BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Locus Of Control 2.1.1 Definisi Locus Of Control Konsep locus of control (pusat pengendalian) pertama kali dikemukakan oleh Julian Rotter, seorang ahli teori pembelajaran sosial. Pada bagian inti teori belajar sosial Rotter, dijelaskan bahwa orang memiliki kemampuan untuk melihat hubungan kausalitas antara perilakunya sendiri dan kemunculan dari penguat (Feist & Feist, 2010). Seseorang akan berusaha meraih tujuannya karena memiliki harapan bahwa usahanya akan menghasilkan kesuksesan. Konsep yang berasal dari teori sosial Router dan dari interpretasi individu dibuat pada tingkat kontrol mereka atas peristiwa-peristiwa kehidupan (Serin, 2010). Sebagai karakteristik kepribadian, locus of control memiliki kecenderungan untuk melihat bahwa individu percaya hasil yang di dapat merupakan hasil dari perilakunya
atau
dikendalikan
oleh
kekuatan
eksternal
seperti
nasib,
keberuntungan, kesempatan atau yang lain. Mereka dengan internal locus of control merasakan hasil dari peristiwa yang mereka perbuat bergantung pada tindakan mereka sendiri, sedangkan mereka yang memiliki locus of control eksternal merasakan hasil dari peristiwa menjadi kontingen dengan faktor eksternal (Rotter, 1966). Locus of Control menurut Rotter (dalam Lloyd & Hastinhs, 2009) mengacu pada dimensi kepribadian yang membantu menjelaskan perilaku seseorang. Hal ini mengacu pada persepsi sejauh mana orang percaya bahwa mereka dapat mengontrol peristiwa yang mempengaruhi mereka, sehingga menyebabkan mereka untuk percaya bahwa mereka adalah sumber dari apa yang terjadi dalam hidup mereka. Locus of control didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang untuk melihat peristiwa seperti yang dikendalikan secara internal maupun eksternal.
Kecenderungan
ini
mencirikan
perspektif
kemerdekaan-diri dan kontrol oleh orang lain (Corsini, 1999).
11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
seseorang
tentang
Locus of Control juga menentukan kemungkinan perilaku tertentu serta hasil dari terlibat dalam perilaku (Lefcourt, 1976. April, Dharani, & Peters, 2012). Orang dengan locus of control internal merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi hasil dari pekerjaan mereka dengan usaha mereka sendiri, keterampilan dan karakteristik. Orang-orang yang menganggap hasil yang ditentukan oleh kekuatan eksternal seperti keberuntungan, kebetulan dan nasib memiliki orientasi locus of control eksternal (Schultz & Schultz, 2011). Individu dengan locus of control internal percaya bahwa mereka sendiri yang bertanggung jawab atas kehidupan dan kegiatan,dan hasil yang di dapat bergantung pada kinerja pribadi mereka sendiri (Flory, 2006) Robbins (2008) mengemukakan bahwa locus of control merupakan tingkat keyakinan individu bahwa ia adalah penentu nasibnya sendiri. Definisi tersebut sejalan dengan pendapat Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2007), yang menyatakan bahwa locus of control menentukan tingkat keyakinan individu bahwa perilakunya mempengaruhi apa yang terjadi pada dirinya. Jadi locus of control menunjukkan seberapa besar keyakinan individu bahwa kemampuan dan usahanya dapat merubah nasib atau keadaan hidupnya. Jika individu cenderung untuk melihat bahwa hasil penguatan dari perilaku mereka sendiri, mereka dianggap memiliki Locus of control internal. Jika individu cenderung melihat nasib, keberuntungan, atau orang lainyang bertanggung jawabatas perilaku mereka, daripada perilaku mereka sendiri, mereka memiliki Locus of control eksternal (Rockstraw, 2006). Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa locus of control terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal. Locus of control mengacu pada dimensi kepribadian yang menjelaskan perilaku seseorang bahwa mereka adalah sumber dari apa yang terjadi dalam hidup mereka sebagai penentu nasibnya sendiri, dan yang mempengaruhi apan yang terjadi pada dirinya.
