BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Komitmen Organisasi 1.
Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen kerja terhadap organisasi mutlak diperlukan suatu perusahaan
dari karyawannya. Untuk itu, suatu perusahaan harus menstimulasi perasaan kesetiaan karyawannya dan ini harus ditanamkan pada setiap individu diperusahaan tersebut. Usaha-usaha dalam menciptakan komitmen karyawan perlu terus ditumbuh kembangkan oleh suatu perusahaan. Komitmen kerja karyawan pada akhirnya ditunjukan kepada perusahaan yang dalam hal ini juga merupakan suatu organisasi. Dengan demikian, istilah komitmen kerja karyawan dianggap sama dengan istilah komitmen organisasi. Sebagai bentuk suatu sikap, Luthan (2008) menyatakan komitmen organisasi merupakan keinginan yang kuat untuk menjadi anggota dalam suatu kelompok, kemauan usaha yang tinggi untuk organisasi dan suatu keyakinan tertentu dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi. Menurut Mathis dan Jackson (2010), Komitmen organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi. Robbins (2009) memandang komitmen sebagai salah satu sikap kerja karena merupakan refleksi dari perasaan seseorang (suka atau tidak suka) terhadap organisasi ditempat individu tersebut bekerja. Lebih lanjut ia mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu orientasi individu terhadap organisasi yang mencakup loyalitas, identifikasi dan keterlibatan. Jadi komitmen organisasi mendefinisikan unsur orientasi hubungan antara individu dengan organisasinya. Orientasi hubungan tersebut mengakibatkan individu bersedia memberikan sesuatu yang diberikan itu demi merefleksikan hubungan bagi tercapainya tujuan organisasi. Sementara Noe, Hollenbeck, Gerhart dan Wright (2010) mengemukakan Komitmen organisasi adalah tingkat sampai di mana seorang pegawai
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mengidentifikasi dirinya sendiri dengan organisasi dan berkemauan melakukan upaya keras demi kepentingan organisasi itu. Dari beberapa pengertian di atas menunjukkan bahwa komitmen organisasi merupakan tingkat kekerapan identifikasi dan keterikatan individu terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana karakteristik komitmen organisasi antara lain
adalah
loyalitas
seseorang
terhadap
organisasi,
kemauan
untuk
mempergunakan usaha atas nama organisasi, kesuaian antara tujuan seseorang dengan tujuan organisasi. Keterkaitan yang kuat antara komitmen dan kinerja disebabkan karena adanya keinginan dan kesiapan karyawan dalam organisasi untuk diberdayakan dengan menerima berbagai tantangan dan tanggung jawab. Dari pernyataan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa komitmen merupakan serangkaian proses yang dilakukan secara bertahap dalam organisasi. Agar dapat dicapai secara optimal dan membangun kesadaran dari karyawan akan pentingnya komitmen, perlu adanya komitmen dari anggota terhadap organisasi dengan cara pemberian wewenang dan tanggung jawab sehingga akan menimbulkan motivasi dan komitmen karyawan terhadap organisasi. Dari beberapa definisi diatas dapat dikemukakan bahwa komitmen organisasi adalah suatu ikatan psikologis karyawan pada organisasi yang ditandai dengan adanya : (a) kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai nilai organisasi, (b) kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi, dan (c) keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota organisasi. 2.
Pendekatan Komitmen Organisasi Menurut Greenberg dan Baron (2008) ada 2 (dua) pendekatan untuk
memahami komitmen organisasi karyawan, yaitu : a.
Side – bets orientation, komitmen organisasional yang berfokus pada investasi karyawan pada organisasi. Apabila karyawan meninggalkan organisasi maka karyawan akan kehilangan investasi tersebut dan tidak ada hal lain yang dapat menggantikannya.
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
b.
Goal – congruence orientation, komitmen organisasional yang berfokus pada derajat kesesuaian antara tujuan karyawan dengan tujuan organisasi. Adanya kesesuaian tujuan membuat karyawan mau bekerja dengan baik dalam mencapai tujuan organisasi.
3.
Teori-teori Dasar Komitmen Menurut Moreland (2010) ada beberapa teori yang menjelaskan tentang
dasar-dasar motivasional munculnya komitmen individu dalam berorganisasi : a. Teori Sosialisasi Kelompok Menurut model ini, baik kelompok maupun individu melakukan proses evaluasi dalam hubungan bersama dan membandingkan valuenya dengan hubungan yang selama ini berlangsung. Dalam evaluasi ini perubahan perasaan akan berpengaruh terhadap komitmen yang dimiliki individu. Semakin tinggi perasaan positif semakin besar juga komitmen organisasinya. Ada lima tahap yang dilalui dalam model ini, yaitu investasi, sosialisasi, maintenance, rasionalisasi dan kenangan dan ada juga empat transisi peran yang dilakukan mulai dari entry, acceptance, divergence, dan exit. Keanggotaan suatu kelompok berawal dari periode investigasi. Selama investigasi kelompok melakukan rekrutmen, dan mencari orang yang bias memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan kelompok. Sementara itu, individu akan memasuki kelompok karena ia mencari kelompok yangdapat memberikan kontribusi yang memuaskan kebutuhan dasarnya. Tahap ini akan ditandai masuknya individu ke dalam suatu kelompok dan menjalani proses sosialisasi. Selama sosialisasi kelompok mencoba mengubah individu sehingga ia memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam mencapai tujuan kelompok, sementara itu individu mencoba kelompok sehingga individu melakukan transisi penerimaannya, sehingga individu melakukan transisi penerimaanya dan menjadi anggota penuh suatu kelompok.
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Penerimaan menandai berakhirnya sosialisasi dan kemudian mulai dengan periode pemeliharaan. Selama pemeliharaan, terjadi proses negosiasi antara individu dengan kelompok dalam mencari peran tertentu yang bias mencapai kepentingan kelompok dan individu secara bersamaan. Bila dalam sosialisasi peran sukses, maka tingkat komitmen akan semakin tinggi baik bagi kelompok maupun individu. Sebaliknya bila negosiasi gagal, maka tingkat komitmen yang diperoleh akan mencapai criteria divergen (CD). Divergensi akan menandai akhir dari tahap maintenance dan memulai tahap resosialisasi. Selama resosialisasi, kelompok mencoba lagi mengubah individu sehingga ia memberikan kontribusi yang lebih pada pencapaian tujuan kelompok. Sedangkan individu mencoba lagi mengubah kelompok sehingga ia dapat memuaskan kebutuhannya. Bila tingkat komitmen meningkat lagi, maka transisi peran dapat terjadi dan individu mendapatkan keanggotaannya kembali pada kelompok secara penuh, namun bila komitmen tidak dicapai, maka individu akan melakukan transisi peran dengan cara keluar kelompok. b. Teori Pertukaran Sosial Teori ini semula dikembangkan oleh Thibaut dan Kelley (1959), dalam perkembangannya mengalami berbagai perubahan. Ide dasar teori ini sangat sederhana. Pertama, setiap hubungan akan selalu melibatkan pertimbangan untung dan rugi dalam partisipannya. Keseimbangan antara reward dan cost akan menjadi faktor krisis dalam menentukan nilai suatu hubungan. Kedua, dalam sebagian besar hubungan, parisipan termoivasi untuk memaksimalkan reward dan atau menurunkan cost yang diakibatkan hubungan tersebut, dan setiap saat, partisipan melakukan reevaluasi dalam reward dan cost tersebut sehingga hubungan lebih berarti. Ketiga, orang dapat berpartisipasi dalam beberapa hubungan secara simulan, sehingga nilai relative pada suatu hubungan juga dipengaruhi
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
oleh relation ship juga dipengaruhi relationship yang lain yang sesuai dengan partisipan. Judgement mengenai relationship dapat memfokuskan pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Komitmen antara kelompok dan individu ditentukan oleh tiga perbandingan penting ini, pertama, kedua belah pihak membandingkan nilai hubungan yang sedang berjalan, dan ketiga, kedua belah pihak membandingkan nilai yang diharapkan dalam hubungan mendatang. c. Teori Kategorasi Diri Teori ini semula dikembangkan oleh Turner (1987) dan berkembang dari penelitian mengenai hubungan antarkelompok. Teori ini membahas berbagai fenomena kelompok seperti pembentukan kelompok,
konformitas,
penyimpangan
dalam
pengambilan
keputusan, dan kekompakan (kohesi). Teori ini tentunya bias dibawa kearah komitmen. Moreland (2010) menyatakan beberapa pokok dasar teori ini. Pertama, orang termotivasi untuk memahami dunia sekitarnya sehingga ia akan mampu melakukan koping secara efektif terhadap problem yang terjadi. Kedua, setiap stimulus lingkungan baik yang sosial dan nonsosial dapat dikategorisasi. Kategorisasi diri berperan penting dalam mengarahkan perilaku sosial seseorang. Ketiga, kategorisasi diri ini juga meliputi hal yang abstrak, seperti sensasi tentang identitas sosial. Identitas sosial ini berkembang, ketika seseorang mengkategorisasi dirinya dalam suatu kelompok bukan pada kelompok lainnya. Bila seseorang menyatakan ia sangat unik dibandingkan anggota kelompoknya, maka disebut sbagai identitas personal. Hal ini juga dinyatakan oleh Jenkins (1994) tentang adanya identitas ini. Peran identitas sangat penting dalam membentuk kategorisasi diri ini. Berdasarkan teori diatas, paling tidak ada dua cara perubahan terjadinya komitmen organisasi. Pertama, komitmen juga dapat
16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
berubah karena prototype kelompok bersifat un-tabel. Kedua, komitmen juga dapat berubah karena karakteristik keanggotaan kelompok juga untabel. Dengan perubahan kedua prototype tersebut, maka masing-masing individu akan menyesuaikan diri dengan prototype kelompok yang dimasukinya, dan begitu pula sebaliknya. tampaknya konflik muncul setelah terjadinya perubahan pada prototype ini. sehingga pemogokan, konflik, dan kasus-kasus negatif yang tidak diharapkan dalam organisasi dapat muncul. d. Teori Identitas Pada awalnya dikemukakan oleh Stryker (1987) yang menawarkan perspektif lain pada komitmen dan perannya dalam kelompok sosial. Pertama, peran sosial yang merupakan representasi dari suatu harapan tertentu dari seseorang memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku. Kedua, peran sosial yang merupakan representasi dari suatu harapan tertentu dari seseorang memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku. Pada saat yang sama, seseorang bias menjalankan suatu peran. Karena itu beberapa peran bias mengalami inkonkruensi dengan peran lainnya. 4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Komitmen Organisasi Menurut Angle dan Perry (dalam Temaluru, 2001), komitmen terhadap organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni masa kerja (tenure) seseorang pada organisasi tertentu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Makin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin memberi ia peluang untuk menerima tugas-tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasaan bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih tinggi, dan peluang menduduki jabatan atau posisi yang lebih tinggi. b. Makin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, peluang investasi pribadi (pikiran, tenaga, dan waktu) untuk organisasi semakin besar. Dengan demikian, semakin sulit untuk meninggalkan organisasi tersebut.
