www.rajaebookgratis.com
Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO Prolog Seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun membongkar lemari tua milik kakeknya. Dari dandanan yang dipakainya tampak ia adalah seorang anak sekolahan. “Di sini tidak ada buku itu kek!” “Cari aja disitu! Pasti ketemu,” ujar kakeknya yang sudah berusia enam puluhan tapi masih terlihat gagah, dan dari tampilannya semua orangpun tahu ia seorang sastrawan. Dan di Kanglam ini siapa yang tidak mengenal Ouwyang Sim, guru besar para sastrawan. “Eh ini gambar siapakah kong-kong?” Kakek itu melirik kain yang dipegang si bocah. Sebuah gambar wajah lelaki tampan berbaju putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat sekaligus guru kong-kong, namanya......ksatria salju.” “Eh ini ada puisinya!” Kemudian bocah itu, yang bernama Ouwyang Siu membaca puisi dengan penuh penghayatan. Lelaki berbaju putih berjalan di atas rumput Berapa ilalang lagi harus kau susuri hei ksatria Berapa badai lagi mesti kau lalui Dan kau terus berjalan, menyusuri padang bunga, lembah delapan rembulan, puncakpuncak salju abadi Apakah yang kau cari? Ksatria Pengelana Siapa pesilat yang tak mengenalmu? Berbekal pedang sedingin salju Puluhan pesilat menghadangmu Tak satupun pernah menyentuh tubuhmu Pengembara hanya bernyanyi Syair merdu tentang burung-burung yang terbang di langit biru Anak-anakpun mengiringimu dengan lagu ceria itu
www.rajaebookgratis.com
Tapi siapa tak tahu mendung terus menggantung di hatimu Ksatria salju berjalan di atas awan Ketika senja yang paling ungu mekar di puncak Gongga Bukankah engkau tahu wahai sang guru Jarak terjauh yang pernah ada di semesta ini Adalah masa lalu? Seribu tahunpun tak kan pernah kau bertemu Air mata sang kakekpun meleleh tanpa usaha untuk mencegahnya. Puisi itu mengingatkannya pada kisah sepenggal perjalanan hidup ksatria salju muda, Tiong Gi. Bersama dengan Chien Ce, Souw Mei dan Liu Siang, mereka sama-sama berjuang mengungkapkan jati dirinya. Mereka memiliki sejarah masa kecil yang berbeda, namun kemudian dibesarkan pada dunia yang serupa, dunia yang mendidiknya menjadi ksatria sejati. Seringkali mereka dihadapkan pada situasi yang menuntut mereka berbuat di luar kemampuan sewajarnya. Maka ketika bocah itu memintanya agar ia bercerita, kakek itupun dengan penuh semangat menuturkan kisah ini. Bab 1. Yu Liang Pay Pegunungan Fan Cing san merupakan pegunungan yang sangat terkenal di Cina Tengah. Salah satu daya tarik pegunungan ini adalah puncak awan merah atau Hung Huang Teng yang merupakan salah satu dari tiga puncak pegunungan yang berada di sebelah utara kota Kwei Yang yang termasuk propinsi Kwei chow (Guizhou). Jika ada awan yang berarak ke puncak ini pawa waktu fajar atau sore, tampaklah semburat kemerah-merahan pada awan itu. Pada jaman kisah ini dituturkan yaitu masa dinasti Sung utara, puncak ini juga dikenal dengan nama puncak Tiong Kiam atau pedang tengah, karena memiliki pemandangan yang unik di puncak yaitu adanya bukit pagoda, yang menjulang di antara bebukitan. Pada waktu awan berarak dan menyelimuti bebukitan, maka puncak ini dilihat dari kejauhan seperti pedang raksasa yang tinggi menembus langit. Memandang jauh kebawah dari puncak ini terlihat bentang alam yang sungguh mempesona. Bagian dasar pegunungan yang hijau rapat oleh belantara hutan subtropis, bagian atasnya ditumbuhi hutan campuran luruh daun, bagian tengah yang ditumbuhi pohon pinus dan bagian
www.rajaebookgratis.com
puncak tumbuh pohonan yang mulai jarang diselingi semak dan rerumputan disela-selanya yang pada musim panas menghijau bak beludru. Pucak Tiong Kiam berketinggian 340 m dan diameter 50 m dari pangkal punggung suatu bukit. Puncak ini dikelilingi bebukitan. Bukit-bukit di sebelah barat dan di sebelah timur dibelah oleh sungai Wu (anak sungai Yang Ce Kiang) yang mengalir dari pegunungan Shao Tong san di wilayah Kwei chow selatan menuju ke kota Chuan Sing, dan bertemu dengan sungai Yang Ce Kiang di timur kota ini, terlihat dari puncak seperti lekuk tubuh naga. Sungai ini pula yang memisahkan propinsi Hunan disebelah timur dengan Propinsi Kwei chow di sebelah barat. Dari puncak ini di sebelah timur meski berjarak ribuan li masih terlihat kota Shao Yang, di sebelah selatan terdapat kota Kwei Yang, yang merupakan kota terbesar di wilayah Kwei chow. Berlawanan dengan tamasya alam disekelilingnya yang demikian penuh pesona. Pemandangan di bukit pedang itu sendiri sungguh mengerikan. Pada akhir jaman Tang, orangorang Tionggoan sangat gemar membentuk sekte-sekte magis. Sekte-sekte seperti ini belum mengenal mengubur mayat atau membakarnya secara layak. Mereka memang mengubur badan namun setelah sepuluh tahun lebih, kuburan tersebut dibongkar, dan tengkoraknya dibuatkan lubang-lubang pada dinding bukit pedang, dan menjadikan puncak pedang sebagai berhala sesembahan. Karena letaknya yang ditengah-tengah dan dianggap strategis, selama ratusan tahun pengunungan ini dijadikan rebutan untuk menjadi markas perkumpulan kaum bulim dan kangouw. Sudah berpuluh perkumpulan atau partai muncul dan runtuh di pegunungan ini. Karena selalu jadi rebutan, tak terhitung pula berapa ribu manusia telah binasa menjadi korban nafsu angkara ingin mendapatkan posisi di tengah ini, meski pada kenyataannya dibandingkan keuntungan lebih banyak kerugian yang ditangguk oleh mereka yang tinggal di pegunungan ini. Satu dapat, yang lain beramai-ramai mengeroyoknya bagaikan seekor harimau dikeroyok puluhan serigala. Dengan melihat deretan relung tengkorak di bukit pedang yang sangat tinggi bagai jendela-jendala pagoda, orang akan tahu betapa di tempat yang mestinya damai itu telah banyak nyawa manusia melayang. Maka lambat laun karena sudah terlalu bosan dan lelah, puncak ini akhirnya ditinggalkan oleh rombongan penghuni terakhir dari sekte Shin. Setelah puluhan tahun kosong, di akhir dinasti Tang puncak ini kembali di datangi oleh berbagai golongan karena terjadi pergolakan di mana-mana. Kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian akhirnya kembali berbondong-bondong ke Fan Cing san. Salah satu rombongan
www.rajaebookgratis.com
yang kembali datang adalah orang-orang dari sekte Shin yang dipimpin oleh Huang Shin. Dulu Huang Shin muda dan kawan-kawannya termasuk yang menolak untuk meninggalkan Fan Cing san, namun tak mampu menolak keputusan tetua. Rombongan lainnya berasal dari berbagai kota. Dua rombongan yang terbesar adalah golongan Duang yang dipimpin oleh Tan Hong Bu dari Siang Tan dan golongan Im Yang Pay yang dipimpin Kang Kiu Yang dari Kwei Yang. Untuk menghindari perebutan demi perebutan Huang Shin, memutuskan untuk menyatukan berbagai golongan yang berebut itu. Huang Shin membagi wilayah-wilayah yang bisa ditempati dengan cukup adil, dan menawarkan kepada tiga kelompok terbesar untuk menyatu membentuk satu perkumpulan besar. Huang Shin membangun pusat perkumpulan di puncak bukit di sebelah selatan Tiong Kiam. Singkat cerita terbentuklah satu perkumpulan besar gabungan beberapa golongan yang dipimpin tiga golongan, yang bernama Yu-liang-pay. Untuk menghindari bentrokan maka Huang Shin membuat peraturan bahwa ketua partai harus dijabat secara bergiliran dari ketiga golongan. Dengan urutan sekte Ming, Duan dan Im Yang. Adapun para anggota dibebaskan untuk mempelajari ilmu dari ketiga perkumpulan itu. Untuk menyatukan berbagai kelompok, maka selama beberapa tahun Huang Shin bersama kedua tetua yang lain menciptakan suatu ilmu pedang baru yang dinamakan Yu Liang Kiamhoat. Pada masa inilah tradisi menyimpan tengkorak di dinding bukit dihapuskan. Itulah sekilas sejarah Yuliang-pay, tempat kisah ini dimulai. Pagi itu, tanggal ke enam bulan ke lima, tahun 978 merupakan suatu pagi yang cerah di musim semi. Burung-burung yang beterbangan, kupu-kupu yang menari disela-sela semak dan bunga-bunga yang bermekaran, kesegaran udara musim semi yang melapangkan dada dan uraturat kepala. Beberapa pepohonan yang semula tinggal batang dan ranting seperti bayi yang bugil, kembali dihiasi daun-daun baru. Sedangkan pohon yang lain menyambut datangnya musim semi dengan menumbuhkan kuncuk-kuncup bunga yang sebagian telah bermekaran. Bagi mereka yang pernah mengujungi keindahan musim semi di puncak ini tak heranlah mengapa tempat ini menjadi rebutan. Fan Cing san adalah gunung yang menyimpan keragaman bunga yang paling tinggi seluruh daratan Cina waktu itu, lebih dari empat per lima bunga yang ada di Tionggoan dapat dijumpai di sini, mulai bunga siang, bunga lee, bunga kiok, bunga anggrek, bunga jit dan yang lainnya. Namun kedamaian pagi itu terusik dengan suara kaki-kaki manusia yang menapaki puncak secara berombongan. Berbondong-bondong rombongan orang berpakaian singsat menaiki dari berbagai jurusan. Sebagian naik dengan berjalan lambat sambil menikmati wisata
www.rajaebookgratis.com
alam gunung Fan Cing san yang sangat indah. Kelompok yang datang belakangan menaiki punggung bukit dengan gerakan yang sangat gesit. Beberapa orang dari setiap kelompok terlihat membawa pedang atau golok. Dari gerakan dan dandanan, tampak mereka adalah orang-orang kangouw yang berkepandaian. Ada apakah yang terjadi di puncak sana? Di awal musim semi ini, Yu-liang-pay mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke 100. Ulang tahun yang spesial sehingga dirayakan cukup meriah oleh Yu-liang-pay. Tamu dari berbagai golongan semua diundang dalam pesta itu. Dari rombongan putih terlihat tamu dari Siauw-lim Pay, Kun-lun-pay, dan Kong Thong Pay, ketiga perguruan ini merupkan perguruan tua yang sudah berdiri pada masa itu. Dari rombongan lain dari berbagai golongan, sedangkan dari golongan hitam juga ikut menghadiri pesta yang berasal dari kelompok Pek Tung Pang, Ang Lian Pang, Hek In Pang, dan Tok Nan-hai Pang. Saat itu di halaman depan Yu-liang-pay yang luas telah dipasang tenda, dan ditata kursi secara setelah lingkaran. Tanpa dipersilakan para tamu langsung mengambil posisi duduk masing-masing, seolah-oleh sudah tahu dimana tempat mereka seharusnya. Kelompok hitam dan putih tanpa dikomandopun mengambil posisi yang memisah, kelompok pendekar berada di sebelah kanan sedang kelompok penjahat berada di sebelah kiri. Riuh rendah obrolan yang diucapkan oleh semua orang seperti pasar. Harap maklum mereka jarang sekali dapat kesempatan bertemu dengan anggota partai atau perguruan lain, apalagi dalam jumlah yang boleh dikatakan lengkap seperti saat itu. Obrolan paling hangat tentu saja kabar burung mengenai ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat yang berhasil disempurnakan oleh Yu Liang Pangcu. Seperti apakah gerangan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat itulah yang membuat penasaran kaum kangouw, sehingga mereka rela berlelah-lelah menempuh perjalanan ribuan li. Di tengah-tengah ruangan yang bertenda berdiri sebuah panggung, tempat berbagai pertunjukan. Pada waktu itu Yu-liang-pay dipimpin oleh Kwan Liong Ping, generasi ke empat dari golongan Duang. Jika melihat betapa besarnya Yu-liang-pay yang memiliki banyak anggota, area gedung-gedung yang luas dan usia yang cukup tua untuk ukuran partai saat itu, maka para tetamu memandang heran dengan penampilan Yu Liang Pangcu Kwan Liong Ping ini. Usia Liong Ping saat itu tidak lebih dari lima puluh lima tahun, suatu umur yang termasuk sangat muda untuk ukuran pemimpin partai besar saat itu. Sebagai perbandingan ketua Siauw-lim Pay sudah berusia seratus sepuluh tahun, sedangkan ketua Kong Thong Pay berusia sembilan puluh lima tahun.
www.rajaebookgratis.com
Setelah tamu berdatangan Liong Ping memasuki ruangan dan duduk di kursi yang telah disediakan. Ia memakai jubah sutera biru tua yang bersulam, tampak gagah berwibawa. Sinar matahari pagi yang mulai terang membuat wajah ketua ini tampak dengan jelas oleh seluruh hadirin. Meskipun sudah berusia di atas lima puluh tahun, namun wajah itu masih tampak tampan dan padat. Janggut dan kumis pria yang agak kurus dan jangkung tetapi masih kelihatan gagah bersemangat ini dicukur rapi. Rambutnya disisir rapi dan kelimis, disanggul ke belakang, dan ditali kain yang menjuntai. Di sebelah kirinya duduk Sam Pangcu Siong Hok Cu seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bermuka mulus, berjenggot tipis dan bertubuh tinggi gagah. Kepalanya ditutup kopyah pada bagian belakang terlihat mencuat ke samping khas gaya Tang. Sedangkan di sebelah kanan duduk Ji Pangcu Lauw Kian Bu, pria berusia lima puluh tiga tahun, berwajah dusun berbaju hijau tua sederhana dari kain katun. Di belakang ketiga orang ketua ini duduk para tetua yang berusia lebih dari enampuluh tahun dengan sikap keren, semuanya berbaju hitam dan berpenutup kepala kain warna merah. Mereka tokoh kawakan dari generasi tua. Setelah hampir semua perwakilan yang diundang datang, Ji Pangcu menaiki panggung dan berkata dengan lantang: “Cuwi sekalian, mewakili tuan rumah kami mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam atas kehadiran cuwi memenuhi undangan kami. Perkenalkanlah saat ini kami bertiga adalah pimpinan di Yu-liang-pay, toa pangcu kami adalah Kwan Liong Ping, aku sendiri ji pangcu dan yang duduk di samping kiri toa pangcu adalah sam pangcu Siong Hok Cu. Berbahagia sekali pada kesempatan yang baik ini kami dapat merayakan ulang tahun Yu-liangpay yang ke seratus. Pertama-tama perkenankanlah kami untuk menghormati leluhur kami terutama adalah sucouw kami Huang Shin.” Dengan dipimpin oleh Kwan Liong Ping yang membawa tiga biting dupa, para murid Yuliang-pay kemudian berlutut menghormat meja sembah yang di atasnya masih disimpan abu Huang Shin dan kedua pendiri lainnya. Pada bagian yang biasa ditempati cermin pada meja itu ditempel gambar Huang Shin dalam ukuran cukup besar. Setelah selesai bersembahyang ji pangcu berseru: “Silahkan dicicipi hidangan arak dan makanan yang telah kami siapkan, dan hiburan taritarian yang sebentar lagi akan kami panggungkan.” Setelah semua tamu menghaturkan selamat dan memuji keberhasilan Yu-liang-pay membentuk partai yang besar dan kuat, mereka kembali duduk ke tempat masing-masing sambil
www.rajaebookgratis.com
terus saling bercerita tentang pengalaman mereka di dunia persilatan. Dengan cekatan pelayan mengedarkan arak dan makanan. Mereka semua makan minum dengan gembira sambil menikmati hiburan tari-tarian baik tarian yang berasal dari timur maupun dari barat. Sampai kemudian terdengan celetukan dari salah seorang tamu. “Wahh...kapan pertunjukkan Kiamhoatnya?” Celetukan itu segera ditingkahi berbagai cecowetan tamu lainnya. Toa pangcu memberi kode pada seorang murid. Selanjutnya seorang murid wanita maju ke atas panggung. Ia berumuran tigapuluh tahunan, wajahnya terlihat cukup cantik dan montok, namun baju hitam dan pedang yang berwarna gelap pekat yang dikenakannya membuat kesan yang menggiriskan. Setelah memberi hormat ke semua sisi dengan bersoja, mulailah ia memainkan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat. Gerakannya mula-mula lembut dan indah, seperti tarian bidadari, tapi lama-kelamaan gerakannya makin hebat, amat sukar diduga perubahannya sehingga pandang mata penonton yang tingkat ilmunya rendah berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang gelap itu bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak membelit tubuh mangsanya. Ujung pedangpun seolah berubah menjadi puluhan banyak saking cepat dan tak terduga. Gerakan itu seakan-akan memancarkan hawa magis yang dasyat sehingga penonton yang jaraknya jauh terlihat menggoyang kepala dan badannya karena seakanakan serangan pedang itu mengarah ke dirinya. Pada jurus ke enampuluh setelah bersalto dua kali secepat kilat wanita itu berteriak sambli melontarkan pedangnya ke belakang. “Hiaaat......! Crat….!” Pedang itu tepat menembus tengah-tengah papan kayu tebal yang sengaja disiapkan. Ujung pedang amblas hampir separohnya. Diantara decak kagum penonton, Toa pangcu berdiri dari tempat duduknya dan berseru: “Maafkan kalau pertunjukan ilmu pedang murid tingkat dua kami tidak memuaskan. Harap maklum jurus-jurusnya masih belum sempurna!” Ucapan ini sepertinya berendah hati, namun tamu yang sudah kenyang makan asam garam rimba persilatan maklum belaka bahwa ketua Yu-liang-pay sedang membanggakan ilmu pedangnya. Baru murid tingkat dua saja sudah sedasyat itu ilmu pedangnya, apalagi murid tingkat satu atau pimpinannya sendiri. Baru saja wanita itu mencabut pedangnya dan bersoja ke empat penjuru, sekonyong-konyang seorang laki-laki meloncat ke panggung menghadapinya. Laki-laki itu berumur sekitar empat puluh tahunan, tubuhnya kekar, kumis dan janggutnya tak terawat, wajahnya kecoklatan. Ia
www.rajaebookgratis.com
adalah murid termuda dari Hek In Pangcu (ketua perkumpulan awan hitam) dari bukit awan hitam. Sambil cengar-cengir ia coba merayu. “Nona, ilmu pedangmu sangat indah, bolehlah aku coba merasai belaiannya.” Ucapan pria setengah baya itu sungguh enak didengar tapi sangat tidak sopan diucapkan kepada wanita, apalagi kehadirannya di panggung tanpa permisi lebih dahulu. Wanita itu menoleh ke Liong Ping dan dibalas dengan anggukan meski sambil berdehem dua kali. Dengan dingin ia kemudia membalas ucapan lelaki setengah baya dihadapannya: “Ambil senjatamu di rak sana! Pedangku tak bermata maka siaplah rasakan setiap goresannya!” Para tamu sekejab jadi melongo melihat sebuah golok panjang tiba-tiba sudah ada di tangan laki-laki ini. Rupanya ia masih menyimpan senjata meskipun sudah melewati pemeriksaan. Namun wanita yang jadi lawannya tidak membiarkan orang berlama-lama heran. Selesai mengucapkan jawaban itu tubuhnya langsung meloncat melancarkan serangan pertama. Golok di tangan lelaki itu segera disilangkan untuk menangkis serangan pertama “Cring......!” bunga api berpijar disertai suara yang menggores di telinga. Laki-laki itu terkesiap demi merasakan tangannya tergetar hebat. Tak disangka bahwa wanita itu memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya. Namun ia tidak punya banyak kesempatan untuk melamun, karena serangan demi serangan segera mengurungnya. Berkali-kali ia hanya mampu menangkis sambil mundur. Peluh di dahi lelaki itu sudah meleleh membasahi mukanya. Terkurung serangan sedasyat itu seolah-oleh tubuhnya lemas lunglai. Tiba-tiba pada jurus ke duapuluh dengan gerakan naga sakti mengibaskan ekor, pedang di tangan wanita itu seakan-akan mencongkel pangkal golok yang digenggam lelaki, dalam waktu bersamaan kaki kirinya mengait kaki kanan lawan. “Brugg......! Crapp.....! Ayyaaaaaa..........” Tak ayal, tanpa dapat dicegah, lelaki itu roboh dan goloknya jatuh tepat di telinga, sehingga daun telinga lelaki itu terbelah. Penonton yang lain hanya dapat menahan napas, hanya dalam waktu dua puluh jurus seorang murid perkumpulan awan hitam yang sangat terkenal di utara dapat dikalahkan. Jie Kung sute ketiga dari Hek In Pangcu yang memimpin rombongan dari awan hitam, dengan sigap melompat ke panggung. Tangannya langsung mencekal baju di bagian punggung dan melontarkan tubuh anak buahnya itu ke belakang, anggota hek in pang dengan sigap menyambut lontaran.
