1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang dan pemeritah memerlukan sumber penerimaan yang cukup besar untuk dapat membiayai pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan yang berada di pusat ataupun yang ada di daerah. Salah satu penerimaan negara yang terbesar dan paling dominan sampai saat ini adalah berasal dari sektor perpajakan. Sebagai negara berkembang yang berada dalam masa pembangunan, indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menyelenggarakan pemerintahan dan membiayai pembangunan guna menciptakan masyarakat yang
adil
dan
makmur.
Sumber
dana
yang
diperlukan
untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan membiayai pembangunan tersebut sebagaian berasal dari sektor pajak, pemerintah sedang melakukan perbaikan, penyesuaian, dan perubahan terhadap undang-undang perpajakan yang berlaku saat ini terutama pajak penghasilan yang telah mengalami tiga kali perubahan. Terakhir telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1983 menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan. Dengan undang-undang perpajakan yang terus mengalami perbaikan, penyesuaian dan perubahan, wajib pajak diharuskan untuk mengikuti
1
2
perkembangan undang-undang perpajakan yang berlaku karena self assesment system yang diterapkan oleh pemerintah, dimana wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memotong, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Pemerintah dalam hal ini hanya memberikan pembinaan, pengawasan atas pelaksanaanya di lapangan. Berdasarkan analisa di atas maka dari itu penulis tertarik untuk mengambil topik pajak dalam penelitian ini khususnya pajak penghasilan. Salah satu pajak yang mengalami perbaikan, penyesuaian dan perubahan adalah PPh pasal 21 merupakan PPh yang dikeluarkan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh pasal 21 adalah pemberi kerja, badan, bentuk usaha tetap, yayasan, perusahaan dan penyelenggara kegiatan, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, serta dana pensiun, badan penyelenggara sosial tenaga kerja, dan badanbadan lain yang membayar uang pensiun dan tabungan hari tua atau jaminan hari tua. Tujuan pemerintah yang bermaksud untuk memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak pada bertentangan dengan tujuan dari wajib pajak, dimana wajib pajak berusaha untuk mengefisienkan beban pajaknya sehingga memperoleh keuntungan lebih besar dalam rangka untuk menyejahterakan
3
pemiliknya dan melanjutkan kelangsungan hidup perusahaanya. Oleh karena itu, penting bagi penulis membahas perencanaan pajak penghasilan pasal 21 untuk membantu perusahaan berupaya mengefisienkan biaya yang dikeluarkan sehingga operasional perusahaan dapat berjalan lancar serta sesuai dengan ketentuan perpajakan. Dari segi ekonomis, pajak merupakan pemindahan
sumber daya dari
sektor privat (perusahaan) ke sektor publik, pemindahan sumber daya tersebut akan mempengaruhi daya beli (purchasing power) atau kemampuan belanja (spending power) sektor privat.agar tidak terjadi gangguan terhadap jalannya perusahaan, maka pemenuhan kewajiban perpajakan harus dikelola dengan baik. Berbagai cara ditempuh oleh
perusahaan supaya keuntungan usaha
bertambah, antara lain dengan mengurangi biaya produksi. Tetapi hal itu belum cukup dilakukan oleh perusahaan karena masih banyak pengurangpengurang laba yang harus ditanggung oleh perusahaan, diantaranya adalah pajak. Pada dasarnya setiap orang tidak suka membayar pajak. Upaya-upaya dalam penghematan pajak yang harus dibayat oleh perusahaan, dilakukan dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan-peraturan perpajakan yang ada, dengan harapan memperoleh peningkatan laba bersih setelah pajak. Peluang melakukan penghematan pada PPh badan salah satunya dapat dilakukan pada biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan, di antaranya adalah pada PPh pasal 21 atas penghasilan diterima karyawan.
4
PT, Indo Persada Utama Pasuruhan dipilih sebagai objek yang diteliti oleh penulis dikarenakan PT. Indo Persada Utama Pasuruhan merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dibidang produksi Food Baferage telah berdiri sejak tahun 1994 berkedudukan di Jl. Raya Pasuruhan No.32-35 tidak terlepas dari kewajiban membayar pajak, yang meliputi pajak
penghasilan.
Perencanaan pajak bagi PT. Indo Persada Utama Pasuruhan dimaksudkan untuk mengefisienkan jumlah biaya atau beban pajak. Salah satu perencanaan pajak yang ditetapkan oleh PT. Indo Persada Utama Pasuruhan dalam rangka mengefisienkan beban operasional adalah perencanaan pajak penghasilan pasal 21. PPh pasal 21 adalah pajak yang dibayarkan atas penghasilan karyawan seperti gaji, bonus, tunjangan dan lain-lainnya yang dipotong oleh pemberi kerja. Sebagai
sumber
dana
yang
diperlukan
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan dan membiayai pembangunan, penerimaan pajak akan terusmenerus dimaksimalkan oleh pemerintah. Khususnya pajak penghasilan yang dikenakan kepada orang pribadi, badan dan bentuk usaha tetap atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan dari pemotong pajak atau lebih dikenal dengan PPh pasal 21. Setiap wajib pajak, dalam hal ini perusahaan, selalu berupaya agar pajak yang akan dibayarkan kepada pemerintah dapat ditekan serendah mungkin guna memperoleh keuntungan yang lebih besar. Untuk itu, berbagai alternsatif cara dilakukan oleh perusahaan, salah satunya dengan perencanaan pajak penghasilan khususnya PPh pasal 21.
5
Ada 3 (tiga) metode yang dapat dipilih oleh perusahaan dalam menerapkan pemungutan PPh pasal 21 karyawan. Metode pertama, besarnya PPh pasal 21 dapat dipotong langsung dari gaji yang diterima oleh karyawan. Sedangkan metode kedua yang dapat diterapkan adalah dengan memberikan tunjangan tambahan yang berupa tunjangan pajak. Tunjangan pajak yang diberikan akan menambah Penghasilan Kena Pajak (KPK) karyawan menjadi besar. Sedangkan metode yang ketiga adalah dengan memberikan tambahan pada penghasilan bruto karyawan sebesar pajak yang harus ditanggung karyawan. Metode ini sering disebut dengan metode gross up. Sejak tanggal 2 januari 2003, mulai berlaku Keputusan Menteri Keuangan Republik IndonesiaNo.70/KMK.03/2003 tanggal 20 januari 2003 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh pekerja sampai dengan sebesar
Upah
Minimum
Provinsi
(UMP)
atau
Upah
Minimum
Kabupaten/Kota (UMK). Pemerintah menanggung PPh 21. Sehingga PPh 21 yang wajib dipotong atas penghasilan yang diterima karyawan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang dikurangi dengan pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemerintah. Sebagai upaya untuk menekan beban pajak sekecil mungkin adalah dengan menggunakan perencanaan pajak (tax planning)atau (tax sheltering). Perencanaan pajak adalah salah satu fungsi dari menejemen pajak yang digunakan untuk mengestimasi jumlah pajak yang akan dibayar untuk pajak . Perencanaan pajak merupakan langkah awal dalam menejemen pajak. Sedangkan definisi dari menejemen pajak adalah sarana untuk memenuhi
6
kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang di bayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Dalam perencanaan pajak dilakukan pengumpulandan penelitian terhadap peraturan
perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan
penghematan pajak yang akan dilakukan (suandy,2006:7). Perencanaan pajak (tax planning) dapat dilakukan dengan menggunakan cara penggelapan pajak (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax avoidance). Sepintas keduacara tersebut memiliki konotasi yang sama sebagai tindakan yang melanggar hukum, tetapi ada beberapa hal yang membedakan keduanya. Penggelapan pajak merupakan pengurangan pajak yang dilakukan dengan jalan melanggar peraturan perpajakan, seperti memberikan data keuangan yang palsu atau menyembunyikan data. Sedangkan penghindaran pajak merupakan usaha untuk mengurangi pajak yang terutang, namun tetap mematuhi ketentuan-ketentuan peraturan perpajakan, seperti memanfaatkan perkecualian-perkecualian ataupun potongan-potongan yang diperkenankan maupun memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang perpajakan yang berlaku (lawfull dan sensible). Seperti yang diungkapkan di atas, cara yang diperkenakan untuk melakukan penghematan pajak adalah penghindaran pajak (tax avoidance). Oleh karena itu diperlukan manajemen pajak yang bertujuan untuk meminimalkan beban pajak dan menunda selambat mungkin pajak untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.
7
Untuk dapat melakukan penghematan terhadap pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh) perorangan dan badan dapat dilakukan dengan perencanaan pajak pada biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan bagi karyawan, salah satunya adalah pada pemberian penghasilan kepada karyawan. Ada 4 (empat) metode yang dapat digunakan untuk melakukan pemungutan terhadap PPh pasal 21 karyawan. Metode yang pertama adalah gross method yaitu metode dimana karyawan yang akan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilan. Metode kedua yang dapat dipilih adalah net method yaitu metode dimana perusahaan atau pemberi kerja yang akan menanggung pajak karyawannya. Metode ketiga adalah metode tunjangan pajak yaitu metode dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak sejumlah PPh yang terutang kepada karyawan. Dan metode yang terakhir disebut dengan gross up method yaitu metode dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang perhitungannya menggunakan rumus matematika tertentu yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang dipotong karyawan. Penulis memilih PT. Indo Persada Utama Pasuruhan sebagai tempat penelitian karena perusahaan ini merupakan salah satu wajib pajak yang bergerak pada bidang industri consumer goods dan perusahaan terasebut memiliki kewajiban perpajakan. Kewajiban perpajakan tersebut antara lain adalah berkaitan dengan pajak penghasilan baik perorangan maupun badan. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa semua kewajiban pajak pasti akan berakibat mengurangi laba perusahaan. Untuk dapat mengurangi kewajiban
8
pajak tersebut maka diperlukan perencanaan pajak yang legal dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan permasalahan di atas, dalam skripsi ini penulis bermaksud mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai masalah tersebut dengan mengambil judul : “Analisis Tentang Penerapan Perencanaan Pajak Penghasilan Berdasar Pasal 21 Sebagai Strategi Penghematan Pembayaran Pajak (Studi Kasus Pada PT.Indo Persada Utama Pasuruhan)”
1.2. Rumusan Masalah Berdasar pada paparan dalam latar belakang masalah di atas, dalam penelitian ini rumusan masalah yang diajukan adalah : 1. Bagaimana penerapan perencanaan pajak untuk menghemat pembayaran melalui Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 atas penghasilan yang diterima karyawan dengan menggunakan metode net gross, tunjangan pajak, dan gross up pada PT. Indo Persada Utama Pasuruhan ? 2. Bagaimana dampak yang dihasilkan oleh penerapan perencanaan pajak tersebut pada laporan laba rugi perusahaan pada PT. Indo Persada Utama Pasuruhan ?