17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
c. Keterlibatan sosial individu dalam dengan organisasi dan masyarakat di lingkungan organisasi tersebut semakin besar, yang memungkinkan memberikan akses yang lebih baik dalam membangun hubunganhubungan sosial yang bermakna, menyebabkan individu segan untuk meninggalkan organisasi. d. Mobilitas individu berkurang karena lama berada pada suatu organisasi, yang berakibat kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan lain makin kecil. Beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan komitmen, penelitian yang dilakukan Mowday, Porter, dan Steers (dalam Temaluru, 2001) menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komitmen seseorang terhadap organisasi, diantaranya adalah : a.
Usia dan masa kerja. Usia dan masa kerja berkolerasi positif dengan komitmen.
b.
Tingkat Pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan individu, makin banyak pula harapannya yang mungkin tidak dapat dipenuhi atau tidak sesuai dengan organisasi tempat di mana ia bekerja.
c.
Jenis Kelamin. Wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih besar dalam pencapaian kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.
d.
Peran individu tersebut di organisasi. Hasil studi Morris dan Sherman menunjukkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara peran yang tidak jelas dan komitmen terhadap organisasi.
e.
Faktor lingkungan pekerjaan akan berpengaruh terhadap sikap individu pada organisasi. Menurut Porter dan Mowday (Armstrong, 2004), lingkungan dan pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi utama yang mempengaruhi komitmen terhadap organisasi. 1) Keterandalan organisasi, sejauh mana individu merasa bahwa organisasi tempat ia bekerja memperhatikan anggotanya, baik dalam hal minat maupun kesejahteraan.
18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2) Perasaan dipentingkan oleh organisasi, sejauh mana individu merasa diperlukan dalam mencapai misi organisasi. Menurut Lavering (Temaluru, 2001), tempat kerja yang baik adalah tempat yang karyawan dihargai keberadaanya dan merasa bangga menjadi anggota organisasi tersebut. 3) Ketidakberartian akan membuat komitmen organisasi menjadi rendah. 4) Realisasi harapan individu, sejauh mana harapan individu dapat direalisasikan melalui organisasi dimana ia bekerja. 5) Persepsi tentang sikap terhadap rekan kerja, sejauh mana individu tersebut merasa bahwa rekan kerjanya dapat mempertahankan sikap kerja sikap kerja yang positif terhadap organisasi. 6) Persepsi tentang gaji, sejauh mana individu tersebut merasa gaji yang diterimanya seimbang dengan individu lain. Perasaan diperlakukan fair atau tidak akan mempengaruhi komitmennya. 5. Konsekuensi dari Komitmen Organisasional Komitmen organisasional memberikan pengaruh yang positif terhadap organisasi maupun karyawan. Berikut ini adalah beberapa dampak dari komitmen organisasional berdasarkan hasil penelitian para ahli (Meyer dan Allen, 1997) : a. Job performance. Karyawan dengan komitmen afektif terhadap organisasi yang kuat akan bekerja leih keras dan performa mereka lebih baik dibandingkan dengan karyawan yang komitmen afektifnya lemah. Hal ini terjadi karena karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat termotivasi untuk menampilkan performa kerja yang lebih baik. b. Absenteeism. Absensi mengatakan bahwa komitmen organisasional berkorelasi signifikan dengan absensi yang dilakukan secara sengaja. Karyawan dengan komitmen afektif yang tinggi akan lebih jarang absen dari pekerjaannya dibandingkan karyawan yang memiliki komitmen afektif yang lemah.
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
c. Tenure (Lama bekerja). Hasil dari meta analisis yang dilakukan beberapa peneliti menunjukkan bukti bahwa terdapat hubungan yang positif antara masa jabatan di organisasi dan komitmen organisasional. Karyawan mungkin memerlukan sejumlah pengalaman tertentu dengan organisasi untuk mempunyai komitmen yang kuat terhadap organisasi atau pelayanan jangka panjang yang dilakukan karyawan membuat ia terikat secara afektif terhadap. d. Turnover (Penarikan diri dari organisasi) mengatakan bahwa komitmen organisasional berkorelasi negatif dengan prilaku turnover dilakukan secara sengaja. Secara khusus karyawan dengan komitmen kontinuans cenderung untuk bertahan dalam organisasi. e. Tardiness
(Keterlambatan)
menyatakan
bahwa
komitmen
organisasional berkoreasi negative dengan keterlambatan. Hadir secara tepat waktu ke tempat kerja merupakan representasi sikap positif terhadap organisasi. Penurunan angka keterlambatan dapat meningkatkan efisiensi perusahaan dalam mencapai tujuan. 6. Aspek-aspek Komitmen Organisasi Allen dan Meyer (1997) mengklasifikasikan komitmen organisasi ke dalam tiga dimensi, yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen continuance (continuance commitment), dan komitmen normatif (normative commitment). Penjelasan dari ketiga dimensi komitmen tersebut adalah sebagai berikut : a. Komitmen Afektif (Affective Organizational Commitment) Komitmen afektif yang mengacu pada keterikatan emosional, identifikasi, dan keterlibatan seorang karyawan kepada organisasinya. Komitmen afektif terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional (emotional attachment). Individu
yang
memiliki
komitmen
dalam
bentuk
ini
akan
menginternalisasikan nilai organisasi dalam dirinya. Keinginan ini didasarkan pada kesediaan karyawan untuk mencapai tujuan
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
organisasi. Dengan kata lain karena karyawan memang menginginkan (want to do). b. Komitmen Kontinuans (Continuance Organization Commitment) Komitmen kontinuans yang mengacu pada kesadaran akan kerugian yang akan timbul jika karyawan meninggalkan organisasinya. Hal ini dapat disebabkan karena karena karyawan tidak menemukan pekerjaan lain atau karena rewards ekonomi tertentu, misalnya gaji, dan keuntungan-keuntungan lain. Karyawan yang memiliki komitmen kontinuans akan memperhitungkan untung ruginya apabila akan bertahan dalam organisasi. Dengan kata lain, komitmen kontinuans disebabkan karena karyawan membutuhkan (need to do). c. Komitmen Normatif ( Normative Organizational Commitment) Komitmen normatif yang mengacu pada perasaan akan kewajibannya untuk tetap bertahan pada organisasi. Komitmen normatif timbul dari nilai-nilai karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggoa organisasi karena
ada
kesadaran
bahwa
komitmen
terhadap
organisasi
merupakan hal yang memang seharusnya dilakukan. Dengan kata lain komitmen normatif timbul karena merasa berkewajiban (ought to do). Berdasarkan pendapat Allen dan Meyer (1997) tersebut, dapat diinterpretasi bahwa keputusan seseorang tetap bertahan di organisasi memiliki motivasi yang berbeda-beda. Seseorang dengan komitmen efektif yang kuat, bertahan di organisasi, karena memang dia menyukai organisasi itu, sedangkan seseorang dengan komitmen continuance yang kuat bertahan di organisasi, karena alasan kebutuhan hidup sebagai dorongan utamanya. Sedangkan seseorang dengan komitmen normatif yang kuat, tetap bertahan di organisasi, karena alasan moralitas. Namun demikian, apapun sumber komitmen, secara substansial wujud komitmen adalah sama yaitu penerimaan individu terhadap tujuan-tujuan dan nilainilai organisasi, kesediaan individu berupaya untuk mencapai tujuan organisasi, keinginan tetap. mempertahankan keanggotaannya dalam
21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
organisasi. Oleh karena itu, pada penelitian ini wujud dari komitmen dioperasionalkan sebagai single construct. Anggota organisasi yang loyalitas dan kesetiaannya tinggi terhadap organisasi akan mempunyai keinginan yang tinggi terhadap organisasi dan membuat organisasi menjadi sukses. Makin kuat pengenalan dan keterlibatan individu dengan organisasi akan mempunyai komitmen yang tinggi. Seseorang yang tidak puas akan pekerjaannya atau yang kurang berkomitmen pada organisasi akan terlihat menarik diri dari organisasi baik melalui ketidakhadiran atau pengunduran diri. Keterlibatan pegawai terhadap organisasi didorong oleh rasa puas pegawai terhadap organisasi. Penilaian seorang pegawai terhadap puas atau tidak puas akan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang berbeda satu sama lainnya. Pegawai yang merasa puas dengan pekerjaannya cenderung bertahan dalam organisasi. Kepuasan kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi pemikiran pegawai untuk keluar. Persepsi pegawai terhadap alternatif pekerjaan, pada akhirnya akan menciptakan tingkat keluar masuk pegawai karena individu memilih keluar dari organisasi dengan harapan hasil yang lebih memuaskan di tempat lain (Robbins dan Judge, 2015). Pegawai dengan kepuasan kerja yang tinggi akan merasa senang dan bahagia dalam melakukan pekerjaannya dan hal tersebut akan menciptakan komitmen pegawai terhadap organisasi. Pada prinsipnya seorang pegawai termotivasi untuk melaksanakan tugas-tugasnya tergantung pada kuatnya motif yang mempengaruhinya. Pegawai adalah manusia dan manusia adalah makhluk yang memiliki kebuthan
dalam
yang
sangat
banyak.
