NEGARA DAN AGAMA MENURUT PEMIKIRAN SANTO AUGUSTINUS
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh : Mburak Perianta Ginting 040906030
Dosen Pembimbing : Drs. P. Antonius Sitepu, M.Si Dosen Pembaca : Drs. Tony P Situmorang, MA
DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur hanya bagi Tuhan Sang Juru Selamat sebab kita adalah milik-Nya sejak semula dan tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasihNya. Kasih-Nya kekal untuk selamanya. Skripsi ini berjudul Negara dan Agama menurut pemikiran St. Augustinus, penulis berharap skripsi ini dapat memberi kontribusi kepada pembaca khususnya para pencinta filsafat agama dan memberi cakrawala berpikir bagi penulis dalam memulai mengembangkan kreatifitas menulis sebagai akademisi pemula. Suatu perjalanana takkan selesai tanpa pertolongan dari-Nya dan spirit yang berharga dari orang-orang disekitar penulis hingga akhirnya skripsi ini hadir dengan kesempurnaan penulisan dan bahasa maupun keterbatasan analisa makna. Oleh karana itu penulis mengharapkan saran dan kritik konstruktif dalam rangka penyempurnanaan skripsi ini. Dalam penelitian skripsi ini penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka skripsi ini tidak akan dapat selesai pada waktunya. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa penghargaan dan terima kasih yang sedalam-dalam nya kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Keluarga tercinta, ayahanda P. Ginting, dan Ibunda M Br Sebayang, yang paling saya kasihi di bumi ini, tak ada motivasi terbesar selain melihat senyum mereka merekah melihat anaknya yang paling nakal akhirnya selesai, maaf kalo aku lama kali siapnya ya pak, mak. Kakak penulis tercinta beserta keluarga kecilnya yang termanis, Surani Peristiati Natalia Ginting dan Yan Kristianta Keliat beserta si kecil ganteng yang waktu lahirnya mirip sama penulis katanya Misionary Noel Egapa Keliat, yang hampir setiap sore menghubungi untuk menanyakan perkembangan skripsi saya, terima kasih banyak ya selalu mengingatkan aku. Abang tersayang Tanta Kristian Ginting yang selalu menjadi abang yang baik yang selalu memberikan motivasi berharga pada saya lewat pengalaman-pengalamannya, makasih banyak ya buat kritik-kritiknya. Adik ku paling bijak sejagad raya, Rizki Oktovianta Ginting, kawan satu kamar, satu pelayanan, satu curhatan, dan kawan berbagi suka duka, serta kawan berantam yang gak ada habisnya, makasih buat peringatan-peringatan akan waktu yang Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
telah banyak kuhabiskan sia-sia, lewat prestasimu yang gemilang kau telah ingatkan aku, dan aku yakin kau pasti lebih hebat dari aku, cepat tamat ya, jangan macam aku. Buat teman paling setia sejagad raya, Selvia Carolina Br Sitepu, makasih ya sayang buat support yang selama ini kam kasih, dari permulaan skripsi ini, sampai finishnya sekarang. Makasih buat senyum yang selalu ada saat aku lagi pusing nyari bahan, kam yang terbaiklah. Aq sayang kam Terima kasih yang terdalam juga saya persembahkan buat kawan-kawan penulis yang dengan setia menanyakan perkembangan skripsi saya. Sastri Henyta Venensia Simbolon, panjang kali nama mu ya, makasih buat repetan-repetannya kalo nelepon ya, Serta Berliana Sitorus alias bebek kuning, thanx buat kata-kata bijak yang sering masuk ke inbox ku ya bek, emang gak ada matinya gaya mu tu bek, heheheheeee, jangan menyerah ya bek, pasti dapat kerjaan yang baiklah. Isabella Josephine Simarmata, Adekku yang paling besar, walau udah jarang nampak, tapi aku yakin kau selalu mendoakan aku, Septri Stephani Pasaribu, ayo sep, jangan lama-lama, nunggu apa lagi coba.oh ya, jangan lupa kado klen ya. Buat Mario Butar-butar, kawan awaq yang selalu setia menemani kemana aja, dan selalu siap kapan aja, thanx kali bro, akhirnya gak sia-sia kerjaanmu ngawani aku selama ini. Hery Aprilando dan bang rio, makasih ya dah nyiapin waktunya buat aku pake bentar laptopnya, sory FD ku banyak virus ya ri. Kurnia Putra Bangun, makasih buat kritikmu ya. Buat junior-junior yang telah banyak membantu, kael, martin, yova, damira, anwar, dan 08 yang lain, makasih buat waktunya ngisiin absen di mata kuliah perbaikan, khusus buat kael, makasih kartu perpusnya ya, emy, imel, deby, ali, sabar, brando, bella, dan 06 lainnya yang tak tersebut namanya, makasih dah banyak nanya ya. Bernard, Iyan, jesy, rahmat, nando, mewakili 07 yang lain, makasih buat dukungan klen. Terima kasih yang panjang juga penulis ucapkan buat kawan-kawan seperjuangan dari awal penulis memijakkan kaki di ibu kota ini, Apri Boy Parlinggoman Manurung, lama kali kita ya boy, kalo kawin dah tiga kurasa anak kita, heheheheeeee, tetap berjuang kawan, makasih buat filosof hidup yang telah kita jalani sama-sama selama ini, ternyata kita emang harus dipisahkan boy, kalo gak mungkin gak ada yang siap nanti, hakahakahkahkkk. Ayo cepat nyusul ya. Roroitsky Hasoloan Naibaho, stess ko “ky” heheheeeeee, siap juga kita ya, sama Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
kita wisuda ya, sama gagal, sama masuk, sama keluar, aku gak mau kawin sama mu, huaghahahahahahaaaa. Ruth Damayanti Sianipar, makasih ya selalu nanya kapan tamat, sekarang aku dah tamat, apa lagi lah pertanyaanmu. Wnda Fransiska Sitohang, makasih ya win dah mau nunggu, jadi sama kita cari kerja ni, hehehehee. Tak lupa juga penulis mengucapkan banyak terima kasih buat kawankawan satu pelayanan penulis di PERMATA BETHESDA GBKP Pasar 2, makasih dah mau nmendoakan dan mensupport saya dalam penyelesaian skripsi ini, pengurus permata runggun yang selalu bertemu setiap selasa malam, makasih buat kera samanya, permata sektor 1,2 dan 3 dalam pelayanannya, tim koor, VG, dan majalah dinding, makasih dah mau membantu saya dalam pelayanan, kiranya Tuhan yang membalas semuanya. Khusus buat kawan-kawa sepermainan Enda, Egen, Lia, Prima, Robert, Anes, Ui, Kencana, Endi, Kibul, Rudi, Enos, b’ do, sedra, Rena, lias, apri, barto, dan lainnya yang tak tersebut satu persatu, makasih buat hari-hari yang kita isi bersama ya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pdt. M.P Barus, yang telah dengan sukarela mau meminjamkan bukunya untuk penulis pakai sebagai bahan referensi penulis, makasih juga buat diskusi-diskusinya ya pak. Pdt. A peranginangin, makasih buat support nya ya ma, juga udah mau nemani aku buat bacabaca di kampus mama. Doakan aku ya ma. Kepada pihak Departemen Ilmu Politik dan civitas kampus, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, bapak Hery Kusmanto, selaku ketua jurusan, bapak Antonius Sitepu selaku dosen pembimbing, terima kasih banyak buat bimbingannya ya pak, tanpa itu semua penulis yakin skripsi ini jauh dari layak, bapak Tony Situmorang sebagai dosen pembaca, terima kasih buat saran nya pak, saya akan berusaha untuk menjadi lebih baik dan lebih sempurna dari ini, bang Rusdi, yang telah banyak membantu penulis dalam hal administrasi, makasih banyak ya bang, k’ uci yang selalu sibuk tapi tetap sempat ngurusi jurusan, makasih buat bantuannya ya k’. Dan masih banyak lagi pihak yang membantu penulis tapi tidak bias disebutkan satu persatu, penulis tak dapat membalas kebaikan kalian semua, tapi penulis berdoa agar Tuhan kiranya yang membalas semuanya. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai sekaligus mengharapkan saran dan kritik terhadap skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya untuk kemajuan akademik. Selamat Membaca.
Medan, Juli 2009 Penulis
Mburak Perianta Ginting
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK MBURAK PERIANTA GINTING 040906030 NEGARA DAN AGAMA MENURUT PEMIKIRAN St. AUGUSTINUS Rincian Isi Skripsi vii, 101 halaman, 43 buku, 1 karya ilmiah, 1 situs internet, (kisaran buku dari tahun 1958-2009)
ABSTRAK Konsepsi negara pada abad pertengahan diwarnai dengan pengaruh kekristenan, khususnya raja Roma Konstantin Agung menetapkan agama Kristen sebagai agama negara. Raja harus mendapat legitimasi dari gereja. Dengan demikian posisi gereja menjadi lebih tinggi dari negara yang diwakili oleh Paus, khususnya negara-negara Eropa. Kekuasaan raja dianggap perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Augustinus seorang ahli filsafat teologis, yang mencoba menjelaskan bagaimana entitas agama dan negara dapat dipertemukan. Penelitian ini mengulas isi dari pemikiran Augustinus tentang Negara dan Agama yang melatarbelakanginya.. Augustinus mendapat pengaruh dari Manicheisme, filsafat Platonisme dan doktrin Kristen yang mempengaruhi pandangan dan ajarannya. Gagasan-gagasan politik Augustinus berpusat pada konsepnya tentang dua kota, negara Tuhan dan negara Duniawi, yang saling bertentangan satu dengan lainnya. Penelitian ini mencoba menguraikan pemikiran Augustinus tentang negara dan agama, serta analisa pemikiran tentang negara dan agama menurut Augustinus. Disamping itu, penelitian ini memuat riwayat hidup Augustinus, dan konsep-konsep yang mempengaruhi pemikiran-pemikiran Augustinus tentang negara dan agama. Augustinus tidak mengembangkan secara mendetail maupun sistematis teori tentang hubungan yang benar antara negara dan agama. Namun dalam tulisantulisannya menyediakan dasar-dasar analisisnya tentang hubungan negara dan agama. Augustinus menyatakan ada dua macam negara yaitu negara Allah dan negara duniawi. Negara yang paling baik dan oleh sebab itu harus diupayakan perwujudannya adalah negara Allah dan negara duniawi adalah negara yang buruk. Kendatipun cara hidup kedua negara itu amat berbeda, bahkan saling bertentangan satu sama lainnya, namun didalam praktek kedua-duanya sangat sulit dipisahkan. Itu berarti kedua-duanya hadir secara bersamaan. Augustinus menyatakan bahwa negara Allah mengembara di dunia ini bercampur dan berbaur dengan negara duniawi dan kedua umat nya sulit dipisahkan. Augustinus tidak konsisten berbicara tentang negara dan agama. Augustinus tidak mempersoalkan masalah-masalah praktis organisasi negara dan agama. Augustinus lebih tertarik pada prinsip-prinsip pada negara Allah agar menolak prinsip-prisip pada negara duniawi. Akhirnya Augustinus hanya bercerita bagaimana manusia sebagai ciptaan Allah itu dapat hidup berkenaan dengan Allah. Kata Kunci : Negara dan Agama, Augustinus Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR…………………………………………………………. ABSTRAK……………………………………………………………………… DAFTAR ISI……………………………………………………………………
BAB I : PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah………………………………………….. 1 2. Perumusan Masalah………………………………………………. 11 3. Batasan Masalah………………………………………………….. 12 4. Tujuan Penelitian……………………………………………….… 12 5. Manfaat Penelitian………………………………………………... 12 6. Kerangka Teori…………………………………………………… 13 Negara…………………………………. ……………. 13 Agama…………………………………....................... 17 Hubungan Agama dan Negara……………………….. 21 7. Metodologi Penelitian……………………………………………. 24 Jenis Penelitian……………………………………….. 24 Teknik Pengumpulan Data……………………………. 25 Teknik Analisa Data…………………………………... 26 8. Sistematika Penulisan……………………………………………… 27
BAB II : BIOGRAFI SANTO AURELIUS AUGUSTINUS 1. Riwayat Hidup Augustinus………………………………………... 28 2. Latar Belakang Lahirnya Ide/ Pemikiran “Dua Kota”…………..... 36 3. Pemikiran Augustinus……………………………………………… 40 3.1. Pemikiran (Ide) Tentang “Dua Kota”………………… 40 3.2. Arti/Makna dari “Dua Kota”………………………….. 42
BAB III : ANALISA PEMIKIRAN St. AUGUSTINUS TENTANG NEGARA DAN AGAMA 1. Pemahaman Tentang Hubungan Negara Dan Agama……………... 48 Asal Mula Negara……………………………………………… 48 Tujuan Dan Fungsi Negara…………………………………….. 57 Lahirnya Agama……………………………………………….. 64 2. Hubungan Antara Negara Dan Agama…………………………….. 69 3. Pemikiran St. Augustinus Tentang Negara Dan Agama…………… 80 Asal Mula Dan Tujuan Negara………………………………….80 Negara Sekuler Dan Negara Allah……………………………...84 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Pertumbuhan Dan Perkembangan Negara Sekuler…….. 86 Masalah Yang Melanda Negara Sekuler………………..88 Pertumbuhan Dan Perkembangan Negara Allah………. 91 Akhir Kedua Negara…………………………………………… 92
BAB IV : KESIMPULAN……………………………………………… 95 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 99 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Diskusi tentang agama, politik, dan Negara 1 telah berlangsung cukup
lama, setidaknya mungkin karena ketiga entitas ini sama-sama memiliki kepentingan dan orang-orang dibelakangnya masing-masing. Agama dianggap sebagai entitas yang memiliki nilai sakral, karena itu sering kali diagungkan, diunggulkan untuk dijadikan menjadi semacam pembawa keberuntungan atau petuah sakti bagi pengikutnya, sakralisasi agama amat berperan dalam membangun sebuah masyarakat yang percaya pada dimensi transidental ke-Ilahian. 2 Sedangkan Negara dengan model dan caranya sendiri memiliki kekuatan yang cukup dahsyat dalam mengatur masyarakatnya sebagai dasar legitimasi kekuasaan politik yang dimiliki, pemaksaan peraturan atau kebijakan kepada rakyatnya secara politik dibenarkan, karena disanalah salah satu sumber utama legitimasi politik yang senantiasa harus dijaga. Entitas yang sama-sama berkepentingan ini seringkali menjadi rebutan, hingga kadang-kadang terjadi benrokan-bentrokan kepentingan yang sama-sama melibatkan masyarakat. Masyarakat mestinya mendapat manfaat atas agama, malah seringkali dikorbankan atas nama agama dan kepentingan politisi, sehingga seringkali sarat dengan muatan-muatan politik, atau dengan kata lain agama oleh para politisi 1
Sebagai pelaku dan penentu Zaman, manusia tidak pernah luput dari ketiga entitas tersebut, kesatuan manusia dengan komunitasnya ikut menentukan caranya menampilkan diri dan bersosialisasi dengan yang lain. Sehingga mau tak mau ketiga entitas ini menjadi berhubungan satu dengan yang lainnya. Lihat Elga Sarapung dkk, Spritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2004 2 A.Munir Mulkan – Machasin dkk, Agama dan Negara, Yogyakarta: Institut DIAN/Interfedei, 2002.hal.v Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
biasanya dibuat tak berdaya dan diperalat, inilah kerap kali yang menjadi lahan paling subur terjadinya politisasi agama, bahkan agama kemudian diredusir hanya sebagai justifikasi politik sehingga agama tak lebih sebagai ideologi politik. Kekuatan agama untuk menjadi sumber legitimasi atas umatnya memang tidak diragukan lagi, kitab suci para nabi yang menjadi sumber religiusitas umat, merupakan pijakan utama demi melanggengkan tradisi-tradisi yang telah diajarkan kitab suci atau para nabi, dari sana kemudian dibutuhkan kelompok atau komunitas yang akan dengan setia melanggenggkan tradisi tersebut sampai kapan dan dimanapun. Doktrin kitab suci pendeknya merupakan semacam mukjizat pada umatnya dengan segala daya magis. Disinilah kemudian secara tegas akan biasa kita lihat bagaimana agama memiliki otoritas atas umatnya, agama menjadi sangat kental dengan simbol-simbol yang tak jarang hanya dapat dipahami oleh kalangan atau kelompok tertentu, bahasa agama ternyata merupakan problem tersendiri bagi umatnya yang beragam kemampuan. 3 Seperti talah disinggung diatas, Negara 4 dengan segala kepentingannya terhadap warga Negara melakukan pemaksaan-pemaksaan da itu disahkan oleh kebijakan politik yang berlangsung. Pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan oleh Negara bisa dibilang sebagai turning point bagaimana Negara menguasai warganya, dengan mengatasnamakan kepentingan public, Negara tak jarang berlaku menindas dan mengebiri rakyatnya, Negara tak lagi berlaku sebagai pelayan publik namun menempatkan diri sebagai penguasa tunggal, kedaulatan 3
Ibid. hal vi Negara dalam pengertiannya yang luas, merujuk kepada setiap pengaturan diri sendiri dari orang-orang yang terorganisasi, sehingga mereka berhubungan satu sama lain sebagai satu kesatuan. Dadang Juliantara, Negara Demokrasi untuk Indonesia, Solo, Pondok Edukasi, 2002, hal 12. Tentang Negara dapat dilihat F. Isjwana, Pengantar Ilmu Politik, Bandung, Binacipta, 1992, hal 90; Sumidjo, Ilmu Negara, CV. Armico, 2002, hal 28-29; Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal 82-85. 4
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
rakyat tidak dihorhamati sedikitpun oleh para penguasa, apalagi jika para elit politiknya adalah cerminan dari elit politik yang korup dan arogan, tumpang tindih antara kepentingan publik dengan kepentingan elit menjadi tidak jelas sama sekali disebabkan tumpang tindih kepentingan di dalamnya. Hal semacam ini terjadi bukan hanya pada level kekuasaan politik tetapi pada wilayah agama, politisasi agama memang merupakan realitas yang sulit dihindarkan. Hal ini dapat dijelaskan dengan banyaknya politisi yang menggunakan simbol-simbol agama demi kepentingan politiknya, bahkan agama mayoritaslah yang paling sering menjadi korban atas perilaku politik elit, dimana agama mayoritas menjadi sasaran empuk kuda tunggangan sebagai pembangkit sentimen sektarian dan revivalisme politik berbasis agama. 5 Baik agama maupun Negara penting bagi kehidupan umat manusia, kendati tidak dalam derajat yang sama, agama berasal dari Allah mengacu bukan saja kepentingan masa kini, tetapi juga masa depan bahkan sesudah manusia meninggal dunia, dalam kedudukannya yang melampaui sejarah itu, agam bersifat mutlak, ajaran-ajarannya ditaati demi kepentingan masa depan tersebut. 6Di lain pihak Negara juga penting , Negara adalah agensi atau alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan masyarakat. 7 Berbagai persoalan yang berkaitan dengan agama tersebut sesungguhnya bukan karena agama yang gagal
dalam mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan manusia,
tetapi para pemeluk agamalah yang gagal dalam memahami dan memaknai agama
5
A. Munir Mulkan…Opcit, hal vii A. Munir Mulkan…ibid, hal.xvii 7 Miriam Budiarjo.Dasar-dasar Ilmu Politik.Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. 1992. hal. 38 6
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
yang dianutnya. Selanjutnya untuk melihat lebih obyektif terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan agama, maka agama harus dilihat dari dua dimensi. Pertama agama sebagai sebuah keyakinan yang dianut oleh sekelompok orang, baik secara individual maupun kelompok. Kedua agama sebagai sebuah fenomena sosial. Seringkali orang tidak dapat membedakan kedua fenomena tersebut bahkan tidak jarang mencampuradukkan satu sama lain. Agama sebagai sebuah keyakinan, akidah kemudian direduksi sebagai sebuah fenomena sosial. Kalau itu terjadi maka akan timbul masalah, terutama masalah interpretasi dari kalangan yang berasal dari luar lingkungan sebuah agama.
