NILAI ESTETIS DAN MAKNA SIMBOLIS LAMPION ARAK-ARAKAN TAKBIR MURSAL Oleh: Nur Rokhmat * Abstrak Masyarakat desa Karangawen Demak memiliki tradisi kesenian yang telah dilakukan bertahun-tahun pada setiap akhir bulan Ramadhan yaitu di malam menjelang Idul Fitri. Kegiatan kesenian tersebut berupa arakarakan takbiran dengan membawa lampion dalam bentuk patung, yang dinamakan Takbir Mursal. Sambil mengusung patung lampion mereka mengumandangka takbir dan tahmid. Kegiatan budaya Takbir Mursal itu mengandung gejala yang menarik untuk dikaji segi estetis dan makna simbolisnya. Sesuai dengan fokus kajian, penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian di Kecamatan Karangawen Demak tempat pusat kegiatan arak-arakan lampion Takbir Mursal. Teknik pengumpulan menggunakan observasi, wawancara, dan dokomentasi. Analisis data menggunakan form and content analysis, yakni suatu pendekatan analisis yang memfokuskan penelahaan kritis terhadap bentuk dan isi dari gejala yang tampak berdasarkan kerangka teoretik yang digunakan. Langkah-langkah analisis ditempuh melalui proses reduksi, penyajian, dan verifikasi. Tema dan bentuk patung lampion yang ditampilkan sangat beragam, dan mengekspresikan sesuatu yang bersifat kreatif, apresiatif, estetis, simbolis, sosial, pendidikan, religius, politik dan kritik. Keanekaragaman tema dan bentuk lampion diklasifikasikan berdasarkan keterkaitannya dengan teknologi, yakni bentuk bangunan dan alat transportasi modern. Yang terkait dengan binatang yakni burung, binatang darat, binatang melata seperti kadal, serangga, dan binatang yang hidup di air, serta penggambaran binatang mitologis, mencakupi kuda sembrani atau kuda bersayap, naga, kadal bersayap, dan Nyi Blorong. Kemudian yang menggambarkan makhluk khayal atau monster sebagai representasi dari syetan, jin, gandarwa, dan raksasa. Secara struktural, bentuk lampion pada umumnya mengandung unsurunsur rupa yang terpadu, sebagai kesatuan yang harmonis, seimbang, sebanding, dan berirama sehingga bernilai estetis. Makna simbolis yang terkandung di dalamnya umumnya menyampaikan pesan nilai-nilai keagamaan, dan kritik sosial kemasyarakatan. Demi kelestarian kesenian, arak-arakan lampion Takbir Mursal perlu mendapat dukungan dari Pemda terkait. Kata Kunci: Arak-arakan, lampion, Takbir Mursal, estetis, simbolis
Pendahuluan Kesenian dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari agama, karena sejak dahulu keduanya terkait erat. Dalam kegiatan agama apa pun, selalu diwarnai dengan bentuk-bentuk kesenian baik itu seni tari, seni musik, seni sastra, seni drama, maupun seni rupa. Sebagai contoh dalam arsitektur masjid banyak ditampilkan ornamen untuk penghias atau penciptaan bentukbentuk indah lainnya. Tampaknya selain sebagai sarana peribadatan bagi orang Islam, dengan adanya bentuk-bentuk atau ornamen yang indah pada masjid akan memberikan kepuasan batin
*
Penulis adalah seoang dosen Seni Rupa FBS Unnes, Magister Pendidikan Seni
tersendiri bagi kehidupan manusia. Hal itu membuktikan bahwa agama dan seni terkait erat dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik secara duniawi maupun rohani. Karangawen merupakan sebuah kecamatan yang berada di daerah Kabupaten Demak. Wilayahnya terdiri persawahan dan pemukiman penduduk, dan memiliki komunitas manusia yang agamis. Mayoritas warga masyarakatnya beragama Islam, yang dengan khusuk melaksanakan syariat dan akidah agamanya. Hal ini bisa dilihat dengan berdirinya tempat-tempat peribadatan