Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita* Asep Sambodja
Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Maka jika kesenian [kebudayaan] Indonesia mencari identitas, sebaiknya ia tak usah mencari-cari—karena toh tidak ada yang mencuri identitas itu. Setiap zaman mengalirkan sejarah kebudayaannya masing-masing…Bukan hanya karena kesenian Indonesia kontemporer tidak bisa mengasingkan dirinya dari perkembangan budaya mondial, namun juga karena identitas keindonesiaan itu sendiri sebenarnya tidak penting. (Ajidarma, 2000: 625)
Pendapat Seno Gumira Ajidarma1 di atas memperlihatkan sikap tegas penulisnya tentang identitas Indonesia, keindonesiaan, yang dianggapnya tidak penting. Ia sama sekali tidak mempedulikan masalah identitas, sebab yang penting dalam masalah kesenian atau produk kebudayaan lainnya adalah makna (meaning). Dalam artikel bertajuk “Keindonesiaan” yang dimuat di Kompas, 12 Februari 1995, dan kemudian dihimpun Korrie Layun Rampan dalam Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, lebih jauh Seno mengungkapkan, “Seorang seniman bisa jadi seorang nasionalis, namun karya keseniannya tidak usah dipaksa menjadi Indonesia, karena dalam karya itu keindonesiaannya tidak relevan. Mencari identitas dalam kesenian adalah usaha memberi nama kepada suatu makhluk, yang hanya perlu berinteraksi, tapi tidak perlu harus diindonesia-indonesiakan. Karena nasionalisme dalam kesenian adalah omong kosong, nasionalisme adalah masalah politik, dan politik itu pun bisa saja tidak memihak kepada bangsa apa pun, selain kepada manusia itu sendiri (Ajidarma, 2000: 625-626).
*
Tulisan ini pernah disampaikan dalam Konferemsi Internasional Kesusastraan XVII HISKI di Jakarta 7-10 Agustus 2006.
2
Asep Sambodja
Berangkat dari pernyataan Seno seperti itulah saya membaca novel mutakhirnya, Kitab Omong Kosong2, yang membawa pengarangnya memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2005—serta mendapat hadiah Rp100 juta dari penyelenggara pemberian hadiah sastra bergengsi itu. Meskipun demikian, saya tetap mengaitkan teks Kitab Omong Kosong itu dengan konteksnya. Hal ini perlu dilakukan agar makna yang kita peroleh dari pembacaan itu bukan saja makna tekstual, tetapi juga makna referensial atau makna kontekstualnya3. Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition (1953) telah memberikan pondasi yang mendasar untuk mengungkap makna tekstual dan makna referensial sekaligus. Ada empat komponen utama yang berkaitan dengan sastra, yakni karya sastra (work), kenyataan (universe), pengarang (artist), dan pembaca (audience). Secara garis besar saya sebagai pembaca menangkap pesan (message) yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma sebagai pengarang melalui karyanya, Kitab Omong Kosong, yang diciptakan Seno berdasarkan pengalaman batin, pengalaman literer, maupun pengalaman yang ditangkapnya dari kenyataan, dari kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana Seno sebagai individu maupun sebagai representasi manusia Indonesia melihat kenyataan? Bagaimana sikap Seno terhadap kenyataan itu? Dalam hal ini saya menempatkan pengarang/sastrawan pada tempat yang terhormat, karena berkat sastrawanlah karya sastra itu ada4. Melalui karya sastra, pengarang bisa merekam peristiwa dan kenyataan dari perspektifnya sendiri, sehingga di dalamnya kita (pembaca) bisa menuai gagasan dan pemikiran sastrawan, perasaan, pengalaman batin, serta kegelisahankegelisahannya5. Dengan demikian, sastrawan berperan sama pentingnya dengan wartawan dan sejarawan, karena sama-sama bergumul dengan fakta dan data. Yang membedakan ketiganya hanyalah cara pengungkapannya saja. Sastrawan mengungkapkan fakta dan data dengan menggunakan bahasa simbolik, metafora, dan berbagai gaya bahasa lainnya sehingga karya sastra tidak saja memenuhi azas manfaat, tetapi juga memenuhi azas keindahan/kenikmatan sebagaimana dikemukakan Horatius mengenai tujuan dan fungsi sastra, dulce et utile (Teeuw, 2003: 7). Dari pengalaman pembacaan terhadap dua karya Seno sebelumnya, yakni Saksi Mata (1994) dan Negeri Senja (2003a), saya mendapat kesan bahwa Seno memiliki kegelisahan politik yang demi-
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
3
kian besar, yang mendorongnya terus berkarya hingga hari ini. Yang menarik dari karya-karya Seno adalah penggunaan sudut pandang (point of view) yang unik, khas, khusus, individual, suara orang-orang yang terpinggirkan (marginal), orang-orang yang tertindas, termasuk suara perempuan yang tertindas budaya patriarki, dan sejenisnya. Hal ini tidak saja kita temui dalam Saksi Mata, tetapi hampir di semua karyanya, termasuk dalam Kitab Omong Kosong yang akan dibahas lebih lanjut. Dalam cerpen “Manuel” yang terdapat dalam Saksi Mata, terungkap kepedihan melalui tokoh yang merasa tertindas, Manuel, yang merepresentasikan masyarakat Timor Timur prakemerdekaan, setelah insiden Santa Cruz, 12 November 1991 (Sambodja, 1995: 64). “Ketika aku kembali ke kota kami itu, segala-galanya telah berubah. Kami bisa makan, kami bisa minum, tapi kami tidak memiliki diri kami sendiri. Kota kami yang damai itu kini penuh dengan pasukan asing, banyak mata-mata berkeliaran dan selalu mencurigai kami. Kami bersekolah, namun kami tidak boleh berpikir dengan cara kami sendiri. Kami tidak berbicara dalam bahasa kami, kami tidak mempelajari sejarah kami sendiri, dan kami tidak mungkin mengungkapkan pendirian dan cita-cita kami, karena setiap kali hal itu dilakukan selalu ada yang ditangkap, disiksa, dan masuk bui tanpa diadili.” (Ajidarma, 1994: 24-25)
Sudut pandang (perspektif) yang unik seperti itu juga muncul dalam Negeri Senja, yang menggunakan gaya bercerita seperti dongeng— saya menyebutnya dongeng politik—dengan bobot cerita yang mengagumkan6. Seno menggunakan perspektif tokoh seorang pengembara yang mengamati sebuah negeri yang dinamai Negeri Senja, sehingga relasi kuasa antara penguasa (Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta) dengan rakyatnya kembali dipertanyakan, digugat, dilawan, dinegosiasikan, untuk kemudian diruntuhkan demi sebuah keseimbangan dan keadilan; yang menjadi dasar kesejahteraan. Bahasa yang digunakan Seno untuk menggambarkan posisi penguasa—yang melakukan kecurangan politik—sarat dengan metafora, penuh perlambangan dan simbol-simbol yang mengajak pembaca membuka memorinya tentang peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru pada 1960-an yang misterius, yang hingga kini masih menimbulkan kontroversi.
4
Asep Sambodja Naiknya Tirana ke puncak kekuasaan diselaputi misteri. Tidak seorang pun saksi hidup yang bisa berkisah tentang bagaimana [perempuan itu] bisa berkuasa...di negeri itu catatan sejarah yang bisa dibaca tidak ada sama sekali. Para penguasa negeri itu mempunyai kebiasaan menghapus peranan penguasa sebelumnya, dengan cara menghapus jejak-jejak sejarahnya, sehingga tidak seorang pun bisa membaca catatan sejarah negeri itu.......Pada awal masa kekuasaannya Tirana melakukan pembersihan besar-besaran. Lawan-lawan politiknya dari semua golongan disapu bersih, nyaris tanpa sisa. Atas nama kemampuan membaca pikiran, siapa pun bisa ditangkap, ditahan, dan dihukum mati dalam keadaan apa pun. Para Pengawal Kembar [pengawal setia Tirana] menggerebek rapat-rapat dan diskusi, pertemuan lebih dari lima orang sudah dianggap sebagai persekongkolan untuk melakukan pengkhianatan. Tidak ada hukum yang bisa dipegang...[akibatnya] orang-orang Negeri Senja berjuang keras untuk tidak mempunyai pikiran. (Ajidarma, 2003a: 64-68)
Cara pandang semacam itu sangat menarik karena setiap individu memiliki hak yang sama untuk mengaktualisasikan dirinya dengan bahasanya sendiri. Dengan demikian, kehidupan ini akan lebih berwarna, tidak ada yang menghegemoni maupun yang dihegemoni. Tak ada lagi bahasa kekuasaan yang menindas dan pihak-pihak yang tertindas. Pendekatan semacam ini, meminjam istilah Seno, merupakan pendekatan spectrum oriented, pendekatan yang penuh warna, yang bisa menerima keberagaman atau pluralisme. Dalam praktiknya, ketika Seno diberi otoritas/wewenang untuk memilih 50 dari 390 cerpen yang pernah dimuat Kompas pada 1970-1980 untuk dibukukan, Seno menggunakan pendekatan itu dengan tidak memilih cerpen-cerpen terbaik, melainkan cerpen-cerpen yang unik. Pendekatan spectrum oriented digunakan Seno dalam memilih cerpen-cerpen itu untuk bisa menangkap “konteksnya dengan pertarungan ideologi dekade 19701980” (Ajidarma, 2003b: xvi). Seno sama sekali tidak menggunakan kriteria cerpen terbaik, karena “baik dan buruk, indah tak indah, sastra tak sastra, yang akan berlaku bagi segala zaman, segala orang, dan segala sistem nilai adalah tak mungkin.” Seno menambahkan, apa yang disebut sastra sudah tidak mengabdi kepada kanon sastra, karena sastra memang sudah menjadi teks yang tersejajarkan dengan iklan, berita koran, maupun orasi tukang
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
5
obat di pinggir jalan. Tidak ada lagi sastra yang indah, agung, dan mulia—itu cuma kibul pemikiran feodal yang begitu getol menyusun hirarki mana yang adiluhung dan mana yang profan (Ajidarma, 2003b: xiv-xv). Kecenderungan Seno yang ingin memberikan keseimbangan antara yang mainstream dengan yang sidestream, antara yang ”umum” dengan yang “ajaib” seperti itu juga tercermin dalam Kitab Omong Kosong. Sebagaimana lazimnya karya sastra [karya seni] produk postkolonialisme, Seno menggunakan perspektif baru dalam melihat persoalan kehidupan. Suara-suara yang selama ini terpinggirkan atau tersubordinasikan dimanfaatkan dengan baik oleh Seno dalam Kitab Omong Kosong. Suara kaum perempuan, misalnya, yang diwakili Sinta— tokoh yang demikian setia, patuh, pasrah, dan tak berdaya dalam Ramayana7, terutama dalam fragmen ketika Dewi Sinta diminta untuk membuktikan kesuciannya—keluar dengan derasnya bagaikan air yang membludak dari bendungan, sehingga sangat menusuk perasaan siapa saja yang membacanya, termasuk perasaan siluman yang digambarkan Seno juga memiliki hati [nurani]. “Tidak juga Rama, titisan Batara Wisnu yang mahaperkasa dan maha menghancurkan itu bisa menentukan nasibku. Sungguh tiada pernah kukira betapa ksatria Ayodya yang kukira begitu lembut dan begitu mulia ternyata begitu rendah diri sebagai manusia. O lelaki mana kiranya yang tidak bisa disebut rendah diri jika tiada pernah percaya betapa suci istrinya meski istrinya itu sudah begitu setia dalam cengkeraman Rahwana yang kaya raya? Rama telah membakar aku dalam api unggun raksasa yang nyala apinya memerahkan langit demi kepercayaan dirinya maupun orang-orang Ayodya. Mengapa begitu penting bagi Rama untuk meyakinkan orang-orang Ayodya bahwa Rahwana sungguh-sungguh tiada pernah menyentuh apalagi menjamahku? Kalau dia memang cinta kepadaku, mengapa dia tidak terima saja aku apa adanya, meski seandainya Rahwana telah memperkosa diriku? Kalau dia memang cinta kepadaku, bahkan jika aku telah berbuat seperti seorang pelacur kepada Rahwana, yang menyerahkan tubuh demi keselamatanku, tak juga Rama harus menimbang-nimbang diriku. Cinta adalah cinta. Terimalah aku seperti apa adanya. (Ajidarma, 2004: 26)
Dalam fragmen tersebut, Seno memberi “isi” atau ruh pada tokoh perempuan (Dewi Sinta) untuk menyuarakan isi hatinya, perasaannya,
6
Asep Sambodja
sehingga tampil lebih manusiawi, lebih feminin. Dengan kata lain, Seno memberi ruang yang cukup besar bagi tokoh perempuan untuk bicara. Dalam hubungan Rama — Sinta — Rahwana itu, Sinta mengungkapkan isi hati dan pikirannya sendiri. Hal ini bisa dibaca sebagai interpretasi Seno terhadap kisah Ramayana yang diejawantahkan melalui Kitab Omong Kosong, yang secara sadar maupun tidak sadar memperlihatkan sikap kepengarangan Seno yang dapat dikatakan feminis—atau berpihak pada kaum perempuan—maupun memperlihatkan kepeduliannya pada orang-orang yang termarginalisasikan. Seno tidak mengubah watak/karakter Sinta sebagai wanita yang setia pada suaminya. Sinta masih menuruti permintaan Rama agar dirinya membuktikan kesuciannya. Hal baru yang dimunculkan Seno dalam Kitab Omong Kosong adalah memberi jiwa pada tokoh Sinta, tokoh perempuan yang belum atau tidak mendapat peran yang sama dengan tokoh laki-laki dalam karya sastra yang ditulis oleh penulis laki-laki, sehingga pikiran dan perasaan Sinta bisa keluar dalam Kitab Omong Kosong. Dan kita sebagai pembaca sangat terkejut dengan pikiran dan perasaan Sinta tersebut. Sesuatu yang kita anggap ideal selama ini ternyata menyimpan benih-benih amarah yang mendidih. Bisa jadi Sinta dalam Ramayana kita idealkan selama ini karena menguntungkan pembaca laki-laki dan [ternyata] merugikan kaum perempuan. Hal inilah yang didekonstruksi Seno untuk kemudian memberi peran yang sama pada tokoh-tokoh perempuannya. Meskipun demikian, relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, Rama dan Sinta, tidak atau belum meruntuhkan budaya patriarki. Baik dalam Ramayana maupun Kitab Omong Kosong, Sinta masih pasrah lega lila kepada suaminya, Rama, dengan membuktikan kesuciannya, dan akhirnya lenyap ditelan bumi. Gugatan dan amarah yang diluapkan Sinta masih berupa wacana, dan tidak berupa tindakan frontal. Senada dengan hal itu, hubungan Sugriwa — Dewi Tara — Subali pun dapat terbaca bahwa perempuan (Dewi Tara) hanya merupakan subordinat dari laki-laki (Sugriwa-Subali) dalam kitab Ramayana Walmiki. Seno mempertanyakan [dengan nada tetap hormat pada Walmiki] kenapa suara perempuan tidak mendapat tempat dalam karya sastra besar seperti Ramayana? Dalam Kitab Omong Kosong, pertanyaan dan gugatan Dewi Tara semacam itu mendapat tempat khusus, yang bahkan Walmiki (tokoh dalam Kitab Omong Kosong)8 pun tidak tahu atau tidak ingat apakah ia telah menulis cerita seperti itu dalam Ramayana.
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
7
Mengapa Walmiki menulis seperti itu? Menempatkan perempuan bidadari seperti bola permainan dunia lelaki? Lembusora dan Maesasura menculikku. Subali menempur mereka hingga tewas. Kepala kedua penguasa Goa Kiskenda itu dibenturkannya, sehingga mengalir darah merah bercampur warna putih keluar goa. Ini yang membuat Sugriwa mengira Subali yang berdarah putih itu tewas, dan menutup pintu goa dengan batu besar, serta mengawiniku. Subali yang salah paham menghancurkan batu itu, menundukkan Sugriwa dalam pertarungan dan merampas serta menguasaiku. Tapi kemudian Sri Rama membunuh Subali, dan aku kembali menjadi istri Sugriwa. Mengapa Walmiki menulis seperti itu? Aku tidak keberatan diperistri wanara, karena perempuan utama tidak mementingkan perwujudan duniawi. Subali adalah seorang resi dan Sugriwa wanara yang perkasa, tapi mengapa kehendakku tidak menjadi pilihan pertama? Aku bidadari putri Batara Indra, mempunyai kehendak dan kecerdasan seorang manusia, mengapa perasaanku tidak pernah diperhitungkan? Aku diculik oleh Lembusora dan Maesasura, tapi setelah dibebaskan lantas dihadiahkan kepada pembebasku, tanpa ditanya aku ini akan suka atau tidak kepada Sugriwa atau Subali. Setelah itu, ternyata aku masih dilempar ke sana kemari. Semula istri Sugriwa, lantas dirampas Subali sampai mengandung Hanggada, lantas jadi istri Sugriwa lagi. Sebetulnya aku ini tidak pernah dibebaskan. Mengapa Walmiki menulis seperti itu? Aku ini perempuan yang bebas atau boneka permainan dunia lelaki? (Ajidarma, 2004: 516-517)
Gugatan semacam ini juga keluar dari tokoh-tokoh figuran yang tampil sepintas dalam kitab Ramayana, bahkan terkadang hanya tampil untuk dimatikan, seperti Talamariam, Kapimoda, Bubukshah, dan Gagang Aking, serta ada tokoh yang bahkan tidak tahu siapa dirinya dan bagaimana karakternya, karena ia tak punya nama dan hanya muncul dalam adegan peperangan ataupun dalam kerumunan massa. Mengenai Talamariam, misalnya, Seno menggambarkannya demikian. “Jadi apa maumu Talamariam?” “Seperti yang lain-lain, aku juga ingin melepaskan diri. Apalagi aku bukan tokoh penting dalam Ramayana.” “O, Talamariam, tidak ada peran yang tidak penting dalam hidup ini. Tidak ada peran kecil, yang ada hanyalah pemeran yang bertubuh kecil.”
8
Asep Sambodja “Ya, tetapi siapalah mengenal Talamariam. Aku ingin berperan dalam sebuah cerita yang berlangsung menurut kehendakku, bukan kehendakmu.” “Tentu saja aku tidak berhak melarangmu untuk itu, wahai Talamariam, dan engkau juga tidak memerlukan izinku.” “Aku hanya memberi tahu.” “Itu pun tidak perlu.” “Aku hanya ingin berterima kasih dikau telah mengadakan aku, Empu.” (Ajidarma, 2004: 468-469)
Sebaliknya, kalau Talamariam dihadirkan dalam cerita Ramayana untuk mati, maka Kapimoda adalah tokoh figuran yang tidak mati-mati. Dalam Kitab Omong Kosong dituliskan, bisa jadi tokoh itu tidak mati-mati karena pengarangnya, Walmiki, lupa dengan tokoh yang satu ini, karena banyaknya tokoh (ratusan) yang diciptakan Walmiki dalam Ramayana, sehingga ia tidak ingat tokohnya satu per satu. Kapimoda sudah pensiun ketika berlangsung Persembahan Kuda, dan kini ia ingin mati, karena merasa sudah hidup terlalu lama. “Bunuhlah aku Walmiki, aku sudah bosan dengan dunia ini.” “Kapimoda, aku bukan pembunuh.” “Ceritakan sesuatu yang mengakhiri riwayatku, aku akan berterima kasih untuk itu.” Walmiki menghela napas. Apakah semua tokoh akan minta diurus seperti itu? Seberapa jauh tokoh-tokoh tergantung kepada pengarangnya? Setiap kali tokoh terbentuk, ia sudah lepas dari pengarangnya, karena pendengar atau pembacanya akan menciptakan kembali tokoh-tokoh itu dalam penafsiran mereka. Setiap orang bisa menciptakan kembali tokoh-tokoh itu kalau mau, dan tokoh-tokoh itu juga bisa menuliskan riwayat mereka sendiri, lepas dari tujuan pengarangnya. Seorang pengarang ternyata, memang, tidak bisa menentukan segala-galanya. Setelah cerita yang ditulisnya selesai dan tokoh-tokohnya terbentuk, mereka terlempar ke belantara makna yang gelap. Tidak seorang pun akan tahu apa yang akan menjadi nasib seorang tokoh setelah itu. Cerita bisa berubah. Tokoh-tokoh bisa mati dan dihidupkan lagi. Oleh siapa pun yang menghendaki cerita seperti itu. Dunia adalah tempat makna-makna bertarung. “Jangan lupa Walmiki, tolong, selesaikan riwayatku. Sekali ini saja tolonglah, aku tidak pernah berbuat salah kepadamu.” (Ajidarma, 2004: 488-489)
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
9
Terhadap semua gugatan tokoh-tokoh rekaannya seperti itu, Walmiki menganjurkan agar mereka menentukan nasib mereka sendiri, di antaranya disarankan Walmiki agar mereka menulis riwayatnya sendiri. Eksistensi seorang tokoh, seorang manusia, lebih mewujud melalui tulisan. “Tulislah ceritamu sendiri, maka engkau akan menjadi sebuah pribadi,” katanya. “Aku tidak bisa menulis.” Walmiki menjadi sangat jengkel. “Kalau begitu engkau sial! Sudahlah! Pergilah!” “Lantas bagaimana nasibku?” “Pergilah! Aku tidak peduli kepadamu! Aku pergi jauh bukan untuk menemui masa laluku!” (Ajidarma, 2004: 515)
Pemilihan Satya dan Maneka sebagai tokoh utama dalam Kitab Omong Kosong, serta pengakuan Togog di akhir cerita9 memperlihatkan keunikan perspektif yang digunakan Seno. Satya (yang dalam beberapa adegan merupakan alter ego Seno, terutama saat berbicara tentang penulis, penyalin, dan penerjemah10) adalah seorang pemuda 16 tahun yang sehari-harinya bekerja sebagai penggembala. Ia tidak berdaya ketika menyaksikan sendiri (dari atas bukit tempatnya menggembala) bagaimana pasukan sejuta prajurit berkuda yang dipimpin Laksmana dari Kerajaan Ayodya membumihanguskan desanya di Kerajaan Mantura. Ayah, ibu, saudara, tetangga, bahkan binatang-binatang ternak yang ada di desanya semuanya dibunuh oleh pasukan Laksmana. Dengan kata lain, Satya adalah orang biasa, bukan bangsawan, tidak berhubungan langsung dengan penguasa atau kekuasaan. Kalaupun berhubungan, itu pun hanya menjadi korban dari apa yang dititahkan oleh Rama, Sang Raja, melalui acara Persembahan Kuda, yang banyak memakan korban jiwa itu. Sementara Maneka, perempuan 21 tahun, adalah seorang pelacur yang ingin mengubah nasibnya. Sejak berumur 9 tahun, Maneka dititipkan (tepatnya dijual) ayahnya di sebuah rumah bordil11. Pada punggung Maneka terdapat rajah atau tatto kuda, yang diyakini banyak orang sebagai sumber malapetaka. Ketika Maneka berhasil dilarikan dari rumah bordil oleh Sarita, sahabatnya, yang tidak tega menyaksikan Maneka diperkosa oleh seisi kota setelah tahu ada rajah kuda di punggung Maneka, maka ia memantapkan diri untuk segera mengubah nasibnya. Jalan yang ditempuh Maneka adalah mencari Walmiki, tukang
10
Asep Sambodja
cerita dan penulis Ramayana. Ia ingin agar Walmiki mengubah nasibnya dan mengeluarkannya dari garis cerita. Maneka ditemani Satya, lelaki yang telah menyelamatkan dirinya ketika ia hanyut di sungai saat meloloskan diri dari kejaran orang-orang kota yang marah. Dan setiap kali Maneka bertanya kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan, ia selalu mendapat petunjuk yang sama, bahwa Walmiki selalu berjalan ke arah matahari tenggelam, ke arah senja. Satya (penggembala) dan Maneka (pelacur) merupakan representasi orang-orang kecil, orang-orang pinggiran, kaum yang terbuang, yang tidak pernah didengar suaranya, mereka bukan pula manusia agung (uebermensch), hanya orang biasa. Kedua tokoh ini sangat berperan dalam membangun cerita Kitab Omong Kosong. Satya bersedia menemani Maneka, seorang pelacur yang ingin mengubah nasibnya, dengan mencari Walmiki. Setelah melewati jalan yang berat—dimana Maneka sempat diculik oleh gerombolan bandit dari Gurun Thar, dan Satya sempat dipenjara karena kesalahpahaman dengan orang-orang di sebuah kedai—mereka menjadi lebih dekat dan akrab. Sebenarnya setelah bertemu dengan Walmiki dan mendapat nasihat darinya, tujuan Maneka dapat dikatakan berhasil dan perjalanannya dianggap selesai. Namun, karena Satya ingin mencari Kitab Omong Kosong setelah pertemuannya dengan Hanoman, maka Maneka pun bersedia menemani Satya. Dapat dikatakan pula bahwa tokoh Walmiki dan Hanoman menjadi penting dalam Kitab Omong Kosong, karena keduanya berkaitan langsung dengan pengembaraan Maneka dan Satya. Pemilihan tokoh Maneka, seorang pelacur, sebagai salah satu tokoh utama Kitab Omong Kosong perlu dicermati. Pertama, dengan menggunakan tokoh pelacur, seorang pengarang (dalam hal ini Seno Gumira Ajidarma) dapat menghasilkan cerita yang menarik, sebab sebuah cerpen atau novel akan menarik kalau di dalam cerita itu ada masalah dan terutama ada konflik. Figur seorang pelacur, kita tahu, pastilah memiliki banyak masalah dan sarat konflik. Kedua, profesi pelacur adalah profesi yang dianggap oleh sebagian orang, terutama kaum agamawan dan kaum moralis, sebagai profesi yang menyimpang. Karena itu, posisinya dalam masyarakat seringkali terpinggirkan atau dipinggirkan, terkadang disamakan dengan kaum marginal lainnya, seperti pelaku kriminal, pedagang asongan, buruh, pemulung, pengangguran, dan bahkan orang gila. Dengan menggunakan sudut pandang atau perspektif dari orang-orang pinggiran, mengakibatkan
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
11
suara atau pesan yang disampaikan pun terasa lain. Bahkan kalau ada yang diperjuangkan, maka cerita yang menggunakan sudut pandang semacam itu akan tampil lebih kuat dan penuh greget. Ketiga, mengaitkan peran Maneka dalam Kitab Omong Kosong, terbaca bahwa tidak semua orang ingin dilahirkan sebagai pelacur. Profesi atau peran pelacur yang melekat pada tokoh Maneka adalah karena ada campur tangan orangtuanya, dalam hal ini ayahnya sendiri. Ketika ada kesempatan untuk memperbaiki diri, hal itu digunakan Maneka untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Caranya dengan melakukan perjalanan/hijrah ke tempat lain. Demikian pula dengan tokoh Satya, yang nyaris tidak memiliki apa-apa lagi setelah kampungnya dibabat habis oleh pasukan Ayodya yang dipimpin Laksmana. Satya seperti anak yatim piatu yang harus hidup sebatangkara di bawah kekuasaan Raja Ayodya, Rama. Sudah sewajarnya Satya menaruh dendam pada Rama dan kemudian melawannya. Namun, dalam Kitab Omong Kosong, Seno mempertemukan Satya dengan Hanoman, yang secara tidak langsung menuntun Satya untuk mencari, mempelajari, dan memahami Kitab Omong Kosong yang ditulis Hanoman selama berada dalam pertapaan dan disimpan di lima tempat yang berbeda. Tokoh Hanoman dalam Kitab Omong Kosong sangat menarik. Berbeda dengan Hanoman dalam Ramayana yang setia, patuh, dan selalu memuja Rama—karena merupakan titisan dewa Wisnu (Narayan, 2004: 229)—tokoh Hanoman ciptaan Seno dalam novel ini sangat kritis pada Rama. Hanoman tidak menyetujui gagasan Rama yang ingin menguasai seluruh anak benua, lebih-lebih dengan menggunakan kekerasan berupa pengiriman pasukan berkuda yang dipimpin langsung oleh Laksmana. Selain itu, Hanoman juga menyesalkan Rama yang masih meragukan kesucian Sinta. Hanoman juga mengkritik Rama yang lebih percaya pada desas-desus yang diucapkan oleh rakyat Ayodya ketimbang percaya pada Sinta. Padahal, tanpa Rama ketahui, seluruh rakyat Ayodya telah mengidap racun menjadi orang jahat karena menghirup gelembung Rahwana. Atau, bisa jadi, Rama sendiri juga telah menghirup gelembung Rahwana yang dapat mengakibatkannya menjadi jahat. Karena berbagai alasan seperti itulah Hanoman memisahkan diri dari Rama, menjauhkan diri dari pusat kekuasaan, dan memilih untuk menjalani kehidupan spiritual, melakukan pertapaan, dan menulis Kitab Omong Kosong.
12
Asep Sambodja Di hadapan Rama, Sang Hanoman bicara terus terang. “Saya melihat Gelembung Rahwana turun dari langit seperti hujan. Kita sudah dikuasai sifat-sifat jahat Rahwana. Lihat bagaimana rakyat Ayodya menjadi edan. Sinta yang setia dituduh yang bukan-bukan. Bahkan Rama suaminya, tidak peduli kepada nasib ibu yang mengandung anaknya.” Rama tersentak. Ucapan Hanoman adalah kenyataan. Tapi jawabannya sungguh mengecewakan. “Hanoman, aku telah mendengar kata-katamu. Kunyatakan masalah ini bukan urusanmu. Pergilah kembali ke pertapaan.” Hanoman pamit, dan mengundurkan diri dengan sopan. Meskipun begitu Laksmana tahu, inilah sengketa yang tiada pernah terbayangkan. (Ajidarma, 2004: 45)
Hanoman, dengan demikian, menjadi oposisi bagi kekuasaan Rama. Sesuatu yang tak terbayangkan oleh pembaca Ramayana maupun penonton wayang di Jawa. Hal ini terjadi karena Seno telah mengubah karakter Rama yang berwibawa dalam Ramayana12 menjadi raja yang bengis dan kejam dalam Kitab Omong Kosong. Kebengisan dan kekejaman Rama bisa dilihat dari surat yang dikirimkan Rama kepada penguasapenguasa lain di seluruh belahan benua. Selembar surat yang menyerukan perdamaian disertai dengan ancaman yang menindas. Raja yang Terhormat, Bersama surat ini saya beritahukan, saya Sri Rama, raja yang berkuasa di Ayodya, mengadakan Persembahan Kuda. Kerajaan mana pun yang dilewati kuda putih yang kami lepaskan pada malam bulan sabit setelah surat ini disampaikan, harus tunduk kepada kami atas nama perdamaian. Barangsiapa tidak tunduk kami anggap menentang perdamaian, dan balatentara Ayodya akan memeranginya. Kami akan menjamin kekuasaan raja setempat yang menyerah, namun kami tidak akan memberi ampun siapa pun yang menentang kami. Tujuan Persembahan Kuda ini adalah mempersatukan bangsa-bangsa anak benua dalam perdamaian. Kami membawa perdamaian, kami membawa peperangan, Baginda Raja yang Terhormat boleh memilih salah satunya. Demikianlah surat ini. Sri Rama. (Ajidarma, 2004: 20)
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
13
Dalam hal ini, sikap Hanoman sangat terpuji dan bisa diterima oleh siapa pun kenapa dia memilih meninggalkan istana kerajaan Ayodya, dan memilih jalan sepi. Dalam Kitab Omong Kosong, Hanomanlah yang menjaga keseimbangan dari keangkaramurkaan penguasa. Ia menyusun Kitab Omong Kosong yang terdiri dari lima bagian, yakni Dunia Seperti Adanya Dunia13, Dunia Seperti Dipandang Manusia14, Dunia yang Tidak Ada15, Mengadakan Dunia16, dan Kitab Keheningan17. Atas petunjuk Hanoman dan kerja keras yang diperlihatkan Satya dan Maneka, mereka berhasil mendapatkan kelima ilmu yang terkandung dalam Kitab Omong Kosong itu. Kelima bagian Kitab Omong Kosong itu memberi pelajaran kepada pembacanya (yang diwakili Satya dan Maneka)—yang sebenarnya ditujukan kepada seluruh umat manusia, karena dimaksudkan untuk memulihkan peradaban dengan segera, yang mampu menghemat ratusan tahun, dari runtuhnya peradaban akibat gelembung Rahwana— tentang kehidupan, eksistensi manusia, ilmu pengetahuan, kenyataan, kebenaran, keindahan, keadilan, dan kearifan untuk menyikapi semua itu. Dan, ternyata, puncak pengetahuan adalah keheningan atau kekosongan itu sendiri. Setiap manusia memiliki hak yang sama sempurnanya untuk menuliskan apa saja, termasuk riwayat hidupnya sendiri, menuliskan kebenaran menurut perspektifnya sendiri, tanpa memaksakan kebenaran itu pada pihak lain, apalagi di ruang publik (public sphere). “Apa nama kitab itu?” Maneka bertanya. “Jangan kaget mendengar namanya.” “Apa?” “Kitab Omong Kosong.” Satya dan Maneka terpana. “Hahahahahahaha! Jangan terlalu heran. Nama kitab itu tidak keliru sebagai kunci segala bidang dalam ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan itu sebenarnya omong kosong saja.” Satya dan Maneka makin terbelalak. “Itulah kata para empu, bukan kata-kataku. Kalau ilmu pengetahuan hanya suatu cara menggambarkan kenyataan dan bukan kenyataan itu sendiri, sementara kenyataan itu sendiri tidak mungkin diketahui, maka ilmu pengetahuan itu sendiri menggambarkan apa kalau bukan kekosongan? Hahahahahahahaha!” “Tapi Kitab Omong Kosong itu ada isinya?”
14
Asep Sambodja “Tentu ada, ya omong kosong itu! Hahahahaha!” Satya dan Maneka menjadi sangat bingung. “Apa pun isinya Nak, itu hanya berada dalam kerangka kesepakatan antara para empu, bahwa ilmu yang digunakan bisa dimengerti oleh semua orang yang membacanya. Jadi bukan omong kosong sama sekali. Tapi memang disadari hanya merupakan cara-cara mengarah kepada kenyataan, dan jelas bukan kenyataan itu sendiri. Sekali menggenggam omong kosong itu, ia menyiasati setiap persoalan ilmu pengetahuan.” (Ajidarma, 2004: 203-204)
Melalui Kitab Omong Kosong ini pula Seno mengemukakan dunia yang serba relatif, termasuk di dalamnya tentang kebenaran relatif, kebenaran hanya sebuah dongeng18. Setiap pernyataan yang diucapkan oleh setiap orang akan dianggap sebagai suatu kebenaran sampai dibuktikan pernyataan itu salah atau keliru. Orang yang cenderung berpikir dengan paradigma deduktif tentu akan sulit menerima gagasangagasan Seno yang tertuang di dalam Kitab Omong Kosong. Sebab, paradigma yang dipakai Seno adalah paradigma induktif, pola pikir yang berangkat dari hal-hal yang khusus untuk mencapai suatu kesimpulan umum, bukan sebaliknya yang cenderung menggeneralisasikan dan memaksakan kehendak. Ada yang menarik untuk dipertanyakan, kenapa Seno tidak mengubah karakter Rahwana? Baik dalam Ramayana maupun Kitab Omong Kosong, Rahwana sebagai Raja Alengka tetap berperan sebagai tokoh antagonis. Kenapa Rama diubah karakternya dan Rahwana tidak? Saya melihat dipertahankannya karakter antagonis Rahwana itu sematamata untuk menjaga kelogisan cerita. Pada bagian awal Kitab Omong Kosong, Sinta telah mengeluhkan keraguan Rama akan kesuciannya ketika berada dalam cengkeraman Rahwana. Karena itu, tidak mungkin Rahwana diubah karakternya menjadi orang baik-baik. Kalau Rahwana diubah karakternya menjadi orang alim, misalnya, maka tidak akan ada adegan penculikan dan tidak akan ada pula adegan keluh-kesah Sinta serta pengembaraan Sinta ke hutan. Ornamen yang diberikan Seno dalam Kitab Omong Kosong berkaitan dengan tokoh Rahwana terdapat pada bagian “Gelembung Rahwana”. Bagian ini mengisahkan niat Rahwana yang akan terus menyebarkan virus kejahatan pada umat manusia meskipun dirinya tenggelam di dasar laut dalam keadaan sekarat. Virus berupa
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
15
gelembung-gelembung itu keluar melalui mulut Rahwana. Dan, seperti gas beracun, tidak ada seorang pun yang dapat melihatnya kecuali orang-orang pilihan seperti Hanoman. Iblis tidak pernah mati, kata Seno dalam cerpen “Patung”. Kenapa Seno memberi tempat pada orang-orang tertindas? Ia memberi ruang yang cukup besar kepada Dewi Tara dan terutama Sinta untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya, dirasakannya, bahkan sekadar mengungkapkan uneg-unegnya. Ia mendekonstruksi kitab Ramayana yang selalu menempatkan elite-elite politik sebagai tokoh utama dan memberi tempat yang luas kepada Satya (penggembala) dan Maneka (pelacur)—keduanya korban dari sistem sosial yang dikonstruksi oleh penguasa—untuk menjadi tokoh utama dalam Kitab Omong Kosong. Tokoh-tokoh “kecil” dalam Ramayana mendapat porsi yang cukup besar untuk mengaktualisasikan dirinya, minimal dengan mempertanyakannya pada penulis Ramayana, Walmiki. Hal ini bisa ditafsirkan Seno sangat serius dengan memikirkan posisi orang-orang kecil dalam kehidupan yang dipotret Walmiki dalam Ramayana. Atau, bisa juga, hal itu menjadi semacam satire, yang mungkin mengundang tawa getir pembaca Kitab Omong Kosong. Togog19, yang di dalam benak penikmat wayang di Jawa sebagai tokoh yang bersifat jahat, dimanfaatkan Seno untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai penulis Kitab Omong Kosong. Seno secara tidak langsung telah membongkar mitos tentang Togog atau sekadar “mengacaukan” pola pikir pembacanya agar tidak melihat tokoh-tokoh wayang secara hitam putih. Selain Seno, Yanusa Nugroho20 dan H. Sujiwo Tejo21 juga menyerukan hal yang sama. Ketiga anak muda ini menebar benih-benih kesadaran kepada pembacanya agar kritis terhadap apa pun, bahwa kebenaran itu bukan hanya milik sekelompok orang atau hanya dimonopoli oleh seorang penguasa saja. Kebenaran yang diungkap oleh setiap orang bersifat relatif hingga dibuktikan kesalahannya, sementara kebenaran hakiki, kebenaran esensial, kebenaran mutlak, kebenaran absolut hanya milik Tuhan. Seno juga membongkar mitos tokoh Rama yang diyakini sebagai keturunan Dewa Wisnu. Dalam naskah-naskah lama, terutama setelah masuknya Islam ke Indonesia, juga sering kita temui pernyataan yang menyebutkan bahwa raja-raja Jawa adalah keturunan langsung nabi Adam. Sebenarnya pernyataan itu tidak salah, hanya kurang lengkap. Sebab, bukan hanya raja-raja Jawa saja yang merupakan keturunan nabi
16
Asep Sambodja
Adam, melainkan siapa saja—termasuk orang-orang seperti Satya dan Maneka—juga adalah keturunan nabi Adam. Rama yang digambarkan Seno bukanlah manusia yang sempurna seperti yang ditulis Walmiki atau R.K. Narayan, melainkan manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Secara implisit Seno ingin mengatakan bahwa siapa pun yang berkuasa memiliki kecenderungan seperti Hitler terhadap bangsa Yahudi, seperti George W. Bush terhadap rakyat Afghanistan dan Irak, seperti Slobodan Milosevic terhadap rakyat Bosnia, seperti Soeharto terhadap anggota partai (PKI), seperti siapa pun pemimpin Israel terhadap warga Palestina, dan sebagainya dan seterusnya. Penguasa cenderung menyalahgunakan kekuasaannya dan yang dirugikan selalu saja rakyat biasa. Pemikiran postkolonialisme semacam ini memang selalu mempersoalkan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, antara Barat dan Timur (dunia ketiga), antara colonizer (penjajah, penindas) dan colonized (inlander, bangsa terjajah, tertindas) dan semacamnya. Pesan utama yang hendak disampaikan Seno adalah meruntuhkan oposisi biner yang menempatkan satu pihak lebih dominan terhadap pihak lain, sehingga tercapai hubungan yang setara, yang harmonis. Terkait dengan Kitab Omong Kosong, pembaca disadarkan akan eksistensi tokoh-tokoh yang dianggap kecil, tokoh-tokoh subordinatif. Tidak cukup hanya mengetahui eksistensi tokoh-tokoh itu, tapi juga pikiran dan perasaannya yang demikian mengundang empati bagi siapa pun yang membacanya. Setelah melakukan pembacaan terhadap Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma, saya menilai Seno memiliki wawasan dan pandangan yang luas. Seno merepresentasikan manusia Indonesia yang telah melewati masa Polemik Kebudayaan22 dan mencoba menjalani hidup pada zamannya sendiri, pada global village tanpa batas-batas yang jelas dan pasti. Seno dan juga siapa pun yang memiliki interest pada Indonesia, yang memiliki perhatian terhadap bangsanya, berpotensi untuk menciptakan kebudayaannya sendiri23, yang nantinya memperkaya kebudayaan Indonesia. Hakikat kebudayaan Indonesia itu melekat pada Bhinneka Tunggal Ika24, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Koentjaraningrat (1981) mengatakan, lepas dari soal daerah, maka tiap hasil karya putra Indonesia dari suku bangsa manapun asalnya, pokoknya asal khas dan bermutu saja, sedemikian rupa sehingga sebagian besar orang Indonesia
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
17
mau dan bisa mengidentifikasikan diri dan merasa bangga dengan karya tadi, maka itulah kebudayaan nasional Indonesia. Dalam pandangan Seno, masalah identitas nasional sebenarnya tidak penting. Saya melihatnya demikian: masalah identitas itu menjadi tidak penting manakala konstruksi suatu identitas itu mengakibatkan kerugian atau ketertindasan pada identitas lainnya, yang kini lazim disebut sebagai “liyan”, “yang lain”, otherness. Masalah identitas akan menjadi penting manakala setiap insan bisa menerima perbedaan, keberagaman, yang hingga kini masih merupakan sesuatu yang ideal, kalau tidak boleh dikatakan utopia. Kalau kita renungkan dan hayati bhinneka tunggal ika, dan dalam kehidupan semua orang “jujur sejujurjujurnya”, maka apa pun identitas [kebudayaan] kita, rasanya tidak menjadi persoalan. Masalahnya, seperti dikatakan Seno, “Iblis tidak pernah mati”, karena itu harus terus dilawan. Di luar masalah identitas keindonesiaan, yang penting dilihat dari sebuah karya adalah makna. Kitab omong Kosong sebagai karya sastra tidak bisa dilepaskan dari pengarangnya, Seno, yang merupakan representasi manusia Indonesia yang hidup pada abad ke-21. Melihat tokoh-tokoh yang ditampilkan Seno dalam Kitab Omong Kosong, tidak bisa dipungkiri bahwa ada keterpengaruhan kitab Ramayana dalam proses kreatif Seno. Dalam hal ini bisa ditafsirkan bahwa cerita berikut tokoh-tokoh dalam Ramayana telah menjadi mitos yang “mengganggu” dan merangsang Seno untuk menuliskannya dalam versi yang baru. Bisa juga ditafsirkan Seno menggunakan cerita berikut unsur-unsur atau anasir-anasir dalam Ramayana sebagai alat atau media untuk menyampaikan gagasannya mengenai kenyataan yang dilihat di sekitarnya. Atau, bisa juga kombinasi dari kedua perkiraan itu karena proses penciptaan suatu karya sastra memang kompleks dan tidak melulu hitam putih seperti itu. Makna Kitab Omong Kosong, sebagaimana telah disebutkan di atas, menampilkan suara-suara subaltern, memanusiakan orang-orang yang dianggap otherness, menghilangkan hegemoni dan menumbuhkan harmoni. Makna yang lebih besar lagi adalah melakukan pemertahanan budaya dari penetrasi budaya luar25 terhadap budaya Indonesia dengan berbagai cara. Salah satu strategi yang diperlihatkan Seno adalah proses mimikri (proses melindungi diri dari bahaya, KBBI). Seno membaca dan menyerap kisah Ramayana kemudian mengisi ruh dan jiwa yang lain, yang khas Seno, ke dalam Kitab Omong Kosong. Raganya Ramayana (India), jiwanya Kitab Omong Kosong (Indonesia).
18
Asep Sambodja
Potret manusia dan kebudayaan Indonesia dari dulu (setidaknya sejak abad keempat Masehi) hingga sekarang memang demikian: tidak bisa hidup lepas dari pengaruh bangsa lain, terkadang nasibnya ditentukan oleh kolonialisme yang memperkosanya berganti-ganti. Kitab Omong Kosong adalah contoh bagaimana bangsa Indonesia melakukan mimikri. Konsep mimikri di sini tidak jauh beda dengan sinkretisme yang dilakukan bangsa Indonesia sejak dulu, sejak masuknya Hindu ke Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Kitab Omong Kosong karya Seno merupakan salah satu aset budaya Indonesia yang pengarangnya merepresentasikan manusia Indonesia yang terus bergumul dalam kehidupan bersama dengan bangsa-bangsa dan budayabudaya lain, serta nilai-nilai lain, yang saling terus berinteraksi satu sama lain. Kita tidak hidup di ruang hampa. Manusia dan budaya Indonesia bukanlah sesuatu yang statis, mandeg (stagnant), melainkan sesuatu yang dinamis, terus bergerak, terus berproses, terus berdenyut seperti nadi kita, terus bernapas sebagaimana manusia dan makhluk hidup lain melakukannya setiap saat. Kebudayaan yang demikian itu adalah kebudayaan dalam pengertian sebagai kata kerja, bukan dalam pengertian sebagai kata benda (Sutrisno, 2005: 363). Sebagaimana kelahiran kita di dunia ini yang lebih merupakan suatu ketelanjuran, kelahiran dan kehidupan kita di Indonesia pun merupakan suatu ketelanjuran. Karena itu, kita harus memberi makna pada hidup yang sebentar ini, “membikin abadi” pada “sesuatu yang kelak retak” seperti dikatakan Goenawan Mohamad. Bagaimanapun, Seno telah memberi makna bagi bangsa Indonesia melalui Kitab Omong Kosong.
Catatan 1
Seno Gumira Ajidarma lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Seno adalah lulusan SMA de Brito, Yogyakarta, kemudian ia melanjutkan studinya di Jurusan Film, Institut Kesenian Jakarta. Ia menyelesaikan pendidikan S2 dan S3 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Pada awalnya ia menulis puisi dengan nama Mira Sato. Pada 1976 ia mulai menulis cerpen “Sketsa dalam Satu Hari” yang dimuat di harian Bernas, Yogyakarta. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi Sinema
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
19
Indonesia (1980), redaktur Zaman (1983-1984), dan sejak 1985 bekerja di majalah Jakarta-Jakarta hingga dipecat karena mengungkap fakta tentang Dili, Timor Timur (Ajidarma, 2005: 40). Dengan menggunakan nama Mira Sato, ia sempat menerbitkan kumpulan puisi Granat dan Dinamit (1975, bersama Ajie Sudarmadji Mukhsin), Mati Mati Mati (1975), Bayi Mati (1978), serta Catatan-Catatan Mira Sato (1978). Setelah itu, ia menulis dan menerbitkan buku-bukunya dengan nama asli, seperti kumpulan cerpen Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Negeri Kabut (1996), Jazz, Parfum, dan Insiden (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), Atas Nama Malam (1999), Layar Kata (2000), serta Wisanggeni Sang Buronan (2000). Cerpennya “Pelajaran Mengarang” dinobatkan sebagai cerpen terbaik harian Kompas (1992) dan diterbitkan dalam Pelajaran Mengarang (1993). Sejak itu secara berturut-turut cerpen-cerpennya disertakan dalam Lampor (1994), Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996), AnjingAnjing Menyerbu Kuburan (1997), Derabat (1999), Dua Tengkorak Kepala (2000), Jejak Tanah (2002), dan Waktu Nayla (2003). Cerpennya “Nyanyian Sepanjang Sungai” dipilih untuk antologi berbahasa Inggris, Menagerie. Cerpennya “Segitiga Emas” meraih juara kedua Sayembara Mengarang Cerpen Harian Suara Pembaruan 1990-1991. Pada 1994 ia mendapat hadiah dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI atas kumpulan cerpennya Saksi Mata. Pada 1997 ia meraih hadiah buku terbaik dari Yayasan Buku Utama untuk bukunya Sebuah Pertanyaan untuk Cinta dan mendapat SEA Write Award dari Kerajaan Thailand untuk karyanya Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Pada 2004 ia memenangkan Khatulistiwa Literary Award kategori fiksi melalui karyanya Negeri Senja, yang membuatnya berhak mendapat hadiah uang sebesar Rp50 juta. Tahun berikutnya ia kembali berhasil memenangkan Khatulistiwa Literary Award lewat karyanya Kitab Omong Kosong, sebagai karya prosa terbaik. Penghargaan itu membuatnya berhak mendapatkan hadiah sebesar Rp100 juta. Penulis produktif ini juga telah banyak menghasilkan buku fiksi dan nonfiksi lainnya, seperti Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (1997), Matinya Seorang Penari Telanjang, Sepotong Senja untuk Pacarku, Mengapa Kau Culik Anak Kami?, serta Biola Tak Berdawai (Eneste, 2001, dan berbagai sumber lain).