1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah :
9
1. Mengetahui upaya penerapan perencanaan pajak dengan menggunakan 4 (empat) metode terhadap pajak penghasilan (PPh) pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh karyawan sehingga dapat mengurangi pajak penghasilan terutang. 2. Mengetahui dampak yang dihasilkan oleh penerapan perencanaan pajak tersebut pada laporan laba rugi perusahaan. 3. Membandingkan antara jumlah pajak yang penghasilan sebelum dan sesudah adanya perencanaan pajak.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh manfaat kepada pihak-pihak yang berkepentingan sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritas Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai pajak penghasilan pasal 21. 2. Manfaat Praktis a. Melalui penelitian ini, penulis dapat terlibat langsung dalam praktek perencanaan pajak dan secara langsung mengetahui sampai sejauh mana teori tentang perencanaan perpajakan mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di suatu perusahaan. Selain itu penulis dapat
10
menambah wawasan pengetahuan serta kemampuan berfikir dalam bidang perpajakan khususnya mengenai tentang perencanaan pajak. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran kepada perusahaan khususnya PT. Indo Persada Utama Pasuruhan dalam merencanakan dan mengendalikan besarnya pajak yang akan dibayar dan dapat membantu pihak menejemen dalam mengambil keputusan maupun kebijakan yang tepat bagi perusahaan.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Manajemen Pajak Menurut Lumbantoruan (1996) yang dikutip oleh Early (2006) menyebutkan bahwa manajemen pajak sebagai suatu strategi penghematan pajak. Pada dasarnya usaha penghematan pajak merupakanusaha wajib pajak yang selalu berusaha meminimalkan beban pajak dan menunda pembayaran pajak selambat mungkin sebatas masih diperkenakan peraturan perpajakan. Meminimalkan beban pajak sekecil mungkin dapat dilakukan dengan menekan penghasilan-penghasilan dan/atau memperbesar biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan (deductible) sehingga Penghasilan Kena Pajak menjadi lebih kecil atau memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakan. Sedankan usaha memanfaatkan peraturan perpajakan yang ada, seperti ketentuan yang berkaitan dengan penyusutan. Fungsi manajemen umum, seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian juga berlaku dalam m,anajemen pajak. Jadi, secara teoretis perencanaan pajak adalah bagian dari manajemen pajak. Tujuan manajemen pajak oleh Suandy (2006) dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar 2. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya
11
12
Untuk maksud pembahasan strategi penghematan pajak, ada baiknya jika mendefinisikan manajemen pajak sebagai kewajiban memenuhi perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh likuiditasdan laba yang diharapkan. Dari uraian-uraian tersebut dikemukakan
bahwa
fungsi-fungsi
manajemen
pajak
masih
menurut
Lumbantoruan (1996) adalah : 1. Perencanaan pajak (tax planning) 2. Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) 3. Pengendalian pajak (tax control)
2.1.2. Perencanaan Pajak 2.1.2.1. Pengertian Perencanaan Pajak Menurut Suandy (2006) perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak. Penelitian yang dilakukan pada dasarnya terletak pada posisi fungsi perencanaan. Perencanaan pajak tidak termasuk pengertian penggelapan pajak, jadi pada hakekatnya adalah cara-cara atau strategi manajemen perusahaan menyiasati peraturan perundang-undangan pajak. Perencanaan pajak pada hakekatnya merupakan usaha yang dilakukan oleh manajemen perusahaan didalam upaya penghematan pajak terutang yang
13
harus dibayar oleh perusahaan dengan cara memanfaatkan hal-hal yang menjadi perkecualian maupun yang belum dijangkau oleh peraturan perundang-undangan perpajakan yang ada. Secara teoretis perencanaan pajak menurut Zein (2005) adalah suatu proses yang mendeteksi cacat teoretis dalam ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan tersebut, untuk kemudian diolah sedemikian rupa sehingga ditemukannya suatu cara penghindaran pajak yang dapat menghemat pajak akibat cacat teoretis tersebut. Menurut Lumbantoruan (1996)
, perencanaan pajak adalah tahap
perrtama dalam penghematan pajak. Rencana penghematan pajak dapat ditempuh melalui : a. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketentuan mengenai pengecualian dan potongan atau pengurangan yang diperkenankan b. Mengambil keuntungan dari bentuk-bentuk perusahaan yang tepat (bentuk yang menguntungkan dari sudut pandang perpajakan adalah perseorangan, firma dan kongsi; bila dibandingkan dengan perseroan karena akan dikenai pajak ganda, pertama atas penghasilan yang diperoleh atau diterima dan kedua pada saat pemilik menerima atau memperoleh dividen) c. Menyebarkan penghasilan menjadi pendapatan dari beberapa tahun untuk mencegah pengenaan tarif yang tinggi. Menurut Scholes dan Wolfson (1997) dalam Suandy (2006) ada tiga teknik dalam menerapkan perencanaan pajak yang efektif, yaitu :
14
1. Converting income from one type to another, 2. Shifting income from one pocket to another,
3. Shifting income one time periode to another , Cara pertama dilakukan dengan melakukan suatu perubahan terhadap perlakuan penghasilan dari suatu bentuk perlakuan tertentu menjadi bentuk lainnya, sehingga wajib pajak dapat menghemat pembayaran pajaknya. Cara yang kedua diterapkan dengan memindahkan pembayaran yang dipikul perusahaan kepada pihak yang menerima pembayaran tersebut, dari suatu periode ke periode lainnya. Dengan demikian, biaya yang dipikul perusahaan dapat dialokasikan ke beberapa periode. Penggunaan ketiga cara tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi perusahaan dan jenis pos yang akan direncanakan, mana yang lebih menguntungkan. Dalam istilah yang berbeda, tetapi makna yang hampir sama Karayan, dkk (2002) membedakan perencanaan pajak menjadi empat jenis teknik yaitu 1. Creation, 2. Conversion, 3. Shifting, dan 4. Splitting Menurut Yusuf yang dikutip oleh Suandy (2006) menyatakan bahwa setidak-tidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak yaitu :
15
1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan. 2. Apabila suatu perencanaan pajak ingin dipaksakan dengan melanggar ketentuan perpajakan, bagi wajib pajak merupakan resiko pajak (tax risk) yang sangat berbahaya dan mengancam keberhasilan perencanaan pajak tersebut. 3. Secara bisnis masuk akal. 4. Perencanaan
pajak
yang
tidak
masuk
akal
hanya
akan
memperlemah perencanaan pajak itu sendiri. 5. Bukti-bukti
pendukungnya
memadai,
misalnya
dukungan
perjanjian, faktur, dan juga perlakuan akutansinya. Dalam manajemen pajak, perencanaan pajak merupakan tahap pertama, untuk selanjutnya dikelola dan bagaimana perusahaan itu akhirnya dapat mengendalikan. Fungsi perencanaan merupakan titik berat dalam manajemen pajak karena dalam fungsi ini ditetapkan cara-cara yang akan dilaksanakan untuk penghematan pajak.
2.1.2.2. Manfaat dan Tujuan Perencanaan Pajak 1. Manfaat Perencanaan Pajak Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari perencanaan pajak yang dilakukan secara cermat. Menurut Mardiasmo (2003), manfaat perencanaan pajak bagi wajib pajak adalah :
16
a. Penghematan kas keluar, maksudnya perencanaan pajak dapat menghemat pajak yang merupakan biaya bagi perusahaan. b. Mengatur aliran kas (cas flow), maksudnya perencanaan pajak dapat mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menetukan saat pembayaran sehingga dapat menyusun kas secara akurat.
2. Tujuan Perencanaan Pajak Tujuan dari perencanaan pajak secara khusus dapat diuraikan sebagaimana pendapat Mangoting (1999), yaitu sebagai berikut : a. Menghilangkan/menghapus pajak sama sekali. b. Menghilangkan/menghapus pajak dalam tahun berjalan. c. Menunda pengakuan penghasilan. d. Mengubah penghasilan rutin berbentuk capital gain. e. Memperluas bisnis atau melakukan ekspansi usaha dengan membentuk badan usaha baru. f. Menghindari pengenaan pajak ganda. g. Menghindari bentuk penghasilan yang bersifat rutin atau teratur, atau membentuk, mempebanyak atau mempercepat pengurangan pajak. Sedangkan menurut Suandy (2006) jika tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan pembuat undang-undang, maka perencanaan pajak di sini sama dengan tax avoidance karena secara hakekat ekonomis keduanya berusaha untuk
17
memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk diinvestasikan kembali.
2.1.2.3.
Tahapan dalam Membuat Perencanaan Pajak Berikut ini merupakan tahap-tahap dalam perencanaan pajak menurut
Suandy (2006) yang bertujuan agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Tahap-tahap tersebut adalah : 1. Menganalisa informasi yang ada (analysis of the existing data base). Faktor-faktor yang harus diperhatikan : a. Fakta yang relevan Dalam melakukan perencanaan pajak untuk perusahaan manajer dituntut untuk benar-benar menguasai segala situasi, baik segi internal maupun eksternal, selain itu manajer juga harus selalu memutkhirkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi agar perencanaan pajak dapat dilakukan secara tepat dan menyeluruh terhadap situasi transaksi-transaksi yang mempunyai dampak dalam perpajakan. b. Faktor Pajak Dalam menganalisa setiap permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan perencanaan pajak tidak terlepas dari dua hal utama yang berkaitan dengan faktor-faktor :
18
1) Sistem perpajakan nasional yang dianut oleh suatu negara. 2) Sikap Fiskus dalam menafsirkan peraturan perpajakan baik undang-undang domestik maupun tax treaty. c. Faktor Non Pajak Beberapa faktor non pajak yang relevan untuk diperhatikan dalam penyusunan suatu perencanaan pajak, antara lain : 1) Masalah badan hukum. 2) Masalah mata uang dan nilai tukar. 3) Masalah pengawasan devisa. 4) Masalah program insentif investasi 5) Masalah faktor non pajak lainnya. 2. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak (design of one or more possible tax plans). Metode yang harus diterapkan dalam menganalisis dan membandingkan beban pajak maupun pengeluaran lainnya dari suatu perencanaan adalah : a. Apabila tidak ada rencana pembatasan pajak minimum. b. Apabila ada rencana pembatasan pajak minimum yang ditetapkan, yang berhasil maupun gagal. 3. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak (evaluating a tax plan). Setelah memilih perencanaan pajak maka perlu evaluasi untuk melihat sejauh mana pelaksanaan perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan.
19
Variabel-variabel tersebut dihitung seakurat mungkin dengan hipotesis sebagai berikut : a. Bagaimana jika rencana tersebut tidak dilaksanakan b. Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan dan berhasil dengan baik c. Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan dan gagal Dari ketiga hipotesis tersebut akan memberikan hasil yang berbeda. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan apakah perencanaan pajak tersebut layak dilaksanakan atau tidak. 4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak (debugging the tax plan). Perbandingan berbagai rencana harus dapat dibuat sebanyak mungkin sesuai dengan bentuk perencanaan pajak yang diinginkan, demi mendapatkan keputusan yang terbaik atas suatu perencanaan pajak yang harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi. 5. Memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan). Pemutakhiran dari suatu rencana adalah konsekuensi yang perlu dilakukan sebagaimana dilakukan oleh masyarakat dinamis. Oleh karena itu, harus diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari undang-undang maupun faktor lain yang mempengaruhi perencanaan.
2.1.3. Definisi Perpajakan Pada dasarnya, pajak dipungut oleh pemerintah untuk membiayai Anggaran Pembiayaan dan Belanja Negara (APBN). Pemungutan pajak harus
20
didasarkan pada undang-undang perpajakan yang telah ada. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang telah mengatur tentang pajak penghasilan yang berlaku sejak 1 januari 1984 adalah Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang sekarang telah diubah menjadi Undang-Undang nomor 17 tahun 2000. Sejak berlakunya Undang-Undang nomor 6 tahun 1983, sistem perpajakan yang dianut oleh negara Indonesia adalah self asessment system. Dalam sistem ini, wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang pajak penghasilan yang berlaku sejak 1 januari 1984 adalah UU nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU nomor 17 tahun 2000. Undang-undang pajak penghasilan ini dilandasi dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya terdapat ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sejak reformasi perpajakan tahun 1983, sistem perpajakan yang dianut oleh Indonesia adalah self asessment system. Dalam sistem ini, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk memperhitungkan, membayar dan melapor sendiri kewajiban pajaknya.
21
2.1.4. Kajian Umum Tentang Pajak 2.1.4.1. Pengertian Pajak Pajak merupakan suatu kewajiban yang memerlukan peran aktif dari warga negara dan anggota masyarakat lainnya. Sehingga dapat membiayai keperluan negara untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa dan negara. Pungutan pajak tidak memberikan prestasi baik secara langsung yang dapat dirasakan bagi yang membayarnya. Pengertian pajak secara umum dapat diartikan sebagai iuran rakyat pada kas pemerintah yang bersifat wajib (dapat dipaksakan) berdasarkan undangundang dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik atau kontraprestasi yang langsung ditujukan dan yang tidak digunakan untuk membiayai pengeluaran dan dalam rangka menyelenggarakan pemerintah. Dalam hal balas jasa, pemerintah mewujudkannya kepada masyarakat dalam bentuk pemeliharaan keamanan dan ketertiban, pemberian subsidi barang kebutuhan pokok, tempat peribadatan, dan pembangunan lainnya disegala bidang. Ada beberapa definisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli, baik dari dalam maupun luar negeri. Salah satunya dikemukakan oleh S.I.Djajadiningrat adalah “Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas negara disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung dan tujuannya untuk memelihara kesejahteraan umum.” (dalam Tjahjono,2000)
22
Definisi pajak yang dikemukakan oleh Soeparman Soemahamidjadja yang dikutip oleh Waluyo dan Wirawan B Ilyas (2002:9), dalam bukunya Perpajakan Indonesia, menyatakan bahwa “ Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh pengusaha berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.” Definisi pajak yang dikemukakan oleh Soemitra (2002:1), dalam bukunya Perpajakan, menyatakan bahwa “ Pajak merupakan iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Definisi pajak yang dikemukakan oleh Adriani (2002:2), dalam bukunya Perpajakan Indonesia, menyatakan bahwa “ Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” Definisi pajak yang dikemukakan Prof. Dr.MJH Smeets yang dikutip oleh Waluyo dan Wirawan B Ilyas (2003:%), dalam bukunya Perpajakan Indonesia Edisi Pertama menyatakan bahwa “ Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang menurut norma-norma umum dan yang dapat
23
dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang ditunjukan dalam hal yang individual. “ Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro (2002:5) yaitu ” merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undangundang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hikum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak mupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.” Pajak menurut pasal 1 UU no.28 tahun 2007 ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari definisi tentang pajak di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa : 1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya 2. Dalam
pembayaran
pajak
tidak
dapat
ditunjukan
adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah 3. Pajak dipungut oleh negara yaitu pemerintah pusat maupun daerah
24
4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment Menurut golongannya, pajak dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung merupakan pajak yang dibayar langsung oleh wajib pajak sendiri, atau dengan kata lain tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain, misalnya : pajak penghasilan (PPh). Sedangkan pajak tidak langsung ialah pajak yang pembayarannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, misalnya : pajak pertambahan nilai (PPN). Menurut sifatnya, pajak dibagi menjadi dua yaitu : pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak dalam menentukan pajak yang harus ditanggung, misalnya :pajak penghasilan (PPh). Pada pajak penghasilan, besar pajak yang harus dibayar tergantung dari besarnya pendapatan yang diperoleh. Sedangkan pada pajak objektif yang diperhatikan adalah objeknya baik berupa benda, keadaaan, perbuatan dan peristiwayang mengakibatkan timbulnya pajak, misalnya : pajak bumi dan bangunan (PBB). Pembagian pajak yang ketiga adalah menurut lembaga pemungut pajak dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Pajak negara (pajak pusat) merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dan hasilnya akan digunakan untuk
25
pembiayaan rumah tangga negara pada umumnya, misalnya :pajak bumi dan bangunan (PBB). 2.
