TINJAUAN ATAS PEMAHAMAN MAKNA “OGOH-OGOH” BAGI MASYARAKAT YANG MELAKSANAKAN NYEPI DI BALI Oleh; Dr. GPB Suka Arjawa, M.Si. (Staf Pengajar Sosiologi, Fisip, Universitas Udayana)
Abstrak Sejak akhir dasawarsa delapanpuluhan, setiap menjelang Hari Raya Nyepi di Bali pasti diramaikan dengan arak-arakan atau karnaval “Ogoh-Ogoh”. Pawai ini diselenggarakan pada hari Pengrupukan, sehari menjelang hari raya Nyepi. Hampir setiap banjar di Bali membuat dan menggelar pawai “Ogoh-Ogoh” tersebut. Karena itu dapat dikatakan bahwa pada hari tersebut, ribuan “Ogoh-Ogoh” tampil dan menyemarakkan suasana. Bahkan acara seperti ini telah digelar di berbagai wilayah Indonesia. Di Surabaya dan Jakarta misalnya, rutin digelar pawai tersebut, baik dengan alasan toleransi agama maupun atraksi untuk pariwisata. “Ogoh-Ogoh” mempunyai makna tersendiri dalam konteks mitologi masyarakat Bali tradisional, sebagai kekuatan jahat yang mesti dibasmi. Akan tetapi, pemaknaan tersebut tidak secara serta merta dimengerti oleh masyarakat, apalagi generasi muda. Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui sejauh mana pemahaman makna “Ogoh-Ogoh” tersebut bagi masyarakat, dan bagaimana seharusnsya ritual yang dilakukan. Mereka yang menjadi khalayak penelitian adalah anggota masyarakat terutama yang terlibat dalam pembuatan dan pelaksana pawai tersebut. Penelitian dan observasi dilakukan di beberapa desa di Kabupaten Tabanan, di Desa Samsam, dan di daerah Dalung, kecamatan Kuta Utara. Di dua desa ini pembuatan “Ogoh-Ogoh” selalu semarak. Pada masyarakat Dalung, konteksnya agak berbeda karena di daerah ini sebagian masyarakat memeluk Kristen Katolik dan Protestan. Pendakatan yang dipakai adalah kualitatif, dengan langsung melihat arak-arakan tersebut dan bertanya kepada pelakunya. Teori yang dipakai adalah hermeneutik, yang sekaligus menjadi metode tambahan bagi penelitian. Untuk melihat keterkaitan antara Hari raya Nyepi dengan maraknya karnaval “Ogoh-Ogoh” akan dipakai teori perubahan sosial. Temuan yang didapatkan adalah bahwa masyarakat memahami maknanya tetapi tidak tahu bagaimana ritual yang seharusnya dilakukan. Mereka lebih memaknai “Ogoh-Ogoh” sebagai bagian atraksi pariwisata dan Hari Raya Nyepi. Kata Kunci: Ogoh-Ogoh, Pengrupukan, Nyepi
Latar Belakang “Ogoh-Ogoh”
merupakan
kata
populer
di
Bali,
dimulai
sejak
awal
dekade
delapanpuluhan. Sebelumnya kata ini kurang dikenal masyarakat. Dekade itu pertunjukkan “ogoh-ogoh’ merupakan solusi sosial yang dilakukan pemerintah terhadap berapa kecelakaan yang menimpa masyarakat menjelang Hari Raya Nyepi. Banyak terjadi kecelakaan berupa luka
bakar akibat meledaknya meriam bambu yang dipakai masyarakat. Meriam bambu biasanya dipakai oleh masyarakat untuk merayakan Nyepi dengan menggunakan minyak tanah. Dengan kejadian itulah kemudian pemerintah mengimbau masyarakat untuk tidak memakai meriam bambu lagi jelang hari Hari Raya Nyepi, melainkan dengan memakai “ogoh-ogoh” sebagai sebuah pertunjukan di Hari Pengrupukan, satu hari menjelang Nyepi. Hari Pengrupukan merupakan upacara pecaruan, upacara korban, untuk membersihkan semua lingkungan menjelang pergatian tahun. Dapat saja ditafsirkan bahwa Hari Pengrupukan merupakan hari bersih-bersih untuk menyambut pergantian tahun. “Ogoh-ogoh” merupakan simbolisasi jahat dari kehidupan dunia sosial yang harus dihapuskan. Maka, sebagai simbolisasi ia harus dibersihkan dengan dibakar dilenyapkan dari kehidupan dunia sosial. Sebelum dibakar, simbol ini diusung terlebih dahulu. Pengusungan itu bisa saja ditafsirkan sebagai keberhasilan manusia untuk menangkap mahluk atau kekuatankekuatan jahat yang mengotori dunia. Hasil penangkapan itu kemudian dipamerkan kepada seluruh warga sebagai wujud keberhasilan dan kegembiraan, kemudian dimusnahkan secara bersama-sama. Wujud dari “ogoh-ogoh” adalah boneka besar dengan bentuk macam-macam dengan persepsi dan penampakan jelek, mengerikan,
buruk
dan sejenisnya
yang