20
2
Asep Sambodja
`Cerita ini berawal dari upacara Persembahan Kuda yang dilakukan oleh balatentara Ayodya, yang dipimpin Panglima Perang Laksmana, adik Sri Rama. Ayodya adalah sebuah kerajaan yang dipimpin Sri Rama, titisan dewa Wisnu sekaligus putra Prabu Dasarata. Upacara ini pun memiliki latar belakang yang panjang dan memilukan. Alkisah, Rama memiliki seorang istri bernama Dewi Sinta yang ia sunting ketika ia memenangkan sayembara yang diadakan oleh ayah Dewi Sinta, Prabu Janaka, raja sebuah kerajaan bernama Mantilireja. Mereka hidup berdampingan dengan rukun dan bahagia. Pada suatu hari, Dasarata ingin menurunkan takhtanya kepada Rama, namun hal ini ditolak oleh Dewi Kekayi, istri kedua Prabu Dasarata. Ia menuntut janji Dasarata yang akan mengabulkan dua permintaan kepadanya. Dewi Kekayi ingin anaknya, Barata, menjadi pengganti raja dan Rama diasingkan ke hutan Dandaka. Dengan hati sedih, Dasarata terpaksa mengabulkannya. Rama, ditemani Sinta dan Laksmana akhirnya pergi mengembara di hutan Dandaka. Selama perjalanan, mereka menemui banyak peristiwa, salah satunya peristiwa penculikan yang dilakukan oleh Prabu Dasamuka atau Rahwana. Sinta saat itu dibawa kabur oleh Rahwana ke kerajaannya yang bernama Alengka. Di sana, Rahwana membujuk Sinta dengan berbagai cara agar Sinta mau menjadi istrinya. Akan tetapi, dengan kesetiaan dan keteguhan hati yang dimilikinya, Sinta tidak terkecoh sedikit pun. Rama yang saat itu mengetahui dari Jatayu, raja seluruh burung, bahwa Sinta telah diculik oleh Rahwana, segera memerintahkan Hanoman untuk menolong Sinta. Melalui Hanoman, Sinta diminta mengenakan cincin kesetiaan untuk menandai kesetiaannya terhadap Rama. Cincin itu mengisyaratkan bahwa Sinta masih terjaga kesetiaannya. Di sana, Hanoman bertemu dengan Trijata, yang kemudian menjadi istrinya. Hanoman akhirnya menghadap Rahwana dan ditangkap serta hendak dibakar oleh pasukan raksasa yang dipimpinnya. Akan tetapi, berkat kesaktiannya, Hanoman justru dengan mudah mengalihkan panah api yang ditujukan kepadanya dan serta-merta terbakarlah Alengka. Setelah huru-hara itu, Sinta akhirnya bisa menghadap Rama. Namun, sikap Rama masih tidak menunjukkan kepercayaan seutuhnya terhadap kesetiaan dan kesucian yang dimiliki istrinya. Rama berprasangka bahwa cukup lama Sinta berada di genggaman Rahwana dan apakah mungkin tidak terjadi apa-apa antara Rahwana dengan Sinta. Akhirnya, Sinta mengusulkan agar dirinya mengikuti upacara pembakaran atau obongan. Jika memang Sinta telah kehilangan kesuciannya, maka api tersebut akan membakar dirinya dan
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
21
ternyata api itu tidak membakarnya. Namun, tak cukup sampai di situ, Rama bahkan terpengaruh oleh rakyatnya yang masih berpikiran bahwa Sinta telah ternodai kesuciannya. Mendengar hal itu, pergilah Sinta dari istana dengan segala sakit hati dan penderitaan tiada henti yang ia rasakan, padahal saat itu ia sedang mengandung. Di lain pihak, Rahwana yang terus-menerus dikejar oleh anak panah sakti milik Rama bersembunyi di gunung Sondara-Sondari yang ternyata jelmaan dari kedua anaknya yang telah ia bunuh untuk mengelabui Sinta. Kedua gunung ini kemudian menjepit Rahwana dan ia pun terjebak di sana. Akan tetapi, dengan segala kelicikannya, Rahwana berusaha agar kejahatan terus merajalela dengan meniupkan berjuta-juta Gelembung Rahwana yang akan menyesatkan setiap orang yang tidak memiliki iman yang kuat. Kepergian Sinta menimbulkan kegalauan dan keputusasaan serta rasa bersalah pada diri Rama. Raja Ayodya ini kemudian memutuskan untuk mengadakan Persembahan Kuda atas nama perdamaian di seluruh benua. Upacara inilah yang akhirnya meluluhlantakkan negara-negara di seluruh anak benua. Salah satunya kota Mantura, tempat tinggal pemuda bernama Satya. Negara-negara yang terimbas Persembahan Kuda hanyalah negara yang dilalui oleh kuda putih yang berasal dari rajah seorang pelacur bernama Maneka. Persembahan Kuda bukan hanya membunuh manusia tak berdosa saja, tetapi juga memusnahkan perpustakaan, peninggalan kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dari ingatan manusia. Beberapa tahun kemudian, Satya dan Maneka bertemu secara tidak sengaja. Maneka yang saat itu dikejar-kejar oleh orang kampungnya— karena kabur dari rumah bordil akibat rajah kuda putih yang ada di punggungnya—ditemukan oleh Satya di sebuah sungai. Maneka tidak mengerti mengapa rajah itu bisa ada pada dirinya dan mengapa pula penulis cerita Ramayana, Walmiki, menginginkan kuda putih yang digunakan untuk Persembahan Kuda ada pada rajah di tubuhnya. Satya akhirnya mendampingi Maneka mencari Walmiki. Akan tetapi, selama di perjalanan, mereka melihat kemerosotan peradaban akibat Persembahan Kuda. Pembunuhan dan penjarahan terjadi di mana-mana. Sudah tidak ada lagi norma, karena terhapusnya kebudayaan dan musnahnya pengetahuan dari ingatan manusia. Ada sebuah kitab bernama Kitab Omong Kosong yang berisi tentang segala pengetahuan peradaban yang dapat mengembalikan peradaban jauh lebih singkat dibandingkan 300 tahun lamanya yang dibutuhkan manusia untuk mengembalikan peradaban tanpa bantuan/petunjuk kitab itu. Satya dan Maneka, yang awalnya hanya berniat mencari Walmiki, tanpa sengaja
22
Asep Sambodja menemukan peta tempat kitab tersebut tersimpan. Mereka yang peduli pada peradaban akhirnya menunda niat mencari Walmiki dan memutuskan untuk menemukan Kitab Omong Kosong tersebut dengan dibantu wanara agung, Hanoman. Dalam perjalanan tersebut, mereka menghadapi banyak rintangan dan marabahaya. Akan tetapi, hal inilah yang kemudian membuat Satya dan Maneka menjadi sepasang insan yang tidak dapat dipisahkan. Walmiki dipercaya bisa mengubah nasib Maneka karena ia percaya bahwa Walmikilah yang telah menuliskan nasibnya mempunyai rajah kuda yang digunakan dalam Persembahan Kuda di punggungnya. Dalam perjalanan mencari Walmiki, keduanya terlibat dalam petualangan mencari Kitab Omong Kosong yang disimpan Hanoman dan dibagi menjadi lima bagian serta ditempatkan di lima tempat yang berbeda, di dimensi yang berbeda pula. Hanoman tidak bisa lagi menyimpan kitab tersebut karena ia sadar suatu hari nanti ia pasti akan mati. Namun, pada akhirnya mereka berhasil menemukan Walmiki dan Maneka berhasil melepaskan diri dari tulisan Walmiki. Kitab Omong Kosong itu sendiri adalah rangkuman segenap pencapaian nalar manusia dan bisa menghemat waktu untuk mengembalikan peradaban yang telah hancur akibat Persembahan Kuda. Oleh karena itu, kitab ini dicari banyak orang yang mengira dengan memiliki kitab ini mereka bisa mendapatkan kekuasaan. Pencarian kitab ini pun telah memakan banyak korban. Satya dan Maneka yang telah menemukan peta dan Kitab Omong Kosong bagian pertama ini ternyata bisa mengumpulkan kelima bagian kitab tersebut dengan segala kebetulan dan keajaiban. Di dalam novel Kitab Omong Kosong ini diceritakan pula Hanoman mati dalam kesedihannya memikirkan nasib manusia. Namun, lain halnya dengan Satya dan Maneka yang mempunyai akhir yang bahagia. Mereka akhirnya hidup bersama dan bahagia serta memiliki seorang anak. (Evlin dan Siti Syafarina)
3
Makna tekstual adalah makna yang lahir dari hubungan-hubungan di dalam teks sendiri. Sementara makna referensial merupakan makna yang lahir dari hubungan antara teks dan dunia luar teks. Kedua jenis makna itulah yang membedakan sebuah teks kesusastraan dari teks-teks lainnya. (Kleden, 2004: 7-8)
4
Bandingkan dengan pendapat Umar Junus yang mengatakan, sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada (Sambodja, 2005c: 159).
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
23
5
Dalam buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Ignas Kleden menyebutkan tiga kegelisahan penyair (sastrawan) dalam menciptakan karya sastra. Pertama, kegelisahan politik, yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah struktur sosial. Kedua, kegelisahan metafisik, yakni hubungan manusia dengan alam semesta. Ketiga, kegelisahan eksistensial, yang menggambarkan sastrawan menghadapi dan mencoba menyelesaikan persoalan dirinya sendiri. Jauh sebelum ini, dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1982, Kuntowijoyo pernah menyebutkan adanya kegelisahan transendental, yakni hubungan manusia dengan sang pencipta, yang menitikberatkan pada makna di balik kata, sehingga karya sastra yang dihasilkan tidak melulu menonjolkan keindahan, melainkan dapat berarti bagi kemanusiaan dan peradaban. Sastra yang demikian dinamakan sastra transendental oleh Kuntowijoyo. (Kleden, 2004: 265-267; Kuntowijoyo, 1984: 154-158; Sambodja, 2005a: 107)
6
Novel Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma merupakan novel asli terbaik Indonesia versi dewan juri Khatulistiwa Literary Award 2004 yang diketuai Manneke Budiman, yang juga merupakan Wakil Ketua Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Pusat. Selain Seno, penghargaan yang sama juga diberikan kepada Linda Christanty melalui buku kumpulan cerpennya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004). Meskipun berbeda genre, karya Seno dan Linda sama-sama menggunakan teknik bercerita yang sangat imajinatif, yang mengingatkan pembaca pada bentuk dongeng, namun disampaikan secara modern. Keduanya juga mengangkat latar belakang politik yang disajikan secara halus, namun tajam seperti pisau silet. (Sambodja, 2005a: 105)
7
Epik India, Ramayana, sudah dikenal sejak tahun 1500 Sebelum Masehi. Studi terbaru telah mengubah awal dikenalnya kisah itu menjadi sekitar empat abad Sebelum Masehi. Epik ini disusun oleh Walmiki dalam bahasa klasik Sansekerta-India, yang panjangnya 24.000 stanza. (Narayan, 2004: ix)
8
Walmiki dan Hanoman menjadi tokoh penting dalam Kitab Omong Kosong karena berkaitan langsung dengan tokoh utamanya, Satya dan Maneka. Seno juga memasukkan tokoh Roedjito dan Jadug yang kita kenal sebagai seniman tulen ke dalam Kitab Omong Kosong, meskipun hanya sekelebat.
24
Asep Sambodja
9
Saya, Togog, penulis cerita ini, mohon maaf kepada Pembaca yang Budiman, telah menghabiskan waktu Pembaca sekian lama untuk mengikuti cerita ini. Saya, Togog, hanyalah tukang cerita yang bodoh tidak diberkati para dewa. Saya, Togog, hanyalah orang terbuang tidak disayang seperti Semar, memang tidak layak diperhatikan, buruk rupa, terlalu banyak bicara, banyak bohong, berpanjang-panjang mengarang cerita. Mohon maaf, demi langit dan bumi, mohon maaf, telah menulis cerita yang buruk, tidak intelek, tidak mempunyai kedalaman, tidak menghibur, tidak ada gunanya, hanya berkata yang tidak-tidak, mohon maaf sepanjang zaman. Barangkali kesaktian Empu Semar alias Badranaya telah membuat saya begini, beliau tidak mau disaingi, ingin menjadi satu-satunya yang dicintai. Sekali lagi mohon maaf untuk iri hati ini. Saya, Togog, penulis cerita ini, tahu diri betapa cerita ini tidak menarik, dibuat dengan ngawur, tergesa-gesa, terkantuk-kantuk, berlari dari kota ke kota, tanpa pernah mau belajar, ditulis tanpa perenungan, berpura-pura pintar, padahal tidak ada isinya sama sekali. Mohon maaf, sekali lagi, mohon maaf. Kalau saya mati mBilung anak saya jangan ikut disalahkan. Sudah cukup Togog membikin malu keluarga, seisi desa, nusa dan bangsa, karena tidak mampu menulis cerita bermutu. Sangat ruwet susunannya, kacau penggambarannya, jelek bahasanya, miskin khayalannya, tanpa kecerdasan sama sekali, tidak bisa dimengerti apa maunya, tidak mendidik pula. Mohon maaf sudah berani-beraninya menulis cerita, banyak cerdik pandai cerdik cendekia di muka bumi yang mampu menulis lebih dari sekadar cerita. Tolong sampaikan agar cerita ini tidak usah dibaca, karena membuang waktu, pikiran, dan tenaga. Sungguh hanya suatu omong kosong belaka. Mohon maaf sekali lagi untuk permintaan tolong ini. Maaf. Beribu-ribu kali mohon maaf. (Ajidarma, 2004: 618-120)
10
Misalnya terbaca dalam dialog di bawah ini: “Aku ingin bisa menulis, Satya.” “Engkau hanya bisa jadi penulis, setelah bisa jadi pembaca.” “Iya, aku sedang belajar membaca.” “Yang aku maksud itu membaca dunia. Penulis yang tidak mampu membaca dunia, hanya akan jadi penyalin seperti aku. Mengutip sana dan mengutip sini, dan menceritakannya kembali kepada orang.” “Penyalin pun baik, Satya.” “Tetapi penyalin tidak menciptakan dunia baru, seorang penulis memperkaya dunia.” (Ajidarma, 2004: 164) Dalam bukunya yang lain, Seno menganalogikan bahwa lukisan Van Gogh menarik, namun riwayat hidup Van Gogh yang agak gila itu tak kalah menariknya—dan kedua hal itu tidak harus dihubung-hubungkan (Ajidarma, 2005: 33). Tapi, saya justru menghubung-hubungkan karya-karya
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
25
Seno dengan penulisnya. Apa yang disampaikan Seno dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara menunjukkan korelasi antara cerpen-cerpennya dalam Saksi Mata dengan kehidupannya sebagai wartawan Jakarta-Jakarta. “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena jika jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran. Ini membuat saya dengan sengaja mencari segala segi dari Insiden Dili yang bisa menjadi cerpen—sebagai suatu cara untuk melawan.” (Ajidarma, 2005: 40) 11
Tindakan Sang Ayah semacam ini secara tidak langsung mendapat kecaman dari Seno sebagai penulis Kitab Omong Kosong. Hal ini tampak dalam deskripsi mengenai sang Ayah menjelang ajal dengan diksi yang sarkastis. “Konon ayah Maneka itu berbalik dan pergi dengan terseok-seok. Ia telah menjadi pengemis berpenyakit kusta. Di padang pasir luar kota ia diserbu gerombolan ajag dan mati. Tak seorang pun mengenali serpih-serpih mayatnya, yang dihabiskan burung-burung ruak.” (Ajidarma, 2004: 330)
12
Dalam Ramayana versi R.K. Narayan dituliskan, Walmiki si penyair itu menjelaskan kepada Rama sendiri: “Berkat kebesaran namamu, aku menjadi seorang resi, yang mampu melihat masa lalu, masa sekarang, dan masa depan sebagai satu. Dulu aku belum tahu kisahmu. Suatu hari Resi Narada mengunjungiku, aku bertanya kepadanya, ‘Siapakah lelaki sempurna—yang memiliki kekuatan, sadar akan kewajiban, jujur sejujur-jujurnya, teguh melaksanakan sumpah, penuh kasih sayang, terpelajar, menawan hati, percaya diri, kuat, tidak terpengaruh oleh amarah dan iri hati, namun amat mengerikan kalau terbangkitkan amarahnya?’ Narada menjawab, ‘Kombinasi sifat semacam itu dalam diri satu orang biasanya jarang sekali, tetapi seperti itulah orang yang namanya sudah kaukuasai, yakni Rama. Ia lahir dalam ras Ikshwahu, putra Raja Dasarata....’” (Narayan, 2004: vii)
13
Kitab Omong Kosong Bagian Pertama: Dunia Seperti Adanya Dunia. Kitab ini mengemukakan bukti betapa kenyataan adalah sesuatu yang bisa dicerap oleh pancaindra dan bisa dihitung, ditakar, dan dipilah-pilah sampai kepada yang sekecil-kecilnya oleh ketajaman akal. Namun bagaimana yang tidak bisa dicerap dan tidak bisa dihitung? Dia tidak ada, kata Kitab Omong Kosong Bagian Pertama, dan yang tidak ada tidak ambil bagian. (Ajidarma, 2004: 408)
26
Asep Sambodja
14
Kitab Omong Kosong Bagian Dua: Dunia Seperti Dipandang Manusia. Dalam kitab ini dinyatakan bahwa dunia ini ada hanya karena ada manusia yang memandangnya. Jika tidak ada manusia, maka dunia ini juga tidak ada. (Ajidarma, 2004: 458)
15
Kitab Omong Kosong Bagian Tiga: Dunia yang Tidak Ada. Menurut kitab ini, Bagian Satu dan Bagian Dua sama-sama mempersoalkan ada tidaknya dunia dengan mengandaikan adanya satu kebenaran tunggal atas adanya dunia, yang mana oleh Bagian Tiga sudah ditolak kemungkinan untuk mengetahuinya. Dunia ini tidak pernah tampil seutuhnya dengan cara yang sama bagi setiap orang. Sehingga, yang tersisa dari kemungkinan mengetahui adanya dunia adalah dengan memeriksa ketepatan dari cara-cara dunia mengada. Dunia tidak ada, yang ada hanyalah cara-cara tampilnya dunia kepada manusia. Jadi, manusia hanya berurusan dengan gambarangambaran mengenai dunia dan bukan dunia itu sendiri. (Ajidarma, 2004: 521)
16
Kitab Omong Kosong Bagian Empat: Mengadakan Dunia. Kitab ini berbicara tentang bagaimana mengadakan kembali dunia, bagaimanakah caranya dunia bisa ada? Karena manusia selalu memandang masa depan sebagai keberadaan terpenting dalam hidupnya, maka adalah menjadi tugas manusia agar kehidupan ini mempunyai makna, dengan cara yang tidak bisa lain adalah membuat dunia ini kembali ada....Bagaimanakah kehidupan ini bisa berguna? Bagaimanakah dunia ini bisa ada? Kalau tidak berguna, tidak ada dunia. “Berguna atau tidak berguna, itulah soalnya,” ujar Satya. (Ajidarma, 2004: 582-583)
17
Kitab Omong Kosong Bagian Lima: Kitab Keheningan. Huruf dan lembarannya sejenis dengan empat bagian yang lain, juga menggunakan daun lontar, bahkan pengikat lembaran-lembaran ini juga sama. Bahannya sejenis dan dibuat dalam waktu yang sama dengan empat bagian yang lain, tapi tidak ada tulisannya. Kekosongan ini harus kau baca. (Ajidarma, 2004: 611)
18
“Hmmm. Ini sebuah risalah tentang semesta,” katanya. “Apa katanya?” Satya pun, setelah melihat-lihat, membacakan suatu bagian. “…kalau kita meluncur di ruang angkasa dengan kecepatan cahaya matahari, ruang angkasa akan mengerut sampai ke titik nol, sedangkan waktu akan merentang luas menjadi kekekalan; lalu yang kita namakan
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
27
benda, kalau memang ada, maka benda itu akan membesar tanpa ada batasnya….” [dipinjam dari teori relativitas Einstein]…. “Tentu dia pintar sekali, berhasilkah dia?” “Kita tidak akan pernah tahu sampai dibuktikan keliru.” “Dibuktikan keliru? Mengapa tidak dibuktikan benar saja?” “Karena kebenaran hanya sebuah dongeng, kebenaran itu tidak bisa dipegang dan hanya bisa dikira-kira, dengan cara-cara yang disetujui bersama, tapi tetap saja kira-kira, dan karena kira-kira maka sifatnya hanya untuk sementara.” “Kalau semuanya keliru?” “Semua pasti keliru, karena pengetahuan manusia tumbuh terus, tetapi tidak bisa melampaui cakrawala pengetahuan di hadapannya.” “Jadi semua hal yang kita ketahui ini omong kosong saja?” “Sebetulnya memang omong kosong saja, tapi manusia berusaha membuat segala sesuatu bermakna.” “Supaya apa?” “Supaya tidak merasa sia-sia.” “Misalnya?” “Kelahiran kita.” (Ajidarma, 2004: 165-167) 19
`Dari beberapa kitab disebutkan, bahwa Sanghyang Antaga (Togog) adalah putra Sanghyang Tunggal. Kahyangannya di Sataluri. Serat Purwacarita menerangkan: Sanghyang Tunggal dengan Dewi Rekatawati, putri Begawan Rekatatama, Raja Samodralaya, melahirkan telur yang kemudian menjadi tiga anak bayi yang diberi nama masing-masing dengan: (1) Sanghyang Antaga (terjadi dari kulit telur), (2) Sanghyang Ismaya (terjadi dari putih telur), dan (3) Sanghyang Manikmaya (terjadi dari kuning telur). Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya mempunyai persamaan maksud dan cita-cita menjadi raja. Untuk adilnya, yang harus bertakhta adalah yang tertua. Hal ini menjadikan perselisihan antara keduanya karena masing-masing menganggap sebagai yang tertua. Kemudian mereka bertanding kesaktian dengan menelan gunung; siapa yang dapat menelannya dan memuntahkan kembali akan menjadi bukti dialah yang tertua dan akan berhak menjadi raja Tribuwana. Sanghyang Antaga mendahului menelan gunung, tetapi sampai mulutnya robek tidak dapat melaksanakan hal itu. Sanghyang Ismaya kemudian mendapat gilirannya untuk melakukannya. Gunung dapat ditelannya, tetapi tidak dapat dimuntahkannya kembali. Kemudian datanglah Sanghyang Tunggal. Ia sangat murka terhadap putra-putranya itu;
28
Asep Sambodja Sanghyang Antaga diperintahkan turun ke Arcapada untuk membina dan memberi tuntunan para angkara serta diberi nama lain, yaitu Togog. Sedang Sanghyang Ismaya diperintahkan pula ke Arcapada untuk membina keturunan/trah (Jawa) witaradya, dan diberi sebutan serta nama lain, yaitu Semar. Adapun Sanghyang Manikmaya ditetapkan menjadi raja Tribuwana dan bersemayam di Gunung Trengguru. (Suwandono, 1991: 47-48)
20
Misalnya dalam cerpen “Segulung Cerita Tua” (Nugroho, 2002: 75-83).
21
Dalang edan ini melihat ada monopoli interpretasi pada zaman Orde Baru dengan menganggap pemerintah adalah pandawa dan oposisi adalah kurawa. Semar yang berjiwa kerakyatan pun mesti jadi abdi pandawa, rakyat jadi abdi pemerintah. “Padahal, Semar itu concern-nya pada kebenaran, dan kebenaran itu bukan monopoli pandawa,” kata Tejo (Sambodja, 1998: 3839).
22
Serangkaian polemik yang terjadi pada 1930-an di kalangan cendekiawan dan budayawan Indonesia. Polemik ini bermula dari tulisan Sutan Takdir Alisjahbana, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: IndonesiaPraeIndonesia” (Pujangga Baru, 2 Agustus 1935). Majalah Pujangga Baru itu sendiri pertama kali terbit pada 1933. Pada dasarnya, Takdir membedakan “zaman prae-Indonesia” (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan “zaman Indonesia” (yang dimulai pada awal abad ke-20). Kemudian Takdir menjabarkan, “Zaman prae-Indonesia, zaman jahiliyah Indonesia itu setinggi-tingginya dapat menegaskan pemandangan dan pengertian kita tentang lahirnya zaman Indonesia, tetapi jangan sekali-kali zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang biasa dari padanya. Sebab dalam isinya dan dalam bentuknya keduanya berbeda.” Indonesia yang dicitacitakan oleh generasi baru bukan sambungan Mataram, bukan sambungan kerajaan Minangkabau atau Banjarmasin. Menurut susunan pikiran ini, maka kebudayaan Indonesia pun tiadalah mungkin sambungan kebudayaan Jawa, sambungan Melayu, sambungan kebudayaan Sunda atau kebudayaan yang lain. Pada pikiran Takdir, pandu-pandu (pelaku utama) kebudayaan Indonesia harus bebas benar berdiri dari kebudayaan prae-Indonesia. Perkataan ‘bebas’ bukan berarti tidak tahu seluk-beluknya, perkataan ‘bebas’ hanya berarti tidak terikat. Takdir juga menulis, “Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.” Tulisan Takdir ini
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
29
mendapat tanggapan dari Sanusi Pane dan Poerbatjaraka. Dalam tulisannya yang berjudul “Persatuan Indonesia” (Suara Umum, 4 September 1935), Sanusi Pane menulis, “Zaman sekarang ialah terusan zaman dahulu. Haluan yang sempurna ialah menyatakan Faust (Barat) dan Arjuna (Timur), memesrakan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme.” Dalam tulisan yang berjudul “Sambungan Zaman”, Poerbatjaraka mengatakan, “Pada perasaan saya, yang manfaat buat tanah dan bangsa kita ini ialah mengetahui jalan sejarah dari dulu-dulu sampai sekarang ini. Dengan pengetahuan ini kita sebolehbolehnya berusahakan mengatur hari yang akan datang. Dengan pendek kata, janganlah mabuk kebudayaan kuno, tetapi jangan mabuk kebaratan juga. Ketahuilah dua-duanya, pilihlah mana yang baik dari keduanya itu, supaya kita bisa memakainya dengan selamat di dalam hari yang akan datang kelak.” Selanjutnya terjadi polemik mengenai dunia pendidikan yang melibatkan sejumlah besar tokoh: Sutan Takdir Alisjahbana, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara. Tulisan mereka kemudian yang dihimpun Achdiat Kartamihardja dalam buku Polemik Kebudayaan (Eneste, 2001: 181-182; Kartamihardja, 1998). Claire Holt menilai peristiwa itu sebagai perdebatan besar antara Sutan Takdir Alisjahbana yang menyaran ke Barat dan Sanusi Pane yang menyarankan keseimbangan Barat dan Timur, “Faust” dan “Arjuna”, sebagai proses yang dilakukan seniman dan intelektual Indonesia untuk mencari arah kebudayaan Indonesia (Holt, 2000: 313). 23
Cendekiawan muda Nirwan Dewanto mengatakan bahwa selama ini yang berpolemik mengenai kebudayaan Indonesia hanya elite-elitenya saja. Padahal, katanya, setiap manusia berpotensi untuk menciptakan kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan [Indonesia] kita ibarat hutan tropik: kita tak dapat mengenalnya hanya dengan melintas di atasnya dengan pesawat terbang. Kita hanya bisa melihat kekayaan dan kekuatan spesiesspesiesnya hanya dengan masuk ke dalamnya. Di sana, setiap spesies mempunyai evolusi dan metabolisme, tetapi selalu dalam hubungannya dengan ekosistem hutan torpik. (Dewanto, 1996: 20-21)
24
Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beragam, di mana antara satu daerah bahkan satu suku dengan suku (etnik) lainnya memiliki kekhasannya masing-masing. Keberagaman ini direkat dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (meskipun berbeda-beda, tapi tetap satu jua) yang sangat
30
Asep Sambodja menghargai pluralisme budaya dan agama. Semboyan atau motto bangsa Indonesia ini bersumber dari kitab kakawin Sutasoma gubahan Empu Tantular yang hidup pada pertengahan abad ke-14, di zaman kerajaan Majapahit, saat dipimpin Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara). Kakawin Sutasoma yang terbit antara 1365-1389 itu sendiri bercerita tentang seorang pangeran—yang merupakan penjelmaan sang Buddha, sepadan dengan Kresna yang merupakan penjelmaan Wisnu—yang memilih jalan hidup spiritual dengan bertapa daripada menggantikan posisi ayahnya, Sri Mahaketu, sebagai Raja Hastina. Dalam pengembaraannya menuju tempat pertapaan itu, banyak rintangan dan godaan yang menghalangi langkahnya. Tetapi, Sutasoma selalu menghadapinya dengan tanpa kekerasan, bahkan dengan penyerahan diri yang mutlak, hingga ia rela mati sekalipun. Namun, dewa Indra selalu menghidupkannya kembali setiap ia menyerahkan nyawanya kepada orang lain. Ketika Sutasoma dihadapkan pada pilihan antara Buddha Mahayana dengan Siwaisme, ia mengatakan bahwa perbedaan kedua aliran itu hanya pada praktiknya saja, tetapi tujuannya sama. Dalam kakawin Sutasoma itu diilustrasikan pula tentang cara kedua aliran itu hidup berdampingan, saling mempengaruhi, serta menjadi titik identik dalam pandangan pokoknya (Zoetmulder, 1985: 410-439). Kebhineka-tunggal-ikaan seperti inilah yang merasuk dalam jiwa bangsa Indonesia. Meskipun berbeda, tujuannya satu. Dengan kata lain, tidak ada dominasi satu agama terhadap agama lainnya. Demikian pula tidak ada dominasi satu budaya daerah terhadap budaya daerah lainnya. Semua sederajat dan saling memperkaya satu sama lain.
25
Pengaruh agama dan budaya dari luar sudah terjadi berabad-abad lamanya, yang garis besarnya dapat dilihat dalam kronologi berikut ini: Abad ke-4 M: Masuknya Pengaruh Kebudayaan [dan Agama] Hindu dan Budha [Denys Lombard (2005) menyebut masuknya pengaruh Hindu dan Budha sebagai masa Indianisasi, artinya masuknya pengaruh India ke Indonesia]. Adanya pengaruh kebudayaan Hindu bisa dilihat dari ditemukannya prasasti-prasasti di Kalimantan Timur dan Jawa Barat yang menggunakan huruf Palawa dan berbahasa Sansekerta. Sedangkan pengaruh agama Budha bisa dilihat dari berita-berita yang dicatat pendeta Budha dari Tiongkok, I-tsing, mengenai kehidupan di Jawa Tengah dan Sumatra pada abad ke-7. Masuknya pengaruh kebudayaan Hindu ini melalui hubungan dagang antara kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia dengan pedagang Gujarat, India Selatan. Raja-raja tersebut mengadopsi konsep Hindu dan belajar dari
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
31
ahli atau kaum brahmana yang beragama Hindu, yakni mengenai struktur dan bentuk negara, upacara keagamaan, dan upacara kenegaraan. Menurut Koentjaraningrat (1988: 21), agama dan kebudayaan Hindu itu sangat mempengaruhi kehidupan di kalangan elite atau kalangan istana. Terutama sekali konsep susunan negara yang hirarkis, berkasta atau berkelas-kelas, bahwa raja merupakan keturunan dewa, dengan demikian dia seorang yang keramat. Dia sekaligus menjadi pusat dari alam semesta. Penjelasan mengenai hal ini bisa dibaca melalui karya-karya sastra yang ditulis pada abad ke-14, seperti Negarakrtagama (1365) karya Empu Prapanca, yang berisi sejarah kebudayaan Jawa Kuno di abad ke-14 di masa pemerintahan Hayam Wuruk di Kerajaan Majapahit. Karya itu tidak saja berisi sejarah, tetapi juga mitos-mitos yang dimaksudkan untuk mengukuhkan kedudukan raja sebagai penguasa. Selain itu, hanya “negara-negara” yang berada di pedalaman atau yang berbudaya agrarislah yang paling banyak menerima pengaruh Hindu/Budha tersebut. Sedangkan “negara-negara” pesisir di wilayah Indonesia, yang sebagian besar hidup dari perdagangan, tidak terpengaruh dengan sistem negara seperti itu. Dalam buku Chu-fan-chi (1225) karya Chau-Ju-Kua disebutkan bahwa pada sekitar abad ke-12 di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang terkenal, yaitu Kerajaan Kadiri (yang menguasai wilayah timur: Bali, Sumba, Maluku, Irian Jaya, Sulawesi, Timor, Dieng, Tumapel) dan Kerajaan Sriwijaya (yang menguasai wilayah barat: Pahang, Batak, Kelantan, Trengganu, Semenanjung Malaka, Palembang, dan Sunda). Dalam buku itu juga disebutkan bahwa pada masa itu ada dua agama yang dianut oleh penduduk setempat, yakni agama Budha dan agama Hindu (Soekmono, 1988: 60). Baik di wilayah timur maupun barat, yang dikuasai oleh kedua kerajaan besar tersebut, kemudian ada yang memisahkan diri. Tumapel yang semula menjadi bagian dari Kerajaan Kadiri (1042-1222) akhirnya memisahkan diri menjadi kerajaan sendiri dengan nama Kerajaan Singhasari (1222-1292), dengan raja pertamanya Ken Arok. Keturunan Ken Arok ini kemudian saling berebut kekuasaan, sehingga ada yang memisahkan diri lagi dan mendirikan Kerajaan Majapahit (1293-1528), dengan raja pertamanya Raden Wijaya. Kerajaan Majapahit terjadi di masa kepemimpinan Rajasanagara (Hayam Wuruk) dengan patihnya Gajah Mada pada abad ke14 (1350-1389). Selain ekspansi wilayah hingga ke Vietnam dengan kekuatan maritim, juga terjadi surplus pertanian. Sementara jatuhnya kerajaan Majapahit akibat perebutan kekuasaan sejak 1518 di dalam istana bersamaan dengan maraknya Islam di Indonesia.
32
Asep Sambodja Abad ke-13: Masuknya Pengaruh Kebudayaan [dan agama] Islam [Denys Lombart menyebut masa ini dengan istilah Islamisasi, yakni masuknya pengaruh Islam ke Indonesia]. Data mengenai masuknya Islam ke Indonesia diperoleh dari catatan seorang Italia, Marco Polo pada 1292. Pada akhir abad ke-13 itu, dia sudah melihat adanya penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh pedagang Gujarat India di daerah Peurelak, Aceh Utara. Tanda-tanda keislaman lainnya di wilayah itu adalah ditemukannya makam-makam raja Islam seperti Sultan Malik al-Saleh yang meninggal pada 1297. Tampak bahwa agama Islam yang masuk pertama kali ke Indonesia bukanlah agama Islam dari sumber aslinya, yakni Mekkah dan Madinah, melainkan dari Parsi dan Gujarat, India. Dengan demikian, agama Islam yang masuk ke Indonesia awalnya banyak mengandung unsur mistik. Ini antara lain dapat diketahui dari karya-karya Hamzah Fansuri di Sumatra dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar di Jawa. Adapun Islam yang murni, yang berasal dari Mekkah dan Madinah, baru masuk ke Indonesia setelah banyak orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Ketika Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran pada abad ke-13, muncul kerajaan-kerajaan baru di Jawa Timur. Namun, setelah kerajaankerajaan di Jawa Timur mengalami kemunduran pada abad ke-15, maka terjadi kekosongan kekuasaan. Daerah-daerah di pesisir yang merupakan daerah perdagangan lebih cepat menyerap pengaruh agama Islam ini, seperti di Melaka (Semenanjung Melayu), Aceh, Banten (Jawa Barat), Demak (Jawa Tengah), dan Goa (Sulawesi Selatan). Daerah-daerah yang belum terpengaruh agama Hindu seperti Sumatra Timur, Sumatra Barat, dan pantai Kalaimantan pun terpengaruh dengan masuknya Islam. Sementara Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kuat pengaruh Hindu-nya bisa menyerap agama Islam dengan berbagai perubahan, karena ada sinkretisme antara agama Islam dengan kebudayaan Jawa. “Agama” baru hasil sinkretisme itu adalah kejawen atau “agama Jawa”. Dalam perkembangannya, berkat kerja para wali, Jawa Timur bisa didominasi oleh kalangan santri. Sedangkan di Yogyakarta, Solo, dan Madiun, santri masih tetap minoritas (Koentjaraningrat, 1988). Abad ke-16: Masuknya Pengaruh Kebudyaan Eropa/Barat [dan agama Katolik dan Kristen]. [Denys Lombart menyebut periode ini sebagai periode Westernisasi atau Oksidentalisasi atau Pembaratan, yakni masuknya pengaruh kebudayaan Barat ke Indonesia]. Masuknya pengaruh kebudayaan Eropa ke Indonesia diawali dengan masuknya Portugis ke Maluku yang kaya akan rempah-rempah, setelah menaklukkan Malaka pada 1511.
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
33
Semenanjung Malaka merupakan tempat yang sangat strategis sebagai pintu masuk ke Nusantara [Indonesia] dari arah barat. Kedatangan bangsa Portugis ini kemudian diikuti oleh bangsa imperialis Eropa lainnya, seperti Inggris, Spanyol, dan Belanda, dengan perusahaan dagangnya yang terkenal, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC yang menerapkan sistem atau politik perdagangan monopoli menduduki tempat-tempat yang strategis di wilayah Maluku, yakni di Banda, Ambon, dan Seram. Pada 1619 VOC mendirikan benteng yang sangat kuat di Batavia (Jakarta) yang kemudian dengan persenjataan yang modern mereka menaklukkan Banten, sehingga memperlancar arus pelayaran dari Maluku ke Malaka. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 1641, Malaka berhasil dikuasai Belanda. Dijadikannya Batavia sebagai pusat pengendalian operasi perdagangan VOC, secara tidak langsung memperkuat posisi Jawa sebagai sentral, yang memunculkan istilah Jawasentris hingga sekarang. Pada abad ke-18, Mataram (yang merupakan kerajaan Islam) dikalahkan oleh Belanda. Dengan disepakatinya Perjanjian Gianti pada 1755, maka Kerajaan Mataram dipecah menjadi tiga kerajaan kecil. Politik devide et impera yang dipraktikkan Belanda mampu melumpuhkan kerajaan-kerajaan di Indonesia yang menentang Belanda. Pada 1799 VOC bangkrut dan “kekayaannya” diambil alih oleh pemerintahan Kerajaan Belanda. Pada abad ke-17 dan 18 bangsa Cina (Tionghoa) juga banyak yang masuk ke wilayah Indonesia. Oleh kolonial Belanda, mereka mendapat “keistimewaan” memegang urusan perdagangan sebagai penyalur atau distributor yang langsung berhubungan dengan penduduk pribumi. Bisa dipahami kenapa perekonomian Indonesia sekarang lebih banyak dikendalikan oleh keturunan Cina, karena selain faktor historis seperti itu, di zaman pemerintahan Soeharto (Orde Baru), warga keturunan Cina dilarang berpolitik praktis dan diberi keleluasaan bergerak di bidang ekonomi. Akibat dari sistem yang tidak sehat seperti inilah yang memicu berbagai kerusuhan anti-Cina di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Solo, Jawa Tengah. Beberapa intelektual Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan Barat melihat ada dampak positif dengan masuknya bangsa Eropa ke Indonesia, terutama di bidang pendidikan dan agama. Masuknya bangsa Eropa ke Indonesia berbarengan dengan masuknya agama Katolik dan Kristen di Indonesia, seperti di Maluku Tengah, Maluku Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan pedalaman Kalimantan. Ini berkat adanya Politik Etik yang disuarakan C.Th. Van Deventer pada 1899, yang mengatakan, “Negeri Belanda
34
Asep Sambodja berutang kepada bangsa Indonesia semua kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka.” Sedangkan di bidang pendidikan, pada 1905, hanya ada 36 murid yang duduk di sekolah menengah Belanda. Ini dikarenakan pemerintah kolonial Belanda masih diskriminatif dalam bidang pendidikan. Mereka membedakan sekolah untuk orang Belanda, keturunan Eropa, keturunan Asia (Arab dan Cina), kelas priyayi atau kaum ningrat, dan yang paling rendah adalah sekolah untuk rakyat pribumi [yang hanya boleh sekolah di Sekolah Rakyat/Sekolah Ongko Loro, yakni sekolah dasar yang hanya sampai kelas dua]. Masuk dalam kategori terakhir adalah para santri yang belajar di pondok pesantren. Dan, pada 1940, baru ada tiga universitas di Indonesia. Inilah yang menyebabkan Indonesia sangat tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. (Madjid, 2003: 23-33)
Daftar Pustaka Abrams. M.H. 1953. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Oxford University Press. Ajidarma, Seno Gumira. 1994. Saksi Mata. Yogyakarta: Bentang. ———. 2000. “Keindonesiaan”, dalam Korrie Layun Rampan (ed.). Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. ———. 2003a. Negeri Senja. Jakarta: KPG. ———. 2003b. “Spektrum Cerpen Kompas 1970-1980”, dalam Dua Kelamin Bagi Midin. Jakarta: Kompas. ———. 2004. Kitab Omong Kosong. Yogyakarta: Bentang. ———. 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang. Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi: [Re]Interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995. Terj. Bakdi Soemanto. Magelang: Indonesia Tera. Bodden, Michael. 2005. “Zaman Akhir Orde Baru dan Perubahan Suara Lokal dalam Sastra Indonesia”, dalam Susastra 1. Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
35
Budianta, Melani. 2005. “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra”, makalah dalam Seminar Kritik Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. Dahana, Radhar Panca. 2001. Menjadi Manusia Indonesia. Yogyakarta: LKIS. Dewanto, Nirwan. 1996. Senjakala Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang. Eneste, Pamusuk. 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas. Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942. Jakarta: Girimukti Pasaka. ———. 2000. Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu. Foulcher, Keith dan Tony Day (ed.). 2006. Clearing A Space: Kritik Pascakolonial tentang Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta. Heryanto, Ariel. 2000. Perlawanan dalam Kepatuhan. Bandung: Mizan. Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. R.M. Soedarsono. Bandung: MSPI. Ikram, Achadiati. 1980. Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur. Jakarta: UI Press. Kartamihardja, Achdiat. 1998. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka. Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia. Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Grafiti dan Freedom Institute. Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. _____. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: KPG.
36
Asep Sambodja
Kuntowijoyo. 1984. “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Transendental”, dalam Duapuluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. Lombard, Denys. 1993. Nusa Jawa: Silang Budaya 1-3. Jakarta: Gramedia. Madjid, Nurcholish. 2003. Indonesia Kita. Jakarta: Universitas Paramadina. Mangunwijaya, Y.B. 1999. “Menghadapi Budaya Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein”, dalam Agus R. Sarjono (ed.). Pembebasan BudayaBudaya Kita. Jakarta: Gramedia. Multatuli. 1972. Max Havelaar. Jakarta: Djambatan. Narayan, R.K. 204. Ramayana. Terj. Nin Bakdi Soemanto. Yogyakarta: Bentang. Nugroho, Yanusa. 2002. Segulung Cerita Tua. Jakarta: Kompas. Ricklefs. M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi. Rosidi, Ajip. 1995. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Said, Edward W. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemoni Barat. Bandung: Mizan. Sambodja, Asep. 1995. “Tentang Timor Timur: Membaca Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma”, dalam Sinar, 13 Mei. ———. 2005a. “Dongeng Politik dalam Negeri Senja Seno Gumira Ajidarma”, dalam Wacana, Vol. 7 No. 1, April. ———. 2005b. “Linda Christanty, Kuda Terbang Maria Pinto, dan Perlawanan terhadap Militerisme Orde Baru”, makalah Seminar Gelar Sastra Dunia pada 19-20 Juli di FIB UI, Depok. ———. 2005c.”Dua ‘Kiblat’ dalam Sastra Indonesia”, dalam Totok Suhardiyanto, Untung Yuwono, dan Syahrial (ed.). Dari Kampus ke Kamus. Depok: Program Studi Indonesia FIB UI. ———. 2006. “Remy Sylado, Kembang Jepun, dan Sikap Pengarang terhadap Kolonialisme Jepang”, makalah International Seminar Redefining The Concept of World Literature, 19-20 Juli, di FIB UI, Depok.
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita
37
Sambodja, Asep dan Yadi Sastro. 1998. “Hadi Sujiwo Tejo Mengubah Kesadaran Masyarakat Jawa”, dalam Ummat, 12 Oktober. Sani, Asrul. 1997. Surat-Surat Kepercayaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Simatupang, Landung. 2001. “Cara Ngomong dan Komitmen Tematik”, dalam Seno Gumira Ajidarma. Mengapa Kau Culik Anak Kami?: Tiga Drama Kekerasan Politik. Yogyakarta: Galang Press. Soekmono, R. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1-3. Yogyakarta: Kanisius. Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press. ———. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sunardi D.M. 2002. Ramayana. Jakarta: Balai Pustaka. Sutrisno, Mudji. 2004. “Menafsir Keindonesiaan”, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.). Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Suwandono dkk (penyusun). 1991. Ensiklopedi Wayang Purwo. Jakarta: Balai Pustaka. Teeuw, A. 1993. Khazanah Sastra Indonesia: Beberapa Masalah Penelitian dan Penyebarluasannya. Jakarta: Balai Pustaka. ———. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya. ———. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya. Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Tempo Doeloe: Antologi Sastra PraIndonesia. Jakarta: Lentera Dipantara. Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Bagaimana Caranya Melamar Sugesti? Ditulis oleh Muhammad Rain Rabu, 08 September 2010 01:24
Sebuah Tanya yang Kerap Muncul bagi Seorang Pencipta Puisi Sugesti jika dirunut pengertiannya berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta (1999:970) diartikan sebagai: anjuran; saran dan disebut juga pengaruh dan sebagainya yang dapat menggerakkan hati orang lain. Pengaruh ini dibahas dalam hal menciptakan karya sastra puisi. Sugesti yang baik dan memadai akan mampu menggerakkan hati pembaca puisi yang ditulis seseorang, juga dapat merubah bahkan bermanfaat untuk menciptakan pemahaman yang sama, perasaan yang sama. Lalu sugesti yang berhasil tersebut mendasari munculnya penghargaan tinggi terhadap penulis puisi dalam mengkomunikasikan seni puisi sehingga berakibat terjadinya proses penyadaran tertentu dari hasil membaca puisi.
Menulis puisi bagi siapa pun, pada awalnya bertujuan untuk melepaskan penat pikiran. Kekuatan berpikir seseorang bergantung dan sejalan beriringan dengan jauhnya perjalanan hidup yang dialaminya sendiri. Keluasan pikiran ikut membangun kedewasaan dan penghargaan terhadap nilai-nilai kehidupan yang dicermati seseorang. Namun untuk memperoleh hikmah dari adanya pemikiran bagi kemaslahatan umat manusia, seorang penulis sastra puisi tidak boleh berhenti dalam berkarya. Kreativitas harus tetap mampu dimunculkan tanpa dibatasi keadaan lingkungan, suasana apalagi kurs mata uang.
Kecamuk ide-ide hasil buah pikir seseorang penulis puisi selanjutnya diramu menjadi sebentuk laporan (puisi). Bentuk puisi tidak boleh hanya bersifat individualistis belaka namun ranah humanitas yang lebih luas dan universal amat penting menjadi pertimbangan dalam setiap kesempatan berkarya seorang penulis puisi. Pembaca perlu diantar untuk terus dapat melihat dua rangkum dunia sekaligus yakni dunia konkret (realitas) dan dunia abstrak (rekaan).
Kedua jenis dunia tersebut acapkali hadir secara bersamaan. Bagi penulis puisi itu sendiri kedua dunia ini dapat diistilahkan dengan ‘bertukar tangkap dengan lepas’. Maksudnya apa yang diperoleh dan ditangkap penulis terhadap sesuatu yang mendasari hadirnya imajinatif (Usnaya) yang akan hanya ada dalam dunia miliknya pribadi itu selanjutnya ‘sesuatu’ tersebut ia jaring/saring menjadi karya puisi. Setelah berhasil terciptanya sebuah puisi selanjutnya dengan cara yang amat terbuka juga ‘lepas’, para pembaca puisinya dapat secara bebas untuk menikmati sekaligus memaknai apa yang telah dihasilkan dari teks sastra tersebut.
Sugesti sering muncul secara perdana dalam pikiran penulis puisi. Apa yang ia cermati secara beragam imaji (misalnya: imaji visual, imaji auditif dll. ) dari suatu perlambangan tertentu yang diperolehnya baik dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat difaktualkan maupun berdasarkan simbol-simbol dunia mimpi sekalipun yang telah dialami oleh penulis puisi
1/9
Bagaimana Caranya Melamar Sugesti? Ditulis oleh Muhammad Rain Rabu, 08 September 2010 01:24
tersebut.
Dalam sebuah puisi, kita tidak hanya merasakan keindahan kata dan larik-lariknya, tetapi kita juga turut merasakan sugesti terhadap sesuatu hal yang ingin disampaikan oleh penulis puisi itu. Dengan kata lain, ada sesuatu yang membuat pembacanya ikut ambil bagian dalam merasakan sesuatu yang digambarkan penulis puisi. Sugesti erat pula kaitannya dengan tema sebuah puisi, sebab tema puisi itu sendiri adalah suatu gagasan yang hendak dikemukakan penulis harus mampu menyatukan semua komponen yang melingkari sebuah tema tertentu sebagaimana yang dikehendaki penulis puisi.
Membaca puisi diartikan pula oleh Teeuw dalam kata pengantar bukunya Tergantung pada Kata (1983:5) bahwa membaca puisi berarti bergulat terus menerus untuk merebut makna sajak yang disajikan oleh sang penyair. Sajak yang baik merupakan bangunan bahasa yang menyeluruh dan otonom, hasil ciptaan seorang manusia dengan segala pengalaman dan suka-dukanya, oleh karena itu sajak memerlukan dan berhak untuk dicurahi daya upaya yang total pula dari pihak pembaca yang bertanggung jawab sebagai pemberi makna sajak itu.