www.rajaebookgratis.com
Jie Kung berusia paling banyak sepuluh tahun di atas murid Hek In Pangcu yang dilontarkan. Dengan wajah keruh ia memelototkan matanya seperti hendak meloncat keluar. “Hari ini penghinaan Yu-liang-pay hanya bisa ditebus dengan nyawa!” Tanpa dikomando wanita yang tadi mengalahkan murid awan hitam mundur, digantikan oleh seorang pemuda. Pemuda itu adalah putera sam-pangcu Siong Hok Cu, yang bernama Siong Chen. Siong Chen berusia kurang lebih duapuluh lima tahun, wajahnya tampan dan berdandan perlente. “Perkenalkan namaku Siong Chen, putera dari sampangcu Siong Hok Cu. Apakah ada tindakan kami yang tidak adil? Kami masih belum memberi kesempatan pada tamu untuk maju memberi wawasan pada kami. Mohon loheng menjelaskan apa maksud loheng dengan penghinaan?” Jie Kung tidak melayani jawaban Siong Chen, ia justru berkata lantang kepada Toa-pangcu. “Liong Ping pangcu, apakah kau merasa terlalu rendah untuk berbicara pada kami, mengapa mesti bocah ingusan ini yang kau sodorkan padaku?” Diacuhkan seperti ini membuat Siong Chen mendongkol juga, segera ia jawab. “Loheng, kau mau adu mulut apa adu silat? Silahkan pilih tangan kosong apa pakai senjata!” “Bocah sombong, kalau aku tidak bisa merobek mulutmu, aku bersumpah tak kan pernah menginjakkan kakiku di Fan Cing san. Bersiaplah!” Jie Kung segera menyerang dengan tangan kosong, akan tetapi biarpun hanya memukul dengan tangan kosong, lelaki ini diam-diam telah melumuri kedua tangannya dengan racun yang selalu dibawanya. Sesuai dengan julukan perkumpulan awan hitam, anggota tingkat satu perkumpulan ini semua memiliki keahlian menggunakan racun. Kini kedua tangannya itu mengeluarkan asap hitam dan racun yang dipakai di kedua tangannya amat jahat karena jangankan sampai lawan yang terpukul robek kulitnya sehingga racun itu dapat meracuni darah, bahkan baru tersentuh saja, racun ini dapat meresap melalui lubang-lubang kulit dan membuat daging menjadi membusuk dalam waktu singkat! Hebat sekali serangan yang dilancarkan Jie Kung, tangannya menyambar-nyambar seperti sambaran geledek di antara kepulan awan hitam. Siong Chen tak berani memandang rendah, dengan gerakan ginkang yang sudah mencapai tingkatan tinggi ia lebih banyak menghindar sambil mencari kelemahan lawan. Siong Chen berlaku cerdik. Ia tidak mau menangkis serangan lawan, namun berusaha menyerang bagian tubuh lain. Jurus demi jurus sudah berlalu, melihat
www.rajaebookgratis.com
lawannya selalu menghindar Jie Kung mengira lawannya takut, maka dia makin memperkuat serangannya. Tak dinyana, pada jurus ke tiga puluh Siong Chen melompat tinggi dan menyerang dengan kakinya. Jurus tendangan bayangan budha yang dilancarkan dari udara benar-benar dasyat. Baru angin yang ditebarkan saja sudah membuat rambut Jie Kung berkibar-kibar. Jie Kung menyambut serangan dengan tangkisan berbentuk cakar harimau. “Desss.......!” Hebat sekali hasil pertemuan kaki dan tangan. Jie Kung terdorong tiga langkah ke belakang, ia merasakan hawa pukulannya membalik. Meski tidak berat, tapi cukup membuat dadanya serasa sesak. Siong Chen bersalto dua kali, dan turun dengan ringan. “Wuss......!” dari belakang anak buah awan hitam melontarkan golok yang telah diambil dari rak. Jie Kung menangkap gagangnya. Dadanya terasa nyeri. Ia sudah tidak mungkin lagi menyerang dengan tangan kosong. Satu-satunya niatan dalam hatinya hanya mengalahkan dengan senjata, atau mati bersama. Tapi justru inilah kesalahan terbesarnya. Yu-liang-pay terkenal baru saja menyempurnakan ilmu pedang. Baru murid tingkat dua saja sudah mampu merobohkan murid tingkat satu Hek-in-pang, apalagi yang dihadapi adalah murid langsung toapangcu. Jie Kung mulai melancarkan serangan-serangannya. Mula-mula serangan yang dilancarkan cukup hati-hati namun lama-lama makin ganas. Siong Chen menghadapi dengan hati-hati namun jurus-jurus pedangnya makin lama makin kuat dengan hawa magis yang jauh lebih hebat dari wanita yang tampil sebelumnya. Sebaliknya posisi Jie Kung makin lemah, napasnya makin memburu dan pandang matanya mulai berkunang, kepalanya terasa pening. Adapun dua orang muda itu yang melihat keadaan lawan makin lemah, terus mendesaknya. Pedangnya makin ganas saja menyambar-nyambar. "Anak muda, biar aku mengadu nyawa denganmu!" Tiba-tiba Jie Kung yang sudah pening dan sudah gelap pandang matanya itu mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya melayang naik terus meluncur seperti burung garuda menyambar ke arah Siong Chen dengan golok di depan. Golok ini menusuk ke arah tubuh lawannya. Inilah jurusnya yang terakhir, jurus terlihai akan tetapi juga merupakan jurus bunuh diri atau mengajak lawan mati bersama. Julukan ini bernama Hui-seng-coan-in (Bintang Terbang Menembus Awan). Serangan yang dilakukan dengan tubuh melayang dengan luncuran kilat ini takkan dapat ditangkis atau dielakkan lagi oleh lawan, karena tangkisan lawan tentu akan dibarengi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan
www.rajaebookgratis.com
elakan tak mungkin dilakukan karena golok dapat digerakkan mengejar tubuh lawan. Kalau lawan berkepandaian tinggi, jalan satu-satunya bagi lawan hanya membarengi dengan serangan balasan terhadap tubuh melayang yang tidak memperdulikan akan penjagaan diri melainkan sepenuhnya dicurahkan untuk menyerang itu. Tak ayal, Siong Chen dibuat bingung dengan serangan ini, namun telinganya menangkap bisikan dari suhunya. “Tangkis golok dengan cara menyampok, jatuhkan badanmu, tendang perut lawan sekuat tenaga dari bawah.” Bisikan itu sungguh halus, sehingga hanya Siong Chen yang mendengar. Maka begitu kata-kata suhunya diikuti, golok Jie Kung dapat disampok, pukulan tangan kiri dapat di tangkis dengan pedang, sedang tendangan kakinya membuat lawan terjengkang. “Proook........! Bruug! Krontang....!” Tangan kiri Jie Kung putus sebatas ujung lengan, tubuhnya roboh muntah darah dan langsung pingsan. Anak buah Hek In Pang segera merubung dan membopong susiok mereka. Siong Chen segera merangkapkan tangan dan berkata: “Maafkan kami, tak kukira tokoh Hek In Pang bisa bertindak senekat itu!” Anak buah awan hitam yang berjumlah lima belas hanya mendengus, dan segera berlalu dari ruangan. Kejadian dua pertarungan yang dilihat itu membuat gusar sebagian besar penonton, sehingga seorang tokoh dari Kun-lun-pay, Bhok Kian Tosu bangkit dan berseru: “Sungguh penasaran, kami para tamu yang diundang jauh-jauh untuk berkenan mengikuti ulang tahun partai, ternyata disuguhi berbagai kesombongan Yu-liang-pay. Entah sudah setinggi apa gunung Fan Cing yang menjulang di puncak keseratusnya. Biarlah aku mewakili Kun Lun, maju untuk meminta pelajaran.” Bhok Kian Tosu, adalah pentolan Kun Lun yang sudah sering malang melintang di dunia persilatan. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Ia datang bersama tujuh tosu yang lainnya. Ki Liang Tosu, yang menjadi pimpinan rombongan hanya hanya memandang diam saja ketika sutenya maju. Bhok Kian Tosu memang paling berangasan dibandingkan saudara-saudaranya. Betapa gusar ia dibuat ketiga dari pihak tuan rumah menurunkan murid yang lebih muda dari pada Siong Chen. “Totiang, perkenalkan saya Kwan Tiong San, sebagai orang muda saya mohon petunjuk totiang!”
www.rajaebookgratis.com
“Hmmm...anak muda, jangan dianggap aku menghinamu, tapi tak tahu kenapa Yu Liang menurunkan kamu untuk melawan aku.” “Marilah kita mulai totiang! Silahkan sebagai tamu totiang menyerang dahulu.” Merah muka Bhok Kian Tosu, dalam peraturan tak tertulis di dunia persilatan menyerang lebih dulu biasa dilakukan oleh pihak yang kedudukannya lebih rendah. Namun sudah kepalang basah maka mulailah Bhok Kian Tosu menggerakkan tangan dan kakinya mulai menyerang Tiong San. Serangan pembukaan Bhok Kian Tosu sangat hebat karena ia menggunakan jurus Lao Seng Yikai In (Nabi Lao menghalau awan). Tiong San tak berani langsung menangkis dari depan, ia bergerak cepat kekanan. Serangan Bhok Kian Tosu terpaksa dibelokkan, otomatis tenaga serangannya menurun. Dari samping Tiong San menangkis. “Plaaak.....!” dari pertemuan dua lengan, Tiong San dapat merasakan tenaga sinkang lawan sangat kuat. Ia terdorong selangkah ke belakang, sedang tangan Bhok Kian Tosu tergetar, pertanda selisih sinkang mereka cukup tipis. Kembali Bhok Kian melancarkan serangan demi serangan yang sangat kuat. Tangannya bergerak semakin cepat, seperti awan menindih bukit. Tiong hanya mampu menangkis dan menghindar. Namun begitu sudah tiga puluh jurus lewat, masih belum ada pukulan telak yang mengenai tubuhnya. Ketika dapat kesempatan menyerang, segera Tiong San melompat tinggi hendak melancarkan serangan tendangan budha tanpa bayangan. Sayangnya, karena sudah melihat pertarungan Siong Chen dengan Jie Kung, Bhok Kian Tosu bersiap menerima tendangan dengan menggerakkan tubuhnya seperti kitiran. “Plak...plaak...dessss!” Hasilnya luar biasa, Tiong San terlempar lima langkah, sedangkan Bhok Kian mundur tiga langkah. Meskipun ringan namun Tiong San merasakan dadanya sedikit nyeri, tanda ia telah terluka. “Sraattt......!” Tiong San meloloskan pedang dari sarungnya yang terikat di pinggang. “Dalam pertarungan tangan kosong, saya mengaku kalah, tapi sebelum totiang bisa mengalahkan ilmu pedang kami, saya belum menyerah.” “Majulah anak muda, Kun Lun juga memiliki ilmu pedang yang tak kalah bagusnya dengan Yu Liang Kiamhoat, ujar Bhok Kian sambil menangkap pedang yang dilontarkan kepadanya. Tiong San mulai melancarkan serangan-serangannya. Mula-mula serangan yang dilancarkan cukup hati-hati namun lama-lama makin kuat. Bhok Kian tosu menghadapi dengan hati-hati
www.rajaebookgratis.com
namun jurus-jurus pedangnya mampu mengimbangi gerakan Tiong San. Makin lama gerakan pedang Bhok Kian tosu makin cepat menderu-deru. Hadirin yang duduk di belakangpun dapat merasakan angin sambarannya. Sebaliknya posisi Tiong San makin lemah. Hanya dengan daya tahan yang sangat itu ia mampu melayani sampai lebih dari seratus jurus. Adapun melihat lawan mulai melemah, Bhok Kian makin memperkuat gerakan pedangnya, bahkan sampai terdengan suara mencicit-cicit seperti anak tikus mencari induknya, tanpa menyadari bahwa napasnya mulai memburu. Pedangnya makin kuat saja menyambar-nyambar sedangkan gerakan pedang Tiong San makin mengecil. Pada jurus ke seratus sepuluh, Tiong San mengubah gerakan, mulailah ia merapalkan matera gerakan pedang magis. Tubuhnya merendah hampir jongkok, pedangnya berputar seperti kitiran, semua serangan Bhok Kian dapat tertangkis dengan baik. Pada suatu kesempatan, sekonyong-konyong Tiong San melompat tinggi tubuhnya jungkir balik di udara, dan mulailah ia menyerang dari atas. “Criiing...criiing! crok....plak! Bhok Kian Tosu dua kali menangkis serangan, namun masih belum mampu menghalau jurus Hui-liong-coan-san (naga terbang menembus bukit), maka tak ayal pada serangan ke tiga, pedang Tiong San hampir menebas kepala. Hanya dengan gerakan miringkan kepala, Bhok Kian mampu menghindar dan hanya pundaknya yang tertusuk, namun tangan kirinya mampu menohok punggung lawan. Tubuh Tiong San terbanting, mulutnya mengeluarkan darah, tanda ia telah terluka. Namun Bhok Kian juga terluka, dan pedangnya terlepas. “Hmmm.....biarlah hari ini pinto menerima kekalahan ini, lain kali kami akan datang lagi meminta tambahan pelajaran dari ketua Yu-liang-pay. Bhok Kian tosu membalikkan badan dan dengan dipapah oleh tosu-tosu yang lain ia meninggalkan Yu-liang-pay. Suasana menjadi riuh rendah dan tidak enak bagi ketiga ketua Yuliang-pay. “Omitohud, tidak kami sangka Yu-liang-pay sudah sedemikian pesat majunya, sehingga tidak memandang mata kepada para tamu,” ucapan yang cukup nyaring dari seorang biksu membuat semua hadirin terdiam. Biksu yang barusan berkata ternyata pimpinan rombongan dari Siauwlim, Bu Sian Taisu. Kwan Liong Ping maju kedepan merangkapkan tangan bersoja dan berseru: “Cuwi sekalian mohon dimaafkan sikap kami, ketahuilah bahwa dua orang murid kami Siong Chen dan Tiong San, juga sempat belajar pada couw-su kami, maka kedudukannya tidak
www.rajaebookgratis.com
berselisih jauh dari tingkatan kami. Namun demikian, untuk menghibur biarlah kami tampilkan pertunjukkan tari lagi agar hilanglah segala ketegangan. Lagi pula, pihak kami hanya menerima tantangan dari tamu. Sungguh posisi kami sangat terdesak” Meskipun dalam hati sebagian tamu menggerutu dan mengomel, namun tak dapat disangkal pernyataan Yu-liang-pay tak ada yang keliru. Dan tak dipungkiri sebagai para pesilat, tak ada adegan yang lebih menyenangkan selain melihat orang berpibu. Tiba-tiba salah seorang tamu yang berasal dari kelompok kiri berseru lantang: “Ahh..bosan pertunjukan tarian bebek melulu, kami akan maafkan Yu Liang , kalau dua murid Yu Liang diadu ketangkasan kiamhoat itu.” Kwan Liong Ping terperangah, sekejap tidak mengucapkan sepatah kata, hanya melirik ke kedua belah muridnya. Siong Chen mengajak Kwan Tiong San untuk naik kembali ke panggung. “San te, kalau tamu menghendaki marilah kita bermain-main sebentar.” Pertarungan Siong Chen dan Kwan Tiong San berjalan seperti berlatih. Masing-masing menggunakan pedang yang biasa dipakai untuk berlatih. Gerakannya keduanya mula-mula kelihatan lambat namun pedang-pedang itu seolah-olah berubah menjadi dua ekor naga putih berebut mustika. Amat indah tampaknya, seolah-olah sepasang dewa yang sedang menari-nari. Namun sesungguhnya di dalam keindahan "tarian" ini tersembunyi tenaga sinkang yang menyambar-nyambar dahsyat, dan hawa magis yang tersembunyi. Makin lama, ternyata pertarungan berlangsung sungguh-sungguh. Di satu kesempatan Siong Chen sengaja bergerak lambat. Sadar pukulan tangan kirinya bisa mengenai lawan, Tiong San menarik tenaga sinkangnya, dan memperlemah pukulannya. Siong Chen waspada, sedetik setelah pukulan Tiong San mengenai dadanya, secepat kilat ia balas memukul dengan sungguh-sungguh. Akibatnya Tiong San terdorong tiga langkah. Meski pukulan itu tak terlalu berat, tapi tetap saja menimbulkan luka dalam. Siong Chen segera berseru: “San-te, apa kau tak apa-apa?” secepatnya ia merangkul Tiong San dan langsung memapahnya masuk ke dalam. Dengan semedi sebentar dan perawatan yang dilakukan oleh Sam Pangcu, maka sekejap, Tiong San sudah pulih. Bab 2. Huru-hara di Yu Liang Pay
www.rajaebookgratis.com
Pada malamnya kembali perjamuan diadakan. Pesta malam diadakan di taman. Berbagai lampion digantungkan di tiang-tiang, sebagian diletakkan di dekat bunga-bunga yang bermekaran. Para tamu duduk melingkar pada meja-meja yang disediakan. Ditengah-tengahnya dipasang lilin yang besar. Masing-masing meja diisi empat sampai lima kursi. Makanan dan arak dihidangkan. Toa pangcu duduk semeja dengan Bu Sian taisu, dan pimpinan Kong Thong Pay. Setelah semua tamu duduk, sambil memegang cawan arak Liong Ping berpidato: “Cuwi sekalian, pada malam yang spesial ini, kami akan persembahkan berbagai hidangan dan hiburan, marilah kita nikmati keindahan musim semi di temaraman malam di taman cemara biru ini. untuk itu, kami pertama-tama mari kita cicipi arak wangi yan-tai-jing dari Kwei Yang, mari Bersulang!” Para tamu mengikuti bersulang, dan dilanjutkan dengan makan minum menikmati hiburan yang ada. Tiong San dan istrinya semeja dengan tamu-tamu muda yang berpasangan. Mereka semua makan minum ditingkahi lantunan musik yang meriah. Makin malam makin ramai, apalagi sebagian ada yang mulai mabuk, maka omongan yang diucapkan juga makin ngelantur. Saat malam makin larut dan pesta semakin meriah, sekonyong-konyong terdengar jeritan seorang wanita. Semua tamu mengarahkan pandangan ke Liem Bi Lian, istri Tiong San yang sedang memegangi suaminya. “Dia keracunan!” tamu yang di dekat Tiong San berteriak. Tampak mulut Tiong San berbusa namun tubuhnya kaku. Dengan sigap Ji pangcu yang ada di dekatnya menyambar tubuh Tiong San dan dibopong masuk menuju ke kamar. Seorang nenek dan Bu Sian taisu tergopoh-gopoh memasuki kamar. “Saya bisa sedikit pengobatan, biar saya periksa” ujar biksu itu lembut. Namun ji pangcu menggeleng. “Terlambat!” Nenek yang berwajah bundar yang datang belakangan dengan berseru keras: “Dia tertotok!” serunya sambil membuka punggung Tiong San. “Ilmu totok delapan belas jari iblis!” hampir bersamaan biksu Siauw-lim dan nenek berwajah bundar itu berteriak mengagetkan. “Omitohud.....takdir tuhan tak bisa diubah! Semoga Budha memberkati! Sungguh aneh, ilmu ini sudah lama tidak muncul di Tionggoan, hari ini kemunculannya pasti akan menimbulkan kehbohan-kehebohan”
www.rajaebookgratis.com
Secepat kilat nenek itu berkelebat ke taman tempat pesta. Ketika ia datang suasana sudah berubah ramai. Semua tamu berdiri dengan sikap waspada. Liong Ping berusaha menenangkan suasana, namun teriakan nenek yang baru datang membuyarkan usaha Liong Ping. “Ada pengkhianat datang! Hai orang-orang tengkorak hitam majulah! Lawanlah aku secara terang-terangan! Huh beraninya hanya membokong, pengecut!” Teriakan yang disertai khikang bagai guntur itu membuat semua orang terpana. Para tamu menjadi ribut, masing-masing bergabung ke kelompoknya, pedang dan semua senjata yang tersusun di rak-rak sudah berpindah digenggaman secara erat di tangan masing-masing, semua mata memandang awas kekanan-kekiri. Tiba-tiba terdengar gema jawaban dari kejauhan: “He he heh.......Tung Nio. Hari ini kami cukup puas menjadi saksi maut satu nyawa orang Dalu. Masih untung aku tidak membunuh dia. Aku hanya membantu saja, niatan jahat ada pada anak buahmu sendiri. Kalau kamu tidak puas datang saja sendiri ke bukit tengkorak salju!” Dengan berkelebat secepat hantu Tung Nio, melompat tinggi dan menghilang dibalik tembok pagar. Teriakan Liong Ping dari bawah tak dihiraukannya. Tubuh para tamu tergetar melihat pemandangan yang sehebat itu, hampir tak pernah mimpi mereka melihat pameran ginkang yang sedemikian sempurna. Tembok setinggi dua tombak dengan enteng dilompati begitu saja. Bu Sian taisu dari Siauw-lim juga diam-diam mengakui ilmunya masih belum dapat menandingi nenek itu. “Istrikuuu....... hati-hatilah menghadapi musuh berilmu tinggi!” Suasana gempar, dan di sela-selanya sekonyong-konyong terdengar teriakan seorang pemuda. Ada pengkhianat di dalam rumah kita. Tangkap seluruh pelayan dapur!” seru Siong Chen secara mendadak, sepertinya ia melihat bahwa besar kemungkinan pelayan terlibat. Seorang pelayan yang beberapa waktu sebelumnya menyajikan minuman ke Tiong San terlihat kaget, dan tak menduga akan menghadapi suasana seperti itu. Tidak sempat berpikir banyak, ia hanya berkeinginan lolos secepatnya. Pelayan itu cepat berkelebat lari ke bagian belakang. Tidak berlebihan dugaan Siong Chen, pelayan yang biasanya berjalan lemah gemulai sekonyong-konyong bisa melompat gesit. Namun untung, usaha pelayan untuk melarikan diri diketahui Siong Chen, dan ketika sampai di lorong menuju pintu belakang Siong Chen berhasil mencegat pelayan itu.
