126103024 dan Nomor Induk Sekolah : 200240.32 Sedang untuk SMA telah dibuka pada tahun ajaran 2005/ 2006 dengan tujuan bahwa tamatan SMP harus meneruskan ke SMA mengingat pola pendidikan TMI memang berjenjang sampai enam tahun. 33 Inilah yang membedakan dengan SMP/ SMA lain khususnya di wilayah Kota Metro dan sekitarnya. Ada perbedaan nama tentang Pondok Persantren yang menggunakan sistem Mu’allimin di Indonesia. Ada yang menggunakan istilah Kulliyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah34
yang biasa disingkat KMI seperti Pondok Modern Darussalam
Gontor, dan beberapa cabangnya serta pondok-pondok yang didirikan para alumninya, ada pula yang menggunakan istilah Tarbiyat al-Mu’allimîn al-
32
Muhammad Qomaruddin (Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum), Wawancara, tanggal 16 Mei 2007 33 Laila Rismadiati (Dewan Guru SMP TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 3 Mei 2007 34 Kulliyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah (KMI) adalah salah satu lembaga yang menangani pendidikan tingkat menengah di Pondok Modern Darussalam Gontor. Lembaga ini didirikan tanggal 19 Desember 1936. (KMI) merupakan lembaga Pendidikan Guru Islam yang mengutamakan pembentukan kepribadian dan sikap mental, dan penanaman ilmu pengetahuan Islam.Dalam sejarah perjalanannya, KMI telah lima kali mengalami pergantian direktur, secara berurutan sebagai berikut: K.H. Imam Zarkasyi (1936-1985), K.H. Imam Badri (1985-1999), K.H. Atim Husnan (1999-2002), dan K.H. Syamsul Hadi Abdan (2002-2006). K.H. Ali Sarkowi, Lc (2007). http://gontor.ac.id
127
Islâmiyyah
(TMI) seperti Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan, Madura, 35
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Jawa Timur dan lain-lain. Akan tetapi pada intinya kedua istilah ini secara umum memiliki karakteristik yang sama, yakni sistem mu’alimin yang dimungkinkan cikal-bakalnya sudah lama diterapkan di Padang Panjang Sumatera Barat. 36 Ada hal-hal yang menarik dari sistem mu’alimin ini. Pertama, semua materi pelajaran disajikan dalam sebuah kelas formal, dan sistem pengajarannya lebih modern dalam arti bukan sistem tradisional yang terkesan pasif karena hanya guru yang aktif. Kedua, perhatian yang lebih kepada fondasi keilmuan ,materi pelajaran yang disajikan, meskipun terkesan mendasar seperti kitab-kitab maraji’ (referensi) yang rendah seperti Nahwu Wadlîh37 dan yang lainnya, tapi justru itulah 35
Pondok Pesantren Al-Amin yang secara kurikulum juga mengacu pada kurikulum yang ada di Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo. Pesantren yang secara resmi didirikan pada Jum at, 10 Syawal 1371 H. bertepatan dengan 3 Desember 1971 M. merupakan wujud dari obsesi KH. Djauhari yang ingin mendirikan pondok pesantren ala Gontor di daerah Madura. Akan tetapi satu hal yang membedakannya dengan Pondok pesantren Gontor adalah di samping mengembangkan kurikulum ala TMI. Pondok Pesantren Al-Amin mempunyai spesifikasi pada pengembangan Tahfîz al-Qur’an . Departemen Agama RI. Direktori Pesantren, h. 373-376. Lembaga TMI di satu sisi dan Tahfîz al-Qur’an di sisi lain inilah yang menjadikan dasar bagi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an untuk mengadopsi kurikulum yang ada di Pondok Pesantren Al-Amin. 36 Sumatera Thawalib mulai didirikan pada sekitar tahun 1910an dari pangajian yang diadakan di surau-surau, di antara surau-surau tersebut adalah surau Jambatan Basi Padang Panjang milik Syekh H. Abdullah Ahmad & Syekh Abdul Karim Amarullah atau Haji Rasul, Surau Parabek milik Syekh Ibrahim Musa, Surau Padang Japang Payakumbuah milik Syekh Abbas, Maninjau & Batusangkar manjadikan sistem surau (halaqah) menjadi sistem sekolah yang dinamakan Sumatera Thawalib. Perguruan tersebut melaksanakan program yang sama meskipun tidak dalam semua aspek. Thawalib Parabek setelah mangalami pasang surut di tahun 1990an kini mulai bangkit dengan memperbaiki kurikulum, kualitas tenaga pengajar, kesejahteraan guru, fasilitas pendidikan dan asrama, jumlah murid pada saat itu mancapai 650. dari jumlah tersebut sebagian santri ada yang berasal dari Aceh, Riau Jambi dll. Keadaan ini berjalan hingga tahun 1960 & 1970an. Pada saat terjadi gempa bumi Gampo bangunan yang hancur sebanyak 9 lokal dan selanjutnya di bangun kembali menjadi bangunan bertingkat tiga. Pada suatu ketika pernah mengalami kesulitan mencari guru bahasa Arab, sampai-sampai dipasang iklan di koran Sumbar namun pelamar yang masuk tidak ada yang memenuhi standar, akhirnya didatangkanlah guru bahasa Arab dari Jawa. Disarikan dari makalah berbahasa Minangkabau. WWW. RantauNet, tanggal 6 Mei 2008 37 Ali Jarim dan Mustofa Amin, Nahwu Wadlîh (Jakarta: Alaydrus, t.th) Dr. Mahmud Ismail al-‘Arabiyyah li an-Nâsyi in (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) merupakan kitab-kitab yang lazim disampaikan dalam mata pelajaran Nahwu, hal ini berbeda dengan kitab-kitab yang disampaikan di pesantren-pesantren salafiyah yang biasanya mengajarkan kitab Nahwu seperti Jurumiyyah, al-
128
yang harus diperkuat. Karena semakin kuat pondasi semakin kokoh bangunan di atasnya. Ditopang dengan sistem pengajaran yang aktif-aplikatif. Diibaratkan belajar dengan sistem ini para pengajar berusaha memberikan kunci dan kewajiban para anak didik selanjutnya adalah membuka khazanah-khazanah pengetahuan yang ada dengan kunci yang telah ia peroleh tersebut. Lemari apapun kalau sudah dipegang kuncinya dapat dibuka. Ketiga, al-’Ul ǔ m al-Tanzîliyyah (ilmu-ilmu berbasis agama) disajikan secara komprehensif (menyeluruh), berbeda dengan Madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah yang ada. Keempat, sebenarnya kalau dilihat dari arti secara bahasanya, TMI berarti Pendidikan Guru Islam seakan tidak jauh berbeda dengan Pendidikan Guru Agama (PGA) tempo dulu. Hal ini dimaksudkan bahwa sistem ini berupaya mencetak kader-kader yang memiliki jiwa pendidik meskipun tidak harus berprofesi sebagai guru agama di sekolah. 38 Di lain pihak pemilihan Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah bukannya Kulliyatul Mu’allimîn al-Islâmiyyah
(TMI) dan
(KMI), menurut Ustadz Saiful
Hadi, LC, adalah terinspirasi dengan sistem mu’allimîn yang ada di Pondok Pesantren Al-Amin, Prenduan Madura Jawa Timur yang mempunyai sedikit perbedaan dengan Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur, yaitu perangkat pendidikan TMI disesuaikan dengan kondisi sosial keagamaan masyarakat yang masih kental dengan tradisionalitasnya sehingga lebih membumi. Jadi tradisi-tradisi seperti tahlilan, pembacaan al-Berzanji, dan pengajian kitab kuning dengan sistem sorogan39 semuanya ada di Pondok Pesantren tersebut. Di ‘Umrity, Al-Fiyah karangan ibn Malik. Perbedaan ini didasarkan bahwa untuk kitab nahwu yang diajarkan di pesantren modern titik tekannya pada kemampuan berbahasa Arab secara aktif dalam percakapan sehari-hari, sedangkan di pesantren-pesantren salaf pengajaran bahasa Arab lebih ditekankan untuk memahami struktur gramatika Arab yang dipergunakan untuk memahami kitabkitab klasik (kitab kuning). 38 KH. Ali Komaruddin, SQ. Al-Hafiz (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an), Wawancara, Tanggal 27 Mei 2006 39 Tradisi semacam ini merupakan hal yang lazim dilakukan di pesantren-pesantren salafiyah, bahkan dalam tradisi yang berkembang di masyarakat Islam Lampung acara tahlilan pada malam Jum at, malam pertama hingga ketujuh sesudah seseorang meninggal, dan pada malam-malam ke 40, 100, 1000 dari meninggalnya seseorang merupakan tradisi yang sangat kuat.
129
samping Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan juga mempunyai program Tahfîz al-Qur’an yang merupakan cikal bakal dari Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Hal lain yang menarik adalah sistem mu’allimin di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dikombinasikan dengan kurikulum Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Maka praktis kurikulum yang ada adalah kombinasi antara kurikulum Departeman Pendidikan Nasional dan kurikulum Mu’allimîn.40 Sehingga bukan mu’allimin an sich. Bila dianalisa tingkat responsitas yayasan terhadap modernitasnya, maka pada level yayasan ini sebenarnya bila dilihat masing-masing personal cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari komposisi personal dan bidang-bidang yang menjadi tanggung jawabnya cukup tepat. Akan tetapi bila dilihat
pada kenyataannya
masih terdapat beberapa aspek yang belum berjalan sesuai dengan harapan. Pada umumnya anggota yayasan merupakan orang-orang yang mempunyai tingkat kesibukan yang tinggi pada karier masing-masing, hal ini berdampak pada tanggung jawab yang dibebankan dari Yayasan Roudlotul Qur’an merupakan pekerjaan sampingan yang hanya sebagai lahan perjuangan. Dengan demikian kinerja anggota yayasan banyak berkisar pada tataran idealis, andaikan saja ada yang berada di tataran praksis biasanya hanya melibatkan beberapa personal saja.41 Bentuk dari minimnya dalam merespon modernitas adalah ketika menentukan/ mengangkat Kepala Sekolah baik untuk SMP maupun SMA tidak Di lain pihak pembacaan Al-Barzanji di malam walimatul ‘urs, walimatul khitan, syukuran kelahiran merupakan tradisi yang masih berlangsung. Sehingga dalam satu dusun (yang rata-rata terdiri atas 40 Kepala Keluarga) terdapat kelompok tahlilan, Berzanji baik yang dilakukan oleh ibu-ibu maupun bapak-bapak. Pada kenyataan inilah biasanya kyai pesantren juga bertindak sebagai pemimpin jamaah tahlilan di lingkungan pesantren. Kyai Rosyadi (Pemimpin Jamaah Yasin/ Tahlil dusun II Mulyojati Metro Barat), Wawancara, tanggal 22 Maret 2008 40 Ketika Departemen Pendidikan Nasional memberlakukan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), maka kurikulum ini juga diberlakukan di SMP TMI Roudlotul Qur’an dan juga pada saat kurikulum berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Ahmad Komaruddin (Waka Kurikulum SMP TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara¸ tanggal 9 Mei 2008 41 Dalam hal ini gerak langkah yayasan baru berada pada level Dewan Harian, yakni Ketua, Sekretaris, dan Bendahara. Hi. Miswadi (Wakil Yayasan Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 12 Agustus 2007