Amat mustahil suatu karya puisi mampu mensugesti sehingga dapat memberi pengaruh besar dalam memacu pemaknaan dari dalam diri pembacanya jika tidak ada upaya yang luar biasa pula dari si penulis puisi itu sendiri. Sebagaimana yang dikupas Teeuw terhadap sepuluhan sajak Indonesia dalam buku tersebut di atas, kita perlu menyadari apa-apa yang diberikan oleh penulis puisi kepada pembacanya, hal itu pulalah yang akan diperoleh saat puisi itu dibacakan.
Sugesti secara gamblang dapat dicermati pada jenis puisi auditorium atau sering dikenal dengan jenis puisi lugas. Akibat kelugasan inilah, puisi-puisi jenis ini sering dipilih untuk dibacakan dalam perlombaan baca puisi. Kelugasan yang dikandung dari makna puisi tersebut memudahkan penyaluran daya sugesti kepada para pendengar yang sering dihadirkan dalam ruang-ruang publik. Sugesti menjadi penting dalam puisi lugas terutama untuk mempersingkat waktu dalam upaya mengkomunikasikan ide-ide dari bait-bait puisi yang dibacakan sehingga pendengar dapat memahami makna yang disugestikan penulis puisi secara langsung. Namun dalam dunia puisi yang lebih luas, penciptaan sugesti adalah upaya pokok yang mampu menghasilkan kekalnya makna puisi di ingatan pembaca karya puisi tersebut.
Pada jenis puisi liris (nonlugas) atau jenis puisi kias, konsep sugesti dalam penulisan puisi ini jauh berbeda dibanding jenis puisi lugas (auditorium). Untuk memperoleh daya ungkap yang mensugesti tersebut, seorang pembaca perlu melakukan repetisi (pengulangan) baca terus
2/9
Bagaimana Caranya Melamar Sugesti? Ditulis oleh Muhammad Rain Rabu, 08 September 2010 01:24
menerus terhadap puisi yang ia cermati. Hal ini bahkan tidak boleh memunculkan kejenuhan sama sekali pada diri pembaca puisi dan menjadi tugas tersendiri bagi penulis puisi jenis ini dalam mengupayakan kualitas sugestif tersebut. Bahkan semakin sering puisi tersebut dibaca berulang, lagi dan lagi justru menambah tingkat keindahan karya puisi tersebut, bukan sebaliknya. Sugesti yang demikian inilah yang mampu menghantarkan seorang penulis puisi menjadi penyair sastra puisi, akibat kekuatan diksi, larik maupun bait puisi yang berhasil diciptakannya sehingga kepuasan pembaca puisi miliknya bisa saja sampai-sampai menghafal puisi yang diciptakannya ini. Sungguh merupakan idaman dari segala penulis puisi.
Sebelum menuju kiat-kiat apa saja yang dapat dijadikan cara seorang pencipta puisi dalam melamar sugesti baik dari dalam dirinya sendiri maupun pembacanya, ada baiknya mencermati apa itu yang dimaksud dengan interpretasi?
Interpretasi dalam buku Pengantar Ilmu Sastra yang ditulis oleh Jan van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willen G. Weststeijn diIndonesiakan oleh Hartoko (1992:62) diartikan sebagai penafsiran yaitu bentuk khusus mengenai laporan penerimaan. Sama seperti dalam proses penerimaan biasa, maka pembaca yang menafsirkan mengartikan sebuah teks, tetapi tafsiran-tafsiran selalu disusun secara sistematik. Selain itu penafsir pada pokoknya berusaha untuk mengartikan teks itu secara tepat atau adekuat (memadai).
Interpretasi terhadap suatu karya puisi termasuk dipelajari dalam bidang kritik sastra. Keberagaman penafsiran yang dihasilkan pada suatu teks puisi berkaitan dengan latar belakang yang beragam pula dari muasal si pembaca puisi tersebut.
Untuk memperoleh interpretasi yang memadai seperti yang dikehendaki uraian buku Pengantar Ilmu Sastra tersebut di atas, maka penguasaan unsur intrinsik karya sastra puisi maupun unsur ekstrinsik karya sastra puisi sudah menjadi modal utama yang mendasari penikmatan maksimal terhadap karya puisi. Penguasaan kedua unsur itu pula yang menjadi dasar penguasaan ilmu sastra Indonesia dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada tingkat SMA baik di lembaga pendidikan negeri maupun swasta.
Sugesti dan interpretasi amat erat kaitan keduanya, jika sugesti yang dikehendaki penulis puisi berupa munculnya rasa cemas, maka harus pula rasa cemas tersebut berhasil terinterpretasi dalam jiwa pembaca puisinya. Begitu pula sebaliknya, interpretasi menjadi dasar yang penting dalam proses awal penciptaan suatu puisi oleh penulisnya. Meskipun sugesti tentu menjadi awal dari segala proses interpretasi karya sastra untuk selanjutnya menghadirkan penikmatan
3/9
Bagaimana Caranya Melamar Sugesti? Ditulis oleh Muhammad Rain Rabu, 08 September 2010 01:24
dan apresiasi yang lebih luas terhadap karya puisi.
Sebuah contoh dapat dicermati dari adanya kaitan erat antara sugesti dengan interpretasi seperti yang pernah penulis konsep dan praktekkan pada suatu kesempatan pelatihan drama teater yang berkaitan dengan materi penjiwaan dan karakter pada sekumpulan siswa tingkat SMA guna memperoleh kemampuan basik teater. Pada kenyataannya dunia sastra puisi dan dunia sastra drama tetap memiliki kaitan erat dalam soal-soal sugesti dan interpretasi.
Saat keadaan konsentrasi penuh dan pengosongan pikiran, para siswa sekitar belasan tersebut diajak untuk terlebih dahulu mengatur pernafasan lalu menutup mata mereka sendiri secara tulus tanpa tekanan berlebihan dalam keadaan duduk bersila, lalu setelah dianggap mereka telah benar-benar siap untuk memasuki dunia sugesti agar berhasil memperoleh penjiwaan suatu peran selanjutnya barulah penulis yang saat itu menjadi pelatih mengucapkan kata-kata tertentu yang berupaya mempengaruhi berupa simbol-simbol tertentu yang menjadi kata kunci penjiwaan yang dikehendaki dapat muncul dari para calon pemain teater tingkat sekolah tersebut.
Dengan memunculkan kata-kata sugestif mereka perlahan diajak memasuki dunia imajinatif yang berupa sebuah gua yang gelap penuh dengan sarang laba-laba dan tampak menyeramkan tanpa ada cahaya sedikitpun. Sambil terus berkonsentrasi dan melepaskan dunia konkret mereka, para siswa mulai tampak menunjukkan reaksi yang sesuai seperti bergidik, merinding, menggerak-gerakkan tangan hendak menggapai benda-benda tertentu yang memang tak terlihat dalam bayangan pekatnya suasana gua imaji mereka sendiri. Lalu upaya pembangkitan sugestif dan interpretasi ini berlanjut mencapai bagian akhir pada penghayatan selanjutnya. Mereka, lewat kata-kata sugesti pelatih perlahan diajak seolah telah menemukan setitik cahaya yang selanjutnya berangsur-angsur menjadi makin jelas berwujud seperti jalan keluar dari gua yang gelap gulita tersebut.
Kegiatan akhir yang dirasakan para siswa sampai pada perangkuman sugestif ke alam konkret (realita). Mereka perlahan dianjurkan membuka mata mereka tanpa paksaan dan selanjutnya pelatih mensugesti mereka untuk melihat salah satu jari tangan kiri mereka ada yang tanggal, hilang atau putus akibat masuk ke gua tadi. Apa yang terjadi selanjutnya... dapat kita bayangkan bagaimana dunia imajinatif yang pada awalnya dianggap tak berkekuatan namun jika dikemas secara teknis dan mempertimbangkan diksi berupa simbol-simbol utama dari segala sesuatu yang diharapkan dapat muncul. Akhirnya para siswa menjerit histeris dengan berbagai karakter di luar kebiasaan, ada yang memegang dengan kuat tangan kirinya, ada yang menangis tersedu dan ada pula hanya dapat terdiam terpana tak dapat berujar satu kata pun namun hanya air mata yang terus mengalir.
4/9
Bagaimana Caranya Melamar Sugesti? Ditulis oleh Muhammad Rain Rabu, 08 September 2010 01:24
Hasil akhir sugesti dalam pelatihan basik teater tersebut di atas menghasilkan banyaknya pencampuran perasaan dari siswa yang melatih dirinya untuk dapat peka terhadap keadaan berkesenian drama. Ada perasaan takut, sedih, histeris dan akhirnya menghasilkan jeritan tanda seolah-olah peristiwa yang awalnya hanya upaya sugestif yang dilakukan pelatih tersebut menjadi nyata/benar adanya. Dengan model konsep dan praktek sugestif dan interpretasi tersebut barangkali dapat memperjelas bagaimana hubungan keduanya.
Interpretasi dan sugestif dapat disimpulkan sebagai dua hal yang saling berkaitan, berjalan seiring untuk menuju keberhasilan apresiasi yang bermuatan utama menjadi ranah yang paling diharapkan dari adanya penciptaan karya sastra dan proses pengkomunikasiannya kepada pihak pembaca atau penikmat puisi. Keberhasilan dalam meramu kedua hal tersebut menjadi modal awal keberhasilan penulis puisi dalam menciptakan karyanya yang dapat terus digali dan dikaji agar menghasilkan karya unggul atau disebut karya mutakhir yang sering pula menjadi m asterpiece kepenyairan seseorang dalam sastra puisi Indonesia.
Beberapa kiat melamar sugesti dalam melakukan serangkaian proses penciptaan puisi berikut ini ada baiknya dicermati sebagai hal-hal lumrah dan dapat saja dialami oleh siapa saja yang berkenan untuk terus menggali potensi kreativitasnya dalam berkesenian sastra puisi. Penulis selama ini turut pula mengalami pasang surut dari kondisi dalam rangka penciptaan puisi menuju tingkat sugesti yang lebih berkualitas di masa-masa yang akan datang.
Berikut ini kiat-kiat guna meningkatkan daya sugesti karya puisi:
a. Tulislah sesuatu hal yang benar-benar dialami
5/9
Bagaimana Caranya Melamar Sugesti? Ditulis oleh Muhammad Rain Rabu, 08 September 2010 01:24
Berkenaan dengan dasar kepenulisan sebuah puisi, para penulis puisi akan lebih maksimal kerjanya dalam merangkai kata-kata, imajinasi, perlambangan, metafora maupun personifikasi lewat puisinya dengan menulis sesuatu yang benar-benar dialami olehnya, meskipun tetap tersisip pula di dalam karyanya hal-hal lain di luar kenyataan yang dialaminya tersebut. Menulis puisi akan lebih bernilai jika bukan sekedar hasil khayalan belaka, namun suatu pengalaman yang memberi kesan yang sarat akan nilai-nilai kehidupan tentu menjadi lebih utama dan dapat lebih dipertanggungjawabkan pula.
b. Segera menulis puisi saat ilham tulisan itu datang dan tidak menunda terlalu lama
Suasana saat teks puisi ditulis sangat berpengaruh dengan hasil yang akan dicapai seorang penulis puisi. Bagaimanapun sulitnya berkonsentrasi dalam upaya menciptakan karya puisi seperti suasana duka-lara misalnya, maka akan lebih mudah jika tulisan tersebut langsung ditulis saat sedang mengalami suasana yang sesuai pula sebagaimana yang dikehendaki agar dapat turut hadir dalam suasana hati calon pembaca puisinya. Menulis dalam atmosfir tertentu turut didukung oleh suasana tempat, keadaan, suara, pergerakan tubuh dan faktor suasana lainnya yang akan dengan mudah dapat mengalir berkesesuaian dalam bait-bait puisi yang diciptakan. Maka tidak heran jika seseorang memilih tempat yang sunyi untuk sekedar mengkhidmati kesunyian dan selanjutnya puisi yang dihasilkan sering pula lebih teresapi jika dibacakan di tempat teduh dan sunyi pula.
c. Tidak Membuat-buat, Berlebihan dalam Menggunakan Kata Konkret dalam Puisi yang Hendak Diciptakan
Pernah sekali waktu kita mendapati suatu karya puisi ditulis secara amat berlebihan bahkan cenderung mengada-ngada sehingga malah membesar-besarkan sesuatu yang sejatinya biasa saja juga sebaliknya mengecil-ngecilkan sesuatu padahal realitanya tidak demikian. Kesalahan seperti ini dapat memunculkan rasa bosan pada diri pembaca sehingga membuat pembaca kecewa karena telah melakukan sesuatu kegiatan yang kurang bermanfaat yakni hanya membuang waktu untuk membaca puisi murahan. Jika pun puisi semacam ini pernah memunculkan pembicaraan sana-sini dan membuat heboh, namun kadar usia perhatian dunia sastra kepada jenis puisi semacam ini tidaklah bertahan lama sebab seiring waktu akan hilang dari peredaran akibat proporsi penciptaan yang tidak wajar dan tidak tepat.
d. Tulislah Hal Tertentu yang Turut Dirasakan (Dialami) oleh Segala Usia, Jenis Kelamin, Jenjang Profesi Maupun Tingkat Pengetahuan Calon Pembaca
6/9
Bagaimana Caranya Melamar Sugesti? Ditulis oleh Muhammad Rain Rabu, 08 September 2010 01:24
Dunia sastra puisi teramat sering mengacuhkan pihak-pihak atau tingkatan kalangan tertentu dari latar belakan pembaca sastra puisi di Indonesia, hal inilah yang mungkin selalu menjadi faktor rendahnya minat masyarakat kita dalam menggeluti dunia sastra puisi sehingga perkembangan dan kemajuan sastra puisi di Indonesia masih jauh panggang dengan api. Ketidakberhasilan para penulis puisi dalam menyuguhkan bacaan puisi lintas usia, lintas jenis kelamin, lintas profesi dan juga lintas tingkat pengetahuan pembaca juga segala latar belakang lainnya membuat dunia puisi menjadi amat asing, banyak orang menjadi sesat dibuatnya seolah-olah dunia puisi dunia orang setengah dewa yang khusus milik punggawa kesenian sastra saja. Hal tersebut dapat pula terjadi dari terbatasnya nilai-nilai yang terkandung dari jenis puisi yang terlalu dieksklusifkan.
Akan lebih bijaksana jika hendak menulis puisi justru tidak membatasi ruang gerak ke mana saja pun arah makna yang ditawarkan karya tersebut, oleh siapa saja yang dapat dan mampu menikmatinya namun tentu tanpa kehilangan sisi interpretasi yang kaya dengan meramu keindahan dan kekuatan lainnya yang menjadi standar utama penciptaan karya puisi.
e. Tujukan Terlebih Dahulu Tulisan Puisi Tersebut kepada Diri Sendiri, Keluarga atau Kalangan Paling Dekat dari Si Penulisnya Sendiri.
Apa yang diperoleh dari aktivitas menulis puisi harus turut dirasakan pula terutama oleh penulisnya sendiri, keluarganya dan kalangan yang paling dekat baru berlanjut terhadap kalangan lebih jauh dari itu.
Kegagalan awal sugesti dalam puisi, justru diciptakan tanpa sadar oleh penulisnya sendiri. Jika daya gerak dan daya pengaruh yang dikehendaki tidak membuat penulis puisi itu berpikir lebih baik, berperilaku lebih arif dan moralis dan mengkomunikasikan karya puisinya lebih inspiratif terutama terhadap dirinya sendiri, maka akhir yang diperoleh dari suatu perjalanan menuju kepenyairan seorang penulis puisi adalah kesia-siaan belaka.
Tentu masih banyak lagi kiat atau tips yang dapat terus memacu aktivitas juga meningkatkan dara kreatif seorang penulis puisi dalam memunculkan tingkatan sugesti yang semakin baik. Penting pula bagi seorang peminat karya sastra puisi untuk tak merasa cepat puas terhadap pencapaian-pencapaiannya selama ini dengan terus membaca, mempelajari, menulis dan turut pula memperbincangkan kesusastraan puisi di Indonesia sehingga regenerasi kesusastraan
7/9
Bagaimana Caranya Melamar Sugesti? Ditulis oleh Muhammad Rain Rabu, 08 September 2010 01:24
puisi di negara kita dapat terus dipupuk. Sebagian besar tulisan ini secara sadar penulis alami sendiri dalam berbagai upaya kreatif yang dialami selama menjalani kerja berkesenian sastra Indonesia khususnya puisi. Semogalah tulisan ini menjadi hibah pengetahuan yang sesungguhnya masih amat minim dimiliki penulis.
Berpuisi adalah suatu potensi yang harus terus dikaji-gali guna menuju kemaslahatan manusia Indonesia di masa-masa yang akan datang.
Semoga.
Salam Sastra Indonesia terhatur pada segala pembaca.
Salam puisi tak pernah mati.
Aceh-Indonesia, 18 Juni 2010
8/9
Bagaimana Caranya Melamar Sugesti? Ditulis oleh Muhammad Rain Rabu, 08 September 2010 01:24
Muhammad Rain atau Muh Rain, berdomisili di Langsa-Aceh. Ia merupakan salah satu staf guru di SMAN 4 Langsa sekaligus dosen di PTN dan beberapa PTS di daerah Langsa maupun Aceh Timur. Selain itu, ia juga seorang penggiat seni teater dan menulis tentang sastra berupa, esai, naskah drama, cerpen maupun puisi.
9/9
Bagaimana Masa Depan Bahasa Indonésia? Ditulis oleh Ajip Rosidi Sabtu, 08 Mei 2010 19:47
Pertama-tama perkenankanlah saya lebih dahulu menyampaikan terima kasih yang ikhlas kepada Yayasan Sumber Daya Manusia dalam Ilmu Pengetahuan dan Téknologi yang telah memilih saya sebagai penerima Penghargaan Habibie tahun 2009 dalam bidang ilmu kebudayaan, dan kepada Réktor Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Ganjar Kurnia yang telah mengusulkan saya sebagai calon untuk menerima Penghargaan Habibie dalam bidang ilmu kebudayaan.
Sebagai penerima Penghargaan Habibie saya diminta untuk menyampaikan pidato ilmiah dalam bidang kebudayaan tempat saya berkiprah selama ini. Tetapi apa yang akan saya sampaikan ini mungkin jauh dari ilmiah, karena saya bermaksud hendak menghasut, menohok kesadaran kita sebagai bangsa Indonésia.
Selama ini saya sering disebut sebagai orang yang paling ceréwét berbicara tentang masa depan bahasa ibu (yang biasa disebut bahasa daérah atau bahasa pertama) yang terdapat di seluruh Indonésia, karena masa depan bahasa-bahasa ibu itu tanpa kecuali sangat suram, tergilas oléh bahasa nasional, bahasa Indonésia.
Konon menurut para ahli yang telah menghitungnya, jumlah bahasa ibu yang terdapat di tanah air kita ini paling banyak di seluruh dunia, artinya bahasa ibu yang terdapat di Indonésia jauh lebih banyak daripada yang terdapat di negara-negara lain. Yaitu ada lebih dari 700 macam bahasa. Tetapi keceréwétan saya itu hingga sekarang tidak mendapat perhatian yang patut, nasib bahasa-bahasa ibu itu di Indonésia tidak juga menjadi lebih baik. Sejak 21 tahun yang lalu saya setiap tahun (kemudian melalui Yayasan Kebudayaan Rancagé) memberikan Hadiah Sastera Rancagé kepada para pengarang yang menulis dalam bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa Bali (pernah juga untuk bahasa Lampung) dan buat meréka yang berjasa dalam usaha pelestarian bahasa ibunya—terus-menerus tanpa pernah putus, sehingga hadiah itu merupakan hadiah sastera tahunan yang paling panjang umurnya di Indonésia—namun tidak pernah mendapat tanggapan yang wajar. Buku- buku yang mendapat hadiah tidak menjadi “bes tseller” dan tidak pernah pula dibeli oléh pemerintah untuk mengisi perpustakaan sekolah atau perpustakaan lainnya. Pemerintah sendiri yang mempunyai Pusat Bahasa berbicara tentang bahasa ibu baru beberapa tahun setelah UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Bahasa Ibu Internasional pada tahun 2001. Sebelumnya Pusat Bahasa hanya menganggap bahasa-bahasa ibu semata-mata sebagai obyék penelitian ilmiah saja.
Tetapi dalam kesempatan ini saya tidak akan meminta (menghasut!) minat Saudara terhadap
1/6
Bagaimana Masa Depan Bahasa Indonésia? Ditulis oleh Ajip Rosidi Sabtu, 08 Mei 2010 19:47
masa depan bahasa-bahasa ibu di Indonésia yang tak punya hari depan, melainkan saya mau meminta perhatian Saudara terhadap nasib bahasa Indonésia, bahasa persatuan kita, bahasa nasional kita, bahasa negara kita. Mengapa? Karena sejak beberapa tahun ini kian lama kian kentara betapa bangsa kita tidak lagi menghargai bahasa nasionalnya, bahasa negaranya.
Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonésia merupakan salah satu tali yang mengikat kita menjadi satu Indonésia. Tali yang lain adalah bendera dan lagu kebangsaan. Tetapi sementara bendéra dan lagu kebangsaan boléh dikatakan berada dalam tempat yang “aman”, tidak demikian halnya dengan bahasa Indonésia – walaupun untuk pertama kali dalam sejarah pada acara memperingati Hari Proklamasi tahun 2009 ini, pada waktu upacara kenegaraan telah terjadi “kelupaan” menyanyikan Indonésia Raya pada waktu pembukaan.
Bahasa Indonésia yang dipilih sebagai bahasa persatuan oléh para Bapak Pendiri Bangsa kita pada waktu Sumpah Pemuda 1928 itu, berasal dari Bahasa Melayu — bahasa ibu yang paling luas tersebar di seluruh kepulauan Nusantara dan telah menjadi lingua franca sejak berabad-abad. Berlainan dengan bahasa Jawa atau Sunda yang meskipun jumlah pemakainya jauh lebih banyak, bahasa Melayu yang égaliter lebih cocok dengan cita-cita hendak mendirikan negara républik yang démokratis. Bahasa Indonésia buat kebanyakan kita bukanlah bahasa ibu, karena itu harus kita pelajari di sekolah atau tempat lain. Patutlah pemerintah berlaku sungguh-sungguh dalam mengajarkan bahasa Indonésia. Dan patutlah setiap warga negara berusaha menguasai bahasa Indonésia, dengan baik. Namun kenyataannya tidaklah demikian.
Menjelang akhir tahun 1960-an, tumbuh kesadaran pada sekelompok ahli bahasa bahwa pemakaian bahasa Indonésia dalam masyarakat sangat kacau, maka timbullah gagasan untuk memperbaharui éjaan sebagai usaha pembakuan bahasa. Sejak awal saya tidak setuju akan pembaharuan éjaan sebagai jalan keluar untuk mengatasi kekacauan bahasa dalam masyarakat. Pada pendapat saya untuk memperbaiki kekacauan berbahasa dalam masyarakat, jalannya hanya satu ialah memperbaiki praktek pembelajaran bahasa dan mendorong kegemaran bangsa kita agar menghargai karya sastera yang telah diciptakan oléh bangsanya sendiri. Tetapi pembaharuan ejaan dipaksakan dalam pidato kenegaraan Presiden Suharto tanggal 17 Agustus 1972, sedangkan pembelajaran bahasa Indonésia di sekolah tidak disentuh-sentuh, dalam arti tidak dilakukan perbaikan yang fundamental dan menyeluruh dalam pembelajaran bahasa Indonésia. Penyediaan perpustakaan yang baik dengan koléksi utamanya berupa karya-karya sastera sebagai salah satu penunjang pelajaran bahasa Indonésia di sekolah, tidak pernah dianggap penting, karena itu tidak dilakukan secara terus-menerus dan sungguh-sungguh, hanya sekadar usaha tambal-sulam saja. Dengan demikian anak-anak didik tidak dibiasakan mengenal karya sastera sebagai contoh pemakaian bahasa yang baik. Sementara itu télévisi, radio, dan média massa cétak setiap hari memberikan contoh berbahasa yang populér, dikenal dengan sebutan “bahasa gaul” secara leluasa.
2/6
Bagaimana Masa Depan Bahasa Indonésia? Ditulis oleh Ajip Rosidi Sabtu, 08 Mei 2010 19:47
Pemakaian bahasa Indonésia dalam masyarakat kian semerawut. Belakangan nampak gejala bahwa bangsa kita, terutama kaum élit yang sering berbicara melalui télévisi atau radio, menganggap bahasa Indonésia tidak cukup terhormat (atau lebih tepat: tidak cukup géngsi) untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya, karena itu antar sebentar meréka menggunakan kata-kata, ungkapan bahkan kalimat bahasa Inggris. Dan hal itu bukan karena bahasa Indonésia tidak cukup baik dan tidak cukup sempurna untuk menyatakan pikiran dan perasaan meréka , karena bahasa Indonésia sejak tahun 1928, terutama setelah menjadi bahasa negara, berkembang dengan pesat sekali. Kalau pada awal tahun 1950-an kuliah di perguruan tinggi untuk beberapa mata kuliah harus disampaikan dalam bahasa Belanda karena bahasa Indonésia belum cukup mempunyai istilah untuk beberapa bidang ilmu, maka tak sampai sepuluh tahun kemudian semua mata kuliah dapat disampaikan dalam bahasa Indonésia. Sekarang tak ada ilmu yang betapa rumitnya pun yang tak bisa ditulis dalam bahasa Indonésia. Dalam bidang éksprési seni pun karya sastera Indonésia memperlihatkan pencapaian yang maju sekali.
Jadi, kegenitan kaum elit berbicara bahasa Indonésia dengan campuran kata-kata dan kalimat bahasa Inggris itu, bukanlah karena bahasa Indonésia tidak cukup mampu untuk menyatakan perasaan atau pikirannya, dan bukan pula karena dia lebih menguasai bahasa Inggris daripada bahasa Indonésia, melainkan karena dia kuatir tidak dianggap pandai, tidak dianggap termasuk golongan inteléktual kalau tidak memperlihatkan bahwa dia juga tahu berbahasa Inggris. Artinya kebiasaan itu timbul karena adanya rasa rendah diri sehingga menganggap bahasa nasional Indonésia lebih rendah kedudukannya daripada bahasa Inggris. Dengarkan kalau para pejabat dan kaum élit kita berbicara dalam acara télévisi. Berutunya gatal kalau tidak antar sebentar mengucapkan kata atau kalimat bahasa Inggris. Bahkan kata-kata Belanda yang sudah menjadi bahasa Indonésia pun diucapkan secara Inggris.
Dan lebih gawat lagi, karena bahkan Kepala Negara Républik Indonésia sendiri, Présiden SBY, memberi contoh beringgris-ria, termasuk dalam forum resmi. Kalau Kepala Negara sudah berbuat begitu niscaya pejabat-pejabat bawahan dan orang-orang lainnya akan mengikuti.
Padahal tanpa diberi contoh oléh Kepala Negara pun, masyarakat élit sudah ramai beringgris-ria. Berbahasa campuran dengan kata-kata dan kalimat Inggris dianggap dapat menutupi rasa rendah dirinya berbahasa Indonésia, padahal sebenarnya dengan berbuat begitu dia merendahkan bahasa nasionalnya sendiri. Kebiasaan beringgris-ria seperti itu segera menjadi mode di kalangan elit, karena mengira dengan berbuat begitu meréka akan dianggap sebagai inteléktual, walau isi percakapannya kosong melompong. Kata-kata bahasa Indonésia pun diucapkan secara Inggris dengan menekuk-nekukkan lidah secara dibuat-buat. Nyatalah bahwa beringgris-ria itu hanya untuk bergéngsi, karena tidak ada keperluan yang jelas, tidak
3/6
Bagaimana Masa Depan Bahasa Indonésia? Ditulis oleh Ajip Rosidi Sabtu, 08 Mei 2010 19:47
ada keharusan sama sekali, dan kata-kata serta kalimat Inggris yang diucapkan secara Amérika itu pun sebenarnya dapat disampaikan dengan mudah dalam bahasa Indonésia.
Yang segera terpengaruh oléh ulah kaum elit beringgris-ria itu adalah kaum pengusaha dan para copywriter iklan. Bertentangan dengan akal séhat karena yang menjadi sasarannya adalah bangsa Indonésia yang lebih pandai berbahasa nasional Indonésia daripada bahasa Inggris, iklan-iklan banyak yang disampaikan dengan bahasa Inggris. Malah di lingkungan bisnis seni rupa, undangan dari galeri-galeri, katalog-katalog paméran dan balai lélang selalu berbahasa Inggris, padahal yang ditujunya koléktor bangsa Indonésia juga. Dan Galeri Nasional satu-satunya galeri milik negara Républik Indonésia juga ikut-ikutan latah berbahasa Inggris. Mungkinkah hal itu disebabkan dunia bisnis umumnya dan bisnis seni rupa khususnya dikuasai oléh orang-orang yang tidak cukup menghargai jangankan mencintai bahasa Indonésia? Bagi meréka bahasa Indonésia agaknya tidak mempunyai ikatan émosional, karena meréka tidak merasa memiliki bahasa Indonésia, sehingga tidak mempunyai rasa bangga terhadap bahasa nasional. Yang penting bagi meréka adalah bisnisnya berjalan baik dan memberikan keuntungan besar.
Pada satu segi kesemerawutan berbahasa dalam masyarakat itu disebabkan karena pembelajaran bahasa Indonésia di sekolah-sekolah dan di luarnya tidak cukup baik. Pada segi yang lain didorong oléh dibiarkan leluasanya penggunaan bahasa gaul dan bahasa seénaknya disiarkan melalui télévisi yang sekarang telah masuk ke pelosok-pelosok yang paling terpencil sekali pun.
Yang menyedihkan ialah karena keadaan itu seperti dibiarkan saja. Tak terdengar ada usaha untuk membendung atau memperbaikinya. Lembaga pemerintah yang paling berwewenang dalam bidang bahasa yaitu Pusat Bahasa, nampaknya merasa cukup hanya dengan mengisi ruangan bahasa di TVRI seminggu sekali selama lebih-kurang satu jam. Tak terdengar ada pendekatannya terhadap stasion-stasion télévisi agar menjaga bahasa nasional yang digunakannya. Stasion télévisi dibiarkan beringgris-inggris menamakan acara-acaranya dengan bahasa Inggris, padahal padanan bahasa Indonésianya akan dengan mudah diperoléh. Apa karena Bahasa Indonésia kurang indah? Kalau alasannya begitu, nyatalah bahwa meréka tidak tahu kekayaan dan keindahan bahasa nasionalnya. Alasan yang sebenarnya ialah karena meréka menganggap bahasa Indonésia kurang bergéngsi, artinya meréka tidak punya rasa bangga terhadap bahasa nasionalnya.
Apakah menurunnya rasa bangga terhadap bahasa Indonésia itu ada hubungannya dengan keluhan banyak orang selama beberapa tahun belakangan ini, yang menyatakan bahwa terjadi érosi nasionalisme di kalangan anak-anak muda kita sekarang?
4/6
Bagaimana Masa Depan Bahasa Indonésia? Ditulis oleh Ajip Rosidi Sabtu, 08 Mei 2010 19:47
Buat saya jawabnya pasti, ya. Tidak adanya rasa bangga terhadap bahasa nasional, bahasa Indonésia, itu merupakan tanda kian memudarnya nasionalisme bangsa kita dan tidak hanya di kalangan anak-anak muda saja.
Bukan artinya saya anti terhadap masuknya pengaruh bahasa asing terhadap bahasa nasional. Bahasa yang hidup niscaya selalu mendapat pengaruh dari segala penjuru – termasuk dari bahasa-bahasa asing. Terutama konsép-konsép yang sebelumnya tidak terdapat dalam masyarakat kita, sehingga tak ada dalam khazanah bahasa kita, perlu kita terima. Tapi menerima pengaruh bukanlah berarti kita seénaknya saja memasukkan kata-kata Inggris hanya karena kita malas mencari padanannya dalam bahasa kita sendiri, artinya konsép itu sendiri sebenarnya kita sudah punya dalam bahasa nasional kita, jadi tak perlu mengambil dari bahasa asing. Peranan pérs dalam pembentukan dan pembinaan bahasa Indonésia dahulu diakui sangat besar. Tetapi sekarang kita saksikan sendiri bahwa peranan pérs pun sangat besar dalam mendorong pemakaian bahasa Indonésia yang semerawut penuh dengan kata-kata Inggris yang tidak perlu, hanya sekadar untuk bergéngsi atau akibat kemalasan tidak mau melihat kamus belaka, seperti “bakau” diganti dengan “mangrove”, “tongkol” diganti dengan “tuna”, “obral” diganti dengan “sale”, “jilid” diganti dengan “volume”, ditambah dengan kegemaran membuat singkatan tanpa rujukan yang jelas, sehingga hanya menjadi teka-teki belaka.
Sesungguhnyalah keadaan perbahasaan kita sekarang berada dalam situasi yang mencemaskan. Kalau terus dibiarkan tidak mustahil nanti Bahasa Indonésia hanya akan menjadi semacam pidgin English.
Saya bukanlah ahli, karena itu saya tidak tahu bagaimana jalannya agar kita keluar dari kemelut berbahasa yang sedang melanda bangsa kita ini. Meminta perhatian para pejabat pemerintah yang bertalian dengan hal itu – mulai dari Pusat Bahasa sampai dengan para pejabat Depdiknas yang berwewenang menyusun kurikulum serta guru-guru yang melakukan pengajaran kepada para anak didik, juga lembaga-lembaga yang berwewenang mengawasi siaran-siaran televisi dan radio, begitu juga pérs – adalah perbuatan yang paling mudah dan praktis, tetapi dari pengalaman saya tahu bahwa itu tidak akan ada gunanya karena tidak akan dihiraukan. Karena hal sebesar yang dihadapi bahasa Indonésia sekarang, memerlukan keinginan dan keputusan politik dari penguasa yang paling tinggi. Tetapi kalau presidénnya sendiri suka beringgris-ria, apa daya?
5/6
Bagaimana Masa Depan Bahasa Indonésia? Ditulis oleh Ajip Rosidi Sabtu, 08 Mei 2010 19:47
Pabélan, 12 September 2009.
6/6
Catatan dari Selat-1 Ditulis oleh Jan van der Putten Rabu, 16 Juni 2010 11:42
Selat adalah nama Melayu Riau untuk Singapura, kota terkenal sebagai pusat pertokoan yang serba wah, gedung yang mencakar langit yang kakinya tertanam jauh ke dalam tanah dengan dikelilingi gorong-gorong yang dilewati ribuan manusia setiap saat yang melancar naik kereta di bawah tanah atau angkutan cepat masal ( Mass Rapid Transport alias MRT). Selat ini telah cukup lama berupaya menjadikan diri pusat perdagangan se-Asia Tenggara, pusat studi se-Asia, pusat hukum sedunia, dan pusat pengamanan seangkasa. Kata hub –atau hab dalam bahasa Melayu setempat – sering terngiang-ngiang dalam pembicaraan orang di Selat, sampai-sampai pun masuk bahasa Melayu pula. Tahun 1950–1960-an Selat ini pernah menjadi hab budaya pula yang menarik kedatangan banyak seniman dan seniwati dari Semenanjung dan Indonesia bergabung tenaga berkreasi dalam teater, film, sastra, tarian, dsb. Belakangan ini pun Selat sebagai hab seni pun semakin sering dikumandangkan lagi dan para penyelenggara memang berhasil juga mengundang berbagai show besar dan penyanyi dan band terkenal untuk tampil di Selat ini. Apatah lagi Selat ini telah pula dibuka sebagai hab judi di pulau Sentosa atau Belakang Mati dan di Marina South yang boleh mendatangkan megabintang seperti Tom Jones dan Cirque de Soleil dan banyak lagi artis terkenal di dunia ini. Bagi Selat ini, menarik perhatian dan pendatang atau wisman dari luar adalah sangat amat penting – akan menentukan apakah negara Singa yang sekecil ini dapat bertahan hidup atau tidak. Dalam strategi pertahanan hidup Selat ini pembangunan pertokoan di Orchard Road – yang sangat terkenal di antara orang Indonesia (bahasa Indonesia paling sering terdengar digunakan sekitar pertokoan sana saat musim libur) pembukaan bioskop baru dan peresmian festival seni dan sebagainya, semua ada peranan untuk menarik pengunjung dari luar dan dalam negeri.
Epic Poem of Malaya oleh Spell#7
Dalam dunia seni di Selat banyak sekali percampuran pengaruh dan budaya telah lama berlangsung, sehingga pencarian budaya khas Singapura sudah bukan usaha yang akan membawakan hasil (kalaupun pernah kegiatan pencarian seperti itu ada gunanya). Bahasa pun beraneka ragam dan bercampur aduk dengan varian lokal bahasa Inggris – Singlish – yang lama-lama menjadi bahasa yang digunakan orang Singapura untuk menunjukkan identitasnya. Grup-grup seni pun bercampur dan mampu menggunakan berbagai bahasa – salah satu akibat dari percampuran budaya dan bangsa adalah kemampuan orang menggunakan berbagai bahasa dan ragam bahasa. Keanekaragaman budaya dan bangsa juga ada di dalam kelompok teater yang mengadakan pertunjukan teater yang menjadi pokok pembahasan Catatan ini.
1/3
Catatan dari Selat-1 Ditulis oleh Jan van der Putten Rabu, 16 Juni 2010 11:42
Kelompok teater itu diwujudkan dan dipimpin oleh Kaylene Tan dan Paul Rae yang bekerja sama dengan berbagai kelompok dan individu lainnya dalam produksinya. Salah satu hasil produksi – Epic Poem of Malaya – saya hadiri pada akhir April 2010 lalu dan akan saya bahas di bawah ini.
Seperti salah satu drama sebelumnya yang berjudul Language Class (2008), Epic Poem of Malaya pun mendapat judulnya dan sebagian ilhamnya dari sebuah lukisan karya Chua Mia Tee, seorang pelukis Singapura yang pada tahun 1950-an membuat beberapa lukisan dengan gaya sosial-realisme yang membayangkan gagasannya tentang negara Malaya setelah merdeka (lihat ilustrasi di bawah). Dalam pertunjukan dramanya panggung disiapkan secara bisu oleh Kaylene Tan, sebagai stage director (penata panggung), sebagaimana mengatur posisi orang di dalam lukisan. Namun selain beberapa kali memang menunjukkan tempat yang benar kepada aktornya, persamaan atau hubungan dengan lukisan berhenti di situ saja.
Dramanya memang membayangkan kemerdekaan Malaya, Singapura, dan Indonesia tetapi tidak dari segi kemerdekaan itu biasanya disorot, yaitu dari sudut pandang pemerintah yang perlu melebih-lebihkan keserasian dan kerukunan antara manusia di dalam bangsa yang menjadi penduduk negaranya. Bukan, Epic Poem mengisahkan perjalanan hidup tokoh ‘si aku’ yang dalam perkiraan awalnya adalah orang keturunan Cina tetapi sebagaimana diakui ayahnya lebih lanjut, sebetulnya keturunan Orang Laut, suku bangsa yang mendiami selat, teluk dan rantau di daerah kepulauan dalam segitiga di antara Semenanjung, Sumatera, Kalimantan, dan juga di daerah lain di Asia Tenggara. Skrip ditulis oleh seorang seniman Melayu Singapura bernama Zai Kuning yang tak begitu tertarik bermain teater, seperti diakui setelah pertunjukan selesai. Zai Kuning ini mengiringi pembacaan teksnya dengan efek bunyi yang kadang-kadang cukup menguasai pertunjukan, seperti waktu mengekspresikan badai yang melanda perahu suku laut.
2/3
Catatan dari Selat-1 Ditulis oleh Jan van der Putten Rabu, 16 Juni 2010 11:42
Lukisan Chua Mia Tee berjudul Epic Poem of Malaya Teks dipertunjukkan. dari yang namun apakah dimainkan. maknanya. buku Zai dibacakan karena memang Kuning teksnya Pembacaan Apalagi orang suaranya Dalam adalah itu tetap yang dengan rupanya tanpa pertunjukan ceritanya menimbulkan cerita itu dan dijadikan Kaylene diedit tokohnya satu tentang oleh orang, itu bukan Tan efek sendiri yang Paul orang yang jadi yang pembacaan bercerita Rae teksnya sebetulnya bertugas itu cukup dan dan Kaylene berganti-ganti dibacakan mengapa aneh: santai, sebagai hanya sebagai Tan tetapi satu penata semua oleh dan maka suara kita penonton beberapa dipersiapkan dibacakan panggung dibuat kita sang diragukan kita orang mencari-cari pencerita, dan tahu agar pemain tidak bahwa dapat ngomong sepatah kata pun. mengatur-atur Ceritanya ayahnya dihuni syarat Gadis sang Kelompoknya mendapatkan berangkat akhirnya perempuan mencari-cari perempuan anak komunitas minggu Singapura cinta tenteram. seorang dengan anak istrinya itu oleh bagi umurnya: dibebaskan yang berusia sebelum lagi Orang untuk Orang ayahnya itu. itu obat perempuan sampai ibunya. berlabuh anak Sang tidak baru jatuh Penghulu mendiamkan menjadi menitipkan 14 Laut dan sang Laut. rehat pertama ayahnya betah anak hati tahun kalau dua dan akhirnya dan ibu di Namun, dengan mempelai berkisah Cina kali, bekerja itu – muara lagi ingin dan tak setelah si bayinya yang melihat mengungkap diri. aku dan dijual tinggal tahu muka mengajak berdiam Orang aktivis sungai Sang dengan diperlihatkan tentang itu kedua berapa dan bagiamana kepada penyakitnya pada – sang di belajar ayah Laut ayahnya komunis Singapura di di orang seorang bagaimana ayah pulau latar lama ayah pulau seorang tak yang menjadi kepada merawat itu belakang yang senang mereka buruk ‘Situ’ Cina diberi sama itu, sebetulnya tauke penghulu dipersatukan. dan yaitu tauke mengasuhnya yang si dan sekali izin Orang ingin pada ayahnya dengan kembali aku lain bayi sang menikahi setelah membuka di menghilang Orang membenci pindah yang cucunya tapi itu, Singapura cinta Laut anak orang membawa di Mereka maka hatinya baik dua pulau pada Laut seorang ke sampai yang toko sendiri asing, tahun hati. pulau mereka dan dan untuk hidup hidup perempuan di baik, ‘Senang’. sebenarnya: kecil mana bayi Kemudian sejak besar menyayangi gadis si ‘Senang’ makanya yang mengobati maka di di datang aku – yang atas semua dalam mereka itulah karena pulau kematian Saat akhirnya itu perahu. tiga yang budak ke ayah ada mau damai itu. tetap Baru maka alam Laut laut menetap luar, agama diberi masalah Jawa, barang semakin tak kembali lain, dan bebas senang pun mulai si maka tetapi mulai waktu yang akan dia tempat Johor, aku dari Islam, menjadi ke diusir oleh disuruh berkurang dengan di melihat menyita yang akhirnya menjadi terancam meningkatkan Singapura, segala juga di desa itu Singapura, Bawean tetapi situ lagi sebagian si di lebih berwajib ikut aku dan otoritas alam karena dalam belenggu. tanah rumahnya dan ada bergabung dalam karena sadar mahal, lain-lain. dan coba sekitarnya masuklah Kristen perahunya sebagian kalangan dan menyuruh sungai kesejahteraan sebagainya. kemajuan bahwa lari negara ikan akhirnya pulau penduduk yang Jelas dengan dan tetapi Kalang ke tak yang dan ayah Orang semakin sebenarnya. untuk sebagian mereka bangsa ini sungai begitu diusir itu terpaksa kehidupannya Keadaan bukan tetap tauke setempat yang akan dengan rakyat Laut pembangunan oleh Kalang banyak masuk yang berkeliaran keropos tetap yang sebenarnya dibersihkan hanya sendiri, berdiam dan Namun, polisi mereka belajar di yang menebus ‘animis’. ke dan lagi, sekitar akan menimbulkan dengan juga. ‘rumah Indonesia misalnya mengaku dapat di kesempatan dan yang juga indahnya memakmurkan dan Orang pinggir sekolah, Datanglah kepulauan Orang ayahnya mata semakin burung’. semakin sebidang akan tanah karena dan Laut Melayu sungai lain, yang ketegangan kehidupan menganut memajukan akan dengan mereka badai sering dan dulu: itu Tapi susah seperti sebagian tanah ‘menyesuaikan bangsa, Kalang. meraih tetapi dipakai dia istrinya dia yang mengalami enggan karena berdagang sebagai pun di suatu memang dengan pun sebenarnya negaranya, situ. kemerdekaan menganut Dari membawa konon. untuk Orang meninggal merasa agama, semua Mereka diterima sana Orang dunia diri’ itu tujuan Orang Laut, dari Kisah dimaknai sejarah mayoritas pendatang ‘penduduk pengarang daerah yang seperti kolonial berlatarbelakangkan asli’ dan yang dan kalau Seletar, lambat kepulauan peneliti Inggris, masuk diceritakan laun Pulau yang dari mengutamakan ini mulai Semenanjung merujuk begini kurang Tekong sejarah mengakui barangkali dihiraukan pada dan resmi peranan pulau-pulau dan masa sedikit Singapura terasa daerah dalam orang mereka peranan sedikit sejarah lain. Nusantara. yang Cina itu orang diusir melodramatis sebagai sepertinya resmi Melayu, dari Orang itu, kelompok perkampungan membanggakan kecuali Laut ini yaitu sebaiknya sebagai penduduk oleh rata-rata beberapa di [1] semacam teluk-rantau-tanjung dalam banyak 1819 oleh jaringan diskusi naratif Raffles, bisnis muncul lain tetapi yaitu terhadap mendunia tentang suatu laut sejarah sejarah yang pulaunya, diletakkan yang resmi Singapura diceritakan bukan susah dasarnya sebelum untuk bertitiktolak dari diubah oleh dibuka sudut Maka kerajaan dari – pandang loji lihat Singapura kisah Inggrisnya saja Inggris. inipun sejarah sebagai Sudah pada memaparkan Indonesia. tahun noktah cukup Paling mereka ataupun satu aneh atau kepada tetapi sedang tokoh atau ada dalam setelah tidak aktor giliran sehingga perempuan, penyebab tidak? dibunyikan drama sebuah untuk rehat Selain pada ini dibacakan. hanya lainnya? drama: yang membuat oleh itu akhir teks satu membuat beberapa apakah Jelas ceritanya dibacakan buku Dalam para sutradara para kita skrip penonton aktor, tertidur bagian sedikit aktor dari yang baik ada pula. suatu pertama Singapura berpikir tinggal sebanyak orang maksud Sudah buku Cina, yang tentang drama ini tertentu skrip ragu saya tak dioper-oper Melayu ini kisah (naskah apakah dapat nyatakan setiap mengapa dan itu menghafalkan ada aktor drama), dan kepada India, di suara dia atas tak ada serta memberi membuai hal aktor bahwa skrip lebih yang laki-laki teksnya yang sendiri dari suara teks cukup stage director menunjukkan Orang Namun negara Laut bangsa setelah masih bahwa yang rehat cukup baru pada kisah bebas merdeka awalnya idilis berkeliaran itu “penata berubah, mulai banyak campur panggung” di cerita Orang daerah tangan atau Laut yang itu varian dan dibatasi dalam tetap tradisi cerita kehidupan saja mobilitasnya itu lisannya membisu. beredar, sehari-harinya. masih dan yaitu Ini pemerintah boleh kuat. waktu Stage director “penata dengan tetap panggung” saja yang dia bercerita Kaylene diam alias Tan kepada membisu. pun dia mulai dan lebih juga berperanan dia yang memberi dan menunjukkan buku teks kepada kekuasaan aktor. Kebisuan aku pemuda yang Orang kehilangan atau kesunyian Laut yang kekasihnya juga juga beberapa jarang tidak berbicara kali muncul lagi dan dalam dengan kisah berdiam Orang Laut diri itu ikut pula: dengan ibunya ngomong. membawa sendiri. juga diingatkan diinterpretasikan mengumandangkan terkongkong tempat tak dan Kemudian buka ada bayi kalau atau suara tauke karena dengan mau terperangkap istri lagi suaranya di si jalan ibunya Bugis dan aku berbagai perlu si waktu Street untuk tak aku di ada tahu dalam cara: sendiri berada memprotes yang dan Orang kehidupan perlu pun di tak Singapura cenderung Laut bisa bantuannya. nasibnya. Setelah diajari yang sebagai dua pun memaksa diam bagaimana Mereka orang Sunyi tahun semakin kalau masuk kecil seperti mereka mereka pada mengasuh merana tak sistem itu akhir ke berkuasa berdiam dapat Singapura dan cerita dan anaknya akhirnya di tidak satu lagi surat mi sanggup berbentuk ini membuka tak paspor dianggap suara atau dalam menceritakan bukti penulisan identitas kisah lainnya. sejarah. kehidupannya Dalam hal sejarah secara resmi lisan, pun sehingga mereka nasib tak orang res Dalam suara mereka suatu negara –oleh seperti modern ditunjukkan pun ada peranan berbagai alat yang mendiamkan atau membungkam stage director penting seperti setelah dan bukan pulau-pulau sudah lagi itu ibu itu dan tempat – si bukan tetapi aku pergi. di bergabung tempat Orang mereka sekitar Ini yang Laut Orang itu pun lagi dengan dilakukan ingin bisa Laut karena merapatkan saja kelompok lagi. kelompok ‘dilanda memilih itu. perahunya untuk hama Orang Kelompok tak yang Laut “penata ikut atau namanya yang tak dalam menjual mau panggung” dipimpin naratif mendekati loba’. ikan kakek resmi Karena tangkapannya yang Singapura si negara semakin itu aku Selat itu lagi: Saya bahan Indian di kisah oleh ditampilkan, menemukan satu berkesan Jakarta yang interpretasi senang lama Amazon untuk jika yang disebut tentang namun maknanya dipikirkan menonton kita yang dipaksa saja memang kemajuan. orang sebaiknya kena tetapi dan sendiri, pindah drama daif gusur sudi mengajak direnung-renungkan. Rupanya miskin dikemas ini ke seperti ikut karena yang luar main. yang penonton kisah kota. dilakukan cukup dengan dibangun tak Jadi semacam berdaya panjang bermain cara Kadang-kadang cerita oleh dam yang grup terhadap tetapi itu yang ini makna masih sedikit memberi Spell#7 mahadahsyat juga sendiri perubahan tetap sebanyak kisahnya menyediakan ini penonton yang relevan sehingga terlalu atau adalah mengajukan yang kesempatan dan orang cukup sangat dibawakan mirip perlu sebuah gembel banyak suku bukan Catatan sejarah, berkaitan sebelah wa ni yang [1]akan Isa lain. Kamari, saya timur belakangan dengan bicarakan kedua pengarang sengketa negara ini dalam menulis Melayu antara itu: semacam Pedra Malaysia Singapura Branca sejarah dan yang atau Singapura alternatif nama cukup Melayunya, produktif di berkisar sekitar dan Orang beberapa Batu biasanya Putih. Laut batu dan Novel menulis karang juga fiksi Ra disi i
3/3
Cerbon Pegot Usai Eksekusi Santri Tahun 1818 Ditulis oleh Tandi Skober Rabu, 05 Mei 2010 19:58
Celengan Jamblang konon tercipta dari ruang mang-mung Cerbon Pegot [1] antara tahun 1818 hingga 1833. Ujung dari sebuah perenungan sejarah ketika keterpurukan menjadi kelir kolbu Menusa Cerbon. Saat itu, 17 Nopember 1818, gerimis tipis di ujung malam jatuh di tanah basah. Hujan baru reda. Dua tokoh ‘pembrontak 1818 Cerbon’ yaitu Santri Bagus Serit dan Nariem tersenyum. Kaki keduanya dirantai. Keduanya melangkah menuju tiang gantung eksekusi. Jemarinya zikirkan kalimat-kalimat tauhid hingga tali temali melingkari leher kedua mujahid cikal bakal nasionalisme Indonesia itu. Detik menit berlalu. Ketika sebuah hentakan keras menjerat leher Bagus Serit dan Nairem. Di detik itulah, kiser Cerbon Pegot yang dilantunkan para santri Cerbon mengaliri tanah Cerbon hingga jauh. Hingga ke batas ruang tak terhingga.
