NILAI-NILAI SOSIOLOGIS DALAM HIKAYAT SERIBU MASALAH Skripsi Sarjana DIKERJAKAN O L E H NAMA NIM
: DEDY UTHARY S :030702002
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA DEPARTEMEN SASTRA DAERAH PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU MEDAN 2008 Dedy Uthary S : Nilai-Nilai Sosiologis Dalam Hikayat Seribu Masalah, 2008. USU Repository © 2009
NILAI-NILAI SOSIOLOGIS DALAM HIKAYAT SERIBU MASALAH
NAMA NIM
: DEDY UTHARY S : 030702002
Disetujui Oleh : Pembimbing I
Drs. Yos Rizal, MSP M.Hum
Pembimbing II
Drs. Baharuddin Purba,
Ketua Depertemen Sastra Daerah
Drs. Baharuddin Purba, M.Hum
iv
PENGESAHAN Diterima oleh Panitia Ujian Sarjana Sastra Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian SARJANA SASTRA dalam ilmu Kesusastraan Daerah pada Fakultas Sastra USU Medan
Pada Tanggal Hari
: : :
FAKULTAS SASTRA USU DEKAN
Drs. Syafuddin, M.A.Ph.D NIP : 131098531
Panitia Ujian
No.
Penguji
Tanda Tangan
1.
……………………………………………….
(
)
2.
……………………………………………….
(
)
3.
……………………………………………….
(
)
4.
……………………………………………….
(
)
5.
……………………………………………….
(
)
v
DISETUJUI OLEH, UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA DAERAH Ketua,
Drs. Baharuddin, M.Hum NIP : 131785647
vi
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis banyak menerima bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini. Maka pada kesempatan ini, dari lubuk hati yang tulus dan ikhlas penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat yang dicurahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. 2. Teristimewa kepada Ayahanda R.Sigalingging,S.H dan Ibunda Nety Christina yang memberi dorongan, semangat dan materi yang tak terhinngga kepada kepada penulis, sehingga penulis bisa mengerjakan Skripsi dengan baik 3. Drs. Baharddin, M,Hum selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan dorongan dan semangat kepada penulis baik dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian Skripsi ini. 4. Drs. Yos Rizal, MSP sebagai pembimbing sekaligus Kakanda yang sudah sangat membantu penulis menyelesaikan Skripsi. 5. Nadargo Yoga Spencer Sigalingging selaku abang, Rocky Valdo Sigalingging selaku Adik penulis yang sudah banyak memberikan semangat dan tenaga agar penulis bisa lancar mengerjakan Skripsi. 6. Teman-teman penulis yang sudah banyak memberikan pandangan-pandangan masa depan, agar penulis bisa cepat mengerjakan Skripsi untuk mencapai citacita penulis. Terima Kasih kepada : Eko Saut Manurung, Christ Sihombing, Cory Simanjuntak, Kakanda Adi Simanjuntak, Muel Simanjuntak, Mami vii
Sembiring, Anda Wahyu, Tama, Bowo, Yuna, Roby, Friska, Beni, Daday, Aroy, Teman-teman Band Rock Cafe dan Teman-teman Band luar kota yang tidak bisa di sebutkan satu persatu 7. Senior-senior penulis angkatan ‘00, ‘01, ‘02, Universitas Sumatera Utara, Terima Kasih atas semangatnya 8. Adik-adik angkatan ’04, ’05, ’06, ’07, ’08 yang juga telah banyak memberikan dukungan mental kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan Skripsi seperti sekarang. 9. Orang yang sangat penulis sayangi Ruth Andriani, yang sangat memberikan dukungan penulis agar cepat menyelesaikan Skripsi, untuk mencapai cita-cita penulis 10. Teman-teman satu angkatan penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatan yang baik, terima kasih juga atas Doa-doa kalian. Karena kalian juga penulis bisa menyelesaikan Skripsi ini dengan baik.
Medan, Januari 2009 Penulis,
(Dedy Uthary S)
viii
KATA PENGANTAR
Syukur yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi adalah NILAI-NILAI SOSIOLOGIS DALAM HIKAYAT SERIBU MASALAH”. Skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar penyusun skripsi. Pembahasan tentang Hikayat Seribu Masalah ini memang telah ada yang mengkaji sebelumnya tetapi dari sudut sosiologi sastra belum ada yang mengkajinya. Oleh sebab itu penulis mengkaji Hikayat Seribu Masalah dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Hikayat ini secara garis besar membahas tentang pengajaran agama Islam, yakni hikayat yang menceritakan tentang tanya jawab antara Nabi Muhammad SAW dengan seorang Pendeta dari Yahudi tentang ajaran Islam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya karena keterbatasan yang penulis miliki, apalagi penulis bukanlah seorang muslim namun penulis berusaha sebaik mungkin untuk mendeskripsikan nilai-nilai sosial yang terdapat dalam hikayat tersebut. Pada kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran dari para Dosen Penguji dan pembimbing agar skripsi ini dapat lebih baik lagi. Medan,
Januari 2009 Penulis,
(Dedy Uthary S) ix
DAFTAR ISI Halaman UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………………… KATA PENGANTAR…………………………………………………………..
i iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………...………..
iv
BAB. I PENDAHULUAN……………………………………………………. 1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………. 1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….. 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………….... 1.4 Manfaat Penelitin…………………………………………………… 1.5 Ruang Lingkup……………………………………………………... 1.6 Kajian Pustaka……………………………………………………… 1.7 Landasan Teori……………………………………………………... 1.7.1 Teori Struktural……………………………………….… 1.7.2 Sosiologi Sastra…………………………………………. 1.8 Metode Penelitian………………………………………………….. 1.8.1 Jenis Penelitian………………………………………….. 1.8.2 Teknik Pengumpulan Data……………………………… 1.8.3 Teknik Analisis Data…………………………………….
1 1 10 10 11 11 12 12 12 16 21 21 22 22
BAB. II ANALISIS STRUKTURAL HIKAYAT SERIBU MASALAH…. 2.1 Ringkasan Cerita…………………………………………………… 2.2 Tema……………………………………………………………….. 2.3 Alur………………………………………………………………… 2.4 Latar……………………………………………………………….. 2.5 Watak dan Perwatakan…………………………………………….
23 23 25 28 34 36
BAB. III NILAI SOSIOLOGIS HIKAYAT SERIBU MASALAH……….. 3.1 Iman Kepada Hari Ahir…………………………………………… 3.2 Tawakkal………………………………………………………….. 3.3 Silaturahim………………………………………………………... 3.4 Kepekaan Sosial…………………………………………………...
41 41 45 52 62
BAB. IV KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………... 4.1 Kesimpulan……………………………………………………….. 4.2 Saran………………………………………………………………
68 68 69
DAFTAR ISI……………………………………………………………….....
70
x
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra, dalam hal ini prosa, merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya tujuan estetis dan tujuan-tujuan lainnya sesuai dengan tema dan amanat yang terkandung di dalam karya prosa tersebut. Membaca sebuah karya prosa berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin, dan untuk mengambil nilai-nilai kebenaran. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya prosa haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan tetentu (Wellek & Warren, 2001:212). Sebagai sebuah karya imajiner, karya prosa menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian
diungkapkannya
kembali
melalui
sarana
cerita
sesuai
dengan
pandangannya. Oleh karena itu, karya prosa, menurut Alterbend dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 2), dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang bersifat imajiner, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan bentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan xi
unsure hiburan dan didaktis terhadap pengalaman hidup manusia”. Penyeleksian pengalaman kehidupan yang akan diceritakan tersebut, tentu saja, terkadang bersifat subjektif. Sebuah cerita rakyat yang hadir ke hadapan audiensnya adalah sebuah totalitas. Cerita rakyat dibangun dari sebuah unsure, dan setiap unsure akan saling berhubungan, yang semuanya itu akan menghasilkan cerita rakyat itu menajadi sebuah karya yang bermakna. Di pihak lain, tiap-tiap unsure pembangun cerita rakyat itu pun hanya akan bermakna jika ada dalam totalitas. Dengan kata lain, dalam keadaan terisolasi, tepisah dari totalitasnya, unsure-unsur itu tidak ada artinya, tidak memiliki fungsi. Kegiatan analisis kesastraan yang mencoba memisahkan bagian-bagian dari totalitas, tidak jarang dianggap sebagai kerja yang sia-sia. Lebih dari itu: dapat menyesatkan, bahkan semakin menajauhkan makna karya sastra sebagai karya seni. Hal ini karena penganalisis hanya sibuk dengan unsure pembentuk karya sastra yang telah lepas dari totalitasnya. Apalagi jika hal itu kemudian dipakai sebagai dasar analisis yang lebih lanjut. Usaha pemahaman terhadap karya sastra, cerita rakyat, menurut pandangan kelompok yang tidak setuju dengan kerja analisis, haruslah dilakukan langsung dengan keadaan totalitasnya secara apa adanya. Namun demikian, anggapn diatas tidak semuanya dapat dibenarkan, walau tidak semua dapat disalahkan. Semua itu masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Kelompok akademikus yang sering dituduh sebagai analisator, tukang bedah karya satra, tentu saja dapat tampil dengan pembelaannya. Untuk memahami sebuah cerita rakyat, sering tidak semudah seperti yang diduga orang. Jika pembaca tidak mampu xii
memahami dengan baik karya tesebut, bukankah hal itu berarti apa yang ingin disampaikan pengarang tidak sampai kepada audiensnya? Kegiatan analisis cerita rakyat tampil dengan coba menerangkan, misalnya, apa peanan masing-masing unsure, bagaimana kaitan antara unsure yang satu dengan yang lainnya, mengapa unsure-unsur tertentu dalam cerita rakyat, misalnya tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain, tepat atau tidak tepat, apa segi kebaruannya, kelebihan dan kelemahan unsure-unsur yang ada, apa sebenarnya yang ingin diungkapkan melalui cerita rakyat itu, dan sebagainya. Cerita rakyat merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu (lebih bersifat) secara tidak langsung. Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan sulitnya kita pembaca untuk menafsirkannya. Untuk itu diperlukan suatu upaya (kritik) untuk dapat menjelaskan, dan biasanya, hal itu disrtai bukti-bukti hasil kerja analisis. Dengan demikian, tujuan utama kerja analisis kesastraan, cerita rakyat, puisi, drama, ataupun yang lainnya, adalah untuk memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, di samping untuk membantu menjelaskn kepada pembaca yang kurang dapat memahami karya itu. Jadi, kerja analisis yang tidak jarang dituduh sebagai cirri khas kelompok akademikus itu, bukan merupakan tujuan, melainkan sekedar sarana, sarana untuk memahami karya-karya kesastraan itu sebagai satu kesatuan yang padu dan bermakna, bukan sekedar bagian per bagian yang terkesan sebagai suatu pencincangan karya sastra. Dalam rangka memahami dan mengungkap “sesuatu” yang terdapat di dalam
karya
sastra,
di
kenal
istilah
Heuristik
(heuristic)
dan
Hermeneutik(hermeneutic). Kedua istilah itu, yang secara lengkap disebut sebagai xiii
pembacaan heuristic dan pembacaan hermeneutic, biasanya dikaitkan dengan pendekatan semiotic (Riffaterre, 1980:4-6). Hubungan antara heuristic dan hermeneutic dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja hermeneutic haruslah didahului oleh pembacaan heuristic. Kerja hermeneutic, yang oleh Riffaterre disebut juga sebagai pembacaan retoaktif, memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis. Kerja heuristic merupakan pembacaan karya sastra pada system semiotic tingkat pertama. Hal itu berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa yang bersangkutan. Jadi, bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang system bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa. Kerja heuristic menghasilkan pemahaman makna secara harafiah, makna tersurat, actual meaning. Namun, dalam banyak kasus karya sastra, makna yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang justru diungkapkan hanya tersirat, dan inilah yang disebut sebagai makna internasional, intentional meaning. Untuk itu, kerja penafsiran karya sastra haruslah pada sampai kerja hermeneutic, yaitu berupa pemahaman karya pada tataran semiotic tingkat kedua. Artinya, berdasarkan makna dari hasil kerja heuristic di atas, di coba tafsirkan makna trsiratnya, signifikasinya. Jika pada tataran kerja heuristic dibutuhkan pengetahuan tentang kode bahasa, pada tataran kerja hermeneutic dibutuhkan pengetahuan tentang kode-kode yang lain, khususnya kode sastra dank ode budaya. Jika analisis kesastraan dimaksudkan untuk memahami secara lebih baik sebuah karya, merbut makna (mengambil istilah Culler sebagai pursuit of signs), menafsirkan makna berdasarkan berbagai kemungkinannya, analisis tersebut xiv
sebenarnya telah melibatkan kerja hermeneutic. Menurut Teeuw (1984:123) hermeneutic adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Namun, teknik hermeneutic itu sendiri dapat diterapkan dalam hal penafsiran kitab suci (inilah cikal bakal berkembangnya teori hermeneutic). Penafsiran karya sastra secara lebih baik, di samping memerlukan pengetahuan dan atau kompetensi kode bahasa dank ode sastra di atas, juga memerlukan kode budaya atau bahkan social budaya. Pengetahuan kode budaya akan memperluas wawasan dan ketepatan penafsiran, mengingat kasrya sastra yang dihasilkan dalam suatu masyarakat akan mencerminkan kondisi social budaya masyrakat yang digambarkan dalam karya tersebut. Menurut Teeuw (1984:125) cara kerja hermeneutic untuk penafsiran karya sastra dilakukan dengan pemahaman secara totalitas karya berdasarkan unsureunsurnya. Dari sinilah kemudian, antara lain, muncul istilah lingkaran hermeneutic (hermeneutic circle). Pemahaman karya sastra dengan teknik tersebut dapat dilakukan secara bertahap, dimulai dengan pemahaman secara keseluruhan walau hal itu hanya bersifat sementara. Kemudian, berdasarkan pemahaman yang diperoleh dilakukan kerja analisis dan pemahaman unsur-unsur intrinsiknya, jadi bagian per bagian. Pada giliran selanjutnya, hasil pemahaman unsure-unsur intrinsic tersebut dipergunakan untuk memahami totalitas karya yang bersangkutan secara lebih baik, luas, dan kritis. Demikian seterusnya dengan pembacaan berulang-ulang sampai akhirnya kita dapat menafsirkan pertautan makna keseluruhan dan bagian-bagiannya dan makna intensionalnya secara optimal.