dipersonifikasikan seperti bentuk babi, raksasa, sengkuni atau apapun yang dipersepsikan buruk oleh manusia.Dalam konteks simbolisi tersebut, tidak harus dilakukan dengan wujud boneka besar. Sebagai simbol jahat, ia dapat berbentuk kecil yang kemudian dimusnahkan. Akan tetapi, praktik dalam masyarakat Bali Hindu, justru dibuat yang besar-besar. Yang terakhir ini mirip seperti yang dikatakan Clifford Geertz yang menyatakan bahwa upacara itu merupakan teater untuk memperlihatkan kemampuan diri (Geertz, Hadikusumo, 2000: 126). Disini kemampuan diri itu ada pada pembuatan boneka yang besar. Dana yang dihabiskan untuk membuat boneka besar itu mencapai jutaan rupiah, dengan waktu berminggu-minggu sampai satu bulan. Biasanya satu bulan menejelang Hari Raya Nyepi, masyarakat, terutama generasi muda, mulai mengerjakan boneka ini di Balai Banjar atau di tempat yang dipandang cocok dan strategis. Banyak dari generasi muda yang mengerjakan boneka itu sibuk sampai dinihari. Dan sebagai pelepasan gejolak anak muda, mereka membunyikan lagu dengan volume keras di malam hari, tanpa memperhatikan lingkungan. Minum-minuman keras juga menjadi bagian dari pekerjaan tersebut. Pada awalnya, bahan yang dipakai untuk membuat boneka ini adalah bahan-bahan alami seperti bambu atau kayu yang diikat dan dibentuk menjadi boneka. Akan tetapi, hal ini kemudian dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku bisnis yang mengenalkan stereofoam untuk pembuatannya. Juga berbagai bahan dari besi. Jika dihubungkan dengan keamanan
lingkungan, perkembangan sekarang jauh lebih membahayakan dibanding sebelumnya. Apabila menggunakan bahan bambu, “ogoh-ogoh” akan terbakar habis setelah diarak. Akan tetapi apabila menggunakan bahan stereofoam, itu tidak akan dapat terbakar dan mengotori lingkungan. Perkembangan kemudian yang ada adalah bahwa “ogoh-ogoh” yang dibuat menjelang Nyepi itu, justru tidak dibakar tetapi dipamerkan di jalan-jalan. Hal ini jauh menyimpang dari makna pembuatan “ogoh-ogoh” sebelumnya. Sebagai daerah pariwisata ada kemudian himbauan pemerintah untuk mengarak “ogohogoh” ini sebagai sebuah karnaval. Itulah yang kemudian terjadi sepanjang dekade sembilan puluhan sampai sekarang, dimana masing-masing banjar yang membuat boneka ini mengaraknnya di jalan-jalan. Jadi, sepanjang sore di Hari Pengerupukan, ada ribuah “ogohogoh” yang diarakan di jalan-jalan di Bali. Dipastikan di saat itu, secara hampir bersamaan kemacetan akan terjadi di seluruh jalan di Bali. Turis yang datang ke Bali, baik yang domestik maupun internasional, diuntungkan oleh adanya karnaval ini. Bahkan perkembangan lebih lanjut, ini juga dimanfaatkan pemda lain di Indonesia dimana ada umat Hindu, untuk membuat pawai “ogoh-ogoh” juga, seperti yang ada di Surabaya atau Jakarta. Permasalahan
Jika diukur dari dekade delapanpuluhan, maka sampai saat ini telah tiga dekade sudah “ogoh-ogoh” itu, baik sebagai festival, ritual maupun himbauan, telah berkembang di masyarakat. Pada masa itu juga generasi baru yang muncul menjadi terinternalisasi dengan pawai boneka ini. Akan tetapi, masyarakat Bali pada umumnya serta generasi muda Bali, tidak memahami apa yang menjadi makna dari pemunculan tersebut. Karena tidak ada pemahaman itulah kemudian terjadi penyimpangan berbagai praktik yang ada pada pelaksanaan Hari Raya Pengerupukan, yang menampilkan “ogoh-ogoh”. Itu pula yang menjadi sebab dari kerugiankerugian sosial dari praktik karnaval. Pertanyaan yang Diajukan 1). Mengapa masyarakat tidak memahami makna dari “ogoh-ogoh” dan praktik karnavalnya? 2). Apa yang menjadi akibat dari tidak adanya pemahaman yang utuh terhadap makna ini? 3). Kerugian sosial
dan lingkungan apa yang diakibatkan oleh tidak adanya pemahaman
tersebut? 4). Bagaimana solusi yang dapat dilakukan terhadap kerugian tersebut?
Lokasi dan Metodologi Observasi dan penelitian lapangan ini dilakukan di beberapa desa di Kecamatan Kerambitan, kabupaten Tabanan, Bali pada dua tahun terakhir, 2014 dan 2015. Hari Raya Nyepi jatuh pada bulan Maret setiap tahun. Di kecamatan tersebut, penelitian di lapangan di lakukan di Banjar Penyalin (setahun yang lalu, 2014), serta banjar yang ada di perbatasannya, yaitu Selingsing dan Kutuh. Tetapi sebgian juga dilakukan di daerah Badung, yaitu di Dalung dimana pada masyarakat disini semangat untuk membuat “ogoh-ogoh” ini masih tinggi. Metode yang dilakukan adalah observasi, mengamai penampilan “ogoh-ogoh” itu saat berparade dan diusung ramai-ramai. Pertanyaan diajukan kepada pihak-pihak yang membuat boneka tersebut, terutama pada generasi muda. Orang tua juga diwawancara dengan tujuan untuk melihat fenomena yang ada sebelum dekade delapanpuluhan. Wawancara dilakukan dengan mendalam, sampai keemudian menemukan titik
jenuh, dalam arti jawaban yang
didapat telah menggambarkan deksripsi yang sama seperti sebelumnya.