seperti masjid, dan musholla di setiap dukuh atau bahkan di setiap Rukun Tetangga (RT). Di masjid atau musholla terdapat organisasi remaja, antara lain Irnufa, Irbain, Alhuda, Irnumah, Irbas, dan Irkhamnah. Pada setiap masjid atau musholla terdapat seorang Kyai yang berperan sebagai pendidik, penasihat, dan panutan warga setempat. Warga masyarakat Karangawen tampak semakin sibuk, terutama pada pertengahan bulan Ramadhan untuk menyiapkan malam takbiran saat menjelang Idul Fitri. Kegiatan yang dilakukan untuk persiapan takbiran antara lain adalah pembuatan lampion berbentuk patung dalam ukuran yang cukup monumental. Patung lampion tersebut pada malam takbiran diarak keliling kota kecamatan Karangawen. Kegiatan arak-arakan lampion pada malam takbiran itu oleh masyarakat sekitar disebut Takbir Mursal, untuk menyambut datangnya Idul Fitri, dan seraya mengumandangkan takbir dan tahmid, masing-masing kelompok/ regu membawa lampion dengan dengan diiringi musik qasidahan dan kadang-kadang ada yang dipadu dengan musik kreasi sendiri (kotekan) dengan menabuh benda-benda seadanya yang dibawa. Arak-arakan itu dilakukan dengan sukarela, penuh kegembiraan. Selain mengekspresikan sesuatu yang kreatif dan apresiatif, tampaknya patung-patung lampion yang diciptakan itu bernilai estetis, simbolis, sosial, pendidikan, religius, bahkan mungkin politik dan kritik. Berkenaan dengan itu kiranya perlu dipertanyakan mengenai kegiatan arak-arakan lampion Takbir Mursal itu berikut bentuk-bentuk kreasi lampion sebagai karya seni yang dilakukan oleh masyarakat Karangawen Demak Karya seni lampion yang ditampilkan memiliki gejala menarik untuk dikaji, dipahami, dan dianalisis, terutama mengenai perwujudan visual dan makna simbolisnya. Mengingat selama ini belum ada penelitian terhadapnya, maka perlu dilakukan suatu kajian secara mendalam dan kontekstual dengan latar yang dikaji.
Tinjauan Pustaka
Seni Visual: Konsep dan Fungsinya Kegiatan seni atau berkesenian merupakan kegiatan manusia, yang secara sadar dilakukan untuk mengungkapkan perasaan/ batin ke dalam bentuk-bentuk nyata atau lambang, yang disajikan kepada orang lain sehingga orang lain terpengaruh oleh perasaan-perasaan itu yang terkandung dalam karya seni. Menurut Leo Tolstoy (dalam The Liang Gie 1976) seni adalah suatu kegiatan manusia di mana seseorang secara sadar dengan perantaraan tanda-tanda lahiriah tertentu menyampaikan perasaan-perasaan yang telah dihayati kepada orang lain sehingga mereka kejangkitan perasaan-perasaan itu dan juga mengalaminya. Berkenaan dengan persoalan apakah seni itu, The Liang Gie (1976:60) menjelaskan bahwa definisi tentang seni telah dijawab oleh para filsuf dan ahli estetis dalam jawaban yang berbedabeda. Namun dari berbagai jawaban tersebut, menurutnya ada 5 jawaban mengenai pengertian seni, yakni seni sebagai kemahiran, kegiatan manusia, karya seni, seni indah, dan seni penglihatan (visual). Pengertian seni sebagai kemahiran seseorang berangkat dari kata “ars” dan kemudian oleh bangsa Yunani diterjemahkan menjadi “techne” yang sekarang menjadi teknik. Dengan kemahiran seseorang memiliki kemampuan dalam membuat barang-barang baru. Sebagai kegiatan manusia, seni adalah kegiatan dalam menciptakan sesuatu karya. Dalam hal ini manusia mengekspresikan perasaannya melalui media tertentu menjadi bentuk-bentuk nyata yang berguna dan indah, dapat diindera oleh orang lain. Bentuk yang dihasilkan dari kegiatan manusia itu disebut karya seni. Bentuk dalam karya seni visual