xv
Cara kerja tersebut dilandasi suatu asumsi bahwa cerita rakyat yang merupakan sebuah totalitas dan kebulatan makna itu dibangun secara koherensif oleh banyak unsure intrinsic. Selain itu, cerita rakyat, apalagi yang panjang, biasanya terdiri dari bagian-bagian, dan tiap bagian itu akan menawarkan makna tersendiri walau dalam lingkup yang terbatas. Dengan demikian, di samping terdapat makna (intensional) secara keseluruhan, ada juga makna (intensional) yang didukung oleh tiap bagian karya yang bersangkutan. Usaha mengkaji karya sastra rakyat, seperti telah dikemukakan, pada hakikatnya memiliki kesamaan tujuan yaitu memahami secara lbih baik karya sastra tersebut. Cerita rakyat merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak sesuatu yang serba rutinitas, dengan memberi kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan kretivitas imajinasinya. Hal itu menyebabkan cerita rakyat menjadi lain, tidak lazim, namun juga bersifat kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkunan penafsiran, dan sekaligus menyababkan pembaca menjadi terbata-bata untuk berkomunikasi dengannya. Dari sinilah kemudian muncul berbagai teori untuk mendekati karya sastra. Dalam kajian kesastraan, secara umum dikenal dengan adanya analisis sturktural dan semoitik. Struktural menekankan pada adanya fungsi dan hubungan antarunsur (intrinsic) dalam sebuah karya, sedangkan semiotic menekankan pemaknaan karya itu yang dipandang sebagai sebuah system tanda. Kajian semiotic merupakan usaha pendekatan yang muncul lebih kemudian, yang antara lain sebagai reaksi atas pendekatan sturktural yang dianggap mempunyai kelemahan. Namun, pada pratiknya, kedua pendekatan tersebut sulit dibedakan, dan bahkan saling xvi
melengkapi. Dengan demikian, analisis yang dilakukan bersifat structural- semiotic. Persoalan kajian sturktural dan semiotic tersebut berikut akan dibicarakan, termasuk kajian intertekstualitas. Kajian intertekstulitas merupakan kajian yang berusaha mengkaji adanya hubungan antar sejumlah teks. Kajian inter-teks melibatkan unsure struktur dan pemaknaan teks-teks yang dikaji, yang dapat dipandang sebagai kajian structural-semiotik. Selain itu, penulisan ini juga akan sedikit membicarakan pahan dekontruksi (yang sering juga disebut sebagi poststrukturalisme, yang merebak setelah munculnya gerakan post-modernisme) yakni sebuah paham yang justru bersifat
“menumbangkan”
pandangan-pandangan
tersebut.
Namun,
kajian
dekontruksi sebenarnya juga dapat dikaitkan dengan kajian interteks karena dapat melibatkan beberapa teks. Salah satu dari sekian banyak kesusastraan daerah yang sangat popular dan terkenal adalah kesusastraan Melayu. Sastra Melayu adalah salah satu sastra rakyat yang hidup dan berkembang secara turun-temurun, dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Sastra Melayu juga merupakan dialog, kontemplasi, dan reaksi dari sebuah masyarakat terhadap lingkungan dan kehidupan yang ada disekitarnya. Mengapa dikatakan hasildari sebuah masyarakat dan individu atau pengarang? Hal ini dikarenakan dalam kesusastraan Melayu tidak dikenal nama pengarang atau anonym. Sebuah hasil karya sastra merupakan hasil perenungan dari sebuah komunitas atau milik bersama tanpa menonjolkan individu. Salah satu bentuk dari kesusastraan Melayu, khususnya prosa Melayu, adalah hikayat. Hikayat lahir dan ada karena adanya pengaruh dari kebudayaan asing, yaitu Hindu dan Islam. Sebelum Hindu dan Islam masuk ke ranah Melayu, karya xvii
sastra yang dikenal dalam masyarakat Melayu adalah cerita-cerita dalam bentuk : cerita binatang, cerita asal-usul, cerita jenaka, dan cerita pelipur lara (Djamaris, 2000 : 15). Jenis cerita ini sedikit sekali dibicarakan orang sehingga sudah tidak begitu dikenal lagi. Setelah pengaruh Hindu dan peralihan Hindu-Islam, pengaruh Islam masuk kedalam sastra Melayu. Dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, mulailah zaman baru dalam kesusastraan Melayu. Kesusastraan Melayu yang sebelumnya didominasi oleh sastra Hindu, mulai beralih haluan ke dalam sastra yang berasal dari negeri Islam. Kesusastraan Melayu secara tertulis mulai pada zaman Islam ini (Sweeney, 1998 : 35). Cerita-cerita pada waktu itu ditulis dengan huruf Arab-Melayu. Agama Islam berkembang dengan pesat di Nusantara ini sejak abad ke-13, akan tetapi kesusastraan tertulis sampai kepada kita baru pada permulaan abad ke-17. Hasil-hasil kesusastraan Melayu pengaruh Islam ini dapat digolongkan dalam beberapa golongan yaitu (1) Kisah tetntang para nabi, (2) Hikayat tentang Nabi Muhamad SAW dan keluarganya, (3) Hikayat pahlawan-pahlawan Islam, (4) Cerita tentang ajaran dan kepercayaan Islam, (5) Cerita fiktif, dan (6) Cerita dunia ghaib atau tasawuf (Djamaris, 2000 : 109). Kisah atau hikayat tentang nabi-nabi itu dapat dibaca dalam naskahnaskah yang berjudul Kissasul Anbiya, Suratul Anbiya, Hikayat Anbiya atau Hikayat nabi-nabi. Gerth dan Wijk dalam karangannya yang berjudul Der Koranische Verhalen in het Maleisch (Cerita-cerita Melayu yang bersumber dari AlQuran) mengatakan bahwa diantara Nabi yang dibicarakan dalam hikayat adalah xviii
Nabi Adam, Nabi Sis, Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Saleh, Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, Nabi Yakub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Ayub, Nabi Yunus, Nabi Ilyas, Nabi Talud, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Azis, Nabi Yahya, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad (dalam Djamaris, 2000 : 111). Khusus tentang Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, ada beberapa hikayat yang menceritakannya. Ada yang berupa kisah hidupnya sejak ia lahir sampai wafat, ada yang berupa kisah atau peristiwa penting yang dialaminya, dan ada pula cerita nabi dan keluarganya. Dalam golongan ini dikenal hikayat seperti Hikayat Nabi Muhammad, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, Hiukayat Iblis dan Nabi, Hikayat Nabi Mengajar Ali, dan Hikayat Nabi Wafat ( Iskandar, 2001 : 345). Disamping itu, ada beberapa hikayat tentang pahlawan Islam yang gagah perkasa. Dalam golongan ini dikenal Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Zulkarnain, dan Hikayat Muhammad Hanafiah. Selanjutnya, ada pula cerita yang berisi ajaran Islam, hokum Islam dan kepercayaan menurut ajaran Islam tentang iblis, malaikat, hari kiamat, surga, neraka dan sebagainya. Dalam golongan ini termasuk Hikayat Seribu Masalah, Siratalmustakim, Hikayat Iblis dan Nabi, Hikayat Fartana Islam, dan Sakaratul Maut. Hail-hasil sastra yang telah kami sebutkan diatas belum begitu banyak diteliti oleh para ahli secara mendalam. Dan ceritanya belum banyak diterbitkan. Dua disertai yang perlu dicatat disini yaitu (1) G.F. Pijper, Het Boek Der Duized Vragen, xix
Leiden, E.J. Brill, 1924 meneliti “ Hikayat Seribu Masalah”, dan (2) L.F. Brakel, The Hikayat Muhammad Hanafiah, The Hague, Martinus Nijhoff, 1975. Disamping itu sebuah buku berupa skripsi FS UI oleh Nalom Siahaan berjudul, Hikayat Zakaria, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1974. Suatu jenis sastra pengaruh Islam yang mempunyai cirri khusus yang membedakannya dengan jenis cerita yang lain ialah cirri fiktif atau khayal yang sangat menonjol. Dalam jenis ini kita jumpai “ Hikayat Tamin Ad-Dari”, “Hikayat Abu Samah”, “Hikayat Samaun”, “ Hikayat Raja Khaibar”, “ Hikayat Pendeta Ragib”, dan “ Hikayat Raja Handak”. Yang terakhir kita akan mengenal sesuatu jenis sastra berupa cerita mistik atau tasawuf. Jenis cerita ini terkenal dengan istilah sastra mistik. Pengarang mistik yang terkenal yaitu Hamzah Fansuri, Samsuddin as-Samatrani, Abdul Rauf Singkel, dan Nuruddin ar-Raniri. Karangan Hamzah Fansuri yang terkenal yaitu “ Syair Perahu”, “ Syair si Burung Pingai”, “ Syair Dagang”, “Syarab al-asyikin”, dan “Asral al-arifin fi bayan ilm as-suluki wa’l-tauhid”. Samsuddin as-Samatrani dengan karangannya “Mir’at alMukmin”, dan “Mir’at al-Muhaqqiqin”. Abdul Rauf Singkel dengan karangannya “Mir’at al-Tulab”, “Mujmu al-Masail”, dan “Umdat al-Muhtajin”. Dan yang terakhir Nuruddin ar-Raniri dengan karangannya yaitu “Asral al-Insani fi ma’rifat al-ruh wa ar-rahman”, “Tibyan fi ma’rifat ad-din”, “Hujat as-siddiq lidaf az-zindiq”, dan “Hil az-Zil” (Fang, 1989:90).
1.2 Rumusan Masalah xx
Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka diperlukan rumusan masalah yang tepat agar pembahasan terhadap certa rakyat SB tidak meluas dan mencapai sasaran yang dikehendai. Permasalahan yang akan dibicarakan dalam penulisan ini hakikatnya mencakup aspek nilai-nilai sosiologi dalam cerita rakyat tersebut maka, dianggap perlu untuk menelaah terlebih dahulu aspek-aspek pembangun dari cerita rakyat tersebut atau unsur-unsur pembentuk dalaman cerita (unsur intrinsik) rakyat SB. Adapun masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah: 1. Struktur Intrinsik yang membangun cerita rakyat SB yaitu tema, alur, latar, dan perwatakan. 2. Nilai-nilai sosiologis dalam cerita rakyat SB.
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah maka kajian sosiologis dalam cerita rakyat SB secara khusus bertujuan untuk: 1. Mengetahui unsur intrinsik cerita rakyat SB yang terdiri dari tema, alur, latar dan perwatakan 2. Mengetahui nilai-nilai sosiologis dalam cerita rakyat SB. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Membantu pembaca untuk memahami unsur-unsur yang membangun cerita rakyat SB.
xxi
2. Membantu pembaca untuk memahami adanya nilai-nilai sosiologis dalam cerita rakyat SB. 3. Memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan dapat diwariskan pada generasi yang akan datang. 1.5. Ruang Lingkup Suatu penelitian memerlukan anggapan dasar yang dapat memberi gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Syah (1997:3) mengatakan kajian pustaka adalah titik tolak pemikiran untuk penyelidikan nilai-nilai sosiologis dari masyarakat pemilik cerita Sayembara Bohong. Naskah yang menjadi objek penelitian penulis adalah naskah cerita yang ditulis oleh Wahida Rani pada Tahun 1990 adalah sebagai berikut : a. Judul Buku
: Cerita Rakyat Sayembara Bohong
b. Penulis
: Wahida Rani
c. Cover Depan
: Tidak Bergambar Berwarna Hijau
d. Cover Belakang
: Tidak Bergambar Berwarna Hijau
e. Tebal Halaman
: 57 Halaman
f. Ukuran
: 12 X 17,5 Cm
g. Tahun Penerbit
: 1990
h. Penerbit
: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara
1.6. Kajian Pustaka Penelitian terhadap cerita rakyat sayembara bohong ini telah dilakukan Wahida Rani yang bekerjasama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara pada tahun 1990. Dengan menerbitkan naskah cerita SB. Namun, xxii
Wahida Rani hanya membuat naskah saja, tidak mengkaji lebih lanjut. Hanya menceritakan kembali cerita rakyat itu tanpa menganalisis cerita rakyat SB baik dari pendekatan sastra maupun dengan pendekatan sodiologi sastra. Oleh karena itu penulis beranggapan bahwa kajian yang penulis kerjakan terhadapat cerita rakyat SB merupakan karya ilmiah yang asli (orisinil) dan belum pernah dikaji oleh peneliti manapun. Adapun kajian yang penulis fokuskan adalah nilai-nilai sosiologis yang terkandung dalam cerita rakyat SB.
1.7. Landasan Teori Untuk membahas tentang struktur dan nilai-nilai sosiologis yang terkandung dalam cerita rakyat SB digunakan teori pendekatan yaitu teori struktural dan sosiologi sastra. Kedua teori pendekatan tersebut digunakan untuk mengetahui sekaligus mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat dalam cerita tersebut. Berikut akan dipaparkan kedua teori pendekatan tersebut.