Pajak daerah adalah pajak-pajak yang dipungut oleh daerah seperti propinsi, kabupaten, maupun kotamadya berdasarkan peraturan daerah masing-masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerah masing-masing, misalnya : pajak kendaraan bermotor
(tingkat
propinsi),
pajak
atas
reklame
(tingkat
kabupaten/kotamadya), sehingga bagi negara, penerimaan pajak merupakan pemasukan dana paling potensial yang nantinya akan digunakan
untuk
membiayai
pengeluaran
pembangunan.
(Mardiasmo, 2000)
2.1.4.2. Fungsi dan Asas-asas Pemungutan Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya didalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi yaitu : 1, Fungsi anggaran (budgetair) Sebagai
sumber
pendapatan
negara,
pajak berfungsi
untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugastugas
rutin
negara
dan
melaksanakan
pembangunan,
negara
26
membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. 2. Fungsi mengatur (regulerend) Pemerintah
bisa
mengatur
pertumbuhan
ekonomi
melalui
kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri yang diberikan berbagai fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 3. Fungsi stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
peredaran
uang
di
masyarakat,
penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
pemungutan
pajak,
27
4. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang mengemukakan tentang asas pemungutan pajak, antara lain disampaikan oleh Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal “The Four Maxims”, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut : 1. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan) : pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. 2. Asas Certainty (asas kepastian hukum) : semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum. 3. Asas Convinience of payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan) : pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
28
4. Asas Effeciency (asa efisien atau asas ekonomis) : biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak. (www.google.com) Menurut W.J.Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut : 1. Asas daya pikul : besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan. 2. Asas manfaat : pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum. 3. Asas kesejahteraan : pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 4. Asas kesamaan : dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlukan sama). 5. Asas beban yang sekecil-kecilnya : pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai objek pajak. Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak. (www.google.com). Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
29
1. Asas politik finansial : pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara. 2. Asas ekonomi : penetuan objek harus tepat, misalnya pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah. 3. Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula. 4. Asas administrasi : menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak. 5. Asas yuridis : segala pungutan pajak harus berdasarkan undangundang.
2.1.5. Pajak Penghasilan 2.1.5.1. Pengertian Pajak Penghasilan Pengertian pajak penghasilan tercantum dalam undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan. Di dalam ketentuan tersebut disebutkan yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari indonesia maupun dari luar indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang termasuk adalah :
30
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini; 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan; 3. Laba usaha; 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : a. Keuntungan
karena
pengalihan
harta
kepada
perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. Keuntungan
karena
likuidasi,
penggabungan,
peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambil ahlian usaha; d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
31
kepemilikan
atau
penguasaan
antara
pihak-pihak
yang
bersangkutan; 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; 6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian uang; 7. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 8. Royalti; 9.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; 11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah; 12. Keutungan karena selisih kurs mata uang asing; 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; 14. Premi asuransi; 15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; Menurut PSAK nomor 23 pajak penghasilan berarti suatu penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Pajak penghasilan meliputi
32
pendapatan (revenues) dan keuntungan (gains). (PSAK nomor 23 tahun 2004, paragraf 6) Pada pasal 4 ayat 1 Undang-Undang nomor 17 tahun 2000 disebutkan bahwa definisi pajak penghasilan adalah “ Setiap tambahan kemempuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak, baik yang berasal dari indonesia maupun dari luar indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun akan dikenai pajak.” Menurut Suandy (2006) pajak penghasilan adalah “ Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan dalam undangundang ini adalah takwim, namun wajib pajak dapat menggunakan tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
2.1.5.2. Pajak Penghasilan di Indonesia Sejarah pengenaan pajak penghasilan di indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang
33
Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan yang tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti “patent duty”. Sebaliknya business tax atau bedrifsblesting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya poll tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah. Pada 1908 terdapat ordonansi pajak pendapatan yang diperlukan untuk orang
Eropa,
dan
badan-badan
yang
melakukan
usaha
bisnis
tanpa
memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak bergerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General income tax yakni ordonansi pajak pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de herziene inkomstenbelasting 1920, staatsblad 1920, 1921,no. 312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi,orang Asia maupun orang Eropa. Dalam ordonansi pajak pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domosili dan asa sumber. Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah ordonasi pajak perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan,
34
yang terkenal dengan nama PPs (pajak perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan undang-undang nomor 8 tahun 1970 tentang perubahan dan penyempurnaan tatacara pemungutan pajk pendapatan 1944, pajak kekayaaan 1932 dan pajak perseroan tahun 1925 yang dalam praktek lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah UU no. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam ordonansi PPs 1925, khususnta tentang ketentuan cuti pajak (tax holiday). Ordonansi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 desember 1983, yakni pada saat diadakannya reformasi pajak, pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya ordonansi pajak perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi ordonansi pajak pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannya ordonansi pajak pendapatan tahun 1932 (ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, no.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia, sedangkan bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannya di Indonesia. Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili. Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah ordonansi pajak upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong pajak
35
upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman perang dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangbelasting (pajak peralihan). Dengan undang-undang nomor 21 tahun 1957 nama pajak peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord.PPd.1944. pajak pendapatan sendiri disingkat dengan PPd saja. Ord.PPd.1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No.8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pjak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di Indonesia.
2.1.5.3. Subyek Pajak Penghasilan Menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut : 1. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga ) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
36
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. 2. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak. 3. Subyek pajak badan-badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria : a. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan; b. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; c. Penerimaannya dimasukan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; 4. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia. Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut :
37
1. Badan perwakilan negara asing. 2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh : WTO, FAO, UNICEF 4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.1.5.4. Obyek Pajak Obyek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
38
Undang-undang pajak penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut. Pengertian
penghasilan
dalam
undang-undang
PPh
tidak
memperhatikan adanyapenghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemempuan ekomnomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wajib pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari penggunaannya , penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan wajib pajak. Karena undangundang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari obyek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
39
Yang menjadi obyek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk : 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorium, komisi, bonus, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan oleh lain dalam undang;undang ini; 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; 3. Laba usaha; 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: a.Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, apabila wajib pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan maka selisih tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk perhitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. b. Keuntungan yang diperolehperseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau
40
penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan. c.Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilan uasaha, apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi pengabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilan usaha merupakan penghasilan. d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan kecuali yang dapat diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan, atau badan pendidikan, atau badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihakpihak yang bersangkutan. 5.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya bunga termasuk premium,
diskonto,
dan imbalan karena jaminan
pengembalian hutang; premium terjai apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi, sedangkan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi;
41
6.
Deviden, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi, termasuk dalam pengertian deviden adalah : a.Pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun. b. Pembayaran kembali karena likuidasi melebihi jumlah modal yang disetor. c.Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham. d. Pembagian laba dalam bentuk saham. e.Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran f. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan. g. Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagaian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah pengecilan modal dasar yang dilakukan secara sah. h. Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut. i. Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi. j. Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis. k. Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi.
42
l. Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. 7. Royalti; Pada dasarnya royalti imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan : a. Hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, hak paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan. b. Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya : peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak dan sebagainya. c. Informasi yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi yang dimaksud adalah informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama. 8. Sewa penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
43
9. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; 10. Keuntungan karena pembebasan hutang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah; 11. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; 12. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; 13. Premi asuransi; 14. Iuaran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; 15. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Berdasarkan pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000,yang tidak termasuk sebagai objek pajak adalah : 1. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. 2. Harta hibaan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 3. Warisan.
44
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. 5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah. 6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. 7. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Neagara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : a.Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan, b.Bagi Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. 8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
45
9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. 10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi. 11. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha. 12.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : a.Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
2.1.5.5. Kronologi perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan Pajak penghasilan (PPh) di indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada lembaran negara Republik Indonesia tahun 1983 nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
46
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Mulai juli 2003 sampai desember 2004, pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
47
Tahun
2003
dan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
486/KMK.03/2003. Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam : 1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah). 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Dalam hal ini, subjek pajak merupakan segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan. Berdasarkan aliran tambahan kemampuan ekonomis pada wajib pajak, penghasilan di kelompokkan menjadi :
47
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara. 2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan, yang meliputi : dagang, industri, jasa, pertanian, perkebunan (dan lain-lain). 3. Penghasilan dari modal, baik penghasilan dari modal berupa harta gerak, seperti bunga, deviden, royalty, maupun penghasilan dari modal berupa harta tidak bergerak, sewa rumah dan sebagainya, juga termasuk dalam kelompok penghasilan yang diperoleh dari pengerjaan sebidang tanah, keuntungan penjualan harta atau hak yang dipakai dalam melakukan kegiatan usaha. 4. Penghasilan lain-lain, seperti misalnya pembebasan hutang atau hadiah. (Mardiasmo,2000)
2.1.5.6. Biaya
yang
dapat
dikurangkan
dan
tidak
dari
Penghasilan Bruto 1. Biaya yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto (Deductible Expenses) Menurut pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, disebutkan bahwa biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak adalah :
48
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan; b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 dan pasal 11A; c. Iuaran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing; f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : 1.Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2.Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan umum piutang dan lelang negara (BUPLN) atau adanya
49
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; 1.Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan 2.Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. i. Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 didapati kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun; j. Kepada orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
2. Biaya
yang
tidak
dapat
dikurangkan
dari
Penghasilan Bruto
(Nondeductible Expenses) Menurut UU PPh pasal 9 ayat 1: untuk menemtukan besarnya penghasilan kena pajak bagi WPDN dan BUT tidak boleh dikurangkan : 1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian SHU koperasi 2. Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, dan anggota 3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :
50
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan leasing. b. Cadangan untuk perusahaan asuransi. c. Cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan tambang. Yang ketentuannya diatur dengan keputusan Menkeu: a. Premi asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa yang dibayar oleh WP OP.kecuali jika dibayar pemberi kerja dianggap penambah penghasilan dan bagi perusahaan dapat dibiayakan. b. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura/kenikmatan, kecuali makan/minum bagi seluruh pegawai dan natura/kenikmatan di daerah tertentu dan berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan ditetapkan dengan Kep. Menkeu. Natura/kenikmatan di daerah tertentu adalah di daerah terpencil, dimana natura/kenikmatan dapat dijadikan biaya
meliputi
:
tempat
tinggal,
pelayanan
kesehatan,
pendidikan bagi pegawai+keluarga, pengangkutan, dan fasilitas olahraga bagi pegawai+keluarga. Selain itu natura/kenikmatan yang boleh dijadikan biaya adalah : a. Pakaian dan perlengkapan untuk keselamatan kerja. b. Pakaian seragam SATPAM. c. Antar jemput karyawan. d. Penginpan untuk awak kapaldan yang sejenis.
51
4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaanyang dilakukan. 5. Harta yang dihibahkan, bantuan, sumbangan, dan warisan. Kecuali : a. Zakat yang dibayarkan oleh WP muslim kepada BAZIS. b. Sumbangan kepada korban bencana alam. c. Sumbangan kepada GN-OTA. 6. Pajak Penghasilan. 7. Biaya untuk kepentingan pribadi WP atau tanggungannya. 8. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, persekutuan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. 9. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda.