Sebaliknya juga
agama sebagai sebuah fenomena sosial kemudian diinterpretasi sebagai doktin agama itu sendiri sehingga timbul tudingan agama sebagai penyebab kerusuhan. 8 Untuk itu maka perlu diadakan suatu pembatasan tentang peran agama terhadap Negara maupun intervensi Negara terhadap agama agar nantinya Negara dan agama dapat sama-sama berjalan sesuai perannya masing-masing. Para sosiolog teoritisi islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan agama dan Negara, yang secara garis besar dibedakan menjadi 3 paradigma pemikiran, yaitu 9: 1. Paradigma Integralistik, dalam paradigma integralistik ini, agama dan Negara menyatu, wilayah agama meliputi politik atau Negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala
Negara
adalah
pemegang
kekuasaan
agama
dan
politik.
Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar kedaulatan Illahi, karena 8
Afan Gafar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2000 9
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh madzhab Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 2001, hal 23-28; lihat juga Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, Yogyakarta, LESFI, 2002. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di tangan Tuhan. 2. Paradigma Simbiotik, dalam paradigma ini, agama dan Negara berhubungan secara simbiotik, yaitu suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan Negara, karena dengan Negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya Negara juga memerlukan agama, karena dengan agama, Negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual. 3. Paradigma Sekularistik, paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya paradigma ini mengajukan pemisahan agama atas Negara dan sebaliknya. Augustinus salah seorang ahli filsafat theologis 10 coba menjelaskan bagaimana kedua entitas dapat dipertemukan, Augustinus membagi Negara menjadi dua, Negara Tuhan dan Negara duniawi, ia menganalogikan kedua bentuk Negara itu ibarat tubuh dan jiwa. Bagi Augustinus karena memiliki keyakinan berarti menyetujui sesuatu yang tidak terlihat jelas, ini harus hadir mendahului jenis pemahaman apapun, dengan demikian peran utama akal adalah membimbing individu ke jenis keyakinan yang benar dan karenanya ke pandangan-pandangan yang tepat menyangkut topik-topik seperti dosa, kehendak bebas dan berkah. Baik akal maupun keyakinan membawa Augustinus untuk menganggap realitas tersusun atas 3 alam yaitu ketuhanan, lahiriah dan spiritual. Sifat ketuhanan merujuk pada Tuhan yang cirri-ciri utamanya adalah keabadian, keberkatan dan kreatifitas, Tuhan adalah pijakan akhir dari keberadaan dan 10
Teologis berasal dari kata Theos yang artinya Allah dan logos yang artinya pernyataan yang rasional. Jadi kata ini berarti suatu interpretasi yang rasional tentang iman keagamaan. Lihat Charles C. Ryrie, Teologi dasar 1, Yogyakarta, Penerbit ANDI, 1991. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
pemahaman pemegang seluruh gagasan pemberi seluruh kekuatan serta kebaikan tertinggi. Sifat lahiriah merujuk pada tubuh, yang diciptakan oleh Tuhan dan secara inheren tak terberkati ataupun menderita. Dengan demikian tubuh tunduk pada perubahan dan pada fluktuasi waktu, tempat dan keadaan. Seperti tubuh, jiwa tunduk ada perubahan sepanjang waktu, namun karena memiliki kehendak bebas, jiwa dapat menjadi baik atau buruk.11 Gagasan-gagasan politik utama Augustinus berpusat pada konsepnya tentang dua kota yang menyarankan bahwa manusia terdiri dari dua kelompok yang hadir bersama dan saling bercampur, mereka yang tinggal di kota duniawi (kota manusia) dan mereka yang tinggal di kota surgawi (kota Tuhan). Orangorang yang tinggal di kota duniawi hidup mengikuti sifat lahiriah mereka dan mencintai diri sendiri sekalipun merendahkan Tuhan. Kebanyakan dari kita masuk ke dalam kelompok ini karena terkena kutukan untuk menjalani hidup dengan penuh masalah, kelangkaan, pertikaian, kekerasan. Karena kita tidak mencintai Tuhan, maka ada satu kekuatan eksternal yaitu Negara yang harus mengatur nafsu-nafsu kita yang tak terkendali. Dalam pengaturan semacam ini, konflikkonflik kita dapat dikendalikan sehingga kita dapat menikmati harta duniawi kita tanpa menjadi korban suatu kematian dini yang kejam. Sebaliknya kota surgawi terdiri dari mereka yang mencintai Tuhan dan merendahkan diri yang hidup dengan roh adalah sebuah tatanan yang didasarkan pada kasih Tuhan dan dicirikan oleh keberadaan keadilan sejati, kedamaina, harmoni dan kebijksanaan. Bagaimanapun tatanan tersebut hanya terwujud dengan suatu kebangkitan. Hingga ini tercapai kota Tuhan terdiri dari tubuh yang maya dari mereka yang terpilih 11
Joseph Losco – Leonard Williams, Political Theory : Kajian Klasik dan Kontemporer Edisi Kedua, Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada, 2005, hal. 336 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
hanya sebagian yang ditemukan dalam gereja kasat mata diantara wakil-wakil Tuhan di dunia. 12 Augustinus kemudian memperbandingkan asal-usul dan kondisi akhir, sifat-sifat esensial, kedua kota. Setiap kota memiliki satu konsepsi perdamaian dan keadilan, namun versi-versi sementara yang ditemukan dalam kota duniawi tampak pucat bila dibandingkan dengan ekspresi-ekspresi sejati atau sempurnanya dalam Kota Surgawi. Kemudian, di bumi bahkan di antara gerombolangerombolan perampok, dapat ditemukan seukuran tatanan atau keadilan meskipun itu tentunya tidak mencukupi untuk menghadirkan berkah-berkah kehidupan abadi yang berasal dari pemberian karunia Tuhan. Jadi, anggota-anggota kota Surgawi hadir sebagai peziarah di dunia, menggunakan kedamaian duniawi bagi keuntungan-keuntungan apapun yang mungkin didapatkan darinya hingga Perhitungan Terakhir memberi mereka satu kedamaian sejati dan abadi. 13 Gagasan Augustinus itu sepenuhnya merupakan gagasan teologis, dan itu wajar mengingat dirinya adalah seorang teolog, menurutnya Negara Tuhan didasarkan pada cinta kasih Tuhan, cinta kasih Tuhan yang bersifat immortal merupakan faktor perekat yang mengintegrasikan Negara menjadi suatu kesatuan politik. Itu berarti bahwa dalam Negara Tuhan tidak dikenal konsep kekuasaan politik dalam pengertian suatu bentuk kekuasaan pemaksa dan alat kekerasan yang dilembagakan. Maka dalam Negara Tuhan tidak dikenal adanya paksaan dan penggunaan kekerasan fisik maupun psikis terhadap warga negaranya, tidak terdapat institusi kekerasan yang dijadikan alat untuk memaksa warga Negara mematuhi hukum-hukum Tuhan. Kepatuhan warga Negara terhadap ketentuan 12 13
Joseph Losco…Ibid. hal 336 Joseph Losco…Ibid. hal 337
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
dan hukum-hukum Negara sepenuhnya didasarkan pada kesadaran kolektif massa bahwa kepatuhan terhadap hukum patut dilakukan demi mencapai kebaikan bersama tidak untuk sekelompok kecil elit penguasa Negara. Dalam konteks ini Augustinus melihat kebaikan bersama sebagai perhatian utama dalam Negara Tuhan, oleh karena cinta kasih Tuhan merupakan dasar Negara Tuhan maka menurut Augustinus Negara itu bersifat universal dan abadi, bersifat universal karena Negara Tuhan itu tidak dibatasi oleh sekat-sekat kebangsaan, suku, bahasa maupun waktu, artinya Negara Tuhan bersifat mondial berupa suatu imperium dunia misalnya dan terdapat sepanjang zaman. Keadilan adalah nilai fundamental dalam Negara Tuhan, tanpa nilai keadilan tidak mungkin terbentuk Negara Tuhan itu, dengan adanya keadilan menurut Augustinus akan tercipta kedamaian sosial, keadilan yang dimaksud disini adalah kesesuaian untuk memerintah dan penghormatan pada tugas-tugas yang timbul dari perintah ini, seorang individu akan diakui jika ia memenuhi tugas-tugas ini, Keadilan adalah kebajikan tersebut yang memberi pada dirinya sendiri dan keadilan tidak dapat dipredikatkan dari masyarakat yang menjauhkan diri manusia dari Tuhan dan mendekatkannya pada setan. 14 Unsur penting yang seharusnya ada dalam Negara Tuhan adalah perdamaian, perdamaian bukan semata-mata suatau keadaan tanpa konflik, tapi lebih dari itu ia merupakan suatu hubungan positif dalam keharmonisan dan kerukunan. Negara berkewajiban menegakkan perdamaian ini, dan ini mungkin dilakukan mengingat tidak ada manusia yang tidak menghendaki perdamaian sejahat dan sependosa apapun dia, kedamaian adalah kebutuhan hidup 14
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001. hal
82. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
nonmaterial manusia. Augustinus mengatakan bahwa perdamaian yang diciptakan Negara itu mempunyai tujuan yang pasti, yaitu agar manusia dapat sepenuhnya mengabdikan diri kepada Tuhan, adanya perdamaian membuat manusia tenang menjalankan peribadatan menuju Tuhan. Jadi dalam konteks ini ia melihat usaha menciptakan perdamain oleh Negara itu sekadar alat untuk mensucikan jiwa manusia dan dalam konteks yang lebih besar menciptakan persemakmuran Kristen atau Negara Tuhan di dunia ini. 15 Negara duniawi didasarkan pada cinta diri, bukan cinta kasih Tuhan, cinta diri mendorong lahirnya ambisi untuk meraih segala nilai-nilai kebesaran hidup yang bersifat hedonistik dan meterialistik. Maka dari rasa cinta diri inilah muncul motivasi untuk berkuasa dan mendominasi orang lain. Kekuasaan sebagai produk rasa cinta diri ini dalam skala yang luas dan massif menjadi dasar bagi pembentukan kekuasaan Negara duniawi. Kekerasan dan paksaan merupakan esensi utama Negara duniawi yang digunakan para penguasa sebagai sarana untuk menciptakan kepatuhan terhadap hukum Negara, mengontrol perilaku masyarakat dan demi pemuasan ambisi politik penguasa. Legitimasi kekuasaan Negara 16 duniawi diperoleh dengan kecanggihan mempergunakan kekerasan dan paksaan bukan atas dasar moralis luhur dan cinta kasih. Tujuan Negara duniawi inilah menurut Augustinus adalah akumulasi kekuasaan.
15
Ahmad Suhelmi…Ibid. hal 83 mempelajari kekuasaan Negara dapat dari dua perspektif yang agak berbeda. Pertama, mempertimbangkan kemampuan Negara dalam membuat dan menjalankan kebijakan yang disebut kapasitas kekuasaan. Kedua, mempertimbangkan klaim atas apa yang membuat masyarakat mau memenuhi kehendak para penguasa dan mengapa mereka harus melakukannya, apakah karena para penguasa tersebut mengklaim diri mereka wakil Tuhan atau apakah memegang mandat dari rakyat. Lihat John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hal 25 16
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Negara Tuhan ditandai oleh iman, ketaatan dan kasih Allah, menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas terpuji seperti kejujuran, keadilan, keluhuran budi, keindahan dan lain-lain. Negara duniawi merupakan manifestasi dari kebohongan pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, pengkhianatan, kebobrokan moral, kemaksiatan dan lain-lain. Tujuan Negara hanya semata-mata mencari kebahagiaan fisik, menumpuk harta kekayaan dan pengumbaran nafsu hewani, gila hormat dan kekuasaan yang kemudian hanya menimbulkan pertikaian dan malapetaka. 17 Menurut Augustinus apapun sifat dan karakter buruk yang melekat padanya, suatu Negara duniawi dengan berbagai instrument kekuasaannya tetap dibutuhkan. Dosa asal manusia telah menyebabkan Negara duniawi dengan segala instrument kekuasaannya menjadi suatu kebutuhan, manusia mudah berbuat dosa dan maksiat karena terlalu mudah dipermainkan oleh nafsu-nafsu rendah yang melemahkan kesadaran moral manusia itu, dalam konteks inilah Negara duniawi dibutuhkan untuk mengekang dan membatasi hawa nafsu rendah itu. Menurut Augustinus takut akan ancaman kekerasan Negara merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk membuat manusia mematuhi perintah Tuhan dan tidak melanggar etika maupun keharmonisan kehidupan sosial. 18 Pemikiran-pemikiran seperti dikemukakan diataslah yang membuat penulis tertarik untuk membahas lebih jauh tentang bagaimana Negara yang ideal dan kedudukan agama dalam suatu Negara menurut pandangan Augustinus, dan bagaimana pula komentar-komentar para tokoh tentang pamikiran Augustinus tentang kedudukan Negara dan agama tersebut. Oleh karena itu mencermati uraian 17 18
Ahmad Suhelmi… opcit. hal 84 Ahmad Suhelmi… ibid. hal 89
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
diatas, maka penulis berkeinginan untuk mengangkat persoalan ini menjadi judul skripsi, yaitu mengenai : “ Negara dan Agama Menurut Pemikiran St. Augustinus.“
2.
Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa
masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu di jawab atau perlu di cari jalan pemecahannya, atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah. 19 Dalam menganalisis pemikiran-pemikiran Augustinus, tentu diperlukan telaah yang mendalam yang didapat dari perndapat dan pernyataan yang dikemukakannya yang berada dalam karya tulisnya maupun tulisantulisan lain seperti para tokoh yang membahas tulisan beliau atau juga mengkritik tulisan dan pemikirannya. Tulisan-tulisan tersebut dianalisis dan digabungkan sehingga membentuk suatu paparan dan gambaran yang jelas. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini yang menjadi perumusan masalah adalah : 1. Bagaimana pemikiran Augustinus tentang Negara dan Agama? 2. Analisa pemikiran tentang Negara dan Agama. 19
Husani Usman dan Purnomo. Metodologi Penelitian Sosial, Bandung : Bumi Aksara.2004,
hal 26 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
3.
Batasan Masalah Dalam melakukan penelitian, penulis perlu membuat pembatasan masalah
terhadap masalah yang akan dibahas, agar hasil penelitian yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai, yaitu suatu karya tulis yang sistematis dan tidak melebar. Maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah : Pemikiran Augustinus tentang Negara dan Agama yang di tulisnya dalam karyanya City of
God, tentang konsep Negara Tuhan dan Negara Duniawi,
disertai oleh keingintahuan apa yang melandasi atau membangun konsep tersebut, dan diikuti dengan kriik beberapa tokoh akan pemikirannya.
4.
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk dapat lebih memahami isi dari pemikiran Augustinus tentang Negara dan Agama. 2. Untuk menganalisis pemikiran Augustinus tentang Negara dan agama
5.
Manfaat Penelitian Setiap penelitian, diharapkan mampu memberikan manfaat, terlebih lagi
untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah ;
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
1. Untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam menulis karya ilmiah, dan memahami lebih dalam tentang Negara dan Agama, khususnya dari pemikiran St. Augustinus. 2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan menambah referensi pemikiran tentang Negara dan Agama, diharapkan dapat memberikan sumbangan baru tentang teori Negara dan agama. 3. Jika memungkinkan dapat bermanfaat bagi lembaga-lembaga yang terkait, seperti akademisi atau lembaga Agama.
6.
