BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kosmetik
merupakan
rahasia
penampilan.
Ketika
berbicara
tentang
penampilan, sulit meninggalkan istilah kosmetik. Faktanya, kosmetik memang diperuntukkan memperindah penampilan sehingga menambah kepercayaan diri para penggunanya. Menurut FDA, Food and Drugs Administration, Amerika Serikat, kosmetik didefinisikan sebagai: “Articles intended to be applied to the human body for cleansing, beautifying, promoting attractiveness, or altering the appearance without affecting the body's structure or functions;” (FD&C Act, sec. 201(i))1. Artinya, kosmetik berfungsi untuk membersihkan, mempercantik, menaikkan daya tarik, atau mengubah penampilan tanpa mempengaruhi struktur tubuh maupun fungsinya. Berbicara tentang kecantikan, berarti berbicara tentang perempuan. Sejak dahulu, istilah kosmetik memang berkaitan erat dengan dunia perempuan yang dianggap lebih peduli pada penampilan, kecantikan, dan keindahan. Kata kosmetik sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu kosmetikē tekhnē, yang artinya teknik berbusana dan menghias2. Praktek penggunaan kosmetik dipercaya telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu, dimulai sejak bangsa Mesir Kuno menemukan kegunaan minyak wangi. Sejak saat itu, industri kosmetik di Mesir Kuno terus berkembang dan menjadi bagian dalam upacara-upacara keagamaan, dimana pria juga turut menggunakannya. Ketenaran kosmetik kemudian menyebar ke seluruh Eropa melalui bangsa Romawi dan Yunani3. Sejak itu pula kosmetik mulai ditinggalkan oleh pria dan semakin erat dengan kecantikan serta menjadi sebuah kata yang identik dengan perempuan. Sehingga, sampai hari ini bisa dikatakan bahwa kosmetik dapat menunjukkan femininitas, kecantikan, dan keanggunan perempuan. 1
Admin. Is It a Cosmetic, a Drug, or Both? http://www.fda.gov/Cosmetics/GuidanceRegulation/LawsRegulations/ucm074201.htm. Diakses pada 8/2/2014. 2 Cosmetics. http://en.wikipedia.org/wiki/Cosmetics. Diakses pada 8/2/2014. 3 Admin. Cosmetics History and Facts. http://www.historyofcosmetics.net/. Diakses pada 9/2/2014.
1
Kebutuhan dan permintaan yang tinggi akan kosmetik setiap harinya kemudian memicu terciptanya sebuah industri besar, yaitu industri kosmetik. Hingga hari ini, tidak terhitung jumlah produk kosmetik yang bermunculan di berbagai belahan dunia. Berbagai varian kosmetik pun bermunculan, berusaha memenuhi berbagai kebutuhan mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Menurut FDA, kosmetik meliputi: “…skin moisturizers, perfumes, lipsticks, fingernail polishes, eye and facial makeup, cleansing shampoos, permanent waves, hair colors, and deodorants, as well as any substance intended for use as a component of a cosmetic product. It does not include soap4.” Bagaimana dengan pria? Berkebalikan dari perempuan, sejak dahulu sosok pria jauh dari kata keindahan dan kecantikan. Pria digambarkan sebagai sosok yang tangguh dengan tubuh tinggi, tegap, dan berotot. Sosok yang erat dengan keberanian, kekuatan, kekuasaan, dominasi dan hegemoni. Penggambaran sosok tersebut kemudian turun-temurun diwariskan dalam darah pria, melewati berbagai generasi dan zaman. Media, melalui berbagai produknya, sedikit banyak telah ikut mempengaruhi terciptanya kondisi tersebut. Mulai dari pria berotot, pria militer, pria yang mendominasi perempuan, pria yang sukses dalam bisnis, hingga pria pendiam yang sangat mematikan menjadi menu sehari-hari kala menikmasti konten media. Dalam komunikasi pemasaran beberapa brand, Marlboro misalnya, pria digambarkan sebagai sosok cowboy, penggembala ternak yang ikonik dari Amerika. Cowboy, seperti yang digambarkan dalam berbagai film, komik, dan legenda rakyat, identik dengan kemampuan berkuda, pekerjaan di bawah terik matahari yang berdebu, ahli menggunakan senjata, dan penuh adu fisik. Hal tersebut mungkin memberikan gambaran maskulinitas saat itu, bahwa maskulinitas diukur dari kekuatan fisik, bukan keindahannya. Seiring berkembangnya zaman, pria moderen tidak perlu lagi bekerja di bawah terik matahari. Perkembangan industri dan perkantoran menciptakan sosok pria baru, yang kerap disebut “pria kantoran” atau “eksekutif muda”. Hal tersebut
4
Admin. FDA Authority Over Cosmetics. http://www.fda.gov/Cosmetics/GuidanceRegulation/LawsRegulations/ucm074162.htm. Diakses pada 8/2/2014.
2
mungkin secara tidak langsung dapat merubah segala aspek pria. Alasannya, pria yang sebelumnya identik dengan pekerjaan di luar ruangan pada zaman cowboy, kini harus berada di dalam ruangan hampir sepanjang hari. Pekerjaan yang sebelumnya identik dengan kebutuhan fisik mumpuni, kini bergeser ke balik meja. Segala perubahan kondisi tersebut mungkin turut mempengaruhi pola pikir pria dalam memandang maskulinitas, khususnya kebutuhan penampilan. Perubahan tersebut juga turut mempengaruhi media dalam memandang maskulinitas. Seiring berjalannya waktu, media perlahan melunak dan pada akhirnya media jugalah yang menjadikan kosmetik sebagai kebutuhan pria, dengan mengekspos kesuksesan dan kebintangan para pria yang berpenampilan menarik. Munculnya pria-pria menarik tersebut kemudian memicu para pria untuk mulai memperhatikan penampilan, dan juga para perempuan yang mengidolakan para bintang tersebut mendorong para kekasih, suami, hingga anaknya untuk berpenampilan serupa. Namun, barulah di akhir 90-an pria sangat memperhatikan urusan penampilan. Salah satu penyebabnya adalah kemunculan pria metroseksual, yaitu pria yang menaruh perhatian lebih pada penampilan layaknya perempuan. Berbeda dengan pria-pria lain di era sebelumnya, pria metroseksual secara terang-terangan menggunakan kosmetik untuk menunjang penampilan mereka. Kemunculan pria metroseksual perlahan mempengaruhi pria lain yang non-metroseksual untuk turut memperhatikan penampilan. Hal tersebut diperkuat dengan dukungan media, yang melahirkan model-model maskulinitas dalam berbagai produk media, seperti buku, majalah, iklan, dan film. Mulai dari sosok cowboy, pria berotot seperti Rambo, pria petualang seperti Indiana Jones, pria kalem namun mematikan seperti James Bond, pria romantis seperti Richard Gere, hingga sosok atlit seperti David Beckham, semua mampu menciptakan penggemar masing-masing, baik kaum perempuan maupun pria itu sendiri. Kemunculan sosok-sosok idola tersebut, sedikit banyak memicu para penonton atau penggemar untuk mengikuti jejak mereka, yang paling mudah adalah penampilan. Akhirnya, para pria mulai memperhatikan penampilan mereka dengan lebih baik, salah satunya melalui perawatan dengan menggunakan
3
