Negara Hukum dan Peran Hakim dalam Masyarakat Modern
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua hadirin atas kedatangannya pada acara ini, serta atas undangan yang diberikan kepada saya untuk berbicara di sini. Saya sudah 6 hari ini berada di Indonesia. Merupakan sebuah kehormatan bagi saya untuk dapat mengunjungi negeri yang mengagumkan ini. Hari ini saya hendak membahas tentang negara hukum dan peran hakim dalam masyarakat modern. Peran hakim itu sangatlah penting. Kata-kata yang tertulis dalam konstitusi manapun, hanya akan dapat mencapai makna nyatanya dan secara hukum berlaku efektif, ketika terdapat suatu struktur pemerintahan yang baik, termasuk di dalamnya kekuasaan kehakiman yang independen.1 Untuk menjaga berdirinya negara hukum, bagaimanapun juga, disyaratkan pula adanya suatu usaha bersama para pemegang otoritas dan warga negara dalam kehidupan bermasyarakat.
1. Negara hukum: apa arti istilah itu? Dalam pidatonya di hadapan parlemen pada tahun 1766, William Pitt mengucapkan kata-kata berikut ini: “Setiap rumah seseorang adalah istananya [sendiri]. Walaupun angin dari keempat penjuru boleh saja berhembus melewatinya, namun Raja Inggris tak boleh memasukinya.” Dalam negara demokrasi yang berlandaskan hukum, bahkan pemerintah sekalipun terikat pada hukum yang memuat jaminan perlindungan kebebasan bagi setiap individu, termasuk perlindungan bagi kelompok minoritas. Di dalam negara hukum, pemerintah mendorong rasa hormat terhadap hukum di antara semua warga negara, serta menghambat berkembangnya praktek main hakim sendiri di antara mereka. Di dalam negara hukum, hukum diberlakukan setara kepada siapapun juga. Sebagaimana diutarakan oleh Lord Bingham, mantan Ketua Mahkamah Agung Inggris dan Wales: “Jika anda aniaya seekor penguin di dalam kebun binatang London, anda tak akan dapat lepas dari tuntutan hukum hanya karena anda adalah Presiden Republik.” Negara
hukum
setidak-tidaknya
meliputi
tiga
gagasan
berikut:
pemisahan
kekuasaan,
perlindungan hak-hak asasi manusia, serta akses yang terjangkau ke pengadilan yang independen. Secara umum: supremasi hukum, bukan [kekuasaan] orang. “Benarkah di negara anda warga negara dapat menggugat pemerintah di pengadilan?” tanya seorang delegasi dari negara demokrasi muda dalam kunjungannya ke Senat Amerika Serikat. “Tentu saja,” begitu jawabannya. “Dan apakah pemerintah pernah kalah?” “Tentu pernah.” “Oh, lalu apakah kemudian hakimnya dipecat?” “Tidak.” Delegasi tersebut heran dan seperti tak percaya.
1
Lihat S. Rabiner, ‘Justice Scalia tells Senate “Every Banana Republic has a Bill of Rights” ’, http://blogs.findlaw.com/strategist/2011/10/scalia-tells-senate-every-banana-republic-has-a-bill-ofrights.html?DCMP=NWL-pro_top. Video persidangannya dapat didapatkan di sini: http://www.judiciary.senate.gov/hearings/hearing.cfm?id=8bbe59e76fc0b6747b22c32c9e014187
1
Tema-tema mendasar ini sepertinya memang abstrak. Namun, coba anda renungkan sejenak, apa yang mungkin terjadi sebagai kebalikan dari negara hukum ini. Baru-baru ini, saya melihat situasi di Republik Demokratik Kongo yang di dalam sebuah koran di Belanda digambarkan sebagai berikut.
“Para
politisi
mencuri
dari
Negara
tanpa
terkena
hukuman.