Kebutuhan-kebutuhan
ini
membangkitkan motif yang mendasari aktivitas individu. Seseorang yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi akan mempunyai keinginan untuk mencapai keberhasilan dalam organisasi.
22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
B.
Kepuasan Kerja Setiap orang ingin mendapatkan pekerjaan karena dengan bekerja ia
mengharapkan mendapat imbalan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Namun, sering kali terjadi bahwa mendapatkan imbalan saja dirasakan belum cukup. Mereka menginginkan mendapatkan kepuasan dari pekerjaannya. Persoalannya adalah bagaimana menentukan ukuran kepuasan kerja. Terhadap pekerjaan dan imbalan yang sama, kepuasan orang dapat berbeda, orang yang satu dapat merasa puas, sedangkan orang lainnya belum mendapatkan kepuasan. Kepuasan kerja merupakan salah satu konsep yang popular di kalangan peneliti (Bowling, Beehr dan Lepisto, 2006). Bahkan salah satu tugas psikologi industri dan organisasi adalah mengukur kepuasan kerja pegawai sehingga pegawai dapat meningkatkannya (Sceptor, 2006). Ada banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja salah satunya adalah faktor atasan (Spector, 2006). Tidak adanya kepuasan kerja pada pegawai dan tingginya jumlah pegawai yang keluar dari perusahaan (turnover) (Kass, Vodanovich dan Callender, 2001; Virtenen, Kivimaki, Elovaino dan Vahtera, 2002). Sebaliknya, tingginya kepuasan kerja pegawai akan mengakibatkan tingginya produktivitas perusahaan (Tull, 2006). 1.
Pengertian Kepuasan Kerja Di antara para pakar memberikan pengertian tentang kepuasan kerja atau
job satisfaction dengan penekanan pada sudut pandang masing-masing. Namun, di antara pandangan tersebut tidak bertentangan, tetapi dapat saling melengkapi. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Kepuasan kerja mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan, artinya jika kepuasan diperoleh dari pekerjaan, amak kedispilinan karyawan baik. Sebaliknya jika kepuasan kerja kurang tercapai dipekerjaannya, maka kedisiplinan karyawan rendah. Di antaranya menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah tingkat perasaan
23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menyenangkan yang diperoleh dari penilaian pekerjaan seseorang atau pengalaman kerja (Colquitt, LePine dan Wesson, 2011). Dengan kata lain, kepuasan kerja mencerminkan bagaimana kita merasakan tentang pekerjaan kita dan apa yang kita pikirkan tentang pekerjaan kita. Robbins dan Judge (2015) memberikan definisi kepuasan kerja sebagai perasaan positif tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi dari karakteristiknya. Pekerjaan memerlukan interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasional, memenuhi standar kinerja, hidup dengan kondisi kerja kurang ideal, dan semacamnya. Sedangkan McShane dan Glinow (2010) memandang kepuasan kerja sebagai evaluasi seseorang atas pekerjaannya dan konteks pekerjaan. Merupakan penilaian terhadap karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di pekerjaan yang dirasakan. Pendapat lain mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah respon afektif atau emosional terhadap berbagai aspek dari pekerjaan seseorang (Kreitner, Robert dan Kinicki, 2010). Definisi ini menyatakan secara tidak langsung bahwa kepuasan kerja bukanlah merupakan konsep tunggal. Melainkan, orang dapat secara relative puas dengan satu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan satu aspek atau lebih. Dari berbagai pandangan tersebut sekiranya kita dapat simpulkan bahwa pada hakikatnya kepuasan kerja adalah merupakan tingkat perasaan senang seseorang sebagai penilaian positif terhadap pekerjaannya dan lingkungan tempat pekerjaannya. Pekerjaan dengan kepuasan kerja tinggi mengalami perasaan positif ketika mereka berpikir tentang tugas mereka atau mengambil bagian dalam aktivitas tugas. Pekerja dengan kepuasan kerja rendah mengalami perasaaan negatif ketika mereka berpikir tentang tugas mereka atau mengambil bagian dalam aktivitas pekerjaan mereka.
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan Kerja Menurut Schultz dan Schults (2010) ada banyak faktor yang dapat
memengaruhi kepuasan kerja. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah : a. Usia Secara umum, usia berkolerasi positif dengan kepuasan kerja (Mckenna, 2000). Itu berarti kepuasan kerja akan meningkatkan seiring bertambahnya usia. Semakin bertambah umur seseorang, amak semakin puas ia dengan pekerjaannnya. Namun ada juga yang mengatakan bahwa umur tidak memiliki hubungan dengan kepuasan kerja (Sarker, Crossman dan Chinemeteepituck, 2003). Walaupun demikian, Okpara (2004) menemukan bahwa pegawai yang berusia yang berusia lebih tua maka akan lebih puas bekerjanya dibandingkan pegawai yang lebih muda. Namun bukan berarti yang lebih muda tidak bias mengalami kepuasan kerja. Mereka juga mengalami kepuasan kerja apabila memasuki lingkungan kerja yang menyenangkan, hubungan dengan rekan kerja dan atasan yang baik, serta pada saat menerima gaji yang pertama. b. Jenis Kelamin Terdapat hasil berbeda-beda mengenai hubungan antara kepuasan kerja dengan jenis kelamin (Schultz dan Schultz, 2010). Beberapa penelitian mengatakan bahwa wanita tidak lebih puas dengan pekerjaan mereka dibandingkan dengan pria karena wanita beranggapan mereka dapat keluar dari pekerjaannya dengan mudah jika merasa tidak puas (Mckenna, 2000). Hal tersebut memperlihatkan bahwa ada faktor yang memperlihatkan bahwa ada faktor yang mempengaruhi hubungan antara jenis kelamin dan kepuasan kerja, anatar lain jenis pekerjaan, posisi, kesempatan promosi, dan gaji. c. Lamanya waktu berkerja Sama seperti dengan faktor usia dan jenis kelamin, terdapat hasil penelitian yang berbeda-beda mengenai hubungan antara lamanya waktu bekerja dengan kepuasan kerja. Kebanyakan hasil penelitian
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mengatakan bahwa lamanya waktu bekerja berkorelasi positif dengan kepuasan kerja (Schultz dan Schultz, 2010; Sarker, Crossman dan Chinemeteepituck, 2003). Semakin lama seseorang bekerja, maka ia akan lebih mengalami kepuasan terhadap pekerjaan. 2.