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.1.2 Dimensi Locus of Control Locus of control memiliki dua dimensi yaitu internal dan eksternal. Rotter (dalam Friedman & Schustack, 2008) menyatakan bahwa locus of control merupakan variabel perbedaan individual yang stabil yang memiliki dua dimensi yakni internal dan eksternal, yang mempengaruhi berbagai perilaku dalam sejumlah konteks yang berbeda. Banyak ahli yang mendefinisikan kedua dimensi tersebut. Friedman dan Schustack (2008) mendefinisikan locus of control internal merupakan ekspektasi umum bahwa tindakan individu sendiri akan menyebabkan munculnya hasil akhir yang diinginkan, sedangkan locus of control eksternal merupakan keyakinan bahwa hal di luar diri, seperti kesempatan atau kekuatan lain menentukan hasil akhir yang akan diperoleh. Senada dengan definisi tersebut, Robbins (2008) menyatakan bahwa individu-individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apapun yang terjadi pada diri mereka merupakan individu yang memiliki locus of control internal, sedangkan individu-individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar seperti keberuntungan atau kesempatan merupakan individu yang memiliki locus of control eksternal. Orang yang berorientasi pada locus of control internal lebih bersedia untuk melakukan tindakan sendiri (Hoffman, 2003). Dengan demikian, mereka berkomitmen untuk tugas-tugas yang berisiko, inovatif, dan sulit (Hollenbeck et al., 1989), Howell dan Avolio 1993).Mereka mencari tugas-tugas yang membutuhkan kontrol pribadi (Brenders 1987). Locus of contro linternal percaya pada kemampuan mereka sendiri, mereka mencoba untuk menetapkan tujuan dan juga mengontrol peristiwa (Phillips dan Gully 1997). Selain itu, sebagian besar usaha mereka untuk menguasai situasi (Brenders 1987) namun disisi lain, locus of control eksternal menghindari dari tugas dan situasi sulit khususnya orang yang membutuhkan partisipasi aktif (Hoffman, 2003). Locus of control eksternal percaya bahwa mereka tidak memiliki keterampilan efektif dalam situasi yang berbeda (Larson, 1990). Bahkan, individu internal yang percaya bahwa mereka yang bertanggung jawab atas hasil yang di dapat, sedangkan orang eksternal
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
percaya bahwa hasil dikendalikan oleh sesuatu selain keberuntungan, kesempatan, atau orang lain. 2.1.3 Aspek-aspek Locus of Control Individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal dan eksternal memiliki faktor keyakinan yang berbeda-beda mengenai penyebab dari peristiwa atau hasil yang diperoleh dalam hidupnya. Locus of control internal dan eksternal memiliki beberapa faktor di dalamnya. Rotter (dalam Phares, 1992) menjelaskan faktor dalam aspek internal dan eksternal. Aspek internal terdiri dari faktor: 1) Kemampuan, individu dengan kecenderungan locus of control internal percaya bahwa keberhasilan dan kegagalan sangat dipengaruhi oleh kemampuan. 2) Minat, individu dengan kecenderungan locus of control internal memiliki minat yang besar terhadap kendali perilaku dan tindakan. 3 3) Usaha, individu dengan kecenderungan locus of control internal memiliki sikap pantang menyerah dan berusaha mengendalikan perilaku dengan semaksimal mungkin. Sedangkan aspek eksternal terdiri dari faktor: 1) Nasib, individu dengan kecenderungan locus of control eksternal mempercayai firasat baik, buruk, menganggap kesuksesan dan kegagalan yang diperoleh merupakan takdir dan tidak dapat merubah peristiwa yang telah terjadi. 2) Keberuntungan, individu dengan kecenderungan locus of control eksternal menganggap setiap orang memiliki keberuntungan dan mempercayai adanya keberuntungan. 3) Sosial ekonomi, individu dengan kecenderungan locus of control eksternal memiliki sifat materialistik dan menilai orang berdasarkan tingkat kesejahteraan. 4) Pengaruh orang lain, individu dengan kecenderungan locus of control
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
eksternal sangat mengharapkan bantuan orang lain dan menganggap bahwa perilakunya dipengaruhi oleh orang yang memiliki kekuasan lebih tinggi darinya.