kosmetik. Puncaknya, perkembangan tersebut menciptakan lahan industri baru, yaitu kosmetik pria. Secara umum, kosmetik pria adalah produk perawatan yang dikreasikan khusus untuk pria dan disesuaikan untuk pria. Terhitung sejak tahun 2010, industri ini mengalami peningkatan hingga 420%. Dampaknya, kini pria tidak perlu malu untuk membeli produk perawatan secara terbuka di berbagai pusat perbelanjaan. Uniknya, menurut riset yang dilakukan oleh Hautelook, secara global sejak tahun 2010 juga, 76% pria mengonsumsi kosmetik perempuan untuk dirinya5. Jenis kosmetik yang paling laris dikonsumsi adalah produk perawatan kulit, meliputi cleanser, moisturizer, dan eye cream. Sejalan dengan hasil riset Hautelook, ternyata tidak sedikit pria Indonesia yang mengonsumsi produk kosmetik untuk perempuan, khususnya pembersih wajah. Di Indonesia sendiri, produk paling laris di pasaran adalah face-wash atau face-cleanser, atau pembersih wajah. Hal tersebut dapat dilihat dari maraknya iklan pembersih wajah dari beragam brand yang muncul di berbagai media setiap hari. Berdasar survey Maxus 3 Data tahun 2011, sebanyak 41% pria Indonesia tidak menggunakan pembersih wajah khusus pria6. Di dalam angka tersebut, Pond’s menjadi salah satu brand yang laris digunakan oleh para pria Indonesia. Fakta tersebut sejalan dengan pernyataan Debora Gondokusuma, Brand Manager Pond’s, seperti dilansir oleh swa.co.id, bahwa pria yang masih menggunakan produk Pond’s (untuk perempuan) mencapai angka 25%7. Angka yang cukup besar mengingat maraknya produk perawatan khusus pria dari berbagai brand saat ini. Kemunculan pria yang menggunakan produk perawatan atau kosmetik untuk perempuan itulah yang kemudian melandasi penelitian ini. Pria, yang umumnya jauh dari kata keindahan, kini memperhatikan keindahan tubuhnya dengan penggunaan kosmetik untuk perempuan. Peneliti, sebagai pria, merasa tertarik untuk meneliti cara para pria memandang maskulinitas saat ini, utamanya 5
Tamara Abraham. 2012. Is That His Eye Cream or Hers? The Number of Men Buying WOMEN'S Beauty Products Soars by 76per cent. http://www.dailymail.co.uk/femail/article-2166060/Is-eye-cream-Thenumber-men-buying-WOMENS-beauty-products-soars-76per-cent.html. Diakses pada 8/2/2014. 6 Kabar Bisnis. 2011. Bersihkan Wajah, 41% Pria Gunakan Produk Wanita. http://www.kabarbisnis.com/read/2819454. Diakses pada 8/2/2014. 7 Rif’atul Mahmudah. 2013. Pond’s Men, Inovasi Produk Perawatan Pria. http://swa.co.id/businessstrategy/ponds-men-inovasi-produk-perawatan-kulit-pria. Diakses pada 9/2/2014.
4
maskulinitas para pria pengguna kosmetik perempuan. Apakah pria pengguna kosmetik perempuan dapat disebut maskulin? Bagaimana pria pengguna kosmetik perempuan memandang maskulinitasnya sendiri? Bagaimana tanggapan pria yang tidak menggunakan kosmetik perempuan terkait maskulinitas pria pengguna kosmetik perempuan? Pada penelitian-penelitian terkait
maskulinitas
yang telah dilakukan
sebelumnya, telah banyak dibahas mengenai berbagai jenis konstruksi citra maskulin dalam media tertentu, seperti iklan, film, atau media cetak. Nah, penelitian ini, dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari penelitian-penelitian tersebut. Memanfaatkan efek dari konstruksi maskulinitas melalui media, penelitian ini berusaha mengetahui pandangan pria pengguna kosmetik perempuan terkait maskulinitas yang telah terkonstruksi oleh berbagai media, langsung dari sudut pandang pelaku, korban, dan pencipta maskulinitas itu sendiri, yaitu para pria.
B. Rumusan Masalah Dari segala penjabaran di atas, ditemukan satu permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu bagaimana maskulinitas pria pengguna kosmetik perempuan di mata pria?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pria menilai, memandang, serta mengevaluasi maskulinitas sesama pria, terkait penggunaan produk perawatan atau kosmetik perempuan di kalangan kaum pria itu sendiri.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai: 1. Referensi bagi peneliti maupun praktisi untuk mengetahui pandangan pria terhadap maskulinitas pria pengguna komsetik perempuan. 2. Memberikan landasan bagi yang tertarik melakukan penelitian lanjutan.
5
E. Objek Penelitian Penelitian ini bertujuan mencari bagaimana pria menilai, memandang, serta mengevaluasi maskulinitas sesama pria, khususnya pria pengguna kosmetik perempuan. Artinya, penelitian ini merupakan penelitian yang mengeksplorasi para pria. Sehingga, objek penelitian ini sudah tentu adalah pria, baik pria pengguna kosmetik perempuan, maupun bukan pengguna. Dengan demikian, diharapkan dapat muncul berbagai variasi jawaban terkait rumusan permasalahan penelitian. Lokus penelitian ini terletak di ranah penerima pesan, dalam hal ini adalah para pria. Fokus penelitian mengutamakan efek yang diterima oleh objek penelitian ini, yaitu sikap objek penelitian, dalam bentuk cara pandang terhadap suatu hal, dalam hal ini adalah cara pandang terhadap maskulinitas.
F. Kerangka Teori 1. Archetype maskulinitas “Men are from Mars, women are from Venus.” Sebuah idiom terkenal yang menggambarkan betapa berbedanya sosok pria dan wanita. Idiom tersebut berasal dari judul buku karya seorang relationship counselor, John Gray, Ph.D8. Dalam bukunya, Gray menuliskan bahwa pola pikir pria dan perempuan secara umum sangat berbeda sehingga mempengaruhi berbagai aspek lain dalam kehidupan, termasuk ketika menghadapi berbagai permasalahan, mengatasi stress, menjalin hubungan asmara, dan sebagainya. Berbagai perbedaan tersebut kemudian menjadi rahasia umum dan menciptakan konsep gender yang membedakan keduanya, yaitu maskulin dan feminin, dimana kedua konsep gender tersebut “mengatur” cara hidup dan segala aspek masing-masing gender. Fakih (2001) menyatakan bahwa dalam memahami konsep gender, harus mengerti perbedaan kata “gender” dan “jenis kelamin/sex” terlebih dahulu. Jenis kelamin atau sex mengacu pada bentuk fisik dan fungsi biologis yang melekat pada manusia, khususnya pada organ reproduksi. Sedangkan gender mengacu pada sifat yang melekat pada kaum pria maupun perempuan yang telah 8
Gray, John. 2013. Men are from Mars, Women are from Venus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
6
terkonstruksi secara sosial maupun kultural. Kontruksi itulah yang kemudian menciptakan istilah maskulin untuk pria dan feminin untuk perempuan. Meski demikian, ternyata tidak setiap pria bisa disebut maskulin, dan tidak setiap perempuan bisa disebut feminin. Dalam hal maskulinitas, Connell (1995) menuturkan, “Masculinities concern the position of men in a gender order. They can be defined as the patterns of practice by which people (both men and women, though predominantly men) engage that position.” Menurut pernyataan tersebut, “maskulin” merupakan posisi yang menegaskan sosok pria dalam susunan gender. Siapapun, baik pria maupun perempuan – meski pria lebih dominan, dapat memiliki posisi maskulin. Namun dalam praktik sehari-hari, yang terjadi pada umumnya adalah pria seharusnya maskulin dan perempuan seharusnya feminin. Hal tersebut disebabkan adanya sterotype yang melekat erat pada kedua gender. Stereotype atau stereotip menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat9. Dikatakan tidak tepat karena stereotype sebenarnya merupakan anggapan atau asumsi pribadi yang digeneralisasikan, tidak benar-benar mewakili setiap anggota dari golongan yang dihakimi oleh stereotype tertentu. Sebagai contoh, masyarakat menganggap bahwa para pengangguran adalah golongan orang-orang yang pemalas, orangorang yang tidak mau berusaha. Sedangkan pada kenyataannya, belum tentu semua orang dalam golongan pengangguran adalah orang yang malas, bisa saja korban PHK atau perusahaannya mengalami kebangkrutan dan sebagainya. Hal yang sama berlaku dalam konsep gender. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin tidak asing mendengar anggapan bahwa pria seharusnya kuat dan perempuan seharusnya lembut. Itulah salah satu stereotype yang melekat pada kedua gender sejak dahulu. Welter (1978: 313) dalam Brannon (2004:162) mengemukakan teori The Cult of True Womanhood yang merujuk pada stereotype yang berkembang di pertengahan abad ke-19. Sedangkan untuk kategori pria, Brannon (2004:162) juga mengangkat teori Male Sex Role Identity yang dikemukakan oleh Pleck (1981, 1995) yang dianggapnya sebagai konsep yang 9
http://kbbi.web.id/stereotip. Diakses pada 17/7/2014.