1.7.1. Teori Struktural Pendekatan
struktural
dipelopori
oleh
kaum
Formalis
Rusia
dan
Strukturalisme Praha. Pendekatan ini mendapat pengaruh langsung dari teori sausure yang mengubah linguisti dari pendekatan dikronik ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah unsur dan hubungan antar unsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini.
xxiii
Sebuah karya sastra, fiksi mau pun puisi menurut strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh unsur (pembangun)-nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2001:46). Di pihak lain unsur karya sastra juga menyaran pada hubungan antar unsur (intrinsik) yng bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk suatu kasatuan yang utuh. Secara sendiri terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana. Selain istilah struktural di atas, dunia kesusastraan mengenal istilah strukturalisme. Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antar unsur pembangun karya yang bersangkutan. Jadi strukturalisme (disamakan dengan pendekatan objektif Abrams) dapat dipertentangkan dengan pendapat yang lain, seperti pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatik (Abrams dalam Teeuw, 1989:89). Namun di pihak lain, strukturalisme menurut Hawkes (dalam Nurgiyantoro 2001:47) pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai cara berpikir tentang dunia yang lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda. Dengan demikian kodrat setiap unsur dalam bagian struktural itu baru mempunyai makna setelah berada dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di dalamnya. xxiv
Kedua pendekatan tersebut tidak perlu dipertentangkan namun justru dapat dimanfaatkan untuk saling melengkapi. Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini SB, dapat dilakukan dengan mengidentifikasikan, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik cerita tersebut. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskrifsikan. Misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dijelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antar unsur sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan peristiwa satu dengan yang lain, kaitannya dengan pemplotan yang tidak selalu kronologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya. Dengan demikian pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan kaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah keseluruhan. Analisis struktural tidak cukup dilakukan dengan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya sastra, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar atau yang lain. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal itu perlu dilakukan mengngat bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang komplek dan unik, disamping setiap karya sastra mempunyai cirri kekomplekan dan keunikan sendiri. Hal ini yang membedakan antara karya yang satu dengan yang lain. Namun, tak jarang analisis fragmentaris yang terpisah-pisah. Analisis yang demikian xxv
inilah yang dapat dituduh sebagai pencincang karya sastra yang justru menjadi tidak bermakna. Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikrotes, suatu keseluruhan wacana, dan wacana intertekstual (Hartoko dan Rahmanto, 1996:136). Analisis unsur-unsur mikrotes itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam alinea atau konteks wacana dapat berupa analisis bab per bab, atau bagian-bagian secara keseluruhan seperti dibicarakan diatas. Analisis relasi intertekstual beupa kajian hubungan antar teks, baik dalam satu periode (misalnya untuk karya sastra Melayu zaman Hindu) mau pun dalam periode-periode yang berbeda (misalnya antara karya-karya sastra Melayu zaman Hindu dengan sastra Melayu zaman Islam). Karena pandangan keotonomian karya di atas, di samping juga pandangan bahwa setiap karya sastra memiliki sifat keunikannya sendiri, analisis terhadap sebuah karya sastra pun tidak perlu dikait-kaitkan dengan karya-karya sastra yang lain. Karya-karya yang lain pun berarti sesuatu di luar karya yang dianalis itu. Atau, jika melibatkan karya-karya lain, hal itu bersifat sangat terbatas pada karya-karya tertentu yang berkaitan. Pandangan disini sejalan dengan konsep analisis di dunia strukturalisme linguistik yang memisahkan kajian aspek kebahasaan pada tataran fonetik, morfomik, sintaksis, antar hubungan paradigmatik dan sintagmatik (Abrams dalam Teeuw 1989:188). Hal itu bisa dimengerti sebab analisis struktural dalam bidang kesastraan mendasarkan diri pada model strukturalisme dalam bidang linguistik.
xxvi
Pandangan diatas sebenarnya bukan tidak ada keuntungannya. Sebab, analisis karya sastra, dengan demikian tidak lagi membutuhkan berbagai pengetahuan lain sebagai referensi, misalnya dari referensi sosiologi, fsikologi, filsafat, dan lain-lain. Namun, penekanan pada sifat otonomi karya sastra dewasa ini dipandang orang sebagai kelemahan aliran strukturalisme dan kajian struktural. Hal ini disebabkan sebuah karya sastra tidak mungkin dipisahkan sama sekali dari latar belakang sosial budaya dan latar belakang sejarahnya. Melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial dan budaya dan sejarahnya. Akan menyebabkan karya itu menjadi kurang bermakna, atau paling tidak maknanya menjadi sangat terbatas, atau bahkan makna menjadi sulit untuk ditafsirkan. Hal itu berarti karya sastra kurang berarti dan kurang bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, analisis struktural sebaiknya dilengkapi dengan analisis yang lain, dalam hal ini dikaitkan pada keadaan sosial budaya secara luas.
1.7.2. Sosiologi Sastra Membicarakan sosiologi sastra adalah membicaralan sampai dimana hubungan antara sosiologi dengan sastra, dan membicaraakan hasil karya sastra yang relevan. Sastra tercipta untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfatkan manusia dalam suatu masyrakat. Sebagai sesuatu yang perlu dinikmati, karya sastra harus mengandung keindahan yang berasal dari keorisinalitasan sehingga dapat memenuhi dan memuaskan kehausan estetis masyarakat penikmatnya. Sebagi sesuatu yang perlu dipahami, karya sastra memendam kompleksitas yang dapat dimengerti dengan usaha-usaha yang sungguh-sungguh dan teliti oleh masyrakat pembacanya. Dengan xxvii
demikian, untuk mengungkapkan kandungan karaya sastra dibutuhkan kepekaan yang luar biasa. Sebagai sesutau yang perlu dimanfaatkan, karya sastra mengandung nilai berharga yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan manusia. Banyak kenyataan sosial yang dihadapi manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Kenyataan sosial itu dapat berupa tantangan dalam mempertahankan hidup, kebahagiaan dalam situasi keberhasilan, frustasi dalam situasi kegagalan, kesedihan dalam suasana kemalangan dan lain sebagainya. Kenyataan sosial tersebut muncul akibat hubungan antar manusia, hubungan antara masyarakat dan hubungan antar peristiwa dalam batin seseorang. Hal di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Damoncy (1984:4-5) bahwa : “Kenyataan sosial itu mendapatkan perhatian sang pengarang, baik karena dia menyaksikannya maupun karena dia mengalaminya sendiri. Dengan demikian, sastra melalui pengarang, merefleksikan gambaran kehidupan. Namun, tujuan utama sang pengarang bukanlah hanya menampilkan kenyataan sosial atau gambaran kehidupan, melainkan dia hendak menjadikan sastra sebagai resep kehidupan yang mampu menangkal penyakit dan manjur sebagai obat penyembuh. Sastra menjadi peralatan kehidupan manusia. Sastra dengan demikian berperan sebagai : 1. Pelipur lara, 2. Ungkapan kekesalan, 3. kritik sosial dan 4. Nasihat.”
Secara sosiologi sastra adalah strategi (sikap) untuk menghadapi situasi yang dialami mausia demi mengembangkan kemasyarakatan atau kesejahteraan manusia itu sendiri sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, pengarang merupakan ahli strategi. Pengarang harus mampu menilai sesuatu dengan tepat dan teliti. Pengarang tidak akan dapat mengetahui dan mengantisipasi masa depan dengan tepat, apa yang
xxviii
akan memberikan harapan dan apa yang akan menyuguhkan ancaman, apabila dia tidak mengetahui keadaan sesuatu dengan jelas. Dengan demikian, seorang ahli strategi yang bijaksana tidak akan puas dengan strategi yang hanya memuaskan dirinya sendiri. Pengarang akan waspada terhadap ancaman atau
bahaya yang
sewaktu-waktu dapat menghadang. Dari uraian di atas dapat dilihat tiga aspek yang saling berhubungan yaitu hubungan antar sastrawan, sastra dan masyarakat. Hubungan itu bersifat sosial dan tertuang dalam suatu karya sastra sebagai sarana penghubung antar sastrawan, sastra dan masyarakat pembaca. Dengan demikian, pembicaraan ini bersifat sosiologi atau yang disebut sosiologi sastra. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra adalah studi sosiologi terhadap karya sastra yang membicarakan hubungan dan pengaruh timbal balik antar sastrawan, sastra dan masyarakat, dengan menitikberatkan pada realitas dan gejala nilai-nilai soisologis yang ada di antara ketiganya. Dengan batasan seperti itu tampaklah kecenderungan kearah relasi antara kenyataan kehidupan dalam masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut. Serta sikap budaya dengan kreativitas pengarang sebagai seorang anggota masyarakat. Untuk mengetahui sikap dan perilaku seseorang di dalam suatu masyarakat tertentu, apabila didaerah yang belum dikenal seseorang, maka seseorang itu dapat membaca atau menganalisis karya sastra. Sebab, karya sastra semacam itu akan membicarakan suatu gambaran tentang sikap perilaku masyarakat, melukiskan sikap dan perilaku suatu masyarakat pada zamannya. Atau dengan kata lain, karya sastra merupakan pencerminan masyarakat pada zamannya. xxix
Sebagai ungkapan pribadi pengarang, juga dikemukakan Sumardjo (1986:3) yakni : “sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, penasaran, ide, semangat, dan keyakinan yang dapat membangkitkan gairah pembaca melalui bahasa” Berdasarkan pendapat tersebut, penulis menganggap dari suatu sisi bahwa benar karya sastra merupakan individual pengarang dan karena itu tidak harus mencerminkan keadaan suatu masyarakat pada zamannya. Kalaupun sastra melukiskan keadaan suatu masyarakat, hal itu karena telah menjadi persoalan pribadi pengarang. Akan tetapi, dari sisi lain, benar bahwa karya sastra merupakan pencerminan suatu masyarakat pada zamannya. Dengan demikian jelaslah bahwa sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan sastra, sebab antar sosiologi dan sastra saling menguntungkan. Hanya pelu disadari bahwa karya sastra bukanlah merupakan cermin yang didahului pikiran masyarakat zamannya, melainkan karya sastra hanyalah cerminan masyarakat zamannya. Hal ini merupakan bahwa kehadiran sastra mempunyai peranan dalam membentuk struktur masyarakat. Pengarang dan karyanya merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka membicarakan sebuah karya sastra. Di satu sisi pengarang adalah anggota dari kelompok masyarakat yang hidup ditengah-tengah kelompok masyarakat tersebut. Sumardjo juga menekankan, bahwa kehadiran karya sastra merupakan salah satu wujud pelestarian dari keadaan sosio-kultur suatu masyarakat dimana ia tercipta.
xxx
Lebih jauh lagi Yakob Sumardjo mengatakan bahwa “karya sastra menampilkan wajah kultur zamannya, tetapi sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakat”. Pendapat sumardjo diatas didukung pula oleh Semi (1989:54) yang mengatakan bahwa: a. Konteks sosial yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalam faktorfaktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. b. Sastra sebagai cermin masyarakat yang telaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagi cerminan keadaan masyarakat. c. Sosial sastra dalam hal ini ditelaah sampai berada jauh dari nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai berapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembacanya.
Sosiologi pada sisi lain sebagai ilmu yang berbicara tentang aspek-aspek kemasyarakatan selalu dapat dimanfaatkan untuk pembicaraan sebuah cipta sastra, nilai-nilai sosiologis dalam sebuah karya sastra dapat terwujud untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam. Banyak hal-hal yang menjadi fokus pengamatan seorang sastrawan dalam kehidupan pribadinya, lingkungan serta harapan-harapannya menjadi hal yang menarik dalam penelitian sebuah cipta sastra. Kompleks permasalahan itu merupakan hadiah seorang pengarang yang dapat memperluas wawasan pemikiran anggota masyarakat. Dengan menggambarkan fenomena dari hasil pengamatan pengarang, masyarakat pembacanya memperoleh hal yang bermakna dalam hidupnya. Pengarang sendiri mendapat sumber dalam aspek-aspek yang membangun keutuhan sebuah ceruita adalah menyangkut perwatakan tokoh-tokohnya. Tokoh yang berpikiran primitif akan bertindak sebagai manusia yang modern yang serba luwes. xxxi
Ciri-ciri perwatakan seorang tokoh selalu berkaitan dengan pengarang, lingkungan dimana dia hidup. Demikian juga menyangkut tipe orang atau tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa tokoh, dalam hal inilah pengetahuan sosiologi berperan menggunakan isi sebuah karya sastra. Hal di atas didukung oleh pernyataan Damono (1981:178) yang mengatakan : “bahwa sosiologi sastra diaplikasi pada tulisan-tulisan para kritikus sejarawan sastra menaruh perhatian utama pada cara atau keadaan seseorang pengarang dipengaruhi kelas sosialnya, ideologi sosialnya, kondisi ekonominya, profesinya, dan pembaca”
Warren dalam (Damono,1996:84) mengklasifikasikan sastra menjadi : Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan sstatus sosial, ideology sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karyanya sendiri; menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Ian Watt dalam (Darmono, 1996:3-4) melihat hubugan timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakatnya. Oleh sebab itu, telaah sosiologi suatu karya sastra akan mencakup tiga hal yaitu : pertama, konteks sosial pengarang yaitu menyangkut posisi sosial yang mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat yaitu menyangkut sejauh mana sastra dianggap sebagi pencerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yaitu sampai berapa jauh nilai sastra
xxxii
berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.