Teori Kepuasan Kerja Menurut Mangkunegara (2005) ada beberapa teori yang menjelaskan
tentang kepuasan kerja : a. Teori Keseimbangan (Equity Theory) Teori ini dikembangkan oleh Adam, adapun komponen dari teori ini adalah input, outcome, comparison person, dan equity-in-equity. Wexley dan Yuki (1977) mengemukakan bahwa “Input is anything of value that an employee perceives that he contributes to his job”. Input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja. Misalnya, pendidikan, pengalaman, skill, usaha, peralatan pribadi, jumlah jam kerja. “Outcome is anything of value that the employee perceives he obtains from the job”. Outcome adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan oleh pegawai. Misalnya upah, keuntungan tambahan, status symbol, pengenalan kembali (recognition), kesempatan untuk berprestasi atau mengekspresikan diri. Sedangkan “Comparison person may be someone in the same organization, someone in a different organization, or even the person him self in a previous job”. Comparison person adalah seorang pegawai dalam organisasi yang sama, seorang pegawai dalam organisasi yang berbeda atau dirinya sendiri dalam pekerjaan sebelumnya. Menurut teori ini, puas atau tidak puasnya pegawai merupaakn hasil perbandingan input-outcome pegawai lain (comparison person). Jadi, jika perbandingan tersebut dirasakan seimbang (equity) maka pegawai tersebut akan merasa puas. Tetapi, apabila terjadi ketidakseimbangan (inequity) dapat menyebabkan dua kemungkinan, yaitu
over
compensation
inequity
(ketidakseimbangan
26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang
menguntungkan dirinya) dan sebaliknya under compensation inequity (ketidakseimbangan yang menguntungkan pegawai lain yang menjadi pembanding atau (comparison person). b. Teori Perbedaan (Discrepancy Person) Teori ini pertama kali dipelopori oleh porter, ia berpendapat bahwa mengukur kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa ayng seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Locke (1969) mengemukakan bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dan apa yang diharapkan oleh pegawai. Apabila yang ddidapat pegawai ternyata lebih besar dari pada apa yang diharapkan, akan meneyebabkan pegawai tidak puas. c. Teori Pemenuhan Kebutuhan (Need Mulltlment Theory) Menurut teori kepuasan kerja pegawai bergantung pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pegawai. Pegawai akan merasa puas apabila ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya, makin besar kebutuhan pegawai terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut. Begitu pula sebaliknya apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi, pegawai itu akan merasa tidak puas. d. Teori Pandangan Kelompok (Social Reference Theory) Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bukanlah bergantung pada pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para pegawai dianggap sebagai kelompok acuan. Kelompok acuan tersebut oleh pegawai dijadikan tolak ukur untuk menilai dirinya maupun lingkungannya. Jadi, pegawai akan merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok acuan. e. Teori Dua Faktor dari Herzberg Teori dua faktor ini dikembangkan oleh Herzberg, ia menggunakan teori Abraham Maslow sebagai titik acuannya. Penilaian Herzberg diadakan dengan melakukan wawancara terhadap subjek insyinyur,
27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan akuntan. Masing-masing subjek diminta menceritakan kejadian yang dialami oleh mereka, baik yang menyenangkan (memberi kepuasan) maupun yang tidak menyenangkan atau tidak memberi kepuasan. Kemudian dianalisis dengan analisis isi (content analysis) untuk
menentukan
faktor-faktor
yang
menyebabkan
kepuasan
kepuasan atau ketidakpuasan. Dua faktor yang dapat menyebabkan timbulnya rasa puas atau tidak puas menurut Herzberg yaitu faktor pemeliharaan (maintenance factors) dan faktor pemotivasian (motivation factors). Faktor pemeliharaan disebut pula dissatisfiers, hygiene factors, job context, extrinsic factors yang meliputi administrasi dan kebijakan perusahaan, kualitas pengawasan, hubungan dengan pengawas, hubungan dengan subordinate, upah, keamanan kerja, kondisi kerja, dan status. Sedangkan faktor pemotivasian disebut pula satisfiers, motivator, job content, instrinsic factor yang meliputi dorongan berprestasi, pengenalan, kemajuan (advancement), work it self, kesempatan berkembangan dan tanggung jawab. f. Teori Pengaharapan (Exceptanxy Theory) Ketika Davis (1995) mengemukakan bahwa “Vroom explain that motivation is a product of how much one wants something and one’s estimate of the probability that a certain will lead to it” Vroom menjelaskan bahwa motivasi merupakan suatu produk dari bagaimana seseorang
menginginkan
sesuatu,
dan
penaksiran
seseorang
menyakinkan aksi tertentu yang akan menuntunnya. Pernyataan diatas berhubungan dengan rumus dibawah ini, yaitu : Valensi x Harapan = Motivasi
Dimana Valensi merupakan kekuatan hasrat seseorang untuk mencapai sesuatu, harapan merupakan keinginan mencapai sesuatu dengan aksi tertentu, dan
motivasi merupakan kekuatan dorongan yang
mempunyai arah pada tujuan tertentu.Valensi lebih menguatkan
28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pilihan seorang pegawai untuk sesuatu hasil. Jika seorang pegawai mempunyai keinginan yang kuat untuk suatu kemajuan, maka berarti valensi pegawai tersebut tinggi untuk suatu kemajuan. Valensi timbul dari internal pegawai yang dikondisikan dengan pengalaman. Selanjutnya
Davis
dikutip
oleh
Mangkunegara
(2005)
mengemukakan artinya pengharapan merupakan kekuatan keyakinan pada suatu perlakuan yang diikuti dengan hasil khusus. Hal ini menggambarkan bahwa keputusan pegawai yang memungkinkan mencapai suatu hasil dapat menuntun hasil lainnya. Pengharapan merupakan suatu aksi yang berhubungan dengan hasil, dari 0-1. Jika pegawai merasa tidak mungkin mendapatkan hasil tertentu maka harapan bernilai 0. Jika aksinya berhubungan dengan hasil tertentu maka harapannya 1. Harapan pegawai secara normal adalah diantara 01. 3.
Aspek-aspek Kepuasan Kerja Menurut Colquitt, LePine dan Wesson (2011) kepuasan kerja dapat
mempunyai beberapa bentuk atau kategori : a. Membayar Kepuasan (Pay Satisfaction) Mencerminkan perasaan pekerja tentang bayaran mereka, termasuk apakah sebanyak yang mereka berhak mendapatkan, diperoleh dengan aman, dan cukup untuk pengeluaran normal dan kemewahan. Pay satisfaction didasarkan pada perbandingan antara bayaran yang diinginkan pekerja dengan yang mereka terima. Meskipun lebih banyak uang selalu lebih baik, kebanyakan pekerja mendasarkan keinginannya atas bayaran pada perhitungan secara berhati-hati dan tugas pekerjaannya dengan bayaran yang diberikan pada rekan sekerja yang sama. b. Kepuasan Promosi (Promotion Satisfaction) Mencerminkan perasaan pekerja tentang kebijakan promosi perusahaan dan pelaksanaannya, termasuk apakah promosi sering diberikan, dilakukan dengan jujur, dan berdasar pada kemampuan. Tidak seperti
29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
halnya dengan bayaran, banyak pekerja mungkin tidak suka lebih sering promosi karena promosi membawa lebih banyak tanggung jawab, dan meningkatkan jam kerja. Tetapi, banyak pekerja menghargai promosi karena memberikan peluang untuk pertumbuhan personal lebih besar, upah lebih baik, dan prestise lebih tinggi. c. Pengawasan Kepuasan (Supervision Satisfaction) Mencerminkan perasaan pekerja tentang atasan mereka, termasuk apakah atasan mereka kompeten, sopan dan komunikator yang baik dan bukannya bersifat malas, mengganggu, dan menjaga jarak. Kebanyakan
pekerja
mengharapkan atasan
membantu
mereka
mendapatkan apa yang mereka hargai. Hal ini tergantung apakah atasan memberikan penghargaan atas kinerja baik, membantu pekerja mendapatkan sumber daya yang diperlukan, dan melindungi pekerja dari kebinggungan yang tidak perlu. Di samping itu, pekerja mengharapkan atasan yang disukai. Hal tersebut tergantung pada apakah atasan mempunyai kepribadian baik, demikian pula apakah mempunyai nilai-nilai dan keyakinan yang sama dengan pekerja. d. Partner Kepuasan (Coworker Satisfaction) Mencerminkan perasaan pekerja tentang teman sekerja mereka, termasuk apakah rekan sekerja mereka cerdas, bertanggung jawab, membantu, menyenangkan, dan menarik. Pekerja mengharapkan rekan sekerjanya membantu dalam pekerjaan. Hal ini penting karena kebanyakan dalam batas tertentu mengandalkan pada rekan sekerja dalam menjalankan tugas pekerjaan. Di sisi lain, kita mengharapkan senang bekerja bersama mereka, karena menggunakan banyak waktu bersama rekan sekerja. Rekan sekerja yang menyenangkan dapat membuat hari kerja berjalan lebih cepat. e. Kepuasan dengan Pekerjaan itu sendiri (Satisfaction with the Work itself) Mencerminkan perasaan pekerja tentang tugas pekerjaan mereka sebenarnya,
termasuk
apabila
tugasnya
30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menantang,
menarik,
dihormati, dan memanfaatkan keterampilan penting daripada sifat pekerjaan yang menjemukan, berulang-ulang dan tidak nyaman. Aspek ini memfokus pada apa yang sebenarnya dilakukan pekerja. f. Altruism Altruism merupakan sifat suka membantu orang lain dan menjadi penyebab moral. Sifat ini antara lain ditunjukkan oleh kesediaan orang untuk membantu rekan sekerja ketika sedang menghadapi banyak tugas. g. Status Status menyangkut prestise, mempunyai kekuasaan orang lain, atau merasa memiliki popularitas. Promosi jabatan disatu sisi menunjukkan peningkatan status, di sisi lainnya akan memeberikan kepuasan karena prestasinya dihargai. h. Lingkungan (Environment) Lingkungan menunjukan perasaan aman dan nyaman. Lingkungan kerja yang baik dapat menciptakan quality of worklife di tempat pekerjaan. Namun, terdapat pandangan bahwa nilai-nilai ini dianggap kurang penting karena tidak relevan dalam semua pekerjaan, tidak seperti bayaran, promosi, dan seterusnya. 4.
Hubungan Kepuasan Kerja Kepuasan kerja mempunyai kaitan dengan beberapa variabel. Namun, di
antara para pakar memberikan penekanan pada aspek yang beragam. Colquitt, LePine dan Wesson (2011) lebih menekankan pada kaitan job satisfaction dengan job performance dan organizational commitment serta Life satisfaction. Sedangkan McShane dan Glinow (2010) lebih menyoroti pada kaitan job satisfaction dengan customer satisfaction, semenatar it, Robbins dan Judge (2015) membahas hubungan job satisfaction dengan job performance, organizational citizet behavior, customer satisfaction, absenteeism, turnover, dan workplace deviance.
31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
a. Job Satisfaction dengan Job Performance Kepuasan kerja merupakan predictor kinerja karena kepuasan kerja mempunyai korelasi moderat dengan kinerja. Pekerja yang puas melakukan pekerjaan lebih baik dalam memenuhi kewajiban seperti tertuang dalam deskripsi pekerjaan. Kenyataan menganjurkan bahwa perasaan postif mendorong kreativitas, memperbaiki pemecahan masalah dan pengambilan keputusa, dan meningkatkan memori dan menarik berbagai macam informasi tertentu. Perasaan positif juga memperbaiki ketekunan tugas dan menarik lebih banyak bantuan dan dukungan dari rekan sekerja. Keputusan kerja mempunyai pengaruh positif moderat pada kinerja. Orang yang mempunyai tingkat kepuasan kerja lebih tinggi cenderung mempunyai tingkat kinerja tugas lebih tinggi, tingkat citizentship behavior lebih tinggi dan tingkat perilaku kontra produktif lebi rendah. (Colquitt, LePine dan Wesson, 2011). Dikemukakan bahwa pada awalnya orang menentang pandangan bahwa pekerja yang bahagia adalah pekerja yang produktif. Mereka menyimpulkan bahwa kepuasan kerja mempunyai pengaruh minimum terhadap kinerja. Kenyataan sekarang mendukung pendapat bahwa terdapat hubungan moderat antara kepuasan kerja dan kinerja. Dalam batas tertentu, pekerja bahagia sebenarnya adalah pekerja yang lebih produktif. Ada alasan mendasar mengapa hubungan di antara keduanya tidak lebih kuat dikemukakan oleh McShane dan Glinow (2010) sebagai berikut : 1) Sikap umum, seperti kepuasa kerja, tidak meramalkan perilaku spesifik dengan baik, ketidakpuasan kerja dapat mengarah pada berbagai hasil selain kinerja lebih rendah, dengan mengabaikan. Beberapa pekerja melanjutkan bekerja dengan produktif meskipun mereka mengeluh mencari pekerjaan lain, atau dengan sabar menunggu sampai datang kesempatan.
