PENGATURAN MERGER PERSEROAN TERBATAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGATURAN FUNGSI PERPAJAKAN DI INDONESIA oleh : HENRY DIANTO PARDAMEAN SINAGA NIM : 20072005053 ABSTRAK Krisis keuangan pada Juni 1997 mengakibatkan perubahan ekonomi di Indonesia sehingga memaksa Pemerintah, Ekonom, dan Pelaku Bisnis menyepakati solusi yang terbaik agar keluar dari krisis tersebut adalah dengan melakukan merger pada perseroan terbatas. Pengaturan merger secara yuridis tertuang dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam bidang perpajakan di Indonesia, peraturan dan ketentuan perpajakan yang berhubungan dengan merger mutlak diperlukan. Dengan adanya ketentuan-ketentuan diatas diharapkan dapat menjelaskan permasalahan yang berhubungan dengan sesuai tidaknya pengaturan merger perseroan terbatas dengan pengaturan fungsi perpajakan, potensi-potensi pajak apa saja yang dapat digali dari merger perseroan terbatas , dan bagaimana pertanggungjawaban perseroan yang baru dalam bidang perpajakan setelah terjadi merger perseroan di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif yang bersifat eksplanatoris dengan pendekatan perundangundangan, konseptual, analitis, dan perbandingan. Penelitian hukum dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan tentang merger perseroan telah sesuai dengan fungsi fungsi perpajakan yang terwujud dalam fungsi mengisi kas negara, fungsi mengatur, fungsi demokrasi, dan fungsi redistribusi dengan potensi pajak yang dapat dihitung dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB). Sedangkan dalam hal pertanggungjawaban perseroan yang baru dalam bidang perpajakan disandang dengan status sebagai Wajib Pajak Badan dimana Wajib Pajak yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya dikenakan sanksi perpajakan berupa sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Khusus dalam tindak pidana perpajakan, Perseroan bertanggung jawab pada pembayaran pajak serta denda, sedangkan tanggung jawab para organ-organ Perseroan dapat ditingkatkan sampai ke penjara. Tesis ini diharapkan dapat menjadi panduan merger perseroan terbatas dalam memaksimalkan laba yang otomatis juga dapat meningkatkan penerimaan pajak bagi negara. Sehingga dapat tercipta penataan yang harmonis terhadap legal substance,
2
didukung oleh profesionalisme dari legal structure dan legal culture yang diwujudkan dalam pelayanan satu atap dari berbagai kepentingan instansi-instansi pemerintah yang terkait. Kata kunci : merger, perseroan terbatas, fungsi-fungsi pajak, wajib pajak, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
A. Latar Belakang Berawal dari bulan Juni 1997 dimana nilai tukar mata uang baht Thailand terdevaluasi, kepanikan dan gejolak krisis keuangan terasa menghantam negaranegara di kawasan Asia bahkan melanda Indonesia dimana terjadi ketidakstabilan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Ameriksa Serikat. Krisis ini mengakibatkan banyak perusahaan mengalami kesulitan likuiditas dan finansial yang luar biasa sehingga menyebabkan kinerja usahanya belum stabil. Banyak perusahaan swasta maupun BUMN menjadi kurang mampu dalam memaksimalkan laba yang diperoleh sehingga untuk menjaga kelangsungan usahanya perlu dilakukan efisiensi. Efisiensi ini menimbulkan isu perlunya restrukturisasi perusahaan yang puncaknya terus bergulir semenjak krisis keuangan tahun 1997 dimana yang menjadi prioritas awal pemerintah ada pada perusahaan perbankan pemerintah karena industri perbankan nasional - lah yang paling rentan dan berpengaruh langsung kepada masyarakat, dimana Indonesia pernah mengalami krisis perbankan nasional. Krisis perbankan telah mempengaruhi bangsa dan akhirnya menimbulkan krisis politik nasional. Akibat krisis keuangan dan perbankan ini, pemerintah secara resmi melikuidasi 16 bank swasta nasional dan merestrukturisasi 36 bank (melalui program rekapitalisasi pada bulan Maret 1999 terhadap 9 bank swasta nasional dan
3
27 bank pembangunan daerah) sesuai dengan Surat Menteri Keuangan RI No. Peng86/MK/1997 tentang Pencabutan Izin Usaha Bank Umum.1 Merangkum pendapat dari para ekonomi, parahnya perekonomian Indonesia akibat krisis moneter disebabkan oleh berbagai faktor, yang antara lain adalah labilnya pondasi struktur perbankan dan lembaga keuangan nasional, pengusaha atau pelaku bisnis nasional terlalu ambisius di dalam expantie dengan mengandalkan pada pinjaman luar negeri dan pengelolaan pinjaman yang mismatch artinya proyek jangka panjang dibiayai dengan pinjaman jangka pendek. Kondisi ini makin diperkeruh lagi dengan lemahnya good governance dan accountability di dalam lingkungan dunia usaha (business environment).2 Kondisi-kondisi ini membuat struktur neraca dan laporan laba-rugi perusahaan-perusahaan nasional menjadi tidak sehat karena meningkatnya secara tajam kewajiban dalam rupiah dan sebaliknya posisi aktiva perusahaan anjlok sehingga modal perusahaan menjadi negatif. Akibatnya timbul kredit macet yang akhirnya menghantam sektor riil, terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran, meningkatnya tingkat kemiskinan, menurunnya kualitas kehidupan masyarakat secara umum, dan timbulnya masalah sosial lainnya. Pengaruh perubahan perekonomian yang terjadi dewasa ini sebagai dampak dari arus globalisasi sehingga menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut diatas mendorong Pemerintah, Ekonom, dan Pelaku Bisnis untuk mencari jalan keluar untuk membantu perusahaan-perusahaan agar keluar dari kesulitan ini. Solusi yang terbaik yang telah disepakati adalah dengan membuat program reformasi ekonomi dimana salah satunya dengan melakukan restrukturisasi perusahaan (corporate restructuring).3 Sejarah hukum tentang merger perseroan terbatas tidak bisa terlepas dari sejarah hukum restrukturisasi (penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan) 1
Agus Budianto, Merger Bank di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, Cetakan pertama, 2004, hlm. 58-62. 2 John Hutagaol, Kapita Selekta Akuntansi Pajak, Penerbit Kharisma, Jakarta, Cetakan pertama, 2003, hlm. 3. 3 Ibid., hlm. 4.
4
perseroan terbatas di Indonesia yang masih terbilang baru, dimana tonggak sejarahnya dalam tingkat undang-undang baru dimulai sejak dikeluarkannya UndangUndang (UU) No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tanggal 07 Maret 1995 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tanggal 16 Agustus 2007 (UUPT 2007) dan Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebelum berlakunya Undang-undang tersebut diatas, pengaturan tentang restrukturisasi perusahaan masih di tingkat di bawah undang-undang dan bersifat sektoral. Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 disebutkan bahwa bentuk-bentuk restrukturisasi perusahaan menggunakan istilah-istilah ”Penggabungan” untuk merger, ”Peleburan” untuk konsolidasi, ”Pengambilalihan” untuk akuisisi, dan ” Pemisahan” untuk Split – offs. Disamping itu, untuk mengejawantahkan UU No. 40 Tahun 2007, antara lain diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas tanggal 24 Pebruari 1998, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat (khususnya di Pasal 28 dan Pasal 29), dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank tanggal 07 Mei 1999. Sejalan dengan UU No. 40 Tahun 2007, ketentuan mengenai restrukturisasi perusahaan pada peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia tertuang dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa pada dasarnya setiap pengalihan harta nilai perolehan atau penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau akuisisi usaha harus dinilai dengan harga pasar kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Informasi mengenai peraturan dan ketentuan perpajakan Indonesia yang berlaku dan berkaitan dengan restrukturisasi perusahaan mutlak diperlukan guna memberi memberikan kemudahan dan panduan kepada Wajib Pajak. Peraturan dan
5
ketentuan perpajakan mengenai restrukturisasi perusahaan antara lain tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-18/PJ.31/1992 tanggal 10 September 1992, Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-23/PJ.42/1999 tanggal 27 Mei 1999 tentang Buku Panduan tentang Perlakuan Perpajakan atas Restrukturisasi Perusahaan, Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.03/2008 tanggal 13 Maret 2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha, Peraturan Dirjen Pajak No. PER-28/PJ./2008 tanggal 19 Juni 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha, dan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-45/PJ/2008 tanggal 28 Agustus 2008 tentang Penyampaian
dan
Pemonitoran
Pelaksanaan
Peraturan
Menteri
Keuangan
No.43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah pengaturan merger perseroan terbatas sesuai dengan pengaturan fungsi perpajakan di Indonesia? 2. Potensi-potensi pajak apa saja yang dapat digali dari merger perseroan terbatas di Indonesia ? 3. Bagaimana pertanggungjawaban perseroan yang baru dalam bidang perpajakan setelah terjadi merger perseroan ? C. Kerangka Teori Negara merupakan konstruksi yang diciptakan oleh umat manusia (human creation) tentang pola hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi kepentingan dan mencapai
6
tujuan bersama.4
Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan menjaga
kepentingan rakyatnya sehingga sebagai organisasi kekuasaan yang serba meliputi dan berdaulat penuh dalam suatu wilayah, negara harus memiliki karakteristik hukum modern yang tersusun sistematis dan rasional. Weber menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konsep hukum yang rasional adalah yang menunjukkan ciri-ciri:5 a. Aturan-aturan hukum memiliki suatu kualitas ”normatif” yang umum dan kurang lebih abstrak. b. Hukum modern adalah hukum ”positif”, hasil keputusan-keputusan yang diambil secara sadar. c. Hukum modern diperkuat oleh ”kekuasaan” yang memaksa dari negara dalam bentuk sanksi yang diberikan dengan sengaja yang dikaitkan dengan aturanaturan hukum dan yang dapat diberlakukan melalui pengadilan jika terjadi pelanggaran. d. Hukum modern adalah ”sistematis”. Aturan, prinsip dan doktrin yang berbeda-beda, serta bagian-bagian hukum prosedural dan hukum materialnya yang bermacam-macam berkaitan satu sama lain sehingga merupakan suatu sistem pemikiran normatif yang logis konsisten dan rasional, dan semua problem praktis yang bersifat hukum, pada prinsipnya dapat dipecahkan menurut hukum e. Hukum modern adalah ”sekuler”. Artinya, substansinya sama sekali terpisah dari pertimbangan-pertimbangan keagamaan dan etis, kesahihannya tidak lagi tergantung dari kebenaran moralnya, dan prosedur-prosedurnya dibebaskan dari arti-arti magis dan telah menjadi upaya-upaya rasional untuk mencapai maksud-maksud rasional, manusiawi.
