Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi, dan Kota Bandung
BA
DA
BPS A
K
T
I
HU
S
Kerjasama Badan Pusat Statistik dengan Departemen Kesehatan
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi, dan Kota Bandung
BA
DA
BPS A
K
T
I
HU
S
Kerjasama Badan Pusat Statistik dengan Departemen Kesehatan
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
ISBN : 979-724-388-5
No. Publikasi : 04200.0505 Katalog BPS : 4119.3273
Ukuran Buku : 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman : 93 halaman
Tim Penyusun : Pengarah Editor
: DR. Rusman Heriawan : Arizal Ahnaf, MA DR. Pandu Riono Drs. Johny Anwar Penulis : Arizal Ahnaf, MA Drs. Johny Anwar Dyan Pramono, SE Ir. Aryago Mulia, MSi Halip Purnama, MA Yeane Irmaningrum S., MA Ir. Hilmiah M. Noor Farid, SSi Sugihartono, SSi dr. Dicky Budiman Asisten Penulis : Tini Suhartini, SSi Gaib Hakiki, SE Kurniawan Pengolah Data : M. Noor Farid, SSi Sugihartono, SSi Sumardiyanto Desain & Layout : Zulhan R.
Penerbit : Badan Pusat Statistik Jl. Dr. Sutomo 6-8 Jakarta Pusat Telp. (021) 3810291 Boleh mengutip dengan menyebut sumbernya.
Kata Pengantar Publikasi berjudul Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat ini disusun dari hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) tahun 2004/2005. Seperti pada SSP tahun 2002/2003, SSP 2004/2005 juga diselenggarakan atas kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop AIDS (ASA) yang didukung oleh Family Health International (FHI) dan the United States Agency for International Development (USAID) serta dengan Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP) yang didukung oleh Australian Agency for International Development (AusAID). Pelaksanaan SSP 2004/2005 juga dilakukan melalui kerjasama dengan Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung (Dit. P2ML) serta dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli/pemerhati HIV/AIDS, khususnya untuk pencacahan kelompok sasaran yang lebih sulit dijangkau seperti kelompok lelaki suka lelaki, waria, dan pengguna narkoba suntik. Publikasi ini memuat rangkuman hasil survei dari seluruh kelompok sasaran yang dicakup dalam SSP 2004/2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi, dan Kota Bandung, yaitu wanita penjaja seks, pelanggan penjaja seks, lelaki suka lelaki, waria, dan pengguna narkoba suntik. Kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya SSP 2004/2005, termasuk penerbitan publikasi ini, disampaikan penghargaan dan terima kasih. Secara khusus penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada pimpinan FHI dan USAID, beserta tim teknis SSP 2004/2005 dari Program ASA, dan Direktorat terkait di BPS beserta staf teknis yang terlibat. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada pimpinan dan staf Dit. P2ML, serta pimpinan dan anggota LSM yang membantu pelaksanaan SSP 2004/2005 di Wilayah Propinsi Jawa Barat. Semoga publikasi ini memberi manfaat yang berarti bagi upaya pencegahan penularan HIV/AIDS khususnya di Indonesia.
Jakarta, September 2005 Deputi Bidang Statistik Sosial
DR. Rusman Heriawan
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
i
Kata Pengantar Ancaman AIDS semakin luas melanda seluruh wilayah di Indonesia. Kita tahu bahwa epidemi AIDS di Indonesia-sebagaimana negara Asia lainnya- tidak seperti di Afrika, terutama didorong oleh penggunaan narkoba suntik dan oleh karena itu dengan cepat menyebar. Ini disebabkan penggunaan jarum suntik secara bergantian oleh pengguna narkoba suntik adalah salah satu cara paling efisien dalam menularkan HIV. Oleh karena itu adanya epidemi ganda, yaitu HIV dan pengguna narkoba suntik membawa ancaman yang paling mendesak dan paling mengkhawatirkan, serta membutuhkan tanggapan yang tepat dan cepat di Indonesia. Dalam konteks seperti itulah saya menyambut gembira dipublikasikannya hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) tahun 2004/2005 ini, karena sesuai dengan amanat yang diemban dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, maka Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) - Departemen Kesehatan berkewajiban melakukan surveilans epidemiologi penyakit menular, dimana sebagian kecil dari kegiatan tersebut berupa pelaksanaan SSP, yang merupakan bagian dari Surveilans HIV generasi kedua. Hasil SSP ini diharapkan bermanfaat dalam mengetahui besarnya masalah, menentukan sasaran program, juga berfungsi sebagai alat evaluasi program, kebijakan dan intervensi yang telah dilaksanakan pada beberapa kelompok populasi rawan. Dengan terlaksananya kegiatan SSP 2004-2005, kami ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada segenap pihak baik perorangan maupun lembaga yang telah berperan serta dalam pelaksanaannya. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Jakarta, September 2005 Direktur Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan
Dr. I Nyoman Kandun, MPH
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
iii
Daftar Isi Kata Pengantar ....................................................................................................................... Daftar Isi .................................................................................................................................. Daftar Gambar ....................................................................................................................... Daftar Tabel ............................................................................................................................ Tabel Indikator Kunci ..........................................................................................................
i v ix xiii xv
Pendahuluan............................................................................................................................ Umum ................................................................................................................................ Cara Penyajian..................................................................................................................
1 1 1
1.
Situasi Risiko Penularan HIV ...................................................................................... Situasi Epidemi dan Dinamika Perilaku Berisiko ...................................................... Situasi Epidemi di Jawa Barat ........................................................................................ A. Penularan melalui Seks Komersial .................................................................... Mobilitas Seks Berisiko .......................................................................................... Asal Penjaja Seks dan Pelanggannya ................................................................... Jenis Pekerjaan Pelanggan Penjaja Seks............................................................... Tren Kaum Pria dalam Membeli Seks ................................................................. Frekuensi Kontak Seks Komersial ........................................................................ Tarif Seks .................................................................................................................. B. Penularan melalui Penggunaan Jarum Suntik pada Penasun ...................... Banyaknya Teman Nongkrong............................................................................. Lama menjadi Penasun dan Frekuensi Menyuntik ........................................... Kebiasaan Patungan ............................................................................................... Lokasi Menyuntik dan Akses Jarum Bersih........................................................ Risiko Penyuntikan Lainnya .................................................................................
3 3 5 6 6 8 9 10 10 11 12 12 13 14 14 15
2.
Tingkat Perilaku Berisiko dan Kecenderungannya................................................. A. Perilaku Berisiko pada Penjaja Seks dan Pelanggannya............................... Tren Perilaku Seks .................................................................................................. Perilaku Seks Pria Risiko Tinggi........................................................................... Pengaruh Alkohol dan Narkoba terhadap Perilaku Seks Komersial Tanpa Kondom.................................................................................................................... Persepsi Risiko dari Orang yang Berperilaku Berisiko ..................................... B. Perilaku Berisiko pada Pengguna Narkoba Suntik (Penasun)..................... Pengaruh Beli Patungan terhadap Berbagi Basah.............................................. Nyuntik dengan Orang Berbeda dalam Seminggu Terakhir ........................... Saling Berbagi Jarum .............................................................................................. Lokasi Favorit Berbagi Jarum................................................................................ Sterilisasi yang Tidak Benar .................................................................................. Perilaku Seksual ......................................................................................................
17 17 17 19
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
21 23 24 25 25 26 27 27 27
v
Perilaku Pencegahan HIV ............................................................................................ A. Perilaku Pengurangan Risiko pada Penjaja Seks dan Pelanggannya ......... Tren Perilaku Penggunaan Kondom pada Seks Komersial.............................. Perilaku Penggunaan Kondom pada Seks Anal ................................................ Perilaku Penggunaan Pelicin pada Seks Anal .................................................... Perilaku Pemakaian Kondom pada Seks Komersial menurut Pengetahuan, Ketersediaan, Punya, dan Menawarkan.............................................................. Alasan Utama Tidak Memakai Kondom............................................................. B. Perilaku Pengurangan Risiko pada Pengguna Narkoba Suntik .................. Pengurangan Risiko Seksual .................................................................................
29 29 29 31 32
4.
Pencarian Pengobatan IMS dan Tes HIV................................................................... Pengetahuan yang Salah tentang Pencegahan HIV.................................................... Tren Perilaku Pencarian Pengobatan IMS.................................................................... Pengetahuan tentang HIV hanya Bisa dengan Tes Darah ......................................... Perilaku Tes HIV ..............................................................................................................
39 39 41 45 45
5.
Program Pencegahan dan Dampaknya....................................................................... Program Pencegahan....................................................................................................... Program Penyuluhan....................................................................................................... Distribusi Kondom .......................................................................................................... Dampak Program.............................................................................................................
47 47 48 49 50
6.
Penyebaran dan Penularan: Perpindahan HIV antar Populasi.............................
57
7.
Kesimpulan dan Saran................................................................................................... Temuan Kunci .................................................................................................................. Penularan melalui Seks Komersial ................................................................................ Penularan melalui Penggunaan Jarum Suntik pada Penasun................................... Tren Perilaku Seks dan Transmisi antar Kelompok ................................................... Pengetahuan dan Perilaku Pencegahan IMS dan HIV ............................................... Upaya Pencegahan dengan Penjangkauan dan Penyuluhan .................................... Usulan Tindakan ..............................................................................................................
61 62 62 62 62 63 64 64
3.
32 35 36 37
Lampiran: A. Survei Surveilans Perilaku (SSP) ................................................................................
67
B. Metodologi Survei .......................................................................................................... Sasaran Survei .................................................................................................................. Metode Survei................................................................................................................... Hasil Listing......................................................................................................................
69 69 70 71
vi
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
C. Karakteristik Responden............................................................................................... Umur .................................................................................................................................. Status Perkawinan ........................................................................................................... Pendidikan ........................................................................................................................
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
73 73 74 75
vii
Daftar Gambar Gambar 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 1.10 1.11 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10 2.11 2.12 3.1 3.2 3.3
Judul Gambar Tingkat Penularan Tertinggi pada Sub Populasi Tertentu di Indonesia, 2002-2004 ................................................................................................................. Estimasi Sub Populasi Rawan Tinggi HIV di Jawa Barat ................................ Estimasi ODHA yang Berasal dari Sub Populasi Rawan di Jawa Barat ........ Lama menjadi Penjaja Seks (Tahun) .................................................................... Persentase Responden yang Pernah Menjadi Penjaja Seks di Propinsi Lain . Persentase WPS menurut Asal Pelanggan ......................................................... Jumlah Pelanggan dalam Seminggu (Penjaja Seks) dan Berapa Kali Beli Seks Sebulan (Pelanggan) ..................................................................................... Rata-rata Tarif pada Seks Komersial Terakhir (yang Diterima Penjaja Seks dan Dibayarkan Pelanggan) ................................................................................. Besarnya Kelompok Tongkrongan para Pengguna Narkoba Suntik ............. Persentase Penasun menurut Frekuensi Membeli Narkoba secara Patungan ................................................................................................................. Persentase Penasun menurut Risiko Penyuntikan yang Lain ......................... Persentase Responden Pria menurut Perilaku ABC ......................................... Persentase Responden Pria menurut Perilaku Seks ......................................... Persentase Pria yang Beli Seks ke WPS dan Kucing ......................................... Persentase Pria Risiko Tinggi yang Mempunyai Pasangan Seks Lebih dari Satu .......................................................................................................................... Persentase Penjaja Seks yang Pernah Berhubungan Seks dengan Pria Tanpa Dibayar ........................................................................................................ Persentase Pria Risiko Tinggi yang Pernah Berhubungan Seks Anal Sebulan Terakhir (Khusus Pelaut/ABK Setahun Terakhir) ............................ Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Konsumsi Alkohol atau Tidak ............................................ Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Penggunaan Narkoba .......................................................... Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Merasa Berisiko Tertular HIV atau Tidak ......................... Persentase Penasun menurut Frekuensi Menyuntik secara Berbagi Basah .. Persentase Penasun yang Selalu Berbagi Basah menurut Frekuensi Membeli Narkoba secara Patungan .................................................................... Persentase Penasun menurut Perilaku Menyuntik ........................................... Tren Pemakaian Kondom pada Seks Komersial Terakhir ............................... Persentase Pemakaian Kondom pada Seks Komersial ..................................... Persentase Pemakaian Kondom dalam Hubungan Seks Komersial antara Kucing dan Pelanggannya ...................................................................................
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
Hlm
4 5 6 7 8 9 11 12 13 14 15 18 18 19 20 20 21 22 23 23 24 25 26 30 30 31
ix
Gambar 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 4.1 4.2
4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9
5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
x
Judul Gambar
Hlm
Persentase Pemakaian Kondom dan Pelicin pada Seks Anal ......................... Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pengetahuan bahwa Kondom Dapat Mencegah HIV ..................... Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Kemudahan Memperoleh Kondom .................................................... Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Punya Tidaknya Kondom .................................................................... Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Frekuensi Menawarkan Kondom ....................................................... Persentase Responden menurut Alasan Tidak Mau Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir ............................................................................. Persentase Penasun menurut Perilaku Menyuntik yang Baik ........................ Persentase Penasun menurut Perilaku Seks ...................................................... Persentase Responden yang Menganggap bahwa Minum Obat Dapat Mencegah HIV ....................................................................................................... Persentase Responden yang Menganggap bahwa Minum Obat Dapat Mencegah HIV menurut Alasan Tidak Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir ................................................................................................ Persentase Responden yang Berobat ke Petugas Kesehatan ketika Mengalami Gejala IMS .......................................................................................... Persentase Responden yang Melakukan Pengobatan Sendiri ketika Mengalami Gejala IMS .......................................................................................... Pola Pencarian Pengobatan ketika Mengalami Gejala IMS ............................. Persentase Responden yang Pernah Diperiksa Kelamin dalam Sebulan Terakhir ................................................................................................................... Persentase WPS yang Pernah Disuntik untuk Pencegahan IMS Sebulan Terakhir ................................................................................................................... Persentase Responden yang Tahu bahwa HIV Bisa Diketahui Hanya dengan Tes Darah .................................................................................................. Persentase Responden yang Pernah Tes HIV dan Konseling selama Setahun Terakhir .................................................................................................... Tren Persentase Responden yang Pernah Mendapat Penyuluhan ................ Persentase Responden menurut Cakupan Intervensi tentang HIV/AIDS ... Persentase Penjaja Seks dan Pelanggannya menurut Akses terhadap Kondom ................................................................................................................... Persentase yang Tahu Cara untuk Menghindari HIV/AIDS menurut Cakupan Intervensi .............................................................................................. Persentase Responden yeng Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Cakupan Intervensi ............................................................................................... Persentase Penjaja Seks yang Sering atau Selalu Menawarkan Kondom menurut Pernah Tidaknya Dihubungi LSM ......................................................
32 33 34 34 35 36 37 38
40
40 41 42 43 44 44 45 46 48 49 50 51 51 52
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Gambar 5.7 5.8 5.9 5.10 6.1 6.2 6.3 6.4
Judul Gambar Persentase Responden yang Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pernah Tidaknya Dihubungi LSM ..................................... Persentase Penjaja Seks yang Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pernah Tidaknya Mengikuti Penyuluhan HIV ................ Cakupan Program pada Pengguna Narkoba Suntik ........................................ Dampak Program pada Perilaku Suntik yang Aman pada Penasun ............. Persentase Responden yang Pernah Mencoba Narkoba Suntik ..................... Persentase Penasun menurut Perilaku Seksual ................................................. Persentase Pria Risiko Tinggi menurut Perilaku Berisiko Lainnya ................ Persentase Responden Pria yang Pernah Berhubungan Seks Komersial Tanpa Kondom Setahun Terakhir menurut Status Perkawinan ....................
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
Hlm
53 54 54 55 58 59 60 60
xi
Daftar Tabel Tabel
Judul Tabel
Hlm
B
Jumlah Lokasi dan Perkiraan Populasi menurut Kelompok Sasaran.............
71
C.1
Persentase Responden menurut Kelompok Umur ............................................