7
dominan dari maskulinitas di dalam kehidupan bermasyarakat sekaligus sebagai sumber permasalahan bagi lingkungan maupun diri pria itu sendiri. Lebih lengkap mengenai kedua teori tersebut dapat dilihat di dalam tabel berikut.
Tabel 1.1 Tabel Stereotype Gender
Sumber: Brannon, Linda. 2004. Gender: Psychological Perpectives. Halaman 162.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa stereotype yang tercipta antara pria dan perempuan sejak dahulu selalu berkebalikan, dimana pria selalu lebih unggul sedangkan perempuan lebih lemah. Dalam teori The Cult of True Womanhood, dapat dilihat bahwa perempuan dianggap lebih pasif, rapuh, lemah, lembut, bergantung pada orang lain, dan berposisi sebagai pengurus rumah tangga. Sedangkan pria sebaliknya, teori Male Sex Role Identity menggambarkan pria sebagai sosok yang lebih agresif, mandiri, haus akan kesuksesan, tangguh, percaya diri, berkepribadian keras, serta pantang berperilaku yang menunjukkan sifat sissy atau keperempuan-perempuanan. Berbagai stereotype tersebut pada akhirnya telah menjadi semacam “panduan hidup maskulin” bagi para pria, membentuk hegemoni dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan pria, mulai dari kehidupan bernegara, bermasyarakat, berkeluarga, berteman, berkomunikasi, hingga hal-hal yang lebih kecil seperti penampilan, gesture tubuh, dan lain sebagainya. Perkembangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran media dalam kehidupan sehari-hari. Media memegang peranan besar dalam menciptakan
8
hegemoni sekaligus mempertahankannya. Menurut Hearn, “the images used to portray men and women have a great deal of influence in signifying who holds the power and who does not, thus granting dominance to one group over the other under the theory of hegemony (2004: 53-55).” Artinya, berbagai image yang digunakan untuk menggambarkan pria dan perempuan memiliki pengaruh besar dalam menyatakan siapa pemegang kekuasaan, dan siapa yang tidak, sehingga memberikan dominasi kepada satu kelompok tertentu atas kelompok lainnya di bawah teori hegemoni. Dalam iklan, sebagaimana dijelaskan dalam Gender Advertisement, konsep sederhana seperti posisi tangan dalam sebuah iklan dapat menggambarkan kelemahan
dan
ketidakberdayaan
perempuan,
sedangkan
di
sisi
lain
menggambarkan kekuatan dan dominasi pria dalam teori hegemoni. Sebagai contoh, perempuan umumnya ditunjukkan hanya menggenggam ringan, hampir bersentuhan, atau memperlakukan produk dengan baik; sebaliknya pria menggenggam keras, memanipulasi, atau mengontrol produk (Goffman, 1979). Masih menurut Goffman, di media, pria umumnya selalu terlihat lebih tinggi dibanding perempuan–entah tinggi secara fisik maupun diposisikan berdiri, sementara perempuan umumnya duduk maupun berbaring–sesuatu yang diyakini Goffman menegaskan superioritas pria. Selain itu, pria juga kerap digambarkan memutuskan suatu putusan sementara perempuan secara pasif mematuhinya, yang lebih lanjut digambarkan sebagai “bawahan” dan menjelaskan posisi mereka dalam masyarakat (1979). Maka, dapat dikatakan bahwa media membentuk gambaran bagaimana pria seharusnya berperilaku, bertindak, dan bersikap. Meskipun terlihat superior, namun rupanya aktifitas media mengangkat hegemoni maskulinitas menyakiti diri pria itu sendiri, karena media terkesan membatasi kebebasan para pria. Hal itu sesuai temuan Gentry dan Harrison, bahwa media memberikan efek negatif pada pria karena: “…narrows their options, forces them into confined roles, dampens their emotions, inhibits their relationships with other men, precludes intimacy with children, limits their social consciousness, distorts their self-perception, and dooms them of not living up to the masculine ideal.” (2010:75)
9
Menurut Katz (2003), seperti halnya perempuan yang merasakan tekanan untuk menyesuaikan dengan definisi karakter feminin yang menurut media identik dengan keindahan fisik, perilaku halus, dan kepatuhan, pria juga dikelilingi berbagai pesan yang menggambarkan karakter “pria sejati” dalam masyarakat. Maskulinitas kerap digambarkan dengan ketangguhan fisik, kontrol, agresifitas, sehingga menghasilkan sosok tangguh yang kerap direpresentasikan dengan atlit, superhero, bintang laga, atau pahlawan perang. Lebih dalam lagi, menurut Katz, yang disebut pria sejati memiliki tubuh atletik yang kuat, otot menonjol, sikap kasar, serta “ketangguhan” luar dan dalam. Katz percaya bahwa hal ini merupakan standar sosial bagi para pria, terlepas dari ras dan budaya. Hal tersebut kemudian memicu terciptanya berbagai golongan pria yang menjadi acuan dalam penelitian ini, atau disebut archetype maskulinitas. Archetype sendiri menurut kamus Mirriam-Webster diartikan sebagai: “The original pattern or model of which all things of the same type are representations or copies10.” Dalam area psikologi moderen, konsep archetype dapat digolongkan sebagai: “A statement, patterns of behavior, or prototype which other statement, patterns of behavior, and object copy or emulate11.” Dari kedua statement tersebut dapat disimpulkan bahwa archetype merupakan model standar atau model dasar yang kemudian menjadi acuan standar lainnya. Archetype maskulinitas merujuk pada model dasar atau model standar dari maskulinitas. Model-model standar itu kemudian menjadi acuan bagi pria untuk berperilaku maskulin. Dalam berbagai produk media, khususnya media populer seperti film, novel, program televisi, dan iklan, yang melibatkan pria dalam kontennya, dapat dilihat adanya sosok pria dengan karakter tertentu. Rohlinger (2002:66-67) melakukan sebuah studi analisis konten untuk menemukan karakter pria yang kerap muncul di iklan dan frekuensinya. Rohlinger menganalisa konten iklan yang muncul selama satu dekade, yaitu 1987-1997 dari lima media yang menyasar kaum pria sebagai targetnya, yaitu Sport Illustrated, Men’s Health, Popular Mechanics,
10 11
http://www.merriam-webster.com/dictionary/archetype. Diakses pada 17/7/2014. http://en.wikipedia.org/wiki/Archetype. Diakses pada 18/7/2014.