Landasan Teoritis
Teori yang dipakai disini untuk membimbing adalah konstruksi sosial yang dikemukakan oleh Peter l. Berger, khususnya tentang eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi. Dimana masyarakatlah yang mennciptakan realitas sosial ini sebelum kemudian diinternalisasi kembali oleh masyarakat tersebut sebagai realitas obyektif yang ada. Temuan Lapangan dan Pembahasan Fenomena “Ogoh-ogoh” Hari Raya Nyepi merupakan tahun Baru Saka bagi masyarakat Hindu Bali. Makna hari raya ini sesungguhnya merupakan perenungan terhadap kehidupan manusia, baik kehidupan sosial maupun pribadi. Dalam perenungan itu, diharapkan ada kontemplasi diri atas perjalanan kehidupan yang telah dilakukan sebelumnya dan rancangan cita-cita untuk kehidupan selanjutnya. Pada hari penghabisan di tahun sebelumnya, yakni satu hari sebelum tahun baru (Nyepi), dimaknai sebagai hari untuk menuntaskan segala yang berbau buruk, baik yang melekat pada diri manusia maupun lingkungannya. Boleh disebut sebagai makna pralina pada konsepsi pemahaman Tri Murti dalam ajaran Hindu di Bali. Tri Murti merupakan manifestasi dari peran Tuhan dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai pencipta, pemelihara dan pemeralina, yang disimbolkan dengan Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Pralina merupakan
pemahaman penghancuran atau peleburan agar yang lebur tersebut dapat membentuk kekuatan baru yang menguntungkan. Yang dilebur tersebut adalah hal-hal yang sudah tua, rusak dan tidak digunakan. Maka, penuntasan dari hal-hal yang berbau jahat dalam tubuh maupun lingkungan itulah yang terlihat pada hari Pengrupukan, yakni hari terakhir di tahun sebelumnya, satu hari sebelum hari raya Nyepi. Masyarakat Bali memukul kentongan untuk mengusir roh-roh jahat yang ada di sekitar lingkungan rumah, lingkungan banjar (RT), lingkungan desa (RW sampai dengan lingkungan yang lebih besar, termasuk dunia. Pada hari ini masyarakat Hindu Bali melakukan pecaruan, yaitu korban yang diperuntukkan bagi roh-roh jahat (Stuart-Fox, Putra Yadnya, 2010; 185). Masyarakat melakukan pecaruan yaitu korban suci yang dipercaya untuk membrsihkan alam semesta. Dalam bentuk pembersihan diri, mereka melakukan persembahyangan di berbagai tempat sembahyang (pura). “Ogoh-ogoh” mendapatkan tempatnya pada konteks ini. Ia merupakan representasi dari segala kekuatan jahat yang ada, baik pada diri maupun lingkungan manusia. Bentuk rupa yang buruk, warna pengecatan yang buram dan gelap, sampai dengan wujud kekalahan dalam pertarungan, memperlihatkan kekuatan-kekuatan jahat dan gelap tersebut.
Dalam konteks
masyarakat Bali (Hindu) kemurkaan di dalam hati, niat-niat buruk yang ada di dalam diri selalu dikatakan sebagai angkara murka, dan dalam konteks wacana disebutkan mempunyai sikap seperti raksasa, yang selalu menakutkan orang. Itu pula yang dipakai untuk menggambarkan kekuatan jahat yang ada pada lingkungan karena pada hakekatnya, masyarakat Hindu Bali memahami manusia dengan lingkungan alam semesta itu sama unsurnya, yakni ada unsur panas, angin, air, kosong, dan padat yang disebut dengan Panca Maha Bhuta. Dalam diri manusia itu merupakan mikro Panca Maha Bhuta sedangkan alam lingkungan semesta adalah makro Pancamahabhuta. Maka, sifat-sifat yang ada pada manusia, sama dengan apa yang ada di alam. Unsur pengganggu jahat pada manusia juga sama dengan penganggu jahat pada alam. Itulah yang digambarkan dengan penampilan yang buruk pada “ogoh-ogoh”. Konsepsi ini mendapatkan kesepakatan pada masyarakat Bali karena seluruh penampilan “ogoh-ogoh’ tersebut buruk. Meskipun dalam festival tersebut ada sepasang boneka, yang satu bertampang buruk dan yang satu tampil sebagai pemenang, masyarakat mempersepsikan bahwa “ogohogoh” tersebut adalah yang bertampangg buruk, dengan perut buncit, tidak berpakaian, warna hitam, kepala botak, mata mendelik dan seterusnya. Dalam kosa kata Bali, “ogoh-ogoh” merujuk kepada manusia yang mempunyai fisik gendut, berjalan tertatih-tatih karena sukar menopang tubuhnya, tersengal-sengal dan mata mendelik. Maksudnya adalah mereka yang berjalan tergopoh-gopoh. Dari sinilah dimulai munculnya kata ogoh-ogoh tersebut.
Dengan konteks demikian, maka “ogoh-ogoh” mendapatkan tempat, waktu, tindakan dan pembenaran yang tepat pada hari Pengrupukan tersebut, yaitu satu hari menjelang Hari Raya Nyepi, untuk divisualisasikan, demi menuntaskan emosi, psikologis manusia. Pada saat inilah, di hari penuntasan inilah, ia harus ditampilkan sebagai simbol kejahatan dan kemudian dihancurkan sebagai simbol untuk membasmi kejahatan. Dengan cara demikian, diharapkan manusia telah puas, telah memandang dirinya bersih dan optimis untuk menyambut tahun baru. Modal psikologis inilah yang dipakai untuk berkontempelasi diri pada saat Hari raya Nyepi dan sebagai modal psikologis untuk menghadapi hari-hari dalam perjalanan tahun baru Saka. Masyarakat Bali mempunyai sifat kebersamaan yang tinggi dan diwujudkan dalam bentuk tindakan yang bersama-sama pula. Dalam bahasa lokal dapat dikatakan selunglung sebayantaka, yang artinya dikerjakan secara bersama-sama, saling tolong-menolong dalam suka dan duka (Sirta, 2008: 34). Akar kebersamaan ini kemungkinan besar berakar pada pelaksanaan ritual dan penafsiran ajaran agama yang diwujudkan dengan mengerjakan bahan ritual secara bersama-sama. Karena demikian kompleksnya ritual, maka kebersamaan menjadi metode dan alat untuk menyelesaikan pekerjaan. Bahkan mungkin juga pekerjaan tersebut untuk menyelesaikan masalah sebab bahan ritual yang banyak tanpa ada bantuan, justru mendatangkan masalah. Maka, bekerjasama merupakan solusi terhadap persoalan ini. Kejahatan pun, dengan demikian, merupakan masalah bersama. Dalam
kepercayaan masyarakat, kejahatan itu tidak hanya terjadi pada diri sendiri
tetapi juga kejahatan kepada lingkungan. Dalam praktik nyata, masyarakat Bali mempunyai konsepsi kesepekang, yaitu sikap sosial yang mengucilkan
siapa saja yang dipandang
merugikan kepentingan umum, meskipun kerugian umum ini sifatnya subyektif. Seluruh masyarakat memandang obyek yang dikucilkann tersebut sebagai musuh bersama. Dalam praktik beberapa tempat di Bali, pencuri yang ditangkap juga dipandang sebagai musuh bersama dan diadili secara bersama-sama. Bahkan fenomena ini juga berlangsung pada masyarakat lain di Indonesia yang suka menghukum aktor kejahatan secara ramai-ramai tanpa proses pengadilan. Maka, sebagai simbolisasi kekuatan jahat, “ogoh-ogoh” juga mendapatkan tempatnya disini, sebagai kekuatan jahat yang menjadi musuh bersama. Pengarakan boneka besar berwujud raksasa ini
menuju lingkungan kampung, sampai ke perbatasan desa, juga
merupakan simbolisasi bahwa kejahatan yang melingkupi lingkungan kampung telah berhasil ditangkap. Pengarakan tersebut adalah pemberitahuan kepada seluruh anggota masyarakat kampung. Jadi, pengarakan tersebut sesungguhnya merupakan upaya pemberitahuan kepada anggota masyarakat tentang keberhasilan penangkapan si penjahat. “Ogoh-ogoh” adalah
penjahat. Pembakaran tersebut adalah penghancuran dari kekuatan jahat tersebut. Dengan itulah kemudian kejahatan berhasil diberantas.
