www.kifayatulawam.wordpress.com
A. Uraian Sifat Kalam Allah Ta’ala
421 Dan telah berkata-kata Allah Ta’ala kepada Musa dengan kalam sempurna a. Yang dimaksud dengan kalam yang merupakan sifat Allah Ta’ala adalah perkataan Allah Ta’ala yang tidak berhuruf dan tidak bersuara. Yang tidak berhuruf dan tidak bersuara itu memastikan tidak terdahulu dan tidak terkemudikan. b. Mustahil tidak berkalam (kelu), yang dimaksud dengan tidak berkalam (kelu) adalah meliputi : 1. Tidak bersifat kalam sama sekali 2. Bersifat kalam tetapi kalam itu berhuruf dan bersuara yang memastikan tersdahulu dan terkemudian. Penjelasan 1. Kalam ada dua macam a. Kalam Nafsi : Yang dimaksud dengan kalam nafsi ialah kalam yang tidak berhuruf dan tidak bersuara. Jelasnya, apabila si A bertanya kepada si B ini apa ? serta menunjukkan kepada sesuatu yang dijadikan harga
dalam jual beli, kemudian si B menjawab dengan jawaban bukan kata-kata, yang mana kata-kata adalah merupakan unsur bahasa. Bila jawaban itu dijelmakan ke dalam bahasa Indonesia, maka terdengar lafaz “uang:” bila jawaban itu dijelmakan dengan bahasa Inggris maka terdengarlah lafaz “ money” bila jawaban itu dijelmakan dengan bahsa Arab maka terdengarlah lafaz “ fulus”, maka uang, money, dan fulus adalah ibarat dari kalam nafsi yang asda padsa si B. b. Kalam Lafzi. Yang dimaksud dengan kalam lafzi ialah lafaz yang mengibaratkan kalam nafsi itu, maka pada contoh tadi dapat diketahui bahwa lafaz uang, lafaz money, lafaz fulus adalah kalam lafzi. 2. Kalam Allah Kalam Allah Ta’ala itu diartikan dalam dua arti, yaitu : a. Kalam Nafsi ; yang tidak berhuruf dan tidak bersuara yang memastikan tidak terdahulu dan tidak terkemudian. b. Al-Qur’an yakni lafaz yang diturunkan oleh Jibril kepada Rasulullah SAW yang tertulis dalam mushaf.
3. Al-Qur’an diartikan dalam tiga arti, yaitu ; a. Kalam Nafsi yang tidak berhuruf dan tidak bersuara sama dengan arti kalam Allah Ta’ala dalam arti pertama (a). b. Lafaz yang diturunkan Jibril kepada Rasulullah SAW, yang tertulis dalam mushaf dalam arti yang kedua (b) c. Mushaf itu sendiri yakni yang didalamnya tertulis Al-Qur’an dalam arti yang ketiga (c). Pengertian kalam Allah dan Al-Qur’an yang berbedabeda itu mengakibatkan berbeda-beda hukum yang tertuju kepadanya. Berbeda-bedanya hukum karena berbeda-beda pengertian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kalam Allah Ta’ala dalam pengertian yang pertama (a) adalah qadim karena ia adalah salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala 2. Kalam Allah Ta’ala dalam pengertian kedua (b) adalah hadits karena ia lafaz yang diturnkan oleh Jibril yang memastikan terpisah dari zat Allah Ta’ala yang bukan sifatNya, tetapi adalah ciptaanNya maka itu makhluk. 3. Al-Qur’an dalam pengertian yang pertama (a) adalah qadim karena ia adalah sifat Allah Ta’ala 4. Al-Qur’an dalam pengertian yang kedua (b) adalah hadits karena ia diturunkan oleh Jibril yang
memastikan terpisah dari zat Allah Ta’ala (bukan sifat) 5. Al-Qur’an dalam pengertian yang ketiga (c) adalah hadits karena dibuat (ditulis) oleh manusia dan haram menyentuhnya bagi orang yang berhadas besar maupun yang berhadas kecil. 6. Pahala membaca Al-Qur’an dalam pengertian yang kedua (b) itulah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah mati. 7. Kaifiat turunnya Al-Qur’an. Terdapat tiga pendapat ulama tentang kaifiat turunnya AlQur’an yakini, apa yang dituturkan oleh Jibril dan apa yang diterima oleh Rasulullah SAW. a. Makna saja ; lafaznya adalah dari Jibril yakni ibarat dari Jibril b. Maknanya saja, lafaz adalah dari Rasulullah SAW, yakni ibarat dari Rasulullah SAW. c. Makna dengan lafaz, berarti bahwa yang diturunkan Jibril dan yang diterima Rasulullah SAW, adalah makna dan lafaz, yakni makna dan lafaz kedua-duanya adalah langsung dari Allah Ta’ala sendiri., Pendapat ketiga (c) adalah pendapat ahlissunnah wal jama’ah yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