Sun besuk mariya eman
Yen wonten grananing sasi
Srengenge kembar lelima
Lintang alit gumilar sing
Sawiji tan hana urip
Mung sira kelawan isun
Matiya mungging suwarga
Naraka bareng ngleboni
1/4
Cerbon Pegot Usai Eksekusi Santri Tahun 1818 Ditulis oleh Tandi Skober Rabu, 05 Mei 2010 19:58
Akir jaman benjang belah kelawan sira [2]
Menusa Jamblang mustahil melupakan suara lirih pedih itu. “Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga . Bermula dari sinilah, lamunan tentang Mung sira kelawan isun Matiya mungging suwarga menjadi perhelatan kolbu. Kesadaran sufistis pun mencahayai lelaku utama manusia Cerbon. Manusia tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah.
Maka menusa Jamblang kumpulkan lempung, membentuk sesuatu, bisa khewan, wayang, dan entah apalagi hingga menjadi celengan. Padahal saat itu, sudahpun ada celengan dalam ruas-ruas bambu yang terpotong. Kenapa membuat dari tanah? “ Sangu urip iku dudu emas dudu pari [3] ,” tuturnya lirih,” Tapi celengan akherat. Celengan suarga.
Ini diapresiasi sebagai hentakan-hentakan tawaf khas menusa cerbon saat tuturkan perintah sholat lima waktu (Srengenge kembar lelima), perenungan terhadap penciptaan alam raya, kemanunggalan makrokosmos dan mikro kosmos ( Lintang alit gumilar sing) , keesaan Zat Allah SWT ( Lintang alit gumilar sing ) hingga berharap atas ridho Allah SWT mereka berharap fawat masuk Surga ( Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga) .
Celengan Jamblang paling tidak sebuah kearifan nalar yang bertawaf pada tahun-tahun murung taun petheng [4] 1818-1833. Mereka manyadari bahwa sejatining manusia itu menjatidiri saat menjadi ruang dialektika yang steril. Di dataran ini ada komunitas perbincangan baik bersifat horisontal maupun vertikal yang terus menerus diposisikan sebagai substansi lelaku kolbu Cerbon. Menusa seperti halnya celengan jamblang dihadirkan tak cuma sebagai fenomena supernatural yang jatuh dari Surga, juga bisa jadi merupakan gejala kultural yang multi dimensi.
Di titik ini, jagad cilik (mikro kosmos) merupakan bagian dari jagad gede (makro kosmos).
2/4
Cerbon Pegot Usai Eksekusi Santri Tahun 1818 Ditulis oleh Tandi Skober Rabu, 05 Mei 2010 19:58
Hingga tak aneh bila Menusa Cerbon berpendapat bahwa manusia, tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, sungai, gunung, para lelembut, roh adalah unsur jagad yang berada dalam hubungan keteraturan, keajegan dan keselarasan. Di dataran pemikiran inilah sepatutnya kita memaknai Cerbon Pegot,” Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga,”.
Fenomena keselarasan jagad gede dan jagad cilik ini juga terdeskripsi dalam praktik aliran kiser Cerbon Pegot itu. Bait-bait di atas ditembangkan tanpa tetabuhan. Hanya cengkok perih suara pesinden. Hanya suara muram dari ruang hampa yang steril. Tiap kali sinden menyanyikan cerbon pegot maka yang terlintas adalah subuh sunyi Nopember 1818 saat tali eksekusi melingkari leher dua santri Cerbon Ki Bagus Serit dan Mariem.
Inilah esensi dibalik mitologi Celengan Jamblang dan Kiser Cerbon Pegot!
Manusia Cerbon yang kulturalis adalah manusia yang tumbuh dan berkembang dalam lanskap keselarasan dan keserasian. Mata air kinasih kerap terpancar dari intersubyektivitas sejatining manusia. Sebab manusia adalah mahkota kultural. Yang ajaib, mahkota kultural itu pada hakikatnya simbol kesunyian dan kesendirian. Manusia adalah bait-bait Cerbon Pegot yang terpuruk di sudut-sudut gelap. Di titik inilah muncul kesadaran sekaligus solidaritas yang pelan-pelan menyemangati untuk terus membuat celengan jamblang. Itulah sebabnya garis linier antara manusia Jamblang, celengan Jamblang dan pembrontakan Santri Cerbon 1818 tidak bersifat eksklusiv, tapi bergerak dalam lingkar-lingkar antarmahkota kultural itu.
Apa artinya? Celengan jamblang dan Kiser Cerbon Pegot ajarkan kepada sejarah bahwa manusia pada mulanya hanya sekedar tetes nista. Kendati manusia tercipta, manusia adalah mahkota serta puncak alam semesta. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang diciptakan dengan sifat-sifat Ketuhanan. Manusia adalah penjelmaan zat mutlak yang paling penuh dan paling sempurna. Ide ini terus berkembang di pusaran pemikiran para santri Kedongdong, Majalengka, beberapa tahun jelang pembrontakan santri Cerbon tahun 1818.
Di dataran pemikiran ini, menusa Cerbon ditempatkan pada dimensi relegius yang kokoh. Ia terposisikan pada konstruksi pusat periferial keajegan alam. Seperti halnya air yang menjadi penghubung antara ombak dan laut maka menusa cerbon pegot merupakan titik balik bagi perjalanan kembali kepada Allah. Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga.
3/4
Cerbon Pegot Usai Eksekusi Santri Tahun 1818 Ditulis oleh Tandi Skober Rabu, 05 Mei 2010 19:58
Bandung, 27/3/2010 1:31 AM
Tandi Skober, penulis lepas, menulis novel Pelacur, Politik dan Hehehe.
Tinggal di Bandung.
[1] Cerbon yang terputus.
[2] Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satu pun ada yang hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki langit-langit surga/andaipun kita masuk neraka/di akhir jaman kelak kita akan saling membelah rasa.
[3] Bekal hidup itu bukan emas dan padi.
[4] Tahun kegelapan.
4/4
Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54
“CERUK besar itu mengundang kumbang, capung dan burung, juga menggoda angin mempercepat pertemuan serbuk sari dan putik rumput liar di sekitarnya. Cahaya yang terpantul di permukaan air yang tenang dan kesejukan yang menyebar membuat orang bergegas membawa kayu-kayu tua tapi masih cukup kuat, untuk mendirikan bangku sederhana di tepinya.
Setelah beberapa bulan berlalu, saat tanah yang terkikis dari lereng-lereng gunung mulai mengeras, orang-orang semakin sering datang ke tepi danau itu mengenang longsor dan menghitung-hitung berapa persisnya orang yang mati dan hilang, berapa luas ladang yang lenyap, berapa panjang jalan beraspal yang pecah berantakan dan membuat desa terisolasi. Seperti sebuah tempayan raksasa yang dihadiahkan alam dalam semalam, yang dipenuhi air, yang kelak ditumbuhi teratai, dihuni ikan, dilapisi alga di dasarnya. Gunung dan bukit menjaganya. Danau yang lahir setelah prahara gempa itu, bertahun-tahun kemudian menjadi tempat orang-orang membasuh sedih mengenang segala yang ditelan bencana.”
Kurang lebih seperti inilah Zara ingin menulis bagian awal ceritanya untuk Fayza. Mungkin sebuah novel, bisa jadi sebuah trilogi yang butuh waktu bertahun-tahun untuk dituntaskan.
Sudah lama ia menyusun rencana ini, meluangkan waktu bercerita tentang danau-danau yang terbentuk setelah gempa atau longsor. Zara membayangkan kisah seorang peneliti penyendiri yang bertemu perempuan pemberani seperti Fayza. Juga barangkali tentang masa tua nan sepi seorang mantan diktator yang menimbang-nimbang kembali kezalimannya, yang suatu hari saat melamun di tepian, ditenggelamkan ke danau oleh perawat setia yang mendorong kursi rodanya.
***
DI meja makan kayu yang dipenuhi remah roti dan butiran gula yang disendok tergesa, Zara membisikkan rencana itu. Ini bukan pertama kalinya ia bicara tentang keinginannya menulis sebuah cerita yang sangat panjang.
1 / 11
Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54
Restoran hotel kecil di pinggiran kota Amsterdam itu seolah milik mereka, sekelompok peneliti yang baru saja mengakhiri sebuah perjalanan jauh. Dan seluruh perhatian tertuju pada rencana Zara yang terasa ganjil di tengah percakapan tentang perubahan ekosistem akibat penimbunan, pendangkalan dan evaporasi danau. Pagi masih terlalu muda, tetamu lain belum ada yang muncul untuk sarapan. Pelayan yang menata menu buffet berkali-kali menghalau kantuk dan memasang senyum semasam yogurt.
Seorang teman menghentikan kesibukan mengaduk kopi demi mendengar keinginan yang diungkapkan Zara. Yang lainnya tetap meneruskan mengoles selai kacang di atas roti panggang yang hangat, saat mendengar Zara membuka percakapan perpisahan itu dengan pertanyaan, “Adakah di antara kalian yang memiliki kisah cinta atau kehidupan yang menarik, di sini? Aku ingin mulai menulis sebuah novel untuk mengenang kakakku…”
Perjalanan yang jauh telah membuat mereka begitu dekat. Satu sama lain membagi apa saja yang ada di kepala dan di hati, ketika jurnal penelitian telah ditutup, ketika kantung-kantung tidur dibuka, padang di kaki bukit gelap terbentang, suara-suara serangga malam menjadi latar cerita-cerita yang mereka lontarkan sebelum tidur. Zara mendengar teman-teman yang berkisah tentang suami, istri, kekasih, anak atau rumah yang dirindukan. Yang lain mengenang kegagalan masuk dinas militer. Sementara dirinya sendiri mengingat Fayza dengan penuh kerisauan, juga membayangkan sebuah cerita panjang yang begitu ingin ditulisnya.
“Aku ingin mulai menulis setelah ekspedisi ini..” Zara berbisik kepada temannya yang ternyata telah terlelap. Di kejauhan ia mendengar burung malam seolah menyahuti rencananya itu.
Dan pagi ini, ia mengulang lagi keinginannya itu di sela sarapan yang dikunyah tergesa.
Seorang teman lainnya memandang Zara prihatin, menganggap perempuan itu tengah mengidap depresi serius setelah berhari-hari berkutat dengan pencatatan fluktuasi suhu, kemasaman tanah dan daftar vegetasi. Atau barangkali ia terkena pengaruh buruk udara dingin yang selalu saja menemukan cara paling lihai menembus tenda dan kantung- kantung tidur mereka. Atau, jangan-jangan petualangan bermil-mil menelusuri danau dan padang di Finlandia sebelum mengunjungi bekas- bekas danau di Belanda yang telah lenyap, membuat Zara merasa mendapatkan ilham untuk menyampaikan kabar mulia seperti layaknya orang-orang suci seusai menuntaskan semedi yang panjang.
2 / 11
Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54
Rombongan peneliti itu berkemas-kemas sejak subuh. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil menuju tempat liburan. Satu dua orang memilih langsung pulang ke negara masing-masing. Ini lazim mereka lakukan saat sebuah ekspedisi berakhir.
Zara menyeduh secangkir teh earl grey dan tergesa melahap semangkuk sereal di makan pagi yang dijadikan acara perpisahan itu.
“Hendak ke mana Zara?”
“Ke Jakarta …”
Zara pamit. Teman-temannya melambai, mengucapkan bermacam jenis salam lalu meneruskan sarapan dan percakapan.
“Kita ketemu di konferensi Montana, Zara! Hati-hati dan jangan lupa bawa novelmu!”
Ini seruan selamat jalan yang paling melekat di kepalanya saat taksi membawanya ke bandara. Terdengar seperti olok-olok.
(Oh, tunggu saja! Bukankah Galileo juga menulis puisi di sela kesibukannya membuat teleskop, mengamati jagat raya dan mempelajari aliran sungai?)
***
ADA gereja di dasar danau itu. Juga ada rumah-rumah yang lenyap secara misterius tujuh puluh tahun yang lalu. Danau itu sendiri hilang dalam waktu semalam. Seperti sebuah bak mandi raksasa yang dikuras, disedot oleh kekuatan gaib. Seorang nelayan yang terkantuk-kantuk di pagi hari, memutuskan menelepon polisi mengabarkan lenyapnya danau di
3 / 11
Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54
Desa Bolotnikovo.
Penduduk desa berkerumun. Ada yang membatalkan kegiatan hari itu, memilih berdoa. Ini bukan pertanda baik. Sebaiknya jangan pergi jauh-jauh. Dua anak muda yang bangun kesiangan sehabis mabuk-mabukan di bar di desa sebelah, mengigau sambil sempoyongan. “Hantu danau beraksi lagi, kali ini mencuri semua air!”
Wartawan dan peneliti datang hampir bersamaan, mendapati dasar danau yang berlumpur. Seorang pejabat Rusia memberi keterangan pers, ada aktivitas gua-gua di bawah tanah. Ada celah yang tiba-tiba melebar di dasar danau dan menghisap semua air yang ditampung selama ini. Tapi bagaimana nasib ikan, lumut, alga dan berudu? Di mana lagi kita harus berenang dan berperahu? Rengek kanak-kanak yang menarik-narik ujung gaun ibunya. Seorang nenek berujar apatis, “Ah, ini ulah Amerika!”
Zara juga ingin bercerita tentang Danau Beloye yang tiba-tiba mengering lenyap, menyisakan takhayul seperti yang ditemuinya di Desa Bolotnikovo. Hikayat yang seram tentang gereja dan sederetan rumah penduduk di sekitar danau yang tiba-tiba hilang puluhan tahun lampau, membuat orang-orang bergidik.
Apakah Fayza senang pada kisah-kisah mahluk misterius yang tinggal di danau yang dikabarkan kerap menculik manusia?
Kakak, mahluk seperti apakah yang menyekapmu?
***
Bandara Schipol
DI sebuah lounge yang senyap, benak Zara sibuk menyusun sejumlah cerita. Tiga sofa biru tua yang empuk dan lembut, dua layar televisi plasma yang menyiarkan iklan wisata tanpa henti,
4 / 11
Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54
seorang perempuan dengan dandanan meriah duduk dengan posisi kepala tertunduk menahan kantuk, seorang lakilaki dengan kemeja lusuh yang lengannya ditarik hingga ke siku, menyelonjorkan kaki di atas koper kecil bermerk Samsonite abu-abu, ia membaca buku yang di sampulnya tertulis The World is Flat . Di sampingnya, duduk seorang gadis dengan ransel The North Face yang begitu besar. Zara membayangkan gadis itu bakal sempoyongan saat berjalan menuju kabin pesawat memanggul ransel yang seolah menampung setengah dari isi Bumi.
Lihatlah, orang-orang dengan penampilan yang berbeda-beda, tapi dengan tujuan yang sama: menunggu penerbangan paling pagi.
Belum pernah Zara secermat ini membuka lebar-lebar matanya dan mengamati dengan seksama setiap orang. Begitu banyak bandara, pelabuhan dan tempat-tempat ramai yang telah didatanginya, baru kali ini ia meluangkan waktu memperhatikan dengan sepenuh hati segala gerik-gerik orang di sekelilingnya.
Ia telah membayangkan dua danau di tempat yang berbeda. Yang satunya tercipta sekejap seusai guncangan gempa dan hantaman longsor. Yang lainnya ditelan seketika oleh gua-gua rahasia di perut Bumi yang menganga dan menghisap semua isinya, menyisakan dasar ceruk yang berkerut-kerut seperti kulit jeruk.
Kisah dan orang-orang seperti apa yang hendaknya kuciptakan untuk mendampingi cerita Fayza yang begitu mencekam?
Sebuah rumah kecil yang sesak dengan kenangan. Di situlah mereka berdua menghabiskan masa kecil. Di mata Zara, langit selalu terlihat sangat dekat, seperti sengaja ditarik turun beberapa meter untuk menjadi latar pemandangan danau kecil di kejauhan yang tampak dari jendela rumah mereka. Danau tempat Fayza mengajaknya berperahu, berenang, menjaring ikan dan memetik biji teratai. Bertahun-tahun kemudian setelah ia menjelajah satu demi satu danau di belahan Bumi utara, yang beku di musim dingin dan cemerlang beriak tenang di musim panas, barulah Zara sadar bahwa langit memang kadang terasa sangat dekat, bahkan kerap seakan pindah ke permukaan danau, memantul-mantul jelas. Langit seperti bercermin mematut diri. Pernah sekali pemandangan menakjubkan itu membuat Zara yakin bahwa danau
5 / 11
Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54
dengan permukaan sebening kristal membuat teratai dan bunga bakung seolah tumbuh di pantulan bayang-bayang awan yang berenang.
Fayza dan seribu kenangan yang melintas silih berganti.
“Ada teori baru apa lagi, Nona peneliti danau?”
Zara dengan penuh semangat bercerita tentang danau-danau di Utara, tentang laju evaporasi di danau tertutup, tentang pendangkalan, tentang pencemaran, tentang danau buatan yang bentuknya tampak aneh.
“Zara, apa yang kusuka dari sebuah danau, karena kita tahu pasti ia hanyalah sebuah ceruk di tengah-tengah daratan luas. Ia bukan sungai yang mengalir ke laut, ia juga bukan samudra yang membuat kita cemas membayangkan di manakah pantai terdekat untuk berlabuh. Danau adalah hamparan air yang bisa kita nikmati tanpa perlu mencemaskan angin yang bisa tiba-tiba menjadi sangat kencang, tanpa perlu mengkhawatirkan gelombang pasang dan badai. Tepi danau yang tampak, meski hanya bayang-bayang yang samar, membuat kita tidak bakal merasa kehilangan arah dan menebak-nebak jalan pulang…”
Fayza jugalah yang membuat Zara menumbuhkan cintanya pada danau, hingga akhirnya ia menegaskan sebuah cita-cita: limnologist. Nama yang tak akrab untuk sesuatu yang begitu dekat dengan masa kecil mereka. Ia menjelajahi danau, telaga, waduk dan segala ceruk di daratan yang menampung air. Fayza sendiri memilih jalan hidup di balik spanduk-spanduk perlawanan, meninggalkan kehidupan setenang danau, melupakan masa kecil menyenangkan, mengabaikan angin yang mendorong perahu dan keriangan mengumpulkan biji-biji teratai.
“Kalau menurut teori, tempat bermain kita dulu itu bukan danau, tapi hanyalah telaga luas, Kakak…”
“Apa bedanya danau dan telaga? Ah, Nona peneliti jangan sok serius begitulah! Kenapa harus kaku menggunakan definisi…”
6 / 11
Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54
Fayza kembali turun ke jalan, mengepalkan tangan, membentang spanduk. Zara terbang kembali ke Montana bergabung dengan sebuah tim ekspedisi. Ia menenggelamkan diri dalam penelitian bertahun-tahun, juga mengadakan perjalanan ribuan mil mendatangi danau-danau di Bumi utara, yang putih beku di musim dingin, dan yang cemerlang di musim panas.
“Kakak hati-hati ya.”
“Kau yang harusnya hati-hati di negeri orang, Zara.”
Bandara Schipol yang lengang, dengan beberapa petugas yang terkantuk-kantuk di pagi yang belum merekah. Gerai-gerai toko masih tutup. Satu-satunya kesibukan tampak dari sebuah kafe kecil yang menebar bau kopi. Fayza melintas-lintas di benak Zara seperti cahaya berwarna warni yang berkejaran. Kenangan demi kenangan menyala terang. Ah, tiba lagi waktu itu. Sebuah peringatan yang selalu membawanya pulang ke Jakarta, bertemu orang-orang bernasib sama.
Kakak, bandara ini adalah sebuah danau masa lalu. Orang menyebutnya Herlemeer. Bukan danau yang tenang dan menyejukkan seperti yang kita kenang. Ini adalah medan pertempuan laut yang sangat sengit, antara pasukan Belanda dan Spanyol. Siapa yang membayangkan ratusan tahun kemudian ia dapat ditimbun dan diubah menjadi hamparan lantai keramik berkilau, di atasnya dibangun dinding-dinding kaca, ramai didatangi orang-orang yang hendak pergi dan pulang? Kakak, dulu kau bilang, danau bukan tempat yang menandakan penjelajahan jauh seperti halnya samudra. Di seberang, kita selalu pasti menatap tepian, katamu. Kau yakin, orang-orang mengarungi danau untuk sekadar mengitarinya, bukan merencanakan perjalanan yang jauh. Dan karenanya kau pernah bersikeras berperahu sendiri dan memintaku melambai di tepian.”
(“Kakak pasti pulang. Zara, jangan khawatir. Bila Kakak tiba di seberang, lambaianmu masih terlihat di sana…”)
“Kakak,orang-orang memang sejak dulu melenyapkan danau demi melancarkan rencana-rencana yang semakin jahat dan serakah. Di negeri ini, danau ditimbun menjadi tanah
7 / 11
Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54
pertanian. Rawa-rawa disulap menjadi lahan pabrik dan jalan bebas hambatan. Tapi danau yang hilang itu juga melenyapkan kemilau lanskap, membuat sedih para pemburu cahaya di dataran rendah ini. Para pelukis Eropa di abad-abad lampau yakin bahwa cahaya di sekitar danau adalah hadiah alam tiada tara. Ia terentang di garis langit, diselubungi titik-titik air yang sangat halus. Sungguh, keindahan yang subtil.” [1]
***
Jakarta
PULUHAN wajah tertunduk. Ada air mata yang berkilau diterangi cahaya lilin, ada karangan bunga dengan pita belasungkawa, juga ada doa yang dilambungkan ke angkasa malam. Sebuah spanduk besar dengan sembilan gambar wajah, terentang bersama renungan yang dituturkan dengan suara bergetar. Delapan tahun sudah orang-orang ini terperangkap dalam terowongan misterius yang begitu panjang dan tak menunjukkan tanda cahaya di ujungnya. Setiap tahun, saat mereka berkumpul untuk mengingat hari tragis itu, langit-langit terowongan itu memang terang benderang dengan kenangan. Tapi hanya sekejap. Selebihnya adalah gelap. Di dinding terowongan itu terpahat luka, sakit hati dan dendam. Udara yang memenuhi rongga dada mereka mengandung amarah sekaligus sikap pasrah dan putus asa. Menyesakkan.
“Hari itu tak ada yang aneh. Orang-orang di rumah tak ada yang memiliki firasat buruk. Fayza pamit seperti biasa dan hanya berpesan kamar tidurnya dibersihkan sebelum ia pulang.”
Zara mendapat giliran mengenang Fayza. Apa yang dituturkannya adalah kutipan dari buku harian yang murung, yang dibuka sekali setahun untuk dibaca di depan banyak orang. Tahun demi tahun diceritakannya tentang Fayza yang pamit, melambai di pintu. Di pagar, perempuan itu berhenti sejenak, memeriksa spanduk-spanduk unjuk rasa di tas kain yang menggantung di bahu kanannya. Lalu tubuhnya hilang di ujung jalan.
Di samping Zara, ayah dan ibunya memeluk foto sang demonstran yang tersenyum sangat manis itu. Kaca bingkai foto itu berkilau ditimpa tangis, seperti dedaunan yang cemerlang sehabis hujan.
8 / 11
Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54
Zara kemudian mundur, memberi tempat bagi orang-orang lainnya membeberkan kenangan mereka.
Dan saat doa dan renungan dituntaskan, lilin-lilin meleleh, bunga duka cita ditabur di pelataran, seorang panitia acara renungan meneriakkan kemarahan. “Besok kita akan serukan lagi desakan baru. Ini sudah delapan tahun! Bahkan pernyataan maaf secara resmi pun tak sudi mereka berikan! Manusia-manusia tak punya hati itu harus terus ditekan! Kita tidak boleh lengah, harus tetap menuntut! Penculikan ini harus diungkap tuntas!”
Lakilaki berpakaian serba hitam lalu menghampiri Zara, menjabat tangannya sangat erat. “Fayza aktivis yang luar biasa berani. Ia menjadi inspirasi. Kami tak mungkin melupakannya!”
Zara terdiam. Ia teringat danau di Bolotnikovo, yang hilang dalam semalam, seperti Fayza yang juga lenyap begitu saja.
Ingin kutulis cerita tentang danau yang hilang itu untukmu, Kakak…
“Sudah larut. Kita pulang Zara…”
Keranjang bunga yang digenggam ibunya telah kosong. Ajakan pulang itu mengembalikan kesadarannya. Kembang untuk Fayza telah ditabur di pelataran. Aspal hitam yang dipijaknya berhias kelopak ungu dan putih.
Delapan tahun sudah mereka berziarah di pelataran itu. Tak ada makam untuk Fayza, karena mereka semua bersikeras bahwa perempuan berani itu hanya lenyap hilang disekap. Bukannya mati. Meski dalam kenyataan, yang ada hanya kesimpangsiuran, harapan yang makin menipis berendengan dengan kenangan yang semakin menebal.
9 / 11
Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54
Taburan kembang di pelataran itu, di sebuah sudut kota yang diyakini menjadi saksi terakhir keberadaan Fayza dan demonstran lainnya, akan hilang besok. Mungkin terbawa angin, atau mungkin disapu petugas kebersihan.
“Kakak, hati-hati…”
“Kau yang harus hati-hati menjelajah negeri-negeri yang jauh, Zara.”
Zara ingin sekali kembali ke waktu di mana percakapan itu terjadi. Ia menyesal tak pernah menegaskan kekhawatirannya dengan sungguh- sungguh.
“Kakak yang seharusnya lebih hati-hati di negeri sendiri….”
Tokyo – Munich, Juni 2008
Catatan:
* Cerita ini dipersembahkan untuk orang-orang yang hilang dalam perjuangan menegakkan demokrasi.
10 / 11
Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54
* Bahan cerita diambil dari berita BBC dan Kantor Berita Pravda tentang White Lake di Desa Bolotnikovo, Rusia yang hilang dalam waktu semalam pada Mei 2005. Cerita ini juga diilhami oleh terbentuknya 23 danau akibat longsor sehabis gempa dahsyat pada 12 Mei 2008 di Provinsi Sichuan, China serta proses terbentuknya danau-danau di Montana, AS, puluhan tahun lalu. Bahan tentang danau di Belanda dan pelukis yang mengabadikan cahaya di atas danau dan permukaan air terinspirasi dari artikel See the Light ditulis oleh Ken Wilke untuk Holland Herald, edisi Juni 2008.
[1] Kalimat ini disadur dari latar belakang pembuatan film The Dutch Light, karya sutradara P ieter-Rim de Kroon dan penulis Maarten de Kroon . Pemburu cahaya yang dimaksud adalah para pelukis Belanda abad ke-17 yang terkenal sangat terampil melukis gradasi cahaya, menyamai presisi karya fotografi.
11 / 11
Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
Seperti malam yang lain, ada ketakutan yang tak mampu kujelaskan. Malam tak lebih kejam dari masalah yang kurasakan saat ini. Ia tidak hanya sekadar menggurita, tetapi ia justru melilit dan mencengkram lebih dalam. Detak semakin lamban. Seperti malam kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua. Pukul dua belas tengah malam. Angin menusuk gigil. Mencucuk sumsum dan tulang. Aku mempererat hangat dan beranjak menuju rumah. Menuju tempat mula segala duka, sekaligus berharap malam menelanku bulat-bulat. Berjalan melintasi tanah-tanah berlumpur yang menenggelamkanku diam-diam ke ruang-ruang lengang melenakan.
Terngiang serapah Ibu mertuaku pagi tadi. Di beranda tempat ia biasa minum teh seraya menyaksikan kelopak-kelopak mawar. Bercerita dan bersenda sambil menunggu senja tiba. Namun, pagi kali ini menjadi lain. Setelah aku membersihkan seisi rumah, seketika Ibu mertua mengumpatku seolah- olah ia sedang dipatuk ular berbisa.
“Dasar anak kurang ajar. Gara-gara kau rusak keluarga ini,” perempuan paruh baya itu berteriak-teriak, “perlu kau tahu, ya. Dulu sebelum kau menjadi bagian dari keluarga ini, keluarga ini tidak pernah ada masalah. Setelah ada kau, hancur. Semuanya hancur!”
Aku menatap bola mata Ibu mertuaku dalam-dalam. Sebuah laut penuh ombak. Gelombang yang tidak pernah henti menampar karang. Semenjak kami menikah, sejak Ayah mertuaku meninggal karena penyakit yang dideritanya, sejak saat itu pulalah Ibu mertuaku terus menyusun bangunan kebencian terhadapku. Menantu satu-satunya. Ibu mertua yang kemudiannya melanjutkan fungsi Ibu sekaligus Ayah bagi suamiku, Pranata, anak tunggalnya. Mulai kami menikah. Mulai kami mengontrak rumah. Sampai kami terpaksa harus pindah rumah dengan alasan Ibu mertua tinggal sendirian dan rumah besar yang begitu lengang.
Ah, bola mata itu seolah semakin beriak. Bola mata tempat biasanya aku berharap teduh. Tempat menimba kebahagiaan yang tak pernah kering. Tetapi, bagaimanapun aku harus memberi penjelasan.
“Ibu aku hanya ingin permisi. Aku minta izin berangkat ke kampus. Aku.....”
“Diam kau. Asal kau tahu saja, berjalan dengan kau saja aku malu. Malu! Semua orang
1/9
Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
menatapku jijik. Semua orang ingin menelanku bulat-bulat!”
Mataku tersengat panas mendengar maki Ibu mertua yang amat pedas. Air mataku seolah ingin tumpah. Namun, kubulatkan tekad membangun bendungan kesabaran, agar air mataku tidak meruah.
“Bu, aku perempuan. Aku terbawa perasaan. Aku terlalu mencintai Bang Pranata. Tidak ada maksud lain. Aku mohon Ibu mau mengerti.”
“Aku juga perempuan!”
“Bukan itu maksudku, Bu. Aku tidak berdaya dengan segala kelemahanku itu. Bang Pranata sosok laki-laki yang paling aku cintai saat ini. Aku begitu mengenalnya luar dan dalam. Aku tidak menyesal bila Bang Pranata melakukannya padaku. Aku rela. Bahkan aku merasa gembira telah berhasil membuktikan rasa cintaku kepada Bang Pranata.”
“Ooo, jadi maksudmu kau menyalahkan anakku? Kalau tidak kau bentangkan selangkangmu itu, tidak akan bunting kau. Tidak rusak anakku!” teriak Ibu mertua berapi-api, “Anakku itu baik. Tampan. Anakku satu-satunya. Hanya aku ibu sekaligus ayahnya. Kalau saja kuperintahkan ia menceraikanmu, maka ia akan segera menceraikanmu. Itulah anakku. Didikanku. Tidak seperti dirimu. Apa begini hasil didikan orangtuamu?”
“Anak lacur!”
“Ke mana lakik diikuti!”
“Tidak perdulian!”
2/9
Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
“Gara-gara kau rusak keluarga ini!”
Serapah itu bak air terjun tak henti tumpah. Berdegap. Melumatkan bunyi gemerisik dedaunan. Menghempas ke dada. Menderes kalbu. Aku berdarah.
Bias-bias kelam itu membawaku perlahan telah sampai di beranda rumah. Aku berdiri lama di batang tiang, pagar masuk. Aku menarik napas panjang. Segar hawanya mencemaskan. Desau angin terdengar menyisir dedaunan. Bunyi denting piring yang ditingkahi dendang repetan. Berantai. Menebas suara telenovela dinyalang televisi, dalam rumah itu. Menembus jendela dan daun pintu yang terkunci rapat. Pada redup lampu beranda yang belum sempat diganti. Serta dengung nyamuk yang tak henti memecah sunyi.
Suara repetan itu. Suara repetan ibu mertuaku yang tak henti bernyanyi. Suara yang sudah teramat kukenal. Akrab. Lekat di kedua belah anak telingaku. Suara yang tiap menit kini mulai menggerayangi kegelisahan. Menghantam. Pedih. Meledak. Seolah derit pintu kehilangan baut. Menghantam pikiran yang sulit mengundang tenang.
Aku jadi teringat Ibuku. Aku ingin pulang. Aku sudah hampir tidak tahan, membendung terjangan kemarahan yang bertubi-tubi. Seolah ribuan jarum yang menembus ulu hati. Aku ingin mati, agar terlepas beban ini. Jika diminta memilih. Dan tuhan mengizinkan. Aku lebih memilih mati. Kematian yang indah.kusukai. Terlepas bebas. Seolah terbang jauh menembus cakrawala. Berdendang-dendang. Menari. Terus dan menerus.
”Jangan kau kira mentang-mentang aku janda, aku lantas akan seburuk dirimu? Aku perempuan terhormat. Memang, aku istri kedua dari suamiku. Tetapi, aku tidak seburuk dirimu yang merusak keluarga ini. Kau. Kaulah penyebab keluarga ini dicibir orang. Kau yang menjadikan keluarga ini tidak dihormati lagi oleh para tetangga di kampung ini.”
Ingin cerai, rasanya tak mungkin. Aku terlalu mencintai suamiku. Apalagi lagi anakku, Cantika, tidak mengerti apa-apa. Aku tak ingin buah hati kami harus mengalami beban yang tak pantas ia dapatkan. Apalagi beban itu disebabkan oleh gelora nafsu jiwa muda kami.
3/9
Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
Aku ikhlas. Aku rela meski selalu dipersalahkan. Termasuk ketika Bang Pranata tidak berbuat apa-apa ketika aku kuyup oleh hujan serapah ibunya. Atau ketika ia ikut serta mencuri-curi waktu di kamar ibunya menyudutkan aku. Serta ketika ia membawa sesuatu ke rumah dan tak secuil pun memberikannya padaku.
Apa karena aku terlalu berharap? Atau karena aku yang terlalu cemburu? Terutama di saat aku mendapatkan puisi-puisi yang terlahir selalu menyebut nama perempuan lain. Imajinasi? Mungkin. Atau aku yang terlalu manja ingin selalu di sisinya, sehingga akal sehatku pun tak mampu kukendalikan. Aku tidak peduli apakah ia sedang kuliah. Aku tidak peduli apakah ia sedang bekerja. Aku akui aku salah. Tetapi, mengapa aku diperlakukan sekejam ini? Jauh dari orangtua atau karena aku yang terlalu bergantung hidup pada Bang Pranata. Mungkin akan banyak mungkin yang lain. Atau akan berlimpah atau yang lain. Ah, entahlah.
Dan akhir-akhir ini, Bang Pranata yang selalu lebih banyak diam semarah apapun, sekarang mulai berkata kasar. Membentak.
”Sakit kau!”
”Adek kok nggak Abang jemput?”
”Kau yang pergi. Kok, aku yang menjemput? Kau pergi tanpa setahuku, seharusnya kau sendiri yang pulang tanpa harus kujemput. Itukan kemauanmu!?”
”Adek butuh perhatian Abang...”
”Aku sudah muak padamu!”
”Bang. Adek ingin Abang mengerti perasaan Adek...”
4/9
Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
”Untuk apa lagi aku harus mengerti perasaanmu. Kau selalu saja melawan orangtuaku. Kau selalu saja menjelek-jelekkan aku di depan orangtuamu!”
”Bang. Adek berani sumpah. Adek tidak pernah menjelek-jelekkan Abang?”
”Tidak usah kau bersumpah. Bagiku tidak ada gunanya.”
Dan persis seperti malam ini, hentakan umpatan tak juga berhenti. Kaki berat melangkah. Terlebih ketika bilah daun pintu masuk terbelah. Serapah pun memecah. Angin malam yang berhembus sejuk semakin menambah gerah.
***
Pagi ini, kicau burung terdengar begitu kejam. Udara seperti menghentak. Aku hanya mampu menahan perih hati. Menahan pedih air mata. Sesabar mungkin kukecup gadis kecilku, membangunkannya dari desing peluru yang meluncur dari mulut ibu mertuaku. Ia bangun dari tidurnya dengan senyum yang justru menambah pedihku semakin parah. Tak lupa melempar senyum pada ibu mertuaku yang tetap pada pendiriannya yang membakar.
“Detik ini juga kau pergi!” matanya menebar api,”Aku tidak mau memlihara sundal di rumah ini. Aku malu!”
Serapah itu terus meruah. Seirama dengan porak benda-benda yang dilayangkan ibu mertuaku. Benda-benda itu seliweran ke mana-mana. Aku tidak peduli. Tetapi, aku tidak bisa tidak peduli ketika benda itu salah satunya mengenai gadis kecilku. Ia menangis. Ibu mertuaku tidak peduli. Aku mengerang.
“Ibu, aku akan pergi. Aku sadar. Aku tahu diri. Tetapi, aku mohon jangan sakiti anakku...”
5/9
Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
“Ya, bawa anakmu itu. Anak pembawa sial!”
“Bu, sekali lagi aku mohon. Anak ini tidak tahu apa-apa.”
“Ya, anakmu itu memang tidak tahu apa-apa. Anakmu tidak mengerti, tetapi kelahirannya juga ikut andil terhadap hancurnya keluarga ini. Anakmu, anak pembawa sial!”
“Bu!”
“Apa?! Mau melawanku?!”
“Tidak, Bu. Aku tidak akan pernah melawan Ibu. Aku hanya ingin mengingatkan ibu, jangan menyalahkan anak ini, anakku, cucu Ibu...”
“Apa?! Apa aku tidak salah dengar? Cucuku?”
“Ya, cucu Ibu. Darah daging Bang Pranata.”
“Dasar perempuan lacur. Berani-beraninya kau mengatakan itu cucuku, anaknya Pranata!” ibu mertuaku mengamuk laiknya banteng ketaton, menyeruduk ke sana ke mari,”dasar perempuan tak tahu diri. Kau telah menjebak anakku. Kau menjebak anakku agar dia mau mengawinimu. He, jujur saja kau. Sudah berapa laki-laki yang turut andil menanam bibit di perutmu itu, ha!”
“Cukup, Bu!”
“Ooo, Kau sudah berani membentakku. Kau sudah berani menghardikku. Bajingan!”
6/9
Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
Seperti tidak puas-puasnya ibu mertuaku menjambak. Tak henti-hentinya menampar, memaki, serta menunjang tubuhku.
Aku berusaha bertahan. Pukulan dan makian ibu mertuaku yang bertubi-tubi tidak kuhiraukan. Aku segera mengemasi pakaianku. Secepat mungkin menggendong gadis kecilku yang sudah kehilangan suara di serak tangisnya.
Waktu masih menyimpan rahasianya. Aku terus mencari maknanya. Angin yang bertiup sedikit berpihak padaku. Hembusannya yang lembut, cukup melenakan anakku. Anakku sedang asyik bermain dengan mimpi-mimpinya. Sampai sekarang memang aku belum paham, apa ini yang disebut karma. Aku pernah teringat selentingan tentang pengkhianatan ibuku terhadap bapakku. Bapakku terlalu mencintai ibu, karena ibu mampu meyakinkan bapakku agar tidak terlalu kuatir.
Peristiwanya terasa menyakitkan. Ketika itu ibu mengaku sakit, sehingga tidak bisa menjajakan jamunya. Pagi-pagi sekali Bapak pergi, setelah merapikan botol jamu Ibu. Ibu berselubung sakit. Menitip maaf padanya. Setelah melabuhkan kecup di dahi Ibu, Bapak segera menapak langkah. Bapak diam-diam merangkai kejutan, mencatat pada jejak yang ditinggalkan.
Kali ini Bapak seolah mendapatkan kesempatan mengusung pulang sebelum magrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, menabalkan niat kejutan cinta yang lama terpendam walau hanya sekadar setangkai kembang.
“Hati-hati di rumah, ya...”
“Ya, Kang Mas...”
Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan mereka beranjak dewasa, dan momongan mereka hanya aku seorang. Dan kesempatan ini tidak akan begitu saja dilupakan sebagai pengerat diksi puisi cinta mereka.
7/9
Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
Sampai beranjak malam setangkai melati baru didapatkan. Tapi hujan yang mencurah tak kunjung henti. Bapak sempat menunggu beberapa saat, angin yang mendesau seolah tak memberi ruang untuk sekadar lewat. Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Bapak membulatkan tekad menapakkan langkah. Bapak menelusuri ruang-ruang basah. Bapak sesekali menggigit bibirnya. Bersebab guyur hujan dan deru angin, demi mengabulkan ingin. Seputih hatinya.
Hatinya membunga. Semacam taman yang tak henti-hentinya menebarkan semerbak aroma surga. Menyusup pada bilah-bilah dada. Sesampainya di rumah, Bapak menggelupurkan sesak dada. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala bahagia. Sehingga ia tak paham lagi mengunyah defenisi-defenisi setia.
Entah apa yang merasuk di kepalanya. Ada amuk yang menggelora. Ranjangnya membanjir gairah. Ranjangnya ditenggelamkan irama desah. Bukan gairah miliknya. Bukan irama desah miliknya. Setangkai melati di tangannya ikut merasakan deru amarah. Seketika tenggelam bermandikan darah.
Belati di tangan Bapak memerah. Ketika itu aku mendapatkan Bapak sudah digelandang Polisi. Tangannya digari. Ibu sibuk mengutip derai tangisnya di atas ranjang yang penuh dengan simbah darah.
“Jangan pernah kau injakkan kakimu di rumah ini lagi!”
Aku tersentak. Suara ibu mertuaku membuyarkan segala kenangan pahit. Aku kembali ke alam nyata yang lebih kejam. Tetapi, begitu melangkah ke luar rumah, aku seperti menemukan kesegaran lebih ringan dari udara pagi. Melesat begitu saja. Melintasi segerombolan orang-orang luka. Di antaranya terlihat bang Pranata dengan wajah seputih kapas, digiring paksa. Tepat di sebelahnya, seorang perempuan yang tengah hamil tua. Serentak mereka menuju rumah ibu mertuaku. Aku tak ingin menoleh lagi. Aku merasa bebas. Bebas. Mungkin ada sisa titik iba, ketika kudengar petir sepagi ini pecah dari rumah ibu mertuaku. Suara sepenuh duka.
8/9
Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44
Medan, 2010
M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK Panca Budi – 2 Medan. Alamat Sekolah: Jalan Jenderal Gatot Subroto km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Alamat Rumah: Jalan Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E-10 Medan, Sumatera Utara.
9/9
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Dari cara dia bicara, terlihat apa yang dibicarakannya seolah-olah amat penting. Sangat serius. Wajahnya dimajukan ke depan - ke arah lawan bicaranya. Padahal yang dibicarakannya sering soal remeh-temeh. Kalau hal-hal yang besar, dia jarang dibawa-bawa orang. Dia kebagian selalu masalah-masalah yang kecil.
Kerut-kerut keningnya, gerinyit-gerinyit alisnya adalah ciri khasnya waktu bicara. Dan lawan bicaranya tidak pernah betah berhadapan dengan dia. Dia sangat membosankan. Dia suka memotong pembicaraan. Baru mulai lawan bicaranya ngomong langsung dipotongnya. Dia suka memonopoli pembicaraan. Padahal pendapatnya, analisanya, dugaannya terhadap persoalan yang sedang dibahas amatlah sangat dangkal. Dan lawan bicaranya tidak punya kesempatan membantah pernyataannya.
Akibatnya !
Siapa yang terjerat dalam pembicaraannya, terimalah nasib. Amatlah sulit melepaskan diri. Dia bicara cepat – tegang – serius, menatap lekat-lekat mata lawan bicaranya.
Umur 35 tahun dia belum punya istri. Belum bertemu jodoh yang sesuai.
Lenggang sebetulnya adalah lelaki ideal untuk jadi seorang suami. Tampangnya tidak jelek betul. Badannya sedang dan berotot. Dia pekerja keras. Pagi-pagi sekali dia telah tiba di sawah. Sawah sepiring satu-satunya milik emaknya. Karena emaknya sudah tua, dialah yang menggarapnya. Kadang dia menanam padi, kadang dia menanam cabe. Tetapi karena sawah tersebut tidaklah begitu luas, hasilnya pun juga tidak seberapa.
Kalau tidak musim ke sawah dia sering diajak bertukang, menjadi pekerja kasar, yaitu tukang aduk semen dan tukang angkat batu. Atau dia menerima upah di sawah atau di ladang orang, menyiangi sawah yang akan dibajak, memetak-metaki ladang cabe. Pokoknya Lenggang tidak pernah meletakkan tangannya di rumah. Ada-ada saja pekerjaannya.
1 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Kalau sosialnya, dia nomor satu.
Kalau ada kematian dia nomor satu datang. Urusan menggali kuburan dia ahlinya. Dengan tenaganya yang besar, dan puji-pujian dari teman-temannya, dia tidak tau diri menggali.
Dia amat suka pujian.
Kalau ada helat perkawinan tenaganya selalu di pakai orang. Mengangkat-angkat yang berat, memasang tenda, mengangkat kursi.
Lenggang telah milik orang banyak.
Tapi soal istri? Tunggu dulu.
Syaratnya tidak muluk-muluk!
Siapa perempuan yang mau memberinya sebuah vespa dia mau kawin dengannya.
Tiap malam Lenggang mimpi ingin memiliki vespa.
Vespa katanya, memiliki wibawa yang tinggi dibanding kendaraan roda dua yang lain. Lenggang sering berhenti melangkah bila dari depan atau dari belakang terdengar mesin vespa, dia terkagum-kagum melihat vespa tersebut, dan dia membayangkan yang duduk di atasnya - dengan badan lurus - kepala ditegakkan dan berkaca mata hitam adalah dirinya.
2 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Gadis mana di kampung itu yang sanggup memberinya vespa?
Vespa paling murah?, seken dan tahun yang tinggi sekalipun tetap namanya vespa. Sekian harganya!
Sebetulnya ada ! Sebut saja Diah. Gadis kampung seberang. Kakak Diah Mamat, asal adiknya yang hampir berumur 30 tahun itu punya laki, maka tidak keberatan membelikan Lenggang vespa.
Tetapi Lenggang? Mendengar vespa ini dia amaaat setuju.
Maka setelah dia ditawari sebuah vespa asal dia mau jadi suami Diah, maka sejak itu Lenggang bercerita ke sana ke mari. Setiap orang dimintainya pendapat. Asal ada orang yang berdiri apalagi duduk dekatnya – asal kenal saja dia dengan orang itu, maka berurailah cerita dari mulutnya tentang tawaran itu.
Suatu sore Lenggang bertandang ke rumah Tini, adik sepupunya. Tini adalah satu-satunya familinya yang mau mendengar keluhnya. Ibu mereka beradik kakak. Tini adik sepupunya ini telah beranak 4 orang.
“Si Karim melarang. Katanya Si Diah itu pernah minggat seminggu. Lalu dia diantarkan oleh seorang laki-laki dengan mobil ke rumahnya,” kata Lenggang mulai pada persoalan inti.
“Uda selidiki dahulu. Kalau Uda ceroboh menolaknya nanti Uda menyesal. Vespa Da….vespa. Kapan Uda akan memakai vespa lagi?,” kata Tini sambil meletakkan kopi.
“Tek Nuri di kedainya kemaren juga melarang. Katanya kakak dari nenek Si Diah itu pernah gila. Pernah dipasung di belakang rumahnya. Berarti dia keturunan orang gila. Bingung aku
3 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Ncing. Dari 27 orang yang aku mintai pendapat, hanya 7 orang yang menyokong. 10 orang melarang dan 10 orang lagi tidak berkomentar apa-apa.”
“Apa Uda sudah bertemu dengan Si Diah itu. Lihat dulu orangnya. Dekatilah dulu orangnya.”
“Apa Ncing tahu orangnya?” tanya Lenggang ber ‘Ncing’ pada Tini.
“Tidak. Yang aku tahu, hanya Si Niah eteknya yang langiah itu.”
“Apa tidak salah Uda berkunjung ke sana Ncing?”
