8
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Ekologi Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Haeckel, seorang ahli biologi, pada pertengahan dasawarsa 1860-an. Ekologi berasal dari bahasa yunani yaitu oikos yang berarti rumah tangga, dan logos yang berarti ilmu, sehingga secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup. Ekologi didefinisikan sebagai ilmu tentang hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Silalahi, 2001). Adiwibowo (2007) menyatakan bahwa dalam ekologi dipelajari bagaimana makhluk hidup berinteraksi timbal balik dengan lingkungan hidupnya baik yang bersifat hidup (biotic) maupun tak hidup (abiotic) sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu jaring-jaring sistem kehidupan pada berbagai tingkatan organisasi. Di dalam ekosistem, tumbuhan, hewan, dan mikro organisme saling berinteraksi melakukan transaksi materi dan energi membentuk satu kesatuan sistem kehidupan. 2.1.1.1 Kerusakan Ekologi Laut Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi kekayaan hayati kelautan yang tinggi3. Indonesia sebagai negara kepulauan tidak mempunyai data kualitatif dan kuantitatif yang memadai serta menyeluruh tentang kerusakan ekologi laut (Kompas, 29 Agustus 2003 dalam Kartodiharjo, 2006). Akibat penangkapan ikan yang ilegal (illegal fishing), perubahan iklim, maupun praktek perikanan yang merusak (destructive fishing) terumbu karang di perairan Indonesia banyak yang rusak. Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, seperti yang dikutip dalam Minapolitan Edisi Desember 2010, menjelaskan bahwa sebagai etalase terumbu karang dunia Indonesia memiliki 82 genera dan 590 spesies karang keras yang tersebar pada 74.748 km 2 atau setara dengan 18 persen luasan terumbu karang dunia. Namun keberadaan terumbu
3
Namun seperti ekosistem lainnya di Indoensia, ekosistem laut juga mengalami krisis karena kerusakan dan pemanfaatan yang berlebih (Kartodiharjo, 2006).
9
karang di Indonesia mengalami tingkat kerusakan dan ancaman yang tinggi setiap tahunnya. Interaksi masyarakat pesisir dan aktivitas pembangunan menurut CicinSain and Knecht (1998) dalam Putra (2002) mengakibatkan kerusakan ekologi pada zona pesisir dan sumberdaya pesisir. Ditambah dengan tingginya permintaan pasar dunia akan pasokan ikan dan dengan disperitas harga ikan, menyebabkan terancam gulung tikarnya sektor perikanan di sejumlah negara (Demersal edisi Desember 2010). Kedua hal di atas turut menyumbang peranan dalam semakin tergerusnya sumberdaya pesisir. Berdasarkan data dari United Nations Food and Agriculture Organization bahwa stok ikan dunia mengalami kemunduran yang tajam, 48 persen telah dieksploitasi habis, 16 persen telah mengalami kelebihan tangkap, dan 9 persen telah habis. Bukti empiris keilmuan seperti ini sering kali diabaikan demi kepentingan politik dan kuota yang diatur lebih dari yang direkomendasikan. Undang-Undang Nomor 9/1985 tentang Perikanan, Pasal 6 ayat 1 melarang penggunaan sianida untuk perikanan. Penggunaan sianida menjadi cara penangkapan yang populer karena cara ini dianggap cara paling mudah. Nelayan menyemprotkan larutan sianida dari botol plastik. Semprotan sianida akan membuat ikan pingsan sehingga mudah dibawa ke permukaan (Kartodiharjo, 2006). Ini merupakan salah satu contoh pola tangkap yang tidak ramah lingkungan. Belum lagi pola tangkap yang menggunakan alat-alat yang merusak (destructive fishing) seperti pukat harimau. 2.1.2 Masyarakat Nelayan Sebagai negara kepulauan, laut merupakan wilayah terluas di Indonesia dibandingkan daratan. Sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di sepanjang garis pantai. Desa pesisir menurut Satria (2009) dalam bukunya “Pesisir dan Laut Untuk Rakyat” merupakan tempat bertemunya entitas sosial ekonomi, sosialbudaya, sosial-ekologi, yang menjadi batas antara daratan dan lautan. Sementara masyarakat pesisir menurut Satria (2004) dalam Satria (2009), adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir.
10
Nelayan adalah orang yang melakukan penangkapan ikan di laut yang terbagi atas status pengusaan kapital, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan berarti adalah orang yang memiliki sarana dan alat penangkapan, seperti kapal dan jaring. Sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, atau anak buah kapal (ABK). Sedikit berbeda dengan definisi nelayan yang dijabarkan oleh Ditjen Perikanan Tangkap Kementrian Kelautan dan Perikanan (2007), nelayan adalah orang yang aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Selain itu Ditjen Perikanan Tangkap juga mengklasifikasikan nelayan menjadi tiga tipe sebagai berikut: 1.
Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.
2.
Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempuyai pekerjaan lain.
3.
Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan. Masyarakat nelayan menurut Satria (2002) digambarkan memiliki
karakteristik tertentu yang cenderung berbeda dengan masyarakat lain yang tidak tinggal di daerah pesisir. Desa pesisir merupakan cerminan dari desa-pantai dan terisolasi yang memiliki karakteristik dalam beberapa aspek, diantaranya: 1.
Sistem Pengetahuan Pengetahuan mengenai teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara turun temurun dengan berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya pengetahuan
lokal
ini
menjadi
kelangsungan hidup sebagai nelayan.
salah
satu
faktor
terjaminnya
11
2.