www.rajaebookgratis.com
“Mau minggat kemana kau pengkhianat!” jengek Siong Chen sambil menusukkan pedangnya. "Trangg!" Terdengar dentingan pedang beradu belati yang memekakkan ketika pelayan itu menangkis serangan Siong Chen. Tangannya tergetar hebat dan kakinya terdorong dua langkah. Tak henti disitu saja, Siong Chen segera melancarkan serangan-serangan susulan yang mengarah pada titik-titik yang mematikan. Pelayan itu terus terdesak mundur hanya mampu menangkis, tanpa mampu membalas sedikitpun, tangannya tergetar sampai linu. Karena terus mundur tak terasa posisi pelayan itu menghadapi lampu penerangan, sehingga terlihat jelaslah mukanya. Demi melihat secara pasti wajah itu timbul senyum mengejek di wajah Siong Chen. Pada jurus ke enam, dengan gerakan tipu pelangi menyongsong rembulan Siong Chen memutar pedangnya seakan-akan mengarah ke jantung, ketika pelayan itu berusaha menangkis secepat kilat Siong Chen memindah pedangnya ke tangan kiri, sedangkan tangan kanan dikibaskan untuk menyampok belatinya dan "Cratt!...aiiiih!" pelayan yang bernama Cu Hoa Naynay itu mengeluarkan jerit pendek ketika pedang di tangan kiri Siong Chen berhasil menusuk mata kanannya. Dengan mata berlumuran darah dia masih terus berusaha bertahan sambil mundur. Sadar bahwa dirinya sudah terkurung, dia nekad untuk mengadu jiwa. Serangan-serangannya mengarah ke titik-titik maut tanpa mempedulikan keselamatan dirinya. Sementara itu mendengar jeritan seorang wanita para murid tingkat dua cepat berlari ke arah lorong, menyongsong pelayan itu dari belakang. Tak disangka justru kedatangan para murid ini mempermudah jalan dia meloloskan diri. Dengan berpoksai dia menjadikan bahu-bahu mereka pijakan, meski beberapa tusukan mengenai kakinya, namun untuk sementara ia bisa lolos. Ketika melesat ke pinggir bangunan, demi melihat jendela masih terbuka, cepat pelayan melompat masuk ke dalam. Kamar yang dimasukinya ternyata kamar dayang pengasuh anak. Seorang dayang hanya mempu menjerit kecil ketika tanpa aba-aba Cu Hoa menebaskan belati ke lehernya. Demi melihat dayang pengasuh anak, terbersit gagasan licik di pikiran Cu Hoa. Sementara itu gerakan Siong Chen terhambat kehadiran murid-murid tingkat dua yang baru datang. "Minggir...minggir, biarkan aku dulu yang masuk!" Ketika Siong Chen berhasil masuk dia hanya sempat melihat tubuh dayang roboh bersimbah darah, sedangkan Cu Hoa yang dikejar sudah mendobrak pintu kamar. Di luar kamar terdapat taman bermain, tempat para dayang mengasuh bayi dan anak-anak. Meskipun sudah malam, karena suasana pesta anak-anak masih bermain di luar kamar. Demi melihat sasaran di depan mata, secepat kilat Cu Hoa menyambar
www.rajaebookgratis.com
salah seorang bayi berusia satu tahunan, dan menempelkan belatinya ke lehernya, sambil berteriak ke Siong Chen "Berhenti! Jangan halangi aku, atau anakmu menyusul mampus dayangnya!" Sesaat Siong Chen memandang tertegun mendengar teriakan Cu Hoa. Dalam keadaan yang ramang-remang sulit sekali memastikan siapa bayi yang direnggut Cu Hoa. "Hei lepaskan dia!" teriak Siong Chen sambil matanya jelalatan mencari-cari bayi yang lain dengan harapan anak yang dipondongan Cu Hoa bukan anaknya. Namun secepat kilat suasana di taman itu telah berubah onar, karena para dayang lari serabutan, ditingkahi jeritan dan tangis anak-anak. Kekagetan Siong Chen yang tak menduga Cu Hoa punya jalan pikiran gila, membuat Cu Hoa lebih leluasa meloloskan diri. Ketika bisa keluar dari bangunan, meskipun dicegat beberapa murid yang bahkan dipimpin langsung oleh Ji Pangcu Lauw Kian Bu, Cu Hoa berhasil menggertak "Jangan halangi aku, atau bayi Siong Chen mampus!" Siasat Cu Hoa berhasil, para pencegatnya sejenak terperangah tak mampu bertindak apa-apa. Waktu yang meski singkat tapi cukup berharga bagi Cu Hoa untuk meloloskan diri. Setelah keluar dari kawasan Yu Liang Pai, Cu Hoa tahu kemana dia harus lari. Seperti sudah merencanakan jalan lolos, Cu Hoa berlari menyusuri jalan yang baru bukan jalan yang umum dipakai. Meski dikejar-kejar, karena jalanan menurun dan banyak pepohonan Cu Hoa selalu lolos dari serangan gelap dari belakang, baik pukulan maupun sambitan senjata rahasia. Jalanan menurun itu memiliki satu tujuan yang sudah dipersiapkan Cu Hoa. Sesampainya di tepi sungai, sungguh mujur nasib Cu Hoa karena ada satu perahu yang menganggur. Segera ia melompat ke dalam dan mendayungnya cepat. Orang-orang yang mengejar Cu Hoa berhenti di tepi sungai. Ji Pangcu Kian Bu segera membentak: “Hayo engkau lekas balik kemari, kalau tidak, segera kucabut nyawamu!” Sudah tentu Cu Hoa tak gubris pada teriakannya, ia mendayung lebih keras malah. Kian Bu menjadi murka, cepat ia jemput sepotong batu terus menimpuk, menyusul tangan yang lain sambar sepotong batu lagi dan segera disambitkan pula. Cu Hoa sendiripun sedang curahkan antero perhatiannya terhadap batu sambitan pangcu itu sambil tetap mendayung se-kuat2nya. Batu pertama dengan mudah dapat dihindarkannya dengan merendahkan tubuh, tapi batu kedua menyambar datang dengan sangat rendah, serendah badan
www.rajaebookgratis.com
perahunya, terpaksa Cu Hoa merebahkan diri kelantai perahu hingga batu itu persis menyambar lewat di atas telinganya, selisihnya cuma beberapa senti saja. Dan baru saja ia berbangkit, sekonyong2 batu lain menyambar tiba pula, “plok”. Dengan tepat batu itu kena dihaluan perahu hingga kayu bubuk bertebaran, papan haluan perahu telah sempal sebagian. Tapi kini jaraknya sudah makin jauh, berturut2 sambitan batu Ji Pangcu diikuti oleh muridmurid yang mengikutinya itu. Karena cuaca gelap maka sambilatn itu dilakukan secara serabutan tak tentu arah, hanya suara tangis bayi saja yang dijadikan patokan. Meski satu dua tepat mengenai sasarannya, namun cuma menghancurkan sedikit papan dan dinding perahu saja, karena jarak sudah mulai jauh. Aliran sungai Wu di bagian itu cukup deras karena berada di perbukitan, dan setelah kelokan amanlah Cu Hoa dari kejaran. Keruan rombongan pengejar yang dipimpin oleh Ji Pangcu bertambah gopoh ingin lekas2 dapat membekuk Cu Hoa. Ji Pangcu semakin mendongkol ketika melihat perempuan itu dapat menghindarkan setiap timpukannya. Ji Pangcu masih tidak rela melepaskan Cu Hoa begitu saja, ia harus mengejar menyusur tepi sungai. Begitu cepat larinya hingga sampan Cu Hoa kalah cepat meluncurnya. Cuma sayang rombongan mengejar sisi timur, sebaliknya Cu Hoa mendayung perahunya menyorong ketepi barat. Meski kejaran mereka dapat melampaui perahunya Cu Hoa, tapi jaraknya juga bertambah jauh. Biasanya lalu-lintas perahu dan sampan disungai Wu itu sangat banyak, untung Cu Hoa karena sepanjang beberapa li dipantai timur sana tiada sebuah perahupun yang berlabuh di sana. Maka selama itu para pengejar takdapat berbuat apa2. Setelah mentari diufuk mulai menunjukkan semburat cahayanya sebagai pertanda fajar telah menyingsing. mereka baru kembali ke markas. Begitu cepat segala sesuatu berubah, baru saja sore itu mereka bersuka ria dalam pesta, namun tengah malam langsung berubah menjadi duka. tetamu yang sebelumnya menyampaikan ucapan selamat juga berubah menjadi ucapan bela sungkawa. Bukankah benar kata orang-orang bijak bahwa dunia itu tempat yang fana? Lantas mau menunggu apa kita kalau tidak segera berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya? Baik Ji pangcu maupun Tung Nio kembali dengan tangan hampa. Para tamupun tak beranjak pamit dari Yu-liang pay. Mereka masih terus mengikuti peristiwa demi peristiwa yang cukup mendebarkan, peristiwa yang memang menjadi kejaran kaum kang-ouw. Berita yang mereka peroleh akan menjadi bahan rapat yang sangat berharga bagi tiap-tiap perkumpulan mereka.
www.rajaebookgratis.com
Siapakah sebenarnya Cu Hoa? Setelah jauh dari pengejarnya, perlahan-lahan Cu Hoa membalut matanya dan kakinya. Baru sekarang terasa sakit di sekujur tubuhnya, terutama di mata kanannya. Tapi sakit di tubuhnya masih tak seberapa dibandingkan dengan sakit di hatinya akibat dikhianati oleh Siong Chen. Empat tahun yang silam Cu Hoa disusupkan oleh Hek In Pang ke Yu-liang-pay. Cita-citanya adalah mempelajari ilmu-ilmu Yu-liang-pay, terutama ilmu pedangnya yang sangat terkenal. Ia diterima menjadi murid tingkat tiga, setelah mengorbankan tubuhnya kepada Kwan Liong Ping, ketua pertama yang pemogoran itu. Dia sama sekali tak mengira Yu-liang-pay yang di seluruh pelosok kangouw terkenal sebagai partai aliran putih memiliki pemimpin mata keranjang yang doyan perempuan. Tak heran kalau semenjak Liong Ping memimpin partai ini menerima muridmurid perempuan. Tujuan utama kedatangan Cu Hoa adalah mencuri ilmu pedang Yu Liang kiamhoat. Untuk menjalankan siasatnya Cu Hoa mencoba mendekati dua orang muda calon pengganti Liong Ping. Dari perkenalan dan pengamatan, Cu Hoa tertarik pada Tiong San yang memiliki wajah khas, kulit putih dan agak pendiam. Tiong san berumur tiga puluh tahun lebih waktu itu. Meski agak pendek namun tubuhnya kekar, sehingga mengesankan sebagai lelaki yang jantan. Namun berbeda dengan ayahnya, Tiong San bukan tipe lelaki hidung belang. Ia termasuk lelaki yang cinta pada keluarganya. Karena kepribadiannya yang penuh pesona, Cu Hoa justru makin tergila-gila. Di saat sendirian seringkali ia termenung memikirkan Tiong San. Siong Chen selalu mengamati perilaku Cu Hoa. Dia tahu Cu Hoa bukan gadis baik-baik, namun kecantikan dan kemontokan tubuhnya membuat Siong Chen mengilar. Meskipun sudah punya tiga istri Siong Chen tak pernah puas memenuhi nafsu syahwatnya. Sungguh aneh memang, ayah Siong Chen, yaitu Sam Pangcu Siong Hok Cu terkenal sebagai lelaki yang alim, namun anaknya justru menurun tabiat dari Toa Pangcu Liong Ping. Namun kalau ditelisik lebih dalam, hal ini sangatlah beralasan. Siong Chen selain belajar dari ayahnya juga berguru pada Liong Ping, dan perilaku Liong Ping lebih banyak mempengaruhinya. Sebaliknya Tiong San, meskipun belajar pada Liong Ping, dia tidak cocok pada tabiat ayahnya. Oleh karena itulah maka ia lebih banyak menghabiskan waktunya berguru pada Ji Pangcu Lauw Kian Bu. Melihat kesempatan yang ada mulailah Siong Chen mendekati Cu Hoa. Karena pada dasarnya bukan gadis baik-baik, rayuan Siong Chen ditanggapi oleh Cu Hoa, bak gayung bersambut. Dengan menjanjikan akan mengajarkan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat, Siong Chen benar-benar dapat memenuhi hasratnya. Selama beberapa bulan mereka menjalin
www.rajaebookgratis.com
hubungan, selama itu Siong Chen mengajarkan ilmu pedang kepada Cu Hoa. Biasanya setelah Siong Chen pergi, Cu Hoa menuliskan kembali gerakan-gerakan ilmu pedang yang dipelajarinya. Karena hubungan mulai dekat, pelan-pelan Cu Hoa tahu kalau Siong Chen ada perasaan iri kepada Tiong San. Siong Chen merasa iri dengan bakat Tiong San yang cepat mempelajari ilmu silat. Selain itu, dia juga khawatir jika Liong Ping berumur panjang dan setelah ia meninggal kelak, Ji Pangcu yang berhak menggantikan posisinya sudah merasa tua, maka bisa saja Ji Pangcu memilih Tiong San, mengingat Ji Pangcu tidak menikah dan sangat sayang pada Tiong San. Di suatu malam, ketika Siong Chen menginab di kamarnya, Cu Hoa sengaja memancingnya dan mulailah Siong Chen mengungkapkan kebenciannya Karena perbincangan seperti inilah Cu Hoa menyampaikan niatnya “Chen ko, aku tahu kau tidak suka pada Tiong San, maka bagaimakah pendapatmu kalau kita bekerja sama untuk menyingkirkannya?” “Hoa moy, bagaimanakah ide kamu?” “Aku ingin menghancurkan keluarga Tiong San” “Dan bagaimanakah caranya?” “Tiong San sangat mencintai keluarganya. Kita bunuh istrinya, pasti dia akan kehilangan dan hancurlah hidupnya!” “Ide gila! Bagaimana caranya?” “Dekatkan telingamu Chen ko!” Berbisik-bisiklah dua orang itu merencakan suatu kejahatan. Diluar penglihatan Cu Hoa, Siong Chen menyungging senyuman. Senyum yang mengandung ejekan. Cu Hoa masih ingat seluruh pembicaraan di malam itu. Mereka bersepakat untuk meracuni istri Tiong San. Untuk menyelamurkan siasatnya sengaja mereka menunggu acara ulang tahun Yu-liang-pay, sehingga kecurigaan bisa ditimpakan ke pihak tamu. Namun siapa kira Siong Chen berkhianat. “Hmmm.... sudah jelas bubuk yang diberikan Siong Chen dimasukkan ke makanan yang dihantarkan ke Liem Bi Lian, dan dengan mata kepala sendiri dia lihat Liem Bi Lian menyantap daharan yang diserahkan, lalu mengapa yang jadi korban adalah Tiong San? Ah betapa bodohnya aku! Pasti bubuk yang aku bawa bukan bubuk racun tapi bubuk penawar, pantas saja Siong Chen sengaja mengajak Tiong San bertanding, agar tubuhnya lemah sehingga pengaruh racunnya dapat
www.rajaebookgratis.com
mematikan. Sungguh siasat yang sangat culas, awas Siong Chen...tunggu saja pembalasanku kelak...... Setelah lebih dari seperempat malam, lamunan Cu Hoa terputus oleh suara gemuruh air di kejauhan. Tergagap-gagap Cu Hoa memutar balik haluan demi menyadari di depannya ada air terjun. Gerakannya membuat tangisan bayi yang dipangkunya. Ia meletakkan bayi ke buritan dan mengamati wajah bayi dengan seksama. – ohhh ternyata dia bukan anak Siong Chen, dia...dia...tak terasa Cu Hoa terkejut seperti disengat kalajengking demi menyadari bahwa bayi yang diculik adalah anak Tiong San. Sekejap Cu Hoa diam mematung. Timbul gejolak di hatinya, mau diapakan anak itu. –Apa sebaiknya aku ceburkan aja di sungai ini, biar kelak tidak menjadi duri dalam daging - namun buru-buru Cu Hoa tersenyum. – aku akan titipkan dulu pada orang di kampung depan, kelak aku akan ambil kembali untuk mendidiknya. Keterkejutan dan kegalauan membuat Cu Hoa tak sadar makin dalam masuk ke arus sungai yang semain melaju. Ketika sudah sadarpun terlambat, meski sekuat tenaga berusaha mengayuh dayung kembali ke hulu, apa daya kekuatan alam tak mampu di lawannya. ”Aaaa...................................” Dengan lengkingan yang tinggi Cu Hoa, sampan dan bayi yang diculiknya terjatuh ke dasar air terseret arus dan terjun ke dasar yang sangat dalam. Bagi orang biasa, jatuh ke jurang seperti itu tentu kecil kemungkinan masih hidup, namun hidup mati semua orang ada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan belum menghendaki, meskipun menghadapi perang dan diserang ratusan senjata mudah saja seseorang lolos dari kematian. Sebaliknya, meskipun bersembunyi di dalam benteng yang kokoh, kalau kematian sudah datang, tak seorangpun bisa menolaknya, sekalipun ia adalah kaisar. Cu Hoa jatuh dan terseret air ratusan li jauhnya, namun beruntung ia selamat, meski sekujur tubuhnya penuh benjolan luka luar. Dengan tertatih-tatih ia berhasil keluar sungai, dan selama satu bulan bersembunyi di suatu goa dalam hutan yang lebat. Adapun bayi yang diculik Cu Hoa beruntung hanya terseret satu dua li dan tersangkut pada jala yang dipasang nelayan sungai. Ketika pada pagi harinya nelayan setengah baya hendak mengambil jalanya, betapa terkejutnya dan sekaligus bersyukur karena ia sendiri sudah belasan tahun menikah tak dikaruniai anak. Maka ia kemudian mengangkat bayi yang kemudian diberi nama Tiong Gi. Setelah pulih dari luka, Cu Hoa berkelana menyusuri sungai dan mencari bayi yang dulu diculiknya. Di desa-desa sekitar air terjun itu selama berbulan-bulan ia mencuri dengan informasi tentang bayi yang hanyut di sungai. Usahanya tak sia-sia, dalam tempo setengah tahun
www.rajaebookgratis.com
ia sudah menemukan titik terang. Namun Cu Hoa, cukup cerdik ia tidak mengambil tindakan saat itu, ia dengan sabar menunggu empat tahun lagi. Kita tinggalkan dulu Cu Hoa dan Tiong Gi, marilah kita lihat situasi di tempat lain. Jauh di sebelah barat, di pegunungan yang sangat tinggi. Pegunungan yang puncak-puncaknya berselimut salju abadi dan jarang sekali dikunjungi manusia. Bahkan ada anggapan pegunungan tersebut merupakan tempat bersemayam para dewa. Pegunungan yang memiliki luas hampir menyamai Borneo. Inilah tempat yang dikenal dengan nama Kun Lun San. Di salah satu dataran rendah di pegunungan itu, berdiri sekumpulun bangunan kota berarsitektur tibet. Meskipun di sebut dataran rendah, karena tempat itu terletak di kaki-kaki pegunungan, namun ketinggiannya tidak kurang dari 3500 m. Di tempat setinggi itu, sejauh mata memandang hanya bisa menemukan padang rumput, semak dan hutan yang didominasi oleh pinus. Tak ada lagi jenis pepohonan yang mampu tumbuh di ketinggian itu. Di tempat yang sangat sepi dan jarang dikunjungi manusia ini berdiri kokoh sebuah partai yang tidak hanya terkenal di bagian barat, namun juga sangat dikenal di Tiong goan: Kun Lun Pai. Pada saat itu di di bangsal utama tempat biasa para tosu belajar agama. Ketua Kun-lun-pay Giok Yang Cinjin, tampak sedang memberi pelajaran To bagi murid-muridnya. Tosu yang berwajah teduh ini berumur hampir sembilan puluh tahun. Kumis dan jenggotnya yang sudah memutih dibiarkan panjang, sedangkan rambutnya disanggul ke atas khas sanggulan agama To. Selanjutnya dengan suara penuh kesabaran, Giok Yang Cinjin memberi wejangan kepada murid-murid Kun-lun-pai, menegaskan bahwa sebagai penganut To dan murid Kun-lun-pai yang gagah perkasa dan bijaksana mereka harus menyerahkan segala peristiwa kepada kekuasaan alam berdasarkan kewajaran. Hanya bergerak untuk menghadapi dan menanggulangi keadaan sebagai akibat. Jangan sekali-kali menjadi sebab timbulnya sesuatu ketegangan. Hal ini hanya mudah dicapai dengan sikap diam dan tidak mencampuri urusan yang tidak menyangkut diri pribadi. Suasana belajar yang penuh kedamaian ini pecah ketika tiba-tiba serombongan tosu yang dipimpin Ki Liang tosu masuk. Dilihat dari pakaiannya yang berdebu dan wajahnya yang kusut, tampat mereka baru datang dari tempat yang jauh. Dan yang membuat suasana menjadi gaduh adalah sebuah tandu yang diusung rombongan. Begitu datang ketua rombongan langsung buka tutup tandu. Semua yang melihat terperanjat, di dalam tandu itu Bhok Kian tosu tampak sedang terkena demam tinggi.
www.rajaebookgratis.com
“Suhu, taecu Ki Liang, mohon perkenan untuk melaporkan hasil kunjungan ke Yu-liangpay!” “Ahhh…Ki Liang kamu tenanglah, biar pinto berusaha untuk mengobati Bhok Kian dulu” ucap Giok Yang tosu dengan tenang meskipun wajahnya berubah pucat ketika menyambut kedatangan muridnya di tandu. Selanjutnya Giok Yang menotok jalan darah sana-sini, dan menyalurkan tenaga sinkangnya. Wajah tosu yang biasanya tenang ini dibuat berkerut-kerut tanda ada keganjilan dalam peristiwa yang dihadapinya. “Lukanya tidak berbahaya, tapi dia perlu istirahat tiga bulan untuk memulihkan kesehatannya. Siapakah yang melukainya dengan tusukan beracun ini Ki Liang?” Selanjutnya Ki Liang menceritakan pengalamannya di Yu-liang-pay. Sebagai murid langsung ketua Kun Lun, Ki Liang sangat dipercaya untuk menghadapi urusan luar Kun Lun. Cerita yang disampaikan Ki Liang membuat semua murid terperanjat. Sulit sekali dipercaya, murid ketua yang memiliki kelihaian sangat tinggi, bahkan tidak selisih jauh dari suhengnya yang calon ketua, dapat dikalahkan oleh murid Yu Liang yang barusia tak lebih dari dua puluh lima. “Hmmm.....sungguh aneh, sejak kapan Yu-liang-pay menggunakan racun pada senjatanya,” sungut ketua Kun-lun-pay sambil mengelus-elus jenggotnya. Bhok Kian yang baru saja baikan, segera menjawab, “Suhu, banyak sekali keganjilan yang taecu temui di sana, kita harus membalaskan sakit hati ini dan yang lebih penting kita musti menyelidikinya. Suhu perkenankanlah taecu membawa beberapa susiok untuk kembali ke sana.” “Hmmm...tidak baik....tidak baik......, kau harus istirahat dulu Bhok Kian. Lagi pula tidak baik memendam rasa dendam. Berita ini justru harus menjadi cambuk bagi kita untuk lebih giat belajar dan berlatih. Ilmu Kun Lun tidak kalah dengan partai manapun, asal kita bersungguhsungguh mempelajarinya.” “Kalau suhu tidak mengijinkan aku mengajak susiok, aku akan menemui pamanku, Kun Lun sam lojin.” Giok Yang tosu, Ki Liang tosu, tosu-tosu yang lain terkejut mendengar ucapan Bhok Kian. “Ah, Bhok Kian sungguh hatimu telah dibakar oleh kesumat. Semoga Thian selalu memberi petunjuk padamu. Aku tidak bisa melarangmu menemui pamanmu, dan Kun-lun-pay tidak ikut campur urusan kalian.”
www.rajaebookgratis.com
Pertemuan itu bubar. Namun tanpa sepengetahuan mereka semua ada seseorang yang menguping seluruh pembicaraan yang terjadi. Semua wejangan dan percakapan yang terjadi di ruangan belajar yang luas itu didengarkan penuh perhatian oleh seorang anak laki-laki yang sedang bekerja membersihkan jendela-jendela dan pintu-pintu dengan kain kuning. Bab 3. Chien Ce si putra salju Anak laki-laki ini berusia kurang lebih enam tahun, berwajah tampan dan berpakaian sederhana, dari kain katun kasar. Yang menarik pada anak ini adalah sepasang matanya, karena pandang matanya amat tajam, dengan biji mata yang terang jarang bergerak, membayangkan pikiran yang dalam, pandangan luas dan penuh pengertian. Bocah yang menjadi kacung (pelayan) di kuil besar Kun-lun-pai ini adalah Shu Chien Ce, dan sudah tiga tahun dia berada di kuil itu. Dia adalah seorang anak yatim piatu, karena keluarganya, ayah-bundanya dan saudara-saudaranya, semua dikabarkan telah tewas dalam perjalanan pergi ke luar daerah. Ki Liang tosu menemukannya tergeletak pingsan di dekat gelimangan mayat pada usia dua tahunan. Chien Ce sendiri beruntung bisa sembunyi pada saat kejadian. Tosu ini sedang melakukan perjalanan merantau dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendekar dan penyebar Agama To ke bagian utara Tai Swat shan. Tai Swat shan merupakan dataran tinggi di sebelah timur pegunungan Kun Lun. Ki Liang tosu sendiri tidak melihat kejadiannya. Hanya satu tanda yang bisa menjadi petunjuk yang kemudian disimpan oleh tosu ini, yaitu keping besi berwarna hitam berbentuk seperti tengkorak manusia. Kemudian oleh Ki Liang tosu yang merasa kasihan melihat Chien Ce, anak itu diajak ke Kun-lun-san dan disitu ia bekerja sebagai seorang kacung. Sebetulnya, Chien Ce hendak dijadikan murid Kun-lun-pai, akan tetapi bocah ini masih terlalu kecil untuk menjadi tokong (calon tosu). Pada waktu itu, murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon yang memegang keras peraturan, yaitu setiap orang murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon tosu. Karena sudah tidak mempunyai keluarga maka ia bekerja sebagai seorang kacung. Dia rajin sekali, semua pekerjaan dia pegang, apa saja yang diperlukan, tanpa diperintah dia kerjakan. Mengisi tempat air, membersihkan kuil, menyapu lantai dan kebun, merawat bunga, bahkan menggembala kerbau milik kuil yang dipergunakn untuk meluku sawah, semua dia kerjakan dengan tekun dan rajin.
