1
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah Pajak sebagai salah satu sumber pendapatan Negara, haruslah ditangani secara benar. Hal ini dikarenakan sumber pendapatan Negara dari sektor pajak, kurun waktu 2006-2011, penerimaan perpajakan berkontribusi rata-rata 70% terhadap total pendapatan negara dan hibah. Perpajakan ini terdiri dari pajak dalam negeri (PPh,PPn, Cukai, PBB, BPHTB, dan pajak lainnya) dan pajak perdagangan internasional (bea masuk dan bea keluar). Sementara, pajak dalam negeri menguasai rata-rata 96% dari total penerimaan perpajakan dalam kurun waktu 2006-2011, sementara pajak perdagangan internasional sebesar rata-rata 4%.1
Berdasarkan angka
diatas, maka nampak besarnya kontribusi pajak dalam pendapatan Negara. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undangundang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro S.H., pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk 1
Prof. Firmansyah, Ph.D., Pajak Dalam Struktur Pendapatan Negara, Sekretaris Kabinet RI. Agustus 2012
2 membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment2. Besarnya pendapatan Negara sektor pajak membuat para Wajib Pajak berusaha untuk menghindari pajak yang harus mereka bayarkan. Berbagai cara dan upaya dilakukan Wajib Pajak untuk mengelabuhi dan menghindari pajak, baik secara individu maupun bekerjasama dengan pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Kita tentu masih ingat akan kasus
pegawai Pajak Gayus Tambunan yang membantu sejumlah Wajib Pajak untuk menggelapkan pajak yang harus dibayar kepada Negara. Kasus Gayus Tambunan mulai diketahui publik pada tahun 2009-2010 yang demikian menghebohkan, karena dalam kasus tersebut melibatkan insitusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Kasus Gayus Tambunan mengingatkan pada kita, bahwa pajak sebagai salah satu pemberi kontribusi dalam pendapatan Negara memerlukan penegakan hukum untuk menjerat para Wajib Pajak yang mencoba-coba melakukan penggelapan dan penghindaran pajak. Dalam hukum pajak dikenal adanya 2 macam sanksi atas pelanggaran pajak yaitu: -
Sanksi administrasi;
-
Sanksi pidana.
Sanksi administrasi maupun sanksi pidana yang diberlakukan pada pelanggaran pajak dimaksudkan untuk melakukan penegakan hukum 2
Jun Cai, SH. M.Hum dan Amelia Tobing, SH, Tindak Pidana Perpajakan Oleh Wajib Pajak, 04 Juni 2010, http://baltyra.com/2010/06/04
3 pajak. Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku pelanggaran pajak. Penegakan hukum pajak baik secara administrasi maupun pidana dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum pajak ditaati oleh wajib pajak. Jika dilihat dari macam sanksi yang diberlakukan, maka untuk mendapatkan efek jera bagi pelaku pelanggaran pajak, maka sanksi pidana yang paling tepat untuk dilakukan. Sanksi pidana dalam hukum pajak berkaitan dengan hukum pidana. Penegakan hukum pajak melalui sanksi pidana untuk mendapatkan hasil yang maksimal memerlukan hukum pidana yang dapat berfungsi. Dengan kata lain fungsionalisasi hukum pidana pada penegakan hukum pajak. Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekeria secara konkrit. Dengan demikian istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diindentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkritasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan penegakan hukum pidana. Bertolak dari pengertian yang demikian, maka
fungsionalisasi
hukum pidana, seperti fungsionalisasi atau proses penegakan hukum pada umumnya, melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait yaitu faktor peraturan perundang-undangan, faktor aparat/badan penegak hukum, dan faktor kesadaran hukum. Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Fungsionalisasi hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana
di
bidang
perpajakan,
berarti suatu
upaya
memfungsikan,
4 mengoperasionalkan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana di bidang perpajakan. Upaya penegakan hukum pajak yang pada dasarnya merupakan hukum administrasi, tetapi juga masih menggunakan sistem sanksi hukum pidana, karena dapat dikatakan bahwa sanksi pidana merupakan salah satu bentuk upaya pemaksa dimana upaya pemaksa ini penting di dalam hukum pajak. Sebagaimana pendapat Rachmat Sumitro bahwa ditinjau dari segi hukum, maka pajak adalah perikatan yang timbale balik karena undang-undang, untuk memenuhi berbagai syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk membayar sejumlah uang kepada Negara dapat dipaksakan. 3 Dalam undang-undang Pajak, hukum pidana dimanfaatkan agar norma-norma perpajakan dapat dipatuhi.
Pemilihan ini merupakan suatu
pilihan dari pembentuk undang-undang, yaitu pilihan/kebijakan bahwa hukum pidana digunakan sebagai sarana untuk memperkuat sanksi-sanksi yang telah ada dalam undang-undang perpajakan. Penggunaan
sarana
hukum
pidana
dalam
mengatur
masyarakat pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan
(policy).
Ia
merupakan
bagian
dari
kebijakan
pembangunannasional dan bagian dari kebijakan politik crim inal serta bagian dari kebijakan penegakan hukum. 4
Selanjutnya Barda
Nawawi Arief menyebutkan bahwa kebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhinrya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik untuk 3
Rachmat Sumitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, Penerbit Reflika Aditama, Bandung, 1998, hal.51. 4 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998,hal.139.
5 memungkinkan hukum positif yang dirumuskan secara lebih baik untuk member pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada yang menerapkan undang-undang. Bahwa sistem hukum pidana meliputi: a.
Peraturan hukum pidana dan sanksinya;
b.
Suatu prosedur hukum pidana; dan
c.
Suatu mekanisme pelaksanaan pidana.5
Menurut Sudarto dalam bukunya Hukum dan Hukum Pidana “politik hukum” adalah :6 a. Usaha untuk mewujudkan peratuan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat; b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peratuan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicitacitakan. Bertolak
dari
pengertian
demikian,
Soedarto
selanjutnya
mengatakan bahwa melakukan “politik hukum pidana”, berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil peraturan perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Melaksanakan "politik hukum pidana" berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan hukum pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu masa yang akan datang. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana di bidang perpajakan merupakan suatu kebijakan dari pembentuk undangundang yang diharapkan dapat dijadikan "sarana pemaksa" dalam pelaksanaan perundangundangan di bidang perpajakan. Harapan ini 5
Barda Nanawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Negara, Balai Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, hal.23. 6 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hal.110.