Sistem Kepercayaan Nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiki kekuatan khusus dalam aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan terjamin. Namun seiring dengan berjalannya waktu tradisi dilangsungkan hanya sebagai instrumen stabilitas sosial dalam komunitas nelayan.
3.
Peran Wanita Istri nelayan dominan dalam hal mengatur ekonomi rumah tangga seharihari sehingga sepatutnya dalam program pengembangan masyarakat para istri nelayan dilibatkan.
4.
Struktur Sosial Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi (termasuk pasar) dalam usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, umumnya dicirikan dengan ikatan patron-klien yang kuat. Kuatnya hubungan ini konsekuensi akibat ketidakpastian dan resiko yang tinggi dalam penangkapan ikan. Bentuk stratifikasi sosial masyarakat pesisir di Indonesia cenderung beragam. Hal ini dapat dilihat dari semakin bertambahnya jumlah posisi sosial yang terjadi lebih mengarah kepada stratifikasi yang vertikal, berjenjang menurut ekonomi, prestise, atau kekuasaan.
5.
Posisi Sosial Nelayan Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relatif jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil terus dalam posisi dependen dan marjinal akibat dari faktor kapital yang dimilikinya sangatlah terbatas.
12
2.1.3 Adopsi Inovasi Satria (2009) menyebutkan beberapa strategi mata pencaharian yang dapat dilakukan untuk memutus rantai kemiskinan nelayan. Pertama, mengembangkan strategi nafkah ganda. Tujuannya agar nelayan tidak bergantung pada hasil penangkapan saja. Pengembangan dan penguatan strategi ganda ini perlu dilakukan terutama pada nelayan lapisan bawah. Salah satu aspek yang diperlukan untuk mendukung strategi ini adalah kebijakan permodalan. Kedua, mendorong ke arah laut lepas. Kendalanya tidak hanya teknologi, tapi juga modal dan budaya. Menangkap ikan di laut lepas sangatlah kompleks, mencakup manajemen usaha, organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman perilaku ikan, pengoperasian kapal, jaring dan lainnya. Sehingga selain dibutuhkan teknologi, para nelayan ini juga membutuhkan pelatihan (magang) untuk menggali pengalaman dan pengetahuan di usaha penangkapan skala menengah dan besar. Ketiga, mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi musim. Dengan diversifikasi alat tangkap ini memungkinkan nelayan bisa melaut sepanjang tahun. Diversifikasi alat tangkap dalam penerapannya melalui proses adopsi inovasi. Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau objek yang dipandang baru oleh individu yang mencakup dua komponen, ide dan objek (Rogers dan Shoemaker, 1971 dalam Mugniesyah, 2006). Namun faktanya inovasi tidaklah harus berbentuk fisik. Proses adopsi terjadi apabila individu belajar mengenai suatu inovasi (teknologi baru) dan mengalami perkembangan pada mentalnya. Menurut komite yang terdiri dari ahli sosiologi pedesaan, The North-Central Rural Sociology Subcommittee for The Study of Farm Practise, ada lima tahapan dalam proses adopsi inovasi. Adapun kelima tahapan tersebut adalah: 1.
Awareness (tahap menjadi sadar) Pada tahap ini seseorang menyadari bahwa adanya inovasi namun masih
belum
memperoleh
informasi
mengenai
hal
tersebut
selengkapnya. 2.
Interest (tahap menaruh minat) Individu mengembangkan minat terhadap inovasi dan mencari dengan aktif informasi tambahan atau yang lebih lengkap mengenai inovasi.
13
Tahap ini berfungsi meningkatkan pengetahuan individu tentang inovasi. 3.
Evaluation (tahap menilai) Tahap ini disebut juga sebagai tahap uji mental. Merupakan tahap awal dari pembuatan keputusan untuk mencoba. Individu menerapkan inovasi secara mental dan mendapatkan bukti-bukti internal (dari dalam pikirannya sendiri) tentang kemungkinan menggunakan inovasi itu, dengan membandingkannya dengan keadaan masa kini dan antisipasi keadaan masa depan.
4.
Trial (tahap mencoba) Individu mulai mencoba menerapkan inovasi dalam skala yang kecil, dalam usaha untuk mendapatkan bukti-bukti eksternal (dari lapangan, dari luar pikirannya sendiri) untuk menentukan kegunaan dan keuntungan inovasi dalam keadaan yang mendekati nyata.
5.
Adoption (tahap mengadopsi) Pada tahap ini individu menerapkan inovasi secara kontinyu dalam skala yang lebih besar, dengan kata lain individu telah menerapkan inovasi.
Proses adopsi inovasi inilah yang kemudian menetukan proses partisipasi individu nelayan dalam PRL. 2.1.4 Partisipasi Partisipasi didefinisikan sebagai proses aktif, inisiatif dikemukakan oleh masyarakat setempat sendiri, dengan dibimbing oleh cara berpikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) yang dapat mereka
kontrol secara efektif
(Nasdian, 2006).
Partisipasi masyarakat
digambarkan secara bertingkat sesuai dengan gradasi, derajat wewenang, dan tanggung jawab yang dapat dilihat pada Tabel 1. Arstein menggunakan metafora anak tangga partisipasi di mana setiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda berdasarkan pola distribusi kekuasaanya.
