1. Pendahuluan
Secara umum kepemimpinan didefinisikan sebagai cara pemimpin memengaruhi orang lain. Kepemimpinan diyakini menjadi unsur kunci dalam melakukan pengelolaan suatu organisasi yang efektif (Yulk 2010). Penelitian tentang kepemimpinan sejauh ini telah banyak dilakukan pada berbagai organisasi yang memiliki tujuan komersial atau yang bertujuan profit oriented. Penelitian sejenis pada organisasi nir laba seperti misalnya institusi atau lembaga keagamaan seperti gereja masih sangat jarang dilakukan. Gereja sebagai institusi juga mengenal adanya jabatan organisasi dan jabatan pelayanan fungsional gereja. Di Gereja Protestan Maluku (GPM) Ambon, jabatan secara organisasi gereja meliputi Ketua Majelis, Wakil, Sekretaris, Bendahara, dan Komisi Pelayanan. Jabatan pelayanan fungsional meliputi Pendeta, Diaken, Penatua, dan Pengajar. Dalam struktur organisasi gereja, pendeta memiliki peran penting dan strategis sebagai ketua majelis jemaat sekaligus pemimpin bagi organisasi gereja. Proses pelaksanaan tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin jemaat (pendeta) dibantu oleh penatua dan diaken. Dan proses koordinasi pelayanan tersebut dikenal dengan asas kolegial, artinya, secara struktur memiliki kedudukan yang berbeda, namun secara koordinasi pelaksanaan pelayanan antara pemimpin jemaat dan patner kerja (penatua dan diaken) memiliki fungsi kontrol yang sama yakni, secara bersamasama mengkordinasikan pelayanannya (GPM 1998). Proses koordinasi pelayanan itu penting dilakukan secara efektif supaya, tujuan dan proses pelayanan dapat berjalan dengan baik. Seorang pendeta sebagai pemimpin dalam organisasi gereja memiliki peran penting yang mampu menguatkan aspek pemberdayaan jemaat dan manajemen pelayanan. Dalam konteks organisasi gereja, pendeta juga diharapkan menjadi manajer bagi anggota organisasi (Prodjowijono 2008) . Untuk itu kekuatan karakter pemimpin yang sesuai dengan lingkungan jemaat sangat diperlukan, yakni bertanggung jawab menjadi pemimpin yang tepat, dalam waktu yang tepat. Dalam konteks ini maka seorang pendeta juga perlu menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai agar dapat memimpin organisasi gereja secara efektif. Hal ini senada dengan pendapat Maxwell (2012) bahwa kepemimpinan yang efektif penting bagi semua organisasi, yakni kepemimpinan yang dapat menggerakkan para anggota kelompoknya dalam mencapai tujuan yang ditetapkan oleh organisasi. Berbagai gaya kepemimpinan telah dibahas dalam literatur teori dan perilaku organisasi. Sebagian besar teori kepemimpinan berkaitan erat dengan kekuasaan, posisi atau jabatan (Yulk 2010). Tapi tidak demikian dengan kepemimpinan melayani (servant leaderships), yang lebih menekankan pada kemampuan seorang pemimpin dalam memberikan pelayanan dan dari pelayanannya dapat memberikan pengaruh positif kepada anggotanya tanpa ada rasa takut atau segan (Zaluchu 2011). Menurut Senjaya (1997) servant leadership melayani bukan semata-mata hanya untuk mendapat hasil, tetapi perilaku untuk melayani adalah hasilnya. Selanjutnya Zaluchu (2011) berpendapat bahwa, kepemimpinan melayani ini sangat relevan untuk dikembangkan dan dipraktekkan sebagai sumber inspirasi bagi kepemimpinan Kristen. Pendapat tersebut didukung oleh Blanchard dan Hodge (2006), bahwa bagi orang kristen, kepemimpinan sebagai tindakan pelayanan bukanlah pilihan, itu adalah mandat atau perintah. Dijelaskan bahwa penerapan kepemimpinan melayani harus menjadi perilaku dalam hidup karena hal tersebut merupakan cara memperlakukan sesama dengan mempraktekkan ajaran-ajaran kristiani. Salah satu tugas seorang pemimpin –termasuk pendeta-- adalah memotivasi pengikutnya dan menciptakan kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan pekerjaan bagi pengikutnya (Yulk 2010). Bront Kark dan Dina Va Dijk (2007) serta Anderson et al., (2008) mengemukakan bahwa kepemimpinan mempunyai pengaruh dan memainkan peran penting terhadap motivasi diri dari pengikutnya. Begitupun dengan penelitian Smith, Monlango, Kuzmenko (2004) memperlihatkan bahwa, servant leadership diarahkan untuk memotivasi pertumbuhan pribadi pengikut atau anggotanya. Tulisan ini diperkuat oleh Patterson (2003) yang menyatakan bahwa dasar servant leadership adalah kasih atau cinta. Kasih atau cinta dapat memberikan motivasi yang kuat pada diri seseorang untuk berbuat sesuatu.