Pemerintah
tidak
membayarkan gaji atau gaji tersebut “terselip”, sehingga guru-guru meminta uang sogokan dari para orang tua. Tak ada aparat kepolisian yang akan menangani pengaduan tindak pidana tanpa “pelicin” dalam bentuk uang tunai. Wartawan-wartawan membayar aparat keamanan untuk menghindari penangkapan. Tentara yang tak dibayar melindungi penjarahan dan para anggota paramiliter melakukan pemerkosaan.” Korupsi melemahkan negara hukum. Apa yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dan mengapa gagasan ini begitu penting, celakanya justru terlihat jelas dalam situasi-situasi di mana gagasan tersebut tak terwujud. Konkretnya, dalam situasi seperti itu berarti tak ada kebebasan berekspresi, tak ada hak atas peradilan yang jujur dan adil, serta tak ada hak atas perlindungan diri pribadi (privasi) di rumah anda sendiri. Atau, setidak-tidaknya, rakyat hanya dapat menikmati hak-hak semacam itu sebatas apa yang diperbolehkan oleh para penguasanya. Bukan hanya salah secara moral saja, namun situasi tersebut sepertinya juga tak mungkin dapat bertahan dalam waktu yang lama. Sejarah Eropa telah menunjukkan hal itu dan “musim semi Arab” tampaknya akan mengukuhkannya. Juga di negara-negara Arab, rakyat menuntut hengkangnya rezim penindas, serta menuntut jaminan yang lebih baik untuk kebebasan politik, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia. Mereka menyerukan diambilnya tindakan-tindakan untuk memberantas korupsi, mengatasi pengangguran, serta menanggulangi kekurangan pangan. Kita tahu bahwa tak ada sistem yang lebih baik dari negara demokrasi berlandaskan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sebuah
demokrasi
kokoh
yang
berlandaskan
hukum
menyediakan
iklim
terbaik
bagi
perkembangan ekonomi. Siapa yang akan mau berbisnis dengan sebuah negara di mana perjanjian-perjanjian tak dapat dilaksanakan dan satu-satunya yang pada akhirnya menentukan hanya apa yang dipikirkan oleh penguasanya, tanpa adanya pengawasan dan keseimbangan sama sekali? Dibutuhkan waktu, integritas, dan komitmen tanpa henti, untuk membangun sebuah negara demokrasi yang berlandaskan hukum di mana hukum lebih dari sekedar “kata-kata di atas kertas”, di mana tindakan-tindakan pemerintah benar-benar terikat pada aturan-aturan hukum, dan di mana akses ke pengadilan terjangkau oleh warga negaranya. Dan kualitas-kualitas itu harus ditunjukkan, bukan hanya oleh pengadilan-pengadilan yang dalam hal ini memegang peranan penting, namun juga oleh dua cabang kekuasaan pemerintahan yang lain. Perwakilan-perwakilan dari lembaga-lembaga tersebut memikul sebuah tanggung jawab bersama. Pemegang kekuasaan di dalam setiap cabang kekuasaan pemerintahan itu bertanggungjawab untuk menjelaskan, secara terus menurus, satu dari pelajaran-pelajaran sejarah terpenting: bahwa kekuasaan kehakiman yang independen merupakan prasyarat mutlak untuk berdirinya sebuah negara demokrasi berlandaskan hukum. Dan bahwa itulah wujud perlindungan yang ditawarkan oleh pengadilan bagi kepentingan-kepentingan dan hak-hak kelompok minoritas.