adalah struktur unsur visual yang saling berhubungan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam hal bentuk ini dapat dikatakan sesuatu yang menyangkut nilai. Bentuk seni yang hidup, yang dinamis, yang organis, yang berstruktur logis, yang penuh vitalitas gerak dalam dirinya, merupakan karya seni yang lebih berhasil daripada bentuk yang mati dalam kebekuan strukturnya. Karya seni yang berhasil selalu menantang penerimanya untuk berkreasi menciptakan “bentuk”-nya sendiri sehingga ditemukan makna baru. Isi seni bersifat abstrak dan hanya dapat dicapai lewat bentuk seni yang dapat diindera. Seni adalah bentuk yang hidup, atau menurut Bell, “bentuk bermakna” (lihat Jakob Sumardjo 1999: 69). Sebagai kegiatan yang dilakukan oleh manusia, seni memiliki fungsi bagi pribadi dan kehidupan bermasyarakat manusia itu sendiri. Di samping sebagai media ekspresi perasaan pencipta, karya seni mengandung nilai-nilai yang sangat bermanfaat bagi manusia. Nilai yang
terkandung dalam karya seni antara lain nilai keindahan, moral, sosial, dan politik. Nilai seni dapat bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Nilai instrinsik bersifat universal dan harus didekati dari bahan seni (bahasa, bahan warna, bahan arsitektur, bunyi, gerak, perbuatan) yang berbeda satu sama lain dan merupakan ciri khas setiap jenis kesenian. Nilai ekstrinsik merupakan hasil keterlibatan dan kepedulian seniman terhadap lingkungan hidupnya. Menurut Sumardjo (1999:152) nilai ekstrinsik bersifat kontekstual. Nilai Estetis Karya Seni Bentuk karya seni dipandang sebagai perpaduan unsur-unsur rupa, antara lain dengan pertimbangan keselarasan, keseimbangan, dan kesatuan yang di dalamnya terkandung suatu nilai estetis. Dengan demikian setiap berbicara mengenai karya seni tidak dapat terlepas dari persoalan nilai estetis atau nilai keindahan. Untuk memahami seberapa jauh nilai estetis dalam karya seni agaknya bukan merupakan persoalan mudah. Adanya unsur subjektivitas yang muncul pada diri seseorang pada saat menilai karya seni, mungkin menunjukkan pemahaman seseorang terhadap estetika yang masih kurang. Istilah estetika berasal dari kata Yunani “aesthetica” yang berarti hal-hal yang dapat dicerap dengan pancaindera (The Liang Gie 1976:15). Kata aesthesis berarti pencerapan indera (sense of perception). K. Kuypers (dalam Sahman 1993:12) menyatakan bahwa pada sekitar tahun 1750, istilah estetika digunakan oleh Alexander Baumgarten dalam arti cabang filsafat sistematis yang menempatkan keindahan dan seni sebagai objek telaahnya. Dalam perkembangannya, kata estetik diartikan sebagai cabang filsafat dengan maksud membicarakan keindahan. Louis Kattsoff (dalam The Liang Gie, 1976:17) menjelaskan konsep estetika sebagai cabang filsafat yang bertalian dengan batasan, rakitan, dan peranan keindahan, khususnya dalam seni. Berikut ini dipaparkan beberapa pendapat yang barangkali dapat memberikan kejelasan mengenai pemahaman keindahan. Herbert Read dalam Pengertian Seni (terj. Sudarso 1971:2) menyampaikan definisi, bahwa keindahan adalah kesatuan dari hubungan-hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan-pencerapan inderawi kita (Beauty is a unity of formal relations our sense perceptions). Sejalan dengan definisi tersebut, keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualita pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kualita yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), dan perlawanan (contrast) (The Liang Gie 1976:35).