10
Gentlemen’s Quarterly (GQ), dan Bussiness Week. Dari studinya tersebut, Rohlinger menyimpulkan sembilan tipe representasi pria, yaitu:
The Hero – tipe pria yang reputasi atau kebintangannya merupakan hasil dari kesuksesan bisnis, kekuatan politik, pelayanan militer, ataupun prestasi atletik. Kehebatannya dalam suatu bidang menjadikan pria tersebut sebagai hero atau pahlawan penyelamat.
The Outdoorsman – pria yang menguasai alam, “merajai” para hewan, dan menguasai segala hal yang terlihat liar.
The Urban Man – sosok metropolitan yang terlibat dalam berbagai kemewahan hidup di kota besar; termasuk fashion, kehidupan sosial, dan berbagai perkumpulan.
The Family Man – pria yang aktif berperan di rumah tangga, sebagai ayah maupun sebagai kepala keluarga. Umumnya digambarkan sebagai pria yang mengutamakan segalanya untuk keluarga.
The Breadwinner – pria yang bertanggungjawab sebagai pencari nafkah utama untuk seluruh anggota keluarga. Tipe pria yang siap jatuh bangun dalam bertahan hidup.
The Man at Work – sosok pria yang mengejar karir dan bidang keahliannya.
The Erotic Male – sosok pria sensual, ideal, bahkan kadang dalam bentuk telanjang untuk ditampilkan.
11
The Consumer – pria “biasa” yang digambarkan sebagai pengguna produk, memiliki kebutuhan terhadap produk, atau ditampilkan sebagai konsumen yang puas akan produk tertentu.
The Quiescent Man – sosok pria kalem, yang melakukan aktifitas rekreasi ringan seperti bermain video game, mengikuti tour, dan sebagainya, atau sama sekali tidak melakukan apapun.
Dalam ilmu komunikasi, dikenal sebuah teori bernama social cognitive theory (SCT) yang merupakan sebuah teori efek media yang dikembangkan dari teori psikologi yang dipublikasikan oleh Neal E. Miller dan John Dollard di tahun 1941 (Miller, 2002:237) yaitu social learning theory. Teori tersebut menjelaskan bahwa jika manusia termotivasi untuk belajar suatu hal tertentu, maka mereka akan mempelajarinya dari “model” atau contoh yang tersedia, dan akan mengikuti model tersebut. Teori dasar tersebut kemudian diaplikasikan oleh Bandura dalam social cognitive theory (1977), dimana perilaku manusia dapat dibentuk melalui pembelajaran
manusia
terhadap
“model-model”
atau
contoh
yang
direpresentasikan oleh media (Miller, 2002:242). Sebagai contoh, ibu-ibu memasak dengan meniru segala yang ditampilkan dalam acara memasak di televisi, atau anak-anak meniru pakaian dari seorang superhero yang dilihatnya dalam sebuah komik. Sehingga, kunci utama dalam teori ini adalah meniru atau mengimitasi dari model-model yang telah ada. Dari situ, dapat dilihat bahwa kesembilan model pria menurut Rohlinger di atas dapat dianggap sesuai dengan teori kognitif sosial karena merupakan representasi maskulinitas para pria yang kerap muncul di hadapan kita melalui berbagai media. Berbagai sosok pria tersebut dapat disebut sebagai archetype, karena kesembilan pria tersebut memiliki penggambaran maskulinitas yang berbeda, baik dari penampilan maupun pola pikir, sehingga memiliki keunikan, kelebihan, serta kekurangan masingmasing, yang menjadikannya sebagai model standar atau dasar. Dalam penggambarannya, setiap archetype juga kerap diwakilkan oleh figur terkenal yang merepresentasikan karakter tertentu, misalkan iklan minuman
12
penambah stamina yang diisi oleh sosok the breadwinner, film laga yang diisi oleh sosok pria the hero, serta novel atau film drama romantis yang dilakoni oleh sosok the erotic male atau the family man, dan sebagainya (selengkapnya pada Bab II). Pada akhirnya, dengan kemunculan para pria tersebut di berbagai media, setiap
archetype mampu
mempengaruhi para pria untuk
meniru dan
mengikutinya, sesuai representasi masing-masing pria. Dari berbagai penjabaran mengenai maskulinitas di atas, dapat dikatakan bahwa maskulinitas merupakan “pedoman menjadi pria seutuhnya”, dengan segala hal yang dapat disebut “cowok banget”, baik fisik maupun perilaku, yang menunjukkan bahwa pria adalah pria. Meski maskulinitas terus berkembang dan bergerak mengikuti zaman, namun pria selalu digambarkan berbeda dengan kaum perempuan. Dalam menciptakan kondisi ini, media memiliki andil cukup besar dengan “memberikan” pedoman maskulinitas dalam bentuk sembilan archetype pria.
2. Pria dan penampilan Penampilan merupakan hal pertama yang terlihat dari setiap orang. Meskipun sebuah idiom mengatakan: “Don’t judge the book by the cover;” yang berarti jangan menilai seseorang dari penampilan luar atau fisiknya saja, namun sulit dipungkiri
bahwa
penampilan
juga
layaknya
“media”
pertama
yang
mempengaruhi penilaian terhadap seseorang, terlebih seseorang yang baru ditemui. Seseorang yang terlihat bersih dan rapi terlihat lebih nyaman untuk didekati dibandingkan seseorang yang kotor dan terlihat berantakan. Seseorang yang bertato terlihat lebih negatif dibandingkan seseorang yang berkulit bersih. Seorang pria dapat dihakimi maskulin atau tidak hanya dari penampilannya. Sedangkan, mungkin saja semua anggapan tersebut tidak berdasar dan bisa saja salah. Karena itulah, penampilan dapat dikatakan memiliki peran penting dalam mengkomunikasikan maskulinitas. Seperti telah disinggung dalam Latar Belakang, ketika berbicara soal penampilan, sulit meninggalkan istilah kosmetik, karena sejatinya kosmetik memang ditujukan untuk memperindah penampilan. Ketika berbicara soal
13
keindahan, tentu erat dengan dunia perempuan, bukan pria. Dalam pasar kosmetik sendiri, sudah menjadi rahasia umum jika dikatakan bahwa kosmetik merupakan produk yang ditujukan untuk perempuan. Sejak dahulu hingga hari ini, kosmetik merupakan atribut yang lekat dengan dunia perempuan yang identik dengan keindahan dan kecantikan, sebagaimana fungsi kosmetik sebagai alat untuk merawat dan memperindah tubuh penggunanya. Bagaimana dengan pria? Dewasa ini, pria yang umumnya lebih cuek tentang penampilan, juga mulai menggunakan kosmetik untuk dirinya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sanggup menciptakan pasar baru yang memiliki pertumbuhan luar biasa. Hal tersebut seakan menjelaskan adanya pergeseran makna seorang pria, sekaligus membuktikan bahwa maskulinitas kini mengalami kebingungan atau krisis. Darnell dan Wilson menggambarkan krisis maskulinitas sebagai “the notion that men are confused about the roles and identities to which they should aspire at a time when cultural definitions of manhood are ambiguous and in transition (2006:444).” Artinya, krisis maskulinitas terjadi saat pria bingung mengenai peran dan identitas yang harus mereka capai ketika definisi pria menjadi tidak pasti dan dalam perubahan (selengkapnya pada Bab II). Ketika berbicara pria yang peduli pada penampilan, sulit meninggalkan pria metroseksual (metrosexual man). Berdasar riset yang dilakukan oleh Markplus & Co. dalam Kertajaya (2006:196), kini pria terbagi dalam tiga jenis, yaitu conservative man, status-oriented man, dan metrosexual man dengan persentase 47,4%; 36,9% dan 15,7%. Conservative man atau pria konservatif (atau tradisional), merupakan tipe pria yang menganggap bahwa dirinya adalah sumber utama mencari nafkah, dan masih berpikir tentang perbedaan peran gender. Sedangkan status-oriented man, merupakan tipe pria yang sudah meyakini adanya persamaan hak gender. Terakhir adalah pria metroseksual. Hal yang menonjol dari pria metroseksual adalah rasa cinta kepada penampilan. Kata “metroseksual” pertama kali dicetuskan oleh Mark Simpson dalam artikel yang ditulisnya untuk surat kabar The Independent pada 15 November 1994:
14