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Locus of control M. Nur dan Rini (2012) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan locus of control individu adalah lingkungan fisik dan sosial. Lingkungan sosial yang pertama bagi seseorang ialah keluarga karena di dalam keluarga terdapat interaksi antara orang tua dan anak. Penanaman nilai-nilai dan norma seseorang juga terjadi di dalam keluarga. M. Nur dan Rini (2012) menjelaskan, locus of control internal mulai terbentuk apabila tingkah laku anak mendapatkan respons karena dengan respons, anak akan merasakan sesuatu di dalam lingkungannya. Locus of control eksternal dapat ditimbulkan apabila tingkah laku anak tidak mendapatkan reaksi. Anak akan merasa bahwa perilakunya tidak mempunyai akibat apapun sehingga anak merasa tidak dapat menentukan akibat dari perilakunya karena keadaan di luar dirinyalah yang menentukan. Mengenai kelas sosial, penelitian sebelumnya ditemukan individu yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih istimewa dapat melihat masa depan lebih optimis daripada yang dari individu dengan latar belakang sosial ekonomi yang kurang beruntung (Lamm, Schmidt, & Trommsdorff, 1976 Alm 2014). Seperti yang disarankan oleh Alm (2011), perbedaan locus of control (Rotter, 1954) bisa menjadi bagian dari penjelasan untuk ini. Posisi kelas yang lebih istimewa terkait kemungkinan lebih baik untuk kontrol, secara langsung berhubungan kembali dengan bekerja, tetapi juga secara tidak langsung dalam kaitannya dengan pendapatan yang lebih tinggi. Individu
yang posisi sosial
ekonomi yang lebih istimewa dapat melihat apa yang terjadi dalam kehidupan mereka sebagai akibat dari keputusan dan tindakan mereka sendiri, bukan sebagai hasil dari keberuntungan atau iman atau tindakan orang lain
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.2 Orientasi Masa Depan 2.2.1 Definisi Orientasi Masa Depan Nurmi (1989) menyebutkan bahwa orientasi masa depan yaitu sesuatu yang kompleks, multidimensi dan banyak hal yang terkait fenomenanya. Ia juga menyatakan bahwa orientasi masa depan ini sangat erat kaitannya dengan harapan-harapan, tujuan, standar serta rencana dan strategi yang dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan, mimpi-mimpi dan cita-cita. Orientasi masa depan menggambarkan tentang individu memandang dirinya dalam konteks masa depan. Dalam mengarahkan diri ke masa depan, individu akan mengalami proses dalam diri yang meliputi tiga tahap yang saling berkaitan yaitu motivasi, perencanaan dan evaluasi.Orientasi masa depan, yang mengacu pada pengalaman individu, rencana, motivasi, dan perasaan tentang atau masa depannya (Nurmi, 1991), telah diidentifikasi sebagai faktor pelindung dan promotif bagi remaja. Trommsdorf (1983) mengemukakan pengertian orientasi masa depan sebagai fenomena kognitif motivasional yang kompleks, yaitu merupakan antisipasi dan evaluasi tentang diri yang akan datang dalam interaksinya dengan lingkungan. Ciri utama dari pemikiran dan tindakan manusia adalah berorientasi pada kejadian-kejadian dan hasil-hasil yang akan datang. (Triana Kumala Ayu, 2013) Bandura (1986) menekankan bahwa kemampuan untuk merencanakan masa depan merupakan salah satu ciri dasar pemikiran manusia. Bagaimana individu memandang masa depan berarti individu telah melakukan antisipasi terhadap kejadian-kejadian yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Orientasi masa depan merupakan ciri dari tingkah laku yang bertujuan dan berdasarkan hal ini maka orientasi masa depan diartikan sebagai bagaimana seseorang memandang masa depannya dimana hal ini menyangkut harapan, tujuan, perencanaan dan strategi pencapaian tujuan. Orientasi masa depan terdiri dari gambar individu memegang menyangkut masa depan mereka sebagai harapan dan ketakutan (Seginer dan Halabi-Kheir, 1998). Karakteristik dari orientasi masa depan pada seseorang adalah ketika, pada tingkat
tertentu
dari
perkembangan
mereka,
16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mereka
sadar
akan
perbedaanhubungan antara masa lalu, sekarang dan masa depan. Orientasi masa depan adalah kebutuhan yang diperlukan akan orientasi umum seseorang dan eksistensi mengenai lingkungan mereka sendiri, alasan, tujuan, dan konsekuensi dari tindakan mereka sendiri (Hideg dan Novaky, 2010). Pada penelitian sebelumnya terdapat bukti bahwa orientasi masa depan dapat menjadi motivator yang kuat dari perilaku saat ini (Greene dan Debacker, 2004). Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa orientasi masa depan adalah cara pandang individu dalam konteks masa depan dengan proses dalam diri berupa motivasi, perencanaan dan evaluasi.. Yaitu antisipasi dan evaluasi tentang diri yang akan datang dalam interaksinya dengan lingkungan. Menyangkut harapan, tujuan, perencanaan dan strategi pencapaian.