74
C.2
Rata-rata dan Median Umur Responden ............................................................
74
C.3
Persentase Responden menurut Status Perkawinan .........................................
75
C.4
Persentase Responden menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan.....
75
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
xiii
Tabel Indikator Kunci WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
1
2
1
2
1
Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS
64,40
69,20
90,00
92,00
Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan menggunakan kondom saat berhubungan seks
30,80
47,20
62,20
Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir
-
-
Persentase yang pernah mempunyai lebih dari satu pasangan seks dalam setahun terakhir
-
Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam seminggu terakhir
Waria
Kucing
Gay
2
2
2
2
2
47,30
97,50
95,20
98,60
98,70
96,50
77,20
23,00
63,20
76,80
94,20
92,20
87,01
-
-
25,50
9,70
-
-
-
40,23
-
-
-
25,20
7,90
-
-
-
98,83
4,20
5,20
1,50
2,00
-
-
6,70
5,60
-
-
Persentase yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir
18,90
23,50
45,80
62,50
4,90
44,40
63,30
78,10
57,10
44,20
Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS
3,30
7,70
19,60
47,50
1,00
9,10
16,70
50,00
14,30
28,99
Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik
0,00
0,00
1,00
1,20
0,70
-
0,40
5,80
0,90
-
Persentase yang mengalami gejala penyakit menular seksual (PMS) dalam setahun terakhir
32,80
24,80
13,00
34,00
14,50
-
8,80
18,80
2,20
-
Persentase yang berobat ke Petugas Kesehatan bagi yang mengalami gejala PMS dalam setahun terakhir
70,70
40,30
42,30
44,70
46,50
-
68,80
42,90
42,90
-
Keterangan
Pria
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
Penasun
xv
Pendahuluan Umum Lokakarya hasil SSP 2002-2003 yang dilaksanakan pada bulan Nopember 2003 merekomendasikan agar SSP dapat diulang kembali dalam rentang waktu antara 2 sampai 3 tahun, untuk mengetahui seberapa jauh telah terjadi perubahan perilaku pada kelompok sasaran yang diteliti. Merujuk pada rekomendasi tersebut maka pada tahun 2004/2005, BPS bekerjasama dengan Depkes kembali melaksanakan SSP dengan dukungan FHI/USAID di 13 lokasi (kabupaten/kota) dan dengan dukungan IHPCP/AusAID di 3 lokasi. SSP juga dilaksanakan di Kota Pontianak pada bulan April 2004 atas kerjasama Depkes dengan BPS dengan dukungan WHO. SSP 2004/2005 pada dasarnya merupakan pengulangan dari SSP 2002/2003, baik lokasi survei maupun kelompok sasaran terpilih. Namun demikian, dalam SSP 2004/2005 dilakukan penambahan dan perubahan cakupan kelompok sasaran di beberapa lokasi, termasuk juga penambahan satu lokasi terpilih (Kota Bandung). Tambahan cakupan kelompok sasaran adalah untuk kelompok lelaki suka lelaki dan waria di Jakarta, Surabaya, dan Bandung, dan untuk kelompok pengguna narkoba suntik di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Selain itu dilakukan pula perubahan kelompok sasaran yaitu pegawai negeri sipil di Jayapura (sebelumnya TNI/Polri), dan buruh/karyawan pabrik di Kabupaten Karawang (sebelumnya pelaut/nelayan). Untuk sasaran kelompok remaja dilakukan penggantian, yaitu dari remaja usia 15-24 tahun (SSP 2002/2003 di Kabupaten Merauke) menjadi remaja SLTA di Kota Surabaya. Mengingat banyaknya kelompok sasaran yang dicakup dan sulitnya metodologi dan penjangkauan sasaran tertentu maka pelaksanaan SSP di beberapa kota dilaksanakan secara bertahap. Untuk Kab. Karawang pencacahan buruh/karyawan pabrik dan Kab/Kota Bekasi pencacahan kelompok sasaran WPS dan pelanggan pria dilaksanakan pada tahun 2004, sementara untuk kelompok sasaran lelaki suka lelaki (gay dan kucing) dan pengguna narkoba suntik (penasun) dilaksanakan di Kota Bandung pada triwulan pertama tahun 2005. Cara Penyajian Publikasi dibuat untuk masing-masing wilayah survei (lingkup provinsi) dan mencakup seluruh kelompok sasaran terpilih di setiap kabupaten/kota tersebut. Hasil SSP untuk “bukan kelompok risiko tinggi” yaitu kelompok remaja SLTA (di Jakarta dan Surabaya), buruh/karyawan pabrik (di Kabupaten Karawang), dan pegawai negeri sipil (di Kota Jayapura) juga digabungkan ke dalam satu publikasi agar memudahkan pembandingan antar kelompok sasaran survei. Penjelasan umum mengenai SSP dan kaitannya dengan surveilans generasi kedua, serta metodologi survei untuk semua kelompok sasaran terpilih disajikan pada lampiran publikasi ini.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
1
1 Situasi Risiko Penularan HIV Situasi Epidemi dan Dinamika Perilaku Berisiko Salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang sangat mendesak untuk segera ditanggulangi pada saat ini adalah melaksanakan langkah-langkah respon yang strategik dan tepat untuk menekan laju penularan HIV dan mengurangi dampak dari perluasan epidemi HIV/AIDS. Berbagai fakta yang ada memperlihatkan gambaran yang memprihatinkan, yaitu laju penularan HIV yang cenderung terus meningkat pada beberapa subpopulasi yang diamati, dan peningkatan jumlah kasus AIDS yang dilaporkan dari waktu ke waktu. Upaya-upaya pencegahan penularan HIV sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk upaya pengobatan bagi para penderitanya. Berdasarkan hasil surveilans sentinel HIV nasional pada beberapa sub populasi yang diamati diperoleh gambaran bahwa tingkat penularan HIV menunjukkan kecenderungan meningkat di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil surveilans sentinel HIV mengindikasikan bahwa tingkat penularan HIV relatif tinggi pada beberapa subpopulasi yang terpantau sampai pertengahan tahun 2004, yaitu tercatat sebesar 48 persen pada pengguna narkoba suntik, 22 persen pada waria penjaja seks, dan 17 persen pada wanita penjaja seks tercatat telah tertular HIV. Bahkan Unit Transfusi Darah PMI DKI Jakarta juga melaporkan kecenderungan peningkatan persentase darah yang diduga telah mengandung HIV berdasarkan hasil penapisan darah donor, yaitu tercatat 0,07 persen pada tahun 2002 menjadi 0,11 persen pada akhir 2003.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
3
Gambar 1.1 Tingkat Penularan Tertinggi pada Sub Populasi Tertentu di Indonesia, 2002-2004 100 90 80
Persentase HIV+
70 60 48
50 40 30
25
22 17
20 10
6
0 Pria Penjaja Seks Wanita Penjaja Seks Waria Penjaja Seks (Jakarta, 2004) (Papua, 2002) (Jakarta, 2002)
Narapidana (Jakarta, 2002)
Pengguna Narkoba Suntik (Jakarta, 2002)
Dalam menentukan kegiatan respon yang tepat dan strategik untuk menekan laju penularan HIV dan dampak epidemik, diperlukan upaya pengkajian yang berbasiskan pada data yang ada dan pemahaman terhadap potensi perluasan epidemi. Juga kita bersama perlu memperkirakan ancaman penyebaran yang semakin cepat pada beberapa subpopulasi berisiko dan sangat berpotensi meluas ke populasi umum. Dengan upaya pencegahan yang semakin meluas diharapkan penularan baru dapat ditekan. Sampai saat ini di Indonesia diperkirakan ada sekitar 90-150 ribu orang telah tertular HIV, sehingga dibutuhkan adanya layanan dukungan pada anggota masyarakat yang telah terkena HIV/AIDS (ODHA). Selain itu perlu mengurangi sikap diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, antara lain dengan menyediakan fasilitas pengobatan serta dukungan perawatan lainnya. Respon pemerintah dan masyarakat sampai saat ini tercermin dengan rumusan tujuh butir Komitmen Sentani yang dideklarasikan pada bulan Januari 2004, kemudian ditindak-lanjuti dengan evaluasi pelaksanaan Komitmen Sentani di Denpasar dan Jakarta pada tahun 2005. Kegiatan respon penanggulangan epidemi HIV/AIDS yang disepakati dalam Komitmen Sentani antara lain: • Mempromosikan penggunaan kondom pada setiap kegiatan seksual berisiko dengan target pencapaian 50 persen pada tahun 2005. • Penerapan upaya pengurangan dampak buruk penggunaan narkoba suntik. • Mengupayakan pengobatan kepada minimal sebanyak 5000 ODHA pada tahun 2004. • Pengurangan stigma dan diskriminasi pada ODHA. • Membentuk dan memfungsikan KPAD Propinsi, Kabupaten dan Kota.
4
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
• Mengupayakan dukungan peraturan, perundangan dan penganggaran kegiatan penanggulangan HIV tersebut. • Mempercepat upaya nyata dalam penanggulangan HIV/AIDS. Saat ini ada lebih dari 14 propinsi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai wilayah prioritas untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Propinsi-propinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Irian Jaya Barat, dan Papua. Harapan kita bersama tentunya agar pelaksanaan tujuh butir komitmen pemerintah tersebut dapat berdampak dalam menekan laju penularan HIV di Indonesia. Situasi Epidemi di Jawa Barat Perencanaan kegiatan respon penanggulangan epidemi yang strategik di suatu wilayah perlu berbasiskan pada informasi tentang jumlah sub populasi rawan yang ada dan pemahaman terhadap potensi perluasan epidemi. Gambar 1.2 menunjukkan hasil estimasi jumlah populasi rawan HIV di Wilayah Jawa Barat.
Gambar 1.2 Estimasi Populasi Rawan HIV di Jawa Barat, 2005 250,000 197,690
200,000
137,530
150,000
100,000
36,080
50,000 9,150
27,020
7,180
0 Peasun
Napi
Pasangan tetap orang risiko tinggi
Wanita penjaja seks
Pelanggan wanita penjaja seks
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
Waria, Gay, Kucing & Pelanggannya
5
Gambar 1.3. Estimasi Distribusi Jumlah ODHA di Jawa Barat, 2005 Waria, Gay, Kucing & Pelanggannya, 5% Pelanggan wanita penjaja seks, 16%
Penasun, 43%
Wanita penjaja seks, 13% Pasangan tetap orang risiko tinggi, 11%
Napi, 12%
Hasil Estimasi juga menunjukkan perilaku berisiko yang terbesar dalam menyumbang jumlah ODHA di wilayah Jawa Barat, yaitu perilaku pengguna narkoba suntik (43 persen). Upaya dukungan dan perawatan bagi yang telah terkena HIV perlu diprioritaskan pada kelompok tersebut, termasuk layanan tes HIV yang bersifat sukarela dengan disertai konseling.
A. Penularan melalui Seks Komersial Ada beberapa cara HIV menular ke dalam tubuh manusia, yang pada dasarnya terjadi melalui pertukaran cairan tubuh, seperti berhubungan seks, transfusi darah, menggunakan jarum suntik yang tidak steril secara bersama, ketidakbersihan dalam mengelola alat medis, dan seorang ibu ketika melahirkan bayinya. Penularan utama HIV di Indonesia adalah melalui jalur seks dengan pasangan seks yang banyak dan berganti-ganti maupun penggunaan jarum suntik tidak steril secara bersama pada pengguna narkoba suntik. Dampak penularan pada perilaku seks tersebut dapat semakin luas dengan mobilitas penjaja seks dan pelanggannya yang tinggi. Di samping itu jumlah kontak seksual komersial antara penjaja seks dan pelanggannya tanpa menggunakan kondom akan lebih memudahkan penularan penyakit infeksi menular seksual dan HIV. Mobilitas Seks Berisiko Penjaja seks, baik perempuan, waria, maupun kucing, merupakan kelompok yang sangat berisiko tertular HIV. Risiko penularan dapat semakin meningkat sejalan dengan lama menjadi penjaja seks dan mobilitas penjaja seks atau menjadi penjaja seks yang berpindahpindah baik antar kota maupun antar propinsi. Di lihat dari lamanya, waria di Jawa Barat mempunyai jam terbang yang jauh lebih tinggi
6
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
dibandingkan dengan penjaja seks lainnya (WPS dan kucing). Rata-rata lama waria di Jawa Barat sebagai penjaja seks sekitar 12 tahun, jauh lebih lama jika dibandingkan dengan kucing yang sekitar 4 tahun, maupun WPS yang hanya sekitar 2 tahun.
Gambar 1.4. Lama menjadi Penjaja Seks (Tahun) 14 11,5
12
Tahun
10 7,4
8 6
3,8
4 2
2,3
1,9
2,0
1,4
1,2
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Lama menjadi penjaja seks (tahun)
Waria
Kucing
Lama menjadi penjaja seks di Jawa Barat (tahun)
Jam terbang waria sebagai penjaja seks jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kucing maupun WPS
Waria juga lebih mobile dibanding kelompok penjaja seks lainnya. Dengan menjadi penjaja seks hampir 12 tahun dan 7 tahun diantaranya dilakukan di Jawa Barat, berarti selama 5 tahun waria di Jawa Barat pernah menjadi penjaja seks di daerah lain. Bandingkan dengan WPS yang mempunyai pengalaman kerja di luar Jawa Barat hanya kurang dari 1 tahun, ataupun kucing yang sekitar 2 tahun pernah menjadi penjaja seks di daerah lain. Dilihat dari banyaknya penjaja seks yang pernah menjual seks di propinsi lain, ternyata kucing dan waria lebih tinggi persentasenya dibanding WPS. Sekitar 45 persen kucing dan 24 persen waria pernah menjadi penjaja seks di propinsi lain, sementara pada kelompok WPS hanya sekitar 14 sampai 17 persen. Semakin banyak penjaja seks yang pernah menjadi penjaja seks di propinsi lain, maka akan semakin efektif pula penyebaran virus ini. Pada kelompok lelaki berisiko karena potensial menjadi pelanggan WPS, memungkinkan pula percepatan penyebaran virus ini. Dari pria yang menjadi responden, yaitu buruh/karyawan pabrik, hanya sebanyak 2 persen yang menyatakan pernah beli seks di propinsi lain selama setahun terakhir.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
7
Gambar 1.5. Persentase Responden yang Pernah Menjadi Penjaja Seks di Propinsi Lain 100 90 80 70 Persen
60 50
44,9
40 30 20
23,6 14,4
17,2
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria
Kucing
Mobilitas waria dan kucing di Jawa Barat jauh lebih tinggi dibandingkan WPS
Asal Penjaja Seks dan Pelanggannya Sebagian besar WPS langsung berasal dari Jawa Barat sendiri sebesar (95 persen), sementara untuk WPS tak langsung 60 persennya berasal dari Jawa Barat. Demikian juga dengan waria, lebih dari tiga per empat waria berasal dari Jawa Barat, sementara pada kelompok kucing 60 persennya juga dari Jawa Barat. Dilihat dari daerah asalnya, sebagian besar penjaja seks berasal dari Jawa Barat itu sendiri. Namun tidak demikian dengan asal buruh yang menjadi responden yaitu sekitar 49 persen berasal dari Jawa Barat, sekitar 22 persen berasal dari Jawa Tengah, dan 10 persennya berasal dari Jakarta. Hal ini berpeluang membuat penyebaran HIV menjadi lebih cepat, apalagi 78 persennya sudah menikah, dan diantaranya 10 persennya membeli seks. Daerah asal pelanggan juga sangat penting dalam melihat situasi penyebaran HIV karena pelanggan WPS kemungkinan juga melakukan hubungan seks, baik dengan istri atau pacarnya, maupun berhubungan seks komersial dengan WPS di tempat lain dan tempat asalnya. Menurut informasi dari WPS langsung, hampir tiga perempatnya adalah pelanggan penduduk setempat (74 persen) dan pendatang WNI (15 persen). WPS tak langsung pelanggannya penduduk setempat hanya sekitar 18 persen, akan tetapi dominannya justru pada pelanggan pendatang WNA yang cukup tinggi sampai mencapai 44 persen dan pendatang WNI mencapai 36 persen.