6 tampaknya cukup beralasan mengingat berbagai kasus pelanggaran undang-undang perpajakan semakin meningkat dan pada akhirnya dapat merugikan keuangan negara. Pajak merupakan salah
sate sumber andalan pendapatan
pemerintah dalam rangka pembiayaan pembangunan. Bahkan lebih dari itu pendapatan pajak juga dapat dimanfaatkan untuk investasi pemerintah (public invesment). Begitu besar manfaat pajak, maka pemerintah berusaha
mengerahkan
segala
kemampuan
untuk
meningkatkan
pendapatan pemerintah dari sektor pajak. Beberapa bentuk penyelewengan pajak merupakan faktor yang menghambat upaya pemerintah untuk menjadikan pajak menjadi sumber yang dapat diandalkan dalam penerimaan negara. Kasus penunggakan wajib pajak merupakan salah satu diantara sekian banyak tindak pidana pajak yang diduga kuat paling tinggi merugikan negara, bahkan ada dugaan mencapai trilyunan rupiah. Tindak pidana di bidang perpajakan yang lain adalah penggelapan restitusi pajak Yang dilakukan oleh oknum Kantor Pelayanan Pajak. Adanya makelar kasus di bidang perpajakan yang muncul kepermukaan pada akhir tahun 2009 adalah kasusnya anggota Direktorat Jenderal Pajak atas nama Gayus Tambunan Pegawai negeri Sipil Golongan
III/a.
Kasus
Gayus
Tambunan
demikian membuat
tercenggang banyak orang, mengingat sebagai seorang PNS Golongan III/a, Gayus memiliki rekening sebesar Rp 25.000.000.000. (dua puluh lima milyar rupiah. Rekening yang demikian fantastis tersebut dipergunakan Gayus untuk memuluskan kasus yang sedang menimpanya dengan bekerjasama
dengan
oknum-oknum
penegak
hukum
(Kepolisian,
7 Kejaksaan, Hakim, dan Advokat), serta pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak itu sendiri, dan orang-orang lain yang mempunyai akses kedekatan dengan pejabat-pejabat yang berwenang. Melihat kenyataan yang demikian ini, maka
berbagai upaya
penanggulangan penyelewengan pajak, penanggulangan melalui hukum pidana menjadi salah satu alternatif yang sebenarnya dapat diharapkan. Mengingat hukum pidana selalu dimanfaatkan atau digunakan dalam berbagai undang-undang, termasuk di bidang perpajakan. Dimanfaatkannya atau digunakannya hukum pidana, karena hukum pidana mempunyai sanksi yang berbeda dengan bidang hukum yang lain, yaitu sanksinya yang lebih tajam dibandingkan dengan sanksi di bidang hukum yang lain, maka dalam hal ini hukum pidana digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Penggunaan sanksi pidana dalam hukum perpajakan adalah merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum pajak. 2.
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah tersebut, sebagai rumusan masalah adalah : a. Bagaimanakah pengaturan pajak di indonesia dan kebijakan sanksi pidana dalam undang-undang perpajakan ? b. Bagaimanakah penerapan kebijakan dan penegakan sanksi pidana di bidang perpajakan ?
3.
Penjelasan Judul Skripsi ini mengambil judul “Penegakan Hukum Pajak Melalui
8 Penerapan Sanksi Pidana” menitikberatkan pada penegakan hukum pajak dengan penerapan sanksi pidana. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disingkat UU KUP) mengatur pula sanksi pidana untuk pelanggaran atas UU KUP Penegakan hukum pajak yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan baik mengenai Undang-Undang Bea Materai, Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan yang lain-lain. Dalam
perundang-undangan
sebagaimana
dimaksud
selain
sanksi
administrasi terdapat pula sanksi pidana. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, menetapkan tindak pidana di tiding perpajakan yaitu suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana, diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Disamping itu, juga terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana diatur dalam Papal 24 dan Pasal 25. Kualifikasi tindak pidana dibidang perpajakan sesuai UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, tidak membagi dalam kejahatan dan pelanggaran. Unsur kelakuan pada pelaku dibedakan antara kesengajaan dan kealpaan 4.
Alasan Pemilihan Judul Mengingat pajak merupakan masalah yang penting dalam upaya
9 memperoleh pendapatan negara
untuk
membiayai penyelenggaran
pemerintahan dan pembangunan nasional, dimana uang diperoleh dari rakyat dengan "sarana pemaksa'' berupa sanksi pidana yang tidak memenuhi kewajibanya, baik disengaia atau karena kealpaannya. Namun sayangnya selama ini. rakyat tidak pernah mengetahui secara rinci dan terbuka, pajak tersebut untuk pembiayaan bidang dan atau sektor apa saja yang dibiayainya, sehingga rakyat dapat mengetahui ]`contra prestasi apa atas pembayaran pajak. Baru kemudian mata rakyat terbuka setelah muncul kasus penggelapan pajak oleh Gayus dengan melibatkan beberapa oknum aparat penegak hukum (polisi, jaksa, ha- kills dan advokat), bahkan oknum pejabat pajak sendiri. Rakyat sebagai wajib pajak akhirnya bertanya-tanya, selama ini sampai sejauh mana pengawasannya dan mekanismenya bagi mereka yang melakukan kejahatan di bidang perpajakan, padahal jelas undangundang mengatur adanya sanksi pidana bagi pelanggarnya, namun dalam pelaksanaaanya sanksi hukum pidana yang mengaturnya kurang atau tidak difungsikan lama sekali. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membuat penelitian dalam Skripsi dengan judul “Penegakan Hukum Pajak Melalui Penerapan Sanksi Pidana”. 5.
Tujuan Penelitian Tujuan akademis sebagai syarat pemenuhan tugas pada tahap akhir studi guna memperoleh gelar Sariana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra. Tujuan Praktis menjelaskan tentang hukum perpajakan yang merupakan bagian dari hukum administrasi, namun juga dalam upaya
10 adanya kepatuhan masyarakat terhadap kewajiban di bidang perpajakan diperlukan upaya pemaksa berupa sanksi pidana dan sanksi perdata. Upaya tersebut merupakan kebijakan hukum pidana dan hukum perdata, sehingga bagi wajib pajak dan pengusaha kena pajak dapat memahami dan mematuhi kewjiban di bidang perpajakan. Sehingga diharapkan undang-undang di bidang perpajakan dapat dioperasionalkan secara maksimal demi peningkatan penerimaan negara melalui pajak, yang kegunaannya untuk biaya penyelenggaraan negara dan keseiahteraan rakyat. 6.