Penelitian Latumahina (2011) menunjukkan bahwa cara pandang anggota jemaat terhadap seorang pendeta sebagai pemimpin gereja dapat di lihat dari dua sisi yang berbeda yakni, dari sisi negatif dan positif. Persepsi jemaat yang negatif terhadap pendeta disebabkan antara lain proses manajemen pelayanan kepada anggota jemaat yang kurang baik, timbulnya rasa resah, kegelisahan, dan rasa tidak nyaman terhadap cara hidup pendeta dalam kegiatan formal gereja ataupun juga kehidupan kesehariannya. Sebaliknya persepsi positif terhadap pendeta timbul karena dipandang sebagai hamba Tuhan yang memberi teladan, melakukan pelayanan dengan baik, mau bekerja keras penuh kesungguhan dan kegigihan dalam melayani jemaat, serta jiwa spritualitas yang tinggi sehingga melahirkan rasa hormat jemaat terhadap pendeta mereka. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan melayani, diperkirakan seorang pendeta yang menerapkan kepemimpinan melayani juga dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap motivasi pelayanan yang terbangun dalam diri anggota jemaat. Memiliki motivasi pelayanan merupakan isu yang penting bagi para pekerja rohani seperti diaken dan panatua di GPM Ambon, karena mereka bekerja tanpa pamrih dan semata-mata untuk tujuan pelayanan. Dengan karakteristik yang dimiliki dalam kepemimpinan melayani, diduga seorang pendeta yang memiliki servant leadership (kepemimpinan melayani) akan bisa meningkatkan motivasi pelayanan para diaken dan panatua. Selanjutnya motivasi yang tinggi akan menciptakan komitmen seseorang terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam menyelesaikan setiap pekerjaan (McNeese– Smith et.al. 1995). Pendapat ini didukung oleh penelitian Burton et.al. (2002), yang menunjukan hasil bahwa motivasi anggota organisasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap komitmen organisasi. Dalam penelitian ini diduga bahwa motivasi pelayanan dapat menjadi variabel pemediasi antara kepemimpinan melayani pendeta terhadap komitmen pelayanan anggota jemaat gereja. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka beberapa persoalan yang diangkat dalam penelitian ini adalah : (1). Apakah Servant leadership pendeta berpengaruh terhadap motivasi pelayanan pada majelis jemaat?; (2). Apakah motivasi pelayanan berpengaruh terhadap komitmen pelayanan pada majelis jemaat?; dan (3) Apakah motivasi pelayanan menjadi variabel pemediasi antara servant leadership (kepemimpinan melayani) dengan komitmen pelayanan majelis jemaat?.
2. Kajian Pustaka 2.1. Servant Leadership (Kepemimpinan Melayani)
Gagasan mengenai servant leadership (kepemimpinan melayani) sebenarnya telah menjadi perhatian sejak tahun 1960. Geenleaf dipandang sebagai salah satu pelopor revolusi baru dalam pemikiran kepemimpinan karena memberikan filosofi baru dalam konsep kepemimpinan. Pada tahun 1970, Greenleaf menerbitkan sebuah esay berjudul The Servant as Leader, yang menerangkan bahwa servant leadership adalah kepemimpinan yang secara alami menempatkan kepentingan orang lain sebagai prioritas tertinggi dan seorang pemimpin mengerti bahwa memimpin itu adalah menjadi pelayan terlebih dahulu (Spears 2010). Faktor utama dalam kepemimpinan melayani dimulai dengan perasaan alami ingin melayani (Greenleaf 1977 dalam Spears 2010), kewajiban utama dari pemimpin adalah melayani kebutuhan dan kepentingan dari pihak lain (Akuchie dalam Laub 2004). Senjaya (1997) menegaskan bahwa, servant leadership semata-mata bukan hanya melayani untuk mendapatkan hasil, tetapi perilaku untuk sebagai hasilnya. Kepemimpinan melayani memfasilitasi bawahannya atau anggotanya untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Smith, Montagno dan Kuzmenko 2004). Servant leadership (kepemimpinan melayani) memandang kepemimpinan bukan posisi atau status, tetapi sebagai kesempatan untuk melayani sebagai bentuk dalam mengembangkan orang lain dengan sepenuhnya. Beberapa literatur mengidentifikasi sejumlah karakteristik kepemimpinan melayani. Spears (2004) menentukan 10 karakteristik servant leadership, yaitu: mendengar, empati, menyembuhkan, memiliki kesadaran, persuasi, konseptualisasi, melihat ke masa depan,