1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Metode/jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif, yang oleh Nawawi (1990:63) diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan objek/subjek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang nampak atau sebagaimana adanya. Dengan demikian dalam penelitian ini penulis tidak mengkaji hipotesis melainkan hanya mendeskrifsikan data-data fakta yang ada dan kemudian diiterpretasikan serta dianalisis secara rasional. 1.8.2. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut : a. Studi kepustakaan, yaitu tehnik pengumpulan data dengan mempelajari bukubuku, jurnal penelitian, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian b. Studi teks, yaitu pengumpulan data melalui naskah yang diteliti setelah terlebih dahulu membaca kemudian menafsirkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam naskah. xxxiii
1.8.3. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, karena penelitian yang digunakan adalah kualitatif maka peneliti bersikap netral sehingga tidak mempengaruhi data. Untuk itu peneliti hanya membaca dan memperhatikan lalu berusaha menjabarkan atau menginterpretasikan data tersebut untuk dinalisis sehingga dapat memberikan kesimpulan setelah dilakukan penegecekan ulang atas data tersebut. Informasi dan data yang diperoleh dari naskah disusun secara sistematis dan dikategorisasikan, selanjutnya informasi tersebut didesain sesuai dengan bagianbagian yang telah ditentukan sehingga dapat menghasilkan sebuah laporan penelitian yang integratif dan sistematis.
BAB II ANALISIS STRUKTURAL HIKAYAT SERIBU MASALAH
Analisis struktural yang dilakukan terhadap Hikayat Seribu Masalah ini merupakan langkah awal untuk mengetahui unsur-unsur isi dalam ( intrinsik) dari cerita tersebut. Hal ini seperti apa yang dikatakan Teeuw (1989) bahwa kajian strutural
dimaksudkan untuk membongkar , mengkaji, dan menganalisis unsur
pembentuk dalam (intrinsik)
dari sebuah karya sastra yang berguna
untuk
pengkajian selanjutnya dari karya sastra tersebut. Setelah membaca dan memahami Hikayat Seribu Masalah ini maka penulis mengambil kesimpulan sementara bahwa unsur-unsur yang berkaitan dengan masalah nilai-nilai sosiologis yang terkandung di dalam cerita tersebut adalah tema, alur, latar, xxxiv
dan perwatakan. Sedangkan unsur-unsur yang lain tidak penulis kaji karena tidak terdapat kegunaan langsung atau tidak adanya hal yang dapat dikaji.
2.1. Ringkasan Cerita Hikayat berkenaan dengan Nabi Muhamad yang juga tidak kalah penting ialah Hikayat Seribu Masalah yang memaparkan masalah eskatologi Islam, yang diuraikan melalui berbagai perumpamaan. Salah satu versi terkenal ialah yang ditulis di Aceh pada akhir abad ke-17 M berdasarkan versi Arab Masa`il Abdullah bin Salam li Nabiyyin (Pertanyaan-pertanyaan Abdullah bin Salam kepada Junjungan Nabi kita). Ringkasan ceritanya adalah sebagai berikut: Ketika Nabi hijrah ke Yatsrib (Madinah), seorang pemimpin Yahudi bernama Abdullah bin Salam menyatakan akan memeluk agama Islam bersana 700 pengikutnya apabila Nabi dapat menjawab berbagai pertanyaan. Abdullah bin Salam kemudian menanyakan soal-soal di sekitar kejadian alam bagaimana alam semesta ini sebelum adanya manusia dan bagaimana terbentuknya alam semesta ini, apakah hanya dengan sekejab mata atau melalui proses yang begitu panjang sehingga terciptala alam semesta. Setelah bertanya tentang masalah penciptaan alam semesta Abdullah bin Salam bertanya tentang bagaimana kehidupan di akhirat karena menurut informasi yang ia dapatkan bahwa Rasulullah Salallah Alaihi Wassallam pernah pergi ke akhirat untuk melihat bagaimana kehidupan di sana. Pada kesempatan ini juga Abdullah bin Salam bertanya tentang syurga dan neraka. Bagaimana sebenarnya bentuk syurga dan neraka tersebut dan mengapa manusia harus percaya dengan
xxxv
adanya syurga dan neraka dan bagaimana bila tidak percaya apakah ada sanksi yang diberikan oleh Allah Azza Wazalla. Selain hal-hal di atas Abdullah bin Salam juga bertanya tentang pahala dan siksaan. Apa yang diperoleh manusia bila berbuat baik dan apa yang didapatkan manusia bila tidak berbuat baik. Apakah manusia langsung mendapat siksaan atau azab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bila melakukan tindak kejahatan. Pada kesempatan ini Abdullah bin Salam paling banyak bertanya masalah hubungan antara manusia dengan hubungan manusia dengan Tuhan (Allah SWT). Semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Abdullah bin Salam dijawab oleh Nabi Muhammad SAW dengan sangat memuaskan sehingga Abdullah bin Salam dan pengikutnya pun mempelajari agama Islam dan akhirnya memeluk agama Islam.
2.2. Tema Masalah hidup akan dialami manusia amat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang dihadapi yang ada (Nurgiyantoro, 2001:71). Walau permasalahan yang dihadapi manusia tidak sama, ada masalahmasalah kehidupan tertentu yang bersifat universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang di manapun dan kapan pun walau dengan tingkat intersitas yang tidak sama.
xxxvi
Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-sub tema ke dalam karya sastra sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra
selalu berkaitan
dengan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui
karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat , merasakan, dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya. Tema itu sendiri sangat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang nota bene “hanya” berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, Tema dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sesuatu yang menyeluruh. Bahkan sebenarnya, eksistensi tidak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh Nurgiyantoro dikelompokkan sebagai fakta cerita (alur, latar, dan tokoh) yang mendukung dan menyampaikan tema tersebut. Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa tingkatan yang berbeda, tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Shipley dalam Nurgiyantoro (2001:80:82)
membedakan tema dalam lima tingkatan paling sederhana sampai
tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan xxxvii
atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Ia lebih menekankan pada mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Unsur latar dalam karya sastra dengan penonjolan tema tingkat ini mendapat penekanan. b. Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas. Berbagai persoalan kehidupan
seksual
manusia
mendapat
penekanan, khususnya kehidupan seksual yang menyimpang. c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai mahluk sosial, man as socius. Kehidupan yang bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa maslah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya sastra yang berisi kritik sosial. d. Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Di samping sebagai mahluk sosial, manusia juga sekaligus sebagai mahluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai mahluk individu, manusia pun mempunyai banyak xxxviii
permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. e. Tema tingkat divine, manusia sebagai mahluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan sang pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
Adapun kegiatan untuk menafsirkan tema sebuah karya sastra memang bukan pekerjaan yang mudah. Berhubung tema tersembunyi di balik cerita, penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada secara keseluruhan membangun cerita itu. Menurut Mochtar Lubis (1989:25) untuk mengetahui tema sebuah karya sastra maka dapat dilihat dari tiga hal yang saling berkaitan, yaitu: (a) melihat persoalan yang paling menonjol; (b) menghitung waktu penceritaan; dan (c) melihat konflik yang paling banyak hadir. Setelah membaca dan memahami Hikayat Seribu Masalah ini penulis dapat menyimpulkan bahwa Hikayat Seribu Masalah termasuk cerita yang tergolong ke dalam jenis tema tingkat divine. Dalam hikayat ini lebih banyak membicarakan masalah hubungan manusia dengan sang pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.. Masalah yang menonjol dalam hikayat ini adalah tentang bagaimana hubungan antara
xxxix
manusia dengan manusia lainnya dalam menjalankan perannya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna. Untuk menentukan tema dalam Hikayat Seribu Masalah ini maka penulis mengunakan pendapat Mochtar lubis yang menentukan tema sebuah karya sastra berdasarkan tiga hal, yaitu: a. Persoalan yang paling menonjol adalah masalah syariat Islam. b. Dari awal hingga akhir cerita dalam Hikayat Seribu Masalah adalah menceritakan tentang eskatologi Islam. c. Konflik yang paling banyak hadir dalam Hikayat Seribu Masalah adalah perbedaan pendapat Abdullah bin Salam dengan Rasulullah Salallah Alahi Wassallam tentang sendi-sendi kehidupan beragama. Berdasarkan ketiga hal di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tema dalam Hikayat Seribu Masalah adalah tentang syariat atau eskatologi Islam.
2.3. Alur Alur merupakan unsur karya sastra yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai hal yang terpenting diantara berbagai unsur karya sastra yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun sering ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin mempergunakan istilah lain. Masalah lineritas struktural penyajian peristiwa dalam karya sastra banyak dijadikan objek kajian. Hal itu kiranya juga beralasan tentang kejelasan alur, kejelasan tentang kaitan antar peristiwa yang dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan unsur dapat berarti kejelasan cerita, xl
kesederhanaan alur berarti kejelasan memahami jalan cerita. Sebaliknya, alur sebuah cerita sebuah karya sastra yang kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan kausalitas antar peristiwanya, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami. Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik ia dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, dalam sebuah cerita, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya (Nurgiyantoro, 2001:141). Hal yang demikian dapat terjadi disebabkan urutan waktu penceritaan sengaja dimanipulasikan dengan urutan peristiwa. Ia mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk pengucapan baru dan efek artistik tertentu, kejutan atau pun sebentuk suspense di pihak pembaca tehnik pengungkapan cerita, atau tehnik pengaturan, yang demikian biasanya justru lebih menarik karena memang langsung dapat menarik perhatian pembaca. Pembaca langsung berhadapan dengan konflik, yang tentu saja, ingin segera mengetahui sebab-sebab kejadian dan bagaimana kelanjutannya. Pada dasarnya, alur sebuah cerita haruslah bersifat padu. Antara peristiwa yang satu dengan yang lain, antara peristiwa yang diceritakan lebih dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan adan sifat saling ketertarikan. Kaitan antar peristiwa tersebut hendaklah jelas, logis, dapat dikenali hubungan kewaktuannya lepas dari tempatnya dalam teks cerita yang mungkin diawal, tengah atau akhir. Alur yang memiliki sifat keutuhan dan kepaduan, tentu saja akan menyuguhkan cerita yang bersifat utuh dan padu pula.
xli
Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Tasrif dalam Lubis (1989:10) mengemukakan bahwa sebuah alur haruslah terdiri dari lima tahapan. Kelima tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah alur karya sastra yang bersangkutan. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut: (1) Tahap Situation (tahap penyituasian), tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. (2) Tahap Generating Circumstances (tahap pemunculan konflik), masalahmasalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian
ini,
tampaknya
berkesuaian
dengan
tahap
awal
pada
penahapannya. (3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), dimunculkan
pada
tahap
sebelumnya
semakin
konflik yang telah berkembang
dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita bersifat mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi mengarah ke klimaks, atau paling tidak dapat dihindari. (4) Tahap Climax (tahap klimaks), konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang diakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita xlii
mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah cerita yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian. (5) Tahap Denouement (tahap penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflikkonflik yang lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
Setelah penulis membaca, menghayati, dan memahami Hikayat Seribu Masalah maka dapat digambarkan alur yang terdapat dalam cerita tersebut adalah plot lurus atau progresif. Artinya bahwa dalam Hikayat Seribu Masalah pelukisan alur cerita diawali dengan awal situasi sampai dengan akhir situasi dan tidak terdapat alur sorot balik (flashback) pada setiap bagian dari alur cerita tersebut. Adapun pentahapan alur dalam Hikayat Seribu Masalah adalah sebagai berikut: (1) Tahap Situation, tahap awal dalam Hikayat Seribu Masalah dimulai pada tahap datangnya seorang pendeta Yahudi yang bernama Abdullah bin Salam beserta 700 orang pengikutnya menemui Rasullah SAW untuk menanyakan berbagai hal tentang agama Islam. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan cerita sebagai berikut. “Maka Abdullah bin Salam berjalan daripada suatu pangkalan kepada suatu pangkalan bersama tujoh ratos pengikotnya, maka sampailah Amir Husein kepada suatu tempat bernama Yastrib. Ianya hendak berjumpa daripada Muhmmad hendak menanyakan seribo hal kepada Muhammad…. xliii
(2) Tahap Generating Circumstances, yaitu tahap dimana peristiwa mulai bergerak memunculkan konflik. Peristiwa-peristiwa yang termasuk dalam tahapan ini adalah ketika Abdullah bin Salam mulai bertanya tentang bagaimana terbentuknya alam semesta dan bagaimana dengan kehidupan akhirat serta bagaimana dengan syurga dan neraka. Ini di kuatkan dari kutipan cerita sebagai berikut.
“Setelah sudah bersua dengan Muhmmad ini, maka disegerakan pula oleh Abdullah bin Salam, demikian bunyinya, “Segeralah Muhammad memberi jelas akan hamba, perihal alam semesta berbarung-barung!” Maka Muhammad memberitahu akan hal alam semesta kepada Abdullah bin Salam beserta khawan-khawan akan dia, dengan seketika itu jua Abdullah bin Salam dan tujuh ratos orang pengikutnya mendengar dan mengerti akan halnya kejadian semula awal alam semesta…. Maka Abdullah bin Salam berkata, “hai Muhammad, bagaimana beroleh hidup disyurga dan neraka dan bagaimana pula dengan kehidupan akhirat. Adakah khabar daripada kamu telah pula melihat semuanya? Jelaskan akan daku, hai Muhammad! Maha sangat ingin aku mendengar tentang khabar itu?”
(3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), pada tahap ini cerita mulai bergerak ke arah konflik cerita. Adapun peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam tahap ini pada Hikayat Seribu Masalah adalah ketika Abdullah bin Salam bertanya kepada Nabi Besar Muhammad Sallallah Alaihi Wasallam tentang bagaimana memperoleh pahala dan apa yang diperoleh manusia apabila dia melakukan kejahatan. Peristiwa ini dikuatkan oleh kutipan cerita sebagi berikut.
xliv
“Setelah sudah didengar akan Abdullah bin Salam daripada Muhammad ini, maka ditanyakan kepada Muhammad akan hal pahala dan siksaan, dalam demikian itu katanya, “Segeralah Muhammad memberi jejas akan hamba, bilamana manusia memperoleh nikmat pahala dan bila pula ianya beroleh siksa. Maka Muhammad pun kembali memberitahu akan Abdullah bin Salam akan pahala dan seksa bilamana manusia berbuat batil dan berbuat baik.”