Kemunculan dan Inisiatif Awal Kemunculan awal “ogoh-ogoh” ini, seperti yang diuraikan dalam latar belakang, boleh dikatakan sebagaii strategi mengatasi kecelakaan yang sering terjadi di hari Pengrupukan, yaitu satu hari menjelang perayaan Hari Raya Nyepi. Hingga saat ini tidak ada penjelasan yang bagus dari pemerintah maupun dari para ahli, mengapa fenomena “ogoh-ogoh” ini demikian memasyarakat,
kecuali
hanya
dengan
mengaitkannya
dengan
festival
Nyepi
yang
menguntungkan pariwisata. Arak-arakan ini baru muncul awal dekade delapanpuluhan karena pada saat itu ada beberapa kecelakaan yang diakibatkan oleh meledaknya mriam bambo yang dipakai masyarakat untuk
menjelang Hari Raya Nyepi yang diungkap di media massa.
Pemerintah kemudian menghimbau untuk tidak memakai meriam bamboo sebagai rangakain perayaan Nyepi. Antara penyalaan meriam bambu dengan pembakaran “ogoh-ogoh” sesungguhnya mempunyai makna yang sama. Meriam bambu, dengan suaranya yang menggelegar, dipercaya akan mampu mengusir kekuatan jahat dari segala lingkungan. Sementara “ogohogoh”, pembakarannya merupakan simbolisasi pelenyapan kekuatan jahat. Maka, keduanya ini mempunyai makna yang sama. Daripada membuat meriam bambu yang banyak mencelakakan orang, memilih pengaraan “ogoh-ogoh” dipandang menguntungkan secara sosial dan politik dalam
konteks
Bali.
Secara
sosial
hal
ini
akan
membantu
mengakomodasi
dan
mempertahankan kinerja sosial gotong royong mulai dari tingkat remaja. Ini penting karena di tengah bisnis pariwisata yang menonjolkan globalisasi, dikhawatirkan nilai-nilaii kebersamaan, gotong royong itu menjadi hilang. Disamping itu, adanya urbanisasi yang demikian cepat di Bali, pembuatan “ogoh-ogoh” ini dinilai mampu memberikan keakraban antara berbagai suku yang ada di Bali. Pembuatan itu juga memberikan berbagai inovasi dan kreativitas bagi masyarakat, terutama generasi muda. Pembentukan “ogoh-ogoh” sama dengan pembuatan patung. Kerja sama dan keakraban ini dipandang menguntungkan. Pada hari pengarakan, kerjasama tersebut diperlihatkan dalam upaya mengangkut “ogoh-ogoh” ini keliling desa, terutama sampai pada perbatasan desa. Pawai antara banjar dan
karnaval tersebut, diharapkan mampu memberikan unsur-unsur kompetitif sehingga selalu menimbulkan pembaruan kreativitas dalam perjalanan tahun berikutnya. Bahkan pengarakan atau karnaval ini mampu mengadaptasi peristiwa yang sama sebelumnya, yaitu pawai obor. Pawai obor merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak pada saat hari Pengrupukan. Sedangkan kalau dilihat dari sisi politik, adanya pawai “ogoh-ogoh” ini diharapkan mampu memberikan sumbangan untuk menarik jumlah
wisatawan di Bali. Dekade
delapanpuluhan, boleh dikatakaan sebagai dekade awal dari dimulainya internasonalisasi pariwisata Bali setelah dibukanya
Bandara Ngurah Rai tahun 1971 sebagai bandara
internasional. Dengan adanya karnaval “ogoh-ogoh” ini dipandang akan semakin menarik minat wisatawan ke Bali, khususnya menjelang hari Raya Nyepi. Faktor inilah yang membuat karnaval tersebut disponsori oleh pemerintah dan dipilih jalur-jalur tertentu
yang memudahkan
wisatawan menontonnya. Karnaval pariwisata tidak hanya diselenggarakan di jalanan Kota Denpasar tetapi juga di kota-kota lain atau di tempat keramaian lain, seperti Kuta dan Sanur. Juga di kota-kota lain di Bali, bahkan sampai ke kota kecamatan dan desa. Dengan demikian, dimanapun turis tinggal di Bali, akan dapat menyaksikan festival “ogoh-ogoh” ini. Perkembangan Kemudian Usulan dan ide untuk membuat “ogoh-ogoh” tersebut kemudian mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Kreativitas remaja dan pemuda baanjar itu, tidak hanya terjadi di satu atau beberapa banjar saja akan tetapi meluas ke seluruh Bali, bahkan keluar daaerah Bali
dimana
umat
Hindu
berada.