“Apa salahnya? Memang begitu seharusnya Da. Uda lihat orangnya dulu. Adakanlah perkenalan dulu. Setelah tukar pikiran, Uda bisa menilainya. Udalah yang memutuskannya nanti, diterima atau ditolak, daripada Uda minta pendapat ke sana ke mari.”
“Ncing…, kalau Uda datang ke sana, jangan-jangan mereka beranggapan Uda setuju kawin dengan Si Diah itu. Atau mereka merasa dapat harapan. Kalau jadi Uda dengan Si Diah itu tidak apalah, tapi kalau tidak jadi kan rusak pula hubungan Uda dengan mereka. Andai mereka berlapang dada dan mereka menganggap itu tidak jodoh - tidak ada persoalan, tetapi kalau mereka sakit hati, mereka merasa dipermainkan, lalu mereka membalas sakit hatinya. Kan ada pepatah minang ‘ndak lalu dandang di aia di gurun di tanjakkan’. Nanti Uda diguna-gunainya. Gara-gara Uda menolak lamarannya Uda jadi gila.”
“Uda….Uda kalau datang ke sana harus berterus terang. Katakan bahwa Uda bersilaturahmi dulu. Katakan bahwa Uda ingin bertemu dengan Si Diah itu. Benarkan ? Uda belum pernah bertemu dengan namanya Si Diah itu?”
“Benar Ncing entah bagaimana bentuk rupanya Uda tidak tahu.”
4 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
“Ha….justru itu Uda perlu bertamu ke sana. Uda belum melihat bentuk rupa Si Diah itu, Uda sudah bertanya kian kemari.”
“Terus terang Uda tidak berani datang ke sana Ncing. Harusnya Si Diah dan kakaknya itulah yang datang menemui Uda. Untuk memperlihatkan pada Uda rupa Si Diah itu.”
“Tidak ada adatnya di negri kita ini perempuan memamer-mamerkan dirinya ke rumah orang laki-laki Da. Biasanya masalah lihat-melihat ini kepintaran orang laki-lakilah mengakalinya. Dalam hal ini laki-laki dituntut lebih agresif. Memang Da, acara lihat melihat ini tidak ada adat yang mengaturnya. Adat pergaulanlah yang mengaturnya.”
“Yang datang duluan kan pihak dia Ncing. Bukan Uda yang berkehendak. Ya, dialah yang memperlihatkan barangnya. Dia yang mau menjual. Nanti kalau telah cocok harga baru barang diangkat.”
“Da….umur Uda sudah 35, kini ada orang yang mau dengan Uda, dan mau pula memberi Uda sebuah vespa. Apa lagi Da? Uda lihatlah ke rumahnya Si Diah itu. Cukup matanya atau cukup telinganya atau tidak. Kalau malu datang sendirian, bawa teman. Ini maksud Tini. Bukan masalah siapa yang mau menjual siapa yang mau membeli?”
Kali ini Lenggang mengangguk-angguk. Termakan betul baginya kata-kata adik sepupunya itu. Tak lama sudah itu Lenggang minta diri.
Lengang mencari-cari setelan baju dan celana yang terbaik.
Ada !, tapi telah terlalu sering dipakai. Sepatu ? Seingatnya dia belum pernah punya sepatu. Dia memegang sandal satu-satunya. Mereknya tidak ada lagi, tumitnya habis sebelah kena pijak. Akibatnya sandal tersebut kalau diletakkan akan miring.
5 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Dia harus datang sendirian sore nanti ke rumah Si Diah. Dia tidak membutuhkan teman. Teman-teman akan dibawa untuk bergembira-gembira saja nanti. Untuk memutuskan perkara besar ini harus dia sendirian. Baju, celana dan sandal ini telah diputuskannya untuk setelannya sore nanti, tanpa pakai ikat pinggang.
Sorenya Lenggang menuju rumah Diah. Rumahnya tidak begitu jauh kira-kira 30 menit jalan kaki. Kakak Diah, Mamat, yang menemuinya tempo hari telah menunjukkan rumahnya. Yaitu rumah cat biru di kampung seberang itu.
Tidak begitu sulit Lenggang menemui rumah cat biru. Dengan hati berdebar-debar dan langkah yang dimantap-mantapkan dia memasuki pekarangan rumah semi permanen. Halaman rumah tersebut agak sempit. Ada beberapa pot bunga tanpa bunga yang tersusun tidak rapi di samping pintu masuk. Di halaman tergeletak beberapa pot yang telah retak-retak. Lenggang melihat ke pintu masuk yang terbuka. Penghuninya tidak kelihatan, rumah itu kelihatan sepi-sepi saja. Timbul keraguan pada Lenggang. Dia ingin berbalik, tetapi tidak jadi, karena ada bayangan gerakkan seseorang dari dalam.
“Assalamualaikum,” kata Lenggang dari halaman.
“Aaa iiii uuuunn allllam.” Tiba-tiba di ambang pintu telah berdiri seorang perempuan kira-kira umur separo baya. Perempuan tersebut kurus kering, dan wajahnya penuh dengan bopeng, sementara rambutnya awut-awutan.
Lenggang terpana.
“Apakah ini rumah Diah?.” tanya Lenggang setelah menenangkan hatinya.
“Iii…ii…iya,” jawab perempuan itu sambil mencoba tersenyum.
6 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Melihat dia tersenyum Lenggang terperanjat. Perempuan tersebut memperlihatkan giginya yang hitam-hitam.
“Si Diah mana?,” kata Lenggang.
“Aaa..wak iii….aahhh.”
Lenggang terkejut.
“Kamu Diah?” tanya Lenggang penasaran.
Gadis itu mengangguk sambil mencoba tersenyum. Lenggang seperti melihat hantu. Tanpa minta izin Lenggang membanting kaki dan membalikkan badannya dan segera meninggalkan halaman itu. Terdengar perempuan itu ketawa-ketawa cekikikkan.
Gila !Bentak Lenggang dalam hati.
Mamat keparat! Rutuknya.
Adiknya gila diberikannya padaku.
Hati Lenggang sangat panas. Dia merasa dipermainkan Mamat. Dia sangat geram. Matanya memerah. Tiba-tiba dia melihat sebuah kaleng susu kosong tergeletak di jalan, ditendangnya kuat-kuat. Kaleng yang jadi korban kekesalan Lenggang itu melayang menuju kolam ikan di pinggir jalan itu.
7 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Teeeennggg!, kaleng tersebut membentur wc papan di pinggir kolam. Orang tua yang mencang kung di dalamnya terperanjat, dan berdiri. Karena Lenggang satu-satunya orang yang ada di situ, orang tua itu mempelototinya. Sebelum orang tua itu bicara, Lenggang cepat-cepat melangkah. Langkahnya panjang-panjang meninggalkan tempat itu.
Di penurunan di bengkolan jalan menuju kampungnya Lenggang memungut sebuah limau besar yang telah busuk sebesar buah kelapa. Dengan geram dia melemparkannya sekuat tenaga ke dalam jurang.
Braaak ! Buah limau busuk itu jatuh dia atas atap seng pondok di dasar jurang. Tiga orang laki dan perempuan terpekik berhamburan ke luar dari pondok itu. Lenggang terpana menatap ke bawah. Cepat, dengan langkah seribu dia lari meninggalkan lokasi itu.
Sejak kejadian itu Lenggang jarang ke luar rumah. Yang selama ini dia tidak bisa hidup tanpa orang lain, kini dia menghindari berjumpa dengan orang-orang. 7 orang yang menyokongnya untuk menerima Si Diah kemaren, kalau berjumpa tidak ditegur-tegurnya lagi bahkan dimusuhinya. 10 orang yang melarangnya, bila berjumpa disalami erat-erat. 10 orang yang tidak memberikan pendapat apa-apa bila berjumpa dianggukinya ditambah sedikit senyum. Dan dalam hatinya kalau dia bertemu dengan yang namanya Mamat akan dihajarnya.
Dan akhir-akhir ini, di jalan kampungnya itu ada seorang gadis memakai vespa. Kadang-kadang 2 atau 3 kali bolak-balik melewati jalan depan rumahnya. Gadis ini dia tahu betul, bukanlah berasal dari kampungnya.
Kini terdengar mesin vespa gadis itu lagi. Lenggang cepat mengintip lewat jendela. Gadis tersebut hitam manis. Rambutnya tebal dan badannya langsing. Lenggang menelan air ludahnya. Dia seperti melihat bidadari, dia suka gaya gadis itu dan…dan yang paling disukainya lagi vespa gadis itu sangat keren.
Lenggang mengkhayal-khayal.
8 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Yang membawa vespa itu yang cocoknya adalah dirinya, gadis manis itu sebaiknya duduk di belakang, supaya gadis itu tidak jatuh, tangan kanan gadis itu melingkari pinggangnya. Dia, Lenggang pemuda yang beruntung, dengan badan tegap dan menatap ke depan dan kepala sedikit terangkat terbang dengan vespa. Menyusuri bukit menuruni lembah.
Tiba-tiba dia ingat di harus ke simpang hari ini, dia akan membeli pupuk 2 kilo, kebetulan rokoknya telah habis pula. Sejurus kemudian Lenggang telah menghambur ke halaman dan terus menuju jalan besar.
Di pendakian jalan menjelang sampai di simpang, dia lihat gadis yang memakai vespa tadi berhenti. Kelihatannya vespa gadis tersebut mogok. Dia payah mengengkol-engkol. Namun vespa tersebut tetap diam. Setelah Lenggang tiba dekat gadis tersebut, spontan mata gadis tersebut menatapnya penuh harap.
“Tolong Da….,” mohon gadis tersebut.
Lenggang dulu waktu ayahnya hidup dia punya vespa. Sejak ayahnya meninggal, vespa itu terjual. Jadi banyak sedikitnya penyakit vespa dia telah paham. Kalau ini penyakitnya, kalau tidak bensinnya habis, pasti businya kotor, pikirnya sambil menghampiri gadis itu.
“Mari Dik,” kata Lenggang meraih stang vespa tersebut. Lenggang mengengkolnya beberapa kali. Tetap tidak hidup. Lalu Lenggang memiringkannya dan mengengkol lagi tetap tidak hidup. Kemudian Lenggang memeriksa bensinnya.
Gadis tersebut berdiri di pinggir memperhatikan Lenggang. Lumayan juga pemuda ini, pikirnya. Badannya tegap, cekatan dan penuh perhatian. Dia suka pemuda tipe ini.
“Nama Uda siapa?” tanyanya.
Lenggang terkejut tiba-tiba ditanyai begitu.
9 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
“Lenggang,” jawabnya singkat sambil memeriksa busi.
“Uda tinggal dekat sini?” tanya gadis itu.
“Ya …rumah Uda itu, di dekat belokkan jalan itu,” kata Lenggang sambil menghapus keringatnya dengan ujung lengan bajunya. Mendengar jawaban Lenggang hati gadis itu berdebar. Mungkin ini yang dimaksud Uda Mamat, kata hatinya. Mudah-mudahan benar.
“Eh nama adik siapa?, dan di mana tinggalnya?” balas Lenggang yang bertanya.
“Mardiah Da, awak tinggal di kampung seberang,” jawab gadis itu mendekat. Lenggang mencoba kembali mengengkol vespa tersebut. Tetap tidak mau hidup.
“Bensinnya yang hampir habis Dik. Di simpang itu ada orang menjual bensin,” kata Lenggang menunjuk kedai yang tidak jauh dari situ.
“Tolong Da….” kata gadis itu sambil menatap jalan yang mendaki itu.
“Baiklah,” kata Lenggang mulai mendorong vespa tersebut. Tidak berapa lama mereka sampai di tempat orang menjual bensin. Setelah tangki vespa penuh dengan bahan bakar, Lenggang mengengkolnya. Sekali engkol langsung hidup. Waktu mesin telah hidup gadis itu memijat-mijat lengan kanannya.
“Mengapa tangan Adik?” tanya Lenggang penuh perhatian.
“Agak sedikit ngilu Da, gara-gara menahan berat vespa”
10 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
“Bisa adik membawa vespa ini?” tanya Lenggang. Gadis itu hanya manggut-manggut sambil terus memijat-mijat pergelangan tangannya.
“Baik biar Uda antarkan adik pulang. Naiklah.”
Kemudian di jalan kampung itu nampaklah Lenggang memakai vespa dengan memboncengi seorang gadis manis. Orang-orang yang berpapasan dengan Lenggang tercengang. Makin tercengang orang-orang yang memandangnya makin bangga Lenggang.
Mimpi apa aku semalam, bisik hatinya.
Atas petunjuk gadis yang duduk di belakangnya, kini dia membelokkan vespa itu ke sebuah pekarangan rumah yang cukup luas di kampung seberang itu. Setelah berhenti, Lenggang terkagum-kagum melihat rumah megah yang bercat biru muda itu. Gadis tersebut cepat meloncat turun dan berlari masuk rumahnya. Tiba-tiba dia telah ke luar dengan kakak laki-lakinya. Demi melihat kakak laki-laki gadis itu, Lenggang terkejut. Dan kakak laki-laki gadis itu demi melihat siapa yang mengantarkan adiknya pulang juga tak kalah terkejutnya.
“Mamat!”
“Lenggang!”
Setelah keduanya saling berpandangan, Mamat tersenyum. Lenggang membuang muka. Kemudian lengan Lenggang di tarik Mardiah masuk rumah. Setelah Mardiah menghidangkan minuman, maka berceritalah dia pada kakaknya tentang kejadian di jalan tadi.
Selesai Mardiah bercerita, kini giliran Mamat pula yang bercerita.
11 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Selesai ke dua kakak beradik itu bercerita, Lenggang menyimpulkan, bahwa gadis yang ditolongnya itulah kiranya calon istrinya, bukan gadis gila yang ditemuinya tempo hari. Setelah berbasa-basi dan saling bercerita, Lenggang minta diri.
Mereka bersalaman.
“Tunggu!,” kata Mamat sambil mengambil kunci vespa.
“Lenggang, sekarang kau peganglah vespa itu. Kau coba-cobalah mesinnya,” kata Mamat meraih telapak tangan Lenggang sambil menyerahkan kunci ke genggaman Lenggang. Lenggang ngak ngik nguk saja menerimanya. Waktu vespa itu telah dihidupkannya tiba-tiba Mardiah telah menghambur kembali duduk di belakangnya.
“Antarkan Diah ke tempat orang jualan bakso Da. Diah akan traktir Uda makan bakso,” katanya memeluk pinggang Lenggang. Lenggang grogi, dia menatap Mamat. Mamat mengangguk sambil tersenyum lalu masuk rumah.
Di atas vespa - dengan angin sepoi-sepoi - dengan kepala ditegakkan - badan lurus - pinggang dirangkul gadis cantik - maka Lenggang beranggapan dia harus bersiul. Maka bersiullah dia.
Orang-orang yang berpapasan dengannya tidak sekedar tercengang-cengang saja lagi, malah ternganga-nganga menatapnya.
Besoknya, 7 orang yang dimusuhinya kemaren ditemuinya dan disalaminya erat-erat satu persatu. 10 orang yang melarangnya dulu – yang disalaminya erat-erat kemaren, kalau berjumpa tidak ditegurnya lagi. Dan 10 orang yang tidak memberikan komentar apa-apa dulu – yang kemaren kalau berjumpa dianggukinya dan di tambah sedikit senyum, kalau bertemu kembali tetap dianggukinya.
12 / 13
Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Padangpanjang, 19 juni 2009
Tentang Penulis
Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri I Batipuh – Tanah Datar Alamat sekolah: Kubu Kerambil-Tanah Datar
13 / 13
Pasca Bencana Ditulis oleh Mukti Hartono Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Sebuah kota tak berpenghuni. Dihiasi oleh bangkai-bangkai mobil, rumah-rumah kosong, dan toko-toko korban penjarahan. Entah kapan terjadi. Mungkin bertahun-tahun silam. Agak jauh terlihat reruntuhan gedung pencakar langit. Seperti sebuah dokumentasi bisu keangkuhan para manusia pada masa itu. Masa-masa puncak peradaban masa lalu. Semua hancur dalam sekejap oleh sebuah bencana.
***
Seorang lelaki berjalan melintasi sebuah area pertokoan. Atau lebih tepat bila disebut bekas area pertokoan. Sebuah keajaiban dari Sang Pencipta melihat masih ada tanda-tanda kehidupan. Meski cuma seorang lelaki.
Semenjak peradaban hancur akibat bencana besar, Heru mencoba bertahan hidup dengan berkelana. Kadang ia bertemu dengan beberapa orang dalam kelompok-kelompok kecil. Mencoba membangun kembali rumah-rumah mereka. Mencoba membangun kembali peradaban pasca bencana. Terkadang mereka berbaik hati untuk memberikan sedikit makanan. Tetapi tidak jarang juga ia hendak dimakan. Sebab di zaman ini, orang akan melakukan apapun untuk bertahan. Termasuk memakan sesama bila perlu. Secara harfiah, bukan kiasan.
Lelaki itu berhenti di sebuah papan iklan besar. Sebuah iklan rokok. Dipandangi iklan itu beberapa saat. Lalu menghembuskan nafas panjang dan melanjutkan perjalanan.
Tidak jauh dari tempat ia berdiri, terlihat selembar potongan koran lama. Heru memungut koran itu kemudian membaca salah satu kolom. Ia masih ingat cara membaca. Meski sudah lama ia tidak membaca.
“...Perang yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia saat ini, dapat dikategorikan sebagai Perang Dunia Ketiga. Mengenai dampak radiasi akibat senjata nuklir yang digunakan oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat, Korea Utara, Iran, serta beberapa negara di Eropa, diperkirakan akan memperparah dampak dari pemanasan global...”
1/5
Pasca Bencana Ditulis oleh Mukti Hartono Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Heru melihat tanggal di koran itu. Entah berapa tahun lalu ia tidak tahu. Ia tidak pernah lagi menghitung tanggal pasca bencana. Terakhir ia ingat berulang tahun ke lima belas. Ketika seluruh keluarga masih ada. Ketika ia sering membantu orang tua berjualan di kaki lima. Masa-masa indah penuh kenangan. Lalu entah kenapa ia merasa kesal. Kesal akan perang. Kesal akan nasib. Dan kesal akan keadaan. Di remas-remas potongan koran itu lalu ia lemparkan jauh-jauh.
Tak terasa matahari merah mulai tenggelam. Heru memilih salah satu toko kosong untuk dijadikan tempat bermalam. Makan malam dengan setoples biskuit berjamur. Minum seteguk dari air berbekalan. Dan tidur tanpa membuat perapian. Dingin memang. Tetapi ia tidak ingin menarik perhatian para kanibal. Bukan tidak mungkin mereka bermukim di sekitar sini.
Dalam tidur Heru bermimpi. Mimpi tentang sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Jauh dari kemacetan dan tekanan. Heru bermimpi tentang usaha bengkel kecil-kecilan. Meski kecil namun mencukupi. Juga secangkir teh dan pisang goreng. Disiapkan penuh cinta oleh Sang Istri. Dan anak-anak mereka bermain di halaman.
***
Tetes air hujan dari genting bolong membangunkan Heru. Hari masih terlalu pagi. Ia mencoba untuk tertidur lagi. Berharap mimpi semalam akan terulang. Atau mungkin terbangun dan mendapatkan itu semua bukan mimpi. Tapi dingin tak memberikan izin untuk ia terlelap lagi.
Heru memeriksa perbekalan. Persediaan semakin menipis. Biskuit basi tiga potong. Air setengah botol. Tak mungkin bertahan lama. Mau tidak mau ia harus mencari kelompok lain untuk mendapatkan perbekalan. Minta baik-baik. Mencuri bila perlu. Cuma itu cara bertahan hidup di zaman seperti ini.
Hujan mulai reda dan mendung beranjak pergi. Heru melanjutkan perjalanan tanpa tujuan pasti. Menjauhi tempat terbuka. Menjauhi keramaian. Menjauhi suara motor. Sebab berita tentang geng motor sudah sampai ke telinga Heru. Membunuh, menjarah, memperkosa, dan membakar. Beringas dan tak beradab. Meski untuk ukuran zaman tanpa peradaban.
2/5
Pasca Bencana Ditulis oleh Mukti Hartono Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Namun sejak kemarin tidak satu orang pun ia temui. Tidak satu kelompok pun. Entah kanibal atau geng motor ataupun para penjarah. Padahal belasan tahun lalu kota ini sangat padat. Belasan tahun lalu kota ini adalah Ibukota. Sebelum tsunami, gempa besar, kerusuhan massa, dan entah apa lagi.
Di tengah kesendirian Heru bergumam. Berbicara sendiri. Setengah sadar setengah tidak. Mungkin karena sudah seminggu ia tidak bicara dengan orang lain. Mungkin karena sarapan biskuit basi dan air kali. Ia tahu ia tidak gila. Cuma butuh teman bicara. Sekedar untuk memenuhi kodrat sebagai makhluk sosial. Terakhir kali ia berbicara tentang “Tanah Impian” dengan pengelana lain. Sebelum pengelana itu menembak kepala sendiri. Bosan berkelana tanpa tujuan. Bosan akan derita tak berkesudahan. Heru sempat terpikir untuk mengambil pilihan serupa. Tapi tidak jadi. Mungkin lain kali. Mungkin hari ini. Sebelum ia mati kelaparan.
Berjam-jam berjalan. Lelah dan semakin bosan. Heru tiba di sebuah pemukiman. Berhati-hati ia mengintip untuk memastikan. Tidak bermotor. Tidak ada kepala manusia untuk hiasan. Berarti aman.
Heru memberanikan diri untuk mendekat. Perlahan-lahan sambil melambaikan tangan. Seolah memberitahukan ia datang dengan damai. Satu orang melihat. Disusul orang kedua. Dan setengah pemukiman berdatangan. Sebagian terlihat curiga. Sebagian lagi penasaran.
Seorang lelaki tua mendekat. Mungkin pemimpin mereka. Dikawal dua orang bersenjata pipa besi dari belakang.
“Mau apa?”
“Minta makan. Kalau boleh. Sekalian minum.”
“Minta makan?” lelaki tua itu diam sejenak. Kemudian berkata, “Mau ditukar pakai apa?”
3/5
Pasca Bencana Ditulis oleh Mukti Hartono Senin, 25 Oktober 2010 00:00
“Kerja kasar bisa. Benerin mesin bisa. Ngajarin baca tulis juga bisa.”
Lelaki tua terdiam lagi. Mempertimbangkan tawaran Heru. Lalu menjawab, “Tunggu sebentar.” Kemudian ia berunding dengan para warga.
***
Heru terbaring di kasur empuk dengan tubuh terbungkus selimut. Perut penuh. Mata mengantuk. Lelah sehabis bekerja. Menggali sumur. Membetulkan genting. Mengajarkan baca tulis. Perlahan ia pun mulai terlelap. Dibuai oleh mimpi tentang dunia nun jauh di sana. Di mana Sang Istri menghidangkan makanan. Dan anak mereka tumbuh dewasa. Tidak ada kesendirian tak berkesudahan. Tidak ada pengembaraan tanpa tujuan. Tidak perlu makan biskuit basi atau minum air kali. Tidak takut para manusia pemakan sesama. Dunia tempat peradaban tidak tersapu oleh bencana.
Tentang Penulis
4/5
Pasca Bencana Ditulis oleh Mukti Hartono Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Iman Mukti Hartono adalah seorang cerpenis tinggal di Surakarta. Selain fokus dengan cerita-cerita anak, Mukti juga menulis cerpen dengan tema-tema lain seperti fiksi ilmiah dan misteri. Bila tidak sedang menulis, menghabiskan waktu luang dengan traveling, nonton film, dan mencari jangkrik.
5/5
Perginya “A Man For All Theories” Ditulis oleh Suryadi Jumat, 09 April 2010 10:53
In Memoriam Prof. Dr. Umar Junus (1934-2010)
Suryadi (Leiden Institute for Area Studies / School of Asian Studies, Leiden University, Belanda) Kita biasanya baru menghargai sesuatu setelah kita kehilangannya (Umar Junus, “Kita dan sastera tradisi kita’, Dewan Sastera XIII.2, Februari 1983:3). Awal Maret lalu, sebuah sms masuk ke HP kuno saya: “Dear frens (sic), Bapak passed away peacefully at. 9.15 pm.” Sms itu dikirim oleh Ervan Yunus, anak bungsu Prof. Dr. Umar Junus , dari Kuala Lumpur, yang memberitakan kepergian ayahnya menemui sang Khalik. Saya tertegun, dan segera teringat pada dunia ilmu dan kritik sastra Malaysia dan Indonesia yang kini kehilangan lagi salah seorang pakarnya yang sangat prolifik: Prof. Dr. Umar Junus. Umar Junus meninggal dengan tenang pada hari Senin, 8 Maret 2010 pukul 9.15 malam waktu Kuala Lumpur dalam usia 76 tahun. Beliau meninggal di Pusat Perubatan Universiti Malaya setelah mengalami sesak napas. Jenazahnya telah dikebumikan di Kota Damansara sekitar jam 3 sore, Selasa, 9 Maret 2010.
Wafatnya Umar Junus jelas merupakan kehilangan besar bagi dunia ilmu dan kritik sastra Malaysia dan Indonesia. Melalui buku-buku, artikel-artikel, dan esei-esei kritik sastra yang ditulisnya, Umar Junus menjadi “jembatan kokoh” yang telah menghubungkan dan sekaligus memperkenalkan secara timbal-balik dunia sastra Malaysia dan Indonesia, yang sekarang
1/6
Perginya “A Man For All Theories” Ditulis oleh Suryadi Jumat, 09 April 2010 10:53
belum tergantikan oleh sosok kritikus yang lain dari kedua negara berjiran itu. Menimbang jasa-jasa almarhum di bidang ilmu dan kritik sastra, sudah sepatutnyalah kita memberikan penghargaan kepadanya, paling tidak dalam wujud sebuah buku penghargaan yang ditulis bersama. Kita juga mesti diingatkan akan tradisi penghormatan kepada seorang sarjana yang meninggal. Tulisan kecil ini hanya sekedar tanda ingatan penulis yang dimaksudkan untuk mengingatkan kita semua bahwa selayakanya kita–para ilmuwan dan penggiat sastra Indonesia dan Malaysia–mengenang Umar Junus, yang disebut oleh koran New Straits Times (edisi 27 Mei 1992) sebagai “A Man for All Theories” . Sesungguhnya koran New Straits Times tidaklah berlebihan menyanjung Umar Junus. Tak dapat disangkal bahwa almarhum di masa hidupnya memang merupakan salah seorang ilmuwan dan kritikus sastra besar dan sangat prolifik yang pernah kita miliki. Orang sering menyandingkan nama Umar Junus dengan H.B. Jassin, tapi tulisan-tulisan Umar Junus lebih banyak, lebih terasa bobot ilmiahnya dan lebih bervariasi dalam hal tema (stilistika, sosiologi sastra, resepsi sastra, strukturalisme, semiotik, dan lain sebagainya). Jika H.B. Jassin adalah seorang pengumpul terbitan-terbitan sastra yang sangat rajin (seperti dapat dikesan dari isi Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Jakarta yang ditinggalkannya), maka Umar Junus adalah seorang penganalisa yang handal. Hal itu hanya dimungkinkan karena kepintarannya sebagai seorang yang berasal dari dunia kampus dan komitmennya yang kaffah terhadap bidang ilmunya (bahasa dan sastra), yang didukung oleh keluasan bacaannya. Sekarang saya sedang menyusun senarai karya-karya Umar Junus dan mendapati bahwa beliau telah menulis sejak masih menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia di akhir tahun 1950-an sampai tahun-tahun terakhir masa hidupnya. Dalam rentang waktu antara 1950-an sampai tahun 2010-an tulisan-tulisan Umar Junus terbit hampir setiap tahun di berbagai media ilmiah dan populer, terutama di Malaysia dan Indonesia. Tampaknya berbagai gagasan tak pernah berhenti mengalir dari dalam pikirannya, sejak selagi menjadi mahasiswa sampai akhir hayatnya. Menurut anak-anak Umar Yunus, ayahnya selalu bangun jam 4 pagi; dua jam sebelum waktu shalat subuh datang digunakannya untuk menulis. Sejauh yang dapat saya telusuri, tulisan Umar Junus yang terawal–walau mungkin bukan yang pertama–berjudul “Anda dan persoalan kataganti orang kedua dalam bahasa Indonesia” yang dimuat dalam jurnal Bahasa dan Budaja VI.5 (Djuni 1958:32-5). Ketika itu beliau masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Indonesia. Sedangkan karyanya yang terakhir, sejauh yang dapat saya telusuri, adalah “Copenhagen dan Copenhagen” ( Dewan Buday a 32.03, Maret 2010:40-1). Dengan demikian, kelihatan bahwa Umar Junus tak pernah berhenti menulis sampai akhir hayatnya. Besar kemungkinan akan ada lagi karya-karyanya yang akan terbit setelah beliau meninggal. Oleh karena itu tidaklah berlebihan apabila Raja Masittah Raja Ariffin mengatakan (dalam Dewan Bahasa 1.2, Februari 2001:60-1) bahwa Umar Junus adalah seorang ilmuwan yang “sentiasa bermesraan dengan buku” dan menjadikan buku-buku sebagai “teman setia” beliau.
2/6
Perginya “A Man For All Theories” Ditulis oleh Suryadi Jumat, 09 April 2010 10:53
Dalam tulisan-tulisannya, yang jumlahnya lebih dari seratusan, baik berupa buku, esei, artikel ilmiah dan populer, ulasan buku, kertas kerja, dan pengantar untuk buku atau novel orang lain, terlihat betapa luas dan progresifnya pemikiran-pemikiran Umar Junus mengenai bahasa, sastra dan budaya Malaysia dan Indonesia. Bacaannya yang sangat luas telah memungkinkan beliau dapat menganalisa teks sastra, baik ‘tradisional’ maupun yang ‘modern’, dengan sudut pandang yang bervariasi dan berbeda dengan ilmuwan dan kritikus sastra yang lain. Di mata keluarga, teman-teman, dan mahasiswanya, Umar Junus adalah seorang yang juga punya sifat riang dan selalu merasa optimis. Tampaknya sifat itu terus melekat pada diri Umar Junus sampai beliau meninggal. Demikianlah umpamanya, walau sudah pensiun dari Universiti Malaya sejak tahun 1990 dan walau mengidap penyakit myasthenia gravis sejak 1997, yang membatasi daya geraknya, namun Umar Junus kelihatan tetap optimis dan selalu bergairah bila diajak berdiskusi mengenai dunia bahasa dan sastra Malaysia dan Indonesia. Sepertinya gairah keilmuan tidak pernah padam dalam diri Umar Junus. Seringkali beliau mengirimkan artikel-artikel yang menarik tentang sastra di internet kepada saya di Leiden lewat email, yang menandakan bahwa beliau tetap mengikuti perkembangan bidang ilmunya walau sudah tidak aktif lagi di dunia kampus dan di ruang publik. Bahkan sifat riangnya masih lagi kelihatan walau dalam keadaan sakit. Kepada keluarganya, dan juga kepada saya ketika bersama Prof. Taufik Abdullah terakhir kali mengunjungi beliau di rumahnya di Petaling Jaya di sela International Convention of Asia Scholars ke-5 (2-5 Ogos 2007), Umar Junus bergurau dengan kami tentang penyakitnya: “Aristotle Onasis meninggal karena menderita penyakit myasthenia gravis . Saya mewarisi penyakitnya itu, tapi tidak kekayaannya”. Adalah tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Umar Junus adalah salah seorang sarjana hebat yang pernah kita miliki dan yang telah banyak berjasa memperkenalkaan berbagai teori sastra di Malaysia dan Indonesia. Beliau pula yang memberikan pandangan mengenai kemungkinan melihat fenomena sastra dari sudut ilmu-ilmu di luar ilmu humaniora. Dalam buku-bukunya–Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (1985), Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode (1986), Karya sebagai Sumber Makna: Pengantar Strukturalisme (1988), dan Stilistik: Pendekatan dan Penerapan (1990), untuk sekedar menyebut beberapa judul dari sekitar 50 buku yang telah ditulisnya–Umar Junus memperkenalkan kepada khalayak akademisi dan praktisi sasatra di Malaysia dan Indonesia (dan mungkin juga Brunei Darussalam) berbagai teori sastra (resepsi sastra, sosiologi sastra, strukturalisme, stilistika, semiotik, dan lain sebagainya) dengan banyak mengambil contoh dari karya-karya sastra Malaysia dan Indonesia sendiri, sehingga uraiannya terasa kontekstual dapat dipahami oleh pembaca. Tentu saja tidak semua teori itu cocok dengan sastra Malaysia dan Indonesia untuk mana Umar Junus sering memberikan ulasan kritis, bahkan kadang-kadang menunjukkan bukti-bukti bahwa pikiran-pikiran tertentu yang mendasari sebuah teori Barat sudah lebih dulu ada di dunia Timur, seperti antara lain dapat dikesan dalam artikelnya: “Pembacaan semula cerita Abu Nawas: pemikiran lateral de Bono bukan baru” ( Dewan Sastera
3/6
Perginya “A Man For All Theories” Ditulis oleh Suryadi Jumat, 09 April 2010 10:53
21.12, November 1991:74-6). Umar Junus menulis dalam bahasa Melayu, Indonesia, dan Inggris. Tulisan-tulisan beliau tersebar di berbagai media (koran, majalah sastra/bahasa/budaya, dan jurnal ilmiah), sejak dari koran Sinar Harapan sampai kepada Kompas; sejak dari jurnal bahasa/sastra Budaja Djaja sampai kepada majalah Horison ; sejak dari jurnal ilmiah Humaniora sampai kepada Sari . Boleh dikata, tulisan-tulisan Umar Junus dapat ditemukan di banyak jurnal ilmiah dan majalah umum di Malaysia dan Indonesia. Umar Junus adalah seorang penulis tetap rubrik “Cakerawala” dalam jurnal Dewan Sastera , rubrik “Saling Silang” dalam jurnal Dewan Budaya (sejak 2008) dan juga menyumbang banyak esei dan artikel mengenai bahasa dana budaya Melayu dalam jurnal Dewan Bahasa. Di tahun 1960-an dan awal 1970-an, ketika kebanyakan akademisi di bidangnya belum banyak mengenal jurnal ilmiah internasional, Umar Junus sudah menulis di jurnal ilmiah seperti Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Archipel , dan Linguistics . Dalam kajian akademis dan esei-esei sastra dan bahasa yang ditulis oleh Umar Junus, kita mendapat kesan bahwa kekayaan makna sebuah teks sastra tergantung pada keluasaan dan keintensifan pembacaan dan penganalisaan teks itu oleh ilmuwan atau kritikus. Seorang ilmuwan dan kritikus yang berwawasan luas seperti Umar Junus dapat berdialog tak henti-hentinya dengan teks. Di tangannya, sebuah teks memiliki makna polisemi, berlapis-lapis dan jauh lebih kaya daripada makna yang dulu dipikirkan oleh para pengarang teks itu sendiri. Umar Junus memberi perhatian pada semua unsur teks, baik yang pusat ( center ) maupun yang pinggiran ( periphery ). Baginya setiap unsur teks itu memiliki fungsi dan makna. Demikianlah umpamanya, beliau memberi perhatian kepada ilustrasi yang ada dalam karya-karya sastra Melayu, unsur teks yang selama ini hampir-hampir luput dari perhatian para peneliti lain, karena mungkin dianggap tidak penting. Bagi Umar Junus ilustrasi adalah bagian yang fungsional dalam teks sastra, seperti dapat dikesan dalam artikelnya: “Illustrations and Malay stories: a preliminary statement” ( Malay Literature 1.1, July 1988:100-15). Umar Junus lahir tanggal 2 Mei 1934 di Silungkang, Sumatra Barat; memasuki sekolah menengah pertama di Silungkang dan sekolah menengah atas di Bukittinggi; meraih ijazah sarjana sastra dari Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 1959; mengajar di Fakultas Keguruan Sastra dan Seni, IKIP Malang, sampai 1967; menjadi pengajar bahasa Indonesia di Yale University, Amerika Serikat; dan mulai 1967 beliau hijrah ke Malaysia dan diterima menjadi
4/6
Perginya “A Man For All Theories” Ditulis oleh Suryadi Jumat, 09 April 2010 10:53
dosen (pensyarah) di Universiti Malaya sambil meneruskan studinya di universitas itu. Ijazah Doktor Falsafah diraihnya dari Universiti Malaya pada tahun 1982 dengan disertasi “Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode di sekitar Sastera Melayu dan Indonesia” yang kemudian diterbitkan (1986). Karena begitu produktifnya berkarya, Umar Junus dianugerahi pula gelar professor Madya oleh Universiti Malaya. Walau merantau Cina ke Malaysia, Umar Junus tidak melupakan ranah bundanya: Minangkabau. Salah satu karyanya, Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Sebuah Problema Sosiologi Sastra (1984) adalah bukti kecintaannya kepada kebudayaan Minangkabau, kebudayaan nenek moyangnya. Buku itu merupakan salah satu hasil penelitian yang terbaik mengenai sastra lisan Minang kaba . Umar Junus juga menjadi dosen tamu di Universitas Andalas, Padang, tahun 1985. Kemudian pada tahun 1993 beliau juga menjadi dosen tamu di University of Kyoto, Jepang. Umar Junus adalah seorang ilmuwan yang kritis dan suka berdebat secara terbuka. Sifat kritis dan terbukanya itu antara lain dapat dikesan dari perdebatan akademis antara dirinya dengan Wahab Ali, seperti terefleksi dalam eseinya: “Saya dan Wahab” (Horison IX.2, Februari 1974:36-40). Sifat kritis dan terbuka Umar Junus itulah antara lain yang menyebabkan beliau enak diajak menjadi mitra diskusi. Tapi karena sifat kritisnya itu pula kadang-kadang ada orang yang merasa tersinggung. Memang kebanyakan ilmuwan kita merasa bahwa apabila tulisan mereka dikritik dan dikomentari, maka hal itu sering diartikan sebagai serangan terhadap pribadi penulisnya. Akan tetapi bagi Umar Junus itu bukan jadi soal karena beliau yakin dunia ilmu memang harus terbuka dan kritis. Hanya dengan sifat terbuka dan kritis itulah tradisi keilmuan yang kuat dapat dibangun dan dikembangkan di Malaysia dan Indonesia. Umar Junus mempersunting, Farina Talaha (sekarang berumur 69 tahun) yang sekampung dengannya. Mereka menikah tahun 1960. Tahun ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ke-50. Pasangan langgeng ini memiliki tiga anak (2 lelaki, 1 perempuan): Novian Ekaputra Junus (49 tahun), Revina Ekaputri Junus (47 tahun), dan Ervan Dwiputra Junus (34 tahun). Dari anak-anaknya almarhum memperoleh 7 orang cucu. Dalam suatu kesempatan berbicang-bincang dengan Ervan Junus, yang bekerja di sektor perminyakan, di flat Saya di Leiden bulan Oktober 2007, anak bungsu Umar Junus itu berkata: aneh bahwa ayahnya memilih dunia ilmu, tidak seperti kebanyakan orang Silungkang yang menjadi pedagang kaya di Jakarta dan di banyak kota lainnya di Indonesia, yang kalau lebaran datang pulang ke kampung bersama-sama sambil berkompetisi memamerkan mobil terbaru milik masing-masing. Tapi, karena pilihan yang “menyimpang” itulah Umar Junus justru jauh lebih dikenal dari pedagang kaya manapun yang berasal dari Silungkang. Pilihannya ternyata tidak sia-sia. Pilihan itu telah mengantarkan Umar Junus ke tingkat yang boleh dibanggakan dalam lingkungan ilmu sastra di Malaysia dan Indonesia. Selama sastra Malaysia dan Indonesia masih hidup dan diapresiasi oleh pembacanya, karya-karya Umar Junus pasti akan terus pula dibaca orang. Dan itu berarti bahwa nama seorang Umar Junus akan selalu dikenang banyak orang.
5/6
Perginya “A Man For All Theories” Ditulis oleh Suryadi Jumat, 09 April 2010 10:53
Selamat jalan Bapak Umar Junus. Selamat beristirahat “a man for all theories”. Semoga kedamaian abadi senantiasa bersamamu di dunia sana. Leiden, Belanda, 24 Maret 2010 Catatan: Versi bahasa Malaysia tulisan ini saya kirimkan juga ke Gapena dan jurnal Dewan Sastera di Kuala Lumpur.
6/6
Permainan Kanak-kanak Ditulis oleh Ki Hadjar Dewantoro Rabu, 05 Mei 2010 19:23
Pendidikan Diri dari Kodrat ke Arah Adab Bentuk dan Isi Alam Kanak-kanak Ki Hadjar Dewantoro PERMAINAN kanak-kanak itu sebenarnya sudah lama menarik dan menjadi pusat perhatian para ahli pendidik di seluruh dunia. Sebelum Friedrich Frobel memasukan permainan kanak-kanak di dalam “Kinder¬garten”-nya, sebagai anasir mutlak dalam pendidikan anak-anak di bawah umur 7 tahun, sebelum itu sudah ada perhatian terhadap soal tersebut. Mungkin karena Pestolozzi –“bapak” dari pada “sistem sekolah” (yang “modern” pada jamannya pertengahan dan akhir abad XVIII, jadi jaman hidupnya Frobel juga)– dengan tegas menganjurkan pengembalian sistem pendidikan yang tatkala itu membeku dalam bentuk, isi dan lakunya, ke arah “natuurlijkheid”, yaitu kodrat keadaan dalam umumnya dan kodrat hidup tumbuh kanak-kanak pada khususnya. Sebetulnya pelopor pembaharuan hidup, pelopor “revolte” Jean Jacques Rousseau (yang berhasrat membebaskan hidup manusia dari segala ikatan adat yang mati), pun di dalam dunia pendidikan pula dianggap pelopor, ialah pelopor pendidikan merdeka. Salah satu tuntutan Rousseau ialah kemerdekaan jiwa kanak-kanak, membebaskan dia dari kekangan dan mengemukakan kodrat hidup kanak-kanak. Dan kodrat jiwa kanak-kanak. Itulah yang terkandung dalam bentuk dan isi segala macam permainan kanak-kanak.
Apabila kita meninjau segala gerak-gerik kanak-kanak, menilik segala sikapnya, kesedihan dan kesenangannya, langkah-lakunya, maka dapatlah kita lihat, bahwa semua itu nampak di dalam berbagai-bagai permainan-permainannya. Ini disebabkan anak-anak itu selama mereka tidak tidur atau sedang melakukan sesuatu pekerjaan yang penting (dan ini biasanya terlaksana secara sambil-lalu) tentulah mereka itu bermain-main. Boleh dikatakan, bahwa permainan itu mengisi sepenuhnya hidup kanak-kanak, mulai ia bangun pada waktu pagi-pagi, sampai ia tidur lagi pada malam hari; sehari terus. Beristirahat hanya kadang-kadang bila ia sungguh lelah – dan ini jarang terjadi – atau terpaksa, misalnya kalau ia tak dapat menolak keharusan untuk makan atau minum, untuk menga¬singkan diri sebentar, atau dipanggil ayah ibunya. Percayalah, bahwa semua pemutusan waktu bermain itu oleh anak-anak sendiri dianggap sebagai “gangguan” yang mengecewakan. Biasanya kalau anak itu sungguh lelah, ia berganti bermain yang serba ringan; dan ini berlalu secara “spontan” dengan sendiri. Jumlah dan Jenis Permainan Jumlah permainan kanak-kanak itu banyak sekali dan boleh dibilang tak terhitung banyaknya. Ini disebabkan, selain permainan-permainan yang lama, senantiasa ada tambahan permainan-permainan baru, yang dibawa oleh kanak-kanak, baik anak-anak yang berasal dari tempat lain, maupun oleh anak-anak setempat, yang meniru permainan-permainan yang berasal dari golongan-golongan lain. Kadang-kadang permainan-per¬mainan baru tadi timbul karena spontanitas kanak-kanak, atau merupakan ciptaan pihak orang tua, yang biasanya
1/6
Permainan Kanak-kanak Ditulis oleh Ki Hadjar Dewantoro Rabu, 05 Mei 2010 19:23
dengan segala senang hati diterima oleh anak-anak. Pendek kata, segala permainan baru dari manapun asalnya, selalu diterima oleh kanak-kanak sebagai tambahan yang sangat dihargai; barang tentu asalkan sesuai dengan jiwa kanak-kanak. Permainan-permainan yang lama biasanya tidak dilepaskan oleh kanak-kanak, yang dalam hal itu seringkali menunjukkan sikap kon-servatif. Kerapkali kejadian pula anak-anak memperbaharui permainan lama, yaitu sifat permainan lama masih nampak, tetapi dengan bentuk yang agak baru, atau bentuknya tak berubah, namun isinyalah yang baru. Dengan begitu maka di samping permainan-permainan lama selalu timbul permainan-permainan baru, hingga jumlahnya banyak sekali. Barang tentu di sesuatu tempat dan dalam sesuatu waktu ada juga permainan-permainan yang akan dilakukan lagi oleh kanak-kanak, akan tetapi pada lain waktu timbullah dengan sendiri permainan-permainan, yang tadinya sudah tak pernah dimainkan oleh kanak-kanak. Kalau kita menengok bentuk dan isi permainan-permainan itu, maka banyak sekali terdapat anasir-anasir atau bahan-bahan, yang berasal dari hidup kemasyarakatan yang mengelilingi hidup kanak-kanak. Segala pengaruh alam dan jaman, yang memperbaharui masya-rakat, dalam instansi kedua memperbaharui pula bentuk dan isi permainan kanak-kanak. Berhubungan degan itu hendaknyalah diingat bahwa konservatisme kanak-kanak, seperti telah disebut di muka, menyebabkan terus hidupnya permainan-permainan kuno, seolah-olah terhindar dari pengaruh alam dan jaman baru. Keadaan ini nampak dalam hidup kanak-kanak kita, yang masih mempunyai permainan-permainan berasal dari jaman feodal, jaman permainan primitif, di zamannya masih ada perdagangan anak-anak dan lain sebagainya. Hal ini tidak saja amat berhubungan dengan sifat “statis” daripada masyarakat kita (dan ini berhubungan pula dengan tidak adanya hidup tumbuh secara bebas dan merdeka dalam sejarah kebudayaan kita sejak adanya penjajahan asing), tetapi ada lagi pertaliannya dengan sifat activisme, yang antara lain diuraikan dalam teori atavisme oleh seorang ahli ilmu-jiwa Amerika Stanley Hall. Sifat permainan kanak-kanak Sejak timbulnya “paedalogy”, ilmu pengetahuan tentang hidup kanak-kanak pada umumnya dan khususnya sebagai akibat perkembangan ilmu pendidikan (paedagogy), maka para ahli biologi menaruh minat dan perhatian pula terhadap soal permainan kanak-kanak, terpandang dari sudut ilmu-ilmu yang luas. Stanley Hall, yang baru kita sebut tadi, menghubungkan dengan sifat-sifat permainan kanak-kanak dengan “hukum biogenese”, pelajaran Ernst Haeckel, mengenai asalnya segala gerak-gerik di dalam hidup manusia, yang dikatakan: selalu mempunyai sifat ulangan pendek dari hidupnya jenis manusia dalam jaman-jaman yang lampau, mulai jaman purbakala. Hidup tumbuhnya “ontogenese”, adalah ulangan singkat dari kemajuan “phylogenese”. Begitu segala tingkah laku kanak-kanak bermain-main dengan batu, dengan tanah, dengan air, dengan hewan atau permainan perang-perangan, pertanian, perdagangan, beradu kekuatan, dll. sebagainya menurut Haeckel tadi boleh dipandang sebagai ulangan jaman batu, jaman pertanian, pelajaran, penggembalaan, keprajuritan dan sebagainya, yang terdapat di seluruh dunia. Inilah sebabnya, menurut Stanley Hall, segala permainan kanak-kanak itu di segala pelosok di seluruh dunia mempunyai sifat yang sama dalam pokoknya ialah ulangan atavistis.