mempercayakan pengaturan, memiliki komitmen terhadap pengembangan manusia, dan membangun komunitas. Patterson (2003) menyoroti Servant leadership dari sudut teori kebajikan atau kesalehan (Virtuous Theory), yang memfokuskan pada karakter moral seseorang yang yang bersifat spritual atau rohaniah atau batiniah, dan menciptakan sebuah landasan yang lebih spesifik pada nilai-nilai yang terdapat pada servant leadership. Model teoritis yang dibuat oleh Patterson (2003), terdiri dari tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan, yaitu: (1) Kasih yang murni atau Agape (Agape Love), (2) Kerendahan Hati (Humility), (3) Mengutamakan orang lain (altruism), (4) Visi (Vision), (5) Percaya (Trust), (6) Pemberdayanaan (Empowerment), dan (7) Pelayanan (Service). Semua karakteristik dari servant leadership tersebut tidaklah saling terpisah satu dengan yang lainnya, tetapi keseluruhannya menunjukkan suatu kesatuan yang saling mendukung (Spears 2004; Calvin et al. 2009; Marianti 2011)
2.2. Pengaruh Servant Leaderships terhadap Motivasi Pelayanan
Secara umum motivasi diartikan sebagai faktor yang timbul dalam diri seseorang, sehingga hal itu mendorong dan menggerakkannya untuk melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan, untuk mencapai satu tujuan tertentu. Kini dan Hobson (2002) berpendapat motivasi sebagai suatu kesatuan proses yang membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku kearah pencapaian tujuan. Menurut Lucia (2009), motivasi berfungsi sebagai pendorong timbulnya suatu tindakan atau perbuatan dalam pencapaian tujuan yang diinginkan. Makna pelayanan dalam konteks gereja dapat diartikan sebagai mengabdi atau menghamba kepada Tuhan dan bukan kepada orang lain. Dalam pelayanan, pola hidup seseorang bukan lagi hidup untuk diri sendiri melainkan hidup untuk Tuhan dan untuk orang lain. Dalam konteks gereja, pelayanan dapat diartikan sebagai panggilan dan penugasan dari Tuhan (Calvin dalam Ismail 2012). Dari paparan pengertian motivasi dan pelayanan diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi pelayanan merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri individu secara internal, untuk melakukan panggilan pelayanan (Tulus 2011). Tugas seorang pemimpin meliputi memotivasi pengikutnya dan menciptakan kondisi yang menyenangkan bagi pengikut untuk melaksanakan pekerjaan (Yulk 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bront Kark, et al. (2007) dan Anderson, et al. (2009) menunjukkan bahwa kepemimpinan mempunyai pengaruh dan memainkan peran penting terhadap motivasi diri dari pengikutnya. Begitupun dengan penelitian Smith, Monlango, Kuzmenko (2004) menunjukkan bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) diarahkan untuk memotivasi pertumbuhan pribadi pengikut atau anggotanya. Menurut Patterson salah satu kebutuhan manusia adalah dikasihi atau dicintai. Kasih dapat memberikan dorongan yang kuat pada diri sesorang untuk berbuat sesuatu. Jadi servant leadership juga perlu memimpin bawahannya dengan kasih atau cinta. Hal senada dikemukakan oleh Patterson (2003) bahwa servant leadership menanamkan nilai cinta kasih terhadap pengikutnya, sehingga dapat berpengaruh terhadap motivasi yang muncul dalam diri pengikutnya untuk melayani. Dengan demikian diduga kuat bahwa penerapan servant leadership oleh para pendeta juga akan berpengaruh pada motivasi pelayanan para penatua dan diaken dalam melakukan pelayanannya. Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1 : Servant leadership pendeta berpengaruh signifikan terhadap motivasi pelayanan dari majelis jemaat.
2.3. Pengaruh Motivasi Pelayanan terhadap Komitmen Pelayanan
Komitmen secara umum dapat diartikan sebagai pernyataan kehendak atau janji untuk melakukan sesuatu yang telah diputuskan dengan setia. Menurut Bobby (2008) yang dimaksud dengan komitmen pelayanan dalam konteks gereja adalah janji setia, tekad atau ketetapan yang kuat untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan tanggung jawab. Sutisna (2009), berpendapat bahwa secara sederhana komitmen pelayanan berarti perjanjian untuk