2.1.6. Perhitungan pajak penghasilan 2.1.6.1. Perhitungan Pajak Penghasilan Badan Pajak penghasilan terutang untuk Wajib Pajak Badan didapatkan dengan cara mengalihkan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan tarif yang diatur dalam pasal 17 Undang-Undang No. 17 tahun 2000. Sedangkan PKP didapatkan dari penghasilan bruto yang dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk kompensasi kerugian. Pajak Penghasilan terutang = Tarif pasal 17 x PKP
52
Tabel 2.1 Tarif Pajak untuk WP Badan dan BUT Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
1. Sampai dengan Rp.50.000.000,00
10%
2. Rp.50.000.000,00 – Rp.100.000.000,00
15%
3. Diatas Rp.100.000.000,00
30%
Sumber; Undang-Undang No.17 tahun 2000
2.1.6.2. Pajak Penghasilan pasal 21 Pasal 21 ayat (1) mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan.penghasilan yang dimaksud adalah berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain. Sedangkan pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPH21 adalah : 1. Pemberi kerja yang diberikan sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; 2. Bendaharawan Pemerintah; 3. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun; 4. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekrjaan bebas;
53
5. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan; 6. Pemotongan pajak pada sumbernya merupakan cara yang paling efisien untuk menghasilkan penerimaan negara. Pajak ini terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada awal. (Undang-Undang No. 17 tahun 2000, pasal 21 ayat 1)
2.1.6.3. Wajib Pajak PPh pasal 21 Dalam hal ini, yang termasuk sebagai subyek pajak PPH pasal 21 adalah penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 yakni terdiri dari : 1. Pegawai, yakni setiap orang pribadi yang melakukan pekerjaan kepada pihak lain berdasarkan suatu perjanjian atau kesepakatan kerja kedua belah pihak, termasuk yang melakukan pekerjaan di instansi Pemerintah dan lembaga negara, boleh sebagai pegawai tetap maupun pegawai lepas. 2. Penerima pensiun. 3. Penerima honorarium. 4. Penerima upah, baik itu berupa upah harian, upah mingguan, upah borongan, maupun upah satuan. 5. Orang pribadi lainnya yang menerima dan memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan lain. (Keputusan Dirjen Pajak No.545/PJ/2000,pasal 4 ayat 1)
54
2.1.6.4. Obyek Pajak PPh pasal 21 Dalam keputusan Dirjen Pajak No.545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000, dijelaskan tentang obyek PPh pasal 21 secara spesifik : 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan kliusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi asuransi yang dibayar oleh pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun. 2. Penghasilan yang diterima atau diperolehsecara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap. 3. Upah harian, mingguan, upah satuan, dan upah bororngan. 4. Uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang tabungan hari tua atau jaminan hari tua. 5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri.
55
6. Gaji, gaji kehormatan, dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh pejabat negara, pegawai negeri sipil, serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya. (keputusan Dirjen Pajak No.545/PJ/2000, pasal 4 ayat 1)
2.1.6.5. Pengecualian Obyek Pajak PPh pasal 21 Sesuai dengan ketentuan pada pasal 4 ayat 2, penghasilan yang merupakan obyek pemotongan PPh pasal 21 adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun dalam jasa kekayaan. Tetapi ada juga penghasilan yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh pasal 21, yaitu ; 1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; 2. Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diperoleh wajib pajak; 3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran jaminan hari tua kepada penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja; 4. Penerimaan dalam bentuk dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Pemerintah;
56
5. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja; 6. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. (Keputusan Dirjen Pajak No.545/PJ/2000, pasal 4 ayat 2)
2.1.6.6. Penghasilan Tidak Kena Pajak Pada penghasilan yang diterima oleh orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP berdasarkan pada status dari wajib pajak (kawin atau tidak kawin) dan jumlah tanggungan yang diperkenankan pada awal tahun pajak atau pada saat menjadi subyek pajak dalam negeri. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menurut Undang-Undang No.36 tahun 2008 bahwa PTKPyang mulai berlaku tahun 2009 untuk perhitungan pajak penghasilan wajib pajak pribadi, meliputi : 1. Rp.15.840.000,00 (lima juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri wajib pajak orang pribadi; 2. Rp.1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk wajib pajak yang kawin; 3. Rp.15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1; dan
57
4. Rp.1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota kjeluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
2.1.6.7. Tarif PPh pasal 21 Tarif pajak adalah presentase tertentu yang ditentukan oleh UndangUndang perpajakan untuk menemtukan besarnya pajak yang terutang. Tabel 2.2 memperlihatkan tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak sesuai dengan pasal 17 ayat 2 UU No.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan.
Tabel 2.2 Tarif pajak untuk WP orang pribadi dalam negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
≤ Rp.50.000.000,00
5%
>Rp.50.000.000,00 – Rp.250.000.000,00
15%
>Rp.250.000.000,00 – Rp.500.000.000,00
25%
>Rp.500.000.000,00
30%
Sumber : Peraturan Dirjen Pajak No.PER-15/PJ/2006 dan UU No.17 tahun 2000
2.1.6.8. Tata cara Perhitungan PPh pasal 21 Dalam menghitung PPh pasal 21 yang terhutang, atas penghasilan bruto yang diterima oleh wajib pajak, Undang-Undang memperbolehkan wajib pajak
58
untuk mengurangi biaya-biaya tertentu dari penghasilan brutonya. Sehingga dari pengurangan-pengurangan pada penghasilan bruto tersebut akan menghasilkan penghasilan netto. Pengurangan yang diperkenankan untuk menghitung PPh pasal 21 bagi pegawai tetap atas penghasilan bruto yang diterima, yaitu : 1. Biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto setingi-tinginya RP.6.000.000,00 setahun atau Rp.500.000,00 sebulan. 2. Iuran yang terikat pada gaji kepada dana pensiun yang disetujui oleh Menteri Keuangan dan penyelenggara Taspen serta iuran THT kepada badam penyelenggara Jamsostek kecuali kepada badan penyelenggara Taspen yang dibayar oleh pegawai. (Keputusan Dirjen Pajak No.545/PJ/2000, pasal 4 ayat 1) Setelah didapatkan penghasilan netto, kemudian dikurangi dengan PTKP yang telah ditetapkan sesuai dengan keadaan wajib pajak pada awal tahun pajak. Contoh perhitungan PPh pasal 21 periode tahun 2009 : 1. Nama
: Satrio Abimanyu
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Kawin
Jumlah tanggungan keluarga untuk PTKP : 1 Gaji
Rp.68.000.000,-
Bonus THR
Rp. 8.000.000,-
Jumlah penghasilan Bruto
Rp.76.000.000,-
Biaya jabatan 5% x Rp.76.000.000
Rp. 3.800.000,-
59
Jumlah penghasilan netto
Rp. 72.200.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Rp.18.480.000,-
Penghasilan Kena Pajak Setahun
Rp.53.720.000,-
PPh pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak setahun 5% x Rp.50.000.000 = Rp.2.500.000 15% x Rp.3.720.000 = Rp. 558.000 PPh pasal 21 terutang 1 tahun
Rp.3.058.000,-
PPh pasal 21 terutang per bulan
Rp. 254.833,-
2. Nama
: Suryo Saputro
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Tidak Kawin
Jumlah Tanggungan Keluarga untuk PTKP : 0 Gaji
Rp.36.000.000,-
Bonus THR
Rp. 3.000.000,-
Jumlah penghasilan Bruto
Rp.39.000.000,-
Biaya jabatan 5% x Rp.39.000.000
Rp. 1.950.000,-
Jumlah penghasilan netto
Rp.37.050.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Rp.15.840.000,-
Penghasilan Kena Pajak setahun
Rp.21.210.000,-
PPh pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 1.060.000,PPh pasal 21 terutang per bulan
3. Nama
: Heru Siswanto
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Kawin
Jumlah tanggungan keluarga untuk PTKP : 1
Rp.
88.375,-
60
Gaji
Rp.13.900.000,-
Tunjangan lainnya, uang lembur
Rp.
Bonus THR
Rp. 3.943.350,-
Jumlah penghasilan bruto
Rp.18.143.350,-
Biaya jabatan 5% x Rp.18.143.350
Rp.
Jumlah penghasilan netto
Rp.17.236.182,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Rp.18.480.000,-
Penghasilan Kena Pajak setahun
Rp.
0
PPh pasal 21 atas penghasilan Kena Pajak setahun Rp.
0
PPh pasal 21 Terutang
0
Rp.
300.000,-
907.168,-
2.1.6.9. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 yang ditanggung Pemerintah Dalam
keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
No.70/KMK.03/2003 tanggal 20 januari 2003 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh pekerja sampai dengan sebesar upah minimum wajib provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten/kota UMK) akan ditanggung oleh Pemerintah. Dalam peraturan yang mulai berlaku sejak tanggal 2 januari 2003 ini ditetapkan bahwa PPh pasal 21 yang ditanggung Pemerintah sebesar pajak penghasilan atas penghasilan sampai dengan sebesar UMP / UMK setelah dikurangi PTKP. Fasilitas PPh pasal 21 ditanggung oleh pemerintah ini diberikan kepada seluruh karyawan yang tidak memiliki jabatan struktural. UMP adalah upah minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten atau kota di satu provinsi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat. Dan UMK adalah upah minimum yang berlaku di daerah kabupaten atau kota yang
61
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat. Sehingga cara perhitungan PPh pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah adalah sebagai berikut : 1. Menghitung PPh pasal 21 yang terutang atas penghasilan netto sebulan untuk pegawai tetap dan penghasilan bruto sebulan untuk pegawai tidak tetap. 2. PPh pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah dihitung dengan menerapkan tarif pasal 17 Undang-Undang PPh dari UMP/UMK yang ditetapkan oleh provinsi atau kabupaten/kota tempat karyawan bekerja setelah dikurangi PTKP. 3. Selisih antara PPh pasal 21 terhutang de3ngan PPh pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah adalah PPh pasal 21 yang masih harus dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh pemberi kerja. Penghasilan PPh pasal 21 ditanggung Pemerintah adalah penghasilan yang diterima oleh: 1. Pejabat Negara berupa gaji kehormatan dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait atau imbalan tetap sejenisnya; 2. Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan anggota ABRI berupa gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan gaji; 3. Pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya berupa uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan uang pensiun;
62
4. Yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Daerah, PPh pasal 21 yang terutang ditanggung Pemerintah. Pengenaan PPh pasal 21 yang ditanggung Pemerintah yang diterima oleh pejabat negara, PNS, anggota ABRI, dan pensiunan berupa honorarium dan imbalan lain yang sifatnya tidak tetap atau teratur dengan nama apapunyang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Daerah dipotong PPh pasal 21 oleh bendaharawan Pemerintah sebesar 15% bersifat final, kecuali yang dibayarkan kepada : 1. PNS golongan II/d ke bawah; 2. Anggota ABRI berpangkat pembantu Letnan satu ke bawah.
