MAKALAH DAN RANCANGAN NASKAH AKADEMIK TENTANG REVISI UNDANG‐UNDANG NARKOTIKA
PERMASALAHAN DAN SOLUSI DALAM PRAKTIK PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PROSES DELIK NARKOTIKA DALAM RANGKA REVISI UNDANG‐UNDANG Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA ADVOKAT ROPAUN RAMBE KETUA UMUM PERKUMPULAN ADVOKAT INDONESIA Hotel Bidakara, Jakarta 02 Nopember 2016
MAKALAH DAN RANCANGAN NASKAH AKADEMIK TENTANG REVISI UNDANG‐UNDANG NARKOTIKA ***** POKOK PEMIKIRAN (CORE IDEA) Dalam rangka efektifitas sistem kinerja Badan Narkotika Nasional (BNN), khususnya tentang pelaksanaan fungsi tugas penanganan dan Pemberantasan masalah Narkotika berdasarkan ketentuan sebagaimana yang di atur dalam Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jis. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional, jis. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pada prinsipnya, berdasarkan surat dari BNN‐RI Nomor: B/3333/X/DE/HK.01. 03/2016/BNN tertanggal 24 Oktober 2016 sebagaimana isi pada pokok surat dimaksud, maka bersama ini Advokat Ropaun Rambe sebagai Nara Sumber secara pribadi maupun Organisasi Perkumpulan Advokat Indonesia (PERADIN) menyambut gembira tentang maksud dan tujuan dari prakarsa BNN dengan Komisi III DPR‐RI dalam rangka untuk usulan perbaikan (revisi) Undang‐Undang Narkotika dalam cakupan Naskah Akademik yang telah dipercayakan dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat sebagai Nara Sumber. Sejalan dengan itu, tentunya wajib berpedoman kepada Ratifikasi Konvensi PBB tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988, seperti yang telah tertuang dalam materi muatan Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan UNITED NATION CONVENTION AGAINTS ILLICIT TRAFFIC IN NARCOTICS DRUGS AND PSYCHOTROPICA SUBSTANCE 1988 dengan segala akibat hukumnya yang berlaku di wilayah hukum Republik Indonesia. Maka berdasarkan 10 (sepuluh) pointer usulan yang terindikasi dalam usul revisi Undang‐Undang Narkotika dimaksud antara lain adalah : (1) terkait dengan Legalitas Penyidik BNN‐RI sesuai Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, (2) Peningkatan Kedudukan BNN‐ RI untuk dijadikan setingkat Menteri Negara dalam rangka koordinasi tugas P4GN, (3) Penggunaan Harta Kekayaan dari hasil tindak pidana Narkotika untuk dipergunakan dalam hal pelaksanaan P4GN dalam proses rehabilitas medis dan sosial, (4) Pemberian Premi Halaman‐1 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Kepada Penegak Hukum, (5) Tuntutan JPU dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika terkait Harta Kekayaan dan Prekursor yang dirampas untuk Negara, untuk dipergunakan bagi kepentingan P4GN dalam upaya rehabilitasi medis dan sosial, (6) Putusan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika terkait dengan Harta Kekayaan dari hasil tindak pidana narkotika yang dirampas untuk kepentingan P4GN guna upaya rehabilitasi medis dan sosial, (7) Mempertegas sistem rehabilitasi medis bagi pemakai / pengguna Narkotika sebagai paradigma baru dalam sistem penjatuhan hukuman pidana secara selektif, (8) Pembatasan subyek Pelaku tindak pidana narkotika yang dijatuhi pidana rehabilitasi, (9) Legalisasi Tim Asesmen Terpadu (TAT) serta rekomendasi TAT dalam konteks penanganan bagi para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, (10) Penegasan tentang batasan konsep rehabilitasi medis dan sosial serta kewenangan dalam pelaksanaannya. Petunjuk pelaksanaan usul revisi