4
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 13. 5 Max Weber dalam Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Cetakan Kedua, Surakarta, 2004, hlm. 87,88.
7
Kelahiran negara hukum modern pada dasarnya didorong oleh suatu kebutuhan objektif tertentu. Foucault mengkarakteristikkan bentuk kekuasaan sosial tersebut dengan cara berikut :6 1. Kekuasaan Yuridis (Teori Negara) didasarkan pada teori kedaulatan, yakni kekuasaan sebagai suatu hak yang dikuasai atau dipertukarkan adalah suatu kekuasaan ”zero-sum”. Artinya, terorganisir secara sentral dan diterapkan dari atas ke bawah; membedakan antara penerapan kekuasaan yang sah dengan yang tidak sah; didasarkan pada suatu wacana hak, kepatuhan, dan norma. 2. Kekuasaan disipliner tidak memiliki pusat; diterapkan diseluruh masyarakat; terfragmentasi; diterapkan dari bawah keatas; menyusun target-targetnya sendiri sebagai sarana penerapannya. Dalam menjalankan kelangsungan hidup rakyatnya khususnya kelangsungan hidup aparatur negara, aparatur pemerintah, administrasi negara, lembaga negara, pembuatan dan pemeliharaan sarana dan
prasarana negara, dan lain-lain, suatu
negara memerlukan penghasilan yang didapat dari rakyatnya sendiri ataupun dari warga negara asing dimana sumber penghasilan tersebut dapat berasal dari pajak dan atau dari hasil pengelolaan kekayaan alam yang ada dalam negara tersebut. Sebagai suatu negara hukum (rechtsstaat) yang berdaulat, pemungutan pajak harus mempunyai falsafah agar memenuhi unsur keadilan dan mempunyai kepastian hukum bagi negara dan rakyat sehingga dapat diterima dengan baik oleh setiap warga negara. Mengingat falsafah pajak harus memenuhi unsur keadilan dan mempunyai kepastian hukum bagi negara dan rakyat sehingga dapat diterima dengan baik oleh setiap warga negara, maka penting untuk menggunakan teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham (1748-1832) dan didukung dengan teori keadilan dari John Rawls dalam pembuatan setiap undang-undang yang berkaitan dengan pemungutan pajak. 6
Foucoult dalam Khudzaifah Dimyati, Ibid., hlm. 90,91.
8
Teori Utilitarianisme dari Jeremy Bentham berpandangan bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan jaminan kebahagiaan pada individu-individu. Pandangan ini dimulai dengan menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya ditempatkan
di
bawah
pemerintahan
2
(dua)
penguasa
yang
berdaulat:
ketidaksenangan dan kesenangan. Sesuai dengan kodratnya, manusia selalu berusaha menghindari ketidaksenangan dan berusaha mencari kesenangan. Karena kodratnya yang selalu terarah kepada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaan untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Dengan demikian, Bentham sampai pada the principle of utility yang melahirkan teori utilitarianisme yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. 7 Sejalan dengan teori utilitarianisme ini, negara sebagai otoritas dalam hal pemungutan pajak harus dapat memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi setiap warga negaranya sebagaimana telah dikemukakan oleh John Rawls dalam teori keadilan - nya yang menyatakan bahwa hukum harus: pertama, harus memberikan setiap orang hak atas kebebasan sama besarnya dengan kebebasan orang lain, sehingga keuntungan masyarakat dibagi rata di antara anggota masyarakat yang sama; kedua, jika terdapat situsi ketidaksamaan, maka hukum harus memberikan keuntungan kepada “golongan masyarakat paling kurang beruntung”, sehingga terwujud keseimbangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Falsafah pajak yang dianut Indonesia hampir identik dengan falsafah beberapa negara maju. Falsafah pajak Indonesia berdasarkan falsafah negara yaitu Pancasila yang dasar pungutannya tercantum dalam Pasal 23A Amandemen keempat Undangundang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Sedangkan falsafah pajak di Inggris menyatakan “No taxation without representation” dan di 7
Jeremy Bentham dalam Muhammad Erwin dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum: Mencari Hakikat Hukum, Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 2008, hlm. 41, 42.
9
Amerika Serikat falsafah pajaknya menyatakan “Taxation without representation is robbery”. Untuk mengevaluasi bagus tidaknya suatu sistem perpajakan di suatu negara diperlukan beberapa kriteria. Pada umumnya banyak negara seperti Amerika Serikat maupun Indonesia menerima 4 (empat) kriteria dasar yang dikemukakan Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations dalam mengidentifikasi standar perpajakan tersebut. Adapun keempat persyaratan tersebut adalah:8 1. Kesamaan Hak (Equality and Fairness) Pajak yang dipungut harus memenuhi unsur keadilan dan proporsional berdasarkan kemampuan untuk membayar (ability to pay) sesuai dengan tingkatan jumlah penghasilan dari si pembayar tersebut. 2. Kepastian (Certainty) Pajak harus mempunyai kepastian hukum dimana para pembayar pajak tersebut harus mengetahui kapan, bagaimana, dan berapa jumlah pajak yang harus dibayar. 3. Ketepatan Pemungutan (Convenience in Payment) Pajak harus dipungut pada waktu yang tepat dimana saat mempunyai uang dan atau saat penghasilan tersebut diterima. 4. Nilai Ekonomis (Economy) Pajak harus menekan biaya administrasi seminimum mungkin sehingga jumlah yang diterima negara dapat semaksimal mungkin. Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, pajak-pajak yang disetor perseroan-perseroan yang ada di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan negara. Pajak diharapkan dapat memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya umumnya bagi negara dan khususnya bagi perseroan itu sendiri. Memang harapan perseroan akan menerima langsung kemanfaatan sebesar-besarnya atas pembayaran pajak yang telah dilakukan tidak dapat dipaksakan. Hal ini telah 8
Kevin E. Murphy & Mark Higgins, Concepts in Federal Taxation, South - Western College Publishing, Amerika Serikat, 2002, hlm. 4-6.
10
dibatasi dari defenisi pajak yang tertuang dalam UU No. 28 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemanfaatan dan penggunaan pajak adalah hak mutlak negara sebagaimana dikaitkan dengan teori kedaulatan negara. Akan tetapi negara sebagai otoritas tertinggi dalam pemungutan pajak harus dapat memberikan rasa keadilan bagi setiap warga negaranya sebagaimana telah dikemukakan dalam teori keadilan oleh John Rawls dan teori gaya pikul. Pajak sebagai otoritas negara harus sejalan dengan Pasal 23A Amandemen keempat UUD 1945 dimana pajak harus dapat memberikan setiap orang hak atas kebebasan sama besarnya dengan kebebasan orang lain, sehingga keuntungan masyarakat dibagi rata di antara anggota masyarakat yang sama dan bilamana terdapat situsi ketidaksamaan, maka negara yang harus memberikan keuntungan kepada “golongan masyarakat paling kurang beruntung”, sehingga terwujud keseimbangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Selain itu setiap jenis pajak yang dipungut oleh negara harus dapat memenuhi Unsur Obyektif
berupa besarnya
penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dan Unsur Subyektif berupa besarnya pengeluaran yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak. Dengan adanya teori kemanfaatan, teori kedaulatan negara, teori keadilan, dan teori gaya pikul sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka didapat keterkaitan satu sama lain yang terwujud dalam 4 (empat) fungsi pajak. Adapun keempat fungsi pajak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 9 1. Fungsi Budgeter Fungsi Budgeter berdasarkan terminologi bahasa Inggris berasal dari kata budget yang berarti “a sum of money allocated to a particular purpose or 9
Wirawan B. Ilyas, op. cit., hlm. 12,13.
11
project”10. Dikaitkan dengan bidang perpajakan fungsi budgeter ini merupakan fungsi yang terletak di sektor publik, dimana pajak dikumpulkan sebanyak-banyaknya oleh negara sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dan bilamana terdapat surplus akan digunakan sebagai tabungan dan atau investasi pemerintah. 2. Fungsi Regulerend Merupakan fungsi regulation yang secara harfiah dapat dimaknakan sebagai “the act or process of controlling by rule or restriction”11. Artinya negara menggunakan pajak sebagai sarana atau alat untuk mengatur masyarakat dalam bidang-bidang tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan.
Menurut Soemitro
Djojohadikusumo, fungsi ini identik dengan fiscal policy yaitu sebagai suatu alat pembangunan yang harus mempunyai satu tujuan yang bersamaan secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk public investment dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving ke arah sektor-sektor yang produktif, maupun digunakan untuk mencegah pengeluaran-pengeluaran yang menghambat pembangunan. 3. Fungsi Demokrasi Fungsi ini merupakan satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi ini dikaitkan dengan hak seseorang akan memperoleh pelayanan dari pemerintah. Apabila seseorang telah melakukan kewajibannya kepada negara, maka ia juga mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah. 4. Fungsi Redistribusi
10 11
Bryan A. Gardner, Black’s Law Dictionary, Thomson West, St. Paul, Eigth Edition, 2004, hlm 207. Ibid., hlm 1311.