32
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2) Kinerja menyebabkan kepuasa kerja, dan bukan sebaliknya, tetapi hanya ketika kinerja dihubungkan dengan reward dan sebagai konsekuensinya lebih puas daripada low performers yang menerima lebih sedikit reward. Hubungan antara kepuasan kerja dengan kinerja tidak lebih kuat karena banyak organisasi tidak memberikan reward terhadap kinerja baik. 3) Kepuasan kerja memengaruhi motivasi pekerja, tetapi tidak berdampak pada kinerja dalam pekerjaan di mana pekerja hanya mempunyai sedikit control atas hasil pekerjaan mereka. b. Job Satisfaction dengan Organizational Commitment Kepuasan kerja mempunyai pengaruh positif dan kuat terhadap Organizational Commitment. Orang yang mendapatkan tingkat kepuasan kerja lebih tinggi cenderung merasa tingkat Affective Commitment dan Normative Commitment lebih tinggi. Sedangkan pengaruhnya pada Continuance Commitment adalah lebih lemah. Affective Commitment adalah komitmen yang timbul karena kedekatan emosional terhadap organisasi, mengidentifikasi diri dan keterlibatan aktif dalam organisasi. Continuance Commitment didasarkan pada persepsi pekerja atas kerugian yang akan diperoleh apabila meninggalkan organisasi. sedangkan Normative Commitment berkaitan dengan perasaan pekerja terhadap keharusan untuk tetap bertahan dalam organisasi. c. Job Satisfaction dengan Customer Satisfaction Terdapat keyakian bahwa pelanggan yang bahagia adalah hasil dari pekerja bahagia. Meningkatnya kepuasan pekerja dan loyalitas menghasilkan persepsi pelanggan lebih tinggi tentang nilai, karena itu memperbaiki profitabilitas perusahaan. Dengan kata lain, kepuasan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap pelayanan pelanggan. Terdapat dau alasan yang menyebabkannya: 1) Pekerja biasanya mempunyai mood atau suasana hati postif ketika mereka merasa puas dengan pekerja dan pelanggan
33
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kondisi kerja. Pekerja dalam suasana hati baik menunjukkan persahabatan dan emosi positif lebih alami dan sering, dan hal ini menyebabkan pelanggan mengalami emosi positif. 2) Pekerja puas kecil kemungkinan keluar dari pekerjaannya, sehingga mereka mempunyai pengetahuan dan keterampilan lebih baik dalam melayani pelanggan. Tingkat penggantian yang rendah memungkinkan pelanggan mendapatkan pekerja yang sama untuk melayaninya, mengindikasikan bahwa pelanggan membangun loyalitas pada pekerja tertentu, bukan pada organisasi, sehingga menjaga tingkat penggantian pekerja rendah cenderung membangun loyalitas pelanggan (McShane dan Glinow, 2010). d. Job Satisfaction dengan Absenteeism Robbins dan Judge (2015) menemukan bahwa adanya hubungan secara konsisten antara satisfaction dengan absenteeism, tetapi pada tingkat moderat sampai lemah. Adalah msuk akal bahwa pekerja yang tidak puas kemungkinan akan terlambat kerja, faktor lain yang memengaruhi hubungan. Organisasi yang memberikan cuti sakit secara liberal mendorong semua pekerja mereka, termasuk yang sangat puas, mengambil kesempatan tidak masuk bekerja. Kita dapat menemukan pekerjaan yang memuaskan, tetapi masih tetap ingin menikmati akhir minggu selama tiga hari apabila tidak ada peneliti atas penggunaan hari secara bebas. Apabila sejumlah alternative pekerjaan tersedia, pekerja tidak puas mempunyai tingkat kemangkiran tinggi, tetapi apabila hanya sedikit, mereka mempunyai tingkat kemangkiran rendah seperti pekerja yang puas. e. Job Satisfaction dengan Turnover Hubungan antara job satisfaction dengan turnover lebih kuat dari pada antara satisfaction dengan absenteeism. Hubungan satisfaction -
34
http://digilib.mercubuana.ac.id/
turnover juga dipengaruhi oleh alternatif prospek pekerjaan. Apabila pekerja diberi tawaran pekerjaan tanpa diminta, ketidakpuasan kerja berkurang memberikan ramalan terhadap pergantian karena pekerja lebih mungkin keluar karena “pull”, daya tarik pekerjaan lain daripada “push”, ketidakmenarikan pekerjaan sekarang. Sama halnya, ketidakpuasan kerja lebih mungkin menerjemahkan ke dalam pergantian apabila kesempatan kerja banyak, karena pekerja merasa mudah digerakkan. Akhirnya, apabila pekerja mempunyai human
capital
tinggi,
pendidikan
dan
kemampuan
tinggi,
ketidakpuasan kerja lebih mungkin diterjemahkan ke
dalam
pergantian karena mereka mempunyai atau merasa banyak alternatif tersedia. f. Job Satisfaction dengan Work Deviance Ketidakpuasan kerja dan hubungan antaginistik dengan rekan kerja memprediksi variasi perilaku yang tidak diinginkan organisasi, termasuk usaha membentuk perserikatan, penyalahgunaan bahan, pencurian di pekerjaan, sosialisasi yang tidak pantas, dan kelambanan. Peneliti menentang perilaku ini sebagai indikator sindrom yang lebih luas dinamakan deviant behavior in the workplace atau perilaku kontra produktif atau penarikan diri pekerja. Apabila pekerja tidak menyukai lingkungan kerja mereka, mereka bagaimanapun akan merespon, meskipun tidak mudah memperkirakan bagaimana. Pekerja yang tidak menyukai pekerjaan membalas dalam berbagai cara, dan cara tersebut dapat agak kreatif. Pengawasan hanya menunjukan satu perilaku, seperti dengan kontrol kehadiran, membuat akar masalah tidak tersentuh. Untuk mengontrol secara efektif konsekuensi yang tidak diinginkan dari ketidakpuasan, pemimpinan harus menyerang sumber masalahnya yaitu ketidakpuasan, daripada berusaha mengontrol tanggapan yang berbeda.
35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
g. Job Satisfaction dengan Life Satisfaction Kepuasan hidup mencerminkan tingkatan di mana pekerja merasakan perasaan bahagia dengan kehidupan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu prediktor paling kuat terhadap kepuasan hidup. Orang merasa lebih baik tentang hidupnya ketika mereka merasa lebih baik tentang pekerjaan mereka. Hubungan antara job satisfaction dengan life satisfaction juga menunjukkan seberapa banyak dari kehidupan kita dipergunakan dalam pekerjaan (Colquitt, LePine dan Wesson, 2011). 5.
Akibat dari Kepuasan Kerja dan Ketidakpuasan Kerja Salah satu keputusan kerja yang paling sering dibahas dan menjadi penting
dalam jalannya perusahaan adalah tingginya produktivitas kerja dan pegawai. Tull (2006) mengatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara kepuasan kerja dan produktivitas pegawai. Ini berarti jika seseorang puas dengan pekerjaannya maka produktivitasnya akan tinggi. Dan sebaliknya, jika ia tidak puas dengan pekerjaannya maka produktivitasnya akan rendah. Kemudian jika seseorang tak puas dengan pekerjaannya tentu akan menimbulkan akibat yang negatif yang negatif pada perusahaan. Akibat-akibat tersebut antara lain adalah tingginya absen pegawai dan keluarnya seseorang dari pekerjaannya (turnover). Salah satu penelitian mengenai akibat dari ketidakpuasan kerja dilakukan oleh Kass, Vodanovich dan Callender (2001). Mereka mengemukakan bahwa kepuasan kerja berkorelasi negatif dengan absen kerja. Jika seseorang puas dengan pekerjaannya. Namun, ada pendapat yang memngatakan bahwa korelasi tersebut tidak terlalu besar karena hubungan antara kepuasan kerja dengan absen dapat dihubungkan dengan banyak hal, seperti sakit, cuaca, atau bahkan ada keperluan keluarga mendadak (Spector, 2006). Contohnya, seseorang memiliki kepuasan kerja yang tinggi namun ia sering absen dari pekerjaannya karena sering terkena flu. Selain itu, ketidakpuasan pada pekerjaan sering kali menjadi penyebab seseorang meninggalkan pekerjaannya (Spector, 2006). Dalam hal ini berarti
36
http://digilib.mercubuana.ac.id/
terdapat hubungan yang negative antara kepuasan kerja dengan turnover. Pegawai yang puas dengan pekerjaannya sementara pegawai yang tidak puas dengan pekerjaannya akan lebih mudah untuk keluar dari pekerjaannya. Mckenna (2000) mengatakan bahwa performa kerja yang baik, perusahaan akan berusaha menahan orang tersebut dengan memberikan gaji yang baik, promosi, pengakuan, serta keuntungan lainnya yang dapat menimbulkan kepuasaan kerja. C.