2.2.2 Perkembangan Orientasi Masa Depan Orientasi masa depan merupakan proses yang kompleks dan bersifat terusmenerus. Ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan (Nurmi, 1991). 1. Orientasi
masa
depan
berkembang
dalam
konteks
budaya
dan
institusional. Harapan normatif dan pengetahuan mengenai masa depan menjadi dasar untuk membentuk minat dan rencana masa depan, dan hubungan antara atribusi kausal dan afek. 2. Minat, rencana dan keyakinan yang berkaitan dengan masa depan dipelajari melalui interaksi sosial dengan orang lain. 3. Orientasi masa depan bisa dipengaruhi faktor psikologis seperti perkembanagn kognitif dan sosial
17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tabel 2.1 Perkembangan Orientasi Masa Depan dan Proses yang Terdapat di dalamnya (Nurmi, 1991).
Rentang Kehidupan Yang diantisipasi
Peristiwa Kehidupan Normatif
Motivasi
Tujuan
Perkembangan Konstektual
Kesempatan
Perencanaan
Rencana
Standar dan Batas Waktu
Konsep Diri
Evaluasi
Dari bagan diatas dapat dilihat bahwa lingkungan konteks sosial yang meliputi persitiwa normatif, kesempatan, standar dan batas waktu untuk evaluasi mempengaruhi pembentukan skemata mengenai perkembangan kehidupan yang diantisipasi, perkembangan kontekstual, dan konsep diri. Hal ini akan mempengaruhi orientasi masa depan seseorang baik dalam tahapan motivasi, perencanaan maupun evaluasi. Lebih lanjut, dijelaskan sebagai berikut. (Nurmi, 1991). 1. Peristiwa normatif berkaitan dengan tugas perkembangan beserta jadwal pencapaian tugas perkembangan menjadi dasar pembentukan tujuan dan minat yang berorientasi masa depan. 2. Kesempatan dalam rentang kehidupan seperti usia tertentu untuk menyelesaika tugas perkembangan, menjadi dasar perkembangan orientasi masa depan dalam hal rencana dan strategi. 3. Standar dan tenggang waktu dan solusi evaluasi dari tugas perkembangan dinilai sukses menjadi dasar pembentukan tahap evaluasi dalam orientasi masa depan. Lingkungan atau konteks sosial (keluarga, sekolah dan
18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
lainnya) ini berinteraksi dengan skemata yang ada dalam diri individu (internal) sebagai wujud antisipasi terhadap perkembangan rentang kehidupan, perkembangan kontekstual dan konsep diri. Skemata yang terbentuk akan berinteraksi dengan ketiga tahapan orientasi masa depan yaitu motivasi, perencanaan dan evaluasi yang kemudian membentuk gambaran mengenai masa depan.
2.2.3 Proses Pembentukan Orientasi Masa Depan Orientasi masa depan dilihat sebagai tiga proses psikologis yaitu motivasi, perencanaan, dan evaluasi. Proses itu berlangsung secara bertahap dan saling berinteraksi satu sama lainya. Individu menentukan tujuan mereka dengan mempertimbangkan minat, nilai, dan harapan dimasa depan. Selanjutnya mereka akan melakukan upaya untuk merealisasikan tujuan tersebut dengan melakukan berbagai perencanaan yang telah dibuat sebelumnya (Nurmi, 1991). Ketiga proses ini akan dijelaskan lebih detail sebagai berikut : 1. Motivasi Tahap motivasional merupakan dimensi awal dari hasil proses pembentukan orientasi masa depan. Tahap ini mencakup motif, minat dan tujuan yang berkaitan dengan orientasi masa depan. Mulanya individu menetapkan tujuan berdasarkan perbandingan antara motif umum dan penilaian, serta pengetahuan yang telah dimiliki tentang perkembangan sepanjang rentang hidup yang dapat di antisipasi. Ketika keadaan masa depan beserta faktor pendukungnya telah menjadi sesuatu yang diharapkan dapat terwujud, maka pengetahuan yang menunjang terwujudnya harapan tersebut menjadi dasar penting bagi perkembangan motivasi dalam orientasi masa depan (Nurmi dalam Desmita, 2005). Minat, motif, pencapaian dan tujuan individu merupakan sistem motivasional yang memiliki hierarki yang kompleks. Hierarki motivasi ini dibedakan berdasarkan derajat generality dan abstractness dari tujuan yang dibuat (Emmons; Lazarus dan Folkman dalam Nurmi, 1989). Dengan kata lain semakin tinggi tingkatan tujuan maka semakin umum dan abstrak, begitu juga sebaliknya.