14
Tabel 1. Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Arstein No. Tingkatan Partisipasi
Hakekat Kesetaraan
1.
Manipulasi
Permainan oleh Pemerintah
2.
Terapi (Therapy)
Sekedar agar masyarakat tidak marah (sosialisasi)
3.
Pemberitahuan (Informing)
Sekedar pemberitahuan searah (Sosialisasi)
4.
Konsultasi (Consultation)
Masyarakat didengar tapi tidak selalu dipakai sarannya
5.
Penentraman (Placation)
Saran masyarakat diterima tapi tidak selalu dijalankan
6.
Kemitraan (Partnership)
Timbal balik dinegosiasikan
7.
Pendelagisian Kekuasaan (Delegated Power)
Masyarakat diberi kekuasaan (sebagian atau seluruh porgram)
Tingkat pembagian Kekuasaan
Tidak ada partisipasi
Tokenisme (sekedar justifikas agar mengiyakan)
Tingkat kekuasaan ada di masyarakat
8.
Kontrol Masyarakat Sepenuhnya dikuasai (Citizen Control) masyarakat Sumber: Arstein (1969) dalam Rosyida (2010) Partisipasi masyarakat secara bertingkat sesuai dengan gradasi kekuasaan yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan (Arstein, 1969). Ada pun pola distribusi kekuasaan dan peran dominan pemangku kepentingan pada Tabel 1, diterangkan sebagai berikut. 1. Manipulatif, partisipasi pada anak tangga ini tidak memerlukan respon partisipan untuk terlibat banyak. 2. Terapi, yakni terapi yang mulai melibatkan anggota komunitas lokal untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan, tetapi jawaban ini tidak berpengaruh terhadap kebijakan.
15
3. Pemberitahuan,
yakni
kegiatan
yang
dilakukan
oleh
instansi
penyelenggara program sekedar melakukan pemberitahuan searah (sosialisasi program). 4. Konsultasi, yakni anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi dengan semua pihak terkait sehingga diikutsertakan dalam penentuan keputusan. 5. Penentraman, pada tahap ini komunikasi telah berjalan dengan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan penyelenggara program. 6. Kerjasama, merupakan tahap partisipasi fungsional di mana semua pihak baik masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya, mewujudkan keputusan bersama, dengan duduk secara berdampingan. 7. Pendelagasian wewenang, merupakan suatu bentuk partisipasi yang aktif di mana semua anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi, dan monitoring. 8. Pengawasan oleh komunitas, dalam bentuk ini sudah terbentuk independensi dari monitoring oleh komunitas lokal. 2.1.4 Hak Kepemilikan Sumberdaya Hak atas sumberdaya milik bersama memiliki beberapa tipe sebagaimana yang dibedakan oleh Ostrom and Schlager (1996) dalam Satria (2006) dan Ostorm dan Hess (2007) , antara lain: a. Access right, hak untuk akses, hak untuk dapat memasuki dan mengakses sumberdaya alam dan dapat menikmatinya tanpa mengurangi keuntungan bersama dari sumberdaya alam. b. Withdrawal right, hak untuk dapat menikmati hasil produk dari sumberdaya alam (hak menangkap). c. Management right, hak untuk mengelelola sumberdaya alam agar dapat dimanfaatkan hasilnya. d. Exclusion right, hak untuk memilih siapa saja yang dapat memiliki akses kepada sumberdaya alam dan bagaimana hak tersebut dapat dipindahtangankan. e. Alleniation Right, hak untuk menjual dan memberikan semua atau sebagian dari hak-hak kolektif di atas (hak pengalihan).
16
Apabila hak-hak tersebut di atas diasosiasikan dengan posisi kepemilikan sumberdaya alam, seperti yang dikemukakan oleh Ostorm (1990) dalam Satria (2006) maka akan tergambar seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Hak Kepemilikan Sumberdaya Alam Terhadap Posisi Owner (Pemilik)
Hak Kepemilikan Hak Akses Hak Menangkap Hak Mengelola Hak Eksklusi Hak Aleanasi
Properior
Claiment
Authorized User
Authorized entrant
Sumber: Ostorm (1990) dalam Satria (2006)
Pemegang hak kepemilikan atas sumberdaya alam baik pemilik hak sepenuhnya maupun tidak, dapat dikategorikan dalam lima tipe seperti ini: a. Owner, pemilik, yang memiliki hak kepemilikan yang kolektif untuk berpartisipasi dalam mengelola dan eksklusi dan juga memegang hak alenasi (hak menjual atau menyerahkan hak kepemilikan). b. Properior, pemilik yang memiliki hak pemilikan kolektif namun tidak memiliki hak alenasi. c. Claiment,
pemilik
yang
memiliki
hak
akses,
hak
menangkap
(memanfaatkan hasil sumberdaya alam), dan hak mengelola. d. Authorized user, pemilik yang hanya memiliki hak untuk akses dan hak memanfaatkan hasilnya. e. Authorized entrant, pemegang hak untuk akses pengoperasian produksi sumberdaya. Salah satu bentuk hak kepemilikan sumberdaya alam adalah hak kepemilikan komunal (Berkes (1989) dalam Adhuri (2004)). Hak kepemilikan ini memiliki peran penting dalam keseharian komunitas tersebut, antara lain: 1) Memastikan keamanan mata pencaharian, dengan memastikan setiap anggota dari komunitas dapat memenuhi kebutuhan dasar dengan memanfaatkan hak akses atas sumberdaya alam yang vital. 2) Resolusi konflik, Berkes percaya bahwa hak kepemilikan bersama (komunitas) membuktikan bahwa adanya mekanisme yang adil dalam pemanfaatan sumberdaya alam dapat meminimalisir kemungkinan perselisihan atau konflik.