8
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Gambar 1.6. Persentase WPS menurut Asal Pelanggan 100 90 80
73,7
Persen
70 60 50
44,3 35,9
40 30 20
18,1
14,6
11,7
10 0,0
0 Penduduk setempat
Pendatang WNI WPS Langsung
Pendatang WNA
1,7 Tidak tahu
WPS Tak Langsung
Menurut WPS langsung, sebagian besar pelanggan mereka adalah penduduk setempat, sedangkan WPS tak langsung pelanggannya adalah pendatang
Jenis Pekerjaan Pelanggan Penjaja Seks Menurut informasi dari penjaja seks tentang jenis pekerjaan dari pelanggannya yang terakhir, di kalangan WPS langsung maupun WPS tak langsung sebagian besar menyatakan pegawai swasta, dan pedagang, akan tetapi ada sekitar seperlimanya tidak tahu. Kelompok waria pelanggannya sebagian besar pegawai swasta (43 persen) dan pelajar/mahasiswa (38 persen). Cukup tingginya pelanggan waria dari kalangan pelajar/mahasiswa sungguh sangat menghawatirkan. Kelompok kucing mempunyai pasar yang berbeda pula, karena ada sekitar 28 persen pelanggannya adalah pegawai negeri sipil (PNS), dan pelajar/mahasiswa sekitar 15 persen, walaupun sebagian besar menjawab tidak tahu (36 persen).
Menurut WPS dan waria, sebagian besar pelanggan mereka adalah pegawai swasta dan pedagang sedangkan kalangan kucing pelanggannya PNS
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
9
Tren Kaum Pria dalam Membeli Seks Seperti diketahui bahwa seks merupakan bagian dari kehidupan manusia. Laki-laki yang tidak setiap hari pulang ke rumah berpotensi untuk melakukannya di luar rumah dengan cara membeli. Hasil SSP pada kelompok responden pria menunjukkan bahwa mereka dalam membeli seks sekitar 10 persen dari responden pria membeli seks dalam setahun terakhir. Dari hasil survei diketahui pula bahwa sekitar 10 persen responden pria yang sudah beristri juga suka membeli seks. Hal ini memungkinkan untuk menularkan virus ke istri atau pasangan tetapnya.
Kecenderungan pria untuk membeli seks tidak banyak berubah termasuk pria yang sudah beristri sekalipun, suatu hal yang memperluas penyebaran HIV
Frekuensi Kontak Seks Komersial Salah satu hal yang mempercepat penularan HIV adalah banyaknya kontak seks komersial yang terjadi. Banyak sedikitnya kontak seks komersial dapat diindikasikan dari jumlah dan frekuensi pelanggan yang mendapat pelayanan seks dari penjaja seks. Penjaja seks yang mempunyai pelanggan terbanyak dalam seminggu adalah waria (sekitar 67 orang), dan kucing sekitar (5-6 orang), sedangkan yang paling sedikit adalah WPS tak langsung (1-2 orang). Peningkatan jumlah pelanggan terjadi pada kelompok WPS langsung, di mana tahun 2002 sekitar 4 pelanggan dan di tahun 2004 menjadi sekitar 5 orang. Untuk WPS tak langsung tidak ada perubahan yaitu sekitar 1-2 orang, sementara responden pria buruh menyatakan mereka beli seks sekitar 1 kali selama 2 bulan.
Dilihat dari jumlah pelanggan dan permintaan jasa seks dari waria dan kucing cukup tinggi
10
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Gambar 1.7. Jumlah Pelanggan dalam Seminggu (Penjaja Seks) dan Berapa Kali Beli Seks Sebulan (Pelanggan) 8 7
6,7
6
5,6 5,2
5 4,2 4 3 2,0
2
1,5
1
0,4
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria 2002
Kucing
Responden Pria
2004
Tarif Seks Seperti telah disebutkan di atas, bahwa kecenderungan lelaki beli seks tidak berubah antar waktu dan juga tidak sedikit jumlah kontak seks komersial antara penjaja seks dan pelanggannya meskipun tarif seks tidak turun, bahkan pada WPS tak langsung meningkat sangat tajam dari sekitar 340 ribu rupiah menjadi 393 ribu rupiah atau naik sekitar 25 persen dari tahun 2002 ke 2004. Untuk WPS langsung perubahannya kecil dari 58 ribu rupiah menjadi 60 ribu rupiah di tahun 2004. Kelompok waria mempunyai rata-rata tarif 22 ribu rupiah dan kelompok kucing rata-rata tarif sebesar 153 ribu rupiah. Dilihat dari uang yang dibayarkan responden pria (buruh pabrik) sebagai pelanggan WPS ternyata nilainya diatas rata-rata tarif WPS langsung, yaitu sekitar 87 ribu rupiah. Hal ini dapat berarti bahwa responden pria (buruh pabrik) dalam SSP pada umumnya mewakili kelompok pelanggan WPS langsung dan sebagian ke kelompok lainnya.
Responden pria risti dalam SSP 2004 besar kemungkinan mewakili kelompok pelanggan WPS langsung jika dilihat dari tarif yang dibayarkan
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
11
Gambar 1.8. Rata-rata Tarif pada Seks Komersial Terakhir (Yang diterima Penjaja Seks dan Dibayarkan Pelanggan) 450 393,4
400 340,4
Ribuan Rupiah
350 300 250 200
153,2 150 100
87,1 58,3
60,2
50
21,9
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria 2002
Kucing
Responden Pria
2004
Responden pria risti dalam SSP 2004 besar kemungkinan mewakili kelompok pelanggan WPS langsung jika dilihat dari tarif yang dibayarkan
B. Penularan melalui Penggunaan Jarum Suntik pada Penasun Di samping melalui jalur seks, penularan HIV juga dapat melalui penggunaan jarum suntik secara bersama. Penularan melalui jarum suntik justru lebih efisien dibanding melalui jalur seks. Beberapa hal yang dapat mempercepat penularan HIV melalui jarum suntik diantaranya adalah banyaknya teman yang biasa menyuntik bersama, frekuensi menyuntik secara bersama, akses untuk mendapatkan jarum yang bersih, dan mobilitas pengguna narkoba suntik atau menyuntik bersama di kota lain. Banyaknya Teman Nongkrong Jaringan sosial para penasun umumnya adalah teman nongkrong yang biasanya kumpul bersama, yang memungkinkan terjadinya suntik secara bersama. Semakin banyak teman nongkrong sesama penasun maka semakin besar kemungkinan mereka menyuntik bersama. Hasil SSP di Jawa Barat pada kelompok penasun menunjukkan bahwa besarnya kelompok tongkrongan adalah antara 13-14 orang, sekitar 5 orang di antaranya adalah penasun. Ini berarti bahwa mereka berpeluang melakukan praktek menyuntik bersama. Data ini juga menunjukkan bahwa selain penasun masih ada 8-9 orang yang nongkrong bersama adalah bukan penasun, yang mungkin akan terpengaruh untuk menjadi penasun. Fakta lain
12
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
menunjukkan bahwa sekitar 9-10 penasun dalam satu tempat nongkrong tinggal dalam desa yang sama. Tingginya rata-rata penasun yang tinggal dalam satu desa akan berdampak buruk, karena dapat mempercepat pengaruh orang sekitar menjadi penasun.
Gambar 1.9. Besarnya Kelompok Tongkrongan para Pengguna Narkoba Suntik 14
13,3
12 9,8
Orang
10 8 6
5,0
4 2 0 Rata-rata teman nongkrong
Rata-rata teman nongkrong yang juga penasun
Rata-rata penasun yang tinggal dalam satu desa
Penasun tidak pernah sendirian, punya banyak teman nongkrong yang sebagian juga pecandu
Lama menjadi Penasun dan Frekuensi Menyuntik Salah satu faktor yang mempercepat peluang tertular HIV di kalangan penasun adalah lama mereka menjadi penasun. Semakin lama seseorang menggunakan narkoba dengan cara disuntikkan maka semakin besar pula peluang orang tersebut tertular HIV, meskipun tergantung juga dengan perilaku menyuntik penasun itu sendiri. Dari hasil SSP pada kelompok penasun di Jawa Barat, diketahui bahwa rata-rata lama penasun menjadi pengguna narkoba dengan cara disuntikkan adalah sekitar 3 tahun. Lama mereka menjadi penasun ini akan memungkinkan tertular HIV apalagi dengan kebiasaan nongkrong bersama sesama penasun yang biasanya menyuntik secara bersama. Selain sejak kapan penasun mulai menggunakan narkoba dengan cara disuntikkan, frekuensi menyuntik juga berpengaruh terhadap penularan HIV. Semakin sering menyuntik apalagi dilakukan secara bersama maka semakin besar peluang tertular HIV. Hasil SSP menunjukkan bahwa rata-rata penasun di Jawa Barat menyuntik 2-3 kali dalam seminggu.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
13
Kebiasaan Patungan Kebiasaan membeli narkoba secara patungan di kalangan pecandu dapat menimbulkan suatu kebiasaan lain yang berisiko terhadap tertular HIV yaitu kebiasaan berbagi narkoba (setting basah). Sekitar seperempat dari penasun mempunyai kebiasaan selalu membeli narkoba secara patungan. Bahkan kalau dilihat dari yang sering dan selalu beli secara patungan, persentasenya menjadi sekitar 66 persen.
Gambar 1.10. Persentase Penasun menurut Frekuensi Membeli Narkoba secara Patungan 100 90 80 70
Persen
60 50 40,2 40 25,7
30 17,8
20 10
2,3
0 Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Sebagian besar penasun sering membeli narkoba secara patungan
Lokasi Menyuntik dan Akses Jarum Bersih Rumah/tempat kos merupakan tempat favorit bagi penasun ketika menyuntik narkoba. Sekitar 89 persen penasun menyuntik di tempat ini, diantaranya sekitar 36 persen dilakukan di rumah/tempat kos sendiri dan 53 persen di rumah/tempat kos teman. Tempat lainnya untuk menyuntik adalah di jalan atau gang, yaitu sekitar 3 persen, di rumah kosong (0.5 persen), dan toilet umum (3 persen). Untuk mendapatkan jarum baru, apotik menjadi pilihan utama. Lebih dari 51 persen penasun ke apotik kalau membeli jarum baru. Ada juga penasun yang mendapatkan jarum bersih dari teman penasun lainnya (37 persen).
14
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Risiko Penyuntikan Lainnya Di samping risiko seperti yang diuraikan sebelumnya, ada risiko lain yang mempercepat penyebaran HIV, diantaranya adalah pernah nyuntik di penjara, pernah nyuntik bersama di kota lain, pernah mengalami overdosis, dan pernah mengalami abses. Pernah nyuntik di penjara mempunyai risiko penularan HIV karena biasanya penyuntikan di penjara dilakukan secara bersama karena keterbatasan jumlah jarum steril. Penasun yang pernah dipenjara sebesar 37 persen, dan diantaranya pernah menyuntik di penjara yaitu mencapai 18 persen. Penyuntikan bersama di kota lain dapat mempercepat penyeberangan virus ke kota lain atau membawa virus dari kota lain. Sekitar 41 persen penasun pernah melakukan hal ini.
Gambar 1.11. Persentase Penasun menurut Risiko Penyuntikan yang Lain 100 90 80
Persen
70
62,7
60 50
41,1
40 30 20
24,5 18,0
10 0 Pernah nyuntik di penjara
Pernah nyuntik bersama di kota lain
Pernah mengalami overdosis
Pernah mengalami abses
Banyak penasun yang nyuntik bersama di tempat lain, diantaranya di penjara dan kota lain
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
15
2 Tingkat Perilaku Berisiko dan Kecenderungannya A. Perilaku Berisiko pada Penjaja Seks dan Pelanggannya Tiga cara yang kerap dianjurkan bagi kelompok berisiko dalam berperilaku seks adalah tidak berhubungan seks (Abstinence), hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang setia (Be faithful), atau kalau beli seks/punya banyak pasangan seks yang bergantian harus selalu menggunakan kondom (Condom). Ketiga cara tersebut diatas lazim disingkat dengan perilaku ABC. Tren Perilaku Seks Perilaku seks responden pria (buruh pabrik) pada tahun 2005 yang berperilaku beresiko sangat dominan. Ini terlihat dari kecilnya persentase mereka yang puasa seks (21 persen) dan setia dengan satu pasangan (7 persen), dan tingginya persentase mereka yang berperilaku seks berisiko sebesar 69 persen. Namun, mereka yang selalu menggunakan kondom pada saat beli seks, relatif masih kecil, yaitu sekitar 3 persen.
Perilaku seks beresiko responden pria sangat dominan
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
17
Gambar 2.1. Persentase Responden Pria menurut Perilaku ABC, 2004 100 90 80 68,9
70 Persen
60 50 40 30 21,4 20 7,0
10
2,9
0 Tidak Berhubungan Seks
Saling Setia
Selalu Pakai Kondom
Perilaku Berisiko
Dari responden pria berisiko di atas, seperlima sudah mulai berhubungan seks sejak sebelum menikah, dan 7 persen yang menyatakan pernah berhubungan seks dengan orang selain istri/pasangan tetapnya setelah menikah dalam setahun terakhir ini.
Gambar 2.2. Persentase Responden Pria menurut Perilaku Seks 100 90 80
Persen
70 60 50 40 30
21,1
20 9,7
6,6
10 0 Pernah Berhubungan Seks sebelum Menikah
Pernah Berhubungan Seks dengan Wanita Lain selain Istri/Pasangan Tetap
Pernah Berhubungan Seks Komersial
Hampir 10 persen dari responden pria masih suka jajan seks di luar rumah
18
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Perilaku Seks Pria Risiko Tinggi Selain nelayan dan buruh pabrik, pria risiko tinggi yang juga dicakup dalam SSP di Jawa Barat adalah pria yang suka sesama jenis atau suka berhubungan seks dengan pria lain, yaitu waria penjaja seks, pria penjaja seks atau sering disebut “kucing”, dan gay. Dilihat dari perilaku dalam membeli seks (seks komersial) dalam setahun terakhir ini, hampir sepersepuluh responden pria yang membeli seks ke WPS dan tidak ada yang mengaku menjadi pelanggan kucing. Namun demikian, meskipun relatif sedikit tetapi ada kucing dan gay yang mengaku menjadi pelanggan WPS. Kelompok yang suka beli seks ke kucing adalah waria, gay, dan kucing itu sendiri. Dari ketiga kelompok di atas yang cukup besar persentase belanja seks pada kucing adalah kaum waria (30 persen). Gambar 2.3. Persentase Pria yang Beli Seks ke WPS dan Kucing 100 90 80
Persen
70 60 50 40 30
30,0
20 8,7
10
9,7 4,4
4,3
0,5
0 Waria
Kucing Pelanggan WPS
Gay
Responden Pria
Pelanggan Kucing
Cukup banyak juga kaum waria yang suka belanja seks ke kucing
Salah satu ciri perilaku seks kaum pria berisiko tinggi adalah mempunyai pasangan seks lebih dari satu. Waria merupakan kelompok dengan proporsi paling besar yang mempunyai pasangan seks lebih dari satu, yaitu sebesar 89 persen, diikuti oleh kucing sebesar 75 persen, dan gay sebesar 43 persen. Ini berarti transmisi HIV menjadi semakin mengkhawatirkan bila salah satu saja diantara pria risiko tinggi ini mengidap virus tersebut.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
19
Gambar 2.4. Persentase Pria Risiko Tinggi yang Mempunyai Pasangan Seks Lebih dari Satu 100 90
89,2
80
75,4
Persen
70 60 50
43,3
40 30 20 7,9
10 0 Waria
Kucing
Gay
Responden Pria
Pria risiko tinggi umumnya tidak puas dengan satu pasangan seks saja, apalagi waria Pelayanan seks oleh pihak lain selain istri/pasangan seks tetap, dapat diperoleh juga dengan gratis. Yang memberikan pelayanan seperti itu adalah kaum waria, kucing, dan gay. Bila merasa suka terhadap lelaki yang menjadi teman kencannya, ketiga kelompok tersebut bisa saja memberikan pelayanan seks tanpa bayar. Lebih dari separuh pria yang main seks dengan ketiga kelompok tersebut menyatakan dilayani dengan gratis, dan yang paling besar proporsinya memberikan layanan seks gratis pada laki-laki adalah gay (81 persen).