(4) Tahap Climax (tahap puncak cerita), tahap ini terdapat pada peristiwa ketika Abdullah bin Salam dengan wajah yang memerah karena seluruh pertanyaan dijawab Nabi Muhammad SAW dengan begitu rinci sehingga tidak ada kesempatan bagi Abdullah bin Salam untuk mencari celah guna menyudutkan Rasulullah SAW. Abdullah bin Salam kemudian bertanya tentang bagaimana agama Islam mengatur hubungan antara manusia dengan manusia bila dikaitkan dengan hubungannya antara manusia dengan Tuhan. Kutipan yang mendukung peristiwa di atas adalah sebagai berikut.
“Setelah sudah dilawannya akan kata2 Muhammad, maka ditanyakannya kepada Muhammad, dalam pada itu demikian tanyanya, “Segeralah hai Muhammad memberi bantu akan hamba, karena hamba sudah adalah di tengah padang kembara akan hal agamamu!” Maka berkata Muhammad kepada Abdullah bin Salam, dengan seketika itu jua disuruhkan Abdullah bin Salama kepada tujuh ratus orang pengikutnya bertanya akan Muhammad, Maka seorang-orang pengikutnya berkata, “hai Muhammad! Beri aku ilmu akan agamamu antara hubungan khawan dan khawan dan beri bawa kepadaku! Maka tatkala Muhammad memberi jelas akan hal hubungan manusia dan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan seluruh pengikut Abdullah bin Salam terdiam dan merenungi akan dirinya.
xlv
(5) Tahap Denoument (tahap penyelasaian cerita), peristiwa yang terdapat pada tahapan ini dengan timbulnya kesadaran dalam diri Abdullah bin Salam beserta pengikutnya yang berjumlah tujuh ratus orang untuk mengikuti ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dan mereka berpindah (muallaf) dan masuk agama Islam. Peristiwa tersebut dapatdijumpai dalam kutipan cerita sayembara bohong sebagai berikut.
Setelah sudah didengar akan hal kata Muhammad, Abdullah bin Salam dan tujuh ratus orang pengikutnya pun memeluk agama Islam dan mengucapkan kalimat syahadat.
2.4. Latar Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrahams dalam Nurgiyantoro, 201:218). Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian merasa dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketetapan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan sesuatu yang sebenarnya dalam cerita itu yang menjadi bagian dirinya.
xlvi
Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita. Menurut Nurgiyantoro (2001:227) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Latar tempat, latar ini menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya pantai, hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain. (2) Latar waktu, latar ini berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persaman perkembangan atau kesejalanan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sungguh-sungguh ada dan terjadi. xlvii
(3) Latar sosial, latar ini menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap dan lain-lain. Setelah penulis membaca dan memahami Hikayat Seribu Masalah maka latar yang terdapat dalam cerita tersebut hanyalah latar tempat sedangkan latar waktu dan latar social tidak ada sedikitpun digambarkan dalam Hikayat Seribu Masalah tersebut. Adapun latar tempat dari Hikayat Seribu Masalah ini adalah sebagai berikut: Latar tempat yang ada dalam Hikayat Seribu Masalah adalah di Yatsir (Madinah) yakni tempat kedatangan Rasulullah setelah berhijrah dari Mekah dan bertemu dengan seorang pendeta dari Yunani yang sengaja datang untuk menanyakan berbagai hal yang berhubungan dengan agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini: “Maka Abdullah bin Salam berjalan daripada suatu pangkalan kepada suatu pangkalan bersama tujoh ratos pengikotnya, maka sampailah Amir Husein kepada suatu tempat bernama Yastrib. Ianya hendak berjumpa daripada Muhmmad hendak menanyakan seribo hal kepada Muhammad….
2.5. Watak dan Perwatakan Dalam pembicaraan sebuah karya sastra, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karekterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah
xlviii
tersebut, sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang persis sama, walau ada di antaranya yang sinonim. Ada istilah yang pengertiannya menyaran pada tokoh cerita, dan pada “tehnik” pengembangannya dalam sebuah cerita. Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan: “siapakah tokoh utama cerita rakyat itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah pelaku dalam cerita rakyat itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi, karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh jones dalam (Nurgiantoro, 1999:165). Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literature bahasa inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokohtokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1999:165). Dengan demikian, character dapat berarti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti ‘perwatakan’. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya, memang merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu, tidak jarang langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya. Hal
xlix
itu terjadi terutama pada tokoh-tokoh cerita yang telah menjadi milik masyarakat, seperti sampuraga dengan sifat-sifat jahatnya dan lain-lain. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama-protagonis-berkembang-tipikal. Adapun jenis-jenis tokoh cerita tersebut adalah: a. Tokoh utama dan tokoh tambahan Membaca sebuah karya sastra, kita akan dihadapkan pada sejumlah tokoh yang dihadirkan didalamnya. Namun, dalam kaitannya dalam keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tidak sama. Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, dan sebaliknya, ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama (central character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam sebuah cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada cerita rakyat tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap
l
kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan. b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca sebuah karya sastra, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh tertentu, memberikan simpati, dan simpati melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis (Alterbrend dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 1999:178). Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi. Tokoh yang merupakan pengejewantahan norma-norma,
nilai-nilai yang ideal bagi kita. Tokoh
protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapanharapan kita sebagai pembaca. Maka kita sering mengenalinya sebagi yang memiliki kesamaan dengan kita, demikian pula halnya dalam menyikapinya. Demikian pula sebaliknya, tokoh antagonis adalah tokoh yang menampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan kita, tidak sesuai dengan normanorma, nilai-nilai yang tidak ideal bagi kita.
c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
li
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang memilki satu kualitas tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tidak diungkapkan ke berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tidak memiliki tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Tokoh bulat atau kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan ke berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya, dan jati dirinya ia dapat saja memilki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat menampilkan watak dan tingkah laku yang bermacam-macam. Bahkan mungkin
seperti bertentangan
dan sulit
diduga.
Oleh karena
itu,
perwatakannya pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat. Setelah membaca dan mengamati cerita rakyat Sayembara Bohong maka dapat diketahui watak dan perwatakannya sebagai berikut: 1. Watak atau Tokoh Cerita Tokoh utama dalam Hikayat Seribu Masalah ini adalah Nabi Muhammad Salallah Alaihi Wasallam. Sedangkan tokoh tambahan dalam Hikayat Seribu Masalah adalah Abdullah bin Salam dan tujuh ratus orang pengikutnya.
lii
2. Perwatakan dan Penokohan Dalam Hikayat Seribu Masalah tidak terdapat perwatakan dan penokohan dari tokoh-tokohnya karena dalam hikayat ini hanya bersifat dialogis atau hanya bersifat menceritakan tentang dua orang tokoh yang saling berkomunikasi tentang agama Islam. Demikianlah paparan tentang watak dan perwatakan dalam Hikayat Seribu Masalah.
liii
BAB III NILAI SOSIOLOGIS “SAYEMBARA BOHONG”
Setelah meninjau unsur-unsur yang mendukung struktur dalam Hikayat Seribu Masalah, maka penulis dapat mengetahui bagaimana pengarang mengungkapkan keadaan atau suasana terjadinya dialog antara dua orang tokoh agama yakni antara Rasullah SAW dengan seorang pendeta dari Yahudi yang bernama Abdullah bin Salam. Peristiwa-peristiwa
yang penulis temukan dalam cerita ini mengandung
berbagai nilai kehidupan kemasyarakatan sesuai dengan ajaran agama Islam. Jadi, nilai-nilai yang terdapat dalam cerita ini ialah nilai-nilai yang mengandung pengajaran hidup di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain nilai-nilai pengajaran tersebut bermanfaat juga bagi pribadi-pribadi manusia di luar pemeluk agama Islam dalam menjalani kehidupan. Nilai-nilai sosiologis yang ada di dalam cerita ini ditinjau dari segi-segi sosial kemasyarakatan dan situasi yang disajikan pengarang kepada pembaca dapat dilihat dalam pembahasan nilai-nilai sosiologis sebagai berikut.
3.1 Iman Kepada Hari Akhir Salah satu yang terpenting dari nilai-nilai sosiologis (kehidupan) yang disampaikan dalam Hikayat Seribu Masalah adalah tentang iman kepada hari akhir (akhirat) sesuai dengan pertanyaan Abdullah bin Salam kepada Nabi Muhammad liv
SAW. Percaya kepada adanya hari akhir (akhirat) dalam agama Islam merupakan salah satu bentuk dari rukun Iman Islam yang memang benar-benar harus dipercayai keberadaannya oleh umat Islam tanpa harus ada pertanyaan “kenapa dan mengapa” karena hal ini merupakan hal yang bersifat dogmatis. Artinya bahwa ummat Islam harus meyakini akan hal ini sepenuh hatinya. Dalam Islam dipercayai bahwa kehidupan manusia terbagi menjadi dua: kehidupan pendek di Darul ‘Amal dan kehidupan abadi di Darul Jaza. Darul ‘Amal (tempat beramal) adalah bumi atau dunia yang kita tempati sekarang ini sampai batas waktu tertentu yang amat singkat. Dunia adalah tempat dan waktu yang diberikan kepada kita untuk melakukan amal yang kita kehendaki seperti orang-orang sebelum kita yang juga telah mengalaminya. Allah swt. berfirman: “Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu adalah lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melata pun akantetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 44-45) Setiap lewat sehari, kesempatan hidup pun berkurang dan kita semakin dekat dengan Darul Jaza (negeri balasan). Dan bila kesempatan itu benar-benar habis, hidup di dunia ini terasa kurang dari sesaat. Allah swt berfirman: “Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) kecuali hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk.” (Yunus: 45) lv
Sedangkan yang dimaksud dengan Darul Jaza adalah negeri akhirat, tempat manusia mendapatkan balasan semua perbuatannya di Darul Amal. Dan maut adalah titik perpindahan dari Darul Amal ke Darul Jaza. Allah swt. berfirman: “Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)-mu akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmu-lah kamu akan dikembalikan.’ Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orangorang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): ‘Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal shalih, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.’” (AsSajadah: 11-12) Hal di atas sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Abdulah bin Salam kepada Nabi Muhammad SAW tentang bagaimana kehidupan akhirat tersebut, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut ini: “Setelah sudah bersua dengan Muhammad ini, maka disegerakan pula oleh Abdullah bin Salam, demikian bunyinya, “Segeralah Muhammad memberi jelas akan hamba, perihal alam semesta berbarung-barung!” Maka Muhammad memberitahu akan hal alam semesta kepada Abdullah bin Salam beserta khawan-khawan akan dia, dengan seketika itu jua Abdullah bin Salam dan tujuh ratos orang pengikutnya mendengar dan mengerti akan halnya kejadian semula awal alam semesta…. Maka Abdullah bin Salam berkata, “hai Muhammad, bagaimana rupa dan bentuk akhirat seperti pengetahuanmu dan bagaimana beroleh hidup disyurga dan neraka…… (Hikayat Seribu Masalah: 23)
Abdullah bin Salam bertanya kepada Muhammad bagaiama kehidupan di akhirat, apakah setiap perbuatan manusia yang zalim akan langsung mendapat hukuman dari Allah SWT atau akan dibalas di akhirat kelak. Maka Nabi Muhammad
lvi
pun menjelaskan semuanya secara rinci sehingga Abdullah bin Salam beserta pengikutnya paham akan konsep akhirat dan perbuatan baik dan buruk. Hal ini tergambar pada kutipan berikut: Maka Abdullah bin Salam berkata, “hai Muhammad, bagaimana beroleh hidup disyurga dan neraka dan bagaimana pula dengan kehidupan akhirat. Adakah khabar daripada kamu telah pula melihat semuanya? Jelaskan akan daku, hai Muhammad! Maha sangat ingin aku mendengar tentang khabar itu?” Adakah ianya berbuat zalim akan langsung mendapat amaran dari Tuhanmu wahai Muhammad atau adakah ianya akan mendapat balasan di akhirat nantinya? (Hikayat Seribut Masalah: 24)
Iman seorang mukmin kepada hari akhir punya dalil yang kuat. Dalil yang utama adalah informasi semua Rasul, tanpa kecuali, tentang hakikat hari akhir yang mereka terima dari Allah swt. Para Rasul adalah orang-orang yang telah menunjukkan kepada manusia bukti-bukti kebenaran risalah mereka. Namun disamping itu ada juga dalil-dalil aqli (logika). Ada banyak dalil aqli. Tapi, salah satunya adalah dalil logika keadilan Ilahi. Dalam diri manusia ada perasaan cinta kepada keadilan. Ini perasaan yang membuat manusia membenci kezaliman. Pencipta perasaan cinta keadilan dalam diri manusia ini adalah Allah swt., Pencipta manusia, dan merupakan aksioma bahwa Sang Pencipta lebih agung dan lebih sempurna dari ciptaan-Nya, dan bagi Allah segala perumpamaan yang sempurna. Jadi, keadilan Allah swt. jelas Maha Sempurna, sedangkan makhluknya tidak. Jika rasa keadilan dalam diri manusia menolak perlakuan sama antara orang zalim dan yang terzalimi, antara pembunuh dengan korban terbunuh, orang yang taat
lvii
dengan yang membangkang, maka keadilan Ilahi yang sempurna tentunya lebih menolak penyamaan antara si zalim dengan yang dizalimi, antara pembunuh dan terbunuh, antara yang taat dan yang melakukan maksiat, antara mukmin dengan kafir, dan antara orang baik dan orang jahat. Allah swt. berfirman: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (Shad: 27-28)
Namun kita tidak mendapati keadilan sempurna di dunia. Belum ada balasan yang setimpal atas semua perbuatan manusia yang baik maupun buruk. Dengan logika keadilan Ilahi yang tak mungkin diragukan, kita beriman bahwa penghitungan dan balasan amal yang seadil-adilnya itu akan kita temui di hari akhir sebagaimana diinformasikan oleh semua Rasul a.s. sebagai orang-orang yang dipilih oleh Allah SWT untuk menyampaikan firmannya kepada seluruh umat manusia.