17
3) Hak kepemilikan bersama mengikat para anggota komunitas menjadi satu unit yang kompak dan membentuk keanggotaan serta kontrol atas sumberdaya bersama untuk memfasilitasi kerja tim dan koorperasi. 4) Hak kepemilikan bersama bersifat konservasionis karena biasanya berdasarkan pada prinsip ambil sesuai kebutuhan. 5) Hak
kepemilikan
bersama
dikatakan
dapat
membantu
menjaga
keberlanjutan ekologi, dan dengan pengelolaan bersama ini sering kali menggabungkan praktek ritual yang disinkronisasikan dengan siklus alam. Ostrom et.al (1999) memaparkan mengenai tipe hak kepemilikan atas sumberdaya bersama. Tabel 3. Hak Kepemilikan dan Karakteristiknya Hak Kepemilikan Open access (akses terbuka)
Karakteristik Tidak ada yang memegang hak kepemilikan pada tipe kepemilikan ini
Kepemilikan kelompok
Hak kepemilikan sumberdaya dipegang oleh sekelompok penguna yang dapat mengeksklusi orang lain.
Kepemilikan pribadi
Hak kepemilikan sumberdaya dipegang oleh individu atau perusahaan yang dapat mengeksklusi orang lain.
Kepemilikan pemerintah
Hak kepemilikan sumberdaya dipegang oleh pemerintah yang dapat mengeksklusi pihak lain.
Sumber: Ostorm et.al (1999)
2.1.4 Pelabelan Ramah Lingkungan (Ecolabelling) Berikut merupakan beberapa definisi mengenai ecolabelling (PRL) oleh berbagai ahli, antara lain: 1. PRL oleh Gardiner dan Visnawathan (2004) diartikan sebagai penyedia informasi bagi konsumen dengan memberi kesempatan kepada konsumen untuk menunjukkan perhatiannya terhadap ekologi maupun lingkungan melalui produk yang mereka pilih. 2. Nunes dan Riyanto (2005) menyebutkan bahwa PRL mengarah kepada skema kebijakan yang dikarakterisasi oleh evaluasi suatu produk, atau karakteristik produk. Hal ini berlawanan dengan menspesifikasi produk secara khusus. Intinya untuk mengukur dan mengemukakan
18
secara detail nilai sosial, ekologi, dan ekonomi yang menjadi atribut dari produk tersebut. 3. FAO (2007) mendefinisikan PRL sebagai pemberian label pada produk dengan sukarela guna menyampaikan informasi produk kepada konsumen untuk menciptakan insentif berbasis pasar demi pengelolaan perikanan yang lebih baik. 4. European Council (2002) dalam Mungkung et.al (2006) menyatakan bahwa PRL merupakan sebuah pendekatan, digunakan secara luas dalam mengindustrialisasikan negara-negara sebagai jalan untuk mempromosikan produk yang berkelanjutan dengan cara yang saling melengkapi, yakni dengan meyediakan informasi bagi konsumen untuk memudahkan mereka memilih produk yang lebih ramah lingkungan atau dengan menggunakan “brenchmarking” untuk meningkatkan pengembangan produk. 5. Dalam buku Seafood Ecolabelling: Principles and Practise, Ward dan Phillpis (2009) menyatakan PRL merupakan sistem yang dibentuk berdasarkan insentif dari mekanisme pasar untuk mendorong produk yang memberitahukan bahwa diproduksi dengan memperhatikan keberlanjutan ekologi. Gambar 1 menggambarkan apa yang disebutkan oleh Ward dan Phillps (2009) mengenai sistem insentif pasar dan beberapa elemen pendukungnya PRL ini sebenarnya adalah hanya sebuah tanda, logo, label, atau sebuah pengesahan produk perikanan yang dimaksudkan untuk menyatakan secara tidak langsung kepada konsumen bahwa produk yang mereka beli adalah produk yang telah diproduksi melalui prosedur keberlanjutan ekologi, dan bersumber dari sumberdaya alam yang dikelola dengan baik. Gambar 2 merupakan contoh PRL yang beredar di dunia.