Undang‐Undang Narkotika sebagaimana yang dijabarkan tersebut di atas, merupakan suatu pemikiran dari pihak BNN‐RI dengan terlebih dahulu telah diadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) tanggal 04 Februari 2016 yang lalu, maka atas dasar hal tersebut dijadikan acuan dalam hal mendengarkan saran dan usulan dari para nara sumber guna pelaksanaan pembuatan draft (naskah) akademik untuk perbaikan (revisi) Undang‐Undang Narkotika yang dititik‐beratkan 10 (sepuluh) pointer yang menjadi pusat perhatian seperti yang diusulkan oleh BNN‐RI. TOPIK DAN MATERI PEMBAHASAN Sesuai dengan isi materi pembahasan dan usul perbaikan (revisi) Undang‐Undang Narkotika aquo, adalah mengenai: “PERMASALAHAN DAN SOLUSI DALAM
PRAKTIK PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PROSES DELIK NARKOTIKA DALAM RANGKA REVISI UNDANG‐UNDANG Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA”. Topik pembahasan tersebut, terlebih dahulu perlu untuk mencermati produk hukum yang masih relevan terkait, dengan memperhatikan perundang‐undangan : 1. Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Peraturan Pelaksanaan Kitab Undang‐Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 3. Undang‐Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Halaman‐2 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
4. Undang‐Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 5. Undang‐Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 6. Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA 7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA 8. Undang‐Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) 9. Dan seluruh ketentuan hukum serta peraturan pelaksanaannya yang berlaku. Untuk menindaklanjuti pelaksanaan aturan hukum sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut, maka secara yuridis formal maupun materil, tentunya harus pula mengacu tentang teknik penyidikan dan penyelidikan aparatur negara yang harus tunduk dan taat kepada tata aturan terkait dengan konteks investigasi terhadap suatu perkara tindak pidana NARKOTIKA dan subyek pelaku peredaran (prekursor), maupun subyek pengguna / pemakai / pecandu NARKOTIKA itu sendiri. Dalam hubungan tersebut, baik antara pengedar (bandar) NARKOTIKA, dan pengguna atau pecandu NARKOTIKA dan teknik investigasi serta penyidikan dan penyelidikan seperti yang tertuang dalam materi muatan Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang NARKOTIKA (vide Pasal 63 sampai dengan Pasal 70) jis. Undang‐Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang PSIKOTROPIKA (vide Pasal 55 dan Pasal 56) terdahulu, yang telah diperbaiki dan diubah dengan Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA (vide Pasal 73 sampai dengan Pasal 90) sebagai bahan acuan. APLIKASI DAN IMPLEMENTASI SERTA IMPLIKASI (TEKNIK PENYIDIKAN DAN PENYELIDIKAN). Topik dan Materi Pembahasan dalam Makalah ini terletak pada sistem penyelidikan dan penyidikan pihak berwajib, dalam hal ini Polisi Penyidik dan Penyidik BNN sesuai dengan kewenangannya yang diberikan oleh ketentuan hukum dan Undang‐Undang, maka Pemakalah dalam hal ini terfokus pada KORBAN PENGGUNAAN NARKOTIKA sebagai subyek utama dalam perkara tindak pidana narkotika khususnya, yang dijadikan pesakitan (residivis) di satu pihak, sedangkan dilain pihak adalah Pengedar (bandar), yang sering hilang mata rantainya dalam suatu lingkaran peristiwa tindak pidana terkait dengan NARKOTIKA dan PSIKOTROPIKA pada umumnya.