Gambar 2.5. Persentase Penjaja Seks yang Pernah Berhubungan Seks dengan Pria Tanpa Dibayar 100 90 80
81,4 72,0
Persen
70 60
55,1
50 40 30 20 10 0 Waria
20
Kucing
Gay
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Melakukan hubungan seks yang normal kita kenal adalah melalui vagina (wanita), namun di kalangan kaum pria yang orientasi seksualnya berbeda, hubungan seks dilakukan melalui anal. Dari kelompok pria yang berorientasi seksual seperti ini, yang paling sering melakukan seks anal dalam sebulan terakhir adalah waria (78 persen). Sebaliknya responden pria, kecil sekali yang pernah berhubungan seks anal dengan waria atau pria lain dalam setahun terakhir. Gambar 2.6. Persentase Pria Risiko Tinggi yang Pernah Berhubungan Seks Anal Sebulan Terakhir (Khusus Pelaut/ABK Setahun Terakhir) 100 90 80
78,0
75,0
70
66,7
Persen
60 50 40 30 20 7,8
10 0 Waria
Kucing
Gay
Responden Pria
Meski sedikit, ada juga responden pria yang berhubungan seks anal setahun terakhir
Pengaruh Alkohol dan Narkoba terhadap Perilaku Seks Komersial Tanpa Kondom Lebih dari separuh WPS, baik WPS langsung maupun tak langsung berhubungan seks komersial tanpa kondom. Proporsi WPS langsung yang berhubungan seks tanpa kondom jauh lebih besar dari WPS tak langsung. Perilaku berhubungan seks komersial tanpa kondom mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk diantaranya adalah karena kebiasaan minum minuman beralkohol atau mengkonsumsi narkoba. Kerap kali pria atau WPS yang ingin berhubungan seks, terlebih dahulu minum minuman beralkohol atau mengkonsumsi narkoba, barangkali dengan maksud menambah gairah seks atau tujuan lain. Secara umum terlihat bahwa penggunaan kondom selalu lebih rendah diantara responden yang mengkonsumsi alkohol, perubahan sangat nyata terlihat pada pelaut/ABK.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
21
Gambar 2.7. Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Mengkonsumsi Alkohol atau Tidak 100 92,1 91,9 90 80 70 49,3 Persen
60,1
58,9
60 50
46,8
40 30
21,1
26,5
20 12,5 10
3,1
2,2
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria
Tidak mengkonsumsi alkohol
Kucing
Gay
Responden Pria
Mengkonsumsi alkohol
Pengaruh alkohol dalam berhubungan seks komersial tanpa kondom terlihat nyata pada waria dan responden pria
Faktor lain yang juga berkontribusi terhadap hubungan seks komersial tanpa kondom adalah penggunaan narkoba. Menggunakan narkoba sebelum melakukan hubungan seks, dapat menyebabkan seseorang lupa atau tidak merasa perlu menggunakan kondom. Sebagaimana pada penggunaan alkohol, proporsi waria dan responden pria yang tidak menggunakan kondom pada seks komersial lebih tinggi pada yang menggunakan narkoba. Dari responden pria yang menggunakan narkoba, sekitar 16 persen pernah berhubungan seks secara komersial tanpa kondom, sedangkan diantara yang tidak menggunakan narkoba proporsinya sekitar 5 persen. Pengaruh penggunaan narkoba terhadap pemakaian kondom dalam hubungan seks secara komersial tidak terlihat pada WPS langsung dan waria.
Pengaruh narkoba terhadap seks komersial tanpa kondom sangat terlihat bedanya di kalangan WPS tak langsung, waria dan responden pria
22
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Gambar 2.8. Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Penggunaan Narkoba 100 90
92,7 81,3
80
Persen
70 55,5
60
60,0
62,5 55,1
50 40 26,0
30
22,2 16,2
20 10
3,0
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria
Kucing
Tidak pernah menggunakan narkoba
0,0
Gay
Responden Pria
Pernah menggunakan narkoba
Persepsi Risiko dari Orang yang Berperilaku Berisiko Banyak kelompok yang berisiko sadar bahwa pekerjaan dan perilaku seks mereka berisiko tertular HIV. Orang yang merasa berisiko tertular HIV mestinya berusaha melindungi diri mereka, dengan cara selalu berhubungan seks komersial pakai kondom. Namun kenyataannya justru diantara mereka yang merasa berisiko tertular HIV, lebih banyak persentase yang berperilaku seks tidak aman yaitu pernah berhubungan seks komersial tanpa menggunakan kondom. Perbedaan yang sangat nyata terlihat pada responden pria dan WPS tak langsung. Gambar 2.9. Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Merasa Berisiko Tertular HIV atau Tidak 100 90
86,4 88,1
80
Persen
70 57,6
60
58,3 56,9
47,4
50 40 30
23,1
27,1 19,0
20 10
2,6
2,1
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria
Tidak merasa berisiko
Kucing
Gay
Responden Pria
Merasa berisiko
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
23
B. Perilaku Berisiko pada Pengguna Narkoba Suntik (Penasun) Kelompok pengguna napza suntik (penasun) mempunyai cara tersendiri untuk memuaskan keinginannya, diantaranya adalah “berbagi basah”. Berbagi basah adalah membagi-bagi narkoba yang telah dioplos dengan air atau darah dari para pengguna di dalam tabung jarum suntik untuk digunakan secara bersama. Berbagi basah ini juga sangat efisien dari segi ekonomi karena tidak perlu beli jarum suntik baru dan napzanya bisa dibeli secara kongsi/patungan, namun efisien pula untuk mentransmisikan berbagai penyakit dari satu tubuh ke tubuh yang lain melalui darah yang telah dioplos dengan napza tersebut. Akibatnya, ancaman kematian melalui penyakit yang ditularkan tadi menjadi kian meningkat, dua diantaranya yang menunjukkan perkembangan cepat adalah HIV dan hepatitis. Di kalangan penasun, lebih dari 25 persen pemakai selalu berbagi basah, bahkan apabila frekuensi yang sering dan selalu menggunakan cara tersebut digabung, maka proporsinya mencapai lebih dari 46 persen. Hal yang cukup menarik dikalangan penasun di Jawa Barat, bahwa lebih dari 44 persen menyatakan tidak pernah berbagi basah.
Gambar 2.10. Persentase Penasun menurut Frekuensi Menyuntik secara Berbagi Basah Selalu
25,4
Sering
20,4
Kadang-kadang
9,0
Tidak pernah
44,3
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persen
Lebih dari 46 persen penasun sering dan selalu berbagi basah dalam menyuntik narkoba
24
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Pengaruh Beli Patungan terhadap Berbagi Basah Kebiasaan lain yang juga familiar diantara kelompok penasun, adalah membeli narkoba secara patungan. Patungan dalam membeli narkoba akan sangat menguntungkan bagi kelompok, termasuk dalam membangun kebersamaan diantara penasun. Hasil SSP pada kelompok penasun di Jawa Barat ternyata juga menunjukkan adanya hubungan antara perilaku patungan dengan berbagi basah. Hal ini menyiratkan bahwa ada kemungkinan perilaku berbagi basah disebabkan oleh perilaku membeli narkoba secara patungan. Atau sebaliknya, berbagi basah tidak akan membangun kebersamaan bila pembelian narkoba hanya ditanggung sendiri oleh orang tertentu. Kebersamaan sebagai teman senasib dibangun dengan upaya-upaya seperti itu, yang pada gilirannya dapat mengajak semua anggota pada penyakit-penyakit yang berbahaya. Gambar 2.11. Persentase Penasun yang Selalu Berbagi Basah menurut Frekuensi Membeli Narkoba secara Patungan 100 90 80 70 Persen
60 50
44,3 37,5
40 30
25,0 18,1
20 10 0 Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Kebiasaan patungan membeli narkoba berpengaruh terhadap frekuensi berbagi basah
Nyuntik dengan Orang Berbeda dalam Seminggu Terakhir Perilaku lain yang biasa dilakukan kalangan “junkies” atau sebutan populer bagi para penasun adalah menyuntik bersama dengan jarum yang sama. Di kalangan responden penasun, 29 persen diantaranya melakukan hal tersebut. Sekitar 17 persen menggunakan jarum suntik sendiri, dan 5 persen menggunakan jarum umum. Ini berarti penasun sering berhubungan dengan orang yang berbeda setiap kali melakukan “pesta” suntik.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
25
Mungkin karena kegiatan penyuntikan sering dilakukan bersama, penasun biasanya mempunyai tempat berkumpul atau populer dengan sebutan tempat “nongkrong”. Tempat nongkrong umumnya berisi sekitar 13-14 orang, dan 5 orang diantaranya adalah penasun. Teman nongkrong ini bisa berasal dari kampung yang sama atau dari kampung lain. Teman nongkrong yang berasal dari kampung sendiri rata-rata sekitar 9-10 orang. Saling Berbagi Jarum Di kalangan penasun, saling bantu memfasilitasi alat suntik juga merupakan hal biasa, yaitu dengan saling meminjam atau meminjamkan jarum suntik. Perilaku seperti ini diperlihatkan sekitar 35 persen penasun. Tidak hanya pinjam meminjam, sewa menyewa jarum juga merupakan hal biasa dimana sekitar 33 persen responden mengaku melakukan hal tersebut. Dengan perilaku seperti itu tidak jarang jarum yang bekas pakai suatu kelompok digunakan juga oleh kelompok lain juga sering mereka gunakan. Ada sekitar 47 persen yang mengaku menggunakan jarum bekas orang lain. Dilihat dari perilaku menyuntik, ternyata perilaku menyuntik penasun masih sangat berisiko. Hanya sekitar 17 persen penasun yang menyuntik aman dengan selalu bawa jarum suntik sendiri. Lebih dari sepertiga penasun pernah suntik dengan jarum bersama atau jarum umum dan juga sekitar seperempat penasun selalu berbagi/setting basah.
Gambar 2.12. Persentase Penasun menurut Perilaku Menyuntik
Selalu bawa jarum suntik sendiri
16,9
Pernah suntik dengan jarum bersama atau jarum umum
33,8
Selalu setting basah
25,4
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persen
Perilaku suntik penasun umumnya sangat berisiko
26
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Lokasi Favorit Berbagi Jarum Para junkies mempunyai cara sendiri untuk mendapatkan kenikmatan dalam menggunakan narkoba. Salah satunya adalah mencari tempat yang aman dan “nyaman” untuk menyuntik. Tempat-tempat seperti rumah/tempat kos sendiri, rumah/tempat kos teman, toilet umum, pinggir jalan, dalam gang, stasiun, mobil, areal parkir, rumah kosong, tempat tunggu, dan taman adalah tempat yang banyak dipilih untuk tempat menyuntik atau menggunakan narkoba lainnya. Dari beberapa tempat tersebut ada 5 tempat yang favorit menjadi langganan tempat menyuntik, yaitu rumah/tempat kos teman (25 persen), rumah/tempat kos sendiri (11 persen), di toilet umum (6 persen), rumah kosong (6 persen), dan di jalan/gang (4 persen). Sterilisasi yang Tidak Benar Tingkat risiko di kalangan kelompok penasun kian tinggi dengan tidak higiennya menggunakan jarum suntik. Selain berbagi basah, saling meminjamkan jarum, menggunakan jarum orang lain, penasun juga tidak melakukan pembersihan jarum dengan cara yang benar. Perilaku tersebut ditunjukkan oleh 3 persen penasun yang mencuci atau membersihkan jarum dengan air bekas pakai. Meskipun ada yang berperilaku salah, akan tetapi yang mencuci jarum dengan cara yang benar yaitu dengan bahan pemutih (bleach) tidak terlalu banyak yaitu 21 persen dan dengan alkohol juga hanya 14 persen.
Sudah jelas menyuntik narkoba berisiko, ternyata masih ada penasun yang berprilaku salah untuk mensterilkan jarum sebelum meraka pakai
Perilaku Seksual Di kalangan penasun, ada 69 persen yang mempunyai pasangan tetap atau suami/istri. Penasun yang pernah berhubungan seks dengan bukan pasangan tetap sekitar 53 persen, dan diantara yang melakukan hubungan seksual menggunakan kondom pada seks terakhir hanya 38 persen, dan hanya 15 persen yang selalu menggunakan kondom.
Cukup besar proporsi penasun yang suka beli seks dari WPS dan tidak pakai kondom
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
27
Selain dengan pasangan tetap, banyak juga penasun yang melakukan hubungan seks dengan WPS, dan diantaranya melakukan hubungan seks tanpa kondom 54 persen. Dari seluruh penasun hanya 29 persen diantaranya yang tidak menggunakan kondom ketika beli seks terakhir, dan dari semua jenis hubungan seks baik dengan pasangan tetap maupun tidak tetap dalam satu tahun terakhir ada 51 persen diantaranya tidak pernah menggunakan kondom untuk semua jenis hubungan seks. Di Jawa Barat, tidak ada penasun yang jual seks kepada orang lain. Melihat kondisi seperti ini, tidak mengherankan bila kalangan penasun merupakan kelompok yang paling rentan tertular HIV, karena penularan HIV dapat terjadi dari penggunaan jarum suntik dan perilaku seks, sehingga kecepatan perkembangan HIV di kalangan narkoba suntik sangat menghawatirkan, contohnya dikalangan penasun Jakarta.
28
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
3 Perilaku Pencegahan HIV A.
Perilaku Pengurangan Risiko pada Penjaja Seks dan Pelanggannya
Tren Perilaku Penggunaan Kondom pada Seks Komersial Upaya pencegahan terhadap penularan HIV antara lain bisa dilakukan dengan berpantang seks, setia dengan satu pasangan saja, pakai kondom waktu berhubungan seks, dan tidak menggunakan narkoba suntik secara bersama. Diantara dua kelompok berisiko yang tersedia tren datanya, terlihat adanya variasi perubahan perilaku penggunaan kondom. Perubahan berarti terjadi pada WPS langsung di mana yang menggunakan kondom dalam berhubungan seks komersial yang terakhir meningkat dari 18 persen menjadi 23 persen, dan WPS tak langsung dari 46 persen menjadi 62 persen.
Ada perkembangan baik dalam menggunakan kondom di kalangan WPS
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
29
Gambar 3.1. Tren Pemakaian Kondom pada Seks Komersial Terakhir 100 90 80
Persen
70
62,5
60 46,3
50 40 30
23,5
18,4
20 10 0
WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2002
2004
Tingkat penggunaan kondom secara umum lebih tinggi di kalangan waria, kucing, dan gay dibandingkan WPS dan responden pria. Dilihat dari konsistensi penggunaan kondom, yaitu selalu menggunakan kondom pada seks komersial, yang paling tinggi konsistensinya adalah kucing, yaitu 50 persen selalu menggunakan kondom saat jual seks. Sebaliknya, kalangan WPS langsung adalah yang paling tidak konsisten dalam penggunaan kondom pada seks komersial (8 persen).
Gambar 3.2. Persentase Pemakaian Kondom pada Seks Komersial 100 90 78,1
80
Persen
70
63,3
62,5
57,1
60 50,0
47,5
50
44,4
40 30
23,5 16,7
20 10
14,3
9,9
7,7
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria
Kucing
Gay
Responden Pria
Pakai kondom pada seks komersial terakhir Selalu pakai kondom pada seks komersial seminggu terakhir (penjaja seks) dan setahun terakhir (pelanggan)
30
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Perilaku Penggunaan Kondom pada Seks Anal Kalangan kucing (sebagai penjaja seks) mempunyai kecenderungan yang berbeda dalam menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks anal dengan pelanggannya secara komersial. Dengan pelanggan sesama kucing, sekitar 78 persen yang menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir, sementara yang selalu menggunakan kondom adalah sekitar 50 persen. Kecenderungan menggunakan kondom relatif tidak jauh berbeda ketika kucing melakukan hubungan seks komersial dengan gay dan waria. Ini terlihat dari tingginya persentase kucing ketika berhubungan seks komersial dengan waria yaitu 63 persen yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir dan sekitar 17 persen selalu menggunakan kondom.