12
Kata redistribusi yang dalam bahasa Inggris berasal dari kata redistribution yang berarti “the act or process of distributing something again or anew”12. Artinya, fungsi redistribusi ini merupakan fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari adanya tarif pajak yang progresif dimana pengenaan pajak lebih besar kepada masyarakat yang berpenghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang berpenghasilan lebih sedikit. Mengingat pajak Indonesia harus berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 diharapkan dapat lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di bidang perpajakan, meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. 13 Dalam melaksanakan hak dan kewajiban dalam bidang perpajakan, perlu suatu pemahaman akan teori-teori pemungutan pajak yang diharapkan dapat menyadarkan masyarakat akan pentingnya kerelaan membayar pajak kepada negara sekalipun tidak ada kontra-prestasi langsung yang dapat dirasakan. Adapun salah satu teori pemungutan pajak yang banyak dipakai oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia adalah Teori Gaya Pikul. Teori Gaya Pikul ini didasarkan pada keadilan, yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus sama besarnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan. Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai teori gaya pikul ini, antara lain: 14 a) Mr. A.J. Caren Stuart menyamakan gaya pikul ini dengan sebuah jembatan dengan menjelaskan bahwa yang pertama harus dipikul adalah bobot jembatan itu sendiri baru kemudian dibebani dengan beban yang lain. Artinya bahwa 12
Ibid., hlm 1304. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, Jakarta, 2007, Penjelasan Umum. 14 Ibid., hlm. 23-25. 13
13
yang harus dipenuhi dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul. Kekuatan gaya pikul untuk membayar pajak baru dilakukan setelah kebutuhan primer seseorang telah terpenuhi. Kebutuhan primer ini merupakan asas minimum bagi kehidupan seseorang. Jika telah terpenuhi, barulah pembayaran pajak dilakukan. b) Menurut Sinninghe Damste yang menyatakan bahwa gaya pikul ditentukan berdasarkan beberapa komponen yaitu penghasilan, kekayaan, dan susunan keluarga Wajib Pajak. c) Menurut De Langen menjelaskan gaya pikul dalam pengertian bahwa kekuatan seseorang untuk membayar uang kepada negara adalah setelah dikurangi dengan minimum kehidupan. Berkaitan dengan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara, tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan khususnya yang berbadan hukum yang ada di Indonesia merupakan salah satu pelaku usaha yang dapat menjadi pilar pembangunan perekonomian nasional yang dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan negara. Dalam ilmu hukum, perusahaan yang berbadan hukum yang dapat dikategorikan sebagai rechtspersoon merupakan subyek hukum (legal subject) yang merupakan pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum.15
Pengkategorian perusahaan dapat sebagai subyek
hukum sejalan dengan salah satu teori badan hukum ini yang dikenal dengan teori organ yang diajarkan oleh Otto van Gierke dan L.C. Polano. Teori Organ ini memandang bahwa suatu badan hukum adalah sebagai suatu yang nyata (reliteit) bukan khayalan belaka (fictie). Menurut teori organ tersebut, badan hukum merupakan een bestaan, dat hun realiteit dari konstruksi yuridis seolah-olah sebagai manusia yang sesungguhnya dari lalu lintas hukum yang juga mempunyai kehendak
15
Jimly Asshiddiqie, Badan Hukum, http://www.jimly.com/pemikiran/view/14 diunduh terakhir pada tanggal 23 April 2009.
14
sendiri yang dibentuk melalui alat-alat kelengkapannya yaitu pengurus, anggota, dan sebagainya. Putusan yang dibuat oleh pengurus adalah kemauan badan hukum. 16 Jika perusahaan dilihat sebagai organisasi yang memiliki kehidupan (living organisms), seperti yang dilakukan oleh de Geus (1997), dan bukan hanya sekedar pencetak uang, perusahaan pasti tidak dapat melepaskan diri dari apa yang disebut dengan fenomena daur kehidupan (lifecycles). Dengan demikian, perusahaan, seperti juga tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia, pasti mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, kedewasaan, dan pada akhirnya mengalami kematian 17. Adapun salah satu alternatif yang digunakan perusahaan dalam mengantisipasi dampak negatif dari kondisi-kondisi tersebut diatas adalah dengan melakukan merger perusahaan. Merger merupakan salah satu bentuk dari restrukturisasi perusahaan. Restrukturisasi perusahaan merupakan perubahan dalam struktur modal perusahaan, operasi atau kepemilikan yang bukan merupakan rutinitas dari usahanya dimana pokok pikirannya adalan untuk menciptakan nilai. Sumber penciptaan nilai dalam restrukturisasi perusahaan meliputi peningkatan omzet dan operasi yang ekonomis, peningkatan manajemen, pengaruh teknologi dan informasi, transfer kesejahteraan, dan keuntungan pajak. Perubahan-perubahan perlu dilakukan untuk mengimbangi globalisasi dan antisipasi faktor eksternal yang selalu berubah dan akhirnya juga harus diikuti perubahan faktor internal, termasuk SDM, sumber daya keuangan, sumber daya teknologi, struktur organisasi, perilaku organisasi, dan manajemen perusahaan. Setiap tindakan yang dilakukan dalam proses merger haruslah mempunyai dasar hukum sehingga dapat diakui secara legal keberadaannya kelak. Secara yuridis, yang merupakan dasar hukum bagi tindakan merger tersebut adalah: 18 1. Dasar Hukum Utama, yaitu UU dan Peraturan Pemerintah.
16
Ibid. De Geus dalam Suwarsono Muhammad, Strategi Penyehatan Perusahaan, UPP STIM YKPN, Yogyakarta, 2006, hlm. 142. 18 Munir Fuady, Hukum Tentang Merger... . Op. cit., hlm. 63. 17
15
2. Dasar Hukum Kontraktual, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) atau yang dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tepatnya buku ke-3. 3. Dasar Hukum Status Perusahaan, yaitu Pasar Modal, Penanaman Modal Asing (PMA), dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 4. Dasar Hukum Konsekuensi Merger Perusahaan, yaitu ketentuan tentang anti monopoli dan persaingan usaha, ketenagakerjaan, likuidasi, subrograsi, perpajakan, dan lain-lain 5. Dasar Hukum Pembidangan Usaha, yaitu bank dan lembaga keuangan lainnya, perdagangan, perindustrian, dan lain-lain. Sebagai dasar hukum utama Perseroan Terbatas dalam melakukan merger, UUPT Tahun 2007 banyak mengadopsi doktrin-doktrin yang berkaitan dengan hukum badan usaha. Adapun doktrin-doktrin yang mempengaruhi UU Perseroan Terbatas dapat dijelaskan sebagai berikut:19 a. Fiduciary Duty Mengajarkan bahwa antara direktur dengan perseroan terdapat hubungan fiduciary. Sehingga pihak direktur hanya bertindak seperti seorang trustee atau agen semata-mata , yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dan dengan sebaik-baiknya kepada perseroan. b. Corporate Opportunity Prinsip ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari pemberlakuan prinsip fiduciary duty. Doktrin ini mengajarkan bahwa direktur harus lebih mengutamakan kepentingan perseroan daripada kepentingan pribadi terhadap transaksi yang menimbulkan conflict of interest. c. Self Dealing Yang dimaksud dengan doktrin ini adalah setiap transaksi yang dilakukan antara direktur perseroan dengan perseroan itu sendiri. Baik dilakukan 19
Munir Fuady, Hukum Perusahaan : Dalam Paradigma Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Kedua, Bandung, 2002, hlm. 4-16.
16
langsung oleh direktur yang bersangkutan, ataupun secara tidak langsung, misalnya lewat saudara-saudaranya. Kruasialnya transaksi berbentuk self dealing ini adalah adanya conflict of interest antara kepentingan direktur itu sendiri dengan kepentingan perseroan. d. Business Judgement Rule Prinsip ini bertolak belakang dengan prinsip fiduciary duty. Business judgement rule ini mendalilkan bahwa seorang direktur tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai direktur, yang dia yakini sebagai tindakan terbaik buat perseroan dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sungguhpun tindakan tersebut ternyata keliru atau tidak menguntungkan atau bahkan merugikan perusahaan. e. Piercing The Corporate Veil Doktrin ini berarti bahwa hukum tidak memberlakukan prinsip terpisahnya tanggung jawab dan harta kekayaan badan hukum dari tanggung jawab dan harta benda pemegang sahamnya, sungguhpun secara de jure seluruh persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu Perseroan Terbatas untuk dapat menjadi suatu badan hukum telah sempurna dilakukannya. Dengan demikian, doktrin piercing the corporate veil merupakan: 20 Process of imposing liability for corporate activity, in disregard of corporate activity, on a person or entity other than the offending corporation itself. There are times when the court will ignore the corporate entity and strip the organizers and managers of the corporation of the limited liability that they usually enjoy. In doing so, the court is said to pierce the corporate veil.
20
Jack P. Friedman dalam Munir Fuady, Hukum Perusahaan : Dalam...., Ibid., hlm. 61.
17
Beberapa contoh fakta yang mestinya dapat diterapkannya doktrin ini antara lain meliputi21 permodalan yang tidak layak, penggunaan dana perusahaan secara pribadi, ketiadaan formalitas eksistensi perusahaan, dan adanya unsurunsur penipuan dengan cara menyalahgunakan badan hukum. f. Derivative Action Merupakan gugatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih pemegang saham untuk melakukan cause of action dari perseroan. Artinya gugatan yang seharusnya dilakukan oleh dan atas nama perseroan, dilakukan oleh satu atau lebih pemegang saham atas nama perseroan. g. Ultra Vires Doktrin ini mengajarkan bahwa perseroan tidak dapat melakukan kegiatan di luar dari kekuasaan perseroan. Kekuasaan perseroan tersebut diperinci dalam anggaran dasarnya. h. Corporate Ratification Doktrin ini mengajarkan bahwa perseroan dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh organ lain dalam perseroan tersebut, sekaligus mengambilalih tanggung jawab organ lain dimaksud. i. Perlindungan Minoritas Prinsip ini mempunyai tujuan baik karena yang dicari adalah equilibirium yang tersimpul dalam prinsip majority rule and minority right. Hanya saja, apabila faktor lain, seperti masalah prosedural, perangkat keras dan lunak dan juga faktor manusianya belum siap, maka yang terjadi justru tirani minoritas. j. Wewenang Pengadilan Pada prinsipnya, wewenang pengadilan yang dimungkinkan oleh UU Perseroan Terbatas tercakup dalam tiga kategori yaitu kewenangan biasa, gugatan perseroan, dan permohonan penetapan pengadilan.
21
Ibid., hlm. 61, 62.
18
Melihat begitu banyaknya teori dan doktrin yang mendasari ketentuan yang berkaitan dengan merger perseroan terbatas dalam hubungannya dengan fungsi perpajakan di Indonesia serta untuk meminimalisir adanya tumpang tindih antara suatu peraturan dengan peraturan lainnya maka dipandang sangat perlu adanya harmonisasi hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum dari pemerintah. Secara teoritis, kebutuhan untuk melakukan harmonisasi hukum menjadi lebih mendesak apabila Indonesia dilihat sebagai bangsa yang bersifat plural dengan KeBhinneka Tunggal Ikaannya, karena fakta menunjukkan bahwa, saat ini nampaknya faham hukum Normatif-Legal-Positivistis tidak lagi dapat mencukupi sebagai sistem yang dapat diterapkan bagi pembangunan hukum di Indonesia. Pada tataran praktik, harmonisasi hukum akan berhadapan dengan pertarungan antar berbagai kepentingan yang bermuatan politis, ekonomis, sosial, maupun budaya. 22 Untuk dapat melakukan harmonisasi hukum di Indonesia yang bersifat plural, maka hukum harus dilihat sebagai sistem. C.F.G. Sunaryati Hartono menyatakan bahwa: 23 “Seluruh falsafah hukum, nilai-nilai, asas-asas, dan norma hukum, maupun aparatur dan lain-lain sumber daya manusia yang tergabung dalam lembaga dan organisasi hukum selanjutnya, proses dan prosedur serta interaksi dan pelaksanaan hukum yang secara utuh mewujudkan dan menggambarkan kehadiran tatanan hukum (recthsorde dan rechtsordening) yang menumbuh-kembangkan tatanan
hukum
kehidupan
berbangsa
dan
bernegara
dan
bermasyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945”.