Ide
awal
untuk
membentuk
kreativitas
berhasil
karenakohesivitas antar warga tersebut terjadi dari berbagai dimensi. Anak-anak remaja maupun pemuda akan terlihat di banjar-banjar untuk membuat “ogoh-ogoh”. Tidak hanya remaja laki-laki, juga terjadi pada perempuan. Malah seluruh generasi mendapatkan sumber daya untuk hadir melihat karnaval tersebut. Secara sosial dapat dikatakan bahwa konstruksi sosial terhadap “ogoh-ogoh” tersebut berhasil. Karnaval tidak lain merupakan kenyataan yang dibuat dan diusulkan oleh manusia. Seperti yang telah diungkapkan terdahulu, bahwa karnaval “ogoh-ogoh” ini dibuat dengan usulan dan tujuan untuk menghindari adanya kecelakaan yang lebih banyak pada manusia sebagai akibat dari adanya penggunaan meriam bambu menjelanghari Raya Nyepi. Sejak diusulkan dan diperkenalkan pada awal dekade delapanpuluhan, sampai tahun 2015 ini, karnaval “ogoh-ogoh” itu terus terjadi dan semakin membesar. Ada berbagai faktor yang
memperkuat eksternalisasi terhadap pembuatan dan karnaval ini. Yang pertama adalah bahwa legistimasi makna yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh agama bahwa “ogoh-ogoh” itu merupakan simbolisiasi jahat yang mesti dibuat dan kemudian dihancurkan. Inilah yang menjadikan legitimasi paling awal sehingga pawai ini menjadi eksternalisasi produk masyarakat yang selalu membesar perayaannya. Yang kedua tidak dapat dikesampingkan sebagai pemicu adalah himbauan pemerintah agar membuat “ogoh-ogoh” demi menghindari adanya kecelakaan yang lebih besar akibat dari pembuatan meriam bambu. Ini merupakan pemicu awal dari legitimasi tersebut. Faktor ketiga adalah kompetisi masing-masing banjar, terutama yang dilakukan oleh generasii mudanya. Adanaya karnaval yang menggunakan berbagai alat musik, memancing kelompok lain untuk ikut melakukannya. Ketiga, karnaval yang dilakukan ini juga membuat daya tarik tersendiri sehingga mendorong setiap generasi muda untuk tampil kembali melakukan karnaval tersebut. Sebagai sebuah ajang tontonan, persitiwa ini menarik tidak saja dari sisi penonton akan tetapi juga pada pelakunya. Faktor keempat, terutama pada perkembangan paling mutakhir adalah adanya faktor ekonomi yang masuk ke dalam pembuatan “ogoh-ogoh”. Dari konteks pembuatan ini, telah ada ahli untuk membuat kepala “ogoh-ogoh”. Ahli inipun mencoba menjual jasa dan mempengaruhi tokoh-tokoh generasi muda dengan imbalan bayaran uang. Dari sisi bahan pembuatan, tidak lagi menggunakan bambu dan rajutannya sebagai bahan pokok tetapi telah ada stereofoam yang mudah dibentuk seperti yang dikehendaki oleh pembentuknya. Pembuatannya pun menjadi lebih mudah. Tidak dapat dikesampingkan, ketika bahan stereofoam sudah dapat dipakai dan bersedia dipakai oleh masyarakat pembuat “ogoh-ogoh”, maka bisnis mulai bergerak dan berusaha mempertahankan gerakannya. Maka ada kemungkinan perusahan tertentu yang berskala besar, seperti prosusen sterofoam mempunyai kepentingan agar festival “ogoh-ogoh” ini tetap dan terus dilanjutkan di Bali. Ribuah “ogoh-ogoh” yang diprosuksi menjelang Hari Raya Nyepi merupakan jumlah uang yang luar biasa besarnya. Dalam hitungan ekonomis, hal ini menguntungkan dan tokoh-tokoh bisnis akan berupaya melanjutkan hal ini agar barang-barang produknya tetap laku. Sosialisasi
Yang kemudian terlihat pada perkembangan kelanjutannya adalah bahwa eksternalisasi ini berlangsung timpang. Sosialisasi yang berkembang terhadap karnaval ini kelihatan timpang. Yang paling menonjol
terlihat
ada pada dua sisi, yakni larutnya generasi baru terhadap
pembuatan “ogoh-ogoh” itu. Di tempat pembuatan ini, ramai dikunjungi oleh anak-anak karena faktor keramaian pembuatannya serta kerumunan massa yang akan menggotongnya. Dengan
tampil melihat secara terus-menerus dan melihat karnaval, akan membuat manarik bagi generasi baru terhadap “ogoh-ogoh”. Fenomena tersebut dengan sendirinya menjadi sosialisasi secara langsung oleh generasi baru. Ketimpangannya terletak pada ketidakadaan transformasi pengetahuan tentang makna dari boneka tersebut. Akibatnya, generasi baru yang tumbuh hanya mengetahui bahwa “ogoh-ogoh” tersebut merupakan ritual yang berlangsung satu hari menjelang Hari Raya Nyepi. Bahwa “ogoh-ogoh” tersebut dibuat oleh remaja dan generasi muda, satu mulai satu bulan menjelang Hari raya Nyepi dan kemudian diarak ramai-ramai serta ditonton oleh orang banyak di jalan-jalan. Tranformasi makna yang terjadi sangat minim, dan bahkan tidak terjadi. Sekolah dasar sebagai arena untuk sosialisasi makna tidak juga melakukan tugasnya itu, sehingga pemaknaan tersebut menjadi tersendat. Padahal, sosialisasi yang baik akan membuat tranformasi makna secara baik pula melalui instrument-instrumen kognitif. “Ogoh-ogoh” yang terlihat pada masyarakat seperti itu adanya. Internalisasi
Dalam pembahasan tentang internalisasi seperti yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann, bahwa masyarakatlah yang kemudian membentuk individu atau kelompok tersebut. Program-program yang dibuat oleh masyarakat kemudian dilihat nyata sebagai bagian dari kehidupan (Berger, Hartono, 1991 :21). Demikian pula fenomena menjelang Hari Raya Nyepi ini. Banyak unsur-unsur sosial yang kemudian berpengaruh kepada cara pembuatan ini setelah melihat perkembangan-perkembangan sosial dan pembuatan “ogoh-ogoh”. Pada awalnya, pawai ini hanya dilakukan oleh anak-anak muda. Akan tetapi kemudian karena adanya himbauan agar “ogoh-ogoh” ini difestivalkan dan dikarnavalkan, maka Desa Pakraman sebagai desa tradisional di Bali, menghimbau anggotanya untuk ikut terlibat di dalam pembuatan dan karnaval tersebut. Akhirnya ornag tua dan dewasa pun ikut. Fenomena ini kemudian dicontoh oleh masyarakat lain di desa pakraman yang berbeda.