“Metrosexual man, the single young man with a high disposable income, living or working in the city (because that’s where all the best shops are), is perhaps the most promising consumer market of the decade. In the Eighties he was only to be found inside fashion magazines such as GQ. In the Nineties, he’s everywhere and he’s going shopping.”12 Meski demikian, istilah pria metroseksual mulai booming di masyarakat setelah beberapa tahun berlalu, yaitu di awal era 2000-an. Kala itu, sosok pesepakbola David Beckham, menjadi buah bibir karena penampilan yang terkesan “genit” untuk ukuran pria. Namun rupanya, Beckham justru menginspirasi pria lainnya untuk mengikuti dan menjadikannya panutan dalam berpenampilan. Merujuk pada perkembangan tersebut, pada tahun 2002, Simpson kembali menulis sebuah artikel di salon.com untuk mendefinisikan pria metroseksual: “The typical metrosexual is a young man with money to spend, living in or within easy reach of a metropolis — because that’s where all the best shops, clubs, gyms and hairdressers are. He might be officially gay, straight or bisexual, but this is utterly immaterial because he has clearly taken himself as his own love object and pleasure as his sexual preference.”13 Sesuai dengan pendapat Featherstone bahwa tubuh berperan sebagai alat untuk mengekspresikan diri, yang diperkuat oleh konsumerisme (1991), perkembangan kelompok pria metroseksual pada akhirnya memicu perubahan signifikan dalam industri kosmetik dengan menciptakan lahan bisnis baru, yaitu kosmetik pria. Secara umum, kosmetik pria merupakan produk perawatan yang dikreasikan khusus untuk pria dan disesuaikan untuk pria. Produk perawatan kulit pria memiliki komposisi bahan yang berbeda dengan produk perawatan kulit perempuan, parfum pria memiliki aroma yang lebih “maskulin” dibanding parfum perempuan, dan sebagainya. Terhitung sejak tahun 2010, perkembangan industri kosmetik pria secara global mengalami peningkatan hingga 420%.14 12
Mark Simpson. 1994. Here Come The Mirror Man: Why The Future Is Metrosexual. http://www.marksimpson.com/here-come-the-mirror-men. Diakses pada 10/5/2014. 13 Mark Simpson. 2002. Meet The Metrosexual. http://www.salon.com/2002/07/22/metrosexual. Diakses pada 10/5/2014. 14 Tamara Abraham. 2012. Is That His Eye Cream or Hers? The Number of Men Buying WOMEN'S Beauty Products Soars by 76per cent. http://www.dailymail.co.uk/femail/article-2166060/Is-eye-cream-Thenumber-men-buying-WOMENS-beauty-products-soars-76per-cent.html. Diakses pada 8/2/2014.
15
Perkembangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh media. Dalam satu dekade terakhir, pria telah menjadi konsumsi media dan berbagai budaya populer. Tubuh pria, yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan, kini dipamerkan, mulai dari pria-pria berotot dalam film laga, hingga sosok pria “sixpacks” yang menghiasi sampul Men’s Health, dan “superwaifs15” di majalah gaya masa kini (Tasker, 1993; Edwards, 1997; Nixon, 1996). Hal tersebut sesuai dengan dengan pendapat Turner bahwa “we have become flaneurs, who ‘survey and consume’ others’ bodies in the ‘airport departure lounge’ of postmodern society (2000:42).” Artinya, kita telah menjadi penikmat yang “mempelajari dan mengonsumsi” tubuh orang lain. Henwood, Gill & McLean (2005:4) juga menyatakan bahwa telah menjadi kesepakatan umum bahwa telah terjadi perubahan signifikan, dimana tubuh pria berubah dari hampir tidak terlihat (invisible), menjadi sangat terlihat (hypervisible) hanya dalam satu dekade. Tubuh pria kini telah menjadi objek pandangan, bukan lagi sekadar pendukung penampilan. Hal tersebut terlihat dari berbagai exposure media terkait tubuh pria, misalkan saja atlit yang menjadi brand ambassador bagi produk parfum atau kosmetik tertentu dengan menampilkan bentuk tubuh mereka. Perlahan namun pasti, perubahan tersebut kini mempengaruhi cara pandang pria terhadap penampilan, khususnya perawatan tubuh. Sebagai buktinya, kita menyaksikan hasrat yang luar biasa pada bentuk otot dalam diri pria muda masa kini, tepat pada saat pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik atau otot semakin berkurang (Henwood, Gill & McLean, 2005:5). Hasrat tersebut melahirkan gagasan bagi Henwood, Gill & McLean yang disebut “body project”, yang menurut Featherstone: “attempts to construct and maintain a coherent and viable sense of self-identity through attention to the body, particularly the body’s surface (Featherstone, 1991, dalam Henwood, Gill & McLean, 2005:5).” Gagasan tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa tubuh telah menjadi identitas diri pria, khususnya permukaan tubuh (body’s surface). Segala hal akan dilakukan demi membentuk penampilan yang 15
Sebuah istilah untuk menyebut para model yang bertubuh sangat kurus, layaknya waif (yatim). Sumber: http://www.wordplays.com/definition/superwaif. Diakses pada 11/8/2014.
16
diidamkan, seperti pendapat Giddens, “we have become responsible for the design of our body (1991:109).” Dari berbagai fakta yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang unik antara pria dan kosmetik. Hubungan yang awalnya saling membenci, kemudian perlahan saling tertarik, hingga kini menjadi seperti simbiosis mutualisme, dimana keduanya saling membutuhkan dan saling memberi manfaat. Pria membutuhkan kosmetik untuk tampil prima, dan kosmetik membutuhkan pasar untuk terus bertumbuh besar hingga saat ini. Meski demikian, pria tidak menjadi satu-satunya pelaku dalam perkembangan tersebut. Terdapat banyak faktor lainnya, misalkan media, lingkungan pergaulan, dan terakhir adalah perempuan. Pertama, media berperan membentuk opini masyarakat mengenai penampilan, dalam hal ini adalah budaya populer. Media menjadikan budaya populer sebagai panutan bagi masyarakat. Sebagai contoh, seorang David Beckham, Ewan McGregor, Pierce Brosnan maupun Arnold Schwarzenegger tidak akan menjadi panutan dan ikon pria jika media tidak mengekspos gaya hidup mereka. Kedua adalah faktor lingkungan. Dalam lingkungan pergaulan, kemungkinan seseorang untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh teman-teman dalam pergaulan tersebut sangat besar. Seseorang yang besar di lingkungan yang “gaul” kemunginan besar akan terbawa menjadi seorang yang gaul, seseorang yang tumbuh di lingkungan yang agamis kemungkinan besar akan terbawa menjadi seorang yang agamis pula, dan seterusnya. Selain itu, lingkungan juga mengajarkan sesuatu yang disebut stereotype, atau anggapan/penyamarataan kepada suatu hal tertentu. Faktor berikutnya adalah perempuan. Rendahnya pengetahuan pria atas kosmetik menjadikan perempuan sebagai sumber referensi pria dalam berkonsultasi. Selain itu, kemunculan para pria berpenampilan menarik di layar kaca bisa saja memicu perempuan agar suami, teman, pacar, atau anaknya untuk berpenampilan menarik juga. Perempuan menjadi “eksekutor” dalam pembelian kosmetik pria. Berdasar riset Nielsen dalam kurun 2012-2013, pembeli tertingggi kosmetik pria adalah perempuan usia 40 tahun ke atas (41,8%), kemudian disusul
17
oleh perempuan berusia 25-39 tahun dengan 26,8%, dan 7,9% adalah pria berusia 40 tahun ke atas. Menurut Hellen Katherina, Director of Home Panel Service, Nielsen Indonesia, “Fakta ini mengindikasikan bahwa wanita masih menjadi pelaksana belanja rumah tangga. Wanita yang membeli produk perawatan pria kebanyakan membeli untuk suami atau anak laki-laki mereka yang beranjak remaja dan mulai menggunakan produk perawatan khusus pria tersebut16.” Kesimpulannya, kosmetik kini bukan hanya menjadi milik perempuan, melainkan juga pria. Perkembangan zaman merubah pandangan pria mengenai penampilan, sesuatu yang sebelumnya dianggap tidak terlalu penting bagi pria. Jika dahulu pria identik dengan penampilan seadanya, kini pria juga harus pandai merawat penampilan. Bahkan, tidak sedikit pria yang menganggap bahwa penampilan merupakan kunci kesuksesan. Munculnya angggapan tersebut menjadikan penampilan sebagai suatu kebutuhan pria, yang menyebabkan garis pembatas antara artibut maskulin dan feminin perlahan pudar.