22
Joni Emirzon, Hukum Usaha Jasa Penilai dari Perspektif Good Corporate Governance, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hlm. 784-785. 23 C.F.G. Sunaryati Hartono dalam Joni Emirzon, Hukum Usaha Jasa... . Ibid. 785-786.
19
D. Temuan dan Analisis 1. Merger Perseroan Terbatas dalam Kaitannya dengan Pengaturan Fungsi Perpajakan di Indonesia Dalam perkembangan perekonomian global sampai dengan saat ini, banyak orang yang menyalahtafsirkan akan makna restrukturisasi perusahaan khususnya tentang merger dimana adanya anggapan bahwa restrukturisasi dianggap sebagai sesuatu yang hanya diperlukan untuk membenahi, menata, dan atau menyehatkan perusahaan yang sedang bermasalah saja. Pembenahan atau penataan kembali perusahaan di berbagai bidang juga sangat diperlukan untuk berbagai tujuan, baik untuk mengantisipasi agar terhindar dari permasalahan, memanfaatkan peluang usaha, mengikuti trend maupun visi masa depan, menghadapi persaingan yang semakin ketat, mengikuti perkembangan perubahan socio-cultural masyarakat, perubahan needs & wants di masyarakat, perkembangan teknologi, dan sebagainya. 24 Berkaitan dengan pelaksanaan merger perusahaan di Indonesia, sangat lah wajar bila diperlukan adanya keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat. Dengan adanya landasan hukum yang didukung dengan undang-undang diharapkan dapat tercipta iklim usaha yang sehat dan kondusif sehingga korporasi yang melakukan merger tersebut dapat menjadi salah satu pilar pembangunan nasional yang dapat meningkatkan pembangunan perekonomian nasional yang berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.dan sekaligus memberikan
landasan
yang kokoh
bagi
dunia usaha dalam
menghadapi
perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini.
24
Setiadi Oemar Sambudi, Salah Kaprah Corporate Restructuring, http://www.mhs.co.id/News_View.aspx?Articleid=2 diakses tanggal 20 Nopember 2008, hlm.1.
20
Salah satu hal yang berhubungan erat dengan masalah kepastian hukum tersebut adalah masalah darimana hukum itu berasal (sumber hukum) sehingga didapat legitimasi atas pelaksanaan hukum tersebut secara formal. Pembuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang berwenang dari suatu Negara merupakan sumber yang bersifat hukum yang paling utama yang menghasilkan substansi yang tidak diragukan lagi kesalahannya, yang ipso jure.25 Dalam upaya mewujudkan sumber hukum yang berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antara individu dengan individu, individu dengan badan usaha, individu dengan Negara, badan hukum dengan Negara maka sangat dibutuhkan penataan yang harmonis terhadap sistem hukum yang menurut Lawrence M. Friedman meliputi legal substance, legal structure, dan legal culture dari semua komponen masyarakat yang terus menerus meningkat sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Hal ini sejalan dengan pendapat Sunaryati yang menyatakan bahwa wujud dari suatu sistem hukum nasional adalah suatu tatanan hukum yang terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, yang di dalamnya mengandung falsafah hukum, nilai-nilai, asas-asas, dan norma hukum, proses dan prosedur serta interaksi dan pelaksanaan hukum yang pengembanannya dilakukan oleh manusia dalam berbagai statusnya, baik sebagai aparatur negara, individu, ataupun yang tergabung dalam lembaga dan organisasi hukum.26 Keserasian antara legal substance, legal structure, dan legal culture dalam setiap tindakan yang dilakukan pada proses merger perseroan secara yuridis telah terwujud dengan adanya KUHPer dan UUPT 1995 junto UU No. 40 Tahun 2007 sehingga setiap tindakan merger dapat diakui secara legal dalam setiap pelaksanaannya.
25 26
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan keenam, 2006, hlm. 83. C.F.G. Sunaryati Hartono dalam Joni Emirzon, Hukum Usaha Jasa... . Ibid. 786.
21
Pengaturan merger perseroan berdasarkan KUHPer tidak dapat terlepas dari verbintenissenrecht yang terbentuk berdasarkan adanya perjanjian dimana setidaktidaknya terdapat 2 (dua) orang atau lebih yang mengikatkan dirinya dihadapan Notaris yang tertuang dalam suatu akta otentik dalam bahasa Indonesia. Sesuai dengan defenisinya dan untuk mempermudah pemahaman merger perseroan, berikut adalah gambaran skema merger secara sederhana: Gbr. III.1. Skema Merger
PT. A PT. A PT. B Dalam hukum perjanjian diatur tentang hukum kekayaan yang mengenai hakhak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Keberadaan suatu perjanjian pada merger perseroan tidak dapat terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPer berikut: a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kata “sepakat” dalam pelaksanaan merger tidak boleh disebabkan karena adanya kekhilafan dalam persetujuan yang dibuat,
adanya paksaan yang
dikarenakan ancaman (Pasal 1324 KUHPer), dan atau adanya penipuan karena adanya kebohongan dan atau tipu muslihat (Pasal 1328 KUHPer). Terhadap perjanjian merger perseroan yang dibuat atas dasar “sepakat” karena alasan-alasan diatas dapat diajukan pembatalan. b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
22
Agar perjanjian merger perseroan tidak cacat hukum maka para pihak yang terkait harus memahami makna dalam Pasal 1330 KUHPer dimana ditentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan, berupa : i.
Orang-orang yang belum dewasa
ii.
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
iii.
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung27, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
Akibat dari perjanjian atas merger perseroan yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPer). c) Suatu hal tertentu. Suatu perjanjian dapat batal demi hukum bila tidak ditentukan jenis objek yang diperjanjikan. Pasal 1332 KUHPer menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUHPer barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. d) Suatu sebab yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian merger perseroan dibuat. Perjanjian merger perusahaan tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat (a) dan (b) diatas menyangkut subyek, sedangkan syarat (c) dan (d) menyangkut obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap dalam membuat perjanjian merger perusahaan, mengenai subyek 27
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963
23
mengakibatkan perjanjian atas merger perusahaan dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat (c) dan (d) mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian atas merger perseroan batal demi hukum. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian merger perseroan dapat menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya yang dibuat oleh para pihak terkait menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini diperkuat dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (asas kebebasan berkontrak), akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus mentaati hukum yang sifatnya memaksa tersebut. Perjanjian merger perseroan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali karena adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, atau karena adanya alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian dalam merger perseroan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Perjanjian atas merger perseroan tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga. Terdapat hubungan hukum yang erat antara perikatan dan perjanjian dimana perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum tersebut menimbulkan akibat hukum yang disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian merger perseroan dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Terbentuknya kaidah hukum Kaidah hukum dalam perjanjian merger meliputi tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis dalam merger tertuang pada akta otentik yang pengaturannya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan,
24
traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis dalam merger perseroan terimplementasi dalam bentuk perhatian akan tanggung jawab pada masyarakat dan lingkungan sekitar. 2. Subyek hukum Dalam merger perseroan, perusahaan yang berbadan hukum dikategorikan sebagai rechtspersoon yang merupakan pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum. Perseroan yang merupakan subyek hukum memiliki hak - hak dan kewajiban seperti manusia. Sebagai badan hukum, perseroan terbatas dapat menjadi subyek hukum bilamana dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang perorangan yang bertindak dalam badan hukum itu; b. Memiliki kepentingan yang sama dengan kepentingan orang perorangan yaitu kepentingan sekelompok orang dengan perantara pengurusnya. 3. Adanya Prestasi Prestasi merupakan sesuatu yang menjadi hak kreditor dan kewajiban debitor. Umumnya, suatu prestasi dalam merger perseroan dapat terdiri dari hal-hal berikut: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. 4. Kata Sepakat Pasal 1320 KUHPer telah menentukan empat syarat sahnya perjanjian yang salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak 5. Akibat Hukum Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam merger perseroan akan menimbulkan akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban Dalam kaitannya dengan UU No. 40 Tahun 2007, pengaturan merger tidak dapat terlepas dari Perseroan Terbatas yang merupakan badan hukum. Sebagai suatu
25
Perseroan Terbatas maka pendiriannya secara hukum harus mengacu pada hal-hal berikut: a. Harus
didirikan
oleh
minimal 2 (dua)
subjek hukum
dengan Akta
Notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia. b. Harus mempunyai nama dan alamat
lengkap
dalam wilayah negara
Republik Indonesia yang ditentukan dalam Anggaran Dasar. c. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan. d. Akta Pendirian harus disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI. e. Perbuatan hukum penyetoran
yang
yang
berkaitan
dilakukan
dengan
kepemilikan saham dan
oleh calon pendiri sebelum Perseroan
didirikan, harus dicantumkan dalam Akta Pendirian Perseroan. i.
Apabila perbuatan hukum tersebut dinyatakan dalam bentuk
akta
yang bukan akta otentik, maka akta tersebut dilekatkan pada Akta Pendirian Perseroan. ii.
Apabila perbuatan hukum tersebut dinyatakan dalam
bentuk akta
otentik maka nomor, tanggal dan nama serta tempat kedudukan notaris yang membuat akta otentik tersebut disebutkan dalam Akta Pendirian Perseroan. iii.