2/6
Permainan Kanak-kanak Ditulis oleh Ki Hadjar Dewantoro Rabu, 05 Mei 2010 19:23
Baiklah di sini diingat adanya sikap manusia, yang “onbewust” biasanya, untuk mengganti atau mengubah sifat-sifat “keinginan instinctif” (berasal dari teori atavisme dari Stanley Hall tadi) dengan sifat-sifat yang untuk jaman yang berlaku sekarang ini tidak diharamkan, atau bertentangan dengan syarat-syarat kesusilaan dalam jalan ini. Sikap inilah yang menurut Karl Groos dan Dr. Maria Montessori disebut “katharsis”, yang sebenarnya berarti; “memurnikan”, yaitu menghilang¬kan sifat-sifatnya yang kasar atau tak senonoh. Katharsis itu sebenarnya, “permainan” yang dilakukan oleh orang-orang dewasa, untuk menuruti dorongan-dorongan dari macam-macam insting, hanya saja diberi bentuk yang sesuai atau dibolehkan oleh moralnya jaman yang berlaku. Contoh-contohnya misalnya: perjudian, menyembelih hewan dan menanam kepalanya di bawah bangunan-bangunan yang didirikan, lain-lain macam bersaji, dsb.; untuk orang-orang muda misalnya mengada¬kan pesta dengan berdansa-dansa, berdarmawisata dan melakukan sport bercampur, laki-laki dan perempuan, dsb. Demikian teori atavisme tentang permainan kanak-kanak (dan orang dewasa) menurut Stanley Hall. Sifat-sifat biologis. Ada pandangan lain tentang permainan kanak-kanak yang disandarkan pada spontanitas dalam hidupnya kanak-kanak. Dibuktikan oleh Montessori, secara eksperimental, bahwa tumbuhnya jasmani kanak-kanak itu menimbulkan keinginan-keinginan yang kuatnya dorongan atau tuntutan jiwa, yang seringkali berlalu secara tiba-tiba atau “spontan” (tak dengan dipikir-pikir sebelumnya). Anak-anak kecil suka merangkak, suka bersandar pada tongkat atau barang lain, merambat pagar dan lain sebagainya, itu adalah tuntutan jasmani, guna mendapat gambaran kekuatan atau pengurangan beban, yang perlu untuk berjalannya serta segala gerak-gerik badan kanak-kanak yang menurut kodratnya masih kekurangan kekuatan. Permainan kanak-kanak pada umumnya boleh dipandang sebagai tuntutan jiwanya yang menuju ke arah kemajuan hidup jasmani maupun rohani. Lihatlah caranya kanak-kanak bermain-main. Banyak permainan-permainan itu merupakan tiruan gerak-gerik orang tua; misalnya permainan yang meniru orang bercocok tanam, berdagang, menerima tamu, mengejar pencuri dsb. “Meniru” ini sangat berguna, karena mempunyai sifat mendidik diri pribadi, degan jalan orientasi serta mengalami, walaupun hanya secara khayal atau fantasi. Dalam hal ini sama faedahnya dengan sandiwara. Kerapkali permainan kanak-kanak itu bersifat mencoba kekuatan atau kepandaian (kecerdikan, kecakapan dan sebagainya). Ia selalu berhasrat mengalahkan temannya, merasa amat senang kalau menang, susah kalau kalah; sama dengan semangat orang-orang yang bertanding dalam keolahragaan. Ini mendidik kanak-kanak pula, tidak saja untuk selalu memperbaiki kecakapannya, tetapi juga untuk menebalkan tekad¬nya, kepercayaannya atas dirinya sendiri. Dalam hubungan ini ada baiknya disebutkan pula, bahwa kanak-kanak seringkali mematahkan atau memecahkan barang-barang itu karena keinginan mencoba kekuatannya. Menyakiti hewan atau anak lain boleh termasuk dalam pandangan ini. Mencoba kekuatan atau kepandaian itu jika tidak dengan beradu, yaitu dilakukan sendirian, lalu bersifat “demonstrasi” memperlihatkan kejadiannya, dan ini adalah salah satu corak perangai manusia yang umum, yang dapat pula dianggap ada faedahnya, misalnya berhubungan dengan tumbuhnya rasa diri, rasa bertanggung-jawab, rasa tidak “minderwaardig” (kurang
3/6
Permainan Kanak-kanak Ditulis oleh Ki Hadjar Dewantoro Rabu, 05 Mei 2010 19:23
berharga), dan sebagainya. Permainan kanak-kanak itu umumnya sama dengan caranya anak-anak belajar melatih diri, berupa persiapan untuk hidupnya kelak. Anak-anak kucing gemar bermain-main dengan segala barang yang mudah digerakkan, dan sesudah digerakkan sendiri, lalu ditubruk-tubruk, secara kucing tua menubruk tikus. Karena inilah Montessori menetapkan pula, bahwa permainan kanak-kanak itu semata-mata latihan daripada segala laku, yang kelak perlu bagi hidup manusia. Caranya kanak-kanak terus menerus mengulangi sesuatu permainan. Tidak dengan bosan-bosan, menunjukkan sifatnya latihan itu pada umumnya. Sebabnya Kanak-kanak Gemar Bermain Bahwa kanak-kanak itu gemar sekali akan segala permainan, tak usah diterangkan dengan panjang lebar. Kita semua dapat menyaksikannya sendiri. Apabila ada seorang anak tidak suka bermain-main, bolehlah dipastikan bahwa anak itu sedang sakit, jasmaninya ataupun rohaninya. Di muka sudah diterangkan, bahwa sehari terus, mulai bangun pagi-pagi sampai tidur pula pada waktu malam, anak-anak itu tentu bermain-main. Anak yang tak berbuat apa-apa, dalam bahasa Jawa “nganggur”, boleh dikatakan tidak ada. Apakah kiranya yang menyebabkan terus menerus bergeraknya anak-anak itu? Jawab pertanyaan ini kita serahkan kepada Herbert Spencer, seorang ahli ilmu-ilmu jiwa dan filsuf bangsa Inggris. Spencer mengajarkan, bahwa sifat dinamis dalam hidup tum¬buhnya kanak-kanak itu adalah akibat dari adanya sisa kekuatan (krachtoverschot) di dalam jiwa dan tumbuhnya kanak-kanak, yang sedang ada dalam keadaan bertumbuh itu. Produksi kekuatan dalam kanak-kanak itu melebihi apa yang perlu bagi hidupnya kanak-kanak, lahir dan batin, sehingga lalu ada ”sisa” tadi. Dan sisa kekuatan ini menuntut secara organis, agar dipakainya, supaya lalu ada imbangan lagi antara kekuatan lahir dan batin di dalam hidupnya anak-anak, imbangan mana bersifat rasa enak, semuanya karena adanya “penyaluran”. Sisa kekuatan itulah yang mengakibatkan anak-anak secara spontan terus bergerak, dinamis lahir dan batin, tak berhenti secara istirahat. Dalam keadaan begitu maka anak-anak yang terpaksa diam, merasa terhukum, kadang-kadang menyebabkan terganggunya kesehatan jasmaninya, karena “overspanning”. Alangkah baiknya, bila tiap-tiap orang tua menginsyafi kebenaran pelajaran Spencer ini, dan memberi kesempatan sebanyak-banyaknya dan sebebas-bebasnya kepada anak-anaknya, untuk bermain-main dan bergerak badan, yang sangat perlu bagi kesehatan roh dan badannya. Untuk kepentingan ini tak usah diterangkan, bahwa permai¬nan-permainan yang bersifat “sport” (barang tentu disesuaikan dengan kekuatan kanak-kanak), patut diperhatikan secukupnya. Latihan Panca Indra Selain kepentingan fisiologis, yang bertali dengan kesehatan badan (yang sangat perlu untuk tumbuhnya jasmani dengan sebaik-baiknya), ada pula kepentingan yang mengenai kemajuan hidup rohaninya kanak-kanak. Permainan kanak-kanak yang dalam bentuk dan isinya boleh dikata semuanya mempunyai sifat latihan panca indra, tidak berbeda sebenar¬nya dengan maksud dan tujuan “latihan panca indera” ala Montessori. Dan sebagai diketahui maka latihan panca-indra itu oleh Montessori dimaksudkan sebagai gerak lahir secara teratur, yang besar pengaruhnya kepada tumbuh serta bangunnya batin kanak-kanak. Dengan latihan-latihan pekerjaan yang bermacam-macam, seperti menggambar, mengancam, melempar barang ke arah jarak yang tertentu, mengatur tertibnya urut-urutan barang ke arah jarak yang tertentu, mengatur tertibnya urut-urutan suara atau barang-barang menurut panjangnya, besarnya atau
4/6
Permainan Kanak-kanak Ditulis oleh Ki Hadjar Dewantoro Rabu, 05 Mei 2010 19:23
beratnya, dan lain sebagainya, maka rasa dan pikiran kanak-kanak, pula kemauannya, dapat terdidik dengan sendiri. Di sinilah dengan tegas dibuktikan adanya hubungan yang sangat erat antara kemajuan jasmani dengan rohani, dan teranglah bahwa permainan kanak-kanak, juga yang spontan keluar dari kemauannya sendiri, jadi tidak diatur oleh gurunya (atau “pembantu”-nya menurut istilah Montessori) benar-benar mengandung faktor psychologis. Dengan sendiri kita di sini pada nama Frobel, yang sangat mementingkan permainan kanak-kanak bagi “kindergarten”-nya. Pokok perbedaan antara Montessori dengan Frobel ialah, karena pencipta Kindergarten yang terkenal di seluruh dunia itu memandang kanak-kanak dari sudut totalitet kejiwaan dan memandang permainan tadi sebagai gerak kodratnya kanak-kanak. Kegembiraan kanak-kanak tadi dan segarnya jiwa serta semangatnya, yang menggetar dan berseri-seri, selama kanak-kanak bermain di dalam “taman kanak-kanak”, itulah syarat mutlak menurut Frobel, guna memupuk perkembangan jiwa kanak-kanak. “Taman” dalam nama perguruan Frobel itu, bukan perkataan hampa, bukan hanya perlambang pula, tetapi memang dimak¬sudkan oleh si pencipta harus bersatunya jiwa kanak-kanak dengan tumbuh-tumbuhan pula, yang harus dipelihara menurut syarat-syarat keindahan. Demikianlah anjuran Frobel. Montessori menunjukkan corak lain, ialah corak yang “zakelijk”, yang jauh dari maksud “puisi” atau “romantik”, seperti nampak dalam sistem “Kindergarten”, Montessori menciptakan untuk sekolahnya pelbagai “permainan” yang bertujuan memasukan panca-indera pada instansi pertama, sedangkan menyenangkan kanak-kanak itu jatuh nomor dua. Itulah sebabnya para pengikut Frobel secara mengejek menamakan “Montessorischool” itu bukan ruang pendidikan, melainkan “laboratorium” untuk “mengeksperimentir” penyelidikan “analitis psikologis” berasal dari doktor medika Montessori. Anak-anak yang menjadi “proefkonijn”-nya (alat percobaan). Bagaimanapun juga nyatalah, bahwa permainan kanak-kanak itu sungguh besar sekali faedahnya terhadap hidup tumbuhnya jasmani dan rohani kanak-kanak, karena sangat sesuai dengan dasar kodratnya kanak-kanak, baik dipandang biologis, psikologis maupun pedagogis. Permainan dalam Kebudayaan Kita Apabila kita pada waktu senja suka meninjau ke dalam kampung-kampung atau desa-desa, maka pastilah tertangkap dalam telinga kita bermacam-macam nyanyian-nyanyian kanak-kanak. Jika kebetulan terang bulan, maka sampai agak malam suara lagu-lagu itu terdengar, biasanya berbarengan dengan suara “gejog”, yaitu permainan memukul-mukul “lesung” (penumbuk padi) yang dilakukan dengan penuh irama. Pula pembacaan buku dengan “lagu-lagu” macapat di sana sini masuk ke dalam pendengaran kita. Di Pasundan kerapkali suara seruling atau kecapi mengisi suasana desa. Semuanya itu membuktikan adanya “musikalitas” pada bangsa kita, yaitu adanya dasar seni-suara dalam hidup kebudayaan kita. Bukan itulah kini yang kita bicarakan. Yang sekarang menarik perhatian kita ialah kedudukan permainan kanak-kanak dalam hidup kebudayaan kita. Dalam pada itu bolehlah di sini diketahui, bahwa sebagian besar daripada permainan-permainan kanak-kanak kita itu disertai nyanyian-nyanyian yang membuktikan adanya “musikalitas” tadi juga pada anak-anak kita. Pada permulaan karangan ini sudah saya kemukakan, bahwa jumlah permainan kanak-kanak itu besar sekali; ada yang timbul dari spontanitas kanak-kanak sendiri, ada yang rupa-rupanya ciptaan orang tua yang berbudi seniman. Dalam buku besar karangan dan himpunan H.
5/6
Permainan Kanak-kanak Ditulis oleh Ki Hadjar Dewantoro Rabu, 05 Mei 2010 19:23
Overbeck, penerbit “Java Instituut” (Javaansche meisjesspelen en kinderliedjes) dapatlah kita menghitung 690 permainan dan nyanyian. Ini hanya permainan anak-anak perempuan saja. Rangkaian perkataan “permainan dan nyanyian” menunjukkan adanya hubungan yang erat antara kedua-duanya. Ada yang pokoknya berwujud “permainan” tetapi dengan diantar lagu, ada pula yang pokoknya “nyanyian” tetapi disertai gerak-gerik yang berirama. Barang tentu kita semua tahu adanya siaran-siaran radio, yang menyebutkan acara: permainan kanak-kanak (dolanan anak). Dan kita mengerti, bahwa kita akan mendengar nyanyian-nyanyian, yang dilagukan biasanya untuk mengantar permainan-permainan kanak-kanak. Juga dalam acara “klenengan” atau “uyon-uyon”, yang berarti konser-gamelan, kadang-kadang diberitahukan adanya “dolanan kanak-kanak”. Ini berarti para “niaga” akan memainkan dan “pesinden” akan melagukan nyanyian-nyanyian kanak-kanak. Bukti pula bersatunya permainan dan nyanyian. Tidak itu saja; dimainkannya lagu permainan kanak-kanak menunjukkan pula, bahwa lagu-lagu dolanan itu banyak yang cukup baik, cukup bernilai kesenian, hingga patut untuk didengarkan dan dirasakan merdunya oleh orang-orang tua, sebagai seni-suara.*** Mimbar Indonesia No. 52 – 25 Desember 1948 Ki Hadjar Dewantoro adalah tokoh peletak dasar pendidikan nasional. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Pada tanggal 25 Desember 1912 dia bersama dr. Douwes-Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo mendirikan Indische Partij. Setelah aktif di bidang politik dan sempat dibuang Pemerintah Kolonial Belanda, sekembalinya di tanah air pada tahun 1918, ia mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya ia mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa, 3 Juli 1922. Dalam zaman pendudukan Jepang, kegiatannya di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hadjar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Jabatan yang pernah dipegang setelah Indonesia merdeka ialah sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Tokoh dan pahlawan pendidikan ini tanggal kelahirannya 2 Mei oleh bangsa Indonesia dijadikan hari Pendidikan Nasional. Selain itu, melalui surat keputusan Presiden RI no. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959 Ki Hadjar ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Penghargaan lainnya yang diterima oleh Ki Hadjar Dewantoro adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada di tahun 1957. Dia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta. Sumber: Ki Hadjar Dewantoro, Pendidikan Taman Siswa, Jogyakarta, 1962.
6/6
Plagiat Kian Merebak Ditulis oleh Ajip Rosidi Rabu, 16 Juni 2010 11:36
Plagiat adalah perbuatan mencuri, dalam hal ini mengaku karangan atau buah pikiran orang lain sebagai karya kita sendiri. Dalam dunia ilmu dan seni, perbuatan itu dianggap sebagai dosa tak berampun. Guru besar di Universitas Parahyangan karena ketahuan melakukan plagiat dipecat dari kedudukannya. Alumni ITB dibatalkan ijazah S-3-nya dan dikenakan hukuman pula dengan digeser dari kedudukannya. Universitas Indonesia juga pernah membatalkan pengangkatan seorang guru besar karena ketahuan melakukan plagiat. Hal itu menunjukkan bahwa universitas-universitas itu menganggap perbuatan plagiat oleh seorang sarjana adalah perbuatan tercela yang harus dibersihkan dari lingkungannya.
Akan tetapi, tidak semua universitas berbuat tegas seperti UI, Unpar, dan ITB. Ada juga universitas yang tetap mempertahankan guru besar yang jelas telah melakukan plagiat dengan menerbitkan skripsi murid atas namanya sendiri dan juga mengaku karya-karya orang lain sebagai karyanya sendiri.
Setelah berita tentang plagiat yang dilakukan oleh seorang guru besar Universitas Parahyangan, sebelum pecah berita tentang plagiat yang dilakukan oleh alumni ITB, ada juga berita-berita lain tentang plagiat yang terjadi di universitas luar Jawa dan di berbagai kantor pemerintah. Ada penelitian yang dilakukan untuk memperoleh kenaikan pangkat ternyata berdasarkan hasil penelitian orang lain.
Paling akhir timbul masalah Tesaurus Bahasa Indonesia yang disusun oleh Pusat Bahasa, yang diduga merupakan plagiat dari Te saurus Bahasa Indonesia yang disusun oleh Eko Endarmoko yang terbit empat tahun yang lalu (2006). Pusat Bahasa telah membantah tuduhan itu dengan mengatakan bahwa mereka menyusun tesaurus sejak lama. Akan tetapi, orang yang membandingkan kedua tesaurus itu mengatakan bahwa terlalu banyak persamaan di antara keduanya (sekitar 80 persen) dan yang sukar dimungkiri ternyata kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Eko dalam tesaurusnya terdapat pula dalam tesaurus susunan Pusat Bahasa. Pendeknya persamaan-persamaan yang sebanyak itu, apalagi kalau kesalahan-kesalahannya pun sama, maka sukar untuk dikatakan sebagai kebetulan.
Kalau nanti terbukti bahwa Pusat Bahasa melakukan plagiat atas karya Eko, maka plagiat itu memperlihatkan dimensi yang lain. Sebelumnya yang sering diberitakan adalah plagiat yang dilakukan oleh perseorangan, baik oleh sarjana maupun oleh seniman. Namun, plagiat terhadap Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko diduga dilakukan sebuah lembaga. Jadi
1/3
Plagiat Kian Merebak Ditulis oleh Ajip Rosidi Rabu, 16 Juni 2010 11:36
bukan dilakukan oleh perseorangan. Kalau lembaga melakukan plagiat niscaya berdasarkan kesepakatan di antara para anggota lembaga tersebut. Kalau plagiat yang dilakukan oleh perseorangan disebut pencurian, maka plagiat yang dilakukan beramai-ramai oleh tim niscaya harus disebut perampokan.
Jika Pusat Bahasa sebagai lembaga yang dibentuk oleh pemerintah untuk membina dan mengembangkan bahasa nasional dan bahasa daerah, dan dipimpin oleh para ahli yang dianggap tidak diragukan lagi kepakarannya, terbukti melakukan perbuatan yang sangat tercela di lingkungan keilmuan, yaitu melakukan plagiat, ini merupakan skandal besar.
Apakah gerangan motif yang mendorong mereka melakukan hal itu? Mungkin untuk memperlihatkan pencapaian prestasi dalam bidang keilmuan. Akan tetapi, prestasi yang dicapai dengan melakukan plagiat tidak akan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap mereka, malah sebaliknya, akan menjatuhkan prestise mereka. Namun, hal itu mereka lakukan juga, mungkin karena mereka berpendapat bahwa orang tidak akan mengetahuinya. Maklumlah mereka mungkin menganggap orang tidak akan membanding-bandingkan kamus.
Motif lain adalah uang. Mereka menyusun tesaurus itu sebagai pegawai Pusat Bahasa. Artinya, mereka digaji untuk pekerjaannya itu, tetapi tesaurus Pusat Bahasa diterbitkan oleh penerbit swasta (seperti juga KBBI Edisi Keempat yang tidak lagi diterbitkan oleh Balai Pustaka yang adalah penerbit pemerintah). Penerbit swasta yang menerbitkannya niscaya terikat untuk membayar honorarium atas buku yang terjual. Siapa yang menerima honorarium itu?
Apakah Pusat Bahasa sebagai lembaga? Kalau demikian maka uang itu akan masuk sebagai uang negara. Akan tetapi, tidak semua lembaga pemerintah boleh menerima uang masuk. Oleh karena itu, buku-buku hasil proyek penelitian yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa selama ini tidak boleh dijual. Kalau betul uang honorarium itu diterima oleh Pusat Bahasa, ke mana perginya? Masuk ke kas negara jelas tidak dimungkinkan oleh peraturan pemerintah sendiri. Kalau uang yang harusnya masuk ke kas negara tidak dimasukkan apa bukan korupsi namanya?
Lagipula naskah tesaurus itu dikerjakan oleh tim pegawai Pusat Bahasa yang dikerjakan pada waktu berkantor, sama dengan keputusan hakim di pengadilan, menurut Undang-undang Hak Cipta, hak ciptanya tidak dilindungi. Artinya, penerbit yang mengeluarkannya tidak harus membayar honorarium pengarang. Kalau Pusat Bahasa menuntut pembayaran honorarium juga, maka telah terjadi pemerasan atau entah apa namanya oleh lembaga pemerintah.
2/3
Plagiat Kian Merebak Ditulis oleh Ajip Rosidi Rabu, 16 Juni 2010 11:36
Yang sangat menarik ialah bahwa pada saat ribut-ribut soal plagiat, ada berita tentang ”LKPJ diduga Jiplakan” (”PR”, 24 April 2010). LPKJ adalah ”Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban” tahunan pemerintah kepada DPR(D). Menurut berita itu, ternyata LKPJ DPRD Kota Bandung tahun 2009, isinya hampir sama dengan LKJP tahun 2008, bahkan dalam beberapa bagian kalimat-kalimatnya pun sama – juga isinya. Karena LKJP tidak dilindungi hak ciptanya, maka tidak ada masalah plagiat. Namun laporan tahunan harusnya kan berdasarkan kenyataan yang berkembang dari tahun ke tahun. Kalau LKPJ tahun ini sama dengan tahun sebelumnya, artinya pemerintah yang menyusun LKJP itu tidak bekerja. Mau ambil gampang saja. Artinya, hanya mau makan gaji buta saja. Oleh karena itulah sejak pemerintah Orde Baru, para pejabat pemerintah kita hanya sibuk dengan proyek yang besar anggarannya dan tidak lagi mempedulikan kewajibannya sendiri sebagai pegawai negeri.
Pikiran Rakyat, 1 Mei 2010 . Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.
(Terima kasih banyak kepada Bpk. Ajip Rosidi atas izin tidak terbatas untuk menyiarkan tulisan-tulisannya di Horison Online.)
3/3
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
Pohonku
Karya Iqbal
Waktu aku berumur tiga tahun aku punya pohon yang kecil.
Yang tersiram air hujan yang deras.
Dan juga diterangi sinar
Matahari.
Aku dan temanku bermain di bawahnya.
Tapi kini
Sebentar lagi kau akan hilang dari muka bumi.
Hari demi hari
Tahun demi tahun aku menunggumu
1 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
Tapi sebentar lagi kamu akan
Ditebang. Menetes airmataku.
14-12-2008
Pohon kersen akan ditebang. Mata anakku nanar. Berair. Wajah itu gelisah. Hilang sudah harapan. Rumah pohon, main semut rangrang, main uang-uangan dengan daun-daun yang berjatuhan mirip musim gugur. Beramai-ramai mengambil buahnya yang sudah merah. Terkadang makan yang berjatuhan sisa-sisa kelelawar semalam. Yang jatuh rasanya tetap manis. Anggap saja buah ceri yang terhidang di kue ulang tahun. Merah tua dengan gagang yang panjang.
“Tetangga kita itu tidak mengerti pentingnya pohon. Apakah mereka tidak tahu global warming? ”
Ah, anakku yang baru kelas dua sekolah dasar itu sudah pintar. Tahu global warming dan sudah bisa membuat puisi tentang pohon kersen.
“Kalau pun ditebang, nanti kita ganti dengan pohon lain, Sayang.”
“Tapi menunggu pohon besar itu lama sekali, Mama.”
2 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
“Asalkan kita sabar dan mau merawatnya, pasti tidak lama.”
“Kenapa sih mereka usil, Yah?” tanya anakku lagi, kini matanya mengarah serius kepada suamiku.
“Katanya pohon kersen itu akarnya merusak bangunan, lalu daunnya juga terlalu banyak menimbulkan sampah.”
“Kok mereka yang repot, Yah? Pohon itu kan ada di depan rumah kita? Yang kena sampahnya juga bukan mereka. Betul kan, Mama?”
Aku hanya mengangguk. Kuelus kepalanya yang sejak tadi bersender ke dadaku.
“Mereka bodoh sih. Siapa sih, Ma, yang bicarakan soal itu?”
“Banyak, Sayang. Lagipula mama memang capek setiap hari harus nyapu halaman.”
“Ya sudah, nanti aku bantu menyapukan, setiap sore. Bener Ma, aku janji, yang penting pohon itu jangan ditebang. Lagipula kasihan dengan burung-burung itu. Dari mana mereka harus cari makanan lagi kalau bukan dari buah kersen itu. Terus bagaimana hidup kelelawar yang suka datang malam-malam kalau pohon itu tidak ada.”
Tapi terlambat. Anakku tidak akan memegang sapu. Daun-daun itu sudah luruh sebelum matahari naik. Tinggal kini dadaku sesak. Mataku hangat. Sebentar lagi pertahanannya akan rebah. Perasaan anakku begitu dalam pada pohon kersen yang tumbuh di depan rumah kami. Perlahan ketika golok Mang Cepak bergerak. Lalu ranting-ranting itu satu-satu berpatahan. Menyusul batangnya yang disertai bunyi derakan. Mata anakku nanar. Lalu kedua pemilik mata itu menghilang. Dan tinggal gorden tempatnya mengintip kini bergoyang-goyang. Basah berbentuk lingkaran kecil. Air mata anakku melepuh di situ. Lalu terdengar raungan di dalam kamar. Terkunci. Orang-orang berdatangan. Tangan-tangan itu membantu Mang Cepak
3 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
menebas batang utama. Sudah hampir sebesar tiang listrik! Beberapa orang menahan tambang dari arah kiri. Pada bagian lain memberi aba-aba. Dan kersen itu sudah dieksekusi! Oh, anakku, halaman rumah kita begitu ramai. Kini beberapa orang kampung berebutan mengambil tumpukan kayu. Sementara dari dalam kamar jelas sekali raungan anakku. Aku tak tahan lagi.
Anakku hanya merindukan semut rangrang yang berkejaran. Menghamparkan tikar di bawahnya sambil bermain warung-warungan. Uangnya dari daun-daun yang berjatuhan. Dia belum faham. Vonis para tetangga agar pohon itu ditebang. Alasan utamanya akar pohon kersen merusak bangunan. Hebat, ketajamannya mampu menembus tembok. Semua lupa, makna kehadiran pohon yang rindangnya telah hilang itu. Dialah awal munculnya kebersamaan di blok ini.
Kami adalah para pendatang yang awalnya tidak saling mengenal. Rutinitas sehari-hari membuat sekedar kumpul-kumpul dengan tetangga itu sangat sulit. Tapi pohon kersen itu perlahan-lahan tumbuh dengan subur. Kami menyiramnya dengan rutin. Sejak kecil memagarinya dengan kawat. Agar kambing yang lewat tidak menjadikan pohon kersen itu santapannya. Pada mulanya anak-anak yang kerap bermain di situ. Lama-lama para ibu yang awalnya hanya mengawasi mereka. Lalu menjadikannya sebagai tempat berkumpul yang menyenangkan. Kami akan tahu, siapa yang sakit, siapa yang butuh pertolongan, bahkan hal-hal yang sangat kecil, misalnya rumah siapa yang ada tikusnya atau bagaimana mendiamkan anak yang nangis tengah malam. Bahkan lebih dari itu, rangkaian pembicaraan di bawah pohon kersen setiap hari itu berkembang ke arah yang lebih besar. Terutama bagi diriku secara pribadi. Melalui kabar seorang tetangga yang berbicara di bawah pohon kersen itulah, aku akhirnya mendapatkan pekerjaan. Dia bercerita tentang lowongan pekerjaan di kantor suaminya.
Yang lebih menyenangkan, pohon itu selalu dijadikan tempat yang nyaman untuk singgah bagi para pedagang. Tukang sayur keliling, tukang bubur, tukang bakso, tukang siomay, tukang sate, tukang gado-gado, tukang ketoprak… dan tukang-tukang yang lain, hingga tukang sol. Aku tidak perlu berjalan jauh jika akan berurusan dengan mereka. Lebih dari itu, pohon itu menjadi sumber kelangsungan hidup bagi burung-burung. Juga pada malam hari buahnya menjadi santapan kelelawar. Meskipun sisa-sisa muntahannya tidak jarang bertempelan ke halaman, bahkan ke teras atau daun-daun tanaman. Aku tak pernah bosan membersihkannya. Itu seni, setelah kami mendapat kenikmatan suara cit cuit burung apa pun di pohon itu.
***
4 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
“Apa?” suara di seberang nyaris terdengar sebuah teriakan. “Kenapa ditebang? Jangan, jangan dulu.”
“Tapi saya sudah suruh Mang Cepak, Bu. Besok ditebangnya. Memangnya kenapa Bu?” entah mengapa, malam itu juga aku membicarakan perihal rencana penebangan pohon itu pada ibuku di kampung ketika beliau menelepon.
“Nanti Ibu tanyakan dulu sama Pak Ajengan Kholil soal itu.”
“Kok harus tanya beliau, Bu?”
“Lho, memangnya kamu lupa, Lis? Pohon itu kan sudah ditaroh jin oleh Pak Ajengan Kholil? Jangan main-main.”
Telepon mendadak bergetar. Bulu kuduk menari. Wajah Pak Ajengan Kholil berkelebat. Melotot. Menyalahkanku.
“Siapa itu Ajengan Kholil?”
“Aduh, Yah, kok banyak tanya sih? Ayolah, nanti ibu marah lho kalau Ayah enggak menemui Pak Ajengan. Beliau guru spiritual ibu.”
Akhirnya suamiku menurut.
***
5 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
“Rumahmu menghadap ke sebelah barat, kan?”
Tebakan jitu! Mata Pak Ajengan menyiratkan kepercayaan diri bahwa kata-katanya seratus persen benar. Suamiku mendadak menjadi orang bodoh.
“Pak Ajengan tidak sedang berspekulasi, kan?” desisnya tiba-tiba.
“Hehehe, saya hanya melihat dengan mata batin saya. Tapi betul kan?”
Akulah yang terus mengangguk.
“Bagus kok, terutama kalau tempat itu dijadikan untuk berjualan. Garisnya tepat. Sayang kalian sepertinya lebih condong jadi pegawai ya? Tapi Lilis kan belum bekerja, siapa tahu cocok berbisnis.”
Luar biasa! Tak disangka ajengan yang berperawakan kecil itu mempunyai mata batin di atas rata-rata.
“Ya, kan?” tanyanya lagi.
Aku lantas mengangguk.
”Tapi tidak mungkin, Pak Ajengan. Sudah ada orang lain yang lebih dulu berjualan.”
Pak Ajengan mengangguk, “Tentu saja.”
6 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
Ya, usul Pak Ajengan Kholil itu benar-benar mengendap sama sekali. (Sekarang warung yang letaknya tepat lurus dengan rumahku, tapi terhalang beberapa blok itu sudah benar-benar maju. Lebih tepat grosir).
“Bapak melihat ada sumur dekat rumah kalian, nah di situ ada jin baik yang bisa menjagai rumah kalian. Mau dipindahkan?” Lalu ajengan itu berpikir, “Tapi dia perlu tempat yang baik untuk tinggal,” ujarnya lagi.
Aku terkesiap. Berdiri bulu roma. Tatapan suamiku penuh dengan tanya. Bagaimana bisa aku menjawabnya. Ah, aku sedang dipaksa untuk memikirkan sesuatu yang sulit dijangkau dengan rasioku. Jin baik? Lalu sumur? Sumur yang mana? Di lingkungan rumah kami tidak ada sumur. Bahkan tidak ada yang membuat sumur. Aku pastikan. Tidak ada sumur! Aku yakin, kali ini tembakan Pak Ajengan Kholil tidak mengena. Sekali lagi, ngeles! Tapi aku diam. Tidak boleh berbantahan. Sangat tidak sopan. Beliau seorang ajengan. Bahkan guru dari guru-guru kami.
“Sayangnya kalian belum punya pohon.”
Kalimat berikut kembali melontar, dan isinya benar.
“Bagaimana kalau nanti kalian tanami pohon depan rumah, supaya tidak gersang. Rumah kalian juga sangat panas tanpa pohon.”
Aku masih menatap suamiku. Kami saling pandang.
“Pohon apa saja. Nanti Bapak pindahkan jin itu ke sana. Dia sudah siap mengabdi. Jin itu akan membuat rumah kalian aman dari pencuri. Orang-orang juga akan merasa segan jika melihat rumah kalian.”
7 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
Kali ini aku tersenyum. “Yang betul Pak Ajengan? Lagipula rasanya di dekat rumah kami tidak ada sumur. Di mana ya Yah?”
Suamiku tergeragap. Membalas tatapanku. Lalu menggeleng.
“Masa tidak ada? Ada, coba saja. Belum tahu, kali….”
Aku menggeleng. Meyakinkannya. Sumur itu memang tidak ada. Iya, bolehlah, tembakan Pak Ajengan tentang yang lain tepat, misalnya arah rumah, jumlah pintu, atau sungai kecil yang mengalir di ujung blok. Tapi soal sumur … aku tetap menggelengkan kepala.
Perjalanan Bandung-Bogor mendadak panjang. Kali ini oleh-oleh liburanku adalah penasaran. Tebakan Pak Ajengan harus segera dibuktikan!
***
Mulai sorenya, setelah penat mulai melindap, kami bergerak ke luar. Berkeliling mencari sumur! Dengan komitmen tidak bertanya ke tetangga. Takut pusing kalau ada pertanyaan yang sulit jawabannya. Mau tahu akhir dari pencarian kami? Nihil. Sumur itu benar-benar tidak ada. Pak Ajengan Kholil itu memang ada-ada saja. Mungkin di kampung beliau bisa menebak semua. Bahkan mengendalikan jin dari jenis jin apa pun (kalau memang jin berjenis-jenis). Itu urusan Pak Ajengan. Tapi di tempat ini pemahamannya tidak berlaku. Sumur itu tidak ada, mungkin juga jinnya.
Sampai suatu ketika, (waktu itu pohon kersen sudah kami tanam). Air PAM tidak menyala. Biasa kalau ada bocor, biasanya mengalami pembersihan sehingga selama setengah hari bahkan dua hari air mati. Entah mengapa pembantu rumah kami sepertinya tidak kesulitan dengan air. Dia malah terlihat mengangkut air berember-ember dan ditampungnya di bak kamar mandi. Juga sebuah tempayan besar di dapur.
8 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
“Lho, kamu ambil air dari mana, Sati?”
“Dari sumur, Bu.”
Jawaban Sati itu…. Otakku menggasing. Pak Ajengan Kholil mendadak tertawa-tawa di kepala. Entah berapa kali kutelan ludah. Mataku masih melongo ketika Sati hendak kembali dengan embernya.
“Sat, tunggu sebentar.”
“Oya, Bu. Ada apa, Bu? Tidak apa-apa kan saya ambil di sumur? Bersih kok, Bu. Yang lain juga pada ngangkut dari situ. Itu air tanah, Bu, jadi bersih.”
“Enggak apa-apa, cuma kasian kamu capek.”
“Tidak, Bu. Kan diangkut pakai sepeda bekas Dede Iqbal. Lagi pula sumurnya dekat kok. Tuh dekat rumah Mamah Hana….”
“Mamah Hana? Bu Aswin, maksudmu? Dekat dong.”
“Memang dekat, Bu. Seberang kali. Memangnya Ibu tidak tahu?”
Pundakku seperti merunduk. Bulu-bulunya bebas menari. Wajah Ajengan Kholil terus melintas dengan seringainya yang khas. Aku minta ampun. Janji tidak akan membantahnya. Hak Tuhan untuk memberikan ilmu pada siapa pun. Maka ketika liburan kembali tiba. Aku menurut saja. Pak Ajengan Kholil tahu (lewat tembakan juga) bahwa pohon kersen di rumahku sudah besar. Dia segera memindahkan jin baik dari sumur itu ke pohon kami. Entah dengan apa caranya!
9 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
“Yah, gimana? Kata Ibu Bandung, kita harus konsultasi dulu dengan Pak Ajengan Kholil kalau mau nebang pohon….”
“Kenapa? Karena jin itu kan?”
“Ya pasti begitu.”
“Wah, sudah telanjur, Ma. Besok Mang Cepak sudah siap nebang. Terus harus dibatalkan? Kan Mama tahu sendiri Mang Cepak hanya punya waktu besok. Itu juga sudah untung dia sanggup.”
Aku terdiam.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Lagipula jangan terlalu percaya dengan hal-hal gaib seperti itu. Rasanya hidup kita jadi serba terbatas. Lebih baik pikirkan saja omongan tetangga di luar sana. Itu jelas membuat kuping kita semakin panas.”
“Terus Mama harus bilang apa sama ibu?”
“Bilang saja, semua berjalan baik. Titik.”
Mulut ini diam. Memang benar, semua berjalan baik. Proses penebangan berlangsung dengan aman. Dari puncak paling muda hingga pangkal pohon yang sudah mulai berlumut. Pohon kersen kesayangan sudah berumur hampir lima tahun. Mengabdikan diri tanpa pilihan. Anak-anak, ibu-ibu, para pedagang, hingga berjenis burung dan kelelawar. Singkat rasanya setelah dia benar-benar hilang. Pipiku masih membasah. Lebih sedih lagi, sejak itu akibat kesalahan kami karena menebasnya mulai terasa. Sejak batang demi batang hingga pangkal pohon ditebang, perlahan tapi pasti matahari memelototi kami. Tak ada belas kasihan.
10 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
“Mama, coba lihat, burung-burung itu datang, tapi dia cuma berputar-putar di situ. Kasihan sekali. Mereka baru tahu bahwa pohonnya sudah ditebang. Kasihan sekali, Ma.” Itu rengekan anakku yang keseratus, mungkin. “Tuh kan, Yah. Kasihan mereka, berputar-putar begitu. Mereka pasti kelaparan….”
“Tidak apa-apa, nanti pohon itu kita ganti. Lagipula burung punya insting yang kuat untuk mencari sumber makanan di tempat yang lain.”
“Tidak mau! Aku tidak mau burung-burung itu terbang ke tempat lain. Suara burung itu indah, Yah….”
Mulut ini kembali diam. Anakku menangis lagi.
“Aduh, anak Mama kok jadi cengeng begini ya?” Tak terasa mataku juga mulai menghangat. Kupeluk anakku erat-erat. Dadanya terasa berguncang-guncang di dadaku.
“Orang-orang sini kejam semua! Aku benci mereka, Mama….”
Aku tidak tahan lagi. Pipiku basah.
“Sudahlah, Nak, daripada sedih begitu, kita jalan-jalan yuk. Ini kan hari Minggu,” ayahnya mendekat.
Tapi pelukan anakku semakin erat. Dia menggelengkan kepalanya. “Pasti teman-temanku tidak mau lagi main di situ. Nanti aku jadi tidak punya teman lagi.”
11 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
“Tidak, Sayang, tempat main kan banyak, Nak....”
“Tapi kami sudah berjanji mau membuat rumah pohon, Mama.”
Hk!
Perlahan mataku berpendar ke luar. Terasa sekali langit begitu terang. Kupandangi halaman. Aku tersentak. Dedaunan dan bunga-bunga itu! Bertahun-tahun kurawat sekarang sudah berubah wujud! Suplir-suplir itu! Anthurium itu!
“Sayang, sebentar, Mama harus menyiram bunga dulu. Sekarang mereka cepat kena panas.”
“Tuh kan, Ma...,” suara anakku menyalahkan.
Aku baru tersadar. Dua hari sudah pohon kersen itu ditebang. Banyak tanaman di dalam pot yang sudah layu. Sudah pasti karena mereka langsung bertatapan dengan sinar matahari. Selama ini aku menyirami mereka dua hari sekali. Tapi kali ini, sepertinya harus dua kali satu hari! Aku mulai kelabakan. Banyak pula yang sudah lunglai batangnya. Dua hari ini aku tidak mempedulikannya! Inilah akibat pertama yang kurasakan setelah pohon kersen itu ditebang!
Hari berikutnya. Aku masih termangu di depan jendela. Rutinitas baru setelah pohon kersen kesayangan itu tidak ada. Mengintip situasi di luar dari balik gorden. Mirip seorang puteri yang bakal kena kutukan jika wajahnya bersitatap dengan matahari. Hanya menarik nafas lemah menikmati batu-batu taman yang lesu. Warna pagar mendadak kusam di mataku. Daun-daun menjadi lebih banyak yang berwarna coklat dibanding yang berwarna hijau.
Sedahsyat ini halaman rumahku dianiaya oleh saudaranya sendiri? Matahari, yang sesungguhnya dibutuhkan untuk kelangsungannya. Tak ada gerakan apa pun di luar sana. Suasana teramat sepi. Sinar matahari memantul dari logam-logam pagar dan masuk rumah tanpa hambatan. Juga melalui jendela-jendela serta loster. Isi rumah benderang bahkan
12 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
kesilauan. Ketidaknyamanan ini membuatku beringsut ke dalam. Lalu siap duduk di depan televisi. Tapi lagi-lagi, pantulan itu masuk ke boks kaca di hadapanku. Aku menelan ludah. Seekstrim inikah akibat pohon kersen itu ditebang? Dan pantulan-pantulan itu. Seperti kutukan yang menghantui rumah ini hingga ke dalam. Akhirnya kuhampiri suamiku yang sedang mengotak-atik laptopnya.
“Kenapa, Ma? Gelisah sekali?”
“Rumah ini mulai panas, Yah. Pantulan matahari itu membuat mata Mama silau.”
“Ya begitulah.” Suamiku bangkit, “Siang-siang begini enaknya makan es, Ma….”
Aku melenguh, “Sepetinya tidak ada. Tadi pagi saja Mama mau nunggu tukang bubur tidak berhenti.”
“Terus tukang es? Ke mana?”
“Ya… sudah lewat, Yah. Semua orang sudah tidak ada lagi yang mau singgah. Jangankan mereka, anak-anak saja sudah tidak ada. Makanya Mama bingung nih, ke mana anak kita mainnya.... Biasanya mereka bermain di bawah pohon kersen....”
Suamiku termangu.
Akhirnya kami terdiam. Tatapan kami sama-sama lurus ke luar. Udara makin terasa panas. Matahari semakin bebas menghantam bunga-bunga kesayanganku. Suasana sepi sekali. Para pedagang yang biasanya meramaikan keteduhan pohon kersen itu sudah tidak nampak lagi. Bahkan baru saja selintas tukang sol lewat. Setelah dia melihat sesaat ke arah pohon kersen yang sudah tidak ada, dia berlalu entah ke mana.
13 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
“Ma, kalau anak kita pulang, kita ajak dia jalan-jalan. Papa juga bosan nih. Oya, suruh Sati untuk memindahkan kursi yang kemarin di bawah pohon kersen ke teras belakang.”
Duh, terbayang sudah kenyamanan itu benar-benar hilang. Bahkan aku tidak tahu lagi, kapan kami duduk-duduk sambil membaca koran di bawah pohon kersen itu. Anakku juga bermain tiap hari di sana dalam pengawasan pembantuku. Atau para tetangga datang untuk sekedar makan rujak. Tapi sekarang, satu kepala pun tidak muncul di sana. Suasana sepi, sepi sekali. Lalu jin itu? Aku terkesiap. Jangan-jangan....
Ketika itu anakku muncul dengan pakaian serba kotor (padahal sebelumnya tidak pernah dia pulang bermain dalam kondisi seperti itu). Tidak hanya itu, mukanya juga penuh dengan garis-garis tanah.
“Aku tadi bermain di sungai belakang, Ma. Nyari ikan Bogo.”
Aku tersentak.
“Tapi aku enggak dapat, Ma.... Susah nangkapnya. Ikannya banyak, Ma.”
Aku hanya terbengong melihat wajah itu, “Mandi ya Sayang, ayah mau ngajak kita jalan-jalan.”
Dia terperangah, “Yang betul, Ma.... Horeee!”
Aku menatap ekspresi itu dengan heran. Baru kali ini anakku begitu gembira diajak jalan-jalan. Sebelumnya, dia selalu malas diajak ke mana pun, meskipun dengan kata jalan-jalan. Dia akan lebih asyik bermain dengan teman-temannya di bawah pohon kersen itu. Bahkan baru kudengar kemarin bahwa dia dan teman-temannya berniat membuat rumah pohon di situ. Duh. Apa sedahsyat ini pengaruh pohon kersen di rumahku....
14 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
“Iya, Papa pengen beli bakso nih. Sekarang tukang bakso sudah tidak berhenti lagi di depan rumah kita....”
“Makanya, salah sendiri pohonnya ditebang....” Anakku berlalu ke kamar mandi.
Aku dan suami saling pandang, lalu aku lebih dulu menghindar dan berlalu ke kamar.
***
Tujuh hari berlalu. Suasana yang baru itu masih tetap mengganggu kami. Sebut saja hal-hal yang akan kuurai berikut ini. - Anakku kerap pergi entah ke mana setelah pulang sekolah. Lalu datang di sore hari dengan pakaian yang tidak karuan. Selain kotor, juga membawa aroma-aroma baru. - Suasana panas menghantam halaman rumah dengan pantulan-pantulan cahaya yang menyiksa hingga ke dalam. - Kesibukan baru menyiram tanaman setiap pagi dan sore. - Sudah jarang bertemu dan mengobrol dengan tetangga dalam situasi yang santai. - Aku terpaksa harus teriak-teriak di bawah terik matahari kalau kebetulan ingin membeli rujak, es, atau gado-gado yang lewat tepat tengah hari.
Rutinitas yang sepele tapi berat. Tentu saja dengan meninggalkan kebiasaan manis sebelum ini. Sebut saja hal-hal yang akan kuurai berikut ini juga. - Makan ramai-ramai di bawah pohon. - Menunggui anakku bermain dengan teman-temannya sambil menikmati suara burung. - Duduk santai di hari Minggu sambil membaca koran sekaligus menikmati sajian makanan ringan. - Halaman rumahku hingga ke ruangan dalam selalu terasa sejuk, nyaman, dan membuat perasaan adem hingga ke tulang sumsum. - Kenyamanan rumahku waktu itu tidak membuat anakku menjadi keranjingan jalan-jalan seperti sekarang ini.
15 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
Lihat saja, sejak pohon kersen itu ditebang, hari Minggu, anakku minta jalan-jalan dengan alasan di rumah membosankan!
“Coba kalau pohon itu jangan ditebang dulu ya, Yah?” ucapku tiba-tiba. Sementara mataku lurus kosong ke jalan yang akan dilalui oleh mobil kami.
“Mama ini aneh-aneh saja. Tenanglah Ma, barusan kan Papa beli bibit pohon rambutan dan pohon mangga. Papa jamin, kesejukan rumah kita akan kembali lagi dengan pohon ini. Lebih dari itu, selain teduh, setiap musim kita bisa panen.”
“Terus kalau ada yang protes lagi, bagaimana Yah?”
Suamiku yang sedang menyetir hanya menggeleng tenang. “Tidak akan, dan aku tidak akan mendengarnya.”
Aku menarik nafas panjang. “Mestinya sebelum kita tebang, pohon rambutan itu sudah kita tanam.”
“Sudahlah, Ma, tidak ada gunanya menyesal. Yang penting kan belum terlambat untuk menanamnya kembali….”
Aku terdiam. Lalu kutoleh anakku yang sedang tidur di belakang.
“Iqbal tidur ya, Ma?” Suamiku mengikuti arah gerak kepalaku.
“Ya, dia kecapean dengan outbound tadi. Lagipula, main kok outbound. Ya cape, ya uang habis. Mending outboun d
16 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
sendiri di rumah… ya andaikan masih ada pohon….”
“Sudahlah, Ma, jangan aneh-aneh.”
“Gara-gara pohon itu ditebang, kita jadi boros, Yah.”
“Sudahlah, Ma.”
Akhirnya aku terdiam. Kupejamkan mata. Jalanan tak nampak lagi. Hanya deru mesin di telingaku. Lalu pohon kersen mengembang dalam pandangan gelapku. Rindang sekali….
Menjelang pukul tiga kami baru sampai di depan pagar. Aku terhenyak. Dari luar tampak sekali halaman rumah tipe 45-ku itu kelelahan di bawah sinar matahari. Tak terbayangkan bagaimana lelahnya bumi ini, jika sekian pohon ditebang dalam satu hari. Ah, terlalu berat aku memikirkan ini. Sekarang aku terkonsentrasi untuk membuka pintu mobil dan turun untuk membuka pagar. Tapi aku mendadak kaget. Ternyata pagar rumahku tidak terkunci lagi. Bahkan gemboknya sudah tidak menggantung seperti ketika kami pergi tadi pagi.
“Yah!” aku spontan berteriak.
Seketika itu juga suamiku sudah menghampiriku.
“Gemboknya tidak ada!”
Sesaat saja suamiku kebingungan. Lalu dia langsung membuka pintu pagar dan menggeserkan bagian pagar yang lain. Aku masuk dan memeriksa seluruh halaman. Aku tersentak. Sandal-sandal yang tersimpan rapi di bagian belakang sudah raib beberapa pasang. Ini pertama kalinya terjadi di rumahku.
17 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
“Tuh kan, Yah… akhirnya kita kecurian juga.”
“Kecurian gimana?” suamiku mendekat, lalu matanya mengarah pada deretan sandal jepit yang tersisa.
“Apa yang hilang, Ma?”
“Sendal kulit Iqbal yang baru, juga sendal-sendal kulit kita, tapi kan masih lumayan, Yah.”
Suamiku geleng-geleng kepala. Lalu tanpa kata dia balik arah. Tak lama kemudian suamiku segera memasukkan mobil ke garasi. Aman. Pintu garasi masih terkunci. Lalu aku menghambur ke dalam rumah melalui garasi yang tembus dengan ruang tengah. Kuperiksa pintu-pintu dan jendela. Rupanya masih aman. Aku bersyukur. Rupanya kami hanya kehilangan beberapa pasang sandal saja di luar. Pencuri itu tidak sampai masuk ke dalam rumah.
“Mama, sandalku hilang ya…?” rengek anakku sambil menghambur ke dalam, “Tuh kan, Ma. Kan gara-gara pohon kersennya ditebang. Jadinya orang-orang tidak ada yang bermain di bawah sana. Makanya ada maling yang bisa masuk ke sini….”
Aku terdiam. Lalu berlalu ke dapur untuk mengambil air minum.
“Memang benar, pengaruh pohon itu sangat terasa. Belum pernah kita kecurian….”
“Mama, pohon itu tidak ada hubungannya dengan pencurian.”
“Tapi semua kata-kata Pak Ajengan Kholil selalu benar, termasuk pohon itu. Buktinya selama
18 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
ini kita aman, termasuk orang-orang tidak berani keluar masuk rumah kita, seperti halnya rumah tetangga. Ayah rasakan itu tidak? Tapi sekarang?”
Suamiku menuangkan minumnya ke mulut, “Selama ini kita aman karena di depan rumah kita selalu banyak orang. Tidak sepi seperti sekarang. Lalu mengapa orang-orang segan dengan rumah kita, ya karena selama ini kan Mama kerja….”