Manfaat Penelitian Dengan dipahaminya dengan benar dan baik tuduan penelitian ini, diharapkan bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak mematuhi dan mentaati kewajibannya tersebut, karena ada upaya pemaksa dalam pelaksanaannya. Demikian pula hainya bagi pihak pemungut pajak dan anggota perpajakan dapat menegakkan undang-undang perpajakan semaksimal mungkin dengan tetap memperhatikan rambu-rambu yang telah diatur dalam undang-undang perpajakan.
7.
Metode Penelitian
a.
Tipe Penelitian. Metode penelitian di bidang ilmu Hukum. hukum sebagai
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (yurisprudensi), maka digunakan tipe “Penelitian Hukum Normatif”, yaitu penelitian yuridis normatif terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas.
11
b.
Pendekatan Masalah. Pendekatan masalah
yang
digunakan
adalah
pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konsep atau doktrin. Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan melakukan kajian atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang masih hidup dalam masyarakat yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas. Pendekatan konsep atau doktrin yaitu dengan memperhatikan pendapat para ahli hukum dalam karya-karya ilmiahnya, yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam memberikan, analisa atas peraturan perundangundangan yang berlaku tersebut. c. Badan Huhum Sebagai bahan hukum dalam Penelitian Hukum Normatif, terdiri dari bahan hukum primair dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa peraturan perundangundangan yang berlaku yang terkait dengan pokok masalah yang d ibahas, dengan tidak m embatasi peraturan hukum yang berkaitan. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku literatur, karyakarya ilmiah Kara ahli hukum, jurnal hukum, internet, dan sebagainya Yang terkait dengan pokok masalah Yang dibahas. d. Langkah-langkah Kajian. Langkah pertama, mengumpulkan bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder dengan menggunakan studi kepustakaan. Kemudian bahan-bahan hukum di diklasifikasi dengan card memilah-milah bahan hukum, dan disusun secara sitematis agar mullah dibaca dan dipahami. Langkah kedua, memahami dan mempelaiari bahan-bahan hukum
12 dengan menggunakan metode deduksi yaitu suatu metode penelitian yang diawali dengan menemukan pemikiran atau ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, untuk diterapkan pada pokok masalah yang dibahas yang bersifat khusus. Langkah ketiga untuk sampai pada jawaban pokok masalah yang dibahas, digunakan penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang mendasarkan hubungan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lain, pasal yang satu dengan, p a s a l ya n g satu dengan pasal yang lain dalam perundangundangan yang dengan pokok m asalah yang dibahas. 8.
Sistematika Pertanggungjawaban Berdasarkan rumusan masalah yang dibahas dalam penulisan ini, maka penulisan dibagi dalam 4 9empat) Bab
sebagaimana tersebut di
bawah ini. Bab I Pendahuluan, yaitu yang m endeskripsikan latar belakang m asalah m engapa kajian hukum in i dilakukan.
D ilanjutkan dengan
rum usan m asalah sebagai titik to lak kajian hukum in i serta tu lisan dan manfaat penelitian.
Penggunaan m etode penelitian sebaga i
ins trum ent kaj ian lan gkah-langkah k ajian da lam pene litian in i dapat dipertanggungjawabkan. Bab II Pengaturan Perpajakan dan Kebijakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Perpajakan.
Pembahasan meliputi tentang pengertian
pengaturan perpajakan di Indonesia sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan hingga sekarang.
Kebijaksanaan sanksi pidana dalam
perundang-undangan di bidang perpajakan serta jenis-jenis sanksi pidana dalam perundang-undangan di bidang perpajakan.
13 Bab III Penerapan Kebijakan dan Penegakan Sanksi Pidana di Bidang Perpajakan. Pembahasan meliputi penetapan sanksi pidana dalam undang-undang perpajakan, dan penegakan sanksi pidana di bidang perpajakan. Bab IV Penutup. Pembahasan meliputi kesimpulan dan saran. Kesimpulan sebagai jawaban singkat atas rumusan masalah sebagai pokok masalah yang dibahas. Saran merupakan sumbangan pemikiran masukan dalam khasanah hukum.
.
14
B AB I I
PENGATURAN PERPAJAKAN DAN KEBIJAKAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN 1.
Pengaturan Perpajakan di Indonesia Peraturan
perundang-undangan
perpajakan
sebelum
kemerdekaan hingga tahun 1983 berlaku peraturan perundang-undangan perpajaan yang dibuat pada era pemerintahan Hindia Belanda, antara lain : a. Aturan Bea Meterai Tahun 1921; b. Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925; c. Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932: dan d. Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak pada masa itu sebagian besr merupakan warisan kolonial yang pada saat itu dibuat hanya untuk menghimpun dana bagi pemerintah Hindia Belanda dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya di Indonesia.
Oleh karenanya pemungutan
pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik penetapan jumlah pajak maupun tata cara pemungutannya dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan menambah beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi rakyat. Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan rakyat secara patuh. Memasuki alam kemerdekaan, terhadap berbagai peraturan p
erundang-undangan di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan,
15 tambahan dan penyesuaian sebagai upaya untuk menyesuaikan terhadap keadaan dan tuntutan rakyat dari suatu negara yang telah memperoleh kemerdekaannya. Namun perubahan-perubahan tersebut di masa lalu lebih bersifat parsial, sedangkan perubahan yang agak mendasar baru dilakukan m elalui Undang -Undang Nom or 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan, dan Pajak Perseroan, yang kemudianpelaksanaannya
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tabun 1967 yang selanjutnya terkenal dengan "sistem MPS dan MPO". Sistem tersebut MPS = memungut pajak sendiri dan MPO = memungut pajak orang) merupakan penyempurnaan sistem pajak sesuai dengan tingkat perkembangan "sosial ekonomi" Indonesia. Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan untuk mengubah berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut, belumlah menjawab secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara mendasar. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga Negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta dalam bidang kenegaraan. Di segi lain tuntutan masyarakat terhadap adanya “aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih" dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawa san dalam undang-undang perpajakan yang tercermin yang sistem dan mekanisme pemungutan pajak yang
16 menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem pajak. Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak sesuai Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada butir c, disebutkan bahwa : a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. b. Tanggungjawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan. penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan Yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. c. Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, mempehitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self assessment) sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain dari pada itu, Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terhutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Dengan
sistem
ini
diharapkan
pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis akan dihilangkan. Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Nomor 6
17 Tahun 1983 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984 yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Disadari masih terdapat hal-hal belum tertampung sehingga menuntut perlunya penyempurnaan sejalan dengan perkembangan pemerintah.
