NIKAH TA╩LĪL: Komparasi Pemikiran Al-Shāfi‟ī dan Ibn „Arabī M. YUSRON AZZAHIDI Alumni Program Pascasarjana IAIN Mataram
Abstrak Pro-Kontra atas nikah tah}lăl di kalangan ulama sedikit banyak berimplikasi terhadap perkembangan pemahaman keagamaan masyarakat. Hal ini mempertegas ruang diskusi dan dialog untuk menemukenali titik temu antara kebolehan dan keabsahan atau ketidakabsahan nikah tah}lăl. Penelitian ini, bertujuan untuk mencari benang merah dari dua pemikir Islam yang berbeda spesifikasi, yaitu antara Imam al-Shāfi‘ī dengan Ibn ‗Arabī seputar nikah tah}lăl, metode istinbāṭ hukumnya. Kajian ini merupakan studi pustaka (library reseach) menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif-analitikkomparatif. Hasil temuan menunjukkan, bahwa dalam perspektif Imam al-Shāfi‘ī nikah tah}lăl sah hukumnya dengan syarat hubungan intim berjalan dengan normal bersama dengan suami kedua. Sementara dalam pendangan Ibn ‗Arabī, nikah tah}lăl sah hukumnya tanpa syarat. Kata kunci: nikah tah}lăl, studi komparatif, al-Shāfi‘ī, ibn ‗Arabī Abstract Controversies about intervening or intermediary marriage (tah}līl) in Islamic law amongst Muslim jurists exert a great influence on Muslims‟ views and understandings of it. This opens up a chance to discuss and find out a unified perspective about it whether this kind of marriage is allowed or not. This study aims to draw a thread between two Muslim scholars from a different background: alShāfi‟ă, a prominent jurist, and ibn „Arabă, a Sufi. It compares their views about tah}līl marriage and examines their method of legal reasoning concerning it. This qualitative library research uses a descriptive analytical comparative approach. This study shows that according to al-Shāfi‟ă, tah}līl marriage is valid on the condition that sexual intercourse is normally practiced by a triple-divorced woman with her new husband. Ibn „Arabă argues that tah}līl marriage is valid without any condition. Keywords: intervening marriage, comparative study, al-Shāfi‟ă, ibn „Arabă
140 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
Pendahuluan Pro-Kontra atas nikah tah}lăl di kalangan para ulama‘ sedikit banyak berimplikasi terhadap perkembangan pemahaman keagamaan masyarakat. Hal ini mempertegas ruang dialog untuk menemukenali titik temu antara keabsahan atau ketidakabsahan nikah tah}lăl itu sendiri. Berbagai fenomena nikah tah}lăl yang dipraktikkan masyarakat menimbulkan perdebatan, tidak hanya dikalangan agamawan (ulama‘) dan intelektual, tetapi juga terjadi ditengah-tengah masyarakat. Fenomena sosiologis seperti ini memunculkan istilah baru di kalangan masyarakat awam, yang dikenal dengan ―Cina Buta‖.1 Bagi perempuan yang menjalankan praktek cina buta, tradisi ini benar-benar meletakkannya dalam posisi rentan kekerasan, antara lain: keterpaksaan berhubungan seksual dengan ‖suami cina buta‖, berhubungan seksual secara tidak aman, karena diyakini hubungan tersebut harus tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Artinya, perempuan tersebut berhadapan dengan resiko: Terjangkit penyakit menular seksual, Hamil, Resiko terikat dalam perkawinan cina buta bila pasangannya itu tidak mau menceraikan, stigma sosial terkait seksualitas perempuan, yang mungkin menyebabkan suami awalnya tak mau lagi rujuk setelah perempuan itu melangsungkan kawin cina buta, apalagi bila perempuan itu mengandung anak dari ‖suami cina butanya‖ itu. Peristilahan dan nilai-nilai yang terkandung dalam paham serta praktik kawin cina buta adalah perwujudan dari ideologi penundukan mental dan tubuh serta seksualitas perempuan yang berasal dari relasi dominasi terhadap adab perkawinan yang mensyaratkan adanya penguasaan, dogma penafsiran agama absolut, yang dipadukan dengan ideologi rasisme terhadap kelompok etnis cina yang tumbuh marak di negeri ini. Semuanya itu dilakukan dengan memakai landasan pembenaran ―hukum Allah‖. Nilai dan pemahaman ini begitu dominan dan absolut sehingga tidak ada ruang untuk dialog, untuk melihat apakah di dalam menjalankan pemahaman ini terdapat unsur-unsur yang menistakan sebuah perkawinan sekaligus 1Istilah
Cina Buta berdasarkan hukum, apabila seorang suami menceraikan isterinya dengan talak tiga dan jika dia hendak mengawini bekas isterinya, isterinya mesti nikah dengan orang lain dulu. Setelah diceraikan suami keduanya barulah mantan isteri boleh kembali ke suami pertama. Syarat untuk perbuatan ini diterima ialah pernikahan itu berlaku tanpa ―diatur‖, berarti ia berlaku dengan kehendak hati tanpa diupah atau dipaksa. Sebab timbulnya istilah ―cina buta‖ adalah masyarakat Melayu dulu mengambil jalan mudah dengan menggunakan muallaf (orang yang baru masuk Islam-biasanya orang Cina) untuk menikah dengan isteri yang telah diceraikan dengan talak tiga. Selepas bercerai dengan muallaf itu dia pun mengawini bekas isterinya. Perbuatan ini menurut agama adalah terkutuk dan pelaksana perbuatan ini tak ubahnya seperti kambing jantan yang dipinjamkan untuk membuntingkan kambing betina orang kampung. (http://bicarakalbu.blogspot. com/2008/05/rujuk-guna-kaedah-cina-buta-tak-sah.html) diunduh tgl 25 Januari 2013.
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 141
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
menistakaan tubuh dan seksualitas manusia, khususnya perempuan. Sebuah upaya sadar untuk merendahkan martabat manusia yang karenanya diwajibkan untuk menjalankannya. Padahal, tegas dan jelas pula bahwa pemahaman dan praktek cina buta ini bertentangan dengan nilai dan prinsip sebuah perkawinan dan pembentukan keluarga sakinah yang disyiarkan baik yang tertuang dalam ajaran agama maupun hukum yang dianut oleh negara.2 Para sarjana Islam tidak sepakat tentang haramnya nikah tah}lăl. Jika dalam praktiknya akad perkawinan dilakukan menurut aturan perkawinan, maka ia tidak bisa dianggap sebagai nikah tah}lăl yang terkutuk itu.3 Seringkali antara muh}allil dan muh}ha} llal lah melakukan perjanjian tertutup dan yang tidak diketahui orang lain, atau cara lain yang tidak dapat dibuktikan secara hukum. Jika ini terjadi, maka hukuman terhadap mereka hanya bersifat moral belaka. Dengan kata lain, hanya Tuhan yang mengetahui maksud mereka berdua. Dengan cara itu keduanya boleh jadi dianggap menipu Tuhan, oleh karena itu Tuhan akan merekayasa hukumannya. Dalam konteks nikah tah}lăl, pakar hukum Islam mengkonsensuskan bahwa perempuan yang sudah diceraikan tiga tidak boleh kembali kepada mantan suaminya, kecuali setelah menikah dengan laki-laki lain.4 Imam al-Shāfi‘ī dan Ibn ‗Arabī mengamini konsensus ini. Perbedaan mulai muncul setelah perempuan tersebut menikah dengan laki-laki lain. Apakah perempuan itu boleh kembali kepada mantan suminya setelah ia mereguk madu suaminya, atau cukup dengan akad pernikahan yang sah? Menurut Imam al-Shāfi‘ī5, perempuan yang telah ditalak tiga 2Perkawinan
Tahlil atau Cina Buta, Selayang Pandang Praktek Kawin Tahlil atau Cina Buta di Aceh. http://4tj3h.wordpress.com/2010/07/20/perkawinan-tahlil-atau-cina-buta/ diakses tgl 31 Januari 2013. 3Ḥadīth ―kutukan‖ kepada muh}allil dan muh}allal lah diriwayatkan oleh Ah}mad ibn Ḥanbal, Abū Dāwūd, al-Tirmidhī, Ibn Mājah, dan al-Ḥākim. Redaksi h}adīth tersebut adalah sebagai berikut:
.)لعن اهلل احمللل واحمللل لو (رواه أمحد وأبو داود والرتمذي وابن ماجو واحلاكم
4Perhatikan,
Muh}ammad ibn Ibrāhīm ibn al-Mundhir al-Naysabūrī, Al-Ijmā‟ (‗Ujmān: Maktabah al-Furqān, 1420 H/ 1999 M), cet. II, 115. Perhatikan pula, Yūsuf ibn ‗Abdillah ibn ‗Abd al-Barr, Al-Ijmā‟ (Al-Riyāḍ: Dār al-Qāsim, t.th), 259-260. 5 Abū ‗Abdillāh Muh}ammad ibn Idrīs ibn ‗Abbās ibn ‗Uthmān ibn Shāfi‘ ibn Sāib ibn ‗Ubayd ibn ‗Abd Yazīd ibn Hāshim ibn Muṭṭalib ibn ‗Abd Manāf ibn Quṣay ibn Kilāb ibn Murrah ibn Ka‘ab ibn Lu‘ay ibn Ghālib ibn Fihr ibn Mālik ibn Naḍar ibn Kinānah ibn Khuzaymah ibn Mudrikah ibn Ilyās ibn Muḍar ibn Nizār ibn Ma‘ad ibn ‗Adnān al-Qurashī al-Muṭṭalibī. Sedangkan dari garis ibunya, genealogi al-Shāfi‘ī ialah Muh}ammad ibn Fāṭimah bint ‗Ubaydillāh ibn al-Ḥasan ibn al-Ḥusayn ibn ‗Alī ibn Abī Ṭālib. Nasab al-Shāfi‘ī bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada ‗Abd Manāf, yaitu kakek kesembilan untuk al-Shāfi‘ī dan ketiga untuk Rasulullah SAW. Al-Shāfi‘ī lahir pada tahun 150 H/ 767 M di Ghazzah (bagian selatan Palestina), sebagian pakar sejarah Islam mengatakan ia lahir di ‗Asqalān (Libanon). Al-Shāfi‘ī berhasil menghafal al-Qur‘an pada usia tujuh tahun, dan berhasil menghafal karya Imam Mālik, al-Muwaṭṭa‟ pada umur sepuluh tahun. Meskipun al-Shāfi‘ī kecil hidup dalam kondisi yatim dan papa ia tetap bersemangat mencari dan menuntut ilmu kepada orang-orang besar dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Setelah berkelana untuk