Kepemimpinan Transformasional 1.
Pengertian Kepemimpinan Transformasional Menurut
Danim
(2005)
kepemimpinan
transformasional
adalah
kemampuan seseorang pemimpin dalam bekerja dengan dan/atau melalui orang lain untuk mentransformasikan, secara optimal sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan. Lebih jauh, Danim (2005) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional adalah perspektif kepemimpinan menjelaskan bagaimana pemimpin
mengubah
tim
atau
organisasi
dengan
menciptakan,
mengkomunikasikan dan membuat model visi untuk organisasi atau unit kerja dan memberi
inspirasi
pekerja
untuk
berusaha
mencapai
visi
tersebut.
Transformational Leadership adalah tentang memimpin, mengubah strategis dan budaya organisasi sehingga menjadi lebih sesuai dengan lingkungan sekitarnya. Transformational leader adalah agen perubahan yang memberi energi dan mengarahkan pekerja serangkaian nilai-nilai dan perilaku baru organisasi. Organisasi memerlukan kepemimpinan baik transaksional maupun transformasional. Kepemimpinan transaksional memperbaiki efisiensi, sedangkan kepemimpinan transformasional mengarahkan perusahaan pada tindakan yang lebih baik. Kepemimpinan transformasional terutama penting dalam organiasi yang memerlukan keselarasan penting dengan lingkungan. Sayangnya, terlalu banyak pemimpin terjebak dalam aktivitas manajerial sehari-hari yang mencerminkan kepemimpinan transaksional. Tanpa pemimpin transformational,
37
http://digilib.mercubuana.ac.id/
organisasi stagnan dan bahkan menjadi tidak selaras secara serius dengan lingkungan mereka. Sedangkan menurut Yukl (2009), dengan adanya kepemimpinan transformasional bawahan memiliki kepercayaan, kekaguman, dan rasa hormat terhadap pemimpin, dan mereka akan melakukan lebih dari apa yang diharapkan. Pemimpin transformasional mentransformasi dan memotivasi bawahannya dengan (1) membuat mereka lebih menyadari akan pentingnya hasil akhir dari sebuah pekerjaan, (2) mendorong bawahan untuk melampaui kepentingan pribadi mereka sendiri demi kepentingan organisasi atau tim, dan (3) mengaktifkan higher - order need mereka. 2.
Elemen dari Kepemimpinan Transformasional McShane dan Glinow (2010) mengemukakan elemen terpenting dari
kepemimpinan transformasional adalah : a. Membangun Visi Strategis (Develop a strategic vision) Pemimpin transformasional menimbulkan visi masa depan perusahaan yang mengikat pekerja untuk mencapai sasaran yang mungkin tidak mereka pikir. b. Mengkomunikasikan Visi (Communicate the vison) Apabila visi adalah substansi kepemimpinan transformasional, mengkomunikasikan
visi
adalah
merupakan
proses.
Kualitas
kepemimpinan yang paling penting adalah tentang bagaimana pemimpin dapat membangun dan berbgai visi mereka untuk organisasi. c. Pemodelan Visi (Model the vision) Pemimpin transformasional tidak hanya berbicara tentang visi, tetapi mereka menjadikannya. Mereka melakukan “walk the walk” dengan melangkah keluar dari kenyamanan eksekutif dan melakukan sesuatu yang mencerminkan visi. d. Membangun Komitmen pada Visi (Build commitment to the vision) Mentransformasi visi ke dalam realitas memerlukan komitmen pekerja. Pemimpin transformasional membangun komitmen ini
38
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dengan beberapa cara, kata-kata, symbol, dan cerita membangun antusiasme yang membangun memberi energi orang untuk menerima visi sebagai miliknya. 3.
Aspek-aspek Kepemimpinan
Transformasional
menurut
Burns
(1985); Bass dan Avolio (1994); Wutun (1996); Robbins dan Judge (2015), yaitu : a. Atributed Charisma Karisma secara tradisional dipandang sebagai suatu yang bersifat inheren dan hanya dimiliki para pemimpin kelas dunia. Penelitian ini membuktikan bahwa charisma itu lebih pandemic dan bisa saja terdapat pada pemimpin di level bawah sebuah organisasi. pemimpin yang dimiliki ciri kepemimpinan kharismatik memperlihatkan perilaku yang mendahulukan kepentingan perusahaan dan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi. Sebagai pimpinan, ia rela berkorban demi kepentingan perusahaan. Ia memberi kesan kepada bawahannya bahwa ia memiliki keahlian untuk melakukan tugas pekerjaannya, sehingga patut dihargai. Ia begitu percaya kepada kemampuannya, sehingga ia tenang menghadapi situasi krisis. Ia dapat berhasil dan menimbulkan rasa kagum, bangga, dan tenang bagi pengikutnya. Ia dapat dijadikan teladan dan idola bawahan. Ia menjadi model bagi bawahannya. Sebagi model tidak berarti bahwa bawahan menerima begitu saja apa yang dicontohkannya, tetapi mereka lebih berusaha mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai dan kepercayaan pimpinan. Melalui proses seperti ini pemimpin transformasional dapat berpengaruh motivasi bawahannya. b. Inspirational motivation Inspirational motivation berarti karakter seorang pemimpin yang mampu menerapkan standar yang tinngi akan tetapi sekaligus mampu mendorong bawahan untuk mencapai standar tersebut. Karakter seperti ini mampu membangkitkan optimisme dan antusiasme yang tinggi
dari
pawa
bawahan.
Dengan
39
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kata
lain,
pemimpin
transformasional senantiasa memberikan inspirasi dan memotivasi bawahannya. c. Idealized influence Idealized influence mempunyai makna bahwa seorang pemimpin transformasional harus kharisma yang mampu “menyihir” bawahan untuk bereaksi mengikuti pimpinan. Dalam bentuk konkrit, kharisma ini ditunjukan melalui perilaku pemahaman terhadap visi dan misi organisasi, mempunyai pendirian yang kukuh, komitmen dan konsisten terhadap setiap keputusan yang telah diambil, dan menghargai bawahan. Dengan kata lain, pemimpin transformasional menjadi role model yang dikagumi, dihargai, dan diikuti oleh bawahannya. d. Intellectual stimulation Intellectual stimulation karakter seorang pemimpin transformasional yang
mampu
mendorong
bawahannya
untuk
menyelesaikan
permasalahan dengan cermat dan rasional. Selain itu, karakter ini mendorong para bawahan untuk menemukan cara baru yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah. Dengan kata lain, pemimpin transformasional mampu mendorong (menstimulasi) bawahan untuk selalu kreatif dan inovatif. e. Individualized consideration Individualized consideration berarti karakter seorang pemimpin yang mampu memahami perbedaan individual para bawahannya. Dalam hal ini, pemimpin transformasional mau dan mampu untuk mendengar aspirasi, mendidik, dan melatih bawahan. Selain itu, seorang pemimpin transformasional mampu melihat potensi prestasi dan kebutuhan berkembang para bawahan serta memfasilitasinya. Dengan kata lain, pemimpin transformasional mampu memahami dan menghargai
bawahan
berdasarkan
kebutuhan
bawahan
dan
memperhatikan keinginan berprestasi dan berkembang para bawahan.
40
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dengan demikian, kepemimpinan transformasional lebih merupakan proses pembelajaran, yakni berupaya memberanikan dan mengangkat harga diri pengikutnya guna menyadari pentingnya tugas dan makna penyelesaian tugas bagi diri dan organisasi. 4.
Prinsip-prinsip Kepemimpinan Transformasional Paradigma baru dari kepemimpinan transformasional mengangkat 7
(tujuh) prinsip untuk menciptakan kepemimpinan transformasional yang sinergis sebagaimana di bawah ini (Rees, 2001) : a. Simplifikasi Keberhasilan dari kepemimpinan diawali dengan sebuah visi yang akan menjadi cermin dan tujuan bersama. Kemampuan serta keterampilan dalam mengungkapkan visi secara jelas, praktis dan tentu saja transformasional yang dapat menjawab “Kemana kita akan melangkah?” menjadi hal pertama yang penting untuk kita implementasikan. b. Motivasi Kemampuan untuk mendapatkan komitmen dari setiap orang yang terlibat terhadap visi yang sudah dijelaskan adalah hal kedua yang perlu kita lakukan. Pada saat pemimpin transformasional dapat menciptakan suatu sinergitas di dalam organisasi, berarti seharusnya dia dapat pula mengoptimalkan, memotivasi dan memberi energi kepada setiap pengikutnya. Praktisnya dapat saja berupa tugas atau pekerjaan yang betul-betul menantang serta memberikan peluang bagi mereka pula untuk terlibat dalam suatu proses kreatif baik dalam hal memberikan usulan ataupun mengambil keputusan dalam pemecahan masalah, sehingga hal ini pula akan memberikan nilai tambah bagi mereka sendiri. c. Fasilitasi Dalam pengertian kemampuan untuk secara efektif memfasilitasi “pembelajaran” yang terjadi di dalam organisasi secara kelembagaan, kelompok, ataupun individual. Hal ini akan berdampak pada semakin
41
http://digilib.mercubuana.ac.id/
bertambahnya modal intektual dari setiap orang yang terlibat di dalamnya. d. Inovasi Kemampuan untuk secara berani dan bertanggung jawab melakukan suatu perubahan bilamana diperlukan dan menjadi suatu tuntutan dengan perubahan yang terjadi. Dalam suatu organisasi yang efektif dan efisien, setiap orang yang terlibat perlu mengantisipasi perubahan dan seharusnya pula mereka tidak takut akan perubahan tersebut. Dalam kasus tertentu, pemimpin transformasional harus sigap merespon perubahan tanpa mengorbankan rasa percaya dan tim kerja yang sudah dibangun. e. Mobilitas Pengerahan semua sumber daya yang ada untuk melengkapi dan memperkuat setiap orang yang terlibat di dalamnya dalam mencapai visi
dan
tujuan.