B. Hakekat Kalamullah Semua aliran teologi Agama Samawi sependapat bahwa; Allah Ta’ala berkalam, dengan kalam itu Allah Ta’ala menyuruh dan melarang hamba-Nya berbuat sesuatu, baik langsung maupun melalui Rasul-Nya. Mereka tidak berbeda pendapat tentang eksistensi kalam (wujudiahnya) dan menisbahkan kalam itu kepada Allah Ta’ala. Mereka berbeda pendapat tentang kuiditas kalam itu (mahiyahnya), apakah kalam itu aksiden temporal (arad hadits) sebagai sifat kreatif (sifat kerja) bagi Allah Ta’ala ? atau kalam itu substansi external (maujud qadim) sebagai sifat Zat Allah Ta’ala . Kuiditas (Mahiyat) Kalam. Aliran teologi Islam, tidak sependapat tentang kuiditas kalam (mahiyat kalam), sehingga mengakibatkan berbeda pendapat mereka terhadap kemestiankemestian dari kuiditas kalam yang berbeda–beda itu. Disebabkan kesamaran tentang kuiditas kalam, maka tidak jarang timbul kekeliruan dalam memahami teori– teori Ahlus-Sunnah mengenai kalam sebagai salah satu sifat Allah Ta’ala . agar terhindar dari kesamaran yang mengakibatkan kekeliruan itu, penulis mencoba menguraikan kuiditas kalam menurut teori aliran teologi Islam sebagai berikut ;
Jumhur Ahlissunnah menyatakan ;
Menurut Imam as-Sanusi Kalam Allah Ta’ala yang bersubstansi zat-Nya ialah; suatu sifat external yang tidak berbentuk huruf, tidak berbentuk suara, tidak pernah mengalami tiada, tidak yang semakna dengan tiada seperti diam, tidak terbagi-bagi, tidak terdahulu dan tidak terkemudian Definisi ini memastikan bahwa; kalam itu bukan aksiden temporal (aradl hadits) sebagai sifat kreatif ( berbicara ), tetapi ia adalah sifat external bagi zat yang tidak pernah mengalami tiada baik pada permulaan, pada pertengahan maupun pada kesudahan (azali lagi abadi ). Maka kalam itu bukan bicara, tetapi ia adalah sifat zat yang senantiasa, ia bukan jenis suara yang terdiri dari huruf-huruf, karena suara yang demikian memastikan adanya prior dan posterior (taqaddum dan ta’akhur pada wujudnya ). Demikian juga taklim yang Iafirmasikan kepada Allah Ta’ala bukan berbicara karena berbicara itu didahului oleh tiada ( temporal ) yakni memulai yang sebelumnya tiada. Tetapi ( )تكليمtaklim itu ialah
memberikan kesanggupan kepada seseorang mendengar kalam yang bukan dari jenis suara itu. Maka arti وكـلم هللا موسى تكـلـيماmenurut jumhur Ahlis-Sunnah ialah; Allah Ta’ala memberikan kesanggupan kepada nabi Musa untuk mendengar kalam Qadim yang bukan jenis suara itu; sehingga nabi Musa mendengar kalam itu dan dapat membaca maknanya yang mereka istilahkan dengan kalam nafsi. Namun Abu Mansur Al Maturidi dari kalangan jumhur berpendapat bahwa; kalam qodim itu tidak termasuk objek sasaran pendengar karena ia bukan jenis suara. Maka arti : وكـلـم هللا مـوسى تـكـلـيـمـاmenurut beliau ialah; Allah Ta’ala mengibaratkan / menjelmakan kalam qodim itu dengan bentuk suara, sehingga nabi Musa dapat mendengarnya. Apa yang ditunjuki oleh kalam yang didengar oleh nabi Musa persis sama dengan apa yang ditunjuki; oleh kalam Qodim yang tidak dapat didengarnya itu.