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Prinsip utama dari tingkatan kerja ini adalah tingkatan motif, nilai atau pencapaian yang semakin tinggi membutuhkan tingkatan tujuan yang lebih rendah, yang bekerja melalui beberapa tujuan kecil. Dengan kata lain, untuk mencapai satu tujuan besar diperlukan tujuan-tujuan kecil (tujuan perantara). Sebelum mencapai tujuan besar individu terlebih dahulu harus mencapai tujuan perantara dan ini merupakan strategi merealisasikan tujuan yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Nurmi (dalam Desmita 2005), bahwa perkembangan motivasi dari orientasi masa depan merupakan suatu proses yang kompleks, yang melibatkan beberapa subtahap, yaitu: -
Pertama, munculnya pengetahuan baru yang relevan dengan motif umum atau penilaian individu yang menimbulkan minat yang lebih spesifik.
-
Kedua, individu mulai mengeksplorasi pengetahuannya yang berkaitan dengan minat baru tersebut.
-
Ketiga, menentukan tujuan spesifik, kemudian memutuskan kesiapannya untuk membuat komitmen yang berisikan tujuan tersebut.
2. Perencanaan Perencanaan merupakan kedua dari hasil proses pembentukan orientasi masa depan individu. yaitu bagaimana individu membuat perencanaan tentang perwujudan minat dan tujuan mereka. Tahap perencanaan menekankan bagaimana individu merencanakan realisasi dari tujuan dan minat mereka dalam konteks masa depan (Nurmi, 1989). Nurmi (1989) menjelaskan bahwa perencanaan dicirikan sebagai suatu proses yang terdiri dari tiga subtahap, yaitu : a. Penentuan subtujuan. Individu akan membentuk suatu representasi dari tujuan-tujuannya dan konteks masa depan di mana tujuan tersebut dapat terwujud. Kedua hal ini didasari oleh pengetahuan individu tentang konteks dari aktifitas di masa depan, dan sekaligus menjadi dasar dari subtahap berikutnya. b. Penyusunan rencana. Individu membuat rencana dan menetapkan strategi untuk mencapai tujuan dalam konteks yang dipilih. Dalam menyusun suatu rencana, individu dituntut
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menemukan cara-cara yang dapat mengarahkannya pada pencapaian tujuan dan menentukan cara mana yang paling efisien. Pengetahuan tentang konteks yang diharapkan dari suatu aktivitas di masa depan menjadi dasar bagi perencanaan ini. Melaksanakan rencana dan strategi yang telah disusun. Individu dituntut. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan rencana tersebut. Pengawasan dapat dilakukan dengan membandingkan tujuan yang telah ditetapkan dengan konteks yang sesungguhnya di masa depan. Untuk menilai sebuah perencanaan yang dibuat oleh individu, dapat dilihat dari tiga komponen yang tercakup di dalamnya, yaitu pengetahuan (knowledge), perencanaan (plans), dan realisasi (realization) (Nurmi, 1989). Pengetahuan disini berkaitan dengan proses pembentukan subtujuan dalam proses perencanaan. Perencanaan ini berkaitan dengan hal-hal yang telah ada dan akan dilakukan individu dalam usaha untuk merealisasikan tujuan. c. Evaluasi Evaluasi merupakan dimensi akhir dari hasil proses pembentukan orientasi masa depan. Tahap evaluasi ini adalah derajat dimana minat dan tujuan diharapkan dapat terealisir. Nurmi (1989), memandang evaluasi sebagai proses yang melibatkan pengamatan dan melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang ditampilkan, serta memberikan penguat bagi diri sendiri. Jadi, meskipun tujuan dan perencanaan orientasi masa depan belum diwujudkan, tetapi pada tahap ini individu telah harus melakukan evaluasi terhadap kemungkinan-kemungkinan terwujudnya tujuan dan rencana tersebut. Dalam mewujudkan tujuan dan rencana dari orientasi masa depan, proses evaluasi melibatkan hubungan sebab akibat yang didasari oleh evaluasi kognitif individu mengenai kesempatan yang dimiliki dalam mengendalikan masa depannya, perasaan atau emosi berkaitan dengan kondisi-kondisi yang muncul sewaktu-waktu dan tanpa disadari (Nurmi, 1989). Menurut Weiner (dalam Nurmi, 1989) atribusi terhadap kegagalan dan kesuksesan dengan penyebab tertentu akan diikuti oleh emosi tertentu. Model Weiner ini pada dasarnya digunakan untuk mengevaluasi hasil dari kejadian dimasa lalu. Namun pada kenyataannya model ini juga dapat dimanfatkan untuk mengevaluasi tujuan dan rencana yang dibuat individu akanmasa depannya (Nurmi, 1989).