130
berkoordinasi dengan para dewan guru. Padahal manajemen di sekolah adalah antara Kepala Sekolah dan guru. 42
Dewan guru
pada hakikatnya hanya
diibaratkan sebagai pekerja/ buruh pendidikan yang hak-haknya terbatas, yang menjadi mitra pihak Yayasan Roudlotul Qur’an adalah Kepala Sekolah.43 Keadaan di atas pada akhirnya mengakibatkan kurang harmonisnya antara guru dengan Kepala Sekolah. Keadaan ini diperparah dengan kenyataan bahwa Kepala Sekolah (untuk SMP) bukan personal yang pernah berkecimpung di dunia pesantren, hal ini tentu saja dapat berakibat kurang baik, mengingat kesemua murid baik SMP maupun SMA adalah murid yang tinggal di asrama pesantren. Pada dasarnya maksud awal dari pihak yayasan ketika menentukan figur Kepala Sekolah karena didasarkan pertimbangan bahwa Kepala Sekolah hendaknya berasal dari figur PNS yang diperbantukan di sekolah swasta (DPK) agar ketika menjalankan tugas-tugasnya dapat berjalan dengan baik tanpa harus mengandalkan honorarium dari pihak yayasan. Pandangan tersebut mungkin bisa dibenarkan ketika mempertimbangkan masalah efisiensi anggaran yayasan, namun di sisi lain apakah tujuan efisiensi ini harus mengorbankan suara dewan guru untuk menentukan sikap dalam memilih figur siapa yang akan memimpinnya dalam menjalankan roda pendidikan di sekolah.44 Imbas dari kebijakan yayasan tersebut ternyata tidak cukup di situ saja, karena Kepala Sekolah bukan orang pesantren maka kebijakannya tak jarang harus
42
Muhammad Qomaruddin, Wawancara, tanggal 16 Maret 2008 Hi. Miswadi, Wawancara, tanggal 12 Agustus 2007 44 Dalam rapat penentuan Kepala Sekolah SMP TMI yang diadakan oleh yayasan Roudlotul Qur’an pada tanggal 7 Juni 2006, pihak yayasan tidak melibatkan wakil Dewan Guru yang ada. Dari para peserta rapat yang diundang semuanya hanya anggota yayasan yang tidak secara langsung terjun di kelas. Penunjukan ini hanya semata-mata pertimbangan dari pihak yayasan. Begitu pula pengangkatan Kepala Sekolah untuk SMA TMI, yayasan hanya memperhatikan pertimbangan segelintir orang untuk menentukan jabatan kepala sekolah. Pada perkembangan selanjutnya roda organisasi di sekolah terasa kurang harmonis. Pada kasus seperti inilah disadari memang semangat modernisasi yang menjunjung nilai-nilai demokrasi belum diterapkan secara proporsional. Laila Rismadiati (Guru DPK SMP TMI.), Wawancara, tanggal 16 Juni 2008 43
131
beradu kepentingan dengan para ustadz yang membina para santri di asrama yang merupakan orang-orang pesantren. Sehingga terjadi gap antara guru yang berasal dari luar pesantren dengan guru-guru dari dalam pesantren. Hal ini diperparah dengan kebijakan Kepala Sekolah yang mengubah jadwal pelajaran agama pada malam hari di luar jam sekolah. Sehingga timbul anggapan bahwa pelajaranpelajaran agama hanya pelajaran nomor dua/ skunder.45 Untuk memperkecil pihak-pihak yang berasal dari luar pesantren sebenarnya pihak pengasuh pondok telah mengusahakan upaya-upaya yang strategis diantaranya memasukkan dewan guru alumni dari Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo agar kemampuan yang telah diperolehnya dapat diberikan kepada para santri, tujuan tersebut memang baik, akan tetapi pada kenyataannya di samping mengajar & tinggal di asrama bersama para santri umumnya mereka juga masih melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi yang berada di luar pesantren. Hal ini tentu berdampak pada santri bimbingan mereka di asrama. 46 Dalam bidang keorganisasian di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an sudah menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Di bidang kepemudaan 45
Keterlibatan berbagai elemen dalam Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an memang berimplikasi pada perbedaan pemahaman dan kepentingan. Sehingga tak pelak melahirkan beberapa “kelompok” dalam memaknai dan mengupayakan modernisasi. Kelompok pertama mereka yang berasal dari kalangan alumni pesantren modern baik dari Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo, Pesantren Al-Amin Prenduan Madura, maupun dari Pondok Pesantren Modern Al-Madinah, Labuhan Maringgai Lampung Timur. Kelompok kedua merupakan kalangan yang berasal dari para alumni pesantren salafiyah,dan yang ketiga adalah mereka yang bukan berasal dari kalangan pondok pesantren baik modern maupun salafiyah. Dari kelompok-kelompok ini, kelompok ketiga merupakan bagian terbanyak yang berkecimpung di sekolah baik SMP maupun SMA. Dikutip dari Data Guru SMP dan SMA TMI Roudlotul Qur’an tahun ajaran 2007-2008. 46 Hal tersebut sejatinya tidak terjadi pada alumni Pesantren Darussalam Gontor yang hanya melaksanakan program pengabdian dalam rangka melengkapi persyaratan untuk memperoleh ijazah, karena selama masa setahun pengabdian ia hanya terfokus pada kegiatan pembelajaran di asrama dan sekolah. Akan tetapi bagi ustadz yang juga kuliah di luar, kegiatan di asrama dan sekolah seolah menjadi kegiatan kedua setelah kuliahnya. Dari sembilan orang ustadz/ah alumni pesantren modern tujuh diantaranya mengambil kuliah di luar Pesantren Roudlotul Qur’an. Husni Mubarok, (Ustadz alumni Pesantren Modern Madinah/ mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Metro), wawancara, tanggal 23 April 2008
132
santri diberi kesempatan untuk membenahi dirinya dan melatih berinteraksi dengan lingkungan sosial lewat organisasi santri yang disatukan dalam wadah Organisasi Pelajar Pesantren Roudlotul Qur’an (OPPRQ), pramuka, dan kegiatan drum band. Organisasi kepramukaan dan drum band telah berhasil menorehkan tinta prestasi antara lain: juara umum Jambore Cabang Kota Metro tahun 2006 dan Juara Umum III lomba drum band se-Provinsi Lampung tahun 2007. Anggota dan pengurus organisasi santri melaksanakan program kerja yang mendukung kegiatan akademik, baik bidang intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, dan pembinaan karakter dan jiwa kepemimpinan. Pembinaan tersebut misalnya pengembangan potensi penguasaan bahasa asing yakni Bahasa Arab dan Inggris. Upaya keras ini ternyata telah membuahkan hasil dengan sejumlah prestasi di berbagai perlombaan antara lain: Juara I Pidato Bahasa Arab tingkat pelajar seKota Metro tahun 2006, Juara I Pidato Bahasa Inggris tingkat pelajar se-Kota Metro tahun 2006, Juara I Pelajar Berprestasi se-Kota Metro 2006, dan Juara III MTQ Pelajar se-Provinsi Lampung. 47 Organisasi santri ada yang berada di bawah koordinasi sekolah (SMP/ SMA) dan ada yang di bawah koordinasi pesantren langsung. Pramuka dan drum band merupakan satuan organisasi yang ada di bawah naungan sekolah, sementara OPPRQ berada di bawah langsung pesantren, sehingga dalam kegiatannya OPPRQ tidak hanya di sekolah akan tetapi menembusi ruang hingga di asrama/ pondok. Maka tidaklah mengherankan apabila para pengurusnya diback up langsung oleh para ustadz baik yang di sekolah maupun asrama. Sementara kegiatan drum band kendati biasanya mengambil waktu di luar jam-jam sekolah namun keberadaannya tetap dalam kontrol pihak sekolah.48
47
Ustadz Khoiruddin Efendi Tohir (KA. Tata Usaha SMA TMI Raoudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 12 Mei 2007 48 Ustadz Iqbal (Pembina OPPRQ), Wawancara, tanggal 30 Mei 2008
133
Dengan memahami perkembangan di atas diketahui bahwa pembaharuan pada aspek organisasi di pesantren ini berjalan secara dinamis. Dari hasil pengamatan penulis tentang organisasi dapat diketahui bahwa kiai dan para ustadz di pesantren dapat melaksanakan tugas organisasinya dengan baik. Santri juga diberi kesempatan untuk membentuk organisasi intra maupun ekstra kurikuler.49 Menurut mereka, dengan adanya organisasi kesantrian maka santri dapat mengembangkan ketrampilannya
dengan baik di bidang kesenian, olahraga,
keterampilan berbahasa, keterampilan kepemimpinan, keterampilan menjahit/ bordir, dan lain-lain. Proses pendidikan yang berlangsung dalam suatu lembaga pendidikan biasanya akan bertumpu pada berbagai program yang meliputi tujuan, metode, dan langkah-langkah pendidikan dalam membina suatu generasi untuk disiapkan menjadi generasi yang lebih baik dari sebelumnya. Seluruh program pendidikan yang di dalamnya terdapat metode pembelajaran, tujuan, tingkatan pengajaran, materi pelajaran, serta aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran terdefinisikan sebagai kurikulum pendidikan. 50 Sehingga kurikulum merupakan suatu rencana tingkat pengajaran dan lingkungan sekolah tertentu. Kurikulum juga ditujukan untuk mengantarkan anak didik pada tingkatan pendidikan, perilaku, dan intelektual yang diharapkan membawa mereka pada sosok anggota masyarakat yang berguna bagi bangsa dan 49
Untuk acara-acara seremonial baik yang melibatkan pihak-pihak di luar pesantren maupun di dalam OPPRQ sudah berusaha untuk bisa diandalkan. Sebagai contoh kongkrit, pelaksanaan peringatan Isra’ Mi’raj yang dilaksanakan pada tanggal 30 Juli 2008 bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1429 H. menjadi tanggung jawab OPPRQ dan berjalan dengan baik. Muhammad Mukhlis (Ketua OPPRQ), Wawancara, tanggal 31 Juli 2008 50 Abdurrahman An-Nahlawi, Usul al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Asâlibahâ fî al-baiti wa al-madrasah wa al-mujtama’, terjemahan Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hal. 193. Dalam pengertian yang umum kurikulum dipandang sebagai “suatu program pendidikan yang telah direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu”. Dalam pembahasan tersebut, maka pendidikan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan, dan di dalam kegiatan pendidikan tersebut terdapat suatu rencana yang disusun atau diatur dan dilaksanakan di sekolah melalui cara-cara yang telah ditetapkan. Baca. Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 122
134
masyarakatnya, serta mau berkarya bagi pembangunan bangsa dan perwujudan idealismenya.