sosial ekonomi dan
kebijaksanaan
Selain itu harapan masyarakat terhadap adanya aparatur
perpajakan yang makin mampu dan bersih tetap diperhatikan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam undang-undang perpajakan. Berdasar pertimbangan tersebut, maka Undang-Undang Nomor 6 Tabun 1983 mengalami perubahan tiga kali yang pertama diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1984. Perubahan kedua dengan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000. Perubahan ketiga dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan mara arah dan tujuan penyempurnaan undang-undang perpajakan ini mengacu pada kebijaksanaan pokok sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada penjelasan umum angka 4 sebagai berikut: a. meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan negara; b. meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah;
18 c. menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan di bidang teknologi informasi; d. meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban; e. menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan; f. meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten; dan g. mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif. Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya kepatuhan sukarela dan membaiknya iklim usaha. 2. Kebijakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Perpajakan Penerapan sanksi pidana atas suatu perbuatan diatur dalam perundang-undangan, hal ini dikarenakan dengan pemberian sanksi pidana adalah mengurangi hak asasi sesorang. Perwujudan suatu sanksi pidana dapat dilihat sebagai suatu proses perwujudan kebijakan melalui tiga tahap, yaitu: a.
Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;
b.
Tahap pernberian pidana atau penjatuhan pidana oleh pengadilan;
c.
Tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana eksekusi pidana. 7
Dilihat sebagai kesatuan proses, maka tahap kebijakan pertama yang dapat pula disebut tahap formulasi atau tahap kebijakan legislative sebagai tahap yang paling strategis. Dari tahap legislatif inilah, diharapkan adanya suatu garis pedoman untuk tahap-tahap berikutnya. 7
Muladi dan Bar da Nawaw i Arief, Tearl-teori dan Kebij akan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1998, hal.173.
19 Tujuan dari kebijakan suatu jenis sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik criminal dalam arti
keseluruhan,
yaitu
perkembangan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Pada tahap pemberian pdiana dan penjatuhan pidana oleh pengadilan bermakna adanya proses hukum bagi para pelaku.
Dalam tahap ini merupakan tahap
penegakan hukum yaitu adanya pemberian sanksi atas pelanggaran hukum. Tahap berikutnya berupa pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana eksekusi pidana dilakukan oleh Jaksa selaku ekskutor dalam hukum pidana. Kebijakan menetapkan jenis sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan setidak-tidaknya mendekati tujuan, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif.
Masalah
pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang dianggap paling baik, paling tepat, jelas merupakan masalah yang tidak mudah. Berkaitan dengan penggunaan sanksi pidana dalam perundangundangan porpajakan, berarti sudah menjadi pilihan pembentuk undangundang. Pilihan penggunaan sanksi pidana dalam perundang-undangan perpajakan diharapkan dapat memperkuat dalam penegakan hukum. Hal ini, dapat dimengerti mengingat perundang-undangan perpajakan merupakan implementasi kebijakan pemerintah di bidang pajak yang merupakan salah satu unsur pendapatan negara yang sangat potensial. Selanjutnya
mengenai
penetapan
sanksi
pidana
dalam
perundang-undangan perpajakan dan Hukum Administrasi pada umumnya, Muladi8 mengatakan : "Akhir-akhir ini banyak sekali perundang-undangan dalam Hukum 8
Muladi, Kapita Selektas Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal.42.
20 Administrasi mencantumkan sanksi pidana untuk memperkuat sanksi administratif. Logikanya adalah, hendaknya sanksi pidana tersebut didayagunakan apabila sanksi administratif sudah tidak mempan. Namun demikian, langkah-langkah yang bersifat "shock theraphy" misainya dalam bidang perpajakan, lingkungan hidup, hak cipta dan lainlain kadang-kadang perlu dilakukan khususnya yang berhaitan dengan pelaku tindak pidana yang sudah keterlaluan dan menimbulkan kerugian besar.
Namun seperti apa yang tersebut di atas penggunaan
pendekatan moral harus dilakukan terlebih dahulu menyusul langkah hukum administrative. Apabila belum mempan langkah-langkah hukum perdata dapat digunakan sepanjang memungkinkan
dan pengadilan
hukum pidana dapat dipertimbangkan sebagai upaya terakhir. Mengenai sanksi pidana dalam hukum administrasi Negara, pertumbuhan hukum administrasi Negara mengakibatkanpelanggaran undang-undang semakin meningkat, sehingga hampir setiap peraturan baru berdasarkan hukum administrasi Negara mengakibatkan pelanggaran undang-undang semakin meningkat.
Hukum pidana dapat dipandang
sebagai hukum pembantu (hulprecht) bagi hukum Tata Pemerintahan karena penetapan sanksi pidana merupakan salah satu sarana untuk menegakkan hukum tata pemerintahan atau hukum administrasi Negara. Sebaliknya peraturan-peratuan hukum di dalam perundang -undangan a dm in istratif dapat dim asukkan dalam lingkungan hukum pidana. Sejalan dengan demikian tersebut diatas Sudarto9 berpendapat bahwa pembicaraan tentang pidana, biasanya meliputi hakikat kasar dan 9
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat PemhaharuanHukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1983, h. BF3-89.
KajianTerbayap
21 tujuan pidana.
Menyoroti sampai dimanakah efek dari pidana atau
ancaman pidana, maka harus menyangkutkan efek tersebut dengan tujuan yang hendak dicapai.