142 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
dapat kembali kepada suami pertamanya setelah ia merasakan madu suminya, dan sebaliknya. Sementara itu Ibn ‗Arabī6 berpendapat, perempuan yang telah diceraikan belajar bahasa dan syair di perkampungan Badui Suku Hudhayl, al-Shāfi‘ī segera kembali ke Makkah untuk belajar fiqh kepada Muslim al-Ẓinjī (w. 180 H) dan hadith kepada Sufyān ibn ‗Uyaynah (w. 198 H). Al-Shāfi‘ī belajar kepada Imam Mālik ibn Anas selama 10 tahun. Al-Shāfi‘ī juga berguru kepada Muh}ammad ibn al-Ḥasan al-Shaybānī seorang tokoh Ḥanafī untuk mempelajari fiqh Irak dan sekaligus menemaninya berguru kepada para ulama Baghdad lainnya. Al-Shāfi‘ī pergi ke Baghdad untuk yang kedua kalinya pada tahun 195 H, di Irak inilah, Imam al-Shāfi‘ī mempunyai pemikiran hukum yang merdeka dari pemikiran Imam Mālik. Tahun 198 H, al-Shāfi‘ī berangkat lagi ke Baghdad (Irak). Namun beliau hanya beberapa bulan saja tinggal di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Ma‘mūn telah dikuasai oleh para ulama kalam, provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai yaum al-Mih}nah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka untuk menerima paham al-Qur‘an itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Karena perubahan itulah, al-Shāfi‘ī memutuskan pergi ke Mesir. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmu, menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi pemikiran-pemikiran hukumnya. Pada akhir Rajab 204 H (20 Januari 820 M), beliau menemui akhir kehidupannya karena penyakit usus yang dideritanya. Al-Shāfi‘ī adalah seorang penulis produktif dengan karya yang berjilid-jilid. Tingkat produktifitas dan bakat mengarangnya sangat tinggi dan mengagumkan. Jumlah karyanya yang tersebar di dunia Islam tidak dapat dipastikan, namun ada yang memprediksikannya sekitar 113 buah judul kitab berpautan dengan bidang tafsir, hadith, fikih, sastra, dan disiplin-disiplin ilmu lainnya. Diantara karya-karya monumental al-Shāfi‘ī adalah: al-Umm, al-Risālah, Ah}kām al-Qur‟an, al-Musnad, Ikhtilāf al-Hadăth, dan lain-lain. Baca, ‗Abd al-Wahhāb ibn ‗Ali ibn ‗Abd al-Kāfī al-Subkī, Ṭabaqāt al-Shāfi‟iyyah al-Kubrā, Jilid I (Bairūt: Dār Ih}yā al-Kutub al-‗Arabiyyah, t.th),
193; Abū al-Fidā‘ Ismā‘īl ibn ‗Umar ibn Kathīr al-Dimashqī al-Shāfi‘ī dalam karyanya Manāqib al-Imām al-Shāfi‟ă (Al-Riyāḍ: Maktabah al-Imām al-Shāfi‘ī, 1412 H/ 1992 M), 59-60; Ah}mad ibn ‗Alī ibn Ḥajar al-‗Asqalānī, Tawālă al-Ta‟săs li Ma‟ālă Muh}ammad ibn Idrăs (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1406 H/ 1986 M), 50; ‗Imād alDīn Abū al-Fidā‘ Ismā‘īl ibn ‗Umar ibn Kathīr al-Dimashqī al-Shāfi‘ī dalam karyanya Manāqib al-Imām al-Shāfi‟ă (Al-Riyāḍ: Maktabah al-Imām al-Shāfi‘ī, 1412 H/ 1992 M), 65-66; ‗Abd al-Ḥalīm al-Jundī, Al-Imām al-Shāfi‟ă; Nāṣir al-Sunnah Wa Wād}i‟ al-Uṣūl (Al-Qāhirah: Dār al-Ma‘ārif, 1415 H/ 1994 M), cet. IV, 27-28; H.A.R. Gibb dan dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1961), 513; Ah}mad ibn Ḥusayn alBayhaqī, Manāqib al-Shāfi‟ă, Jilid I (Al-Qāhirah: Maktabah Dār al-Turāth, 1390 H/ 1970 M ), 452-455; Muh}ammad Abū Zuhrah, Al-Shāfi‟ă; Ḥayātuh wa „Aṣruh, Ārā‟uh wa Fiqhuh (Bairūt: Dār al-Fikr, 1367 H/ 1948 M), cet. II, 29. 6
Nama lengkapnya adalah Muh}ammad ibn ‗Alī ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn ‗Abdillah ibn ‗Arabī al-Ḥātimī al-Ṭāī. Nama ini dibubuhkan Ibn ‗Arabī dalam fihrist (katalog karya-karyanya). Ibn ‗Arabī lahir pada hari Senin 17 Ramaḍān 560 H atau 27 Juli 1165 M, di Murcia, Spanyol bagian tenggara. Ayahnya, ‗Ali ibn Muh}ammad seorang pakar hukum dan hadith, seorang tokoh zuhud dan ahli tasawuf, menduduki jabatan sebagai orang kepercayaan istana berturut-turut pada masa pemerintahan Abū Ya‘qūb Yūsuf dan al-Mu‘min III, Abū Yūsuf al-Manṣūr. Sedangkan dari pihak ibu, Imam Ibn ‗Arabī memiliki seorang paman yang bernama Yah}yā ibn Yugān al-Ṣanhājī, pengusa di Tlemcen (Baca; Yūsuf Zaydān, editor Sharh} Mushkilāt al-Futūh}āt al-Makkiyah. Al-Qāhirah: Dār alAmīn, 1419 H/ 1999 M, h. 7). Kegemaran Ibn ‗Arabi berkelana ke berbagai tempat di Afrika Utara dan Spanyol, membawa Ibn ‗Arabī berkenalan dengan banyak intelektual pada masanya. Dalam interaksinya dengan para cendikiawan itu, Ibn ‗Arabī tidak membeda-bedakan para sufi dengan para teolog serta sarjana-sarjana yang lain. Lihat, Yūsuf ibn Ismā‘īl al-Nabhāni, Jāmi‟ Karāmāt al-Auliyā‟, Juz I . Bairūt: Al-Maktabah al-Thaqāfiyyah, 1411 H/ 1991 M, h. 204-206). Pada tahun 1223 M/ 620 H, Imam Ibn ‗Arabī berdomisili di Damaskus hingga akhir hayatnya. Ia wafat pada malam Jum‘at tanggal 28 Rabī‘ al-Ākhir 638 H. atau bertepatan dengan 16 November 1240 M dalam usia 76 tahun, di rumah salah seorang muridnya, Ibn al-Ẓakī. Separuh akhir dari kehidupannya telah menghasilkan ratusan karya yang mempunyai nilai sastra, intelektual dan spritual yang tidak ternilai
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 143
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
tiga dapat kembali kepada mantan suminya meskipun belum merasakan madu suaminya yang kedua, artinya, syarat utama nikah tah}lăl adalah akad yang sah. Berangkat dari persoalan nikah tah}lăl di atas, peneliti mengupayakan sebuah analisis komparatif yang memadukan dua tokoh pemikir Islam yang berbeda spesifikasi, yaitu Imam al-Shāf‘ī yang didaulat sebagai mujtahid muṭlaq dan Imam Madhhab, dimana secara pemikiran banyak dipengaruhi oleh aspek keilmuan yang ditekuni terutama ilmu fiqh dan uṣūl al-Fiqh, dan Ibn ‗Arabī yang lebih populer disebut sebagai filosof dan sufi. Benang merah dari dua pemikir Islam yang berbeda latar belakang inilah urgennya tulisan ini. Metode Penelitian Dilihat dari obyek kajian dan orientasi yang hendak dicapai, penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif melalui studi pustaka (library research). Penelitian bersifat deskriptif-analitik-komparatif. Data-data primer bersumber dari karya-karya ilmiah yang ditulis langsung oleh Imam al-Shāfi‘ī dalam kitab al-Umm, dan al-Risālah dan Ibn ‗Arabī dalam Ăjāz al-Bayān fă al-Tarjamah „an al-Qur‟ān, dan AlFutūh}āt al-Makkiyyah. Penelitian ini merupakan content analysis (analisis isi) dengan metoe analisis semiotik, analisis linguistik, dan analisis komparatif. Ketiga analisis ini diperkaya dengan metode uṣūl al-Fiqh yang telah diakui sebagai metode induk dalam memahami teks-teks Sharī‘ah. Pemikiran al-Shāfi‟ī dan Ibn „Arabī tentang Nikah Tah}līl Menurut Imam al-Shāfi‘ī, keabsahan nikah tah}lăl tergantung pada hubungan biologis yang terjadi antara perempuan yang telah diceraikan tiga dan suami yang kedua. Manakala mereka telah mereguk madu masing-masing, maka si perempuan dapat menikah dengan mantan suaminya setelah perceraian tidak dapat terhindarkan atau suami kedua wafat atau keluar dari Islam, serta masa iddahnya habis dari suami kedua. Namun, bilamana si perempuan belum mereguk madu suaminya yang kedua,
harganya. Karya-karya tersebut mencakup bidang-bidang pengetahuan yang sangat luas, seperti tafsir al-Qur‘an, hadith, ontologi, kosmologi, psikologi dan lain-lainnya. Karya-karyanya penuh dengan ungkapan simbolis dan esoteris, yang oleh sebagian penulis dipandang sebagai bukti bahwa karya-karyanya itu merupakan ungkapan dari ilham samawi. Di antara karya-karya pokok Ibn ‗Arabī adalah: al-Futūh}āt al-Makkiyyah, Fuṣūṣ al-Ḥikam, Ăjāẕ al-Bayān fă al-Tarjamah „an al-Qur‟an, Mashāhid alAsrār al-Qudsiyyahi, dan lain-lain. Lihat, Yūsuf ibn Ismā‘īl al-Nabhāni, Jāmi‟ Karāmāt al-Auliyā‟, Juz I (Bairūt: Al-Maktabah al-Thaqāfiyyah, 1411 H/ 1991 M), 204-206; Sayyid Ḥusayn Naṣr, Thalāthah Ḥukamā‟ Muslimăn (Bairūt: Dār al-Nahār, 1971), 126; Miguel Asin Palacios, Ibn „Arabă; Ḥayātuh wa Madhhabuh (Al-Qāhirah: Maktabah al-Anjalū al-Miṣriyyah, 1965), 93-94.