www.rajaebookgratis.com
Di malam hari, karena para tosu yang sayang kepadanya, dia boleh ikut belajar baca tulis yang diperuntukkan bagi tokong. Ia juga diijinkan memasuki kamar perpustakaan dan membaca kitab-kitab. Semenjak kecil, saat pulang dari perjalanan jauh, Ki Liang pasti mengajarinya. sungguh hubungan merka bagaikan anak dan ayah, bahkan bisa lebih dekat lagi seperti sahabat. Kitab-kitab tentang filsafat kebatinan, pelajaran-pelajaran Tao, juga kitab-kitab pelajaran dasar ilmu silat Kun-lun, semua dia baca di usia yang sangat dini enam tahun. Tentu saja karena tidak ada gurunya, dia hanya bisa membaca tanpa dapat menangkap jelas inti sarinya. Chien Ce sedang membersihkan daun-daun pintu dan jendela yang terkena debu ketika rombongan Ki Liang tosu datang disongsong oleh Giok Yang Cinjin dan anak muridnya yang berkumpul di ruangan belajar. Karena dia tidak diusir dan memang dia bekerja tanpa mengeluarkan suara, maka Chien Ce dapat melihat dan mendengar semua. Suasana di ruangan belajar itu amat hening dan para murid mendengarkan wejangan guru mereka dengan penuh hormat dan kesungguhan, membuat Chien Ce makin hati-hati agar tidak mengganggu, namun dia kadang-kadang sampai lupa akan pekerjaannya karena mendengar hal-hal yang amat menarik hatinya. Ia mendengarkan terus. Chien Ce sudah lama ingin sekali jalan-jalan keluar kuil, apalagi Ki Liang tosu yang membawanya adalah tosu urusan luar, sehingga punya kebiasaaan jalan-jalan. Dan di waktu kembali dari perjalanan tosu itu selalu mempunyai banyak cerita untuknya. Maka demi mendengar tosu itu hendak menemui Kun Lun sam lojin, tergerakkan Chien Ce untuk mengikutinya. Sebulan setengah setelah peristiwa itu, Bhok Kian sudah sehat kembali, meskipun wajahnya masih pucat. Pada pagi itu cuaca cukup hangat, karena musim panas telah tiba. Setelah mandi Bhok Kian tampak berkemas hendak berangkat. Chien Ce dari tadi sudah mengawasi Bhok Kian. Dan ketika tosu itu berangkat iapun mengikutinya. Lewat sepeminuman teh, Bhok Kian sadar perjalanannya diikuti, namun betapa kagetnya ia ketika sembunyi untuk coba menengok ternyata yang mengikutinya adalah Chien Ce. Selama ini ia jarang mengamati kacung kecil ini, maka bisa dibayangkan kekagetannya. Betapa terperanjatnya Chien Ce ketika pundaknya ditepuk seseorang, ketika ia membalikkan badan, ia hanya bisa tersenyum malu. “Kenapa engkau mengikutiku bocah, hei bukankah engkau kacung kecil yang dibawa Ki Liang suheng?”
www.rajaebookgratis.com
“Totiang, aku ingin jalan-jalan, kalau perjalananmu kali ini tidak jauh ajaklah aku. Aku berjanji tidak akan mengeluh dan memberatimu.” “Ehhh....kau ingin jalan-jalan?, Hei tahukah kamu aku tidak hendak berpesiar ke taman binatang bicah, aku sedang melakukan tugas yang sangat penting!” “Aku tidak peduli kemanapun totiang pergi, asal tidak jauh aku pasti tidak akan kecapaian.” Bhok Kian sebenarnya malas untuk mengajak anak itu, namun tak kuasa menolak permintaannya, lagipula ia tidak sedang tergesa-gesa, dan perjalanannya paling lama setengah hari. “Baiklah kau boleh ikut, tapi harus berjanji ketika aku bertemu dengan orang lain, kau tidak boleh ikut berbicara.” “Baik totiang, aku berjanji.” Maka berangkatlah mereka menuju ke suatu puncak bukit di sebelah utara Kun-lun-pay. Di sepanjang perjalanan Bhok Kian lebih terkesima lagi dengan wawasan yang dimiliki oleh anak sekecil itu. Chien Ce berbicara banyak hal, mulai dari barang permainan sampai karya sastera. Banyaknya puisi dan ujar-ujar kuno yang dihapal Chien Ce sungguh membuat Bhok Kian tidak menyesal mengajak anak itu, meskipun dia tetap sok jual mahal. Lewat seperempat hari tibalah mereka di sebuah pintu goa. Di depan pintu goa, Bhok Kian berseru: “Samwi locianpwe, siauwte Bhok Kian mohon menghadap!” Lama tak terdengar suara. Bhok Kian tosu sampai mengulang tiga kali, baru kemudian muncul suara balasan yang sangat pelan: “Kian-ji, ada maksud apa kau mengunjungi kami? Siapa yang kamu bawa?” Bhok Kian tertegun, sikap Kun-lun sam-lojin tidak seperti biasanya. Biasanya sebelum sampai di goa, dari kejauhan Bhok Kian sudah melihat pamannya menyambut di depan pintu goa. “Siuwte membawa kacung Kun-lun-pay, ah dia ini masih anak kecil. Siauwte punya urusan yang sangat penting.” Tiba-tiba seorang kakek sudah berdiri di depan pintu goa. Tubuh kakek ini kurus sekali, wajahnya tirus, mukanya cekung, bicaranya serak-serak basah. “Masuklah kalian!” Chien Ce tidak melihat kakek itu membuka mulut, tapi ada suara parau yang tiba-tiba keluar. Sebelum menyadari kejadian selanjutnya, sekonyong-konyong ia merasakan ada tenaga tarikan
www.rajaebookgratis.com
yang sangat kuat. Chien Ce dan Bhok Kian tersedot tenaga yang keluar dari tubuh kakek itu, dan tiba-tiba mereka sudah berada di suatu ruangan yang cukup terang. Di ruangan itu duduk dua orang kakek yang bentuk tubuh dan penampilannya sangat aneh. Keduanya susah ditaksir berapa umurnya. Yang pertama bertubuh pendek bulat seperti jai la hud, wajahnya selalu berseri, tangannya membawa kipas bulat, kepalanya pelontos tanpa kumis maupun janggut, hanya cawat yang menutupi tubuhnya inilah orang kedua dari Kun-lun sam-lojin. Yang kedua bertubuh tinggi, berkulit putih, rambut, alis, kumis maupun janggutnya dibiarkan panjang menjuntai, matanya selalu mengatup, pakaiannya lengkap semodel dengan pakaian Bhok Kian tosu, di tangan kanannya ia memegang sebatang tongkat bambu yang sudah tua. Bhok Kian kemudian berlutut di hadapan tiga kakek tua ini. “Taecu Bhok Kian mohon maaf mengganggu ketenangan sam-wi locianpwe, terus terang saja ada taecu ingin memohon pertolongan, karena ada hal yang sangat menganggu.” “Hal apakah itu Liang ji, katakanlah kepada kami!” tanya sam lojin menyelidik. Selanjutnya Bhok Kian menceritakan dari mulai datangnya undangan dari Yu-liang-pay, sampai dengan peristiwa yang terjadi di sana. Tak lupa keracunan yang dialami juga turut disampaikan. Ketiga pertapa tua tersebut menyimak cerita Bhok Kian dengan penuh perhatian. Bhok Kian mengakhiri cerita dengan satu permintaan. “Demikianlah yang terjadi, karenanya mohon kesediaan sam-wi locianpwe membantu kami menyelidiki Yu-liang pay, rasanya ada yang nggak beres di sana!” Beberapa saat suasana hening. Bergantian Chien Ce memandangi wajah ketiga pertapa yang namanya menjulang tinggi lebih dari enam puluh tahun yang lalu. Ketiga-tiganya memeramkan matanya, seperti berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tiba-tiba keheningan itu dipecahkan oleh suara lirih namun bening. “Hmmm.....Yu-liang Kiamhoat baru diciptakan oleh Huang Shin ketika aku masih muda, mungkin sekitar sembilan puluh tahun lalu. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang istimewa dari ilmu pedang ini, kecuali perkembangan jurus-jurusnya yang sangat banyak. Namun jika dibandingkan dengan Kun-lun Kiamhoat yang sangat kuat dalam pertahanan dan penyerangan serta lebih murni. Sebenarnya Yu Liang Kiamhoat masih belum bisa menandinginya. Aku agak heran kalah ilmu pedang seperti itu bisa digabung dengan unsur magis. Hanya ada dua kemungkinan. Pelakunya dibekingi oleh dukun atau pelakunya kesurupan.” papar toa lojin sambil tetap memejamkan mata.
www.rajaebookgratis.com
“Dukunnn.....wah kurang ajar sekali Yu-liang pay berani-beraninya sekarang berkongsi dengan segala dukun.” “Ilmu sihir seperti itu hanya dimiliki oleh dua kelompok, himalaya atau india,” ujar ji lojin. Bhok Kian, maupun Chien Ce mengikuti tutur kedua lojin itu dengan mulut terbuka. Bhok Kian yang sudah belasan tahun terjun ke dunia persilatan masih merasa asing dengan segala macam sihir yang bisa menggerakkan orang lain. Selama ini Bhok Kian hanya pernah berhadapan denga tukang sihir yang hanya memengaruhi pikiran seseorang. Kekuatan seperti ini mudah dipunahkan jika pihak yang diserang memiliki sinkang yang kuat. Di lain pihak, Chien Ce yang masih kanak-kanak tak bisa mencerna apa yang dibicarakan. Dia hanya tertarik membayangkan tempat-tempat yang jauh yang belum pernah dikunjunginya. Sementara kedua orang tamunya masih melamun dengan pikiran masing-masing, sam lojin berujar. “Begini saja, Bhok Kian, aku akan menemaniku kembali kesana, biar dibuktikan sendiri apa yang sebenarnya terjadi dan siapa dalang dibalik perubahan gaya pedang Yi Liang Pay. Sekarang kalian kembalilah, sebulan lagi setelah kesehatanmu benar-benar pulih aku tunggu kamu di lembah bunga mawar. Bhok Kian dan Chien Ce membalikkan badan dan hendak meninggalkan ruang itu. Namun belum ada tiga langkah, sekonyong-konyong Ji-lojin berseru, “Tunggu!” Bhok Kian dan Chien Ce berhenti dan membalikkan badan. “Bhok Kian, apakah anak yang kau bawa ini murid Kun-lun?” tanya ji lojin penuh selidik. “Emm...dia ini, dia belum diangkat sebagai murid Kun-lun, masih seorang kacung. Mengapakah locianpwe menanyakan hal ini?” Ji lojin bukannya menjawab pertanyaan Bhok Kian, dia justru mendekat ke Chien Ce, memegang pundak dan tangannya. “Tulang bagus....tulang bagus......., toako bukankah cukup pantas kalau kita minta imbalan atas bantuan kita ke Bhok Kian dengan meminta anak ini jadi pewaris ilmu kita, selama ini dia selalu jual mahal kalau ditawari oleh sam-te.” “Jite, kamu belum bertanya ke anak itu, apakah dia mau jadi murid kita?” Chien Ce yang masih kanak-kanak cukup cerdas untuk mencerna pembicaraan mereka. Namun dengan polos ia menjawab, “Mau..mau...tapi aku ingin belajar sambil jalan-jalan ke kota atau ke India, aku mau beli permen, apa suhu bisa mengajak aku kesana?”
www.rajaebookgratis.com
Segera ji-lojin berujar sambil melirik Bhok Kian “Nahh...anak ini ternyata berotak lebih encer dari majikannya, bukan begitu sam-te?” Sam-lojin yang diajak bicara ji lojin memandang tajam keponakannya. Bhok Kian yang jadi pusat perhatian hanya tersenyum hambar. Beberapa kali dia memang pernah diminta pamannya untuk mewarisi kepandian Kun-lun-sam-lojin. Namun Bhok Kian punya pandangan lain, ia sudah merasa nyaman menjadi tosu di Kun-lun-pay. Dan Kun-lun-pay punya peraturan ketat yang melarang murid Kun-lun-pay mempelajari ilmu dari sumber lain. Sebagai murid yang bercita-cita tinggi ingin menjadi yang terbaik di Kun-lun-pay, Bhok Kian tentu saja menolak segala tawaran dari ‘sumber lain’. untuk melepas rasa tidak enaknya maka dengan muka yang diramah-ramahkan ia mengucapkan selamat ke Chien Ce, “Kionghi Ce-ji......engkau kini murid tiga suhu yang paling sakti di kolong langit”. “Siauwte mengucapkan terima kasih kepada sam-wi locianpwe, namun demikian saya harus melapor dulu ke pimpinan di Kun Lun, supaya hubungan kita tetap baik. Sebulan lagi biar siauwte datang kembali kesini mengantar anak ini dan menjemput sam-lojin. Nah, kami mohon diri" Tosu itu kemudian mengandeng tangan Chien Ce untuk kembali ke Kun-lun-pay. Sebulan kemudian Bhok Kian tosu kembali ke goa itu mengantar Chien Ce dan mengajak sam lojin yang juga pamanya ke Yu-liang-pay. Mulai saat ini Chien Ce belajar dengan tekun dibawah bimbingan toa-lojin dan ji-lojin. Berbagai ilmu silat tingkat tinggi dipelajarinya dengan kesungguhan. Kita tinggalkan dulu Chien Ce yang sedang belajar di goa di bukit sebelah utara Kun-lun-pay, marilah kita ikuti petualangan Bhok Kian dan sam-lojin di Yu-liang-pay. Bhok Kian dan sam-lojin melakukan perjalanan cepat ke pegunungan Fan Cing san tempat Yu-liang-pay. Pagi-pagi ketika mereka tiba di pintu gerbang, mereka disambut penjaga dengan wajah yang galak dan tegang. Dua orang penjaga itu begitu melihat dua orang tamu yang berkunjung bertampang orang persilatan, langsung mencabut pedang, dan dengan kerennya mereka membentak; “Siapa kalian dan ada urusan apa datang ke sini!” Sam-lojin yang banyak pengalaman menggoda, langsung menjawab; “Hei kami ini tukang sulap yang diundang untuk menghibur majikan kalian, maka tidak lekas laporkan majikan tunggu apa lagi.” Tiba-tiba pedang di tangan penjaga kedua tersedot oleh tenaga yang tersembunyi kemudia bergerak sendiri hendak menusuk penjaga pertama yang bicara. Bak dipatuk ular, dalam
www.rajaebookgratis.com
kekagetan penjaga pertama tadi mundur hingga tubuhnya membentur pintu. Temannya hanya mampu menonton sambil mulutnya mangap. Mengetahui bahwa yang datang adalah lawan yang berkepandaian. Kedua penjaga hendak membunyikan kentongan. Tapi terlambat usaha mereka ternyata diketahui oleh dua orang tamu, sehingga dengan mudah kentongan direbut. Namun keributan itu tidak berlangsung lama, karena Bhok Kian sudah berteriak mengirimkan suara ke penghuni gedung utama. Pintu utama dibuka dari dalam. Lima orang murid tingkat dua dipimpin seorang wanita menyambut kedatangan tamu. “Ji wi totiang siapakah? Mohon sebutkan nama dan keperluan!” bentak wanita yang dulu pernah memamerkan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat itu galak. “He he he heh..., nona katakan saja kepada pangcumu, aku Bhok Kian tosu ingin bertemu!” “Ooooh rupanya tosu dari Kun Lun, apakah dulu gebukan kami kurang keras!” kalimat ejekan yang dilontarkan wanita ini sungguh membuat muka Bhok Kian memerah, matanya melotot, giginya menggeletuk. “Bangsat sundal! Suruh keluar Liong Ping menghadapi kami, jangan hanya mengandalkan bangsat kunyuk seperti kalian!” bentak Bhok Kian dengan suara menggelegar. Bentakan ini ditimpali dengan ketukan tongkat sam lojin lima kali ke lantai di depannya. Luar biasa sekali akibat dari lima kali ketukan ini karena dari masing-masing ketukan keluar hawa pukulan yang dapat menjalar di lantai dan menyerang lima murid Yu-liang-pay. Akibatnya empat orang langsung terlempar tiga tombak ke belakang dan jatuh terjengkang. Sedangkan wanita yang memimpinnya hanya terhuyung empat langkah, wajahnya yang semula keras dan galak kini memucat. “Sekonyong-konyong terdengar suara yang menggetarkan; “A Hui, ajaklah tamu ke lian bu thia, kami menunggu di sana.” Demi mendengar suara ini, wanita yang bernama Lian Hui ini lantas menjawab; “Baiklah pangcu.” Disusul dengan ajakan ke dua tamu, dengan nada suara yang lebih ramah. “Silahkan jiwi ikuti aku.” Bhok Kian memasuki ruangan lian bu thia. Hatinya terkejut dan kagum. Ruangan itu luas, akan tetapi kini dikelilingi pagar hidup berupa anak murid Yu-liang-pay yang berdiri dengan disiplin baik, tidak ada yang bicara, namun dengan sikap siap siaga dan penuh kewaspadaan semua mata ditujukan kepada mereka. Jumlah anak murid yang berkumpul disitu dia taksir tidak
www.rajaebookgratis.com
kurang dari seratus orang! Bhok Kian tidak tahu bahwa belum sebulan berselang Yu-liang-pay juga dikunjungi lima tokoh dari Hek-in-pang, masing-masing. Mereka menuntut keadilan. Namun untunglah pada saat kunjungan mereka, toa-pangcu Liong Ping sedang tidak ada, sehingga mereka ditemui ji-pangcu yang lebih sabar. Ji-pangcu menjanjikan akan menyelesaikan masalah satu tahun lagi, di puncak bukit Yuan Ling san, sebelah utara Fan Cing san. Masingmasing akan diwakili tiga orang. Dari dalam kemudian muncullah dua ketua Yu-liang-pay, yang langsung menyambutnya dengan keramahan; “Ahh kiranya Bhok Kian toyu yang berkunjung, ada keperluan apakah kunjungan jiwi ke sini, dan siapakah totiang ini?” ujar Liong Ping sambil tersenyum. Senyuman sinis yang penuh nuansa ejekan. “Liong Ping! Tidak perlu kita berbasa-basi. Kedatangan pinto dengan pamanku ini tidak lain hendak menuntut pertanggung jawaban kalian.” “Kiranya Kun Lun sam-lojin, toyu ini orang keberapakah?” potong Liong Ping. “Aku sam-lojin,” jawab sam-lojin pendek, parau dan nyaris tak terdengar beda vokal dan konsonan dalam kata-katanya. Baik aku lanjutkan. Dulu kalian hendak mencelakai aku dengan racun. Apakah memang Yuliang-pay hendak menantang Kun-lun-pay?” Bhok Kian berkata dengan berapi-api. Wajahnya memerah penuh hawa kemarahan. “Ahhh begitukah kiranya? Maafkan aku Liang toyu, sungguh peristiwa ini perlu kami selidiki, karena terus terang kejadian itu diluar sepengetahuanku, lagi pula bagi kami apakah untungnya memusuhi kalangan kang-ouw?” “Aku adalah Bhok Kian, bukan Ki Liang. Kalau pangcu masih memandang muka Kun-lunpay, panggillah murid yang dulu melukai pinto. Kami ingin bicara langsung dengannya!” pinta Bhok Kian tosu dengan nada tegas. Liong Ping menatap kedua tamunya dengan pandangan penuh selidik, kemudian lirih menjawab; “Pada hari itu pula kami juga kehilangan anak murid kami Tiong San. Siapa pelakunya sampai saat ini masih kabur bagi kami.” Kali ini giliran Bhok Kian tosu dan sam-lojin yang terperanjat, karena waktu itu buru-buru Bhok Kian mengundurkan diri maka kejadian selanjutnya tidak dia ketahui.
www.rajaebookgratis.com
“Kalau memang demikian, maka kini tuntutan kami yang kedua, kami meminta pancu menuliskan surat permohonan maaf secara resmi ke pihak Kun-lun-pay, yang ditulis pangcu sendiri dan akan kami bawa sendiri ke Kun Lun.” Sejenak Liong Ping terdiam sambil memicingkan matanya, lantas ia menjawab seolah sedang bergumam; “Kalah menang dalam sebuah pibu adalah hal yang sudah sewajarnya, bukankah begitu anak-anak? Entah kalau di Kun-lun ada aturan yang berbeda.” Jawaban toa-pangcu ini kontan disambut ramai oleh anak-anak murid Yu-liang-pay, beberapa mengeluarkan ucapan-ucapan ledekan yang menghina. “Kalau memang Yu-liang-pay tidak berkenan meminta maaf, jangan tanggung-tanggung pamanku juga ingin meminta pelajaran dari pangcu.” “Ooo...begitu rupanya. Huh...di sarang naga, kura-kura meminta naga tak berbasa-basi siapa sangka kura-kura menyampaikan hajat dengan berbelit-belit. Kenapa tidak terus terang saja dari tadi! Sam-pangcu silakan layani lotiang ini!” Liong Ping menoleh ke Sam-pangcu dan menyuruhnya melayani tamu bersilat. Sam-pangcu melompat ke depan dengan gagah, dan berkata dengan lantang; “Silahkan lotiang memulai, aku tuan rumah akan melayani berapa jurus yang kau kehendaki!” Dihadapi hanya oleh orang ketiga membuat wajah sam-lojin sebentar merah sebentar pucat. Meskipun sudah berpuluh tahun menenangkan diri, melatih kesabaran, sebagai manusia biasa sam-lojin juga masih memiliki perasaan termasuk rasa amarah. “Sam-pangcu menurut kedudukan mestinya gurumu yang menyambut aku. Dulu mendiang Hong Bu pangcu juga tidak akan gegabah menghadapiku. Biarlah aku mulai menyerang, barangkali saja memang ilmumu sudah melampaui kepandaian guru kalian.” “Hiaaattttt...” sam-lojin segera melontarkan sebuah pukulan pembuka. Pada pukulan pertama ini sengaja ia ingin menguji kekuatan sinkang lawan. “Plaak....." pukulan sam-lojin ditangkis. Akibatnya sam-pangcu terdorong dua langkah, sedang sam-lojin merasakan kesemutan. Keduanya terkejut. Sam-lojin tidak menyangka pukulan yang dilancarkan tiga perempat tenaga hanya mampu mendorong lawan dua langkah. Lebih terkejut lagi adalah sam-pangcu. Selama ini ia telah giat belajar memperdalam sinkang, kiranya masih jauh dari kesempurnaan. Ia memang belum mengenal Kun-lun-sam-lojin, pendekar sakti yang sudah lebih dari tiga puluh tahun mengundurkan diri. Tak pelak sam-pangcu kemudian mencabut pedangnya.