Dalam
hal
ketentuan tersebut di
atas
tidak
dipenuhi
maka
perbuatan hukum tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban serta tidak mengikat Perseroan. f. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri untuk kepentingan Perseroan yang belum didirikan, mengikat Perseroan setelah Perseroan tersebut menjadi
badan
hukum, kecuali jika RUPS pertama Perseroan
secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum tersebut. g. RUPS pertama harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 60 hari setelah Perseroan memperoleh status badan hukumnya. Apabila RUPS
26
tidak diselenggarakan dalam jangka waktu tersebut atau RUPS tidak berhasil mengambil keputusan, setiap calon pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul. h. Keputusan RUPS hanya sah jika dihadiri oleh semua pemegang saham dengan hak suara dan keputusan disetujui dengan suara bulat. i. Persetujuan RUPS tersebut tidak diperlukan apabila perbuatan hukum tersebut dilakukan atau disetujui secara tertulis oleh semua calon pendiri sebelum pendirian Perseroan. j. Selama legalisasi belum diperoleh, Perseroan dalam pendirian masih belum merupakan suatu badan hukum sehingga para pendiri diwajibkan untuk mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri Hukum dan HAM. k. Perbuatan hukum ketika belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua serta
semua
anggota
Dewan
secara tanggung renteng
Komisaris
yang bertanggung
pendiri jawab
atas perbuatan hukum tersebut. Perbuatan
hukum menjadi tanggung jawab Perseroan setelah menjadi badan hukum. l. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh pendiri ketika belum memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat Perseroan. Perbuatan
hukum
hanya mengikat dan
menjadi tanggung jawab Perseroan setelah perbuatan hukum tersebut disetujui oleh semua pemegang saham dalam RUPS (pertama) yang dihadiri oleh semua
pemegang
saham
Perseroan yang
diselenggarakan paling
lambat 60 hari setelah PT memperoleh status badan hukum Sebagaimana diatur dalam Pasal 122 ayat (2) UUPT 2007 dikatakan bahwa berakhirnya secara hukum Perseroan yang menggabungkan diri dalam merger terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu. Artinya perusahaan yang bubar karena merger terjadi tanpa likuidasi sehingga berlaku ketentuan berikut:
27
i.
Aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan;
ii.
Pemegang saham Perseroan yang menggabungkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan; dan
iii.
Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan mulai berlaku. Berbeda dengan Pasal 122 ayat (2) UUPT 2007, Pasal 107 ayat (2) UUPT
199528 memperbolehkan merger terjadi dengan atau tanpa proses likuidasi. Apabila merger dilakukan dengan terlebih dahulu mengadakan likuidasi, ini berarti perusahaan menutup, menghentikan, atau membubarkan semua usaha dan kegiatankegiatannya sehingga perusahaan tidak boleh lagi melakukan bisnis baru dan keberadaannya hanya sekedar melakukan pemberesan. Akibat hukum dari adanya likuidasi perusahaan adalah:29 1. Perusahaan tidak bisa berbisnis lagi. 2. Perusahaan dapat melaksanakan kegiatan tertentu sejauh yang menyangkut dengan pemberesan kekayaannya. 3. Di belakang nama perusahaan dibubuhkan kata “dalam likuidasi”. 4. Pengangkatan likuidator. 5. Kewajiban pemberesan hak dan kewajiban perusahaan. 6. Pembubaran perusahaan. Dengan pemberlakuan merger tanpa likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) tersebut, terlihat bahwa UUPT 2007 sangat bersifat protektif dan menjunjung tinggi aspek keterbukaan (disclosure). Perlindungan ini terutama dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat dimana dengan jelas diatur dalam Pasal 126 ayat (1) yang menyatakan bahwa merger perusahaan wajib memperhatikan kepentingan: 28
Pasal 107 ayat (2) UUPT 1995: “Pembubaran perseroan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi”. 29 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 87, 88.
28
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan; b. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan c. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. Salah satu wujud perlindungan terhadap para pihak diatas adalah dengan pemberlakuan aspek keterbukaan dalam UUPT 2007 yang secara jelas diatur pada ketentuan berikut: a. Pasal 127 ayat (2) Mewajibkan Direksi Perseroan yang akan melakukan merger untuk mengumumkan ringkasan rancangan merger paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihakpihak yang bersangkutan agar mengetahui adanya rencana tersebut dan dapat mengajukan keberatan jika kepentingannya dirugikan dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan melakukan merger. Rancangan merger tersebut sekurang-kurangnya harus memuat sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 123 ayat (2). Proses merger perseroan memang menjadi lebih ketat hal ini untuk melindungi kepentingan karyawan, kreditur, dan pihak ketiga lainnya secara hukum. Bagi karyawan yang diberi kesempatan untuk menyampaikan keberatan, atas keberatan tersebut tidak bisa membatalkan proses merger. Berbeda bila yang menolak kreditur maka mereka bisa menggagalkan proses merger perseroan tersebut. Khusus bagi kreditor yang mengajukan keberatan kepada Perseroan dimana proses penyelesaiannya belum tercapai baik di tingkat direksi maupun di tingkat RUPS maka merger perusahaan tidak dapat dilaksanakan. b. Pasal 133 ayat (2) Mewajibkan Direksi Perseroan yang menerima merger untuk mengumumkan hasil merger paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih. Secara garis besar, prosedur hukum merger perseroan secara umum dapat diringkas sebagai berikut:
29
Gbr. III. 2. Prosedur umum merger perseroan. PT. A
PT. B
Menyusun Rancangan Merger (Pasal 123) -Mengumumkan pada karyawan dan minimal 1 Surat Kabar (Pasal 127 ayat 2) -Memberi kesempatan pihak lain untuk mengajukan keberatan (Pasal 127 ayat 3&4)
Akta Merger (Pasal 128 ayat 1)
Proposal Merger (Pasal 123)
Lapor ke Menteri Hukum dan HAM (Pasal 129)
Pendaftaran Perusahaan
Pengumuman dalam Tambahan BeritaNegara Mengumumkan dalam minimal 1 Surat Kabar
Selanjutnya, berlakunya merger dan bubarnya perseroan yang digabungkan berdasarkan UUPT 2007 dan PP No. 27 Tahun 1998 disimpulkan menjadi: Gbr. III. 3. Berlakunya Merger dan Bubarnya Perseroan
30
Memerlukan Persetujuan Men kum & HAM Tgl persetujuan perubahan AD oleh Men kum Ham Disertai Perubahan Anggaran Dasar (AD) Berlakunya Merger -Psl 26 UUPT 2007 -Psl 14 PP No. 27/1998
Tidak Memerlukan Persetujuan Men kum & HAM Tgl pendaftaran akte merger dan akte perubahan AD
Bubarnya Perseroan yang di Merger Psl 18 PP No. 27/1998 Tidak Disertai Perubahan AD
Tgl Akta Merger
Berdasarkan Gbr. III.2. dan Gbr. III.3., dalam melakukan merger sesuai dengan UUPT 2007 terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi para pihak yang terlibat dalam merger perseroan, yaitu: 1. Keputusan mengenai penggabungan (merger) dapat sah apabila disetujui RUPS yang dihadiri ¾ kuorum pemegang saham. 2. Direksi Perseroan yang akan melakukan merger wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 ( satu ) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan yang akan melakukan merger dalam jangka waktu paling lambat 30 ( tiga puluh ) hari sebelum pemanggilan RUPS. 3. Pengumuman dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihakpihak yang bersangkutan agar mengetahui adanya rencana tersebut dan mengajukan keberatan jika mereka merasa kepentingannya dirugikan.
31
4. Kreditur dapat mengajukan keberatan kepada Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 14 ( empat belas ) hari setelah pengumuman sebagaimana dimaksud pada butir 2 mengenai merger sesuai dengan rancangan tersebut. 5. Dalam hal keberatan kreditur sebagaimana dimaksud butir 4 sampai dengan diselenggarakan RUPS tidak dapat diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian. 6. Selama penyelesaian sebagaimana dimaksud pada butir 5 belum tercapai, merger tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan uraian sebelumnya tentang Perseroan Terbatas maka tidak bisa dipungkiri bahwa Perseroan merupakan salah satu Wajib Pajak yang berkontribusi besar pada penerimaan pajak. Untuk menjembatani agar tercipta harmonisasi antara kedaulatan negara, kemanfaatan pajak, keadilan, gaya pikul dan kewajiban perpajakan bagi perseroan
dalam melakukan merger maka negara mutlak
memberikan kemudahan administrasi dan panduan dalam bentuk undang-undang dan peraturan terkait. Berdasarkan beberapa uraian diatas tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat pengaruh yang erat antara pertimbangan hukum dengan aspek perpajakan dalam pelaksanaan merger perseroan khususnya berkaitan dengan metode apa yang akan dipergunakan dalam merger perseroan tersebut. 2. Potensi Pajak Penghasilan (PPh) atas Merger Perseroan Pengaturan tentang perlakukan PPh terhadap merger perseroan secara fiskal telah diakomodir dalam UU PPh tepatnya pada Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 1 dan angka 3 dimana disebutkan bahwa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena likuidasi atau penggabungan usaha adalah salah satu objek PPh. Kemudian pada Pasal 10 ayat (3) disebutkan juga bahwa nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi atau penggabungan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Pengecualian ini dapat
32
dilihat dalam ketentuan lebih lanjut lagi yaitu di PMK Nomor 43/PMK.03/2008, Menteri Keuangan memberikan kelonggaran dimana dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku. Sejalan dengan UUPT 2007 dan mengingat dalam ketentuan UU PPh dan PMK, Dirjen Pajak mengeluarkan peraturan yang meniadakan kewajiban likuidasi sebelum merger dan bagi Wajib Pajak yang melakukan merger dapat diberi izin untuk menggunakan nilai buku sepanjang memenuhi syarat tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Persyaratan tersebut diatur dalam Pasal 2 PER-28/PJ./2008 dimana Wajib Pajak yang dapat diberi izin melakukan merger dengan menggunakan nilai buku wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Mengajukan
permohonan
kepada
Direktur
Jenderal
Pajak
dengan
melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha. Permohonan tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang menerima harta kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif merger. 2) Melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait. Pelunasan seluruh utang pajak dimaksud wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang mengalihkan harta dan Wajib Pajak yang menerima harta, termasuk utang pajak dari cabang atau perwakilan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak dilokasi. 3) Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test). Wajib Pajak dimaksud memenuhi persyaratan business purpose test apabila: a) tujuan utama dari merger usaha adalah menciptakan sinergi usaha yang kuat dan memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran pajak; b) kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta masih berlangsung sampai dengan tanggal efektif merger;
33
c) kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta sebelum merger terjadi wajib dilanjutkan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger; d) kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka merger tetap berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger; dan e) harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah terjadinya merger usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang menerima harta paling singkat 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif merger usaha. Perlakukan
PPh
atas
merger
perseroan
yang
membedakan
antara