144 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
maka ia tidak boleh menikah dengan bekas suaminya meskipun ia berkali-kali menikah. Pemikiran ini selaras dengan pendapat mayoritas pakar hukum Islam dari berbagai aliran, seperti al-Kāsānī dan al-Ghunaymī dari aliran Ḥānafī, Ibn Rushd dan Al-Azharī dari aliran Māliki, al-Shīrāzī dan al-Juwaynī dari aliran Shāfi‘ī, Ibn Muflih} dan al-Buhūtī dari aliran Ḥanbalī, Ibn Ḥazm dari aliran literalis, al-Ḥillī dari aliran Shī‘ah Imamiyyah, demikian juga Ibn Yūsuf It}fīsh dari aliran Khawārij Ibādiyyah. Pemikiran al-Shāfi‘ī tentang nikah tah}lăl ini yang selanjutnya mendapat sokongan penuh dari berbagai aliran pakar hukum Islam, dikarenakan interpretasi beliau terhadap makna lafal al-Nikāh} ( ) انىكااyang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 230. Al-Shāfi‘ī mengedepankan makna kontekstual dari kata al-Nikāh tersebut yaitu hubungan seks ( ) اناطءdan mengabaikan makna tekstualnya yaitu akad ( ) انعقاد. Pemikiran itu diperkuat oleh hadith istri Rifā‘ah r.a yang secara lugas menerangkan bahwa Rasulullah SAW tidak memperkenankannya kembali kepada mantan suaminya kecuali setelah ia merasakan madu suaminya yang kedua. Menurut peneliti, pemikiran al-Shāfiī tentang nikah tah}lăl ini masih layak dipertahankan, karena disamping sejalan dengan pendapat mayoritas pakar hukum Islam dari berbagai aliran juga terkandung perhatian yang sangat besar terhadap kesetaraan gender di mana hak-hak seksualitas seorang perempuan (istri) dapat terpenuhi. Rumahku adalah syurgaku akan terwujudkan manakala pasangan suami istri ini saling mencintai satu sama lain dan tujuan utama dalam membina rumah tangga untuk memperoleh ketenangan dan kasih sayang (mawaddah wa rah}mah) pun akan tercapai. Formulasi nikah tah}lăl Imam al-Shāfi‘ī tampak mengedepankan fiqh yang berkeadilan, simpatik terhadap perempuan, memberikan kemudahan bagi perempuan melaksanakan kewajibannya, dan melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan yang mungkin terjadi dari suami keduanya. Dalam konteks hukum Islam bila seorang suami menceraikan istrinya tiga kali maka ia tidak boleh kembali atau menikah dengan mantan istrinya tersebut. Si suami dapat menikah dengan mantan istrinya ini, manakala si istri telah menikah dengan lelaki lain. Perkawinan yang kedua ini dilaksanakan secara wajar tanpa ada rekayasa dari pihak manapun dan disertai dengan niat baik, untuk membina rumah tangga bahagia, diliputi rasa cinta dan kasih sayang sepanjang masa. Realitas kemudian berkata lain, bangunan rumah tangga ini tidak dapat dipertahankan sebagaimana mestinya sehingga suami mentalak istrinya atau dia meninggal dunia. Setelah masa transisi istri habis, suami pertama dapat menikahi wanita ini kembali. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT:
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 145
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali bilamana keduanya berpendapat akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.‖ (Q.S. al-Baqarah (2): 230).
Dalam kitab al-Jāmi‟ al-Ṣah}ăh Imam Muslim menceritakan:
كنت عند: جآءت امرأة رفاعة إىل النيب صلى اهلل عليو وسلم فقالت:عن عائشة رضي اهلل تعاىل عنها قالت فتبسم رسول اهلل صلى اهلل،رفاعة فطلقين فبت طالقي فتزوجت عبد الرمحن بن الزبري وإن مامعو مثل ىدبة الثوب 7 ) (رواه مسلم. حىت تذوقي عسيلتو ويذوق عسيلتك، أتريدين أن ترجعي إىل رفاعة؟ ال: فقال،عليو وسلم Āishah r.a berkata: Suatu hari istri Rifā‘ah datang menghadap kepada Rasulullah SAW dan berkata: Aku pernah menjadi istri Rifā‘ah, lalu dia menceraikanku tiga kali. Kemudian aku menikah lagi dengan Abd al-Rah}mān ibn al-Ẓabīr, namun kemaluannya ibarat ujung kain (semacam penyakit lemah syahwat). Mendengar penuturan wanita itu Rasulullah SAW tersenyum. Beliau bertanya: Jadi kamu ingin kembali kepada Rifā‘ah? Itu tidak bisa sebelum kamu mereguk madunya dan dia pun mereguk madumu. (H.R. Muslim)
Berdasarkan ayat dan hadith tersebut, suami yang menceraikan istrinya tiga kali boleh kembali kepada mantan istrinya dengan syarat sebagai berikut: 1). Istri telah menikah dengan lelaki lain. 2). Pernikahan berlangsung sesuai dengan aturan agama. 3). Suami kedua telah melakukan hubungan seks seperti layaknya suami istri. Hikmah disyari‘atkannya ketentuan yang demikian itu, sudah banyak disinggung oleh pakar tafsir dan hukum Islam. Kalau seorang suami mentalak istrinya satu kali, maka dimasa transisi ia dapat merasakan bagaimana kegelisahan dan kegalauan hatinya. Di saat itu terkadang timbul penyesalan atas cerai yang dijatuhkan, karenanya dia rujuk dengan istrinya. Namun setelah dia rujuk, muncul kembali hal-hal yang menimbulkan perceraian untuk kedua kalinya. Rasa cinta dan sayang tidak terbendung, hidup terasa hampa tanpa pujaan hatinya, akhirnya dia rujuk lagi. Dalam perjalanan selanjutnya, rumah tangganya tidak berlangsung seperti yang diharapkan, sehingga dia terpaksa menjatuhkan talak untuk ketiga kalinya. Setelah talak tiga, maka dalam ajaran Islam tidak diperkenankan untuk rujuk meskipun iddahnya belum habis dan tidak diizinkan menikah kembali setelah habis
7Muslim ibn Ḥajjāj al-Naysabūrī, Ṣah}ăh} Muslim, Jilid I (Al-Riyāḍ: Dār Ṭaybah, 1427 H/ 2006 M), 652.
146 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
masa iddahnya, kecuali wanita tersebut telah menikah dengan lelaki lain seperti ketentuan tersebut di atas. Demi menjaga kehormatan dan harga diri, pada umumnya laki-laki tidak suka kalau mantan istrinya dinikahi oleh laki-laki lain. Karena itu ia harus berhati-hati, jangan sampai kehilangan istri untuk selama-lamanya. Islam memberikan kesempatan untuk nikah kembali dengan mantan istri, dengan ketentuan ia telah menikah secara wajar dengan lelaki lain dan menceraikannya secara wajar pula. Adapun dalam pemikiran Imam Ibn ‗Arabī, keabsahan nikah tah}lăl tidak tergantung pada hubungan biologis yang terjadi antara perempuan yang telah ditalak tiga dengan suami yang kedua. Manakala seorang laki-laki telah menikah dengannya secara sah, maka ia boleh menikah dengan mantan suami- nya setelah perceraian dengan suami kedua tidak dapat terhindarkan, atau suami kedua wafat atau keluar dari Islam, serta masa iddahnya pun habis dari suami kedua. Pemikiran Imam Ibn ‗Arabī tentang nikah tah}lăl ini, sejalan dengan pemikiran sayyid al-Tābi‟ăn (penghulu generasi tabi‘in) dan salah seorang dari al-Fuqahā‟ al-Sab‟ah (pakar hukum yang tujuh) 8 di Madinah yaitu, Sa‘īd ibn al-Musayyib (w. 94 H). Ia berkata:
الخالف بني العلماء ىف أن املطلقة الذى استنفذ زوجها عدد طالقها الحيل لزوجها الرجوع إليها حىت تننك زوجنا ولننو، أن العقنند الالننصي الننذى اليقالنند بننو التصليننل حيننل املبتوتننة لزوجهننا األول: وقنند روى عننن ا مننام سننعيد.غننريه وروى داود بنن أ ىنند عنن سنعيد. وقند اتنتهر ىنذا عننو بنني الفقهناء،طلقها الثاىن أو مات عنها قبل الدخول هبا إ ا: وأمننا أنننا ف ن ىن أقننول، حننىت مامعهننا: أ أمننا الننناس فيقولننون:بننن املسنني ىف املطلقننة ثالثننا ث ننم تتننزو قننال سننعيد 9
. فال بأس أن يتزوجها األولأ،تزوجها بتزو صصي اليريد بذلك إحالال
Tidak ada perselisihan dikalangan para ilmuan tentang wanita yang bilangan talaknya telah sempurna, bahwa dia tidak boleh kembali kepada mantan suaminya sehingga dia menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain. Diriwayatkan dari Imam Sa‘īd: Sungguh akad nikah yang sah dan tidak bertujuan untuk sekedar menghalalkan, berimplikasi pada halalnya wanita yang ditalak tiga kembali kepada suaminya yang pertama, meskipun suami kedua menceraikannya atau mati sebelum menggaulinya, pendapat Imam Saīd ini populer dikalangan ahli hukum. Dāwūd ibn Abī Hind menceritakan dari Saīd ibn al-Musayyib - tentang wanita yang telah ditalak tiga lantas ia kawin dengan laki-laki lain - Saīd menjawab: ―Mayoritas ulama berpendapat, boleh kembali kepada mantan suaminya setelah suami kedua menggaulinya.‖
8Tujuh
pakar hukum Islam di Madinah adalah: Sa‘īd ibn al-Musayyib (w. 94 H), ‗Urwah ibn al-Zubayr (w. 94 H), Al-Qāsim ibn Muh}ammad (w. 108 H), Khārijah ibn Zayd (w. 99 H), Abū Bakr ibn Abd al-Rah}mān ibn al-Ḥārith ibn Hāshim (w. 94 H), Sulaymān ibn Yasār (w. 107 H), dan ‗Ubaydullāh ibn Abdillāh ibn ‗Utbah ibn Mas‘ūd (w. 99 H). 9Hāshim Jamīl ‗Abdullah, Fiqh al-Imām Saăd ibn al-Musayyib, Juz III (Baghdād: Maṭba‘ah alIrshād, 1394 H/ 1974 M), 351-352.
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 147
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l … Adapun menurut saya, jika ada laki-laki yang mengawininya secara sah dan tidak bertujuan untuk menghalalkan, maka suami pertama boleh menikahinya.