Orang-orang yang dijatuhi pidana lah yang
mendapat pengaruh langsung dari pidana yang dijatuhkan tersebut baik jasmaninya maupun rokhaniah. Oleh karena itu pengaruh preventif yang dating dari pidana bagi si terpidana maka harus dibina sedemikian rupa sehinggasetelah selesai menjalani pidana nya, yang bersangkutan menjadi “lebih baik” daripada sebelum yang bersangkutan mendapatkan pidana. Selanjutnya
Sudarto
mengatakan bahwa memang benar pidana itu selalu mempunyai pengaruh preventif general, disebabkan manusia mempunyai perasaan dan kemampuan kodrati untuk berorientasi kepada segala kejadian di dunia luarnya. Sanksi pidana yang lebih tajam dan keras di banding dengan sanksi dalam cabang hukum yang lain karna sifat sanksi yang berbeda, inilah yang menyebabkan sanksi pidana selalu dimanfaatkan dalam penegakan hukum.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur
adanya kewajiban bagi masyarakat seringkali disertai ancaman pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Fenomena ini terjadi hampir pada setiap perundang-undangan termasuk juga perundang-undangan perpajakan.
Oleh karena itu sudah
selayaknya peraturan perundang-undangan perpajakan memanfaatkan sanksi pidana, mengingat perundang-undangan perpajakan menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk memungut pajak pada masyarakat yang pada akhirnya untuk meningkatkan pendapatan Negara.
22 3. Jenis Sanksi Pidana Dalam Perundang-undangan Perpajakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun
2000, yang
diubah dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (disingkat UU KUP) mengatur ketentuan pidana dalam pasal-pasalnya, antara lain : a.
Pasal38. Barang siapa karena kealpaannya tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT), atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda setinggitingginya dua kali jumlah pajak yang terutang yang tidak dibayar atau kurang dibayar. Ketentuan pasal 38 sebagaimana ternyata diatas berkaitan dengan SPT baik mengenai penyampaian SPT maupun isi SPT.
Pengisian SPT
dengan keterangan yang tidak benar dapat mengakibatkan wajib pajak mendapatkan sanksi pidana berupa pidana kurungan. b.
Pasal 39 1) Barang siapa dengan sengaia : a) Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau. Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak gaimana dimaksud Pasal 2; atau b) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; menyampaikan; atau c) Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;atau d) Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau e) Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen Yang pals; atau dipalsukan seolah-olah benar atau f) Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau\ g) Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
23 Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dapat diancam dengan pidana penjara selamalamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar. Ketentuan Pasal 39 ayat (1) sebagaimana tersebut diatas menjatuhkan pdiana kumulatif berupa pidana kurungan dan denda bagi wajib pajak yang melakukan pelanggaran. 2) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (1), dilipatduakan apabila seseorang melakukan tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat satu tahun terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang diiatuhkan. Ketentuan ayat (2) adalah bagi wajib pajak yang mengulang perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pengulangan
perbuatan pidana dikenald engan istilah residivis. 3 ) Barang siapa melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NF54P atau Nomor Pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud Pasal 39 ayat (1) huruf a atau menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud Pasal 39 ayat (1) huruf C dalam rangka mengajukan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun dan dengan setinggi-tinggi nya empat kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/dan kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Ketentuan pada ayat (3) untuk percobaan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1).
Percobaan pidana mendapatkan sanksi
pidana penjara. c.
Pasal 41 1 ) Pejabat yang dikarenakan kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat jura rupiah; 2 ) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebankan tidak dipenuhinya kewajiban atau seseorang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana
24 penjara paling lama dua tahun dan atau denda yang paling banyak sepuluh juta rupiah; 3 ) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiannya dilanggar. Berdasarkan ketentuan pasal 38 dan pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan, maka telah jelas mengatur ruang lingkup atau batasan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan serta sanksi lainnya. Ketentuan Pasal 38 dan Pasal 39 tersebut diberlakukan kepada Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak.
Perbuatan pidana di
bidang perpajakan tersebut dapat digolongkan berupa percobaan, kealpaan, kesengajaan dan pengulangan. Meskipun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, telah mengatur perbuatan yang dilarang dalam bidang perpajakan, namun Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (selanjutnya disebut Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan disingkat UU-PBB), juga mengatur tindak pisana yang berhubungan dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagaimana ternyata dalam Pasal 24 dan Pasal 25 sebagai berikut: Pasal 24 UU-PBB Barangsiapa karena kealpaan nya: (a) Tidak mengembalikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) kepada Dirjen Pajak atau; (b) Menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga menimbulkan kerugia kepada Negara dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda setinggitingginya dua kali pajak terutang. Ketentuan pasal 24 UU-PBB berkaitan dengan penyampaian SPOP termasuk
25 keterangan yang ada dalam SPOP yang tidak benar atau tidak lengkap. Pasal 25 UU-PBB (1) Barang siapa dengan sengaja: a) Tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada Dirjen Pajak ; b) Menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar; c) Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; d) Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya; e) Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan sehingga menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya due tahun atau denda setinggi-tingginya limakali pajak yang terutang. (2) Terhadap bukan Wajib Pajak yang bersangkutan yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan e, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya limakali pajak yang terutang. (3) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dilipatduakan apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarkan denda. Demikian beberapa pasal dalam undang-undang di bidang perpajakan Yang memanfaatkan sanksi pidana untuk memperkuat sanksisanksi yang telah ada. Disamping itu, terdapat juga pasal-pasal Yang bersanksi pidana yang ditujukan kepada pihak ketiga, Yang berarti bukan Wajib Pajak sebagaimana telah diuraikan di atas. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 41A, Pasal 415, dan Pasal 43 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan.
26
BAB III PENERAPAN KEBIJAKAN DAN PENEGAKAN SANKSI PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN 1.
Penerapan Kebijakan Penetapan Sanksi Pidana Penetapan sanksi pidana sebagaimana diuraikan sebelumnya bertujuan untuk menegakkan hukum.
Untuk dapat melakukan analisa
mengenai penetapan sanksi pidana dalam perundang-undangan di bidang perpajakan, maka akan ditinjau dari berapa aspek, yaitu: a.
Pola sanksi pidana
b. Pola berat ringannya pidana c. Pola perumusan pidana d. Masalah kualifikasi tindak a. Pola Jenis Sanksi Penetapan jenis-jenis ancaman pidana dalam Hukum Pidana, merupakan suatu bagian dari keseluruhan kebijakan kriminal.