2. Pengadilan tak punya program (politik) Dalam menjalankan tugasnya, pengadilan-pengadilan tak punya agenda politik tertentu yang harus diikuti. Dalam hal ini, mereka berbeda dari politisi atau pemerintah. Para politisi biasanya bekerja
2
berdasar sebuah manifesto yang dibuat oleh partai mereka, yaitu sebuah kumpulan gagasan tentang berbagai permasalahan, seperti penyelenggaraan negara, tingkat intervensi pemerintah yang diperbolehkan, keamanan umum, sistem keuangan, energi yang berkelanjutan, masyarakat multikultural, dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut berbeda dari satu partai ke partai yang lain. Program-program politik juga menyatakan tujuan-tujuan yang hendak diperjuangkan oleh partai jika partai tersebut berkuasa, berikut cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Gagasan-gagasan ini dikembangkan lebih lanjut dalam pernyataan-pernyataan sikap yang kemudian dibuat, baik di dalam, maupun di luar parlemen. Politisi yang terpilih menjadi anggota parlemen atau menduduki jabatan politik akan menjabarkan lagi tujuan dan cara mereka masing-masing. Pengadilan-pengadilan bekerja dengan cara yang sama sekali berbeda. Hakim-hakim tidak mempunyai manifesto. Ini bahkan merupakan hal yang mendasar bagi pelaksanaan fungsi mereka. Mereka terus waspada akan adanya bias, prasangka, serta pendapat-pendapat yang sepertinya mutlak. Mereka mencoba untuk memahami dan membuka ruang untuk mempertimbangkan argumen-argumen baru dan tak terduga yang diajukan kepada mereka. Pendeknya, mereka selalu bersedia dan wajib mengadopsi sikap yang segar dan obyektif setiap harinya. Hakim yang mengaku menjalankan tugas-tugasnya berdasar keyakinan politik sosial demokrat, liberal, atau keyakinan agama-agama tertentu, akan gagal untuk memahami dan justru melemahkan posisinya sendiri. Seorang politikus adalah seseorang yang berharap membantu masyarakat untuk maju. Sementara seorang hakim, dalam hal ini – perhatikan juga konteksnya, karena hanya terkait pelaksanaan profesinya saja – tidak mengharapkan apapun. Dia mengizinkan diajukannya suatu perkara kepadanya untuk direnungkan. Dia mendengar, membaca, mencoba untuk mengapresiasi dampak utuh dari argumen-argumen yang diutarakan, serta mempertanyakan apakah mungkin terdapat argumen-argumen lain. Lalu dia sampai pada sebuah putusan, dengan segala rasa hormat atas apa yang sebelumnya telah disampaikan kepadanya. Dalam hal ini, karenanya, hakim tidak berpegang pada suatu program politik tertentu, meskipun dalam menangani suatu perkara dia tentu harus memperhitungkan keamanan umum, masyarakat multikultural, serta sistem keuangan. Dia harus memutus, karena dia tak boleh menolak untuk memberikan putusan. Bukan hanya perbedaan-perbedaan institusional dan fungsional saja yang membedakan politisi dan hakim. Terdapat juga sebuah perbedaan praktis yang dapat dilihat dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Tugas hakim adalah memberikan putusan yang obyektif dan independen dalam kasuskasus tertentu. Anda dapat menggambarkan pekerjaan ini sebagai sebuah kerajinan/keterampilan: dia mencoba untuk mendalami fakta-fakta yang diajukan kepadanya, sebagaimana seorang tukang kayu yang mengukur, menggergaji, mencocokkan ukuran-ukuran kayunya, serta mengencangkan sekrup. Kemudian (meskipun beragam proses seringkali berjalan bersamaan), hakim harus menetapkan aturan hukum mana yang dapat diterapkan pada fakta-fakta tersebut. Inipun berkaitan dengan soal keterampilan. Bagaimanapun, hakim-hakim bukanlah kepunyaan partai manapun di parlemen yang dapat mengendalikannya dengan tali kekang. Begitu juga sebaliknya, mereka mempunyai gagasangagasan mereka sendiri. Jika hakim-hakim dihadapkan pada sebuah perkara yang telah disediakan jawabannya oleh pembuat undang-undang, mereka akan menggunakan solusi yang telah ditentukan sebelumnya. Namun, seperti kita ketahui, masalahnya tidak selalu sesederhana itu.