Sebagai produk keindahan, karya seni dapat ditelaah melalui perenungan nilai-nilai yang melekat pada karya seni. Tampaknya dalam hal ini muncul suatu problema antara subjek pengamat dengan nilai yang ada dalam karya seni atau nilai yang melekat pada alam pikiran orang yang mengamati karya seni tersebut. Hal ini dikarenakan pembahasan karya seni tidak akan terjadi tanpa melibatkan pengamat sebagai subjek dan karya seni sebagai objek. Dengan demikian kehadiran nilai estetis terletak dalam suatu hubungan di antara sesuatu benda dengan alam pikiran seseorang yang mengamati. Nilai estetis yang terkandung dalam karya seni bersifat instrinsik dan ekstrinsik. Nilai estetis intrinsik adalah nilai bentuk karya seni yang terorganisasi atas unsur-unsur visual dengan menggunakan pertimbangan prinsip desain. Ia lebih mengutamakan pada bagaimana penyusunan struktur bentuk. Inlay extrinsic labia menekankan pada makna karya seni, yang selalu melekat pada struktur bentuk karya seni1 . Dari penjelasan tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa nilai estetis suatu karya seni terbentuk melalui organisasi unsur visual dengan petimbangan prinsip desain. Nilai estetis yang melekat pada karya seni, sangat memungkinkan akan diinterpretasi berbeda oleh pengamat yang berbeda. Nilai Simbolis Karya Seni Dorongan untuk mengungkapkan dan mendapatkan nilai-nilai keindahan selalu terdapat pada diri setiap manusia. Terbukti dari berbagai peninggalan “karya seni” masa lampau menunjukkan bahwa manusia tidak pernah lepas dari sentuhan nilai-nilai keindahan/ estetis. Bahkan tidak hanya nilai estetis saja yang diharapkan untuk mengisi kehidupannya, melainkan juga ingin mengungkapkan perasaan yang mengandung makna melalui bentuk karya seni. Artinya bentuk-bentuk yang diciptakan memiliki nilai-nilai simbolis. Oleh karena itu yang dilakukan seniman selalu berkaitan dengan tanda dan symbol. Dalam berbagai bentuk dan pernyataannya, manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dalam ungkapan simbolis. Dengan demikian dapat dikatakan simbolisme itu merupakan ciri khas bagi manusia yang dengan terang membedakan dari hewan2. Masing-masing perangkat simbol adalah simbol-simbol konstitutif yang berbentuk sebagai kepercayaan dan biasanya merupakan inti dari agama, simbol kognitif yang membentuk ilmu pengetahuan, simbol penilaian moral yang membentuk nilai-nilai dan aturan-aturan, serta simbolsimbol pengungkapan perasaan atau simbol-simbol ekspresif (Bachtiar 1982).
Berkarya seni merupakan kebutuhan diri untuk mengungkapkan segala aspek yang dirasakan menjadi bentuk-bentuk lahiriah. Bentuk-bentuk yang mengandung makna merupakan pengungkapan atau ekspresi manusia yang divisualisasikan secara nyata. Dengan demikian bentuk-bentuk hasil ekspresi manusia tidak sekadar bentuk murni melainkan bentuk-bentuk yang memiliki makna. Karya seni adalah bentuk inderawi yang diciptakan manusia, yang dengan sendirinya meragakan perasaan terhadap suatu nilai (Edgar de Bruyne dalam Sahman 1993:29). Sejalan dengan konsep ini, Rohidi (1983: 44) mengkonsepsikan seni sebagai suatu simbol yang termasuk dalam perangkat simbol pengungkapan perasaan atau simbol ekspresif. Terkait dengan konsepsi tersebut, dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya teori ekspresi memandang karya seni sebagai hasil kreatif pengungkapan perasaan yang memiliki makna simbolis. Apa pun perbentukannya dalam seni semuanya hadir secara simbolis. Karya seni yang realistis pun kehadirannya tetap memiliki nilai simbolis, sebab karya seni tersebut sebenarnya telah mengalami proses kreatif pengungkapan perasaan dari senimannya. Namun demikian dapat dipahami bahwa karya seni yang dangkal yang menghasilkan ketepatan bentuk alam sematamata, sebenarnya nilai simbolisnya masih sangat rendah karena sekadar mencari ketepatan bentuk semata. Karya seni yang benar-benar sebagai simbol apabila mampu secara arbitrer memberi makna terhadap segala nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian bentukbentuk yang dihadirkan tidak sekadar meniru melainkan sudah ada perubahan bentuk walaupun sangat tipis bedanya. Sebagai salah satu hasil budaya manusia, karya seni merupakan aktivitas mental untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk tertentu, sebagai suatu tanda dari apa yang ingin ditandai untuk menjadi alat komunikasi antara pencipta karya (seniman) dengan