www.rajaebookgratis.com
“Sratt! Sambil menghunus pedang sam-pangcu berseru; “Marilah kita main-main sebentar dengan senjata, lotiang!” “Aku sudah siap pangcu!” jawab sam-lojin sambil mementang kaki membentuk kuda-kuda yang kokoh. "Lihat serangan!" Sam-pangcu membentak dan pedangnya menyambar, menjadi sinar keperakan menebas ke arah leher sam-lojin. Sam-lojin ini melihat bahwa gerakan lawannya cukup kuat dan cepat baginya. Ia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sehingga ia tahu bahwa pedang itu akan melewati atas kepalanya dan langsung ia membalas dengan gerakan tongkatnya menyerampang kaki lawan. Cepat sekali gerakannya itu, hampir bersamaan dengan serangan sam-pangcu sehingga ketua ketiga Yu-liang-pay ini terkejut dan cepat meloncat sabil miringkan tubuh dan dia pun meniru lawan untuk bergerak cepat, secepat kilat ia gerakkan pedangnya memutar untuk menangkis serangan dari bawah. "Trang!" pedang sam-pangcu sudah menangkis serangan tongkat itu. Hampir saja pedang di tangannya lepas, kalau saja tidak dia genggam erat-erat. Namun sam-pangcu adalah orang yang cerdik dan sudah cukup banyak pengalaman. Sungguhpun dari getaran yang melalui pedang mereka itu jelas membuktikan bahwa tenaga sinkang orang tua ini seperti yang sudah dia ketahui amat kuat, namun pedangnya yang terpental itu diikuti dengan tubuh, dan ia kini melompat ke kiri. Cepat sekali sam-pangcu kembali melancarkan serangan-serangannya. Pedang ditangannya diputar membentuk gulungan sinar yang menyilaukan, kemudian tubuhnya berkelebat lenyap dan yang tampak hanyalah sinar pedang tebal meluncur ke arah sam-lojin. Dengan tenang samlojin kembali menangkis serangan pedang. Jurus demi jurus telah dilalui, tampaknya serangan demi serangan pedang sam-pangcu selalu terbentur tembok pertahanan tongkat yang sangat kuat, hingga akhirnya pada jurus ke lima belas. “Traang....” kembali terdengar suara benturan yang sangat keras. Namun kali ini wajah samlojin berubah pucat. Dari tangkisan ini ia merasakan getaran aneh, seperti suara yang menusuknusuk dadanya. Ia melompat ke belakang, sambil menyapu pandangan ke bagian tembok di belakang. Dengan perasaannya yang sudah sangat terasah, ia tahu asal-usul hawa magis yang menyerangnya. Maka ketika dia mendapat kesempatan menyerang, digerakkanlah tongkatnya dengan hebatnya, menyerang kepala sam-pangcu. Sam-pangcu tidak berani gegabah menyambut
www.rajaebookgratis.com
serangan. Ia merendahkan tubuhnya, dan balas menyerang bagian perut sam-lojin. Gerakan ini sepertinya sudah diduga oleh sam-lojin, karena secepat kilat kakinya menotol pedang yang sedang menyambar. Sam-lojin menggunakan tenaga totolan kaki untuk meloncat jauh ke belakang, menuju tembok, dan langsung menusuk tembok dengan tongkat. “Bruaaakkkk..!” tusukan tongkat di tangan sam-lojin menyebabkan bunyi ledakan yang keras, diikuti ambrolnya tembok meninggalkan lubang seukuran tubuh lembu muda. Semua orang terkejut tak tahu apa yang terjadi. Mereka mengira tubuh sam-lojin terlontar sampai menubruk tembok. Benar saja dugaan sam-lojin, dukun pembokong ada di balik tembok, terlihat dari tanda-tanda, adanya dupa yang masih menyala. Namun sayang pelakunya sudah keburu melesat. Sam-lojin hanya sempat melihat kelebatannya saja. Pada waktu yang sesingkat itu bebagai pikiran berkelebat di benak sam-lojin. Secepat kilat ia sudah memutuskan untuk mencongkel dupa, dan menyambar dengan tangannya. Kemudian dengan gerakan melompat ia sudah kembali ke arena. Namun pada saat itu, toa-pangcu sudah memberikan komando ke seluruh murid; “Bentuk formasi lima elemen, kepung dan tangkap mereka berdua!” Secepat kilat murid-murid sudah membentuk barisan yang rapi dan langsung mengirimkan serangan. Bhok Kian tosu hampir terlambat menyadari perubahan yang terjadi. Ketika ia mulai menangkis serangan pedang yang bertubi-tubi, sekonyong-konyong tubuhnya dicongkel oleh tongkat sam-lojin dan dilontarkan ke luar. Sam-lojin sendiri terkurung oleh serbuan pedang. Dengan mengandalkan kekebalan ia terima tusukan-tusukan pedang. Sengaja ia mengarahkan tenaga luncurannya ketika mencongkel Bhok Kian, ke arah murid-murid tingkat dua, sehingga tusukan yang diterimanya tidak sampai melukai tubuh. Begitu menyentuh tanah sam-lojin melakukan gerakan mengibas-ngibas, seperti anjing bangun dari tidur, dan akibatnya sungguh luar biasa. Puluhan murid tingkat dua terlempar ke kanan ke kiri seperti debu yang ditepuk sapu. Secepat kilat sam-lojin menotolkan tongkatnya dan melompat jauh. Dengan dua kali loncatan ia sudah keluar dari kompleks gedung Yu-liang-pay dan dengan menyambar tubuh Bhok Kian bersama-sama mereka menuruni bukit dan menghilang di atas sungai, persis kejadian lolosnya Cu Hoa. Hanya sepenanakan nasi mereka mendayung perahu, setelah menemukan desa mereka menyeberang, dan melanjutkan perjalanan ke barat. Setelah senja tiba, dan langit memerah mereka sampai di padang bunga merah. Padang bunga merah ini padang yang sangat luas, jauh
www.rajaebookgratis.com
dari desa atau pemukiman penduduk. Karena sudah menjelang malam, mereka akhirnya memutuskan untuk bermalam di dekat telaga kecil di padang itu. Bhok Kian, kita beristirahat dan bermalam di sini!" Kata sam-lojin sambil melempar tubuh di atas rumput hijau. Senja telah berlalu dan keadaan cuaca di padang bunga itu sudah remangremang. Bhok Kian tosu lalu menyalakan api dan membuat api unggun sehingga di situ selain hangat dan tidak diganggu nyamuk, juga agak terang. Sedangkan sam-lojin duduk bersamadi. Sepenanakan nasi kemudian Bhok Kian memanggang daging kelinci yang berhasil ditangkap, dan sambil menikmati tak lupa menawarkan ke sam-lojin. Sam-lojin membuka mata. Ia mengambil sedikit daging yang disodorkan Bhok Kian. Malam itu cuaca berawan, separo rembulan tanggal tujuhan sudah dari sore munculsembunyi sehingga cahayanya redup. “Dunia persilatan dalam bahaya Liang ji. Aku melihat sekelebatan sosok yang berada di belakang layar.” “Siapakan dia paman?” tanya Bhok Kian penasaran. “Di dunia ini aku hanya mengenal dua orang dukun sihir yang mahir pula bersilat. Yang pertama adalah Pek-mau Say-ong (Raja singa berambut putih), yang kedua adalah Vicitra Rahwananda. Yang pertama berdarah campuran, yang kedua asli India. Aku menduga salah seorang yang kulihat sekelebatan.” “Fitnah besar akan segera melanda kang-ouw. Tugas kamu makin berat Liang-ji.” ”Kira-kira bagaimana kita bisa menga.......” belum selesai Bhok Kian bertanya. Sam-lojin memberi tanda supaya dia tidak bersuara. Dengan berbisik sam-lojin berkata; ”Ada yang datang.” Dengan wajah serius sam-lojin konsentrasi mendengarkan suara yang masih jauh. ”Siapakah mereka dan berapa jumlahnya?” tanya Bhok Kian dengan wajah menegang karena ia sendiri belum mendengar apa-apa. ”Aku mendengar lebih dari sepuluh ekor kuda. Cepat matikan api unggunnya!” jawab samlojin. Bhok Kian segera mematikan api unggun. Setelah sepeminuman teh suara itu makin jelas terdengar. Ketika sosok-sosok mereka sudah mulai terlihat tiba-tiba saja berhenti. Tiba-tiba terlihat nyala api, dari satu kemudian bertambah banyak sampai enam buah. Bhok Kian melihat pemandangan yang remang-remang dengan muka tegang. Selama belasan tahun terjun ke dunia persilatan, baru kali ini ia merasakan suatu ketegangan yang sangat
www.rajaebookgratis.com
mencekam. Mendung yang menebal dan suara lolongan anjing dari kejauhan menambah nuansa seram yang dirasakan, seakan-akan ratusan iblis hendak mengepung padang itu. Hal itu tak lain akibat tertular sikap sam-lojin yang sangat hati-hati. Sekonyong-konyong terdengar bunyi menjepret, dan tak sampai sedetik sebuah panah api melesat mendekati tempat istirahat mereka. Sam-lojin menyambar tangan Bhok Kian tosu dan mengajaknya berlari. Belum sampai sepuluh langkah, tiba-tiba terdengar bunyi kuda berlari cepat ke arah mereka. Rupanya mereka sudah mengetahui kehadiran dua orang buruan. Merasa usahanya bakal sia-sia Bhok Kian dan sam-lojin berhenti kemudian berbalik. Mereka terkesiap melihat sepuluh ekor kuda sudah mengelilingi dari berbagai arah. Masing-masing dinaiki oleh seorang bertopeng, dan memakai caping. Tanpa kata-kata kemudian mereka mulai menyerang. Gerakan mereka sangat tangkas. Hal yang membuat Bhok Kian dan sam-lojin kaget setengah mati adalah, tingkat kepandaian mereka yang sangat tinggi. Karena kesulitan menyerang dari kuda, akhirnya mereka turun dan mengepung dua orang sasaran. Mulailah terjadi pertarungan yang sangat seru dan mati-matian. Dari gerakan silat mereka, Bhok Kian dan sam-lojin dapat menduga bahwa lawan yang mengeroyok berasal dari Yu-liang-pay. Yang luar biasa adalah tingkat kepandaian mereka yang tidak disebelah bawah sam-pangcu. Pertarungan ini sungguh sangat seru. Semak dan rerumputan pada jarak empat tombak sudah roboh seperti tertiup angin topan. Bunyi dentingan dan pijaran bunga api dari jauh seolah-olah sedang ada pesta kembang api. Lewat tiga puluh jurus terlihat pihak Bhok Kian mulai kewalahan dan terus terdesak. Namun mereka berdua seakan bersepakat untuk terus melawan sampai titik darah penghabisan. Tongkat di tangan sam-lojin terus berputaran dengan cepatnya, bunyi mengaung-ngaung cukup memekakkan telinga mereka yang memiliki sinkang rendahan. Pada jurus ke empat puluh dua orang dari pihak pengejar roboh bersimbah darah. Namun serangan yang ditujukan ke dua sasaran justru makin meningkat. Hingga pada jurus ke seratus, sam-lojin mulai terhuyunghuyung. Ia sangat kepayahan, karena selain berusaha melindungi diri sendiri dia juga ingin melindungi keponakannya. ”Ha...ha...ha.. sekarang mampuslah kalian, hiaatttt!” seorang yang paling tinggi di antara penyerang menyambitkan puluhan jarum-jarum beracun. Bhok Kian berusaha menangkis. Beberapa mampu ditangkisnya tapi ada sebagian yang dihindari. Celakanya, karena posisi bersatu punggung, jarum-jarum rahasia yang dihindari mengenai tubuh sam-lojin. Pada saat yang hampir bersamaan, serangan pedang lawan juga sangat hebat. Sabetan dari samping yang
www.rajaebookgratis.com
mengarah ke leher, hanya mampu ditangkisnya lemah, namun pukulan susulan yang dilancarkan tak sanggup lagi ditangkisnya, karena ia berkonsentrasi menghadapi serangan dari depan. Kali ini ia bertekad mengeluarkan tenaga terakhirnya. ”Desss...croott....auurrggg.......!” Jerit parau melengking yang keluar dari mulut sam-lojin adalah jerit kematian. Pukulan dan hujaman pedang tiga orang musuh yang mengepungnya tak sanggup dilawan semuanya. Namun satu pukulan terakhirnya juga tak mampu dihindari lawan. ”Paman...pamaann.....!” seru Bhok Kian tosu pilu. Tubuhnya limbung. Tusukan pedang ke arah punggungnya berkelebat cepat. ”Triingg......! sejengkal sebelum ujung pedang itu menyentuh tubuh Bhok Kian, sebuah pisau kecil terbang menyampoknya. ”Jangan bunuh dia!” ujar orang bertubuh paling tinggi yang melontarkan pisau kecil itu. Segera ia mendekati Bhok Kian, dan mengayunkan pedang ke pangkal lengan kiri Bhok Kian. ”Crooott....! auggghhh....! lengan kiri Bhok Kian putus. Bhok Kian bukannya tidak tahu kalau sedang dibokong, namun karena konsentasinya terpecah ke pamannya, ia seakan tak mampu menggerakkan seluruh tubuhnya. Darah bercucuran keluar dari luka. Lelaki yang bertubuh tinggi bertopeng setan merah itu menotok beberapa bagian tubuhnya. Anehnya ia memerintahkan anak buah untuk menaburi luka itu dengan obat dan membalut lukanya. Setelah luka itu terbalut, dengan paksa laki-laki itu mencekoki Bhok Kian dengan suatu cairan. Tubuh Bhok Kian lunglai dan pingsan tak sadarkan diri. Setelah menuangkan isi botol kecil itu, lelaki bertubuh tinggi itu memerintahkan penguburan sam-lojin. Dengan cekatan anak buahnya menjalankan perintah itu. Kemudian orang itu mengajak anak buahnya pulang. Namun seseorang yang bertubuh agak pendek berkata agak mencela; “Foi sicu, kenapa engkau tidak binasakan saja tosu keparat itu sekarang juga? Sesungguhnya kalau dibiarkan dia bisa bocorkan rahasia kita!” Lelaki bertubuh tinggi itu menoleh ke orang yang baru saja bicara, wajahnya yang bertopeng melawan sorotan sinar rembulan yang baru muncul dari balik awan kelam, orang yang bertanya dapat melihat betapa dingin tatapan matanya, hingga membuat bulu kuduk meremang. “Aku sudah meracuninya! Begitu bangun dia akan kehilangan ingatannya. Aku sengaja membiarkan dia hidup, agar menjadi fitnah bagi dunia persilatan. Selama ini dunia persilatan hanya mengenal racun perampas ingatan yang dimiliki klan Tok Nan-hai pang (Perkumpulan racun dari Nan-hai).
www.rajaebookgratis.com
Kebetulan aku dapat resep membuat racun itu dari perwira Sung yang menjadi murid iblis timur. Sekaligus aku memang ingin mencoba khasiatnya. Lagian kalaupun racun itu tidak ces pleng, takut apa sama Kun-lun-pay!” Ucapan ini sungguh jumawa. Apalagi disampaikan oleh orang bertopeng yang jelas-jelas tak ingin identitasnya diketahui. Namun tak seorangpun membantahnya. Maka perlahan-lahan mereka kembali naik dan keprak kudanya. Kemudian rombongan penyerang itu dengan cepat meninggalkan tempat pertarungan, sambil membawa mayat tiga orang saudaranya. Dan padang bungapun kembali sunyi, hanya bunyi jangkerik dan suara serangga malam yang terdengar. Dua bulan setelah peristiwa di padang bunga merah itu, di depan goa tempat bersemayam Kun-lun-sam-lojin terjadi obrolan serius dua kakek penunggu goa itu di atas sebuah dahan. Tak jauh dari tempat mereka kangkauw-kangkauw seorang anak lelaki sedang melakukan gerakangerakan silat. “Ji-te, sudah lebih dari dua bulan sam-te dan Bhok Kian pergi menyelidiki Yu-liang-pay. Namun sampai saat ini, tak ada kabar beritanya. Apakah engkau keberatan mengunjungi Kunlun-pay, menanyakan kepada para tosu kabar berita mereka berdua?” Yang ditanya sambil tersenyum menjawab; “Sama sekali tidak loheng, akupun hendak menyampaikan hal ini kepadamu. Akupun khawatir terjadi sesuatu atas mereka. Biarlah sekarang juga aku mencari berita mereka berdua.” “Benar, menurut perhitunganku mereka tak kan lebih dari dua minggu berkunjung ke sana. Dengan tingkat kelihaian sute Tanpa berpamit, dengan sekali ayun bagaikan terbang kakek bertubuh gembul ini telah berkelebat ke arah selatan. Dua minggu setelah kepergiannya, ia kembali dengan wajah kusut. “Berita tak baik loheng. Di Kun Lun tak seorangpun mendengar berita Bhok Kian. Sedang di Yu Liang mereka berdua pernah bentrok dengan anak-anak murid Yu-liang-pay, dan kemudian melarikan diri. Di sepanjang perjalanan, aku tidak pernah mendengar ada orang yang melihat kepulangan mereka.” “Siancay....siancay.....kehendak Thian tak seorangpun yang tahu. Kita tidak pernah sayang pada nyawa, tapi kalau hilang tanpa jejak juga akan membuat orang penasaran. Biarlah kita menunggu saja kabar berita dari tosu Kun-lun-pay. Jika kelak memang ada sesuatu musibah yang menimpa mereka, kita punya murid yang bisa mengemban tugas ini.”
www.rajaebookgratis.com
Ucapan yang damai dari toa-lojin ini membuat suasana kembali tenang. Chien Ce juga sudah tidak pernah lagi bertanya tentang keadaan mereka berdua. Dia tetap bersemangat berlatih silat dibawah bimbingan dua pendekar tua yang namanya sangat mashur puluhan tahun silam. Bab 4. Lukisan misterius Sepuluh tahun tak terasa berlalu sejak peristiwa kegemparan di Yu-liang Pay. Jauh di sebelah timur pegunungan Fan Cing san. Di kota Heng Yang. Kota yang saat itu menjadi ibu kota propinsi Hu-Nan. Pada suatu malam yang kelam, terjadilah suatu peristiwa yang menggemparkan. Malam ditemukannya sebuah lukisan misterius. Malam itu, di musim dingin yang sangat menusuk tulang. Hujan es bercampur salju dari sore turun dengan lebat disertai kilat yang menyambar-nyambar. Saat semua orang terlelap dalam bilik masing-masing terbungkus selimut tebal. Di depan gedung tua yang cukup megah di kota Heng Yang terdengar suara keras beradunya kapak dengan batang kayu. “Praakk...praaak..prakk......!” Enam orang tampak sedang mencoba untuk menebang batang pohon hek siong yang sangat besar berukuran lebih dari dua orang dewasa. Pada waktu itu di propinsi Hu-Nan, sedang mengalami bencana salah musim yang parah, pada saat musim semi dan panas terjadi kekeringan yang sangat, dan diikuti kekurangan pangan. Dan pada musim dingin terjadi badai yang luar biasa, tak heran jika dingin yang dirasakan semua orang sangat menusuk hingga terasa ke tulang belulang. Penduduk menebangi berbagai pohon untuk dijadikan kayu bakar. Bahkan pohon hek siong semacam pinus yang batangnya berwarna hitam yang berada di depan sebuah gedung tua yang berarsitektur sangat indah, kuno dan unik tak luput dari penebangan itu. Sungguh berani sekali tindakan penebang itu karena gedung tua itu adalah gedung gudang senjata tentara gubernur Heng Yang. Pohon ini sebenarnya cukup mahal untuk dijadikan kayu bakar. Namun di musim seperti ini, orang sudah tidak lagi memedulikan jenis pohon. Anehnya malam itu tak seorang prajuritpun yang menjaga di luar gedung dan keadaan di luar gedung itupun gelap gulita. “Prakk....ting!” tiba-tiba terdengar suara nyaring beradunya dua logam. “Hei suara apa itu....Hentikan!” seorang tua yang menjadi pemimpin penebang pohon berseru begitu mendengar suara aneh. Dia lantas menyelidiki sumber suara.