2.1.7. Metode perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Terhutang Terdapat 4 (empat) metode dalam pemotongan pajak PPh pasal 21, yaitu : 1. Net Method Net Method, yaitu metode yang pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 ditanggung olehperusahaan (pemberi kerja) dengan cara memebebankan pajak karyawan sebagai beban pajak. Menurut Undang-Undang Pajak No. 17 tahun 2000 pasal 9 ayat 1 huruf (h) disebutkan bahwa beban pajak merupakan beban yang tidak dapat dikurangkan dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) perusahaan (non deductible expenses). Dengan demikian maka perusahaan akan terkena koreksi fiskal jika
63
menggunakan metode ini. Formula penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 terutang menggunakan metode ini adalah : Gaji setahun
Rp.xxxx
Ditambah : Premi yang ditanggung Perusahaan Penghasilan Bruto
Rp.xxxx Rp.xxxx
Dikurangi : Biaya Jabatan Iuaran Pensiun Iuaran THT Penghasilan netto setahun Dikurangi : Penghasilan Tidak Kena Pajak Wajib pajak sendiri Tambahan WP kawin Tambahan anak (maksimal 3) Penghasilan Kena Pajak
Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx
Rp.xxxx Rp.xxxx
Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx
Rp.xxxx Rp.xxxx
PPh pasal 21 5% x s/d Rp.50.000.000 15% x di atas Rp.50.000.000 – Rp.250.000.000 25% x Rp.250.000.000 – Rp.500.000.000 30% x lebih dari Rp.500.000.000
Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx
PPh pasal 21 setahun
Rp.xxxx
PPh pasal 21 sebulan (PPh pasal 21 setahun/12)
Rp.xxxx
2. Gross Method Gross Method yaitu metode pemotongan pajak PPh pasal 21 dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya. Metode ini mempunyai penghitungan yang sama dengan Net Method tetapi metode ini tidak menghasilakan koreksi fiskal bagi perusahaan tetapi akan mengurangi
64
gaji karyawan atau take home pay karyawan. Formula penghitungan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 terutang menggunakan metode ini adalah : Gaji setahun
Rp.xxxx
Ditambah : Premi yang ditanggung perusahaan Penghasilan bruto
Rp.xxxx Rp.xxxx
Dikurangi : Biaya jabatan Iuran pensiun Iuran THT Penghasilan netto setahun Dikurangi : Penghasilan tidak kena pajak Wajib pajak sendiri Tambahan WP kawin Tambahan anak (maksimal 3)
Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx
Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx
Rp.xxxx Rp.xxxx
Rp.xxxx
Penghasilan Kena Pajak PPh pasal 21 5% x s/d Rp.50.000.000 15% x diatas Rp.50.000.000 – Rp.250.000.000 25% x Rp.250.000.000 – Rp.500.000.000 30% x lebih dari Rp.500.000.000
Rp.xxxx
PPh pasal 21 setahun PPh pasal 21 sebulan (PPh pasal 21 setahun/12)
Rp.xxxx Rp.xxxx
Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx
3. Tunjangan Pajak Tunjangan pajak, yaitu metode pemotongan pajak PPh pasal 21 dimana perusahaan atau pemberi kerja memeberikan tunjangan pajak sejumlah PPh pasal 21 yang terutang yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah gaji yang diterima oleh karyawan. Dalam metode ini, PPh pasal 21 yang ditanggung oleh perusahaan akan dimasukkan dalam gaji bruto karyawan,
65
sehingga akan menambah biaya gaji yang dikeluarkan oleh perusahaan dan metode ini juga tidak dikenalkoreksi fiskal karena tunjangan merupakan biaya yang dapat dikurangkan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Formula penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 terutang menggunakan metode ini adalah : Gaji setahun Tunjangan pajak
Rp.xxxx Rp.xxxx
Ditambah Premi yang ditanggung perusahaan Penghasilan bruto
Rp.xxxx Rp.xxxx
Dikurangi Biaya jabatan Iuaran pensiun Iuran THT Penghasilan netto setahun Dikurangi Penghasilan tidak kena pajak Wajib pajak sendiri Tambahan WP kawin Tambahan anak (maksimal 3) Penghasilan Kena Pajak
Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx
Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx
Rp.xxxx Rp.xxxx
Rp.xxxx Rp.xxxx
PPh pasal 21 5% x s/d Rp.50.000.000 15% x diatas Rp.50.000.000 – Rp.250.000.000 25% x Rp.250.000.000 – Rp.500.000.000 30% x lebih dari Rp.500.000.000
Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx Rp.xxxx
PPh pasal 21 setahun PPh pasal 21 sebulan (PPh pasal 21 setahn/12)
Rp.xxxx Rp.xxxx
4. Gross Up Method Gross Up Method yaitu metode pemotongan pajak PPh pasal 21 dimana perusahaan atau pemberi kerja memberikan tunjangan pajak dengan
66
menggunakan perhitungan metemetika tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah gaji yang diterima oleh karyawan. Dalam metode ini, PPh pasal 21 yang ditanggung oleh perusahaan akan dimasukkan dalam gaji bruto karyawan, sehingga akan menambah biaya gaji yang dikeluarkan oleh perusahaan dan metode ini juga tidak dikenal koreksi fiskal karena tunjangan merupakan biaya yang dapat dikurangkan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Formula penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 terhutang menggunakan metode ini adalah : Gaji setahun
Rp.xxxx
Tunjangan pajak
Rp.xxxx
Ditambah Premi yang ditanggung perusahaan
Rp.xxxx
Penghasilan bruto
Rp.xxxx
Dikurangi Biaya jabatan
Rp.xxxx
Iutan pensiun
Rp.xxxx
Iuran THT
Rp.xxxx
Penghasilan netto setahun
Rp.xxxx
Dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak Wajib pajak sendiri
Rp.xxxx
Rp.xxxx
67
Tambahan WP kawin
Rp.xxxx
Tambahan anak (maksimal 3)
Rp.xxxx
Penghasilan Kena Pajak
Rp.xxxx Rp.xxxx
PPh pasal 21 5% x s/d Rp.50.000.000
Rp.xxxx
15% x diatas Rp.50.000.000 – Rp.250.000.000
Rp.xxxx
25% x Rp.250.000.000 – Rp.500.000.000
Rp.xxxx
30% x lebih dari Rp.500.000.000
Rp.xxxx
PPh pasal 21 setahun
Rp.xxxx
PPh pasal 21 sebulan (PPh pasal 21 setahun/12)
Rp.xxxx
Dalam metode ini rumus yang digunakan dibagi menjadi 4 (empat) lapisan yang didasarkan pada Penghasilan Kena Pajak karyawan, yaitu : 1. Rumus untuk lapisan pertama Dalam lapisan pertama ini Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan sampai dengan Rp.50.000.000,00 dan mempunyai tarif pajak 5% selain itu pada tarif pajak penghasilan tidak memiliki pengurang karena batasan PKP yaitu 0 sampai dengan Rp.50.000.000,00. Tetapi jika biaya jabatan yang didapatkan kurang dari Rp.6.000.000,00 maka rumus untuk lapisan pertama ini akan mengalami keterbatasan karena tunjangan yang didapat tidak sama dengan Pajak Penghasilan pasal 21 yang terutang. Rumus untuk lapisan pertama jika biaya jabatan kurang dari Rp.6.000.000,00 adalah :
68
TP = GB – GN Sedangkan rumus yang digunakan untuk lapisan pertama jika biaya jabatan lebih dari Rp.6.000.000,00 adalah : GB = TP GN Keterangan : TP = Tunjangan Pajak GB = Gaji Bruto (penghasilan bruto ketika ditambah tunjangan pajak) GN = Gaji Bruto sebelum tunjangan pajak Untuk mendapatkan jumlah tunjangan pajak yang diberikan maka GB harus dikurangkan dengan GN. Sumber rumus ini adalah artikel dari Irvansyah Lubis, 2001 dengan judul Tunjangan Pajak dengan Metode Gross Up. Media Akuntasi. 2. Rumus untuk lapisan kedua Dalam lapisan kedua ini Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah di atas Rp.50.000.000,00 sampai dengan Rp.250.000.000,00 dan tarif pajak yang dikenakan adalah 15%. Maka rumus untuk lapisan kedua ini adalah : TP = 15% x PKP Perhitungan yang didapat adalah : 10% x Rp.25.000.000,00
= Rp.2.500.000,00
5% x Rp.25.000.000,00
= Rp.1.250.000,00 (-)
Pengurang untuk lapisan kedua Rp.1.250.000,00
69
3. Rumus untuk lapisan ketiga Dalam lapisan ketiga ini Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah di atas Rp.250.000.000,00 sampai dengan Rp.500.000.000,00 dan tarif pajak yang dikenakan adalah 15%. Maka rumus untuk lapisan ketiga ini adalah : TP = 30% x PKP Perhitungan yang didapat adalah : 15% x Rp.100.000.000,00 = Rp.15.000.000,00 10% x Rp.100.000.000,00 = Rp.10.000.000,00 5% x Rp.50.000.00,00
= Rp. 2.500.000,00 (+) Rp.2.500.000,00 (-)
Pengurang untuk lapisan ketiga Rp.2.500.000,00
4. Rumus untuk lapisan keempat Dalam lapisan keempat ini Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah di atas Rp.500.000.000,00 dan tarif pajak yang dikenakan adalah 30%. Maka rumus untuk lapisan keempat ini adalah : TP = 30% x PKP Perhitungan yang didapat adalah : 30% x Rp.200.000.000,00
= Rp.60.000.000,00
25% x Rp.125.000.000,00
= Rp.31.250.000,00
15% x Rp.100.000.000,00
= Rp.15.000.000,00
5% x Rp.75.000.000,00 = Rp. 3.750.000,00 (+) Rp.10.000.000,00 (-) Pengurang untuk lapisan keempat Rp.10.500.000,00
70
2.1.8. Koreksi Fiskal Perusahaan 1.Latar belakang koreksi fiskal Karena adanya perbedaan antara perlakuan akutansi komersial (berdasarkan pada SAK) dengan akutansi fiskal (berdasarkan UU No.17 tahun 2000) pada laporan laba-rugi, maka sebelum menghitung pajak penghasilan yang terutang.terlebih dulu laporan laba rugi tersebut harus dilakukan koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang pajak penghasilan. Dengan demikian perusahaan tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan standar koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dengan demikian perusahaan tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akutansi Keuangan (SAK) dan pada waktu mengisi SPT tahunan PPh pasal 21 dan PPh Badan terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal. Koreksi fiskal tersebut dilakukan baik terhadap penghasilan maupun terhadap biaya-biaya (pengurang penghasilan bruto). 2. Macam koreksi fiskal 1. koreksi fiskal positif Koreksi fiskal positif bersifat menambah laba fiskal, hal ini terjadi karena adanya beban yang harus dihilangkan pada laporan laba rugi komersial, contohnya adalah beban pembayaran PPh pasal 21 atau adanya penghasilan yang masih harus diakui dalam laporan laba rugi fiskal. Berikut ini merupakan pengeluaran atau dihilangkan dari
71
penghasilan bruto oleh peraturan perpajakan dan oleh akutansi komersial, antara lain : a. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota. b. Penggantian sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan, kecuali : di daerah terpencil, berkaitan
pelaksanaan
pekerjaan,
di
KAPET
(kawasan
pengembangan ekonomi terpadu), dan merupakan keharusan dalam rangka dan berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan untuk keamanan dan keselamatan kerja. c. Pajak Penghasilan, kecuali PPh pasal 26 (tidak termasuk deviden) sepanjang PPh dimaksud ditambahkan sebagai dasar perhitungan untuk pemotongan PPh pasal 26. Koreksi fiskal negatif Koreksi fiskal negatif bersifat mengurangi laba fiskal, hal ini terjadi karena adanya beban yang masih harus ditambahkan pada laporan laba rugi fiskal atau adanya penghasilan yang harus dikeluarkan dari laporan fiskal. Contohnya adalah pemberian natura dan kenikmatan pada daerah tertentu yang telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, karena merujuk pada Undang-Undang PPh No.17 tahun 2000 pasal 9 ayat 1 huruf e bahwa pemberian natura atau kenikmatan pada daerah tertentu yang telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat dikurangkan dari
72
penghasilan bruto, yang apabila oleh perusahaan tidak dikurangkan dari penghasilan bruto pada laporan rugi komersial, maka beban ini harus ditambahkan pada laporan laba rugi.
2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Rahman Yudharani Kusuma (2007) yang berjudul “Evaluasi Terhadap Perhitungan PPh pasal 21 di PT. SIER (persero)”. Diperoleh kesimpulan bahwa penerapan penghitungan PPh pasal 21 yang dilakukan PT. SIER (persero) belum memberikan penghematan pajak (tax saving) pada pajak penghasilan badan yang trtutang dan diketahui bahwa, metode gross up memberikan tax saving yang lebih besar dibandingkan tunjangan pajak. Selain itu Take Home Pay pada metode tunjangan pajak juga lebih kecil dibandingkan metode groos up. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode panalitian deskriptif kualitatif dan kuatitatif. Menurut penelitian yunani Purwanti (2009) yang berjudul “Analisa Pebandingan Metode Biasa dengan Metode Gross up berdasarkan Peraturan Pemerintah No.47 tahun 2003 dalam penghitungan PPh pasal 21 Terhadap Pegawai Tetap”. Diperoleh kesimpulan bahwa dalam perhitungan pajak penghasilan badan menggunakan perhitungan metode gross up lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan perhitungan metode biasa pada tingkat Take Home Pay yang sama. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
73
Menurut Tamtono (2006) yang berjudul “Perencanaan Pajak Dalam Rangka Penghematan Beban Pajak melalui Pemberian Tunjangan Pajak Kepada Karyawan (Studi Kasus pada PT.ABC)”. pada penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa Pajak Penghasilan dapat diperkecil dengan cara memberikan tunjangan pajak kepada karyawan. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian dekriptif dan kuantitatif.
2.3 Kerangka Pikir Penelitian untuk itu, dalam penelitian ini kerangka pikir penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
74
75
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian Penulis dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dan kuantitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Sugiyono (2002) mendefinisikan penelitian deskriptif sebagai suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang dan tujuan dari analisa
deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran maupun lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode kuantitatif adalah metode analisis data yang dilakukan dengan cara pengumpulan, menganalisis, dan menginterprestasikan data yang berwujud angka-angka untuk mengetahui perhitungan yang tepat bagi perusahaan dalam melakukan perencanaan pajak. Penelitian yang dilakukan dalam PT. Indo Persada Utama Pasuruan ini digolongkan dalam studi kasus, yang oleh Arikunto (2006) didefinisikan sebagai “penelitian kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci atau mendalam terhadap suatu organisme, lembaga atau gejala-gejala tertentu”. Selanjutnya Arikunto (2006) menjabarkan bahwa tujuan dari studi kasus adalah untuk memeberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus ataupun status dari
75
76
individu yang kemudian dari sifat-sifat khas tersebut akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Dalam penelitian studi kasus ini tidak sampai memepermasalahkan hubungan antara variabel-variabel yang ada, dan juga tidak dimaksudkan untuk menarik suatu generalisasi yang menjelaskan variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial.