Halaman‐3 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Teknik penyidikan dan penyelidikan pihak Kepolisian dan BNN‐RI sebagaimana telah secara jelas dan tegas diatur dengan komprehensif otoritas kewenangannya diberikan dalam beberapa ketentuan aturan hukum dan perundang‐undangan sebagai berikut : 1. Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (vide Pasal 1 angka (1), sampai angka (5) yang dalam melaksanakan tugasnya diberikan hak sepenuhnya seperti ditentukan dalam Pasal 1 angka (16) sampai angka (21), merupakan tindakan awal guna pencegahan (prevensi) dan melakukan serangkaian tindakan hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Pasal 4 sampai Pasal 9 KUHAP dan seluruh peraturan undang‐ undang serta peraturan pelaksanaannya. 2. Undang‐Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (vide Pasal 1 angka (8) sampai angka (13) sesuai dengan tugasnya sebagaimana di atur dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15, serta Pasal 16 sampai dengan Pasal 19) dan dijalankan sesuai dengan norma‐norma kesusilaan dan azas‐azas hukum positif yang berlaku umum. 3. Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA (vide Pasal 73 sampai dengan Pasal 78) yang merupakan bagian integral antara Penyidik Polisi dan BNN‐RI dalam rangka pencegahan terhadap tindak pidana umum maupun khusus sesuai dengan aturan hukum dan perundang‐undangan dalam rangka menjalankan fungsi tugasnya. Berdasarkan kompetensi Undang‐Undang aquo, maka secara hukum antara Penyidik Kepolisian maupun BNN‐RI merupakan bagian tidak terpisahkan dalam rangka pencegahan (prevensi) maupun Penekanan (represif) terhadap perbuatan tindak pidana khususnya NARKOTIKA, baik terhadap Pengedar (bandar) atau Prekursor maupun Pengguna dan Pemakai NARKOTIKA sebagai korban (victims) dalam hal penyalahgunaan bahan‐bahan yang mengandung zat‐zat NARKOTIKA dan PSIKOTROPIKA pada umumnya untuk pena‐ nggulangannya. Pada umumnya, menurut Pemakalah sebagai Advokat kegiatan kesehariannya berpraktik dalam pembelaan Klien, tentunya lebih menekankan kepada pasal‐pasal dan ayat‐ayat krusial dalam pemberlakuan Undang‐Undang NARKOTIKA dengan segala implikasi paraktik lapangan yang sering menjadi bahan gunjingan dan pertentangan dalam aplikasi dan implementasi hukum positif terkait dengan NARKOTIKA dan penyalahgunaan penerapannya baik dalam penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan pidana terhadap KORBAN (victim). Halaman‐4 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Dengan demikian perlu untuk diperhatikan tata cara penyelidikan dan penyidikan dilapangan oleh pihak penyidik Kepolisian maupun BNN‐RI dalam upaya pencegahan dan penyalahgunaan kewenangannya akibat dari salah dan keliru penerapan pasal‐pasal dan ayat‐ayat krusial dimaksud, dan oleh karenanya maka Pemakalah menitik‐beratkan terlebih dahulu pelaksanaan ketentuan penyelidikan dan penyidikan terkait dengan pasal dan ayat dalam undang‐undang NARKOTIKA sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 75 huruf (j), juncto. Pasal 79 Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA, terkait dengan tata cara “PEMBELIAN TERSELUBUNG” adalah suatu indikasi yang bisa menciderai hak orang lain dengan cara‐cara yang tidak benar dan tidak tepat jika adanya sentimen tertentu terhadap orang tertentu dalam rangka penyalahgunaan kewenangan menurut perintah hukum dan undang‐undang, dengan mengutip keberatan Fraksi PDIP Bapak Y. B. WIYANDJONO, SH., pada saat pembahasan RDPU terkait dengan pembuatan RUU NARKOTIKA / PSIKOTROPIKA (halaman 31 – 32 – 60) yang menyatakan bahwa: “Didalam kontrol mengenai pembelian terselubung, ini terletak dimana..? sehingga pembelian terselubung itu betul‐betul tidak diboncengi oleh kepentingan‐kepentingan lain yang lepas dari kondisi untuk menjebak tadi, sedangkan ada dua aliran mengenai menolak pembelian terselubung itu Pak Loebby Luqman, itu kan kurang fair begitulah kelihatannya, ini polisi menyidik pura‐pura semacam itu, karena di Indonesia bagaimanapun juga kalau ini kita tidak tolerir, tidak tertangkap‐tangkap, kira‐kira begitu saja, tidak ada pertanggungan jawab moril dari kita, bahwa biar saja untuk kali ini atau sampai kapan tidak ngerti kita rubah lagi, ini masih cocok cuman permasalahannya kontrol terhadap itu yang lantas bagaimana yang kira‐kira untuk memberikan gambaran bahwa kita itu memberikan persetujuan, tetapi juga tidak terlalu berdosa kalau membuka peluang. Itu mohon keterangan lebih lanjut, setelah setuju (.....?????) tadi Pak, ini keterangan saja. Terimakasih. 