www.rajaebookgratis.com
“Ada logam seperti perak.....seruling perak......!” teriak salah seorang anak buah yang kapaknya beradu dengan logam tadi. teman-teman yang lainnya kontan langsung merubungi. “Ehh.. bukan seruling tapi hanya tabung saja”, teman yang lainnya menimpali. A Cin yang memimpin penebangan pohon hek su gi di depan gedung tua itu melihat ditemukannya tabung perak sepanjang dua jengkal. Tabung yang berukuran seperti suling itu memang bukan suling. A Cin segera berlari menuju emperan sebuah toko yang sudah dari sore tutup. Ketika A Cin coba putar-putar ternyata tabung terbuka. Di dalamnya terdapat selembar kain. “Seperti lukisan!” anak buah yang menemukan berseru. Di bawah cahaya lampion yang remang-remang ia dapat melihat memang itu lukisan adanya. Lukisan tua yang aneh pada bagian bawah ada lukisan pemandangan alam yang cukup indah namun bagian latarnya terdapat coretan-coretan mirip cacing menuju lubang. Lukisan itu meskipun sudah lusuh dimakan usia, namun masih terlihat jelas menggambarkan suasana pegunungan. Dibawahnya terdapat danau yang bening, pepohonan yang rindang salah satunya pohon hek siong dan angsa yang saling berkejaran. Beberapa perahu tampak sedang terapung-apaung di tengah danau tersebut. Pada bagian bawah lukisan tertulis “siapa mendapatkan lukisan ini sungguh akan sangat beruntung”. Celakanya A Cin dan kawan-kawannya tidak pernah makan sekolahan, jadi tidak bisa membaca isi tulisan itu. Bagi yang berpengetahuan sekilas latar belakang itu mirip peta. Karena sempat terpercik air, ada sedikit bagian gambar yang menjadi luntur. “Cin ko, apa yang harus kita lakukan? apa perlu kita sampaikan lukisan ini ke Kong tauke?” salah seorang dari mereka bertanya. “Tidak! Ini adalah rejeki kita! Kita hanya bertugas menebang kayu dan besok kita lanjutkan lagi memotong-motong kayu ini. Ayo kembali lagi bekerja!” tegas A Cin, sambil memasukkan kembali lukisan ke tabung perak dan mengantonginya dengan cepat. *** Esok harinya, di depan gedung itu juragan Kong tampak sedang berbincang serius dengan komandan prajurit penjaga gedung. Rupanya mereka sedang tawar menawar harga kayu yang roboh itu. Juragan Kong minta harga yang rendah, sedang komandan prajurit yang tahu kelicikan juragan Kong minta harga tinggi, akhirnya disepakati harga tengah-tengah dengan catatan angpao prajurit ditanggung si juragan. Maka dengan enteng keenam penebang itu melanjutkan pekerjaannya. Prajurit penjaga gedung yang bertugas jaga hanya dapat bersungut-sungut ketika
www.rajaebookgratis.com
mereka berkilah bahwa pohon itu sudah terlanjur roboh akibat disambar petir. Padahal prajurit itu tahu belaka bahwa dari bekasnya pohon itu roboh ditebang. Toh sebentar lagi mereka akan tersenyum kalau sudah kecipratan ang-pao dari Kong tauke. Si juragan kayu ini memang pandai sekali merayu komandan tamtama agar diperkenankan mengambil kayu dari pohon-pohon yang roboh, tak peduli dengan cara bagaimana pohon itu roboh. Ia juga tidak pelit memberi persen bagi para prajurit jaga. Namun bagi prajurit jaga yang biasa ternaungi oleh pohon itu sudah kebayang hari-hari kedepan di musim panas adalah hari jaga yang bakalan berat. Tak berselang hari, kabar penemuan lukisan ini sudah tersiar luas ke seluruh penjuru kota. Mulailah orang-orang ramai berdatangan ke rumah A Cin, untuk melihat seperti apa adanya lukisan aneh itu. Beberapa orang bahkan menawarnya itu dengan harga yang cukup tinggi, namun A Cin masih menolaknya. Maklumlah meskipun mereka tinggal di kota, namun pola pikir jaman itu sangat dalam sekali oleh pengaruh mistik dan budaya. Semua melihat lukisan itu seperti kucing kelaparan melihat mangsa. Setelah ada tawaran yang besar, A Cin segera menjual lukisan itu ke Hung tauke. Ia menerima tiga tail emas untuk lukisan itu. Bagi orang seperti Hung tauke yang bergelimang harta, tiga tail emas tidak seberapa dibandingkan dengan hoki yang dipercaya datang dari lukisan itu. Namun bagi A Cin, ia justru harus membayar mahal, opas-opas Kong taukue, juragannya, beberapa kali menterornya. Tak tahan mendapat teror terus menerus, A Cin memutuskan untuk menjual rumah dan pindah ke kota lain. *** Seminggu setelah kejadian itu, kota Heng Yang ramai dikunjungi orang-orang luar daerah, orang-orang yang perpenampilan asing dengan berbagai logat. Mereka rata-rata berpakaian gelap dan ringkas, kadang satu dua terlihat membawa senjata seperti golok atau pedang. Meski dari berbagai wilayah namun kedatangan yang berbarengan menunjukkan ada persamaan tujuan. Tak lain adalah lukisan misterius. Pada malam harinya, ketika hujan kembali tercurah dari angkasa. Di suatu gedung megah di pinggir jalan utama kota Heng Yang. Rumah yang biasanya banyak dihiasi lampu-lampion yang besar dan indah. Akan tetapi, pada malam hari itu, keadaan di sekeliling rumah tampak amat menyeramkan karena ada bayangan-bayangan yang berkelebatan, begitu cepat gerakan bayangan-bayangan itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang sedang sibuk mencari korban. Akan tetapi kalau diperhatikan, bayangan-bayangan itu sama sekali bukanlah setan melainkan
www.rajaebookgratis.com
manusia-manusia, sungguhpun manusia-manusia yang menyeramkan karena mereka yang berjumlah lima orang itu bertubuh tinggi besar, bersikap kasar dan berwajah liar. Mereka melompati gedung tinggi itu dengan menggunakan tangga tali. Hujan yang masih cukup deras mengaburkan pemandangan ini. Namun, beberapa saat setelah kelebatan manusia-manusia itu dari kejauhan orang akan mendengar teriakan-teriakan disertai suara beradunya senjata tajam, dan jeritan histeris perempuan. Rumah itu bukan lain milik Hung tauke. Serombongan pencuri bertopeng seram menyatroni rumahnya, menggasak harta benda, memaksa juragan Hung menyerahkan lukisan misterius. Tak ketinggalan cucu Hung tauke yang baru berusia dua belas tahunpun tak lepas dari sasaran penculikan. Opas-opas Hung tauke yang hanya jagoan kandang pagi-pagi sudah terkapar di halaman rumah. Yang paling mengenaskan nasib Hung Chi Yi, cucunya yang diculik itu, pagi harinya, setelah fajar menyingsing diketemukan pedagang tergeletak di tepi sungai Cho. Rambutnya awut-awutan, sekujur tubuh penuh lebam bekas pukulan, pakaiannya tak karu-karuan, perutnya dan bawahnya berlumuran darah. Sekilas saja orang sudah menebak apa yang terjadi. Siapakah pelaku perampokan di rumah Hung tauke? Tak ada seorang pendudukpun tahu. Melihat kelihaiannya, jelaslah mereka bukan tergolong pencuri kampung. Berbeda dengan penduduk, orang-orang berwajah luar daerah yang datang ke kota Heng Yang, pagi-pagi setelah kejadian langsung bergerak mengejar pelaku. Pelaku pencurian dan pengejarnya rupanya memang telah mempersiapkan diri dengan baik. Mereka telah menyiapkan kuda untuk meloloskan diri. *** Dua hari setelah kejadian itu, di sebuah kuil tua yang berdiri di tepi Sungai Pei-ho, di lembah antara Pegunungan Lian-san, di sebelah selatan kota Siauw-koan, kota kecil di sebelah selatan Heng Yang. Suatu tempat yang sunyi dan kuno sehingga kuil yang amat kuno dan sudah bobrok itu cocok sekali dengan keadaan alam yang sunyi dan liar di sekelilingnya. Berbeda dengan Heng Yang, kota Siauw-koan ini tidak mendapat serangan badai musim dingin, sehingga masih banyak pepohonan yang rimbun menghijau. Biasanya, kuil ini kosong dan bagi yang percaya, tempat seperti itu paling cocok menjadi tempat tinggal setan iblis dan siluman. Namun di pagi buta itu, meski matahari belum terbit, sehingga cuaca masih gelap karena awan mendung belum luruh semuanya menyirami bumi. Kuil ini mulai didatangi beberapa
www.rajaebookgratis.com
rombongan. Rombongan yang pertama datang adalah lima orang yang rata-rata berusia di atas tiga puluh lima tahunan. Gerakan mereka tidak seperti orang biasa, karena selain cepat juga membayangkan kekuatan yang jauh lebih daripada manusia-manusia biasa. Pedang dan golok yang terselip di pinggang lima orang tinggi gagah itu menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mengandalkan ilmu silat dan senjata mereka. Rombongan ini dipimpin oleh orang paling muda yang berpakaian perlente. Memang sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah lima orang tokoh dari Yu Liang Pay, yang dipimpin oleh Siong Chen. Kepandaian mereka amat tinggi karena mereka ini adalah murid-murid tingkat satu. Apalagi sejak peristiwa kegemparan di Yu Liang Pay, Siong Chen selalu memperdalam ilmu pedangnya, maka bisa dibayangkan tingkat kelihaiannya dibandingkan dengan yang dulu. Sejak tadi lima orang ini berkelebatan di sekitar kuil tua, seperti hendak menyelidiki keadaan kuil yang sunyi dan kelihatan kosong itu. Namun ketika hendak mencoba mendekat, Siong Chen berseru mencegahnya, “Tahaann!” Sebelum Siong Chen menjelaskan, orang yang diseru bertanya, “Chen-te, tidak kelirukah kita? Apakah benar kuil ini yang dijadikan tempat sembunyi pencuri dari Nan-hay itu?! Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat besar di dagunya, bertanya kepada Siong Chen. “Tidak salah lagi!” jawab Siong Chen yang kini usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun itu sambil memandang ke arah kuil tua. “Lihat di sekeliling kuil bertebaran bubuk racun warna putih. Akan tetapi sungguh heran, mengapa kelihatan sunyi dan kosong?! Apakah sepagi ini mereka sudah meninggalkan kuil? Namun kita tidak menemukan jejaknya” “Lebih baik kita serbu saja ke dalam!!” kata Si Tahi Lalat sambil mencabut goloknya. “Tunggu! Kalau memang ingin menyerbu sebaiknya kita cari dahan-dahan pohon kita buat batu loncatan atau jembatan. Kalain tidak tahu kehebatan racun putih tepung setan itu. Meskipun kita bisa melompatinya tanpa jembatan atau tangga yang tinggi kita pasti kena racun itu. Uap racun itu masih berbahaya pada jarak satu tombak di atas tanah.” “Ahhh....!” hampir semua anak buah Siong Chen berseru terheran-heran. Mereka benar-benar merasa kagum atas pengetahuan Siong Chen. Dan betapa merindingnya mereka melihat tebaran tepung kasar seperti garam di sekitar kuil yang cukup lebar, hampir setombak lebarnya.
www.rajaebookgratis.com
Dengan golok dan pedang dengan cepat mereka menebangi pohon. “Chen-te, apakah benar kata desas-desus bahwa lukisan itu berisi peta rahasia penyimpanan harta karun Lau Cin Shan. Apakah orang itu memang benar-benar ada?” salah seorang yang berhidung mancung bertanya. “Menurut toa-pangcu begitu. Lukisan itu berisi petunjuk warisan Lau Cin San. Hanya yang masih belum jelas apa warisan yang disimpan dalam tempat di peta itu. Lau Cin Shan bukan hanya tokoh dongeng, ia memang benar-benar pernah ada. Ia seorang pelukis dan pesilat besar jaman Tang. Bahkan ia dipercaya sebagai arsitek terakhir pembangunan patung budha terbesar di Secuan, meskipun tidak sampai selesai namun tempat kematiannya berada di bukit di seberang patung itu, sehingga seakan-akan rohnya tetap memantau pembangunan” papar Siong Chen. Patung budha yang dimaksud adalah patung budha berukuran tinggi sepuluh tombak berada di selatan menghadap sungai Toa-tu dan sungai Beng. Patung ini dibangun selama sembilan puluh tahun pada jaman dinasti Tang, pada tahun 713 – 803. Siapakah sebenarnya Lau Cin San? Kota Heng Yang yang terletak ribuan li di sebelah timur Fan Cing san. Dahulu, di masa keemasan dinasti Tang, merupakan kota yang sangat terkenal sebagai pusat kebudayaan dan kesenian. Berbagai hasil barang-barang seni tingkat tinggi seperti keramik, terakota, patungpatung kayu dan batu, lampion, diproduksi oleh berbagai pengrajin. Pertunjukan seni dan taripun mudah di jumpai di berbagai gedung teater, dengan minat menonton masyarakat yang sangat tinggi. Tak heran kalau dari tempat seperti ini ratusan tahun silam pernah lahir seorang maestro besar. Pria yang merupakan seorang sastrawan sekaligus pelukis sekaligus pesilat yang sangat terkenal seantero Tionggoan. Di kota Heng Yang, nama Lau Cin Shan sang maestro bahkan jauh lebih terkenal dibandingkan dengan nama gubernur atau kaisar sekalipun. Bukan hanya kepandaiannya melukis yang mebuat namanya demikian menjulang, namun juga kepandaian silat, sastra, ilmu perang, ilmu perbintangan bahkan ilmu nujum, dan yang lebih membuat ibuibu atau anak gadis kepincut adalah ketampanan rupa dan keromantisannya. Tak terhitung berapa puluh wanita yang pernah menjadi isterinya yang tersebar di berbagai kota sepanjang propinsi Hu-Nan sampai Secuan, namun begitu Lau Cin Shan tetap mampu melakukan tugas-tugas sebagai pelukis, sastrawan dan penasihat gubernur maupun raja. Satu hal yang membuat kekecewaan dan kegusaran istri-istri Lau Cin Shan adalah karena tak seorangpun dari mereka yang dapat mengandung. Maka satu per satu karena pupusnya harapan, banyak yang
www.rajaebookgratis.com
meninggalkan Lau Cin Shan, hingga akhirnya di usia yang lima puluhan hanya tiga orang yang masih setia mendampingi sang maestro, hingga yang maestro harus pergi berjuang sebagai penasihat perang ke wilayah Secuan dan tak pernah kembali lagi selamanya. Setelah dinasti Tang jatuh, propinsi Hu-Nan merupakan propinsi paling selatan dari dinasti Sung, dan langsung berbatasan dengan wilayah yang dikuasai kerajaan Tayli. Sebagai propinsi di daerah perbatasan maka Hu-Nan menjadi daerah yang kurang aman, sering bergolak, dan menjadi sarang berbagai kelompok yang anti pemerintah pimpinan Tio Kuang Yi, termasuk bambu putih. “Bukankah pembuatnya bernama Cong taisu?” timpal lelaki bermata lebar. “Cong taisu adalah Lau Cin Shan itu sendiri, nama aliasnya!” jelas Siong Chen. “Apakah lukisan yang dicuri orang-orang Nan-hay peta asli?” kembali si hidung mancung bertanya. “Biarlah nanti toa-pangcu yang memutuskan!” jawab Siong Chen. Setelah lebih dari sepuluh batang ditebang, mulailah mereka menancapkan tonggak-tonggak dahan sebesar betis orang dewasa berjajar. Mereka harus menancapkan tonggal-tonggak itu di dekat kuil. Namun ketiga mereka masih sibuk meruncingi ujung dahan yang hendak ditancapkan dengan cara dilepar dari atas tonggal luar. Sekonyong-konyong terdengan suara ribut berdengung-dengung dari kejauhan. Seketika mereka membalikkan badan. Dari kejauhan terlihat daun-daun dan ranting pepohonan bergoyang-goyang. Mereka tidak tahu apa yang bergerak itu, hanya menduga bahwa mereka adalah rombongan musuh. Aneh, mereka bisa bergerak tanpa menjejakkan kaki di tanah. Hal itu sudah membuat hati mereka bergetar. Setelah dekat mereka kemudian bertengger di pohon-pohon yang masih tersisa, membentuk posisi mengelilingi kuil, jumlahnya ada belasan. Berbeda dengan kakak-kakak seperguruannya, Siong Chen yang mengenali
rombongan
mereka
sebagai
kelompok
bambu
putih
segera
berseru,
“Ha...ha...ha..ha.....lihat suko, monyet-monyet kudisan macam mereka berani bersaing dengan kita! Sungguh menjemukan!! Bambunya saja yang mengerikan, tapi nyalinya tak ada, coba aja kalau berani menginjak tanah! Mana ada hak mereka mengaku-aku ahli waris Lau Cin Shan!” Teriakan ini segera ditimpali tertawa pihak Yu-liang pay. Golongan yang kedua datang ini terdiri dari orang-orang berumur campuran ada yang masih muda ada yang sudah tua, ada laki-laki ada perempuan semuanya berpakaian putih dan memakai caping dari bambu yang dicat putih. Mendengar ejekan dari Siong Chen, mata mereka sudah
www.rajaebookgratis.com
melotot. Namun pemimpin rombongan yang memakai rompi cokelat berpikir cerdik, ia tidak mau melayani olok-olok pihak Yu-liang pay, dan langsung memberi komando kepada anak buahnya. Ternyata pimpinan rombongan klan bambu putih berpandangan tajam juga, begitu melihat rombongan pertama hendak memasang tonggak-tonggak, ia tahu lawan hendak menyeberangi pembatas taburan racun dengan tonggok-tonggak itu. “Pasang formasi perisai bambu!” “Wuusss.....wusss.....wuss.....clap....clap........clap....” nampak sinar putih meluncur secepat kilat dari atas pohon. Rupanya orang-orang bambu putih melontarkan bambu putihnya. “Awaass.....! Siong Chen berteriak memperingatkan kawan-kawannya. Pihak Yu-liang Pay dibuat terkejut terkejut. Awalnya mereka menyangka musuh hendak menyerang tapi ternyata mereka lontarkan bambu-bambu ke sekeliling kuil. Puluhan bambu yang kedua ujungnya runcing menancap mengelilingi bangunan kuil seperti pagar. Bambu-bambu itu berwarna putih seperti dicat. Tapi bagi yang mengenal tahu belaka bahwa bubuk putih yang dilaburkan ke bambu bukan cat melainkan racun. Meskipun bahannya berbeda dengan racun yang ditaburkan pihak Nan-hay, namun kelihaiannya tak kalah mengerikan. Dengan tertancapnya puluhan bambu di sekitar kuil, maka gerakan Yu-liang untuk melompati sungai racun jadi terhambat. Kontan aja mereka jadi kebakaran jenggot. Gantian pimpinan bambu putih berseru, “Kawan-kawan lihat sekawanan tikus kanibal kehilangan liang, betapa lucunya, kuperingatkan kalian agar hait-hati berhadapan dengan mereka. Dengan saudara sendiri saja tega memangsanya apalagi orang lain!” Teriakan ini segera ditimpali tertawa pihak bambu putih. Tiba-tiba, “Sret...srett...sreett......” orang-orang dari Yu-liang pay sudah mencabut senjata masing-masing. Sedangkan lima orang dari pihak bambu putih mulai turun. Suasana menjadi penuh ketegangan. Senjata-senjata sudah ditangan. Semua mata melotot dengan waspada. Tiba-tiba suasana sunyi itu dipecahkan oleh bunyi kentut dari orang bertahi lalat besar. Sungguh bunyi yang sangat tak sopan. Siong Chen-pun menjadi malu. Semua menahan nafas, bahkan beberapa menutup hidung sambil mengipas-ngipaskan tangannya. Namun sebelum ada salah seorang yang mau mengumpat sekonyong-konyong terdengar suara derap kuda, dari kejauhan. “Enam orang!” bisik masing-masing yang berilmu tinggi. Mereka yang sudah tegang menjadi lebih terhanyut suasana yang makin menegangkan lagi. Tak berselang lama muncullah rombongan ketiga, rombongan yang terdiri dari tiga orang, yang
www.rajaebookgratis.com
berbaju seperti nelayan. Mereka adalah rombongan Nan-hai yang sedang mencari kuda pengganti. Betapa kagetnya ketika melihat banyak orang sudah mengelilingi kuil. Muka tiga orang ini berubah pucat, demi mengetahui yang datang dari Yu-liang pay dan bambu putih. Namun, pimpinan rombongan ini masih mencoba bersikap tenang. “Kalian siapakah dan mau apa bergerombol di depan kuil kami? Kami tidak punya uang receh untuk gelandangan-gelandangan seperti kalian. Ayo pergi!” “He...he...he...orang-orang Nan-hay dari dulu tidak pernah memandang sebelah mata pada orang lain. Hmmm...hendak kulihat apakah hari ini kalian bisa lolos dari kepungan dengan membawa peta itu,” jawab Siong Chen sambil tersenyum mengejek. Siong Chen yang cerdik tahu, bahwa kawan-kawan rombongan yang baru datang ini masih ada di dalam kuil, kalau dilihat dari jumlah kuda yang datang mestinya yang didalam berjumlah tiga. Dari hitunghitungan kalau mereka mengepung mereka pasti kemenangan berada di pihaknya. Urusan dengan bambu putih bisa diselesaikan belakangan. Kalaupun salah satu mereka mendapatkannya, perjalanan pulang memerlukan waktu cukup lama, dan itu berarti cukup waktu untuk memperebutkannya. Namun jika orang-orang Nan-hay dibiarkan maka dalam waktu sehari perjalanan kuda mereka akan sampai ke daerah kekuasaannya di laut selatan. “Ha-ha-ha, tidak salah, tidak salah kabar orang! Kabarnya Yu-liang pay amat sombong, dan ternyata ucapan mereka besar-besar. Aku ingin tahu apa yang akan kalian lakukan,” laki-laki berkulit hitam pemimpin rombongan Nan-hay balik mengejek. “Kami tunggu disinipun kawan kalian yang di dalam akan dapat pasokan makanan dari mana?” jawab Siong Chen cerdas. Tiga orang yang baru datang ini tampak tereheran namun tidak terkejut, sedang ketua rombongan sudah mampu menenangkan diri. Katanya, “Ha..ha..ha...waktu sesingkat itupun cukup bagi bala bantuan kami datang dari Nan-hay, lagi pula hanya beberapa li dari sini sudah masuk wilayah kekuasaan kami, kalian mau apa?” “Kepung mereka!” ujar pimpinan rombongan dari bambu putih. “Kalian bisa mengepung kami, tapi belum tentu kalian mampu mengalahkan kami, kami masih mempunyai kawan di dalam, mereka masih mampu keluar membantu kami.” “Mana mungkin, apakah kalian tak bisa lihat, kuil itu sudah dikepung bambu putih!” seru salah seorang anggota bambu putih. “Apa susahnya kami keluar lewat genting?” jawab ketua rombongan Nan-hay.