“Tapi perasaanku juga lain, Yah.”
“Ya sudahlah, terserah Mama. Yang penting sekarang, isi rumah kita selamat. Dan mulai hari ini kita harus waspada….”
“Pokoknya Mama tidak mau tahu. Cepat tanam pohon itu. Kalau perlu rumah kita kelilingi dengan pohon-pohon. Lalu minta Pak Ajengan Kholil untuk menyimpan jin sebanyak-banyaknya….”
Sorenya, tampak suamiku sudah siap dengan cangkul dan tiga bibit pohon. Katanya satu pohon rambutan dan dua pohon mangga. Aku mulai berani keluar. Karena seperti puteri yang takut sinar matahari, aku hanya berani berada di luar setelah matahari benar-benar berada di sebelah barat. Barulah tampak tetanggaku juga bermunculan. Ada yang sambil mendorong roda bayi, ada yang menggendong, dan juga yang menuntunnya sambil memegang tempat makan.
“Wah, Pak Budi sudah tanam pohon baru, ya?”
“Pohon apa itu, Pak?”
Beberapa pertanyaan bermunculan begitu mereka sampai ke arah kami.
19 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
“Yang jelas bukan pohon kersen, Bu….”
Semua tersenyum.
“Betul, Pak. Jangan pohon kersen. Akarnya kurang bagus untuk bangunan. Tuh, kami juga tanam belimbing wuluh. Sama seperti kersen daunnya, Pak. rapat…”
“Oya, Bu,” ujar suamiku sambil terus mencangkul.
“Terus, buahnya kan bisa dipakai untuk masak dan obat.”
Aku hanya manggut-manggut.
“Oya, Bu... Bu Budi sudah bertemu Mang Cepak, belum? Dia kan sakit setelah menebang pohon kersen Ibu....”
Aku tersentak, “Sakit apa?”
“Katanya demam, Bu.”
“Bu Toni tahu dari siapa?”
“Dari Bu Aswin, kemarin dia mau minta tolong Mang Cepak untuk pasang keramik baru. Tapi Mang Cepaknya sakit….”
20 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
Aku melongong. Kutatap suamiku yang juga mendadak menghentikan pekerjaannya….
Malamnya suamiku berbisik, “Pohon mana pun punya peran dalam hidup manusia. Makanya, hati-hati ya, Ma. Jangan berpikir Mang Cepak sakit gara-gara ulah jin di pohon kita….
Aku mengangkat bahu.
DUA KESAKSIAN
Aku menjadi tahanan. Aku dipaksa mengakui telah membunuh. Lalu bercerita tentang masa lalu. Di tempat lain seorang laki-laki melakukan kesaksian. Dia juga bercerita tentang masa lalu. ***
Iis Wiati, S.Pd. Lahir di Bandung, 18 Agustus 1973. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 5 Bogor, Jawa Barat. Alamat Sekolah: Jalan Manunggal No. 22, Bogor, Jawa Barat. Alamat Rumah: Jalan Kompleks Telaga Kahuripan, Candraloka Blok AA 10 No.1, Parung,
21 / 22
Pohon Kersen Ditulis oleh Iis Wiati Rabu, 16 Juni 2010 11:32
Bogor, Jawa Barat.
22 / 22
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
Suara panser yang menggilas pasir-pasir putih kudengar bagai gulungan ombak di pantai Lok Nga. Suara itu bergemuruh menjemput maut dan mengabarkan perang yang tidak berkesudahan.
Aku bangkit dari tidur, hari sudah menjelang fajar. Ayam pekantan kesayangan Zakir, siswa nomor wahid di kelasku, tidak lagi bernyanyi merdu, seakan pita suaranya terputus mendengar gemuruh panser itu. Jangkrik pun menghentikan musik dan lari ke persembunyiannya.
Darahku berdegup keras ketika ibu kos mengetuk pintu kamar menginformasikan bahwa panser itu bergerak dari arah timur, tepatnya dari desa Bantayan. “Desa Bantayan berjarak tiga puluh kilometer dari rumah kos ini. Pantas saja tidak kudengar suara letusan senapan dan bombardir yang siap melumat jantungku,” pikirku dalam hati.
Aku keluar kamar menuju jendela berjalan tergontai. Kusibak tirai jendela setengah usang, samar-samar terbaca olehku tanda-tanda seragam dan alat perang yang mereka gunakan. Ya…, malam ini pasukan perang asal Maluku kembali menyisir penduduk tepi pantai Bantayan.
Nanar mata tentara berjaga-jaga di atas panser sambil mengarahkan senjata yang telah dikokang. Lima senjata yang berputar di atas alat perang siap dimuntahkan jika musuh menghadang. “Enam orang penduduk yang tewas, Bu. Dua tentara sekarat,” jelas ibu kos padaku. Aku tidak bergeming mendengar penjelasan ibu kos yang penuh kasih menjaga bayiku dua tahun yang lalu.
Setiap kali ada kontak senjata, dua, empat atau sepuluh yang tewas itu biasa terdengar di telingaku. Orangtua, anak-anak yang tidak berdosa, perempuan yang tidak berdaya, bahkan bayi dalam buaian tidak luput dari peluru. Termasuklah bayiku yang berusia delapan bulan, Bonar namanya, menjadi korban kekejaman perang.
Waktu itu kami diundang memanen udang di kolam Tengku Anwar. Secepat kilat, suara bom bergemuruh dan peluru berhamburan. Terjadi kontak senjata antara dua pasukan. Namun, tak satu pun pasukan perang yang tampak oleh kami, hanya peluru yang terlihat mondar-mandir di depan mata. Kami terkepung di tengah. Saat itulah peluru nyasar merenggut nyawa anakku,
1 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
Bonar yang lucu.
Peristiwa ini terjadi dua tahun lalu, namun masih segar dalam ingatanku bagaimana peluru bersarang di kepalanya dan isi otaknya berhamburan ke luar. Darah bersimbah di sekujur tubuhku ketika memeluknya. Pekikanku saat itu terdengar ke langit ketujuh. Bonar yang setia menemani perjalananku dan mengisi hari-hariku yang sepi di desa ini telah hijrah ke surga.
Mataku masih tertuju pada barisan panser itu. Aku berpikir, siapa lagi dari siswaku yang yatim pagi ini, siapa lagi akan kudekap dalam tangisan, siapa lagi yang akan tersenyum bagai purnama walau peluru berhamburan seperti hujan badai? Abdul Manaf kah, si energik yang bercita-cita jadi tentara dan siap mendamaikan Aceh, atau M. Nuh, yang katanya akan melanjutkan kuliah ke Malaysia setelah tamat SMA? mungkinkah Nurhabibah, si bola mata indah, bersinar, tapi teduh, sebab dua abangnya dibantai ketika memupuk sawit milik Geucik di Lampulo?
Suara beker di kamar menyentakkan lamunanku. Pukul lima shubuh, aku melepas tatapan dari barisan panser yang menjauh dari mataku. Kumasuki kembali kamarku setelah pamitan pada ibu kos. Sebelum bergegas ke sumur kutatap wajah ketiga temanku. Ibu Sari, guru Sejarah, Ibu Henny, guru Geografi dan Ibu Dwi, guru Kimia, masih pulas tertidur. Mungkin bagi mereka gemuruh panser tadi hanya hadir dalam mimpi. Ketiga wajah ini begitu indah. Di dada mereka tersimpan cita-cita yang luhur “mencerdaskan bangsa” walau perang melanda.
Kuambil handuk menuju sumur. Gemetar tubuhku saat air gayungan pertama menyentuh kulitku. Air ini lebih dingin dari kemarin, mungkin suhu tubuhku turun. Aku mandi kilat pagi ini. Mukena dan sarung cap gajah membantu menghangatkan tubuhku.
“Khusuk hamba menghadap-Mu, ya Allah.” Pelan airmataku turun membelah pipiku yang tirus. “Tabahkan keluarga korban yang gugur malam ini, akhirilah konflik ini, ya Allah. Biarkan kami di desa ini tersenyum indah bagai purnama.” Tangisanku terhenti setelah sujud terakhir.
Satu persatu teman seperjuanganku bangun. “Sudah mandi, Kak,” tanya Henny.
2 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
”Sudah,” jawabku hampir tidak bersuara.
“Kakak sudah mandi?” kembali Ibu Henny bertanya dengan suara lembut, selembut hatinya.
“Sudah, Bu Henny,” jawabku dengan suara lebih keras. Si bawel, Ibu Dwi, tanpa bicara langsung menyambar handuk menuju sumur. Dengan malas pula Ibu Sari bergumam, “Sudah azan, Bu Rani? Kenapa belum kedengaran ya?” Guru Sejarah yang senang tidur di lantai tanpa alas tikar seakan lupa, bahwa sudah sekian lama azan shubuh tidak berkumandang mengagungkan Tuhan.
Telah lama meunasah di ujung desa sepi dari orang-orang bersujud. Tidak ada lagi suara zikir menggema. Keindahan azan yang dikumandangkan Tengku Asnawi berganti dengan letusan senjata dan dentuman bom molotov. Penduduk desa lebih memilih shalat shubuh di rumah daripada berjema’ah ke meunasah. Tidak ada yang berani mengambil risiko menjemput kematiannya sendiri.
“Azan shubuh tak lagi terdengar, apa Bu Sari lupa?” jawabku ketus. “O iya, lupa Sari, maklum saja keenakan tidur,” katanya sambil tertawa.
Peristiwa yang kusaksikan tadi kusimpan dalam hati, aku tidak ingin mereka menyesali nikmatnya tidur malam ini.
Pukul 07.40 WIB kami ke SMA 1 Madat tercinta. Pelan dan pasti kami melangkah, degup jantungku seperti genderang mau perang, lebih keras dari derap sepatu aparat yang bertugas di desa.
Beberapa siswa melomba jalan kami. Langkah mereka lebih cepat dan dayungan sepeda melaju kencang seakan ingin memberitakan atau memburu berita aktual pagi ini. Mereka bagai kuli tinta pengumpul berita.
3 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
Tiba di pintu sekolah 07.50 WIB. Masih sepuluh menit lagi lonceng masuk. Sekolah kami seperti sekolah lain yang mulai belajar pukul 07.30 WIB. Kepala sekolah cukup toleran memberi waktu, ini disebabkan remaja di desa setiap malam belajar Al-Qur’an sampai pukul 23.00 WIB. Karena situasi mereka tidak berani pulang ke rumah dan tidur di meunasah sampai pagi.
Zakir, siswa si nomor wahid yang setia memberi berita buruk, menghampiriku. Siswa kelas XII IPA-1 ini sering mencemaskan keselamatanku. “Selamat pagi, Bu,” sapanya.
“Selamat pagi, Zakir,” jawabku sambil menuju kursi.
Setengah berbisik Zakir berkata, “Bu …, malam tadi kontak senjata di Bantayan, ada yang meninggal, Bu.”
Kutatap wajah itu dan berkata, “Benar katamu, Ibu sudah tahu sejak shubuh. Sekarang kamu boleh masuk kelas, dua menit lagi lonceng berbunyi.”
Zakir menuju kelas dan puas telah menyapaku pagi ini. Begitulah siswa ini selalu.
Lonceng masuk berbunyi. Aku berjalan menuju kelas bersama sahabatku, Ibu Henny. “Kontak rupanya malam tadi ya, Eny keenakan tidur, tidak mendengar apa-apa. Ibu sudah tahu?” Aku tidak berkomentar dan hanya tersenyum mendengarnya. Kami berpisah di kelas XII IPA-1.
Aku mengajar seperti biasa. Jam pertama sampai jam ketiga masuk di kelas XII IPA-2. Delapan orang siswa di kelasku absen. Memang selalu begini, setiap kali kontak senjata 25% siswa tidak hadir dari seluruh jumlah yang ada. Satu jam menjelaskan pokok bahasan “Paragraf Induksi dan Paragraf Deduksi”, pintu kelas diketuk. Junaidi, yang kami sebut si sulung, selaku ketua OSIS mengumumkan berita duka penuh haru. Tidak ada rasa ingin tahu siapa yang jadi korban malam tadi, sebab mereka lebih cepat memburu berita dari kami gurunya. “Innallillahi,” kalimat inilah yang selalu mengiringi si sulung Junaidi bila memasuki kelas. Empat siswa di kelas X yatim lagi.
4 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
Aku keluar kelas menahan airmata. Kutatap langit. Tampak olehku sesayat kepedihan tertulis di sana. Padi yang kuning keemasan di halaman sekolah merunduk, seakan hening cipta atas berpulangnya para syuhada.
Setelah Junaidi mengumpulkan uang recehan untuk disumbangkan sebagai uang duka, aku kembali ke kelas. Kutatap siswa yang wajah-wajahnya indah bagai purnama. Mereka menyambut tatapanku dengan ramah. Purnama itu tetap tersenyum walau luka di dadanya.
Jam istirahat, lonceng panjang berbunyi. Siswa dipulangkan lebih awal. Dua mobil pick up disewa dari Tengku Anwar. Beberapa siswa dan guru menuju rumah duka. Hampir satu jam kami menempuh perjalanan yang menyakitkan ini.
Enam mayat terbujur kaku di Meunasah Istiqomah. Sedih, sakit, dendam dan pasrah terlukis di wajah pelayat. Empat orang siswaku merunduk menyambut kehadiran kami. Airmata mereka bagai cahaya purnama jatuh menyentuh pasir-pasir kwarsa. Airmata seorang anak yang tidak mengerti mengapa pelipis ayahnya tembus peluru, mengapa di dada ayahnya bersarang bazoka, mengapa ada mayat bergelimpangan tanpa kepala? Mengapa harga seekor lembu lebih mahal dari sebuah nyawa? Tidak ada yang menjawab.
Ilalang bisu. Rumput kering. Tidak peduli dengan teriakan purnama di pelukanku. Daun kering yang jatuh ke bumi bersekongkol dengan musuh, tidak pernah membisikkan bahwa perang akan tiba. Ketika bencana datang semua hanya bisa terperangah.
Kepala sekolah memakai batik berwarna gelap, bertubuh tegap, berjalan lunglai menuju tempat untuk memberi sambutan. Humaira, Tiraimah, Ismail dan Zainabon mendengar penuh hikmat. Giliran si sulung Junaidi memberi sambutan terakhir. Si Sulung ini mahir berpidato dan begitu dewasa. Dia dewasa karena ditempa keadaan, lagi pula usianya sudah 25 tahun tapi masih SMA. Junaidi lebih tua enam bulan dari guru Geografi, Ibu Henny. Kedengarannya aneh, tapi bagi kami tidak ada yang aneh di desa ini. Usai memberi sambutan jenazah diberangkatkan.
Iring-iringan jenazah menuju pemakaman diikuti ratusan pelayat. Bumi basah karena gerimis dan airmata. Gumpalan awan hitam bergulung berkejar-kejaran. Suasana mencekam.
5 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
Tidurmu adalah mimpi panjang
Darah yang tercecer saksi ketidakadilan
Gemuruh di angkasa menyambar perbuatan dosa
Selamat jalan syuhada
Malaikat Malik menunggumu di syurga.
Tanah pemakaman menganga menyambut kedatangan hamba-Nya. Tak ada satu pun yang bersuara. Hanya doa dan isak tangis yang terdengar.
Upacara pemakaman usai sudah. Satu persatu pelayat meninggalkan tempat. Berat kaki-kaki ini melangkah, terlebih-lebih keluarga yang ditinggalkan.
Aku menaiki pick up dan duduk di bak belakang, diikuti siswa lainnya. Jalan-jalan sepi. Ya, sepi yang makin menambah luka di hati. Tak ada kegiatan apa pun di desa ini. Semua berkabung dan waswas. Siswa-siswi yang duduk dan jongkok bersamaku di bak belakang tampak layu dan bermuka sembab. Tak satu pun yang berbicara sebab tak seorang pun yang ingin mendengar kata-kata.
Tiba di kos kurebahkan tubuh di lantai beralas tikar pandan. Lelah hati ini, lelah tubuh ini. Kami istirahat. Sayur campur, sambal telur, makanan wajib di kost ini tidak ada yang menyentuh. Tak ada yang lapar walau sudah jam dua siang. Perut kami selalu kenyang di sisi penderitaan.
Dari balik pintu Pak Ali berkata, “Enam orang yang korban, alamat tak tidur malam ini. Mana Bu Rani, lemas ya, Bu?”
6 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
Aku tidak menjawab dan menutup telingaku dengan bantal.
Dwi menimpali omongan Pak Ali, “Begadang lagi … begadang lagi. Kita harus waspada malam ini, siapa tahu ada serangan balasan. Atau, pulang kita yuuuk …, tak usah ngajar kita besok.” Kami hanya tersenyum mendengar ocehan si bawel.
Meninggalkan murid tidak akan pernah kami lakukan. Mereka adalah purnama yang indah. Mereka tetap bersinar cemerlang dan berotak gemilang dengan prestasi segudang walau perang menghajar tanah rencong ini. Semangat mereka tidak pernah surut menimba ilmu.
Beberapa saat terdiam, Ibu Sari menyela, “Maunya tak usah ada malam ya…, maunya siang terus.”
Lagi-lagi Bu Sari lupa, bahwa dalam Al-Qur’an surat empat belas dikatakan bahwa Allah menundukkan matahari dan bulan beredar dalam orbitnya sehingga ada siang dan malam yang tidak dapat saling mendahului.
Tapi begitulah di desa ini, bila pagi terbentang hati pun lega. Berharap ayah, abang atau adik yang diculik kembali ke tengah-tengah keluarga dalam keadaan hidup maupun tidak bernyawa. Jika malam menjelang semua gelisah, ketakutan. Menunggu pagi bagai seabad lamanya. Karena gelisahnya malam-malam yang kami lewati, tidur pun sering berhias mimpi. Mimpi bersambung lagi. Per episode. Indah, bukan? Begitulah penanggungan yang dialami penduduk, selain menderita fisik juga menderita psikologis.
Azan Magrib terdengar. Parau suara Tengku Ismail memuji asma Allah. Siang tadi di pekuburan, Tengku Ismail salah satu pelayat yang paling banyak menitikkan airmata. Tiga dari enam korban yang terbujur kaku, ada pertalian darah dengannya. Gemetar lengan Tengku Ismail menengadahkan tangan, berdoa pada Allah.
Malam menjelang dengan ribuan misteri yang tersimpan di dalamnya. Seperti biasa kami
7 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
bergumul dengan kesibukan masing-masing. Pak Ali di kamar depan menyiapkan laporan tahunan; Ibu Dwi dan Ibu Sari menyiapkan soal-soal ulangan bulanan; Ibu Henny sibuk memperhatikan peta NAD. Dua minggu yang lalu Bu Henny ke Banda mengikuti penataran. Beberapa kondisi sungai dan tanah berubah bentuk akibat tsunami, dan aku mendalami pokok bahasan untuk besok.
HP Bu Sari berdering. Suami Bu Sari dari jarak 60 km menelepon. Yang kudengar: “Iya, Bang. Sari sudah makan pakai sayur campur dan dadar telur. Ada juga plik uk dan timpan yang diantar Hasanah sore tadi. Kami baik-baik saja, tak ada apa-apa, Bang. Semua di rumah, Bang.” Lupa lagi Bu Sari. “Siapa pula yang pernah keluar malam hari,” pikirku dalam hati. Lalu kudengar lagi: “Aman-aman saja di sini, tak ada apa-apa, Bang.”
Bu Sari menutup kegelisahannya malam ini. Begitu juga dengan kami. Banjir darah, hujan peluru, mayat bergelimpangan di depan mata, hanya terekam di dada. Keluarga tidak perlu tahu rentetan peristiwa dramatis ini. Kami tidak ingin ada keluarga yang mencemaskan kepergian kami. Kami ingin dilepas dengan senyuman, tidak dengan tangisan!
Ibu Dwi berkali-kali menepuk tubuhnya mengusir nyamuk. Jam 20.00 WIB baru aku tahu bahwa lingkaran cap roda tiga habis. Jam 20.00 WIB tidak ada lagi warung buka dan diupah pun tidak akan ada yang berani ke luar rumah. Terkadang Bu Dwi juga memukul dadanya mengusir ketakutan. Ibu Henny dan Ibu Sari sebentar-sebentar berkipas mengeringkan badan yang berkeringat dan mengipas kegerahan malam yang menakutkan. Udara panas, mencapai 48°C, begitu menurut keterangan badan meteorologi.
Jam beker dan suara jangkrik bersahut-sahutan, membentuk bisikan gaib dari malaikat pencabut nyawa. Desir angin mengayun dedaunan terdengar bagai sayatan sangkur mengiris dada. Telingaku terpasang tajam mencari langkah kaki di semak belukar dan suara letusan.
Malam terlalu panjang dan menyiksa
Gelisah dan ketakutan adalah gambaran jiwa
8 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
Tikar-bantal yang basah melukiskan kepedihan
Berlalulah kau malam jahanam!
Ayam pekantan Zakir berkokok dengan gagah. Suara beker pun berbunyi. Serentak kami terbangun, seperti dikomandokan oleh panglima perang. “Alhamdulillah …, tidak ada kontak senjata malam ini,” ucap kami bergantian. Tubuh kami masih bergelimpangan di tikar, seperti ikan hiu yang terdampar di laut Atlantik Utara. Begitu perumpamaan yang diberikan Bu Cut, guru BP saat masih kos di rumah ini.
Hari ini aku berangkat ke sekolah lebih awal. Zakir menjemput dengan sepeda jandanya. Di boncengannya kami bercerita tentang apa saja. Biasanya tentang HAM, kedamaian, perang prestasi, cita-cita dsb. Tapi tentang hidupku di rumah tangga tak pernah aku bercerita.
“Besok pulang, Bu?” tanya Zakir. “Iya …, semua kami pulang, hari Senin bertugas lagi. Doakan guru-gurumu selamat di jalan ya, Zakir,” jawabku bersemangat. “Pasti, Bu. Purnama Ibu tetap berdo’a agar Ibu dan guru lainnya kembali mengajar kami,” jawab Zakir sambil membelokkan sepeda ke gerbang sekolah.
Dengan Zakir aku sarapan di kantin sekolah. Ada Tiasyiah, Mawaddah dan Baihaqi. Pagi ini tak kalah cepatnya mereka hadir dariku. “Selamat pagi, Bu,” sapa mereka menabur senyuman.
“Selamat pagi, Purnamaku,” jawabku dengan senyum simetris. Teh manis dan pisang goreng menemani obrolan kami pagi ini.
Anak-anak di desa ini begitu akrab dengan gurunya. Kebiasaan anak laki-laki duduk di warung dengan orangtuanya dan orangtua lainnya, sambil minum kopi atau mengunyah sirih, membuat mereka mudah beradaptasi.
Proses belajar-mengajar berjalan lancar. Keseriusan, canda, marah, nasihat merupakan
9 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
rutinitas seorang guru di kelas. Tidak terdengar suara letusan senjata. Tidak ada suara panser bergemuruh menjemput maut seperti di pantai Lok Nga. Tidak kulihat wajah gegana merah padam. Tidak perlu kami tiarap di kelas karena takut peluru nyasar. Tidak kulihat garis kesedihan di wajah siswaku di sekolah. Purnamaku penuh cahaya merentangkan tangan menyambut pagi ceria.
Pulang mengajar giliranku berbelanja. Zakir menemaniku dengan sepeda jandanya. Belanjaanku hanya sekeranjang kecil. Di depan pintu rumah, Dwi sudah menunggu. Lalu disianginya ikan. Bu Sari menggiling lombok merah; Henny menyiangi sayuran dan aku mengolahnya. Tidak banyak yang dimasak, tapi semua mengambil bagian kerja. Tidak pernah ada pertengkaran di antara kami.
Pak Ali di warung mengganjal perut sebelum makan siang yang biasanya pukul 15.00-16.00 WIB. Pak Ali mengidap penyakit maag yang dialaminya selama bertugas di Madat ini.
Sore hari aku dan Pak Ali ngobrol di teras. Zakir yang lewat di depan rumah kos membelokkan sepeda jandanya ke arah kami. Purnamaku yang berusia 21 tahun ini kembali menyampaikan kabar buruk. “Di Lok Nibong ada mayat yang tak dikenal, Pak. Mayat laki-laki berusia sekitar tiga puluhan. Mayat itu dibuang dari motor hantu, keduanya tanpa kepala. Hati-hati pulang besok ya, Pak. Ibu juga. Situasi memanas, Bu,” jelas Zakir dengan rasa cemas.
“Yakh… apa yang terjadi … terjadilah, pasrah saja kita ya, Bu Rani. Entah apa yang mereka cari. Yakh …, mudah-mudahanlah semuanya cepat berakhir. Kasihan orang-orang yang tidak berdosa,” sela Pak Ali sambil menghela nafas panjang. “Doakan saya, Bu … Pak, saya bercita-cita menjadi panglima perang. Saya akan menghentikan pertumpahan darah, tidak akan ada nyawa yang hilang sia-sia. Perang akibat luka lama akan saya hentikan. Guru kami pasti damai bertugas di desa ini!” Zakir bicara begitu semangat sambil mengepalkan tangan. Amin … amin…, jawab kami serentak sambil tertawa. Betapa menyenangkan siswaku ini.
Zakir menyambung pembicaraan, “Kapan ya, Bu, ayah Zakir dipulangkan. Di mana ayah disembunyikan penculik bertopeng. Zakir merindukan ayah, Pak.”
Pak Ali mencoba menenangkan, “Zakir, tugasmu hanya mendoakan ayahmu, jika Allah menghendaki pasti ayahmu kembali.”
10 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
Raut wajah Zakir suram. Kerinduan pada seorang ayah memenuhi relung hatinya. Tak ada bantahan ketika ayah Zakir dibawa paksa oleh orang tak dikenal. Membantah artinya berpesta dengan nyawa.
Hari Kamis telah tiba. Hari kemerdekaan yang kami tunggu-tunggu setiap minggu. Pulang mengajar siang nanti aku dan teman-teman akan kembali ke rumah masing-masing. Kami mengemas pakaian kotor untuk dibawa pulang.
Kubayangkan perjalanan lima jam menuju rumah cukup melelahkan. Makanan dan minuman telah tersedia. Jumlahnya dilebihkan, siapa tahu ada kontak senjata, perjalanan bisa menelan waktu lebih lama.
Terbayang di mataku, betapa hangat memeluk kedua buah hatiku. Canda dan gelak tawa buah hatiku terlukis di mata. Keduanya akan menjerit memanggilku Mama. Mereka akan berebut coklat kesukaannya. Alangkah lelap tidur di kasur empuk malam nanti, tidak akan ada mimpi buruk menghiasi.
“Sudah siap berkemas, Bu. Cepat … sudah jam 07.40 WIB sekarang,” teriak Pak Ali mengingatkan. Aku tersentak, bayanganku seketika lenyap dari depan mata.
Seperti orang mau kemping kami berjalan berlima menuju sekolah. Jalan lengang dan sepi. “Astaga…, beberapa orang berseragam loreng lalu-lalang di jalan, bazoka dengan mulut peluru seperti jantung, terarah ke langit. Apalagi yang akan terjadi?” jeritku dalam hati. Kegembiraan kami lenyap seketika. Kami tak dapat mundur karena sudah terlihat oleh mereka. “Mudah-mudahan tidak terjadi kontak ya, Pak, seperti dua minggu yang lalu mereka hanya lalu-lalang, beberapa lama kemudian mereka bubar,” harap Henny dengan sangat.
Gemetar tubuhku melewati rombongan itu, kepala merunduk, tak sanggup beradu mata. Bumi seakan berguncang, berputar menerbangkan nafas.
11 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
Lebih kurang sepuluh menit berjalan sampailah kami di sekolah. Kepala sekolah dan beberapa guru telah sampai terlebih dahulu. Tampak olehku wajah kepala sekolah putih seperti kapas, lebih pucat dibanding Diana dan Dek La. Tidak terdengar ucapan “selamat pagi” atau “assalamualaikum”. Tas berisi pakaian kuletakkan sembarangan. Lalu ikut menyaksikan pemandangan di luar.
Siswa yang telah hadir lebih dari setengah ini tak satu pun ke luar kelas. Melihat kondisi yang tidak menguntungkan lebih baik kami berjaga di ruangan untuk menenangkan siswa.
Banyak yang absen di kelasku. Mereka pandai membaca situasi. Tubuhku lemas bersandar di kursi. Telapak tanganku berkeringat, sesekali kuhela nafas. “Kita berjaga-jaga ya ..., keadaan belum kondusif, berdoalah pada Allah,” bergetar tubuhku mengucapkan kata-kata itu.
Dari sela jendela kulihat Pak Ali keliling kelas mengabarkan perkembangan keadaan, sekaligus menenangkan siswa walau Pak Ali juga tampak pucat. Aku keluar kelas melihat dari kejauhan. “Ya Allah, jumlah mereka bertambah,” gumamku dalam hati.
Aku kembali ke kelas. Tiba di pintu kelas terdengar letusan bazoka yang memekakkan telinga. Bumi bergetar. Burung bangau yang hinggap di punggung kerbau melayang mencari kedamaian. Teriakan dan suara gaduh terdengar keras. “Ayo …anak-anak, tiarap semua!” teriakku dengan suara bergetar. Semua berhamburan ke lantai. Beberapa siswa merayap mencari posisi aman. Letusan terdengar lagi dari senjata lain. Ini pertanda pasukan lawan telah mendekat. Letusan demi letusan bersahut-sahutan dan semakin keras. Suara itu kurasakan bagai tiupan sangkakala dari malaikat Izrafil yang mengabarkan kiamat telah tiba. “Ya, Allah selamatkan kami,” desahku dalam doa.
Peluru mulai nyasar di halaman sekolah. Kali ini dinding kelasku ditembus peluru bazoka. Siswa berteriak, “Allahu Akbar… Allahu Akbar.” Tubuhku tak bergerak lagi. Lantai ini seperti bermaknit. Pipiku menyentuh lantai, kudengar pasir berbisik, “Sabar dan tabahlah selalu.”
Setengah jam kontak senjata berakhir. Pelan kami berdiri, seperti mayat bangkit dari kubur. Purnamaku saling berpelukan menangis tak berkesudahan. Senyuman tak pernah abadi di desa ini. Kakiku lemas seperti dijangkiti polio. Dibantu dua siswa aku didudukkan di bangku. Baru menghela nafas pertama, sudah terdengar teriakan dari kelas di seberang sawah, dari
12 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
kelas XII. Ada siswa jadi korban di XII IPA-1.
Semua siswa ingin berlari menuju teriakan itu, namun kucegah. “Cukup ketua kelas yang keluar!” pintaku. Abdul Rahman, kelas XII, dengan beberapa ketua kelas lainnya. Suara tangisan dari kelas tersebut makin pilu.
Siapa yang korban pagi ini? Orangtua mana yang akan kehilangan permatanya? Purnama mana yang akan redup dari sinarnya? Tanyaku berulang-ulang dalam hati.
Ketakutanku belum pudar. Permata-permataku masih pucat pasi. Kami tak biasa akrab dengan tragedi seperti ini walau sering kami alami. Abdul Rahman kembali ke kelas. Nafasnya turun naik karena berlari. “Bu…, Bu…, Zakir keunong aneuk beude bak dada, Zakir… Zakir mate,” ucap Rahman yang kurang paham berbahasa Indonesia dengan terbata-bata. “Dada Zakir… dada Zakir… dia tewas, ayo ke sana, Bu,” ucap Rahman sekali lagi.
Aku terhentak, bagai halilintar di siang bolong penuh api membakar dadaku. Jantungku berdebar kencang. Nafasku tersengal. “Ti … dak, ti…ti ... dak, Rahman, jangan sebut itu pada Ibu!” kataku berharap. Fadli dari luar kelas meyakinkan, “Benar, Bu. Benar… Zakir….”
“Stop…, tak ada yang tewas!” bentakku setengah berteriak.
Bagai ada tarikan gravitasi tubuhku berdiri tegap. Entah kekuatan gaib dari mana yang kuterima tiba-tiba aku berubah kuat. Aku berlari menuju kelas Zakir. Tangisan pilu terdengar menyayat kalbu.
Zakir mengerang memegang dada menahan sakit. Darah hitam berhamburan dari dadanya. Kupeluk purnamaku dengan erat. Kucoba menenangkannya di sela isak tangisanku. ”Bertahanlah, Zakir…. Bertahanlah, Purnamaku. Lihat Ibu… guru-gurumu yang selalu ingin bersamamu!” Mata itu menatap sendu. Darah terus mengalir menganak sungai. “Ibu…, Purnamamu tak sanggup bersinar sepanjang hari, saya titip purnama-purnama lain pada semua guru…. Maafkan saya…, Ibu,” ucap Zakir dengan suara hampir lenyap. “Tidak…, Zakir, tidak…, bertahanlah…,” bisikku di telinganya. Bola mata itu menatap teduh, butir airmata
13 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
berkerlap-kerlip melewati pipinya bagai kunang-kunang. Di sela raunganku Zakir berucap lagi, “Ibu…, biarkan Purnamamu terlukis di langit.”
Mata itu terkatup. Tubuh itu terkulai. Aku menjerit, suaraku terdengar membelah langit. Hatiku mengharu-biru melepas jenazah Zakir dari pelukanku. Zakir pergi untuk selamanya. Tak ada lagi senyum dan canda Zakir, purnamaku yang bersinar. Tak ada lagi harapan dan cita-citanya. Hanya ayam pekantan Zakir yang setia membangunkan tidurku di pagi hari.
Awan bergerak perlahan-lahan lalu berkumpul dan bertumpuk-tumpuk. Hitam. Kelam. Kemudian gerimis dari celah-celahnya.
Bumi menangis mengantar purnamaku ke pemakaman. Ibu Zakir menabur bunga terakhir.***
Keterangan 1. “Bu…, Bu…, Zakir keunong aneuk beude bak dada, Zakir… Zakir mate.” Artinya, ”Bu…, Bu…, Zakir dadanya tertembak senjata, Zakir… Zakir tewas.”
14 / 15
PurnamakuTerlukis di Langit Ditulis oleh Chairani Kamis, 22 Juli 2010 00:35
Dra. Chairani. Lahir di Belawan, 7 September 1963. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Madat, Aceh Timur. Alamat Sekolah: Jalan Raya Naden, Madat, Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam.
15 / 15
Sebuah Ruang Kosong Ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim Rabu, 08 September 2010 01:51
Nina, melihat pameran foto ini, matanya seperti dihantam. Padahal foto ini menurut beberapa orang tak patut dipuji. Nina betul-betul terperangkap. Lama sekali dia terpanah di depan sebuah foto, yang menshoot sebuah ruangan luas, di mana langit-langitnya seperti berlapis-lapis dan tidak ada habis-habisnya.
Nina, merasakan sesuatu yang aneh, hadir di lubuk hatinya, dia ingin tahu lebih dekat obyek foto ini. Menurut fotografernya, ruangan kosong ini terletak di sebuah pantai yang menjorok ke laut. Sebuah ruangan kosong, yang selalu diterpa oleh sinar matahari, nampak mencorong, sehingga tanah di sekitarnya kelihatan retak-retak dan kemerah-merahan. Masih menurut fotografer, dia sendiri tidak tahu mengapa mengambil sudut itu. Yah, begitu saja seperti orang mengigau.
Keingintahuan Nina semakin mencuat, sehingga dia selalu membicarakannya kepada orang-orang yang sangat dicintainya, yaitu papa, mama, dan kedua kakaknya. Mereka merasa keheran-heranan dengan sikap Nina.
“Bagaimana kamu bisa melakukan perjalanan ke sana, karena sebentar lagi kamu harus menyelesaikan skripsimu!” kata keluarganya, serentak.
Nina, mendengarkan ucapan itu dengan perasaan sedih. Lantas, Nina merasa seperti orang yang tengah patah hati saja, padahal tak ada sesuatu yang berubah dalam kehidupannya.
Suatu saat, tanpa terkendalikan lagi, dia sudah mempersiapkan untuk perjalanan itu. Persis akan berangkat, papa muncul di jendela mobil.
“Kamu seperti kesurupan saja, sebaiknya cepat pulang, Non. Kalau ada apa-apa tolong telepon aku! Aku menduga kamu cuma kelelahan, dalam pembuatan skripsimu. Karena kau memilih topik yang sulit.”
Nina, menyentuh tangan papa yang sangat dicintainya. Sesungguhnya, dia bangga dengan
1/6
Sebuah Ruang Kosong Ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim Rabu, 08 September 2010 01:51
papanya. Papanya tidak pernah memukulnya seperti papa Etik, atau berselingkuh seperti papanya Rozi.
“Saya pulang, sehari sebelum ulang tahun Papa. Saya janji.”
Papanya tersenyum. Alangkah senangnya mendengarkan itu, untuk telinga lelaki yang sudah berusia 54 tahun.
Nina mencium tangan papa. Dia selalu ingat cerita papa, ketika mama mengandung anak ketiga, dia sudah merasa bahwa bayi yang akan dilahirkannya adalah perempuan!
“Ketika kaulahir, aku merasa orang yang paling bahagia. Karena, kau seorang bayi perempuan yang cantik. Dan aku sudah membayarnya kepada mamamu, dengan sebentuk cincin berlian.”
Nina, senang mendengar cerita yang selalu diulang-ulang itu. Bahkan mama mengatakan kepada Nina, “Papamu, kadang-kadang keterlaluan. Dia kelewat memanjakan kamu. Untungnya, abang-abangmu tidak cemburu.”
***
Perjalanan ini tidak dilakukannya secara bergegas. Dia bisa menikmati segala yang ada di udara, sinar matahari bahkan debu-debu yang bertebaran.
Di satu tempat, di mana Nina membeli bensin, sambil menunggu untuk dilayani, dia menggumam sendiri, “Sudah banyak yang saya lihat, peristiwa hidup campur baur, tanpa perasaan takjub, saya jalani kehidupan satu persatu seperti jam yang sudah pasti detik dan menitnya.”
2/6
Sebuah Ruang Kosong Ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim Rabu, 08 September 2010 01:51
“Sesungguhnya semua orang bilang, hidupku mudah, karena aku anak walikota! Tapi, bisa jadi aku melihatnya dari sisi lain. Aku selalu melihat keganasan kekuasaan itu, sekalipun papa selalu ingin tampil bijaksana. Karena papa dibesarkan oleh sebuah partai, di mana beliau harus memenuhi kebutuhan partai dan rakyat secara berimbang. Hal itu tidak mudah. Kadang-kadang aku tahu, papa merasa capek karena papa seperti didukung beramai-ramai ke sebuah puncak gunung dan diharap memikul beban itu sendiri! Kedua kakakku, belajar di mancanegara. Aku tidak ingin pergi jauh dari papa, karena aku tahu, akulah yang bisa menghiburnya kalau papa begitu capek. Sekalipun tentu saja ada mama, kami sepertinya membagi ruang dengan mama. Mama lebih banyak membicarakan hal-hal domestik kepada papa. Sebaliknya, papa lebih senang mendiskusikan masalah-masalah yang ada di kota ini denganku. Sekalipun kadang-kadang, kami tidak selalu sepaham. Tapi, sering papa bilang kepadaku, “Seandainya Indonesia bisa demokratis, aku ingin kau menjadi Indira Gandi negeri ini. Tapi, kadang-kadang aku lebih suka kau menjadi tehnokrat saja. Karena itu lebih aman dari intrik-intrik. Kautahu, sejak muda aku sudah terbiasa dengan intrik-intrik itu. Dan aku tidak suka putriku, jadi tidak bahagia dengan intrik-intrik itu.”
Sebenarnya, Nina menganggap dirinya bisa menjadi walikota.
Sekarang, Nina melanjutkan perjalanan. Pemandangan di daerah sekitar pantai ini menghunjam matanya. Dia melirik ke jam tangan yang melekat di tangannya. Pada jam begini, biasanya Nina nongkrong di kantin sambil ngobrol dengan beberapa teman. Tapi hari ini dia sendirian saja. Dia masih ingat beberapa gosip tentang papanya. Tentu saja, setiap gosip lebih banyak buruknya. Seandainya, dia bisa menghantam setiap orang yang menggosipkan papanya. Yah setiap orang tahu dia putri kesayangan bapak walikota. Dan banyak orang mendekatinya. Tetapi, Nina selalu mendengarkan nasihat papanya, dia akan selalu menjawab seperti ini, “Kalau Bapak ingin berurusan dengan Papa, silahkan maju sendiri ke kantor.”
Sesungguhnya, kadang-kadang dia jenuh juga menjadi anak walikota, sekalipun dia begitu bangga. Kedua abangnya pergi dari kota ini, karena tidak suka pada pandangan masyarakat terhadap mereka, sebagai putra pejabat, yang rasanya setiap hari disorot oleh publik. Mereka merasa tidak bebas. Nina tidak merasa keberatan, bukankah tidak semua orang bisa menjadi walikota, seperti papanya.
Sekarang tercium olehnya bau laut. Sebetulnya, dia tidak tahu apa yang terjadi dalam dirinya, kecuali foto ruang kosong yang setiap saat menghambur, dia merasa kepayahan. Sekali lagi dilihatnya dirinya baik-baik. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Bersama angin pagi, akan disongsongnya sebuah masa depan, tapi mengapa dia membiarkan dirinya terjebak oleh gosip-gosip liar, padahal di sekolah dia selalu belajar rasional. Dan selalu diingatnya omongan
3/6
Sebuah Ruang Kosong Ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim Rabu, 08 September 2010 01:51
papa, “Kalau kita jadi beringin, pasti lebih banyak angin yang bertiup di seputar kita.”
Nina selalu merasa ucapan papa itu sebuah pelajaran yang menarik. Terdengar pekikan burung-burung di laut sambar-menyambar. Nina ketakutan. Maka dilajukan mobilnya dengan cepat. Sepi menggumpal. Dia kaget, sepertinya terjebak, merasa sulit untuk mengatur nafasnya.
“Saya seorang realistis dan tahu aturan permainan waktu. Saya bukan seorang romantis yang suka bermimpi. Masa remaja saya sudah lewat. Sekarang, saya sudah jadi perempuan berusia dua puluh tiga tahun yang lebih suka membaca buku politik, sosial, budaya dan mendiskusikan itu, dengan papa.”
Yah, dia sudah lama berhenti dugem. Kini, dia betah berjam-jam ngobrol dengan papanya. Mereka sepaham bahwa undang-undang pemerintahan kadang-kadang sulit mengakomodir kemauan rakyat. Sehingga, baik papa maupun dirinya sepakat bahwa demo yang dilakukan oleh banyak kalangan di negeri ini, hanya karena sulit mencari titik persamaan. Dan ini terkadang bisa melubangi kekuasaan papa.
Nina semakin mempercepat laju mobilnya.
Malam mulai tiba. Pekik-pekik burung bercampur dengan deru mobilnya.
Pada malam ini, sebuah ruang kosong sudah terpampang di depan matanya. Dia betul-betul terhisap, dan tanpa sadar menyanyikan sebuah lagu. Lagu ini terpantul di ruang kosong itu. Bukan pada sebuah pesta. Nina menganggap ruang kosong yang berlapiskan kayu ini mencetuskan satu kegembiraan di mana-mana. Dia merasa sangat betah tinggal di sini. Semuanya seperti sudah menyatu dalam dirinya, bagaikan menjadi belahan badan bagian kanan dan kirinya.
Dia mondar-mandir di ruang ini. Dompetnya terbuka. Foto papa dengan baju seragam walikotanya terloncat dari dalam tasnya. Maka Nina cepat-cepat menutup dompet itu erat-erat. Lantas, Nina duduk santai di sini dan terharu. Dia tergelitik untuk merekam momen-momen
4/6
Sebuah Ruang Kosong Ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim Rabu, 08 September 2010 01:51
yang indah di sini, tapi tak jadi dijepretnya momen-momen itu. Sementara di luar ruang ini terdengar suara hiruk-pikuk: seorang perempuan dengan kerut-merut di wajahnya dan sangat mirip dirinya, berteriak-teriak bercampur dengan tangisan.
“Kamu tahu, anak saya perampok!” katanya tandas dan melengking.
Dengan geram, Nina mendorong perempuan tua itu keluar dari ruangan ini, karena dia butuh istirahat tanpa diganggu oleh siapa pun.
Semilir angin laut menyapu tubuh Nina, sehingga Nina tertidur dengan nyenyaknya tanpa perlu memakai obat tidur lagi.
Sesaat, perempuan tua itu muncul lagi di depannya dan berkata dengan sangat lantang, kacau-balau. “Bayangkan, anakku sudah kuberi segala-galanya, tapi yang terlahir dari rahimku cuma seorang perampok. Percaya atau tidak, perampok itu mirip kamu!”
Nina jadi sangat benci. Dengan sekuat tenaganya, dia mendorong perempuan tua itu.
“Kalau ke sini lagi, akan kubunuh kamu!”
Perempuan tua itu menangis, sedangkan Nina jadi kelagapan.
“Setiap orang bilang saya rasional. Telah saya masuki perguruan tinggi teknik, namun saya lebih suka belajar ilmu-ilmu sosial. Papa bangga sekali denganku. Dua kakakku lebih dekat dengan mama, yang suka hal-hal yang bersifat ringan, musik pop, belanja baju dan lain-lainnya. Sebetulnya koran kemarin sungguh menyakitkanku. Aku tahu papa tidak seburuk itu. Dia lelaki yang mencintai keluarganya, tidak akan pernah mempergunakan jabatan untuk kepentingan keluarganya.”
5/6
Sebuah Ruang Kosong Ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim Rabu, 08 September 2010 01:51
“Di sini, aku betul-betul ketakutan, apakah papa seorang penjahat dalam jabatannya. Sesungguhnya, aku tidak mempercayai hal itu. Media massa bisa saja dibayar oleh lawan politik papa. Bukankah sekarang media massa dan media elektronik sangat bisa membentuk citra orang, menjadi siapa saja.”
Nina merasa kecapaian berfikir, kepingin sekali dia menghibur dirinya sendiri. Di tengadahkan kepalanya ke atas langit-langit, yang berlapis-lapis, bukan suatu gambaran yang terpisah-pisah, seperti yang dilihatnya sehari-hari. Perasaan Nina jadi kosong.
Udara di ruang ini, sepertinya tidak sehat. Nina, merasa tidak enak badan, kepalanya pening. Akhir-akhir ini, dia sering pening dan hampir pingsan.
Ruangan kosong ini jadi baur dengan foto papanya. Nina tersentak, semua yang dilihat kian lama kian terpisah-pisah. Kepingin sekali, dia tidak berbuat apa-apa, kekalutan mencekam. Matanya terbelalak, ruang kosong ini kembali menyatu dengan sendirinya.
Nina menganggap tidak perlu berlama-lama untuk berada di sini. Kemudian dia memotret beberapa kali, matanya berkabut. Nina menjalankan mobilnya lagi dengan pelan, menyusuri pantai yang diterpa matahari dan pekik burung-burung kalang-kabut.
Beberapa hari kemudian, kita melihat foto Nina yang dilatarbelakangi oleh sebuah ruang kosong di beberapa media massa dan elektronik. Kemarin, dia mengadakan jumpa pers, “Saya tahu, papa tidak pernah berbuat kejahatan dalam menjalankan jabatannya. Beliau sangat paham, kadang-kadang tidak bisa mengakomodir semua kehendak rakyat. Hal itu yang menjadi titik kelemahan beliau, dan lawan-lawan politiknya memancing di air keruh. Sehingga, kewajiban kami sekeluarga mengambil pengacara untuk menegakkan tali yang basah. Dan berharap para pecundang itu, lebih bisa menuding dirinya sendiri. Atau jelasnya, hukum yang akan berbicara nanti di pengadilan, bisa adil dan tahu siapa yang bersalah. Sekali lagi saya tegaskan, papa saya bukan pecundang.”
Kemarin, media massa bilang, papanya tersangka korupsi!***
6/6
Sirri Ditulis oleh S. Jai Senin, 25 Oktober 2010 00:00
MESKI kami, aku dan istriku tak yakin benar mana yang terjadi—apakah sebetulnya aku yang menyingkir ataukah diriku yang dipunggunggi—kenyataannya, kami yang diberkati tiga anak, sekarang hidup bahagia sekalipun jauh dari sempurna. Kebahagiaan kami nyungsang karena gempuran masalah ekonomi. Salah sebuah buntutnya, istriku sibuk bekerja dan kami jarang bercengkerama dalam suasana harmonis sebagaimana digambarkan iklan hunian Feni Rose di televisi swasta atau jaminan masa depan pada kartu pengangkatan pegawai negeri. Sejak menikah kami sering berpisah dan jarang berkumpul lebih dari waktu dua hari dalam sebulan.
Sepertinya hal itu bukan benar-benar jadi masalah. Seperti halnya kebiasaan, apalagi oleh cinta kami yang luar biasa, kesetiaan sungguh tak masuk akal. Begitulah waktu pun berlalu tanpa resah. Anak-anak senang, ibunya girang tanpa repot dengan posisi kami seperti itu. Sesekali memang pernah muncul pertanyaan di otak kami perihal cinta itu. Akan tetapi sebagaimana kami percaya, bahwa cinta mengalahkan segalanya kecuali cinta itu sendiri. Hingga di antara kami, aku, istriku dan anak-anakku tak pernah lagi bertanya perihal cinta itu lagi. Sampai kami berpisah, terpisah, atau takdir yang memisahkan kami. Istriku mencari jawab atas pertanyaannya sendiri, demikian halnya kusoal gebalau tanya perihal cinta itu sebagaimana milikku sendiri.
”Rahasia apakah seperti ini?” hanya dalam pikiranku.