melakukan sesuatu baik dengan diri sendiri, orang lain, atau juga suatu organisasi (gereja), maupun dengan Tuhan. Barna (2010) mengartikan komitmen pelayanan sebagai kebulatan hati mengabdikan diri untuk melayani Tuhan, dengan segenap hati, pikiran, kekuatan, demi kecintaannya terhadap pelayanan. Dapat disimpulkan komitmen pelayanan mengandung unsur janji, kesetiaan, bahwa apa yang diputuskan itu merupakan tekat atau kebulatan hati seseorang dalam melakukan pelayanan. Dalam konteks organisasi, Mowday et al., dalam Lucia (2009) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek utama dari komitmen organisasi yaitu : (1) Identifikasi, terwujud dalam bentuk kepercayaan anggota terhadap organisasi. identifikasi mencakup kepercayaan yang penuh atas nilai-nilai dan tujuan organisasi, yang membuat anggota dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi; (2) Keterlibatan, keterlibatan atau partisipasi anggota dalam aktivitas-aktivitas organisasi. Keterlibatan yang tinggi menyebabkan tingkat kehadiran yang semakin tinggi juga dalam organisasi. (3) Loyalitas, individu dengan komitmen organisasi yang tinggi merasakan adanya rasa setia dan memiliki organisasi. Bard (2006) dalam penelitiannya menemukan ada hubungan positif antara motivasi dan komitmen. Motivasi pelayanan merupakan proses melayani tanpa pamrih dengan resiko yang harus diterima. Motivasi pelayanan merupakan sebuah panggilan atau kerja rohani atau spiritual yang dapat membuat individu berkomitmen. Berbeda dengan motivasi kerja dalam organisasi umum dimana ada aturan-aturan kerja, sangsi-sangsi dan kebijakan organisasi yang akan membuat anggota organisasi berkomitmen., pada organisasi gereja, tidak ada sanksi-sanksi maupun peraturan yang mengikat individu dalam melakukan pelayanan. Motivasi pelayanan dalam aktivitas gereja umumnya merupakan suatu panggilan. Oleh karena itu jika motivasi pelayanan tinggi, maka berarti adanya kesadaran tinggi terhadap sebuah panggilan untuk melayani, yang selanjutnya akan berakibat pada munculnya komitmen pelayanan yang tinggi pula. Menurut Siagian (2007) bahwa motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk menggerakkan kemampuan, tenaga dan waktunya untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya. McNeese–Smith, et al., (1995) menyatakan bahwa, dengan motivasi yang tinggi akan menciptakan sebuah komitmen terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam menyelesaikan setiap pekerjaan atau tugas. Lebih jauh pendapat ini didukung oleh beberapa penelitian antara lain, Jae (2000) serta Burton, et al., (2002) yang menunjukkan bahwa terdapat motivasi anggota organisasi berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis kedua yang dikemukakan adalah H2 : Motivasi pelayanan berpengaruh signifikan terhadap komitmen pelayanan dari majelis jemaat
2.3. Peranan Motivasi Pelayanan sebagai Variabel Pemediasi antara Servant leadership dan Komitmen Pelayanan Motivasi pelayanan setiap individu harus jelas dan tidak bisa diukur dengan materi, karena motivasi pelayanan merupakan pengabdian individu. Ini merupakan arti pentingnya variabel motivasi pelayanan sebagai faktor pemediasi. Secara umum, penelitian telah menemukan adanya pengaruh kepemimpinan terhadap komitmen organisasi. Namun dalam konteks gereja, kepemimpinan melayani diduga akan mempengaruhi komitmen pelayanan melalui motivasi pelayanan sebagai variabel pemediasi. Logika di balik argumen ini adalah bahwa sebagai majelis jemaat yang melaksanakan kegiatan yang bersifat pelayanan, maka motivasi pelayanan harus ada dulu, sebelum seorang majelis jemaat memiliki komitmen yang kuat dalam pelayannya.
Motivasi pelayanan umumnya muncul dari kesadaran individu secara internal dengan tujuan untuk meningkatkan kehidupan rohani seseorang sebagai wujud suatu panggilan yakni melayani. Dengan demikian, motivasi pelayanan yang seperti itu akan menjadi perantara pengaruh antara kepemimpinan melayani pendeta terhadap komitmen pelayanan individu. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis ketiga yang dikemukakan adalah: H3 : Motivasi pelayanan berperan sebagai variabel pemediasi antara Servant leadership (kepemimpinan melayani) dan komitmen pelayanan.