Gambar 3.3. Persentase Pemakaian Kondom dalam Hubungan Seks Komersial antara Kucing dan Pelanggannya 100 90 80 66,6
Persen
70 60
66,6 57,1
50,9
50,0
50
40,0
40 30 20
19,3
14,3
10 0 Waria
Kucing
Gay
Wanita
Pakai kondom pada seks anal komersial terakhir Selalu pakai kondom pada seks anal komersial terakhir
Kucing cenderung pakai kondom ketika berhubungan seks anal dengan sesama kucing dibanding ketika berhubungan seks anal dengan gay dan waria
Selain menjual seks anal kepada sesama lelaki, ternyata kucing juga melakukan hubungan seks komersial dengan wanita. Dari informasi kucing, diketahui bahwa persentase yang memakai kondom ketika berhubungan seks komersial terakhir dengan pelanggan wanita adalah sekitar 50 persen, dan sebanyak 40 persen yang selalu memakai kondom.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
31
Perilaku Penggunaan Pelicin pada Seks Anal Pelicin merupakan alat penting yang sangat berguna dalam berhubungan seks, terutama bila melalui anal. Alat bantu ini biasanya cukup dikenal di kalangan pria yang suka pria, dan hasil SSP Bandung menunjukkan bahwa sekitar 77-99 persen kaum pria yang suka pria ini menggunakan pelicin ketika berhubungan seks anal. Pelicin dan kondom seyogyanya digunakan secara bersama ketika berhubungan seks anal diantara pria suka pria. Pada kelompok gay dan waria, lebih dari setengahnya yang menggunakan kondom sekaligus pelicin, sedangkan kelompok kucing hanya 45 persen.
Gambar 3.4. Persentase Pemakaian Kondom dan Pelicin pada Seks Anal 100
98,6
95,2
90 77,5
80
Persen
70
66,2
65,3
60 50
45,0
40 30 20 10 0 Waria
Kucing Pelicin
Gay
Kondom dengan pelicin
Sebagian besar pria suka pria menggunakan pelicin ketika berhubungan seks anal, namun yang menggunakan secara bersama kondom hanya sebagian
Perilaku Pemakaian Kondom pada Seks Komersial menurut Pengetahuan, Ketersediaan, Punya, dan Menawarkan Di dalam seks komersial kondom merupakan alat yang sangat ampuh untuk menanggulangi penularan penyakit seksual, termasuk HIV/AIDS. Pengetahuan akan keampuhan kondom merupakan salah satu materi yang sering diberikan oleh para penyuluh atau petugas lapangan, dengan harapan kelompok sasaran yang dijangkau mengetahui, memahami, dan
32
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
menindaklanjutinya dalam perilaku seksnya. Faktanya, tidak semua penjaja dan pembeli seks menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks komersial. Namun demikian, ternyata pengetahuan bahwa kondom dapat mencegah HIV berdampak positif terhadap perilaku penggunaan kondom pada seks komersial. Dampak pengetahuan terhadap perilaku ini sangat dominan pada kucing. Diantara kucing yang tidak tahu bahwa kondom dapat mencegah HIV, sekitar 78 persen yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir, sementara dari kucing yang tahu bahwa kondom dapat mencegah HIV, semuanya menggunakan kondom pada seks komersial yang terakhir.
Gambar 3.5. Persentase Responden yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pengetahuan bahwa Kondom Dapat Mencegah HIV 100,0
100 90 78,1
80 68,5
Persen
70 60
66,7 52,8
50
41,5
40
32,8
30 20
15,3
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Tidak tahu kondom dapat cegah HIV
Waria
Kucing
Tahu kondom dapat cegah HIV
Pengetahuan bahwa kondom dapat mencegah HIV berdampak positif bagi perilaku penggunaan kondom di kalangan penjaja seks
Ketersediaan kondom di tempat main seks juga diharapkan berdampak positif terhadap penggunaan kondom. Dampak ketersediaan kondom cukup menonjol pada WPS tak langsung dimana tingkat pemakaian kondom pada seks komersial terakhir di lokasi yang mudah memperoleh kondom (28 persen) hampir dua kali lebih besar dibanding dengan lokasi yang tidak mudah memperoleh kondom (14 persen). Dampak kemudahan memperoleh kondom di tempat main seks juga cukup berarti dalam meningkatkan penggunaan kondom pada WPS tak langsung, sementara kucing sepertinya tidak ada pengaruhnya antara ketersediaan kondom di lokasi dengan penggunaan kondom.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
33
Gambar 3.6. Persentase Responden yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Kemudahan Memperoleh Kondom 100,0
100 90
77,4
80 70
64,4
Persen
60
51,4
50 40 27,9
30 20
14,6
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Kondom tidak mudah diperoleh
Kucing Kondom mudah diperoleh
Perilaku penggunaan kondom di kalangan penjaja seks juga dipengaruhi oleh kemudahan dalam memperoleh kondom
Pemakaian kondom di kalangan penjaja seks juga dipengaruhi oleh punya tidaknya kondom. Kesiapan para penjaja seks dengan kondom (punya kondom) tentunya menunjukkan keinginan mereka untuk melakukan hubungan seks komersial dengan memakai kondom, dan hasil SSP menunjukkan perbedaan tingkat pemakaian kondom pada seks komersial terakhir diantara penjaja seks yang mempunyai kondom dan yang tidak. Gambar 3.7. Persentase Responden yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Punya Tidaknya Kondom 96,8
100 90
80,0
80 70 Persen
91,7
63,8
63,6
57,3
60 50
37,5
40 30 20
15,7
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung Tidak punya kondom
34
Waria
Kucing
Punya kondom
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Tingkat penggunaan kondom pada seks komersial juga dipengaruhi oleh kemauan penjaja seks untuk selalu menawarkan pemakaian kondom ketika berhubungan seks kepada pelanggannya. Dari penjaja seks yang tidak pernah menawarkan memakai kondom kepada pelanggannya ternyata pemakaian kondom pada seks komersial yang terakhir tidak sampai 30 persen. Penjaja seks yang kadang-kadang menawarkan kondom, tingkat pemakaian kondom pada seks komersial yang terakhir hanya pada kisaran 30-70 persen. Sementara penjaja seks yang sering menawarkan memakai kondom kepada pelanggannya, tingkat pemakaian kondom pada seks komersial yang terakhir cukup tinggi yaitu sekitar 40-95 persen kecuali WPS langsung yang hanya sekitar 40 persen. Bahkan tingkat pemakaian kondom pada seks komersial terakhir di kalangan penjaja seks yang selalu menawarkan memakai kondom kepada pelanggannya sangat tinggi, yaitu sekitar 80-98 persen. Gambar 3.8. Persentase Responden yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Frekuensi Menawarkan Kondom 100,0
100 90
Persen
71,4
78,3
70 56,7
60 50
42,4
40 30 20 10
86,1 84,6
80,0
80
98,1
42,9 35,6
25,0 18,4 12,5 8,6
0 Tidak pernah WPS Langsung
Kadang-kadang WPS Tak Langsung
Sering
Selalu Waria
Kucing
Perilaku penggunaan kondom di kalangan penjaja seks juga sangat dipengaruhi oleh frekuensi penjaja seks menawarkan kondom kepada pelanggannya
Alasan Utama Tidak Memakai Kondom Ada beberapa alasan yang dikemukakan responden mengapa mereka enggan menggunakan kondom, diantaranya yang paling dominan adalah lelaki pasangan seksnya tidak mau pakai. Jawaban ini diperoleh baik dari sisi penjaja seksnya maupun pelanggannya. Selain itu, cukup banyak juga yang beralasan merasa aman karena sudah minum obat, atau menganggap pasangan seksnya bersih.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
35
Gambar 3.9. Persentase Responden menurut Alasan Tidak Mau Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir
Responden Pria
37,0
Waria
48,9
WPS Tak Langsung
70,5
WPS Langsung
49,5
0
10
20
30
40
Tidak ada kondom Menganggap pasangan bersih Lainnya
50 Persen
60
70
80
90
100
Laki-laki tidak mau pakai kondom Sudah minum obat
Alasan tidak mau memakai kondom pada seks komersial yang diungkapkan penjaja seks dan pelanggannya ternyata sama, yaitu pelanggan yang tidak mau memakai kondom
B. Perilaku Pengurangan Risiko pada Pengguna Narkoba Suntik Berbagai cara dianjurkan pada penasun untuk mengurangi risiko mereka tertular HIV, diantaranya adalah membawa dan menggunakan jarum suntik sendiri, jangan meminjamkan jarum suntiknya pada penasun lain atau meminjam jarum suntik dari penasun lain, cucilah jarum dengan cara yang steril, dan menggunakan kondom ketika berhubungan seks terutama seks komersial atau seks dengan bukan pasangan tetapnya. Perilaku penasun dalam menyuntik sebagian besar masih pada kategori risiko tinggi untuk tertular HIV. Upaya pengurangan risiko dengan tidak saling berbagi jarum (menggunakan jarum sendiri) baru dilakukan oleh 17 persen penasun. Sementara itu, penasun yang menyatakan selalu bawa jarum sendiri juga persentasenya sangat kecil (17 persen), pada umumnya dengan alasan takut tertangkap (80 persen). Perilaku berisiko yang juga sangat dominan dilakukan para penasun adalah dalam membersihkan jarum setelah dipakai atau sebelum digunakan. Hanya sekitar 20 persen penasun yang mencuci jarum secara steril dengan menggunakan pemutih.
36
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Sebagai catatan dapat disampaikan bahwa sekitar 15 persen penasun yang menjadi responden SSP di Jawa Barat adalah mereka yang pernah ikut rehabilitasi. Hal ini paling tidak menunjukkan bahwa program rehabilitasi tidak menjamin seorang penasun untuk berhenti menggunakan narkoba dengan cara disuntikkan.
Gambar 3.10. Persentase Penasun menurut Perilaku Menyuntik yang Baik 100 90 80 70 Persen
60 50 40 30 20
17,2
16,9
Menyuntik dengan jarum sendiri
Selalu bawa jarum suntik sendiri
20,7
10 0 Membersihkan jarum dengan pemutih
Masih sangat sedikit penasun yang mempunyai perilaku menyuntik dengan aman
Pengurangan Risiko Seksual Risiko penasun tertular HIV akan semakin tinggi dengan perilaku seks mereka yang tidak aman. Pengurangan risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bagi penasun dapat dilakukan dengan selalu menggunakan kondom dalam hubungan seks terutama dengan pasangan seks yang tidak tetap. Hasil SSP di Jawa Barat menunjukkan bahwa perilaku seks penasun masih berisiko terhadap penularan HIV. Hampir 40 persen penasun pernah melakukan hubungan seks komersial setahun terakhir, dan 29 persen diantaranya melakukannya tanpa menggunakan kondom, dan pernah berhubungan semua jenis seks tanpa kondom setahun terakhir sebesar 53 persen. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat melipatgandakan penularan virus HIV di kalangan penasun.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
37
Gambar 3.11. Persentase Penasun menurut Perilaku Seks 100 90 80
Persen
70 60
53,1
50 40,2 40 28,6
30 17,8
20 10 0 Pernah berhubungan seks secara komersial setahun terakhir
Menggunakan kondom pada seks komersial terakhir
Pernah berhubungan seks secara komersial tanpa kondom setahun terakhir
Pernah berhubungan seks tanpa kondom setahun terakhir
Para penasun Jawa Barat ternyata perilaku seksnya tidak aman, suatu hal yang dapat mempercepat penularan dan perpindahan virus antar kelompok berisiko tertular HIV
38
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
4 Pencarian Pengobatan IMS dan Tes HIV Pengetahuan merupakan dasar untuk dapat memahami suatu permasalahan. Meskipun tidak selalu berkaitan langsung dengan upaya yang diambil dan cara yang ditempuh untuk menghindari penularan IMS dan HIV, mengetahui tentang cara menghindar dan kemana mencari pertolongan ketika terserang penyakit menular seksual, merupakan hal yang perlu diketahui oleh setiap orang, apalagi yang berisiko tinggi untuk tertular IMS maupun HIV. Pengetahuan yang Salah tentang Pencegahan HIV Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS dapat menjadi pendorong untuk melakukan tindak pencegahan yang benar agar tidak tertular virus tersebut. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perilaku seseorang tidak selalu konsisten dengan tingkat pengetahuannya. Salah satu pengetahuan yang “tidak benar”, yang mencuat ke permukaan adalah adanya anggapan bahwa minum obat dapat mencegah HIV. Sedikitnya 38 persen WPS langsung, 37 persen WPS tak langsung, 11 persen waria, 21 persen gay, dan 25 persen kucing, yang beranggapan seperti itu, dan mungkin karena keyakinan tersebut mereka tidak atau tidak selalu menggunakan kondom dalam berhubungan seks komersial, karena sudah merasa aman dengan minum obat.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
39
Gambar 4.1. Persentase Responden yang Menganggap bahwa Minum Obat Dapat Mencegah HIV 100 90 80
Persen
70 60 50 40
38,4
36,8
30
24,6
21,2
20
10,8
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Buruh
Waria
Gay
Kucing
Namun demikian, pernyataan minum obat dapat mencegah HIV ini ternyata tidak didukung oleh perilaku mereka dalam berhubungan seks. Bila minum obat diyakini dapat mencegah HIV, semestinya alasan ini yang dominan mereka ajukan. Namun faktanya lebih banyak responden (baik WPS maupun pelanggannya) yang tidak menggunakan kondom karena pelanggannya tidak menghendaki. Hal ini diungkapkan oleh WPS langsung (54 persen), WPS tak langsung (71 persen), responden pria (33 persen), dan waria (57 persen).
Gambar 4.2. Persentase Responden yang Menganggap Bahwa Minum Obat Dapat Mencegah HIV menurut Alasan Tidak Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir
33,3
Responden Pria
Waria
57,1
WPS Tak Langsung
71,1
WPS Langsung
54,4 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persen Tidak ada kondom Menganggap pasangan bersih Lainnya
40
Laki-laki tidak mau pakai kondom Sudah minum obat
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Salah anggapan membuat kelompok risti menjadi salah bertindak dalam mencegah penularan HIV
Tren Perilaku Pencarian Pengobatan IMS Pengetahuan yang benar dalam pencarian pengobatan bagi responden yang mengalami gejala IMS, diharapkan dapat mengurangi jumlah penderita penyakit sejenis. Dalam kurun waktu dua putaran SSP di Jawa Barat, perilaku responden yang benar dalam mencari pengobatan ketika mengalami gejala IMS tampak cenderung berbeda antar kelompok responden. Ini diperlihatkan oleh meningkatnya persentase responden WPS tak langsung (dari 42 persen menjadi 45 persen) sedangkan pada WPS langsung menurun dari 70 persen menjadi 40 persen, dan responden pria hanya 6 persen yang pergi berobat ke petugas kesehatan ketika mengalami gejala IMS.
Gambar 4.3. Persentase Responden yang Berobat ke Petugas Kesehatan ketika Mengalami Gejala IMS 100 90 80 70,7 70 Persen
60 50 40,3
42,3
44,7
46,5
40 30 20 6,1
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2002
Responden Pria
2004
Perilaku yang benar dalam mencari pengobatan IMS, terjadi penurunan yang cukup tajam selama dua tahun terakhir di kalangan WPS langsung
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
41
Penurunan perilaku positif dalam mencari pengobatan ketika mengalami gejala IMS juga sangat didukung dengan kenaikan perilaku negatif yaitu berusaha mengobati sendiri ketika mengalami gejala IMS. Persentase responden yang melakukan pengobatan sendiri ketika mengalami gejala IMS terlihat meningkat, terutama pada WPS langsung, yaitu dari 29 persen di tahun 2002 menjadi 53 persen di tahun 2004.