Secara umum biasanya dideskripsikan sebagai kumpulan mata
pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan di sekolah.51 Kurikulum yang ada di pondok pesantren biasanya bergantung pada model pesantren tersebut. Pada pondok pesantren klasik/ salaf biasanya tidak mengajarkan pelajaran umum, pelajaran agama diambil dari kitab-kitab karangan ulama’–ulama’ terdahulu, kurikulum pada jenis pendidikan pesantren ini didasarkan pada tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal (ula), tingkat menengah (Wusto), dan tingkat tinggi (‘Ulya/ ma’had ‘aly). Dengan demikian evaluasi belajar pada pesantren salaf akan sangat berbeda dengan evaluasi pada madrasah atau sekolah umum. Pada pesantren-pesantren klasik terdahulu menurut Steenbrink, sampai pada awal abad 20 M, bentuk pendidikan pesantren tidak begitu dianggap penting bagi inspeksi pendidikan, sehingga pada zaman penjajahan Belanda statistik pesantren tidak lengkap. Malah sesudah tahun 1927 M, bentuk pendidikan semacam ini (pesantren) sama sekali tidak dimasukkan ke dalam laporan resmi pemerintah. 52 Itulah sebabnya kurikulum di pesantren tidak dirumuskan secara resmi, tetapi ditentukan oleh kiai yang memiliki pondok pesantren tersebut. Meskipun secara normatif tidak diharapkan terjadinya dikotomi antar ilmu agama (‘ulǔm al-akhirah) dengan ilmu duniawi (‘ulǔm al-dunyâ), namun dalam perkembangan Islam, sebagaimana yang dipraktekkan umat Islam, terutama sesudah masa Islam klasik, dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia merupakan suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri. Azyumardi Azra menyatakan “Meskipun Islam pada dasarnya tidak membedakan ilmu-ilmu agama dan ilmu51
Noeng Muhajir, Filsafat Pendidikan Multikultural Pendekatan Postmodern, (Yogyakarta:Rake Sarasin,2004), h. 121 52 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah-Sekolah Pendidikan Islam (Modern), (Jakarta: LP3ES, 1986) h. 9
135
ilmu non agama tetapi dalam prakteknya supremasi lebih diberikan kepada ilmu agama. Hal ini disebabkan karena sikap keberagamaan dan kesalehan yang memandang ilmu-ilmu agama sebagai “jalan tol” menuju Tuhan”.53 Pesantren Roudlotul Qur’an pada awalnya kurikulum
menjadi hak
prerogatif kiai sebagai pendiri dan pimpinan pesantren. Sehingga pada saat itu kiai memprioritaskan pelajaran-pelajaran agama saja seperti: Tahfiz al-Qur’an, Tilawah al-Qur’an, Nahwu, Saraf, Tafsir, Tauhid, Fikih, Tajwid, dan lain-lain.54 Tabel 11 Daftar Mata Pelajaran Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an (2001-2004) No Materi Kitab Pengarang 1 Nahwu KH. Imam Zarkasyi, Imam Subani Durǔs al-Lughah Arabiyyah Nâsyi in Dr. Mahmud Ismail Shini, Nasif Mustofa Abd al-Aziz, Muhtar Al-Tohir Husain 2 Saraf Amtsilah KH. Ma’sum bin Aly tasrifiyyah 3 Fikih Mabâdi’ al-Fiqh Muhammad ‘Abd al-Jabbar Fathul Qarîb Ibn Qâsim al-Ghâzy Sulam al-Taufiq ‘Abdullah bin Husain Ba’alawy Bidâyah al- Ibn Rusyd Mujtahid Fathul Mu’in Zainuddin bin ‘Abd al-‘Aziz al-Malibary Risâlah al-Mahîd Masruhan Ihsan 4 Tauhid Kifâyah al-ahyâr Taqiyuddin al-Husny 5 Akhlak Ahlâq al-Banîn ‘Umar bin Ahmad Barja Ta’lîm al- Burhanuddin al-Zarnuji Muta’allim 6 Hadits Arba’in Nawâwi Muhyiddin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf 53
Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains (sebuah pengantar) dalam Charles Stanton : Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terj. Afandi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994), hal.vii. Lebih jauh lagi menurut Fazlurrahman pemikiran Islam pada masa-masa pramodern mengalami kemacetan disebabkan karena kegagalan lembaga-lembaga syari’ah untuk mengembangkan diri guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berubah. Kemacetan itu didukung pula oleh berkembangnya buku-buku pegangan, komentar-komentar (syarh) dan super komentar, hampir tidak ditemukan karya-karya yang benar-benar orisinil. Fazlurrahman, Islam & Modernity,Transformation of an Intellectual Tradition, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 2000), h. 51-52 54 Ali Qomaruddin (Pengasuh Pesantren), Wawancara, Tanggal , 16 Mei 2007
136
7
Tafsir
8 9
Tajwîd Tasawuf
al-Nawâwi Syeikh Hamami Zadah Jalâluddin ‘Abdurrahmân bin Abi Bakar alSuyǔti, Jalâluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahally Fathul Majîd ‘Abdurrahmân Bidâyah al-Hidâyah Imâm al-Ghazâli Syarh al-Hikam Ahmad bin Muhammad bin Ujaibah alHasany Tafsîr Yâsîn Jalâlain
55
Kitab-kitab tersebut kesemuanya berbahasa Arab (kitab kuning) yang menjadi acuan kurikulum kiai dibantu beberapa ustadz yang biasanya tempat tinggalnya berada di lingkungan pondok, sehingga merek tidak membutuhkan biaya transportasi untuk mengajar/ membaca kitab tersebut, karena memang pada waktu itu keikhlasan dari kiai dan para ustadz yang menjadi faktor utama berjalannya kegiatan belajar mengajar. Metode yang diterapkannya juga masih menerapkan pola-pola klasik seperti model halaqah, sorogan dan bandongan. Bila terdapat lebih dari satu kelas penjenjangannya biasanya didasarkan pada santri lama atau baru tidak berdasarkan pada tingkatan umum atau sekolah yang pernah dilalui santri tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, pondok pesantren diharapkan mampu menghadapi tantangan yang makin kompleks, sehingga Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an menginginkan anak didiknya mempunyai kecakapan yang baik dalam aspek spiritual, moral, intelektual, dan profesional, oleh karena itu pada masa perkembangannya pihak pondok pesantren dengan segenap jajarannya berupaya menyusun dan melaksanakan kurikulum terpadu seperti dikemukakan sebelumnya dengan memadukan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional 55
Kurikulum tersebut dipandang dari esensi materinya sudah termasuk kelas tinggi (‘ulya) apabila dibandingkan dengan pesantren-pesantren salafiyah lainnya. Kenyataan ini memang didasarkan pada kesemua santri yang ada adalah mereka yang sudah tamat SLTA. Ahmad Sonhaji, SPd.I, (Ketua Pengurus periode 2003-2004) Wawancara, tanggal 23 Mei 2007
137
dengan pola Tarbiyah al-Mu’allimîn Wa al-Mu’allimât al-Islâmiyyah (TMI), serta ditambah dengan materi-materi pendukung yang disesuaikan dengan kondisi dan arah tujuan pondok pesantren. Pelaksanaan kurikulum tersebut sangat mungkin dapat berjalan efektif mengingat pondok pesantren telah ditunjang dengan saranasarana pendukung yang memadai dan ditunjang pula oleh sistem asrama yang memungkinkan santri dapat belajar dengan baik.56 Setidaknya terdapat dua hal yang menarik dari perpaduan sistem ini, yakni proporsi mata pelajaran yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional dalam hal ini kurikulum Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) masih utuh tanpa adanya perubahan/ pengurangan materi pelajaran, sementara materi kurikulum Tarbiyatul Mu’allimin wal-Mu’allimat alIslamiyah masih tetap terselenggara. Dengan demikian ini menjadi pembeda dengan pola Tarbiyah al-Mu’allimîn Wa al-Mu’allimât al-Islâmiyyah yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan Madura yang notabene menjadi kiblat bagi kurikulum
Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Metro
Lampung. Ataupun sistem kurikulum Kulliyat al-Mu’allimîn Wa al-Mu’allimât AlIslâmiyyah yang dikembangkan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan cabang-cabangnya. (Direktur
Tarbiyah
Bahkan menurut Ustadz Saiful Hadi LC
al-Mu’allimîn
Wa
al-Mu’allimât
al-Islâmiyyah)
dimungkinkan pola ini merupakan yang pertama dan satu-satunya yang ada di Indonesia.57
56
Sistem asrama yang diterapkan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an bukan berarti menjadi pemasung santri dalam hubungannya dengan masyarakat luar. Untuk santri yang telah dewasa biasanya akan membaur dengan masyarakat umum pada acara-acara ritual keagamaan tertentu. Jaringan sosial yang baik inilah yang menjadikan lembaga pendidikan Pondok Pesantren dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang islami walaupun menghadapi perubahan zaman yang condong merusak tatanan kehidupan masyarakat yang positif kepada yang negatif. Lihat H. Ahmad Susilo, Strategi Adaptasi Pondok Pesantren, (Jakarta: Kucica, 2003), h. 186 57 Ustadz Saiful Hadi, LC, Wawancara, tanggal 30 Juli 2007
138
Di sisi lain, apabila pada umumnya sistem Tarbiyatul Mu’allimin WalMu’allimat Al-Islamiyyah menggunakan jenjang kelas dari kelas 1 sampai ke kelas 6, yang disejajarkan dengan kelas SMP dan SMA, namun sistem yang dikembangkan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, berbeda manakala siswa yang masuk dan memulai mengikuti pendidikan adalah lulusan SMP/ MTs, maka santri tersebut hanya menempuh pendidikan di TMI selama 3 tahun yang disejajarkan dengan
Sekolah Menengah Atas (SMA). 58 Hal ini memberikan
kesempatan bagi santri tersebut untuk dapat langsung meneruskan ke jenjang perguruan tinggi setelah menamatkan pendidikan pada sistem Tarbiyatul Mu’allimin Wal Mu’allimat Al-Islamiyyah. Kelebihan dan kekurangan dari kebijakan semacam ini tentu saja akan muncul, mengingat hal ini berkaitan dengan hasil dari proses pembelajaran yang terjadi. Kelebihannya adalah suasana kelas lebih kondusif untuk dilakukan tindakan kelas, mengingat umur dari keseluruhan siswa cenderung sama, sehingga dimungkinkan rata-rata kemampuan intelektual dan pendewasaan mentalnya tidak jauh berbeda. Kekurangannya adalah kemampuan siswa dalam mata pelajaran tertentu akan berbeda antara santri yang lebih dahulu mengenyam pendidikan dari SMP Roudlotul Qur’an yang menerapkan sistem Tarbiyatul Mu’allimin Wal Mu’allimat. Namun untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka pihak Sekolah Menengah Atas sedang melakukan pengayaan terhadap kurikulum dan sistem pembelajaran dengan memberlakukan sistem klasifikasi terhadap dua jenis siswa tersebut dengan memisahkannya pada mata pelajaran-mata pelajaran tertentu, misalnya pelajaran
Nahwu, Saraf, Balaghah, dan Mantîq. Melalui pola ini
diharapkan siswa yang telah berjalan sejak di Sekolah Menengah Pertama mendapatkan tambahan pelajaran dari apa yang telah dipelajarinya. Sedangkan 58
Khoirul Muslimin, LC (Kepala SMA Tarbiyatul Mu’allimin Wal Mu’allimat AlIslamiyyah Roudlotul Qur’an) wawancara, Tanggal 7 Agustus 2007
139
siswa yang baru saja mendapatkan pengajaran bidang studi tertentu dapat dimulai dari hal-hal yang bersifat mendasar. 59 Metode ini akan diberlakukan sampai siswa menempuh semester pertama, kamudian pada semester selanjutnya baru dilakukan penggabungan.60 Sementara di pesantren-pesantren yang ada di Kota Metro pada umumnya membuka madrasah formal demi menarik minat masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya di pesantren, karena diyakini untuk masa sekarang pesantren yang tidak mempunyai pendidikan formal biasanya kurang diminati masyarakat dan laju perkembangannya juga lamban. Sehingga pada perkembangan selanjutnya pesantren berupaya untuk memenuhi tuntutan permintaan masyarakat tersebut dengan membuka pendidikan-pendidikan formal yang sudah barang tentu kurikulumnya ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional maupun Departemen Agama. Animo masyarakat yang memilih pesantren yang mempunyai pendidikan formal memang cukup beralasan, di era yang sudah sedemikian canggih para orang tua tidak ingin anaknya ketinggalan zaman, sehingga pesantren yang mau membuka diri dengan perkembangan zaman dan mampu membuat inofasi-inofasi pendidikan yang menjadi pilihan dibanding pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama. Di sisi lain pesantren memang tidak hanya dituntut untuk menciptakan manusia yang berhasil menguasai ilmu agama tanpa memperhatikan keilmuan-keilmuan duniawi. Dengan demikian apabila pesantren-pesantren mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan di luarnya, sudah barang tentu ini merupakan hal yang baik demi perkembangan pesantren selanjutnya. 59
Kenyataan semacam itu sebenarnya juga terjadi di Pesantren Modern Wali Songo Ngabar Ponorogo, langkah yang dilakukan pihak pesantren adalah memberlakukan masa percobaan selama setahun awal pendidikan, jika sekiranya mampu maka santri tersebut langsung naik ke kelas dua, akan tetapi jika dianggap kurang mampu, maka ia akan tinggal di kelas satu lagi dengan santri-santri baru. Laila Rismadiati (Waka Kesiswaan SMP TMI./ alumni Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo), Wawancara, tanggal 23 Juni 2008. 60 Muslimin, wawancara, Tanggal 7 Agustus 2007
140
Selanjutnya bahan ajar yang dimasukkan dalam kurikulum juga harus memiliki kesesuaian dan keterkaitan (link and match) dengan kebutuhan lapangan kerja baik dalam bidang jasa, ekonomi maupun keahlian lainnya. Mengingat berbagai keahlian (skill) dan pekerjaan di era globalisasi ini begitu cepat dan dinamis, sehingga kurikulum sebagai acuan materi yang akan diajarkan harus mampu mengahantarkan anak didik untuk bisa memberi kemampuan dasar untuk diteruskan belajarnya ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan bisa langsung mengembangkan keilmuannya di masyarakat. Perkembangan kurikulum dari tahun ke tahun dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 12 Perkembangan Kurikulum Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dari periode ke periode selanjutnya Periode
Sumber Kurikulum
Keterangan
2001-2004
Kiai dan pengurus pondok pesantren
kurikulum ilmu agama
2004sekarang
Kiai, pengurus pondok, Departemen
Ditambah muatan lokal
Pendidikan Nasional
dan ekstrakurikuler
Pembaharuan kurikulum dari periode ke periode selanjutnya merupakan konsekuensi logis dari modernisasi dari kurikulum yang sepenuhnya ditentukan oleh Kiai dan pengurus pesantren menjadi kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah (Departemen Pendidikan
Nasional). Untuk daftar pelajaran yang
mengalami perubahan dapat dilihat dalam jadwal berikut: Tabel 13 Daftar Mata Pelajaran Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an (2004-sekarang) Tingkat
Kurikulum
Muatan Lokal
Kurikulum Depdiknas
Pesantren
141
SMP
Bahasa Arab
Tilâwah
Matematika
Hadîts
Mahfǔdhat
Bahasa Inggris
Tajwîd
Mutala’ah
Bahasa Indonesia
Imla’
Muhadlarah
Pengetahuan Sosial
Tafsîr
Conversation
Pengetahuan Alam (sains)
Sejarah Islam
Biologi
Fiqih
Fisika
Tauhid
Kimia
Khot
Komputer
Insya’
Kewarganegaraan
Nahwu
Grammar
Sarf
Komputer
Tarbiyah
Bahasa Lampung
Ushul Fiqh
Pendidikan Jasmani Kesenian
SMA
Nahwu
Tilâwah
Pendidikan Kewarganegaraan
Saraf
Mahfǔdhat
Bahasa Indonesia
Fikih
Mutala’ah
Bahasa Inggris
Mahfǔdhat
Muhadlarah
Matematika
Tauhîd
Conversation
Fisika biologi
Tajwîd
Kimia
Imla,
Geogerafi
Khot
Sejarah
Insya’
Ekonomi
Tarbiyah
Sosiologi
Ushul fiqh
Seni budaya
142
Tafsîr
Penjaskes
Hadîts
Komputer
Bahasa Arab
Antropologi
Sejarah Islam
Sastra Indonesia Grammar
(sumber : Dokumen Kepala Sekolah SMA TMI Roudlotul Qur’an) Di samping pelajaran-pelajaran yang diajarkan di kelas tersebut para santri juga dibekali dengan pelajaran-pelajaran tambahan yang diharapkan menjadi sarana untuk melatih pengembangan diri santri. Sejumlah pelajaran tambahan tersebut antara lain: 1) Olahraga, meliputi: Sepak Bola, Bola Volli, Beladiri, dan Tenis Meja. 2) Keterampilan, meliputi: Pertanian, perikanan, menjahit, seni bordir. 61 3) Pramuka, 4) Drum Band, 5) Seni Peran (drama), 6) Seni Musik, meliputi: olah vokal dan instrumentalia. Khusus mengenai pembelajaran bahasa asing, merupakan pembelajaran yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan, artinya proses yang terjadi merupakan upaya penciptaan budaya bahasa asing dalam keseharian. Keseharian dimaksud adalah upaya penggunaan bahasa Arab/ Inggris di luar maupun di dalam asrama. Perlu diingat bahwa sekolah yang dikelola oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an mewajibkan seluruh siswa/ santrinya untuk tinggal di asrama, dengan tujuan agar proses pembelajaran tidak hanya terjadi di ruang kelas/ sekolah yang terbatas. Akan tetapi diharapkan mampu langsung dipraktekkan dalam keseharian di asrama.