masyarakat pengamat (apresian) dengan makna-makna tertentu (Rohidi dan Syakir 1993:20). Karya seni yang diciptakan manusia bukan tanpa tujuan, artinya setiap yang dikerjakan diberi bentuk baru dan mengandung makna. Oleh karena itu setiap karya seni menandakan nilai simbolis tertentu, yang menunjukkan maksud serta gagasan penciptanya. Simbol pada karya seni adalah simbol perasaan, atau lebih tepat sebagai formasi pengalaman emosional. Dengan demikian makna yang disampaikan oleh seni bukan untuk dimengerti melainkan untuk diresapi (Rohidi dan Syakir 1993:23). Dalam mengamati karya seni dapat memunculkan penafsiran atau interpretasi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena setiap orang memiliki pengalaman dan kemampuan
yang berbeda-beda dalam memberikan interpretasi atau penafsiran. Perbedaan tersebut terletak pada pengalaman estetis (aesthetic experience) seseorang dalam menanggapi suatu karya seni yang estetis. Paparan di atas menunjukkan bahwa karya seni kehadirannya tetap memiliki nilai simbolis. Makna simbolis karya seni memiliki makna ganda, artinya setiap karya seni yang dihadapkan pada apresian akan memunculkan interpretasi atau penafsiran yang berbeda-beda. Lampion sebagai Karya Seni Visual Hasil budaya Cina yang menonjol dan populer di masyarakat (bangsa Indonesia ) antara lain adalah karya seni lampion. Karya lampion banyak menghiasi ruangan dan sekitar Klenteng, ruangan dan teras rumah tinggal orang-orang Cina. Bangsa Indonesia telah lama mengenal lampion sebagai benda penerangan “lampu”, yang sekaligus sebagai benda hias. Seni lampion merupakan hasil budaya bangsa Cina atau rakyat Tiongkok yang telah ribuan tahun silam diciptakannya. Berdasarkan data sejarah pada abad ke-2 sebelum Masehi, Kaisar Dinasti Han menetapkan, pada tanggal 15 bulan pertama penanggalan Imlek, setiap keluarga dan setiap jalan baik yang besar maupun yang kecil harus memasang lampion berwarna-warni. Kaisar dan permaisuri serta selirnya dengan didampingi oleh pejabat-pejabat akan keluar dari istana untuk bertamasya bersama dengan rakyat, untuk merayakan hari Cap Go Meh, yang kemudian juga disebut sebagai Hari Raya Lampion. Setiap hari Cap Go Meh secara resmi ditetapkan sebagai hari raya penting nasional,
suasana
pada
Hari
Raya
Lampion
menjadi
lebih
semarak
(http://indonesian.cri.cn/1/2005/03/31/1@26778.htm). Berawal dari hari Cap Go Meh atau juga disebut Hari Raya Lampion tersebut, tampaknya mulailah keberadaan lampion melekat pada kehidupan bangsa Cina yang sekaligus menjadi hasil budaya bangsa Cina. Setiap tahun diadakan perayaan Cap Go Meh atau Hari Raya Lampion yang ditandai hadirnya lampion yang beraneka macam bentuk dan warnanya. Pada hari Cap Go Meh di jalan-jalan utama dan pusat kebudayaan digelar pekan lampion besar-besaran. Di istana, kuil, kediaman pejabat tinggi dan di kota orang membuat dan memasang banyak lampion tanpa menghiraukan ongkos sehingga pada hari itu seluruh kota menjadi terang berderang bermandi sinar lampion. Penduduk baik laki-laki maupun perempuan, baik yang berusia lanjut maupun yang masih remaja akan berjubel mendatangi jalan untuk melihat pameran lampion, menebak teka-teki dan bermain tari lampion naga. Di Tiongkok ada sajak yang khusus melukiskan suasana ramai hari
Cap Go Meh, yang berbunga setiap tahun bunga mekar hampir sama, tetapi lampion berbeda dari tahun
ketahun.
Dan
dari
situlah
lahir
pula
seni
lampion
berwarna-warni
(http://indonesian.cri.cn/1/2005/03/31/1@26778.htm). Lampion diciptakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu bentuk yang dapat bergerak maupun bentuk yang statis. Kehadiran bentuk lampion yang beranekaragam itu tetap memperhatikan nilai keindahan. Keindahan lampion didukung oleh bagaimana cara penataan unsur visualnya dan pemberian ornamen pada lampion, serta sinar yang memancar dari lampion itu juga memberi kesan keindahan tersendiri. Bentuk-bentuk lampion yang diciptakan bangsa Cina cukup beragam dari segi tema, bentuk, ornamen, warna dan ukuran. Teknik pembuatannya pada umumnya menggunakan kerangka dari bambu atau dari logam, yang kemudian dibungkus dengan kain sutera atau kertas. Untuk memperindah lampion, kain atau kertas pembungkus tersebut digambari atau diberi hiasan. Lampion diberi lampu yang memancarkan sinar terang. Warna lampion yang disenangi dan menjadi lambang kebudayaan bangsa Cina adalah lampion berwarna merah.