Gambar 4.4. Persentase Responden yang Melakukan Pengobatan Sendiri ketika Mengalami Gejala IMS 100 90 80 70 Persen
60
53,2
53,9
50,6
50
44,2
40 30
29,3
20 10
2,0
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2002
Responden Pria
2004
Perilaku pencarian pengobatan pada kelompok responden pria suka pria (termasuk waria) hanya tersedia informasinya untuk tahun 2004. Pencarian pengobatan ke petugas kesehatan di kalangan pria suka pria ketika mengalami gejala IMS pada umumnya mirip dengan WPS. Selain itu, pada kucing dan gay terdapat pula cukup banyak responden yang tidak melakukan sesuatu meskipun mengalami gejala IMS.
42
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Gambar 4.5. Pola Pencarian Pengobatan ketika Mengalami Gejala IMS
Responden Pria 6,1
2,0
Gay
42,9
50,0
Kucing
42,9
50,0
Waria
68,8
WPS Tak Langsung
44,7
WPS Langsung 0
25,0 50,6
40,3
10
20
53,2
30
40
50
60
70
80
90
100
Persen Berobat ke petugas kesehatan
Tidak melakukan sesuatu
Mengobati sendiri
Separuh WPS dan kalangan pria suka pria mempunyai kebiasaan mengobati sendiri ketika mengalami gejala IMS tetapi di kalangan waria pergi ke petugas kesehatan lebih disukai
Mengingat pekerjaannya berisiko, kelompok risti ini semestinya peduli terhadap kesehatan mereka, demikian juga kesehatan pelanggannya. Meskipun sudah cukup tinggi persentase WPS langsung yang memeriksakan kesehatan kelaminnya dalam sebulan terakhir, namun kesadaran ini tampaknya tidak bertambah baik dibandingkan dua tahun sebelumnya. Ini ditunjukkan dengan menurunnya persentase WPS langsung yang memeriksakan kelaminnya dalam sebulan terakhir, yaitu dari 58 persen pada tahun 2002 menjadi 34 persen pada tahun 2004. Demikian pula, di kalangan WPS tak langsung terjadi penurunan, yaitu dari 43 persen pada tahun 2002 menjadi 33 persen pada tahun 2004. Di kalangan pria suka pria, waria adalah kelompok yang paling rajin melakukan pemeriksaan kesehatan kelaminnya (76 persen), diikuti oleh gay (69 persen), dan kucing (50 persen).
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
43
Gambar 4.6. Persentase Responden yang Pernah Diperiksa Kelamin dalam Sebulan Terakhir 100 90 75,7
80
69,0
Persen
70 60
58,8 50,0
50 40
43,0 34,4
33,2
30 20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria 2002
Kucing
Gay
2004
Praktek penyuntikan untuk pencegahan IMS sebenarnya sudah tidak dianjurkan karena justru dapat menyebabkan kekebalan terhadap IMS. Praktek penyuntikan ini dapat menjadi lebih berisiko jika dilakukan secara massal, atau dilakukan sendiri tetapi tidak menggunakan jarum yang steril. Kegiatan penyuntikan untuk pencegahan IMS di kalangan WPS cukup mengkhawatirkan, meskipun pada tahun 2002-2004 persentasenya menurun.
Gambar 4.7. Persentase WPS yang Pernah Disuntik untuk Pencegahan IMS Sebulan Terakhir 100 90 80
Persen
70 60 50 40
48,4 35,6
31,0
30
26,4
20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2002
44
2004
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Pengetahuan tentang HIV Hanya Bisa dengan Tes Darah Tes darah adalah satu-satunya cara untuk dapat mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dari seluruh responden SSP di Jawa Barat, lebih dari setengahnya tahu bahwa tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui seseorang tertular HIV, kecuali pada kelompok WPS langsung yang tahu tentang hal ini hanya sekitar 37 persen. Dari semua kelompok responden, responden pria adalah yang paling baik, yaitu sekitar 85 persen, diikuti oleh waria dan WPS tak langsung, masing-masing sekitar 71 persen dan 63 persen.
Gambar 4.8. Persentase Responden yang Tahu bahwa HIV Bisa Diketahui Hanya dengan Tes Darah 100 90
85,3
80 70,8
Persen
70
63,2
60 49,3
50 40
52,8
36,8
30 20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria
Kucing
Gay
Responden Pria
Kalangan responden pria mempunyai pengetahuan paling baik tentang tes HIV hanya bisa dengan tes darah
Perilaku Tes HIV Meski banyak responden tahu bahwa tes darah merupakan cara yang paling jitu, namun yang pernah ikut tes cuma sekitar 36 persen. Dari seluruh kelompok berisiko, persentase yang paling besar yang pernah tes HIV dalam setahun terakhir adalah Waria (50 persen), yang melakukannya atas kemauan sendiri (sukarela) sekitar 47 persen, dan disertai dengan konseling hanya 45 persen. Sementara itu, responden pria adalah yang paling rendah keikutsertaannya dalam tes HIV maupun konseling.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
45
Persentase yang pernah tes HIV di kalangan pria suka pria lebih tinggi dibandingkan kelompok WPS. Secara umum kesadaran untuk melakukan tes HIV tampaknya juga lebih tinggi di kalangan pria suka pria, karena sebagian besar tes HIV di kalangan ini dilakukan secara sukarela, dan umumnya disertai dengan konseling.
Gambar 4.9. Persentase Responden yang Pernah Tes HIV dan Konseling selama Setahun Terakhir 100 90 80
Persen
70 60
50
50
47 45
40 29 28
30 20 10
21
25 17 15 13
15 9 3
7
4
2
3
2
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Pernah tes HIV
Waria
Kucing
Pernah tes HIV secara sukarela
Gay
Responden Pria
Pernah mendapat konseling
Kesadaran untuk melakukan tes HIV terlihat menonjol di kalangan pria suka pria dibanding WPS dan responden pria
46
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
5 Program Pencegahan dan Dampaknya Program Pencegahan Upaya pencegahan mestinya merupakan program prioritas, selain pelayanan, pengobatan, perawatan, dan dukungan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Pada situasi epidemi HIV/AIDS yang saat ini masih terkonsentrasi pada kelompok-kelompok berisiko tinggi, maka program pencegahan seyogyanya dapat dilakukan secara terfokus dan efektif. Bila upaya pencegahan tidak berhasil maka penyediaan pelayanan, pengobatan, perawatan, dan dukungan bagi ODHA tidak akan pernah mencukupi. Data yang ada mengindikasikan secara jelas bahwa laju penularan HIV terus meningkat pada semua sub populasi yang mempunyai perilaku seksual berisiko. Laju peningkatan yang jauh lebih pesat terjadi pada pengguna narkoba suntik karena pengguna sering menggunakan jarum suntik secara bersama-sama. Yang lebih mengkhawatirkan adalah tingginya frekuensi kontak seksual antara berbagai kelompok berisiko sehingga dapat mendorong lebih cepatnya penularan HIV dan penyakit seksual pada sub populasi yang mempunyai perilaku seks berisiko. Mengingat bahwa penularan HIV sangat dipengaruhi oleh perilaku seseorang, maka upaya pencegahan lebih difokuskan untuk mengubah perilaku populasi yang dianggap berisiko
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
47
tinggi tertular HIV, yaitu para pengguna narkoba suntik, para penjaja seks, dan juga pembeli jasa seks. Uraian berikut berusaha menjawab sejauh mana upaya pencegahan telah menjangkau populasi berisiko, dan sejauh mana upaya pencegahan telah berhasil mendorong perubahan perilaku pada masing-masing kelompok berisiko tersebut. Program Penyuluhan Penyuluhan tentang HIV/AIDS merupakan upaya memberikan pemahaman yang jelas tentang HIV/AIDS. Program penyuluhan merupakan upaya pencegahan, bukan hanya bagi orang yang belum tahu risiko dan bahaya HIV, tetapi juga ditujukan untuk orang yang sudah tertular HIV, bahkan bagi penderita AIDS sekalipun. Semua kelompok berisiko tinggi pada tahun 2004 sudah tersentuh program penyuluhan tentang HIV/AIDS, namun variasi cakupan program penyuluhan antar kelompok masih sangat tinggi. Waria adalah kelompok berisiko yang paling banyak dijangkau program penyuluhan (71 persen) diikuti oleh kucing, WPS langsung, dan gay. WPS tak langsung dan responden pria masih sangat sedikit terjangkau program penyuluhan. Untuk WPS tak langsung, bahkan persentasenya penyuluhannya menurun dibandingkan tahun 2002.
Gambar 5.1. Tren Persentase Responden yang Pernah Mendapat Penyuluhan 100 90 80
71,2
Persen
70 60 50 36,2
40 30 20
22,4 14,3
10
17,8 10,1
6,4
14,0 2,5
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria 2002
Kucing
Gay
Responden Pria
2004
Upaya penyuluhan HIV/AIDS yang selama ini dilakukan terlihat sangat kurang di kalangan pelanggan penjaja seks, demikian juga di kalangan WPS tak langsung
48
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Pencegahan penularan HIV sudah merupakan program nasional dan instansi pemerintah merupakan motor bagi upaya-upaya penanggulangannya, dengan didukung oleh LSM. Dalam memberikan penyuluhan mengenai HIV/AIDS, instansi pemerintah lebih berperan pada sub populasi yang lebih mudah dijangkau, yaitu kepada WPS langsung (20 persen) dan WPS tidak langsung (4 persen). Sebaliknya, LSM jauh lebih berperan pada sub populasi yang lebih sulit dijangkau, dimana 64 persen pada waria, 35 persen pada kucing, dan 14 persen pada gay pernah mendapat penyuluhan dari LSM. Gambar 5.2. Persentase Responden menurut Cakupan Intervensi tentang HIV/AIDS 100 90 80
Persen
70
64,4
60 50 40
34,8
30 20,4 20 10
6,0
0 WPS Langsung
13,9
9,2 4,0
1,5
0,0
WPS Tak Langsung
Waria
Pernah mendapat penyuluhan HIV dari Pemerintah
Kucing
3,9 Gay
5,6
3,3
Responden Pria
Pernah mendapat penyuluhan HIV dari LSM
LSM lebih banyak berperan dalam penyuluhan HIV, dibanding pemerintah
Distribusi Kondom Tingkat pengetahuan dan kesadaran tentang pencegahan HIV/AIDS hendaknya didukung oleh tersedianya sarana pencegah. Ini berarti bahwa ketersediaan dan kemudahan untuk mendapatkan sarana pencegah, khususnya kondom, merupakan hal penting dalam program pencegahan HIV/AIDS. Berdasarkan pengamatan tampak bahwa distribusi kondom sudah cukup memadai di tempat-tempat para penjaja seks beroperasi atau bertransaksi. Hal ini ditunjukkan oleh 67 persen WPS langsung mudah mendapatkan kondom di tempat mereka biasa beroperasi atau bertransaksi, bahkan hampir semua (96 persen) kucing bisa mendapatkan kondom dengan mudah di lokasi. Sementara itu, ketersediaan kondom di tempat nongkrong para responden pria masih kurang memadai, yaitu kurang dari 1 persen dari responden pria yang mudah mendapatkan kondom di tempat mereka biasa beraktivitas.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
49
Gambar 5.3. Persentase Penjaja Seks dan Pelanggannya menurut Akses terhadap Kondom 100
93,6
76,8
80
Persen
92,2
85,2
90
70
95,7
67,2
63,2
60 50 40 30 19,6
20 10
0,7
0,4
0,6
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Kondom Tersedia di Tempat
Waria
Kucing
Gay
Responden Pria
Pernah Mendapat Kondom dalam 3 Bulan Terakhir
Ketersediaan kondom di tempat-tempat transaksi seks dan tempat nongkrong pelanggan seks cukup memadai
Program pembagian kondom pun sudah cukup menjangkau kelompok penjaja seks, terutama waria (94 persen) dan kucing (77 persen) pernah mendapatkan kondom dari petugas dalam tiga bulan terakhir, tetapi cukup kecil pada WPS tak langsung (kurang dari 1 persen). Pada kelompok gay ternyata juga cukup banyak (63 persen) yang pernah mendapatkan kondom, tetapi untuk responden pria hanya sekitar 1 persen. Dampak Program Program pencegahan pada dasarnya bertujuan menahan laju penyebaran HIV/AIDS. Program ini antara lain berupa pemberian pengetahuan tentang HIV/AIDS, menimbulkan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS, hingga program untuk merubah perilaku kelompok yang berisiko tertular menjadi perilaku yang aman. Program penyuluhan dapat menambah pengetahuan seseorang tentang cara untuk menghindari HIV/AIDS. Hal ini ditunjukkan oleh responden yang tahu cara menghindari HIV/AIDS, persentasenya lebih tinggi pada kelompok yang pernah mendapatkan penyuluhan dibanding yang tidak, seperti pada WPS langsung, waria, dan kucing. Pada kelompok responden pria, dampak penyuluhan bagi peningkatan pengetahuan tentang cara menghindari HIV/AIDS tidak begitu terlihat. Pada kelompok gay pengetahuannya memang sudah cukup tinggi meski tidak pernah mendapat penyuluhan.
50
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Gambar 5.4. Persentase yang Tahu Cara untuk Menghindari HIV/AIDS menurut Cakupan Intervensi 100,0
100
92,0
90
80,9
84,1
75,0
80 70 Persen
93,7
59,7
57,3
60
45,9 46,4
50 40 30
32,1 23,7
20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria
Kucing
Tidak Pernah Mendapat Penyuluhan
Gay
Responden Pria
Pernah Mendapat Penyuluhan
Meski tidak terlalu besar bedanya, jelas ada pengaruh penyuluhan terhadap pengetahuan kelompok berisiko Kesadaran akan risiko tertular HIV/AIDS tidak banyak berbeda antara responden yang pernah mendapat penyuluhan dan yang belum pernah. Gambar di bawah menunjukkan bahwa penyuluhan dan hubungannya dengan kesadaran justru tidak berpengaruh positif meskipun pada WPS langsung dan responden pria ada pengaruhnya walupun hanya sedikit. Gambar 5.5. Persentase Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Cakupan Intervensi 100
93,8 85,7
90
82,8 76,7
80
Persen
70
68,7 60,0
60
54,4
50
50,0 43,3 41,5
40 30
21,4
20
14,3
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria
Tidak Pernah Mendapat Penyuluhan
Kucing
Gay
Responden Pria
Pernah Mendapat Penyuluhan
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
51
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tingkat penggunaan kondom pada seks komersial sangat dipengaruhi oleh frekuensi penjaja seks dalam menawarkan pemakaian kondom kepada pelanggannya. Semakin sering penjaja seks menawarkan kondom kepada pelanggannya maka semakin tinggi tingkat pemakaian kondom pada seks komersial. Gambar di bawah menunjukkan bahwa penjaja seks yang sering atau selalu menawarkan kondom pada pelanggannya ternyata lebih banyak pada penjaja seks yang pernah dihubungi oleh LSM yang terlibat program pencegahan kecuali WPS tak langsung. Perbedaan perilaku menawarkan kondom ini sangat terlihat terutama pada kucing. Pada kucing yang tidak pernah dihubungi LSM, hanya sekitar 26 persen yang sering atau selalu menawarkan kondom kepada pelanggannya dan pada kucing yang pernah dihubungi LSM persentasenya sekitar 45 persen.