G. Kerangka Konsep Penelitian ini berjudul Maskulinitas Pria Pengguna Kosmetik Perempuan di Mata Pria (Survey Deskriptif Terhadap Archetype Pria Pengguna Kosmetik Perempuan). Maka, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan para pria terhadap maskulinitas pria pengguna kosmetik perempuan yang kini mulai marak. Menurut paham atau teori-teori maskulinitas terdahulu, penggunaan kosmetik saja dinilai sebagai tindakan yang sissy, atau keperempuanperempuanan. Kali ini, justru muncul fenomena pria menggunakan kosmetik perempuan. Artinya, ada sebuah kegiatan yang dilakukan pria masa kini yang dapat dianggap melanggar nilai-nilai maskulinitas. Sehingga, para pria dalam penelitian ini diminta untuk memberikan pendapat dan evaluasi terhadap nilainilai maskulinitas pria di masa kini, khususnya maskulinitas pria pengguna kosmetik perempuan. Sedikitnya terdapat dua konsep yang digunakan sebagai pendukung sekaligus batasan dalam penelitian ini. Sebagaimana telah diulas 16
Aria Sankyahaadi. 2014. http://lifestyle.liputan6.com/read/2040750/survei-pembeli-produk-perawatanpria-terbanyak-adalah-wanita. Diakses pada 9/7/2014.
18
dalam kerangka teori di atas, kedua konsep tersebut adalah konsep archetype maskulinitas, serta konsep pria dan kosmetik. Konsep pertama adalah konsep archetype maskulinitas. Archetype dapat diartikan sebagai model dasar atau model standar yang dijadikan acuan, sedangkan maskulinitas merupakan segala asosiasi, atribut, serta perilaku yang melekat pada diri pria sehingga bisa disebut “cowok banget”, seperti dominasi, aktif, berani, tangguh, pantang terlihat lemah, dan sebagainya. Sehingga, archetype maskulinitas merupakan model dasar atau model standar dari berbagai maskulinitas yang beredar di masyarakat. Dalam penelitian ini, konsep archetype maskulinitas yang digunakan adalah temuan Rohlinger (2002:66-67), yaitu sembilan tipe pria yang kerap muncul di media. Maskulinitas sendiri memiliki nilai yang relatif, karena tidak semua pria memegang satu prinsip maskulinitas yang serupa. Sehingga, nilai maskulinitas masing-masing archetype memiliki muatan yang berbeda bagi setiap pria. Konsep kedua yaitu konsep pria dan kosmetik. Meskipun terkesan sepele, namun penampilan merupakan “media” untuk membentuk kesan terhadap seseorang, termasuk maskulin atau tidaknya seorang pria. Karena itulah, penampilan
merupakan
hal
yang
penting
dalam
mengkomunikasikan
maskulinitas. Dalam konsep ini, pria moderen dihadapkan pada dua hal, yaitu kebutuhan penampilan yang prima dan maskulinitas yang melekat pada sosok pria. Di satu sisi, memperhatikan penampilan merupakan hal yang feminin, sedangkan pria adalah makhluk maskulin. Namun perkembangan zaman perlahan menuntut seorang pria untuk turut memperhatikan penampilan. Salah satu jalan untuk merawat penampilan adalah dengan menggunakan kosmetik. Perubahan tersebut seolah menghapus batas definisi maskulinitas dalam stereotype yang selama ini menahan pria untuk bersolek. Pada akhirnya, hubungan keduanya kini layaknya simbiosis mutualisme yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh media. Dalam Kerangka Teori, sempat disinggung sekilas mengenai social cognitive theory (SCT) oleh Bandura (1977, Miller (2002:240)), yang menjelaskan bahwa media mampu merubah perilaku seseorang dengan menunjukkan model-model dasar atau standar
19
bagi mereka. Dalam penelitian ini, SCT tidak menjadi teori utama, tetapi menjadi pendukung yang memperkuat bahwa kesembilan archetype maskulinitas yang digunakan dalam penelitian ini dapat mempengaruhi setiap pria, karena mereka muncul setiap hari dalam berbagai bentuk media. Lebih lanjut, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif mengenai archetype maskulinitas pria pengguna kosmetik perempuan di mata pria. Penelitian deskriptif sendiri digunakan untuk mencari teori, bukan menguji teori (Rakhmat, 1991:23). Artinya, penelitian ini tidak bermaksud untuk menguji atau membuktikan sebuah hipotesis, tetapi menemukan sebuah jawaban atas suatu pertanyaan. Maka, tujuan penelitian ini bukan mencari kebenaran atau menguji teori maskulinitas tertentu, melainkan mencari tanggapan, pandangan atau evaluasi para pria terkait maskulinitas pria yang menggunakan kosmetik perempuan dalam archetype maskulinitas, dalam hal ini adalah archetype maskulinitas temuan Rohlinger (2002:66-67) mengenai sembilan maskulinitas dalam media. Seperti telah disebutkan dalam Latar Belakang, pada penelitian-penelitian terkait maskulinitas yang telah dilakukan sebelumnya, umumnya membahas mengenai berbagai jenis konstruksi citra maskulin dalam media tertentu, seperti iklan, film, atau media cetak. Maka, penelitian ini dapat disebut sebagai kelanjutan dari penelitian-penelitian tersebut. Memanfaatkan efek dari konstruksi maskulinitas oleh media, melalui penelitian ini, peneliti akan berusaha mengetahui pandangan pria pengguna kosmetik perempuan dalam archetype maskulinitas yang telah terkonstruksi dari berbagai media, langsung dari sudut pandang pelaku, korban, dan pencipta maskulinitas itu sendiri, yaitu para pria. Lebih dalam, penelitian ini juga berusaha melihat kemungkinan perbedaan pendapat dari pria pengguna kosmetik perempuan maupun bukan pengguna. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini disajikan dalam bagan berikut ini.