2. Berkaitan dengan RDPU tersebut, maka kelanjutan dalam pembahasan RUU NARKOTIKA ini, menurut keterangan dari pihak Pemerintah cq. Bakolak Inpres Drs. MD. Tanjung tentang pembelian terselubung yang dilanjutkan oleh Fraksi PDIP DJUWARDI EFFENDI mengatakan: Materi muatan pasal‐pasal RUU NARKOTIKA ini sarat dengan berbagai hal yang erat kaitannya dengan pertanggunganjawab moral. Apabila salah merumuskannya, orang yang tidak melakukan perbuatan pidana bisa di pidana. Dan sebaliknya orang yang berbuat pidana bisa lolos dari tanggungjawabnya. (Berita Koran KOMPAS, terkait dengan pengedar (bandar) dan prekursor serta Korban tindak pidana NARKOTIKA). Halaman‐5 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
3. Hemat Pemakalah, dalam praktik aplikasi dan implementasi terkait dengan saksi “Mahkota” (penyamaran penjual narkotika terselubung), adalah juga informan atau pihak polisi itu sendiri yang juga sebagai kepanjangan tangan dan/atau oknum‐ oknum yang dipergunakan sebagai kaki‐tangan atau sebagai pihak berkepentingan untuk menjaring atau menjebak para korban pemakai atau pengguna narkotika (victims) sebagai bekas residivis yang sering dijebloskan kembali ke dalam penjara, dan bukan direhabilitasi medis maupun sosial (vide Pasal 99 ayat (1) dan (2), yang tidak bisa dimunculkan dalam persidangan dengan alasan perlindungan saksi yang merupakan otoritas pihak Kepolisian atau BNN‐RI dalam praktik aplikasi dan imple‐ mentasi Undang‐Undang NARKOTIKA, sehingga mata rantai ini sering terputus ditengah jalan bahwa siapa sebenarnya penjual atau pengedar narkotika...? namun penyidik dapat melakukan penyelidikan dengan bebas tanpa dosa mengorbankan pengguna saja). Oleh sebab itu, implikasi dan ekses dari penyalah‐gunaan narkotika ini hanya berkisar pada diri korban pengguna/pemakai yang menjadi subyek dan sekaligus sebagai pengedar). 4. Berdasarkan ketiga permasalahan tersebut di atas, maka menurut hemat Pemakalah agar pasal dan ayat tersebut supaya dapat ditinjau ulang oleh Pihak Kepolisian dan BNN‐RI dan pihak Komisi III DPR‐RI agar tidak terus menerus berputar dalam lingkaran setan pengguna/pemakai narkotika, sedangkan pengedar (bandar) dan prekursor narkotika tidak diketahui juntrungannya, dan pihak korban adalah pengguna/pemakai (residivis) tidak lagi dijadikan korban (victims) melainkan direhabilitasi medis berdasarkan visum dokter dan tidak dijatuhi hukuman penjara yang berulang‐ulang sebagai efek jera yang tidak bersifat futuristik atau progresifitas hukum responsif dalam rangka penanggulangan narkotika. MENGENAI USUL PENINGKATAN LEGALITAS KEDUDUKAN PENYIDIK BNN‐RI Pemakalah dalam hal ini tidak memiliki konsep dan otoritas menurut hukum guna memberikan bahan masukan (in put) sesuai dengan pointer (1) tentang peningkatan kewenangan Penyidik BNN‐RI tetapi pertimbangan ini adalah menjadi kewenangan Legislator di Komisi III DPR dengan segala konsekuensi pertimbangan dari berbagai pihak terkait guna pemberian wewenang berdasarkan hukum dan undang‐undang. Oleh karenanya, hemat Pemakalah, hak dan otoritas mempertimbangkan usulan ini dikembalikan kepada Legislator guna melakukan “judicial preview” bahwa apakah darurat narkotika perlu evaluasi status Penyidik BNN‐RI, dan pointer (2) tentang kedudukan BNN‐RI Halaman‐6 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