Harus diakui bahwa keikutsertaan
sebagain besar warga desa disebabkan karena ketakutan atas hukuman sosial yang dilakukan oleh masyarakat apabila tidak terlihat. Seperti juga di daerah lain, hukum adat di Bali berlaku cukup ketat yang merupakan corak menurun dari hukum ini yang pentaatannya bisa dilakukan dengan lisan (Samosir2013: 51) Dari sisi waktu pembuatannya, juga menjadi percontohan bagi kelompok-kelompok masyarakat lain. Hampir seluruh aktivitas pemuda di banjar pakraman yang ada di Bali, bahkan juga kelompok-kelompok masyarakat, akan memulai aktivitasnya kurang lebih satu bulan sebelum hari Raya Nyepi. Jadi pada saat hari-hari itu lumrah dilihat remaja dan pemuda di Bali
akan membuat boneka raksasa ini di balai banjar atau di tempat-tempat tertentu yang memungkinkan. Demikian juga, perkembangan alat yang dipakai untk membuat “ogoh-ogoh”. Saat ini sebagian pembuatannya dilakukan dengan memakai stereofoam, tidak lagi menggunakan bahan dari bambu. Tidak adanya sosialisasi membuat banyak pihak tidak mengerti bahwa penggunaan tersebut tidak bagus bagi lingkungan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakatlah yang kemudian membentuk sikap kelompok atau individu sesuai dengan penampakan yang dilihatnya. Ini disebabkan karena tidak adanya sosialisasi yang memadai dalam pembuatan “ogoh-ogoh”. Ini merupakan proses yang melingkar, dimana fenomena ini telah menjadi kenyataan obyektif dan kemudian kembali memengaruhi manusia melalui internalisasi yang kemudian menjadi kenyataan subyektif (Wirawan, 2012 :146). Proses pembuatan boneka raksasa itu dipandang sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu. Kerugian Sosial
Apabila dilihat secara lebih luas, tidak seluruh anggota masyarakat menginginkan adanya pawai “ogoh-ogoh” pada hari Pengrupukan, sehari sebelum Hari Raya Nyepi tersebut. Ini disebabkan karena mempunyai pengaruh besar terhadap pergaulan remaja dan anak-anak. Pembuatan “ogoh-ogoh” yang dilakukan pada malam hari, disamping keributannya menganggu lingkungan, juga menjadi kebiasaan oleh remaja dan anak-anak. Waktu satu bulan dan ramairamai dalam satu bulan saat mengerjakannya, berpotensi menjadi kebiasaan, dan akhirnya potensi ini dapat merusak pergaulan. Kesibukan orang tua dengan iklim kompetisi ekonomi dan pekerjaan di Bali, membuat orang tua kurang mampu mengontrol anak-anaknya untuk keluar malam. Dari sisi orang tua, cukup banyak orang tua yang terganggu dengan kegiatan pembuatan pada malam hari tersebut. Dari sisi tradisi, sesungguhnya ini tidak ada sebelumnya sehingga banyak juga yang tidak setuju apabila dilakukan festival “ogoh-ogoh”.
Tradisi yang ada hanyalah berupa
pemukulan kentongan, atau benda-benda tidak berguna yang dapat menghasilkan bunyi. Secara maknawi, ini bertujuan untuk mengusir roh jahat yang ada di lingkungan rumah. Pembuatan “ogoh-ogoh” hanya dipandang mengada-ada dan lebih banyak bertujuan politik pariwisata. Kalaupun pembuatan itu perlu, maka cukup dibuat dalam bentuk mini, kecil yang tidak memerlukan biaya banyak dan tidak perlu dikarnavalkan. “Ogoh-ogoh” yang dikarnavalkan dinilai sekedar memenuhi keinginan untuk memeriahkan pariwisata belaka. Dalam konteks demikian, orang Bali sesungguhnya tidak mendapatkan kontribusi maksimal karena justru menjadi obyek pembuatan paket wisata saja tanpa dapat menikmati keuntungan paket tersebut.