61
Khusus seni bordir dan menjahit Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an bekerja sama dengan Kantor Dinas Sosial Kota Metro. Bentuk kerja sama tersebut merupakan hasil kerja yayasan Roudlotul Qur’an. Dalam kegiatan ini yayasan juga melibatkan masyarakat sekitar pesantren untuk ikut serta dalam pendidikan ini. Muhammad Miftah (Sekretaris Yayasan Roudlotul Qur an ), Wawancara, tanggal 7 Mei 2008
143
Pendidikan integral yang terjadi di sekolah dan asrama memang sangat menunjang bagi tercapainya keberhasilan anak didik menyerap ilmu yang diberikan. Proses belajar mengajar yang terjadi dapat dikontrol penerapannya ketika anak didik berada di asrama. Ini sangat berbeda dengan sekolah yang siswanya tidak tinggal di asrama. Sehingga pendidikan dapat efektif dan efisien. Hal senada dikatakan oleh Amin Haedari (Direktur Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren
Departemen Agama) bahwa lembaga pendidikan yang
menggunakan model boarding school (siswa tinggal di asrama) yaitu pondok pesantren atau Islamic Boarding School mempunyai manfaat yang banyak bagi peserta didik, ayang diajarkan di sekolah dapat langsung diamalkan di asrama dengan pengawasan dan bimbingan para guru/ pengasuh.62
C. Aspek Pembelajaran Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an pada awal pendiriannya menggunakan sistem pengajaran tradisional/ salaf. Sebagai konsekuensinya dari sistem pendidikan tersebut, maka metode pengajarannya masih mempertahankan tradisi lama dan terbatas pada metode ceramah, bandongan, tuntunan, dan hafalan63 tetapi dalam proses perkembangan selanjutnya diterapkan sistem klasikal, meskipun sarana dan prasarana yang tersedia masih cukup sederhana. Upaya pengembangan sistem pembelajaran ini selalu diupayakan untuk mencari pola-pola baru yang dianggap cocok dan berdaya ampuh untuk melahirkan santri intelektualis. Sehubungan dengan itu pihak pengasuh dan seluruh komponan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berupaya melakukan inovasi. Pola pendidikan yang awalnya tertumpu pada aktivitas guru/ kiai (teacher centered) harus diimbangi
62
Amin Haedari, ”Boarding School Pendidikan 24 jam Sehari”, Gontor (Jakarta), Edisi 01, V. (Mei, 2007), h. 8 63 Dari beberapa sistem pembelajaran tersebut, metode hafalan menjadi metode pokok dalam menghafalkan Al-Qur’an. KH. Ali Qomaruddin, (Pengasuh Pesantren Roudlotul Qur’an),Wawancara, tanggal 11 Januari 2008
144
dengan pola student centered,
sehingga santri diberi peluang untuk dapat
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Filosofi dan paradigma mengajar tidak lagi didasarkan prinsip mengisi air ke dalam gelas, akan tetapi lebih mnegedepankan prinsip membantu terciptanya anak didik guru diharapkan
menyalakan lampu, menggali potensi, dan mempunyai kompetensi. Untuk selanjutnya
laksana bidan yang membantu dan membimbing anak
melahirkan gagasan dan produktivitasnya. Proses pembelajaran harus diarahkan kepada upaya membangun daya imajinasi dan daya kreatifitas anak didik, yaitu proses belajar mengajar yang mencerahkan dan membangun (inspiring teaching) anak didik.64 Menurut Qomari Anwar, metode penyampaian dalam bidang apapun amat penting untuk diperhatikan, karena metode dapat mempengaruhi sampainya suatu informasi secara memuaskan atau tidak. 65 Itulah sebabnya sehingga pemilihan metode pendidikan dilakuakan secara cermat dan disesuaikan dengan berbagai faktor yang terkait dari si terdidik, berupa kemampuan fisik, tingkat intelektual, dan faktor-faktor lainnya. Dalam hubungan ini menurutnya implementasi pendidikan Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam melakukan pendidikan, Rasulullah sangat memperhatikan kemampuan akal manusia,66 sifatsifat manusia, kebutuhan manusia dan kesiapan manusia dalam menerima pendidikan dan pengajaran. Faktor jenis kelamin maupun tingkat usia seseorang 64
Abudin Nata, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sejarah dan Filsafat Pendidikan, Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 20 Maret 2004), h. 7 65 Qomari Anwar, “Manajemen Pendidikan Islam” dalam Adi Sasono (ed)Solusi Islam atas Problematika Umat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1988), h. 91 66 Hal senada diungkapkan Al-Saibany bahwa memperhatikan tingkat intelektualitas anak didik menjadi sangat urgen untuk diperhatikan dalam mendidik, beliau mengutip sebuah hadits:
.ã?æÞÚÑÏÞìáÚãå ãáßäæ ã?ÒÇäã ÓÇäáÇ á? ääà ÇäÑãà ÁÇíÈä?Ç ÑÔÇÚã ä? “Kami para nabi diperintahkan menempatkan manusia menurut kedudukannya dan berbicara kepada mereka sesuai dengan akalnya.” Lihat Omar Muhammad al-Toumy al-Saibany, Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyyah, terjemahan Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 601
145
menjadi pertimbangan cermat bagi Rasulullah dalam memberikan pendidikan. 67 Oleh sebab itu, seorang guru harus menggunakan metode yang efektif dan efisien, sehingga tidak melelahkan dan membosankan anak didik, serta beragam dalam penggunaannya.68 Betapa banyak guru yang mempunyai penguasaan materi, namun mereka kesulitan dalam menyampaikannya. Oleh sebab itu pula penulis menambahkan, sebagai seorang guru harus pandai memilih dan menguasai metode yang digunakannya dan mampu mendorong muridnya berfikir dan bukannya sematamata menghafalkan. Dalam menerapkan metode pada suatu mata pelajaran, Mahmud Yunus sangat memperhatikan segi psikologis murid dengan tujuan agar pelajaran dapat dipahami dan diingat secara kritis oleh murid. Selain itu juga selalu menekankan pentingnya penanaman moral dam proses pembelajaran, sebab moralitas merupakan bagian yang sangat penting dari sistem ajaran Islam.69 Sejalan dengan pentingnya proses pembelajaran yang inovatif dan kreatif tersebut di atas, maka berbagai metode pengajaran yang lebih melibatkan peserta didik
seperti
interactive
learning,
partisipative
learning,
cooperative
learning, 70 quantum teaching, quantum learning, 71 dan lain sebagainya perlu diterapkan. Dengan kata lain, cara belajar yang melibatkan cara belajar siswa agar mampu aktif tidak hanya menekankan pada penguasaan materi sebanyakbanyaknya, melainkan juga terhadap proses dan metodologi.