Hal ini
dipandang penting karena disamping untuk menyediakan ruang sarana penanggulangan tindak pidana yang dapat dieprgunakan hakim sekaligus untuk membatasi kewenangannya dalam penggunaan sarana pidana lain selain dari jenis pidana yang telah disediakan. Semakin banyak jenis sanksi pidana yang tersedia semakin baik, makin baik, karena dengan demikian hakim menjadi lebih leluasa untuk memilih di antara sanksi pidana yang ada. Lebih-lebih jika jenis sanksi pidana tersebut, merupakan jenis-jenis alternatif pidana pencabutan kemerdekaan yang berupa tindaka-tindakan. Dalam perundang-undangan di bidang perpajakan, ancaman
27 pidana digunakan sebagai sarana untuk memaksa dipatuhinya ketentuanketentuan Yang ada dalam perundangundangan perpajakan. Untuk itu, jenis-jenis sanksi pidana berupa perampasan kemerdekaan, denda atau kumulasi keduanya dan tindakan non custodial lainyna perlu diperhatikan. Sementara itu, dalam undang-undang perpajakan jenis sanksi pidana ditetapkan secara kumulatif dengan pidana denda. Jadi baik pidana penjara ataupon sanksi pidana kurungan dikumulasikan dengan pidana denda. Hal ini sebenarnya menunjukkan sanksi pidana betul-betul diharapkan agar menjadi "sarana pemaksa" karena terlihat cukup berat. Pola jenis sanksi berhubungan dengan pola pembagian jenis pidana. Misal, menurut pola KUHP (Kitab UndangUndang Hukum Pidana), untuk -keiahatan" pada umumnya diancam dengan pidana penjara atau denda, sedang untuk "Pelanggaran" pada umumnya diancam dengan pidana kurungan atau denda. Sementara konsep KUHP tidak
lagi
membedakan
jenis
tindak
pidana
berupa
"kejahatan-
dan "pelanggaran". namun adanya pengklasifisian tindak pidana Yang bobotnya/sifatnya dipandang "sangat ringan". atau "berat", atau "sangat serius-. Untuk delik Yang sangat ringan, hanya diancam dengan pidana denda, untuk delik yang dipandang berat diancam dengan pidana penjara atau denda (alternatif), dan untuk delik yang sangat serius diancam dengan pidana penjara saja (perumusan tunggal), atau dalam hal-hal khusus dapat pula dengan pidana mati yang dialternatifkan dengan pidana penjara seumus hidup atau pidana penjara selama-lamanya duapuluh
28 tahun.10 b.
Pola Berat Ringannya Pidana. Apabila dilihat sistem penetapan jumlah ancaman pidana Yang terdapat dalam Undang-Undang Perpajakan. sebagaimana Yang digunakan dalam undang-undang pidana pada umumnya yaitu sistem atau pendekatan absolut. Dengan sistem atau pendekatan absolut, maka setiap tindak pidana ditetapkan -bobot/kualitasnya- sendiri-sendiri, yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum (dapat juga minimum) untuk setiap tindak pidana. Sistem ini, jisebut juga dengan istilah lain seperti indefinite, sistem maksimum atau sistem tradisional. Disebut demikian karena selama ini biasa digunakan dalam praktek legislatif di berbagai negara, termasuk Indonesia.-11 Selanjutnya
mengatakan
bahwa
penggunaan. Sistem ataupendekatan seperti tersebut di
atas,
disamping
Barda
mengandung
Nawawi
beberapa
Arief
keuntungan
juga
membawa
konsekuensi yang cukup sulit dalam menetapkan maksimum pidana khusus setiap tindak pidana. Dengan dianutnya sistem tersebut., maka dalam setiap kriminalisasi, pembuat undang-undang
dihadapkan
"masalah pemberian bobot" dengan menetapkan kuantifikasi ancaman pidana maksimum yang dapat menunjukkan tingkat kesulitan suatu tindak pidana, bukan pekerjaan yang mudah dan sederhana. Untuk itu diperlukan pengetahuan mengenai urut-urutan tingkat atau gradasi nilai dari normasentral masyarakat dan kepentingan-kepentingan hukum
10
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit Citra Aditya Bakti, 1998, hal.172. 11
Ibid., hal.131.
29 yang akan. dilindungi. Tingkat kesulitan seperti yang dikemukakan di atas, akan semakin besar kesulitannya apabila dalam "pemberian bobot" untuk setiap jenis tindak pidana bertolak dari alasan politic, filosofis, dan sosiologis, yang harus tercermin dalain setiap kebijakan sanksi pidana dalam suatu undang-undang. c.
Pola Perumusan Pidana Pada umumnya undang-undang perpajakan, jenis pidana yang dicantumkan dalam perumusan tindak pidana (delik), menggunakan perumusan sebagai berikut 1) Diancam dengan pidana penjara dan denda; 2) Diancam dengan pidana kurungan, dan denda;Diancam pidana kurungan dan atau denda. Berdasarkan bentuk perumusan pidana dalam undangundang perpajakan tersebut di atas, menganut dua sistem perumusan kumulatif dan gabungan antara kumulatif dan alternatif, tetapi apabila melihat bobot ancaman pidana dan denda terlihat kurang kesesuaian, misalnya Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan, ancaman pidananya 2 tahun dan denda 10 juta rupiah, Pasal 41A ancaman pidananya 1 tahun dan denda 10 juta rupiah, sedang Pasal 41B ancaman pidananya 3 tahun dan denda 10 juta rupiah.