Gambar 2.1 Kerangka Model Penelitian
H 3
S e r v a n t le a d e r s h ip ( X )
3. Metode Penelitian
H 1
M o t iv a s i P e la y a n a n ( Y 1 )
H 2
K o m it m e n P e la y a n a n ( Y 2 )
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksplanatori. Populasi penelitian ini adalah Majelis Jemaat yang termasuk dalam jabatan organisasi gereja dari 62 Klasis Pulau Ambon dengan jumlah populasi 248 orang. Sampel penelitiannya adalah Majelis Jemaat yang tergabung dalam struktur organisasi di dalam jemaat yang terbagi : Wakil ketua, Sekretaris, Bendahara dan Seksi Pelayanan yang merupakan bagian unit kerja organisasi gereja atau disebut juga Pimpinan Harian Majelis Jemaat (PHMJ). Teknik penarikan sampel pada penelitian ini adalah saturation sampling, dimana semua anggota populasi dijadikan responden. Kemudian dari 248 kuesioner yang didistribusikan, kuesioner yang terkumpul kembali berjumlah 230 eksemplar atau respond rate sebesar 92.7%. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data yang utama. Konsep diukur dengan menggunakan skala Likert 1-5 (sangat tidak setuju – sangat setuju). Indikator yang digunakan untuk mengukur masing-masing variabel adalah sebagai berikut: 1. Servant Leadership (X1) diukur menggunakan Indikator-indikator servant leaderships yang dikembangkan oleh Spear (2010) serta Calvin dan McCuddy (2009), yang terdiri dari sepuluh karakteristik servant leadership yang dinyatakan dalam 10 pertanyaan. Hasil penelitian menunjukkan semua item yang digunakan memenuhi unsur validitas ( > nilai r tabel 0,1294), dan juga reliabel dengan nilai Cronbach alpha sebesar 0.890. 2. Motivasi Pelayanan (Y1) Variabel motivasi pelayanan merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri individu secara internal, untuk melakukan panggilan pelayanan demi melayani pelayanan kepada Tuhan. Variabel ini diukur dengan 12 item pertanyaan. Dalam penelitian ini semua item valid, dan juga reliabel (Cronbach alpha = 0,786)
3. Komitmen Pelayanan (Y2) yang mengandung unsur janji, kesetiaan, bahwa apa yang diputuskan itu merupakan tekad atau kebulatan hati seseorang dalam melakukan pelayanan, diukur dengan jndikator-indikator dari komitmen pelayanan menurut Lucia (2009). Semua item pertanyaan juga ditemukan memenuhi unsur validitas dan reliabel dengan Cronbach alpha = 0.610. Dalam melakukan analisis data, maka data terlebih dahulu diuji dengan uji asumsi klasik meliputi normalitas, heteroskedastisitas, multikolinearitas, agar memenuhi kriteria Best Linier Unbiased Estimator (BLUE) sehingga dapat menghasilkan penduga yang sahih (Supramono dan Utami 2004). Selanjutnya teknik analisis yang digunakan untuk menjawab hipotesis dalam penelitian ini adalah regresi linier dan menggunakan sobel-test untuk variabel mediasi, yang dioperasikan melalui SPSS 20.0.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1. Gambaran umum Responden
Responden dalam penelitian ini seluruhnya adalah majelis jemaat yakni penatua dan diaken (Pekerja Harian Majelis Jemaat) Klasis Ambon yang masih aktif masa pelayanannya. Bagian ini akan membahas karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, usia, pekerjaan, pendidikan terakhir, status perkawinan, masa pelayanan yang sudah dijalaninya, dan jemaat asal. Ringkasan berbagai karakteristk tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini. Tabel 4.1 Karakteristik Responden Jumlah Prosentase Karakteristik Kategori Responden (%) Jenis Kelamin Laki-laki 138 60.0 Perempuan 92 40.0 Usia 28–42 55 23.9 43–58 140 60,8 59–73 35 15,2 Pekerjaan Lainnya 35 13.5 Nelayan 3 1.3 Pegawai Swasta 9 3.9 Pensiunan 34 14.8 Petani 28 12.2 PNS / BUMN 99 43.0 Wiraswasta 22 9.6 Pendidikan SD 10 4.3 SMP 13 5.7 SMA 90 39.1 S1 86 37.4 S2 9 3.9 S3 3 1.3 Lainnya 20 7.9 Status Belum Kawin 11 4.8 Perkawinan Kawin 219 95.2 Masa 1 Periode 107 46.5 Pelayanan 2 Periode 123 53.5 Sumber: Pengolahan data primer, 2012 Dari tabel di atas tampak bahwa responden terbanyak dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki (60%), sebagian besar responden (60,8%) berada pada kisaran usia 43–58 tahun. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata yang menjadi majelis berada
di usia dewasa akhir, memasuki masa usia lanjut awal. Sedangkan dari jenis pekerjaan yang dimiliki, tampak bahwa 43.0 % responden memiliki pekerjaan sebagai PNS/BUMN. Data ini menunjukkan bahwa responden tidak hanya mengabdikan diri pada pelayanan saja, namun tetap memiliki pekerjaan lainnya yang juga menuntut tanggung jawab yang tinggi. Tingkat pendidikan responden bervariasi, yang paling banyak adalah berpendidikan akhir SMA sebanyak 90 responden (39.1%) dan S1 sebanyak 35.4% dari total responden. Bila dilihat dari status perkawinan, sebanyak 219 (95.2%) responden telah berkeluarga. Hal ini menandakan bahwa seluruh responden memiliki kewajiban lain yang harus diemban, yaitu keluarga, disamping pekerjaan dan pelayanan di gereja. Data tentang masa pelayanan juga menunjukkan bahwa responden sebagian besar telah menjalani masa 2 periode pelayanan, yaitu sebanyak 123 reponden (53.5%).
4.2. Hasil Pengujian Hipotesis Untuk mengetahui hubungan antara variabel yang diajukan dalam hipotesis penelitian ini maka selanjutnya dilakukan uji masing-masing hipotesis dengan menggunakan analisis regresi linier untuk hipotesis 1 dan hipotesis 2 dan sobel-test untuk menguji peran variabel mediasi (hipotesis 3).