67
Omar Muhammad al-Toumy al-Saibany, Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyyah, terjemahan Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.92 68 Mahmud Yunus,Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), cet ke-3, h. 85 69 Mahmud Yunus dan Kasim Bakri, al-Tarbiyah wa al-Ta’lim (Ponorogo: Pondok Modern Gontor Ponorogo, 1986), h. 12 70 HD. Sujana S, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, (Bandung: Falah Production, 2001), h. 1-6 71 Dalam Quantum Teaching pengajaran dapat diibaratkan sebagai sebuah orkestra, dimana guru bertindak sebagai konduktor atau dirigen, sedangkan murid ikut terlibat dalam permainan musik orkestra tersebut. Lihat Bobbi De Porter, et al, Quantum Teaching, (Bandung: Mizan,2001), h. 1-6
146
Konsep-konsep tersebut dimaksudkan agar proses pembelajaran dapat berjalan efektif demi mencapai keberhasilan yang mencakup tiga ranah baik kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah kognitif
karena dalam kegiatan
pembelajaran lebih menekankan pada pendalaman materi untuk membawa murid berfikir secara kritis, sehingga murid dapat mengoptimalkan kerja rasionya. Ranah afektif, dikarenakan dalam kegiatan pembelajaran juga lebih menekankan bagaimana seorang guru mampu menanamkan moral kepada murid. Sudah barang tentu hal ini harus dimulai dari kepribadian guru sebagai suri tauladan. Ranah psikomotorik, karena dalam kegiatan pembelajaran yang dicanangkan mengacu pada pengembangan semaksimal mungkin kecakapan murid, sehingga selain murid itu murid cerdas, murid juga dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan tersebut di masyarakat.Sejalan dengan itu metode pembelajaran yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an setelah mengalami perubahan menjadi: 1. Sistem Halaqah72 Sama halnya dengan pesantren-pesantren lainnya, pengajaran dengan sistem Halaqah
yaitu seorang guru atau kiai duduk di depan para santri
membacakan kitab yang dipelajari. Santri duduk bersila di depan kiai secara bersaf berbenjar ke belakang atau membentuk setengah lingkaran. Kiai memberikan pelajaran dengan menggunakan metode tuntunan dan metode ceramah. Tuntunan di sini dimaksudkan seorang kiai/ guru membacakan kitab sedang santri menyimak dan memberi makna ataupun harakat kitab yang masih “gundul” (tanpa harakat) yang lazim disebut kitab kuning. Biasanya ketika membaca makna menggunakan
72
Dipandang dari segi bahasa halaqah berarti lingkaran, orang-orang duduk berkeliling.lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: 1990),hal.107. sistem ini telah dikenal dalam Islam sejak zaman awal penyebaran Islam, baik pada masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in bahkan para filosof kenamaan seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Miskawaih, al-Mawardi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Khaldun, dan lain-lain. Baca Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), h. 311
147
bahasa jawa, akan tetapi ketika menerangkan menggunakan Bahasa Indonesia ataupun Arab.73 Untuk sistem ini menjadi sistem yang pokok bagi santri Tahfidhul Qur’an, mengingat sistem yang digunakan adalah sistem sorogan yaitu santri membaca hafalan al-Qur’an yang telah dipelajari santri dan kiai menyimak hafalan tersebut dengan teliti dan memperhatikan kefashihan, waqaf (tempat berhenti), tajwid dan sebagainya. Di samping itu, sistem sorogan
ini juga diberlakukan untuk
pengajaran kitab kuning seperti pesantren-pesantren lain. Selain itu pada materi Tafsir seorang ustadz membaca kitab disertai dengan makna lengkap kaidahkaidah nahwunya dan di kelilingi para santri dan berusaha menggali pemahaman al-Qur’an . 2. Sistem Klasikal/ Persekolahan Sistem klasikal ini diberlakukan pada pendidikan formal yang telah dibuka oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, yaitu Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Kelompok kelas belajar ialah sekelompok pelajar atau santri mengikuti pendidikan yang proses belajar mengajarnya berlangsung dalam suatu ruangan dalam jangka waktu tertentu, mengikuti pelajaran yang sama dan para santri mempunyai umur yang kurang lebih sama atau sebaya. Kemudian diadakan ujian kenaikan kelas, bagi yang lulus dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sistem
persekolahan
mempunyai
keuntungan
dan
kelebihan
bila
dibandingkan dengan sistem halaqah. Diantaranya memudahkan para guru untuk mengetahui tingkat penguasaan santri terhadap pelajaran yang diberikan, karena jumlah santri terbatas pada setiap kelas. Guru dapat mengevaluasi tingkat kemampuan siswanya terhadap mata pelajaran yang diberikan. Dalam
sistem
klasikal ini para guru di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an mengajar dengan menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, resitasi, dan 73
148
penugasan dengan menyesuaikannya dengan mata pelajaran yang cocok dengan metode tersebut. Metode tanya jawab secara umum lazim digunakan oleh para guru di pesantren ini. Mereka menanyakan kepada santri mengenai mata pelajaran yang telah dan akan diberikan kepadanya, kemudian santri menjawab pertanyaan tersebut. Dalam metode ini, santri dapat bertanya atau meminta penjelasan kepada guru mengenai mata pelajaran yang belum dipahaminya. Para santri juga dirangsang untuk aktif mengeluarkan pendapat dan menyusun pikiran-pikirannya. Dengan demikian, guru dan santri sama-sama aktif dalam proses pembelajaran. Guru mengharapkan dari peserta didik jawaban yang tepat dan berdasarkan fakta. Dalam tanya jawab, pertanyaannya kadang kala dari pihak peserta didik atau kadang kala dari guru. 74 Metode demonstrasi dikenal dengan metode yang bertujuan untuk menggambarkan yang pada umumnya berupa penjelasan verbal dengan suatu kerja fisik atau pengoperasian peralatan barang atau benda. Dalam pengajaran agama metode ini biasanya digunakan untuk mendemonstrasikan praktek-praktek pengamalan ibadah seperti sholat, pengurusan atau penyelenggaraan jenazah, seperti memandikan, mengafani, menyolati, dan menguburkan. Demikian juga praktek pelaksanaan ibadah haji. Dari beberapa metode yang dilaksanakan biasanya metode resitasi sangat dominan, dominasi ini misalnya dapat dilihat ketika di luar jam sekolah para santri dikumpulkan dalam suatu ruangan berdasarkan jenjang sekolah kemudian
74
Metode ini sudah lama dipakai bahkan sejak zaman Yunani Kuno. Metode ini dianggap diperkenalkan oleh Sokrates (469-399 SM) ahli filsafat yang cukup terkenal waktu itu. Ia menggunakan metode ini untuik mengajar murid-muridnya supaya sampai ke taraf kebenaran sesudah mengadakan tanya jawab dan bertukar fikiran, Dalam agama Islam metode ini juga diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam mengajarkan agama kepada umatnya. Baca Ramayulis,Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), h. 239
149
ditekankan untuk mempelajari pelajaran yang telah diajarkan di sekolah, dalam kesempatan ini biasanya dipergunakan untuk mengerjakan PR. D. Fungsi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Dimensi fungsional pondok pesantren memang tidak dapat dilepaskan dari hakekat dasarnya bahwa pondok pesantren tumbuh berawal dari masyarakat sebagai lembaga informal desa dalam bentuk yang sangat sederhana. Oleh karena itu perkembangan masyarakat sekitarnya tentang pemahaman keagamaan (Islam) lebih jauh mengarah kepada nilai-nilai normatif, edukatif, dan progresif. Oleh sebab itu pada umumnya masyarakat yang berada di lingkungan dimana pondok pesantren didirikan, akan terdapat suatu lingkungan yang lebih mempunyai kepedulian pada agamanya
bila dibandingkan dengan ketika belum didirikan
pesantren, bahkan di lingkungan pedesaan biasanya pengaruh pesantren ini dapat menjangkau masyarakat lebih luas lagi. Nilai-nilai normatif pada dasarnya meliputi kemampuan masyarakat dalam mengerti dan mendalami ajaran-ajaran Islam dalam artian ibadah mahdah dan juga yang ghairu mahdah, sehingga masyarakat menyadari akan pelaksanaan ajaran agama yang selama ini dipupuknya. Kebanyakan masyarakat cenderung baru memiliki agama (having religion) akan tetapi belum memahami dan menghayati agamanya (being religion).75 Artinya apabila dipandang dari segi kuantitas jumlah umat Islam sangat banyak akan tetapi bila dipandang dari segi kualitas sumber daya manusianya masih terbatas. Nilai-nilai edukatif ini meliputi tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat muslim secara menyeluruh dapat dikatagorikan terbatas, baik dalam masalah agama maupun ilmu pengetahuan pada umumnya. Sedangkan nilai-nilai progresif yang dimaksud adalah adanya kemampuan masyarakat dalam memahami perubahan masyarakat seiring dengan adanya tingkat perkembangan ilmu dan
75
Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2003), h. 35
150
teknologi. Dalam hal ini masyarakat sangat terbatas dalam mengenal perubahan itu sehubungan dengan arus perkembangan desa ke kota. Adanya fenomena sosial yang nampak ini menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga milik desa yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat desa itu, cenderung tanggap terhadap lingkungannya, dalam arti kata perubahan lingkungan desa tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
pondok pesantren.
Oleh karena itu adanya perubahan dalam pesantren sejalan dengan derap pertumbuhan masyarakatnya, sesuai dengan hakikat pondok pesantren yang cenderung menyatu dengan masyarakat desa. Masalah menyatunya
pondok
pesantren dengan desa ditandai dengan kehidupan pondok pesantren yang tidak ada pemisahan antara batas desa dengan struktur bangunan fisik pesantren yang tidak memiliki batas yang tegas. Tidak jelasnya batas lokasi ini memungkinkan untuk saling berhubungan antara kyai dan santri serta anggota masyarakat.76 Pesantren
Roudlotul
Qur’an
selama
perjalanannya
telah
mampu
menjalankan fungsi sebagai suatu lembaga yang mempunyai concern tidak hanya terhadap pendidikan akan tetapi juga telah mampu melakukan peran dan fungsi sebagai lembaga yang menghasilkan para qari’ dan qari’ah, hafidh dan hafidhah yang handal. 1. Sebagai Lembaga Pendidikan Berawal dari bentuk pengajian yang sangat sederhana, pada akhirnya pesantren berkembang menjadi lembaga pendidikan secara reguler dan diikuti oleh masyarakat, dalam pengertian memberi pelajaran secara material untuk immaterial, 76
Menurut Kuntowijoyo ketika pesantren masih kecil dengan santri yang jumlahnya relatif sedikit, pesantren sepenuhnya adalah lembaga pendidikan yang dimiliki oleh desa tempat anak-anak belajar agama Islam dan waktunya berada di luar jam sekolah formal (sore atau malam hari). Ketika pesantren manjadi besar dengan santri yang tidak hanya berasal dari desa tersebut keterikatan dengan desa biasanya mulai merenggang dan akan melepaskan diri menjadi lembaga yang berdiri sendiri, menurutnya perjalanan pesantren akan melampaui tiga fase, yaitu ketika pesantren masih terpadu dengan desa, kemudian jadi terpisah dari desa dan akhirnya dapat menjadi lembaga yang sama sekali terasing dari desanya. Baca Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan,1991), h. 253
151
yakni mengajarkan bacaan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama’-ulama’ abad pertengahan dalam wujud kitab kuning. Titik tekan pola pendidikan secara material itu adalah diharapkan setiap santri mampu menghatamkan kitab-kitab kuning sesuai dengan target yang diharapkan yakni membaca seluruh isi kitab yang diajarkan, segi materialnya terletak pada materi bacaannya tanpa diharapkan pemahaman yang lebih jauh tentang isi yang terkandung di dalamnya. Jadi sasarannya adalah kemampuan bacaan yang tertera wujud tulisannya. 77 Ketika Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an hanya mengajarkan materimateri pendidikan agama Islam dan tahfizul Qur’an, maka gambaran tersebut masih sangatlah nyata. Di saat ketika santri hanya ditekankan pada bagaimana menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa berusaha mendalaminya lebih jauh lagi dengan berbagai disiplin ilmu-ilmu yang terkait dengan Al-Qur’an. Hal ini terkait pula
pendidikan dalam pengertian yang bercorak immaterial yang cenderung
berbentuk suatu upaya perubahan sikap santri, agar santri menjadi seorang yang berkepribadian tangguh dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain mengantarkan anak didik menjadi dewasa secara psikologik. Dewasa dalam bentuk psikis mempunyai pengetian manusia itu dapat dikembangkan dirinya ke arah kematangan pribadi sehingga memiliki kemampuan yang komprehensif dalam mengembangkan dirinya.78 Dalam perkembangannya, misi pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an terus mengalami perubahan sesuai dengan arus kemajuan zaman yang ditandai dengan munculnya Ilmu pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Sejalan 77
Pola semacam ini berlangsung ketika pondok pesantren dimaksud menjalankan program yang disebut kilatan, yang dilangsungkan umumnya dimulai dari bulan Sya’ban hingga akhir Ramadhan. Sistem pembelajaran yang dilakukan adalah seorang kyai/ ustadz membaca dengan cepat suatu kitab dan menerjemahkannya dalam bahasa Jawa/ lainnya. Dan santri memberi makna/ tanda dalam kitabnya. Karena cepatnya dalam membaca ini, umumnya santri hanya mampu memberikan tanda/ rumus dalam kitabnya tanpa menulis terjemahnya. Abdurrahman (guru bidang studi fiqih, sharaf TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 7 Juni 2008 78 Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan,1991), h. 36
152
dengan terjadinya perubahan sistem pendidikannya, maka Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an makin memperjelas fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan semangat keilmuan, meskipun pada pelaksanaannya di samping pola pendidikan secara tradisional diterapkan juga pola pendidikan modern. Hal ini nampak dari kurikulum yang diajarkan, yang merupakan integrasi pola lama dan baru. Begitu pula pondok-pondok pesantren
yang termasuk
katagori modern yang berkembang akhir-akhir ini cenderung menerima dan menerapkan modernisasi ke dalam masyarakat. Di bidang pendidikan umpamanya adanya pendidikan persekolahan mendapat sambutan hangat dari pesantren, sehingga pesantren juga mengembangkan sistem pendidikan klasikal di samping bandongan, sorogan dan wetonan. Juga pendidikan ketrampilan kursus-kursus yang semuanya sebagai bekal santri yang bersifat material. Pola pelaksanaan pendidikan yang berlangsung di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, tidak lagi terlalu tergantung pada seorang kyai
yang
mempunyai otoritas sebagai figur sakral. Tetapi lebih jauh daripada itu kyai berfungsi sebagai koordinator sementar itu pelaksanaan atau operasionalisasi pendidikan dilaksanakan oleh para guru (ustadz)
dengan menggunakan
serangkaian metode mengajar yang sesuai, sehingga dapat diterima dan dapat dipahami oleh para santri
pondok
pesantren yang mengembangkan sistem
tersebut. Dalam kondisi itu berarti pesantren telah berkembang dari bentuk salaf ke khalaf yang menunjukkan perubahan dari tradisional ke modern.79 Pemahaman fungsi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan terletak pada kesiapan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an (yang dalam hal ini seluruh jajaran pengelola yayasan maupun pengurus pesantren) dalam menyiapkan diri untuk ikut serta dalam pembangunan di bidang pendidikan. dengan jalan adanya perubahan sistem pendidikan sesuai dengan arus perkembangan zaman.
79
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan,1991), h. 252
153
Menurut
Mastuhu,
sebagai
lembaga
pendidikan,
pesantren
menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, dan perguruan tinggi) dan pendidikan nonformal yang secara khusus mengajarkan agama yang sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran ulama fiqh, hadits, tafsir, tauhid dan tasawuf.80 Fungsi tersebut telah dijalankan dengan baik oleh Pesantren Roudlotul Qur’an, sehingga pesantren ini menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam yang cukup diperhitungkan di kalangan masyarakat Kota Metro maupun Provinsi Lampung pada umumnya. Sebagai lembaga pendidikan Islam, ia menjadi tempat berlangsungnya proses pembelajaran yang juga mempunyai andil besar dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana lembaga pendidikan lain pada umumnya. 1.