menggunakan harga pasar dan nilai buku menimbulkan implikasi yang berbeda juga. Apabila penghasilan harta dalam rangka merger tidak menggunakan nilai buku karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam PER-28/PJ./2008, maka pengalihan harta yang terjadi harus menggunakan harga pasar. Artinya, perseroan yang menerima harta (surviving company) harus membayar PPh atas pengalihan tersebut. Setalah terjadinya proses merger, perseroan yang bertahan akan mencatat nilai harta yang diterimanya sesuai dengan nilai pengalihan berdasarkan harga pasar, dan nilai tersebut menjadi dasar penyusutan. Merger perseroan yang menggunakan harga pasar akan meningkatkan nilai perseroan secara keseluruhan. Artinya modal perseroan baru menjadi lebih besar daripada sebelum penggabungan. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan pencatatan nilai saham yang lebih tinggi setelah merger. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf g tambahan modal tanpa penyetoran diperlakukan sebagai dividen. Jadi dalam hal pemegang saham dari perusahaan yang melakukan penggabungan adalah wajib pajak Indonesia maka atas pencatatan nilai saham yang lebih tinggi tanpa penyetoran itu merupakan dividen, dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf f. Apabila pemegang saham dari perseroan sebagai hasil penggabungan adalah wajib pajak yang berdomisili di negara yang mempunyai Penghindaran Perjanjian Pajak
34
Berganda (P3B) dengan Indonesia maka perlakuan pajaknya akan berbeda. Bagi perseroan yang mengalihkan aktiva tersebut, penyusutan dihitung secara prorata sampai dengan bulan dilakukannya pengalihan, sedang bagi perseroan yang menerima pengalihan harta perhitungan prorata sebanyak sisa bulan sesudah pengalihan harta dengan menganut metode penyusutan yang dianut perseroan yang bersangkutan. Sebaliknya apabila permohonan untuk mempergunakan nilai buku dalam rangka merger perseroan disetujui oleh Dirjen Pajak, maka tidak terdapat implikasi PPh atas keuntungan (capital gain) yang timbul akibat pengalihan aktiva dari perseroan yang dibubarkan kepada perseroan yang tetap berdiri. Capital gain merupakan selisih antara
harga pasar dan nilai buku. Jadi bila pemegang saham dari badan usaha lama, yang melakukan pengalihan kemudian menerima sejumlah saham baru maka saham baru tersebut bukan merupakan penghasilan. Perseroan yang melakukan merger dengan menggunakan nilai buku tidak boleh mengkompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri/Wajib Pajak yang dilebur. Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta mencatat nilai perolehan harta tersebut sesuai dengan nilai sisa buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan. Penyusutan atas harta yang diterima dilakukan berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihakpihak yang mengalihkan. Namun, bila di samping menerima sejumlah uang maka uang yang diterima itu merupakan penghasilan yang merupakan objek PPh. Selain itu dalam ketentuan lain yang berhubungan dengan penggunaan nilai buku terdapat juga pada Keputusan Menteri Keuangan RI No. 469/KMK.04/1998 tanggal 30 Oktober 1998 yang menyebutkan bahwa wajib pajak yang melakukan penggabungan dengan menggunakan nilai buku (penggunaan metode pooling of interest) tidak boleh mengalihkan kerugian atau sisa kerugian badan usaha lama, kecuali : a. Wajib Pajak tersebut melakukan revaluasi aktiva tetap terlebih dahulu; b. Masih aktif menjalankan usahanya;
35
c. Wajib Pajak yang menerima penggabungan usaha sekurang-kurangnya sampai dengan 2 (dua) tahun setelah selesainya proses penggabungan atau peleburan usaha. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa bagi dua atau lebih perseroan yang bergabung, apabila ada salah satu perseroan yang mengalami kerugian, maka kerugian perseroan tersebut tidak boleh dialihkan ke perseroan yang lama. Kerugian ini boleh dialihkan apabila perusahaan sudah melakukan revaluasi aktiva tetap. Jika perusahaan yang mengalami kerugian tersebut melakukan revaluasi aktiva tetap, berarti aktiva tetap tersebut akan dinilai berdasarkan nilai wajar atau nilai pasar. Kebijakan merger perseroan adalah bersifat netral. Tetapi, jika perseroan melakukan revaluasi sebelum merger, maka perseroan tersebut akan dikenakan PPh atas revaluasi. Revaluasi aset perseroan dikenai pajak karena aksi perseroan tersebut menaikkan nilai aset sehingga jika nilai aset naik, penyusutan nilai aset juga akan naik. Sedangkan di dalam laporan keuangan, penyusutan itu dimasukkan dalam biaya sehingga laba perusahaan menjadi turun dan menimbulkan pajak juga turun. Pengaturan revaluasi aktiva tetap ini dalam UU PPh harus sesuai dengan Pasal 19 UU No. 36 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga. Aturan selanjutnya dituangkan dalam PMK No. 79/PMK.03/2008 yang menyatakan bahwa perseroan diberikan pilihan untuk memilih salah satu dari 2 (dua) alternatif atas cakupan aktiva yang dapat direvaluasi yaitu terhadap: 1. Seluruh aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak, atau
36
2. Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Berbeda dengan PMK No. 79/PMK.03/2008 yang memberikan alternatif penilaian dengan atau tanpa tanah, pada KMK No. 486/KMK.03/2002 memberikan kebebasan bagi perusahaan untuk memilih aktiva tetap mana yang akan dilakukan revaluasi dimana revaluasi aktiva tetap dapat meliputi seluruh atau sebagian aktiva tetap perusahaan termasuk aktiva tetap perusahaan yang sudah pernah dilakukan penilaian kembali berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelumnya. PMK No. 79/PMK.03/2008 mengatur bahwa revaluasi aktiva tetap hanya dapat dilakukan kembali setelah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak revaluasi aktiva tetap perusahaan terakhir. Artinya, jika perusahaan melakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan pada tanggal 31 Desember 2008 maka revaluasi tersebut dapat dilakukan kembali setelah tanggal 31 Desember 2013. Potensi PPh atas revaluasi aktiva tetap untuk tujuan perpajakan sesuai dengan PMK No. 79/PMK.03/2008 dapat dilihat pada Pasal 5 dimana dasar pengenaan PPh final
terhadap kenaikan hasil revaluasi aktiva tetap dikenakan PPh final 10%
dihitung dari selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap diatas nilai buku fiskal semula.
Berbeda
sesuai
dengan
PMK
No.
79/PMK.03/2008,
KMK
No.
486/KMK.03/2002 mengatur bahwa pengenaan PPh final 10% dilakukan setelah dikurangi dengan kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian berdasarkan PMK No. 79/PMK.03/2008, jika perusahaan masih mempunyai sisa kerugian fiskal dari tahun sebelumnya maka tidak dapat lagi diperhitungkan sebagai pengurang hasil revaluasi aset tetap. Apabila sebelum selesainya masa manfaat yang baru dari hasil revaluasi aktiva tetap untuk tujuan perpajakan tersebut, perusahaan mengalihkan aktiva tetap maka timbul pengenaan tambahan PPh final atas pengalihan aktiva tetap yang direvaluasi. Pada Pasal 7 PMK No. 79/PMK.03/2008 diatur bahwa apabila perusahaan mengalihkan aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang
37
telah mendapatkan persetujuan revaluasi maka atas selisih lebih revaluasi diatas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan tambahan pajak penghasilan final dengan tarif sebesar tarif tertinggi PPh dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi dengan 10%. Demikian juga apabila perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 (sepuluh) tahun maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan PPh final dengan tarif sebesar tarif tertinggi PPh badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi dengan 10%. 3. Potensi Pajak Pertambahan Nilaia (PPN) atas Merger Perseroan PPN (Value Added Tax – VAT) yang merupakan pajak atas konsumsi BKP dan atau JKP yang dilakukan dalam Daerah Pabean dalam kaitannya dengan PPN Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut: 30 a. Merupakan Pajak Tidak Langsung Merupakan suatu konsekuensi yuridis yang membedakan antara pemikul beban pajak dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara. Artinya PPN dirumuskan berdasarkan 2 (dua) sudut pandang yaitu sudut pandang ekonomi dan sudut pandang yuridis. Sudut pandang ekonomi mengartikan bahwa beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang dan atau jasa yang menjadi objek pajak. Sedangkan sudut pandang yuridis mengartikan bahwa tanggung jawab pembayaran pajak berada ditangan pemikul beban pajak sehingga apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual dan atau pengusaha jasa maka sama artinya telah membayar pajak tersebut kek kas negara. b. Pajak Objektif 30
Ben Terra dalam Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 19-28.
38
Merupakan suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif (adanya objek pajak tanpa memandang kondisi subjek pajak) yaitu adanya taatbestand. Sebagai pajak objektif, PPN memperlakukan setiap konsumen sama artinya tidak membedakan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi atau rendah atau konsumen berupa badan hukum, badan non hukum atau orang. c. Multi Stage Tax Merupakan karakteristik PPN yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun distribusi. d. Terutang untuk dibayar ke Kas Negara Dihitung menggunakan metode pengurangan tidak langsung (indirect substraction method) dimana PPN terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil penguarangan PK dengan PM. Untuk mengetahui kebenaran jumlah PK dan PM tersebut digunakan dokumen penunjang yang disebut Faktur Pajak (tax invoice). e. Merupakan Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri Artinya PPN hanya dikenakan atas konsumsi BKP dan/atau JKP baik itu yang dilakukan oleh badan maupun perseorangan yang dilakukan di dalam negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa pola konsumsi sangat dipengaruhi oleh PPN dimana dalam PPN selain terdapat BKP atau JKP juga terdapat jenis-jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak. f. Bersifat Netral Artinya PPN yang dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi (destination principle) sehingga netral dalam perdagangan internasional. g. Tidak Menimbulkan Dampak Pengenaan Pajak Berganda Artinya PPN dipungut atas nilai tambah saja sehingga tidak terjadi pengenaan pajak berganda dimana pengenaan PPN yang dibayarkan kepada setiap mata
39
rantai dari jalur produksi, distribusi sampai konsumen terakhir dapat memperhitungkan PPN yang dipungut sepanjang itu adalah PKP. Pengenaan PPN berdasarkan UU No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000 bukan didasarkan atas jenis usaha tetapi didasarkan atas dua sudut objek yaitu terjadinya penyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP). Dasar penghitungan PPN adalah harga jual, penggantian, nilai ekspor, nilai impor atau nilai lain PPn BM, tidak termasuk PPN. Salah satu masalah perpajakan yang harus diperhatikan dalam
restrukturisasi
khususnya yang berkaitan dengan merger perseroan adalah PPN atas transaksi penyerahan aktiva. Berdasarkan Pasal 16D UU PPN, PPN dikenakan atas penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang
PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat
dikreditkan. Dalam memori penjelasan Pasal 16D UU PPN ditegaskan bahwa penyerahan mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau aktiva lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, dikenakan pajak sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya sesuai ketentuan UU PPN dapat dikreditkan. Dengan demikian, penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP tidak dikenakan pajak apabila PPN yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan UU PPN, kecuali jika tidak dapat dikreditkannya PPN tersebut karena bukti pengkreditannya tidak memenuhi persyaratan administratif, misalnya Faktur Pajak tidak diisi lengkap sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) UU PPN. Selanjutnya, Pasal 4 huruf a dari UU PPN menyatakan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Pengusaha yang menyerahkan BKP meliputi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi persyaratan berupa barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP, barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud, penyerahan dilakukan di dalam
40
daerah pabean Indonesia, dan penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan pengusaha yang bersangkutan. Peraturan lebih lanjut mengenai PPN Pasal 16D ini dapat dilihat dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 dan Pasal 2 huruf (f) KMK
No.