Yang diuntungkan adalah pengelola pariwisata yang kebanyakan bukan orang Bali asli. Pawai ini akan menambah eksotok Bali sebagai daerah pariwisata. Suryawan (2011:167) menyebutkn bahwa pariwisata, kebudayaan dan kekuasaan mereproduksi identitas etnis dan hak milik kebudayaan. Dari sisi waktu pembuatan dan arak-arakannya, dinilai membuang-buang waktu dan tenaga. Satu bulan pembuatan ini merupakan waktu yang pajnag bagi generasi muda maupun remaja untuk membuang waktu. Mereka adalah generasi yang seharusnya belajar, apalagi kemudian itu dibuat pada waktu primer di malam hari, mislanya dimulai pukul 20.00. Meskipun banyak dari mereka sudah tamat sarjana, akan tetapi penggunaan waktu satu bulan tersebut berpotensi mengurangi kesempatannya untuk mencari pekerjaan atau mempersiapkan diri mencari pekerjaan. Jadi, pembuatan dengan waktu yang demikian lama
juga berpotensi
menghambat peluang mendapat pekerjaan. Tenaga yang digunakan untuk membuat “ogohogoh” juga sangat besar dengan durasi waktu sampai sebulan tersebut. Pebiayaan pembuatannya mencapai jutaan rupiah. Untuk seremonial yang bersifat simbolis, pembiayaan yang mencapai diatas satu juta ini dinilai sebagai pemborosan. Sebagian berpendapat bahwa pembuatan dengan biaya besar tersebut merupakan pengulangan kekeliruan makna dari apa yang sempat sebelumnya terjadi dalam ritual pada masyarakat Bali. Misalnya pembuatan wadah untuk mengangkut jenazah yang lazim digunakan pada saat ngaben, telah ada yang memandang biayanya terlalu besar. Ini dipandang juga terjadi pada pembuatan “ogoh-ogoh”. Pengenalan biaya besar kepada anak-anak, merupakan sosialisasi yang keliru di jaman serba efisien ini. Karena itulah sisi negatif dari pembiayaan tersebut dilihat dari konteks ini. Disamping itu, cara mengumpulkan dana juga dipandang kontroversial. Pada daerah-daerah yang padat pertokoannya di Bali, terutama di daerah industri pariwisata, cara anak-anak remaja untuk mencari dana adalah melalui sumbangan dari pintu ke pintu ke setiap toko. Dari sisi edukasi, cara ini kurang mendidik karena akan menumbuhkan mental memintaminta, tanpa melakukan usaha yang maksimal. Disamping itu, juga berpotensi negatif. Pada pemuda yang keras wataknya, ada potensi merusak apabila sumbangan tidak diijinkan. Di perumahan, anak-anak remaja meminta sumbangan itu kepada penduduk yang ada. Hal ini tidak terlalu bagus sebagai inspirasi kreativitas berinovasi. Apalagi jika pada akhir acara “ogohogoh” tersebut dibakar, ini hanya dipandang sebagai pemborosan yang sia-sia di tengah kesulitan ekonomi yang menimpa masyarakat. Perkembangan paling akhir, setelah stereofoam dikenalkan sebagai pembuatan, benda ini tidak mampu terurai dan terbakar secara sempurna. Akibatnya banyak yang kemudian
barang tersebut teronggok begitu saja menjadi sampah, baik di lingkungan kampung maupun di sungai. Karnaval “ogoh-ogoh” mempunyai potensi konflik antar lingkungan.
Pengarakan
sebagai manifestasi kemenangan dan keberhasilan menangkap mahluk jahat, dilakukan sampai dengan perbatasan desa atau banjar. Potensi konflik muncul karena masing-masing lingkungan atau desa tersebut terpancing emosi untuk mengkalim diri sebagai terbaik. Hal inilah kemudian dapat memicu konflik antar pemuda dari desa berlainan. Disamping itu, konflik mungkin terjadi diantara desa sendiri yang membuat dua jenis “ogoh-ogoh” yang berbeda. Sebagai wujud penghancuran, pada bagian terakhir dari prosesi ini biasanya masing-masing boneka tersebut diadu sampai hancur. Saat beradu fisik inilah potensi konfli terjadi. Itu pula yang potensial muncul apabila hal tersebut di karnavalkan. Dan
eksternalisasi dari “ogoh-ogoh” ini akan memerangkap masyarakat. Pada
masyarakat Bali, kehadiran dalam kelompok tersebut merupakan sebuah keharusan. Maka dalam sebuah festival, apabila ada salah satu anggota masyarakat yang tidak hadir, baik dalam mengarak atau hadir menyaksikan, atau tidak memberikan sumbangan, berpotensi digosipkan atau malah dapat sorotan. Jika berkali-kali melakukan hal yang sama, anggota masyarakat bersangkutan berpotensi dikucilkan dari pergaulan. Bagi mereka yang melakukan usaha dengan sungguh-sungguh untuk menambah kemampaun ekonominya, cenderung orang seperti ini tidak akan bersedia membuang uangnya dengan percuma. Orang seperti ini akan dapat disorot dan berpotensi dikucilkan pergaulannya. Upaya untuk Mengatasi Persoalan tersebut
Dalam konteks elit berpengaruh di Bali, harus ada sosialisasi ulang tentang makna “ogoh-ogoh” ini kepada masyarakat. Elit berpengaruh ini dapat berupa pemerintah daerah melalui dinas kebudayaan atau agamanya. Tetapi tokoh-tokoh agama dan kebudayaan juga aberpengaruh di Bali, terutama tokoh kebudayaan yang berkecimpung di bidang seni. Para elit agama ini sering muncul di hadapan publik, baik melalui media massa maupun di hadapan masyarakat,
melalui
ceramah-ceramah
keagamaannya.