Sebagai Lembaga Sosial Fungsi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an sebagai lembaga sosial dapat
dilihat dari keterlibatan pesantren dalam menangani masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Atau dapat juga dikatakan bahwa pesantren bukan saja sebagai lembaga pendidikan dan dakwah tetapi lebih jauh daripada itu ada kiprah yang sangat besar dari pondok pesantren yang telah disajikan oleh pesantren untuk masyarakatnya. Pengertian masalah-masalah sosial yang dimaksud oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an pada dasarnya bukan saja terbatas pada aspek kehidupan duniawi saja melainkan tercakup di dalamnya masalah-masalah kehidupan ukhrawi, berupa bimbingan rohani. Keluasan doktrin Islam telah menyebabkan semakin menyebarnya pondok
pesantren sebagai lembaga sosial terutama di
kalangan kelompok pondok modern (khalaf) karena menerima perubahan sesuai dengan tuntunan zaman. Dan kemajuan tingkat berfikir masyarakat mempengaruhi 80
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 60
154
adanya pengembangan pesantren sebagai lembaga sosial yang cenderung mengangkat harkat dan martabat manusia. Wujud nyata sebagai upaya penggarapan bidang sosial ekonomi, adalah mengarah kepada suatu upaya peningkatan dan pengembangan ekonomi masyarakat dari tingkat sangat lemah menjadi tingkat ekonomi
sedang
(menengah), bahkan berkembang menjadi tingkat ekonomi yang lebih mapan. Termasuk juga di dalamnya pengembangan tingkat ekonomi pesantren. Hal ini secara tidak langsung mendidik para santri untuk mandiri, dalam arti kata membiayai diri dan kebutuhannya. Begitu pula masyarakat diharapkan mampu mengatur dirinya dengan tingkat kemampuan ekonominya masing-masing. Sebagai lembaga sosial Pesantren Roudlotul Qur’an dapat menampung santrinya dari berbagai lapisan masyarakat muslim, dengan tidak membedakan latar belakang dan tingkat sosial ekonomi orang tuanya. Di samping itu pesantren juga membantu para santri yang tidak mampu dengan memberikan jatah konsumsi gratis, sebagai imbalannya santri tersebut bekerja pada kiai baik di dapur umum, bangunan, ataupun tempat lain yang menjadi tanggung jawab kiai. Dalam istilah pesantren di Jawa biasanya disebut santri batih. 81 Dengan demikian pesantren telah mampu menjalankan perannya sebagai lembaga sosial, karena membantu
81
Batih merupakan bahasa Jawa yang artinya anggota keluarga, santri batih di sini dimaksudkan santri yang mondok dan belajar di pesantren namun seolah menjadi anggota keluarga kiai, sehingga keberadaannya menjadi tanggung jawab kiai, baik yang berkaitan dengan kebutuhan materi misal makan, pakaian, biaya pendidikan dan lain-lain dan juga yang bukan materi. Imbal baliknya biasanya santri batih bekerja secara ikhlas membantu semua kerepotan kiai, baik bekerja di sawah/ ladang maupun pekerjaan-pekerjaan lainnya. Kepatuhan santri batih kepada kyai menjadi sangat dominan, karena diyakini dengan kepatuhan tersebut santri tidak hanya akan mendapatkan ilmu dari kyai, namun juga mengharap barokah dari kyai tersebut. Dalam istilah lain santri batih ini diidentikkan dengan cantrik yang menurut cantrik yang berarti orang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana pergi. Cantrik selalu mengikuti ke mana saja gurunya menetap, dengan tujuan dapat belajar dari sang guru terhadap suatu keahlian tertentu. Kebiasaan cantrik dalam budaya Jawa sebenarnya masih berlangsung hingga sekarang, meskipun tidak seperti pada masa lampau Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h.19,20
155
masyarakat yang kurang mampu dengan tidak terlalu mempertimbangkan masalah materi. Sejalan dengan itu, sebagai komunitas belajar
keagamaan pesantren
mempunyai hubungan yang erat dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Dalam masyarakat pedesaan tradisional, kehidupan keagamaan merupakan bagian yang menyatu dengan kenyataan hidup masyarakat sehari-hari. Pesantren Roudlotul Qur’an sebagai lembaga syi’ar agama Islam mempunyai integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. 2. Sebagai Pengkader Ulama Al-Qur’an Pengasuh pesantren Roudlotul Qur’an yang notabene pakar tilawatul qur’an/ Qari’ menjadikan pesantren ini menjadi rujukan bagi siapa yang ingin lebih mendalami ilmu tilawatil qur’an. Di samping itu beliau juga seorang hâfiz al-Qur’an (hafal al-Qur’an 30 juz) sudah barang tentu pesantren kian menjadi tempat bagi para kaum muslimin yang menginginkan mempelajari al-Qur’an secara mendalam dan menghafalkan al-Qur’an. Tahfîz al-Qur’an memang menjadi menu utama pesantren di awal pendiriannya. Bahkan sebelum pesantren secara resmi didirikan sudah banyak santri yang belajar pada KH. Ali Qomaruddin alHafidh. Santri hafidh ini ada yang sudah tamat SLTA ada pula yang di samping menghafalkan al-Qur’an ia sedang mengikuti pendidikan di Madrasah Aliyah Darul A’mal yang lokasinya berdekatan dengan pondok Pesantren Roudlotul Qur’an ataupun yang mengikuti pendidikan di SMP/SMA Tarbiyatul Mu’allimin Wal-Mu’allimat al-Islamiyyah Roudlotul Qur’an. Berbicara tentang santri yang belajar tilawatil Qur’an dan hafidhul Qur’an umumnya mereka telah berhasil menorehkan tinta prestasi baik pada even-even daerah maupun nasional. Umumnya kemampuan mereka diuji lewat arena Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) yang diadakan setiap tahun. Terhitung sejak tahun 2002 sudah berhasil mendulang piala pada Musabaqoh Tilawatil Qur’an di
156
tingkat Provinsi Lampung. Sehingga keberadaan pesantren ini menjadi andalan bagi Kota Metro dalam pelaksanaan MTQ di tingkat Provinsi. Para alumni pesantren inipun pada umumnya telah mampu berkiprah di masyarakat dengan membuka pendidikan al-Qur’an kendati belum membentuk suatu lembaga pendidikan. 3. Sebagai Lembaga Ekonomi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berupaya selalu mengembangkan inovasi-inovasi pembelajaran
yang mau tidak mau harus membutuhkan
pendanaan yang tidak sedikit. Untuk mengantisipasi hal tersebut para pengurus yayasan berupaya membentuk sebuah lembaga ekonomi yang diharapkan dapat menopang berbagai kebutuhan pesantren tersebut. Lembaga tersebut adalah “Koperasi Roudlotul Qur’an” yang legalitasnya telah diakui dan berbadan hukum berdasarkan Surat Keputusan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Metro dengan nomor Badan Hukum : 518/003/BH/D.7.04/111/2007. Kendati pada tahap awal Koperasi Roudlotul Qur’an kegiatan pokoknya baru berupa Warung Serba Ada (WASERDA), akan tetapi untuk rancangan jangka panjang
ke depan akan diupayakan usaha-usaha lainnya. Usaha ke depan
diupayakan bagaimana melibatkan masyarakat muslim sekitar Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an untuk berupaya bersama-sama
meningkatkan taraf hidup
dengan bekerja sama di bidang ekonomi. Selain fungsi-fungsi tersebut di atas, pada dekade terakhir ini pemerintah dan masyarakat Kota Metro khususnya menaruh harapan kepada pesantren ini untuk menjadi salah satu agen perubahan (agen of change) dan pembangunan masyarakat. Pembaharuan pesantren dari segi fungsinya pada masa kini, mengarah pada substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman. Meskipun sampai saat ini belum ada data yang menunjukkan bahwa pesantren ini mampu menelorkan alumni yang mempunyai nama yang cemerlang, akan tetapi dari berbagai even MTQ dapat dilihat bahwa alumni
157
Pesantren Roudlotul Qur’an selalu menjadi utusan kafilah MTQ dari daerahnya masing-masing. Menurut Azyumardi Azra, pembaharuan pesantren juga diarahkan kepada fungsionalisasi (atau tepatnya refungsionalisasi) pesantren sebagai salah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat secara makro. Dengan posisi dan kedudukannya yang khas, pesantren menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai. 82 Pesantren ini selain berfungsi seperti dikemukakan di atas, juga berfungsi sebagai pusat informasi dan pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat di lingkungan sekitarnya. Ekonomi masyarakat sekitarnya menjadi tumbuh berkembang karena masyarakat menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok para santri dan kebutuhan pesantren pada umumnya. Hal ini berarti bahwa pesantren telah mengarah pada pembaharuan fungsi-fungsi pesantren. Tentu saja keberadaan pesantren ini sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang banyak menampung peserta didik merupakan momentum yang kondusif untuk membawa para santrinya menjadi ahli, di samping berpengetahuan teoritis, juga berpengetahuan praksis dalam berbagai aspek pengetahuan. Para santri tidak saja diberikan pelajaran
agama, tetapi juga diberikan pelatihan-
pelatihan yang berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Contoh dari bentuk pelatihan tersebut adalah mereka yang berminat diberi pengetahuan pertukangan
yang
biasanya
langsung
dapat
mempraktekkannya
dalam
pembangunan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Di samping itu juga di bidang peternakan, pertanian, menjahit, seni bordir dan lain-lain.Hal ini membuktikan bahwa pesantren telah melangkah lebih maju dari sebelumnya, yang hanya terbatas sebagai lembaga pendidikan dan pengkajian agama Islam. 82
Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” dalam Nurkholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997). h. xxi
158
Dari uraian mengenai fungsi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam konteks fungsi kelembagaan, pesantren ini mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu: pertama,
sebagai sumber ilmu
pengetahuan Islam; kedua, berfungsi memelihara tradisi Islam; ketiga, pengkader ulama’ Al-Qur’an; dan keempat,
sebagai lembaga ekonomi. Sedangkan pada
fungsi sosial pesantren ini berfungsi: pertama, menampung peserta didik; kedua, memberikan fatwa keagamaan kepada masyarakat; ketiga, pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat, dan; keempat, sebagai sumber agama Islam. Fungsi kelembagaan pesantren ini selaras dengan pendapat Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa terdapat setidaknya tiga fungsi pokok pesantren: pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge); kedua,
pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition); ketiga,
pembinaan calon-calon ulama’ (reproduction of ulama). 83 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dari aspek kelembagaan, pesantren mempunyai fungsi sebagai pewaris, pemelihara dan penghasil yaitu pewaris ilmu-ilmu keislaman dan memelihara ilmu tersebut serta mencetak ulama sebagai pengemban ilmu-ilmu keislaman.
E. Dampak Modernisasi Pendidikan Sebagai lembaga pendidikan, Pesantren Roudlotul Qur’an semenjak lahirnya telah membawa perubahan-perubahan di kalangan masyarakat setempat, yaitu: 1. Pesantren tersebut berkembang semakin maju karena dapat mengikuti irama perkembangan masyarakat. Meskipun dalam hal ini parameter yang digunakan sebatas pada kuantitas santri yang semakin lama semakin
83
Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” ,h. xxi
159
meningkat, selain itu pengelolaan pesantren dari berbagai aspek makin ditingkatkan, mulai dari pengaturan asrama, kegiatan kurikuler dan nonkurikuler, dan struktur kelembagaan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. 2. Peran Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dalam pengembangan agama Islam bagi masyarakat sekitar semakin menunjukkan hal yang positif. Kenyataan ini tampak dengan semakin banyaknya para ustadz yang memberikan ceramah-ceramah agama dan pengajian-pengajian yang berlangsung di mushola-mushola atau masjid-masjid sekitar Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Selain itu dalam kegiatan-kegiatan
ritual
keagamaan lainnya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an cukup mempunyai andil yang besar. Kegiatan tersebut berlangsung karena semata-mata diadakan oleh pihak Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an maupun yang diadakan masyarakat luar dengan bantuan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. 3. Proses pembelajaran semakin tertib, karena telah tersusun manajemen organisasi dengan baik. Tertib di sini bukan dimaksudkan dengan kakunya peraturan yang ditetapkan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, akan tetapi hal ini lebih diakibatkan dari keteraturan pengelolaan santri baik di dalam maupun di luar asrama apabila dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Ini dapat dibuktikan dengan pengakuan santri lama yang pernah mengalami belajar pada saat belum terjadi pembaharuan/ modernisasi, bahwa untuk saat sekarang santri sudah diajar dengan kurikulum yang baik, sehingga proses pembelajaran akan lebih efektif.84 4. Dampak lain dari pembaharuan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah para alumninya, selain ada yang menjadi guru agama, hafidh/ hafidhah dan 84
Ahmad Sonhaji, SPd.I(Pengurus Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 3 Mei 2007
160
qari’/ qari’ah terdapat pula para alumni yang mengabdikan dirinya pada pendidikan baik formal maupun nonformal. Sehingga masyarakat dapat mengambil manfaat dari adanya pembaharuan ini.