3.2 Tawakkal Tawakkal adalah pohon yang baik yang tidak berbuah kecuali buah yang baik dalam diri maupun kehidupan. Kehidupan pribadi yang berimbas pada kehidupan bermasyarakat atau berorganisasi. Di antara buah sikap tawakkal, yaitu: Pertama, As-Sakinah wa at-thuma’ninah (Ketenangan dan ketentraman).
lviii
Buah yang pertama dari pohon tawakkal ini adalah ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang dirasakan oleh orang yang bertawakkal kepada Rabb-nya. Ia rasakan itu memenuhi seluruh relung jiwanya, ia merasa aman ketika orang lain takut, merasa tenang ketika mereka berguncang, merasa yakin saat mereka bimbang, tsabat saat orang lain goyah, penuh harap sementara mereka hilang asa, dan menikmati perasaan ridha saat orang lain diracuni murka. Ia tak ubahnya seperti prajurit yang berlindung di benteng yang amat kokoh, menyediakan makanan, tempat istirahat, perbekalan dan senjata lengkap. Dari dalam benteng itu ia bisa melihat namun tak terlihat, menembak tanpa tertembak, semua kejadian di luar benteng tidak menggentarkannya sama sekali baik teriakan ataupun gemuruh senjata. Inilah keadaan yang dirasakan Nabi Musa alaihissalam ketika sahabatsahabatnya berkata: “Kita pasti terkejar!” Nabi Musa menjawab: “Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (AsySyuara (26): 62). Keadaan ini juga dirasakan oleh Nabi Muhammad saw ketika ia berkata kepada Abu Bakar di gua Tsaur: “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (At-Taubah (9): 40).
Seperti yang dialami pula oleh Ibrahim alaihissalam saat dilemparkan ke dalam api, ia tidak meminta tolong kepada manusia, jin atau malaikat, ucapan yang keluar dari mulutnya hanyalah:
lix
“Cukuplah Allah untukku dan Dia sebaik-baik pelindung.”
Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Abdullah bin Abbas ra berkata:
). “Hasbunallahu wa ni’mal wakil” adalah ucapan yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api, juga diucapkan oleh Nabi Muhammad saw saat manusia berkata kepadanya: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung”. (Ali imran (3): 173).
Sakinah dan Thuma-ninah bersama Allah juga dirasakan oleh Hajar ibunda Ismail alaihimassalam tatkala Ibrahim al-Khalil meninggalkannya di lembah tandus Makkah tanpa memberi alasan yang jelas. ! “Apakah Allah yang memerintahkanmu (meninggalkan kami)? Ibrahim menjawab: “Ya”. Hajar berkata: “Kalau begitu, Dia tak kan membiarkan kami.” Kedua, Al-Quwwah (kekuatan) Buah kedua yang pasti dirasakan oleh mu’min yang bertawakkal adalah kekuatan mental yang membaja terutama ketika tengah menghadapi tantangan yang amat berat. . “Siapa yang ingin bahagia menjadi orang yang paling kuat hendaklah ia bertawakkal kepada Allah.” (Hadits dha’if diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam AtTawakkul dan Makarim Al-Akhlaq hlm 18 no 5, juga oleh Al-Bahaqi dalam Azlx
Zuhd: 2/463 no 986 dari Ibnu Abbas. Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa pada sanadnya ada perawi yang matruk (yang tidak dipakai oleh para ahli hadits) dan ada pula yang dituduh berdusta. Al-Qaradhawi dalam bukunya At-tawakkul mengatakan: Cukuplah ini menjadi ucapan salah seorang ulama salaf)
Hal ini dapat kita lihat dari sikap para nabi, diantaranya adalah Nabi Nuh as ketika menghadapi ancaman kaumnya: “Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutusekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepadaNya).” (Yunus (10): 71-72).
Nabi Hud as: “Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Huud menjawab: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (Hud (11): 54-56).
Nabi Syuaib as: “Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami”. berkata Syu’aib: “Dan Apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun Kami tidak menyukainya?” Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan Kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum lxi
kami dengan hak (adil) dan Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (AlA’raf (7): 88-89).
Lebih agung lagi adalah kekuatan Rasulullah saw tatkala beliau menggali khandak di tengah kepungan pasukan sekutu. Betapa tidak, saat itu Rasulullah saw menjanjikan para sahabatnya dengan penaklukan Yaman, Kisra dan Kaisar. Kekuatan jiwa yang membuat orang-orang munafik menuduh Rasulullah dan para sahabat ngawur dan ghurur: “Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata:”Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (Al-Ahzab (33): 12).
Ketiga, Al-Izzah (Kemulian) Buah ketiga dari tawakkal adalah izzah -terhormat, mulya- yang diraih oleh orang yang bertawakkal kepada Allah. Izzah yang mengangkatnya ke tempat yang mulia, mengantarnya menjadi raja besar tanpa perlu singgasana dan mahkota, raja mulia meski tanpa prajurit atau pengikut. Izzah yang merupakan kurnia Al-Aziz subhanahu wata’ala. “Dan bertawakkallah kepada (Allah) yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (Asy-Syuara (26): 217). Orang yang bertawakkal adalah raja, tapi bukan raja di dunia. Raja dunia selalu merasa butuh terhadap pengikut dan para pembantu, seperti juga perasaan takut mereka akan kehilangan kekuasaannya baik oleh makar internal maupun serangan
lxii
dari luar, atau oleh kematian yang sewaktu-waktu datang. Sedangkan kemuliaan dan kerajaan bagi orang yang bertawakkal tidak demikian, ia hanya membutuhkan Allah saja, hatinya hanya bergantung kepada-Nya, tidak mengharap selain rahmat-Nya, dan tidak takut kecuali kepada azab-Nya. Suatu hari, salah seorang khalifah berkata kepada seorang ulama salaf: “Sampaikan keperluan duniamu, kami akan penuhi untukmu.” Dengan penuh izzah sang alim menjawab: ! “Aku tidak memintanya (dunia) kepada Allah, bagaimana mungkin aku memintanya kepada makhluk?!” Memang, ia tidak meminta dunia kepada Allah, yang dimintanya jauh lebih mulia dari dunia… itulah ridha dan surga-Nya. Izzah itu tidak dapat dicari dengan mengetuk pintu para penguasa, ia hanya dapat diraih dengan mengetuk satu-satunya pintu.. pintu Al-’Aziz: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” (Fathir (35): 10)
Izzah seorang mu’min adalah ketika ia tsiqah kepada Al-Maula subhanahu wata’ala, ketika ia menang atas hawa nafsunya, dan saat ia selamat dari semua penghalang menuju jalan petunjuk-Nya. Syiar mereka adalah:
.
lxiii
“Merasa cukup bersama Allah, mengangkat keinginan dari selain Allah, dan menjaga pakaian iman agar tidak dikotori oleh kecondongan duniawi dan sifat rakus kepada selain karunia Allah.”
Keempat, Al-Ridha (Ridha / Rela) Diantara buah tawakkal adalah ridha. Dengannya dada menjadi lapang, hatipun bertambah luas. Ulama berkata: . “Kapanpun engkau ridha Allah sebagai wakil (pelindung), akan engkau temukan jalan menuju semua kebaikan.”
Ibnul Qayyim mengutip ucapan gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
. “Sesuatu yang ditakdirkan itu dikelilingi oleh dua perkara: tawakkal sebelumnya dan ridha sesudahnya. Siapa yang bertawakkal kepada Allah sebelum berbuat dan ridha dengan ketentuan Allah setelahnya berarti ia telah menjalankan ubudiyah kepada Allah.”
Kelima, Al-amal (Optimisme) Buah tawakkal yang lain adalah harapan yang tak pernah padam dalam menyambut masa depan betapapun pahitnya realita yang dihadapi. Di hati orang yang bertawakkal kepada Allah tidak ada celah bagi putus asa, karena ia adalah sifat kekufuran dan kesesatan. “Ibrahim berkata: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat.” (Al-Hijr (15): 56)
lxiv
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf (12): 87).
Nabi Ya’qub as tidak pernah berputus asa mencari Yusuf anaknya meskipun waktu penantiannya begitu lama, berpuluh tahun tanpa ada berita tentangnya. “Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; sesungguhnya Dia-lah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Yusuf (12): 83).
Dalam Hikayat Seribu Masalah penggambaran tentang tawakkal sebagai sifat dari seorang Muslim terlihat ketika Abdullah bin Salam bertanya kepada Muhammad tentang bagaimana manusia menghadapi segala ketentuan yang telah digariskan atau ditentukan oleh Allah SWT. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa: Ada lima perkara daripada syariat Islam menerima cubaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pertama As-Sakinah wa at-thuma’ninah, kedua al quwwah, ketiga al izza, keempat al ridha, kelima al amal. Kelima perkara ini hendaklah kamu amalkan dalam hidup kamu bila hendak mendapat ketenangan dalam hidup hai Abdullah bin Salam. Abdullah bin Salam terdiam seribu bahasa…. (Hikayat Seribu Masalah:35)
Orang yang bertawakkal kepada Allah amat yakin bahwa segala kekuasaan dan rencana berada di Tangan-Nya, Dia berbuat sesuai Kehendak-Nya, memutuskan menurut iradah-Nya, mencabut kekuasaan dari siapa saja yang Dia kehendaki, memberi kekuasaan kepada yang Ia kehendaki. Jika Dia menghendaki yang miskin bisa menjadi kaya dan sebaliknya, yang lemah dijadkan-Nya kuat dan sebaliknya, yang sulit jadi mudah, yang sakit segera sembuh, yang hina menjadi mulia dan sebaliknya. Semua itu dilakukan-Nya dengan sebab yang terlihat atau tanpa sebab sama sekali, tidak ada yang mustahil bagi-Nya. lxv
3.3 Silaturahim Persaudaraan kadang seperti tingkah dahan-dahan yang ditiup angin. Walau satu pohon, tak selamanya gerak dahan seiring sejalan. Adakalanya seirama, tapi tak jarang berbenturan. Tergantung mana yang lebih kuat: keserasian batang dahan atau tiupan angin yang tak beraturan. Indahnya persaudaraan. Sebuah anugerah Allah yang teramat mahal buat mereka yang terikat dalam keimanan. Segala kebaikan pun terlahir bersama persaudaraan. Ada tolong-menolong, terbentuknya jaringan usaha, bahkan kekuatan politik umat. Namun, pernik-pernik lapangan kehidupan nyata kadang tak seindah idealita. Ada saja khilaf, salah paham, friksi, yang membuat jalan persaudaraan tidak semulus jalan tol. Ketidakharmonisan pun terjadi. Kebencian terhadap sesama saudara pun tak terhindarkan. Muncullah kekakuan-kekakuan hubungan. Interaksi persaudaraan menjadi hambar. Sapaan cuma basa-basi. Tidak ada lagi kerinduan. Sebaliknya, ada kekecewaan dan kebencian. Suatu hal yang sulit ditemukan dalam tataran idealita persaudaraan Islam. Lebih repot lagi ketika disharmoni itu menular ke orang lain. Keretakan persaudaraan bukan lagi hubungan antar dua pihak, bahkan merembet. Penyebarannya bisa horisontal atau ke samping, bisa juga vertikal atau atas bawah. Para orang tua yang berseteru, anak cucu pun bisa ikut kebagian.
lxvi
Rasulullah saw. pernah mengingatkan itu dalam sabdanya, “Cinta bisa berkelanjutan (diwariskan) dan benci pun demikian.” (HR. Al-Bukhari) Waktu memang bisa menjadi alat efektif peluntur kekakuan itu. Saat gesekan menghangat, perjalanan waktulah yang berfungsi sebagai pendingin. Orang menjadi lupa dengan masalah yang pernah terjadi. Ada kesadaran baru. Dan kerinduan pun menindaklanjuti. Kalau berhenti sampai di situ, bisa jadi, perdamaian cuma datang dari satu pihak. Karena belum tentu, waktu bisa menjadi solusi buat pihak lain. Kalau pun bisa, sulit memastikan bertemunya dua kesadaran dalam rentang waktu yang tidak begitu jauh. Perlu ada cara lain agar kesadaran dan perdamaian bertemu dalam waktu yang sama. Dan silaturahim adalah salah satunya. Inilah cara yang paling ampuh agar kekakuan, ketidaksepahaman, kekecewaan menjadi cair. Suasana yang panas pun bisa berangsur dingin. Dengan nasihat yang begitu sederhana, Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat tentang keunggulan silaturahim. Beliau saw. bersabda, “Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menyambung tali silaturahim.” (Muttafaq ‘alaih) Menarik memang tawaran Rasul tentang manfaat silaturahim: luasnya rezeki dan umur yang panjang. Dua hal tersebut merupakan simbol kenikmatan hidup yang begitu besar. Bumi menjadi begitu luas, damai, dan nyaman. Sehingga, kehidupan pun menjadi sangat berarti.