3.2 Diskripsi Populasi dan Penetuan Sampul Populasi adalah semua nilai yang mungkin diambil hasilnya. Sesuai dengan yang dikemukakan Singarimbun (1997 :10). Sementara itu Furqon (1998 :189) mengatakan bahwa : “ populasi adalah sebagian semua orang, semua kelompok orang, kejadian atau obyek yang telah dirumuskan secara jelas”. Sebagai populasi dalam penelitian ini adalah PT. Indo Persada Utama Pasuruan. Pengertian sampel menurut Koentjoroningrat (1991 :37) adalah : “bagian-bagian dari keseluruhan (oleh para ahli statistik disebut populasi atau universe) yang menjadi obyek sesungguhnya itulah yang disebut sampel”. Sebagai sampel dalam penelitian ini adalah laporan keuangan perusahaan tahun 2011 dan daftar gaji karyawan tetap sebanyak 33 orang.
77
3.3 Definisi Operasional Variabel Sesuai dengan judul penelitian yang telah penulis kemukakan di bagian awal PT.Indo Persada Utama Pasuruan ini, maka sebagai variabel dalam penelitian ini adalah masalah Pemberian Tunjangan baik berupa uang atau natura untuk tujuan perpajakan, yang akan menyangkut data-data yang meliputi: 1. Daftar gaji dan tunjangan karyawan. 2.
laporan keuangan fiskal meliputi neraca dan laporan laba rugi tahun 2011
3. Kebijakan pemerintah dan aturan pelaksanaannya yang berkaitan dengan masalah penelitian ini yaitu Undang0Undang No.17 tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan N0. 70/KMK.03/2003 tanggal 20 januari 2003.
3.4 Teknik Pengumpulan Data Pengertian teknik pengumpulan data menirut Arikunto (1993) adalah “cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data, yang cara-cara tersebut menunjuk pada sesuatu yang abstrak, tidak dapat iwujudkan dalam
benda
penggunaannya,”
yang
kasat
mata,
tetapi
hanya
dapat
dipertontomkan
78
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Riset Pustaka Pengumpulan data dalam bentuk ini dilakukan dengan cara memepelajari literatur-literatur secara teoretis dan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan perpajakan di Indonesia terutama Pajak Penghasilan. 2. Riset Lapangan Kegiatan yang dilakukan dalam studi ini adalah penelitian secara langsung terhadap obyek penelitian untuk memeperoleh data dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Observasi Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan secaralangsung terhadap obyek penelitian. b. Interview Pengumpulan
data
yang
dilakukan
dengan
cara
melakukan
wawancara dengan pimpinan perusahaan atau pihak-pihak yang terkait dengan obyek penelitian. c. Dokumentasi Pengumpulan data dalam cara ini, penelitian ditujukan pada dokumen-dokumen perusahaan yang berhubungan dengan data yang diperlukan.
79
3.5 Teknik Analisis Data Setelah data-data yang masih mentah tadi diperoleh, maka data tersebut selanjutnya diolah dan kemudian dianalisa. Analisa data ini penting artinya karena dari analisa ini, data yang diperoleh dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Secara rinci dapat penulis uraikan tahapan dalam analisis data dalam penelitian ini, yaitu : 1. Mengumpulkan daftar gaji karyawan dan laporan laba rugi tahun 2011 2. Menghitung besar PPh pasal 21 karyawan sesuai dengan Undang-Undang No.17 tahun 2000 3. Mengaplikasikan perencanaan pajak melalui perhitungan PPh pasal 21 ke dalam 4 (empat) metode yang ada, lalu membandingkannya. 4. Menghitung besar pajak penghasilan badan dengan adanya perencanaan pajak tersebut. 5. Menyimpulkan dan memberikan saran kepada perusahaan.
80
BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
4.1. Penyajian Data 4.1.1. Gambaran Umum Perusahaan PT. Indo Persada Utama Pasuruhan merupakan produsen makanan Indonesia yang berbasis. Enam perusahaan kategori produk yang biskuit, kembang gula, wafer, coklat, makanan kesehatan dan kopi. D antara nama-nama merk adalah Roma, Better, Danisa, Kopiko, Tamarin, plonk, Astor, Choki-choki, Enargen dan Torabika. Produk yang dijual baik pasar domestik dan Internasional. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1994 yang berlokasi di jalan raya pasuruhan No.32-35 paruhun. PT> Indo Persada Utama Pasuruhan didirikan di pasuruhan berdasarkan akta nomor : 60 pada tanggal 23 april 1994 dihadapan notaris Indrawati Setiabudhi, SH., Notaris di malang. Pendirian perusahaan telah mendapat pengesahan dari mentri kehakiman RI dengan Surat Keputusan Nomor : C19967HT.01.01.TH.1994. lokasi yang strategis akan membantu kelancaran jalannya operasional suatu perusahaan. Begitu juga dengan perusahaan ini, lokasi yang dipilih harus dapat memberikan kemudahan bagi para karyawan maupun konsumen, PT> Indo Persada Utama Pasuruhan terletak di lokasi yang cukup strategis, yaitu dikawasan industri di pasuruhan. Sarana dan fasilitas pengangkutan dapat dengan
80
81
mudah dijangkau karyawan, yang juga merupakan salah satu faktor penunjang demi kelancaran jalannya perusahaan ini. Sumder Daya Manusia (SDM) yang bermutu dan berkualitas tinggi sangat dibutuhkan oleh suatu perusahaan untuk kemajuan perusahaan itu sendiri. Begitu juga dengan perusahaan ini, SDM yang sudah ada merupakan SDM yang telah diseleksi dengan sangat ketat sehingga perubahan ini dpat terus maju dan dapat bersaing dengan perusahaan lain yang sejenis. selain itu kuantitas SDM dari perusahaan ini telah mencukupi kebutuhan yang ada.
4.1.2. Tujuan dan Visi Perusahaan 1. Tujuan Perusahaan Tujuan dari pendirian perusahaan adalah menjalankan usaha industry consumer goods, mengusahakan perusahaan yang bergerak dilapangan industri lainnya, baik besar/berat maupun kecil/ringan. 2. Visi Perusahaan Visi perusahaan yang telah ditetapkan adalah “bertekad untuk menjadi perusahaan yang unggul dalam bidang industry consumer goods di Indonesia”.
4.1.3. Data Karyawan dan Gaji Karyawan Berikut ini merupakan sumber daya manusia dan jabatannya di PT. Indo Persada Utama Pasuruhan, yaitu :
82
Tabel 4.1 Data Karyawan Tetap di PT. Indo Persada Utama Pasuruhan Beserta jabatannya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nama A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z AA BB CC DD EE FF GG
Jabatan Direktur Utama Wakil Direktur Kepala Bagian Keuangan Kepala Bagian Operasional Kepala Bagian Marketing Kepala Bagian Logistik Keamanan Keamanan Keamanan Sopir Sopir Supervisor Supervisor Supervisor Supervisor Supervisor Staff Keuangan Staff Keuangan Staff Keuangan Staff Keuangan Staff Keuangan Staff Administrasi Staff Administrasi Staff Administrasi Staff Administrasi Staff Administrasi Staff Pemasaran Staff Pemasaran Staff Pemasaran Staff Pemasaran Staff Pemasaran Staff Pemasaran
Sumber : PT. Indo Persada Utama Pasuruhan (Mei 2012)
Berikut ini adalahdaftar Gaji poko pegawai tetap PT. Indo Persada Utama Pasuruhan :
83
Tabel 4.2 Daftar Gaji Pokok Pegawai Tetap PT. Indo Persada Utama Pasuruhan No.
Nama
Status
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z AA BB CC DD EE FF GG
tk/tk/tk/tk/tk/tk/tk/tk/tk/tk/tk/k/2 k/1 k/2 k/1 k/1 k/1 k/1 k/2 k/2 k/1 k/3 k/2 k/1 k/1 k/2 k/2 k/2 k/2 k/2 k/2 k k/2
Sumber : Data Perusahaan (telah diolah)
Gaji Pokok / Bulan (Rp) 7.500.000,00 2.000.000,00 2.000.000,00 2.000.000,00 1.500.000,00 1.500.000,00 750.000.00 750.000,00 750.000,00 750.000,00 750.000,00 1.050.000,00 1.000.000,00 950.000,00 1.155.000,00 1.050.000,00 950.000,00 950.000,00 950.000,00 940.000,00 940.000,00 925.000,00 925.000,00 925.000,00 915.000,00 915.000,00 910.000,00 910.000,00 915.000,00 915.000,00 900.000,00 900.000,00 910.000,00
84
4.1.4. Kebijakan – Kebijakan Perusahaan Jumlah hari kerja perusahaan ini adalah 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu yaitu pada hari senin sampai dengan jumat. Jumlah jam kerja perusahaan adalah 9 (sembilan) jam termasuk istirahat selama 1 jam di dalamnya. Sedangkan jumlah jam kerja untuk hari jumat adalha 8 (delapan) jam termasuk istirahat selama 2 jam di dalamnya. Adapun jadwal jam kerja yang berlaku untuk semua karyawan tetap adalah sebagai berikut : 1. Senin – Kamis : 08.00 WIB.-17.00 WIB. Istirahat : 12.00 WIB. - 13.00 WIB. 2. Jumat : 07.00 WIB. – 17.00 WIB. Istirahat : 11.00 WIB. – 13.00 WIB. Penetapan besarnya gaji pokok disesuaikan dengan Upah Minimum Kerja setempat yang berlaku. Perusahaan juga memberikan Tunjangan tetap yang diberikan kepada karyawan berupa Tunjangan Hari Raya (THR) yaitu perusahaan memberikan Tunjangan Hari Raya kepada karyawan sebesar gaji karyawan selama 1 bulan. Tunjangan ini diberikan pada saat H-7 sebelum hari raya. Karyawan yang telah bekerja selama 12 bulan tanpa terputus, terhitung sejak tanggal pengangkatannya, berhak cuti tahunan selama 12 hari jam kerja. Hak cuti tersebut akan diberikan selama diperhitungkan dengan cuti bersama dan tidak masuk kerja bukan karena sakit. Dalam perpajakan, perusahaan telah terdaftar sebagai wajib pajak badan di kantor pelayanan Pajak Madya Pasuruhan atas nama PT. Indo Persada Utama Pasuruhan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dimiliki oleh perusahaan adalah 02.213.217.9-651.000, dan perusahaan menanggung PPh pasal 21 karyawan yang terutang.
85
4.2. Analisa
Perencanaan
Pajak
yang
dapat
dilakukan
Perusahaan Perusahaan dalam hal ini adalah PT. Indo Persada Utama Pasuruhan dalam melakukan kebijakan perpajakan dapat dikatakan kurang efisien, karena dalam komponen-komponen beban yang seharusnya dapat dikurangkan untuk menghemat pajak belum dimanfaatkan secara maksimal. Biaya tenaga kerja merupakan biaya yang dapat digunakan dalam penghematan pajak perusahaan. Dalam hal ini penulis mencoba untuk melakukan penghematan pajak melalui penerapan Undang-Undang Perpajakan. Perencanaan pajak yang dilakukan dalam penelitian ini adalah perencanaan pajak dalam pemberian Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 terutang kepada karyawan tetap dengan menggunakan 4 (empat) metode perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang.
4.2.1 Proses Perencanaan Pajak Dalam melakukan perencanaan pajak, perusahaan harus mengumpulkan dan melakukan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan (Suandy,2006:7). Dalam hal ini penulis mencoba untuk dapat melakukan penghematan dan penelitian terhadap ketentuan pajak, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 untuk karyawan dan pajak penghasilan badan. Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 pasal 9 huruf h disebutkan bahwa pajak penghasilan tidak dapat dikurangkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Oleh karena itu penulis mencoba untuk
86
melakukan tindakan penghematan pajak melalui perencanaan pajak dengan 4 (empat) metode perlakuan Pajak Penghasilan pasal 21 terutang yang nantinya dapat mengurangi laba perusahaan dan dengan laba yang tersebit maka pajak penghasilan untuk badan juga dapat dihemat. Untuk membantu pelaksanaan perencanaan pajak maka diperlukan laporan laba rugi dari PT. Indo Persada Utama Pasuruhan untuk mengetahui laba dan pajak yang diterima oleh perusahaan. PT. Indo Persada Utama Pasuruhan telah menerapkan perhitungan akutansi sesuai dengan prinsip-prinsip akutansi yang telah berlaku umum di Indonesia dan sesuai dengan Pedoman Standart Akutansi Keuangan (PSAK). Dibawah ini merupakan laporan laba rugi dan perhitungan pajak penghasilan sesuai dengan prisip-prinsip akutansi di Indonesia. Tabel 4.3 Laporan laba rugi PT. Indo Persada Utama Pasuruhan Untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2011
Penjualan bersih Harga pokok penjualan Laba kotor Beban usaha : Beban administrasi dan gaji Beban penjualan Jumlah beban usaha Laba(rugi) usaha Pendapatan (beban) lain-lain Laba (rugi) bersih sebelum pajak PPh 29 Terutang Laba bersih setelah pajak
Rp. 71.660.550.000,00 Rp. 66.870.595.796,72 Rp. 4.789.954.203,28 Rp. 1.083.825.506,64 Rp. 2.806.462.011,96
Rp. 3.890.287.518,60 Rp. 899.666.684,68 Rp. 212.652.137,77 Rp. 1.112.318.822,45 Rp. 268.766.474,09 Rp. 843.552.348,36
Perhitungan PPh terutang (apabila omzet di atas Rp. 4.800.000.000)
87
Laba bersih sebelum pajak Rp. 4.800.000.000 x RP. 1.112.318.822,45 Rp.71.660.550.000
Rp. 1.112.318.822,45 Rp. 74.505.852,21 Rp. 1.037.812.970,24
50% x 25% x Rp. 74.505.852,21 = Rp. 9.313.231,53 25% x Rp. 1.037.812.970,24 = Rp. 259.453.242,56 Pajak terutang Rp. 268.766.474,09 Dari tabel di atas dijelaskan bahwa penjualan PT. Indo Persada Utama Pasuruhan pada tahun 2011 adalah Rp. 71.660.550,00 kemudian dikurangi oleh harga pokok penjualan Sejumlah Rp. 66.870.595.796,72 Dari pengurangan tersebut maka diperoleh laba kotor sebesar Rp. 4.789.954.203,28. Kemudian laba kotor tersebut akan dikurangkan dengan beban usaha sebesar Rp. 3.890.287.518,60 yang terdiri dari beban administrasi dan gaji sejumlah
Rp.