21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Orientasi Masa Depan Secara garis besar, ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan orientasi masa depan, kedua faktor itu adalah faktor individu (person related factor) dan faktor konteks sosial (social contex-related factor). 1. Faktor internal individu Beberapa faktor ini adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu(internal). Faktor-faktor tersebut adalah : -
Konsep diri Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmi (1989), menemukan bahwa
konsep diri memberikan pengaruh terhadap orientasi masa depan. Individu dengan konsep diri yang positif dan percaya dengan kemampuan mereka cenderung untuk lebih internal dalam pemikiran mereka mengenai masa depan dibandingkan individu dengan konsep diri yang rendah. Konsep diri juga dapat mempengaruhi penetapan tujuan. Salah satu bentuk dari konsep diri yang dapat mempengaruhi orientasi masa depan adalah diri ideal. Diri ideal terdiri atas konsep individu mengenai diri ideal mereka yang berhubungan dengan lingkungannya dapat berfungsi sebagai motivator untuk dapat mencapai tujuan jangka panjang. -
Perkembangan kognitif Penelitian mengenai hubungan kematangan kognitif dan orientasi masa
depan memberikan hasil yang berbeda-beda. Beberapa ahli menjelaskan perkembangan kognitif dapat mempengaruhi rencana masa depan remaja. Hal ini karena masa remaja berada dalam tahap formal operation. Dalam tahap ini remaja mampu mengenali berbagai kemungkinan. Selain itu, dalam tahap ini kemampuan metakognisi remaja berkembang dan kemampuan ini sangat memungkinkan remaja untuk memikirkan kemungkinan yang terjadi dimasa depan dalam pencapaian tujuan dan memberikan solusinya. Kematangan kognitif sangat erat kaitanya dengan kemampuan intelektual menjadi salahsatu faktor individu yang mempengaruhi orientasi masa depan. Keating (dalam Nurmi, 1991).
22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2. Faktor Kontekstual Berikut ini adalah faktor-faktor kontekstual yang dapat mempengaruhi orientasi masa depan : -
Jenis kelamin Berdasarkan tinjauan literatur ditemukan adanya perbedaan jenis kelamin
yang signifikan antara domain-domain pada orientasi masa depan, tetapi pola perbedaan yang muncul akan berubah seiring berjalannya waktu. -
Status sosial ekonomi Kemiskinan dan status sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan
perkembangan orientasi masa depan yang menyebabkannya menjadi terbatas. (Seginer, 2000) Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Nurmi (dalamMcCabe & Barnet, 2000), menunjukkan bahwa individu yang memiliki latar belakang status sosial ekonomi yang tinggi cenderung untuk memiliki pemikiran mengenai masa depan karir yang lebih jauh dibandingkan individu dengan latar belakang sosial ekonomi rendah. -
Usia Penelitian yang dilakukan oleh Seginer (2000). Pada remaja wanita yang
duduk dibangku sekolah menegah pertama, menengah keatas dan kuliah menemukan terdapat perbedaan orientasi masa depan beradasarkan kelompok usia pada semua dominan kehidupan prospektif (karir, keluargadan pendidikan). -
Teman Sebaya Dalam konteks ini, teman sebaya dapat mempengaruhi orientasi masa depan
dengan cara yang bervariasi. Teman sebaya berarti teman sepermainan dengan jenjang usia yang sama dan berada padatingkat perkembangan yang sama, dimana teman sebaya dapat salingbertukar informasi pada pemikiran mengenai tugas perkembangannya. Kelompok teman sebaya (peer group) juga memberikan individu kesempatan untuk membandingkan tingkah lakunya dengan temannya yang lain (Nurmi, 1991).