Gambar 5.6. Persentase Penjaja Seks yang Sering atau Selalu Menawarkan Kondom menurut Pernah Tidaknya Dihubungi LSM 100 90 80
Persen
70 60
54,0
50 40
50,0
31,3
46,8 30,4
30 20
45,0
26,3
14,0
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Tidak pernah dihubungi LSM
Waria
Kucing
Pernah dihubungi LSM
Upaya selalu menawarkan penggunaan kondom pada pelanggan, sedikit banyak dipengaruhi oleh penjangkauan yang dilakukan LSM
Kunjungan LSM kepada kelompok berisiko tertular HIV dalam upaya pencegahan HIV di kalangan kelompok tersebut juga mempengaruhi perilaku penggunaan kondom pada seks komersial yang terakhir. Pengaruh positif, yaitu meningkat sekitar 2 kali lipat terlihat pada kelompok gay dan WPS langsung. WPS langsung yang tidak pernah dihubungi LSM ternyata hanya 21 persen yang pakai kondom pada seks komersial yang terakhir sedangkan pada mereka yang pernah dihubungi LSM sekitar 41 persen yang pakai kondom pada seks
52
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
komersial yang terakhir. Sedangkan pada WPS tak langsung yang tidak pernah dihubungi LSM, persentase pemakaian kondom pada seks komersial terakhir adalah 61 persen sedangkan pada kucing yang pernah dihubungi LSM sekitar 92 persen. Gambar 5.7. Persentase Responden yang Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pernah Tidaknya Dihubungi LSM 100
91,7
87,5
90
80,0
80
Persen
70
65,4
60,9
68,8 60,0
60 47,1
50
43,4
40,6
40 30
20,9
20 10 0,0
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria
Tidak pernah dihubungi LSM
Kucing
Gay
Responden Pria
Pernah dihubungi LSM
Dampak yang sama juga dihasilkan oleh penyuluhan pencegahan HIV/AIDS. Ini terlihat dari perbedaan yang cukup berarti dalam hal penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir di kalangan penjaja seks, antara yang tidak pernah mendapat penyuluhan tentang HIV/AIDS dan yang pernah. Pada bab sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa penggunaan kondom pada seks komersial di kalangan penjaja seks juga dipengaruhi oleh ketersediaan kondom di lokasi penjaja seks beroperasi atau bertransaksi.
Penyuluhan HIV cukup berpengaruh pada penggunaan kondom dalam seks komersial yang terakhir di kalangan penjaja seks
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
53
Gambar 5.8. Persentase Penjaja Seks yang Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pernah Tidaknya Mengikuti Penyuluhan HIV 100 87,5
90
80,0 80
75,0 70,1
Persen
70
60,6
60 50
45,0
44,4
40 30 20
17,6
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria
Tidak pernah mendapat penyuluhan HIV
Kucing
Pernah mendapat penyuluhan HIV
Di kalangan penasun, penyuluhan dan pendampingan cakupannya relatif masih rendah. Hanya sekitar 38 persen yang menyatakan pernah dikunjungi petugas LSM, diantaranya sekitar 36 persen pernah diberi informasi, dan sekitar 30 persen pernah memanfaatkan fasilitas program. Gambar 5.9. Cakupan Program pada Pengguna Narkoba Suntik 100 90 80
Persen
70 60 50 40
38,2
36,4 30,3
30 20 10 0 Pernah dikunjungi petugas LSM
Pernah diberi informasi oleh petugas LSM
Pernah memanfaatkan fasilitas program
Masih sangat sedikit penasun yang dijangkau oleh LSM dan memanfaatkan program
54
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Meskipun demikian, ternyata kunjungan petugas LSM berdampak positif pada perilaku suntik yang aman di kalangan penasun. Dampak ini sangat terlihat dalam perilaku pemakaian pemutih untuk membersihkan jarum.
Gambar 5.10. Dampak Program pada Perilaku Suntik yang Aman pada Penasun 100 90 80
Persen
70 60 48,9
50 40
32,7
31,4
30 20
14,0
10 0 Pakai jarum sendiri Tidak pernah dikunjungi petugas LSM
Pakai pemutih untuk membersihkan jarum Pernah dikunjungi petugas LSM
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
55
6 Penyebaran dan Penularan: Perpindahan HIV antar Populasi HIV merupakan virus yang mudah ditularkan melalui pertukaran cairan tubuh. Ini dapat terjadi melalui hubungan seks, transfusi darah, pertukaran jarum suntik (yang biasa terjadi di kalangan penasun), ketika seorang ibu melahirkan anaknya, atau pada petugas kesehatan yang terluka ketika membersihkan jarum dan alat-alat kesehatan lain bekas pakai seseorang yang mengidap virus HIV. Dari beberapa kemungkinan cara penularan di atas, yang paling cepat perkembangan penularannya adalah melalui jarum suntik. Selain pada penasun, penggunaan narkoba dengan cara disuntikkan juga terdapat pada kelompok berisiko lainnya karena perilaku seksualnya. Sekitar 1 persen yang pernah menggunakan narkoba suntik, yang berarti mereka mempunyai risiko ganda, yaitu risiko karena perilaku seksualnya dan risiko karena penggunaan jarum suntik, dengan proporsi terbesar di kalangan kucing.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
57
Gambar 6.1. Persentase Responden yang Pernah Mencoba Narkoba Suntik 5
Persen
4
3
2 1,2 0,9
1 0,4 0
0,2
0,0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Waria
Kucing
Gay
Responden Pria
Meski kecil proporsinya, ada juga kelompok berisiko yang pernah menggunakan narkoba suntik
Perilaku seks penasun di Jawa Barat cukup mengkhawatirkan. Sekitar 40 persen penasun pernah melakukan hubungan seks secara komersial dalam setahun terakhir, dan diantaranya sebanyak 29 persen melakukannya tanpa menggunakan kondom. Perilaku seks komersial yang tinggi pada penasun akan menyebabkan penasun dan pasangan seks komersialnya (WPS) menjadi mediator yang potensial untuk penyebaran HIV/AIDS. Bila salah satu saja, baik WPS maupun penasun yang dihinggapi virus HIV, maka penasun dan WPS masing-masing akan menjadi mediator ke teman suntik atau pelanggan mereka.
WPS dan penasun sama-sama merupakan mediator yang potensi untuk menyebarkan HIV, khususnya di kalangan kelompok berisiko
58
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Gambar 6.2. Persentase Penasun menurut Perilaku Seksual 100 90 80
Persen
70 60
53,1
50 40
40,2 28,6
30 20 10 0 Pernah berhubungan seks secara komersial setahun terakhir
Pernah berhubungan seks secara komersial tanpa kondom setahun terakhir
Pernah berhubungan seks tanpa kondom setahun terakhir
Hampir sepertiga penasun pernah berhubungan seks komersial tanpa kondom setahun terakhir
Perilaku lain yang juga dapat mempercepat penyebaran HIV adalah melakukan hubungan seks dua jenis (biseks), yang terutama terjadi di kalangan pria yang suka berhubungan seks dengan pria, namun melakukannya juga dengan wanita, apapun alasannya. Potensi penyebaran HIV akan semakin tinggi bila pria biseks ini juga suka beli seks dari WPS. Kaum pria yang juga bisa melayani kebutuhan seks wanita atau memang butuh berhubungan seks dengan wanita, bisa saja gay atau kucing. Bagaimanapun hasil SSP Jawa Barat menunjukkan bahwa proporsi kaum gay dan kucing yang berorientasi biseks, dengan alasan apapun, walaupun relatif kecil, yaitu 1 persen di kalangan gay berhubungan seks dengan WPS, 9 persen kucing berhubungan seks dengan WPS, dan 14 persen kucing berhubungan seks dengan pelanggan wanitanya, akan tetapi tetap ada dan beresiko ganda.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
59
Gambar 6.3. Persentase Pria Risiko Tinggi menurut Perilaku Berisiko Lainnya 20 18 16
14,5
Persen
14 12 10
8,7
8 6 4 2
0,5
0 Gay yang pernah berhubungan seks dengan WPS
Kucing yang pernah berhubungan seks dengan WPS
Kucing punya pelanggan wanita sebulan terakhir
Risiko lain penyebaran virus juga bisa terjadi dari kelompok risiko tinggi ke kelompok risiko rendah atau bahkan tidak berisiko. Hal ini bisa terjadi pada istri yang setia kepada suaminya yang suka membeli seks. Risiko akan semakin tinggi jika sang suami tidak menggunakan kondom saat membeli seks tersebut. Ternyata ada pula dari buruh pabrik yang berstatus menikah, pernah berhubungan seks secara komersial tanpa menggunakan kondom dalam setahun terakhir, yaitu 7 persen.
Gambar 6.4. Persentase Responden Pria yang Pernah Berhubungan Seks Komersial Tanpa Kondom Setahun Terakhir menurut Status Perkawinan 100 90 80
Persen
70 60 50 40 30 20 10
7,3
6,7
Menikah
Tidak Menikah
0
60
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
7 Kesimpulan dan Saran Telah lebih dari 20 tahun epidemi HIV berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Upaya mencari pencegahan penularan virus terus dipelajari dan dilakukan, dan berbagai program telah diimplementasikan untuk menghambat laju penularan atau meluasnya epidemi tersebut. Salah satu upaya yang telah dijalankan cukup lama adalah memberi informasi tentang HIV kepada kelompok masyarakat, khususnya yang berisiko tinggi, dan mengkampanyekan seriusnya ancaman virus ini agar segenap masyarakat peduli akan betapa gentingnya persoalan yang sedang dan akan dihadapi. Mempertimbangkan bahwa perubahan perilaku merupakan salah satu upaya penting mencegah penularan HIV, maka telah dikembangkan SSP untuk mengetahui gambaran tentang perilaku berisiko dari berbagai kelompok masyarakat, khususnya yang berisiko tinggi tertular HIV. Di Jawa Barat SSP telah dilakukan dalam dua putaran, yaitu tahun 2002, 2004, dan 2005. Tahun 2002 dilakukan di Kabupaten Karawang dengan responden WPS langsung dan nelayan (sebagai responden pria), di Kab/Kota Bekasi dengan responden WPS tak langsung. Tahun 2004 dilaksanakan di Kabupaten Karawang dengan responden WPS langsung, di Kab/Kota Bekasi dengan responden WPS tak langsung. Tahun 2005 dilakukan di Kabupaten Karawang dengan responden buruh pabrik (responden pria), dan Kota Bandung dengan responden Waria, Gay, dan Kucing. Dengan cakupan kelompok sasaran yang lebih luas menjadikan data SSP untuk Propinsi Jawa Barat kaya akan informasi, beberapa diantaranya dapat menggambarkan perkembangan keadaan dalam dua tahun terakhir.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
61
Bagian ini menyajikan ringkasan temuan hasil SSP di Jawa Barat dan kecenderungan permasalahannya selama dua tahun terakhir, serta gambaran tantangan ke depan yang masih harus dihadapi dengan langkah-langkah yang lebih strategik dan holistik.
Temuan Kunci Penularan melalui Seks Komersial •
•
Di kalangan para penjaja seks, kaum waria adalah penjaja seks yang mempunyai jam terbang paling tinggi, jauh lebih tinggi dibanding WPS maupun kucing. Lamanya waria sebagai penjaja seks dibarengi dengan mobilitas yang juga tinggi. Ancaman HIV bagi masyarakat semakin mengkhawatirkan. Indikasi ini terlihat dari banyaknya pelanggan para penjaja seks yang sebagian besar adalah penduduk setempat, pendatang WNI, pegawai dan bahkan juga kalangan remaja SLTA dan mahasiswa. Di sisi lain terlihat juga bahwa permintaan jasa seks memang tinggi, terutama dari kalangan WPS, dan sebagian besar diantaranya dilakukan tanpa kondom.
Penularan melalui Penggunaan Jarum Suntik pada Penasun •
•
•
Penasun cenderung untuk melakukan penyuntikan bersama dengan tingkat pengamanan yang rendah. Perilaku ini menjadikan penasun salah satu kelompok yang sangat berisiko tertular HIV. Untuk menjaga kesinambungan pemakaian, para penasun kerap membeli narkoba secara patungan, menggunakan jarum suntik bersama secara berganti-gantian, dan melakukan setting basah narkoba. Perilaku ini sangat efektif dalam menyebarkan penyakit, termasuk HIV. Lebih berbahaya lagi adalah jarum yang digunakan tidak disterilkan dahulu sebelum dipakai, termasuk ketika diulang pakai dari satu penasun ke penasun lain. Tempat favorit kaum penasun menyuntik adalah rumah sendiri atau tempat kos teman, menunjukkan kurangnya perhatian sebagian orang tua dan lingkungan.
Tren Perilaku Seks dan Transmisi antar Kelompok •
•
•
•
Perilaku seks kaum pria semakin berbahaya seperti terlihat dari persentase pria yang membeli seks. Seperlima responden pria di Jawa Barat telah berhubungan seks sebelum menikah, dan sekitar 10 persen dari mereka yang sudah menikah masih suka jajan seks di luar rumah. Ini berarti bahwa semakin besar proporsi pria beristri yang berpotensi mentransmisikan HIV kepada istri atau pasangan tetapnya. Di kalangan pria yang suka melayani seks terhadap sesama pria perilakunya pun juga berbahaya. Ini antara lain diperlihatkan dari cukup banyaknya waria yang suka belanja seks dari kucing, sementara mereka juga punya pasangan seks yang banyak. Lebih dari tigaperempat laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki, melakukannya secara tidak komersial, dan tidak sedikit di antara mereka yang berhubungan seks anal. Alkohol dan narkoba dapat membuat kelompok berisiko berperilaku seks komersial yang tidak aman. Ini terutama terlihat di kalangan waria dan WPS.
62
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
•
•
Meski sadar bahwa pekerjaan mereka berisiko ternyata masih saja banyak kelompok berisiko yang berperilaku seks tidak aman. Indikasi ini terlihat dari masih rendahnya penggunaan kondom pada kelompok tertentu, padahal mereka berhubungan seks dengan banyak pasangan, termasuk WPS. Kelompok penasun dengan kondisinya yang berisiko ternyata sekitar separuhnya juga pernah berhubungan seks komersial dalam setahun terakhir dan sebagian besar diantaranya tanpa menggunakan kondom. Dalam hal ini WPS dan penasun sama-sama menjadi mediator yang sangat berpotensi untuk menyebarkan HIV, ketika mereka berhubungan seks dan menggunakan jarum suntik secara bersama.
Pengetahuan dan Perilaku Pencegahan IMS dan HIV •
•
•
•
•
•
•
Pengetahuan bahwa kondom dapat mencegah HIV berdampak positif bagi perilaku penggunaan kondom pada seks komersial di kalangan penjaja seks. Ini dibuktikan dengan seringnya mereka menawarkan penggunaan kondom pada pelanggan mereka. Dampaknya adalah perilaku menggunakan kondom yang cukup tinggi pada penjaja seks yang menawarkan kondom sebelum berhubungan seks. Perilaku penggunaan kondom pada seks komersial di kalangan penjaja seks juga dipengaruhi oleh ketersediaan dan kemudahan dalam memperoleh kondom di tempat mereka menjajakan seks, serta kemauan untuk menawarkan kondom pada pelanggan ketika hendak berhubungan seks meski pada akhirnya keputusan tetap pada pelanggan. Sudah cukup banyak kelompok berisiko yang punya pengetahuan tentang tes HIV, namun yang paling baik pengetahuannya adalah kalangan kucing. Meskipun demikian, ternyata cukup banyak kalangan kucing yang tidak pakai kondom ketika berhubungan seks, khususnya ketika berhubungan seks dengan sesama pria. Meskipun yang mempunyai pengetahuan tentang test HIV sudah cukup banyak, namun yang telah melakukan tes HIV apalagi yang melakukannya secara sukarela dan mendapat konseling masih sangat terbatas. Di kalangan pria yang suka pria penggunaan kondom saja tidaklah cukup, karena sebagian besar diantaranya berhubungan seks lewat anal. Untuk seks anal ini dianjurkan menggunakan pelicin, namun tidak semua menggunakannya bersama dengan kondom, ketika berhubungan seks anal. Penasun banyak yang tidak menggunakan kondom pada seks komersial, padahal para penasun sebenarnya telah berisiko lewat jarum suntik yang kerap dipakai bersama. Perilaku ini jelas suatu hal yang dapat mempercepat penularan dan perpindahan virus antar kelompok berisiko. Meskipun sudah banyak yang berobat ke petugas kesehatan ketika mengalami gejala IMS, tetapi di kalangan lelaki suka seks dengan lelaki masih banyak yang mencoba mengobatinya sendiri.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
63
Upaya Pencegahan dengan Penjangkauan dan Penyuluhan • •
•
•
•
Penanggulangan HIV/AIDS merupakan tanggungjawab berbagai pihak, namun dalam hal penyuluhan LSM lebih banyak berperan dibanding pemerintah. Upaya penyuluhan HIV/AIDS yang selama ini dilakukan memang telah menjangkau berbagai kelompok berisiko, namun jangkauannya masih sangat kurang di kalangan responden pria dan WPS tak langsung. Upaya penjangkauan dan penyuluhan cukup berpengaruh pada pengetahuan kelompok berisiko, seperti tercermin dari perasaan mereka terhadap peluang risiko yang akan diterima akibat perilaku berisikonya, dan keinginan untuk menawarkan serta menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial. Upaya untuk selalu menawarkan penggunaan kondom pada pelanggan, cukup dipengaruhi oleh penjangkauan yang dilakukan LSM dan ketersediaan kondom di tempat-tempat menjual seks, atau di tempat mangkal pelanggan seks. Keberhasilan penjaja seks meminta pelanggan mereka untuk mau menggunakan kondom ternyata juga tergantung pada ketersediaan kondom di tempat-tempat transaksi seks dan tempat nongkrong pelanggan seks.