d. Kualifikasi Tindak Pidana Undang-Undang
Ketentuan
Umum
Perpajakan,
tidak
lagi
membedakan kualifikasi tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran. Pembagian kejahatan dan pelanggaran justru terdapat dalam UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 (Undang-Undang Ketentuan Umum
30 Perpajakan yang lama), yaitu yang tercantum dalam Pasal 42, yang bunyinya sebagai berikut : (1) (2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 dan Pasal 41 ayat (1), adalah pelanggar. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 dan Pasal 41 ayat (1), adalah kejahatan
Sedangkan ketentuan Pasal 42-nya dicabut dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 1994 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983. Mengenai kualifikasi tindak pidana dalam perundang-undangan sebaiknya disesuaikan dengan KUHP sebagai induk dari perundangundangan pidana. Hal ini didasarkan bahwa perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur tentang ketentuan pidana, akan kembali merujuk atau berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam KUHP bila tidak mengatur dengan jelas. 2. Penegakan Sanksi Pidana Di Bidang Perpajakan Dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, memberikan kewenangan kepda Direktorat Jendral Pajak untuk melakukan penyidikan guna mencari serta mengumpulkan bukti yang diperlukan, sehingga dapat membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi dan menemukan tersangka serta mengetahui besarnya pajak terutang yang diduga digelapkan. Penyidikan pajak yang akhirnya diupayakan adanya pemidanaan merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menegakkan kepatuhan dan untuk mengimbangi kepercayaan yang diberikan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, dan hal ini merupakan lankah dan sanksi terakhir yang diterapkan kepada Wajib Pajak yang tidak
31 dapat mematuhi dan melaksanakan kewajiban perpajakan dengan baik dan benar. Pasal 44 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan jo Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP), menyebutkan penyidik adalah : a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu Sesungguhnya penyidikan patak baru akin dilakukan setelah Direktorat Jenderal Pajak mempunyai dugaan Yang kuat bahwa telah teriadi tindak pidana perpajakan Yang merugikan negara. Duggan Yang kuat harus diperoleh setelah Direktorat Jenderal Pajak mempunyai bukti-bukti Yang cukup, Yang biasanya dikenal sebagai penyelidikan. Tahap-tahap yang harus dilalui cleh penyidik secara keseluruhan adalah sebagai berikut a. Pengamatan. b. Pemeriksaan Bu ti Permulaan Tindak Pidana Fiskal. c. Penyidikan. Penyidikan adalah tahap dimulainya tindakan-tindakan hukum oleh Penyidik Pajak/PPNS Yang membatasi hak-hak asasi seseorang Yang dianggap bertanggungiawab
atas
teriadinya tindak
pidana di tiding
perpajakan (tersangka). Tindakan-tindakan hukum yang dimaksud adalah seluruh tindahan yang menprut undang-undang meniadi wewenang penyidik Yang dapat diterapkan kepada seseorang tersangka dalam
proses
penyidikan. penyidikan dimulai
dengan
dikeluarkannya
Surat
Perintah
Dimulainya Penyidikan (SPDP) Yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal
32 Pajak atau Pejabat Yang mendapat pendelegasian wewenang dari Direktur Jenderal Pajak. Setelah Penyidik Pajak/PPNS menerima sorest perintah penyidikan, makes segera Penyidik Pajak/PPNS memberitahukan secara tertulis saat dimulainya penyidikan pajak kepada Jaksa/Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI. Dalam rangka melakukan penyidikan, Penyidik Pajak/PPNS dapat melakukan upaya paksa seperti yang disebut dalam Undang-Undang
Ketentuan
Umum
Perpajakan,
kecuali
mengenai
penangkapan dan penahanan Yang perlu meminta bantuan Penyidik POLRI. Selanjutnya apabila dirasa cukup sempurna dalam penyidikan, maka Berita Acara Pemeriksaan (BAP) segera dapat dilimpahkan kepada Jaksa/Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI. Demikian seterusnya proses penuntutan dan persidangan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Pidana yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum (KUHAP). Penggunaan sanksi pidana dalam Undang-Undang Perpajakan, jika dilihat dari aspek penegakan hukum yaitu lebih khusus pada penerapan sanksi pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari Penyidik/PPNS sampai pengadilan,
diharapkan
sebagai
"sarana
pemaksa
terakhir"
untuk
mengamankan berbagai kebijakan pemerintah dibidang perpajakan. Hal yang demikian memang dapat dimengerti karena sifat hukum pidana "Yang mengancam- akan meniadi pertiml-)arigan bagi . calon
pelanggar-
perundang-undangan tersebut. Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai pengatur ketertiban dalam masyarakat, maka hukum harus menjalani proses yang panjang dan bertahap, yang dalam garis besarnya aktifitas tersebut diawali pada proses pembuatan hukum itu sendiri sampai akhirnya pada pemberlakuan hukum di
33 masyarakat. Berkaitan dengan hal ini Sutjipto Rahardjo12 mengatakan bahwa : Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan tersbut. Ia merupakan momentum yang memisahkan keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Ia merupakan pemisah antara “Dunia Sosial” dengan “Dunia Hukum”, oleh karena itu sejak saat itu, kejadian dalam masyarakatpun mulai ditumbuhkan pada tatanan hukum : ………… Tunduk pada tatanan hukum berarti tunduk pada penilaian huku, ukuran hukum dan akibat-akibat hukum. Oleh sebab itulah kita berbicara tentang adanya suatu “Dunia tersendiri” yakni dunia hukum. Selanjutnya setelah proses pembuatan hukum, tahap berikutnya adalah pemberlakuan/pelaksanaan hukum di masyarakat atau sering disebut dengan penegakan hukum. Selanjutnya Sutjipto Rahardjo13 menjelaskan bahwa : Dengan berakhirnya pembuatan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, proses hukum baru menyelesaikan satu tahap saja dari suatu perjalanan panjang untuk mengatur masyarakat. Tahap pembuatan hukum masih harus disusul oleh pelaksanaannya secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Itulah yang disebut dengan penegakan hukum itu ……….. tugas penegakan hukum itu dijalankan oleh komponen eksekutif dan dijalankan oleh birokrasi dari eksekutif terebut sering disebut juga birokrasi penegakan hukum Penegakan hukum, apabila dilihat dari cabang-cabang hukum dapat dibedakan adanya
sistem penegakan hukum perdata, sistem
penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Sejalan dengan sistem penegakan hukum itu, terdapat berturut-turut sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum pidana, dan sistem sanksi hukum administrasi. Ketiga sistem penegakan hukum tersebut, masingmasing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau 12
13
Sutjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, 176.
Ibid., hal181.
34 aparatur (alat) penegakan hukum yang mempunyai aturannya sendiri-sendiri. Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebija- kan penanggulangan keiahatan (politik kriminal). Tuivan akhir dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tuivann utama yaitu kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik kriminal, pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (politik social). Dalam upaya penangulangan kejahatan yang wring dilupakan prang adalah seolah-olah terjadi pemisahan yang absolut antara penegakan hukum pidana, penegakan hukum
perdata, dan penegakan
hukum
administrasi. Padahal dilihat dari sistem Mum nasional, ketiga-tiganya mempunyai kedudukan sebagai sub-sistem yang membawa konsekuensi tidak boleh bertentangan situ 3ama lain bahkan. harus saling mendukung.14 Perlunya -keterpaduan/keserasian" dalam penegakan hukum ini penting untuk keberhasilan penanggulangan kejahatan itu sendiri. Kesalahan dalam kebijakan salah satu sub-sistem akan mempengaruhi jalannya tujuan yang hendak dicapai yaitu penanggulangan kejahatan untuk keseiahteraan masyarakat. Penegakan hukum itu pada hakekatnya merupakan kebijakan melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi. tahap aplikasi, dan tahap eksekusi.