diakseskan menjadi setingkat Menteri dalam pelaksanaan tugas P4GN menurut efektifitas fungsi untuk kepentingan dalam pemberantasan narkotika secara komprehensif integralistik adalah merupakan hak dan kewenangan otoritas dari pihak Komisi III DPR‐RI. Sedangkan aplikasi dan implementasi usulan Revisi Undang‐Undang Narkotika dengan mengakseskan kepentingan terkait dengan permasalahan lainnya seperti pointer (3) tentang penggunaan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika untuk rehabilitas medis dan sosial terhadap korban penyalahgunaan Narkotika telah diatur dalam beberapa pasal sebagai berikut: a. Penambahan dan selipan beberapa Pasal dan ayat tentang penyitaan dan penyimpanan terhadap semua harta kekayaan pengedar (bandar) dan prekursor Narkotika oleh pihak penyidik Polisi dan BNN‐RI yang terkait ketentuan Pasal 64 sampai dengan Pasal 98 Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana di atur dalam Undang‐undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia dan seluruh peraturan pelaksanaannya serta hak konstitusional orang lain yang diduga memperoleh kekayaan dari hasil peredaran atau penjualan Narkotika secara efektif dan progresif. b. Mengenai pemberian premi (reward) kepada penegak hukum dan masyarakat yang berperanserta dalam pembasmian peredaran Narkotika dapat diselipkan dan ditambahkan beberapa pasal dan ayat kelengkapan sesuai ketentuan Pasal 104 sampai dengan Pasal 110 Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menjadi usul revisi oleh Fraksi‐Fraksi di Komisi III DPR‐RI dan pihak Pemerintah untuk mengakses kepentingan dimaksudkan termasuk rancangan naskah akademik yang akan diurun rembuk bersama pada saatnya. c. Sedangkan mengenai sistem penuntutan dan penyitaan serta penggunaan harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan peredaran narkotika oleh Penuntut Umum dan Putusan Hakim Pengadilan sesuai pointer (5) dan (6) merupakan satu bagian tidak terpisahkan yang harus diselipkan dalam Pasal‐Pasal dan Ayat‐ayat sebagaimana di atur dalam Pasal 70 sampai Pasal 72, juncto. Pasal 53 sampai dengan Pasal 59 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang harus dilibatkan dalam pembuatan draft naskah akademik secara terpadu dan merupakan otoritas Komisi III DPR‐RI, Pemerintah dan Menteri Kesehatan sebagai akselerator menurut ketentuan hukum dan perundang‐
Halaman‐7 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
undangan untuk melakukan pembahasan dan usulan terkait dengan sistem rehabilitasi penyalahgunaan Narkotika bagi pengguna/pemakai (korban) atau residivis. d. Selanjutnya mengenai pointer (7), (8) dan (10) tentang usul mempertegas terkait dengan sistem rehabilitas mental dan psikologis dari pengguna/pemakai narkotika (korban) atau residivis, maka proporsi ini juga berada ditangan Legislator, Pemerintah dan Menteri Kesehatan menurut ketentuan undang‐undang, oleh karena adanya paradigma baru yang diakibatkan banyaknya korban pemakai dan pengguna narkotika yang sering ditangkap dan ditahan kemudian diadili dan mengulangi perbuatannya yang sama dalam kurun waktu tertentu dan menjadi endemi serta epidemi sosial yang sangat perlu untuk diberikan perlindungan oleh hukum guna proses pemulihan dan penyembuhannya yang sangat banyak membutuhkan biaya medis maupun tempat penampungan yang memadai dengan peralatan maupun kegiatan yang memfasilitasi para pecandu/pemakai/pengguna dapat direhabilitasi mental dan kejiwaannya untuk memiliki ketrampilan khusus setelah lepas rehabilitasi. e. Tentang legislasi khusus bagi Tim Assesmen Terpadu (TAT) adalah bagian tidak terpisahkan dari Lembaga Rehabilitas maupun Dinas Kesehatan Masyarakat dan Lembaga Rehabilitasi yang dibentuk oleh pihak Pemerintah guna mengakomodir atau memfasilitas terwujudnya sistem pengobatan dan rehabilitasi mental dan psikologis para pecandu/pemakai dan pengguna Narkotika sebagai zat adiktif yang mematikan untuk dipulihkan sebagaimana yang telah ditentukan secara jelas dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 59 Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan demikian, maka pasal‐pasal dan ayat‐ayat sebagaimana tersebut diperlukan penjabaran yang lebih jelas dan transparan dan ditambahkan selipan pasal dan ayat untuk mengatur lebih lanjut tentang pokok permasalahan dimaksud, agar menjadi jelas dan terang dalam rangka merevisi Undang‐Undang Narkotika yang lebih akuntabilitas dan berdayaguna serta bermanfaat bagi kepentingan negara dalam rangka efektifitas dan efisiensi proses pemulihan dan penyembuhan bagi para pecandu narkotika pada umumnya. Berdasarkan uraian‐uraian sebagai bahan masukan dari nara sumber Pemakalah pada huruf (a) sampai (e) di atas, maka pada dasarnya menurut pandangan dan pendapat dari pengalaman teoritis maupun empirisme praktik hukum di lapangan sebagai seorang Advokat adalah sekaligus sebagai nara sumber dari aplikasi dan implementasi serta implikasi dalam penerapan Undang‐Undang Narkotika yang belum Halaman‐8 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