www.rajaebookgratis.com
Siong Chen mengikuti perdebatan itu dengan bersungut-sungut. Posisi mereka masih belum jelas. Meskipun jumlah orang-orang Nan-hay yang di luar hanya tiga, namun mereka paham medan, sehingga bisa menguasai pertandingan. Karena itu maka Siong Chen berkata, “Can Seng! Dengan jumlah anak buah paling sedikit bagaimana kamu masih bisa berlagak, ayo serahkan saja peta itu pada kami! Saat ini, jadi posisi kalian sebenarnya sudah diujung jurang.” “Hei..hei...Siong Chen, kamu tidak boleh sok jago, kalian anggap kami ini sebagai apa. Mana bisa seenak perutmu sendiri kau meminta peta itu diserahkan padamu. Pihakku paling banyak jumlahnya dan paling berhak atas peta itu!” ujar pimpinan rombongan bambu putih yang bernama Tik Coan Kok. Ucapan ini segera ditimpali oleh anak buah rombongan bambu putih. Tak mau kalah gertak, rombongan Yu-liang Pay juga membalas adu mulut dengan tak kalah berbusanya. Sehingga suasana mirip pasar. Can Seng memandang dengan tersenyum. Sebagai orang yang paling tua diantara mereka pengalamannya lebih banyak. Dan ia tahu posisinya lebih di atas angin daripada kedua rombongan yang dihadapi. Ketika kedua belah pihak sudah hendak saling serang, terdengar teriakan seorang wanita dari pihak bambu putih: “ Sudah cukup! Cih kaum lelaki tak tahu malu. Peta belum di tangan sudah hendak adu nyawa. Apa hendak menjadi anjing memperebutkan tulang!” Siong Chen maupun Coan Kok tersadar, dan tanpa dikomando keduanya memandang Can Seng dengan mata melotot. “Kita bereskan dulu ikan-ikan kerapu amis ini! Baru nanti kalau peta sudah ada kita selesaikan sengketa kita,” seru Siong Chen. Can Seng yang tahu gelagat menjulurkan tangan ke depan dengan telapak terbuka, “Tunggu! Biarlah kami yang mengajukan usul!” “Apa usulmu?” sergah Coan Kok. Pimpinan rombongan diam sejenak, ia memandangi dua orang kawannya, namun semuanya geleng-geleng kepala. Setelah beberapa saat dilanda kebingunan, si pimpinan rombongan itu berkata, “Begini saja, kami mengajukan dua jago, kalian masing-masing satu jago. Kalau salah satu jagon kami kalah, maka pihak pemenang bertarung untuk menyelesaikan pertandingan. Jika kedua jago kami kalah, jago kalian berdua harus untuk menentukan pemenang untuk menghadapi aku. Kalau aku sudah terkalahkan, aku akan berikan obat pemunah racun tepung setan. Kalau jago kalian kalah dalam satu babak, maka kalian harus enyah dari sini!” “Mana bisa seperti itu, itu tak adil, kalian mengajukan dua jago, kami harus dua kali mengalahkan kalian, tapi kalian minta sekali kalah kami haruh enyah, enak di kalian, tak enak di
www.rajaebookgratis.com
kami, sungguh itu sama dengan bo-ceng-li, emangnya kami orang-orang bodoh. Kalian dua, kami masing-masing juga dua, itu baru adil.” “Hmmm..baiklah, siapakah masing-masing wakil kalian?” Dua orang dari bambu putih maju, salah satunya adalah pimpinan. Demikian pula dari Yuliang-pay yang muncul juga dua, salah satunya Siong Chen. Dua orang dari Nan-hay pun maju kedepan. Rupanya mereka telah saling kenal satu dengan yang lain. “Siong Chen, mari hadapi aku, sudah lama aku dengar kelihaian pedangmu!” kata lawan Siong Chen yang bernama Ma Ciu. “Ma Ciu, dulu guru besar kalian memang pernah menakhlukkan ilmu pedang kami, tapi setelah ilmu pedang itu kami sempurnakan, kau bukan lagi lawanku.” “Gan Hung, hadapi orang she Ma ini!” perintah Siong Chen. Akhirnya Ma Ciu berhadapan dengan Gan Hung, sedang saudaranya yang bernama Ma Kun bertanding dengan orang kedua dari bambu putih. Setelah saling berhadap-hadapan maka dimulailah pertandingan. Pertarungan itu cukup seru, karena kedua pasangan yang cukup seimbang ilmunya. Gerakan-gerakan mereka cukup tangkas dan kuat. Serangan pedang dan golok bergantian meluncur dari kedua belah pihak. Namun setelah bertanding empat puluh jurus, tampak pihak Nan-hay mulai terdesak dan hampir berbarengan keduanya roboh tersungkur. Untung luka mereka tidak terlalu parah. Melihat kedua jagoannya roboh, wajah pimpinan Nanhay terlihat gelisah. Namun dengan sigap ia segera memberi pertolongan dan mendekatkan mereka dengan kuda yang ditambat dibelakang. Mereka berdua kemudian melakukan siulian untuk memulihkan luka. Tak seorangpun dari pihak lawan yang mengganggunya. Siong Chen mulai tak sabar melihat musuh yang bekerja klemar-klemer segera berseru “Ha..ha..ha Can Seng! Jagoanmu ternyata tak lebih tukang pukul kampung nelayan, nah sekarang kau boleh pilih: menyerahkan peta kemudian bunuh diri atau menyerah kupenggal!” Sungguh hebat sekali hinaan yang dilontarkan Siong Chen. Mata lelaki tinggi besar bermuka brewok yang dipanggil Can Seng itu sudah menyala, tanda kemarahannya sudah melonjak. “Hmmm...apakah kalian hendak mengeroyokku? Silahkan-silahkan, majulah!” seru lelaki itu. Can Seng meskipun bertampang kasar namun cukup cerdik. Dalam kondisi terdesak seperti itu ia masih mampu berpikir jernih. Tantangannya membuat kedua lawannya tidak segera menyerang, mereka berdua sejenak hanya saling tatap. Sebagai pimpinan rombongan tentu saja malu untuk
www.rajaebookgratis.com
mengeroyok, namun untuk menentukan siapa yang harus menghadapi lawan merekapun tidak ada yang mau berinisiatif, karena mereka tahu siapa yang maju duluan tenaganya akan terkuras. Karena pimpinan bambu putih hanya menatap saja, mau tak mau Siong Chen merasa pihaknya yang harus maju, karena rombongannya hanya sedikit, posisi tawarnya lemah. Maka sambil melontarkan ejekan ia maju ke depan dan berkata: “Ha..ha..ha...kalau bambu putih tak berani melawanmu hayoh kau lawanlah aku Can Seng!” “Baguslah kalau memang kamu maju sendiri, hayo lawanlah aku dengan tangan kosong kalau kau berani!” jawab Can Seng sambil tersenyum mengejek. Sungguh cerdik sekali tantangan Can Seng ini. Ia tahu pihak Yu-liang Pay sangat hebat ilmu pedangnya, sedang dia lebih hebat ilmu tangan kosongnya karena kelompok Nan-hay sangat terkenal dengan jurus-jurus tangan beracunnya. Ini membuat posisi Siong Chen di bawah angin. Tapi Can Seng keliru menilai Siong Chen, kalau dia takut. Sejak kejadian di Yu-liang Pay, Siong Chen sudah mendapat kemajuan yang hebat. Ilmunya sudah tidak kalah dengan paman-paman gurunya. “Ayo majulah!” seru Can Seng. Sebagai murid ketiga Tok Ciang Sin Kwi, dedengkot setan tangan beracun dari Nan-hay, Can Seng hampir mewarisi seluruh ilmu gurunya, sehingga kehebatannya tidak usah diragukan. Maka mulailah keduanya memasang kuda-kuda dan mulai saling serang. Berbeda dengan pertandingan sebelumnya. Kini pertarungan kedua belah pihak jauh lebih seru. Berbagai pukulan yang dilontarkan Can Seng sangat kuat, tangannya yang berubah keputihan penuh dengan hawa racun. Seujung kukupun jika terkena akan mengalami gatal yang hebat dan bisa segera menjalar ke seluruh tubuh, hingga seluruh kulit seperti terkena bulu-bulu ulat. Jika sehari saja tidak dapat pertolongan maka yang kulit yang bersangkutan akan terkelupas semua bahkan daging di bawah kulit akan segera membusuk. Sungguh racun yang sangat jahat. Siong Chen menghadapi pukulan itu dengan pukulan yang tak kalah hebatnya. Dengan menggunakan ilmu Fan cing san ang in ciang hoat, tangannya seakan-akan diselimuti halimun merah yang mampu meredam serangan racun dari pukulan-pukulan Can Seng. Setelah tiga puluh jurus berlalu, tampak posisi Can Seng mulai terdesak. Meskipun ia menang pengalaman dan banyak memiliki gerak tipu, namun yang dihadapi adalah pendekar Yu-liang Pay yang sudah matang, bukan anak hijau lagi. Maka mulailah satu dua pukulan Siong Chen mengenai tubuhnya. Ketika saat-saat kekalahan Can Seng sudah didepan mata sekonyong-konyong terdengar suara ledakan keras di angkasa, ledakan seperti kembang api berwarna merah itu seakan genderang
www.rajaebookgratis.com
bagi Can Seng dan kawan-kawannya, karena dengan secepat kilat mereka memanfaatkan keterkejutan lawan untuk angkat kaki secepatnya. Kedua rombongan lawan menjadi kebingungan. Bagaimana dua lawan mereka yang tadi masih bersiulian tiba-tiba saja sudah meloncat ke atas kuda dan segera membedal kuda mereka. Di tengah situasi yang membingungkan Coan Kok berteriak, “Hentikan mereka! Formasi biting salju!” Anak buah bambu putih yang sebagian masih bergelantungan segera mengejar lawan. Sambil melompati pepohonan mereka melontarkan biting-biting berwarna putih. Hebat sekali akibatnya, karena dalam jarak yang sudah cukup jauh masih ada satu biting yang mengenai punggung lawan. Celaka sekali Ma Kiu yang terkena biting itu, karena biting yang kelihatan terbuat dari bambu itu ujungnya terbuat dari besi yang direndam larutan racun yang sangat hebat. Begitu terjungkal ia langsung diserbu oleh rombongan yang mengejar mereka. Coan Kok sendiri bersama dua orang anak buahnya termasuk seorang wanita mengejar tiga ekor kuda yang berlarian tak karuan ditinggal oleh si empunya, rombongan dari Nan-hay. Begitu kuda tertangkap segeralah mereka membedal kuda, sambil berseru pada anak buahnya, “Gu Tian pimpin lima orang tetap jaga di sini, yang lain ikuti jejak kami!” Melihat gelagat keanehan, Siong Chen melarang anak buahnya mengejar Can Seng, Ia berlaku cerdik, diperintahkannya rombongan dari Yu-liang Pay mengejar arah kembang api. Baru saja dua puluh tombak mereka berlari, dari pinggir lereng mereka melihat gundukan tanah bekas galian. “Gan Hung periksa bekas galian itu kami akan terus mengejar!” Gan Hung yang memeriksa gundukan tanah itu terperanjat. Gundukan tanah itu ternyata berasal dari sebuah lorong bawah tanah yang berasal dari kuil. “Celaka orang-orang Nan-hay ternyata menggunakan kesempatan membuat lorong bawah tanah dan keluar dari lorong itu,” pikir Gan Hung. Kejar mengejar tak terhindarkan lagi. Rombongan berkuda dikejar oleh tiga orang dari bambu putih yang juga berkuda, sedang rombongan yang tak berkuda juga dikejar yang tak berkuda. Kedua rombongan ini terpisah. Celaka bagi rombongan Nan-hay yang tak berkuda, karena tergesa-gesa tak mereka tak memikirkan arah, akibatnya justru mereka berbalik arah ke Heng Yang. Lewat sepeminuman teh kedua rombongan ini sampai di sebuah padang rumput yang sudah terkepung prajurit. Begitu mereka hendak berbalik, tiba-tiba saja barisan prajurit yang lain juga sudah mengepung di belakang mereka.
www.rajaebookgratis.com
"Tihu-tayjin tiba, siapapun dilarang bergerak!” seorang komandan prajurit berteriak. Maka dari barisan prajurit keluarlah seorang lelaki dengan pakaian kebesaran. Lelaki itu bukan lain adalah gubernur Heng Yang itu sendiri, disampingnya berdiri Hung tauke dengan muka memerah penuh kesumat. “Kalian telah berbuat keonaran di Heng Yang. Untuk itu serahkan kembali lukisan itu kepada kami dan menyerahlah!” ucap gubernur tegas. Laki-laki pemimpin rombongan Nan-hay mencoba bersikap tenang, tapi keringat sebesar biji jagung sudah deras keluar dari dahinya. Sementara Siong Chen yang melihat gelagat tidak baik segera berkata, “Tahan dulu, tayjin ijinkan hamba menyampaikan pendapat terlebih dahulu!” “Siapakah kamu anak muda? Bajumu berbeda dengan mereka, apakah rombonganmu bukan bagian dari mereka? Jangan kawatir, jika terbukti tak bersalah kalian akan dibebaskan!” “Hmm..bukan begitu gubernur, tapi ini adalah urusan kaum persilatan, kami tidak melakukan tindakan makar, mengapa harus menghadapi prajurit? Urusan kaum kang ouw biarlah diselesaikan dengan cari kami.” “Hmmm....urusan kang ouw? Sejak kapan kalian menganggap Hung tauke sebagai pesilat?” jawab gubernur sinis. “Tapi bukankah lukisan ini miliki Lau Cin Shan? Sedangkan dia adalah guru besar kaum persilatan.” “Kalau kaum kang ouw dibiarkan seenaknya bertindak pada orang awam maka rusaklah tatanan masyarakat, untuk apa gubernur punya tentara kalau tak sanggup melindungi rakyatnya!” Melihat suatu gelagat tak baik, dari tadi orang-orang Nan-hay saling berdekatan dan berbisikbisik tanpa menolehkan mukanya. Sekejab mata kemudian pimpinan rombongan Nan-hay melempar tabung perak ke arah prajurit bagian belakang, sambil berteriak menggunakan kiekhangnya, “Nih kuserahkan lukisan yang tak ada harganya!” Mendapatkan lontaran seperti itu para prajurit jadi gelagapan. Sebagian berusaha menangkap peta yang terlontar cukup jauh ke belakang. Sedikit lowongan itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang Nan-hay. Secepat kilat mereka menerobos lowongan. Adapun rombongan Siong Chen juga ikut mengejar ke arah lontaran tabung perak. Suasana kemudian menjadi kacau. Orang-oang Nan-hay berusaha melarikan diri. Sementara banyak prajurit yang berebut tabung berisi lukisan dengan rombongan dari Yu-liang Pay, Hung tauke hanya bisa berteriak-teriak supaya prajurit ada yang mengejar rombongan Nan-hay.
www.rajaebookgratis.com
Sekuat apapun Siong Chen berusaha merebut tabung perak, tiga prajurit telah terjungkal bermandikan darah. Namun serangan dari prajurit berturut-turut tak mampu dilawan. Akhirnya setelah dua anggotanya roboh bermandikan darah iapun melompat melarikan diri beserta satu saudaranya yang masih hidup. Akhirnya lukisan itu jatuh ke tangan gubernur Heng Yang. Lama sekali gubernur Heng Yang mempelajari gambar di lukisan itu namun tak ada petunjuk yang bisa menjelaskan letak penininggalan Lau Cin Shan. Bab 5. Tiong Gi mendapatkan lukisan kedua Kita tinggalkan dulu kota Heng Yang yang perlahan-lahan kembali pulih dari badai, marilah kita tengok keadaan tempat lain di perbukitan yang berada di tepi barat sungai Wu. Di akhir dingin yang sangat berat di Tiongoan ini, dua bulan sejak peristiwa di Heng Yang, di pinggiran suatu hutan yang sangat lebat, suatu tempat yang sangat sunyi di perbukitan yang agak berkabut ada peristiwa yang menarik untuk diikuti. Angin berhembus cukup kencang menggoyang rumpun bambu di tepian sungai. Suasana pagi yang dingin seperti ini biasanya orang lebih suka bergerombol mengelilingi tungku api atau meringkuk di atas ranjang. Jangankan manusia, sedangkan hewan saja masih bermalas-malasan untuk mencari makan di pagi sedingin itu. Namun, sungguh aneh dari dalam hutan yang lebat itu terdengar suara pedang berdenting nyaring diselingi teriakan seorang bocah dan bentakan wanita. Suara beradunya pedang dan teriakan kedua belah pihak menandai adanya pertarungan di situ. Di balik rimbun pepohonan, tepat di atas tanah lapang seluas satu petak yang hanya ditumbuhi rerumputan pendek tampak dua tubuh manusia berkelebat saling serang. Pertarungan itu tampaknya seimbang, karena yang satu adalah seorang anak laki-laki berusia sebelas tahunan, sedangkan lawannya adalah wanita setengah baya. Si anak laki-laki memainkan jurus-jurus serangan dengan sangat agresif dengan pedangnya, sedangkan wanita berusaha menangkis dan balik menyerang saat terlihat ada gerakan yang lowong. Sudah lebih dari seperempat hari mereka bertarung belum terlihat tanda-tanda pihak yang kalah atau yang menang. Lewat beberapa waktu setelah matahari mulai meninggi, barulah terdengar suara dentingan makin melemah dan diakhiri dengan suara. “Ciattt......hup...hiaaahhh......trang...trang!” “Aahh...aduhhh.....! Bibi, seranganmu sungguh sulit kutangkis, engkau belum pernah mengajarkan jurus ini,” teriak bocah laki-laki sambil meringis memegangi pahanya yang terluka. Di depannya seorang wanita setengah baya berbaju hitam, melihatnya dengan pandangan bengis.
www.rajaebookgratis.com
Meski sudah siang, cahaya matahari buram terhalang tirai kabut yang berarak dihembus angin, menimpa wajah wanita yang berumuran empat puluh tahunan. Kalau diperhatikan lebih dekat di wajah itu masih tampak bekas garis kecantikan meskipun sudah mulai keriput. Namun sayang mata sebelah kanan tertutup kain hitam. Bagi orang yang mengikuti peristiwa kegemparan di Yu-liang, maka bisa menebak wanita itu adalah murid yang bersekongkol dengan Siong Chen, membunuh Tiong San, dan bocah yang dilatihnya adalah yang putera Tiong San yang diculiknya. Namun wajah wanita paruh baya yang mestinya masih menyimpan daya tarik itu sungguh tambah mengerikan dengan adanya satu garis panjang di pipi kiri sampai ke bibir atas bekas goresan pedang makin menambah kesan angker sehingga tampak seperti layaknya wajah bajak laut. Sambil beristirahat tangan kanan wanita itu merogoh obat luka dan melemparkannya ke depan si bocah dan berujar. “Gi-ji, gerakanmu sudah cukup bagus, namun masih lambat, kau harus belajar giat kalau ingin menjadi orang yang berguna.” “Bibi...sebenarnya untuk apa kita bercapai-capai berlatih silat ini. Aku selalu kesulitan mengatur nafasku!” jawab bocah itu penasaran. Bagaimana tidak penasaran sudah lima tahun ia diculik oleh wanita yang mengaku sebagai bibinya dan dibawa ke tempat-tempat sepi untuk menerima hajaran yang dikatakan sebagai latihan silat. Anak itu sebenarnya lebih suka kembali lagi ke kampung halamannya. “Bibi Ciu...aku ingin pulang aja, antarkan aku pulang bibi! Seru si bocah merengek. “Anak bodoh! Sudah berapa kali kukatakan petani itu bukan orang tua kamu. Akulah satusatunya keluargamu yang masih hidup. Karena itu kamu harus patuh pada bibimu, tahu! “Bibi...sebenarnya siapakah ayah ibuku? Wanita itu terdiam sejenak hanya berusaha memaksa menyunggingkan senyuman. Namun lekuk senyum yang terbentuk dari bibirnya lebih mirip senyuman sinis yang mengejek meski di dasar hati perempuan ini sebenarnya keadaanya telah terkoyak. Belakangan ini, setiap ada kesempatan, Tiong Gi, si bocah, selalu menanyakan soal yang itu-itu juga. Masalah yang Cu Hoa Nionio enggan membicarakannya. Sebelumnya ia selalu menyatakan bahwa ayahnya adalah kakak kandungnya. Namun belum pernah ia menceritakan dimana dan siapa orang tua Tiong Gi. Peristiwa yang menyebabkan dia harus kehilangan mata kanannya itu tak pernah seharipun rehat dari pikirannya.
www.rajaebookgratis.com
Gi-ji, sudah kukatakan berkali-kali padamu, kamu harus pandai bermain silat dulu, baru aku akan ceritakan tentang orang tuamu. Ilmu silat yang kamu pelajari masih cetek. Kena segebrakan dengan pendekar kelas tigapun pasti kau sudah terkapar, ujar Cu Hoa sambil meraba pipi kirinya. Matanya memerah, nafasnya memburu demi mengingat kejadian peristiwa delapan tahun yang lalu. “Bibi, kalau kau gak mau menceritakannya, aku tidak mau belajar silat lagi,” bantah Tiong Gi sambil membanting pedangnya. Anak itu kemudian tertatih-tatih lari turun bukit sambil menyeka pipinya. Meskipun tidak mengeluarkan suara tapi Cu Hoa yang mengaku ke Tiong Gi bernama Ciu Hong tahu kalau Tiong Gi menangis. Pukulannya ke paha tadi memang cukup keras palagi disertai pengerahan dua pertiga bagian sinkangnya. Akhir-akhir ini tiap kali berlatih selalu ia mengakhirinya dengan melukai badan Tiong Gi, karena sudah tidak mampu lagi mengalahkannya dengan membuat pedang Tiong Gi atau menotoknya. “Anak itu sudah mulai hafal caraku menotoknya atau menyampok tangannya agar pedangnya terlepas. Sudah sebulan Tiong Gi mengalami kemajuan gerakan silat yang pesat, meskipun kemampuan menghimpun hawa murninya payah. Peristiwa terceburnya mereka ke air terjun dulu sepertinya menyebabkan sumbatan ke beberapa pembuluh darah Tiong Gi. Karena masih kanak-kanak sifatnya tak mau kalah. Kalau sudah terdesak Tiong Gi sering tidak mengindahkan teknik jurus yang diajarkan dan menyerang membabi-buta sehingga mengenai tubuh Cu Hong. Sebagai guru yang membutuhkan penghargaan dari muridnya, Cu Hong juga ingin dihormati oleh Tiong Gi. Namun harapan itu makin lama makin memupus seiring makin besarnya Tiong Gi. Sungguh lima tahun bersama Tiong Gi, merupakan waktu yang sangat berat. Sudah saatnya Tiong Gi belajar pada guru yang lain. Tapi demi mengingat anak itu masih polos dan sebentar lagi akan menjadi anak dewasa, ngilar Cu Hoa dibuatnya. Perempuan seperti Cu Hoa yang menghamba pada nafsu, takkan sanggup untuk bertobat meski wajahnya sudah lebih mirip hantu dibandingkan manusia. “Wajahnya cukup tampan meski agak berbeda dengan wajah orang kebanyakan dan daya tahan tubuhnya juga sangat kuat”, batin Cu Hoa sambil terkekeh. Perlahan-lahan Cu Hoa memasuki gua dan merebahkan diri di tumpukan jerami yang dipakai untuk alas tidur. Dengan tingkat sinkang yang dimiliki cuaca dingin di luar tidak lagi terasa, namun suara gemerisik daun-daun bambu di kejauhan sungguh seperti irama yang menyayatnyayat hatinya.