19
Credibillity anAAppealappeal Product
Consumer
endorsement Consumer preference
standard verification
Producer
Improved ecological sustainability
Environmental Regulations, Policies, plans and strategies; principles and guidelines; practice; customary producers
Gambar 1 Insentif Pasar untuk Mendukung Praktik Lingkungan dan Keberlanjutan dalam Penangkapan dan Produksi Hasil Perikanan (Ward dan Philips, 2009)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa PRL ditelurkan dari didirikannya Marine Stewardship Council (MSC) yang diinisiasi oleh Unilever dan WWF pada tahun 1997. Sejarah inisiasi PRL pada sub-bab ini akan dilihat dari kedua aktor besar yang berperan. Pertama, berlandaskan pada Unilever’s Fish Sustainibility Initiative (2003). Unilever, berdasar pada data-data yang didapat dari FAO melihat perikanan global mulai menghadapi ancaman yang memiliki implikasi sosial. Satu miliar orang di Asia dan Afrika yang menggantungkan hidupnya pada sumber protein ikan akan menghilang. Teknik penangkapan ikan dan penurunan stok perikanan membuat konservasi menjadi suatu kebutuhan. Pada 2002, dalam World Summit on Sustainable Development para pemerintah setuju bahwa stok ikan perlu diperbaharui demi terjaganya stok ikan pada tahun 2015. Di dalam FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (1995) dinyatakan: “Fisheries, including aquaculture, provide a vital source of food, employement, recreation, trade, and economic well-being for people throughout the world, both of present and future generations and should therefore be conducted in a responsible manner. FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries sets out principles and international standards of behavior for responsible
20
practices with a view to ensuring the effective conservation, management, and development of living aquatic resources, with due respect for the ecosystem and biodiversity”
Gambar 2. Contoh Label Ramah Lingkungan (PRL)
WWF untuk mencapai tujuannya membuat perikanan berkelanjutan dengan membuat sarana dan insentif untuk perikanan yang dikelola dengan baik dengan menggandeng partner baik dari organisasi pemerintahan maupun nonpemerintah, industri, dan masyarakat pesisir. Merujuk kepada Gardiner dan Visnawathan (2004) PRL memiliki tiga skema yang secara garis besar mengklasifikasikan PRL dalam tiga kategori. Adapun kategori tersebut, antara lain: 1. Skema PRL jenis pertama atau biasa disebut self declaration. Skema ini diterapkan oleh perusahaan berdasarkan pada standar produk yang mereka produksi sendiri. Biasanya diinformasikan melalui media periklanan. 2. Skema PRL jenis kedua. Skema ini diterapkan oleh asosiasi industri untuk konsumen mereka. Para anggota asosiasi ini menetapkan kriteria sertifikasi sendiri, atau terkadang dibantu oleh ahli dari luar asosiasi mereka, seperti akademisi maupun organisasi lingkungan. 3. Skema PRL jenis ketiga. Skema ini diterapkan oleh inisiator (publik maupun swasta) yang bebas dari produsen, distributor, maupun pedagang dari produk tersebut. Produk yang disuplai oleh organisasi
21
atau
sumbernya
disertifikasi
untuk
menginformasikan
kepada
konsumen bahwa produk ini ramah lingkungan. Skema ini bertipikal sama dengan lisensi. Forsyth (2008) menyatakan bahwa apabila berbicara mengenai lingkungan, kerusakan lingkungan, ataupun ekologi akan terkait dengan kebijakan yang telah ada dan kebijakan yang akan dibuat. Penetapan kebijakan dan pelaksanaannya tidak terlepas dari unsur politik, sehingga menganalisis kejadian serta peristiwa alam yang terjadi dapat dengan baik dijelaskan dalam kerangka ekologi politik. Adapun dampak dari kekurangan dan kelebihan pelaksanaan program PRL perikanan ini bagi nelayan terutama nelayan skala kecil yang banyak terdapat di NSB seperti yang terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kelebihan dan Kekurangan PRL Berdasarkan Aktor Aktor Negara Skala Besar (NSB)
Nelayan Skala Kecil (NSK)
Kelangsungan Kelestarian Alam
Ekolabeling
Kelebihan
Kekurangan
Mengurangi jatah tangkap ikan NSBs sehingga permintaan akan produk ini yang tinggi tidak dapat dipenuhi semua (memebuat harga ikan bersertifikasi lebih tinggi di pasar) PRL perikanan berbiaya tinggi sehingga NSK tidak dapat memenuhinya PRL merupakan instrumen pasar internasional sehingga mempengaruhi praktek ekspor impor (negara sedang berkembang akan ter-drive oleh negara maju) Perikanan dikelola secara Belum ada hasil signifikan baik, dapat merekoveri bahwa PRL ini stok ikan lebih cepat meningkatkan stok ikan Mewujudkan praktek Hanya berfokus pada hasil perikanan yang tapi tidak memperhatikan berkelanjutan. system pengelolaan yang digunakan
Produk yang telah bersertifikasi memiliki harga yang tinggi di pasar Mewujudkan praktek perikanan yang berkelanjutan Mewujudkan praktek perikanan yang berkelanjutan
Sumber: Gardiner dan Visnawathan (2004); Gudmusson dan Wessel (2000); Molyneaux (2008); Suwarsono (2006); Sainsbury (2010)
22