23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
-
Hubungan dengan orang tua Semakin positif hubungan orang tua dengan remaja maka akan semakin
mendorong remaja memikirkan masa depan. Keluarga merupakan model bagi remaja dan merupakan wadah yang tepat dalam menyelesaikan tugas perkembangan yang sedang dihadapi ataupun akan dihadapi. Asumsi umum dalam teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa orang tua yang memberikan penghargaan positif terhadap anak-anaknya dan konsisten dalam praktek sosialisasi mengarahkan anaknya memiliki harapan yang positif mengenai dunia luar, mempercayai orang lain, yakin akan kemampuanya sendiri dan optimis. Kondisi keluarga dan interaksi antara orang tua dengan anak mempengaruhi orientasi masa depan setidak-tidaknya dalam tiga hal pertama orang tua menetapkan standar normatif, sekaligus mempengaruhi perkembangan minat, nilai, dan tujuan hidup anaknya. Ketiga, dukungan orang tua membantu anak untuk mengembangkan sikap optimis dan internal terhadap masa depan. ( Nurmi, 1991). Pada masa remaja, orientasi masa depan merupakan isu penting layak penelitian lebih lanjut. Hal ini senada dengan penelitian sebelumnya yaitu karena pada masa remaja , pertama, rasa subjektif dari waktu masa depan memainkan peran penting dalam siswa atau motivasi manusia (Carstensen, 2006, Husman & Lensa, 1999). Kedua, masa remaja adalah masa perkembangan identitas, eksplorasi, dan komitmen (Erikson, 1950). Ketiga, faktor motivasi lebih dapat lebih di bentuk dibandingkan dengan faktor demografi individu.
2.3 Remaja 2.3.1 Definisi Remaja Remaja, yang dalam bahasa aslinya adolescence, berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (dalam Ali
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan Ansori 2005). Menurut Mappiare (1982) dalam Ali dan Asrori (2005) masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir. Menurut hukum di Amerika Serikat saat ini, individu dianggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 18 tahun, dan bukan 21 tahun seperti ketentuan sebelumnya (Hurlock, 1991). Pada umumnya anak sedang duduk di bangku sekolah menengah. Dalam Ali dan Ansori (2005) Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1991). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1991) yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintregasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih atau kurang dari usia pubertas. Sarwono (2015) menyatakan definisi remaja untuk masyarakat Indonesia adalah menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Usia 11 tahun adalah usia di mana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (kriteria fisik). 2. Di banyak masyarakat Indonesia usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria seksual). 3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erick Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud), dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (menurut Piaget) maupun moral (menurut Kohlberg).
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang
bagi
mereka
yang
sampai
batas
usia
tersebut
masih
menggantungkan diri pada orang tua. 5. Dalam definisi di atas, status perkawinan sangat menentukan karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh. Seorang yang sudah menikah, pada usia berapapun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun kehidupan bermasyarakat dan keluarga. Karena itu defenisi remaja di sini dibatasi khusus untuk orang yang belum menikah. Berdasarkan
definisi
mengenai
remaja
di
atas,
maka
dapat
disimpulkanbahwa remaja merupakan suatu periode perkembangan dari transisi antara masa anak-anak dan dewasa, yang diikuti oleh perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional.
2.3.2 Ciri-ciri Masa Remaja Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) ciri-ciri masa remaja antara lain: 1. Masa remaja sebagai periode yang penting Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru. 2. Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya, dengan demikian dapat diartikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya. 3. Masa remaja sebagai periode perubahan
26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga berlangsung pesat. Perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun. 4. Masa remaja sebagai usia bermasalah Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak lakilaki maupun anak perempuan. Ada dua alasan bagi kesulitan ini, yaitu : -
Sepanjang
masa
kanak-kanak,
masalah
anak-anak
sebagian
diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. -
Remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan
standar
kelompok
lebih
penting
daripada
bersikap
individualistis.Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awalmasih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan oranglain. 6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. 7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal citacita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia semakin menjadi marah.