Pemikiran Ibn ‗Arabī tentang nikah tah}lăl seperti pemaparan di atas, karena ia menginterpretasikan lafal al-Nikāh} ( ) انىكااyang terdapat pada ayat 230 dari surat alBaqarah dengan makna tekstual yaitu al-„Aqd (perjanjian) dan mengesampingkan makna kontekstual yaitu hubungan seks ( )انجماا. Bagi Imam Ibn ‗Arabī, mengambil makna teks lebih utama dari makna konteks. Memaknai kata al-Nikāh} dengan hubungan intim memerlukan argumentasi yang tegas, karena apa yang menimpa istri Rifā‘ah, menurut pendapat Imam Ibn ‗Arabī termasuk dalam kategori qaḍiyyah „ayn (ranah pribadi). Artinya, kasus-kasus serupa yang menimpa perempuan yang ditalak tiga tidak dapat dianalogikan dengan kasus yang menimpa istri Rifā‘ah r.a. Sementara kutukan Allah SWT terhadap muh}allil dan muh}allal lahū sepantasnya dimaknai secara metafora, karena Nabi tidak pernah mendoakan keburukan kepada ummatnya. Menurut peneliti, pemikiran Ibn ‗Arabī tentang nikah tah}lăl dapat menjadi madhhab alternatif manakala terjadi kasus pernikahan yang serupa. Meskipun pemikiran ini tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas pakar hukum Islam dan bahkan melanggar ijmak seperti pernyataan yang dilontarkan oleh Ibn al-Mundhir, namun bukan berarti pelaku pernikahan seperti ini layak memperoleh ―kutukan‖. Demikian pula penikahan perempuan yang ditalak tiga dengan mantan suaminya setelah ia menikah dengan laki-laki lain tidak boleh divonis ―batal‖ walaupun perempuan tersebut belum dapat mereguk madu suaminya yang kedua, apalagi akan menempelkan label ―zina‖ terhadap si perempuan dan mantan suaminya jika mereka melakukan hubungan seksual. Ungkapan indah dari seorang bijak patut dicermati: ― قد يطجد فا انوااار ماا اليطجاد فا ان حاارapa yang ada di sungai terkadang tidak ada di samudra luas‖. Pemikiran hukum dari kelompok mayoritas tidak selamanya mengungguli pemikiran dari kelompok minoritas. Betapa banyak kelompok yang berjumlah sedikit mampu mengalahkan dan menghancurkan kelumpok dalam jumlah besar. 10 Di antara karakteristik shari‘at Islam adalah luwes dan komprehensif. Ia mampu menjawab tantangan dinamika zaman dan transformasi kultural, baik dalam bidang mu‘amalah, pernikahan, perundang-undangan dan lainnya. Hal ini merupakan bukti riil sempurnanya shari‘at Islam. Naṣ-naṣ al-Qur‘an menunjuk bahwa ia berlaku untuk semua peristiwa sepanjang masa.11 Wahyu-wahyu yang datang dari Allah SWT sepadan dengan kaidah-kaidah universal yang mencakup 10Baca al-Qur‘an surat al-Baqarah (2): 249, yang artinya: ―Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orangorang yang sabar.‖ 11Lihat surat Saba‘ ayat 28.
148 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
parsial-parsial peristiwa yang terjadi di masa hayatnya Nabi Muh}ammad SAW dan masa-masa berikutnya. Barangsiapa menelaah shari‘at ini dengan seksama, pasti akan menemukan bahwa hukum-hukum itu muncul seiring dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa kenabian. Aturan-aturan Allah lahir sebagai solusi terbaik terhadap kejadian itu dan kejadian-kejadian serupa di masa mendatang. Ahli agama sepakat, karakteristik shari‘at seperti inilah yang menjadi pondasi utama hukumhukum Islam. Tidak dapat dipungkiri, bahwa diantara peristiwa yang terjadi ada yang menimpa separuh sahabat, kemudian dalil secara tegas menetapkan ketentuan hukumnya dan menjelaskan bahwa hukum tersebut hanya berlaku untuk sahabat itu saja. Dan para pakar hukum sependapat, peristiwa-peristiwa lain yang serupa dengan ini tidak dapat disamakan hukumnya, karena termasuk dalam ranah pribadi.12 Dalam pembahasan masalah-masalah yang ada relevansinya dengan urusan pribadi, para ahli ilmu mengggunakan beberapa istilah seperti, wāqi‟ah „ayn, atau wāqi‟ah fă „ayn, qad}iyyah „ayn, atau qad}iyyah fă „ayn, wāqi‟ah h}āl dan h}ikāyah h}āl. Redaksi istilah tadi berbeda, namun substansi yang terkandung di dalamnya sama.13 Dan untuk memudahkan penelitian, peneliti akan menggunakan istilah qad}iyyah „ain. Sejauh ini, peneliti belum menemukan definisi yang lengkap dari istilah di atas dalam karya pakar uṣūl dan hukum. Sementara mereka ada yang berpendapat, tidak perlu didefinisikan karena kejelasannya.14 Lantas yang lain berkata, keputusan ini terjadi di masa Nabi Muh}ammad SAW dan berpautan dengan peristiwa tertentu. 15 Dan ada juga berkata, peristiwa-peristiwa tertentu yang hukumnya bersebrangan dengan hukum kebanyakan.16 12Di
antra peristiwa yang termasuk kategori qad}iyyah „ayn (ranah pribadi), imam salat bagi perempuan. Rasulullah SAW memberi izin kepada Umm Waraqah bint al-Ḥārith menjadi imam salat di lingkungan keluarganya (laki dan wanita). Menurut mayoritas pakar hukum, izin ini hanya berlaku untuk Umm Waraqah, dan wanita-wanita selain Umm Waraqah tidak layak menjadi imam salat bagi kaum laki-laki. Namun, menurut Abū Thaur Ibrāhīm ibn Khālid al-Kalbī (170- 240 H), Abū Ibrāhīm Ismā‘īl ibn Yah}yā al-Muzanī (175-264 H), dan Abū Ja‘far Muh}ammad ibn Jārīr alṬabarī (225-310 H), seorang perempuan diperbolehkan menjadi imam salat bagi kaum laki-laki. Lihat, Hudā Abū Bakr Sālim bā Jubayr, Al-Athar al-Fiqhă al-Mutarattib „alā al-Khilāf fă „Itibār Waqā‟i al„Ayān (Makkah: Jāmi‘ah Umm al-Qurā, 1421 H), 189-190. 13Seperti Rasulullah menyamakan kesaksian Khuzaymah ibn Thābit dengan kesaksian dua orang laki-laki. Lihat, Sulaymān ibn ‗Abd al-Qawī al-Ṭūfī, Sharh} Mukhtaṣar al-Raud}ah, Juz II (AlRiyāḍ: t.tp, 1419 H/ 1998 M), cet. II, 511. 14Sebagaimana penjelasan para ulama dari kelompok Ḥanbalī dalam pembahasan urusanurasan yang bersifat pribadi. Seperti memakai sutra bagi laki-laki. Lihat, Ah}mad ibn ‗Abd al-Ḥalīm ibn Taymiyah, al-Muswaddah (Al-Qāhirah: Maṭba‘ah al-Madanī, t.th), 118. 15Lihat, Al-Ṭūfī, Sharh} Mukhtaṣar..., 511. 16Baca, ‗Abd al-Laṭīf ibn ‗Abdullah al-Barzanjī, Al-Ta‟ārud wa al-Tarjăh} byna al-Adillah alShar‟iyyah, Juz I (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1413 H/ 2002 M), 374.
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 149
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
Dari ungkapan di atas, peneliti mendefinisikan qad}iyyah „ain dengan:
و لننم يتكننرر، ق ننى فيهننا رسننول اهلل صننلى اهلل عليننو وسننلم نكننم مننا، أو نالننة معينننة،معننني
،حادثننة تتعلننخ بشنن
. أو أحوال مشاهبة،اص آخرين،ىذا احلكم ىف أت Suatu peristiwa yang ada pertaliannya dengan orang tertentu maupun kondisi tertentu, yang hukumnya sesuai dengan keputusan Rasulullah serta tidak diberlakukan kepada orang lain, atau peristiwa-peristiwa serupa.
Peneliti akan memaparkan beberapa masalah yang termasuk kategori qad}iyyah „ain (ranah pribadi) kaitannya dengan hukum keluarga. Mengajarkan istri al-Qur‟an sebagai mahar Peristiwa ini terjadi pada Khawlah bint Ḥakīm atau Umm Sharīk yang hendak menyerahkan dirinya kepada Rasulullah. Namun, ternyata Rasulullah tidak berkenan untuk mengawininya. Seorang sahabat yang hadir di majlis itu dengan segera menawarkan diri untuk mengawini wanita tersebut. Rasulullah pun mengawinkan mereka dengan mas kawin berupa pengajaran beberapa ayat al-Qur‘an, karena sahabat itu tidak mempunyai harta benda yang akan dijadikan sebagai mahar.17
يننا رسننول اهلل ج ننت:عننن سننهل بننن سننعد رضنني اهلل عنننو «أن امنرأة جننآت رسننول اهلل صننلى اهلل عليننو وسننلم فقالننت فلمنا. ثننم طأطنأ رأسنو، فالنعد الن نر إليهنا وصنوبو، فن نر إليهنا رسنول اهلل صنلى اهلل علينو وسنلم.ألى لك نفسني يا رسول اهلل إن لنم يكن لك هبا حاجنة: فقال، فقام رجل من أصصابو.رأت املرأة أنو لنم يقض فيها تي ا جلست ا ى ن إىل أىلننك فننان ر ىننل نند: قننال. واهلل يارسننول اهلل، ال: ىننل عننندك مننن تننيهلل؟ فقننال: فقننال لننو،فزوجنيهننا فنذى ثننم. ان ر ولو خامتا من حديند: قال. ما وجدت تي ا، واهلل يا رسول اهلل،ال: فقال، فذى ثنم رجع،تي ا . مالننو رداء فلهننا نالننفو: سننهل: قننال، ولكننن ىننذا إزاري. وال خامتننا مننن حدينند، واهلل يننا رسننول اهلل، ال: فقننال،رجننع وإن لبسننتو لننم يكننن، إن لبسننتو لننم يكننن عليهننا منننو تننيهلل، ماتالنننع بن زارك؟:فقننال رسننول اهلل صننلى اهلل عليننو وسننلم . فنأمر بنو فندعي، فرآه رسول اهلل صلى اهلل عليو وسنلم مولينا، ثنم قام، فجلس الرجل حىت طال جملسو.عليك تيهلل أتقنرأىن عننن: قننال. عنندىا، معنني سننورة كننذا وسننورة كننذا وسننورة كنذا: مننا ا معننك مننن القننرآن؟ قننال: قننال،فلمننا جنناء 18 .) (متفخ عليو.» فقد ملكتكها مبا معك من القرآن، ا ى: قال. نعم:ظهر قلبك؟ قال Sahl ibn Sa‘d bercerita: Seorang perempuan menghadap Rasulullah, lalu berkata: Ya Rasulallah, aku datang ke sini guna menyerahkan diriku padamu. Rasulullah pun memandang wanita itu dengan seksama, setelah itu ia menundukkan kepalanya. Ketika wanita menyadari bahwa Nabi tidak tertarik padanya, ia segera duduk. Seorang sahabat berdiri dan berkata: Abū Ḥanīfah, mengajarkan istri al-Qur‘an tidak memadai untuk dijadikan mahar, karena peristiwa yang menimpa Khaulah atau Umm Sharīk masuk dalam ranah pribadi. Adapun menurut al-Shāfi‘ī, Mālik, Ah}mad, Ish}āq ibn Rāhūyah, dan Ḥasan ibn Ṣālih, mahar dalam bentuk pengajaran al-Qur‘an adalah sah. Lihat, Muh}ammad ibn ‗Alī ibn Muh}ammad al-Shawkānī, Nayl alAuṭār Sharh} Muntaqā al-Akhbār, Jilid VI (Al-Qāhirah: Maktabah Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, t.th), 194. 18Lihat, Muh}ammad ibn Ismā‘īl al- Bukhārī, Ṣah}ăh} al-Bukhāră (Bairūt: Dār Ibn Kathīr, 1423 H/ 2002 M), 1284. Lihat pula, Ibn al-Ḥajjāj al-Naysabūrī, Ṣah}ăh}..., 643. 17Menurut
150 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l … Kawinkanlah aku dengannya, kalau engkau tidak tertarik. Nabi bersabda: Punyakah kamu sesuatu? dia berkata: Demi Allah, tidak ada ya Rasul, Nabi bersabda: Pulanglah ke rumahmu, mungkin kamu akan dapatkan sesuatu. Sahabat itu pulang, dan kembali lagi, lalu berkata: Demi Allah, aku tidak mendapat apapun ya Rasulallah. Nabi bersabda: Carilah, meskipun hanya cincin besi. Lantas dia pergi dan kembali. Demi Allah, aku tidak mendapat cincin besi ya Rasul, aku Cuma punya sarung. Nabi bersabda: Apa yang kamu perbuat dengan sarungmu ini? Jika engkau memakainya, istrimu akan telanjang, dan jika istrimu yang memakainya, maka kamu akan telanjang. Sahabat itu duduk sambil termenung, lalu ia berdiri dan segera pergi. Setelah melihatnya pergi, Rasulullah memanggilnya, lantas bersabda: Apakah kamu menghafal al-Qur‘an? Dia menjawab: Ya, surat ini dan itu, sembari menyebutkan surat yang dihafalnya. Nabi bersabda: Apakah kamu menghafalnya di luar kepala? Dia menjawab: Ya, Nabi bersabda: Pulanglah, karena dia menjadi milikmu dengan mahar hafalan qur‘anmu. (Muttafaq ‗alaih).