Kerangka Teori 6.1 Negara Apa yang sekarang disebut Negara dahulu biasa disebut kerajaan, atau ada
kalanya juga disebut imperium. Misalnya imperium Romanun, yang berarti daerah kekuasaan atau Negara Romawi. 20 Negara, dalam istilahnya ataupun dalam pengertiannya, bukanlah begitu saja terjadi dan tetap tinggal sama selamalamanya. Ia terjadi dengan melalui evolusi pertumbuhan yang berabad-abad lamanya. Pada beberapa abad sebelum masehi, Socrates, Plato, dan Aristoteles telah mengajarkan beberapa teori kenegaraan, tetapi bisalah dimengerti bahwa pengertian Negara pada waktu itu barulah meliputi lingkungan kota, atau Negara kota yang disebut polis. Menurut Aristoteles, pengertian Negara itu adalah keluarga rumah tangga, adalah dasar pembinaan Negara, dari beberapa keluarga berdirilah suatu kampung. Dari beberapa kampung berdiri suatu kota, dari
20
Victor Situmorang,S.H, Intisari Ilmu Negara, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hal 14
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
beberapa kota berdiri satu propinsi, dan dari beberapa propinsi berdiri satu Negara. 21 Negara berasal dari kata staat, state, etat, yang diambil dari bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Kata statum lazim diartikan sebagai standing atau station (kedudukan). Istilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup manusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah, kata status pada abad ke-16 dikaitkan dengan kata Negara. Pemahaman tentang negara dapat dipahami secara sederhana bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolist dari kekuaasaan yang sah. 22 Satu pertanyaan yang sering mengusik para pemikir politik dan kenegaraan adalah apa sebenarnya Negara itu? Defenisi tentang Negara berjumlah hampir sebanyak para pemikirnya, sesuai pengertian dan pemahamannya yang tentu saja tidak terlepas dari situasi dan kondisi serta kenyataan yang hidup di sekitarnya yang berada dalam konteks sejarah dan budayanya masing-masing. Negara dalam pengertian sosiologis, merupakan sebuah lembaga yang tidak netral, berpihak, mengklaim dirinya berdiri diatas semua golongan masyarakat dan mengabdi pada kepentingan umum. Sedangkan di sisi lain, ideologi Negara netral dan berdiri di atas semua golongan merupakan ideologi23 yang ampuh bagi
21
Victor Situmorang…Ibid, hal 15 http://www.google.com/pengertian Negara, diakses tanggal 4 maret 2009. 23 Secara Etimologis, Ideologi berasal dari 2 suku kata, yaitu ‘ ideos ‘ yang berarti ide atau konsep dan ‘ logos ‘ yang berarti ilmu, sehingga ideology diartikan sebagai ilmu yang mempelajari 22
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
keabsahan berkuasanya sebuah Negara. Negara bukan saja berhak mengeluarkan undang-undang yang bersifat mengikat bagi warganya, tapi juga berhak menggunakan kekerasan kalau para warga tidak mau mematuhi peraturan yang di buat oleh Negara. 24 Uraian singkat di atas membawa kita pada pra pemahaman tentang Negara. Pertama, Negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam sebuah masyarakat. Negara dapat memaksakan kehendaknya kepada warga atau kelompok yang ada di masyarakat. Bahkan kalau perlu, Negara memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan fisik dalam memaksakan
kepatuhan
masyarakat
terhadap
perintah-perintah
yang
di
keluarkannya. Kedua, kekuasaan yang sangat besar ini diperoleh karena Negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum. Sebagai lembaga yang mewakili kepentingan umum, Negara dapat memaksakan kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat yang lebih kecil jumlahnya. 25 Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu dan golongan atau asosiasi, maupun oleh Negara sendiri, dengan demikian ia dapat mengintegrasikan
ide-ide manusia atau ilmu tentang ide. Tentang ideologi dapat di lihat dalam Karl Manheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap kaitan Pikiran dan Politik, Yogyakarta, Kanisius, 1991, hal. 5960, lihat juga, Arif Rohman, Politik, Ideologi, Pendidikan, Yogyakarta, Laksbang Mediatama, 2009, Baskara T. Wardaya, Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto, Jakarta, Galang Press, 2007, hal 67 24 Anom Surya Putra, Agamaku Terbang Tinggi, Jawa Timur : Inspirasi, 2001, hal 22 25 Lihat Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan ideologi, Gramedia, Jakarta, 1996, hal. 1 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa Negara mempunyai dua tugas : a. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan. b. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongangolongan kea rah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional. Menurut Harold J. Laski, Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan Negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat. Sedangkan menurut Robert M. Mac Iver, Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintahan yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa. Menurut Roger H. Solatu, Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Dan menurut Max Weber, Negara adalah suatu masyarakat
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Dari beberapa pandangan diatas tentang Negara, terdapat perbedaan mengenai konsep Negara. Sedangkan Augustinus sendiri sebenarnya tidak pernah menyebutkan secara spesifik arti Negara menurut pemikirannya. Akan tetapi Augustinus mengatakan bahwa sesungguhnya ada dua macam Negara, yang pertama adalah Negara Allah (Civitas Dei) yang sering juga disebutnya sebagai Negara surgawi. Yang kedua adalah Negara sekuler (Civitas Terena/Negara duniawi) yang sering juga disebutnya Negara diaboli (Diaboli berasal dari kata Yunani “Diabolos” yang berarti pengkhianat, iblis, setan dan sebagainya. Jadi Negara Diaboli berarti Negara yang mengkhianati hakikatnya atau Negara setan). 26 6.2 Agama Agama berasal dari bahasa Sanskrit, satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, yaitu a = tidak, dan gama = pergi/kacau, jadi arti agama tidak pergi dan tidak kacau, tetap di tempat, diwarisi turun temurun. 27Agama memang mempunyai sifat yang demikian, selanjutnya dikatakan lagi agama berarti tuntutan. Agama memang mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntutan hidup bagi penganutnya. Jalaludin Rahmat mengatakan bahwa agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. 28
26
J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001. hal. 303 27 Somad Zawawi, dkk, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2004, hal. 19 28 Begitu dekat maksudnya senantiasa hadir dalam kehidupan sehari-hari, lihat Jalaludin Rahmat dalam M. Mukshin Jamil, Agama-agama baru di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2008, hal xix Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Berdasarkan fenomena kehidupan keagamaan secara umum, dapat dikatakan bahwa agama adalah segala aktivitas hidup manusia dalam usahanya untuk mewujudkan rasa bakti dan merepresentasikan keterhubungan manusia dengan suatu kuasa yang diyakini bersifat supranatural dan mangatasi dirinya (transenden). Agama sebagai aktivitas hidup manusia membutuhkan bentukbentuk konkret dalam sikap hidup dan tindakan. Dengan demikian, beragama tidak sekadar meyakini sesuatu, tetapi bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya. Aktivitas tersebut dilakukan dalam rangka usaha merealisasikan rasa bakti dan keterhubungan manusia dengan kuasa yang disembah, sebagai ibadah (rasa bakti) kepada kuasa yang disembah, agama melibatkan seluruh segi kehidupan manusia yang disimbolisasikan dalam bentuk ritus-ritus, tata cara peribadahan dan pranata-pranata tertentu, juga terwujud dalam sikap dan tindakan terhadap sesama manusia dan lingkungannya. Salah satu unsur yang menjadi dasar bagi seluruh bangunan keagamaan adalah keyakinan, dengan dasar tersebut hidup keagamaan akan mengandung subjektivitas. Keyakinan subjektif yang menjadi landasan kehidupan agama tidak menuntut pembuktian kebenarannya secara akali. Dalam hal ini, agama menjadi sesuatu yang betul-betul pribadi dan tidak mungkin diganggu gugat atau dipaksakan oleh orang lain, termasuk oleh Negara. 29 Agama tidak pernah boleh dijadikan alat atau sarana saja untuk menstabilkan sesuatu yang duniawi, sekalipun sistem kemasyarakatan atau kenegaraan, sebab usaha seperti itu menurunkan derajat agama. Atau sebaliknya apakah kekuasaan duniawi boleh atau bahkan sebaiknya menopang agama dengan
29
Bambang S, Agama dalam Praksis, Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2003, hal. 7-8
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
kekuasaan fisiknya, supaya orang hidup sesuai dengan agama yang mereka anut. Jawabannya tidak, karena dengan demikian bukan keyakinan batinlah yang mengarahkan orang untuk menghormati Yang Mahatinggi, melainkan ketakutan. Rasa keagamaan membuat manusia insaf akan adanya suatu kekuasaan yang melebihi segala-galanya dan sangat penting bagi keselamatannya. 30 Berbicara tentang Agama adalah berbicara tentang suatu masalah yang rumit dan hangat bagi manusia di segala tempat dan pada segala zaman, selalu dijunjung tinggi sebagai pedoman menuju keselamatan manusia, berbicara sebagai unsur mutlak untuk pembangunan bangsa dan sebagai dasar segala kebudayaan dan perikemanusiaan. Tetapi di lain pihak tidak dapat disangkal bahwa agama dalam
berbagai
bentuk
dan
manifestasinya
dapat
merugikan
manusia,
perkembangan pribadi dengan mencetuskan fanatisme dan pandangan sempit, sehingga menumbulkan pertentangan satu sama lain, bahkan timbul ketegangan nasional/internasional sampai terjadi pertumpahan darah. Pada prinsipnya tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mendukung ketidakadilan yang terjadi diantara sesama manusia, tidak ada satu agama pun yang memberi rekomendasi kepada para penganutnya untuk dengan semena-mena menggunakan kekuasaan yang diperolehnya, atau menyalahgunakan jabatan serta serta kedudukannya yang tinggi dalam suatu masyarakat atau Negara. Tapi pendapat semacam itu jika di hadapkan dengan kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat, di kalangan umat beragama justru menimbulkan banyak pertanyaan. Salah satunya, bukankah ketidak adilan yang sedang berlangsung adalah akibat dari tindakan orang-orang yang beragama pula? Apa hubungan
30
A Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja, Jakarta ; Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991, hal 32
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
agama dengan kenyataan-kenyataan semacam ini? Mungkin saja ada yang berpendapat bahwa agama tidak ada urusan sama sekali dengan hal-hal semacam itu. Agama tinggal agama, rencana dan kehendak manusia jalan terus. Pendapat ini bisa saja dibenarkan, jika agama dianggap sesuatu yang asing dari manusia dan kehidupannya, agama dilihat terpisah dari kenyataan hidup sehari-hari. Atau agama dianggap hanya berurusan dengan soal-soal ketuhanan dan rohani yang sama sekali tidak menyentuh yang duniawi. Pendapat semacam inilah yang pertama-tama harus dikoreksi dan tidak dibiarkan hidup dikalangan umat beragama. Pertanyaan yang timbul adalah, sekalipun konsep tentang agama sudah sangat baik, tapi bagaimana jika penganutnya tetap melakukan hal-hal yang berlawanan dengan konsep itu? Di sinilah isyarat merefungsionalisasikan 31 ajaran-ajaran agama itu harus mendapat perhatian yang serius. Nilai-nilai agama harus dipikirkan secara baru dalam konteks yang sejalan dengan kenyataan konkrit yang dialami manusia. Sehingga agama dilihat bukan semata-mata berisikan tumpukan bentuk larangan atau hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak benar, tetapi merupakan pendorong, pemberi inspirasi positif, dan yang melaluinya manusia lebih dimungkinkan untuk percaya kepada diri sendiri. Percaya kepada kemampuannya untuk berbuat baik, dan percaya kepada orang lain dalam tanggung jawab yang sungguh kepada Tuhan dan sesama manusia. Oleh karena itu, agama tidak hanya berbicara tentang hubungan-hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia saja, tetapi juga hubungan horizontal antara sesama manusia, bahkan dengan seluruh ciptaan Tuhan. 31
menurut Abdurahman Wahid, jika kesadaran merefungsionalisasikan kehidupan beragama itu muncul, proses memahami lebih jauh apa fungsi agama bagi umatnyaharus terjadi, bahkan agama yang satu perlu belajar dari agama yang lain. Abdurrahman Wahid, kebersamaan dalam menanggulangi kemiskinan: sebuah perspektif islam (bahan diskusi panel dalam SR XI PGI), Surabaya 1989. dikutip dalam Elga Sarapung dkk, opcit, hal 183 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Pemikiran Augustinus mengenai agama khususnya yang menyangkut Negara Tuhan yang didasarkan pada cinta kasih Tuhan. Cinta kasih Tuhan yang bersifat immortal, merupakan faktor perekat yang mengintegrasikan Negara menjadi satu kesatuan politik (political entity). Maka Negara Tuhan tidak dikenal konsep kekuasaan politik yang menggunakan kekerasan sebagai alat pemaksa yang sah, dalam hal ini hanya mengaplikasikan ajaran cinta kasih yang diperoleh dari agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kepatuhan warga Negara terhadap ketentuan dan hukum-hukum Negara sepenuhnya didasarkan pada kesadaran kolektif massa bahwa kepatuhan terhadap hukum patut dilakukan demi mencapai kebaikan bersama, tidak untuk sekelompok kecil elit penguasa negara. 6.3 Hubungan Agama dan Negara Hubungan antara Agama dan Negara bukan hanya masalah peka, melainkan juga rumit dan luas sekali. Hubungan ini berkembang terus, karena Agama bertahan berabad-abad dan melampaui batas Negara-negara dan lingkungan-lingkungan kebudayaan yang terus berubah, bahkan timbul dan hilang. Jadi identifikasi antara agama dan Negara tertentu tidak mungkin dan agama-agama besar tidak pernah menjadi suatu fungsi Negara saja. 32Dalam sejarah Negara dapat dianggap dan dijadikan sarana salah satu agama. Baik Negara maupun agama-agama, menurut pengertian masing-masing agama adalah hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yaitu satu dan sama. Maka kedua-duanya harus saling mengakui dan menghormati, karena Negara modern adalah wadah bagi para warga Negara yang berkeyakinan dan beriman berbeda-beda, maka
32
A Heuken SJ… opcit, hal 48
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
hukum agama termasuk hukum-hukum yang menurut iman penganut suatu agama dimaksudkan Tuhan untuk Negara, hanya dapat menjadi hukum Negara, sejauh rasionya dapat diterima baik oleh semua golongan. Tetapi tidak hanya karena diimani oleh golongan, sekalipun mayoritas dapat menjadi hokum Negara. Agama dapat mempunyai fungsi integratif bagi masyarakat dan Negara, karena menyumbangkan juga nilai-nilai sosial dan norma-norma moral, memberi arti pada peristiwa hidup baik orang perseorangan maupun bagi masyarakat seluruhnya. Fungsi agama untuk mempersatukan orang, masih kuat, tapi agama juga dapat berfungsi desintegratif, jika agama dicampuradukkan dengan kepentingan politik dan ekonomi, bila kebebasan agama ditolak, dan jika mendukung diskriminasi atas dasar agama. Secara teoritis, ada beberapa kemungkinan hubungan antara Negara dan agama, pertama, Negara memperalat agama demi kepentingan politik. Kedua agama menguasai masyarakat politis, dengan demikian pemerintahan dianggap sarana untuk melaksanakan tujuan dan ketentuan agama tertentu, karena tanpa bantuan fisik Negara ketentuan agama tentang kehidupan masyarakat tidak dapat dipaksakan. Pola pemerintahan seperti ini disebut teokrasi. Segala bentuk teokrasi bersifat statis-konservatif. Sebab hokum agama dipandang tetap untuk segala zaman dan daerah, sehingga tidak boleh disesuaikan dengan kondisi dan situasi berbeda. Ketiga, agama dan Negara dipisahkan, pemisahan dapat dilakukan dalam semangat anti agama, sehingga merugikan agama karena dalam prakteknya menindas kehidupan umat beragama dengan menokong propaganda anti-agama. Tapi ada juga pola pemisahan antara agama dan Negara yang menguntungkan kedua belah pihak, sebab kedua-duanya saling menghargai wewnang dan bidang Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
masing-masing. Keempat, pola pembedaan dan kerjasama diantara Negara dan agama tanpa mencampuradukkan kedua bidang itu. Jadi agama dan Negara menjalankan fungsinya masing-masing tapi juga saling melihat kebutuhan agama dan Negara juga, sehingga keduanya berjalan seiring sejalan. 33 Menunjuk pada konsep atau pandangan tentang negara dalam agamaagama. Misalnya, arti dan hakekat negara menurut pandangan agama Kristen, Islam, Katolik, Hindu, Buddha, dan lain-lain. Dalam konteks ini, tokoh-tokoh agama menyampaikan dan menunjukkan kepada penganutnya pandangan mereka mengenai negara, serta tugas dan tanggungjawab sebagai warga negara menurut ajaran agamanya. Sekaligus memperhatikan “pemisahan” antara Negara dan Agama, walaupun obyek pelayanannya sama yaitu manusia, rakyat yang ada dalam Negara. 34 Dalam konsep ini, Institusi Agama dan Negara yang berada dalam satu lokasi atau konteks kehidupan namun keduanya tidak saling mencampuri. Agama diciptakan untuk menghantar manusia mencapai hidup dan kehidupan masa depan eskhatologis, hidup setelah kehidupan sekarang, yang tidak lagi di batasi dimensi. Sedangkan negara diciptakan agar ada kesejahteraan, keteraturan dalam hidup bermasyarakat, sosialisasi, mengembangkan serta membangun sarana-sarana penunjang hidup dan kehidupan sesuai dengan kemampuan. Menunjuk pada adanya agama-agama dalam satu negara. Artinya, pada satu negara ada banyak agama, namun mereka diberi hak dan kebebasan yang sama untuk melayani pemeluknya, melakukan ibadah, mengembangkan agamanya, dan juga membangun sarana ibadahnya. Di dalamnya termasuk negara 33 34
A Heuken SJ… ibid, hal 49 http://www.google.com/ Hubungan Agama dan Negara, diakses 3April 2009
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
tidak mementingkan, mengutamakan, memperhatikan salah satu agama sambil mengesampingkan yang lain. Akan tetapi, negara memberi kesempatan yang sama kepada agama-agama untuk pelayanan dan kesaksian kepada umatnya serta masyarakat dan bangsa secara luas. Negara dan Agama saling membantu, menolong, dan kerjasama untuk mensejahterahkan masyarakat. Negara menjadi fasilitator dalam kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama. Bahkan ada kesempatan bagi tokoh-tokoh agama untuk menegur pemimpin negara jika mereka melakukan penyimpangan, ketidakjujuran, ketidakadilan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan hal-hal lain yang menyakiti rakyat.
7.
Metodologi Penelitian Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan, melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, masyarakat dan lain-lain, pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Usaha yang mendeskripsikan fakta-fakta itu pada tahap permulaan tertuju pada usaha yang mengemukakan gejala-gejala secara lengkap didalam aspek yang diselidiki, agar jelas keadaan atau kondisinya. Pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis, sehingga dalam langkah-langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis. 35 7.1 Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi tokoh, Pengkajian studi tokoh yaitu pengkajian secara sistematis terhadap pemikiran/gagasan 35
Hadawi Nawawi, Metodologi Penelitian Sosial, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, hal. 63 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
seorang pemikir, keseluruhannya atau sebagiannya. Pengkajian meliputi latar belakang internal, eksternal, perkembangan pemikiran, hal-hal yang diperhatikan dan kurang diperhatikan, kekuatan dan kelemahan pemikiran tokoh, serta kontribusinya bagi zamannya dan masa sesudahnya. 36 Dalam penelitian pemikiran tokoh, metode yang dipakai dalam meneliti adalah kualitatif. Menurut Arief Furcan dan Agus Maimun dalam bukunya “ Studi Tokoh : Metode Penelitian Mengenai Tokoh “, melalui metode kualitatif, penulis dapat mengenal tokoh secara pribadi dan melihat dia, mengembangkan defenisinya sendiri tentang dunia dengan berbagai pemikiran, karya dan prilaku yang dijalaninya. Disamping itu, metode kualitatif dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih mendalam mengenai konsep atau ide-ide. Konsep dan ide yang pernah ditulis dalam karya-karya tokoh akan dapat dikaji dengan melihat kualitas dari tulisan-tulisannya yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pemikiran selanjutnya. Pengaruh tersebut tidak hanya dalam perkembangan teori, tetapi juga dalam hal praktek sehingga akan dapat dikatakan apakah pemikiran tokoh tersebut dapat dikatakan ilmiah dan memenuhi kriteria ilmu pengetahuan. Dari pengaruh terhadap perkembangan pemikiranlah akan terlihat kekuatan dari pemikiran tokoh tersebut. Penelitian studi tokoh dengan metode kualitatif menelusuri pemikiran melalui karya-karya, peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya karya tersebut dan pengaruh dari karya yang dihasilkan. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi dan kegiatan. Dengan
36
Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, Jakarta dan Medan : Istiqamah Mulya Press, 2006, hal. 7 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati komponenkomponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri.
7.2 Teknik Pengumpulan Data Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam persiapan penelitian adalah mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia. Dalam penelitian skripsi ini, penulis hanya menggunakan data sekunder, sebab data sekunder dianggap sudah mewakili dari segala pemikiran tentang studi tokoh tersebut. Data sekunder itu didapat dari pengumpulan data Library Research Methods ( Metode Penelitian Kepustakaan ), yaitu sumber yang diambil langsung berasal dari data buku, majalah, surat kabar, kamus, bahkan didapat dari akses internet dan literature lain yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Dengan demikian diperoleh data sekunder sebagai kerangka kerja teoritis.
7.3 Teknik Analisis Data Data sekunder dikumpulkan untuk memperolah hasil yang mendalam dan tidak melebar. Setelah data yang diperoleh dirasa memadai untuk mendukung proses analisis, maka tahapan selanjutnya adalah analisa data. Analisa data yang dilakukan dalam penelitian pemikiran tokoh disini mempergunakan analisa sejarah. Menurut Tolfsen, ada dua unsur pokok yang dihasilkan oleh analisa sejarah. Pertama, kegunaan dari konsep periodeisasi atau derivasi darinya. Kedua, rekonstruksi proses genesis, perubahan dan perkembangan. Dengan cara demikianlah manusia dapat dilacak asal mula situasi yang melahirkan suatu ide Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
dari seseorang tokoh. Melalui analisa sejarah pula dapat diketahui bahwa seorang tokoh dalam berbuat atau berfikir sesungguhnya dipaksa oleh keinginan-keinginan dan tekanan-tekanan yang muncul dari dirinya sendiri. Kita dapat melihat tindakan-tindakannya secara mendalam dipengaruhi tidak cuma oleh dorongan internal yang berupa ide, keyakinan, konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam dirinya, tetapi juga oleh keadaan eksternal. 8.
Sistematika Penulisan
BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian yang digunakan, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan sistematika penulisan.
BAB II
: BIOGRAFI AUGUSTINUS Bab ini berisi tentang biografi singkat perjalanan hidup dari objek yang diteliti yaitu, St. Augustinus, mulai dari lahir, keluarganya, pendidikan, perjalanan dan pengalaman hidupnya.
BAB III
: PENYAJIAN DAN ANALISA DATA Bab ini merupakan hasil analisis penelitian yang dilakukan penulis mengenai pemikiran St. Augustinus tentang Negara dan Agama, melalui penjabaran konsep darinya, landasan berfikir, dan kritik terhadap karya-karyanya.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan analisis dan rekomendasi dari hasil penelitian yang diperoleh.
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
BAB II BIOGRAFI SANTO AURELIUS AUGUSTINUS
1.
Riwayat Hidup Augustinus Augustinus lahir pada tahun 354 di kota Tagasta, Provinsi Numidia di
Afrika Utara. Pada masa itu, Tagasta merupakan satu kota yang berciri Romawi pada abad ke 4. Banyak penduduknya yang berbahasa Latin, dan berpendidikan baik, sebagai tuan tanah yang luas di luar kota. Sementara itu penduduk di luar kota, hidup dengan keadaan yang sangat berbeda. Ia dibesarkan dan dididik di Karthago, dan dibaptiskan di Italia. Ibunya, Monika, adalah seorang Katolik yang saleh, sementara ayahnya, Patricius seorang kafir, namun Agustinus mengikuti agama Manikean yang kontroversial, sehingga ibunya sangat cemas dan takut. Meski ibunya hidup saleh sebagai orang Kristen, Augustinus tidaklah dibabtis pada waktu kecil. Pendidikannya dijalaninya sebagai seorang muda kafir, dia dibesarkan dalam tradisi Kristen di gereja Afrika. Augustinus, dalam hatinya paling dalam dipengaruhi oleh ibunya Monika. Pada waktu yang sama, dari ayahnya dia mewarisi patriotisme Afrika dan Romawi. Meski Augustinus berasal dari keluarga sederhana, dia mempunyai hubungan yang baik dengan masyarakat Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
kelas atas yang berbahasa Latin. Karena itu dapat disimpulkan, bahwa dia termasuk kepada kelompok masyarakat yang maju pada jaman itu. 37 Augustinus mengisahkan bahwa ia belajar bahasa latin, dengan susah payah, namun ia membenci bahasa Yunani, yang berusaha diajarkan para gurunya disekolah, karena ia diperintahkan begitu keras disertai ancaman yang kejam dan hukuman. Hingga akhir hayatnya, pengetahuannya tentang bahasa Yunani tetap terbatas. Meski para guru tak mampu menjadikan dia menguasai bahasa Yunani, pukulan mereka telah menghindarkan dia dari kegembiraan yang menyesatkan, dan berdasarkan alasan ini hukuman itu merupakan bagian yang diperlukan dalam pendidikan.
Pada masa mudanya, Agustinus hidup dengan gaya hedonistik untuk sementara waktu. Di Karthago ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan muda yang selama lebih dari sepuluh tahun dijadikannya sebagai istri gelapnya, yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki baginya. Ayahnya tidak berusaha mencegah angkara itu, melainkan hanya membatasi diri untuk membantu pelajaran sekolah Augustinus. Ibunya, sebaliknya mendesak dia untuk menjaga kesucian, namun tidak berhasil. Pendidikan dan karier awalnya ditempuhnya dalam filsafat dan retorika, seni persuasi dan bicara di depan publik. Ia mengajar di Tagaste dan Karthago, namun ia ingin pergi ke Roma karena yakin bahwa di sanalah para ahli retorika yang terbaik dan paling cerdas berlatih.
Dari Tagasta dia pindah ke utara dari Numidia untuk belajar, dan kemudian ke Kartago, dia belajar tentang Rethorik di Kartago, yang akhirnya
37
Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1998
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
menjadi guru di bidang tersebut, pertama di provinsi Romawi di Afrika dan kemudian di Milan, kota pelajar di Italia. Ketika dia bekerja sebagai guru rethorika di Milan, Augustinus mengambil keputusan untuk mengikuti gereja ibunya. Waktu itu dia berusia awal tigapuluhan. Sewaktu dia masih berumur duapuluhan, dia mencari bimbingan keagamaan dalam ajaran agama Persia dari nabi Mani. 38 Sejak abad ke 4 Manicheis muncul sebagai ancaman terhadap kekristenan Katholik, baik di Timur maupun di Barat. Perkembangannya cukup pesat di seluruh kekaisaran Romawi. Cirinya yang asketis menarik perhatian dari semua lapisan, terutama di daerah Coptik di Afrika Utara. Salah seorang diantaranya adalah Augustinus. Dia kagum terhadap askese dan ajaran tentang mysteri, khususnya okultisme. Agama ini sebenarnya adalah campuran keyahudian, kekristenan dan zoroaster di Persia. Manicheisme 39 sangat dikenal sebagai penganut dualisme, pertentangan antara terang dan gelap. Boleh dikatakan adalah agama yang sinkretistis.
Augustinus berada di bawah pengaruh Manicheisme mulai pada usia 19 sampai 28 tahun. Pada periode ini pastilah banyak mempengaruhi pemikiran Augustinus. Pada tahun 382 Augustinus bertemu dengan seorang guru Manicheisme bernama Faustus di Kartago. Dalam pertemuan tersebut Augustinus merasa kecewa, karena Faustus tidak dapat menjawab pertanyaannya secara memuaskan. Ia lihat Faustus benar-benar tak mampu mengatasi kesuilitan-
38
Augustine, The City of God, Doubleday, New York, 1958, hal 7. Manicheisme adalah suatu ajaran yang dikembangkan oleh Mani, seorang rasul di zaman Babilonia kuno. Inti Manicheisme adalah keyakinan bahwa dalam kehidupan ini selalu terjadi konflik permanent antara penguasa terang dan penguasa kegelapan, antara kerajaan kegelapan dan kerajaan terang. Manicheisme juga menolak gagasan dosa dalam agama kristiani. Dr. Firdaus Syam, M.A, Pemikiran Politik Barat, Sejarah, Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya Terhadap Dunia ke-3, Jakarta, Bumi Aksara, 2007, hal 40. 39
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
kesulitannya tentang astronomi, menurut Augustinus kitab-kitab Manicheisme penuh dengan fabel-fabel berkepanjangan, tentang surga, bintang-bintang, matahari dan bulan, yang tidak sesuai dengan apa yang telah ditemukan oleh para astronom, namun ketika ia menanyakan ini pada Faustus, ia mengakui terus terang bahwa ia tidak tahu. Dan karena kejujuran Faustus itu, Augustinus lebih menyukai dia, karena katanya kesederhanaan pikiran yang jujur bahkan lebih menarik ketimbang pengetahuan tentang berbagai hal dan segala persoalan yang lebih sulit dan pelik yang sempat kutanyakan. Namun Manicheisme sangat mempengaruhi pandangan-pandangan Augustinus. 40 Doktrin Manicheisme yang paling dekat dengan Augustinus kelihatannya adalah doktrin tentang dua kerajaan. Dalam Manicheisme ditekankan antitesis antara kerajaan surgawi dan kerajaan duniawi. Sejarah dunia adalah sejarah dari dua kerajaan, yang bertentangan. Keduanya terpisah pada awalnya, kemudian bercampur di waktu pertengahan, kemudian dipisahkan lagi pada akhirnya. Jadi sebenarnya ada kemiripan dengan pemikiran Augustinus. Selama sembilan tahun dia berada dalam agama tersebut, menjadi frustrasi mencari pengertian tentang dua allah yang besar, yang menghasilkan semua kebaikan dan sumber segala kejahatan. Dipengaruhi oleh pembacaannya dalam filsafat Neoplatonis, dan hasil diskusi dengan mahasiswa filsafat di Milan
Augustinus tertarik pada filsafat karena membaca karya Cicero. Ia mencoba membaca kitab Injil, namun menganggapnya tak memiliki nilai yang setara dengan karya Cicero. Pada saat inilah ia menjadi pengikut manikeisme,
40
Arif Purnomo, Pemikiran Historis Augustinus Sebagai Jiwa Zaman Abad Pertengahan. Jurnal Paramitha No. 2 Th X Juli 2000.0…………………………………………………………………
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
yang menyebabkan ibunya prihatin. Sesuai profesinya, ia adalah guru retorika. Ia sangat meminati astrologi, yang dibelakang hari ia tentang, sebab astrologi mengajarkan bahwa penyebab dosamu yang tak terelakkan berada di langit. Pada masa ini ia percaya bahwa Tuhan adalah semacam tubuh yang besar dan terang, dan ia sendiri adalah bagian dari tubuh itu. Alasan pertama Augustinus menolak ajaran manikeisme bercorak ilmiah. Ia ungkapkan apa yang telah ia pelajari tentang astronomi berdasarkan tulisan-tulisan para astronom terbaik, demikian ungkapnya, aku membandingkannya dengan ungkapan-ungkapan manikeisme yang dengan kebodohannya begitu banyak menulis pokok persoalan, tapi tak satupun penalarannya tentang titik-balik matahari, gerhana atau pokok persoalan manapun semacam ini yang telah kupelajari dari buku-buku filsafat sekuler, bisa memuaskan diriku. Namun aku diperintahkan untuk percaya, akan tetapi kepercayaan itu tidak bersangkut-paut dengan pemikiran yang didapatkan lewat kalkulasi, dan lewat lewat penyelidikanku sendiri, melainkan sangat berkebalikan. Ia cukup berhati-hati untuk menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan ilmiah tidak dengan sendirinya merupakan pertanda kesalahan dalam hal keyakinan, melainkan hanya menjadi demikian jika hal itu dikemukakan dengan menyertakan semacam otoritas yang diperoleh berdasarkan ilham Illahi.
Pada saat itu ia memutuskan untuk pergi ke Roma, bukan karena di Roma penghasilan seorang guru lebih tinggi daripada di Karthago, tapi karena ia mendengar bahwa kegiatan belajar mengajar lebih tertib. Di Karthago, kekacauan yang ditimbulkan para siswa sudah keterlaluan, sehingga pelajaran hamper mustahil dijalankan. Di Roma ia masih bergabung dengan kaum manikeisme, namun dengan keyakinan yang telah merosot akan kebenarannya. Ia mulai Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
beranggapan kaum akademi benar dalam berpendapat bahwa manusia harus meragukan segala hal. Namun demikian Agustinus kemudian kecewa dengan sekolah-sekolah di Roma, yang dirasakannya menyedihkan. Sahabat-sahabatnya yang beragama Manikeanis memperkenalkannya kepada kepala kota Roma, Simakhus, yang telah diminta untuk menyediakan seorang dosen retorika untuk istana kerajaan di Milano. Sesudah kira-kira satu tahun di Roma, ia dikirim ke Milan oleh kepala daerah Simakhus, untuk memenuhi permintaan kota itu akan guru reorika. Pada usia 30 tahun, Agustinus mendapatkan kedudukan akademik yang paling menonjol di dunia Latin, pada saat ketika kedudukan demikian memberikan akses ke jabatan-jabatan politik. 41 Namun demikian, Agustinus merasakan ketegangan dalam kehidupan di istana kerajaan. Suatu hari ia mengeluh ketika sedang duduk di keretanya untuk menyampaikan sebuah pidato penting di hadapan kaisar, bahwa seorang pengemis mabuk yang dilewatinya di jalan ternyata hidupnya tidak begitu diliputi kecemasan dibandingkan dirinya..
Di Kartago, gereja Kristen muncul dari synagoge Yahudi. Pengaruh Yahudi di Afrika Utara tidak hanya mendahului kekristenan, tapi juga mempengaruhi gereja Kristen di sana, terutama karakter kekristenan Afrika, seperti eksklusifitas keyahudian digabungkan dengan ciri dari Semitik-Punic dan Berber. Ini semua mempengaruhi pemikiran Augustinus. Dua tokoh Kristen Afrika sangat mempengaruhi pemikiran Augustinus, yaitu Cyprianus dan Tertullian. Cyprianus melihat dunia ini secara pesimistis. Bagi dia, dunia dan setan-setan adalah sama. Sehingga orang-orang percaya merupakan orang asing, yang sedang ber-pilgrim menuju tujuan akhir. Ini mirip dengan pandangan 41
http://www.google.com/ St. Augustinus, diakses tanggal 4 mei 2009
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Augustinus. Pandangan Cyprianus tentang gereja mengatakan, bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja Katholik. Pandangan ini dipakai juga oleh Augustinus untuk mempersatukan gereja. Bagaimanapun, Augustinus tidaklah secara tiba-tiba bertobat menjadi Kristen seperti kemudian dia katakan. Dia pertama-tama dipengaruhi oleh Kristen Neoplatonis. Dia memuji Neoplatonis yang menjawab pertanyaannya yang tidak terjawab pada Manicheisme. Seperti dia katakan, Neoplatonis membawanya ke jalan menuju kekristenan melalui pengajaran yang mengatakan bahwa Tuhan itu 100% roh, spiritual, transenden dan tidak dapat dibayangkan.
Platonisme
menyediakan jawaban rasional bagi banyak pertanyaan-pertanyaan Augustinus, sehingga merupakan pembebasan rohani bagi dia. Augustinus membandingkan filsafat Plato dengan doktrin kristen. Tuhan, ungkapnya, saat itu memperkenalkan dia dengan buku-buku kaum platonis tertentu, yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke Latin. Ia membaca, pada mulanya adalah firman, dan firman itu bersama-sama dengan Allah dan firman itu adalah Allah. Secara garis besar, ia temukan dalam buku-buku kaum platonis itu ajaran metafisika tentang logos, namun tak temukan ajaran tentang inkarnasi dan ajaran konsekuensinya yang berupa penebusan manusia. Bertolak belakang dengan kaum manikheisme, yang berpandangan dualis, Augustinus pada akhirnya percaya bahwa angkara tidak berasal dari substansi tertentu, melainkan dari kehendak yang jahat.
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Pengaruh dari Ambrosius 42 terhadap Augustinus sangat besar, tidak hanya semasa tinggal di Milan, tetapi juga sesudahnya. Orang percaya sebagai orang asing di bumi sangat ditekankan oleh Ambrosius. Ambrosiuslah, yang mempunyai pengaruh yang paling mendalam terhadap hidupnya. Ambrosius adalah seorang jagoan retorika seperti Agustinus sendiri, namun lebih tua dan lebih berpengalaman. 43 Sebagian karena khotbah-khotbah Ambrosius, dan studistudinya yang lain, termasuk suatu pertemuan yang mengecewakannya dengan seorang tokoh teologi Manikean, Agustinus beralih dari Manikeanisme. Namun bukannya menjadi Katolik seperti Ambrosius dan Monika, ia malah mengambil pendekatan Neoplatonis kafir terhadap kebenaran, dan mengatakan bahwa selama beberapa waktu ia merasakan bahwa ia benar-benar mengalami kemajuan di dalam pencariannya, meskipun pada akhirnya ia justru menjadi seorang skeptik. Ibu Agustinus menyusulnya ke Milan dan ia membiarkan ibunya mengatur sebuah pernikahan untuknya. Untuk itu ia meninggalkan istri gelapnya. (Namun ia harus menunggu dua tahun hingga tunangannya cukup umur, sementara itu ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan lain). Pada masa itulah Agustinus dari Hippo mengucapkan doanya yang terkenal, "Berikanlah daku kemurnian dan penguasaan diri, tapi jangan dulu" [da mihi castitatem et continentiam, sed noli modo]. Pada musim panas tahun 386, setelah membaca riwayat hidup St. Antonius dari Padang Pasir yang sangat memukaunya, Agustinus mengalami suatu krisis pribadi yang mendalam dan memutuskan untuk menjadi seorang
42
Ambrosius adalah seorang bishop di kota Hippo, kehidupannya penuh pengabdian dan perjuangan bagi perjalanan agama kristiani. Bukan sekadar seorang yang netral terhadap persoalan politik, malahan ia seorang teolog yang memiliki prinsip politik yang tegas. Dr. Firdaus Syam… Opcit, hal 40. 43 Sandra Andreas, Tokoh Penting dalam perkembangan Kekristenan Barat. Dalam http://www.google.com/st-Augustinus Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Kristen. Ia meninggalkan kariernya dalam retorika, melepaskan jabatannya sebagai seorang profesor di Milan, dan gagasannya untuk menikah (hal ini menyebabkan ibunya sangat terperanjat), dan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk melayani Allah dan praktik imamat, termasuk selibat.
Sebuah pengalaman penting yang mempengaruhi pertobatannya ini adalah suara dari seorang gadis kecil yang didengarnya pada suatu hari menyampaikan pesan kepadanya melalui sebuah nyanyian kecil untuk "Mengambil dan membaca" Alkitab. Pada saat itu ia membuka Alkitab dengan sembarangan dan menemukan sebuah ayat dari Paulus. Ia menceritakan perjalanan rohaninya dalam bukunya yang terkenal Pengakuan-pengakuan Agustinus yang kemudian menjadi sebuah buku klasik dalam teologi Kristen maupun sastra dunia.
Akhirnya, sesudah melampaui perjalanan batin yang penuh semangat, ia berpindah kepercayaan. Ia tinggalkan jabatannya sebagai guru besar, kekasihnya, serta calon istrinya, dan sesudah periode pengunduran diri dan perenungan yang tak begitu lama, ia di baptis oleh Santo Ambrosius. Ambrosius membaptiskan Agustinus pada hari Paskah pada 387, dan tak lama sesudah itu pada 388 ia kembali ke Afrika. Dalam perjalanan ke Afrika ibunya meninggal, dan tak lama kemudian anak laki-lakinya, sehingga ia praktis sendirian di dunia tanpa keluarga. Di Afrika, ia tinggal selama masa hidupnya, sepenuhnya ia mencurahkan perhatian pada tugas-tugas keuskupan dan untuk menghasilkan tulisan-tulisan yang controversial untuk mementang berbagai ajaran manikeisme, dan pelagian.
2. Latar Belakang Lahirnya Ide/Pemikiran “Dua Kota”
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Untuk melihat pengajaran Augustinus tentang Gereja dan Negara dalam bukunya The City of God, kita harus juga menghubungkannya dengan pengalaman Agustinus sebelum penulisan buku tersebut. Dia mempunyai banyak pengalaman sebelum penulisan buku tersebut. Pengalaman-pengalaman semasa sebelum bertobat, semasa masih sebagai pengikut agama Manicheisme, dan juga pengaruh
filsafat
Platonisme,
semuanya
mempengaruhi pengajaran dan
pandangannya terhadap hubungan Gereja dan Negara.
Pada usia sembilan belas tahun, sesudah memperoleh kecakapan dalam bidang retorika, ia tertarik pada filsafat karena membaca karya Cicero. Ia mencoba membaca kitab injil, namun menganggapnya tak memiliki nilai yang setara dengan karya Cicero. Pada saat inilah ia menjadi pengikut manikeisme, yang menyebabkan ibunya prihatin. Berdasarkan profesinya, ia adalah guru retorika. Ia sangat meminati astrologi, yang dibelakang hari ia tentang, sebab astrologi mengajarkan bahwa penyebab dosamu yang tak terelakkan berada di langit.
Pada akhir abad ke 3, agama Kristen menjadi satu-satunya agama yang paling penting di seluruh kekaisaran Romawi, bahkan sudah demikian sebelum kaisar
Constantin
menerima
agama
Kristen
sebagai
agama
resmi
di
kekaisarannya. Di pusat-pusat kekristenan di Romawi, gereja berkembang pesat. Gereja di Kartago berkembang juga sebagai salah satu persekutuan Latin yang penting. Diantara provinsi-provinsi di daerah Mediteranian (Laut Tengah), orangorang di pedalaman Afrika Utara dan Mesir menerima agama Kristen dengan semangat. Karakter dari gereja-gereja di sini berbeda dari masyarakat kota. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Meskipun terjadi penghambatan yang hebat dari kaisar Diokletian tahun 303, kekristenan berkembang terus dengan pesat. Pada umumnya, masyarakat pedesaan di Afrika Utara menderita karena harus membayar pajak untuk kekayaan dan kehidupan mewah kekaisaran Romawi. Namun mereka terisolasi dari keuntungan yang di dapat oleh kekaisaran. Sangat penting bagi kita untuk melihat kenyataan bahwa kekaisaran Romawi senantiasa berusaha menjaga kesatuan kekaisaran. Hal ini menjadi alasan paling penting, mengapa kekaisaran mendukung gereja Katholik. Gereja Roma Katholik berkembang dengan hubungan yang erat dengan kekaisaran Romawi. Jika kita ingin mengetahui apa pandangan Augustinus tentang gereja dan negara, kita harus meneliti perkembangan pikirannya selama hidupnya, sampai dia menulis buku the City of God. Meskipun dia tidak pernah menulis suatu rumusan khusus tentang hubungan Gereja dengan Negara, melalui pengalamannya dalam menghadapi masalah dalam tugasnya, dia mengembangkan pikirannya dalam berbagai tulisan, untuk menanggulangi masalah yang datang. Pikirannya tentang hubungan Gereja dan Negara pada suatu situasi bahkan bertentangan dengan pikirannya pada situasi yang lain. Karena itu kita tidak bisa memastikan pikirannya dengan tegas tentang Gereja dan Negara.
Sejak tahun 311 gereja Donatis termasuk salah satu gereja-gereja utama di Barat. Gereja ini berbeda dengan gereja Katholik dalam hal dogma maupun pandangan terhadap masyarakat, dalam hubungannya dengan dunia. Di bawah pengaruh tradisi Afrika, Donatis memakai konsep Afrika Utara tentang gereja dan negara. Kalau kita ingat tentang dua orang teolog besar dari Afrika Utara, Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Tertullian dan Cyprianus maka kita dapat menerima bahwa pasti ada hubungan antara Augustinus dengan kaum Donatis. Tertullian dapat dianggap sebagai bapa gereja Donatis, yang menekankan gereja yang rohani dari pada gereja sebagai organisasi. Demikian juga Cyprianus, yang adalah bishop yang sempurna karena sikapnya terhadap martirium dan asketisme. Augustinus juga belajar tentang eskatologi dan dua kota dari Tyconius, yang juga adalah seorang Donatis. Tyconius mengerti tentang kesucian gereja bersifat eskatologis. Gereja senantiasa dalam ketegangan terus-menerus antara sekarang dan di sini dengan realitas eskatologis. Tyconius mengajar Augustinus bahwa dalam setiap masyarakat di dunia, ”kedua kota” harus mempunyai anggota-anggota. Dalam pemikiran Augustinus tentang ”dua kota”, dia menggemakan ide tentang dua antitesis civitates dalam komentar Tyconius. Augustinus yakin bahwa pelayanan Sakramen sungguh-sungguh hanya berlaku dalam gereja Katholik. Tidak ada keselamatan di luar gereja. Karena itu dia tidak dapat menerima pemisahan antara Gereja yang Katholik (universal) dan Sakramen. Karena itu dia menolak Donatisme. Pada abad ke 4, gereja Donatis merupakan yang mayoritas di Afrika Utara, juga di Numidia dan Kartago. Seorang Bishop Donatis bernama Parmenian sangat berhasil memimpin gerejanya dengan baik, dan pada masa inilah masa emas gereja tersebut. Pada tahun 395 Augustinus menjadi Bishop di Hippo, dan ketika itu gereja Katholik merupakan minoritas di Afrika Utara. Dia bekerja ditengahtengah mayoritas kaum Donatis. Dia mencoba mengadakan dialog dengan mereka, dan menyebutnya sebagai ”saudara”. Tetapi, kemudian dia meminta kepada kekaisaran di Roma bantuan untuk menindas kaum Donatis setelah Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
kegagalan pemberontakan Gildo. Bahkan Augustinus menyebut kaum Donatis sebagai ”sesat”. Hal ini diikuti dengan Counsil keempat di Kartago pada tahun 399. Akhirnya pada Konferensi Kartago tahun 411, komisioner dari kekaisaran Romawi memutuskan untuk melarang gereja Donatisme, di mana semua hak dan hak milik gereja Donatis diserahkan kepada gereja Katholik.
2.
Pemikiran Augustinus 2.1 Pemikiran (ide) tentang ”Dua Kota”. Augustinus tidak mengembangkan secara mendetail maupun teori yang
sistematis tentang hubungan yang benar antara negara dan agama. Namun bukunya ”the City of God” menyediakan dasar analisisnya tentang hubungan negara dan agama. Konsep ’civitas’ sama dengan konsep Yunani tentang polis. Kita bisa bayangkan, kedua kota ini dipimpin oleh seorang pangeran. Kota dunia dihubungkan dengan ibadah kepada dewa-dewa, sementara kota Allah terikat dengan Allah yang benar. Hanya ibadah kepada Allah dapat membentuk persekutuan yang benar. Dalam buku the City of God kita akan mencoba melihat pengajaran Augustinus tentang negara dan agama. Pemikiran tentang ”dua kota yang bertentangan” merupakan tema pusat dalam pemikiran Augustinus dalam bukunya the City of God. Bagi Augustinus, meskipun kedua kota tersebut saling menjalin dalam dunia (saeculum), keduanya secara radikal berlawanan. Dalam pandangan Augustinus ”kota dunia” berasal dari pemberontakan malaikat terhadap Tuhan. 44 Sebagai tambahannya, dimulai pula ”dua kota” diantara manusia. Yang satu mengikuti kehendak Tuhan, 44
Augustine…Ibid, hal 205
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
sementara yang lain mengikuti kehendak menurut daging. Kita dapat dengan gampang melihat perbedaan antara kedua kota melalui nama-namanya.
City of God
)(
City of the devil
Heavenly city
)(
earthly city
Eternal city
)(
temporal city
City of the believers )(
city of the wicked
Immortal city
)(
mortal city
Holy city
)(
wicked city
Dan lagi, Augustinus memakai nama-nama di bawah ini, Supernatural birth
)(
natural birth
Eternity
)(
temporality
Everlastingness
)(
transitoriness
Humility
)(
pride
Obedience
)(
disobedience
Love of God
)(
love of self
Worship of the true God
)(
worship of idols
Living according to the Spirit
)(
living according to the flesh 45
Augustinus menyebutkan Roma sebagai Babilon dalam the City of God. Di sini dia menyebutkan bahwa Jerusalem sebagai kota yang abadi, kota asalnya dan ibunya. Tetapi dia mengagumi jalan-jalan di Babilon. Menurut Augustinus , “kota dunia” disebutkan sebagai kota orang-orang yang tidak percaya, kota dunia 45
Pdt. Matius P.Barus S.Th, Gereja dan Negara dalam The City of God, sebuah tulisan ilmiah, hal 6 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
ini, kota yang jahat, kota jahat dan kota yang tidak setia, kota yang fana, kota yang menyembah setan, kota kejahatan. 46 Kota setan, yang secara apokaliptik berarti Roma, menganiaya kota Allah. Sepanjang waktu, anggota-anggota dari ke dua kota tersebut selalu bertentangan.
2.2 Arti / Makna dari “Dua Kota” Dua kota yang bertentangan ini, yang dipimpin oleh Kristus dan oleh Setan, akan dipisahkan pada hari Pengadilan. Namun kedua kota berlanjut terus di dunia ini, karena mereka saling menjalin di dunia ini, yaitu di saeculum. 47 Menurut Augustinus, Kota Allah dan dota dunia adalah sebenarnya bersifat eskatologis. Dia menganggap bahwa Kota Allah sebagai suatu ”ekklesia” (gereja). 48 Jemaat adalah sudah merupakan kerajaan Allah, namun belum mencapai pemenuhannya. Jemaat yang historis adalah ”kota Allah” di dunia ini, sekarang sebagai pengembara (pilgrim) sekarang sampai pada akhir jaman. Kota dunia, yang dianggap sebagai negara dunia, khususnya Roma, menganiaya kota Allah sekarang ini. Di dunia ini, the City of God (Kota Allah) mengembara sebagai orang asing. Identitas sebagai “orang asing” atau “pengembara” ini, bagi Augustinus merupakan hal yag sangat
mendasar sehubungan dengan teorinya tentang
hubungan antara Gereja dan Negara. Meskipun kemudian kelihatan juga bahwa dia tidak bersikap konsisten terhadap Negara, tergantung pada situasinya. Namun 46
Pdt. Matius P.Barus S.Th…Ibid, hal 11 Augustine…Opcit, hal 330 48 Pdt. Matius…Opcit, hal 7 47
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
demikian, tidaklah benar kalau dikatakan bahwa dengan demikian Augustinus secara mutlak menolak kehidupan duniawi. Kita ingat, bahwa dalam konsepnya bahwa “dua Kota” tersebut saling terjalin / saling berhubungan di dalam saeculum (dunia) ini. Kemudian pada ‘eschaton’ mereka akan dipisahkan secara mutlak. Jadi warga / anggota the City of God (kota Allah) juga berpartisipasi dalam pekerjaan di dunia ini. Mereka ‘memakai’ kedamaian duniawi (pax terrena). Tetapi mereka bertujuan ‘menikmati’ kedamaian abadi dari Allah (pax aeterna Dei) di dalam kota surgawi. Menurut Augustinus dalam The City of God, Romawi yang kafir dan Kristen pada dasarnya tidaklah berbeda dalam hal bahwa mereka keduanya dipakai untuk kedamaian dunia. Kota Allah (the City of God) di dunia ini sekarang sebagai pengembara yang teraniaya. Warga the City of God sedang menderita dari kebencian dan kemunafikan dari kota dunia. Tetapi gereja akan menang atas mereka. Kalau kita mendasarkan penelitian kita pada the City of God dengan Kota dunia, maka pemikiran tersebut sungguh-sungguh menggambarkan pemikiran Augustinus. Kedua “Kota” tersebut saling berhubungan, jalin-menjalin di dunia (saeculum) ini. Namun keduanya akan dipisahkan pada akhir jaman. Bagi Augustinus, karakteristik dari kedua kota tersebut sangat berbeda secara mendasar (esensial). Jadi kalau kita mengikuti teori Augustinus ini, Gereja dan Negara harus dibedakan di dunia ini. Kekaisaran Romawi, yang disebut Augustinus sebagai Babilonia, seharusnya tidak melakukan kekerasan terhadap Gereja, yang adalah Jerusalem, dan Gereja juga seharusnya tidak melakukan hal yang sama, karena keduanya adalah secara mutlak antitesis, bertolak belakang. Di dalam dunia (saeculum) ini Gereja dan Negara berjalan secara parallel sampai pada hari akhir. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Indentifikasi (identitas) dari anggota / warga the City of God sangat penting bagi Augustinus. Meskipun mereka hidup di dunia ini, mereka bukanlah warga dunia ini, melainkan sebagai pengembara. Kenyataannya, esensi dari hubungan antara Gereja dan Negara menurut Augustinus adalah tentang coercion dari schismatics oleh Negara. Perkembangan politik tentang kaum gereja Donatis memaksa Augustinus bertimbang tentang coercion. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, sejauh mana dapat dibenarkan memakai kekuasaan Negara untuk mempertahankan kesatuan Kristen. Dia menunjukkan bukti tekanan dari Negara, tergantung pada situasi politik. Pelarangan terhadap gereja Donatis sebagai contoh. Seperti yang telah kita lihat, bahwa perselisihan terhadap gereja Donatis adalah satu bentuk sikap Gereja terhadap dunia, bukan masalah dogma. Selama masa Bishop Kartago, Parmenian, tahun 369-391, gereja Donatis mencapai puncak kejayaannya di Afrika Utara. Khususnya pada masa pemberontakan Gildo dari tahun 386-398, Gildo dan gereja Donatis menjadi pemimpin yang sesungguhnya di Afrika. Augustinus menjadi Bishop gereja Katholik Roma di Hippo pada tahun 395, dia mengadakan suatu perselisihan dengan gereja Donatis. Pada waktu itu tidak ada kemungkinan meminta bantuan dari kekaisaran oleh Augustinus. Pada waktu itu Augustinus mengatakan bahwa gereja Katholik harus mengadakan ‘deal’ dengan mereka hanya dengan cara argumentasi dan bujukan, dan bukan dengan ancaman dari state coercion. Augustinus menunjukkan sikap yang sama terhadap politikus Optatus, yang menjadi sekutu Gildo. Seperti Optatus, Augustinus menyebutkan kaum Donatis sebagai “saudara seiman dalam
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Kristus, membaca Injil yang sama, menyanyikan Masmur yang sama, menyebutkan haleluya yang sama, dan menjawab amen yang sama”. 49 Namun, pemberontakan Gildo terhadap kekaisaran Romawi gagal pada tahun 398. Situasi menjadi berubah sama sekali. Augustinus juga berubah sikapnya terhadap Negara. Setelah Konsili keempat di Kartago pada tahun 399, dia secara terbuka menyatakan bahwa Donatis itu sebagai sesat. 50 Dia memberi alasan bahwa Gereja mempunyai hak untuk meminta kepada penguasa politik untuk memohon perlindungan dari bidat, yaitu sekte Donatis. Akhirnya dia malah berkata, bahwa Gereja wajib dan juga berhak memohon kepada Negara supaya mengukum mereka. Sekarang, raja / kaisar-kaisar Kristen seperti wajib memakai kekuasaan mereka untuk melindungi dan mendukung Gereja Katholik dalam melawan Donatis, begitu menurut Augustinus. Gereja Donatis mulai menderita dari penganiayaan oleh kekuasaan duniawi. Sikap Augustinus terhadap Negara seperti ini kelihatannya berbeda dari pemikirannya dalam dua kota yang terpisah. Sepertinya, Augustinus tidak konsisten dalam pandangan terhadap hubungan antara Gereja dan Negara. Namun kemungkinan besar, permohonan Augustinus kepada kekaisaran Romawi untuk bertindak tersebut bukanlah dalam konteks hubungan antara Gereja dan Negara, melainkan dalam rangka “disiplin” dalam ekklesiologinya. Jadi sikap Augustinus sebenarnya tidak berubah dalam hal hubungan Gereja dan Negara. 51 Augustinus tidak menulis secara sistematis khusus dalam satu tentang hubungan antara Gereja dan Negara. Pandangannya diperkembangkan melalui
49
http://www.google.com/ Gereja Donatis, diakses tanggal 4 mei 2009 http://www.google.com/...ibid. 51 http://www.google.com/...ibid. 50
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
jawaban-jawabannya
pada
situasi
yang
berbeda-beda
dalam
hidupnya.
Perkembangan pandangannya dapat di lihat dalam hubungannya dengan Afrika Utara, situasi-situasi politik dan elemen-elemen yang mempengaruhi dalam sepanjang hidupnya. Di balik pemikirannya tentang Gereja dan Negara, pada dirinya ada latar belakang Afrika Utara yang menekankan antitesis dari dua kota. Pengaruh Tertullianus dan Cyprianus juga tentu ada, yang berpandangan negative terhadap Negara dan dunia. Juga pandangan gereja Donatis, yang dengannya Augustinus banyak bergaul tidak bisa diabaikan. Pemikiran Augustinus tentang pemisahan antara Gereja dan Negara banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa mudanya selama menjadi pengikut agama Manicheisme. Selain itu, Neo Platonisme, Ambrosius dan tradisi gereja Barat sangat mempengaruhi Augustinus juga dalam hal hubungan antara Gereja dan Negara, antara lain: Ambrosius mengajarkan kepada Augustinus tentang realitas immaterial, cara yang tidak nyata dari yang ada, bersikap benar terhadap Tuhan dan jiwa. Ini merupakan ajaran yang revolusioner bagi Augustinus. Ini adalah elemen refleksi pemikiran Neo Platonis. Gereja adalah tubuh Kristus. Kesatuan dengan Kristus adalah kesatuan antara Kristus dengan orang-orang. Karena itu bagi Augustinus, kesatuan dengan gereja dan kesatuan dengan sakrament adalah konsep yang paling penting. Pemisahan antara keduanya berarti pemecahan tubuh Kristus, berarti adalah kesesatan dan satanis bagi dia. Augustinus yakin bahwa Sakramen sungguh-sungguh bekerja hanya di dalam tradisi gereja Katholik, karena itu orang-orang yang sudah ingkar seharusnya kembali bersatu ke dalam gereja Katholik, meskipun dengan penggunaan kekerasan oleh Negara.
Ini harus
dilakukan, karena dia yakin bahwa orang-orang Donatis sangat kecil Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
kemungkinannya mau kembali. Untuk itu dia menerima dan membenarkan undang-undang Romawi untuk memaksa mereka. Augustinus memahami bahwa Kekaisaran berhak untuk intervensi demi menghindarkan perpecahan Gereja Afrika Utara, dan sebagai seorang Kristen, kaisar wajib melakukan hal itu, tetapi dia menolak hukuman mati terhadap mereka. Ambrosius, seorang penasehat kaisar yang berpengaruh, menghubungkan gereja Barat kepada kekaisaran Romawi. Tujuannya menghubungkan Romawi dengan kekristenan Orthodox adalah untuk melawan kekafiran, Judaisme dan Arianisme. Jadi bagi Ambrosius, negara adalah sebuah anugerah Tuhan sebagai pendukung Gereja. Apa yang di dapat oleh Augustinus dari Ambrosius adalah bahwa kekaisaran ada di dalam Gereja. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa pikiran ekklesiologi Augustinus berakar dari lingkungan Afrika Utara, diperkembangkan ke arah universal dan satu gereja oleh pengaruh katholisisme Ambrosius. Namun elemen Afrika Utara, yaitu konsep tentang antitesis dari Gereja dan Negara tetap melekat dalam pikirannya. Tapi karena melihat kekacauan pada bagian akhir kekaisaran Romawi, Augustinus mempunyai harapan kecil terhadap Negara. Dengan demikian dia tidak mengajarkan secara tegas tentang konsep theokrasi.
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
BAB III ANALISA PEMIKIRAN St. AUGUSTINUS TENTANG NEGARA DAN AGAMA
1.
Pemahaman Tentang Hubungan Negara dan Agama 1.1 Asal Mula Negara Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik
politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang berbeda dengan bentuk organisasi lain terutama karena hak negara untuk mencabut nyawa seseorang. Untuk dapat menjadi suatu negara maka harus ada rakyat, yaitu sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada. Keberadaan negara, seperti organisasi secara Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan citacita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Pada abad ke-16 muncullah teori tentang Negara yang didefenisikan sebagai suatu masyarakat yang memproklamirkan dirinya membentuk suatu Negara dengan syarat minimal memiliki wilayah dan penduduk. Defenisi tersebut menunjuk pada kedaulatan rakyat menjadi hal yang utama, tetapi dalam menjalankan pemerintahan diatur oleh hukum atau undang-undang, dengan demikian, aspirasi rakyat disalurkan secara procedural melalui mekanisme perwakilan yang diatur secara undang-undang. 52 Munculnya teori Negara dapat dikategorikan dalam tiga tahapan, yakni : tahap permulaan munculnya konsep polis, munculnya teori Negara pada awal abad pertengahan, dan munculnya teori Negara pada akhir abad ke-16. 53 Pertama, konsepsi Negara bermula dari masyarakat Yunani yang tinggal di suatu kota (Polis) pada tahun 500 SM. Pada mulanya teori tentang polis ini terpisah dari konsep kekuasaan pemerintah, tidak ada konsep masyarakat sipil dan tidak ada hukum yang normatif. Karena konsep polis terpisah dari kontrol pemerintah, ada kecenderungan terjadinya konflik kepentingan antar individu dalam komunitas, demikian juga kesenjangan kepentingan rakyat dengan pemerintah yang dapat memicu konflik vertical. Dengan adanya realitas kesenjangan antara kepentingan 52 53
Gunche Lugo, Manifesto Politik Yesus, Yogyakarta, Penerbit ANDI, 2009, hal 75 Gunche Lugo…Ibid, hal 76
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
individu komunitas dan pemerintah, dibutuhkan kekuasaan yang mengatur Negara, agar tertib dan harmoni. Dengan demikian, konsepsi awal tentang Negara polis adalah suatu kumpulan atau kelompok masyarakat yang tinggal bersama-sama dengan maksud hidup berdampingan secara harmoni. Hidup mereka terpisah dari kekuasaan Negara, oleh karena itu mereka perlu diatur oleh Negara untuk mendidik secara moral. Untuk itu Plato beranggapan bahwa Negara harus dipimpin oleh seorang filsuf yang berhikmat dan yang mampu mengarahkan masyarakat kedalam tujuan yang adil dan makmur. Sehingga dengan kemampuan seorang filsuf yang bijak dapat mengatur dan mengontrol kepentingan-kepentingan individu, untuk ditaati oleh seluruh masyarakat. Kedua, konsepsi Negara pada abad pertengahan diwarnai dengan pengaruh kekristenan, khususnya ketika raja Roma Konstatin Agung bertobat dan menetapkan agama Kristen sebagai agama Negara. Oleh karena agama Kristen menjadi agama Negara, setiap penobatan raja harus diberkati secara gerejawi. Pengaruh agama Kristen sangat kuat di Eropa dan berkecenderungan mengontrol kekuasaan raja-raja. Hal ini terindikasi pada seorang raja yang akan mengalami krisis legitimasi kalau tidak diberkati gereja. Posisi gereja kemudian berkembang menjadi lebih tinggi daripada Negara dalam hal ini diwakili oleh Paus, khususnya di Negara-negara eropa. Dalam hal ini kekuasaan raja dianggap sebagai perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Seorang raja adalah hamba Tuhan untuk mensejahterakan rakyatnya. Oleh Karena itu, seorang raja mempertanggungjawabkan semua tingkah lakunya pada Tuhan. Dengan demikian konsepsi Negara berasal dari Tuhan dalam rangka untuk mensejahterakan dan mendidik moral masyarakat. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Ketiga, konsepsi Negara pada akhir abad 16 ditandai dengan adanya zaman pencerahan. Zaman pencerahan atau pembaharuan ditandai dengan adanya gugatan rakyat terhadap penyimpangan moral yang dilakukan oleh para keluarga raja dan bangsawan. Selain itu rakyat juga mengalami tekanan/penindasan oleh elit kerajaan dan mereka menggugat Negara memiliki keabsahan illahi dan perpanjangan tangan Tuhan. Maka karena itu Grotius memberikan alasan yang rasional tentang munculnya Negara, menurutnya Negara dibutuhkan oleh masyarakat bukan karena perpanjangan tangan Tuhan. Grotius berpendapat, Negara terjadi karena suatu persetujuan, karena tanpa Negara orang tak dapat menyelamatkan dirinya dengan cukup. Dari persetujuan itu lahirlah kekuasaan untuk memerintah, kekuasaan tertinggi untuk memerintah ini dinamakan kedaulatan. Kedaulatan ini dipegang oleh orang yang tidak tunduk pada kekuasaan orang lain, sehingga ia tidak dapat diganggu gugat oleh kemauan manusia, Negara adalah berdaulat.54 Dengan demikian, hadirnya Negara karena persetujuan bersama untuk mensejahterakan rakyat. Dari persetujuan diantara masyarakat, lahirlah konsep kekuasaan untuk memerintah. Kekuasaan tertinggi itu dari, oleh dan untuk rakyat. Pemikiran Grotius ini kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes yang mengkajinya secara mendalam tentang posisi masyarakat dalam Negara. Menurutnya dalam masyarakat berlaku hokum alam, dimana setiap individu berupaya mempertahankan dirinya dari ancaman alam orang lain. Untuk bertahan hidup, merka harus menyerang atau diserang orang lain. Hobbes menyebut manusia pada dasarnya serigala bagi sesamanya. Oleh karena itu, Negara perlu
54
Gunche Lugo…Ibid, hal 78
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
mengatur masyarakat dengan menetapkan undang-undang alam ini adalah untuk membatasi individu agar tidak melakukan tindak kekacauan dalam masyarakat. Dengan ditetapkan undang-undang ala mini, terjadi pembatasan individu, sesungguhnya
pembatasan
kebebasan
dimaksudkan
untuk
mewujudkan
perdamaian diantara masyarakat. Terjadinya Negara juga dapat dilihat dari kenyataan sejarah dan dapat pula dilihat dari segi teori yang hanya berdasarkan dugaan semata-mata, menurut kenyataan sejarah, Negara terbentuk karena sesuatau daerah belum ada yang menguasainya, diduduki oleh sesuatu bangsa, seperti Liberia yang diduduki oleh budak-budak negro yang dimerdekakan tahun 1847. Sesuatu daerah yang tadinya termasuk wilayah suatu Negara tertentu melepaskan diri dari Negara itu dan menyatakan dirinya merdeka seperti Singapore dan Malaysia, dan ada juga dari beberapa Negara mengadakan peleburan dan membentuk satu Negara baru seperti kerajaan Jerman raya tahun 1871. 55 Masalah asal mula Negara merupakan persoalan yang cukup sulit, kesulitan ini disebabkan karena saat-saat Negara yang pertama dibentuk, belum terdapat bukti-bukti yang meyakinkan. Akan tetapi teoriteori tentang asal mula Negara dapat kita ketahui dari ajaran beberapa pemikir tentang teori terbentuknya Negara, antara lain; 1. Teori Perjanjian Masyarakat Teori perjanjian masyarakat atau teori kontrak sosial menganggap perjanjian sebagai dasar Negara dan dasar masyarakat, Negara dan masyarakat yang dibentuk berdasarkan perjanjian masyarakat adalah teori asal mula Negara yang ditemukan dalam tulisan-tulisan sepanjang zaman, sejak
55
Samidjo, S.H, Ilmu Negara, Bandung, Armico, 2002, hal 56
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
pemikiran politik yang rasionil dimulai dalam tulisan-tulisan filosof Yunani purba sampai pada teori-teori Rousseau abad ke-18. Teori perjanjian tersebut merupakan salah satu teori yang terpenting mengenai asal mula Negara, teori ini juga relatif bersifat universal, karena ditemukan baik dalam tulisan-tulisan sarjana barat maupun sarjana timur, baik dalam agama nasrani maupun dalam agama islam. Dalam membahas asal mula Negara yang didasarkan pada perjanjian masyarakat dimulai dari jaman Yunani purba. Bentuk dan sifat Negara dalam kebudayaan Yunani purba masih bersifat polis-polis yaitu pada mulanya merupakan suatu tempat atau benteng di puncak suatu bukit yang makin lama makin diprkuat. Kemudian orang-orang lain yang juga ingin hidup dengan aman ikut menggabungkan diri, bertempat tinggal disekeliling dalam benteng itu, minta perlindungan keamanan, dengan demikian benteng itu semakin kuat. Kelompok inilah yang kemudian dinamakan polis. Jadi Negara pada waktu itu tidaklah lebih dari suatu kota saja. Pemerintah dalam polis merupakan hal yang paling tinggi, karena diatas polis tidak ada lagi suatu organisasi kekuasaan lain yang menguasai dan memerintah polis. Organisasi yang mengatur hubungan antara orang-orang yang ada dalam polis itu, tidak hanya mempersoalkan hubungan organisasinya saja, melainkan juga mempersoalkan mengenai hidup pribadi orang-orang disekitarnya, karena itu tedapat campur tangan organisasi yang mengatur polis. Karena itu polis dianggap identik dengan masyarakat, dan masyarakat dianggap identik dengan dengan Negara (organisasi) yang masih berbentuk polis itu. Polis merupakan Negara kota. 56 Dalam jaman Yunani purba ini terdapat beberapa filsuf,
56
Samidjo…ibid, hal 60-61
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
diantaranya adalah Plato.dan Aristoteles. Ajaran Plato yang terkenal dan tersohor sampai sekarang dikenal dengan sebutan “idealisme” 57, menurut ajaran Plato ini dikenal dengan adanya dua dunia, yaitu, pertama, dunia cita yang bersifat immaterial, yaitu ide atau kenyataan sejati yang bersemayam di alam tersendiri, ialah di alam cita yang berada di luar dunia palsu. Kedua, dunia alam yang bersifat materiil, yaitu dunia fana yang kita tempati sekarang ini, yang bersifat palsu. 58 Maka dengan demikian dunia cita itu merupakan sempurna dan sejati, sedangkan dunia alam itu merupakan bayangan yang bersifat palsu dan tidak sempurna, oleh karena itu diusahakan atau berusaha untuk mendekati bentuk yang sempurnayang terdapat di dalam dunia cita itu. Asal mula Negara menurut Plato disebabkan karena banyaknya kebutuhan hidup serta keinginan manusia. Karena hal tersebut, maka manusia tidak mampu dan tidak berkemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhannya serta keinginannya secara sendiri-sendiri, olah sebab itu sesuai dengan kecakapan manusia masing-masing mereka mendapat pembagian tugas sendiri-sendiri sehingga dengan dasar bekerja sama, maka manusia dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya itu. 59 Aristoteles melanjutkan pemikiran dari idealisme Plato ke realisme. Filsafat Aristoteles adalah ajaran tentang kenyataan atau omtologi, yaitu suatu cara berfikir yang realistis. Berlainan dengan Plato yang membagi dunia dengan dua bagian berdasarkan ide nya, maka Aristoteles tidak mengakui perbedaan dua dunia ini, tapi ia hanya
57
Prof.DR.Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, Bandung, penerbit Alumni, 1989, hal 91 58 diantara dunia cita dan dunia alam terdapat perhubungan, yaitu dunia cita adalah latar belakang terhadap dunia alam, sehingga dunia alam merupakan alas dari dunia cita. Prof.DR Sjachran…ibid, hal 91: Samidjo…Opcit, hal, 67 59 Samidjo…ibid, hal 93 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
mengakui adanya satu dunia yang mempunyai proses. Jadi ia tidak membedakan dunia cita dan dunia alam, tetapi pikirannya langsung ditujukan kepada kenyataan yang sebenarnya dengan melalui panca indera. 60 Asal mula terjadinya Negara menurut Aristoteles adalah karena manusia berbeda dengan hewan, sebab hewan dapat hidup sendiri, sedangkan manusia sudah dikodratkan untuk hidup berhubungan satu sama lain, manusia membutuhkan bantuan dari manusia lainnya guna memenuhi kepentingan hidupnya. Sehinga manusia itu tidak dapat terlepas dari kelompok manusia itu sendiri, jadi manusia itu merupaka zoon politicon 61. Dan jika ada manusia yang terlepas dari ikatan kelompok manusia sendiri, maka merupakan keanehan bahwa mahluk itu tidak bersifat manusia, melainkan dewa tau hewan. 62 Oleh karena itu manusia hidup bersama dengan manusia didalam suatu kelompok dan penggabungan diantara beberapa kelompok itu mengakibatkan timbulnya Negara. 2. Teori KeTuhanan ( Theokrasi ) Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan antara abad V sampai abad XV. Di dunia barat, ada orang yang menganggap hokum itu kemauan Tuhan. Tinjauan tentang hukum itu dicampurbaurkan dengan kepercayaan dan agama. Ketika orang membentangkannya beberapa tentang legitimasi kekuasaan hukum, maka dengan sendirinya teori-teori itu didasarkan atas
60
Sunarko, Sari Pandangan Sarjana-sarjana Tata Negara Seluruh Dunia, Malang, toko buku A.R.C Salim, 1952, hal 13 61 zoon polticon diartikan bahwa manusia baru menjadi manusia setelah ia hidup bersama dengan manusia lain, manusia adalah mahluk sosial, sehingga mahluk sosial berarti bahwa manusia itu mempunyai sifat untuk mencari kumpulannya dengan sesama manusia.Sujono sujitno, ilmu masyarakat umum, Jakarta, yayasan pendidikan masyarakat, 1954, hal 30; Prof.DR Sjachran…Opcit, hal 104 62 Prof.DR Sjachran...Ibid, hal 104 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
kepercayaan dan agama. Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum atas kehendak Tuhan dinamakan teori Theokrasi. Teori ini mengajarkan bahwa pemerintah atau Negara memperoleh kekuasaan yang tertinggi itu dari Tuhan, teori ini berpendapat bahwa dunia beserta segala isinya adalah hasil ciptaan Tuhan. 63 Kedaulatan yang berasal dari Tuhan dipegang oleh raja yang merupakan wakil Tuhan, atau raja itu dianggap Tuhan yang menjelma di dunia ini. Oleh karena itu kekuasaan raja tidak boleh dibantah oleh rakyatnya, karena membantah perintah raja berarti menentang perintah Tuhan.
Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling konkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya. Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara, atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang untuk terlibat dalam pembuatan 63
Samidjo, SH…Opcit, hal 143
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.
1.2 Tujuan Dan Fungsi Negara
Sebelum menguraikan tentang tujuan dan fungsi Negara, terlebih dulu harus menelaah pengertian tujuan dan fungsi. Karena kedua pengertian itu sering dibahas dalam uraian-urian tentang tujuan dan fungsi Negara, seakan-akan kedua pengertian tersebut sama, atau pembahasan lebih banyak mengenai tujuan Negara, tanpa mengindahkan fungsi-fungsi Negara. Tujuan mengutamakan adanya sasaran yang hendak dicapai, yang terlebih dahulu sudah ditetapkan, dan menunjukkan dunia cita, yakni suasana ideal yang harus dijelmakan. Sedangkan fungsi menunjukkan keadaan gerak, aktivitas dan termasuk dalam suasana kenyataan. Fungsi adalah pelaksanaan, yaitu pelaksanaan dari tujuan yang hendak di capai, yang riil dan kongkrit. 64 Tujuan tanpa fungsi adalah steril, dan fungsi tanpa tujuan adalah mustahil. Jika dihubungkan dengan Negara, tujuan menunjukkan apa yang
64
Samidjo, S.H…Ibid, hal 216
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
secara ide hendak dicapai oleh Negara, dan fungsi adalah pelaksanaan cita-cita itu kedalam kenyataan. Beberapa teori tujuan Negara: 65
1) Teori Kekuasaan •
Shang Yang, yang hidup di negeri China sekitar abad V-IV SM menyatakan bahwa tujuan negara adalah pembentukan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya. Menurut dia, perbedaan tajam antara negara dengan rakyat akan membentuk kekuasaan negara. “A weak people means a strong state and a strong state means a weak people. Therefore a country, which has the right way, is concerned with weakening the people.” Sepintas ajaran Shang Yang sangat kontradiktif karena menganggap upacara, musik, nyanyian, sejarah, kebajikan, kesusilaan, penghormatan
kepada
orangtua,
persaudaraan,
kesetiaan,
ilmu
(kebudayaan, ten evils) sebagai penghambat pembentukan kekuatan negara untuk dapat mengatasi kekacauan (yang sedang melanda China saat itu). Kebudayaan rakyat harus dikorbankan untuk kepentingan kebesaran dan kekuasaan negara. •
Niccolo Machiavelli, dalam bukunya Il Principe menganjurkan agar raja tidak
menghiraukan
kesusilaan
maupun
agama.
Untuk
meraih,
mempertahankan dan meningkatkan kekuasaannya, raja harus licik, tak perlu menepati janji, dan berusaha selalu ditakuti rakyat. Di sebalik kesamaan teorinya dengan ajaran Shang Yang, Machiavelli menegaskan bahwa penggunaan kekuasaan yang sebesar-besarnya itu bertujuan luhur,
65
http;//www.google.com/Tujuan Dan Fungsi Negara, Diakses tanggal 4 Mei 2009
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
yakni kebebasan, kehormatan dan kesejahteraan seluruh bangsa. Konsepnya yang lebih condong pada stategi politik itu dengan lugas meminta pengertian semua orang jika penguasa melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip universal, kemanusiaan, persahabatan, bahkan agama, untuk mempertahankan Negara. Jadi pertaruhan total dalam dalam konsep Machiavelli adalah kekuasaan Negara itu sendiri. Meskipun ia juga menganjurkan perlunya pendekatan-pendekatan persuasif, penghargaan bagi yang berprestasi, perhatian dan kesejahteraan, hal itu tidak bermakna pada nilai atau prinsip, seluruhnya hanya menjadi alat semata demi mempertahankan kekuasaan atau Negara. Jadi, batas antara etis dengan tidak etis tidak ada lagi, sebab yang terpenting adalah kekuasaan Negara dapat berjalan dan dipertahankan. Jadi nilai etis atau tidak pada akhirnya adalah kekuasaan Negara itu sendiri. 66
2) Teori Perdamaian Dunia Dalam bukunya yang berjudul De Monarchia Libri III, Dante Alleghiere (1265-1321) menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk mewujudkan perdamaian dunia. Perdamaian dunia akan terwujud apabila semua negara merdeka meleburkan diri dalam satu imperium di bawah kepemimpinan seorang penguasa tertinggi. Namun Dante menolak kekuasaan Paus dalam urusan duniawi. Di bawah seorang mahakuat dan bijaksana, pembuat undang-undang yang seragam bagi seluruh dunia, keadilan dan perdamaian akan terwujud di seluruh dunia.
66
Saut, Sirait, Politik Kristen Di Indonesia, Suatu Tinjauan Etis, Jakarta, PT. BPK Gunung Mulia, 2006, hal 62 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
3) Teori Jaminan atas Hak dan Kebebasan Manusia a. Immanuel Kant (1724-1804) adalah penganut teori Perjanjian Masyarakat karena menurutnya setiap orang adalah merdeka dan sederajat sejak lahir. Maka Kant menyatakan bahwa tujuan negara adalah melindungi dan menjamin ketertiban hukum agar hak dan kemerdekaan warga negara terbina dan terpelihara. Untuk itu diperlukan undang-undang yang merupakan penjelmaan kehendak umum (volonte general), dan karenanya harus ditaati oleh siapa pun, rakyat maupun pemerintah. Agar tujuan negara tersebut dapat terpelihara, Kant menyetujui azas pemisahan kekuasaan menjadi tiga potestas (kekuasaan): legislatoria, rectoria, iudiciaria (pembuat, pelaksana, dan pengawas hukum). Teori Kant tentang negara hukum disebut teori negara hukum murni atau negara hukum dalam arti sempit karena peranan negara hanya sebagai penjaga ketertiban hukum dan pelindung hak dan kebebasan warga negara, tak lebih dari nightwatcher, penjaga malam). Negara tidak turut campur dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat Kant ini sangat sesuai dengan zamannya, yaitu tatkala terjadi pemujaan terhadap liberalisme (dengan semboyannya: laissez faire, laissez aller). Namun teori Kant mulai ditingga lkan karena persaingan bebas ternyata makin melebarkan jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin. Para ahli berusaha menyempurnakan teorinya dengan teori negara hukum dalam arti luas atau negara kesejahteraan (Welfare State). Menurut teori ini, selain bertujuan melindungi hak dan kebebasan warganya, negara juga berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
c. Kranenburg termasuk penganut teori negara kesejahteraan. Menurut dia, tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteran pun meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya, sehingga selayaknya tujuan negara itu disebut secara plural: tujuan-tujuan negara. Ia juga menyatakan bahwa upaya pencapaian tujuan-tujuan negara itu dilandasi oleh keadilan secara merata, seimbang. Menurut Charles E. Merriam, fungsi negara adalah: keamanan ekstern, ketertiban intern, keadilan, kesejahteraan umum, kebebasan. Sedangkan R.M. MacIver berpendapat bahwa fungsi negara adalah: ketertiban, perlindungan, pemeliharaan dan perkembangan. Beberapa teori fungsi negara: 67 1)Teori Anarkhisme Secara etimologis, anarkhi (kata Yunani: αν = tidak, bukan, tanpa; αρκειν = pemerintah, kekuasaan) berarti tanpa pemerintahan atau tanpa kekuasaan. Penganut anarkhisme menolak campurtangan negara dan pemerintahan karena menurutnya manusia menurut kodratnya adalah baik dan bijaksana, sehingga tidak memerlukan negara/ pemerintahan yang bersifat memaksa dalam penjaminan terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Fungsi negara dapat diselenggarakan oleh perhimpunan masyarakat yang dibentuk secara sukarela, tanpa paksaan, tanpa polisi, bahkan tanpa hukum dan pengadilan. Anarkhisme menghendaki masyarakat bebas (tanpa terikat organisasi kenegaraan) yang mengekang kebebasan individu. 67
http://www.google.com/...Opcit
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
a. Anarkhisme filosofis menganjurkan pengikutnya untuk menempuh jalan damai dalam usaha mencapai tujuan dan menolak penggunaan kekerasan fisik. Tokohnya: William Goodwin (1756-1836), Kaspar Schmidt (1805-1856), P.J. Proudhon (1809-1865), Leo Tolstoy (1828-1910). b. Anarkhisme revolusioner mengajarkan bahwa untuk mencapai tujuan, kekerasan fisik dan revolusi berdarah pun boleh digunakan. Contoh ekstrim anarkhisme revolusioner terjadi di Rusia pada tahun 1860 dengan nama nihilisme, yaitu gerakan yang mengingkari nilai-nilai moral, etika, ide-ide dan ukuran-ukuran konvensional. Tujuan menghalalkan cara. Tokohnya: Michael Bakunin (1814-1876). 2) Teori Individualisme Individualisme adalah suatu paham yang menempatkan kepentingan individual sebagai pusat tujuan hidup manusia. Menurut paham ini, negara hanya berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan setiap individu. Negara hanya bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (penjaga malam), tidak usah ikut campur dalam urusan individu, bahkan sebaliknya harus memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada setiap individu dalam kehidupannya. Individualisme berjalan seiring dengan liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan perseorangan.
Di
bidang
ekonomi,
liberalisme
menghendaki
persaingan bebas. Yang bermodal lebih kuat/ besar layak memenangi persaingan. Sistem ekonomi liberal biasa disebut kapitalisme. 3) Teori Sosialisme Sosialisme
merupakan
suatu
paham
yang
menjadikan
kolektivitas
(kebersamaan) sebagai pusat tujuan hidup manusia. Penganut paham ini Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
menganggap bahwa dalam segala aspek kehidupan manusia, kebersamaan harus diutamakan.
Demi
kepentingan
bersama,
kepentingan
individu
harus
dikesampingkan. Maka, negara harus selalu ikut campur dalam segala aspek kehidupan demi tercapainya tujuan negara, yaitu kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Pelaksanaan ajaran sosialisme secara ekstrim dan radikal-revolusioner merupakan embrio komunisme yang tidak mengakui adanya hak milik perorangan atas alat-alat produksi dan modal. Yang tidak termasuk alat-alat produksi dijadikan milik bersama (milik negara). Di negara komunis selalu diseimbangkan status quo keberadaan dua kelas masyarakat: pemilik alat produksi dan atau modal serta yang bukan pemilik alat produksi (buruh). Fungsi negara menurut komunisme adalah sebagai alat pemaksa yang digunakan oleh kelas pemilik alat-alat produksi terhadap kelas/ golongan masyarakat lainnya untuk melanggengkan kepemilikannya. Tujuan negara merupakan suatu harapan atau cita-cita yang akan dicapai oleh negara, sedangkan fungsi negara merupakan upaya atau kegiatan negara untuk mengubah harapan itu menjadi kenyataan. Maka, tujuan negara tanpa fungsi negara adalah sia-sia, dan sebaliknya, fungsi negara tanpa tujuan negara tidak menentu. Minimal, setiap negara harus melaksanakan fungsi: •
penertiban (law and order): untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah terjadinya
konflik,
negara
harus
melaksanakan
penertiban,
stabilisator.
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
menjadi
•
mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, meliputi usaha-usaha seperti penambahan tenaga produksi yang dapat memperbesar pendapatan nasional, memelihara tingkat kehidupan minimal bagi semua individu sesuai dengan tingkat produksi, menyelenggarakan usaha-usaha dalam bidang teknologi, pendidikan, dll.
•
pertahanan, menjaga kemungkinan serangan dari luar, seluruh tugas-tugas perlindungan Negara terhadap serangan dari luar terhadap kelompok sendiri.
•
menegakkan keadilan, melalui badan-badan pengadilan. Terwujud dalam system dimana terdapat saling pengertian dan prosedur-prosedur yang memberikan kepada setiap orang apa yang telah disetujui dan telah dianggap patut. Keadilan mengumpamakan adanya system nilai dalam perhubungan individu, agar setiap orang memperoleh bagiannya berdasarkan nilai-nilai itu.
Ada dua alasan mengapa peran Negara sedemikian penting dalam masyarakat. Pertama, Negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam sebuah masyarakat. Negara dapat memaksakan kehendaknya kepada warga masyarakat agar ditaati. Negara dapat menggunakan kekerasan fisik untuk memaksakan kepatuhan masyarakat terhadap perintah yang dikeluarkannya, dalam hal ini Negara memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kedua, kekuasaan yang sangat ini diperoleh karena Negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum, sebagai perwakilan dari kepentingan umum, Negara dapat memaksakan kehendaknya pada kepentingan pribadi maupun kelompok. 68
1.3 Lahirnya Agama
68
Gunche Lugo…Opcit, hal 74
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Manusia adalah mahluk penyejarah, yaitu pelaku sejarah, pengambil hikmah nilai-nilai sejarah, bahkan tidak jarang menjadi korban sejarah. Kondisi terakhir terjadi, jika kita salah dalam memaknai sejarah, yang disebabkan oleh kekurangmengertian kita dan dorongan kepentingan. Sejarah terpaksa diedit, diperhalus, agar tidak sampai menyinggung perasaan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan. Akibatnya, kita tidak belajar dari sejarah dan justru mengulang kekeliruan yang pernah terjadi di masa lampau.
Semua agama mempunyai catatan sejarah atau cerita keagamaan yang mungkin ditunjukkan untuk mendorong pemeluknya agar lebih percaya pada ajaran-ajaran agama yang dipercayainya. 69 Agama merupakan kebutuhan setiap individu, karena agama sudah ada sejak manusia diciptakan, karena agama dianggap sebagai landasan nilai moral dan cara bertingkah laku setiap individu dengan individu lainnya. Agama dapat mempunyai fungsi integratif bagi masyarakat dan Negara, karena menyumbangkan juga nilai-nilai sosialdan normanorma moral, memberi arti pada peristiwa hidup baik orang perseorangan maupun bagi masyarakat seluruhnya. 70 Agama adalah merupakan penghormatan yang wajib diberikan manusia kepada Tuhannya, dalam arti ini, agama adalah suatu keutamaan azasi. Jika sikap penghormatan Tuhan itu menjadi suatu sistem ajaran, tata hidup dan kemasyarakatan, maka timbul aneka agama dalam arti umat beragama. Keadaan seperti inilah yang akhirnya melahirkan banyak ajaran tentang penghormatan kepda Tuhan, yang akhirnya menjadi agama. 71
69
Elga Sarapung, dkk, Sejarah, DIAN/Interfidei, 2003, hal 19 70 A. Heuken, SJ…Opcit, hal 49 71 A. Heuken, SJ…Ibid, hal 30
Teologi
dan
Etika
Agama-agama,
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Yogyakarta,
Agama sebagai pengarah manusia kepada yang mutlak menunjuk pada suatu pola dasar yang mencakup dan meresapi semuanya, maka dari itu, keyakinan keagamaan merelatifkan juga memuat tatanan dan memprotes usaha apa pun untuk memutlakkan dan mendewakan yang fana. Agama tak pernah boleh dijadikan alat atau sarana saja untuk menstabilkan sesuatu yang duniawi, sekalipun sistem kemasyarakatan, Sebab usaha seperti itu menurunkan derajat agama. Begitu juga dengan kekuasaan duniawi, seharusnya tidak boleh menopang agama dengan kekuasaan fisiknya, sebab dengan demikian bukan keyakinan batinlah yang mengarahkan orang untuk menghormati Tuhan, melainkan rasa ketakutan.
Agama berkaitan dengan iman, tapi tidak identik dengannya. Agama merupakan ungkapan lahiriah dan konkret dari hubungan batin manusia dengan Allah. Jadi, agama ada demi iman yang pada intinya adalah sikap pribadi orang beragama, oleh karena itu salah, jika beragama diartikan sebagai tekad untuk menjalankan kewajiban dan hukum agama. Rasa keagamaan membuat manusia insaf akan adanya suatu kekuasaan, yang melebihi segala-galanya dan sangat penting bagi keselamatannya.
Ada sejumlah alasan mendasar mengapa manusia memerlukan agama. Diantaranya, pertama, dalam realitas kehidupan, ada hal-hal di luar jangkauan akal dan hati nurani seperti alam sesudah mati, serta alam gaib lainnya yang hanya dapat dimengerti melalui agama. Kedua, banyak hal yang dapat menghambat kemurnian akal dan hati nurani termasuk adanya keinginan sifat ambisius, keserakahan, yang tidak semua orang mampu mengendalikannya dengan akal dan Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
hati nurani. Ketiga, dalam hidup ini, cenderung hanya sebagian saja orang yang benar-benar mampu mengembangkan akal dan hati nuraninya. Banyak di antara kita yang cenderung hidup dalam komando nafsu, keserakahan dan pengaruh lingkungan. 72 Manusia mutlak memerlukan agama. Agama dalam hal ini bukan hanya berarti tatanan baku yang bersifat dogmatis, tetapi agama menjadi keperluan mendasar dan hakiki bagi eksistensi kemanusiaan manusia. Ajaran agama bukan hanya berupa ibadah atau ritual yang ditentukan, tetapi ajaran agama adalah jiwa dari proses kehidupan manusia. Dalam hal ini faedah atau peran agama bagi manusia anmtara lain : 73 menjadi mitra, pendorong, pembantu manusia, terutama golongan terpelajar yang cemerlang dalam berfikir dan bernurani, dapat melengkapi manusia dengan pengetahuan-pengetahuan yang memang tidak dapat dicapai akal, sedangkan pengetahuan itu amat berguna, mampu membantu untuk mengetahui dan sekaligus berperan sebagai pengendali perilaku manusia yang memang memiliki sifat lupa, lemah dan keliru.
Implementasi ajaran agama seharusnya dapat meninggikan derajat kemanusiaan manusia sebagai khalifah yang antara lain menjunjung tinggi dan mengembangkan prinsip-prinsip dasar kehidupan, termasuk, pertama, persamaan, bahwa dihadapan Tuhan semua manusia di muka bumi ini adalah sama, hanya prestasi imanlah yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya. Kedua, keyakinan, bahwa pluralitas budaya adalah sutu keniscayaan dan tak ada dominasi budaya atau ideologi yang dimiliki suatu kelompok manusia, sehingga kebersamaan dan toleransi merupakan suatu keniscayaan yang perlu dijunjung 72
H.S Habib Adnan, Agama Masyarakat dan Reformasi Kehidupan, Denpasar, P.T BP, 1999, hal, 28 73 H.S Habib Adnan… Ibid, hal 29 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
bersama.
Ketiga,
upaya
terus
menerus
menjunjung
tinggi
kebenaran,
kemanusiaan, keadilan. 74
Sebagai kepercayaan, agama pada dirinya sendiri hanyalah sebuah ajakan. Sebagai ajakan, ia hanya menawarkan pilihan antara mempercayai atau mengingkari. Ia sama sekali tidak memuat paksaan, kecuali sebuah konsekuensi logis bagi pemeluknya bagi pemeluknya, yang secara sukarela telah mengikrarkan diri
sebagai
penganutnya.
Sebaliknya,
terhadap
mereka
yang
tidak
mempercayainya, agama tidak memiliki hak tuntutan kepatuhan apapun, apalagi pemaksaan. Namun, begitu agama itu diformalkan, baik dalam bentuk pelembagaan doktrin maupun lainnya, ia mudah terjebak sebagai instrumentalisasi kepentingan, baik kepentingan yang mengatasnamakan suara Tuhan sebagai suara kekuasaan, maupun berbagai kepentingan lain yang memanfaatkan agama sebagai alat legitimasi. 75 Untuk itu ada beberapa uraian singkat mengenai latar belakang konseptual tentang agama. Pertama, konsep agama sebagai ajaran moralitas disamping konsep antropologis agama yang berisi soal-soal kegaiban, kedahsyatan, dan kesakralan. Dalam konsep ini, suatu agama dipandang tidak memiliki doktrin atau ajaran tentang penataan sosial, seperti melalui pranata hukum atau doktrin sosial politik. Misalnya, peradaban Eropa barat dibangun atas tiga landasan, yakni filsafatnya berasal dari tradisi Yunani, sistem hukumnya berakar pada pemikiran hokum Romawi, dan ajaran moralitasnya berakar dari nilai-nilai Kristen. 76 Di sini, agama dimaksudkan suatu sistem ajaran moralitas,
74
H.S Habib Adnan…Ibid, hal 33 Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun Tahta, Jakarta, Desantara, 2004, hal 1 76 Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara, Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal 75 75
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
sedangkan mengenai hukum, politik dan kenegaraan sebagai sistem, hal itu berada di wilayah kerja agama.
Konsep kedua adalah agama dengan kandungan ajaran moralitas, pranata sosial politik dan hukum, bahkan mungkin doktrin atau ajaran tentang mode hidup bidang ekonomi, dan juga doktrin tentang kehidupan politik. Jika konsep-konsep diatas mencerminkan realitas keagamaan yang berbeda, disamping kesamaan adanya system kedonya sendiri, ritus, serta moralitas masing-masing, di situ terdapat implikasi yang jelas, yaitu bahwa orang tidak bias begitu saja menyamakan muatan-muatan agama. 77 Lagi pula, perspektif teori empiris tentang agama juga mendapati fakta bahwa ketika masyarakat integralis belum hancur akibat invasi modernisasi barat abad ke-19, ada watak khas pada sistem politik keagamaan yang berbeda. Agama-agama dengan sistem politik keagamaan organis berbeda dengan sistem politik keagamaan gereja. 78
2. Hubungan Antara Negara dan Agama Hubungan Negara dan agama adalah masalah yang ada sejak dahulu kala, dan selalu akan ada selama orang masih berusaha mengorganisasikan diri mereka secara bersama. Perbedaan di antara masa lalu dan masa kini terutama terjadi dalam bentuk pengorganisasiannya, karena manusia sendiri telah berubah akibat
77
Muhammad…Ibid, hal 76 sistem politik keagamaan organis ditandai oleh tiga komponen esensial, suatu ideologi keagamaan integralis, mekanisme internal keagamaan atas masyarakat, dan suatu kekuasaan politik yang dominant, pada Hindu, elemen utamanya adalah penguasa dan sistem kasta suci, pada Islam adalah penguasa dan hukum suci ; sistem politik keagamaan gereja bukan dalam arti khusus pada katolik saja, adalah sistem yang mempunyai tiga komponen khusus, ideologi keagamaan integralis, stuktur eklesiastik relative mapan yang melakukan kontrol ekstensif terhadap masyarakat dan suatu kekuasaan politik yang bisa superior, di bawah, atau menjadi partner yang relatif sederajat dengan eklesistik yang mapan, lihat Donald E. Smith, Agama di Tengah Sekularisasi Politik, terjemahan Azyumardi Azra & M.Hari Zamharir, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1985, hal 65-85; Mhd.Hari Zamharir…Ibid, hal 77 78
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
kemajuan-kemajuan yang dicapainya sendiri. Karena itu, hubungan itu sesuatu yang dinamik dari waktu ke waktu.79 Di sini tidak akan ditunjukkan secara positif bagaimana seharusnya hubungan antara Negara dengan agama-agama yang terdapat dalam wilayah kekuasaan Negara. Bentuk-bentuk kongkret hubungan ideal ini dapat sangat berbeda-beda karena tergantung dari struktur sosial dan nilai-nilai budaya masyarakat masing-masing. Kesempatan kali ini akan di bahas dua bentuk ekstrem hubungan ini yang saling berlawanan, yaitu Negara sekularistik dan Negara agama. Diharapkan nantinya penolakan dua bentuk Negara itu diharapkan akan menghasilkan patokan-patokan untuk mencari secara positif bagaimana sebaiknya Negara berhubungan dengan agama dalam suatu masyarakat tertentu. Negara sekularistik, adalah Negara yang menganggap sepi adanya agamaagama dalam masyarakat, atau pemisahan Negara dan agama, sehingga Negara itu tidak menjadi instrument agama tertentu. Tak kurang dan tak berbeda tentang agama, namun mereka tetap boleh menjadi warga dari sebuah Negara yang sama, dengan kedudukan hukum dan hak-hak yang sama. 80 Agama-agama dipandang tidak berbeda dari perkumpulan dan organisasi swasta lain yang dibentuk oleh para warga masyarakat atas inisiatif pribadi mereka. 81 Agama tidak ditindas, tetapi juga tidak didukung dan sama sekali tidak diiukutsertakan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan Negara, misalnya sebagai kekuatan-kekuatan rohani istimewa yang diperhatikan Negara karena peranan mereka dalam pembentukan
79
Pdt. Weinata Sairin, M.Th, Hubungan Gereja Dan Negara Dan Hak-Hak Azasi Manusia, Jakarta, PT BPK Gunung Mulia, 1996, hal 31 80 Denny, JA, dkk, Negara Sekuler, Sebuah Polemik, Jakarta Pusat, P.T Abadi, 2000, hal 18 81 Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, P.T Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal 356 Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
sikap-sikap masyarakat. Negara diselenggarakan seakan-akan tidak ada agamaagama dalam masyarakat. Yang membuat sebuah Negara disebut sekuler, jika Negara itu tidak menjadikan kitab suci agama tertentu sebagai konstitusinya, dan tak menjadikan hukum agama tertentu sebagai hukum nasional. Negara di netralkan terhadap agama, karena memang Negara itu dibuat untuk melayani warga Negara yang memiliki, tidak saja agama yang berbeda, tapi juga interrpretasi yang berbeda-beda atas agama. 82 Keadaan seperti ini bisa saja di terima, tergantung dari komposisi masyarakat yang bersangkutan. Jika hanya sebagian kecil masyarakat menganut suatu agama, sedangkan sebagian besar bersikap acuh tak acuh, atau bahkan tak peduli, maka posisi sekularisme mungkin bias saja diterima. Tapi kalau ternyata bagi sebagian masyarakat yang cukup besar agama memainkan peranan, misalnya tidak mayoritas, tapi mencapai 30 persen dari masyarakat, tentu akan mempunyai dampak sosial yang cukup berpengaruh, maka sekularistik menjadi tidak masuk akal. Karena dua alasan, yang pertama bersifat pragmatis. Sama tidak masuk akalnya, jika Negara sama sekali tidak memperhatikan adanya serikat-serikat pekerja, seperti buruh dan pengusaha dalam merumuskan dan membuat kebijaksanaan hubungan kerja industri, Begitu juga, jika Negara tidak mengikutsertakan agama-agama dalam persiapan pencarian kebijaksanaankebijaksanaan yang menyangkut masalah moral dan ideologis. Banyak kebijaksanaan politis menyangkut masalah penilaian, maka demi kelancarannya yang lebih luas dalam masyarakat, Negara berkepentingan untuk memperhatikan pendapat agama-agama yang ada dalam masyarakat.