567/KMK.04/2000 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang telah diubah dengan KMK No. 251/KMK.03/2002 menyatakan bahwa untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan, maka dasar pengenaan pajaknya adalah harga jual yang tetap berpatokan pada harga pasar wajar. Pengalihan aktiva yang yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan tersebut di atas dikenakan PPN dengan tarif sebesar 10% dari dasar pengenaan pajaknya. Adapun dasar pengenaan PPN atas pengalihan aktiva adalah nilai pasar wajar dimana nilai pasar wajar dapat ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh Penilai Independen.
Dalam rangka restrukturisasi perusahaan, telah diterbitkan KMK No. 180/KMK.04/1999 tanggal
27 Mei 1999 tentang Saat terutangnya PPN atas
penyerahan BKP dalam rangka restrukturisasi perusahaan, yang pada prinsipnya menunda saat terutangnya PPN atas pengalihan aktiva yang terutang PPN Pasal 16D tersebut. Dalam KMK No. 180/KMK.04/1999 tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyerahan BKP yang dikenakan PPN dalam rangka restrukturisasi perusahaan adalah : 1. Penyerahan BKP sesuai dengan Pasal 16 D UU PPN yaitu penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan. 2. Penyerahan sebagian dari aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas BKP tersebut. 4. Potensi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) atas Merger Perseroan. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan
41
oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU BPHTB dinyatakan bahwa yang menjadi obyek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dimana berkaitan dengan merger perseroan diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat 2.a butir 10 yang menyatakan bahwa perolehan atas tanah dan bangunan yang dikenakan BPHTB termasuk pemindahan hak karena penggabungan usaha. Sedangkan yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. UU BPHTB menetapkan bahwa tarif pajak BPHTB adalah sebesar 5% dari dasar
pengenaan pajak yang diambil dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Pasal 6 ayat (2) UU BPHTB menyatakan bahwa NPOP dalam rangka penggabungan usaha adalah berdasarkan nilai pasar. Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB) pada tahun terjadinya perolehan maka sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) UU BPHTB, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB) atau bilamana NJOP PBB tersebut
belum ditetapkan maka besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Adapun saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, untuk merger perseroan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Untuk menghitung potensi BPHTB dari terjadinya merger perseroan tersebut dirumuskan sebagai berikut:
BPHTB= TARIF PAJAK x NPOPKP NPOPKP = NPOP – NPOPTKP Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang digunakan dalam penghitungan BPHTB ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60 juta, kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
42
satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300 juta. Atas permohonan Wajib Pajak, sesuai dengan Pasal 1 huruf b angka 5 dari KMK No. 91/PMK.03/2006 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB menyatakan bahwa Wajib Pajak Badan yang melakukan merger dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dapat diberikan pengurangan BPHTB dengan syarat merger tersebut (tergantung pemeriksaan) telah memperoleh keputusan persetujuan Dirjen Pajak untuk penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan usaha. Adapun besarnya pengurangan BPHTB ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang terhutang untuk Wajib Pajak
Badan yang
melakukan merger tersebut. 5. Hubungan Merger Perseroan dengan Fungsi-Fungsi Perpajakan. Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang bersifat memaksa dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung. Sebagai wujud keperdulian negara dalam meregulasi merger perseroan disamping adanya kedaulatan negara sebagai otoritas pemungut pajak yang mempunyai kewenangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 23A Amandemen keempat UUD 1945 maka negara juga harus mampu meningkatkan kesadaran dan peran serta Wajib Pajak yang melakukan merger perseroan untuk berpartisipasi dalam menopang kesinambungan pembangunan bangsa. Untuk meningkatkan partisipasi aktif perseroan-perseroan, yang dalam terminologi perpajakan dikenal dengan Wajib Pajak Badan, yang melakukan merger maka diperlukan pemberian pemahaman bahwa pengaturan merger perseroan sangat berhubungan erat dengan fungsi-fungsi perpajakan dimana penjelasan lebih lanjut akan diuraikan sebagaimana uraian dibawah. Dalam hal pajak digunakan sebagai fungsi mengisi kas negara (budgeter), dilakukan dimana pajak dikumpulkan sebanyak-banyaknya oleh negara untuk mengisi kas negara maka merger perseroan dalam pengaturan pajaknya juga
43
menimbulkan potensi pajak yang wajib dilunasi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Fungsi budgeter atas merger perseroan ini dapat dilihat dari adanya potensi-potensi pajak seperti PPh, PPN, dan BPHTB dengan menggunakan tarif pajak tertentu. Adapun pengenaan pajak dalam merger perseroan tersebut selalu berdasarkan aturan tertulis dibidang perpajakan baik itu ditingkat UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, maupun Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal pajak digunakan sebagai fungsi mengatur (regulerend) terhadap merger perseroan dapat dilihat dimana dalam mengeluarkan ketentuan perpajakan yang berlaku atas merger perseroan, negara menggunakan pajak sebagai sarana atau alat untuk mengatur masyarakat dalam bidang-bidang tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan perpajakan yang mengatur sebagai berikut: 1. UU PPh yang mensyaratkan bahwa merger perseroan harus memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test) sehingga merger tidak dipergunakan sebagai sarana untuk menghindari pajak dan juga tidak mematikan lini bisnis perusahaan lain. 2. PMK No. 79/PMK.03/2008 yang mengatur tentang revaluasi aktiva tetap untuk tujuan perpajakan semakin diperketat. Dimana dalam melakukan revaluasi sehubungan dengan merger perseroan perlu dilakukan perencanaan yang tepat kapan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan. Dalam hal ini revaluasi aktiva tetap akan menarik bagi perseroan yang sedang mengalami penurunan omset atau mempunyai aktiva tetap yang sebagian besar sudah mendekati habis umur fiskalnya namun aktiva tersebut masih mampu berproduksi secara baik dan jangka panjang mempunyai prospek bisnis yang lebih baik. 3. UU PPN dalam ketentuan tentang merger perseroan dapat dipergunakan untuk mengubah pola hidup dan mengurangi daya beli Wajib Pajak. Dalam hal pajak digunakan sebagai fungsi demokrasi dalam merger perseroan dapat dilihat dengan adanya pelayanan yang profesional dan cuma-cuma dari
44
pemerintah dalam melakukan kewajiban perpajakannya sehubungan dengan merger perseroan tersebut. Bagi perseroan yang belum memahami ketentuan perpajakan merger perseroan dapat meminta penjelasan dari kantor pajak terdekat dan semua formulir-formulir yang berkaitan dengan merger tersebut diberikan tanpa dipungut biaya. Wujud keprofesionalismean dari Direktora Jenderal Pajak ini semakin diuji sejak berjalannya reformasi birokrasi di Departemen Keuangan Republik Indonesia sehingga bagi Wajib Pajak Badan yang merasa dipersulit oleh oknum pajak tertentu dalam melakukan kewajiban perpajakannya khususnya dalam merger perseroan maka dapat mengirimkan pengaduan tertulis ke Direktorat Jenderal Pajak atau ke Departemen Keuangan Republik Indonesia. Dalam hal pajak digunakan sebagai fungsi redistribusi dalam merger perseroan dapat dilihat pada penekanan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat dimana kemanfaatan dan penggunaan pajak adalah hak mutlak negara. Hal ini dapat dilihat dari adanya Teori Utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan Teori Keadilan dari John Rawls. Teori Utilitarianisme dalam aplikasinya pada proses merger perseroan dimana disebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan jaminan kebahagiaan pada individu-individu. Kemanfaatan merger perseroan ini diharapkan bukan hanya bagi pihak yang melakukan merger perseroan seperti perseroan yang mengalihkan, perseroan yang menerima pengalihan, para pemegang saham, direksi, dan komisaris akan tetapi kemanfaatn juga harus dapat dirasakan oleh pihak-pihak lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 126 UUPT 2007. Sedangkan Teori Keadilan dari
John Rawls dalam aplikasinya dengan merger
perseroan dapat dilihat dari pendistribusian penerimaan pajak yang dihasilkan dari merger perseroan kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga terwujud keseimbangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari adanya stimulus fiskal dari pemerintah, adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT), pembangunan sarana dan prasarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit, transportasi, dll, adanya jaminan keamanan dan ketertiban, dan sebagainya.
45
6. Pertanggungjawaban Perseroan Yang Baru Dalam Bidang Perpajakan Setelah Terjadinya Merger Perseroan. Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007, Perseroan merupakan perusahaan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai perusahaan yang berbadan hukum dalam hal telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI sehingga dengan status tersebut, Perseroan menjadi subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum sama seperti natuurlijke persoon yang memiliki kedudukan mandiri yang tidak tergantung pada pemegang sahamnya seperti dapat digugat maupun menggugat, dapat membuat keputusan, bisa memiliki utang-piutang, dan mempunyai asset/kekayaan seperti halnya manusia. Perseroan Terbatas bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya atau dengan kata lain hanya organ yang dapat mewakili Perseroan yang menjalankan perusahaan. Terkait dengan pertanggungjawaban setelah terjadinya merger maka Perseroan yang menerima harta (surviving company) harus bertanggung jawab dalam bidang perpajakan. Walaupun suatu badan hukum itu bukanlah seorang manusia yang mempunyai pikiran/kehendak, akan tetapi menurut hukum ia dapat dianggap mempunyai kehendak. Menurut teori badan hukum yang lazim dianut yaitu Teori Organ menyatakan bahwa suatu badan hukum itu mempunyai kehendak dan kemauan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya yaitu pengurus dan anggotaanggotanya. Teori organ dan keterkaitannya dengan UU No. 40 Tahun 2007 ini diperkuat lagi dalam hukum pajak yang menyatakan bahwa salah satu yang menjadi subjek pajak adalah Badan. Subjek Pajak tersebut akan dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan yang selanjutnya
disebut Wajib Pajak. Perseroan
sebagai Wajib Pajak Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Dalam
bidang
perpajakan
perbuatan
suatu
badan
hukum
dapat
dipertanggungjawabkan dimana setiap Wajib Pajak (baik itu badan maupun orang
46
pribadi) yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dapat dikenakan sanksi perpajakan baik itu sanksi administrasi berupa denda, bunga, dan kenaikan maupun sanksi pidana. Dalam hal terjadi tindak pidana dalam bidang perpajakan, Perseroan hanya dapat bertanggung jawab pada pembayaran pokok pajak yang kurang dibayar ditambah dengan denda sedangkan tanggung jawab para organ-organ pada Perseroan dapat sampai ke penjara. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa secara perdata kehendak dari persero pengurus dianggap sebagai kehendak Perseroan. Akan tetapi, perbuatanperbuatan pengurus yang bertindak atas nama Perseroan, pertanggungjawabannya terletak pada Perseroan dengan semua harta bendanya. Hal ini sejalan dengan Pasal 1365 KUHPer yang dikenal dengan konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan dimana setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan kepada orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian yang diderita oleh korban. E. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisa pada bab-bab terdahulu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Adanya ketentuan-ketentuan perpajakan yang mengatur khusus tentang merger perseroan telah sesuai dengan fungsi fungsi perpajakan yang terwujud dalam fungsi mengisi kas negara (budgeter), fungsi mengatur (regulerend), fungsi demokrasi, dan fungsi redistribusi. 2. Adapun potensi pajak yang dapat dihitung dari terjadinya merger perseroan dapat dilihat dari jenis-jenis pajak Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB).