Pengaruh Servant Leaderships terhadap Motivasi Pelayanan Tabel 4.1 Pengujian Hipotesis 1 Model Summaryb
Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1 .296a .088 .084 a. Predictors: (Constant), Kepemimpinan Melayani b. Dependent Variable: Motivasi Pelayanan
.38025
DurbinWatson 1.934
Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model
B
1 (Constant)
3.160
Std. Error .226
Standardized Coefficients Beta
Collinearity Statistics T
Sig.
Tolerance
VIF
13.973 .000
Kepemimpi .249 .053 .296 4.685 .000 1.000 1.000 nan Melayani a. Dependent Variable: Motivasi Pelayanan Hipotesis pertama menyatakan bahwa kepemimpinan melayani (servant leadership) berpengaruh signifikan terhadap motivasi pelayanan dari majelis jemaat. Hasil uji regresi linear sederhana menunjukkan bahwa hipotesis ini dapat diterima dengan nilai p < 0,05. Artinya hipotesis pertama yang menyatakan bahwa servant leadership berpengaruh signifikan terhadap motivasi pelayanan dari majelis jemaat terbukti. Ini berarti kepemimpinan melayani seorang pendeta memberikan pengaruh positif terhadap motivasi pelayanan dari majelis jemaat sebagai patner kerja dalam mengkordinasikan pelayanan.
Pengaruh Motivasi pelayanan terhadap Komitmen Pelayanan Hipotesis kedua menyatakan bahwa motivasi pelayanan berpengaruh signifikan terhadap komitmen pelayanan dari majelis jemaat.
Tabel 4.2 Pengujian Hipotesis 2 Model Summaryb Model
R
R Square
Adjusted R Std. Error of the Square Estimate
Durbin-Watson
a
1 .528 .279 .276 .30027 a. Predictors: (Constant), Motivasi Pelayanan b. Dependent Variable: Komitmen Pelayanan Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model
B
1 (Constant)
2.114
Std. Error
1.712
Standardized Coefficients Beta
.211
Motivasi .469 .050 .528 Pelayanan a. Dependent Variable: Komitmen Pelayanan
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance
VIF
10.001 .000 9.389 .000
1.000 1.000
Pada tabel 4.2 di atas terlihat bahwa hasil uji regresi sederhana atas hipotesa kedua ini menunjukkan hipotesis ini diterima (sig 0,000, pvalue 0,05). Dengan demikian, hipotesis H2 yang menyatakan bahwa motivasi pelayanan berpengaruh signifikan terhadap komitmen pelayanan terdukung dalam penelitian ini.
Peranan Motivasi sebagai variabel pemediasi antara servant leadership dan komitmen pelayanan
DESCRIPTIVES STATISTICS AND PEARSON CORRELATIONS Mean SD Komitmen Kepemimp Motivasi Komitmen 4.0894 .3528 1.0000 .1832 .5281 Kepemimp 4.2352 .4735 .1832 1.0000 .2963 Motivasi 4.2127 .3973 .5281 .2963 1.0000 SAMPLE SIZE 230 DIRECT And TOTAL EFFECTS Coeff s.e. t Sig(two) b(YX) .1365 .0485 2.8134 .0053 b(MX) .2486 .0531 4.6849 .0000 b(YM.X) .4613 .0524 8.8059 .0000 b(YX.M) .0218 .0439 .4961 .6203 INDIRECT EFFECT And SIGNIFICANCE USING NORMAL DISTRIBUTION Value s.e. LL 95 CI UL 95 CI Z Sig(two) Effect .1147 .0279 .0601 .1693 4.1153 .0000
Pengujian hipotesis ketiga bertujuan untuk melihat apakah terdapat peranan motivasi pelayanan sebagai variabel pemediasi antara servant leadership dan komitmen pelayanan. Hasil perhitungan dengan menggunakan sobel-test menunjukan bahwa hipotesis ditolak (p value > 0,05, p = 0.6203), yang berarti bahwa motivasi pelayanan tidak ditemukan berperan sebagai variabel pemediasi antara servant leadership dan komitmen pelayanan dalam penelitian ini. Keseluruhan pengujian hipotesis dalam penelitian ini dapat diringkas sebagai berikut Tabel 4.3 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis Pernyataan Hipotesis H1 H2 H3
Kepemimpinan Melayani (Servant Leadership) berpengaruh signifikan terhadap motivasi pelayanan dari Majelis Jemaat Motivasi pelayanan berpengaruh signifikan terhadap komitmen pelayanan dari Majelis jemaat Motivasi pelayanan berperan sebagai variabel mediasi antara Kepemimpinan melayani dan komitmen pelayanan
4.3. Pembahasan
Keputusan Diterima Diterima Ditolak
Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) berpengaruh terhadap motivasi pelayanan dari majelis jemaat terdukung secara signifikan dalam penelitian ini. Hasil penelitian juga memperlihatkan arah pengaruh yang bersifat positif. Hal ini menunjukkan indikasi dan bermakna bahwa kepemimpinan melayani yang diterapkan pendeta dapat meningkatkan motivasi pelayanan dari majelis jemaat khususnya diaken dan penatua, selaku partner kerja dalam melakukan pelayanan tersebut. Temuan ini memperkuat hasil penelitian Bront Kark dan Dina Va Dijk (2007); Anderson et.al. (2009), yang mengemukakan bahwa kepemimpinan mempunyai pengaruh dan memainkan peran penting terhadap motivasi diri dari pengikutnya. Temuan penelitian ini juga memperkuat