27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri. 8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan. Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu : 1. Remaja awal (12-15 tahun) Pada tahap ini, remaja masih merasa heran terhadap perubahan- perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahanperubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap ego dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa. 2. Remaja madya (15-18 tahun) Pada
tahap
ini,
remaja
sangat
membutuhkan
teman-teman.
Ada
kecendrungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya.
28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3. Remaja akhir (18-21 tahun) Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian : -
Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
-
Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.
-
Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
-
Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentinagn diri sendiri dengan orang lain.
-
Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum. Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri masa
remaja adalah bahwa masa remaja adalah merupakan periode yang penting, periode peralihan, periode perubahan, usia yang bermasalah, mencari identitas, usia yang menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan ambang masa kedewasaan. 2.3.3 Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja Havighurst (dalam Hurlock, 1999) menyatakan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja. Tugas-tugas perkembangan tersebut adalah : 1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan. 2. Mencapai peran sosial pria dan wanita. 3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. 6. Mempersiapkan karir ekonomi. 7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. 8. Memperoleh perangkat nilai dan sisitim etis sebagai pegangan untuk berperilaku – mengembangkan ideologi.
29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.3.4
Perkembangan Fisik Pada masa remaja pertumbuhan fisik berlangsung sangat pesat. Dalam perkembangan
seksualitas remaja, ditandai dengan dua ciri yaitu ciri-ciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder. Berikut ini adalah uraian lebih lanjut mengenai kedua hal tersebut. a. Ciri-ciri seks primer Dalam modul kesehatan reproduksi remaja (Depkes, 2002) disebutkan bahwa ciri-ciri seks primer pada remaja adalah : 1. Remaja laki-laki Remaja laki-laki sudah bisa melakukan fungsi reproduksi bila telah mengalami mimpi basah. Mimpi basah biasanya terjadi pada remaja lakilaki usia 10-15 tahun. 2. Remaja perempuan Jika remaja perempuan sudah mengalami menarche (menstruasi), menstruasi adalah peristiwa keluarnya cairan darah dari alat kelamin perempuan berupa luruhnya lapisan dinding dalam rahim yang banyak mengandung darah. b. Ciri-ciri seks sekunder Menurut Sarwono (2011), Ciri-ciri seks sekunder pada masa remaja adalah sebagai berikut : 1. Remaja laki-laki a. Bahu melebar, pinggul menyempit. b. Pertumbuhan rambut di sekitar alat kelamin, ketiak, dada,tangan, dan kaki. c. Kulit menjadi lebih kasar dan tebal d. Produksi keringat menjadi lebih banyak 2. Remaja perempuan a. Pinggul lebar, bulat dan membesar, putting susu membesar dan menonjol, serta berkembangnya kelenjar susu, payudara menjadi lebih besar dan lebih bulat. b. Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat, lubang pori-pori bertambah besar, kelenjar lemak dan kelenjar keringat menjadi lebih aktif lagi.
30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
c. Otot semakin besar dan semakin kuat, terutama pada pertengahan dan menjelang akhir masa d. Suara menjadi lebih penuh dan semakin merdu.
2.3.5 Kenakalan Remaja Kenakalan remaja yang dimaksud disini adalah perilaku yang menyimpang dari kebiasaan atau melanggar hukum (dalam Sarwono, 2015). Jensen (1985) membagi kenakalan remaja ini menjadi empat jenis yaitu : 1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. 2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasa, dan lain-lain. 3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukkan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini. 4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau dengan cara membantah perintah mereka, dan sebagainya.
2.4 Kerangka Berpikir 2.4.1 Perbedaan Orientasi Masa Depan Berdasarkan Locus Of Control
Locus Of Control Internal
Orientasi Masa Depan
Locus Of Control Eksternal
31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Aspek Orientasi Masa Depan : 1. Motivasi 2. Perencanaan 3. Evaluasi
2.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan penelitian, masalah penelitian ini dirumuskan menjadi : H1 : Ada perbedaan orientasi masa depan berdasarkan locus of control internal dan eksternal pada remaja putra penghuni lapas kelas IIA pemuda di Tangerang. Ho : Tidak ada perbedaan orientasi masa depan berdasarkan locus of control internal dan eksternal pada remaja putra penghuni lapas kelas IIA pemuda di Tangerang.
32
http://digilib.mercubuana.ac.id/