Metode Penelitian Pendekatan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang dikaji, secara metodologis, penelitian ini memilih pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena sesuai dengan cirri-ciri penelitian kualitatif (lihat Miles dan Huberman 1992; Sutopo 1990). Sasaran penelitian ini ialah Arak-arakan Lampion Takbir Mursal di Karangawen Demak. Satuan-satuan masalah yang dikaji adalah struktur estetis, dan makna simbolis. Fenomena simbolsimbol visual berikut dengan isi, pesan atau tema yang implisit dalam simbol tersebut, menjadi kajian utama. Fokus kajian tertuju pada upaya untuk mengidentifikasi, memahami, dan menjelaskan secara kualitatif terhadap masalah-masalah tersebut di atas. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sementara teknik analisis data menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan teknik ini peneliti mendapat peluang yang lebih besar untuk mengembangkan dirinya,
terutama ketika sedang melakukan penelitian di lapangan. Data yang berhasil dikumpulkan, dianalisis secara induktif dengan menggunakan form and content analysis, yakni suatu analisis yang memfokuskan perhatian pada penelaahan kritis terhadap bentuk dan isi dari gejala yang tampak berdasarkan kerangka teoretik yang digunakan. Langkah-langkah analisis ditempuh melalui proses reduksi, penyajian, dan verifikasi data (Miles dan Huberman 1992; Sutopo 1990).
Hasil dan Pembahasan
Keanekaragaman bentuk tema dan bentuk lampion Takbir Mursal itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Tema yang terkait dengan aspek teknologi ialah (1) bentuk bangunan dan (2) bentuk alat tranportasi modern. Sementara bentuk yang terkait dengan alam binatang yakni (1) burung, (2) binatang yang hidup di darat, (3) binatang melata, (4) serangga, dan (5) binatang yang hidup di air. Di samping binatang-binatang yang terdapat di alam, terdapat pula lampion yang menggambarkan binatang mitologis, di antaranya ialah (1) kuda sembrani, atau kuda bersayap, (2) naga, dan (3) kadal bersayap. Terkait dengan makhluk mitologis ini, pernah pula diarak bentuk lampion yang menggambarkan manusia bertubuh ular, semacam Nyi Blorong.
Gambar 1. Nyi Blorong
Gambar 2. Jin atau monster
Tema makhluk khayal lain dalam penelitian ini yang dibedakan dengan kelompok binatang mitologis ialah bentuk lampion yang menggambarkan makhluk gaib atau monster. Termasuk ke dalam kelompok ini ialah representasi dari setan, jin, gandarwa, dan raksasa.
Adapun teks-teks tertulis yang menyertai arak-arakan lampion Takbir Mursal selain yang berupa ucapan selamat hari raya Idulfitri, antara lain ialah: “Islam Cinta Damai”, “Mari, Bersihkan Diri dari Korupsi”, “Dari Laku Maksiat Jangan Ditiru”, “Mak Lampir”, dan lain-lain. Sebagian pengiring arak-arakan memakai seragam khusus membawa bendera warna-warni, spanduk, dan ada pula yang memakai kostum tertentu. Hasil karya setiap kelompok memiliki keberagaman nilai estetis apabila dilihat dari segi perbentukan, pewarnaan, penggayaan/ pendistorsian bentuk, dan kinetik. Sebagai contoh, bentuk seekor makhluk imajinatif yang dibuat dengan bagian badan seperti dinosaurus tetapi berkepala naga, dan bagian kepalanya itu dapat digerakkan mengangguk-angguk. Ukuran “dinosaurus” tersebut cukup besar yaitu kurang lebih panjang 7 m, lebar 2 m, dan tingginya 4 m. Pada matanya diberi lampu merah yang bisa berkedip-kedip, mulutnya terbuka lebar dan seakan-akan kedua cakarnya akan menerkam yang berada di hadapannya. Badannya diwarna hijau tua, hitam dan kuning kecoklatan, dan pada bagian kepala diwarna merah, sehingga menampilkan perwujudan yang seram dan menakutkan.