47
3. Pertanggungjawaban perseroan yang baru dalam bidang perpajakan setelah terjadinya merger dapat dilihat dalam sistem perpajakan di Indonesia yang menyatakan bahwa sebagai Subjek Pajak yang akan dikenakan pajak maka Perseroan harus menyandang status sebagai Wajib Pajak Badan. Wajib Pajak Badan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Setiap Wajib Pajak yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya dikenakan sanksi perpajakan berupa sanksi administrasi berupa denda, bunga, dan kenaikan maupun sanksi pidana. Khusus dalam tindak pidana perpajakan, Perseroan bertanggung jawab pada pembayaran pajak serta denda, sedangkan tanggung jawab para organ-organ Perseroan dapat ditingkatkan sampai ke penjara. 2. Saran Berdasarkan uraian pada kerangka teori dan hasil temuan/analisis yang ditopang dengan kesimpulan diatas maka peneliti mencoba untuk menyumbangkan saran-saran sebagai berikut: 1. Untuk mewujudkan tranparansi dan akuntabilitas dari Wajib Pajak dan Negara dalam menjalankan fungsi perpajakan di Indonesia maka sangat diperlukan kepastian hukum yang bersumber dari negara yang sifatnya tidak multitafsir sehingga dapat tercipta penataan yang harmonis terhadap legal substance, didukung oleh profesionalisme dari legal structure dan legal culture dari semua komponen bangsa. 2. Negara harus perduli secara langsung kepada perseroan-perseroan yang salah satunya diwujudkan dengan memberikan stimulus fiskal bagi perseroan yang akan mengadakan merger sehingga setiap perseroan yang mengadakan merger saling berpacu dalam memaksimalkan laba perseroannya sehingga otomatis juga dapat meningkatkan penerimaan pajak bagi negara. 3. Departemen Keuangan Republik Indonesia, selaku legal structure, perlu mengeluarkan peraturan khusus, sebagai sumber hukum tertulis yang pasti, tentang perlakuan pajak atas merger perusahaan yang lebih teknis dan
48
komprehensif
sehingga
dalam
prakteknya
dilapangan
tidak
dapat
disalahgunakan oleh legal structure dan Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena aturan-aturan perpajakan tentang merger perusahaan di Indonesia masih dalam tatanan umum. Sebagai salah satu contohnya adalah dapat dilihat dari hasil penelitian terdapat beberapa jenis merger dimana masing-masing pengklasifikasian merger tersebut dalam prosesnya berbeda-beda perlakuan hukumnya sehingga memerlukan perlakuan yang berbeda juga dalam bidang perpajakan. 4. Direktorat Jenderal Pajak disamping harus lebih tegas mengawasi kewajiban perpajakan atas perseroan-perseroan yang saling terkait dengan merger sehingga tujuan dari merger untuk memenuhi business purpose test benarbenar dijalankan oleh perseroan juga harus lebih menyederhanakan administrasi dalam proses merger perseroan sehingga menjadi lebih menarik bagi Wajib Pajak. 5. Masalah pengawasan oleh negara yang terkait dengan merger perseroan tidak hanya terletak pada satu instansi saja tetapi saling terkait dengan beberapa instansi pemerintah seperti Departemen Hukum dan HAM, Komisi Pengawas Persaingan dan Usaha (KPPU), Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bank Indonesia (BI), dll. Oleh karena itu, perlu adanya pelayanan satu atap dalam hal pelaksanaan pra dan pasca restrukturisasi perusahaan sehingga: i.
Adanya check and balances sebelum terjadinya merger perseroan.
ii.
Tercipta harmonisasi di bidang perundang-undangan dan tidak terjadi tumpang tindih peraturan.
iii.
Lebih menyederhanakan birokrasi.
iv.
Lebih memberikan pelayanan prima.
v.
Pengawasan dan pembinaan merger perseroan lebih terarah dan tepat sasaran.
49
DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Aduru Rajendra Prasad. The Regulation of Unfair Contracts – An Indian Perspective, dalam Developing Consumer Law in Asia Faculty of law University of Malaya & International Organization of Consumer Union Regional Office for Asia and the Pacific, Editor S. Sothi Rachagan, 1994. Agnes Sawir. Kebijakan Pendanaan dan Restrukturisasi Perusahaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004. Agus Budianto. Merger Bank di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004 . Apeldoorn, LJ Van. Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan oleh Mr. Oetarid Sadino. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2004. Bambang Sunggono. Rajagrafindo Persada, 2007.
Metodologi
Penelitian
Hukum.
Jakarta:
PT.
Bryan A Garner. Black’s Law Dictionary. St. Paul: Thomson West, 2004 Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Djoko Mulyono. PPh dan PPN untuk Berbagai Kegiatan Usaha. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007. Hitt, Michael A, Jeffrey S. Harrison dan R. Duane Ireland. Merger dan Akuisisi. Terjemahan oleh Sugeng Hariyanto, Sukono dan Umi Rohimah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002. Hitt, Michael A, R. Duane Ireland dan Robert E. Hoskisson. Manajemen Strategis: Menyongsong Era Persaingan dan Globalisasi. Terjemahan oleh Armand Hediyanto. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002. Horne, James C. Van & John M. Wachowicz, Jr. Buku Dua: Prinsip-prinsip Manajemen Keuangan, Terjemahan oleh Heru Sutojo. Jakarta: Salemba Empat, 1998. 2003.
Hutagaol, John. Kapita Selekta Akuntansi Pajak. Jakarta: Penerbit Kharisma,
50
Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Johnny Ibrahim. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2007. Joni Emirzon. Hukum Usaha Jasa Penilai dari Perspektif Good Corporate Governance. Semarang: Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2007. 2008.
Joni Emirzon. Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta: CV. Literata Lintas Media,
Khudzaifah Dimyati. Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004. Kevin E. Murphy & Mark Higgins, Concepts in Federal Taxation. USA: South - Western College Publishing, 2002. Muhammad Erwin dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum: Mencari Hakikat Hukum. Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2008. 2002.
Munir Fuady. Hukum tentang Merger. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
Munir Fuady. Hukum Perusahaan: Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. 2005.
Munir Fuady. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
Munir Fuady. Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. . Peter Makmur Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Richard E. Baker, Valdean C. Lembke, dan Thomas E. King. Akuntansi Keuangan Lanjutan. Terjemahan oleh Sylvia Veronica N. P. Siregar. Jakarta: Salemba Empat, 2005.
51
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Persada, 2007.
PT. RajaGrafindo
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006. Saragih, Bintan Regen. Politik Hukum. Bandung: CV. Utomo, 2006. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007. Suwarsono Muhammad. Strategi Penyehatan Perusahaan. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilm Manajemen YKPN, 2006. Untung Sukardji. Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton. Hukum Pajak. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2008. 2004.
Yusdianto Prabowo. Akuntansi Perpajakan Terapan. Jakarta: PT. Grasindo,
PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, 2000. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan, 2000. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, 2007. Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, 2007. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, 2008.
52
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas tanggal 24 Pebruari 1998. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank tanggal 07 Mei 1999. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.04/1998 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan atau Pemekaran Usaha sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2005. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 180/KMK.04/1999 tentang Saat terutangnya PPN atas penyerahan BKP dalam rangka restrukturisasi perusahaan tanggal 27 Mei 1999. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang telah diubah dengan KMK No. 251/KMK.03/2002. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006 tentang Pemberian
Pengurangan BPHTB.
Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha tanggal 13 Maret 2008. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan tanggal 23 Mei 2008. Peraturan Direktur Jendera Pajak No. PER-28/PJ./2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha tanggal 19 Juni 2008. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-18/PJ.31/1992 tanggal 10 September 1992. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-23/PJ.42/1999 tentang Buku Panduan tentang Perlakuan Perpajakan atas Restrukturisasi Perusahaan tanggal 27 Mei 1999.
53
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-45/PJ/2008 tentang Penyampaian dan Pemonitoran Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha tanggal 28 Agustus 2008. LAIN-LAIN Abd. Choliq. Fungsi Hukum dan Asas-Asas Dasar Negara Hukum, http://www.pa-cilacapkab.go.id/artikel/REFLEKSI-HUKUM.pdf diunduh terakhir pada tanggal 21 April 2009. Budi F. Supriadi. Tinjauan Mengenai Proses Pengesahan Perseroan Terbatas Secara On-Line Melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum), laman http://unikom.ac.id/.../TINJAUAN%20MENGENAI%20PROSES%20PENGESAHA N, diunduh terakhir pada tanggal 23 April 2009. Jimly Asshiddiqie. Badan Hukum, http://www.jimly.com/pemikiran/view/14 diunduh terakhir pada tanggal 23 April 2009. Rachmanto Surahmat. Perlakuan PPh Dalam Restrukturisasi Usaha (2). Jakarta: Surat Kabar Harian Bisnis Indonesia tanggal 26 Juni 2006. Setiadi
Oemar
Sambudi.
“Salah
Kaprah
10 April 2007.
Corporate Restructuring.” diunduh terakhir pada tanggal