Tempat menunggu iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya Furay‘ah bint Mālik ibn Sinān minta restu kepada Rasulullah untuk segera meninggalkan rumah dimana ia ditinggal mati oleh suaminya, karena rumah itu bukan milik suaminya. Dan dia akan menunggu masa iddah di rumah keluarganya di perkampungan Banī Khudrah. Rasulullah tidak menyetujui permintaan tersebut, beliau memerintahkan supaya ia tetap tinggal di rumah yang mana berita kematian suaminya sampai ketika ia sedang berada di sana.19
، فننأدركهم بطننرف القنندوم فقتلننوه، « خننر زوجنني ىف طلن أعننال لننو:عننن فريعننة بنننت مالننك رضنني اهلل عنهننا قالننت : فأتيننت النننيب صننلى اهلل عليننو وسننلم فقلننت.فجننآء نعنني زوجنني وأنننا ىف دار مننن دور األنالننار تاسننعة عننن دار أىلنني وال، ولنم ي نندع م نناال ينف ننخ عل نني، إنو جآء نعي زوجي وأنا ىف دار تاسعة عن دار أىلي ودار إخويت،يارسول اهلل وأ ننع ىف، ف ن ن رأيننت أن تننأ ن فننأحلخ بنندار أىلنني ودار إخننويت ف نننو أح ن إ. وال دارا لكهننا،منناال ورثتننو رجت قرينرة عينين ملنا ق نى اهلل علنى لسنان رسنول اهلل صنلى اهلل، ف: ‹فافعلي إن ت ت› قالت: قال.بعض أمري ، فقالالنت علينو: كينق زعمنت؟ قالنت: فقنال، حنىت إ ا كننت ىف املسنجد أو يف بعنض احلجنرة دعناىن،عليو وسلم فاعتنددت فينو أربعنة أتنهر و: ‹امكثي يف بيتك الذي جآء فيو نعني زوجنك حنىت يبلنك الكتناب أجلنو› قالنت:فقال 20 .) (رواه ابن ماجو.» عشرا Furay‘ah bint Mālik r. a bercerita: Suamiku pergi untuk mencari budaknya yang melarikan diri, ia menjumpai mereka di ujung desa Qadum, lantas mereka membunuhnya. Berita kematian suamiku itu sampai dikala aku sedang berada di perkampungan Anṣār yang cukup jauh dari rumah keluargaku. Maka aku menghadap Rasulullah saw dan bertanya: Wahai 19Semua
pakar hukum dari kalangan sahabat, generasi tābi‘īn dan sesudahnya seperti, ‗Umar, ‗Uthmān, Ibn ‗Umar, Ibn Mas‘ūd, Sa‘īd ibn Manṣūr, Qāsim ibn Muh}ammad, Sālim ibn ‗Abdillah, Sa‘īd ibn Musayyib, ‗Aṭā‘ ibn Rabāh}, Ibn Sīrīn, Abū Ḥanīfah, Mālik, al-Shāfi‘ī dan lainnya berpendapat bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya harus menunggu iddah di tempat mana berita kemangkatan suaminya sampai kepadanya, meskipun rumah itu bukan rumah suaminya. Namun, harus ada izin dari pemilik rumah tersebut, mauqūf „alā al-Idhin. Perhatikan, AlShawkānī, Nayl al-Auṭār..., 336. 20Muh}ammad ibn Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mājah (Bairūt: Dār al-Fikr, 1421 H/ 2001 M), 472.
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 151
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l … Rasululallah: Berita kemangkatan suamiku itu sampai padaku dikala aku berada di perkampungan yang lumayan jauh dari rumah keluarga dan saudari-saudariku, sementara suamiku tidak meninggalkan nafkah, harta warisan dan rumah yang akan aku tempati. Aku minta restu kepadamu, guna dapat tinggal bersama keluarga dan saudari-saudariku, karena itu lebih aku sukai dan juga dapat mengurangi kesedihanku. Nabi bersabda: Pergilah, jika kamu suka. Furay‘ah berkata: Aku sangat puas dengan keputusan Rasulullah SAW. Namun, aku belum terlalu jauh meninggalkan masjid, tiba-tiba beliau memanggilku. Beliau bertanya: Apa kamu bilang tadi? Ia berkata: Aku pun menceritakan kembali peristiwa tang menimpa suamiku. Nabi bersabda: Tinggallah di rumah di mana berita kematian suamimu sampai kepadamu, hingga masa iddahmu selesai. Dia berkata: Aku menunggu masa iddah selama empat bulan sepuluh hari di rumah tersebut. (H.R. Ibn Mājah).
Susuan bagi laki-laki dewasa Peristiwa ini pernah dialami oleh seorang wanita dari generasi sahabat yang bernama, Sahlah bint Suhayl. Dia melapor kepada baginda Rasulullah perihal kecemburuan suaminya Abū H{udhaifah, terhadap anak angkatnya sendiri yaitu Sālim. Keberadaan Sālim di rumah bapak angkatnya ternyata menimbulkan perasaan cemburu pada suami Sahlah. Rasulullah SAW pun menawarkan solusi kepada Sahlah dengan menyusui Sālim meskipun sudah dewasa supaya menjadi mah}ram-nya.21
، يارسنول اهلل: جنآءت سنهلة بننت سنهيل إىل الننيب صنلى اهلل علينو وسنلم فقالنت:عن عائشة رضي اهلل عنهنا قالنت : قالنت،› ‹أرضنعيو: فقنال الننيب صنلى اهلل علينو وسنلم،)إين أرى ىف وجو أ حذيفنة منن دخنول سالننم (وىنو حليفنو ‹قنند علمننت أنننو رجننل كبننري› (رواه: فتبسننم رسننول اهلل صننلى اهلل عليننو وسننلم و قننال،وكيننق أرضننعو؟ وىننو رجننل كبننري 22 .)مسلم ‗Āishāh r.a bercerita: Sahlah bint Suhayl melapor kepada Rasulullah dan berkata: Hai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat kecemburuan di wajah Abū Ḥudhayfah terhadap anak angkatnya, Sālim. Nabi SAW bersabda: Susukanlah dia, Sahlah bertanya: Bagaimana mungkin aku menyusui dia, sementara ia adalah laki-laki dewasa? Rasulullah SAW tersenyum, lalu bersabda: Aku mengerti, dia lelaki dewasa. (H. R. Muslim)
Besaran nafkah tergantung kondisi suami Peristiwa ini dialami oleh Mu‘āwiyah al-Qushairī r.a yang mengadu kepada Rasulullah SAW tentang kondisi ekonominya. Ia merasa tidak mampu memberi nafkah sesuai dengan keadaan istrinya (putri orang kaya, peneliti). Pada akhirnya,
21Mayoritas
ulama sepakat bahwa susuan yang menimbulkan hubungan mahram adalah susuan bagi anak yang belum dewasa, dan peristiwa Sahlah ini merupakan urusan pribadi sehingga peristiwa-peristiwa yang serupa dengannya tidak boleh disamakan. Memang ada ada beberapa pakar hukum seperti, ‗Aishāh, ‗Urwah ibn Zubayr, ‗Aṭā‘ ibn Abī Rabāh}, Layth ibn Sa‘d, Ibn Ḥazm, Ibn ‗Ulayyah dan Dāwūd al-Ẓāhirī rah}matullah „alayhim yang menyatakan, susuan bagi lelaki dewasa berimplikasi terhadap kemahraman. Lihat, al-Shawkānī, Nayl al-Auṭār..., 352. 22Baca, Ibn al-Ḥajjāj al-Naysabūrī, Ṣah}ăh}..., 664.