Hari berganti seperti biasa, bulan bergeser dan tahun mengalun semenjak kami berkeluarga lebih duapuluh tahun lalu. Di atas kebiasaan itu pula, istriku tak pernah menaruh curiga ketika aku jatuh hati pada Rohana,—perempuan bermata teduh seperti telaga yang kusebut-sebut dalam suratku. Mata tajam istriku yang seperti elang tidak pula mencium hubungan istimewaku dengan pujaan hatiku yang baru, perempuan bermata bening bagai telaga. Betapa mata tajam istriku telah tersedot oleh kesibukan kerjanya sehari-hari. Ah, aku tak bermaksud menyalahkan istriku yang dengan segenap jiwa mengabdi pada hidup, pada keluarga dan pada takdirnya di dunia. Bahkan dua puluh tahun lalu, sebelum kukirim suratku untuk meledakkan segenap perasaanku pada perempuan bermata bening itu, terlebih dulu kutunjukkan pada istriku meski dalam kesempatan yang mepet.
Sebuah jawaban membuatku tercengang.
1/9
Sirri Ditulis oleh S. Jai Senin, 25 Oktober 2010 00:00
”Kau petik dari mana kata-kata seindah ini, Mas?” katanya.
”Kususun sendiri. Aku bermaksud membuat tulisan yang bagus hasil karanganku. Bagaimana menurutmu?” ucapku.
”Inspiratif,” jawaban yang tentu saja melegakanku.
Semenjak itu, setelah bertahun kemudian, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi padaku. Aku bukan saja jarang berkumpul dengan keluarga, istri dan anak-anak. Diam-diam aku sering melupakannya. Tepatnya, perpisahan kami ternyata lebih dari sekadar oleh sebab ruang waktu. Tapi juga ingatan. Istriku menjadi lebih sering absen dari ingatanku—tentang kebiasaannya, suaranya, kecantikannya, perhatiannya, mata tajamnya, juga suka dukanya, bahkan kepercayaannya pada sesuatu yang tak perlu diungkap dan disingkap—mungkin cinta itu sendiri.
Begitulah hidup kami, kukuh percaya pada betapa cinta sanggup mengalahkan segalanya, kecuali cinta itu sendiri . Kuakui, kami merasa kian terpisah, tapi tidak dengan cinta kami. Sebagaimana halnya, istriku tetap menyimpan kata-kata manis dalam muslihat surat itu menjadi bagian hidupnya yang tak pernah pula ia lupa.
***
”AKU terobsesi pada cinta tiga perempuan sepanjang hidup—perempuan bermata tajam seperti mata elang yang menjadi istriku, gadis bermata bening sebening telaga yang kini sebagai kekasih hatiku, dan kelak akan kuburu cinta perempuan buta agar bisa kulihat dunia dengan ketajaman matahati. Semua itu atas nama cinta, Rohana. Begitu pula cintaku padamu,”
2/9
Sirri Ditulis oleh S. Jai Senin, 25 Oktober 2010 00:00
tulisku pada secarik kertas wangi yang kulayangkan pada kekasihku, perempuan bermata elang lebih duapuluh tahun lalu.
Sungguh di luar dugaanku bila ternyata setelah duapuluh tahun kemudian, Rohana masih menyimpannya untukku. Ini kejutan bagiku karena sebagaimana biasa, perempuan-perempuan yang mampir dalam hidupku kurasa hilang begitu saja—meninggalkanku.
Mungkinkah aku telah meninggalkannya juga? Ah, aku tak tahu persis jawabnya. Tidaklah penting apakah sebetulnya aku yang menyingkir ataukah diriku yang dipunggunggi. Apapun, keduanya suatu perpisahan.
Kutulis surat itu, lebih duapuluh tahun lalu. Usiaku mulai beranjak tua ketika itu. Setidaknya, itulah perasaanku karena aku telah dipecat dari kantor tempat kerjaku di kawasan Kertajaya, Surabaya. Alasannya lantaran aku sudah tak lagi dianggap berguna. Daya kritis dan intuisiku dalam hal kepengarangan juga kian tumpul dan hambar sehingga tak ada lagi karya terbaik yang bisa kusajikan untuk pembaca. Syukurlah, seorang teman lama memberiku kesempatan untuk membantu mengurus galery art dan persewaan manekin ke butik-butik outlet musiman di Nginden. Inilah ketika itu satu-satunya yang menyemangati hidupku di usia menjelang tua—kerja untuk menghabiskan sisa waktu senja bila tiba waktunya. Tentu saja termasuk menghabiskan sisa cintaku yang tak jelas jluntrungnya— menyiksa hidup ataukah menyemangati gairah jiwaku. Hanya saja, kepada tuan dan puan pembaca, musti kukatakan bahwa Cintalah yang membuat gairah hidupku terus menyala berkobar. Bahkan bagiku hidupku untuk cinta. Hidup adalah perburuan atas nama cinta.
Ya, cinta yang membuatku merasa telah menghisap candu. Spirit hidup ini kubakar karena perburuanku atas nama cinta belum kelar hingga usiaku lebih berkepala lima ini dan terus menuju senja. Amboi, tentang perempuan bermata bening seperti telaga itu! Tentang kecantikan wanita yang buta matanya itu! Sementara usiaku kian merangkak di ujung senja saja.
***
3/9
Sirri Ditulis oleh S. Jai Senin, 25 Oktober 2010 00:00
SUATU ketika Rohana—gadis bermata bening yang belum lama kutemukan di belantara galaksi ini—kontan memuntahkan amarahnya padaku ketika ia memergokku sedang menggagahi manekin yang tak sengaja kurobohkan dari tempat pengunci sandarannya. Sementara amarahku oleh suatu sebab tak bisa lepas melihat reaksi Rohana. Amarahku sejujurnya malah kutumpahkan pada manekin berambut pirang sialan itu.
Sebetulnya, ini bermula dari kebiasaanku yang tak sampai hati melihat manekin-manekin itu telanjang tanpa busana. Sebelum kukeluarkan dari gudang, tubuhnya terlebih dulu kubungkus kaos dan rok sebelum akhirnya bisa leluasa dilihat orang. Kuakui sejujurnya, di usia senjaku ini, aku tidak sampai hati, ngeri dan bahkan mungkin sesuatu berkecamuk dalam diriku, bila tengah sendiri melihat, menyentuh, atau memindahkan manekin-manekin yang tanpa penutup badan keluar gudang.
Lantaran aku kehabisan kaos dan rok bekas, juga karena aku kekeringan ide, maka sore itu kupinjamkan sehelai rok milik Rohana untuk manekin sialan itu. Saat itulah Rohana tahu Manekin itu jatuh terlentang dan roknya tersingkap sehingga kedua pahanya terbuka. Aku yang berusaha membuatnya berdiri malah terjungkal dan menindih manekin itu. Rohana berpikir aku menyetubuhi manekin itu dan menuduhku tidak bermoral. Atau setidaknya, ia tersinggung berat karena aku memperkosa pikirannya—menyetubuhi boneka sialan itu dengan sengaja menyingkap rok milik Rohana. Dia pikir, akulah yang sebetulnya terobsesi dengan pikiranku sendiri untuk menyetubuhi Rohana, kekasih pujaan hati di usia senjaku ini.
Padahal harus jujur kuakui, menghadirkan pikiran seperti itu, dengan segenap cinta yang kupahami di usia senjaku ini, sungguh suatu siksaan. Justru Rohanalah yang menyulut pikiranku tentang persetubuhan itu.
Kukatakan padanya: ”Cinta dan persetubuhan itu sesuatu yang sungguh berbeda, Rohana. Kamulah, semenjak itu yang mengenalkan padaku, justru di usia senja ini, bahwa cintaku padamu telah menyeretku pada pikiran untuk bersetubuh denganmu. Aha! Betapa fantastisnya, sesosok tubuh tua yang memburu bayang-bayang cinta dari balik sorot mata ini manakala bercinta, bersetubuh dengan gadis belia bermata bening sepertimu, Rohana. Kamu berlebihan, sayang. Kamu ketakutan. Bagaimana bisa itu terjadi dan kau lestarikan di alam pikirmu, gadis
4/9
Sirri Ditulis oleh S. Jai Senin, 25 Oktober 2010 00:00
muda. Cintaku tidak untuk menyusahkanmu, tidak untuk menyiksamu, juga tidak untuk menakut-nakutimu.”
Belum genap sebulan kami saling menyatakan cinta—antara lelaki tua dan gadis muda bermata bening seperti telaga itu--, lantas ia pun pergi entah ke mana. Tanpa kabar, tanpa kata, dan tanpa cerita, tanpa berita. Tapi aku tahu apa yang ditinggalkan Rohana: Dendam dan pikiran bahwa akulah biang dirinya yang tersiksa karena ungkapan rasa cinta yang tidak pada tempatnya. Salah tempat, keliru alamat, dan tidak tepat ruang waktu peristiwa. Semenjak itu kami saling pergi menjauh. Aku pergi dan ia juga pergi. Meskipun kami tidak saling bepergian jauh. Lebih tepatnya kami sama-sama sembunyi di balik hati, perasaan, ingatan kami sendiri-sendiri.
”Bersembunyi?”
”Bersembunyi dari apa, Kekasihku?”
***
MUNGKIN maksudmu kita menipu diri. Barangkali maksudku saling menyiksa diri. Karena itu, aku tergerak hati untuk menulis surat buatmu, semenjak peristiwa malam-malam kamu dengan nada keras membombardirku dengan amarahmu. Kau, pertontonkan sungguh sakit hatimu padaku, Rohana. Rasa-rasanya kita bertengkar hebat waktu itu dan kuakhiri karena aku sungguh tak sudi bertengkar denganmu.
Terpikir bagiku menulis surat panjang—entah secepatnya kukirim padamu atau perlu kusimpan dulu untuk waktu yang lama sebelum akhirnya perlu kaubaca. Maksudku, agak kau dan aku
5/9
Sirri Ditulis oleh S. Jai Senin, 25 Oktober 2010 00:00
saat membacanya, sontak bersedih hati yang dalam, atau malah tertawa lebar melihat kegelian dan kelucuan kita, Rohana.
Jadi suratku itu, yang khusus kutujukan padamu, niscaya tak lekang oleh waktu. Ketika kupunguti dan kurangkai kata dalam surat itu, aku tercenung dalam dengan tuduhanmu ’tidak bermoral’ padaku. Mungkin benar, mungkin juga salah. Tapi sudahlah, itu semata-mata kusimpan saja di lubuk jiwa bahwa betapa sulit mempertanggungjawabkan perasaan-perasaan dengan kata-kata. Surat itu semula kumaksudkan sebagai semacam pledoi atas tuduhan itu. Selebihnya, terserah apa artinya ini buatmu dan bagiku.
Bukan hal yang muskil, aku tercenung dalam lebih karena peristiwa-peristiwa kedekatan kita saja. Sehingga bukan lantaran benar-benar karena tuduhanmu itu. Maksudku, bila aku diizinkan untuk kemudian bertengkar denganmu, bersilat lidah, saling melempar tuduhan, bukan tidak mungkin dari mulutku bakal keluar kata-kata bahwa kamu orang yang tidak konsisten jikapun aku tidak mengatakannya munafik.
Sesungguhnya, seringkali ini kusinggung ketika mengkritik dirimu, Rohana. Ya, mungkin aku sering mengkritikmu, sebenarnya berawal dari kegoncangan, kegamangan, dan keraguanku menerima seluruh atau sebagian dari isi jiwa serta pikiranmu. Akan tetapi, aku selalu berupaya untuk menempatkanmu agar punya kualitas hidup lebih baik (dan sudah barang tentu juga berlaku buatku). Karena itu, kemarahanmu, kelancanganmu saat menggampariku dengan kata-kata setajam silet pada malam-malam dan terkesan mengajak berperang itu pun, dalam pengertian ini, sangatlah terhormat—betapa kamu adalah orang yang sangat merasa bertanggungjawab bahkan terhadap diriku. Kamu, sangat peduli padaku, mencemaskanku dan tidak ingin ada hal buruk yang bakal menimpaku, keluarga, istri dan anak-anakku.
Sampai di sini, aku yakin benar, juga sebagaimana aku meyakini sebelumnya, kamu perempuan yang sangat mulia. Kupikir, kemarahanmu, kelancanganmu, bicara kasarmu itu hanya soal bahasa saja. Di balik itu, aku belum pernah bergeser dari titik bahwa aku sungguh mengagumimu—cintalah yang menyebabkanku berada di pusaran takdir seperti ini.
Biasanya, di luar perasaanku seperti itu, yang mengemuka bilamana ada duri dalam daging, adalah keheranan-keheranan. Semisal, dalam konteks tuduhanmu itu, aku heran bagaimana kalimat itu berulang kali kau layangkan padaku? Padahal dua jarimu yang kauacungkan pada
6/9
Sirri Ditulis oleh S. Jai Senin, 25 Oktober 2010 00:00
hidungku itu menyisakan tiga jari lainnya yang mengarah dirimu sendiri. Maksudku, kau pun membicarakan diri sendiri dengan kata ’tidak bermoral’ yang kamu selipkan di dadaku, Rohana.
Jadi kalaupun benar aku tidak bermoral, bukankah melibatkanmu dalam hal ini? Ataukah jangan-jangan kita tak sedang berada di tempat dan alamat yang benar untuk memahami apakah moral itu? Banyak hal kupertanyakan padaku perihal kamu, bermula dari keheranan-keheranan seperti itu dan tidak juga terjawab setelah lebih duapuluh tahun lamanya, Rohana. Satu-satunya jalan sempit yang menggiringku ke lorong yang sedikit kumengerti adalah kata maaf dan hasratku untuk tidak akan lagi menyusahkanmu.
Karena itu terus kujaga pertanyaanku, agar senantiasa terpelihara dari pemahamanku atasmu sebagai makhluk yang misterius, Rohana. Manusia sebagai misteri. Hanya dengan demikian yang bisa menyelamatkanku dari kegelisahan yang kurang ajar dan subversif ini. Subversif karena betapa setiap kali berbincang denganmu, mencerna isi pikiran, hati dan perasaanmu, telah hampir menyentuh langit-langit dan puncak dari gebalau jiwa antara manusia dan mungkin bukan manusia—semacam alam cita yang diburu untuk dijangkau. Meski kusadari setiap yang kutanyakan terbukti hanyalah bagai pisau yang kubawa sendiri, kekasihku.
Telah kupetik sebutir trauma jiwa dari sorot matamu yang bening seperti telaga perawan, ketika mendadak sontak menyimpan rasa takut, gundah, gelisah. Marah. Takut karena menangkap perasaan cintaku yang rahasia. Ataukah gelisah akibat telah terjaring rasia rahasia kekuatan cintaku, Rohana? Aku lebih tersiksa melihatmu dalam pesakitan seperti itu, serba salah, gemetar, lungkrah dan yang pasti lemah—sesuatu yang belum pernah kusaksikan sebelumnya dan kini tak kusangsikan lagi. Sebab itu, hari ini, kusingkap rahasiaku sendiri atas kamu, Rohana. Bahwa aku tidak akan sudi lagi menyusahkanmu! Biarpun musti kutempuh dengan jalan menyiksa diri—suatu rahasia yang takkan pernah kubuka pada siapa pun di belantara galaksi ini.
***
7/9
Sirri Ditulis oleh S. Jai Senin, 25 Oktober 2010 00:00
HARI ini, duapuluh tahun lalu, kami telah saling pergi. Beberapa bulan kemudian, Rohana berkeluarga. Sebagaimana ia ceritakan, maskawinnya perpustakaan dengan ratusan koleksi buku yang salah satu bacaannya, pada novel itu, ia pakai pembatas secarik kertas surat pendek dariku. Entah di buku novel apa, dan tentang apa, dia telah lupa. Sementara, kini aku memulai perburuan baruku meraih bayang rahasia di balik mata buta. Sayang, usiaku kian senja dan belum juga kutangkap bayang itu. Anak-anak telah tumbuh dewasa. Damir, Makhfi, Zahra tak sampai hati melihatku, ayahnya, tua dalam perburuan di belantara semesta yang sepertinya tak pernah renta.
”Sudahlah ayah, istirahatlah. Berliburlah.”
Seperti biasa, anak-anak tak hanya pandai bicara. Diam-diam mereka telah menyiapkan tiket liburan khusus ke Bali. Bali. Bali. Menyeberangi pantai. Ah, sudah belasan tahun lalu terakhir kali aku ke sana. Ini waktu yang tepat untuk menggali lagi spirit gairah hidup lebih muda. Anak-anak tahu hal yang paling kusuka—menyeberang selat Ketapang-Gilimanuk untuk membuang segala nestapa ke laut.
”Sendiri? Bagaimana dengan ibumu?” rupanya ini kali pertama tulus kuingat istriku.
”Ya. Sendiri, Ayah. Sebetulnya ibulah yang meminta ayah pelesir.”
”Ah, ibumu, masih juga seperti dulu.”
”Ibu tak ingin menyusahkan ayah.”
”Dia berkata begitu?”
”Ya. Ibu juga melarangku menceritakan rahasia ini pada ayah.”
8/9
Sirri Ditulis oleh S. Jai Senin, 25 Oktober 2010 00:00
Entah atas nama apa, aku melupakan lagi istriku. Tidak juga aku berpikir. Namun demikian pastilah istriku tahu itu, bahwa satu-satunya yang ada di kepalaku adalah perempuan yang buta matanya. Aku menyeberang persis ketika matahari terbit dan semenjak itu terbit pula seluruh gairah mudaku kembali—cinta pada hidup, pada keindahan, pada kecantikan, pada perempuan.
Setelah belasan tahun pakansinya yang lalu, saat ini berlibur di sini, ternyata baru kutahu bahwa tempat yang paling kusuka adalah pantai. Selain, jalan-jalan di sekitar pusat perbelanjaan di Kuta. Di pantai aku leluasa melarung masa laluku. Sementara di jalanan, di sinilah timbul hasratku yang merasuk diam-diam dan tanpa kusadar menjadi bagian hidup di usia senjaku. Bagiku hal paling menarik perihal Bali selain keindahan alamnya, adalah manekin! Ada berjuta-juta manekin berkeliaran di depan mataku.
Satu di antaranya, perempuan menggamit novel yang pernah kuberikan pada Rohana—di dalamnya terselip kertas pembatas dari secarik suratku padanya. Sayang, aku sudah tak lagi bisa berpikir panjang. Satu-satunya yang ada di kenanganku adalah anak-anakku.
”Damir, Makhfi, Zahra, teruslah hidup. Merdeka!”
Sebutir logam pengunci di pinggangku terlepas. Aku nyaris terpelanting jatuh. Andai aku runtuh, pecah sudah seluruh tubuhku.[]
Surabaya 2009 - 2010
9/9
Suatu sindiran terhadap Sherlock Holmes yang diterbitkan di surat kabar Bintang Betawi pada tahun 1902 Ditulis oleh Edwin Wieringa Rabu, 05 Mei 2010 19:44
Cerita detektif Sherlock Holmes ciptaan Sir Arthur Conan Doyle (1859-1930) sudah lama mengakar di Indonesia. Terjemahan dan saduran dari kisah petualangannya tetap populer selama puluhan tahun, tetapi kapan persis tokoh Sherlock Holmes itu untuk pertama kalinya masuk kancah sastra Indonesia? Menurut Doris Jedamski, seorang peneliti yang menulis cukup banyak mengenai penampilan hero tersebut di Hindia Belanda, debutnya dimulai sekitar tahun 1904. [1] Walaupun begitu, ternyata pada tanggal 31 Desember 1902 surat kabar Bintang Betawi sudah pernah menerbitkan cerpen anonim yang berjudul Sherlock Holmes di dalam oeroesan roema tangganja (Satoe peroepama-an) . [2] Yang menarik ialah bahwa cerpen tersebut bukan terjemahan atau saduran, melainkan parodi ‘asli’ yang sepertinya tidak dipengaruhi oleh sumber asing. [3] Sebenarnya khalayak pembaca perlu mengetahui karya autentik yang gayanya ditirukan supaya dapat menghargai cerpen itu sebagai sindiran, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan tentang Sherlock Holmes waktu itu masih terbatas dan hanya berdasarkan pada sumber Eropa saja. Rupanya, gambaran figur Sherlock Holmes pada tahun 1902 belum begitu mantap di Betawi: seperti diketahui umum, Holmes seumur hidupnya tetap seorang bujangan yang tidak akan pernah kawin, tetapi di dalam cerpen ini dia malah sudah berkeluarga. Lagipula nama Sherlock sampai tiga kali dieja dengan salah: mungkin karena namanya belum begitu kondang?
Inti ceritanya adalah mengenai Henriette, yaitu istri Sherlock Holmes yang mengelabui suaminya dengan main serong. Yang lucunya, istri yang curang itu dapat menipu Holmes, sang ‘jenius logika’, atas dasar pengetahuan sebelumnya tentang metodologi Holmes dalam memecahkan kasus. Permainan detektif klasik selalu tergantung pada penggunaan logika deduktif dan Henriette tahu bahwa suaminya yang pandai melacak pasti akan menarik kesimpulan yang tidak dapat dielakkan lagi dari petunjuk-petunjuk (clues). Bahwa semua petunjuk yang ditelusuri oleh detektif handal itu sebetulnya ditinggalkan dengan sengaja dan terencana oleh Henriette sendiri sama sekali tidak masuk ke dalam pikiran Holmes maka secara tidak sadar dia terjerat oleh petunjuk-petunjuk palsu dan bahkan tetap yakin bahwa istrinya setia kepadanya. Seperti lazimnya pada zaman itu, cerita ini berakhir dengan ajaran moral yang eksplisit dalam bentuk peribahasa, tetapi kali ini pesannya mengandung unsur misoginis yang mendiskreditkan kaum wanita sebagai penipu licik. Si tukang cerita langsung menyapa para pembaca dan kesimpulannya begini: “sapintar-pintarnya lelaki, masih pintar lagi orang perempuan”.
Di bawah ini disajikan teks tulisan selengkapnya tanpa perubahan ejaan dan susunan.
1/8
Suatu sindiran terhadap Sherlock Holmes yang diterbitkan di surat kabar Bintang Betawi pada tahun 1902 Ditulis oleh Edwin Wieringa Rabu, 05 Mei 2010 19:44
Suntingan teks “Sherlock Holmes di dalem oeroesan roema tangganja (SATOE PEROEPAMA-AN) ”
Toean Sherlock Holmes, satoe kapala policie jang amat bidjaksana, hingga di takoet oleh segala bangsat bangsat, ada doedoek tjelentang di korsi males, matanja senantiasa memandang ka kiri kanan di dalem kamarnya. Maski ada di dalem roema sendiri pada waktoenja menjenangken diri, matanja jang amat tadjem slamanja maoe mentjari taoe segala resia, jang haroes di ketahoei oleh satoe kepala policie. Lantaran begitoe, maka pri keada’an dalem roemanja tinggal slamat, tida di langgar bahaja satoe apa.
Boedjang boedjangnja poen ada takoet sekali kaloe ada sepotong barang jang ilang. Oepamanja satoe botol anggoer soeda djato tebalik di langgar koetjing, hingga isinja toempa di medja, nistjaja boedjang spen tida brani bilang jang barang itoe soeda di bikin djato koetjing, tetapi kaloe di tanja oleh toeannja, dia nanti akoe jang itoe anggoer ia sendiri soeda bikin djato di medja. Begitoe djoega kaloe daging di dapoer di makan andjing, nistjaja kokinja nanti bilang dia soeda bikin angoes daging itoe, laloe di boeang. Pendeknja segala boedjang boedjang soeka pikoel kasalahannja laen orang, soepaja toeannja tiada bertamba mara, pada waktoenja mendapet taoe dalem roemanja ada soeatoe hal soeda kedjadian jang tida patoet.
Sedeng toean Sherlock Holmes doedoek berséndèr di korsinja, sakoenjoeng koenjoeng ia dapet liat satoe tjala soetra dari istrinja, jang di taro pada satoe korsi di sebla tempatnja kapala policie itoe doedoek. Boeat laen orang tjalah itoe tida nanti ada satoe sebab jang boleh membikin hati tida enak, tetapi toean Sherlock Holmes sigra bangoen dari tempatnja doedoek dengen mara, sedeng tangannja jang kanan pegang itoe tjala dan tangannja kiri soeda ambil dari barang itoe salembar ramboet pendek jang kriting. Ia meliat dirinja di katja dan liat jang ramboetnja sendiri ada lebi item dan lebi kasar.
“O, Henriette, istrikoe!” berkata toean itoe, sambil tarik napas dan lepas dirinja lagi di atas korsi,
2/8
Suatu sindiran terhadap Sherlock Holmes yang diterbitkan di surat kabar Bintang Betawi pada tahun 1902 Ditulis oleh Edwin Wieringa Rabu, 05 Mei 2010 19:44
apakah kau bisa tipoe pada saja?”
Tetapi tida lama, toean Holmes soeda ilang maranja dan sabar kombali. Ia bangoen berdiri dan boenjiken genta. Satoe boedjang prempoean moeda jang parasnja elok dateng ka dalem.
“Lucij,” berkata toean Sherlock dengen swara bengis, kemaren malem kau soeda pergi kloear djalan-djalan, apa tida betoel?”
“Bener, toean,” sahoet boedjang itoe dengen goemeter.
— “Kamoedian kau berdjoempa satoe lelaki moeda?”
— “Ampoen, toean.”
— “Dan kau soeda pake tjalanja njonja.”
— “Bener, toean,” sahoet Lucij, sambil berloetoet. “Dari sebab gelap saja soeda kesala’an ambil tjalanja njonja.”
— “Itoe orang moeda ramboetnja kriting dan dia taro kapalanja di itoe tjala, takala barang ini kau pake di poendak kau?”
— “Betoel sekali, toean. Saja minta ma-af sadja, tetapi saja tiada ada berboeat laen kadjahatan.”
— “Angkau boleh balik ka dapoer, Lucij.”
3/8
Suatu sindiran terhadap Sherlock Holmes yang diterbitkan di surat kabar Bintang Betawi pada tahun 1902 Ditulis oleh Edwin Wieringa Rabu, 05 Mei 2010 19:44
— “Trima kasi banjak, toean,” sahoet Lucij, laloe bangoen berdiri, sambil sapoe aer matanja dan berdjalan pergi.
Toean Sherlock Holmes doedoek kombali di korsinja dengen tersenjoem, seraja berkata:
“Adoe, Henriette jang koe tjinta, ampir sadja saja toedoe kau berboeat djahat, tapi baek saja soeda dapet kanjata-an dari kasetia-an kau.”
Sakoetika lamanja kapala policie itoe meramken matanja, kamoedian dia boeka kombali dan meliat satoe kreta brenti di depan roemanja. Tatkala istrinja toeroen dari itoe kreta, toean Sherlock [4] Holmes lantas berpikir.
“Dari perkara itoe tjala baek saja djangan tjerita satoe apa pada istrikoe, kerna ia nanti mara pada Lucij.”
Samentara ini anaknja toean Sherlock [5] dateng hampirken ajahnja, seraja berkata:
“Papa, tjobalah tjerita apa apa lagi, kerna ini hari saja manis.”
“Kau soeda makan manisan?” menanja toean Holmes.
“Bagimanakah papa bias taoe?” menanja anak itoe.
“Di djanggoet kau masi ada bekasnja manisan dan kentara djoega dari moeloet kau,” sahoet toean Sherlock Holmes. “Kau soeda makan manisan framboze, baek kau pergi tjoetji tangan dan moeka kau, jang soeda kena goela.”
4/8
Suatu sindiran terhadap Sherlock Holmes yang diterbitkan di surat kabar Bintang Betawi pada tahun 1902 Ditulis oleh Edwin Wieringa Rabu, 05 Mei 2010 19:44
Sinjo ketjil itoe sigra lari ka blakang aken tjoetji tangan dan moekanja.
Apabila njonja Holmes berjalan masoek, soeaminja lantas berkata:
“Istrikoe, kau soeda bajar doeit sewa kreta terlaloe banjak pada itoe koesir.”
“Tida,” sahoet istrinja itoe, “saja soeda bajar harga sewa sebagimana pantes. Tapi bagimanakah kau taoe saja soeda bajar terlaloe banjak?”
“Saja soeda dapet taoe itoe perkara, sebab saja liat moekanja itoe koesir dari ini djendela,” sahoet itoe kapala policie. “Seandenja orang itoe kau kasi oewang sebagimana pantes ia moesti di bajar, maka dia nanti tinggal diam, kerna dari saorang prampoean ia tiada harep dapet bajaran lebi. Djikaloe angkau kasi persen 10 cent, dia nanti girang dan membilang trima kasi pada kau tapi koesir ini roepanja sanget heran, satoe tanda, kau soeda kasi oeang doea kali lebi banjak dari sebagimana biasanja dia moesti trima. Tetapi sekarang saja maoe bitjara dari laen perkara. Di waktoe jang blakang ini, kau soeda pake ongkos besar istrikoe?”
Sedeng istrinja doedoek di korsi, toean Holmes berkata lagi:
“Ja, baek kau doedoek, kerna saja maoe bitjara banjak pada kau. Angkau soeda bli satoe topi pake boeloe, kerna di badjoe kau ada salembar dari boeloe boeroeng. Kamoedian saja liat njonja Jones, tetangga kita, soeda pandang kau dari kapala troes di kaki, apabila kau maoe naek kreta, tandanja kau soeda pake Japon baroe, dan sebab kau soeda angkat rok begitoe tinggi, tatkala kau toeroen dari kreta maski djalanan ada kering, njatalah jang kau poenja rok dan kous semoea ada baroe. Ahirnja saja rasa kau dateng pada saja, boeat minta bajar blandja kau sama sekali, kira kira ada ƒ 500. Apakah bener begitoe?”
“Sherlock [6] ,” berkata istrinja, “soenggoe kau ini ada saorang sakti dan bisa taoe semoea resia. Saja moesti minta ampoen jang saja diam diam soeda pake ongkos besar. Haroes djoega kau diseboet satoe lelaki jang paling tjerdik dan tadjem pikiran kau kerna apa jang kau
5/8
Suatu sindiran terhadap Sherlock Holmes yang diterbitkan di surat kabar Bintang Betawi pada tahun 1902 Ditulis oleh Edwin Wieringa Rabu, 05 Mei 2010 19:44
bilang semoea betoel adanja. Sekarang saja tida bisa simpen resia lagi. Sasoenggoenja angkau ini ada satoe dewa jang sakti.”
“Trima sekarang ini soerat Cheque boeat bajar oetang kau,” berkata toean Sherlock lagi, [“]dan djangan kau tipoe lagi pada saja, kerna saja tiada bole di bikin bodo.[”]
Toean Sherlock Holmes reba poela di korsi males sambil tersenjoem, kerna hatinja amat senang, sedeng tangannja di masoeken dalem sakoe, merobek sepotong kertas ketjil. Njonja Holmes kloear dari kamar itoe dengen tertawa seraja berkata:
“Siapakah bisa kira jang djantoeng hatikoe Kirsch, soeda kirim itoe rekening begitoe lekas pada Sherlock, dan soeamikoe ini soeda kira saja tida taoe jang dalem sakoenja dia ada simpen satoe soerat nota dari itoe rekening. Soenggoe gampang sekali tipoe orang lelaki! sebagi soeamikoe ini maski dia di kataken sakti.
***
Sasoenggoenja itoe boedjang prempoean Lucij, tida sekali pake tjala njonjanja begimana dia tjerita dan djoega dia tida djalan sama lelaki moeda, tetapi itoe ramboet jang toean Holmes soeda dapet liat di tjala istrinja, ada ramboetnja saorang lelaki moeda goela-annja njonja Holmes sendiri.
Pembatja liat sekarang bagimana seorang prempoean bisa bikin bodo lakinja, satoe kapala policie jang kasohor tjerdik, jang bisa bikin terang segala perkara gelap, bisa dapet tjari segala resia jang gelap dan kenal betoel tipoenja segala bangsat jang pande.
6/8
Suatu sindiran terhadap Sherlock Holmes yang diterbitkan di surat kabar Bintang Betawi pada tahun 1902 Ditulis oleh Edwin Wieringa Rabu, 05 Mei 2010 19:44
Sapinter pinternja lelaki, masi pinter lagi orang prampoen, maka tiada sala orang soeka membilang aer dalem bole di kira, tetapi atinja prampoean soesa di doega.
Edwin Wieringa adalah Guru Besar dalam bidang Bahasa dan Sastra Indonesia dan Pengkajian Islam di Universitas Cologne, Jerman.
[1] Lihat Doris Jedamski, 2009, Terjemahan sastra dari bahasa-bahasa Eropa ke dalam bahasa Melayu sampai tahun 1942, Henri Chambert-Loir (ed.), Sadur: Sejarah terjemahan di Indonesia dan Malaysia , Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, École française d’Extrême-Orient, Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa, Universitas Padjadjaran, 181; Doris Jedamski, 2009, The vanishing–act of Sherlock Holmes in Indonesia’s national awakening, Doris Jedamski (ed.), Chewing over the West: Occidental narratives in non-Western readings , Amsterdam, New York: Rodopi, 353. Silakan merujuk kepada kedua esai ini untuk artikel-artikel yang lain oleh Jedamski tentang Sherlock Holmes di Indonesia.
[2] Saya berterima kasih kepada Joachim Nieß yang mengarahkan perhatian saya kepada cerpen tersebut.
[3] Bandingkan Peter Ridgway Watt & Joseph Green, 2003, The alternative Sherlock Holmes: Pastiches, parodies and copies , Aldershot, Burlington: Ashgate Publishing.
7/8
Suatu sindiran terhadap Sherlock Holmes yang diterbitkan di surat kabar Bintang Betawi pada tahun 1902 Ditulis oleh Edwin Wieringa Rabu, 05 Mei 2010 19:44
[4] Teks: Sherloch.
[5] Teks: Sherlack.
[6] Teks: Sherloch.
8/8
Tata Kata Ditulis oleh Eko Endarmoko Rabu, 16 Juni 2010 11:38
Percakapan berikut terjadi di Kedai Tempo, Teater Utan Kayu, sekian tahun silam, pada satu senja. Setelah cukup lama ngobrol dan terang matahari mulai melindap, seorang kenalan berkewarganegaraan asing yang lumayan fasih berbahasa Indonesia berkata, “Maaf, ya, saya mau berpulang. Anda masih ingin meninggal di sini?” Senyumnya terkesan sedikit nakal. Saya kira ia ingin berolok-olok, betapa pelik baginya berbahasa Indonesia. Sebenarnyalah ia tahu kata “berpulang” dan “meninggal” dalam kalimatnya dapat diterima dari segi tata bahasa, tapi tidak dengan kacamata semantik, sebab kedua kata itu kita tahu semakna: meninggal.
Barangkali kita kurang menyadari bahwa tampaknya memilih kata di dalam berbahasa kerap menjadi pertimbangan utama, malah terkadang mengalahkan tuntutan menciptakan kalimat yang benar. Lihat saja kalimat si Fulan seperti ini: “Kemarin ibunya sahabat saya meninggal.” Fulan sangat mungkin tidak sedari mula tahu bahwa struktur ibunya sahabat saya adalah bangun kalimat bahasa Indonesia yang terpengaruh bahasa daerah, dan itu karena ia lebih didorong oleh kepentingan memilih kata meninggal, bukan kojor atau mampus. Bahwa memilih kata dianggap lebih penting ketimbang menyusun kalimat, ini saya kira erat bertalian dengan pemikiran bahwa kata-lah yang membopong-bopong makna, yaitu sesuatu yang ingin disampaikan kepada pihak lain.
Tetapi, akan selalu terasakan sesuatu kata kurang persis mewakili sesuatu maksud. Akan selalu ada saat ketika memilih kata menjadi persoalan yang tidak mudah, sebab laku ini bukan hanya menyangkut perkara makna semata. Di kalangan sastrawan yang baik, misalnya, anasir bunyi yang permai pada jejeran kata pastilah juga dibangun dengan sadar dan dengan sungguh-sungguh. Fulan memutuskan memakai kata meninggal untuk menerangkan ihwal ibu sahabatnya, sebab, meski ketiga kata itu —meninggal, kojor, dan mampus —punya pengertian yang sama, dua yang disebut terakhir bernada kasar. Jangan pula lupa, tak jarang di dalam menulis kita ingin menghindar dari pengulangan, dan tuntutan memilih kata di situ juga tidak berhubungan dengan soal makna.
1/8
Tata Kata Ditulis oleh Eko Endarmoko Rabu, 16 Juni 2010 11:38
Menjadi persoalan di dalam kita menulis adalah kelangkaan kamus yang berisikan senarai kata bersinonim dalam bahasa Indonesia, sementara yang ada pun kini sudah terasa kurang memadai. Mencari kata yang kita inginkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (seterusnya ditulis KBBI) tentu salah alamat, sebab KBBI bermaksud memberi penjelasan arti sebuah kata. Persoalan itu jugalah yang lama saya rasakan sejak masih kuliah sambil kadangkala menulis dan menyunting di tahun 1980-an silam. Maka pada sekitar waktu itu sesekali saya mencatat sederet padanan kata tertentu—selalu saya mencarinya dalam beberapa kamus—sebelum memutuskan akan memakai kata yang mana.
Belakangan, kira-kira pada paruh pertama tahun 1990-an, saya terpana melihat carikan kertas berisi kata-kata bersinonim yang saya catat berdikit-dikit sudah menggunung. Selagi merapikan semua catatan itulah saya sadari betapa banyak kata yang sudah lama dikenal dalam khazanah bahasa Indonesia yang nyaris atau bahkan sudah terlupakan sementara semakin banyak kata dari bahasa asing, terutama bahasa Inggris, yang lebih dikenal oleh semakin banyak penutur bahasa Indonesia. Saya terpesona oleh “temuan” ini, lalu, apalagi kamus sinonim bahasa Indonesia tergolong langka, terpikirlah saya akan membukukan kata-kata bersinonim itu. Siapa tahu ia akan memaksa mereka yang memandang bahasa Indonesia miskin berpikir kembali.
Kemudian, di penghujung 2006 lalu, terbitlah TBI ini yang menghidangkan sebanyak mungkin kata bersinonim dalam bahasa Indonesia. TBI mengandaikan pemakainya tidak sedang mencari penjelasan arti sebuah kata, karena itu ia tidak menyertakan takrif, melainkan ingin mendapatkan (1) ungkapan yang tepat untuk sesuatu konsep, atau (2) kata dengan nuansa makna yang paling cocok dalam konteks tertentu, atau (3) hendak mencari bentuk lain sebuah kata. Saya membayangkan pengguna TBI adalah mereka yang sudah selesai dengan urusan makna, tetapi terdorong oleh suatu keperluan mencari tahu kata-kata apa sajakah yang bersinonim atau memiliki pertalian makna dengan kata tertentu.
2/8
Tata Kata Ditulis oleh Eko Endarmoko Rabu, 16 Juni 2010 11:38
Jujur saja, pernah saya agak khawatir TBI kurang diapresiasi karena rupa-rupanya ada juga yang tidak dapat menerima sesuatu yang berbeda dari sebatas yang mereka kenal. Misalnya, ada pengkritik yang terganggu oleh pemakaian kata t esaurus, sebab—ia mengambil model tesaurus Peter Mark Roget—pengelompokan kata di dalam TBI tidak didasarkan pada hubungan ide dan konsep. Nah, hubungan ide dan konsep ini menyebabkan cara penyajian semua anggota yang bertalian makna dengan sebuah lema memang tidak dijajarkan secara alfabetis seperti TBI, melainkan berdasarkan kedekatan makna. Dan kemudian disimpulkan, TBI tidak dapat disebut sebagai tesaurus sebagaimana yang lazim dikenal. Bagi saya, cara berpikir deduktif seperti ini menunjukkan logika yang rada bengkok.
Ternyata dari situ, pertanggungjawaban yang saya sisipkan dalam “Tentang Tesaurus Ini” tidaklah dibaca baik-baik. Perkenankan saya kemukakan di sini, hal pertama yang saya kerjakan setelah memutuskan akan menerbitkan TBI adalah membaca-baca kembali, selain buku teks semantik leksikal dan leksikografi, juga belasan kamus dan tesaurus dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, dan membandingkannya satu sama lain. Soal yang ingin saya ketahui adalah batas cakupan isi dan bagaimana isi tersebut disajikan.
Yang menarik, cara penyajian TBI yang dipandang “nyeleneh” itu malah ditiru begitu saja oleh sebuah tesaurus dalam bahasa Indonesia lain yang terbit kemudian, hanya berdasar pertimbangan “kini banyak tesaurus yang dikemas berdasarkan abjad.” Bahkan “alfabetis” sebagai model penyajian pun dijadikan bagian dari judulnya! ( Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, susunan Pusat Bahasa. 2009).
Tujuan TBI sederhana saja, yaitu mempertontonkan seberapa kaya khazanah kosakata bahasa Indonesia—inilah makna tesaurus sebenarnya—sembari memberi kemudahan bagi para penggunanya kelak. Hampir 16.000 lema, beserta sublemanya, tidak saya jumput begitu saja dari belantara konsep dalam ingatan yang serba terbatas, kendati sering terasa juga tuntutan untuk itu, tuntutan untuk menemukan sendiri kata(-kata) apa saja yang bertalian makna dengan sebuah lema. Dengan kata lain, TBI mendayagunakan sekaligus belasan kamus, dua di antaranya yang paling penting adalah Collins English Thesaurus in A-Z Form (1993) dan Merriam-Webster’s Collegiate Thesaurus (1993), sebagai upaya menghimpun sebanyak mungkin sinonim dan hiponim sebuah lema.
3/8
Tata Kata Ditulis oleh Eko Endarmoko Rabu, 16 Juni 2010 11:38
Pada akhirnya saya mengambil sikap praktis belaka yang dibimbing oleh tujuan saya semula, yaitu dengan meneladan Collins dan Webster: pengelompokan kata di dalam keduanya tidak didasarkan pada hubungan ide dan konsep melainkan secara alfabetis, sementara anggota atau gugus sinonim sebuah lema tersusun alfabetis. Dan mereka tetap menyebut bukunya tesaurus! TBI memang belum menyertakan antonim karena persoalan teknis semata, namun kini sedang saya persiapkan bersama penyempurnaan di sana-sini untuk edisi mendatang. Yang ingin saya katakan, pengertian tesaurus tidak melulu merujuk pada model Roget.
Dimaui atau tidak, TBI secara tak terelakkan harus bertabrakan dengan kaidah yang dianut oleh kamus dalam bahasa Indonesia sebelumnya atau kamus lain. Misalnya, menyangkut tata cara menuliskan kata: obyek–objek, subyek–subjek, teoritis–teoretis, dan seterusnya. Dalam hal lain, urut-urutan polisemi. Berbeda dari penyajian KBBI, misalnya, TB I mencoba mengurutkan makna pertama, kedua, dan seterusnya sebuah lema berdasarkan derajat kelaziman penggunaannya. Kata “melaksanakan” tidak segera mengantarkan pengertian “memperbandingkan” melainkan “melakukan”. Sementara itu, perumusan arti kedua sublema “melaksanakan” oleh KBBI menurut saya kurang memadai, sama sekali tidak memperlihatkan keluasan maknanya yang kaya dan subur. Pada hemat saya, arti kedua “melaksanakan” versi KBBI dapat dan perlu diperluas menjadi tiga kelompok makna yang memiliki nuansa pengertian berbeda. Kita lihatlah pembandingan berikut:
KBBI:
melaksanakan v 1 memperbandingkan; menyamakan dng; 2 melakukan; menjalankan, mengerjakan (rancangan, keputusan, dsb)
4/8
Tata Kata Ditulis oleh Eko Endarmoko Rabu, 16 Juni 2010 11:38
TBI:
melaksanakan v 1 melakukan, melancarkan, melangsungkan, melantaskan, memangku, membuat, mengadakan, mengerjakan, menggelar, menunaikan, menyelenggarakan; 2 memanifestasikan, memenuhi, mengaktualkan, mengejawantahkan, mengimplementasikan, mengkonkretkan, menjadikan, menjelmakan, merealisasikan, mewujudkan; menerapkan, mengamalkan, mengaplikasikan; 3 melayani, mengelola, mengoperasikan, mengurus, menjalankan; 4 kl memadankan, membandingkan, menganalogikan, menolok, menyamakan; memisalkan, menamsilkan, mengaci-acikan, mengandaikan, mengibaratkan, mengumpamakan, menyepertikan (kl)
Perhatikan pula urutan polisemi kata berikut:
KBBI:
canggih a 1 banyak cakap; bawel; cerewet; 2 suka mengganggu (ribut); 3 tidak dl keadaan yg wajar, murni, atau asli; 4 Tek kehilangan kesederhanaan yg asli (spt sangat rumit, ruwet, atau terkembang);
5/8
Tata Kata Ditulis oleh Eko Endarmoko Rabu, 16 Juni 2010 11:38
5 banyak mengetahui atau berpengalaman (dl hal-hal duniawi); 6 bergaya intelektual
TBI:
canggih a 1 berbelit-belit, elusif, kompleks, pelik, rumit, ruwet, terik (ki); tinggi (teknologi); 2 bacar/gapil mulut, banyak bicara/cakap/ mulut/ omong, bawel, beleter, belu-belai, calak, celomes, celopar (ark), cerewet, ceriwis, gelatak, nyenyeh, nyinyir; 3 iseng, jail (cak), panjang lidah, resek (cak), suka mengganggu, usil
Dari pengalaman, entah berapa ratus ribu jam, menyelusup-nyelusup di dunia kata yang tercetak dalam belasan kamus, merampas porsi waktu, pikiran, dan tenaga paling banyak tentu saja adalah pekerjaan membuat pengelompokan kata-kata berdasarkan kedekatan makna. Saya memerlukan ketelitian ekstra—suatu kemampuan yang saya sadari sangat rentan terhadap pelbagai pengaruh dari luar—di dalam menyoroti dan secara konsisten menimang-nimang anasir makna apakah yang membedakan tiap-tiap kelompok atau gugus sinonim sebuah kata.
Pertanyaan paling mengganggu: sampai di mana batas-batas kedekatan makna antara satu kata dan lainnya. Kita ambil contoh kata “ideal”, sebuah kata yang tidak dapat kita temukan baik dalam Kamus Sinonim Bahasa Indonesia Harimurti Kridalaksana (1988) maupun Kamus
6/8
Tata Kata Ditulis oleh Eko Endarmoko Rabu, 16 Juni 2010 11:38
Sinonim Antonim Bahasa Indonesia Nur Arifin Chaniago dkk. (2000). Penjelasan atas kata ini oleh kamus lain, kurang terang. Kamus Besar Bahasa Indonesia —sejak 1988 hingga 2002 sudah dicetak 16 kali dan diperbaiki dua kali—hanya memerikannya sebagai adjektiva dengan keterangan: “sangat sesuai dng yang dicita-citakan atau diangan-angankan”. Ini agak mirip dengan penjelasan Kamus Badudu-Zain (1994): “memuaskan karena cocok dengan keinginan”. Kamus Poerwadarminta (1976) merumuskan kata itu sebagai “yg dicita-citakan atau diangan-angankan, sesuai dng yg dikehendaki atau diinginkan”.
Tadi sudah saya singgung bahwa TBI tidak menyertakan penjelasan arti sebuah kata karena mengandaikan pemakainya adalah mereka yang sudah selesai dengan urusan makna. Jadi, bila ingin mencari tahu kata apa sajakah yang bersinonim atau memiliki pertalian makna dengan kata tertentu, bukalah TBI, namun bila ingin mencari penjelasan arti sebuah kata, bukalah KBBI.
Tapi apakah “ideal”? Tidak berkecil hati karena penjelasan yang cekak pada kelima kamus tadi, saya kemudian melanglang ke sejumlah kamus dalam bahasa Inggris, bahasa asal kata itu. Mulailah saya memburu dan mengumpulkan kata-kata yang bersinonim atau memiliki kedekatan makna dengan “ideal” dalam satu wadah, dan kemudian memilahnya dengan perangkat analisis komponen makna. Berkat analisis itulah saya dapat perbedakan kelompok demi kelompok anggota sinonim kata “ideal” sebagai berikut:
ideal /idéal/ 1 n acuan, arketipe, cermin, contoh, eksemplar, model, paradigma, pola, teladan; dambaan, idaman, impian; 2 a abstrak, hipotetis, teoritis, transendental; konseptual; 3 a kamil (Ar), komplet, lengkap, sempurna; 4a paradigmatis, representatif
7/8
Tata Kata Ditulis oleh Eko Endarmoko Rabu, 16 Juni 2010 11:38
Juga sudah disinggung, lumayan sering saya terdorong oleh semacam kemestian menemukan sendiri kata apa saja kiranya yang bertalian makna dengan sebuah lema, “sipil”, misalnya. Keterangan mengenai kata ini dalam semua kamus bahasa Indonesia boleh dikata agak bermiripan dengan apa yang dijelaskan KBBI: “berkenaan dng penduduk atau rakyat (bukan militer)”. Bagi saya, ada makna lain kata “sipil” yang belum tercatat di sana, yang kemudian ke dalam TBI saya cantumkan sebagai arti kedua. Pengertian-pengertian “enteng, kecil, remeh, sepele; gampang, mudah, sederhana” yang terkandung dalam kata “sipil” sungguh hidup di tengah masyarakat kita, tetapi mengapa tak satu pun kamus bahasa Indonesia merangkum pengertian itu?
sipil a 1 awam, biasa, kebanyakan, publik; 2 cak enteng, kecil, remeh, sepele; gampang, mudah, sederhana
Menutup tulisan ini, harus buru-buru saya akui betapa TBI masih sangat jauh dari sempurna. Rumpang di sana-sini pastilah bukan dilakukan oleh beberapa teman yang membantu, sebab mereka melulu menggarap hal-hal teknis yang tak berhubungan dengan isi TBI. Sejak hari pertama menerima nomor contoh, sudah saya rasakan bahwa saya membutuhkan mata, telinga, dan kepekaan yang jauh lebih besar.
Maka saya sambut dengan girang segala kritik dan cercaan dari siapa pun, baik yang sudah maupun yang akan datang.
Bekasi, Maret 2007/Mei 2010
8/8