Merekalah
yang
harus
memberitahukan kepada masyarakat tentang makna “ogoh-ogoh” tersebut. Pemaknaan ini perlu dicari landasan-landasan filosofisnya melalui ajaran agama dan
pengartian secara
modern literasi-literasi yang berkaitan dengan sastra Bali. Pada sastra inilah terdapat maknamakan ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali. Ada kemungkinan makna
tentang
kekuatan jahat tersebut, terselip di tulisan itu. Inilah yang harus diterjemahkan ulang agar dapat
dimengerti oleh masyarakat secara rasional dan modern. Guru, dosen dan pendidik juga mesti memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang hal ini. Perlu ada sponsor, baik dari kalangan pemerintah maupun elit-elit ekonomi yang mempunyai modal uang di Bali, untuk menerbitkan buku-buku yang bersifat pencerahan tentang makna “ogoh-ogoh” tersebut serta relevansinya dengan ritual dan kehidupan sosial. Diterbitkannya buku-buku ini akan secara pelan dan sistematis mampu memberikan pencerahan kepada generasi muda dalam memahami makna agama dan makna simbol. Desa pakraman, melalui perkumpulannya Majelis Utama Desa Pakraman seharusnya membuat
himbauan, bahkan aturan kepada desa pakraman untuk memberikan pengertian
tentang bagaimana “ogoh-ogoh” harus dibuat dan sejauh mana pelaksanaannya dilakukan. Desa pakraman merupakan desa tradisional di Bali, yang mempunyai pengaruh besar pada bidang agama dan sosial, termasuk kebudayaan. Desa pakraman ini mempunyai perangkat yang komplit hampir seperti negara. Dengan perangkat itulah desa mesti menggunakan pengaruhnya untuk mengerem pembuatan “ogoh-ogoh” yang mempunyai biaya terlalu mahal. Desa pakraman juga mempunyai pengaruh memberikan pengarahan kepada generasi muda di banjar, melalui Sekha Taruna Teruni (Karang Taruna) karena melalui kelompok pemuda inilah sesungguhnya dinamika dan gerakan “ogoh-ogoh” ini di masyarakat. Pemerintah bekerjasama dengan desa pakraman, seyogyanya melakukan reorganisasi secara pelan-pelan
terhadap pelaksanaan pawai. Desa pakaraman merupakan desa
tradisional di Bali yang mempunyai pengaruh besar di masyarakat. Desa ini merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi untuk melaksanakan tugasnya dalam aktivitas sosial religious (Windya, Sudantra, 2006: 47). Tidak keliru apabila pawai ini digilir melalui kecamatan
atau desa di kabupatan-kabupaten. Artinya
ketentuan tahun harus
diberlakukan kepada masing-masing kabupaten dan kemudian memilih kabupaten tertentu untuk melakukan karnaval. Atau apabila hal ini sulit dilakukan, dihimau agar bentuk “ogoh-ogoh” yang dibuat tidak harus berbentuk besar. Bentuknya dapat kecil, tetapi mampu memberikan rasa kebersamaan, tetap akan member makna positif bagi masyarakat. Pihak pengamat lingkungan juga harus memberikan pemahaman bahwa bahan-bahan modern seperti stereofoam yang dipakai sangat mengganggu lingkungan. Ini ditunjang oleh penelitian ilmiah yang membuktikan kerugian yang diakibatkan oleh penggunaan stereofoam tersebut. Kesimpulan dan Saran Semaraknya karnaval “ogoh-ogoh” yang berlangsung di Bali menjelang perayaan Hari Raya Nyepi, sesungguhnya tidak diikuti oleh pemaknaan yang dalam, baik dari mereka yang
terlibat dalam pembuatannya maupun oleh masyarakat. Pembuatan itu hanya mengikuti alur nurani yang berupaya memperlihatkan eksistensi diri karena ada kelompok lain, desa lain yang juga membuatnya. “Ogoh-ogoh” sesungguhnya hanya simbolisasi dari kekuatan jahat yang harus dihancurkan oleh umat manusia dalam kehidupannya. Sebagai bentuk simbol, ia tidak harus dibuat secara besar-besaran dengan biaya banyak karena dapat dibuat dalam bentuk yang jauh lebih kecil dengan biaya minimal. Ketidakpahaman masyarakat tersebut disebabkan oleh tidak adanya sosialisasi yang intens dari pemerintah maupun tokoh-tokoh-tokoh budaya yang ada di Bali di awal seruannya. Pada awalnya pembuatan boneka besar ini merupakan seruan dari pemerintah daerah untuk menghindari adanya kecelakaan sebagai akibat pembuatan meriam bamboo menjelang Hari Raya Nyepi. Jarangnya sosialisasi makna tersebut pada akhirnya membuat masyarakat, terutama generasi baru sebagai bagian dari kehidupan nyata mereka yang harus dibuat dan dipentaskan. Padahal fenomena ini baru dimulai pada dekade delapanpuluhan awal. Akibat dari tidak adanya pemahaman tersebut maka terjadi pemborosan dan persaingan antara kelompok di masyarakat untuk membuat “ogoh-ogoh” yang lebih besar dan lebih mewah, dengan biaya yang mahal. Hal ini dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan ekonomi masuk. Boneka yang sebelumnya tidak pernah dibuat dengan bahan streofoam, lantas memakai bahan tersebut yang pada akhirnya dapat merugikan lingkungan. Konflik karena persaingan anatar pemuda pada karnaval juga sering terjadi. Karena itu, sudah seharusnya pemerintah dan tokoh-tokoh adat sekarang memulai adanya sosialisasi pemaknaan tersebut agar masyarakat dapat mengerti apa sesungguhnya yang dimaksudkan dalam ritual tersebut. Tokoh-tokoh tersebut dapat saja menggerakkan desa pakraman untuk memberikan pemahaman kepada generasi muda agar mampu membuat ritual secara sederhana. Karnaval “ogoh-ogoh” tetap bisa dilaksanakan sebagai ajang persahabatan bukan sebagai ajang untuk memaerkan kemampuan finansial kelompok. Dengan demikian, bentuk boneka besar tersebut tidak harus besar-besar. Dengan cara inilah akan dapat mengirit pembiayaan, tidak ada konflik karena persaingan dan kepentingan-kepentingan ekonomi tidak masuk secara sembarangan. ****
Daftar Pustaka
Berger, Peter L, Hartono (terj.), 1991, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta, LP3ES
Geertz, Clifford, Hadikusumo, Hartono (Terj.), 2000, Negara Teater, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya
Samosir, Djamanat, 2013, Hukum Adat Indonesia: Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Bandung, Nuansa Aulia
Sirtha, I Nyoman, 2008, Aspek Hukum dalam Konflik Adat di Bali, Denpasar, Udayana University Press.
Stuard-Fox, David J., Putra Yadnya, Ida Bagus (terj.), 2010, Pura Besakih: Pura, Agama, dan Masyarakat Bali, Denpasar, Udayana University Press. Suryawan, I Ngurah, 2011, Teater Globalisme: “Pariwisata, Interkoneksi Global, dan Nasib Manusia Bali di Garis Depan”, dalam Jurnal Kajian Bali, Volume 01, Nomor 01, April 2011.
Windya, I Wayan P., Sudantra, I Ketut, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Denpasar, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum, Universitas Udayana
Wirawan, I.B, 2012, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Jakarta, Prenada Media Group