Bila dilihat dari sudut pandang nelayan skala kecil dan dari aspek sosial, ekonomi, dan politik, PRL memiliki dampak tersendiri, antara lain: 1. Biaya sertifikasi yang mahal membuat nelayan skala kecil tidak dapat mensertifikasikan produk perikanannya. Hal ini membuat produk perikanan ini tidak dapat memasuki perdagangan internasional, kerena tidak memenuhi persyaratan PRL (Gardiner dan Visnawathan 2004). 2. Bagi perikanan yang telah tersertifikasi pun tidak lepas dari permasalahan. Dari aspek politik, perikanan yang telah disertifikasi untuk memenuhi tuntutan pasar ekspor-impor ternyata memiliki implikasi adanya ketergantungan NSB kepada NM (Soewarsono, 2000). 2.1.4.1 Dampak Ekologi Penerapan Sertifikasi Ekolabeling Dampak diartikan sebagai adanya suatu benturan antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan pembangunan dengan kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkungan yang baik. Dampak yang diartikan dari benturan antara dua kepentingan itupun masih kurang tepat karena yang tercermin dari benturan tersebut hanyalah kegiatan yang menimbulkan dampak negatif (Kristanto, 2004). Pada penelitian ini, kepentingan yang menjadi fokus utama pertama, kepentingan nelayan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan kata lain sebagai kepentingan pembangunan (dapat diartikan sebagai kepentingan ekonomi, sosial, dan politik) dan kedua, kepentingan masyarakat nelayan dalam menjaga kelestarian laut (ekologis). PRL perikanan merupakan peristiwa masuknya instrumen pasar dalam menangani masalah ekologis. Dalam buku “Seafood Ecolabelling: Principles and Practise”, Ward dan Phillpis (2009) menyatakan PRL merupakan sistem yang dibentuk berdasarkan insentif dari mekanisme pasar untuk mendorong produk yang memberitahukan bahwa diproduksi dengan memperhatikan keberlanjutan ekologi. Berikut dampak ekologis yang terjadi akibat berlangsungnya praktek PRL perikanan: 1. Tidak diperbolehkannya perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap yang merusak (destructive fishing) seperti, bom ataupun zat kimia berbahaya (Sainsbury (2010) dan Gardiner dan Visnawathan (2004)). Sehingga wilayah perairan laut yang sebelumnya terkena
23
dampak negatif akibat penangkapan yang menggunakan bahan peledak dan zat berbahaya seperti potassium-sianida, khususnya terumbu karang, menjadi baik kembali. 2. Keterbatasan kelimpahan ikan (stok ikan) dapat mulai dikendalikan (Sainsbury (2010) dan Visnawathan (2004)). Dengan pengelolaan yang tepat dan penghitungan produktivitas ikan di perairan, permasalahan stok ikan yang mulai menipis dapat diatasi. Yang menjadi indikator dalam hal ini adalah jumlah stok ikan. 3. Penangkapan ikan yang memperhatikan keanekaragaman hayati ikan, maksudnya penangkapan dengan mempertimbangakan kelimpahan dan keberadaannya dalam rantai makanan (Sainsbury, 2010). Ikan langka dan hampir punah tidak akan ditangkap untuk diperjualbelikan disini. Sehingga rantai makanan ekosistem ikan di laut tidak terganggu. 4. Dengan tidak digunakannya zat-zat kimia berbahaya dalam sistem penangkapan ikan, membuat masayarakat pesisir di sekitar pantai berkurang kemungkinan terkontaminasi zat berbahaya. 2.1.4.2 Dampak Sosial Ekonomi Penerapan PRL PRL perikanan sebenarnya bermuara pada perikanan berkelanjutan. Menurut Eyjólfur Gudmundsson dan Cathy R. Wessells (2000) praktek perikanan berkelanjutan dapat dibuat perhitungan bio-ekonominya. Efektifitas label ramah lingkungan yang menunjukkan praktek perikanan berkelanjutan dibawah rezim open-access, limited access, dan pengelolaan perikanan yang optimal dengan produk PRL yang berharga bagus di pasar. Dalam pelaksanaannya perikanan berkelanjutan ini, mengundang pesimitis dari beberapa pihak, seperti dalam tulisan “Whose sustainability? Top–down participation and emergent rules in marine protected area management in Indonesia” oleh Galser et.al (2010) wilayah perlindungan laut (konservasi) untuk melindungi wilayah laut yang terkena dampak kelebihan penangkapan, atau tereksploitasi lebih. Wilayah konservasi biasanya ditentukan oleh pemerintah dengan disandarkan kepada peraturan IUCN mengenai perikanan yang diimplementasikan oleh pemerintah dalam UU No. 5 Tahun 1997. Praktek perikanan yang terjadi dengan adanya
24
peraturan yang top-down ini membuat gerah masyarakat nelayan. Hak-hak nelayan tereduksi oleh peraturan seperti ini. Dampak sosial ekonomi praktek PRL perikanan ini tidak bisa dipungkiri terjadi pada masyarakat nelayan. Di bawah ini beberapa butir dampak sosial ekonomi yang terjadi dalam praktek PRL. 1. Ada hak-hak nelayan yang tereduksi, karena hanya berfokus pada hasil tetapi tidak memperhatikan sistem pengelolaan yang digunakan (Molyneaux, 2008). 2. Sertifikasi perikanan dapat mendorong kesadaran dan peningkatan pemasaran produk perikanan, namun tidak untuk perikanan skala kecil. Biaya sertifikasi yang tinggi, dan ke-eksklusifan yang ditawarkan pemegang sertifikasi PRL membuat adanya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat nelayan (Schimidt 1998 dalam Gardiner dan Visnawathan 2004). Ditambahkan oleh Molyneaux (2008) skema ekolabeling yang dikendalikan oleh perusahaan tujuan akan berbalik arah sehingga tidak dapat dipercaya bahwa skema MSC ini dapat menguntungkan nelayan skala kecil. Ada pasar yang hanya membeli ikan yang bersertifikat, mengunci pada status ikan yang berkelanjutan dan potensial. Kembali lagi ini menguatkan bahwa PRL seakan menutup
akses
nelayan
kecil
untuk
memperdagangkan
hasil
tangkapannya di pasar Internasional. 3. Akan terjadi ketimpangan harga di pasar (Gudmusson dan Wessel 2000). Oleh karena harga ikan yang bersertifikasi dinilai lebih tinggi sehingga hasil tangkapan yang tidak bersertifikasi PRL lebih rendah di pasar. Hal ini membuat nelayan skala kecil mengalami kesulitan dalam ekonomi. 2.1.5 Perikanan Berkelanjutan Merujuk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup
25
generasi saat ini. Ditambahkan FAO dalam Sinclair dan Valdimarsson (2003) perikanan berkelanjutan semestinya dilihat secara pendekatan holistik dan integratif juga dengan partisipasi dari para pemangku kepentingan yang mengarah kepada dimensi pengelolaan yang terpusat. Berikut Galser et.al merumuskan beberapa instrumen yang seharusnya ada dalam praktek perikanan berkelanjutan:
1. Keadilan distributif; ini penting untuk memastikan siapa yang bertanggung jawab atas biaya dan yang memperoleh keuntungan dari wilayah konservasi. Baik keuntungan material maupun non-material.