Gambar 3. Dinosaurus bersayap dan berkepala Naga
Lampion-lampion dalam arak-arakan Takbir Mursal dapat dipandang sebagai bentuk ekspresi estetis yakni ungkapan akan perasaan keindahan. Karena itu sebagai ekspresi estetis, lampion-lampion yang tidak lagi sekadar lentera itu pada dasarnya merupakan karya seni, yang lahir dari kehidupan perasaan keindahan dan kebutuhan untuk menyalurkannya dalam bentuk nyata, melalui medium rupa atau bentuk visual. Nilai estetis sebuah karya seni rupa secara obyektif akan tampak pada pemilihan unsur-unsur rupa dan bagaimana unsur-unsur tersebut tersusun untuk menciptakan kualitas-kualitas estetis, serta kualitas bahan, alat, dan teknik penggarapannya, selaras dengan gagasan dan bentuk karya dimaksud. Secara singkat sebuah
karya bernilai estetis memiliki struktur bentuk dan teknik tertentu dan oleh karenanya dapat membangkitkan perasaan keindahan pada yang menghayatinya. Bertalian dengan lampion arak-arakan Takbir Mursal sebagai karya seni rupa, unsur-unsur rupa penting mencakupi bentuk (shape), garis, warna, tekstur, dan ruang. Secara struktural, unsurunsur rupa dimaksud terpadu sebagai kesatuan yang harmonis, seimbang dan sebanding, serta berirama sehingga bernilai estetis. Unsur bentuk (shape) terkait dengan sosok bentukan yang menggambarkan objek-objek tertentu, semisal kuda, ikan, kadal, kupu-kupu, dan lain-lain, bahkan juga bentuk-bentuk lain yang bersifat geometris atau nongeometris. Unsur garis, warna dan tekstur dalam perbentukan karya lampion sangat menentukan, terutama garis dan warna sangat dominan dalam perbentukan. Bentuk akan lebih tampak estetis sangat bergantung pada perpaduan garis dan warnanya. Unsur tekstur sangat membantu pula pada kehadiran nilai estetis sebuah karya seni. Kehadiran tekstur tampak pada karya lampion yang berbentuk monster. Karya seni lampion yang diciptakan oleh masyarakat Karangawen secara keseluruhan menunjukkan ada upaya menampilkan nilai-nilai keindahan/ estetis. Makna simbolik yang terkandung dalam karya seni lampion Takbir Mursal amat terkait dengan nilai-nilai keagamaan dan kritik sosial. Karya-karya lampion yang memiliki makna simbolis keagamaan seperti misalnya lampion dalam bentuk masjid, lampion bentuk kupu-kupu, dan yang berbentuk iblis. Bentuk-bentuk lampion tersebut mengandung pesan untuk mengingatkan kepada masyarakat luas bahwa Allah itu Maha segala-galanya. Oleh karena itu melalui pesan yang disampaikan diharapkan kepada semua lapisan masyarakat agar dapat meningkatkan ibadah, amalan, dan keimanannya, serta selalu waspada terhadap godaan-godaan syetan. Dengan kewaspadaan masyarakat ini diharapkan mereka dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, mana yang hak dan yang batil. Semuanya itu sesuai dengan syariah dan aqidah agama yang menjadi keyakinannya. Kritik sosial yang diangkat cukup banyak, antara lain mengenai kemanusiaan, perjudian, moral, miras, korupsi, politik, dan hukum. Pesan sosial yang disampaikan kepada masyarakat diharapkan dapat mengingatkan dan memberi pencerahan dalam kehidupan. Pada prinsipnya pesan kritik yang disampaikan mengajak kita untuk berbuat yang baik-baik saja, sehingga dalam mengarungi kehidupan selalu melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
Simpulan dan Saran Masyarakat Karangawen memiliki tradisi arak-arakan lampion Takbir Mursal yang dilakukan setahun sekali pada akhir puasa bulan Ramadhan untuk menyongsong kehadiran Idul Fitri. Masing-masing kelompok peserta dari RT atau mushola/masjid juga membentuk kepanitiaan kecil yang semua kegiatannya dikoordinasikan oleh remaja. Pelaksanaan arak-arakan dimulai pukul 21.00 dan selesai pukul 23.00. Kegiatan arak-arakan Takbir Mursal ini oleh masyarakat Karangawen dilaksanakan dengan suka cita, dengan diwarnai berbagai bentuk lampion berukuran cukup monumental. Teknik pembuatan lampion yang dilakukan oleh masyarakat Karangawen pada umumnya ada dua cara yaitu (1) membuat kerangkanya secara utuh, kemudian dilapisi kertas hingga bagian rinci dan finishing-nya, (2) membuat kerangka dari bagian perbagian lalu dilapisi kertas dan kemudian dirangkai dalam satu bentuk, diteruskan penyelesaian baian-bagian secara rinci. Lampion-lampion yang dibuat untuk arak-arakan Takbir Mursal beraneka ragam bentuknya, yakni berbentuk bangunan, alat transportasi modern, binatang, monster, tokoh Hanuman, dan binatang mitologis. Semua bentuk lampion yang diikutsertakan dalam arak-arakan takbir mursal dilengkapi dengan lampu penerangan. Makna simbolik yang terkandung dalam karya seni lampion Takbir Mursal amat terkait dengan nilai-nilai keagamaan dan kritik sosial. Selain memiliki nilai estetik dan nilai simbolik, dinikmati, dihayati, diapresiasi, dan dikaji dari segi bentuk estetikanya, karya seni lampion juga dapat dikaji dan dimengerti kandungan maknanya sesuai dengan konteks sosial dan budaya masyarakat, serta fenomena yang muncul dan atau sedang terjadi dalam lingkungan kehidupan masyarakat bersangkutan. Saran yang dapat disampaikan ialah (1) perlu ditingkatkan kualitasnya dan dijaga kelestariannya, (2) perlu ada dukungan dari pimpinan daerah setempat dan tokoh masyarakat, (3) perlu ada kerjasama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan dan Kota Semarang.