www.rajaebookgratis.com
Dua tahun semenjak melarikan diri dari Fan Cing san, bersama suhu, susiok dan dua orang suhengnya, Cu Hoa mempelajari catatan ilmu pedang Yu-liang Kiamhoat yang dipelajari dari Siong Chen. Dari gerakan-gerakan yang diperagakan Cu Hoa, guru mereka kemudian mencoba mempalajari kelemahan-kelemahan ilmu pedang itu. Setelah dua tahun berlatih mereka menantang pihak Yu-liang Pay. Pada pertemuan itu Pihak awan hitam yang diwakili susiok dan dua suheng Cu Hoa, sedangkan dari Yu-liang Pay diwakili Ji Pangcu, Siong Chen dan Pat Sun. Dalam bentrokan sebelumnya meski pihak awan hitam kalah dan kehilangan seorang murid namun ketiga musuh yang waktu itu diwakili oleh Sam Pangcu, Siong Chen dan Tiong San juga terluka. Namun siapa sangka meski sudah mempelajari ilmu pedang Yu-liang Kiamsut, tetap saja pihak awan hitam kalah, bahkan harus kehilangan susiok mereka. Hek in Loco guru Cu Hoa sampai dibuat gusar, dan menyalahkan kekalahan mereka pada Cu Hoa “Dasar perempuan sundal berotak kerbau, empat tahun bercokol di sana masih tidak bisa menyerap ilmu pedang yang benar, apa saja yang telah kau lakukan!” Semprot gurunya. “Suhu ampunkan taecu, taecu sudah berusaha dan berkorban banyak hal, namun tak kukira bahwa ilmu pedang yang diajarkan Siong Ceng hanya sebagiannya ilmu pedang mereka” “Dasar tolol” bentak Hek Shin Loco sambil menendang perut Cu Hoa.Tidak berhenti sampai di sini, tanpa memberi aba-aba ketika Cu Hoa kembali bangkit secepat kilat Hek in Loco mencabut pedangnya dan menyayat pipi Cu Hoa. “Ini ampunan yang setimpal untuk murid bodoh yang tak berguna!” Hembusan angin yang datang tiba-tiba menyapu mukanya, sekan-akan pisau yang mengoyak pipi Cu Hong. Masih melekat rasa sakit yang dialaminya waktu itu. Namun sakit di pipi masih belum seberapa di bandingkan sakit hatinya terhadap gurunya, dan terlebih lagi Siong Chen yang telah menggombalinya. Dengan membawa luka hati yang berdarah-darah Cu Hoa minggat dari puncak awan hitam, satu-satunya harapannya adalah mendidik Tiong Gi, untuk diajak bersama-sama membalaskan dendamnya dan hidup berdua selamanya. Namun dengan tingkat kepandaian seperti ini bagaimana mungkin mereka akan mampu membalaskan sakit hati itu? Harapan Cu Hoa agar suatu ketika Tiong Gi dapat diambil oleh seorang locianpwe yang maha sakti dan kelak membantunya melunasi hutang-hutang Siong Chen, semakin hari semakin memudar. Ia menyadari bahwa harapan itu sangatlah tipis. Siapakah locianpwe yang ilmunya lebih tinggi dari Yu-liang Pangcu? Suhunya sendiri mungkin tidak ada setengah kepandaian ketua pertama Yu-
www.rajaebookgratis.com
liang Pay itu. Ketua Siauw Lim saja belum tentu lebih tinggi tingkatannya dibandingkan Kwan Liong Ping. Kenapa Liong ping demikian sakti dari mana ilmunya? Jangankan Cu Hoa, sedangkan murid Yu-liang Pay saja tidak banyak yang tahu kalau ketua terakhir sebelum Liong Ping telah memperbaiki ilmu pedangnya dengan mencampurkan unsur magis. Ketua yang bernama Hong Bu, menyempurnakan ilmu pedang itu dibantu sahabatnya seorang dukun yang berasal dari India, Vicitra Rahwananda, sehingga ilmu pedang Yu-liang kiamhoat yang baru, memiliki gerakan-gerakan tertentu yang bisa didukung oleh hawa magis yang luar biasa. Unsur magis inilah yang tidak diajarkan oleh Siong Chen, sehingga meskipun ilmu pedangnya sudah cukup bagus tapi tetap belum mencapai kesempurnaan ilmu pedang. Sekonyong-konyong sinar matahari menerobos ke pintu gua, memendarkan sinar yang lebih terang dibandingkan sebelumnya. Cahaya yang bagaikan kilat membawa ingatan Cu Hong pada seorang tokoh raja siluman penukar rupa Hoan Bin Kwi Ong Tian Ce Ting, yang merupakan sahabat gurunya. Dulu ia masih ingat, siluman yang berwajah mirip kera itu sering menggodanya ketika ia masih gadis, dan ia pernah melayani siliman itu dengan baik. “Hmmm sekarang saatnya aku menagih bayarannya”. Seketika bangkit kembali semangat Cu Hoa. Namun ketika bangkit baru terasa perutnya dari tadi berkukuruyuk. “Ahh bocah itu pasti lebih lapar lagi. Aku harus mendekatinya kembali.” Cu Hoa tahu tempat biasanya Tiong Gi menyendiri. Perlahan-lahan Cu Hoa mendekati sungai kecil di bawah bukit. Dari kejauhan terlihat tubuh seorang bocah yang sudah mulai gede. “Gi-ji aku mau pergi ke pasar, sudah lima hari ini kita hanya makan dari sayuran di kebun kita. Hati-hati jaga diri!” ujar Cu Hoa begitu dekat dengan Tiong Gi. Yang dimaksud dengan kebun tidaklah seperti kebun yang sering kita lihat, karena Tiong Gi menanam sayuran di antara semak-semak yang ada di bagian lembah di dekat sungai secara sembarangan, sehingga seolaholah sayuran yang di tamannya bagian dari semak-semak tersebut. Tiong Gi biasa menaman lobak dan kubis. “Iya!” balas Tiong Gi dingin. Di tempatnya berdiam, desir angin tidaklah sekencang di goa. Gerakan pohon-pohon bambu selalu mampu mengusir kegusaran bocah itu. Akhir-akhir ini ia merasakan adanya kejanggalankejanggalan hidup dengan Ciu Hong, orang yang mengaku sebagai bibinya. Masih segar diingatannya ia hidup damai dengan ayah dan ibu yang menyayanginya, hidup sebagai petani
www.rajaebookgratis.com
dan nelayan. Ia ingat diajak ayahnya mencari ikan, atau mencari katak di sawah buat dimasak swike. Kini keadaan yang dialami sungguh sangat jauh berbeda, bagaikan langit dan bumi. Ia sering dimarahi, dilukai, bahkan kadang-kadang pada malam hari bibinya sering berbuat aneh. Ciu Hong sering meraba-raba tubuhnya, bahkan menciuminya. Sebelumnya Tiong Gi tidak merasakan suatu keanehan, namun sudah sebulanan ia merasakan bahwa itu hal yang aneh. Bibinya menciuminya dengan nafas memburu dan mulut yang mendesah. Kadang kala bibinya minta ia meraba-raba selangkangannya. Sungguh kasihan nasib Tiong Gi, sejak kecil sudah menjadi budak pelecehan seksual bibi palsunya. Beberapa waktu berselang, dari tempat menyendiri Tiong Gi mendengar suara dentingan pedang dan teriakan beberapa orang seperti sedang terjadi perkelahian. Tiong Gi perlahan-lahan mendekat hendak melihat apa gerangan yang terjadi. Tiong Gi menyelinap di balik gerumbulan semak-semak. Dari balik semak-semak itu, ia dapat mendengar apa yang dipertengkarkan oleh dua kelompok itu. “Cun Kak tosu, sebaiknya kau serahkan lukisan itu pada kami!” “He..he...heh....mana ada aturan itu, kami yang merebutnya dari bukit menjangan salju. Kalian orang-orang racun timur mau enaknya saja minta lukisan ini, huh enyahlah!” Rupanya mereka senang memperebutkan sebuah gulungan kertas. Ada sekitar sepuluh orang, enam lawan empat. Pihak yang membawa gulungan kertas berjumlah empat berpakaian tosu, dikeroyok oleh enam orang dari Tok Nan-hay pang. Setelah kegagalan mendapatkan lukisan yang dirampas oleh pasukan gubernur, Tok Nan-hay pang yang sudah memiliki salinan lukisan itu berusaha mencari peninggalan Lau Cin San, tapi betapa terkejutnya mereka, karena ternyata salinan lukisan itu sudah beredar luas di kalangan kang ouw, sehingga mereka mendapat banyak pesaiang. Bahkan, suatu ketika mereka mendengar kabar, ada lukisan yang sama anehnya ditemukan orang di bukit menjangan salju, maka bergegaslah mereka menuju ke bukit itu. Siapa sangka ketika mereka datang, tempat itu sudah sepi, hanya suara cecowetan burung-burung pemangsa sedang memperebutkan bangkai manusia. Maka, dengan penuh gopoh mereka coba mengejar jejak rombongan terakhir. Dari lacakan tahulah mereka sedang berhadapan dengan tosu-tosu dari Kong-thong pay. “Tosu muka kadal, kalau kalian tidak mau serahkan itu lukisan, rasakanlah ini!” Serentak pihak Tok Nan-hay pang memulai menyerang. Meskipun perbandingannya tidak imbang namun pertarungan berlangsung seru. Lewat lima puluh jurus tiga orang sudah roboh
www.rajaebookgratis.com
bermandikan darah. Dua dari pihak lawan satu dari pihak pembawa gulungan. Pihak lawan terus merangsek pembawa gulungan. Melihat keadaan sangat mendesak, dan karena tak ingin menyerah begitu saja, sekonyong-konyong terdengar lemparan gulungan kertas. Ternyata, entah angin apa yang menghembusnya, gulungan kertas itu mengarah ke Tiong Gi. Terperanjat Tiong Gi demi melihat gulungan kertas itu melayang ke arahnya. karena rasa penasaran dan rasa gusar demi menyaksikan orang-orang itu merusak kebunnya, Tiong Gi langsung sambar gulungan kertas itu dan dengan sigap memutar tubuh berbalik kanan untuk kabur. Namun, akibat tergesa-gesa tak sadar kaki kanan Tiong Gi terantuk batu dan dia kecebur dalam kali. Untunglah kali itu hanya sedalam paha, sehingga dengan kegesitannya Tiong Gi segera naik ke tepi dan kabur di balik tikungan pepohonan. Kejadian ini malah menguntungkan Tiong Gi, karena orang-orang yang berebut gulungan hanya mendengar kecipakan air dan menyangka gulungan kertas tersebut jatuh ke dalam air. Anehnya, meski sebelumnya mereka sekali sudah saling berebut dan dengan sendirinya saling baku hantam, namun ketika gulungan kertas itu terlepas dan dikira jatuh ke sungai, bergegas mereka meninggalkan gelanggang beramai-ramai. “Peta itu jatuh kesini!” ...Ahhh...tidak....pasti sudah terhanyut aliran kali.......” “Kejar.......! Ikuti aliran sungai ini....!”seru yang lain. Bergegas mereka berebut mengikuti aliran sungai. Dari hulu sampai hilir. Di dalam gua Tiong Gi membuka gulungan kertas itu yang ternyata adalah sebuah lukisan. Lukisan itu menggambarkan suatu perkampungan di suatu lembah. Anehnya, rumah-rumah yang ada di gambar itu berbentuk seperti tempurung kelapa. Di bagian tepi terlihat ada telaga yang jernih, dan sebuah pohon miok berdaun merah. Ketika kertas itu dibalik terlihatlah bercak-bercak air yang seperti mengandung tulisan. “Ah....kiranya kertas ini harus di basahi dulu dengan air supaya gambarnya bisa terlihat”. Maka segera kertas itu dibasahi dengan air yang menetes-netes dari langit gua. Namun bukan gambar yang muncul tapi tulisan. karena bukan orang sekolahan Tiong Gi tidak bisa membaca tulisan di balik lukisan tersebut, namun dia tahu bahwa itu adalah suatu tulisan. Tiong Gi sering melihat lembaran-lembaran tulisan yang dimiliki oleh bibinya atau yang “Hmm....kalau gitu aku tunggu saja Ciu Hong Nionio untuk menanyakan isi tulisan ini”....begitu pikir Tiong Gi. Namun teringat bahwa gambar itu habis diperebutkan, Tiong Gi punya firasat bahwa gambar itu berisi suatu rahasia. “Ah tidak, Ciu Hong Nionio sangat pelit, pasti kalau lukisan ini harganya mahal hasilnya dimakan sendiri. Aku harus menyimpannya.”
www.rajaebookgratis.com
Dicarilah bagian dinding goa yang agak lunak kemudian Tiong Gi membuat lubang. Sebelum lukisan dimasukkan, terlebih dahulu ditaruh di sebuah bambu seukuran suling. Sekembalinya dari pasar, Cu Hoa mendapatkan Tiong Gi merengek-rengek minta sekolah. “Bibi, aku ingin sekolah! Antarkan aku ke sekolah bibi!” “Sekolah? Buat apa sekolah? Untuk jadi orang hebat yang penting bisa silat! Tidak perlu sekolah, ngabisin duit!” “Bibi, aku pingin jadi anak pintar yang bisa baca tulis!” “Sudahlah kau belajar padaku saja, aku akan mengajarimu!” “Benar bi?” “Tentu saja, hayo cari kertas dan alat tulis!” Tiong Gi diam saja. Cu Hoa juga membatin, kertas dan alat tulis? Dari mana bis didapatkan? “Ini neh....uang buat beli kertas dan pit!” Sejak hari itu mulailah Tiong Gi belajar baca dan tulis. Namun karena tidak berbakat mengajar, itu mengajari dengan cara yang buruk. Huruf yang diajarkan tidak berurutan. Sehingga justru memusingkan yang diajari. Lewat dua bulan, Tiong Gi menjadi bosan dan malas. Sesekali ia berjalan ke kampung ia suka melihat anak-anak sedang belajar di sekolah. Sekolah itu terletak di pinggiran desa. Anakanak belajar di sebuah pendopo. Mereka duduk bersila bersaf-saf dengan teratur. Di depan masing-masing anak ada meja kecil. Semua pakai baju seragam berwarna putih dengan rompi warna biru, rambut kepalanya disanggul, tampak perlente dan berwibawa. Ketika guru mengucapkan sesuatu mereka mengikutinya. Sudah dua kali Tiong Gi melihat pemandangan seperti itu, dan kini keinginannya untuk bersekolah tak bisa dibendung lagi, maka ia lantas sampaikan ke Cu Hoa, “Bibi, aku ingin bersekolah seperti anak-anak yang lain, mengapa aku tidak seperti mereka?” “Mereka itu anak-anak orang kaya, tuan tanah, cukong, yang kerjanya memerah tenaga orang-orang kecil seperti kita. Kamu tidak perlu bergaul sama mereka!” “Aku tak peduli....aku mau sekolah....!” “Plok!” sebuah gamparan mendarat di pipi Tiong Gi. Biasanya Tiong Gi diam saja atau menangis. Kini dengan mata memerah ia merangsek dan memukul dengan kedua tangan sekenanya ke Cu Hoa. Cu Hoa dibuat kerepotan karenanya.
www.rajaebookgratis.com
“Anak setan.....pergi...pergi kau!” Cu Hoa membalas pukulan dengan pukulan dan tendangan dengan tendangan yang lebih keras lagi. Tiong Gi jatuh berguling-guling dan bergegas pergi. Sehari kemudian Cu Hoa mengira Tiong Gi akan kembali, namun ditunggu-tunggu sampai sore, ia belum juga kembali. Cu Hoa mulai khawatir, meski sudah merasa jenuh dan bosan menjaga Tiong Gi, namun ia masih belum rela melepaskannya. Tiong Gi adalah satu-satunya harapannya. Keesokan harinya Tiong Gi masih belum juga datang. Cu Hoa lantas mulai mencaricari. Tak sulit mencari Tiong Gi, karena ia tidk pergi jauh. Di pojok pasar, ia ditemukan meringkuk di bawah kios tua yang ditutupi oleh daun-daun oleh Tiong Gi sendiri. Dengan setengah menyeret Cu Hoa menggelandang Tiong Gi. “Kamu benar-benar mau sekolah? Baiklah ayo kita cari baju seragam dan alat tulismu.” “Benarkan?” tanya Tiong Gi dengan mata berbinar. Cu Hoa hanya tersenyum sinis. Ia kemudian menuju ke warung pakaian, dengan gerak tangan yang tak kentara ia mengambil begitu saja dagangan yang dijual. Karena pembeli pagi itu sedang ramai, penjual tidak melihatnya. Demikian juga waktu di toko alat tulis, Cu Hoa melakukan hal yang sama. Tiong Gi hanya memandangi saja. “Heh, Tiong Gi kalau kamu sudah besar nanti, kau harus hati-hati kalau mau ambil barang pedagang. Kalau ketauan mereka bisa pukuli kau sampai babak belur, tahu?” Tiong Gi tak menjawab sepatah katapun, pikirannya sudah melayangjauh ke sekolah di tepi desa, dekat sawah yang sedang menghijau. Hari itu musim dingin sudah mulai berangsur pergi, matahari muncul dengan cerahnya. Di sekolah Siauw Can Bun Tiong Gi mulai bersekolah. Ia duduk di bangku paling belakang. Guru Tien memperkenalkannya pada seluruh teman yang ada. Guru Tien cukup ramah namun tegas. Kemudian mulaiah Tiong Gi belajar. Ia mengikuti apa yang diucapkan oleh Guru Tien: berbakti pada orang tua, berbakti pada negara anak Siauw Can Bun bersikap ksatria dan berbudi luhur rajin belajar dan bekerja demi mengabdi pada yang mulia Tio Kuan Yi Tiong Gi dan kawan-kawan yang lain mengulanginya berkali-kali. Kemudian guru Tien menunjuk salah seorang untuk menghapalkannya secara bergantian. Demikianlah satu bait katakata bijak selesai diganti dengan bait yang lain. Kemudian beristirahatlah anak-anak itu. Pada waktu itu, mereka biasanya memakan makanannya.
www.rajaebookgratis.com
Tiong Gi tidak membawa makanan. Melihat kawan-kawannya makan, tumbuhlah keinginannya untuk makan juga. Maka berkatalah ia pada salah seorang dari mereka. “A Sun, berilah aku separoh bakpaomu!” pinta Tiong Gi dengan penuh harap. Sun Kian adalah anak tauke beras di desa itu, tubuhnya tambun wajahnya bulat. Saat itu ia sedang duduk agak jauh dari kawan-kawan yang lain. “Apaa....minta....huh, gembel busuk anak petani kudisan! Neh makan bakpaomu,” ucapnya sambil melempar segumpal rumput dan serasah ke arah muka Tiong Gi. Seketika itu kemarahan Tiong Gi meluap. Dengan beringas ia menendang Sun Kian. Sun Kian sebenarnya sedikit-sedikit belajar silat, namun ia anak yang pemalas. Meskipun sempat menghindar tendangan pertama, ia tak mampu menangkis tonjokan tangan kanan Tiong Gi. “Buggg” sebuah tonjokkan tangan mengenai lambung kiri Sun Kian. Kontak perut Sun Kian menjadi mulas dibuatnya. Dan ia tak bisa menahan laju makanan keluar dari kerongkongannya. “Hoeekkk.......!” Begitu melihat keributan anak-anak bergerombol mengerumuni mereka. Sebagian bersorak memberi semangat. Dengan tergopoh-gopoh guru Tien mendatangi mereka mencoba untuk melerainya. Terlambat. Meski hanya mendapat tiga kali bogem mentah, namun Sun Kian sudah KO. Guru Tien memandang Tiong Gi dengan berapi-api, Tiong Gi mundur beberapa langkah. Dengan menahan amarah guru Tien berkata ketus, “Bocah pembawa sial, kenapa kamu pukuli Sun Kian? Dasar anak baru yang tak tahu diri! Besok kamu tak usah masuk sekolah lagi.” Habis berkatakata guru Tien menolong Sun Kian, dan mengantarnya pulang. Kelaspun dibubarkan. Keesokan harinya, kembali Tiong Gi ke sekolah. Ia tidak peduli dengan larangan guru Tien. Bagaimana ia bisa paham, di rumah maksudnya di goa ia dididik dengan cara-cara yang mengandalkan kekerasan, mana bisa berubah dalam sekejap mata. Celakanya, di sekolah itu pagi-pagi sekali seorang pria setengah baya bertubuh tinggi brewokan sudah menghadang. Disampingnya berdiri Sun Kian dengan wajah masih lembam. Begitu Tiong Gi datang langsung disemprot si centeng dengan kata-kata, “Bocah sial, beraninya kamu pukul Kian kongcu, putera majikanku, apa yang kau andalkan?” begitu selesai bicara langsung tangannya bergerak menonjok. Dengan sigap Tiong Gi menangkis. “Plaakk....”! “Ehh..kau bisa berkelahi rupanya!”
www.rajaebookgratis.com
Merasa pukulannya bisa dihindarkan, centeng itu makin bertambah kalap, dan mulai melancarkan serangan demi serangan. Sebagai centeng cukong terkenal di desa Cong Bun pria itu sedikit pernah belajar silat. Dengan tenaga yang sangat kuat tentu saja, satu dua pukulannya menembus pertahanan Tiong Gi. Pada jurus yang ke sepuluh tiba-tiba saja Tiong Gi menarik baju lelaki itu sehingga keduanya terguling ke tanah. Karena posisi centeng itu berada di atas, dia menang angin, sehingga lebih leluasa memukuli Tiong Gi. “Buk...buk....! Plok...plok...plok...plok” bunyi pukulan demi pukulan ke muka Tiong Gi ditingkahi tepuk tangan Sun Kian dan beberapa teman-temannya yang baru datang. Namun tepuk tangan mereka tidak berlangsung lama, karena sekonyong-konyong terdengar jeritan menyayat. “Aaaaaagggggghhh........! Tubuh centeng itu tiba-tiba saja terguling, tangannya mendekap ulu hatinya yang telah menucurkan darah segar. Pada detik itu pula Tiong Gi telah berhasil meloloskan diri. Memang dialah yang menusuk si centeng dengan golok milik centeng itu sendiri. Sungguh seperti peribahasa senjata makan tuan. Kegembiraan memukuli korbannya membuat si centeng kehilangan kewaspadaan sehingga tidak sempat mencegah ketika tangan Tiong Gi menarik golok di pinggang kirinya dan menusuk ulu hati. Jeritan si centeng ditimpali jeritan siswa sekolah itu. Sun Kian hanya melongo dan dengan ketakukan lari lintang pukang. Jeritan siswa terdengar ke rumah-rumah di dekat sekolah sehingga beberapa penduduk berdatangan. Rata-rata adalah petani. Tapi begitu melihat korban mereka hanya diam seribu basa. Bahkan kalau ada yang mendekat akan terdengarlah bisik-bisik yang menunjukkan perasaan lega dan gosip nyukurin korban. Memang si centeng Sun tauke terkenal galak ke petani. Sungguh malang nasib si centeng. Tiong Gi merasa terkejut sekali dengan perbuatannya. Maka larilah ia sekencangnya keluar dari desa itu. Ia tidak ingin kembali ke bibinya, karena ia tahu pasti akan dimarahi. Yang ia tahu hanyalah berlari secepatnya kemanapun ke arah timur, menjauhi goa tempat tinggal dia yang berada di barat. Setelah seharian penuh ia berlari sampailah ia pada kota kecil Tee-kim. Kota ini berada di tepi sungai Yang ce kiang. Kalau Tiong Gi tahu arah mata angin sebenarnya ia bisa belok ke selatan menuju ke arah hulu dari sungai ini untuk kembali ke petani yang dulu mengasuhnya yang disangkanya sebagai orang tua. Namun saat itu keinginannya adalah pergi jauh, sejauh kaki bisa melangkah. Akhirnya di ujung desa di depan kuil yang cukup besar ia terjatuh kelelahan dan langsung tertidur. Biksu muda yang menjumpainya berteriak membuat seisi kuil keluar. Ada
www.rajaebookgratis.com
lima orang biksu yang berada di kuil itu. Empat biksu muda dan satu biksu tua yang sekaligus biksu kepala biara. “Omitohuud, Bin bin ada apa engkau berteriak seperti itu?” biksu kepala yang bertubuh pendek gemuk itu berseru. Ia lantas mendekat Bin bin. “Ehhh ada bocah yang tergolek di sini, siapa dia?” kata biksu itu penuh tanda tanya, sambil kepalanya tengok ke kanan dan ke kiri, coba melihat barangkali ada seseorang yang mencari anak itu. “Ah sebaiknya kita tolong saja dulu, mari kalian angkat bocah ini.” Empat orang biksu murid bersama-sama kemudian angkat tubuh Tiong Gi dan dibawa masuk ke dalam untuk mendapat perawatan sekedarnya. Tiong Gi masih tetap dalam posisi tertidur. Pada malam harinya tubuhnya terkena demam, dan beberapa kali ia mengigau. Empat biksu menjadi kelabakan dibuatnya. Maka dengan bahan seadanya atas petunjuk biksu kepala mereka merebus obat dan meminumkannya pada Tiong Gi. Saat terbangun di pagi hari Tiong Gi menemukan dirinya tergolek di sebuah dipan. Kemudian ia bangkit dari dipan itu. Sekujur tubuhnya terasa penat luar biasa. Dengan tertatihtatih ia mencoba keluar dari kamar. Di lorong salah seorang biksu yang kemaren membopongnya, menyapa, “Selamat pagi siauw kongcu, kongcu sudah bangun rupanya, tapi tubuh kongcu masih lemah, sebaiknya beristirahat saja. “Aku...aku...lapar....beri aku makan siauw suhu!” Biksu itu tersenyum. Lalu dengan sopan ia kemudian masuk ke dapur mempersiapkan semangkuk bubur, dan sayur kubis. “Silahkan kongcu ini disantap sarapannya” Tiong Gi makan dengan lahapnya karena sudah seharian kemaren ia belum makan. Tak peduli ada lauknya apa tidak, bubur itu disantapnya sampai tandas. Setelah dua hari tinggal di kuil itu kesehatan Tiong Gi mulai pulih. Pagi itu seorang biksu muda mengajaknya menghadap ke biksu kepala. Sambil berjalan Tiong Gi berpikir apa yang harus dia ceritakan, ia mesti menutupi peristiwa penusukan itu, agar ia tidak ketahuan, namun bajunya yang compang camping dan terlihat ada percikan darah sungguh mencurigakan. Di ruang tengah, seorang biksu tua sudah menunggu sambil berliamkeng. Ketika Tiong Gi masuk menghadap ia berhenti berliamkeng dan membuka matanya. Sekejap terjadi perubahan raut muka di wajah teduh itu.
www.rajaebookgratis.com
“Omitohud, kongcu sudah bangun. Bagus sekali pagi yang cerah ini pinceng bisa menerimamu, siapakah nama dan dari mana asal usul siauw kongcu?” tanya biksu kepala itu dengan ramah. “Saya bernama Tiong Gi, berasal dari barat. Saya tidak punya orang tua lagi, selama ini saya tinggal bersama bibi. Namun bibi saya galak sekali dan sering memukuli. Pagi itu karena saya membuat ulah di sekolah bibi memukuli saya hingga babak belur. Mohon losuhu tidak memberitahukan keberadaan saya jika bibi saya datang.” “Apakah nama desa siauw kongcu?” “Aku tinggal di desa Cong Bun.” Biksu kepala itu yang bergelar Kim-sim hosiang menggeleng-gelengkan kepala. Sebagai biksu yang sudah berpuluh tahun menyebarkan ajaran budha di wilayah itu ia tahu betapa jauhnya desa Cong Bun. Pengalaman itu pula yang menjadikan dia memiliki kepekaan luar biasa terhadap sifat seseorang. Dan sekali melihat ia merasakan aura kegelapan menyelimuti wajah yang masih kanak itu. “Lalu kemanakah tujuanmu sekarang?” “Aku hanya ingin menuruti langkah kakiku, aku ingin pergi jauh dari bibi Ciu.” “Kalau demikian rencana kongcu, pinceng hanya bisa berpesan agar kongcu hati-hati. Tiga tael perak ini mungkin bisa membantu kongcu dalam perjalanan. Kalau kongcu berjalan lurus memasuki desa nanti akan bertemu pasar beloklah ke kiri, kau akan menemukan sungai. Barangkali saja ada perahu yang berlayar menuju ke timur. Kalau kongcu belum menetapkan tujuan, tak ada salahnya kongcu mampir ke kuil suheng pinceng Kong-sim hosiang di desa Sin heng, desa di pinggiran kota Yi chang.” “Iya.....” singkat sekali jawaban Tiong Gi, dan tanpa permisi ia lantas meninggalkan kuil itu, mengikuti petunjuk Kim-sim hosiang menuju ke dermaga kecil di desa itu.