lxvii
Masalahnya, tidak mudah menggerakkan hati untuk berkunjung ke orang yang pernah dibenci. Mungkin masih terngiang seperti apa sakitnya hati. Begitu berat beban batin. Berat. Terlebih ketika setan terus mengipas-ngipas bara luka lama. Saat itulah, setan memposisikan diri seseorang sebagai pihak yang patut dikunjungi. Bukan yang mengunjungi. Kalau saja bukan karena rahmat Allah, seorang mukmin bisa lupa kalau ‘izzah bukan untuk sesama mukmin. Tapi, buat orang kafir. Firman Allah swt. “Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap adzillah (lemah lembut) terhadap orang mukmin, yang bersikap ‘izzah (keras) terhadap orang-orang kafir….” (QS. 5: 54) Setidaknya, ada tiga persiapan yang mesti diambil agar silaturahim tidak terasa berat. Pertama, murnikan keinginan bersilaturahim hanya karena Allah. Ikatan hati yang terjalin antara dua mukmin adalah karena anugerah Allah. Ikatan inilah yang menembus beberapa hati yang berbeda warna menjadi satu cita dan rasa. Sebuah ikatan yang sangat mahal. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka….” (QS. Al-Anfal: 63) Jangan pernah selipkan maksud-maksud lain dalam silaturahim. Karena di situlah celah setan memunculkan kekecewaan. Ketika maksud itu tak tercapai,
lxviii
silaturahim cuma sekadar basa-basi. Silaturahim tinggallah silaturahim, tapi hawa permusuhan tetap ada. Kedua, cintai saudara seiman sebagaimana mencintai diri sendiri. Inilah salah satu cara mengikis ego diri yang efektif. Ketika tekad ini terwujud, yang terpikir adalah bagaimana agar bisa memberi. Bukan meminta. Apalagi menuntut. Akan muncul dalam nurani yang paling dalam bagaimana bisa memberi sesuatu kepada saudara seiman. Termasuk, memberi maaf. Meminta maaf memang sulit. Dan, akan lebih sulit lagi memberi maaf. Hal inilah yang paling sulit dalam tingkat keimanan seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” Ketiga, bayangkan kebaikan-kebaikan saudara yang akan dikunjungi, bukan sebaliknya. Kerap kebencian bisa menihilkan kebaikan orang lain. Timbangan diri menjadi tidak adil. Kebaikan yang bertahun-tahun bisa terhapus dengan kesalahan semenit. Maha Benar Allah dalam firmanNya, “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa….” (QS. 5: 8 ) Tak ada yang pernah dirugikan dari silaturahim. Kecuali, tiupan angin ego yang selalu ingin dimanjakan. Karena, ulahnya tak lagi membuat tangkai-tangkai dahan berbenturan.
lxix
Allah SWT telah melebihkan manusia atas segala makhluk yang lain. Dimana manusia diciptakan dari himpunan dua unsur yaitu tanah dan ruh Allah, diciptakan sebaik-baik kejadian dan dibekali dengan akal dan sarana-sarana penyempurna yang lain agar benar-benar siap menjadi makhluk yang paling mulia. Sebagaimana juga telah ditaklukkan dan ditundukkan makhluk-makhluk yang lain untuk memenuhi kebutuhan dan keperluannya. Semua ini dimaksudkan agar kemungkinan manusia mengemban amanah sebagai khalifah dan hamba yang beribadah dan memakmurkan bumi sesuai dengan petunjuk Tuhannya. Firman Allah SWT: “Dan telah Kami muliakan anak cucu Adam dan Kami membawa mereka didaratan dan dilautan dan Kami beri mereka rizki dari hal-hal yang baik dan Kami telah lebihkan mereka atas kebanyakan dari makhluk yang kami ciptakan”. (QS. Al-Isra:70). Untuk menjaga kemuliaan dan kedudukan universal manusia sebagai satu kesatuan, maka Islam meletakkan kaidah-kaidah yang akan menjaga hakekat kemanusiaan tersebut dalam hubungan antar individu atau antar kelompok. Asas Pertama: Saling menghormati dan memuliakan Sebagaimana Allah telah memuliakan manusia, menjadi keharusan setiap manusia untuk saling menghormati dan memuliakan, tanpa memandang jenis suku, warna kulit, bahasa dan keturunannya. Bahkan Islam mengajarkan untuk menghormati manusia walaupun telah menjadi mayat. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW berdiri khusyu’ menghormati jenazah seorang yahudi. Kemudian seseorang berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia jenazah yahudi”. Nabi SAW bersabda: “Bukankah dia juga adalah seorang berjiwa ?”. (HR. Imam Muslim). Asas Kedua: Menyebarkan kasih saying lxx
Ini merupakan eksplorasi dari risalah Islam sebagai ajaran yang utuh, karena dia datang sebagai rahmat untuk seluruh alam. Maka Nabi SAW bersabda: “Tidak akan terlepas kasih sayang kecuali dari orang-orang yang hina”. Asas Ketiga: Keadilan Seluruh ajaran dan syari’at samawi terbangun diatas tiang keadilan dan keseimbangan. Maka keadilan manjadi komponen utama dari sya’riat utama para Nabi dan Rasul. Dan dalam sya’riat terakhir; Islam, gambaran tentang keadilan lebih rinci dan kuat. Menegakkan keadilan merupakan keharusan diwaktu aman bahkan dalam keadaan perang sekalipun. Dan Islam menjadikan berlaku adil kapada musuh sebagai hal yang mendekatkan kepada ketaqwaan (QS. Al-Maidah:8). Untuk merealisasikan hal ini, Islam tidak hanya menyuruh berbuat adil, tapi juga mengharamkan kezaliman dan melarangnya sangat keras. Asas Keempat: Persamaan Asas ini adalah cabang dari tiang sebelumnya yaitu keadilan. Persamaan sangat ditekankan khususnya dihadapan hukum. Faktor yang membedakan antara satu orang dengan yang lain adalah taqwa dan amal shaleh, (iman dan ilmu). (QS. AlHujurat:13). Asas Kelima: Perlakuan yang sama Kaidah umum baik menyangkut individu maupun kelompok menghendaki adanya perlakuan yang sama atau lebih baik. Membalas suatu kebaikan dengan kebaikan yang sama atau lebih baik adalah tuntutan setiap masyarakat yang menginginkan hubungan harmonis antar anggota-anggotanya. Maka Allah SWT menentukan hal tersebut dalam salah satu firman-Nya (QS. Al-Isra:7). lxxi
Asas Keenam: Berpegang teguh pada keutamaan Asas ini sering dinyatakan dengan taqwa, ihsan dan kebaktian dibanyak tempat dalam Al-Qur’an. (misalnya dalam Surah Al-Baqarah:177 dan 194, AlMukminun:96, Fushshilat:34). Dan diantara fenomena berpegang kepada keutamaan; berlemah lembut, memaafkan, berlapang dada, bersabar, ringan tangan, menolong dan lain-lain. Dan yang paling jelas dan tampak sekali kebaikannya adalah membalas suatu kejahatan dengan yang lebih baik (QS. Fushshilat:34). Asas Ketujuh: Kebebasan (merdeka) Dalam asas inilah betapa jelas sekali Allah memuliakan manusia dan menghormati kemauannya, fikirannya dan perasaannya dan membiarkannya menentukan nasibnya sendiri apa yang berkaitan dengan petunjuk dan kesesatan dalam keyakinan, dan membebankan kepadanya akibat perbuatannya dan muhasabah dirinya. Hanya kebebasan bukanlah maknanya melepaskan diri dari segala ketentuan dan ikatan karena menuruti hawa nafsu, sehingga seseorang bisa bisa melanggar hakhak orang lain. Kalau demikian halnya yang terjadi adalah kekacauan dan kerusakan. Maka Syaikh Muhammad Abu Zahrah mengatakan: “Sesungguhnya kebebasan yang hakiki dimulai dengan membebaskan jiwa dan nafsu mengikuti syahwat dan menjadikannya tunduk kepada akal dan hati”. Apalagi sampai menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan (QS. Al-Jatsiyah:23). Asas kedelapan: Berlapang dada dan toleransi (tasamuh) Telah banyak pembicaraan tentang toleransi yang menjadikannya sedikit menyimpang dari makna yang sebenarnya. Sebetulnya makna tasamuh adalah sabar lxxii
menghadapi keyakinan-keyakinan orang lain, pendapat-pendapat mereka dan amalamal mereka walaupun bertentangan dengan keyakinan dan batil menurut pandangan, dan tidak boleh menyerang dan mencela dengan celaan yang membuat orang tersebut sakit dan tersiksa perasaannya, dan tidak boleh memakai sarana-sarana pemaksaan untuk mengeluarkan mereka atau melarang mereka dari mengemukakan pendapat atau melakukan amalan-amalan mereka. Dan asas ini terkandung dalam banyak ayat Al-Qur’an diantaranya, “Dan janganlah kalian mencela orang-orang yang berdo’a kepada selain Allah, yang menyebabkan mereka mencela Allah dengan permusuhan dengan tanpa ilmu. Demikianlah Kami menghiasi untuk setiap umat amalan mereka, lalu Dia mengabarkan kepada apa yang mereka lakukan”. (QS. Al-An’am:108) Asas Kesembilan: Saling tolong menolong Tabiat manusia adalah makhluk sosial, karena tak ada seorang pun yang mampu hidup sendiri, tanpa bergaul dengan saudaranya. Dengan bermuamalah antar manusialah akan sempurna pemanfaatan dan kegunaan. Disana banyak sekali kebutuhan seorang individu yang tak akan mampu dipenuhinya sendiri. Bahkan Islam tidak sekedar mengesahkan asas ini sebagai asas dalam hubungan antar manusia, tapi lebih jauh lagi Islam menentukan bahwa hamba selamanya bergantung kepada pertolongan Allah SWT, dia mengakui hal ini atau pun tidak mengakuinya. Dan Islam mengaitkan pertolongan ini dengan saling tolong menolong hamba antar mereka. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Dan Allah selalu menolong seseorang selama orang tersebut selalu menolong saudaranya”. (HR. Muslim).
lxxiii
Asas Kesepuluh: Menepati janji Menepati janji mencakup seluruh janji dalam hal yang baik. Dia merupakan jaminan untuk kelangsungan unsur kepercayaan dalam saling tolong menolong antar manusia. Bila hal ini hilang dari suatu masyarakat, maka bisa jadi masyarakat akan hancur dan rusak. Melanggar janji merupakan satu tanda dari kemunafikan. Nabi SAW bersabda: “Tanda orang munafik itu ada tiga; bila berbicara dia berbohong, bila berjanji dia melanggarnya dan bila diberi amanat dia mengkhianatinya”. Inilah sepuluh asas diantara asas-asas hubungan kemanusiaan yang ditawarkan oleh Islam. Walaupun pada sepuluh hal ini, tapi dengan melaksanakan sepuluh asas ini saja sudah dapat dibangun masyarkat yang kuat, berbarakah dan penuh keharmonisan, kebahagiaan dan kedamaian. Antara pemikiran falsafah yang dapat diinterpretasikan dari Hikayat Seribu Masalah adalah keteguhan dalam mengikat tali persaudaraan. Persaudaraan dalam Islam merupakan suatu masalah yang sangat dititikberatkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW karena hal ini merupakan hal yang paling mendasar dalam hubungannya dengan silaturahim sesama muslim. Umat Islam walaupun berlainan kulit, bangsa, bahasa, bentuk wajah, kedudukan, idiologi, dan sebagainya adalah bersaudara, sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al Hujarat: 10)
lxxiv
Berdasarkan konsep pandangan Islam tentang ikatan persaudaraan tersebut terlihat bahwa hal inilah sangatlah mendasar dalam ajaran Islam. Perbuatan memutuskan hubungan persaudaraan dalam Islam dianggap sebagai perbuatan dosa. Aspek moral dalam Islam sangat mementingkan konsep hubungan sesama mikrokosmos yaitu “Hablum minallah wahablum minannas, Islam bukan saja mementingkan konsep hubungan manusia dengan tuhan (Allah) melainkan juga mementingkan konsep hubungan sesama manusia. Hubungan ini bertujuan untuk menjalin hubungan silaturahim di antara sesama manusia demi kesejahteraan umat manusia itu sendiri. Hal ini akan melahirkan tali persaudaraan yang kukuh antara sesama umat manusia. Hubungan tali persaudaraan yang kokoh juga akan melahirkan suatu tindakan musyawarah dan mufakat. Hal ini juga sesuai dengan pepatah Melayu, bulat air karena pembetung, bulat kata (manusia) karena mufakat. Gambaran akan tali persaudaraan yang teguh dan kokoh ini terdapat dalam Hikayat Seribu Masalah, yang terlihat ketika Nabi Muhammad SAW menjelaskan bagaimana caranya membangun hubungan yang harmonis antara sesama manusia berdasarkan firman Allah SWT. Dalam Islam tidak mengenal akan adanya kepentingan diri sendiri, kecuali untuk urusan ibadah kepada Allah SWT, semuanya diletakkan untuk kepentingan ummat Islam, sebagai sesama muslim untuk saling membantu dalam segala hal, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut ini. “Setelah sudah dilawannya akan kata2 Muhammad, maka ditanyakannya kepada Muhammad, dalam pada itu demikian tanyanya, “Segeralah hai Muhammad memberi bantu akan hamba, karena hamba sudah adalah di tengah padang kembara akan hal agamamu!” Maka berkata Muhammad kepada Abdullah bin Salam, dengan seketika itu jua disuruhkan Abdullah bin Salama kepada tujuh ratus orang pengikutnya bertanya akan Muhammad, Maka seorang-orang lxxv
pengikutnya berkata, “hai Muhammad! Beri aku ilmu akan agamamu antara hubungan khawan dan khawan dan beri bawa kepadaku! Maka tatkala Muhammad memberi jelas akan hal hubungan manusia dan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan seluruh pengikut Abdullah bin Salam terdiam dan merenungi akan dirinya. (Hikayat Seribu Masalah:45).