161
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Sebelum lahirnya Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, sistem pendidikan di Pesantren Roudlotul Qur’an hanya mengajarkan pengajian alQur’an dengan program tahfidhul Qur’an sebagai program intinya. Di samping itu diberi pelajaran tambahan dengan mengkaji kitab kuning. Sistem halaqah menjadi karakter yang melekat di pesantren ini pada awal pendiriannya. Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
berlokasi di jalan Pratama Praja
Kelurahan Mulyojati bedeng 16 B, Kecamatan Metro Barat Kota Metro Provinsi Lampung. Lembaga ini dibangun karena didorong oleh beberapa faktor; pertama, adanya ulama’/ kyai yang ingin mengabdikan diri demi majunya pendidikan Islam; kedua, karena motivasi yang kuat untuk menanamkan keilmuan Al-Qur’an terutama tahfidhul Qur’an dan tilawatul Qur’an; ketiga, keinginan yang kuat antara para tokoh pendirinya untuk memajukan praktek pendidikan agama Islam dengan menawarkan alternatif pendidikan bagi
kaum muslim masyarakat Kota Metro
khususnya dan Provinsi Lampung pada umumnya, keempat, adanya dukungan yang kuat dari
masyarakat
dan pemerintah setempat terhadap pesantren ini untuk
membina kehidupan beragama masyarakat, khususnya generasi muda. Sedangkan usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an antara lain: Pertama, pembaharuan pada aspek kelembagaan dan organisasi, yaitu dari kepemimpinan individu (kiai) kepada sistem
kepemimpinan kolektif (yayasan)
dengan pembagian kerja yang jelas. Kedua, pembaharuan pada aspek kurikulum. Pada awal berdiri penentuan kurikulum Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah semata-mata otoritas kiai, sehingga kurikulum yang ada identik dengan kiai pesantren tersebut yang pada umumnya
hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran agama Islam saja, akan tetapi
162
setelah mengalami modernisasi kurikulum tidak lagi menjadi otoritas kiai, kurikulum ditentukan berdasarkan pada kurikulum yang dibuat oleh Departeman Pendidikan Nasional, di samping itu menggunakan kurikulum Tarbiyatul Mu’allimin walMu’allimat al-Islamiyyah
yang diadopsi
dari Pondok Pesantren Al-Mukmin
Prenduan, Madura Jawa Timur. Sehingga terjadi perpaduan dan keseimbangan antara mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum. Ketiga, pembaharuan pada aspek pengajaran, yaitu dari sistem halaqah dengan metode menghapal kitab Al-Qur’an serta mengkaji kitab-kitab klasik ke sistem klasikal / persekolahan
dengan metode pengajaran
yang berlaku pada
lembaga pendidikan modern, seperti metode ceramah, Tanya jawab, diskusi, demonstrasi, drama, resitasi, dan kerja kelompok. Keempat,
pembaharuan pada aspek fungsi
Pondok Pesantren Roudlotul
Qur’an meliputi: sebagai sumber ilmu pengetahuan Islam, pemelihara tradisi Islam, sebagai pengkader ulama’ dan sebagai lembaga ekonomi, sebagai lembaga social berfungsi: menampung peserta didik, memberikan fatwa keagamaan kepada masyarakat, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi umat dan sebagai mediator penyiaran agama Islam. Dampak pembaharuan yang dilakukan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an kepada lingkungan sekitar adalah: pesantren ini dapat bertahan serta semakin maju dan aktifitas kehidupan keberagamaan masyarakat semakin meningkat.
B. Implikasi Unsur-unsur pendidikan
berupa institusi, kurikulum, dan metodologi
pembelajaran dapat berimplikasi kepada penyelenggaraan pendidikan maupun tujuan pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama Islam. Pada pendidikan agama Islam, unsur-unsur tersebut di atas memegang peranan yang cukup penting dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Sejauh manakah pendidikan agama Islam sebagai suatu subsistem dari pendidikan nasional
163
dapat mengemban cita-cita agama islam yang menjadi harapan mayoritas penduduk Indonesia. Semua upaya pengembangan pesantren dan madrasah di Indonesia dapat dipandang sebagai proses transformasi pendidikan Islam dalam upaya memenuhi tuntutan dan perkembangan zaman. Sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang berakar pada sejarah panjang dan tumbuh dari bawah (grassroot), pesantren dan madrasah memiliki arti yang
sangat penting di kalangan kaum muslimin di
Indonesia, sehingga eksistensinya terus diperjuangkan melalui berbagai jalur. Namun demikian, sebagaimana layaknya lembaga dalam suatu komunitas yang dinamis, lembaga pendidikan inipun tidak bias lepas dari perkembangan dan perubahan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Sementara itu madrasah di satu pihak berupaya menjaga karakteristik keislaman dan di lain pihak dituntut untuk mampu mengembangkan relevansi dan vitalitas kependidikan madrasah merupakan dua hal yang menjadi focus dari proses transformasi pendidikan di Indonesia. Sejak lahirnya, praktek pendidikan Islam menitikberatkan
pada aspek
keagamaan (sikap), sementara aspek intelektual kurang mendapat perhatian yang serius dari para penanggungjawabnya. Keadaan keterbukaan pendidikan pesantren pengajaran yang dapat
membawa
seperti itu tentu saja menuntut
untuk dapat mengakomodasikan metodologi para santri untuk selalu mengembangkan
wawasan dan pemikirannya secara bebas tanpa harus merasa terikat dari pandangan kiainya. Dengan demikian, kurikulum pesantren harus dikaji dari relevansi kemasyarakatan dengan segala perubahannya. Kurikulum tradisional dengan mata pelajaran kitab kuningnya perlu mengalami proses perubahan, sesuai kecenderungan masyarakat akan pendidikan. Usaha pendidikan seperti di atas, memastiakn keharusan untuk melakukan pembaharuan dan perubahan-perubahan terhadap beberapa aspek tertentu dari lembaga pendidikan pesantren maupun madrasah, dengan tetap menjamin karakter
164
pesantren yang esensial, seperti reproduksi ulama maupun memelihara tradisi dan nilai-nilai budaya Islam. Pembaharuan terhadap beberapa aspek pendidikan sangat penting dilakukan di pesantren, karena dengan melakukan pembaharuan pendidikan, pesantren akan tetap bertahan hidup dalam masyarakat yang serba maju. Upaya pembaharuan pendidikan pesantren sebagaimana telah diutarakan di atas, Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an telah mengadakan modernisasi pendidikan pada aspek kelembagaan, organisasi, kurikulum dan aspek metodologi pengajaran. Pada aspek kelembagaan
pesantren telah
mengubah pola kelembagaan yang
dahulunya pesantren cenderung kepemimpinannya dipegang seorang kiai, dalam hal ini KH. Ali Komaruddin, karena beliaulah pendiri sekaligus pengasuhnya. Kemudian pada giliran selanjutnya
kepemimpinan tunggal diubah menjadi
kepemimpinan
kolektif dalam suatu kepengurusan yayasan, sementara kiai lebih berkonsentrasi pada pembinaan santri dan yang bertanggung jawab di dalam pesantren. Dengan demikian, dalam proses perjalanannya, pesantren ini telah melakukan pembaharuan pada aspek organisasi kelembagaan. Implikasi dari modernisasi ini menjadikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dapat terus eksis hingga sekarang dalam perubahan yang sangat cepat. Dalam kaitannya dengan kontinuitas sebuah pesantren, Azyumardi Azra mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan kuat pesantren untuk
melakukan
konsolidasi organisasi kelembagaan, karena dalam perkembangannya
dalam
pesantren terjadi diversifikasi pendidikan yang diselenggarakannya, yaitu mencakup madrasah dan sekolah umum, hingga kepemimpinan tunggal tidak lagi memadai lagi. Selain pembaharuan pada aspek kelembagaan dan organisasi, Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an melakukan pula pembaharuan pada aspek kurikulum dengan mengadakan perubahan jumlah jam dan mata pelajaran. Pada awal perkembangannya semua mata pelajaran bersumber dari kitab kuning (berbahasa Arab) yang 100% mata pelajaran agama Islam. Akan tetapi pada perkembangan
165
selanjutnya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum dan membuka pendidikan umum yaitu SMP dan SMA. Pembaharuan pada aspek kurikulum ini berimplikasi pada pola kehidupan santri yang pada awalnya mengutamakan aspek sikap (prilaku) saja, kemudian menjadi seimbang antara aspek sikap dan aspek intelektual serta pengembangan wawasan. Pembaharuan aspek metodologi pengajaran juga dilakukan, yaitu dari pengajaran sistem halaqah saja kepada pengajaran sistem klasikal/ persekolahan. Dalam pengajaran sistem halaqah perhatian kiai sebagai pengasuh biasanya kurang mempunyai titik singgung dengan aspek psikologis santri. Pada sistem ini tahapan pertumbuhan jasmani dan perkembangan jiwa santri kurang mendapatkan perhatian, baik secara fisik, mental, intelektual, maupun sosial. Berbeda dengan pelaksanaan pembelajaran dengan sistem persekolahan. Pada sistem ini aspek filosofis, psikologis, maupun aspek sosiologis tampak diperhatikan. Pelajaran yang diberikan dan metode mengajar yang digunakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual anak di setiap jenjang pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tingkah laku dan perkembangan intelektual santri menuju kedewasaan yang komprehensif akan tercapai melalui pembaharuan kurikulum dan metode mengajar yang digunakan. Penggunaan metode diskusi atau resitasi misalnya, di dalam proses belajar mengajar di pesantren ini berimplikasi pada pengembangan wawasan para santri karena mereka dapat melatih diri untuk mengorganisir pikiran-pikirannya dalam mengeluarkan pendapat dan dapat menjaga kestabilan emosinya dalam berdiskusi. Dari pembaharuan beberapa aspek pendidikan tersebut di atas, menjadikan factor utama pesantren ini dapat bertahan dan berkembang. Implikasi pembaharuan tersebut menjadikan Pesantren Roudlotul Qur’an semakin mempunyai keterkaitan erat yang tidak
terpisahkan dengan masyarakat sekitarnya.
Masyarakat dan
Pemerintah Kota Metro sangat mendukung keberlangsungan pesantren ini. Umumnya mereka memberikan bantuan dana dengan menjadi donatur tetap/ donatur
166
rutin untuk pembangunan pesantren, atau banyak juga yang memberikan bantuan tenaga maupun pikiran demi kemajuan pesantren. Sebaliknya, pesantren ini memberi jasa kepada masyarakat, tidak hanya memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial (fatwa-fatwa), dan kehidupan ekonomi bagi masyarakat dan lingkungannya. Bagi Kota Metro mendapat keuntungan, terutama untuk pengiri,am kafilah Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) maupun even-even perlombaan keagamaan lainnya.
C. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, maka untuk menjamin kontinuitas pesantren ini perlu direkomendasikan gagasan penulis sebagai berikut: Kendati kerja sama antara pihak pesantren Roudlotul Qur’an
dengan
masyarakat dan pemerintah sudah berjalan baik selama ini, akan tetapi kerja sama tersebut sebaiknya terus dijaga dan ditingkatkan, bukan saja dalam komitmen moral akan tetapi lebih diarahkan kepada partisipasi nyata masing-masing pihak; yaitu masyarakat lebih mengarahkan anak-anaknya untuk masuk ke pesantren dan ikut serta dalam pembangunan pesantren dengan kemampuan masing-masing. Pemerintah sebaiknya membantu pesantren dengan menganggarkan secara rutin ke dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kota Metro, dan pihak pesantren lebih proaktif lagi dalam melakukan pembinaan kehidupan masyarakat baik melalui lambaga maupun dakwah dan fatwa. Selain itu hendaknya pesantren memberi dukungan yang kuat terhadap program-program yang dicanangkan pemerintah terutama mewujudkan Kota Metro sebagai Kota Pendidikan. Supaya pembaharuan pendidikan tetap berjalan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, maka sumber daya manusia (SDM)
tenaga pendidik
perlu
ditingkatkan kualitas dan kualifikasinya serta jumlahnya sampai kepada tingkat memadai melalui penataran-penataran kependidikan atau melanjutkan pendidikan formalnmya ke jenjang yang lebih tinggi (S1-S2). Selain itu, pesantren ini perlu
167
mengupayakan para alumninya
yang berprestasi tinggi untuk dapat melanjutkan
pendidikan formalnya ke Negara-negara Timur Tengah dan Perguruan Tinggi dalam negeri supaya kelak bisa direkrut menjadi tenaga pendidik di pesantren ini.