152 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
Rasulullah SAW memberikan disfensasi hukum kepadanya, besaran nafkah istri tergantung kondisi ekonomi suami.23
ما تقول ىف نسنآئنا؟: فقلت: قال،« أتيت رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم:عن معاوية القشريي رضي اهلل عنو قال 24 .) (رواه أبو داود.» والت ربوىن والتقبصوىن، واكسوىن مما تكتسون، أطعموىن مما تأكلون:قال Mu‘āwiyāh al-Qushairī r.a berkata: Aku datang kepada Rasulullah, lalu bertanya: Bagimanakah pendapatmu tentang istri-istri kami? Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah mereka makan dari apa yang kalian makan, pakaian dari apa yang kalian kenakan, janganlah kalin memukul mereka dan menjelek-jelekkan mereka. (H. R. Abū Dāwūd)
Dari penjelasan di atas, ternyata persoalan nikah tah}lăl dengan syarat melakukan hubungan intim dengan suami kedua tidak termasuk qad}iyyah „ayn (ranah pribadi). Tidak ada seorang pun dari pembangun madhhab atau pakar aliran hukum lainnya yang berpendapat demikian, baik dari aliran sunnī, shī‘ah atau khawārij. Meskipun begitu, Ibn ‗Arabī tetap mempertahankan pemikiran hukumnya, bahwa wanita yang ditalak tiga bisa kembali kepada suami pertama tanpa syarat disetubuhi oleh suami kedua. Kasus-kasus yang serupa dengan istri Rifā‘ah tidak boleh dianalogikan dengan kasus yang dialami oleh istri Rifā‘ah. Artinya, jikalau ada wanita yang diceraikan tiga oleh suaminya maka setelah menikah dengan lelaki lain secara sah, dia dapat kembali kepada mantan suaminya meskipun belum merasakan madu suaminya dan sebaliknya. Adapun istri Rifā‘ah, Rasulullah mempersyaratkan agar dia mereguk madu suami kedua terlebih dahulu dan suami keduanya pun harus mereguk madunya. Jika perceraian merupakan solusi terbaik, dia boleh kembali kepada mantan suaminya. Pemikiran hukum Ibn ‗Arabī ini adalah salah satu dari pemikiranpemikiran hukumnya yang bersebrangan dengan mujtahid lainnya.25
para pengikut al-Shāfi‘ī dan separuh dari pengikut Abū Ḥanīfah, ketentuan nafkah merujuk pada kondisi ekonomi suami. Adapun Imam Mālik dan sebagian besar pengikut Abū Hanīfah berpendapat, besaran nafkah istri tergantung pada kondisi ekonomi istri itu sendiri. Artinya, peristiwa yang menimpa Mu‘āwiyah termasuk ranah pribadi. Lihat, al-Shawkānī, Nayl alAuṭār..., 362. 24Sulaymān ibn al-‗Ash‘ath al-Sijistānī, Sunan Abă Dāwūd, Juz II (Bairūt: Dār Ibn Ḥazm, 1418 H/ 1997 M), 419. 25Di antara pemikiran-pemikiran Ibn ‗Arabī yang kontradiksi dengan pemikiran Imam empat adalah: Imam shalat bagi perempuan; shalat jenazah terhadap anak orang kafir yang belum dewasa; niat umrah di tanah haram bagi yang berdomisili di sana; seorang pelaku tindak pidana pembunuhan ketika ia belum dewasa terkena dengan hukum qishas setelah ia dewasa, dan lainnya. Pemikiran-pemikiran tersebut menurut al-Gharrāb, menyebabkan Ibn ‗Arabī layak menyandang predikat ―Mujtahid Muṭlaq‖. Perhatikan, Mah}mūd al-Gharrāb, Al-Fiqh „inda al-Shaykh al-Akbar Muh}y al-Dăn Ibn „Arabă (Dimashq: Maṭba‘ah Naḍar, 1413 H/ 1993 M), cet. II, 5. 23Menurut
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 153
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
Perbandingan Metode Istinba>t} Hukum al-Shāfi‟ī dan Ibn „Arabī tentang Nikah Tah}līl Al-Shāfi‘ī menyusun konsep uṣūl al-Fiqhnya dalam buku yang menjadi masterpiece-nya yaitu, al-Risālah. Di samping itu, dalam kitab al-Umm banyak juga ditemukan prinsip-prinsip uṣūl al-Fiqh sebagai pedoman dalam ber-istinbāṭ. Di atas landasan uṣūl al-Fiqh yang dirumuskannya sendiri itulah dia membangun fatwafatwa hukum yang kemudian dikenal dengan madhhab al-Shāfi‟ă. Menurut al-Shāfi‘ī, ilmu itu bertingkat-tingkat, sehingga dalam mendasarkan pemikirannya ia membagi tingkatan sumber-sumber itu sebagai berikut: 1. Ilmu yang terambil dari al-Qur‘an dan Sunnah yang terbukti validitasnya. 2. Ilmu yang diperoleh dari ijma‘ terhadap hal-hal yang tidak ditegaskan dalam alQur‘an dan sunnah Rasulullah SAW. 3. Fatwa sahabat yang tidak kontradiktif dengan fatwa sahabat lainnya. 4. Pemikiran yang diperselisihkan di kalangan para sahabat. 5. Qiyas apabila tidak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil di atas.26 Dalam urutan sumber hukum, al-Shāfi‘ī mensejajarkan sunnah dengan alQur‘an, sebagai gambaran betapa urgennya sunnah dalam pemikiran beliau. Sebab sunnah merupakan penjelasan langsung dari naṣ-naṣ yang terdapat dalam al-Qur‘an. Sumber-sumber istidlāl27 meskipun banyak, namun kembali kepada dua dasar pokok yaitu, al-Qur‘an dan al-Sunnah.28 Imam al-Shāfi‘ī menyamakan antara sunnah dengan al-Qur‘an dalam mengeluarkan hukum furū‟, tidak berarti bahwa al-Sunnah bukan merupakan cabang dari al-Qur‘an. Karena itu, apabila terjadi kontradiksi antara sunnah dan al-Qur‘an hendaklah mengedepankan al-Qur‘an. Adapun yang menjadi alasan ditetapkannya kedua sumber hukum itu sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah karena al-Qur‘an memiliki kebenaran yang mutlak, sementara al-Sunnah sebagai penjelas atau ketentuan yang merinci al-Qur‘an.29 Ijmā‟30 menurut al-Shāfi‘ī adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa pasca wafatnya Rasulullah, yang bilamana terjadi akan mengikat semua orang Islam 26Muhammad
ibn Idrīs al-Shāfi‘ī, Al-Umm, Jilid VIII (Bairūt: Dār al-Wafā‘, 1422 H/ 2001 M),
764. 27Istidlāl berarti memperoleh petunjuk dan menarik kesimpulan. Lihat, Ah}mad Warson, Kamus..., 450. Sedangkan menurut istilah, menetapkan dalil untuk suatu hukum, baik dalil tersebut berupa al-Qur‘an, hadith, ijma‘ dan lainnya. Baca Louis, Al-Munjid..., 220. 28Baca, Muh}ammad Abū Zuhrah, Uṣūl al-Fiqh (Bairūt: Dār al-Fikr al-‗Arabī, 1392 H/ 1971 M), 191. 29Ibid., 193. 30Secara etimologi, ijma‘ berarti: mengambil keputusan dan bersepakat. Adapun menurut terminologi pakar uṣūl, ijma adalah kesepakatan para mujtahid pada masa tertentu dari kalangan
154 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
untuk mengamalkannya. Karena ijma‘ baru mengikat jika disepakati oleh semua mujtahid di suatu masa tertentu, maka dengan gigih Imam al-Shāfi‘ī menolak ijmak penduduk Madinah („aml ahl al-Madănah), karena penduduk Madinah hanya sebagian kecil dari ulama mujtahid yang ada pada saat itu.31 Al-Shāfi‘ī mempergunakan pendapat para sahabat (Qawl Ṣah}ābă) karena dia berpandangan bahwa pendapat para sahabat lebih baik daripada pendapatnya sendiri. Di sisi lain mereka lebih utama dari sisi ijtihad, keilmuan, ketakwaan, dan kewara‘an. Apa yang disepakati oleh para sahabat berarti telah terjadi konsensus umat Islam pada waktu itu. Namun, jika mereka berselisih pendapat, al-Shāfi‘ī mengambil pendapat yang paling dekat kepada al-Qur‘an, sunnah, ijma‘, atau yang paling rasional qiyasnya dengan mengedepankan pendapat al-Khulafā‘ al-Rāshidūn, sebab dalam menetapkan suatu masalah mereka tidak menggunakan rasio dan ijtihad kecuali setelah bertanya mengenai dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur‘an dan sunnah.32 Jikalau hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam sumbersumber hukum tersebut di atas, dalam membangun aliran hukumnya, al-Shāfi‘ī melakukan ijtihad. Secara bahasa ijtihad berarti melaksanakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Lafal ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang dilakukan dengan susah payah. Menurut istilah, ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum sharī‘at. Dengan ijtihad, menurut alShāfi‘ī seorang mujtahid akan mampu mengangkat kandungan al-Qur‘an dan sunnah secara lebih maksimal ke dalam bentuk yang siap diamalkan. Karena urgensitas yang demikian, maka melakukan ijtihad dalam pandangan al-Shāfi‘ī adalah merupakan suatu kewajiban bagi ahlinya. Dalam kitab al-Risālah, al-Shāfi‘ī menyatakan, ―Allah SWT mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur‘an dan al-Sunnah‖.33 Metode utama yang dipergunakan oleh al-Shāfi‘ī dalam berijtihad adalah qiyas. Ia membuat rumus-rumus yang akan menjadi barometer dalam menentukan pendapat yang valid dan mana yang tidak valid. Ia menentukan batas-batas qiyas, tingkatan, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Diterangkan pula
umat Islam pasca wafatnya Rasulullah SAW tentang hukum shara‘. Baca, Wahbah al-Zuh}aylī, al-Fiqh al-Islāmă, Juz I (Damskus: Dār al-Fikr, 1406 H/ 1986 M), 489-490. 31Al-Shāfi‘ī, Al-Risālah..., 534. Lihat juga, Muh}ammad Abū Zuhrah, Al-Shāfi‟ă Ḥayātuh wa „Aṣruh Fiqhuh wa „Ārā‟uh (Bairūt: Dār al-Fikr al-‗Arabī, 1392 H/ 1971 M), 273. 32Abū Zuhrah, Al-Shāfi‟ă..., 323-324. 33Al-Shāfi‘ī, Al-Risālah..., 487.