maksimal mencapai sasaran dan target dari apa yang dicanangkan sebagai “Darurat Narkotika” (Narcotics Emergency) untuk membasmi dan berperang melawan mafia narkotika terselubung mampu terang‐terangan. Maka berdasarkan hal tersebut, perlu untuk menekankan dan mengusulkan beberapa hal penting yang terkait dengan usul Revisi Undang‐Undang Narkotika dengan segala resiko‐resiko penanggulangannya sesuai dengan pengalaman sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini : BNN‐RI SEBAGAI LEMBAGA SUPERVISI/PREVENTIF BUKAN REPRESIF Sebagaimana yang telah jelas termuat dalam materi muatan Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA (vide Pasal 75 sampai dengan Pasal 90), perlu dipertegas fungsi BNN‐RI dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan yang tidak bertentangan dengan kewenangan insitusi Kepolisian Undang‐Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, dan peraturan pelaksanaannya yang berlaku serta Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang melakukan penekanan (represif) terhadap pelaku pengedar/prekursor narkotika, sedangkan pemakai dan pengguna yang menjadi korban (victims) hanya dilakukan tindakan pencegahan (preventif) dan proses rehabilitasi medis dan status sosial, untuk dipulihkan hak konstitusionalnya dibawah pengawasan dari lembaga rehabilitasi yang menjadi motor penggerak dan pelaksana restitusi. Adalah sangat ironis dan ambigu, jika antara penyidik kepolisian dan penyidik BNN‐RI dijadikan dua institusi yang berbeda kepentingan dalam penanganan pencegahan peredaran dan penggunaan narkotika, karena jika perluasan kewenangan BNN‐RI setingkat Menteri Negara, maka terkait dengan ketentuan Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang akan menjadi krusialitas dengan PPATK maupun KPK sebagaimana di atur dalam Undang‐Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto. Undang‐Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan mengenai ketentuan Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang secara hukum telah di atur dalam PP‐RI Nomor 19 Tahun 2000, juncto. Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang hakikatnya menjadi korelasi aktif antara Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan KPK guna melakukan pemeriksaan dan penyelidikan
Halaman‐9 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
serta penyidikan terhadap gratifikasi pencucian uang dari hasil kejahatan korporatisme maupun perdagangan gelap (trafficking) lintas negara (interstates). Hal ini sejalan dengan Konvensi PBB yang telah diratifikasi dalam ketentuan peraturan Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 1997 juncto. Dokumen PBB Nomor: E/CONF. 88/2 (tanggal 18 Agustus 1994) yang telah masuk dalam kelompok kegiatan Organisasi Kejahatan Internasional (International Crimes Organization / Activities of Transnational Criminal Organization) meliputi: Drug Trafficking Industry, smuggling of illegal migrants, arms trafficking, trafficking in nuclear material, transnational criminal organization and terrorism, trafficking in women and children, trafficking in body part, theft and smuggling of vihicles, dan money laundring, serta kejahatan lainnya yang sejenis dengan itu. Maka dari itu, BNN‐RI sesuai kewenangannya terkait dengan fungsi preventif tidak akan menunjang eksistensinya secara optimal jika diberikan kewenangan regulatif yang bersifat represif akan tetapi termasuk dalam kategori restitutif dalam menjalankan fungsi tugasnya sebagai institusi pemantau dan pencegahan masuk keluarnya perdagangan gelap narkotika yang dapat merusak generasi bangsa dan merongrong kewibawaan dari kekuasaan