1.083.825.506,64
dan
beban
penjualan
sebesar
Rp.
2.806.462.011,96. Hasil dari pengurangan tersebut maka dihasilkan laba rugi usaha sebesar Rp. 899.666.684,68. Untuk memperoleh laba bersih sebelum pajak maka laba rugi usaha harus dikurangkan atau ditambahkan dengan pendapatan dab beban lain-lain sejumlah Rp. 212.652.137,77. Dengan demikian maka laba bersih perusahaan sebelum pajak maka laba tersebut akan dukurangi dengan pajak penghasilan pasal 29 sebesar Rp. 268.766.474,09. Dengan demikian maka diperoleh laba bersih setelah pajak sebesar Rp. 843.552.348,36.
4.2.2 Perencanaan Pajak Dalam Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Terutang Dalam melakukan perhitungan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 dapat dilakukan dengan 4 (empat) metode yaitu :
88
1. PPh pasal 21 dibebankan langsung dari gaji karyawan (Gross Method). 2. PPh pasal 21 ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja (Net Method). 3. PPh pasal 21 diberikan dalam tunjangan pajak. 4. PPh pasal 21 melalui Gross Up. Berikut ini adalah contoh perhitungan PPh pasal 21 terutang karyawan PT. Indo Persada Utama Pasuruhan dengan menerapkan metode-metode di atas : 1. PPh pasal 21 dibebankan langsung dari gaji karyawan (Gross Method) Nama : A, status : t/k Gaji setahun Tunjangan PPh THR Total Biaya jabatan 5 % x Rp. 97.500.000 Penghasilan bruto PTKP PHP 5% x Rp. 50.000.000 15% x Rp.26.785.000 PPh terutang per tahun PPh terutang per bulan
Rp. 90.000.000,00 Rp. – Rp. 7.500.000,00 Rp. 97.500.000,00 Rp. 4.875.000,00 Rp. 92.625.000,00 Rp. 15.840.000,00 Rp.76.785.000,00 Rp. 2.500.000,00 Rp. 4.017.750,00 Rp. 6.517.750,00 Rp. 543.145,83
Dari perhitungan tersebut dapat diuraikan bahwa dengan penghasilan bruto Rp. 97.500.000,00 maka tuan A tiap tahunnya harus membayar PPh terutang sebesar Rp. 6.517.750,00. Pada metode ini karyawan harus membayar sendiri PPh terutang yang mengakibatkan pengurangan tingkat take home pay untuk karyawan dan pada metode ini juga tidak memberikan tunjangan pajak pada karyawan.
89
2. PPh pasal 21 ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja (Net Method) Nama : A, status : t/k Gaji setahun Tunjangan PPh THR Total Biaya jabatan 5 % x Rp. 97.500.000 Penghasilan bruto PTKP PHP 5% x Rp. 50.000.000 15% x Rp.26.785.000 PPh terutang per tahun PPh terutang per bulan
Rp. 90.000.000,00 Rp. – Rp. 7.500.000,00 Rp. 97.500.000,00 Rp. 4.875.000,00 Rp. 92.625.000,00 Rp. 15.840.000,00 Rp.76.785.000,00 Rp. 2.500.000,00 Rp. 4.017.750,00 Rp. 6.517.750,00 Rp. 543.145,83
Jika perusahaan menerapkan metode ini maka perusahaan harus menanggung PPh pasal 21 terutang karyawan tersebut sebesar Rp. 8.700.000,00 dan mengakibatkan tingkat take home pay karyawan lebih besar karena karyawan tidak membayar PPh pasal 21. 3. PPh pasal 21 diberikan dalam tunjangan pajak Nama : A, status :t/k Gaji setahun Tunjangan PPh THR Total Biaya jabatan 5% x Rp.106.200.600 Penghasilan Bruto PTKP PKP
Rp. 90.000.000,00 Rp. 8.700.000,00 Rp. 7.500.000,00 Rp.106.200.600,00 Rp. 5.310.030,00 Rp.100.890.570,00 Rp. 15.840.000,00 Rp. 85.050.570,00
PPh 5% x Rp.50.000.000 15% x Rp. 35.050.570 PPh terutang per tahun PPh terutang per bulan
Rp. Rp. Rp. Rp.
2.500.000,00 5.257.585,50 7.757.585,50 646.465,46
90
Dengan menggunakan metode tunjangan pajak maka tuan A akan mendapat tunjangan pajak sebesar PPh pasal 21 yang terutang pada sebelum menggunakan tunjangan pajak, yaitu sebesar Rp. 8.700.000,00 sehingga penghasilan bruto yang diterima tuan A akan meningkat menjadi Rp.106.200.600,00 4. PPh pasal 21 melalui Gross Up Nama : A, status :t/k Gaji setahun Tunjangan PPh THR Total Biaya jabatan 5% x Rp.107.736.000 Penghasilan Bruto PTKP PKP
Rp. 90.000.000,00 Rp. 10.236.000,00 Rp. 7.500.000,00 Rp.107.736.000,00 Rp. 5.386.800,00 Rp.102.349.200,00 Rp. 15.840.000,00 Rp. 86.509.200,00
PPh 5% x Rp.50.000.000 15% x Rp. 36.509.200 PPh terutang per tahun PPh terutang per bulan
Rp. Rp. Rp. Rp.
2.500.000,00 5.476.380,00 7.976.380,00 664.698,33
Pada metode gross up, hal yang harus dilakukan adalah menentukan besar tunjangan pajak yang akan diberikan kepada karyawan dengan cara menggolongkan Penghasilan Kena Pajak karyawan ke dalam rumus metode groos up. Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebelum tunjangan pajak tuan A adalah sebesar Rp. 76.273.200,00. Pada rumus metode groos up tuan A terletak pada lapisan kedua karena penghasilan tuan A terletak di antara Rp. 50.000.000,00 sampai dengan Rp. 250.000.000,00, maka rumus yang dipakai yaitu : TP = 15% x Penghasilan / tahun
91
Dari perhitungan di atas maka tunjangan pajak tuan A adalah sebesar Rp. 10.236.000,00, dan tunjangan pajak tersebut digunakan dalam perhitungan PPh pasal 21 di atas. Untuk memperoleh metode yang tepat untuk penghematan pajak PPh pasal 21 terutang bagi PT. Indo Persada Utama Pasuruhan, maka penulis akan memperhitungkan dari beberapa sudut pandang, yaitu : a. PPh yang harus dipotong / ditanggung karyawan Dalam menghitung PPh yang harus dipotong / ditanggung karyawan diperoleh hasil penghitungan sebagai berikut : 1. Dengan menggunakan metode PPh pasal 21 yang dipotong langsung dari gaji karyawan, maka gaji karyawan tidak akan mengalami perubahan yaitu sebesar Rp. 534.950.000,00 per tahun, diketahui bahwa PPh pasal 21 karyawan terutang per tahun adalah Rp. 6.517.750,00 dan PPh yang harus ditanggung oleh karyawan adalah sebesar Rp. 6.517.750,00. 2. Jika perusahaan menggunakan metode PPh yang ditanggung oleh perusahaan, maka gaji karyawan tidak akan mengalami perubahan dengan metode pertama yaitu sebesar Rp. 543.950.000,00 per tahun, diketahui bahwa PPh pasal 21 karyawan yang terutang per tahun juga tidak mengalami perubahan dengan metode pertama sebesar Rp. 6.51.750,00, tetapi dengan metode ini karyawan tidak menanggung PPh yang terutang dan perusahaan yang menanggung PPh terutang tersebut. 3. Dalam metode yang PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan pajak, maka gaji karyawan akan meningkat menjadi Rp. 545.908.700,00.
92
Hasil perhitungan didapatkan bahwa PPh pasal 21 terutang adalah sebesar Rp. 12.376.695,00. Dengan metode ini PPh pasal 21 yang ditanggung karyawan adalah sebesar Rp. 1.417.955,00 karena perusahaan telah memberikan tunjangan pajak sebesar Rp. 10.958.700,00 pada karyawan. 4. Dengan menggunakan metode PPh pasal 21 terutang di gross up perusahaan, maka gaji karyawan akan naik menjadi Rp. 547.561.476,17. Hasil perhitungan diketahui bahwa jumlah PPh pasal 21 terutang adalah sebesar Rp.12.611.476,16. Dengan demikian maka karyawan akan menanggung PPh pasal 21 terutang sebesar Rp. 1.397,64 karena adanya tunjangan
pajak
yang
telah
diberikan
perusahaan
sebesar
Rp.
12.611.476,17 pada karyawan. b. Take Home Pay karyawan Dalam melakukan perencanaan terhadap PPh pasal 21 yang tepat bagi perusahaan, maka perusahaan harus melakukan perhitungan dan perbandingan tingkat Take Home Pay karyawan berdasarkan 4 (empat) metode perhitungan PPh pasal 21. Perhitungan tersebut adalah : ) Tabel 4.4 Perbandingan Tingkat Take Home Pay Karyawan (dalam rupiah Metode A Metode B Metode C Metode D Gaji dan 534.950.000,00 534.950.000,00 545.908.700,00 547.561.476,17 tunjangan Dikurangi: PPh 10.958.700,00 12.376.695,00 12.612.873,61 pasal 21 524.010.805,00 534.950.000,00 533.532.005,00 534.948.602,36
93
Berdasarkan perhitungan di atas, dapat ditarik kesimpulan : 1. Jika perusahaan menggunakan metode A, yaitu PPh pasal 21 ditanggung oleh karyawan maka gaji yang dibawa pulang oleh karyawan adalah sebesar Rp. 524.010.805,00. 2. apabila perusahaan memilih metode B, yaitu PPh pasal 21 ditanggung oleh perusahaan, maka gaji yang dibawa pulang oleh karyawan menjadi sebesar Rp. 534.950.000,00. Dapat dilihat Take Home pay karyawan pada alternatif ini lebih besar jika dibandingkan alternatif yang pertama. 3. Apabila perusahaan memilih metode C, yaitu PPh pasal 21` diberikan dalam bentuk tunjangan pajak, maka gaji yang dibawa pulang oleh karyawan menjadi sebesar Rp. 533.532.005,00. Perolehan gaji pada alternatif ini lebih besar dibandingkan alternatif yang pertama. 4. Apabila perusahaan memilih metode D, yaitu PPh pasal 21` di gross up, maka gaji yang dibawa pulang oleh karyawan menjadi sebesar Rp. 534.948.602,36. Perolehan gaji pada alternatif ini lebih besar daripada alternatif pertama dan ketiga.
c. Biaya Fiskal yang ditanggung oleh perusahaan Untuk menentukan alternatif secara lebih tepat lagi maka akan dilakukan perhitungan dan perbandingan dari segi biaya fiskal yang masih harus ditanggung perusahaan. Perhitungan dan perbandingannya adalah sebagai berikut :
94
Tabel 4.5 Perbandingan Biaya Fiskal yang masih harus ditanggung perusahaan Biaya Fiskal Penghasilan Bruto Biaya Komersial Dikurangi : Biaya Fiskal PPh pasal 21 Jumlah Selisih biaya komersial dan biaya fiskal
Metode A 534.950.000,00
Metode B 534.950.000,00
Metode C Metode D 545.908.700,00 547.561.476,17
534.950.000,00
534.950.000,00
544.658.700,00 547.557.549,94
534.950.000,00
534.950.000,00
544.658.700,00 547.557.549,94
-
10.958.700,00
534.950.000,00
545.908.700,00
0
10.958.700,00
-
-
544.658.700,00 547.557.549,94 0
0
Dari perhitungan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Apabila perusahaan memilih metode A, yaitu PPh pasal 21 ditanggung oleh karyawan, maka perusahaan tidak akan dirugikan karena tidak ada selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial yang harus dibayar perusahaan. 2. Apabila perusahaan memilih metode B, yaitu PPh pasal 21 ditanggung oleh perusahaan, maka perusahaan akan dirugikan karena terdapat selisih biaya fiskal dan biaya komersial yang harus dibayar perusahaan sebesar Rp. 10.958.700,00. Hal ini disebabkan karena perusahaan mengakui beban untuk pembayaran PPh pasal 21 sehingga perusahaan akan dikenal koreksi fiskal dan hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.