20
Gambar 1: Kerangka Konsep
Dari bagan kerangka konsep di atas, dapat dilihat bahwa temuan Rohlinger (2002:66-67) mengenai sembilan representasi pria yang kerap muncul di media, yaitu: The Hero, The Outdoorsman, The Urban Man, The Family Man, The Breadwinner, Man at Work, The Erotic Male, The Consumer, dan The Quiescent Man, digunakan sebagai panduan konsep archetype maskulinitas dalam penelitian ini. Artinya, para responden akan diminta untuk menilai para pria pengguna kosmetik perempuan dalam ranah archetype maskulinitas di atas. Archetype pertama adalah the hero yang merupakan tipe pria yang kehebatannya dalam suatu bidang (atletik, militer, bisnis, politik) menjadikan pria tersebut sebagai hero atau pahlawan penyelamat. Di media, tipe pria ini digambarkan sebagai sosok yang tidak terkalahkan, yang muncul di saat-saat terakhir untuk melakukan penyelamatan, dan umumnya dibekali dengan suatu kelebihan. The outdoorsman menggambarkan sosok pria yang dekat dengan alam, mampu menjinakkan para hewan, dan menguasai segala hal yang terlihat liar. Sosok pria ini kerap digambarkan dengan menunggang hewan liar atau terlihat hidup di tengah hutan atau lautan dengan segala permasalahan yang akan muncul.
21
Ketiga adalah the urban man, yaitu sosok pria yang terlibat dalam berbagai kemewahan hidup di metropolitan, mulai dari fashion, kehidupan sosial, dan berbagai perkumpulan. Tipe pria ini kerap digambarkan dengan penampilan terkini dengan gaya hidup khas metropolitan. Berikutnya adalah the family man, seorang kepala keluarga yang aktif berperan dalam kehidupan rumah tangga. Sosok ini kerap digambarkan sebagai sosok yang memiliki sifat “kebapakan” dan mejadi sosok kepala keluarga. Kelima adalah the breadwinner, yaitu pria yang bertanggungjawab sebagai pencari nafkah utama, baik untuk dirinya sendiri maupun orang-orang terdekatnya. Umumnya, tipe pria ini digambarkan sebagai sosok yang memiliki kehidupan dan pekerjaan yang berat. The man at work merupakan sosok pria yang mengutamakan karir dan bidang keahlian tertentu. Tipe pekerjaan yang dilakukan oleh pria ini umumnya digambarkan dengan pekerjaan di gedung-gedung perkantoran, sebagai sosok eksekutif. Lebih lanjut, ada sosok the erotic male yang menggambarkan sosok pria sensual yang mengumbar bentuk tubuh dan bahkan kadang ditampilkan dalam bentuk telanjang untuk menarik perhatian. Tipe pria ini kerap digambarkan sebagai sosok playboy dengan tubuh yang menggoda untuk mendominasi perempuan atau pasangannya dengan sensualitas. Urutan kedelapan adalah pria the consumer yang digambarkan sebagai pengguna produk, memiliki kebutuhan terhadap produk, atau ditampilkan sebagai konsumen yang puas akan produk tertentu. Terakhir adalah the quiescent man, yang digambarkan sebagai sosok pria kalem, tidak “neko-neko”, melakukan aktifitas rekreasi ringan seperti bermain video game, mengikuti tour, dsb, atau sama sekali tidak melakukan apapun. Adapun pendekatan yang digunakan dalam kuesioner penelitian ini adalah pendekatan dengan bahasa negatif terhadap pria pengguna kosmetik perempuan. Hal tersebut bukan dilakukan dengan sengaja atau untuk memojokkan pria pengguna kosmetik perempuan, melainkan dilandaskan pada anggapan bahwa pria
22
pengguna kosmetik perempuan melanggar nilai-nilai tradisional maskulinitas seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya. Selanjutnya, seluruh konsep tersebut akan dituangkan dalam operasionalisi konsep. Seperti telah disinggung dalam subbab Objek Penelitian, lokus penelitian ini berada pada ranah penerima pesan, dalam hal ini adalah pria, baik pengguna kosmetik perempuan, maupun bukan pengguna. Indikator penilaian apa saja yang digunakan
dalam
penelitian
ini,
selengkapnya
disajikan
dalam
tabel
operasionalisasi konsep berikut.
Tabel 1.2 Tabel Operasionalisasi Konsep
Konsep
Dimensi
Item
Skala
Business success The Hero
Professional athleticism Political power
Skala Likert
Military services Conquers nature The
Reign over the animal kingdom
Outdoorsman
Has control over wild environment
Archetype
Survival skill
Maskulinitas
Fashion The Urban
Modern lifestyle
Man
Up-to-date
Skala Likert
Skala Likert
Outings Fatherhood The Family
Protective
Man
Helps with the housework
Skala Likert
Loves kids
23
The
Responsible
Breadwinner
Struggleful
Skala Likert
Loyalty Man at Work
Initiative Leadership
Skala Likert
Creativity The Erotic Male
Sensuality Ideal body
Skala Likert
Sex appeal User of a product
The Consumer
Needs the product
Skala Likert
Consumptive
The Quiescent
Light activities Inactive
Skala Likert
H. Definisi Operasional Dalam penelitian ini hanya terdapat satu konsep, yaitu archetype maskulinitas. Berikut adalah definisi operasional dari konsep archetype maskulinitas beserta indikatornya: 1. The Hero menggambarkan sosok pria yang dianggap seperti pahlawan dengan kemampuannya di bidang bisnis, atletik, politik, ataupun militer. Dimensi ini diukur dengan (1) business success, (2) professional athleticism, (3) political power, dan (4) military service. 2. The Outdoorsman menggambarkan sosok pria pecinta alam dan segala sesuatu yang alamiah. Dimensi ini diukur dengan (1) conquers nature, (2) reign over the animal kingdom, (3) has control over wild environment, dan (4) survival skill. 3. The Urban Man menggambarkan pria yang terlibat dalam kemewahan metropolitan. Dimensi ini diukur dengan (1) fashion, (2) modern lifestyle, (3) up-to-date, dan (4) outings.
24
4. The Family Man menggambarkan sosok pria sebagai kepala keluarga. Dimensi ini diukur dengan (1) fatherhood, (2) protective, (3) helps with the housework, dan (4) loves kids. 5. The Breadwinner merupakan sosok pria yang bertanggungjawab sebagai pemberi nafkah bagi seluruh anggota keluarga. Dimensi ini diukur dengan (1) responsible, dan (2) struggleful. 6. Man at Work adalah sosok pria yang mendedikasikan diri demi kemajuan karir dan keahlian di bidang tertentu. Dimensi ini diukur dengan (1) initiative, (2) leadership, (3) creativity, dan (4) loyalty. 7. The Erotic Male menggambarkan sosok pria yang erotis, dan mengumbar bentuk tubuh ideal. Dimensi ini diukur dengan (1) sensuality, (2) ideal body, dan (3) sex appeal. 8. The Consumer merupakan sosok pria sebagai konsumen sebuah produk. Dimensi ini diukur dengan (1) user of products, (2) needs the products, dan (3) consumptive. 9. The Quiescent Man merupakan sosok pria yang tenang atau kalem, tidak banyak beraktifitas berat. Dimensi ini diukur dengan (1) light activities, dan (2) inactive.
I. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan metode penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui achretype maskulinitas pria pengguna kosmetik perempuan di mata pria. Demi mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan berbagai data dari objek penelitian, karena itu metode yang peneliti rasa cocok untuk digunakan adalah metode survey dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang tidak mementingkan kedalaman data, yang penting dapat merekam data sebanyak-banyaknya dari populasi yang luas (Masyhuri dan Zainuddin, 2008:13). Metode survey cocok untuk penelitian ini, karena metode survey mampu mengumpulkan dan memperoleh data secara langsung dari sumber lapangan penelitian, biasanya melalui kuesioner dan wawancara baik secara lisan maupun
25
tertulis yang memerlukan adanya kontak secara tatap muka antara peneliti dengen repondennya (Ruslan, 2003:22). Alasan penelitian ini menggunakan metode survey adalah demi memungkinkan peneliti untuk melakukan generalisasi suatu gejala sosial atau variabel sosial tertentu kepada gejala sosial atau variabel sosial dengan populasi yang lebih besar (Bungin, 2005:35).