pemerintahan negara. KESIMPULAN / KONKLUSI Dari hasil simulasi tentang evaluasi perihal usulan perbaikan (revisi) peraturan Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA sebagaimana yang telah diuraikan secara jelas tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan (Konklusi) : 1. Diperlukan optimalisasi dan maksimalisasi fungsi tugas BNN‐RI dalam rangka untuk prevensi serta supervisi yang bersifat kekhususan terhadap peredaran gelap narkotika dari hulu ke hilir dan bukan dari hilir ke hulu, sehingga Polisi penyidik tidak semata‐ mata melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku pengguna narkotika, tetapi terhadap pengedar (bandar) dan bukan melalui pendayagunaan kepanjangan‐tangan dari “CEPU” yang nota bene menyalah‐gunakan Pasal 75 huruf (j), juncto. Pasal 79 Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA, terkait dengan tata cara “PEMBELIAN TERSELUBUNG”. 2. Diperlukan kejelasan tentang permasalahan yang terkait dengan saksi “Mahkota” (penyamaran penjual narkotika terselubung), adalah juga informan atau pihak Polisi itu sendiri yang juga sebagai kepanjangan tangan dan/atau oknum‐oknum yang dipergunakan sebagai kaki‐tangan atau sebagai pihak berkepentingan untuk menjaring Halaman‐10 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
atau menjebak para korban pemakai atau pengguna narkotika (victims) sebagai bekas residivis yang sering dijebloskan kembali ke dalam penjara, dan bukan direhabilitasi medis maupun sosial (vide Pasal 99 ayat (1) dan (2), yang tidak bisa dimunculkan dalam persidangan dengan alasan perlindungan saksi yang merupakan otoritas pihak kepolisian atau BNN‐RI dalam praktik aplikasi dan implementasi Undang‐Undang NARKOTIKA agar tidak salah kaprah dalam penerapan ketentuan dimaksud. 3. Perlu penambahan pasal dan ayat sebagaimana di atur dalam Pasal 70 sampai Pasal 72, juncto. Pasal 53 sampai dengan Pasal 59 Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang harus dilibatkan dalam pembuatan draft naskah akademik secara terpadu dan merupakan otoritas Komisi III DPR‐RI, Pemerintah dan Menteri Kesehatan sebagai akselerator menurut ketentuan hukum dan perundang‐undangan untuk melakukan pembahasan dan usulan terkait dengan sistem rehabilitasi penyalahgunaan Narkotika bagi pengguna/pemakai (korban) atau residivis. 4. Mengenai sistem penuntutan dan penyitaan serta penggunaan harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan peredaran narkotika oleh Penuntut Umum dan Putusan Hakim Pengadilan merupakan satu bagian tidak terpisahkan untuk menambahkan rumusan baru agar sejalan dengan Pasal 70 sampai Pasal 72, juncto. Pasal 53 sampai dengan Pasal 59 Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 dalam draft naskah akademik secara terpadu oleh Komisi III DPR‐RI, Pemerintah dan Menteri Kesehatan sebagai akselerator untuk melakukan pembahasan dan usulan terkait dengan rehabilitasi bagi pengguna/pemakai (korban) atau residivis narkotika. 5. Tidak adanya inventarisasi dan sinkronisasi data yang baik tentang pengelolaan barang sitaan Narkotika dari daerah ke pusat dan dari pusat ke daerah terbukti dengan jelas dari tidak mudahnya diperoleh data tentang barang sitaan tersebut di Lembaga Penegak Hukum, menjadi penyebab utama sulitnya melakukan pengawasan pengelolaan barang sitaan sehingga berpotensial kuat terjadinya penyelewengan dan penggelapan barang sitaan. PENUTUP dan SARAN serta USULAN Sampailah pada bagian Penutup dalam makalah ini, menurut pendapat Pemakalah bahwa perlu diberikan Saran dan Usulan‐usulan terkait dengan revisi Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA dimaksud yang perlu melibatkan kembali berbagai komponen dan elemen masyarakat dalam rapat dengan pendapat akhir Halaman‐11 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
sebelum diajukannya hasil revisi Rancangan Undang‐Undang (RUU) Narkotika dengan cara dan melalui seminar‐seminar dan atau diskusi lebih lanjut dengan semua institusi hukum terkait, akademisi, Organisasi Advokat, dan para Praktisi Hukum seperti Advokat dan Polisi, Jaksa, Hakim, untuk menerima masukkan terkait dengan pemberantasan narkotika.