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 155
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
syarat-syarat yang harus ada pada qiyas, dan perbedaan antara qiyas dengan bentukbentuk istinbāṭ yang lain.34 Al-Shāfi‘ī mempergunakan qiyās sebagai sumber hukum karena dalam pemikirannya hukum-hukum sharī‘at tidak mungkin hanya mengambil naṣ-naṣ alQur‘an dan hadith.35 Problematika yang akan dihadapi oleh umat manusia akan terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman, sementara itu naṣ-naṣ al-Qur‘an dan hadith sudah berhenti pasca wafatnya Nabi SAW. Karena itu, penggunaan qiyās sebagai sumber hukum merupakan keniscayaan dan mutlak diperlukan. Sementara Ibn ‗Arabī, dalam melakukan istinbāṭ hukum mempergunakan tiga sumber hukum pokok yaitu, al-Qur‘an, sunnah mutawātirah, dan Ijmak. Qiyas, dalam pandangannya tidak layak menjadi sumber hukum. Ia menyatakan: فمن قائل بأننو دلينل، واختلق العلماء ىف القياس. الكتاب والسنة املتواترة وا اع:اعلم أن أصول أحكام الشرع املتفخ عليها ثالثة 36
. ومن قائل مبنعو وبو أقول،وأنو من أصول األحكام
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya sumber pokok hukum shari‘at yang telah disepakati ada tiga: al-Qur‘an, sunnah mutawātirah, dan Ijmak . Ulama‘ berselisih pendapat tentang qiyas (analogi), sementara mereka memandangnya sebagai dalil dan sumber pokok hukum Islam dan sementara yang lain mengabaikannya, menurut saya, pendapat yang kedua ini lebih tepat.
Bagi Ibn ‗Arabī, makna yang digunakan dari al-Qur‘an dan sunnah adalah makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari ‗illat seperti yang digunakan oleh ulama yang mengakui al-Qiyās sebagai metode ijtihad, menurutnya, shari‘at Islam tidak boleh diintervensi oleh akal. Ulama yang mengakui al-Qiyās, biasanya ingin mengetahui makna yang tersirat dari suatu ketentuan al-Qur‘an dan sunnah. Dalam rangka mengetahui dalil dibalik teks, para ulama melakukan penelitian sehingga diketahui ‗illat hukumnya, baik ‗illat yang terdapat dalam naṣ secara tekstual („illat manṣūṣah) maupun ‗illat yang diperoleh setelah melalui pengkajian („illat mustanbaṭah). Bagi Ibn ‗Arabi, tujuan dari penentuan shari‘ah adalah ta‟abbudă (irrasional) dan bukan ta‟aqqulă (rasional).37 Ibn ‗Arabī mengkategorikan naṣ hanya dari al-Qur‘an dan hadith sebagai sumber pokok hukum. Ia juga mensejajarkan kedudukan al-Qur‘an dan hadith. Beliau berkata: Perintah Allah SWT dan Rasul-Nya semuanya fardhu, dan semua 34Ibid.,
476. 486. 36Ibn ‗Arabī memaparkan beberapa ayat al-Qur‘an untuk mendukung alasannya dalam penetapan ketiga sumber hukum, yaitu al-Qur‘an, sunnah dan qiyas. Adapun dalil-dalil tersebut; Qs. al-Baqarah (2): 282; Qs. al-Ḥadīd (28): 57. Ayat-ayat yang menerangkan tentang ketakwaan, menjadi argumen kuat menurut Ibn ‗Arabī dalam menetapkan sumber hukum yang tiga. Landasan utama takwa adalah al-Qur‘an, hadith dan ijma‘. Lihat, Muh}y al-Dīn ibn ‗Arabī, Al-Futūh}āt... Juz II, 162. 37Lihat, Muh}y al-Dīn ibn ‗Arabī, Al-Futūh}āt... Juz I, 685. 35Ibid.,
156 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
larangan Allah SWT dan Rasul-Nya hukumnya haram. Seseorang tidak pantas berkomentar persoalan ini sunnah atau makruh, kecuali dengan naṣ yang ṣah}ăh} yang menerangkan hal tersebut atau ijma.38 Hadith dengan semua tingkatannya: ṣah}ăh}, h}asan, d}a‟ăf, mutawātir, maupun āh}ād, menurut Ibn ‗Arabī mempunyai kedudukan strategis dalam menetapkan hukum. Karena itu, kalau terjadi kontradiksi antara hadith dengan pemikiran seorang mujtahid maka yang harus diaplikasikan adalah hadith Nabi meskipun dari segi kualitas periwayatan, masih terjadi perdebatan di kalangan pakar hadith. Ibn ‗Arabi mengajukan argumentasi dari firman Allah SWT: Dan Kami turunkan padamu al-Qur‘an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. al-Nah}l (16): 44)
Berdasarkan ayat diatas, umat Islam mestinya menanamkan keyakinan di lubuk hati, bahwa setiap riwayat hadith yang menghilangkan kebingungan tidak diragukan lagi validitasnya. Kualitas periwayatannya kurang dapat dipertanggung jawabkan adalah menurut para ahli hadith. Bukankah penyebab utama rendahnya kualitas suatu hadith itu adalah disebabkan karena ketidak percayaan terhadapa para perawinya?.39 Sumber utama hukum Islam ketiga yang disepakati oleh ulama adalah Ijmak. Ijmak senantiasa bersandar pada naṣ al-Qur‘an dan hadith walaupun tersirat. Dalam penentuan hukum agama, ijma‘ menempati posisi yang sama dengan naṣ al-Qur‘an dan hadith mutawātir, dari sisi mendatangkan kepastian. Namun ijma‘ yang dimaksud oleh Imam Ibn ‗Arabī hanyalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat, generasi pertama umat Islam. Ijma‘ seperti inilah yang dapat dijadikan sebagai h}ujjah, karena ijma‘ tidak mungkin ditemukan sesudah generasi mereka. Alasannya yang diajukan Ibn ‗Arabī cukup rasionalis, mengetahui pendapat yang disepakati para mujtahid di masa para sahabat adalah mungkin, karena mereka dikenal, berjumlah sedikit, dan mudah untuk berkumpul untuk membahas suatu masalah secara bersama. Sedangkan jumlah mujtahid pasca generasi sahabat demikian banyak dan tersebar di seluruh penjuru dunia, sehingga tidak mungkin untuk mengetahui pendapat mereka.40 Ibn ‗Arabī menentang keras penggunaan qiyas, karena menurutnya aturanatauran agama tidak memerlukan tambahan lagi dari siapa pun dan al-Shāri‟ 38Baca,
Muh}y al-Dīn ibn ‗Arabī, Al-Futūh}āt... Juz II, 162. 164. Baca juga, Ibn ‗Arabī, Al-Futūh}āt... Juz I, 533. 40Ibn ‗Arabī, Al-Futūh}āt... Juz I, 333-334; Juz II, 162; dan Juz IV, 75. 39Ibid.,
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 157
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
(pembuat aturan; Nabi) menginginkan keringanan bagi umat ini. Beliau tidak suka terhadap sahabat yang sering bertanya, karena ia khawatir akan turun shari‘at yang memberatkan umatnya sehingga mereka tidak mampu melaksanakannya, seperti salat malam di bulan Ramadhan, haji setiap tahun, dan lain sebagainya.41 Ibn ‗Arabī menjelaskan, sesungguhnya Allah SWT dan Rasul-Nya tidak pernah memerintahkan kita untuk menggunakan qiyas (analogi) karena itu wajib diabaikan. Pada prinsipnya tidak ada beban kecuali apa yang telah ditentukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Barangsiapa membuat batasan-batasan tertentu, maka hendaknya mengeluarkan dalil dari al-Qur‘an, hadith dan ijma‘. Sungguh, saya tidak menyukai qiyas (analogi) dan tidak akan pernah mau mengikuti orang yang menetapkan hukum dengannya. Qiyas yang dilakukan oleh bukan Nabi, berarti membuat aturan baru dalam agama Allah. Qiyas selalu berdasarkan „illat (alasan) tertentu, padahal Allah SWT belum tentu menghendaki „illat tersebut, andaikata Dia menghendaki „illat itu, niscaya Dia akan menjelaskannya melalui lisan Rasulullah SAW dan memerintahkan sang Nabi untuk memberlakukannya. Kasus ini berlaku ketika „illat dari hukum tertentu disebut secara jelas oleh shara‘. Jika „illat-nya tidak disebut oleh shara‘, lalu ahli hukum berusaha mencarinya, setelah itu diberlakukan pada persoalan yang di-istinbāṭ-kan hukumnya, berarti dia membuat shari‘at baru yang tidak diizinkan Allah SWT.42 Konvergensi dan Disvergensi Pemikiran dan Metode Istinbāṭ Hukum antara al-Shāfi‟ī dan Ibn Arabī tentang Nikah Tah}līl Berdasarkan data yang telah diuraikan di atas, maka konvergensi dan disvergensi pemikiran dan metode istinbāṭ hukum antara al-Shāfi‘ī dan Ibn ‗Arabī tentang nikah tah}lăl adalah sebagai berikut: Tabel 1 Pemikiran Imam al-Shāfi‟ă dan Ibn „Arabă Sesuai Permasalahan 1. Hukum Nikah Tah}lăl
Imam al-Shāfi‟ī Boleh dengan syarat:
اجلماع بأن تغي احلشفة ىف القبل 2. Metode Istinbāṭ Hukum 3. a. Persamaan hukum Metode istinbāṭ 41Ibn 42Ibn
Al-Qur‘an (kontektual), Hadith dan Ijmak Boleh Al-Qur‘an
‗Arabī, Al-Futūh}āt... Juz II, 164-165; Juz III, 337. ‗Arabī, Al-Futūh}āt... Juz II, 165 dan Juz III, 337.
158 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Ibn „Arabī Boleh tanpa syarat
جمرد العقد الالصي Al-Qur‘an (tektual) Boleh Al-Qur‘an
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
b. Perbedaan hukum Metode istinbāṭ
Bersyarat Hadith dan Ijmak
Tanpa syarat Tanpa Hadith dan Ijmak
Dalam konteks nikah tah}lăl, pakar hukum Islam mengkonsensuskan bahwa perempuan yang diceraikan tiga tidak boleh kembali kepada mantan suaminya, kecuali setelah menikah secara sah dengan laki-laki lain.43 Al-Shāfi‘ī dan Ibn ‗Arabī mengamini konsensus ini.44 Perbedaan mulai muncul setelah perempuan tersebut menikah dengan laki-laki lain. Apakah perempuan itu boleh kembali kepada bekas suminya setelah dia mereguk madu suaminya, atau cukup dengan akad yang sah? Menurut pemikiran alShāfi‘ī, perempuan yang telah ditalak tiga dapat kembali kepada suami pertamanya setelah dia merasakan madu suminya, dan sebaliknya. Sementara Ibn ‗Arabī berpendapat, perempuan yang telah dicerai tiga dapat kembali kepada mantan suminya meskipun belum merasakan madu suaminya yang kedua, artinya, syarat utama nikah tah}lăl adalah akad yang sah. Dari segi metodologi, Imam al-Shāfi‘ī dan Ibn ‗Arabī sepakat untuk menggunakan istinbāṭ hukum berupa al-Qur‘an, yaitu surat al-Baqarah ayat 230, meskipun interpretasi mereka berbeda. Imam al-Shāfi‘ī mengutamakan makna kontekstual, sedangkan Ibn ‗Arabī memilih makna tekstual. Adapun selain alQur‘an, seperti hadith, dan ijmak, maka Imam Ibn ‗Arabī mengabaikannya. Dan alShāfi‘ī justru berargumentasi juga dengan hadith, dan ijmak ketika beliau menetapkan keabsahan nikah tah}lăl guna menguatkan naṣ al-Qur‘an. Catatan Akhir Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang diajukan, sebagai berikut; Pertama, menurut al-Shāfi‘ī, perempuan yang diceraikan tiga kali oleh suaminya, baik dalam satu masa atau berbeda masa, boleh kembali kepada mantan suaminya setelah perempuan tersebut menikah dengan laki-laki lain dan mereguk madu suaminya. Laki-laki yang menikahinya, mencapai kematangan fisik sehingga kehidupan suami istri (hubungan seks) berjalan dengan normal. Sisi psikologis lakilaki tersebut dan stutus sosial yang disandangnya tidak menjadi tolak ukur untuk melegalkan pernikahan si perempuan dengan mantan suaminya. Demikian pula keyakinan yang dianut oleh suami kedua, bukan termasuk persoalan yang esensial 43Ibn
al-Mundhir, Al-Ijmā‟..., 115. Baca pula, Ibn ‗Abd al-Barr, Al-Ijmā‟ ..., 259-260. Ibn Idrīs al-Shāfi‘ī, Al-Umm..., Juz VII, 126. Baca pula, Ibn ‗Arabī, Ăjāz al-Bayān..., 345.
44Baca,
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 159
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
dalam nikah tah}lăl. Pemikiran al-Shāfi‘ī ini selaras dengan pendapat mayoritas pakar hukum Islam dari aliran Sunnī, Shī‘ah, dan Khawārij. Dalam menetapkan nikah tah}lăl ini, al-Shāfi‘ī menggunakan metodologi istinbāṭ hukum dari al-Qur‘an, Sunnah, dan Ijmak. Kedua, menurut Ibn ‗Arabī, perempuan yang ditalak tiga oleh suaminya, baik dalam satu masa atau berbeda masa, boleh kembali menyatu dengan mantan suaminya setelah perempuan tersebut menikah secara sah dengan laki-laki lain. Masuknya pedang ke dalam sarungnya, bukan menjadi syarat utama sehingga dia dapat kembali hidup bersama secara harmonis dengan mantan suaminya. Pemikiran Ibn ‗Arabī ini sejalan dengan pemikiran sayyid al-Tābi‟ăn (penghulu generasi tabi‘in), Sa‘īd ibn Musayyib. Dalam menetapkan nikah tah}lăl, Ibn ‗Arabī menggunakan metodologi istinbāṭ hukum dari al-Qur‘an saja. Ketiga, konvergensi pemikiran antara al-Shāfi‘ī dan Ibn ‗Arabī tentang nikah tah}lăl adalah perempuan yang telah diceraikan tiga kali oleh suaminya tidak boleh kembali menyatu dengan suami awalnya melainkan perempuan tersebut menikah secara sah dengan laki-laki lain. Disvergensi mulai muncul setelah perempuan tersebut menikah dengan laki-laki lain. Apakah ia boleh kembali kepada mantan suminya setelah mereguk madu suaminya, atau cukup dengan akad yang sah? Menurut al-Shāfi‘ī, perempuan yang ditalak tiga dapat kembali kepada suami pertamanya setelah merasakan madu suminya, dan sebaliknya. Sementara Ibn ‗Arabī berpendapat, perempuan yang diceraikan tiga dapat kembali kepada mantan suaminya meskipun belum merasakan madu suaminya yang kedua, artinya, syarat utama nikah tah}lăl adalah akad yang sah. Dari segi metodologi, al-Shāfi‘ī dan Ibn ‗Arabī sepakat untuk menggunakan istinbāṭ hukum berupa al-Qur‘an, yaitu surat alBaqarah ayat 230, meskipun interpretasi mereka berbeda. Al-Shāfi‘ī mengutamakan makna kontekstual, sedangkan Ibn ‗Arabī memilih makna tekstual. Adapun selain alQur‘an, seperti sunnah dan ijmak, maka Ibn ‗Arabī mengabaikannya, sementara alShāfi‘ī justru berargumentasi juga dengan sunnah, dan ijmak, ketika menetapkan keabsahan nikah tah}lăl. Daftar Pustaka Abd al-Barr, Yūsuf ibn ‗Abdillah ibn. Al-Ijmā‟. Al-Riyāḍ: Dār al-Qāsim, t.th. Abū Zayd, Naṣr Ḥāmid. Thalāthah H}ukamā‟ Muslimăn. Bairūt: Dār al-Nahār, 1971. Abū Zuhrah, Muh}ammad. Uṣūl al-Fiqh. Bairūt: Dār al-Fikr al-‗Arabī, 1392 H/ 1971 M.
160 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
Arabī, Muh}y al-Dīn Muh}ammad ibn ‗Alī al. Al-Futūh}āt al-Makkiyyah. Juz I. AlQāhirah: Dār al-Kutub al-‗Arabiyyah al-Kubrā, 1329 H/ 1909 M. -----------------------. Al-Futūh}āt al-Makkiyyah. Juz II. Al-Qāhirah: Dār al-Kutub al‗Arabiyyah al-Kubrā, 1329 H/ 1909 M. -----------------------. Al-Futūh}āt al-Makkiyyah. Juz IV. Al-Qāhirah: Dār al-Kutub al‗Arabiyyah al-Kubrā, 1329 H/ 1909 M. ------------------------. Ăjāz al-Bayān fă al-Tarjamah „an al-Qur‟ān. Dimashq: Maṭba‘ah Naḍar, 1410 H/ 1989 M. Asqalānī, Ah}mad ibn ‗Ali ibn Ḥajar al. Tawālă al-Ta‟săs li Ma‟ālă Muh}ammad ibn Idrăs. Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1406 H/ 1986 M. Bayhaqī, Ah}mad ibn Ḥusayn al. Manāqib al-Shāfi‟ă. Juz I. Al-Qāhirah: Maktabah Dār al-Turāth, 1390 H/ 1970 M. Bukhārī, Muh}ammad ibn Ismā‘īl al. Ṣah}ăh} al-Bukhāră. Bairūt: Dār Ibn Kathīr, 1423 H/ 2002 M. Dimashqī, Ismā‘īl ibn ‗Umar ibn Kathīr al. Manāqib al-Imām al-Shāfi‟ă. Al-Riyāḍ: Maktabah al-Imām al-Shāfi‘ī, 1412 H/ 1992 M. Ghallāb, Muh}ammad. ― Al-Ma‘rifah ‗inda Ibn ‗Arabī ―, dalam Ibrāhīm Bayyūmī Madkūr. Al-Kitāb al-Tidhkāră Muh}y al-Dăn Ibn „Arabă fi al-Dhikrā al-Mi‟awiyah alThāminah li Mălādih. Al-Qāhirah: Dār al-Kātib al-‗Arabī, 1389 H/ 1969 M. Gibb, H.A.R. dan dan J.H. Kramers. Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1961. Ḥanbal, Ah}mad ibn Muh}ammad ibn. Al-Musnad. Juz II. Bairūt: Dār al-Kutub al‗Ilmiyyah, 2008. Jundī, Abd al-Ḥalīm al. Al-Imām al-Shāfi‟ă; Nāṣir al-Sunnah Wa Wād}i‟ al-Uṣūl. AlQāhirah: Dār al-Ma‘ārif, 1415 H/ 1994 M. cet. IV. Muh}ammad, Ali dan Ādil Ah}mad. ed. “Mausū‟ah al-Umm”. Juz VI. Bairūt: Dār Ih}yā‘ al-Turāth al-‗Arabī, 1422 H/ 2001 M. Mundhir, Muh}ammad ibn Ibrāhīm al. Al-Ijmā‟. ‗Ujmān: Maktabah al-Furqān, 1420 H/ 1999 M. cet. II. Naysābūrī, Abū ‗Abdillāh al-Ḥākim al. Al-Mustadrak „alā al-Ṣah}ăh}ain. Juz II. Bairūt: Dār al-Ma‘rifah, t.th. Naysabūrī, Muslim ibn al-Ḥajjāj al. Ṣah}ăh} Muslim. Riyāḍ: Dār Ṭaibah, 1427 H/ 2006 M. Qazwaynī, Muh}ammad ibn Yazīd al. Sunan Ibn Mājah. Bairūt: Dār al-Fikr, 1421 H/ 2001 M. Shāfi‘ī, Muhammad ibn Idrīs al. Al-Umm, Jilid VI. Miṣr: Dār al-Wafā‘, 1422 H/ 2001.
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 161
M. Yusron Azzahidi, Nikah Tah}li>l …
-----------------. Al-Risālah. Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1309 H/ 1888 M. ------------------. Al-Umm. Jilid VII. Bairūt: Dār Ih}yā‘ al-Turāth al-‗Arabī, 1420 H/ 2000 M. -----------------. Al-Umm. Jilid VIII. Bairūt: Dār Ih}yā‘ al-Turāth al-‗Arabī, 1420 H/ 2000 M. Shawkānī, Muh}ammad ibn ‗Alī ibn Muh}ammad al. Nayl al-Auṭār Sharh} Muntaqā alAkhbār. Jilid VI. Al-Qāhirah: Maktabah Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, t.th. Sijistānī, Sulaymān ibn al-‗Ash‘ath al. Sunan Abă Dāwūd. Bairūt: Dār Ibn Ḥazm, 1418 H/ 1997 M. Subkī, Abd al-Wahhāb ibn ‗Ali ibn ‗Abd al-Kāfī al. Ṭabaqāt al-Shāfi‟iyyah al-Kubrā. Jilid I. Bairūt: Dār Ih}yā al-Kutub al-‗Arabiyyah, t.th. Ṭabrānī, Sulaymān ibn Ah}mad al. Al-Mu‟jam al-Kabăr. Juz XI. Al-Qāhirah: Maktabah Ibn Taymiyyah, 1404 H/ 1983 M. Taymiyah, Ah}mad ibn ‗Abd al-Ḥalīm ibn. al-Muswaddah. Al-Qāhirah: Maṭba‘ah alMadanī, t.th. Ṭūfī, Sulaimān ibn ‗Abd al-Qawī al. Sharh} Mukhtaṣar al-Raud}ah. Juz II. Al-Riyāḍ: t.tp, 1419 H/ 1998 M. cet. II. Zuhaylī, Wahbah al. Uṣūl al-Fiqh al-Islāmă. Juz I. Damskus: Dār al-Fikr, 1406 H/ 1986 M.
162 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014