Pemimpin
transformasional
akan
selalu
mengupayakan pengikut yang penuh dengan tanggung jawab. f. Siap Siaga kemampuan untuk selalu siap belajar tentang diri mereka sendiri dan menyambut perubahan dengan paradigma baru yang positif. g. Tekad Tekad bulat untuk selalu sampai pada akhir, tekad bulat untuk menyelesaikan sesuatu dengan baik dan tuntas. Untuk ini tentu perlu pula didukung oleh pengembangan disiplin spiritualitas, emosi, dan fisik serta komitmen. 5.
Nilai-nilai Kepemimpinan Transformasional Nilai-nilai kepemimpian transformasional dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu : a.
Nilai Hubungan Manusia Hubungan antar manusia merupakan antar pesona yang bersifat lahiriah saja, kurang memperhatikan aspek kejiwaan. Sehingga tidak memberikan
kepuasan
psikologis.
Suatu
hubungan
dikatakan
hubungan kemanusiaan, apabila hubungan tersebut dapat memberikan
42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kesadaran dan pengertian. Sehingga pihak lain (yang menerima informasi) merasa puas. Pengertian hubungan kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua macam. Yaitu hubungan kemanusiaan dalam arti luas dan hubungan kemanusiaan dalam arti sempit. Dalam arti luas, hubungan kemanusiaan adalah hubungan antara seseorang dengan orang lain yang terjadi dalam segala situasi dan dalam semua bidang kegiatan atau kehidupan untuk mendapatkan kepuasan hati. Dalam arti sempit, hubungan kemanusiaan adalah hubungan antara seseorang dengan orang (orang-orang) lain dalam suatu organisasi atau kantor, yang bertujuan memberikan kepuasan hati para pegawai. Sehingga para pegawai mempunyai semangat kerja yang tinggi, kerjasama yang tinggi serta disiplin yang tinggi. Jadi, inti dari hubungan antar-manusia adalah hubungan yang bersifat lahiriah. Sedang hubungan kemanusiaan lebih bersifat psikologis. Teori organisasi hubungan kemanusiaan berangkat dari suatu anggapan bahwa dalam kenyataan sehari-hari organisasi merupakan hasil dari hubungan kemanusiaan (human relation). Teori ini beranggapan bahwa organisasi dapat diurus dengan baik dan dapat mencapai sasaran yang ditetapkan apabila didalam organisasi itu terdapat hubungan antar pribadi yang serasi. Hubungan itu dapat berlangsung antara pimpinan dengan pimpinan yang setingkat, antara pimpinan dengan bawahan, antara bawahan dengan pimpinan, antara bawahan dengan bawahan. Tujuan dilaksanakannya human relation adalah : 1) Kepuasan psikologis para karyawan, 2) Moral yang tinggi, 3) Disiplin yang tinggi, 4) Loyalitas yang tinggi, 5) Motivasi yang tinggi.
43
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Apabila didalam organisasi ada kepuasan psikologis pada diri para anggota, ada moral, disiplin dan motivasi yang tinggi, maka organisasi akan dapat diurus dengan mudah dan dapat berjalan lancer menuju sasaran yang ditetapkan. Dari uraian tersebut diatas selanjutnya dapat diketahui human relations mengakui pentingnya hubungan antar pribadi yang harmonis,yakni hubungan yang didasarkan atas kerukunan,
kekeluargaan,
hormat-menghormati
dan
saling
menghargai. Hanya dalam suasana yang demikian organisasi dapat diurus dengan baik dan dapat mencapai sasaran. Disamping itu, dalam teori organisasi human relation juga dikemukakan cara-cara yang harus ditempuh oleh pimpinan untuk meningkatkan kepuasan anggota organisasi. Untuk memberikan kepuasan kepada para anggota organisasi, pimpinan dapat menaruh perhatian terhadap berbagai macam kebutuhan mereka. Dengan memenuhi berbagai macam kebutuhan para anggota, baik kebutuhan ekonomi, non-ekonomi, kebutuhan sosial maupun kultural, maka kepuasan anggota organisasi pasti akan meningkat. b.
Nilai Orientasi Tugas Pendapat
yang
sama
dikemukakan
oleh
Goldthorpe
(1968)
menjelaskan bahwa pada jenis pendekatan ini setiap karyawan memandang pekerjaan sebagai suatu tujuan akhir. Dimana karyawankaryawan tersebut bekerja berdasarkan satu alasan yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu juga dalam orientasi ini, ada juga karyawan yang memilih untuk bekerja dengan alasan untuk menunjang gaya hidup mereka secara spesifik. Gaya hidup yang dimaksud adalah kondisi-kondisi yang dialami atau dijalani oleh masing-masing karyawan. c.
Nilai Perubahan Perubahan adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola akibatakibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan dalam organisasi. Perubahan dapat terjadi karena sebab-sebab yang berasal
44
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dari dalam maupun dari luar organisasi tersebut. Perubahaan organisasi adalah perubahan yang terjadi pada pelaku organisasi, struktur organisasi dan teknologi dalam suatu organisasi dalam rangka mengarah keefektifan. Perubahan terjadi karena lingkungan yang tidak bebas dari ketidakpastian dan perubahan bersifat pasti agar dapat tetap memiliki eksistensi dan dapat bertahan. D.
Kerangka Berpikir 1.
Pengaruh antara Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasi Kebutuhan pegawai yang terpenuhi akan menciptakan suatu kepuasan
kerja pegawai. Kepuasan yang baik akan berpengaruh terhadap komitmen organisasi pegawai. Komitmen organisasi terbangun akibat dari kepuasan kerja yang dirasakan pegawai. Kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh harapan kerja pegawai yang terpenuhi. Dengan komitmen terhadap organisasi, pegawai akan merasa penting untuk ikut terlibat dalam kegiatan organisasi. Keterlibatan pegawai yang memiliki komitmen organisasi tinggi akan membantu poses pencapaian tujuan. Komitmen kerja terhadap organisasi mutlak diperlukan suatu perusahaan dari karyawannya. Untuk itu, suatu perusahaan harus menstimulasi perasaan kesetiaan karyawannya dan ini harus ditanamkan pada setiap individu diperusahaan tersebut. Usaha-usaha dalam menciptakan komitmen karyawan perlu terus ditumbuh kembangkan oleh suatu perusahaan. Komitmen kerja karyawan pada akhirnya ditunjukan kepada perusahaan yang dalam hal ini juga merupakan suatu organisasi. Dengan demikian, istilah komitmen kerja karyawan dianggap sama dengan istilah komitmen organisasi. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut.
45
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.
Pengaruh
antara
Kepemimpinan
Transformasional
dengan
Komitmen Organisasi Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang bisa dilakukan, dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh terhadap komitmen organisasi. Teori kepemimpinan (Kreitner, Robert dan Kinicki, 2010) berasumsi bahwa gaya kepemimpinan seorang manajer dapat dikembangkan dan diperbaiki secara sistematik. Bagi seorang pemimpin dalam menghadapi situasi yang menuntut aplikasi gaya kepemimpinannya dapat melalui beberapa proses seperti: memahami gaya kepemimpinannya, mendiagnosa suatu situasi, menerapkan gaya kepemimpinan yang relevan dengan tuntutan situasi atau dengan mengubah situasi agar sesuai dengan gaya kepemimpinannya. Hal ini akan mendorong timbulnya itikad baik atau komitmen anggota terhadap organisasinya. Jean Lee (2005) menguji pengaruh kepemimpinan dan perubahan anggota pimpinan terhadap komitmen organisasi. Hasil penelitiannya menemukan bahwa transformational leadership berhubungan positif dengan dimensi leader-member exchange (LMX) dan komitmen organisasional. Kualitas LMX juga memediasi hubungan antara leadership dengan komitmen organisasional. 3.
Pengaruh antara Kepemimpinan Transformasional dan Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Organisasi Robbins (2009) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu
orientasi individu terhadap organisasi yang mencakup loyalitas, identifikasi dan keterlibatan. Jadi komitmen organisasi mendefinisikan unsur orientasi hubungan antara individu dengan organisasinya. Orientasi hubungan tersebut mengakibatkan individu bersedia memberikan sesuatu dan sesuatu yang diberikan itu demi merefleksikan hubungan bagi tercapainya tujuan organisasi. Setiap organisasi pasti menginginkan tercapaian target atau tujuan yang telah ditetapkannya. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya suatu organisasi harus dijalankan dengan baik. Berjalannya suatu organisasi tentu saja harus adanya kerjasama antara pemimpin dan karyawan. Untuk mendorong karyawan mengerahkan kemampuan optimalnya dalam bekerja tentu adanya peran
46
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pemimpin dan adanya kewajiban dari diri individu atas pekerjaannya. Banyak yang tidak lalai dalam mengerjakan tugas karena adanya kepuasan kerja yang belum terpenuhi. Kebutuhan karyawan juga menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan oleh pemimpin. Kebutuhan karyawan yang terpenuhi akan menciptakan suatu kepuasan kerja. Kepuasan yang baik akan berpengaruh terhadap komitmen organisasi, komitmen organisasi terbangun akibat dari kepuasan kerja yang dirasakan karyawan. Kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh harapan kerja karyawan yang dapat terpenuhi. Dengan komitmen terhadap organisasi, karyawan akan merasa penting untuk ikut terlibat dalam kegiatan organisasi. Keterlibatan karyawan akan membantu poses pencapaian suatu tujuan perusahaan. Jadi, pencapaian suatu perusahaan tergantung dari sikap pemimpin. Bagaimana dirinya dapat berinteraksi terhadap karyawan, memberikan arahan, membantu kreatif dan inovatif dalam memecahkan permasalah menjadi role model untuk karyawan. Apabila karyawan merasa kebutuhan terpenuhi mulai dari lingkungan kerja, teman kerja, pimpinan yang baik, gaji yang diterima, dan promosi yang dilakukan perusahaanaan. Tentu saja dapat membuat karyawan puas dalam bekerja, apabila karyawan tersebut puas maka dia akan berkomitmen terhadap organisasinya. Oleh karena itu, peran pemimpin sangat penting untuk memberikan dampak terhadap karyawan apabila karyawan puas dalam bekerja hal tersebut akan menimbulkan karyawan akan berkomitmen dalam organisasi.