Sehingga apabila "terjadi kesalahan dalam kebijakan yang
pertama akan mempengaruhi pada tahap selanjutnya. Dalam tahap formulasi/penetapan sanksi pidana dalam undang14
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal.41.
35 undang perpajakan sebenarnya sudah terlihat adanya kemauan pembentuk undang-undang untuk
memanfaatkan sanksi pidana
sebagai sarana
pemaksa agar dipatuhinya norma-norma perpajakan, tetapi dalam tahap pelaksanaan sanksi pidana tidak nampak dimanfaatkan, atau ada indikasi adanya "ketidakserasian" antara penegakan hukum administrasi dengan penegakan hukum pidana dalam undang undang di bidang perpajakan. Hal ini terlihat dari kasus tindak pidana di bidang perpajakan Yang disidangkan di pengadilan. Baru akhir-akhir ini muncul kasus tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan GAYUS dengan melibatkan berbagai pihak dari aparat penegak hukum dan pejabat perpajakan sendiri. Inipun muncul setelah Komi- sari Jenderal Polisi Susno Duaii Yang dicopot dari jabatanyya "menyanyi". Penggunaan/fungsionalisasi sanksi hukum pidana dalam undangundang perpajakan, jika dilihat dari aspek penegakan hukum yang khususnya pada tahap aplikasi yaitu penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, sampai ke pengadilan, diharapkan sebagai "sarana pemaksa" terakhir untuk mengamankan berbagai kebijakan pemerintah di bidang per- pajakan. Hal Yang demikian memang dapat dimengerti karena sifat hukum pidana "yang mengancam" akan meniadi pertimbangan tersendiri bagi calon pelanggar" undang-undang perpajakan. Tetapi kenyataan mengatakan bahwa "penggunaan sanksi pidana" dalam perundang-undangan perpajakan tidak didukung dengan kebijakan pidana yang baik sehingga penggunaan sanksi pidana terkesan bahwa dalam undang-undang perpajakan dirasakan kurang
sempurna atau
36 ''hambar" jika tidak ada ketentuan pidana. Sehubungan dengan hal itu, Soerjono Soekanto menyatakan balwa agar hukum dapat berfungsi dengan baik, diperlukan keserasian dalam hubungan anta•a empat faktor, yaitu : a. b. c. d.
Hukum atau peraturan itu sendiri; Mentalitas petugas yang menegakkan hukum; Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum; Kesadaran Hukum Keempat faktor tersebut diatas, saling berkaitan dan merupakan
inti dari sistem penegakan hukum. Faktor pertama, undang-undang perpajakan dalam penetapan sanksi pidana masih dirasakan mendandung “masalah” yang mempengaruhi dalam proses penegakan hukumnya. Faktor Kedua, mentalitas/moralitas aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Advokat ) dan pejabat yang mempunyai kewenangan dibidang perpajakanpun, dalam kasusnya GASUS menunjukkan betapa bobroknya mentalitas/moralitas mereka. Pajak masih jauh dari harapan, bahkan melakukan perilaku menyimpang untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah (penggelapan pajak, kolusi, melakukan penyuapan penghindaran pajak, melakukan penyuapan, dan sebagaimnya.
37
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan a. Penetapan sanksi pidana dalam undang-undang perpajakan sebenarnya menunjukkan bahwa sanksi pidana (hukum pidana) didayagunakan dalam rangka penegakan hukum di bidanPenetapan sanksi pidana dalam undang-undang perpajakan sebenarnya menunjukkan bahwa sanksi pidana (hukum pidana) didayagunakan dalam rangka penegakan hukum di bidang perpajakan. Hal ini terlihat pula dengan pola penetapan sanksi yang sama dengan undang-undang pidana lain yang menitikberatkan baik sanksi pidana penjara atau hurungan dengan pidana denda secara kumulatif. b. Pada
tahap
pelaksanaan
tidak
terlihat
sanksi
(hukum
pidana)
dimanfaatkan, sehingga terlihat di masyarakat bahwa tidak pernah terjadi kasus tindak pidana perpajakan. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap penetapan
sanksi
pidana
dalam
undang-undang
perpajakan
dititikberatkan pada hukum materiil, sedang hukum formilnya menunjuk Kitab Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP). Padahal
sebenarnya perlu tambahan beberapa ketentuan tentang penyelidikan dan penyidikan di bidang perpajakan, mengingat masalah pajak sangat rumit. Kasus perpajakan baru terungkap setelah muncuinya kasus makelar kasus (Markus) di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Gayus dengan kawankawan.
38
2. S a r a n Dalam perubahan perundang-undangan di bidang perpajakan di masa mendatang, perlu diperhatikan kebijakan formulasi sehingga sanksi pidana dapat dirumuskan secara tepat, seperli perlunya pengaturan sanksi terhadap korporasi. Dalam pelaksanaan undang-undang perpajakan, perlu dioptimalkan penyidik pajak (PPNS) yang profesional dan independen, sehingga penegakan hukum pidana di bidang perpajakan dapat dilakukan dengan baik.
39
DAFTAR BACAAN
Banda
Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Penerbit Balai Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang, 1-996.
---------------------------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Pidana,
---------------------------, Beberapa Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. Prof. Firmansyah, Ph.D., Pajak Dalam Struktur Pendapatan Negara, Sekretaris Kabinet Jun Cai, SH. M.Hum dan Amelia Tobing, SH, Tindak Pidana Perpajakan Oleh Wajib Pajak, 04 Juni 2010, http://baltyra.com/2010/06/04 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995. --------------------------, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit Alumni,1998. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Penerbit Biwa Aksara, Jakarta, 1987. Rachmat Sumitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, Penerbit, Reflika Aditama, Bandung, 1998. Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung , 1986. -------------------------, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru.. Bandung, 1983. Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Universitas Indonesia (U!) Press. 1983. Sutjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
40