Usulan Tindakan •
•
•
•
•
•
•
Aliran informasi yang benar tentang HIV dan bahayanya, disertai cara pencegahan dan penanggulangannya perlu terus dipelihara dan diperluas ke berbagai kalangan, tidak hanya pada kalangan yang berisiko tinggi semata. Penjangkauan dan penyuluhan harus diperluas, terutama untuk kalangan pelanggan WPS, termasuk juga untuk kalangan remaja. Sementara bagi kalangan yang sudah terjangkau, upaya penyuluhan perlu dipelihara, paling tidak untuk selalu mengingatkan akan bahaya HIV. Ketersediaan outlet kondom pada tempat-tempat transaksi seks perlu dipelihara dan diperluas. Kepada rumah-rumah bordil atau tempat-tempat transaksi seks lainnya yang masih belum dapat bekerjasama dalam menganjurkan pemakaian kondom, perlu terus dilakukan kampanye agar melakukannya. Untuk lebih memahami permasalahan kelompok berisiko dan merancang program yang lebih tepat sasaran di masa datang, maka perlu dilakukan penelitian kualitatif tentang mengapa orang yang merasa berisiko masih tetap saja melakukan perilaku berisiko. Kampanye terhadap cara menghindarkan diri dari HIV secara benar perlu dipergencar, sehingga anggapan bahwa minum obat sebelum berhubungan seks tidak lagi dipercaya sebagai hal yang benar untuk menghindari penularan HIV. Praktek penyuntikan terhadap kelompok berisiko oleh oknum yang bekerja di bidang kesehatan masih terlihat, oleh karena itu upaya yang gencar untuk menghentikannya perlu lebih efektif. Untuk menjamin agar para praktisi kesehatan (termasuk dokter praktek) tidak mendiskriminasikan pelayanan pengobatan IMS dan HIV bagi kelompok berisiko tinggi, maka perlu memberikan bekal pengetahuan HIV dan prasarana pelayanannya secara memadai kepada praktisi tersebut.
64
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
•
•
Perlu menjalin dan memelihara kerjasama dengan para pekerja industri seks untuk merujuk skrining dan perawatan IMS kepada tenaga terlatih yang tepat, termasuk mengusahakan agar kartu sehat bagi para penjaja seks dapat direalisasikan, yaitu kartu yang berisi catatan skrining dan sejarah perlakuan pengobatan yang mereka alami. Perlu membangun kesamaan visi pada berbagai kalangan yang peduli terhadap masalah penyalahgunaan narkoba, terutama narkoba suntik, sehingga penanganannya lebih bersifat pencegahan dan pengobatan daripada mendahulukan kekerasan dan penangkapan.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
65
A Survei Surveilans Perilaku (SSP) Survei Surveilans Perilaku (selanjutnya disingkat SSP) adalah suatu proses sistematik dan kontinyu dalam pengumpulan, analisis, interpretasi, dan diseminasi informasi untuk memantau perilaku berisiko pada sub populasi tertentu terhadap penularan HIV/AIDS. SSP merupakan bagian dari surveilans HIV generasi kedua. Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologik. Informasi hasil surveilans serologik akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan perhatian, minat, dan tindakan masyarakat terhadap pencegahan epidemi HIV, menentukan sub populasi sasaran, menentukan cara pencegahan, merencanakan upaya penanggulangan, dan memantau keberhasilan program. Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengukur tingkat penularan HIV (prevalensi HIV) pada sub populasi tertentu, yang biasa disebut surveilans serologik. Namun, bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif telah hilang. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat, karena itu peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan lebih efektif maka sumber daya perlu dikonsentrasikan pada perubahan
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
67
perilaku berisiko. Manfaat surveilans perilaku sebagai “sistem peringatan dini” dapat memberikan informasi tentang perilaku berisiko, dan masyarakat yang berperilaku berisiko untuk tertular HIV. Surveilans HIV generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu perencanaan intervensi penanggulangan, baik berupa upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Dalam perspektif yang lebih luas, surveilans HIV generasi kedua diharapkan mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih efektif.
68
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
B Metodologi Survei Sasaran Survei Pada saat ini, banyak kasus baru terinfeksi HIV di Indonesia terjadi pada penduduk berperilaku dengan risiko tinggi, terutama pada kelompok penduduk yang sering berganti pasangan seks dan pengguna narkoba suntik yang suka melakukan penyuntikan narkoba secara bersama-sama. Populasi sasaran SSP adalah populasi pria dewasa dan wanita yang berisiko tinggi terjangkit HIV. Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi terutama adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti wanita penjaja seks (WPS) komersial yang melakukan transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (WPS langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat, salon, spa, bar, karaoke, diskotek, café/restoran, dan hotel/motel/cottage (WPS tak langsung). Kelompok pria dewasa yang berisiko tinggi terjangkit HIV diantaranya adalah kelompok pria yang juga sering berganti pasangan seks atau yang suka membeli seks kepada WPS. Pria yang potensial menjadi pelanggan WPS adalah pria yang suka bepergian dalam jangka waktu lama seperti pelaut dan anak buah kapal, nelayan, serta sopir dan kernet truk. Kelompok pria dewasa lainnya yang berisiko tinggi adalah pria yang suka berhubungan seks dengan pria. Kelompok ini terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu pria penjaja seks (PPS atau biasa disebut kucing), lelaki suka lelaki (LSL atau gay), dan waria.
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
69
Di samping kelompok sasaran tersebut, dalam SSP 2004 di Surabaya juga dicakup pula kelompok berisiko tinggi lainnya yaitu pengguna narkoba suntik (penasun) dan kelompok yang berpotensi berperilaku berisiko yaitu kaum remaja, yang diwakili oleh pelajar SLTA. Definisi atau batasan mengenai penduduk yang dicakup dalam SSP di Jawa Barat adalah sebagai berikut: • Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial. • WPS Tak Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu. • Pria, dalam survei ini dilakukan terhadap buruh pabrik. • Pria Penjaja Seks (PPS atau kucing) adalah pria yang menerima imbalan baik berupa uang maupun barang untuk berhubungan seks dengan pria. • Lelaki Suka Lelaki (LSL atau gay) adalah pria yang mengakui dirinya sebagai orang yang biseksual/homoseksual atau self identified bisexual/homosexual (SIBH). • Waria yang dicakup di sini adalah waria yang menjajakan seks. • Pengguna narkoba suntik (Penasun) adalah orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi narkoba dengan cara disuntikkan. Metode Survei Besarnya ukuran sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik penduduk yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku tersebut pada survei berikutnya. Kalkulasi dengan menggunakan metode “cluster survey” menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200 - 400 responden pada setiap sasaran penduduk berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku. Alokasi besarnya sampel untuk penjaja seks baik WPS langsung, WPS tak langsung, maupun waria penjaja seks adalah sebesar 250 respoden. Target sampel untuk buruh pabrik 1002 responden, sedangkan target sampel gay 231 responden dan kucing 69 responden. Target sampel untuk penasun sebesar 343 responden. Perkiraan populasi WPS langsung, WPS tidak langsung, dan waria penjaja seks diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi menjajakan seks (tempat mejeng) dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari instansi pemerintah daerah setempat seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pariwisata, serta dari LSM, dan sumber lainnya. Identifikasi lokasi baru beserta populasinya dilakukan dengan cara snowballing system (sistim putaran bola salju). Dalam proses listing dari suatu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi. Untuk buruh pabrik listing dilakukan di kabupaten Karawang. Listing dilakukan dibeberapa perusahaan.
70
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Untuk WPS, waria, dan LSL, digunakan metode sampling dua tahap (two-stage cluster sampling design). Random sampling digunakan baik untuk pemilihan sampel lokasi (cluster) maupun responden. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden. Intervensi pihak lain yang dapat menimbulkan bias terhadap hasil yang akan diperoleh telah diupayakan seminimal mungkin. Pengumpulan data pada penasun dilakukan pada penasun yang datang ke drop in center dalam rangka mengikuti program penjangkauan dengan menggunakan sistem kupon. Metode yang digunakan dalam penjangkauan dengan sistem kupon adalah metode Respondent Driven Sampling (RDS). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas LSM dengan responden. Upaya meminimalkan bias dan kesalahan dilaksanakan dengan melakukan pengawasan secara berkala yang dilakukan oleh petugas BPS. Hasil Listing Listing dilakukan dalam rangka pembentukan kerangka sampel yang digunakan untuk memilih sampel lokasi. Listing dilakukan pada kelompok sasaran WPS langsung, WPS tak langsung, waria penjaja seks, LSL (gay dan PPS), dan pelaut/ABK. Hasil listing untuk masing-masing kelompok sasaran tersebut di Jawa Barat adalah Tabel B. Jumlah Lokasi dan Perkiraan Populasi menurut Kelompok Sasaran
Kelompok Sasaran WPS Langsung
Jumlah Lokasi
Perkiraan Populasi
29
456
WPS Tak Langsung
108
1.034
Waria Penjaja Seks
17
400
LSL (Gay dan PPS)
50
504
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
71
C Karakteristik Responden Di samping data pengetahuan dan perilaku responden, dalam SSP juga ditanyakan beberapa pertanyaan tentang karakteristik responden seperti umur, pendidikan, status perkawinan. Khusus untuk kelompok sasaran waria dan gay, tidak ditanyakan status perkawinan karena hal tersebut bersifat “sensitif”, dan dikhawatirkan akan mengganggu wawancara atau kebenaran jawaban responden pada pertanyaan selanjutnya. Berikut adalah karakteristik responden SSP di Karawang, Bekasi, dan Jawa Barat. Umur Sebagian besar responden SSP 2004 di Jawa Barat, kecuali penasun, berumur di atas 25 tahun. Pria penjaja seks dan penasun sebagian besar berusia muda, yaitu 25 tahun atau kurang. Hampir 46 persen pria penjaja seks dan sekitar 18 persen penasun bahkan masih remaja (berumur kurang dari 20 tahun). Sekitar separuh dari WPS langsung berumur antara 25-34 tahun. Sekitar 5 persen WPS langsung dan 8 persen WPS tak langsung berumur kurang dari 20 tahun. Mayoritas responden pria suka pria dan waria penjaja seks berumur lebih dari 25 tahun, bahkan untuk waria penjaja seks jumlahnya lebih dari 70 persen. Pria penjaja seks (kucing), populasi yang terbesar berusia 20-24 tahun (46 persen) dan 25-24 tahun (39 persen).
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
73
Tabel C.1: Persentase Responden menurut Kelompok Umur Kelompok Umur (tahun)
Kelompok Sasaran
Jumlah Sampel
<20
20-24
25-34
35+
Total
WPS Langsung
4,0
26,0
55,6
14,4
100.0
250
WPS Tak Langsung
8,4
44,4 ,4
32,8
14,4
100.0
250
Buruh/Karyawan
0,5
12,6
48,3
38,6
100.0
1002
Waria Penjaja Seks
6,8
22,0
37,6
33,6
100.0
250
Pria Penjaja Seks
4,4
46,4
39,1
10,1
100.0
69
Gay
3,9
24,2
54,1
17,8
100.0
231
18,1
47,2
31,5
3,2
100.0
343
Penasun
Dilihat dari rata-rata umur responden, buruh/karyawan mempunyai rata-rata umur yang paling tua yaitu sekitar 34 tahun. Rata-rata umur termuda adalah penasun, yaitu 24 tahun. Rata-rata umur WPS langsung (28 tahun) lebih tua dibanding umur WPS tak langsung (26 tahun). Sementara itu, rata-rata umur pria penjaja seks adalah sekitar 26 tahun.
Tabel C.2: Rata-rata dan Median Umur Responden Umur (tahun) Kelompok Sasaran
Jumlah Sampel Rata-rata
Median
WPS Langsung
28
25
250
WPS Tak Langsung
26
24
250
Buruh/Karyawan
34
32
1002
Waria Penjaja Seks
31
30
250
Pria Penjaja Seks
26
24
69
Gay
29
28
231
Penasun
24
23
343
Status Perkawinan Dari SSP diketahui bahwa ternyata ada juga WPS yang berstatus kawin yaitu sekitar 2 persen pada WPS langsung dan 15 persen pada WPS tak langsung. Meskipun demikian memang sebagian besar status perkawinan WPS adalah cerai. Sekitar seperlima WPS tak langsung belum kawin, sedangkan pada WPS langsung sekitar 1 persen.
74
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Jawa Barat
Tabel C.3: Persentase Responden menurut Status Perkawinan Status Perkawinan Belum Kawin
Kawin
Cerai Hidup
Cerai Mati
Total
Jumlah Sampel
1,2
1,6
86,4
10,0
100.0
250
WPS Tak Langsung
18,8
14,8
59,2
7,2
100.0
250
Buruh/Karyawan
21,2
77,5
0,8
0,5
100.0
1002
Kelompok Sasaran WPS Langsung
Pendidikan Buruh/karyawan mempunyai pendidikan yang relatif lebih tinggi di antara semua responden yang lain yaitu sekitar 87 persen tamat SMA atau lebih tinggi. Sedangkan yang berpendidikan relatif rendah adalah WPS langsung, yaitu sebagian besar atau sekitar 88 persen berpendidikan paling tinggi tamat SD. Diantara semua kelompok sasaran, buruh/karyawan adalah yang relatif paling tinggi tingkat pendidikannya, yaitu sebanyak 87 persen berpendidikan tamat SMA atau lebih tinggi. Kelompok gay dan kucing mayoritas juga berpendidikan relatif tinggi, meskipun terdapat sekitar 1 persen yang tidak tamat SD. Lebih dari 87 persen WPS langsung dan 37 persen WPS tak langsung berpendidikan rendah, maksimal tamat SD.
Tabel C.4: Persentase Responden menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tidak Tamat SD
SD
SMP
SMA+
Total
Jumlah Sampel
WPS Langsung
54,8
33,2
9,2
2,8
100.0
250
WPS Tak Langsung
10,8
26,8
35,2
27,2
100.0
250
Buruh/Karyawan
0,9
2,9
8,8
87,4
100.0
1002
Waria Penjaja Seks
6,0
18,0
34,4
41,6
100.0
250
Pria Penjaja Seks
0,0
4,4
18,8
76,8
100.0
69
Gay
0,9
7,8
12,9
78,4
100.0
231
Penasun
1,2
7,6
29,7
61,5
100.0
343
Kelompok Sasaran
Hasil SSP Tahun 2004-2005 di Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Bandung
75
Family Health International
A Aksi ksi S St t pA AIDS IDS