47
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Berdasarkan dalam penelitian ini. Kerangka tersebut merupakan dasar pemikiran dalam melakukan analisis pada penelitian ini.
Kepemimpinan Transformasional (X1) (Menurut Burns,1985; Bass dan Avolio, 1994) Atribut Charisma Idealized influence Inspirational motivation Intellectual stimulation
Komitmen Organisasi (Y)
Individualized consideration
X1Y
(Menurut Allen dan Meyer, 1997) Affective Organizational
X1X2Y Kepuasan Kerja (X2) (Menurut Colquitt, Lepine dan Wesson, 2011)
Commitment Continuance Organizational
X2Y
Commitment Normative Organizational
Pay Satisfaction
Commitment
Promotion Satisfaction Supervision Satisfaction Coworker Satisfaction Satisfaction with the Work itself Altruism Status Environment
Bagan 1. Kerangka Berpikir
48
http://digilib.mercubuana.ac.id/
E.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan pada landasan teori dan kerangka pemikiran di atas, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : H1 :
Kepemimpinan transformasional berpengaruh secara signifikan terhadap Komitmen Organisasi.
H2 :
Kepuasan Kerja berpengaruh secara signifikan terhadap komitmen organisasi.
H3 :
Kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja berpengaruh secara signifikan terhadap komitmen organisasi.
F.
Penelitian Sebelumnya Penelitian ini dilakukan oleh Agustina dan Bachroni (2012) dengan judul
“pengaruh pelatihan kepemimpinan diri untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan” dengan hasil adalah karyawan non-akademik sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Studi komparasi dilakukan antara kelompok eksperimen (N=11) dan kelompok kontrol (N=11). Desain penelitian menggunakan the untreated control group design with pre-test and post-test. Pada kelompok eksperimen deberikan pelatihan kepemimpinan diri, sedangkan kelompok control tidak. Hasil uji hipotesis menggunakan sytatistik non-parametrik Mann-Whitney menunjukan tidak ada perbedaan kepuasan kerja yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok control (Z=-0,033; p=0,974; p>0,05). Penelitian ini dilakukan oleh Anggraeni dan Elisabeth (2013) dengan judul “Pengaruh
Kepemimpinan
Transformasional
terhadap
Kepuasan
Kerja
Karyawan”. Peran aktif pemimpin dan model kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan merupakan hal penting. Karyawan mengharapkan dapat dipimpin oleh seorang pemimpin yang memiliki visi dengan tujuan yang jelas, memahami bagaimana untuk merealisasikan tujuan dan mampu mengarahkannya. Peran pemimpin dalam perusahaan diharapkan dapat menciptakan perasaan memiliki bagi karyawan, pemimpin yang memiliki karakter, akan mampu memberikan pengaruh terhadap iklim kerja dalam perusahaan. penelitian ini dirancang untuk menguji apakah kepemimpinan transformasional memiliki
49
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pengaruh terhadap kepuasan kerja. Sampel yang digunakan adalah karyawan PT POS Indonesia cabang Sumedang, sebanyak 64 orang. data yang diperlukan dikumpulkan dengan kuesioner. Metode analisis data yang digunakan adalah regresi linear. Hasilnya menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja karyawan. Yousef, Darwish A (2014) Dengan judul adalah "etika kerja Islam Sebuah moderator antara komitmen organisasi dan kepuasan kerja dalam konteks lintas budaya". Studi ini mengkaji dampak moderasi dari etika kerja Islam pada hubungan antara komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Menggunakan sampel 425 karyawan Muslim di beberapa organisasi di Uni Emirat Arab (UEA). Hasil empiris menunjukkan bahwa etika kerja Islam secara langsung mempengaruhi baik organisasi komitmen dan kepuasan kerja, dan bahwa itu moderat hubungan antara kedua konstruk. Hasil lebih lanjut menunjukkan bahwa budaya nasional tidak memoderasi hubungan antara etika kerja Islam dan kedua komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Hasil juga menunjukkan bahwa dukungan dari etika kerja Islam berbeda di seluruh usia, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, budaya nasional, jenis organisasi (manufaktur atau jasa), dan kepemilikan (swasta atau publik). Selanjutnya, hasil empiris menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Implikasi, keterbatasan dan garis penelitian masa depan dibahas. Penelitian ini dilakukam oleh Yudhawati (2005) dengan judul “Hubungan antara Persepi Gaya Kepemimpinan Transformasional, Transaksional, dan Komitmen Organisasional, dengan Mutu Pelayanan Pramuniaga Matahari Department Store Magelang” dengan hasil 100 respondent dengan tingkat regresi analisis dimana korelasi antara gaya kepemimpinan transformasional dan mutu pelayanan R=0,728 (p=0,00). Memakai korelasi pearson dengan r=0,688 dan p=0.00 dan r=0,459, p=0,00. Miftahun dan Sugiyanto (2010) Jurnal psikologi, Volume 37, No. 1,Juni 2010: 94 – 109. Dengan judul “Pengaruh Dukungan Sosial dan Kepemimpinan Transformasional terhadap Komitmen Organisasi dengan Mediator Motivasi Kerja”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dukungan
50
http://digilib.mercubuana.ac.id/
sosial dan kepemimpinan transformasional terhadap tiga model komponen komitmen organisasi (afektif, continuance, dan normative) dengan motivasi kerja sebagai mediator. Subyek penelitian adalah 94 karyawan dari pabrik gula di Indonesia dengan minimal 2 tahun sebagai masa jabatan. Empat kuesioner digunakan untuk mendapatkan data yang kuesioner organisasi komitmen, kuesioner dukungan sosial, kuesioner kepemimpinan transformasional, dan kuesioner motivasi kerja. Data dianalisis dengan menggunakan analisis regresi dan korelasi parsial. Hasilnya: (1) afektif dan kelanjutan komitmen secara signifikan dipengaruhi oleh dukungan sosial dan kepemimpinan transformasional dengan motivasi kerja sebagai mediator dan (2) komitmen normatif tidak secara signifikan dipengaruhi oleh dukungan sosial dan kepemimpinan transformasional. Penelitian yang dilakukan oleh Dinata (2013) dengan judul “Hubungan Antara Kepemimpinan Transformasional dengan Komitmen Organisasi pada Karyawan Divisi Produksi PT. Gunawan Dianjaya Steel Surabaya” dengan hasil penelitian pada 30 orang subjek uji coba bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara idealized influence dengan komitmen organisasi yaitu sebesar 0,584 taraf signifikan 0,0000, inspiration motivation dengan komitmen organisasi yaitu sebesar 0,42 taraf signifikan 0,0000, Intellectual stimulation dengan komitmen organisasi yaitu sebesar 0,32 dan individual consideration dengan komitmen organisasi yaitu sebesar 0,381 taraf signifikn 0,0000. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan signifikan antara kepemimpinan transformasional dengan komitmen organisasi pada karyawan divisi produksi PT. Gunawan Dianjaya Steel surabaya. Penelitian ini dilakukan oleh Narulita dan Meiyanto (2014) dengan judul “Kesiapan
Karyawan
dala
Menghadapi
Perubahan
ditinjau
dari
Gaya
Kepemimpinan dan Tipe Kepribadian” dengan hasil dengan hasil penelitian pada 117 karyawan. Hasil analisis menunjukan bahwa gaya kepemimponan transformasional, dan skala tipe kepribadian yang terbuka. Hipotesis diuji menggunakan analisis regresi berganda. Hasil analisis menunjukan bahwa bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan kepribadian yang terbuka mampu memprediksi kesiapan karyawan dalam menghadapi perubahan dengan perubahan
51
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dengan Fsebesar 13,737 dan p=0,000 (p<0.01). Secara stimultan, gaya kepemimpinan transformasional dan tipe kepribadian yang terbuka memberikan kontribusi sebesar 19,4% terhadap kesiapan karyawan dalam menghadap perubahan. Penelitian ini dilakukan oleh Palgunanto,Suparno, dan Dwityanto (2010) dengan
judul
“Kinerja
Karyawan
ditinjau
dari
Gaya
Kepemimpinan
Transformasional” dengan subjek dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan wiraniaga PT. AJB Bumiputera 1912 cabang Salatiga yang berjumlah 43 orang. Teknik pengambulan sample yang digunakan adalah studi populasi, yaitu subjek yang digunakan dalam penelitian diambil keseluruhan dari jumlah populasi. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala gaya kepemimpinan transformasional dan data dokumentasi kinerja karyawan. Berdasarkan hasil analisis korelasi product moment diperoleh nilai korelasi r=0,463 dengan hasil p<0.01 artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dengan kinerja. Peranan atau sumbangan efektif gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja sebesar 21,4% yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinan r=0,214. Hal ini berarti masih terdapat 78,6% faktor-faktor lain yang memengaruhi kinerja diluar variabel gaya kepemimpinan transformasional.
52
http://digilib.mercubuana.ac.id/