pendapat Smith, Monlango, Kuzmenko (2004) yang menyatakan bahwa, servant leadership diarahkan untuk memotivasi pertumbuhan pribadi pengikut atau anggotanya. Pendapat lainnya adalah menurut Patterson (2003) yang yakin bahwa kepemimpinan melayani (servant leadership) yang dilakukan dengan menanamkan nilai cinta-kasih terhadap pengikutnya, akan berpengaruh terhadap motivasi yang muncul dalam diri pengikutnya untuk melayani. Pendeta sebagai pemimpin di dalam jemaat (ketua majelis jemaat) diharapkan kepemimpinannya memberikan makna atau pengaruh positif bagi jemaatnya. Untuk itu orientasi kepemimpinan melayani harus dapat menceminkan dimensi iman Kristen yang berhubungan dengan sikap kerendahan hati dan pelayanan kepada Tuhan (Justin Irving 2004). Dengan demikian dapat tercipta sinergi antara pendeta (pemimpin jemaat) dan majelis jemaat (diaken dan penatua) dalam melakukan tugas dan perannya demi mendukung dan menjalankan proses pelayanan di jemaat. Hipotesis kedua dalam penelitian ini yang menduga bahwa motivasi pelayanan berpengaruh signifikan terhadap komitmen pelayan. Temuan ini memperkuat sejumlah penelitian terdahulu seperti Jae (2000); Burton et.al. (2002), yang menemukan bahwa motivasi anggota organisasi berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi. Selanjutnya penelitian Ku Vaas Bard (2006) menemukan adanya hubungan positif antara motivasi dan komitmen individu yang timbul dari dalam dirinya. Hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa motivasi pelayanan memiliki peran sebagai variabel pemediasi antara servant leadership (kepemimpinan melayani) dan komitmen pelayanan tidak terdukung dalam penelitian ini. Hipotesis ini tidak terbukti
dikarenakan servant leadership (kepemimpinan melayani) memengaruhi variabel komitmen pelayanan secara langsung. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bass, et al., serta Hall Marenda (2002) sebagaimana dikutip dalam Senthamil dan Palanichamy (2011) yang menyatakan bahwa kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap komitmen anggota organisasi.
5. Penutup 5.1. Kesimpulan
Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini. 1. Servant leadership (kepemimpinan melayani) pendeta berpengaruh secara positif terhadap motivasi pelayanan majelis jemaat. 2. Motivasi pelayanan berpengaruh secara positif terhadap komitmen pelayanan majelis jemaaat. Artinya semakin tinggi motivasi untuk melayani, semakin tinggi pula komitmen untuk tetap bertahan atau melayani di organisasi gereja tersebut. 3. Tidak ditemukan adanya peran motivasi pelayanan sebagai variabel pemediasi antara servant leadership (kepemimpinan melayani) terhadap komitmen pelayanan. Servant leadership (kepemimpinan melayani) ditemukan berpengaruh secara langsung terhadap komitmen pelayanan, tianpa diperantarai oleh motivasi pelayanan majelis jemaat.
5.2. Rekomendasi
Temuan hasil penelitian ini menyumbangkan beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dan selanjutnya dapat diterapkan, sebagai berikut : 1. Bagi para pendeta di lingkungan Gereja Protestan Maluku (GPM), hendaknya tetap memperhatikan dan menerapkan model servant leadership (kepemimpinan melayani) bagi manajemen pelayanan di dalam gereja. Lebih khususnya dalam pengangkatan pendeta misalnya, harus memperhatikan sikap dan karakteristik pendeta yang sesuai dengan servant leadership (kepemimpinan melayani). Sehingga proses pelayanan dapat berjalan dengan baik dan memberikan dampak yang positif bagi jemaatnya, khususnya dapat memberi motivasi positif kepada majelis jemaat (penatua dan diaken) sebagai patner kerja dalam proses pelayanan. 2. Ketua Majelis Jemaat (Pendeta) harus bisa menjalankan servant leadership (kepemimpinan melayani) sehingga dapat menjadi role model atau contoh dan teladan bagi proses manajemen kepamimpinan bergereja. Pendeta dalam orientasi pelayanannya lebih diarahkan kepada kepentingan jemaatnya, sebab orentasi utama servant leadership adalah mau melayani anggota organisasinya dengan berlandaskan kasih sesuai ajaran gereja. 3. Penatua dan diaken dalam proses pelayanan perlu memperkuat motivasi pelayanan, agar mampu menguatkan komitmen dalam menjalankan pelayanannya. 4. Seperti yang ditemukan dalam penelitian ini bahwa motivasi pelayanan tidak menjadi variabel mediasi antara servant leadership (kepemimpinan melayani) dan komitmen pelayanan, maka sebagai implikasinya penerapan servant leadership (kepemimpinan melayani) oleh para pendeta menjadi penting karena dapat meningkatkan motivasi pelayanan sekaligus komitmen pelayanan majelis jemaat.