Daftar Pustaka
Bachtiar, H.W. 1982. Birokrasi dan Kebudayaan. Analisis Kebudayaan. Depdikbud Jakarta. http://indonesian.cri.cn/1/2005/03/31/1@26778.htm Langer, S.K. 1957. Problems of Art. Terjemahan Fx.Widaryanto. New York. Basic Books. Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan T.R.Rohidi. Jakarta: UI-Press. Read, H. 1971. Pengertian Seni, terjemahan Soedarso, M.a. ASRI Yogyakarta. Arsitektur UGM dan IKIP Yogyakarta. Rohidi, T.R. 1992. “Analisis Kualitatif: Deskripsi Singkat dalam Konteks Penelitian Kualitatif.” Dalam Lembaran Penelitian IKIP Semarang. Tahun VIII 89-99. Rohidi dan Syakir, 1993. “Semiotik (Sebuah Kasus Penafsiran Makna Dalam Seni Rupa)”. Dalam Media FPBS IKIP Semarang. Sahman, H. 1993. Estetika Telaah Sistemik dan Historik. Semarang: IKIP Semarang Press. Sahman, H., 1993. Mengenali Dunia Seni Rupa.Semarang: IKIP Semarang Press. Sumardjo, J. 2000. Filsafat Seni. Bandung. ITB Bandung. Sutopo, H.B. “Metode Penelitian Kualitatif”. Makalah disajikan di Depan Dosen Teknologi dan Kejuruan FKIP UNS Surakarta. The Liang Gie, 1976. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Karya Yogyakarta. 1
Jakob Sumardjo (2000) menyatakan bahwa sebuah lukisan, sajak, tarian, teater, segi keindahannya bukan hanya intrinsik melainkan juga ekstrinsik. Justru segi ekstrinsik itulah yang menentukan nilai intrinsiknya. Nilai keindahan intrinsik adalah nilai bentuk seni yang dapat diindera dengan mata, telinga, atau keduanya. Nilai bentuk ini kadang juga disebut nilai struktur, yakni bagaimana cara menyusun nilai-nilai ekstrinsiknya atau nilai bahannya. Dalam sebuah cerita, nilai isi atau nilai ekstrinsik atau nilai bahannya berupa rangkaian peristiwa. Semuanya disusun begitu rupa sehingga menjadi sebuah bentuk yang berstruktur dan dinamai nilai instrinsik. Cara menyusun bentuk tadi melahirkan sebuah cerita. Kumpulan peristiwa yang sama oleh dua orang penulis mungkin saja disusun berdasarkan urutan atau struktur yang berbeda, sehingga nilai seninya juga berbeda. Cara menyusun yang berbeda ini menentukan arti ekstrinsiknya atau isi seni.
2
Suzanne K. Langer, menyatakan, tentu saja intelejensi binatang atau pun tanggapannya atas isyarat-isyarat, jauh lebih terbelakang. Proses presentasi simbolik itu merupakan awal dari cara berpikir manusia, “pikiran” dalam pengertian yang tepat. Barangkali permulaan cara berpikir ini terjadi pada tingkat perkembangan otak di mana bahasa itu berasal, dan keunggulan pembawaan dalam penggambarannya adalah dengan percakapan.