2. Transparansi dan Representatif; pada tingkat lokal peraturan dan program ini dibangun, pemilihan pengurus, dan lainnya harus diurus secara inklusif dan menghindari marginalisasi. Seluruh pelaksanaan ini dilaksanakan secara transparan dan memilki unsur keterwakilan.
3. Budaya lokal; hal tabu maupun mitos di lingkungan sekitar wilayah konservasi harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memutuskan wilayah konservasi.
4. Partisipasi aktif; diperlukan peran aktif dari masyarakat pengguna sumberdaya dalam merumuskan implementasi wilayah konservasi.
5. Mengaitkan pengetahuan; baik itu pengetahuan lokal maupun pengetahuan modern dan pengetahuan lainnya disejajarkan dalam pertimbangan pengambilan keputusan agar tercipta peraturan yang tidak berat sebelah.
6. Peraturan Lokal; jangan abaikan peraturan lokal yang telah menjadi tradisi di wilayah tersebut. 2.2 Kerangka Pemikiran Timbul kesadaran akan rusaknya lingkungan di laut Les yang diakibatkan penggunaan bahan berbahaya dalam menangkap ikan (destructive fishing) serta penangkapan ikan berlebih (over-exploitation fishing). Hal ini kemudian mengawali pergerakan perikanan ramah lingkungan yang dilakukan oleh kelompok nelayan ikan hias dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, yakni Yayasan Bahtera Nusantara yang juga dibantu oleh Telapak Indonesia. Gerakan pelestarian yang dilakukan dimulai dengan merubah cara pandang nelayan, kemudian diikuti dengan memutuskan solusi yang tepat untuk kebaikan bersama. Gerakan ini mengubah cara tangkap ikan hias yang dari
26
menggunakan potassium-sianida menjadi menggunakan jaring, dari pola tangkap mengambil sebanyak-banyaknya ikan menjadi berpola mengikuti order, juga termasuk memberi pelatihan penyelaman untuk menangkap ikan yang hidup lebih dari 15 meter di bawah permukaan laut. Setelah gerakan perikanan ramah lingkungan berjalan beberapa waktu, kemudian Marine Aquarium Council melakukan PRL (ecolabelling) terhadap pemangku kepentingan rantai pasar dari ikan hias. Munculnya program PRL ini kemudian menimbulkan dampak, baik dari sisi sosial dan ekonomi masyarakat nelayan dan ekologis lingkungan (terutama laut). Perubahan pendapatan, perubahan kondisi tempat tinggal, ragam sumber pandapatan, serta kepemilikan alat tangkap menjadi tolak ukur ekonomi nelayan. Sedangkan dari sisi sosial, kekuatan jejaring sosial (networking), stratifikasi masyarakat nelayan, sebaran wilayah tangkap, dan tingkat kepuasan kerja oleh nelayan menjadi parameternya. Sementara luas tutupan karang dan keberanekaragaman ikan hias di laut Les menjadi alat ukur akibat yang dihasilkan dari PRL ini. 2.1 Hipotesis Penelitian 1) Terdapat
hubungan
perubahan
pola
kehidupan
sosio-ekonomi
masyarakat nelayan ikan hias akibat pelaksanaan PRL. Perubahan sosial yang terjadi memiliki hubungan: Responden yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung memiliki keikutsertaan yang tinggi dalam kelompok. Responden yang memiliki tingkat pengalaman kerja yang tinggi maka cenderung memiliki tingkat keikutsertaan yang tinggi. Responden dengan tingkat pengalaman yang tinggi
maka
cenderung memiliki tingkat pendapatan tinggi. Responden yang memiliki tingkat pengalaman kerja yang tinggi maka cenderung memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. 2) Terdapat perubahan ekologi perairan Les akibat pelaksanaan PRL. 3) Terdapat
perubahan
pelaksanaan
pelakaksanaan sertifikasi PRL.
perikanan
ikan
hias
setelah
27
Kerusakan Lingkungan (Laut)
LSM
Nelayan Ikan Hias Gerakan Perikanan Ramah Lingkungan Lembaga sertifikasi Sertifikasi Ekolabeling
Dampak Sosial: Jaringan sosial Tingkat keikutsertaan dalam kelompok Stratifikasi masyarakat nelayan
Karakteristik Nelayan: Umur Tingkat pendidikan Tingkat pengalaman Tingkat pengetahuan tentang perikanan yang ramah lingkungan
Dampak Ekonomi: Tingkat pendapatan Ragam sumber pendapatan Persaingan wilayah tangkap Kondisi tempat tinggal
Dampak Ekologi: Luas tutupan Karang Keberanekaragaman ikan hias
Keterangan: Hubungan Pengaruh Stakeholder yang berperan dalam kegiatan Hubungan peristiwa
Gambar 3. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian Sertifikasi Ekolabeling Dan Dampaknya Terhadap Nelayan Ikan Hias
28
2.2 Definisi Konseptual 1.
Kerusakan lingkungan di laut merupakan akibat dari aktivitas perikanan yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan alat atau bahan yang merusak, dapat berupa rusaknya terumbu karang.