3
3. Keadilan sebagai sebuah misi Apakah para hakim agung mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu yang dituju, tanpa adanya program politik? Ya. Keadilan adalah sebuah misi dan pedoman bagi seorang hakim tak kurang dari keadilan. Namun, keadilan tak akan mungkin berupa suatu program yang menyediakan petunjuk-petunjuk yang merinci tentang bagaimana harus bertindak dalam kasuskasus spesifik. Sebagai sebuah misi, pertama-tama para hakim diwajibkan untuk adil dalam menangani perkara (pelaksanaan prosedur). Ini bukan berarti sekedar pemenuhan suatu prasyarat formal saja: para hakim dituntut untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Namun, bukan berarti ini dengan sendirinya akan menghasilkan suatu keluaran yang menuju pada satu arah tertentu atau sebaliknya. Seringkali, terdapat ruang diskresi. Dalam hal ini, hakim harus menyerap semua informasi dan baru kemudian sampai pada sebuah putusan. Bisa jadi dia harus mempertimbangkan pentingnya penggalakan penggunaan energi berkelanjutan melawan harapan yang sah (atas peraturan yang berlaku), atau pentingnya hubungan-hubungan baik antara berbagai kelompok etnis melawan pentingnya intervensi pemerintah yang tak boleh terlampau jauh. Di samping itu, seorang hakim bukanlah sebuah pulau yang berdiri sendiri, tapi dia juga harus memperhatikan kepastian hukum, karena warga negara mempunyai suatu harapan yang sah atas diterapkannya hukum secara konsisten. Terkait hal ini, sebuah pengadilan tertinggi akan memainkan peranan yang penting dan tak ada duanya.
4. Keberanian, ketepatan dan pikiran yang independen Hakim kita bisa saja menghasilkan suatu putusan yang tidak disukai oleh salah satu pihak, atau tidak secara langsung dapat diterima oleh kelompok-kelompok etnis terkait, atau oleh politisi atau pemerintah.
Mungkin
dia
sudah
menjajagi
kemungkinan-kemungkinan
ini
sebaik-baiknya
sebelumnya, sehingga memberikannya dasar-dasar alasan yang kuat dan jelas bagi putusannya itu. Namun, fakta bahwa sebuah putusan tidak disukai, bukan berarti dengan sendirinya bahwa pengadilan-pengadilan
karenanya
kehilangan
legitimasinya.
Justru
inilah
peran
kekuasaan
kehakiman sesungguhnya: untuk mewujudkan keadilan dalam perkara-perkara spesifik, terlepas dari apakah hasilnya kemudian memuaskan sebagian orang atau tidak. Dan justru dalam situasisituasi seperti inilah para aparat peradilan dapat menunjukkan bahwa mereka adalah hakim-hakim yang bagus, serta memperlihatkan keberanian dan ketepatan mereka. Apa yang ingin saya jadikan sebagai pusat perhatian saya di sini, tugas hakim bertujuan untuk menegakkan
keadilan
dalam
perkara-perkara
tertentu,
bahkan
jika
putusannya
ternyata
membentur kuatnya pandangan-pandangan umum yang berkembang di masyarakat. Para hakim gagal memahami tugas mereka, jika mereka hanya sekedar mengikuti pandangan-pandangan itu saja. Jangan salah pahami dulu pendapat saya, karena di sini saya tidak sedang mengkritisi penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau mediasi. Justru sebaliknya. Dalam banyak kasus, metode-metode tersebut dapat lebih bermanfaat daripada penggunaan proses peradilan, atau dapat juga mengikutinya. Namun, apabila para pihak ingin atau perlu mendengar pendapat pengadilan, maka terserah pengadilan untuk memutus seperti ini atau seperti itu, atau memerintahkan dijalankannya suatu putusan yang memberikan keadilan terkait hal-hal tertentu dalam perkara itu dan kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya.
4
Bahwa terkadang pengadilan harus mengambil sikap yang bertentangan dengan pendapat umum atau mengutarakan pandangan yang dianggap negatif dalam suatu perkara tertentu, seharusnya itu tak membuatnya malu untuk mengutuk tindakan-tindakan penguasa jika memang itu diperlukan, memutus bebas terdakwa meskipun publik menuntutnya dihukum, serta menghukum terdakwa sekalipun dukungan untuk pembebasannya terdengar dari setiap sudut. Hal ini, tentu saja, menuntut putusan yang disertai pertimbangan mendalam dan menyeluruh. Putusan yang dapat menjelaskan mengapa hakim mengambil putusan yang bertentangan dengan pendapat umum yang berlaku itu. Terkadang sikap ini membutuhkan segumpal kepercayaan pada diri sendiri. Di sisi lain, para hakim juga kadang-kadang perlu memiliki rasa patuh pada aturan yang berlaku, apabila mereka tahu bahwa putusan mereka tidak akan dikuatkan pada tingkat banding atau tingkat kasasi. Jika itu terjadi, seharusnya mereka mewajibkan para pihak untuk mencari upaya hukum lebih lanjut. Namun, terkadang juga mereka harus berani untuk menuju ke suatu arah baru, untuk menunjukkan sikap kreatif dari ketidakpatuhan. Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, menjadi seorang hakim menuntut keberanian dan juga ketepatan.
5. Legitimasi fungsional dan institusional Dengan bertindak seperti itu, pengadilan-pengadilan memberikan legitimasi pada putusan-putusan mereka dan berharap dapat menumbuhkan kepercayaan. Akan tetapi, legitimasi itu tidak didasarkan penundukan pada harapan-harapan “kelas penceloteh” [pengamat politik, red.]. Mengutip sebuah artikel yang ditulis oleh Gibson dan Caldeira beberapa tahun yang
lalu: “Berdasarkan teori legitimasi, dalam situasi-situasi tertentu pengadilan
mendapatkan otoritas moral yang menempatkannya di atas politik dan memberikannya kebebasan untuk membuat putusan-putusan yang tidak populer. Otoritas (atau legitimasi) moral ini berarti bahwa orang-orang menerima putusan-putusan pengadilan, meskipun mereka sesungguhnya tak sependapat, karena mereka memandang pengadilan sebagai institusi yang pantas untuk membuat putusan-putusan semacam itu.”2 Saya rasa penalaran [Gibson dan Caldeira] itu didasarkan pada gagasan tentang pengadilan yang jujur dan adil, yaitu meliputi diperhatikannya semua kepentingan terkait suatu perkara, dipertimbangkannya kepentingan-kepentingan tersebut, ditentukannya relevansi kepentingankepentingan itu, serta pada akhirnya diambilnya sebuah putusan yang sebaiknya dilakukan dalam batas waktu yang wajar. Untuk melaksanakannya, pengadilan didukung oleh sebuah sistem hukum yang memuat seperangkat aturan-aturan tertentu yang seringkali disuling dari gagasan-gagasan dan asas-asas yang telah ada berabad-abad lamanya. Aturan-aturan tersebut mencerminkan nilainilai utama, serta tak jarang mempunyai sebuah makna intrinsik, mengungkapkan perasaanperasaan yang berurat dan berakar tentang apa yang dimaksud dengan keadilan. Bayangkan saja, misalnya, asas kepemilikan, perlindungan atas nyawa manusia, atau perlindungan kehidupan bermasyarakat dari intervensi pemerintah yang terlampau jauh.
2
James L. Gibson dan Gregory A. Caldeira, “Defenders of Democracy? Popular acceptance and the South African Constitutional Court”, Journal of Politics, Vol. 65, No. 1, February 2003 (hlm. 1-30), hlm. 2.
5
6. “Tata bahasa masyarakat” Melalui putusan-putusan yang didasarkan pada keadilan dan diputuskan secara jujur dan adil, pengadilan memberikan sebuah kontribusi penting bagi sistem hukum yang akan saya sebut sebagai “tata bahasa masyarakat”, meminjam ungkapan yang pernah digunakan beberapa tahun yang lalu oleh mantan Perdana Menteri Perancis Dominique de Villepin. Tanpa adanya tata bahasa semacam itu, suatu masyarakat tak dapat berfungsi, kalau tidak bisa dibilang tak akan ada. Dengan melengkapi tata bahasa tersebut, serta menggunakannya dengan tepat, pengadilan dapat melahirkan suatu gagasan akan adanya stabilitas dan keterandalan. Ia tak rentan terhadap munculnya mode-mode sesaat yang mudah berubah. Apa yang harus ia hindari adalah berenang mengikuti arus atau meliuk-liuk seperti alang-alang tertiup angin. Ia harus tetap kokoh berdiri tegak. Hanya dengan begitu, pengadilan dapat berkontribusi pada stabilitas masyarakat. 7. Pentingnya informasi dan pendidikan Hakim hanya dapat memainkan peranannya secara efektif, jika gagasan kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak telah cukup diterima di dalam masyarakat. Ini membawa saya pada topik terakhir saya, yaitu topik yang sangat penting untuk melindungi hubungan-hubungan konstitusional yang sehat di dalam negara demokrasi yang berlandaskan hukum. Dan itu adalah kebutuhan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat luas mengenai hubungan-hubungan itu. Saya menggarisbawahi hal tersebut, karena ini menunjukkan betapa kuat ketergantungan kualitas negara hukum pada penduduk suatu negara. Negara hukum tersandang di bahu mereka dan melalui mekanisme demokrasi nasib negara hukum ini selanjutnya akan ditentukan. 8. Jelaskan dan tunjukkan Terdapat empat unsur yang sangat penting terkait diterimanya negara hukum oleh masyarakat. Pertama, syarat adanya putusan-putusan yang konsisten. Kedua, mendidik masyarakat tentang negara hukum. Ketiga, pelaksanaan kesadaran diri dan ketepatan bertindak dari mereka yang berkuasa, ketika mereka berkomentar tentang bagaimana pengadilan bekerja, serta keempat, memberikan informasi kepada masyarakat tentang kerja-kerja kita, serta peran kita sebagai hakim. Konsistensi Jika masyarakat mempunyai pengalaman bahwa hasil dari intervensi para hakim lebih tergantung pada kehendak (pribadi) para hakim yang memutus ketimbang didasarkan pada subtansi hukum, maka kekuasaan kehakiman tidak akan mendapatkan kewibawaan. Pendidikan “Pengetahuan tentang tata pemerintahan kita tidaklah diwariskan (secara genetik) melalui lungkang gen, namun itu harus dipelajari,” ujar Sandra Day O’Connor, perempuan pertama yang berdinas pada Mahkamah Agung Amerika Serikat. Penelitian telah menunjukkan bahwa sementara dua pertiga warga negara Amerika dapat menyebutkan nama anggota dewan juri American Idols, hanya 15%-nya saja yang tahu nama Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat. Lebih memprihatinkan lagi, tak lebih dari sepertiga penduduk Amerika dapat menyebutkan tiga cabang kekuasaan pemerintahan. Sejak pensiun, O’Connor telah berperan sebagai pelopor dalam mendidik masyarakat tentang negara hukum. Di Belanda, Prodemos, Rumah untuk Demokrasi dan Negara Hukum, merupakan sebuah bentuk inisiatif yang layak dipuji dalam memainkan peranan penting dan produktif terkait pendidikan masyarakat ini. Mungkin ada bagusnya juga jika para advokat, hakim, serta jaksa, mengunjungi sekolah-sekolah untuk berbicara mengenai pekerjaan mereka dan negara hukum. Para pensiunan
6
mungkin dapat memainkan peranan yang bermanfaat dalam aktivitas-aktivitas seperti ini – bagaimanapun juga, seperti dikatakan sendiri oleh O’Connor: “Hakim tua itu seperti sepatu tua. Semua telah usang, kecuali lidahnya.” Tanggapan yang lebih terukur Komentar-komentar dari perwakilan-perwakilan tiga cabang kekuasaan pemerintahan seharusnya tidak melemahkan kepercayaan publik kepada institusi-institusi negara. Karenanya, mereka memikul tanggung jawab untuk mengutarakan pendapatnya dengan cara yang moderat, sekalipun dalam menanggapi suatu insiden tertentu. Mereka juga seharusnya menahan diri untuk tidak membebani pengadilan dengan suatu instrumen yang sepertinya ditujukan untuk meningkatkan keamanan umum, misalnya, namun kenyataannya tak mungkin dilaksanakan, sehingga praktis hanya menimpakan kesalahan pada pengadilan. Sejalan dengan contoh ini, jika naiknya anggaran kepolisian berakibat pada naiknya perkara-perkara pidana, maka kapasitas kejaksaan dan pengadilan juga harus ditingkatkan. Ini bukan berarti bahwa tak ada kritikan yang boleh diungkapkan terhadap kekuasaan kehakiman: kita terbuka pada komentar kritis. Pada kenyataannya, keseluruhan sistem banding itu bahkan didasarkan pada kesadaran bahwa hakim juga dapat berbuat salah. Kritik membuat kita tetap menginjak bumi. Namun, dalam debat publik kritik-kritik itu semestinya diungkapkan juga dengan penghargaan atas posisi kita. Kritik yang dikeluarkan tidak pada waktunya atau dilakukan dengan sembrono akan merusak kekuasaan
kehakiman,
serta
dapat
mengganggu
keseimbangan
kekuasaan di dalam negara. Apa yang hendak saya coba sampaikan, jika para hakim mengungkapkan keprihatinannya terkait reaksi
para
politisi
atau
pembentuk
opini
atas
putusan-putusan
mereka
yang
terlalu
menyederhanakan permasalahan, itu bukan soal ketidakmampuan untuk menerima kritik. Tunjukkan kepada orang-orang apa yang anda lakukan Hasil kerja kekuasaan kehakiman menuntut penjelasan. Kita tak dapat hanya sekedar melontarkan putusan-putusan atau gambar-gambar proses persidangan ke wilayah publik. Tindakan itu tidak menguntungkan siapapun juga. Pengetahuan mengenai konteksnya juga sangat dibutuhkan, supaya orang-orang benar-benar memahami apa yang kita lakukan. Selama bertahun-tahun, pengadilan-pengadilan di Belanda semakin baik dalam membangun esensi putusan-putusan mereka dengan bahasa yang dapat dipahami publik. Pengadilan-pengadilan menggunakan Twitter dan menerbitkan siaran-siaran pers, hakim-hakim dan jaksa-jaksa yang ditunjuk berbicara kepada media, serta terdapat berbagai bentuk lain dari penyediaan informasi publik, dari kunjungan-kunjungan masyarakat (open days) hingga pemutaran-pemutaran film rekonstruksi kasus dengan menggunakan Playmobil. Pengadilan-pengadilan bertanggungjawab menjamin ketersediaan dan keterjangkauan informasi yang jelas dan benar tentang penyelenggaraan peradilan, agar dapat diperoleh oleh masyarakat dan wartawan dengan semudah mungkin.
7
9. Kesimpulan Negara hukum merupakan sesuatu yang dinamis dan butuh perhatian terus menerus dari kita semua. Negara hukum harus didukung dan dijaga oleh rakyat dan tiga cabang kekuasaan pemerintahan secara bersama-sama. Negara hukum adalah sesuatu yang harus kita capai dengan kerja keras. Menjaga negara hukum, pada akhirnya, merupakan tugas pokok kita. Terima kasih atas perhatian anda.
8