DAFTAR PUSTAKA Anderson J, Griego V, Stevens H, R. 2008. Measuring High Level Motivation and Goal Attainment among Christian Un-dergraduate Students: An Empirical Assessment and Model. The Business Renaissance Quarterly: Enhancing the Quality of Life at Work. Barna George. 2010. Menumbuhkan Murid-Murid Sejati. Jakarta. Metanoia Publishing Blanchard, K dan Hodges, P. 2006. Lead like Jesus. Jakarta Selatan : Visimedia. Bobby.2008.https://psbobby.wordpress.com/2008/10/21/komitmen-dalam-pelayanan-kristen/ Burton J, James P., Lee Thomas., Holltom B. 2002. The Influence Of Motivation To Attend, Ability To Attend, And Organization Commitment On Different Types Of Absence Behaviors. Journal of managerial Issue summer. 181-197. Barbuto. JR. J. E., & Wheeler D. W. 2006, Scale Development and Construct Clarification of Servant Leadership, Group and Organization Management, June 2006, Vol.31, No.3, ABI/INFORM Global, page 300-326. Cavin C, dan McCuddy Michael. 2009. The Demographic Context Of Servant Leadership. Journal Of Academy Of Business And Economics. Vol. 9, No. 2. 129-139. Dennis, R dan Bocarnea. 2006. Development of the servant leadership assessment instrument. Leadership & Organization Development Journal. Vol. 26 No. 8, 600615. Dijk Van D. Kark R. 2007. Motivation to lead to follow: The Of Self Regulatory Focus In Leadership Processes. Academy Of Management Review. Vol 32. No. 2, 500-528. Grenleaf, R. 1977. Servants Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness, New York: Paulist Press. Irving Justin . 2004. Instigating the value of and hinhrances to servant leadership in the latin American context. Initial findings from Peruvan leaders. Journey of internasional business and cultural studies. 80-91. Ismail, A. 2012. Selamat Melayani Tuhan. Jakarta. BPK Gunung Mulia. Jea Moon. 2000. Organizational commitment revisited in new public management. Public performance and management review. Vol 24, no. 2. Kini, Ranjan B. and Hobson, Charles J. 2002. International Journal of Management. Poole: Dec. Vol. 19, Iss. 4. 605. KuVaas, Bard. 2006. Work performance, affective commitment, and work motivation: The Roles of pay administration and pay level., Journal of Organizational Behaviour., 365-385. Laub Alan James. 1999. Assesing The Servant Organization Leadership Assessment (SOLA) Intument. ___________. 2004. Assesing the Servant Organization Development of the Organizational Leadership Assessment (OLA) Instrument.
Lucia Wulan. 2009. Pengaruh motivasi pelayanan terhadap kepribadian dan usia terhadap komitmen organisasi, studi pada komunitas Tritunggal Maha Kudus Surabaya. Tesis. Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Marianti, M. 2011. Nilai-nilai Kristiani Dalam Kepemimpinan Melayani. Bina Majalah Ilmiah. Fakultas Ekonomi UMPAR. Vol. 15, no. 1. Maxwell, J., Artikel Inspirasi, edisi Agustus 2012. McNeese . Smith, Donna, 1996. Increasing Employee Productivity, Job Satisfaction, and Organizational Commitment. Hospital & Health Services Administration, Vol. 41: 2, 160-175. Patterson, K. 2003. Servant leadership: A Theoretical Model. Proceeding, Servant Leadership Roundtable, Regent University. Virginia Beach. Prodjowijono, S. 2008. Manajemen Gereja : Sebuah Alternatif. BPK. Gunung Mulia. Jakarta. Senjaya., 1997., Kepemimpinan yang berprinsip (Principle Centered leadership)., Jakarta: Binarupa Aksara. Smith, B., Montagko, R. V & Kuzmenko, T. N. 2004. Transformationl and servant leadership content and contextual comparisons. Journal of leadership and organizational studies. 10 (4). 80-91. Spears, Larry. 2010. Character and Servant Leadership: Ten Characteristics of Effective, Caring Leaders. The Journal of Virtues & Leadership, Vol. 1 Iss. 1, 25-30. Sutisna,J.http://gpyahya.blogspot.com/2009/07/komitmen-dalam-melayani.html.unduh November 2012. Tulus. 2011. Antara Layanan Profesional dan Panggilan. Jurnal Teologi. Vol. 3, no.2. Yulk Gary. 2010. Leadership in Organizations, Edisi Seventh, Paerson Education, USA. Tata Peraturan Perangkat Pelayan Gereja Protestan Maluku. 1998, Ambon
29