2.
Perikanan ramah lingkungan merupakan aktivitas perikanan yang menerapkan prinsip tidak merusak lingkungan yang dalam penerapannya perikanan ini tidak menggunakan alat-alat atau bahan yang merusak (destructive fishing). PRL perikanan merupakan sistem penangkapan ikan yang memiliki sertifikasi ramah lingkungan yang diakui di dunia, sehingga produk perikanan ini dapat menembus pasar internasional untuk diperdagangkan.
3.
Dampak sosial merupakan akibat yang terjadi pada masyarakat dalam bentuk hubungan-hubungan sosial yang terjadi karena dilaksanaannya program PRL perikanan ini.
4.
Jaringan sosial (social networking) adalah bentuk hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain antar pemangku kepentingan dalam memenuhi kebutuhan masing–masing pihak.
5.
Stratifikasi sosial adalah pergeseran verikal status dan peran dalam pekerjaan, dapat naik atau pun turun.
6.
Dampak ekonomi merupakan akibat yang terjadi dalam masyarakat nelayan yang berhubungan dengan ekonomi karena dilaksanakannya PRL perikanan ini.
7.
Ragam sumber pendapatan maksudnya adalah berbagai bidang pekerjaan lain selain pekerjaan utama responden yang turut menyumbang pemasukan pendapatan keluarga responden.
8.
Strategi nafkah nelayan merupakan aktivitas yang dilakukan nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
9.
Sumber pendapatan merupakan sumber penghasilan nelayan baik dari hasil menangkap ikan maupun dari hasil pekerjaan lainnya.
2.3 Definisi Operasional 1.
Karakteristik nelayan adalah ciri-ciri yang melekat pada individu nelayan meliputi umur, tingkat pengalaman menekuni pekerjaan, tingkat
29
pendidikan,
dan
pengetahuan
mengenai perikanan
yang ramah
lingkungan. a. Umur adalah usia responden pada tahun dilaksanakannya penelitian. Namun, dibagi kedalam tiga kategori oleh Havighurts dan Acherman dalam Sugiyah (2008): i. Muda (18-30 tahun) ii. Dewasa (31-50 tahun) iii.Tua (50 tahun) b. Pendidikan adalah jenjang atau tingkat pendidikan formal yang telah ditempuh oleh individu pada saat penelitian ini berlangsung, yang dibedakan sebagai berikut: i. Rendah (tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tidak sekolah) ii. Sedang (tamat SMP/sederajat) iii.Tinggi (Tamat SMA/sederajat) c. Tingkat pengalaman menekuni pekerjaan diukur dari selang waktu yang telah ditempuh oleh individu dengan pekerjaan utama sebagai nelayan ikan hias, dihitung dalam satuan waktu tahun. Oleh karena praktek perikanan ikan hias berjalan sejak tahuan 1986 dan dihitung pada tahun 2011, maka selang periodenya adalah 25 tahun. Sehingga, range yang digunakan adalah: i.
Rendah (0-5 tahun)
ii.
Sedang (5-15 tahun)
iii. Tinggi (diatas 15 tahun) d. Pengetahuan mengenai perikanan yang ramah lingkungan adalah kumpulan pengetahuan yang dimiliki nelayan dalam bidang dan praktek perikanan yang ramah lingkungan. i. Rendah (jika jawaban kurang benar) ii. Sedang (jika jawaban benar tetapi kurang menyakinkan) iii. Tinggi (jika jawaban mendekati benar) 2.
Tingkat pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh oleh responden secara keseluruhan (tidak hanya dari hasil bekerja sebagai nelayan ikan hias) dalam satuan waktu bulan.
30
i.
Rendah (jika penghasilan individu dibawah penghasilan rata-rata keseluruhan responden)
ii.
Sedang
(jika
penghasilan
individu
berada
ditengah
pengahasilan rata-rata keseluruhan responden) iii.
Tinggi (jika penghasilan individu berada diatas penghasilan rata-rata keseluruhan responden)
3.
Tingkat keikutsertaan dalam kelompok adalah seberapa banyak kehadiran individu dalam acara atau pertemuan-pertemuan rutin kelompok nelayan ikan hias dalam satu tahun. Oleh karena pertemuan rutin diadakan setiap bulan hitungan kalender Bali, yakni setiap 35 hari yang bertepatan dengan upacara agama Hindu, tumpek, maka satuan yang digunakan adalah berapa kali pertemuan. Satu tahun berarti berkisar ada 10 kali pertemuan. i.
Rendah (jika kehadiran individu kurang dari 5 kali dalam kurun waktu satu tahun)
ii.
Sedang (jika kehadiran individu antara 5 sampai 8 kali dalam kurun waktu satu tahun)
iii.
Tinggi (jika kehadiran individu lebih dari 8 kali dalam kurun waktu satu tahun)