95
3. Apabila perusahaan memilih metode C, yaitu PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjanganpajak, maka perusahaan tidak akan dirugikan karena tidak ada selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial yang harus dibayar perusahaan. 4. Apabila perusahaan memilih metode D, yaitu PPh pasal 21 di gross up, maka perusahaan pun tidak akan dirugikan karena tidak ada selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial yang harus dibayar perusahaan. d. Laba bersih perusahaan Perusahaan juga harus mempertimbangkan penerimaan laba bersih dalam melakukan perencanaan pajak karena perencanaan pajak bertujuan untuk meningkatkan laba melalui penghematan pembayaran pajak. pada lampiran 5 akan dijelaskan perbandingan laba bersih yang diterima berdasarkan 4 (empat) metode perhitungan PPh pasal 21. Dari perhitungan tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Apabila perusahaan menggunakan metode A, yaitu PPh pasal 21 dipotong langsung dari gaji karyawan, maka laba bersih perusahaan sebesar Rp. 796.123.176,00,
laba
ini
didapatkan
karena
perusahaan
tidak
menanggung beban PPh pasal 21 sebesar Rp. 10.958.700,00. tetapi dengan metode ini karyawan sangat dirugikan karena karyawan harus membayar sendiri beban PPh pasal 21 dan akan mengurangi gaji karyawan. 2. Dengan menggunakan metode B, yaitu PPh pasal 21 ditanggung oleh perusahaan, maka laba bersih perusahaan menjadi sebesar Rp.
96
796.123.176,00 . Pada metode ini perusahaan mendapat laba yang sama besar dengan metode a, tetapi dengan menggunakan metode ini perusahaan harus membayar beban pajak PPh pasal 21 karyawan sebesar Rp. 10.958.700,00 dan dikenai koreksi fiskal positif yang mengakibatkan beban tersebut dihapus dari laporan keuangan komersial. Dengan demikian maka laba komersial perusahaan menjadi Rp. 785.164.475,71 dan mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp. 10.958.700,00. 3. Jika perusahaan menggunakan metode C, yaitu PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan pajak, maka laba bersih perusahaan menjadi Rp. 788.452.085,71. Dengan menggunakan metode ini perusahaan tidak dikenai koreksi fiskal positif karena beban PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan pajak pada karyawan, sehingga metode ini dapat menghemat pajak sebesar Rp. 3.287.610,00. 4. Apabila perusahaan menggunakan metode D, yaitu PPh pasal 21 di groos up maka laba bersih perusahaan menjadi Rp. 787.295.142,40. Metode ini mengakibatkan penurunan laba perusahaan sebesar Rp. 1.156.943,32 dari metode C. Pada metode ini perusahaan tidak dikenal koreksi fiskal dan penurunan laba tersebut diakibatkan pemberian tunjangan pajak pada karyawan sehingga akan meningkatkan gaji karyawan pada PT. Indo Persada Utama Pasuruhan.
97
4.2.3 Analisa Perbandingan Pajak Penghasilan Sebelum
dan
Setelah Menggunakan Perencanaan Pajak Dalam memperhatikan
melakukan
perencanaan
kesejahteraan
karyawan,
pajak setiap
pada
perusahaan,sela
perusahaan
juga
harus
memperhatikan dampak perencanaan pajak tersebut bagi perusahaan. Dengan demikian maka perusahaan harus memilih metode yang tepat dalam perhitungan pajak khususnya Ph pasal 21 terutang. Sebelum menggunakan perencanaan pajak, PT. Indo Persada Utama Pasuruhan mempunyai kebijakan untuk menanggung seluruh pajak PPh pasal 21 karyawan atau dengan metode net method. Dengan menggunakan metode ini, perusahaan harus mengeluarkan dana Rp. 10.958.700,00 setiap tahunnya untuk membayar pajak tersebut. Laba fiskal yang diperoleh PT. Indo Persada Utama Pasuruhan selama tahun 2007 adalah sebesar Rp. 796.123.176,00 . Laba tersebut belum termasuk dengan beban PPh pasal 21 sebesar Rp. 10.958.700,00 karena terkena koreksi fiskal positif, sehingga laba bersih perusahaan sebenarnya adalah Rp. 785.164.475,71 dan pajak badan yang harus dibayar oleh perusahaan sebesar Rp. 316.195.646,74. Dengan menggunakan perencanaan pajak yaitu menggunakan metode tunjangan pajak maka perusahaan akan memberikan tunjangan pajak kepada karyawan sebesar Rp. 10.958.700,00. Dan dengan metode ini laba fiskal perusahaan menjadi sebesar Rp. 788.452.085,71. Pada metode ini perusahaan tidak dikenai koreksi fiskal sehingga tidak terdapat penurunan atau pengurangan laba menurut fiskal sehingga laba tersebut mewakili laba perusahaan sebenarnya dan pajak badan yang harus dibayar oleh perusahaan sebesar Rp. 312.908.036,73
98
dengan demikian maka akan ada penghematan dari pembayaran pajak badan sebesar Rp. 3.287.610,00. Sehingga dapat disimpulkan, dengan melakukan perencanaan pajak terhadap PPh pasal 21 karyawan dengan menggunakan tunjangan pajak, maka laba perusahaan yaitu sebesar : 1. Penghematan pajak : Rp.3.287.610,00 2. Laba perusahaan sebelum tunjangan pajak : Rp. 785.164.475,71 3. Laba bersih perusahaan : Rp. 788.452.085,71 Dari perhitungan tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa dengan menggunakan metode tunjangan pajak dalam perhitungan PPh pasal 21 karyawan, perusahaan akan memperoleh peningkatan laba sebesar Rp. 3.287.610,00.
99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan perhitungan yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir dalam penelitian ini penulis membuat kesimpulan mengenai perencanaan pajak di PT. Indo Persada Utama Pasuruhan yaitu sebagai berikut : 1. Perencanaan pajak merupakan suatu cara dalam meminimalisasi besarnya pajak terutang. Perencanaan pajak adalah suatu cara yang legal untuk dilakukan selama dalam pelaksanaannya masi tetap berada dalam bingkai ketentuan perpajakan (lawful). Perencanaan pajak pada PT. Indo Persada Utama Pasuruhan dapat dilakukan pada perhitungan PPh pasal 21 karyawan. 2. Dengan penerapan metode tunjangan pajak akan memberikan penghematan terbaik jika dibanding dengan penerapan metode yang lain. Dengan menggunakan metode tunjangan pajak maka perusahaan dapat menghemat pembayaran pajak Rp. 3.287.610,00 per tahun. Penghematan ini didapatkan dari perusahan yang memberikan tunjangan pajak ke karyawan sebesar Rp. 10.958.700,00 sehingga akan menghilangkan beban PPh pasal 21 yang ditanggung oleh perusahaan dan tunjangan pajak juga dapat mengakibatkan gaji bruto karyawan akan naik sehingga mengakibatkan laba perusahaan menjadi turun, dengan demikian maka pajak yang ditanggung oleh
99
100
perusahaan akan turun, selain itu tidak terdapat selisih antara biaya fiskal dan komersial yang harus ditanggung perusahaan. 3. Sebelum menggunakan metode tunjangan pajak laba bersih komersial perusahaan adalah sebesar Rp. 785.164.475,71 laba ini merupakan hasil dari laba bersih fiskal perusahaan sebesar Rp. 796.123.176,00 yang dikurangi beban PPh pasal 21 sebesar Rp.10.958.700,00. Beban PPh pasal 21 ini tidak diperhitungkan dalam perhitungan fiskal karena dikenai koreksi fiskal positif.
5.2. Saran-saran Berdasarkan penelitian dan perhitungan yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya maka penulis akan memberikan saran yang diharapkan dapat menjadi alternatif oleh PT. Indo Persada Utama Pasuruhan dalam rangka penghematan pajak PPh terutang dan mungkin dapat berguna bagi peneliti berikutnya. 1.
Bagi perusahaan Saran-saran bagi PT. Indo Persada Utama Pasuruhan menurut penulis adalah sebagai berikut : a.
PT.
Indo
Persada
Utama
Pasuruhan
sebaiknya
melaksankan
perencanaan pajak sebagai strategi perusahaan dalam penghematan pembayaran pajak dan meningkatkan laba bersih perusahaan. b.
Dalam perhitungan PPh pasal 21 karyawan, sebaiknya PT. Indo Persada Utama Pasuruhan merubah kebijakan perusahaan yang selama ini menggunakan metode net method atau PPh pasal 21 karyawan yang
101
ditanggung oleh menjadi metode tunjangan pajak. Karena dengan menggunakan
metode
tunjangan
pajak,
maka
perusahaan
akan
memperoleh keuntungan-keuntungan sebagai berikut : 1.Perusahaan akan menerima penghematan Pajak Penghasilan Badan. 2.Perusahaan tidak akan dirugikan dari segi fiskal karena dalam pembayaran PPh pasal 21 karyawan perusahaan tidak dikenai koreksi fiskal. 3.Perusahaan akan menerima laba bersih komersial yang lebih besar dengan adanya penghematan pajak tersebut.
2.
Bagi pihak lain Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan melakukan penelitian pada perusahaan yang berbeda dan juga memiliki karyawan tetap dengan jumlah dan dikenai pajak PPh pasal 21 yang lebih banyak, sehingga dapat diketahui perbedaan hasil pengelolaan perencanaan pajak dari perusahaan PT. Indo Persada Utama Pasuruhan dengan perusahaan tersebut.
102
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Edisi Revisi VI. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta: PT.Rineka Cipta. Brotodiharjo, R. Santoso. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT. Refika Aditama. Didit Pujiadi, 2001.Penerapan Metode Gross Up dalam Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Sebagai Salah Satu Upaya Perencanaan Pajak. , Media Akutansi. Edisi 20/September, 2011 Early, Suandy. 2006. Perencanaan Pajak. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Early, Suandy. 2006. Perpajakan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Handoko, Andika. 2007. Perhitungan PPh pasal 21 (online), (www.ortax.org diakses 8 Februari 2012) Ikatan Akuntan Indonesia. 1 April 2002. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Lumbantoruan, S. 1996. Akuntansi Pajak. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana. Mangoting, Yenni. 1999. Tax Planning: Sebuah Pengantar Sebagai Alternatif Meminimalkan Pajak.Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Mei.vol.1 No.1. Mardiasmo. 2003. Edisi Revisi. Perpajakan. Andi Offset. Yogyakarta. Nazir, Mohammmad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Rahman Yudharani Kusuma (2002) “Evaluasi Terhadap Perhitungan PPh pasal 21 di PT. Sier (Persero)”. Skripsi (S1). Akuntansi. Fakultas Ekonomi. Universitas Petra. Surabaya. Soemitro, Rochmat. 1978. Pajak dan Pembangunan. Bandung: PT. Eresco. Tamtono, 2006.” Perencanaan Pajak Dalam Rangka Penghematan Beban Pajak Melalui Pemberian Tunjangan Pajak Kepada karyawan (Studi kasus PT.ABC)”. Skripsi (S1). Akuntansi. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
103
YunniPurwanti. 2004. “Analisa Perbandingan Metode Biasa dengan Metode Groos up berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 Dalam penghitungan PPh pasal 21 Terhadap Pegawai Tetap”. Skripsi (S1). IESP. Fakultas Ekonpomi. Universitas Brawijaya. Malang. Zein, Mohammad. 2005. Manajemen Perpajakan. EdisiKedua. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. . 2000. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 Tanggal 29 Desember 2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. . 2003. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-110/PJ/2003 . Tentang Prosedur Perhitungan PPh Pasal 21 Menggunakan Metode Biasa dan Metode Tunjangan Pajak. . 2003. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 70/KMK. 03/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Tentang Pajak Penghasilan Yang Ditanggung Oleh Pemerintah. . 2005. PMK Nomor 137/PMK. 03/2005 Tanggal 30 Desember 2005 Tentang Penghasilan Kena Pajak.