SARAN‐SARAN 1. Disarankan agar adanya peningkatan kerjasama penanganan pemberantasan narkotika melalui mekanisme secara komprehensif mulai dari tingkat RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan, dengan partisipasi keluarga maupun warga masyarakat setempat, dengan cara memberikan pengarahan, punishment dan reward apabila mengetahui adanya peredaran gelap narkotika dan sengaja didiamkan atau adanya pembiaran warga setempat untuk melakukan peredaran atau penampungan dan penjualan terhadap warga dilingkungannya sendiri, sehingga efek jera akan berdampak kepada semua warga masyarakat didalam lingkungan wilayahnya agar menjauhi diri dan menganti‐ sipasi pengaruh‐pengaruh dari bahaya narkotika terhadap masa depan dari pengguna atau pemakai. 2. Disarankan agar pengedar yang adalah warga dalam suatu wilayah RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan tersebut diberikan sanksi sosial berupa dukungan penghukuman yang seberat‐beratnya dan mengisolirkan dirinya sebagai warga masyarakat yang direhabilitasi mental dan perilaku menyimpang dari akibat penggunaan narkotika yang merupakan musuh masyarakat. 3. Bagi pecandu narkotika tingkat akut disarankan agar menjadi penghuni tetap dalam Lembaga Rehabilitasi Mental Pengguna Narkotika dan dalam pengawasan pihak ber‐ wenang. 4. Bagi Pengedar (bandar) Narkotika, pemasok, pembuat, pemilik dan pengelola pabrik dan tempat penampungan Narkotika, dihukum sebarat‐beratnya atau dihukum mati. 5. Bagi aparatur hukum yang sengaja memakai, mengedar, menjual‐belikan narkotika, atau dengan sengaja menjadi perantara atau penjual terselubung dengan penyamaran, tidak dapat dibenarkan oleh hukum, oleh sebab itu tentang pasal krusial sistem Pembelian Terselubung dan Saksi Mahkota yang dilindungi tersebut perlu ditinjau kembali eksistensi dan efek yang ditimbulkan dari prosedural yang masih tidak jelas dalam penerapannya. Halaman‐12 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
6. Perlu suatu aturan hukum tentang penyelewengan dan penggelapan terhadap barang sitaan Narkotika supaya dalam proses penjatuhan hukuman nantinya tidak rumit sehingga proses penyelesaiannya akan lebih cepat dan jelas. Pelaksanaan hukuman terhadap kasus penyelewengan dan penggelapan barang sitaan narkotika ini perlu adanya dukungan dari Kepala Negara supaya dalam proses penjatuhan hukuman dan vonis bagi para oknum yang melanggar nantinya akan lebih cepat proses penye‐ lesaiannya. Dan bagi Instansi yang terkait dengan masalah ini supaya turut membantu menyelesaikan dan tidak menutupi kesalahan anggota‐nya karena akan sangat merugikan negara sendiri dan juga hukum di negara ini semakin lama semakin tidak mempunyai wibawa di mata dunia. 7. Bahaya narkotika adalah endemi dan epidemi sosial yang merusak generasi bangsa dan negara, oleh karenanya perang terhadap narkotika perlu didukung oleh semua pihak, terutama peran masyarakat, aparatur penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat, maupun LSM dan semua komponen masyarakat dalam rangka perang terhadap bahaya narkotika yang sangat berbahaya dan akan merusak mental serta jiwa manusia dan menghancurkan eksistensi bangsa dan negara. SEKIAN....! ADVOKAT ROPAUN RAMBE KETUA UMUM PERKUMPULAN ADVOKAT INDONESIA (PERADIN).
Halaman‐13 SEMINAR, 02 NOPEMBER 2016 REVISI UNDANG‐UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA