THE FIGURAL POETRY OF JUMAADI Tuesday, January 29, 2013 Art Space:1 Art:1 Jl. Rajawali Selatan Raya No. 3 Jakarta 10720 Ph (021) 64700168 (hunting), Fax: (021) 64712243 Email:
[email protected] Website: www.mondecor.com Facebook: Mon Decor Twitter: Art:1 Museum Jakarta
This catalogue was published to accompany the solo exhibition by Jumaadi
THE FIGURAL POETRY OF JUMAADI 29 January - 4 February 2013 Venue Art Space:1 Curator Sujud Dartanto Project Manager Ismanto Wahyudi English Translation Siobhan L Campbell Photographer Yudi Trijaya Published by Art:1 Jl. Rajawali Selatan Raya No. 3 Jakarta 10720, Indonesia Ph (021) 64700168 (hunting) Fax: (021) 64712243
[email protected] www.mondecor.com Facebook: Mon Decor Twitter: Art:1 Museum Jakarta
in association with:
02
media partner:
Sambutan Art:1
Bekerja sama dengan Artworks Management, Art Space:1 menyelenggarakan pameran tunggal Jumaadi. Jumaadi merupakan seniman Indonesia yang telah memiliki jejak karir sebagai perupa di Australia. Menelusuri aktifitas berkeseniannya, kamipun tertarik untuk mengapresiasi karya Jumaadi. Untuk itulah kami mengapresiasi karya Jumaadi untuk pecinta seni Indonesia, khususnya di Jakarta. Mengambil tema Puisi Figural karya-karya Jumaadi, kita akan melihat karya dari beragam medium seperti kertas, kanvas, bronze dan aluminium. Karya Jumaadi banyak menghadirkan figur dengan berbagai gerak dan gestur yang nampak jelas di setiap karya patungnya. Dan pada karya gambar dan lukisan Jumaadi kerap menorehkan sejumlah baris kalimat baris-baris puisi. Tidak jauh berbeda dengan karya patungnya, karya lukis Jumaadi juga menampilkan berbagai simbol yang ditemui sehari-hari. Di mana ia bercerita mengenai hubungan keluarga, pertemanan, dan beragam bentuk relasi lainnya. Untuk pameran ini, Art:1 mengucapkan terima kasih kepada Harpers Bazaar Indonesia dan Esquire sebagai media partner, yang telah mendukung acara ini.
Salam hangat, Monica Gunawan Art:1
03
Sambutan ArtWorks Management
Pertama-tama izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung kelangsungan dan kesuksesan acara ini; Monica Gunawan dari Art:1, kurator Sujud Dartanto, Pak Syakieb Sungkar selaku pembuka acara, Pak Hauw Ming dan Pak Adi Wicaksono yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi host pameran ini. Juga kepada Pak Irwan Widjaja dan Pak Ferry Santoso yang senantiasa memberikan dukungan untuk tim ArtWorks. Perkenalan saya dengan Jumaadi terjadi secara tidak sengaja pada suatu siang. Ketika itu saya baru mulai bekerja di Asia Australia Arts Association di Sydney dan Jumaadi datang untuk mampir dan mengobrol. Sejak itu saya menjadi pemerhati karya dan pengunjung tetap pameran tunggal Jumaadi di beberapa galeri di Sydney. Jumaadi adalah salah satu seniman favorit saya, tidak hanya karena saya merasa dekat dengan karyanya, tetapi juga karena adanya memori kolektif tentang kampung halaman yang sering membuat kami dihadapkan pada berbagai pertanyaan tentang identitas dan budaya yang kami pahami. Bertahun-tahun pula kami merencanakan untuk membawa karya-karya Jumaadi 'pulang' dalam satu pameran tunggal di Indonesia, dan alangkah senangnya kesempatan itu akhirnya datang di awal tahun 2013 ini. Semoga ini dapat menjadi permulaan yang baik dan menyenangkan dari perjalanan karir Jumaadi di kampung halaman. Salam, Mirna Rivai - Mustiko ArtWorks Management
04
Puisi figural karya-karya Jumaadi
Sesungguhnya banyak orang Indonesia yang malang melintang dalam jagad seni rupa di luar Indonesia. Mereka yang berkiprah diluar Indonesia acapkali tidak begitu dikenal dalam medan sosial seni di Indonesia, yang padahal debut mereka di luar cukup berprestasi dan aktif. Dari sekian banyak perupa Indonesia yang berkiprah di luar Indonesia Jumaadi adalah salah satunya. Aktivitas berkesenian alumnus National Art School, Sydney, Australia di medan seni Australia ini telah dilakukannya sejak 1999. Pada beberapa tahun terakhir karyakarya Jumaadi sebenarnya telah mulai diperkenalkan disejumlah pameran bersama di Indonesia. Pameran ini bukan pameran restropektif, tetapi lebih sebagai sebuah 'progress report' atas sebuah seri karya yang akhir-akhir ini intens Ia kerjakan, yaitu fase terkini dari seri lanskap dan kaitannya dengan memori.
Dalam kaitannya dengan caranya mengimajinasikan lanskap sebagai latar konstruksi cerita itu—menurut saya—pameran ini layak untuk kita simak dan dipertimbangkan sebagai sebuah studi menarik dalam perkembangan representasi lanskap di seni rupa Indonesia. Tentu saja corak lanskap Jumaadi tidak sama dengan citra lanskap pada karya Hendra Gunawan (19181983), atau William Robinson, pelukis naturalis Australia. Namun seperti yang diakui Jumaadi, alam yang tampil dengan perbedaan musim, jeda pergantian waktu: siang dan malam, lanskap gurun, gunung dan bukit adalah titik tolak penciptaan karya, bahkan lebih penting dari seni itu sendiri, katanya. Bila dimensi lanskap kita sebut sebagai dunia natur, maka dalam 05
dunia kultur, manusia adalah pokok penting yang membangun cerita. Pada titik ini—melalui karyanya—Jumaadi menghubungkan dua dunia: natur dan kultur, makrokosmos dan mikrokosmos. Kedua-duanya saling memengaruhi dan terlibat sebagaimana pandangan holistiknya sebagai orang Jawa (Jumaadi lahir dan menyeselaikan pendidikan dasar hingga menengahnya di Sidoarjo, Jawa Timur). Jumaadi, terutama tertarik bagaimana keduanya berjumpa pada kisah lewat berbagai bentuk artikulasinya, dari epik, dongeng, cerita rakyat, mitologi hingga hingga pada berbagai teks rohani. Kisah-kisah itu hingga kini masih diritualkan kedalam berbagai media dan teknologi representasinya. Pengaruh dari dari seniman yang menaruh minat pada tema lanskap dan memori cukup memengaruhinya, misalnya Colin McCahon (1919-1987), pelukis ternama New Zealand yang banyak menghidupkan dimensi religi dengan latar belakang lanskap di New Zealand. Dari Colin pula Jumaadi mengamati kekuatan image dan text, dimana keduanya bisa saling menghidupkan. Sementara konsep seni dari Mark Rothko (1903-1970), pelukis asal Rusia adalah referensi yang juga diacu oleh Jumaadi dalam memandang hubungan narasi dengan religi dan mitologi. Rothko adalah sosok yang banyak mengeksplorasi aspek simbolisme dalam kisah. Darinya kita mendapat informasi bahwa Rothko mendapat pengaruh teori simbol, terutama dari Carl Gustav Jung, bahwa simbol merupakan sebuah arketip dari mimpi dan ketaksadaran kolektif. Nama David Serisier juga adalah salah satu deret nama yang dijadikan sebagai referensi bandingan oleh Jumaadi untuk mempelajari gagasan estetis warna dan bidang. Jumaadi juga mengamati bagaimana natur digambarkan oleh Affandi, pelukis modern Indonesia, dan Mulyono, perupa kontemporer dengan pendekatan folklornya. Heri Dono, satu perupa kontemporer Indonesia juga tak lepas dari amatannya, terutama bagaimana memori kolektif (baca: tradisi) itu dikembangkan menjadi sebuah narasi yang dapat mengaktualkan refleksi pribadi sekaligus kolektif, memiliki konten lokal dengan pesan universal. 06
Dalam pameran tunggal pertamannya di Indonesia ini Jumaadi menampilkan gagasan estetiknya melalui media logam, kanvas, lukisan, dan kertas. Seluruh karya-karyanya ini dibuat dalam tahun 2012 selama hampir enam bulan. Karyakaryanya ini Ia kerjakan sebagian besar di Yogyakarta dan beberapa diproduksi di Sydney, Australia. Esai ini ditulis untuk mengenal lebih dekat sosok Jumaadi, terutama mengenai latar belakang kemunculan gagasan karyanya, sikap dan pandangan-pandangannya atas seni, bagaimana dan dengan cara apa karya-karyanya dilahirkan. Dalam pameran ini kita berkesempatan pula untuk menyimak esai dari Profesor John Clark, sejarawan, penulis buku “Modern Asian Art” (1998) , dan Glen Barkely, kurator Museum of Contemporary Art (MCA), Sydney. Catatan dari kedua penulis yang intens mengamati debut kekaryaan Jumaadi itu tentu akan menambah dimensi pemahamaan kita atas kekaryaan Jumaadi. Jumaadi juga adalah sosok seniman yang terpilih pada edisi khusus pada majalah “Art Monthly”, 2011, yang ditulis dengan jernih oleh Gina Fairley, seorang penulis dan kurator yang memiliki minat kajian atas seni di Asia Tenggara. Pameran tunggal dalam tajuk kurasi 'Puisi Figural' ini dibuat dengan tujuan agar publik di Indonesia bisa menikmati karyakaryanya lebih dekat dan menyeluruh. Tajuk 'Puisi Figural' ditemukan setelah mengamati berulang-kali karya-karya Jumaadi. Hal yang menonjol secara ikonik dalam karyakaryanya adalah figur-figurnya hadir dalam berbagai gerak dan irama. Gerak dan irama ini menjadi sebuah studi bentuk tersendiri bagi Jumaadi. Melalui karya-karya gambarnya, misalnya, Jumaadi melakukan eksplorasi gerak dan irama dalam figur yang: berjalan, membungkuk, membopong, berlari, dan lain sebagainya. Selain itu, dalam konteks bahasa ungkap, Jumaadi mengelaborasi empat bidang ekspresi sekaligus dalam proses kreatifnya: performans, bunyi, kesustraaan dan seni rupa. Elaborasi itu dapat dimengerti dalam kaitannya Jumaadi yang banyak menaruh perhatian pada produk budaya wayang. Apabila wayang itu diperagakan akan melibatkan empat bidang ekspresi itu. Karena itu, figur-
figur yang Ia hadirkan adalah hasil dari pengaruh-bidang ekspresi tersebut. Dengan pertimbangan itu, dan juga mengonsiderasi ikon dan simbol karyanya yang padat dengan metafor, seperti sebuah puisi, maka saya ingin menyebut karya-karya Jumaadi pada debut tunggal pertamanya di Indonesia ini sebagai sebuah puisi figural.
Perjumpaan dengan Jumaadi
pikir menarik untuk saya ketahui. Dari melihat galeri hingga studio-studio kerja koleganya disana. Dan pada tahun itu pula untuk pertama kalinya saya melihat karya gambar-gambarnya. Sebuah karya gambar-gambar berseri, seperti sebuah “storyboard”. Saya mendapat kesan, Jumaadi saat itu begitu intens mengerjakan sebuah seri yang kelak saya tahu bahwa itu mengenai seri tentang lanskap dan memori kolektif yang akan dibahas kemudian.
Perjumpaan saya dengan Jumaadi bermula saat kami berjumpa pada tahun 2003 di Sydney. Dalam masa residensi di Institute of Modern Art, Brisbane, saya bertemu berjumpa
Perjumpaan saya kedua berlangsung lima tahun sesudahnya, pada saat itu berlangsung “Sydney Biennale: Revolution that Turn”, 2008. Jumaadi sekali lagi mengajak saya berkeliling untuk melihat sejumlah pameran-pameran di Sydney.
dengan 'orang Indonesia' yang menjalani profesi sebagai perupa dan mentor seni rupa di Australia. Jumaadi saat itu tengah mempersiapkan studi MFA-nya di National Art School, Sydney. Penampilan Jumaadi sederhana. Ia membawa tas dan mengajak saya keliling ke sejumlah tempat-tempat yang Ia
Termasuk melihat berbagai karya mutakhir di Cockatoo Island, pulau diseberang Opera House yang dipakai oleh panitia Sydney Biennale sebagai salah satu tempat berlangsungnya acara. Pada tahun itu Jumaadi memperlihatkan lagi karyakarya yang Ia bawa. Walau citra visual dan teknik yang Ia pakai 07
masih sama, namun emosinya makin dekat pada objek yang Ia amati. Saat itu saya menilai bahwa Jumaadi memiliki ketelatenan cukup tinggi untuk menggarap sebuah tema serial. Seperti ada misi yang tak selesai dari seorang Jumaadi. Kita bisa bertanya, dorongan kreatif apa yang menyebabkan Ia mengulang-ulang tema lanskap dan memori kolektif disejumlah pameran tunggal dan kolektifnya? Perjumpaan yang ketiga adalah di tahun ini, 2012, berkaitan dengan masa persiapan pameran tunggalnya ini. Dibandingkan dengan perjumpaan sebelumnya, kali ini saya bisa leluasa untuk intens berbincang dan mengamati secara langsung proses bekerja Jumaadi. Sosok ini memiliki sikap kesenian dan metode penciptaan seni yang khas. Berkesenian seperti telah menjadi kebutuhan batinnya. Hampir setiap harinya Jumaadi menghasilkan karya baru. Di studionya Jumaadi bekerja dengan berbagai media, dari kertas, kanvas, kayu dan logam. Proses persiapan dalam pameran ini bertahap. Diawali dengan presentasi karya-karyanya, dimana dari situ saya beroleh informasi terbaru mengenai perkembangan karya Jumaadi. Dalam presentasi itu Jumaadi tidak langsung menceritakan konsep karya-karyanya, akan tetapi Ia menggelar karya-karya gambarnya. Ia hafal akan urutan karyanya. Tahap berikutnya saya mulai bertanya mengenai berbagai bentuk figur dan objek yang Ia buat, tentang media yang dipakai, teknik, dan konsep penciptaan seninya. Sebelum kita membahas hal-hal penting pada aspek kekaryaan Jumaadi, saya ingin mengajak Anda untuk melihat konteks keberadaan Jumaadi ditengah medan seni di Sydney secara sekilas.
Identitas karya, Identitas budaya Jumaadi mengikuti denyut perkembangan seni rupa dunia melalui Sydney. Tidak hanya dengan menyaksikan karya-karya pada acara-acara akbar seperti bienal dikota itu, tetapi juga melihat berbagai koleksi permanen museum seni rupa disana, semisal Museum of Contemporary Art (MCA), Art and Gallery of 08
New South Wales (AGNSW), hingga Galeri 4 A, sebuah galeri kontemporer yang banyak memberi porsi pada senimanseniman kontemporer Asia. Pengamatan secara intens pada berbagai acara pameran dan koleksi karya medan seni Australia, terutama di Sydney – sebagai salah satu sentrum seni rupa Australia – menjadi rumah pembelajaran baginya. Pengamatan terhadap karya-karya mutakhir disana memiliki nilai guna dalam memperjelas distingsi karyanya dengan karya-karya yang Ia amati. Jumaadi, mau tidak mau akan mengukur dan membandingkan pencapaian karyanya dengan berbagai karya mutakhir yang dipamerkan di medan seni Sydney. Uraian ini saya pikir penting dikemukakan karena suatu penciptaan karya seni tidak terlepas dari upaya mencari titik bedanya dengan karya-karya yang lain. Titik beda dapat kita sebut sebagai identitas karya. Pencarian atas titik beda ini tidak lepas dari persoalan identitas budaya yang pasti dialami oleh seorang Jumaadi. Dalam konteks persoalan identitas budaya itu – Walaupun Ia tinggal di Sydney jantung kesibukan Negara Australia – Jumaadi justru mendapati rumah kesadarannya. Sepertinya halnya yang terjadi banyak kasus diaspora budaya – seseorang yang bermukim jauh dari asal tempatnya Jumaadi juga tidak dapat menghindari dari persoalan identitas. Satu sisi Ia orang Sidoarjo, Indonesia, sisi yang lain Ia yang beristrikan seorang Australia, yang menghasilkan dwi identitasnya yang unik. Sehubungan dengan topik identitas ini, pertama-tama kita dapat memahami bahwa konstruksi identitas muncul karena adanya sebuah jarak, identitas terbentuk karena adanya relasi dengan 'yang lain'. Identitas berkaitan dengan “sense of reality”, dalam arti sejauh mana suatu kenyataan itu cocok dengan saya, kalau tidak pas, maka saya tidak akan memilih suatu model kenyataan tertentu. Suatu identitas pada gilirannya menghasilkan bentuk estetikanya. Jumaadi menemukan suatu hal, bahwa lanskap menjadi jalan metaforis sekaligus historis untuk mengatasi struktur dwi identitasnya. Bagi Jumaadi yang jauh lebih penting adalah bagaimana suatu lanskap sebagai tempat dapat
memperlihatkan narasinya, daripada menyelidiki keapaan suatu tempat. Melalui lanskap Jumaadi ingin memperagakan bahwa identitas bukan suatu hal final dan selesai dari struktur relasi, akan tetapi identitas adalah sebuah proses yang terus menjadi. Walapun Jumaadi tidak secara intens memproblematisir identitas dengan segala kontradiksinya, akan tetapi dengan jalan memperlihatkan narasi, maka dengan sendirinya orang akan diajak untuk memasuki situasi posindenitas. Jumaadi kemudian menjadikan struktur narasi dari lanskap sebagai ruang simulasi. Teknik simulasi ini diperlukan bagi dirinya untuk mendapatkan sebuah “sense of reality” dengan cara yang lain, cara yang nonstruktural. Mengenai simulasi ini akan kita eksplorasi pada bagian lanjut.
Lanskap-lanskap yang Bersaksi Sebagai yang disampaikan pada bagian awal tulisan ini, bahwa lanskap menjadi tema eksplorasinya yang panjang. Selain Jumaadi mengamati secara empiris atas berbagai lanskap yang Ia amati, Ia juga mempelajari konsep lanskap dari sejumlah referensi perupa yang meminati kaitan lanskap dengan memori. Dari Mark Rothko, Colin McCahon, hingga David Serisier, dari Hendra Gunawan, Affandi, Heri Dono, hingga Mulyono. Tema lanskap berkali-kali muncul dalam karyakaryanya, baik melalui pameran tunggal maupun bersamanya. Lanskap kemudian Ia tautkan dengan kehidupan didalamnya, dimana disitu sejarah berlangsung, sejarah yang menampilkan dirinya dengan berbagai bentuk artikulasinya, salah satunya melalui memori kolektif. Jumaadi menaruh minat pada kisah yang dihasilkan oleh memori kolektif (baca: tradisi). Baginya memori kolektif memperagakan berbagai bentuk ritual yang menarik untuk dikenal, dipelajari dan membangkitkan gagasan-gagasan estetik. Gina Fairley menegaskan bahwa lanskap itulah yang kemudian menjadi bahasa visualnya. Pengaruh lanskap pada karya-karya gambarnya misalnya tidak lepas dari observasinya atas berbagai lanskap di Australia, yang umumnya luas, membentang dan mendapat siraman cahaya yang penuh.
Jumaadi mendengarkan bagaimana lanskap-lanskap itu bersaksi. Dari situ Jumaadi memulai penafsirannya atas lanskap yang Ia amati. Lanskap yang dimaksud, bukanlah lanskap virtual atau imajiner, tetapi ini tentang lanskap fisikal, lanskap geografis, dari lanskap yang Ia amati di Sidoarjo, tempat kelahirannya, di Bali, Penang, Malaysia, di Hoshun, China, hingga, lanskap di Belgia, Belanda, Perancis, Allice Spring sampai Broken Hill, Australia, hingga akhir-akhir ini Jumaadi mengobservasi lanskap di Imogiri, Yogyakarta. Tugas seniman – bila dapat dikatakan demikian, adalah menyuarakan narasi dari suatu lanskap. Untuk memenuhi tugas itu, Jumaadi menempuhnya dengan menjelahinya secara langsung, mendengar dan berinteraksi dengan memori kolektif yang dimiliki oleh suatu lanskap. Jumaadi mewartakan tentang pentingnya untuk memberi perhatian pada lanskap. Lanskap berkaitan dengan sebuah medan yang leluasa untuk melihat dan dilihat. Sekaligus disitu, berkaitan dengan horizon, tentang luas-pendek jarak pengamatan.
Simulasi dari Narasi Sekuensial Sajak Jingga Dari tubuhmu menguap kenangan Tentang penderitaan dan luka peradaban Dan luka luka akibat takdir Tetapi dari nafasmu ada cinta yang kau hembuskan setiap kala Sedangkan menurutku hanyalah yang terpendam dan tertidur yang abadi Karena rindu dan mimpi hanyalah milik bukit bukit imogiri - Jumaadi (Imogiri, November, 2012) Pemaparan diatas bermaksud untuk memperlihatkan konteks pengaruh dan pandangan estetik Jumaadi. Bahwa apa yang Ia gambarkan bukan sekadar sebuah peristiwa tanpa sejarah, atau kisah tanpa latar belakang, namun memiliki konteks dalam kaitanya dengan tempat sebagai panggung narasi. Jumaadi mengisi tempat-tempat yang Ia amati dengan 09
pengisahan yang personal. Disitu Ia membangun berbagai gagasan cerita. Kita bisa menduga, bahwa gagasan cerita Jumaadi tak lepas dari autobiografinya. Ia mendongeng kisahkisahnya yang bisa kita amati melalui karya dua dan tiga dimensinya. Dari sekian banyak karya-karya lukisannya, dapat kita cermati sejumlah kategori-kategori gagasan cerita yang muncul melalui lanskap gunung atau bukit seperti pada: Sepasang Tanaman dan Sebuah Bukit, Di puncak Bukit, Di Gunung Aku Menemuimu. Lanskap memiliki momen pergantian waktu, dimana malam hari adalah momen yang baginya penting, ini muncul pada Menyeberangi Malam, Kekasih dan Malam, Malam jalang, Binatang Malam. Lanskap juga memiliki musim, misalnya pada musim hujan yang memicu lahirnya karyakarya: Hujan dan Diantaranya, Hujan, Mendung dan Pengantin, Hujan Air Mata, Kehujanan Basah. Dalam membangun narasinya, Jumaadi tiba-tiba menampilkan kisah benda-benda pada Boneka, Seutas Tali diantara Kayu, Diantara Anak Tangga, Kulkas, Kursi Hijau. Apa yang kita bayangkan tentang langit? Jumaadi mengisinya dengan kisah Ingin Terbang 2, Melayang, Sayap-Sayap Putih, Burung Terbang, Belajar Terbang, Sayap, Terbang diatas awan. Ditengah gambaran-gambaran “realis” itu, tiba-tiba kita mendapat gambaran surreal yang nampak pada karya: Kura Kura Bersayap Malam, Berjalan Tanpa Kepala. Dampak dari tempat, musim, dan latar belakangnya barangkali memicu Jumaadi untuk membicarakan perihal yang romantis, seperti pada Sepasang Binatang Berkasih Kasihan, Ranjang Kekasih, Sepasang Batu Buta Berkasih-kasihan, Kau dan Aku. Pada sekuen yang lain, kita mendapati subjek yang ganjil, subjek yang mengangkat beban: Menyunggi Gajah, Menyunggi Perahu, Berjalan dengan Tangan, Menggendong Rumah. Dalam interaksinya dengan suatu lanskap, selain Ia mengamati aspek ritualnya, Jumaadi kemudian mengamati aspek materialnya, Jumaadi kemudian menginterpretasi objek-objek: benda-benda dan tanaman. Dari situ, Jummadi mulai 10
menggambar, menyusunnya secara sekuensial, dalam rangka memperlihatkan dimensi sinkroniknya, bahwa antara satu tanda dengan tanda lain yang Ia hadirkan melalui karyanya bersifat relasional dan saling memengaruhi. Inilah metode yang bagi saya menarik untuk kita amati dari karya-karya Jumaadi. Bahwa jukstaposisi tanda dalam karya-karya Jumaadi seperti memprovokasi kita untuk melihat informasi atau pengetahuan baru, yang mungkin belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Dalam bahasa perupa William Kandisky, barangkali ini yang disebut sebagai sebuah iluminasi. Dari apa yang telah disampaikan di atas, nampak bahwa terjadi pembalikan pengamatan. Umumnya subjek yang mengamati objek, namun dalam kasus Jumaadi, objeklah yang pertamatama—dalam keyakinan Jumaadi—mengamati subjek. Subjek membiarkan objek berubah menjadi subjek, dan pada gilirannya subjek menjadi objek. Lingkaran penafsiran itu memberi peluang lahirnya teks baru. Proses dialektis itu melahirkan 'mitologi' baru, atau cerita, atau kisah-kisah baru.
membangun gagasan estetik baru atas tokoh dan pokok, latar cerita, plot, alur dan kita bisa menambahkan disitu: ritme. Estetisasi atas struktur tanda pertama Ia lakukan dengan mengambil aspek artistik dari kondisi geografis lanskap: tekstur, warna dan musim, juga ritual pada dari suatu lanskap: aspek dramatik dari cara dan kebiasaan orang-orang dalam gerak dan irama tubuh. Subjek-subjek ini dapat kita amati pada artikulasi yang kuat melalui 14 patungnya, yang disitu nampak sejumlah figur dalam berbagai gerak dan irama dalam berbagai pose sebagaimana pada versi kanvasnya. Kita bisa mengamati figur-figur itu secara volumetrik. Citraan yang lain
Bulan Yang berkalung bebatu dan bersayap malam Yang bertubuh tandus dan bermuka kudus Yang menyimpan dongeng Tentang keabadian yang tiada -Jumaadi (Yogyakarta, November, 2012)
Seperti yang telah didiskusikan di atas—dalam kaitannya dengan identitas sebagai sebagai “sense of reality”—maka kisah-kisah baru itu—setidaknya bagi Jumaadi dapat diartikan sebagai caranya untuk mendapatkan “sense of reality” secara berbeda. Ini bukan identitas yang dihasilkan semata-semata oleh sebuah relasi dua eksisten, Indonesia-Australia, akan tetapi lebih lanjut—dalam kegiatan mengonstruksi cerita baru itu—Jumaadi tengah membangun semacam sebuah simulakra. Simulasi yang dibangunnya memakai struktur pertama tanda, yaitu dari ikon dan simbol yang Ia susun. Dalam rangka melahirkan cerita baru Jumaadi selanjutnya Ia melakukan impersonalisasi, Ia menyebut karyanya—dalam perspekif narasi: sebagai sebuah buku harian atau surat-surat. Bila pada struktur tanda pertama objek-objeknya terikat oleh makna dari memori-memori kolektif, maka saat Ia membuat simulasi Jumaadi mendapati lokus untuk dirinya. Dari situ Jumaadi bak seorang dalang Jumaadi mengerahkan imajinasinya:
Momen dramatik menjadi penting dalam transgresi baru ini. Figur-figur khas yang muncul dalam karya gambar Jumaadi rupanya berpeluang menjadi sebuah titik berangkat baru. Manakala figur-figur itu tampil dalam cetak perunggu dan logam figur-figur itu seperti menemukan kelahiran bentuknya yang baru. Bahkan bagi seorang Jumaadi, si 'author'nya sekalipun mengejutkan. Baginya, ada drama yang berbeda ketika figur-figur itu tampil dalam bentuk tiga dimensi. Juga karya-karya lempengan logamnya yang dikomposisikan berdasarkan kode-kode kisah.
Puisi Figural
adalah pada seri lempengan logamnya. Gestur, gerak dan irama figur mendapat aksentuasi yang berbeda. Inilah transgresi kreatif baru yang ditemukan dalam proses berkaryanya untuk pameran ini.
Karya Jumaadi banyak menghadirkan figur dengan berbagai gerak dan gesture seperti yang tampak terartikulasikan kuat pada karya patungnya. Sementara pada karya gambar dan lukisan Jumaadi kerap menorehkan sejumlah baris kalimat: baris-baris puisi. Kita bisa melihat unsur-unsur alam benda, dengan bunyi dan geraknya. Bahwa bila ada tubuh yang menjadi unsur pokok dalam karya gambarnya, barangkali tidak lain adalah tubuh seorang Jumaadi. Antara bahasa visual dengan aksara nampaknya tidak Ia bedakan secara distingtif. Jumaadi menikmati dampak dari kekuatan sastra yang Ia butuhkan untuk memperkarya bahasa rupa karyanya. Dan sebaliknya, ungkapan-ungkapan simbolis 11
melalui yang pada gilirannya juga memicu keinginan untuk berpuisi. Jumaadi memaknai bahwa antara aksara dengan visual saling mengikat dan menajamkan pesan yang hendak disampaikan. Ini peristiwa semiotis yang menarik untuk kita amati dari proses dan hasil karya-karya Jumaadi. Hubungan antara satu tanda satu dengan tanda lainnya terikat pada langgam yang sama, akan tetapi terjadi perjalanan tanda yang tak berujung. Tanda yang akan terus menghasilkan tanda berikutnya. Pergerakannya siklis, eklektik dan bertingkat. Sebuah tanda dalam karya Jumaadi dapat menunjuk pada berbagai tema-tema kehidupan yang sesungguhnya dekat dengan kita. Dilihat dari cara tutur visualnya—dalam konteks di Indonesia—kita kemudian teringat Widayat, perupa dalam barisan dekoratif. Ia memiliki gaya yang oleh pengamat seni dijuluki bergaya 'dekora-magis'. Dalam kasus Jumaadi, karyakaryanya menampakkan gejala yang sama, namun berbeda. Ada 'magis' tersendiri ketika Ia membuat jalinan cerita. 'Magis' dalam arti apa ? Untuk tidak kemudian mempercakapkan dimensi mistik dari magis, kita bisa memahami magis dalam cara kerja puisi otomatis dari para surealis. Dari ruang simulasinya, Jumaadi kemudian menghubungkan imajinasinya atas struktur pertama kisah dengan teks-teks lain yang memiliki rangkaian atau kedekatan dengan imajinasinya. Pada titik itu—dalam keadaan agoni—Jumaadi bertemu dengan para sahabat teks, yaitu teks yang memiliki kedekatan puitik yang sama, dalam proses kreasinya, teks-teks itu kerapkali Ia dapatkan pada: doa dan mantra rohani, prosa dan puisi, hingga irama dan lirik-lirik lagu. Tidak heran bila Jumaadi kerap menyematkan bait-bait mantra, prosa, puisi, hingga lirik-lirik lagu itu ke dalam ungkapan visualnya. Teks-teks itu membantunya untuk meninggalkan makna yang dihasilkan dari struktur narasi pertama, dan siap menerima kedatangan makna baru yang melibatkan dirinya. Namun barangkali makna baru itu tidak lagi memiliki statusnya lagi sebagai makna, dimana darinya muncul pengetahuan baru. Momen itu membekas dan meninggalkan jejak kuat. Pada titik 12
itu, saya kira, Jumaadi ingin memperpanjang momen iluminasinya dengan cara mengabadikannya melalui karyakaryanya. Dapat dikatakan bahwa karya-karya Jumaadi selain menunjukkan wajah simbolik dan ikoniknya, karya-karyanya juga dapat dilihat menjadi indeks dari momen ilumuninasinya. Uraian ini sengaja disampaikan sebagai usaha untuk membahasakan petualangan metaforis seorang Jumadi, sebuah petualangan yang barangkali beririsan dengan perjalanan spiritualnya. Selesai berpetualang, makna itu kembali pulang pada dimensi sinkroniknya. Karya-karyanya kemudian menjadi sebuah teks terbuka yang siap didaur ulang dengan berbagai konteks. Yang barangkali, darinya, kita bisa ikut merasakan tema-tema melankolia yang ingin disampaikanny, tentang: kesunyian, kerinduan, percintaan dalam kaitannya dengan pergulatan eksistensial antara manusia dengan isi alam semesta yang menimbulkan perasaan sentimentil. The text you write must prove to me that it desires me… -Roland Barthes, The Pleasure of the Text, 1973 Sampai disini saya kira apa yang disampaikan oleh Roland Barthes mengenai “butir-butir suara” dapat kiranya dapat dipahami dalam konteks pencarian Jumaadi untuk menghidupkan butir-butir suara yang acapkali bersembunyi dibalik apa yang tersurat. Korespondensinya dengan berbagai teks puitik barangkali adalah caranya untuk menghidupkan butir-butir yang menggairahkan dari sebuah bahasa objek. Jumaadi mencari titik-titik yang dapat menciptakan 'getaran'. Yang Ia cari adalah cara untuk menghasilkan berbagai pengalaman emosi. Jumaadi, saya kira berharap, bahwa dalam upayanya untuk menghasilkan dampak emosi itu memunculkan subjektifitas kita, sebagai penonton puisi-puisi figuralnya. Pada titik ini karya-karya ini kemudian bukan lagi milik Jumaadi, tetapi milik kita, sebagai sahabat baru teksnya.
Yogyakarta, 11 Desember 2012 Sudjud Dartanto, Kurator Pameran
The figural poetry of Jumaadi
Countless Indonesians pursue art careers outside Indonesia and despite the reputations they acquire in other places they often remain unknown on the Indonesian art scene. Jumaadi is one of many Indonesian artists working overseas. Since graduating from the National Art School, Sydney in 1999 he has been active on the Australian art scene. In recent years his works have been introduced to Indonesian audiences in a number of group shows. This is not a retrospective exhibition but rather a 'progress report' taking the form of a body of works that the artist has worked on intensively as the most recent phase in an exploration of landscape and memory. Imagining landscape as the foundation of narrative construction—is what I believe—makes this exhibition worthy of our consideration and reflection as a study in the development of landscape representation in Indonesian art. Of course Jumaadi's landscapes are not the same landscapes that we find in the work of Hendra Gunawan (1918-1983), or William Robinson, the naturalistic Australian painter. Yet Jumaadi recognises that the nature he depicts as changing seasons and movements in time - day and night, deserts, mountains and hills are points of reference for his art making and perhaps even more significant that the art itself, he says. The dimensions of these landscapes relate to the natural world and to the cultural world where humans become the references for building stories. Jumaadi links these two worlds in his work: nature and culture, the macrocosmos and the microcosmos. They are mutually influencing and a reflection of Javanese 13
holistic views (Jumaadi was born and completed his primary and high school education in Sidoarjo, East Java). Jumaadi is interested in the intersections between two worlds, realised in stories articulated in multiple forms, from epics, legendary sagas, folk tales, mythology and religious texts. These stories continue to be ritualised in many different forms of media and transmission. Several major artists have stimulated his interest in landscape and memory, for instance Colin McCahon (1919-1987), the renowned New Zealand artist who integrated a religious dimension into his landscapes of New Zealand. From McCahon Jumaadi understands the strength of image and text, which mutually enliven each other. He refers to models derived from Mark Rothko (1903-1970), the Russian artist who provides a way to understand the relationship between narration, religion and mythology. Rothko is a figure known for his exploration of symbolism in stories and we known that in turn Rothko was influenced by the theory of symbols particularly associated with Carl Gustav Jung, who held that symbols were archetypes of dreams and the collective consciousness. The name David Serisier also appears on the list of artists that Jumaadi cites as key aesthetic references in colour field painting. Jumaadi also studies how nature is depicted by Affandi, the modern Indonesian painter, and Mulyono, the contemporary artist known for his folkloric approach. Heri Dono, a contemporary Indonesian artist, is also keenly observed, in particular for his rendering of collective memory (read: tradition) into narrative that serves at once as a private and collective reflection and local subject matter with a universal message. In this, his first solo exhibition in Indonesia, Jumaadi presents his aesthetic vision on metal, canvas and paper. All the works were produced over a period of six months in 2012. The majority were made in Yogyakarta and some in Sydney, Australia. This essay will introduce Jumaadi and explore the ideas underpinning these works, describing his views on art and how these works came to be. 14
We also have the opportunity to peruse essays by Professor John Clark from Sydney University, the art historian and author of many publications including 'Modern Asian Art' (1998) and 'Asian Modernities' (2010) and Glenn Barkley, Curator at the Museum of Contemporary Art (MCA), Sydney. Both writers have viewed intensely Jumaadi's artistic debut and their remarks enrich our appreciation of his work. Jumaadi was also selected to feature in a special edition of the magazine 'Art Monthly' (October 2011) in which he was the subject of a keenly observed piece by Gina Fairley, a writer and curator with a specific interest in the art of Southeast Asia. This solo exhibition takes the theme of 'Figural Poetry' inviting the Indonesian public to engage up close and at length with Jumaadi's work. The title emerged from the process of revisiting his works over many occasions. The iconic figures appearing in his work engage in different movements and rhythms. Movement and rhythm are a discrete form of study for Jumaadi. Through his drawings, for instance, Jumaadi explores movement and rhythm in figures as they: walk, crouch, stoop, run and so on. And in the language of his expression, Jumaadi elaborates at once four domains of expression in his creative process: performance, sound, literature and fine art. This elaboration can be understood with reference to Jumaadi's interest in shadow puppet (wayang) culture. When a puppet comes to life it evokes all of these domains and the figures he presents are influenced by these expressions. With this in mind, as well as the icons and symbols packed with metaphor just like a poem, there should be little ambiguity in my decision to give his first solo exhibition in Indonesia the title figural poetry.
Meeting Jumaadi I met Jumaadi for the first time in 2003. At that time I was doing a residency at the Institute of Modern Art in Brisbane and I came across an 'Indonesian' working as an artist and art teacher in Australia. At that time Jumaadi was in the midst of
his MFA degree at the National Art School, Sydney. Jumaadi's appearance was unassuming. He carried a bag and took me around to places that he thought I needed to know about. We went from galleries to the studios of his colleagues. And I also saw his own pictures for the first time. It was a series of pictures like a 'storyboard'. My impression at that time was that this was an intense exploration for Jumaadi that I later came to know was a series about landscape and collective memory.
had with him. Even though the visual images and techniques he was using were the same, there was more emotion with regards to the objects he was depicting. At that time I realised that Jumaadi possessed the deep-seated resolve needed to work on serial themes. It was as if he had an unfinished mission. We should rightly ask what creative drive pushes him to repeat the themes of landscape and collective memory across his solo exhibitions and group shows?
My second meeting was not until five years later at the Biennale of Sydney themed 'Revolutions - Forms That Turn' in 2008. Once again Jumaadi took me around to some of the exhibition venues in Sydney, including the newest works on Cockatoo Island (one of the Biennale spaces), a small island in Sydney harbour that we reached by boat from in front of the Museum of Contemporary Art which is located close to the Sydney Opera House. Again Jumaadi showed me the works he
My third meeting was this year, 2012, in relation to the preparation of this solo exhibition. Different to our previous meetings, this time I had a more intense opportunity to talk to and observe Jumaadi at work. He has a unique attitude to art and to art making. Making art fulfills an almost spiritual need. Almost every day Jumaadi produces a new work. In his studio he works with various media including paper, canvas, wood and metal. The preparation for this exhibition progressed in stages. It began with the presentation of his works, at which 15
point I gained new information about his art making process. In that presentation Jumaadi did not talk directly about the conceptual ideas behind the works, but took out his drawings. He had memorised the order and had memorised the dimensions. Then I asked him about the figures and objects he had depicted and the media, technique and conceptual ideas. But before we discuss the key aspects of his process, I invite you to briefly consider the context of his work in the Sydney art scene.
Art identity, cultural identity Jumaadi is a keen observer of developments in the Sydney art world. He goes to major events like the Biennale hosted by the city, but also visits the permanent collections of art galleries like the Museum of Contemporary Art (MCA), the Art Gallery of New South Wales (AGNSW) and Gallery 4A, a gallery devoted to the contemporary work of Asian artists. His intense engagement with exhibitions and collections of Australian art, particularly in Sydney - one of the main art centres of Australia - is a learning experience for him. His inspection of these preeminent works is of great value in understanding what distinguishes the different art works he observes. Jumaadi, measures and compares his own works with what he sees in Sydney. It is important to emphasise this because the creation of art is linked to the search for points of difference with other works. These points of difference are what gives art work an identity and this search for difference relates intimately to the cultural sense of self with which Jumaadi identifies. It is in this context that – even though he lives in Sydney – the most populated part of Australia – Jumaadi has gained space for consciousness. As is the case with many cultural diasporas – people who live far from their places of birth – Jumaadi cannot avoid the issue of identity. On one hand he is from Sidoarjo, Indonesia and on the other he has an Australian wife, which results in a unique dual identity. On the topic of identity, we know that identity is constructed by a sense of distance, it 16
happens in relation to 'the other'. Identity is related to our 'sense of reality' in that as long as that reality suits me, if it is not right then I will not choose that model of reality. In turn an identity takes on aesthetic form. Jumaadi discovered that landscape is a metaphoric and historical path to overcome his dual identity. To Jumaadi it is more important to see how landscape as a place reveals a story rather than investigating the characteristics of a place. Through landscape Jumaadi is saying that identity is not a final and resolute form, but an ongoing process of becoming. Jumaadi does not problematise identity and all its contradictions in an conscious way, but by revealing narratives he invites others to enter into an post identity environment. Jumaadi then uses the narrative structure of landscapes to simulate. This simulation technique is his way of gaining a 'sense of reality' by nonstructural means. I explore this simulation further in the next section.
Landscape as Witness As stated above, landscape has long been a subject of exploration. In addition to empiricist observations of different landscapes, Jumaadi has studied the concept of landscape in the works of artists with an interest in the links between landscape and memory. From Mark Rothko, Colin McCahon, to David Serisier, from Hendra Gunawan, Affandi, Heri Dono to Mulyono. The landscape theme appears repeatedly in his works, in both solo and group exhibitions. He links landscape to the life it contains, and where history proceeds, a history in which he locates himself in different articulations, one being through collective memory. Jumaadi is interested in stories based on collective memory (read: tradition). Collective memory presents him with a range of ritual forms to identify, study and develop aesthetically. Gina Fairley emphasised that landscape is his visual landscape. The influence of landscape in his drawings is tied to Jumaadi's experience of various Australian landscapes, which are
generally vast, unbounded and lit by luminous light. Jumaadi has listened to the landscape as an eyewitness and from this he interprets the landscapes he observes. These are not virtual or imagined landscapes but physical, geographical places that he has experienced from Sidoarjo, his birth place, in Bali, Penang, Malaysia, in Hoshun, China to landscapes in Belgium, the Netherlands, France, Alice Springs to Broken Hill, Australia, and most recently around Imogiri, Yogyakarta. The role of the artist – if we can put it like that - is to narrate a landscape. Jumaadi takes a direct approach to this by listening and interacting with the collective memory embodied in a landscape. Jumaadi tells us how important it to think about landscape. Landscape is related to an immense ground for seeing and being seen. Implicated in this is the horizon and the distance or proximity of our gaze.
Simulation of Sequential Narrative Orange Poem From your body memories evaporate About suffering and the wounds of time And of fate But from your breath you exhale love in every age And you think that only those concealed and slumbering are Forever Because longing and dreams belong only to the hills of Imogiri Jumaadi (Imogiri, November 2012) The above remarks convey something of the influences and aesthetic ideas of Jumaadi. What he paints is not an episode without a history, or a story without a context, but is intimately related to place as the narrative stage. Jumaadi fills the places he observes with personal experiences and from this he develops a story line. We can deduce that Jumaadi's narrative ideas are related to autobiography. He tells us stories that we can follow through his two and three dimensional works. From his large body of paintings we can see stories emerge in response to mountains and hills, such as: A pair of Scrubs and a
Hill, At the Peak of the Hill, I Meet You on the Mountain. Landscape reflects changing moments, and the approach of evening is particularly important, for instance: Crossing into Night, Lover and the Night, The Untamed Night, The Night Animal. The different seasons of the landscape are also significant, like the rainy season reflected in the titles: Rain and Between, Rain, Clouds and the Bridal Couple, Rain of Tears, Caught in the Wet Rain. In developing his narratives, Jumaadi then introduces the stories of objects such as The Doll, A String between Wood, Between the Steps of a Ladder, Fridge, Green Chair. And what can we imagine of the sky? Jumaadi tells us about it in Desire to Fly 2, Soaring, The White Wings, Flying Bird, Learning to Fly, Wing, Flying above Cloud. In the midst of these 'realist' images we are confronted by the surreal in works like: Turtle with the Wings of Night and Walking with No Head. The impact of place, season and upbringing probably propels Jumaadi towards romantic stories like A Pair of Animals in Love, The Lovers' Bed, A Pair of Blind Stones in Love and You and I. In other sequences he presents us with strange subjects, things carrying loads: Carrying an Elephant on the Head, Carrying a Boat on the Head, Walking with Hands and Carting a House. In addition to observing the ritual aspects of landscapes, Jumaadi also looks at material form to interpret objects: shapes and vegetation. From here Jumaadi begins to draw and to arrange his images sequentially in order to emphasise their synchronistic dimensions, between one sign and another there is a relationship of mutually influencing relata. This approach is one of the most interesting features of his work. It is as if the juxtaposition of signs in his work provokes us to look at certain information or knowledge afresh, in ways that we had not envisaged previously. In the language of artist William Kandinsky, this is referred to as illumination. At this point we should consider that the manner of observation has been reversed. Usually subjects observe objects but in Jumaadi's case the objects take precedence and in his view - observe the subjects. Subjects allow the objects to change into subjects and in turn the subjects 17
become objects. This loop of interpretation gives rise to a new text. The dialectic process creates a new 'mythology' or new stories or anecdotes. As discussed above—in relation to identity as a 'sense of reality’—these new stories can be understood as a distinct way in which Jumaadi finds this 'sense of reality'. This is not a relationship resulting purely from the relata of IndonesiaAustralia, but goes further than this because—in creating those new stories—Jumaadi develops a simulacra. He builds this simulation using signs as the principal structure, achieved through the arrangement of icons and symbols. Jumaadi then adopts a technique of personalisation in creating new stories, he refers to his works - from a narrative perspective - as diaries or letters. If the objects are tied to meanings from collective memory in the structure of primary signs, by
developing the simulation Jumaadi makes them a locus for himself. From here, Jumaadi acts as a puppeteer (dalang) directing his imagination: developing new aesthetic ideas about the figures and players, the story, plot and scenario and to this we can add, rhythm. Jumaadi pursues the aestheticisation of the structure of primary signs by taking artistic aspects from the geographical elements of landscape: texture, colour and seasons as well as the rituals of a landscape, the dramatic aspects of the way people move and carry their bodies. These subjects are noticeable in thirteen of his sculptures, which appear as a series of figures in various poses and rhythms mirroring their canvas versions. We can observe the figures as a volumetric display. Different imagery emerges in his flat metal series. Gesture, movement and rhythm are all accented differently, a new creative transgression discovered in the process of producing a body of work for his exhibition. Dramatic moments are important in this new transgression. The idiosyncratic figures of the drawings serve as new departure points. In bronze and metal these figures have been born in new forms. It has even surprised Jumaadi, their 'author'. For him there is a distinct drama when those figures take on a three dimensional form. As do the flat metal forms composed on story codes.
The Moon With a necklace of stones and the wings of night With a barren body and sanctified face The keeper of stories About nonexistant eternity Jumaadi (Yogyakarta, November 2012)
Figural Poetry The sculptural work strongly articulates the figures in their different gestures and movements while on his drawings and paintings, Jumaadi often jots a few sentences: lines of poetry. We see natural forms with their sounds and movements. When bodies take the central place in his drawings, it may be none other than the body of Jumaadi himself. There is no distinction to be drawn between visual language and text. Jumaadi takes pleasure in the strength of literature and depends on it to deepen his artistic language. By contrast symbolic expressions stimulate his desire to make poetry. Jumaadi understands that letters and visual forms mutually reinforce and sharpen his message. The semiotic aspects of his process and products are interesting here. The relationship between a sign and another sign are part of the same expression but there is an unbounded passage of signs. One sign gives way to the next. Their movement is cyclical, eclectic and layered. A sign in Jumaadi's work refers to many life themes familiar to us all. Considered from a visual narrative perspective - in an Indonesian context - we are reminded of Widayat, a pioneer in Indonesian decorative art whose style is referred to as 'magicdecorative' by art critics. Jumaadi shares some of these characteristics though his work is different. There is a 'magic' in itself when we create combinations of stories. 'Magic' in what sense? To circumvent talking of the mystical elements of magic, we can understand how magic works as automatic poetry in the work of surrealists. In his simulated spaces, Jumaadi links imagination, as the foundational structure of stories, to other texts with a connection or proximity to his imagination. At that point - in agony - Jumaadi meets his friends in text - texts which share his poetic approach, in his creative process those texts are taken from: prayers and spiritual mantras, prose and poetry and the rhythms and lyrics of songs. It is no surprise then that Jumaadi appends couplets of prose, poems and song lyrics to his visual expressions.
These texts create departures from the meanings created by the structure of primary signs and are disposed to receive the new meanings that they invoke. However it is possible that those new meanings do not have the same status as meanings because new understandings evolve from them. Those moments attach and leave a strong trace. On this point I think Jumaadi wants to extend the moment of illumination by eternalising it in his works. It is in this sense that his works, in addition to their symbolic and iconic faces, can be seen as an index of the moment of illumination. These remarks have been prepared in an attempt to give voice to Jumaadi's metaphorical escapade, an escapade that goes together with his spiritual journey. At the end of his escapade, the meanings return home to their synchronic dimensions. The works are an open text ready to be recycled in many environments. Perhaps we can experience them in terms of the melancholy he wants to convey: about loneliness, longing and love in the context of existential struggle between humankind and nature which gives rise to sentimentality. The text you write must prove to me that it desires me… Roland Barthes, The Pleasure of the Text, 1973 I conclude with a quote by Roland Barthes about the 'the grain of the voice' which relates to Jumaadi's search to enliven the grains of voice which may hide behind what is written. The correspondences between poetic texts work to bring the grains that flow from an object language to life. Jumaadi seeks out the points that create 'quivers'. And he looks for ways to generate all manner of emotional experiences. I think Jumaadi hopes that his efforts to evoke that emotional impact will engender our subjectivity as viewers of his figural poetry. At this point the works he has created no longer belong to Jumaadi, but to us, new friends to his texts.
Yogyakarta, 11 December 2012 Sujud Dartanto, Curator 19
20
Rumahnya yang dibawa kemana mana, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Berjalan tanpa kepala, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Berjalan dengan tangan, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Sayap dan putih,20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Sepasang tanaman dan malam, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Rumah kecil, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Burung terbang, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Sepasang binatang berkasih kasihan, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Sayap dan malam, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Diantara anak tangga, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Ingin terbang, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Sepasang batu berkasih kasihan, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Terbang, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Menyunggi gunung, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 21
Menyunggi perahu, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012 Kursi hijau, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012 Kulkas, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012 Hujan, mendung dan pengantin, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012 Boneka, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012 Bila senja engkau pulang, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012 Kau dan aku, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012 Diam, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012 Di gunung aku menemuimu, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012 Cinta itu buta, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012 Menyunggi gajah, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012 Luka abadi, 40 x 30 cm, oil on wood, 2012
22
23
Sesembahan, 60 x 60 cm, oil on wood, 2012 Terbang di atas awan , 60 x 60 cm, oil on wood, 2012 Ranjang kekasih, 60 x 60 cm, oil on wood, 2012 Kehujanan, 60 x 60 cm, oil on wood, 2012 Binatang malam, 60 x 60 cm, oil on wood, 2012
25
Di puncak bukit, 199 x 250 cm, oil on linen, 2012 Menyebrangi malam, 160 x 210 cm, oil on linen, 2012 Melintas sepanjang hujan, 160 x 210 cm, oil on linen, 2012 Kekasih dan malam, 160 x 210 cm, oil on linen, 2012 Hujan air mata, 60 x 80 cm, oil on wood, 2012 Sepasang batu buta berkasih-kasihan, 60 x 80 cm, oil on linen, 2012
26
27
Yang purba 60 x 160 cm (2 panel), oil on wood, 2012
Hujan dan diantaranya, 140 x 60 cm (2 panel), oil on wood, 2012
28
Yang abadi dan yang sunyi, 220 x 60 cm (3 panel), oil on wood, 2012
30
31
Mengigau, 280 x 60 cm (4 panel), oil on wood, 2012
32
33
Perjalanan jauh, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Petinju bertangan satu, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Kura kura bersayap malam, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Seutas tali diantara kayu, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Terbang melewati malam, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Belajar terbang, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012 Ingin terbang, 20 x 30 cm, oil on wood, 2012
34
35
Ketika musim menyentuh angin, 252 x 45 cm (32 panel), gouache on canvas paper, 2012
36
Sebelum hujan turun, 270 x 45 cm (34 panel), gouache on canvas paper, 2012
37
Yang berjalan dan yang menyaksikan, 270 x 45 cm (34 panel), gouache on canvas paper, 2012
38
Yang tumbuh dan yang tak ragu, 290 x 45 cm (36 panel), gouache on canvas paper, 2012
39
Jawa atau penggalan pendek dari ayat ayat Alquran. Karya karya Jumaadi sungguh menunjukkan ciri khasnya yang tak mungkin dipungkiri dan ia memiliki referensi dari beragam sumber baik kebudayaan visual maupun kebudayaan verbal.
karya Jumaadi Sederetan gambar memanjang berwarna coklat tanah dan celah celah kecil memisahkan antara setiap gambar, cat cair yang melukiskan aneka warna langit; sebagian merah, kuning dan sebagian lagi hijau kebiruan. Kalimat ikonis yang ditulis dengan tebal seolah menunjukkan penekanan dari Alkitab seperti halnya yang terdapat pada lukisan Colin McCahon. Karya T.S. Eliot berjudul The Waste Land (1922) juga dikutip menjadi teks yang ditorehkan diatas deretan gambar gambar itu. Pada karya yang lain Jumaadi mengutip tulisan berbahasa
Jumaadi’s artwork A series of brown lands subdivide a small line of watercolours with variegated skies: some red, some yellow, some green-blue. Large iconic words appear as if in a biblical intonation on a painting by Colin McCahon; T.S. Eliot's The Waste Land (1922) is cited as text over some of the panels. Another works cites Javanese, or parts of The Koran. Jumaadi's work declares unmistakably it is sympathetically literate between many visual and verbal cultures.
Oleh/by John Clark Professor of Asian Art History, Australia Research Council Professorial Fellow The University of Sydney, Australia 40
What are the roots that clutch, what branches grow Out of this stony rubbish? Son of man, You cannot say, or guess, for you know only A heap of broken images, where the sun beats, And the dead tree gives no shelter, the cricket no relief, And the dry stone no sound of water….1
Jumaadi menyusuri gurun yang sunyi, suatu tempat yang menjadi referensi dari berbagai macam kebudayaan bukan hanya milik satu kebudayaan tertentu. Sebagai seniman ia pernah tinggal di hutan, di gurun, di daerah pertanian di pedalaman Australia: selain itu dia mengerti benar kehidupan masyarakat desa di tanah Jawa, karena dia juga berasal dari keluarga petani ikan, ia memahami dampak industri yang menyebabkan terjadinya bencana lumpur Lapindo. Dia pun ikut merasakan beban yang harus dipikul oleh manusia, yang kemudian ia pahat sebagai cadangan tokoh wayang yang tidak mempunyai kejelasan antara sandiwara dan takdir hidup mereka sendiri. Saat ini figur figur tersebut diukirnya diatas kayu dan akan dicetak dengan bahan logam yang sengaja dibuat sebagai contoh untuk calon calon patronnya. Tetapi bagi saya, guntingan wayang karduslah yang paling menggonggong dan paling berkesan sempoyongan, yang mana tak ada yang tahu kapankah beban hidup akan direbahkan dan kapan berakhirnya perjalanan panjang? Karya karya Jumaadi ini menyentuh puisi visual dengan gambar yang kuat dan tegas atau karena kehadirannya yang selaksa sekelibat mengisyaratkan alegori tentang susah payah kehidupan manusia, atau karena tentang kesunyian. Unsur iklim alam atau lanskap yang terekam dalam karya karya ini merupakan bentuk komunikasi manusia yang abadi, tetapi
What are the roots that clutch, what branches grow Out of this stony rubbish? Son of man, You cannot say, or guess, for you know only A heap of broken images, where the sun beats, And the dead tree gives no shelter, the cricket no relief, And the dry stone no sound of water…..1
Jumaadi voyages through an elegiac desert, one which speaks multiple cultural references without privileging any in particular. He has spent time in the bush, in the desert, in the rural farmlands of Australia: he knows the countryside of Java where his family were fish farmers, he knows its industrial desolation in mud disasters. He understands too the burdens men and women carry, carved out in stereotype as stock characters from a wayang whose theatrical as much as quotidian destinies are unclear to their bearers. Now these figures are carved in wood and moulded into metal shapes for the discernment of exemplary patrons. For me it is the cardboard cut-outs they are based on which stumble and stagger best, whose burdens can never be quite put down or their moving ended. This work attempts a poetics of the visual through the concretion of images or their momentary flickerings which serve as allegories of human effort, or loneliness. Elements of climate or the landscape they enshroud mark an incommensurable time of human communication, only possible when all the other traces are removed. Jumaadi is preeminently a literary artist well versed in his own modern culture's poetics, particularly Sitok Srengenge.
The drizzle leaves speckles on the face of the sea pierced for a moment and then gone like memories The wind and the violent water groan, the rock cliff scoured you and I founder before the dusk dies down Someday you will hear my voice, and I your voice, 41
unsur unsur tersebut baru bisa bicara setelah jejak jejak lain ditiadakan. Jumaadi merupakan seniman yang dekat dengan kesusastraan dan memahami kebudayaan puisi yang hidup dijamannya, khususnya karya karya Sitok Srengenge.
Gerimis mencetak bercak diparas lautan Terguris sejenak lalu lenyap bagai kenangan Angin dan air ganas mendengus, tebing- tebing cadas tergerus Kau dan aku kandas sebelum senja lampus Kelak kau dengar suaraku, ku dengar suaramu, Ketika selusin penempuh tebing itu telah jadi debu 2
Barangkali Jumaadi memang cukup beruntung dengan seleksi tokoh tokoh kesenian Indonesia yang ia kagumi sebelum kemudian pindah ke Australia untuk meraih BFA di tahun 2000 dan MFA di tahun 2008. Sebelum itu dia sekolah di Muhammadiyah dan juga di Pesantren, Jumaadi melihat dengan cermat Mulyono, Affandi dan Hendra Gunawan. Inilah yang menjadi dasar untuk figur figur yang diciptakannya saat ini, tetapi figur figur dalam karya Jumaadi terkesan membisu dan nampaknya ia sengaja menolak ekspresi baroque yang menjadi bahasa ungkap seniman seniman pendahulunya. Jumaadi sempat bertemu dan bergaul dengan almarhum penyair WS Rendra, lalu belajar tentang Auerbach dan Giacometti dari dosen di National Art School termasuk Aida Tomescu, Euan Macleod dan David Serisier. Dia memulai dengan belajar fotografi lalu menjadi pelukis. Berapa banyak sebenarnya seniman Indonesia yang mengenal dengan dekat keberadaan seniman seniman antipodian Eropa yang jauh dari trend dan sangat jauh dari sejarah kesenian Indonesia? Kelembutan perasaan dan dengan keteguhan tertentulah yang mendorong eksplorasi semacam ini, yang teramat jarang ditemukan di antara fashion dunia kesenian di 'globalis' Jakarta.
when that score of rock-climbers have all turned to dust 2 Maybe Jumaadi was fortunate in his selection of Indonesian art heroes before he came to Australia to study for his BFA in 2000 and MFA in 2008: He studied at a Mohammediyah pesantren, he looked carefully at Moelyono, Affandi, and Hendra Gunawan. These base his replicated figures, but whose mood is muted, almost self-consciously resisting the baroque expression of Indonesian precursors. He had hung out with poets like Rendra then learnt about Auerbach and Giacometti from his National Art School teachers Aida Tomescu, Euan Macleod, and David Serisier. He had gone to do photography with his girlfriend and ended up doing painting. How many other Indonesian artists working between paintings and low relief have such an intimate knowledge of so many European and Antipodean artists, out of fashion and out of Indonesian art history? A very particular and resolute kind of sensibility must drive this exploration, one not often found in the fashion and strut of Jakarta's 'globalist' art world.
The bends of eucalyptus stems, the dance of time, The dying dim light, the blurred stone veins, Your body absorbs the twilight, the pillow of winter, The bonfire, the shrill of kookaburra, the whimpering wind 3
Of course his appeal is direct through a sort of paradigmatic figuralism, but it is subtle nonetheless. We are looking at a journey through beguiling mists and despoiled landscapes. But this is a literalism of allegory; nothing stands quite for what it seems and to form meaning must be seen in a series, a procession of overlaps, a cutting of cardboard shapes into wood, then hard metal.
Liuk batang-batang eukaliptus, tarian waktu Cahaya redup lampus, remang urat bebatu, Tubuhmu menyerap senja, bantal musim dingin, Unggun api, lengking kukubara, rerintih angin 3
Or your shadow at evening rising to meet you; I will show you fear in a handful of dust. 2. From 'Twelve Apostles, Port Campbell', Sitok Srengenge, On Nothing: Selected Poems (Various translators, Prologue by Nukil Amal) Depok: KataKita, 2005. 3. Sitok Srengenge, ibid, from 'Dance of Eucalyptus'.
Jumaadi cenderung tertarik dengan ungkapan yang spontan seperti halnya dalam pola figuralisme, meskipun demikian ia mengerjakannya dengan teramat halus. Bila melihat karya Jumaadi kita seolah sedang menyaksikan sebuah perjalanan melewati kabut siluman dan lanskap yang tak pernah terjamah manusia. Tetapi karya ini sebenarnya merupakan perwujudan daripada alegori, apa yang anda saksikan bukan merupakan wujud yang sebenarnya dan untuk mencari makna maka kita harus melihatnya melalui sederetan karya, adalah arak arakan dari berbagai hal dan peristiwa yang saling mengisi, guntingan kertas atau kardus yang bentuknya dipindahkan ke ukiran kayu, lalu dilanjutkan menjadi bahan logam yang keras.
1. Bagian berikutnya yang dikutip Jumaadi dari The Waste Land berbunyi: Only There is shadow under this red rock, (Come in under the shadow of this red rock), And I will show you something different from either Your shadow at morning striding behind you Or your shadow at evening rising to meet you; I will show you fear in a handful of dust. 2. 'Twelve Apostles, Port Campbell', dari Sitok Srengenge, On Nothing: Selected Poems, Depok: KataKita, 2005. 3. Sitok Srengenge, 'Tarian Eucalyptus', ibid.
1. Jumaadi's citation from The Waste Land goes on: Only There is shadow under this red rock, (Come in under the shadow of this red rock), And I will show you something different from either Your shadow at morning striding behind you
43
• Api abadi • Diantara durian dan api • Di puncak gunung menemui malam • Genesis • Kesaksian Size varies from 2 m to 4 m wide 9 pieces aluminium works & 1 individual works wall installation 2012
45
• Rambutmu menjelma ranu • Tentang waktu • Yang terbang dan yang berjalan • Tumbuh • Menuju yang tak tentu Size varies from 2 m to 4 m wide 9 pieces aluminium works & 1 individual works wall installation 2012
47
mengangkatnya melewati sebuah jalan umum. Jumaadi memang tidak menyaksikan peristiwa ini dengan mata kepalanya sendiri tetapi ia mendengar adanya peristiwa ini 'begitulah rumor yang ada'.
Tubuhnya adalah rumahnya Terakhir kali pertemuan dengan Jumaadi pembahasan kami berkisar tentang kulkas. Pembicaraan kami khususnya membicarakan tentang pencurian kulkas dan tingkat kesulitan untuk melakukannya. Percakapan ini sebenarnya berhubungan dengan cerita yang ia dengar dari tanah kelahirannya. Jumaadi menyampaikan bahwa masyarakat yang ia kenal pada suatu hari mengalami perpecahan, tanda nyata yang muncul dari peristiwa ini adalah penjarahan, dan seseorang mencuri sebuah kulkas, mengangkat kulkas itu dipunggungnya lalu
A man reduced to a snail Last time I saw Jumaadi we had a conversation about fridges. In particular stealing them and how difficult that might be. Which was linked to a story he had heard of this actually happening in his homeland. Jumaadi told that the society that he knew had at one point broken down, a sure sign of this was the looting, and someone was seen taking a fridge, down the street, on their back. He hadn't actually seen it but he had heard of it 'lots of rumours'.
Oleh / by Glenn Barkley Curator, Museum of Contemporary Art (MCA) Sydney, Australia
Adalah gambaran yang sangat surealistik dan kita dapat memahami bagaimana cerita tentang pencurian kulkas ini bisa menggelitik perhatian Jumaadi, seniman yang memang cenderung tertarik dan berhubungan erat dengan hal hal yang bersifat puitis. Selaksa manusia yang sedang disederhanakan menjadi seekor siput tetapi sang siput tidak sedang menggendong rumahnya sendiri melainkan menggendong perabot rumah tangga. Hal ini semestinya bercerita kepada Anda tentang akhir abad duapuluhan yang diwarnai oleh dua hal penting yaitu tentang kebersihan dan tentang barang barang keduniawian. Maka kemudian hal hal tersebut mengantarkan Jumaadi membuat serangkaian gambar orang orang mencuri berbagai benda yang tidak pernah mungkin Anda bayangkan. Bila bukan kulkas bagaimana kalau perahu ? ... atau, mengapa tidak mencuri gajah aja sekalian .. atau bahkan mencuri malaikat. Hal tersebut mengingatkan saya pada apa yang disampaikan oleh William Faulkner: 'aku menyadari bahwa tanah asal ku yang hanya seukuran perangko memang perlu untuk dijadikan tulisan dan bahwa umurku tidak akan pernah cukup panjang untuk menceritakannya, dan dengan cara memuliakan kenyataan menjadi sebuah kekaburan maka aku akan meraih kemerdekaan menggunakan segala bakat yang aku miliki untuk menuliskan cerita ini dengan sepenuhnya'. Bila kita membayangkan tentang Indonesia, dari kaca mata Sydney, ia adalah titik titik yang berhamburan yang diberitakan oleh media masa. Tetapi kehidupan dan sejarah meliputi banyak kenyataan yang menjemukan yang tidak pernah mencapai halaman surat kabar. Karya karya Jumaadi adalah percampuran antara global, persoalan persoalan lintas bangsa, lintas budaya dan kenyataan sehari hari. Bagaimana percampuran ini diperankan
It's a surreal vision and you can tell why the tale of the stolen fridge would appeal to an artist like Jumaadi who has an ongoing interest in the poetic. A man is reduced to a snail but instead of a house he has white goods. If this doesn't tell you something about the late 20th centuries twin pre-occupations with cleanliness and worldly goods then what would? This lead to Jumaadi creating a whole series of drawings of people stealing the most unlikely things. If not a fridge what about a boat? If that, then why not an elephant or even an angel. It reminds me of what William Faulkner once said 'I discovered that my own little postage stamp of native soil was worth writing about and that I would never live long enough to exhaust it, and by sublimating the actual into the apocryphal I would have a complete liberty to use what ever talent I might have to its absolute top'. When we think of Indonesia, from the vantage point of Sydney, we think about it as a clutch of dot points that make it to the media. But of course life and history consist of a lot more prosaic realities than those things that make the newspaper. Jumaadi's work is about the intersection between global, transnational and trans-cultural issues and everyday realties. How these intersections might be played out on the ground in particular the village of Pecantingan where he grew up. He reminds us that within the terrible recent history of his homeland there is also the beautiful and transcendental. His works take many forms, he is an eclectic artist who has grabbed onto the potential of art moving across mediums from performance, to writing. He makes paintings, watercolours, drawings, even shadows. A recent series of sculptural works cast in both bronze and aluminium have a distinct relationship to both the drawings of figures carrying away their loot as well as a series of works first made as shadow puppets. Here their role was to tell a story, a traditional shadow play, and they were originally made from throwaway pieces of card. The works had to be fast and easy, it was the shadow that was the thing. Now they are transformed 49
di lapangan khususnya di desa Pecantingan tempat ia dilahirkan. Jumaadi mengingatkan kita bahwa dibalik kenyataan gelap yang terjadi di kota kelahirannya (Sidoarjo) terdapat pula keindahan dan hal hal yang sangat susah kita pahami. Karya karya Jumaadi meliputi berbagai bentuk, ia adalah seorang seniman yang eklektik yang selalu siap meraup berbagai potensi kesenian menjamah berbagai medium mulai dari pertunjukan hingga membuat karya tulisan. Jumaadi membuat lukisan, cat cair, gambar drawing, bahkan bermain main dengan wayang.
again from being light and impermanent what could be more ephemeral than a shadow? to hard and unyielding aluminium and bronze. This easy way with materials is a hallmark of his recent work that now seems to be shifting easily from two dimensions to three. His work creates its own histories and a driving narrative arc. He places us right in the place where life hits the road and where art can be made.
Seri karya terakhir dicetak dengan perunggu dan aluminium mempunyai benang merah yang erat dengan gambar figur figur membawa beban dan juga dengan wayang wayang yang ia ciptakan. Wayang tersebut memiliki fungsi untuk bercerita, selayaknya dalam wayang tradisional, akan tetapi Jumaadi membuat wayang dari kardus bekas yang dibuang. Yang menarik dari karya wayang ini adalah bahwa mereka diciptakan dengan sangat cepat dan mudah, dan sebenarnya yang terpenting adalah kualitas bayang bayang yang dihasilkannya. Setelah itu karya karya ini dirubah bentuk lagi dari bahan ringan dan tidak permanen adakah sesuatu yang lebih bersifat sementara selain daripada bayang bayang ? menjadi aluminium dan perunggu yang keras dan kokoh. Jumaadi, dalam karya terbarunya ini memperlakukan berbagai media dengan mudah dan berganti dari dua dimensi ke tiga dimensi. Karya karya Jumaadi membuat sejarahnya sendiri dan merupakan pendorong terjadinya percikan percikan naratif. Jumaadi meletakkan kita tepat pada jantung peristiwa kehidupan dan dimana kesenian saatnya untuk diciptakan.
Hendak menjelma gajah 112 x 36 x 94 cm bronze 2012
51
Bila senja engkau pulang 85 x 66 x 44 cm bronze 2012
Upacara Mimpi 99 x 76 x 46 cm bronze 2012 Cinta itu buta tanpa cinta lebih buta lagi 107 x 36 x 33 cm bronze 2012
Tubuhnya adalah rumahnya 131 x 40 x 55 cm bronze 2012 53
Perjalanan abadi 79 x 59 x 39 cm bronze 2012
Sebelum ia menjadi matahari 77 x 75 x 88 cm bronze 2012
Menyatu karena waktu 80 x 42 x 60 cm bronze 2012
Yang menggengam yang menyanyi 117 x 42 x 70 cm bronze 2012
55
Lukanya yang abadi 105 x 49 x 49 cm bronze 2012 Belajar terbang 130 x 68 x 80 cm bronze 2012
Dan aku perahu mencari ranu di hatimu 98 x 64 x 43 cm bronze 2012 Di gunung aku menemuimu 79 x 69 x 37 cm Bronze 2012
57
JUMAADI Education 2008 MASTER OF FINE ART National Art School, Sydney. 2000 BACHELOR OF FINE ART National Art School, Sydney. Grants and Awards 2011 Xuchun inaugural International comtemporary art workshops. Shanxi Province, China. 2010 Istanbul Student International Triennale. 2009 Finalist Outback Art Prize, Broken Hill, NSW 2008 Finalist Next Generation, Melbourne Art 08, Melbourne, Victoria 2007 Winner John Couburn Art Prize for Emerging Artists, part of Blake Art Prize Grant from the French Cultural Centre, Surabaya, Indonesia Residencies, Community Projects and Workshops 2012 Rimbun Dahan artist in residence at Hotel penaga Penang, Penang, Malaysia Penang state museum, shadow puppet performance and workshops, Penang Malaysia 2011 Villa Pandan Harum Artist in Residence, Bali, Indonesia Artist in Residence, Taksu Gallery, Kuala Lumpur, Malaysia Artist in Residence, Xu Chun International Art Village, Hoshun, China. Artist in Residence, Expansionist Art Empire Art Galerie, Leiden, Netherlands. Artist in Residence, Made Budhiana Gallery, Lod Tunduh, Ubud, Gianyar, Bali, Indonesia. 2010 Artist in Residence, Flinders University, South Australia. Artist in Residence, Hill End, Bathurst Regional Gallery, NSW 2009 “Letter to the Moon”, community art project with mud victims in East Java, Indonesia. “Indonesia in the Bush”, Port Macquarie, NSW teaching Javanese Folk Art and weaving techniques to schools and teachers. 2008 Curator “Indonesian Art Festival”, Bondi Pavilion, Sydney Co-directed “Ose Tara Lia”, a collaborative project with Heri Dono, Indonesian Gamelan ensemble from Flinders University and Aboriginal performers from Murray River, Adelaide Festival Centre. Grass sculpture weaving workshops in collaboration with Aboriginal Tjumpi weavers, Art Space, Adelaide Solo Exhibitions 2012 PAUSE, waters gallery, Sydney, australia 2011 “Illumination”, Made Budiana Gallery, Lod Tunduh, Ubud, Bali, Indonesia,
2010 2009 2008
2007 2006 2005
2004 2003 2002
1999
“Landscape of Memory “,Expansionist Art Empire Art Galerie, Leiden, Netherlands. “Travelling Light “, Taksu Galley, Kuala Lumpur, Malaysia. "Rain Rain, Come Again” , Watters Gallery, Sydney “Unsent Letter”, Legge Gallery, Sydney “Home Sweet Home”, Art Space, Adelaide Festival Centre “Letters and Stories”, Soma Gallery, Adelaide “Home is not sweet home”, Gallery 4A, Sydney “Museum of Memory”, Project Space, National Art School, Sydney “Jumaadi Next Generation”, Art Melbourne 08, Victoria “Story from Cloud, Sky and Rain”, Legge Gallery, Sydney, Australia Jumaadi “World Created “, French Cultural Centre, Surabaya, Indonesia. “Works on Paper”, Legge Gallery, Redfern, NSW. WS Rendra 70th Birthday, Hotel Kartika Wijaya, Batu, East Java, Indonesia. “Jumaadi at Mura Clay”, Mura Clay Gallery, Sydney. “Be- Longing” Mura Clay, Newtown, NSW “Mapping Memory” Bondi Beach Pavilion Gallery, NSW, Australia “Dreams & Memories”, Hill on Hargrave Gallery, Woollahra “The Green Paintings”, French Cultural Centre, Surabaya, Indonesia “One Thousand Frangipanis”, Australian Volunteers International, Sydney, Australia
Selected Group Exhibitions 2012 “Contemporary Work on Paper from Indonesia “, DNA project space, Sydney, NSW, Australia “Mosman Art prize “ Mosman regional Gallery, NSW, Australia “Figure Drawing “ drawing centre, National Art School, Sydney, Australia Bali artist camp “, Made Budiana Art gallery, Lod Tunduh, Bali, Indonesia 2011 Who Is afraid of the wood “, Jakarta Biennale 2011, National gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia Xu chun Innaguaral Contemporary Art Workshops, Shanxi province, China “ My Australia “ Kuandu Museum of Fine Art, Taipe. “Franks Flat “ Maitland Regional gallery, NSW, Australia. “ The Sin City .National Gallery of Indonesia, Jakara “ Buka jalan Performance festival”, National gallery of Malaysia, Kuala Lumpur. 2012 Museum of Memory, Flinders University Pendopo, South Australia. Istambul Student International Triennale, Turkey Art Month Sydney, Watters Gallery, Sydney "2010", National Art School Gallery, Sydney 2009 End of Year Show, Watters Gallery, Sydney, NSW “Common Sense”, National Gallery of Indonesia, Jakarta “Outback Art Prize”, Broken Hill Regional Gallery, NSW Australia “Perang Kata Dan Rupa”, Gallery Salihara, Jakarta “Theatre Of Grass” Blue Poles Gallery, Byabarra, NSW, Australia. Work On Paper, Legge Gallery, Sydney, Australia “Without Boundaries: Artist Books”, Mundubbera Regional Art Gallery, NSW 2008 “Without Boundaries: Artist Books”, Art Gallery of NSW Research Library Annual Members Exhibition, Gallery 4A, Sydney, Australia Blake Art Prize, National Art School Gallery, Australia Melbourne Art Fair, Legge Gallery, Sydney “Black And White”, Legge Gallery, Sydney Blake Art Prize, Dilmar Gallery, Sydney 2007 Blake Art Prize, NAS Gallery, Sydney “Painted Bridges”, University Of Southern Queensland Gallery, Queensland 2006 Redlands Westpac Art Prize, Mosman Regional Gallery End Of Year Exhibition, Legge Gallery, Sydney 2005 Jumaadi And Peta Hinton, Legge Gallery, Sydney “The Song Of Grass” Garden Of Government House, Sydney Outdoor Sculpture Exhibition Nan Tien Temple Wollongong
2004
2003
Mosman Art Prize, Mosman Regional Gallery. “ Selected works”, Craft Victoria, Melbourne, Victoria. Installation of grass puppets and digital images at the Studio of the Sydney Opera House . Mosman Art Prize, Mosman Regional Gallery. Art on the Rocks, ASN Gallery, The Rocks. Mosman Art Prize, Mosman Regional Gallery Art on the Rocks Exhibition, ASN Gallery, The Rocks Salon de Refuses, SH Erwin Gallery, Sydney Mosman Art Prize, Mosman Regional Gallery, NSW, Australia
59
Ucapan terima kasih
Dengan ini saya mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya pameran ini. Persiapan pameran ini membutuhkan waktu yang panjang dan tak mungkin bisa terjadi tanpa dukungan, kekuatan dan inspirasi dari keluarga dan sahabat -sahabat tercinta yang tak mungkin saya sebutkan namanya satu persatu. Para seniman, jurnalis dan teman-teman lainnya yang senantiasa memberikan inspirasi dan semangat, saya akan selalu mengingat kebaikan hati kalian. Kepada Tata Dyah Purwita Sari yang bernyanyi pada pembukaan acara pameran ini, Ida Lawrence yang telah memberikan saya ruangan di rumahnya di Jogja untuk berkarya, Glenn Barkley sang Curator of Museum of Contemporary Art di Sydney dan Professor John Clark dari University of Sydney yang menulis pengantar katalog pameran, Bapak Syakieb Sungkar sebagai pembuka acara pameran, kepada Monica Gunawan dari Art:1 atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berpameran di galeri yang sangat istimewa ini dan Mirna Rivai dari Artworks sebagai coordinator project pameran yang memberikan kepercayaannya yang besar kepada saya, perkenankan saya untuk mengucapkan banyak terima kasih. Kepada Mas Sujud Dartanto selaku kurator dan teman yang banyak memberikan waktu, persahabatan, tantangan dan gagasangagasan yang cemerlang. Pak Irwan Widjaja yang senantiasa memacu semangat saya untuk berkarya namun juga kerap memberikan saran dan kritik yang membangun. Kepada Mas Ismanto Wahyudi sebagai project manager ketika patung patung ini diciptakan dan mempersiapkan kanvas dan pigura. Mas Ismanto dan Mas Sujud memberikan kenyamanan hidup saya selama di Jogja serta banyaknya waktu yang diberikan kepada saya melalui koresponden. Kepada Sarmiah ibuku, Siobhan Campbell istriku dan Jaya Yoannidis anakku yang memberikan kekuatan, cinta dan kelonggaran waktu untuk bepergian dan eksplorasi diri, banyak cinta dan aku dedikasikan pameran ini buat kalian. Demikian saya mengucapkan terima kasih sedalam dalamnya dari lubuk hatiku. Salam damai JUMAADI