2. Populasi dan sampel Dalam penelitian kuantitatif, yang dicari adalah data yang sebanyakbanyaknya. Sehingga
diperlukan populasi dan sampel sebagai
sumber
pengumpulan data. Berikut merupakan populasi dan sampel dalam penelitian ini:
a. Populasi Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri dari subjek atau objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2006:72). Menurut Arikunto (2006:108), populasi merupakan keseluruhan dari subjek penelitian. Sehingga dapat disimpulkan populasi merupakan segala objek dan subjek yang diteliti dalam penelitian. Dalam penelitian ini, populasi yang diteliti adalah pria berusia 20-30 tahun. Alasan pemilihan populasi tersebut merujuk pada studi psikologi pria yang menyatakan bahwa pria di usia 20-30 tahun kurang siap dalam menghadapi perkembangan dan kekurangan fisiknya (Oktaviana, 2004:2). Hurlock (1990) menambahkan bahwa hanya sedikit remaja yang merasa puas pada tubuhnya atau kateksis. Ketidakpuasan inilah yang kemudian memacu kecenderungan untuk melihat kekurangan pada tubuhnya sendiri, sehingga akhirnya mengunakan berbagai cara, termasuk penggunaan kosmetik untuk menutupi kekurangannya. Idealnya, populasi yang akan diteliti ditentukan melalui:
26
Populasi = (pria usia 20-30 tahun) x (persentase pria menggunakan produk kosmetik perempuan) Populasi = 20125433 x 76% = 15295329 orang
b. Sampel Melihat populasi yang begitu besar di atas, sulit bagi peneliti untuk meneliti lingkup sebesar itu, karenanya peneliti perlu mencari sampel untuk mewakili
populasi.
Sampel
merupakan
bagian
dari
populasi
yang
karakteristiknya hendak diteliti (Djaryanto & Subagyo, 2000:95). Sampel pada penelitian ini ditentukan melalui rumus Slovin (Umar, 2000:78). Dalam rumus Slovin, toleransi kelonggaran bervariasi dari 10%, 5%, hingga 1%. Sebenarnya 10% sudah cukup untuk penelitian ini, namun karena peneliti berniat menyebarkan kuesioner secara online, maka tingkat kelonggaran diperketat hingga 5%. Sampel yang akan diteliti dengan rumus Slovin sebagai berikut:
Keterangan: n
=
ukuran sampel
N
=
ukuran populasi
e
=
Presentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan
pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan, dalam penelitian ini sebesar 5%.
Dengan menggunakan rumus di atas, kelonggaran 5% dan populasi sebesar 15295329 diperoleh hasil 400,0034, dan dibulatkan menjadi 400 orang. Artinya, peneliti akan menyebarkan kuesioner kepada 400 orang pria yang berada di rentang usia 20-30 tahun secara online.
27
3. Teknik pengambilan sampel Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling. Teknik ini merupakan bagian dari probability sampling, yaitu teknik penarikan sampel yang berdasar pada anggapan bahwa setiap angota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Prasetyo & Jannah, 2005:124). Alasan pemilihan teknik simple random sampling adalah karena perbedaan karakter yang mungkin ditemukan dalam penelitian bukanlah hal penting yang dapat merubah rencana penelitian. Dengan demikan, setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel.
4. Data dan teknik pengumpulan data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu sumber data pertama dimana sebuah data dihasilkan (Bungin, 2001:19). Data primer diperoleh dengan menyebarkan kuisioner kepada sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui dua teknik, yaitu studi pustaka dan kuesioner. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data dan teori yang dibutuhkan untuk menunjang penelitian. Dalam hal ini, peneliti memanfaatkan berbagai macam data dan teori yang dikumpulkan melalui berbagai pustaka penunjang guna melengkapi data yang berhubungan dengan topik penelitian. Teknik kedua adalah menggunakan kuesioner, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengirimkan suatu daftar pertanyaan kepada responden untuk diisi (Sukandarrumidi, 2004:78). Metode kuesioner dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan skala Likert (Likert Scale) yang kemudian mendapatkan data ordinal. Menurut Kinnaer dalam (Umar, 2000:69), skala likert ini berhubungan dengan pernyataan tentang sikap seseorang terhadap sesuatu, misalnya setujutidak setuju, senang-tidak senang, dan baik-tidak baik. Data ordinal yang didapatkan kemudian diubah dalam bentuk rasio guna memudahkan dalam pengolahan data pada program SPSS. Kuesioner kemudian akan disebarkan secara online dengan menggunakan fasilitas kuesioner online dari Google Forms.
28
Kuesioner kemudian disebarkan melalui berbagai sosial media kepada objek penelitian ini hingga terkumpul jumlah yang dibutuhkan, yaitu 400 orang.
5. Uji validitas Dalam sebuah penelitian, konsep validitas amatlah penting, karena terkandung makna tingkat kesesuaian hasil penelitian atau cerminan keadaan yang sesungguhnya dalam hasil penelitian yang dilakukan (Idrus, 2009:124). Semakin valid
sebuah
instrumen
penelitian,
semakin
tepat
dan
dapat
dipertanggungjawabkan pula data yang diperoleh dalam penelitian tersebut. Metode yang paling sering digunakan adalah dengan Pearson correlation test, yaitu korelasi produk momen antara skor setiap butir pertanyaan dengan total skor, sehingga sering disebut inter-item total correlation (Idrus, 2009:128). Umumnya suatu item dinyatakan valid jika memiliki nilai di atas 0,3; tetapi banyak juga yang menyatakan 0,25. Dalam penelitian ini, nilai validitas yang digunakan adalah 0.25, dan hasil uji validitas akan dibahas lebih rinci pada Bab IV, yaitu Bab Pembahasan.
6. Uji reliabilitas Selain valid, sebuah instrumen dalam penelitian juga harus memiliki reliabilitas, atau dapat dipercaya. Maksudnya, sebuah instrumen harus dapat digunakan berkali-kali dan menjanjikan konsistensi atau hasil yang sama meski digunakan oleh siapapun dan kapanpun. Untuk mengetahuinya, harus dilakukan uji coba berkali-kali demi memperoleh ketepatan. Jika hasilnya menunjukkan ketepatan, maka instrumen tersebut dinyatakan reliabel. Adapun pengujian ini didasarkan pada nilai Cronbach Alpha, dimana ketentuannya nilai Cronbach Alpha > 0.6. Uji reliabilitas dalam penelitian ini akan dibahas lebih lanjut pada Bab IV, yaitu Bab Pembahasan.
7. Teknik analisis data Setelah mengetahui metode penelitian, populasi dan sampel, serta teknik pengumpulan data yang akan digunakan pada saat penelitian, dibutuhkan pula
29
teknik dalam menganalisis data agar dapat dalam memproses data lebih sederhana sehingga mudah dibaca dan interpretasikan. Dalam penelitian ini, hanya terdapat satu variabel, karenanya peneliti akan menggunakan teknik analisis deskriptif. Analisis deskriptif menurut Sugiyono (2006) dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain. Poin menarik dari analisis deskriptif adalah analisis deskriptif digunakan untuk mencari teori, bukan menguji teori (Rakhmat, 1991:23). Masih
menurut
Rakhmat,
analisis
deskriptif
bertujuan
untuk:
(1)
mengumpulkan informasi actual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat perbandingan atau evaluasi, dan (4) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan mendeskripsikan dan menggambarkan data yang telah terkumpul tanpa mencari hubungan, membuat hipotesis, atau menarik kesimpulan.
30