168
DAFTAR PUSTAKA
Buku Abdullah, Taufik (ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI), 1991 Ahmed, Akbar, Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, terbitan Routledge, London Anderson, C. Arnold, “The Modernization of Education”, dalam Modernization-The Dynamics of Growth, Myron Weiner (ed) New York: Basic Books, inc., 1966 Al-Abrâsyî, Muhammad Atiyah, Al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Falsafatuhâ, Mesir: Isa al-Bâby, 1975 Al-Attas, Muhammad Naquib, The Concept of Islamic Education, Kuala Lumpur: ISTAC,1994 Ali, Muhammad”Reorientasi Makna Pendidikan : Urgensi Pendidikan Terpadu”, dalam Marzuki Wahid, dkk (ed), Pesantren Masa Depan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999 Ali, Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press, 1987 Anwar, Qomari, “Manajemen Pendidikan Islam” dalam Adi Sasono (ed) Solusi Islam atas Problematika Umat, Jakarta: Gema Insani Press, 1988 Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam : Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1996 Arifin, Imran, Kepemimpinan Kiai, Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Jombang: Kalimasada Press, 1991 Arikunto, Suharsimi, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990 -----------, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, 1998
Jakarta; Rineka Cipta,
Asari, Hasan, Modernisasi Islam, Tokoh, Gagasan dan gerakan, Bandung : Cipta Pustaka Media, 2002 Azizy, A. Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi, dan Modernisasi menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 -----------, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan, dalam Nurcholish Madjid, Bilikbilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: paramadina, 1997 -----------, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998 Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996 -----------, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1979 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1982 Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, Grand Design Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren 2004-2009, Jakarta, DEPAG RI, 2005 Fadjar, A.Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia , 1999 Fazlurrahman, ISLAM & MODERNITY,Transformation of an Intellectual Tradition, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000 Anis Ibrahim, al-Mu’jam alWasith, juz 1, Kairo: t.p., 1972 Gani, Abdul dan H. Syamsuddin, Tajdid Dalam Pendidikan Dan Masyarakat, Kuala Lumpur: Persatuan Ulama Malaysia, 1989 Gazalba, Sidi, Islam dan Perubahan Sosiobudaya, Kajian Islam tentang Perubahan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Al Husna, 1983 Ghazali, Bahri, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Prasasti, 2003 Hadar, Ivan A, Pengaruh Politik Pendidikan Pesantren, Makalah Seminar, Pesantren dalam Perspektif Pengembangan Ilmu dan Masyarakat, Jakarta : 1985 Haedari, Amin dan M. Ishom El-Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyyah, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004 Haedari, Amin & Abdullah Hanif (ed) Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta: IRD Press, 2005 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999 Hassan, Muhammad Hassan dan Nâdiyah Jamâl al-Din, Madâris al-Tarbiyah fi alHadârah al-Islâmiyah, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1984 Hasyim, M. Affan, Menggagas Pesantren Masa Depan, Yogyakarta: Qirtas, 2003
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Universitas Indonesia Press & Tintamas, 1986 Hielmy, Irfan KH., Modernisasi Pesantren, Meningkatkan Kualitas Umat Menjaga Ukhuwah, Bandung: Nuansa, 2003 Imran, Arifin, Kepemimpinan Kiai, Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Jombang: Kalimasada Press, 1991) John, W. Best and James V. Kahn, Research in Education, Boston: Allyn and Bacon,1993 Khadim, al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah: t.th Khalid, Abu MA, Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, (Surabaya: Karya Ilmu, t.th) Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997 Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan,1991 Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003 Madjid, Nurcholish, “Masyarakat Religius dan Dinamika Industrialisasi” , Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987 -----------, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997) Al-Mahallî, Jalaluddin dan Jalluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuty, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm lil Imâmain al-Jalâlain, Semarang: Makatabah Toha Putera, t.th Mahfudh, Sahal, KH. MA. Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS , 2003 -----------, Pesantren Mencari Makna, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999 Al-Maududî, Abu al-A’la, Langkah-Langkah Pembaharuan Islam, Rahmad dan Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1984
terj. Dadang
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Malik, Dedy Djamaluddin (ed), ZAMAN BARU ISLAM INDONESIA, Pemikiran dan Aksi Politik, Jakarta: Zaman Wacana Mulia, 1998 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994 Mas’ud, Abdurrahman dalam, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Ismail SM. Et.al. (ed) Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000 Moestoko, Sumarsono, Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman, Jakarta: Balai Pustaka, 1986 Muhajir, Noeng, Filsafat Pendidikan Multikultural Pendekatan Postmodern, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2004 -----------, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000 Mutahhari, Murtadha, Gerakan Islam Abad XX, (terj) Fachry Ali, Jakarta: PT. Boenabi Cipta, 1986 Muzadi, Hasyim, Nahdlatul Ulama’ di tengah Agenda Persoalan Bangsa, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2002 An-Nahlawî, Abdurrahman, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibaha fi albaiti wa al-madrasah wa al-mujtama’, terjemahan Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1994 Nata, Abuddin, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003 -----------, Modernisasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006 -----------, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sejarah dan Filsafat Pendidikan, Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 20 Maret 2004 -----------, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2003 Noer, Deliar, gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1945, Jakarta : LP3ES, 1980 Pasha, H. Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Pedersen, J, The Arabic Book, (terj), Bandung: Mizan, t.th Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi pendidikan,Jakarta: Gunung Agung, 1976 Porter, Bobbi De, et al, Quantum Teaching, Bandung: Mizan,2001 Al-Qardlawî, Yusuf, al-Rasul wa al-Ilm, (ter) Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991 Al-Qusyairî, Abî ‘Abdullâh Muhammad ibn Yâzid, Al-Sunan Ibnu Mâjah, t.tp: Isa al-Bâbi wa Syirkah
Al-Qusyairî, Muslim Ibn al-Hajjâj ibn Muslim, Sahîh Muslim, Kairo: Dar al-Hadis, juz III Al-Syaibanî, Omar Muhammad Al-Toumy, Falsafah al-Tarbiyah al-Islâmiyyah, (terj) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979 Rahardjo, M. Dawam (ed), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985 Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2005 Robert, C. Bogdan and Knopp Biklen, Qualitative Research for Education, an Introduction to Theories and Methods, Boston, 2003 Rosyada, Dede, Bahan Ajar Penelitian Kualitatif Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saleh, Abdul Rahman, Konsepsi dan Pengantar dasar Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: DPP GUPPI, 1993) Saridjo, Marwan, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1983 Saurah, Abû Îsâ Muhammad ibn Îsâ, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan,1992 Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (terj), Jakarta: Logos,1994 Steenbrink, A Karel., Pesantren, Madrasah, Sekolah-Sekolah Pendidikan Islam (Modern), Jakarta: LP3ES, 1986 Sujana, HD. S, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, Production, 2001
Bandung: Falah
Suparta, Mundzier (ed), Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003 Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode, dan Teknik, Bandung; Tarsito, 1982 Susilo, Ahmad, MSi, Strategi Adaptasi Pondok Pesantren, Jakarta, Kucica, 2003 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak, Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2004 Tauchid, Moh, Masalah Pendidikan Rakyat, Bogor: Dewan Partai-Partai Sosialis Indonesia Bagian Pendidikan dan Penerangan, 1954 TILAAR, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2002
Van, Bruinessen Martin, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1992 Wahid, Abdurrahman, “Agama dan Modernisasi adalah satu”, dalam Majalah Komunikasi Ekaprasetia Pancakarsa, No. 40/ Thn. VI/ 1985 -----------, Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan, dalam Manfred Oepen, dan Wolfgang K. (ed), Dinamika Pesantren, (Jakarta: P3M, 1988) Wijaya, Cece, dkk., Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Bandung: CV.Remaja Karya, 1988), cet. ke-1, Woodward, Mark R., Islam Jawa, Yogyakarta: LkiS, 1999 Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997 Yunus, Mahmud, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990, cet ke-3. -----------, al-Tarbiyah wa al-Ta’lim Ponorogo: Pondok Modern Gontor Ponorogo, 1986 Yûsuf, Al-Hasan Muhammad, Pendidikan Anak dalam Islam, (terj) Muhammad Yusuf Harun, Jakarta: Darul Haq, 1998 Zarkasyi, Abdullah Syukri, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005 -----------, Pondok Pesantren Sebagai Alternatif Kelembagaan Pendidikan Untuk Program Pengembangan Studi Islam Asia tenggara, Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 1990 Az-Zarnuji, Burhanudin, Ta’lîm al-Muta’alîm, Semarang : Toha Putera, t.th. Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Butche B. Soendjono (terj), Jakarta: LP3M, 1985 az-Zuhaili, Wahbah, Al-Qur’an al-Kariim : Bunyatuhu al-Tasyri’iyyah wa Khasaa’isuhu al-Hadhaariyyah¸ (terj) Syarif Hade Masyah, Jakarta: Mustaqim, 2002 Zuharini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004 Kamus Anis, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasith, juz 1, Kairo: t.p., 1972 Cowen, J. Milten (ed) Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, New York:t.p., 1971
John, M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003 Manzur, Ibn, Lisaan al-Arab, T.tp: Darul Ma’arif, t.th Munawwir, A.W, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 Webster, Noah, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of English Language, The United States of America: William Collin Publisher, INC, 1980 Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: 1990 Majalah Majalah Gontor (Jakarta), Edisi 01, V. Mei, 2007 Majalah Komunikasi Ekaprasetia Pancakarsa, No. 40/ Thn. VI/ 1985 Majalah Taswirul Afkâr, edisi No.6 tahun 1999, h. 97 Wawancara Muhammad Amin HS, S.PdI (Kepala Tata Usaha SMK Darul A’mal) KH. Ali Komaruddin, al-Hafiz, (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an) Saifurrizal SPd (Kepala Asrama Pelajar Kota MetroLampung ) Muhammad Syarif (Santri Pondok Pesantren Darul A’mal) Rosyadi (Pemimpin Jamaah Yasin/ Tahlil dusun II Mulyojati Metro Barat) Ahmad Komaruddin (Waka Kurikulum SMP TMI Roudlotul Qur’an), Muhammad Saiful Hadi, Lc, (Direktur TMI Roudlotul Qur’an), Husni Mubarok (Ketua Seksi Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an), Ira Shofiyatuzzulfa (santri tahfiz Roudlotul Qur’an) Abdurrahman (Ustadz Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an alumni Pesantren Salafiyah), Laila Rismadiati, SPdI (alumni Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo/ Dewan Pembina Asrama Pondok pesantren Roudlotul Qur’an), Muhammad Sayyid Wijaya (alumni Pondok Pesantren Darussalam Tegineneng) Khalimi (Ta’mir Masjid Darul Muttaqin, desa Rejokaton Kecamatan Raman Utara) Ahmad Sukemi (Ketua Kelompok Santri Tambak Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa)
Muhammad Muhibbin (Pengasuh Pesantren Tri Bhakti Al-Mubarok, desa Umbul Raman Keramat, Spontan yang berada di wilayah Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten Lampung Tengah) KH. Ihwanul Faruq (Ketua Ikatan Alumni Santri Tri Bhakti Attaqwa), Ky. Umar Ansori (Pengasuh generasi kedua pondok Pesantren Darul A’mal Metro) Muhammad Muballighin Adnan, S.HI, Attaqwa)
(Kepala Lembaga Pendidikan Tri Bhakti
KH. Imam Suhadi (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qodiri), Muhammad Nurul Baqy (Kepala Madrasah Diniyah Tri Bhakti Attaqwa AnNahdliyyah), Musnad Ngaliman. S.H.I, (Ketua Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Periode 20042005) Heri Suwarto, S.PdI (Ketua Persatuan Guru Diniyah Indonesia Cabang Metro Lampung)