3.4 Kepekaan Sosial Pengakuan seorang mukmin akan keimanannya yang tidak disertai dengan bukti amal shalih, bisa dikategorikan sebagai pengakuan tanpa makna dan tidak berdasar. Di sini Allah Taala menjelaskan kepada kita tentang senyawa keimanan dan amal shalih dalam surat Al-‘Ashr; “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benarbenar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati agar mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati agar tetap sabar.” (QS 103:1-3) Ayat-ayat qur’aniyah tentang hal ini banyak sekali, bahkan setiap “khithab ilahi” (panggilan Allah) yang ditujukan kepada mukminin selalu disertai dengan perintah untuk mengerjakan amal saleh yang berkaitan dengan ibadah dan larangan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah Taala. Iman yang menshibghah akal, hati dan jasad seorang mukmin, hingga ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan maka pilihannya itu sudah pasti jatuh pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ia senantiasa memutuskan sesuatu dengan haq dan menghindari hal-hal yang menjurus kepada kebatilan. Jadi seorang yang telah tershibghah imannya, ia akan menjadi cahaya bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Allah berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian ia
lxxvi
Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat ke luar dari padanya?…” (Al-An’am: 122) Demikianlah Allah menghidupkan manusia dengan cahaya Islam dan keilmuan. Sehingga hal itu memberikan manfaat dan kontribusi riel tidak saja bagi lingkungannya bahkan sampai pada skala ‘alamiah (internasional). Rasulullah saw menganalogikan seorang mukmin yang benar-benar memahami keislaman dan keimanannya seperti lebah. Lebah itu mempunyai sifat tidak pernah melakukan kerusakan, lihatlah ketika hinggap di dahan-dahan pepohonan atau tangkai-tangkai bunga. Lebah selalu mengkonsumsi makanan yang terbaik yaitu sari bunga. Dan menghasilkan sesuatu yang paling bermanfaat yaitu madu. Maka makhluk hidup yang berada di sekitarnya merasa aman dan nyaman. Begitulah seharusnya muslim dan mukmin, dia harus mampu menebar pesona Islam. Melukiskan tinta emas kebaikan dalam kanvas kehidupan secara individu dalam semangat kebersamaan. Semangat kebersamaan inilah yang seharusnya dimiliki setiap mukmin. Kepekaan terhadap apa saja yang sedang menimpa masyarakat harus menjadi bagian kehidupannya. Jangan puas dengan urusannya sendiri tanpa memperhatikan dan mempedulikan masyarakat sekitarnya. Interaksi Sosial Lezatnya iman apabila sudah mampu dirasakan oleh seorang mukmin dalam ruang kepribadiannya, maka akan menjelma menjadi pesona sosial yang sangat menawan. Khusyuk diri yang dimiliki seorang mukmin akan berdampak pada ‘atha ijtima’i (kontribusi sosial) dan keharmonisan sosial. Di sini, Nabi kita Muhammad lxxvii
saw mengajarkan kepada kita dengan tiga kalimat yang sarat dengan nilai-nilai perbaikan diri. Di saat beliau bersabda; “Bertaqwalah kamu di manapun kamu berada, ikuti keburukan itu dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya dan berinteraksilah pada manusia dengan akhlaq yang baik.” Dan salah satu bentuk interaksi kita pada lingkungan sekitar kita adalah adanya hasasiyah (kepekaan) yang kuat terhadap permasalahan yang terjadi di dalamnya. Perhatian dan fokus kita terhadap bi-ah (lingkungan), baik yang berkaitan dengan bi-ah da’wiyah, bi-ah ijtima’iyah, bi-ah ta’limiyah yang terjadi dalam tataran keluarga maupun masyarakat adalah cerminan kuat dari keimanan kita yang telah tershibghah dengan nilai-nilai kebenaran Islam. Bagaimana Rasulullah saw melakukan hal ini dalam keluarga dan masyarakatnya. Beliau dengan gigih telah mempengaruhi pamannya, Abu Thalib untuk memeluk Islam sehingga detik-detik akhir hidup sang paman. Ia telah menyeru bani-bani Quraisy pada waktu itu seraya berkata di atas bukit Shafa: “Wahai Bani Quraisy, selamatkanlah dirimu dari api neraka, wahai Bani Ka’ab, selamatkanlah dirimu dari api neraka….., wahai Fathimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka..” (H.R. Muslim). Begitu juga, beliau telah terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masyarakatnya sebelum nubuwah seperti berperan aktif dalam perang fijar; peperangan yang terjadi antara Quraisy bersama Kinanah dengan Ais Qailan, Hilful Fudlul; kesepakatan untuk melindungi orang-orang yang terzhalimi dan pembangunan Ka’bah. Hasasiyah ‘Ailiyah Oleh karenanya seorang mukmin apalagi kader-kader dakwah harus terlibat aktif dalam amal-amal kebaikan yang terjadi di lingkungan keluarga maupun masyarakatnya. Baik yang bersentuhan lxxviii
dengan daur da’wi (peran dakwah keluarga), daur ta’limi (peran pengajaran) dan daur tarbawi (peran pembinaan). Janganlah seseorang hanya sibuk dengan perbaikan dirinya dan mengabaikan dakwah keluarganya. Semangat berbisnis, lalu lupa mengajar dan membina anakanaknya. Puas dengan kehebatannya, asyik dengan pesona dirinya, akan tetapi terlena dengan apa yang sedang terjadi di lingkungan keluarga. Bapak asyik dengan dakwah di luar, sementara anak nyimeng dan ngeganja. Coba kita perhatikan dan merenungkan kembali firman Allah berikut ini; “Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anakanakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS 64:14-15). “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS 63:9) “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS 66:6)
Interaksi sosial kita yang berujung pada hasasiyah ijtima’iyah, mengharuskan kita untuk terlibat penuh dengan suatu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Hal ini bukan hanya dilakukan seorang mukmin atau bahkan aktivis dakwah di saat membutuhkan mereka dan ketika ada kepentingan. Akan tetapi kapan pun dan kondisi apapun seorang mukmin harus menebar pesona Islam. Ia bekerja dan
lxxix
berkarya sesuai manhaj rabbani. Seluruh waktu dan hidupnya agar bermanfaat bagi manusia lain. Ia ingin menjadi salah satu dari kategori “qaumun ‘amaliyun” dan mendambakan identitas “mukminin yang sebenarnya”. Sehubungan
dengan
hal
di atas,
dalam
Hikayat
Seribu
Masalah
penggambaran tentang kepekaan social atau rasa solidaritas ummat muslim terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya tergambar dari penjelasan Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan pertanyaan dari Abullan bin Salam tentang bagaiamana sikap seorang muslim bila melihat kerusuhan dan penghancuran moral yang ada di sekitarnya. Hal ini seperti yang tergambar dalam petikan cerita berikut ini: Hai Muhammad ceritakan padaku perihal perbuatan ummat muslim bila melihat kezaliman dihadapannya? Muhammad berkata bahawa, “bila seorang2 muslim taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ianya pasti akan mempunyai sifat sayang kepada sesama makhluk dan ikut turut sedih bila melihat kezaliman dan berusaha untuk memadamkannya.” (Hikayat Seribu Masalah, 43). Oleh karenanya, seorang mukmin harus bisa berperan aktif dalam seluruh dimensi sosial. Baik dimensi da’wi yang mengharuskan dia sebagai cahaya di tengah masyarakatnya, yang mengharuskan dia membawa obor mas’uliyah amar ma’ruf nahi munkar dan sebagai agen of changes. Dimensi ukhrawi; yang mengharuskan dirinya mengkristalkan kembali makna ta’aruf, tafahum dan takaful dalam kavas ukhuwah islamiyah. Benar-benar menjadi kontributor dalam segala hal, apalagi yang bersentuhan langsung dengan fuqara, masakin dan al-aitam (yatim piatu). Rasulullah bersabda: “Ya Abu Dzar, apabila kamu membuat sayur, perbanyak kuahnya dan perhatikan tetanggamu.” (HR Muslim) “Tidaklah beriman seorang di antara kamu, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya.” (Muttafaqun lxxx
Alaih) “Penanggung anak yatim, baik miliknya atau orang lain, aku dan orang itu di surga seperti ini (Malik mengisyaratkan dengan kedekatan jari telunjuk dan tengah).” (HR Muslim) Dan dimensi ta’limi wa tarbawi; yang mengharuskannya berperan aktif dalam melakukan pengajaran dan pembinaan masyarakatnya. Sehingga masyarakat setempat menikmati pencerahan jiwa dan pemikiran. Mereka semakin dekat dengan nilai-nilai Islam dan akhirnya semangat mengimplementasikannya dalam ruang kepribadiannya dan lingkungan keluarganya. Allah berfirman: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS 3:104) “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS 62:2 ).
lxxxi
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Setelah menganalisis cerita Hikayat Seribu Masalah ini, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hubungan antara sastra dan sosiologi sangat erat, karena sastra lahir dari masyarakat dan untuk masyarakat. Sosiologi dan sastra mempunyai objek yang sama, yakni sastra dan sosiologi berurusan dengan masyarakat. 2. Menganalisis karya sastra dengan menggunakan pendekatan di luar karya sastra (dari sudut ekstrinsik), maka tidak terlepas dari unsur intrinsiknya. Setidaknya membahas unsur-unsur yang dianggap dominan sebagai tolak dasar tinjauan. 3. Tema cerita Hikayat Seribu Masalah ini adalah tentang syariat ajaran agama Islam. 4. Alur yang digunakan dalam cerita Hikayat Seribu Masalah adalah alur maju yaitu pemaparan cerita dari awal sampai akhir disajikan secara berurutan tanpa menggunakan sorot balik.
lxxxii
5. Latar yang dipergunakan dalam cerita Hikayat Seribu Masalah ini adalah latar tempat, sedangkan latar waktu dan latar social tidak dijumpai dalam Hikayat Seribu Masalah. 6. Perwatakan dalam cerita ini terdiri dari tokoh utama adalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan tokoh tambahan dalam cerita ini adalah Abdullah bin Salam beserta tujuh ratus orang pengikutnya. 7. Nilai-nilai sosiologis dalam cerita ini adalah iman kepada hari akhirat, tawakkal, silaturahim, dan kepekaan social.
4.2. Saran Berdasarkan gambaran pada bab-bab terdahulu, maka pada bagian ini penulis ingin menyarankan hal-hal sebagai berikut. 1. Nilai-nilai sosiologis ini perlu dipedomani dalm kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 2. Pengkajian terhadap kesusastraan Melayu terus ditingkatkan sebagai suatu catatan budaya dan asset kekayaan nasional. 3. Penulis menyarankan agar masyarakat mau membaca karya sastra dan melestarikan keberadaannya, khususnya karya sastra Melayu.
lxxxiii
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia. 2005. Al Quran dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Aksara Global Dunia. Ali, Munir 1989. Kajian Kesusastraan Melayu Klasik. Flo Enterprise Sdn, Bhd. Damono, Sapardi djoko 1999. Sosiologi Sastra. Jakarta Pusat : Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Djamaris, Edward 2000. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta : Balai Pustaka. Dunn, Robert 2003. Pasca Modernisme : Populisme, Budaya Masyarakat dan Garda Depan. Dalam Prisma, No. 1, Th XXII, halm 38-36. Fang, Yock Liaw 1991. Sejarah Kesusastraan Klasik 1. Jakarta : Erlangga. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2. Jakarta : Erlangga. Hampari, Hamzah 1988. Pemikiran Sastra Nusantara. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto 1996. Pembantu Dunia Sastra. Yogyakarta : Kanisius.
lxxxiv
H. T. Faruq 1995. Pengantar Sosiologi Sastra : Dari Strukturalisme Genetik Sampai Post – Modernisme. Pustaka Pelajar. Husni, T. Lah 1978. Sejarah Lintasan Budaya Pesisir Melayu Sumatera Timur – Medan. BP Husny. Iskandar, Teuku 1996. Kesusastraan Melayu Klasik Sepanjang Abad. Jakarta : Libra. Ismail, Abdul Aziz. Hakikat Persaudaraan Islam. Kuala Lumpur: Al-Hidayah Publisher. Kayam, Umar 1991. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta : Pustaka Jaya. Lubis, Mochtar 1998. Tehnik Mengarang. Jakarta : Nunang Jaya. Luxemburg, Jan Van Mieke Bal, dan Willem G. Weststein 2002. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : Gramedia (terjemahan Dick Hartoko). Mangunwijaya, Y. B 1992. Sastra dan Religiusitas. Jakarta : Sinar Harapan. M. T. Hasby Ash Siddieqy 1952. Al Islam 1. Jakarta : Bulan-Bintang. Nurgiyantoro, Burhan 2001. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Poerwadarminta, W. J. S 1997. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Pardopo, Rahmat Djoko 1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Parkamin, Amron dan N. Bari 1987. Pengantar Sastra Indonesia, Kesusastraan Klasik. Bandung : CV. Sulita Bandung. Sayuti, Suminto. A. 1998. Dasar-Dasar Analisis Fiksi. Yogyakarta : LP3S.
lxxxv
Sabing, Sayid 2003. Aqidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman Terjemahan Moh. Abdai Rathaomy. Bandung : CV Diponegoro. Sudjaman, Panuti 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya. Sumardjo, Jkub dan Saini K. M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Gramedia Jakarta. Taib, Osman Mohd 1988. Bunga Rampai Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta : Gramedia. 1989. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Gramedia. Wellek, Rene dan Austin Warren 1998. Teori Kesusastraan (terjemahan dalam Bahasa Indonesia Oleh Melani Rudiyanto). Jakarta : Gramedia. Zamar, Okke K. S. 2001. Semiotik dan Penerapannya Dalam Studi Sastra. Yogyakarta : Bahan Penataan Sastra, Balai Pelatihan Bahasa.
lxxxvi