82
Denny, JA…Opcit, hal 18
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Alasan kedua bersifat etis dan prinsipil. Sama halnya dengan nilai-nilai moral, agama-agama termasuk harta warisan kerohanian masyarakat dan dengan demikian
termasuk
dalam
wawasan
kesejahteraan
umum
yang
harus
diselenggarakan oleh Negara. Dari Negara malahan harus dituntut agar warisan religius itu dilindungi dan diciptakan kondisi-kondisi umum agar dapat lestari dan sekaligus berkembang. Berhadapan dengan kewajiban itu sikap sekularisme kelihatan memihak salah satu dimensi penting dalam adukan masyarakat tidak mau diperhatikan, padahal Negara berkewajiban untuk memperhatikan semua. Dalam kenyataan sikap sekularisme hampir selalu berlatar belakang ideologis, kelompok yang menguasai Negara secara apriori menentang pengaruh agamaagama atas kehidupan masyarakat. Seperti dalam segala pemerintahan ideologis sekulerisme pun berarti bahwa elit yang berkuasa memaksakan penilaianpenilaian mereka sendiri pada masyarakat. Legitimasi mereka subjektif melulu, yaitu tidak lebih daripada keyakinan mereka sendiri, bahwa pengaruh agamaagama atas masyarakat adalah buruk. Tetapi suatu keyakinan subyektif tidak memiliki legitimasi obyektif untuk dipaksakan pada orang lain, jadi Negara sekularistik harus ditolak. Lawan dari Negara sekularistik adalah Negara agama. Negara agama adalah Negara yang diatur dan diselenggarakan menurut hokum agama. Tetapi karena semua agama mempunyai pandangan yang berbeda tentang bagaimana Negara harus dijalankan, maka Negara agama dengan sendirinya selalu merupakan Negara yang dikuasai oleh satu agama tertentu. Negara tidak mungkin dikuasai oleh agama pada umumnya, melainkan hanya oleh salah satu saja, hal mana
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
dengan sendirinya berarti bahwa agama-agama lain dikucilkan dari pengaruh atas penyelenggaraan Negara itu. 83 Jika dilihat dari segi agama-agama lain, tentang kesamaan kedudukan semua orang dan golongan dalam masyarakat berhadapan dengan Negara, jelas sekali bahwa Negara agama melanggar prinsip tersebut. Ada agama yang dapat menentukan aturan masyarakat dan ada yang tidak, melainkan malah dipaksa untuk hidup dalam suatu tatanan sosial yang tidak sesuai dengan pandangan meraka.
Dengan
demikian
Negara
agama
melanggar
prinsip
keadilan
yangmerupakan prinsip paling fundamental untuk menata segenap masyarakat. Negara agama menguntungkan anggota-anggota agama yang satu dan merugikan anggota-anggota dari agama-agama lain, hanya penganut agama Negara merupakan warga Negara dalam arti yang sesungguhnya, sedangkan anggotaanggota masyarakat lainnya merupakan warga Negara kelas dua. Mereka seakanakan hanyalah tamu yang paling-paling ditoleransikan. Secara teoritis, hubungan antara Negara dan agama umumnya dipengaruhi oleh dua dimensi. Pertama, lebih berkaitan dengan dimensi internal agama. Seberapa jauh sebuah agama dianggap menyediakan cetak biru yang mengatur seluruh tata kehidupan, termasuk hubungan antara agama dan Negara atau sebaliknya, agama dianggap merupakan wilayah pribadi, yang tidak ada sangkutpautnya dengan urusan penyelenggaraan Negara. Kedua, dimensi eksternal yang lebih berkaitan dengan pemahaman penyelenggara Negara terhadap nilai-nilai agama, bagaimana harus diletakkan. Apakah agama dipahami sebagai wialyah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Negara sebagaimana yang lazim dianut
83
Franz Magnis…Ibid, hal 357
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
teori modernisasi yang menggunakan prinsip sekularisasi. Bahwa agama dan Negara bukan saja tidak ada sangkut-pautnya dengan Negara, tetapi harus dijauhkan dari wilayah publik. Bentuk empiriknya, seberapa jauh pemerintah sebagai penyelenggara Negara memberikan ruang pada aktualisasi ideologi keagamaan, baik dalam bentuk partai politik maupun dalam meletakkan hokum agama sebagai hukum positif. 84 Menunjuk pada konsep atau pandangan tentang negara dalam agamaagama. Dalam konteks ini, tokoh-tokoh agama menyampaikan dan menunjukkan kepada penganutnya pandangan mereka mengenai negara, serta tugas dan tanggungjawab sebagai warga negara menurut ajaran agamanya. Sekaligus memperhatikan pemisahan antara Negara dan Agama, walaupun obyek pelayanannya sama yaitu manusia, rakyat yang ada dalam negara. Dalam konsep ini, Institusi Agama dan Negara yang berada dalam satu lokasi atau konteks kehidupan namun keduanya tidak saling mencampuri. Agama diciptakan untuk menghantar manusia mencapai hidup dan kehidupan masa depan eskhatologis, hidup setelah kehidupan sekarang, yang tidak lagi di batasi dimensi. Sedangkan negara diciptakan agar ada kesejahteraan, keteraturan dalam hidup bermasyarakat, sosialisasi, mengembangkan serta membangun sarana-sarana penunjang hidup dan kehidupan sesuai dengan kemampuan. Menunjuk pada adanya agama-agama dalam satu negara. Artinya, pada satu negara ada banyak agama, namun mereka diberi hak dan kebebasan yang sama untuk melayani pemeluknya, melakukan ibadah, mengembangkan agamanya, dan juga membangun sarana ibadahnya. Di dalamnya termasuk negara
84
Anas Saidi…Opcit, hal 3
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
tidak mementingkan, mengutamakan, memperhatikan salah satu agama sambil mengesampingkan yang lain. Akan tetapi, negara memberi kesempatan yang sama kepada agama-agama untuk pelayanan dan kesaksian kepada umatnya serta masyarakat dan bangsa secara luas. Negara dan Agama saling membantu, menolong, dan kerjasama untuk mensejahterahkan masyarakat. Negara menjadi fasilitator dalam kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama. Bahkan ada kesempatan bagi tokoh-tokoh agama untuk menegur pemimpin negara jika mereka melakukan penyimpangan, ketidakjujuran, ketidakadilan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan hal-hal lain yang menyakiti rakyat. Sejumlah pertanyaan kerap kali muncul dalam benak masyarakat, apakah agama layak mengurusi sebuah negara? Bukankah ketika agama mengurusi negara, yang terjadi adalah penindasan terhadap agama lain? Faktanya, pertanyaan ini oleh sebagian masyarakat ditanggapi dengan pernyataan dan sikap yang berbeda. Ada yang berpendapat serahkanlah urusan negara ke negara dan serahkan pula urusan agama ke agama, ada juga yang mengatakan, agama dan negara adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Lantas, pernyataan mana yang pantas diadopsi untuk diperjuangkan? Oleh karena itu, untuk memastikan salah satu dari pernyataan di atas mana yang memuaskan dan mempunyai argumentasi yang kokoh, sebelumnya sangat penting diuraikan mengenai hakekat manusia, kehidupan dan alam semesta. Dari uraian ini akan terpancar sebuah pandangan hidup tertentu yang unik dan khas, sehingga berimplikasi pada pernyataan dan sikap terkait permasalahan di atas. Hakekat kehidupan ini meliputi dari mana manusia, kehidupan dan alam semesta ini berasal? Dalam perjalanannya, ketika ia melihat Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
manusia, kehidupan dan alam semesta tidaklah kekal selamanya, kemanakah semuanya setelah musnah?. Jika semuanya musnah, lalu untuk apa manusia, kehidupan dan alam semesta itu ada? Manusia ketika mengamati dirinya, ternyata dia adalah mahluk yang lemah dan harus bergantung pada sesuatu yang dianggapnya lebih (maha) kuat, yang menguasai dirinya dan atau manusia lainnya. Dari rasa ketergantungan terhadap
sesuatu
ini
memunculkan
perasaan
untuk
mensucikan
dan
mengagungkan sesuatu yang dianggap lebih dibanding lainnya. Manifestasi (perwujudan) pensucian terhadap sesuatu ini dapat berupa peribadatan atau aktivitas lain, sedemikian rupa sehingga perasaan pensucian dan pengagungannya dapat tersalurkan. Sebetulnya inilah salah satu potensi dasar manusia, yaitu kecendrungan untuk beragama. Memang penganut paham atheis tidak mengakui agama, namun pada dasarnya mereka mengalihkan pensucian ke bentuk lain, misalnya saja pengagungan terhadap ide marxisme yang sebagian dari mereka "mengkultuskan" pendahulunya seperti Lenin, Stalin dan sebagainya. Hanya saja Ketika bentuk penyaluran peribadahan diserahkan ke manusia yang cenderung memiliki persepsi berbeda, pasti akan memunculkan banyak perbedaan pula terkait bagaimana peribadahannya . Adanya penyembahan terhadap matahari, pemberian sesajen, bermeditasi, bahkan sampai memukuli diri sendiri adalah bukti perbedaan dalam aktivitas pensucian ini. Yang paling tahu aktivitas pensucian (peribadahan) dengan benar adalah sesuatu yang diibadahi itu sendiri, manusia dapat dikatakan musahil mengetahui aktivitas peribadahan dengan benar jika mengandalkan persepsinya. Untuk Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
mengetahui akivitas pensucian yang benar dibutuhkan sebuah informasi yang tidak diragukan lagi kebenarannya yang berasal dari sesuatu yang diibadahi. Adanya wahyu memiliki peranan penting dalam meluruskan dan menunjukkan aktivitas peribadahan yang benar, begitu pula pentingnya keberadaan orang yang bertugas untuk menyampaikan wahyu. Permasalahan kemudian, wahyu yang bagaimana yang akan dijadikan pegangan? Untuk itu perlu ada pembuktian kebenaran dan keaslian sebuah wahyu dengan menganalisis kemungkinan-kemungkinan wahyu tersebut berasal, serta memperhatikan isi kandungan wahyu tersebut. Setidaknya ada 3 kemungkinan wahyu tersebut berasal, pertama orang yang menyampaikan wahyu yang mengarang sendiri. Kedua, orang lain-lah yang mengarang wahyu. Ketiga, memang sesuatu yang disucikan itulah yang benar-benar membuatnya. Dengan mengetahui
kondisi-kondisi
orang
yang
menyampaikan
wahyu
beserta
lingkungannya ketika itu, serta "mengkonfrontirkan" kemungkinan-kemungkinan tadi dengan isi kandungan wahyu tersebut, akan mengarahkan pada sebuah kepastian yang tak terbantahkan mengenai kebenaran dan keaslian sebuah wahyu. Dan wahyu inilah yang akan digunakan untuk menjawab hakekat mendasar dari manusia, kehidupan, dan alam semesta. Agama dan negara mempunyai kaitan hubungan yang amat rapat. Tapi keduanya bukan pula seperti lembaga yang satu. Agama ialah `tatacara’ kehidupan yang dibentuk oleh nilai-nilai mulia tergambar dalam kepercayaan, perundangan dan etika. Negara pula ialah `ruang’ yang dibentuk oleh alam sekeliling, manusia dan sejarah kebudayaannya. Apabila agama diturunkan, dari perspektif Islam, ia bukan bertujuan bagi membina negara. Ini karena negara, Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
semasa agama diturunkan, telah pun wujud. Menurut Muhamad Natsir dalam bukunya `Agama dan Negara’, apabila wujud sahaja satu perkumpulan manusia pada sesuatu tempat, secara langsung terbentuklah negara. Proses ini terjadi secara tabie sejak zaman berzaman Bagaimana kaitan agama dan negara? Agama diturunkan bagi mengukuhkan kewujudan sebuah negara. Sebagai satu bentuk ruang, negara memerlukan aturan-aturan tertentu. Ini bagi memastikan, warga dalam negara tersebut dapat meneruskan kesinambungan hidup secara harmoni. Dengan aturan-aturan khusus, segala khazanah yang dimiliki negara atau warisan pengentahuan dari sejarah kebudayaannya dapat dimanafaatkan dan diwariskan secara saksama dan berterusan oleh generasi warganya. Aturan-aturan yang adil akan menentukan kesinambungan hayat sesebuah negara. Dalam hubungan ini, agamalah yang menentukan nilai keadilan dalam aturan tersebut.
Sebagai satu tatacara yang dipandu oleh pedoman Tuhan, agama mengemukakan prinsip-prinsip kehidupan yang tetap dan sejagat bagi tujuan mengatur perjalanan hidup masyarakat manusia. Prinsip aturan tersebut meliputi meliputi segenap aspek kehidupan warganya. Bidang aturannya meliputi tatacara keperibadian manusia dan tatacara kehidupan sosial meliputi aspek perundangan, ekonomi, politik dan hubungan antarabangsa. Aturan ini memiliki keunikannya tersendiri kerana ia dibentuk oleh paksi keyakinan tertinggi akan keluhurannya yang abadi sejajar dengan statusnya sebagai pedoman dari Ilahi. Pengamalannya pula dihiasi dengan nilai-nilai akhlak yang mulai dan sejagat untuk kesesuaian seluruh manusia. Bagaimanakah aturan ini dijelmakan? Prinsip-prinsip aturan kehidupan yang dianjurkan itu seumpama `bahan mentah’. Dalam kata lain, prinsip ajaran agama tersebut terlebih dahulu perlu melalui proses penyerasiannya Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
dengan realiti setempat negara. Tanpa proses ini, penjelmaan ini akan menjadi kaku dan barangkali membawa kepada konflik pula. Proses penyerasian di kenal dalam istilah agama sebagai `ijtihad’. Ia adalah satu kegiatan keilmuan tinggi yang dipertanggungjawabkan kepada para ahli ilmu dalam sesebuah negara tersebut. Peranan ilmuwan ini ialah melakukan penjelmaan prinsip-prinsip tetap aturan agama secara harmoni dalam masyarakat berdasarkan latar sejarah, sensitiviti budaya, adat dan pantang larang serta nilai-nilai warisan yang dikandung warga negara tersebut. Proses ini memerlukan interaksi yang unik dan dinamik. Paling mustahak ialah kecerdasan para ilmuwan dalam menentukan langkah-langkah dalam menjayakan interaksi yang harmoni dalam proses penjelmaan tersebut. Para ilmuwan yang cerdas akan menentukan keutamaankeutamaan yang harus didahulukan serta yang harus ditangguhkan berdasarkan kepada tahap-tahap perkembangan kesedaran, kefahaman dan kematangan masyarakat terhadap prinsip-prinsip aturan agama tersebut.
Dari penelusuran terhadap hubungan antara Negara dan agama, terdapat beberapa intervensi terhadap kehidupan agama yang terjadi. Pertama, intervensi Negara terhadap kehidupan beragama, yaitu campur tangan Negara terhadap sebuah keyakinan agama yang sesungguhnya bersifat privat. Negara tidak lagi menjadi manager yang berkewajiban memfasilitasi serta mengatur atau menjaga eksistensi masing-masing agama dalam kerangka majemuk, tetapi sudah memasuki ranah yang sesungguhnya menjadi hak masing-masing agama. Akibatnya, telah terjadi semacam masifikasi agama dalam kepentingan Negara yang menyangkut upaya penyeragaman, sehingga kedaulatan agama sebagai kepercayaan yang tidak diakui, menjadi lahan pelanggaran hak azasi manusia Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
yang paling nyata. Kebijakan Negara tersebut tidak hanya mengakibatkan agama kehilangan misi profetiknya, yakni menegakkan kebenaran dan keadilan, tapi juga membuat agama kehilangan fungsinya sebagai ekspresi kultural bagi pemeluknya.
Kedua, pendefenisian agama resmi oleh Negara yang mengacu pada kepentingan agama resmi dan yang membatasi diri pada formulasi agama langit, dalam kenyataannya telah membawa implikasi yang serius dalam pelanggaran hak berkeyakinan. Khususnya terhadap berbagai sekte atau aliran yang dianggap merupakan sempalan dari agama induk Pembinaan untuk mengembalikan aliran terhadap agama utama, sesungguhnya lebih merupakan pemaksaan terhadap keyakinan lain yang melampaui wewenang agama itu sendiri. Kondisi ini telah menempatkan posisi agama resmi sebagai subordinat atau sebagai aparat Negara untuk mengontrol kemunculan gerakan pembaharuan dalam agama atau munculnya berbagai gerakan sempalan yang dianggap keluar jalur dari agama formal, sebaliknya semakin merangsang tumbuhnya gerakan radikalisme keagamaan
yang
bersumber
pada
semangat
egoisme
kolektif
dengan
memutlakkan tafsir baru yang dimutlakkan kebenarannya.
Ketiga, dampak dari keyakinan kemutlakan terhadap ajaran yang diyakini dan adanya perasaan kewajiban untuk mendakwahkan ajaran kemutlakan itu, yang seharusnya hanya menjadi keyakinan internal masing-masing agama, di tingkat empirik telah menjadi proses kolonialisasi agama-agama mayoritas terhadap agama minoritas. Akibatnya, elemen nilai-nilai fundamental yang semula telah memiliki fungsi perlindungan dalam menciptakan tertib sosial komunitas local telah kehilangan otonomi fungsionalnya. Upaya pelestariaia terhadap nilai-nilai Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
local yang seringkali memiliki kelenturan dalam menghadapi konflik telah berubah kea rah sebaliknya. Dengan demikian, kolonialisasi agama-agama resmi terhadap masyarakat lokal tidak hanya mendapatkan legitimasi Negara, tapi juga legitimasi teologis. 85
3. PEMIKIRAN St. AUGUSTINUS TENTANG NEGARA DAN AGAMA Asal Mula dan Tujuan Negara Allah yang menciptakan alam semesta ini, menciptakan segala sesuatu yang ada, dalam kondisi yang amat baik. Segala sesuatu yang diciptakan-Nya itu menyatakan kebesaran dan kemuliaan Sang Pencipta. Demikian pula Allah menciptakan negara Allah yang pada hakikatnya meliputi seluruh ciptaan-Nya. Negara surgawi itu telah diciptakan Allah sebelum manusia diciptakan. Bahkan sesungguhnya negara surgawi itu telah ada sebelum alam semesta diciptakan. Negara Allah adalah terang, yang diciptakan Allah tatkala ia menciptakan malaikat dalam terang agar mereka hidup secara bijaksana didalam kelimpahan dan berkat Allah dan didalam terang itu sendiri. Tetapi, diantara para malaikat itu meninggalkan terang dan oleh kebodohan mereka sendiri, mereka memilih kegelapan dan itu berarti meninggalkan hidup yang penuh dengan yang abadi. Benih-benih terbentuknya negara sekuler tersemai sejak penyelewengan para malaikat. Negara duniawi itu memanifestasikan dirinya ketika manusia yang pertama jatuh ke dalam dosa. Konsep The City of God atau Negara Tuhan, yang dikembangkan oleh Augustinus, merupakan suatu pilar pemikiran yang memang tidaklah baru, sebab dalam Bible pun dinyatakan jika alam dunia ini merupakan wujud dari kerajaan Tuhan. Bagi Augustinus, ide Negara Tuhan merupakan suatu 85
Anas saidi…Ibid, hal 24-25
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
keharusan sosial historis, sebab Tuhan telah memberikan bentuk permulaannya yaitu ketika zaman Adam. Dikisahkan dalam Alkitab, bahwa Adam mempunyai anak yaitu, Kain dan Habil. Menurutnya Habil merupakan manifestasi atau bentuk analogis dari sebuah kepasrahan total kepada Tuhan. Sebab, ketika Tuhan memerintahkan kepada mereka untuk berkurban untuk Tuhan, maka ternyata Tuhan hanya menerima kurban yang diberikan oleh Habil. Melihat ”ketidakadilan Tuhan” tersebut, naluri hewaniah Kain muncul. Kain pada akhirnya membunuh saudara kandungnya tersebut, sebab Tuhan telah berlaku tidak adil karena menerima kurban dari Habil saja. Menurut Augustinus, sikap hidup Habil yang hanya berpasrah diri pada Tuhan merupakan wujud simbolisasi dari konsep Negara Tuhan (The City of God). Negara Tuhan merupakan negara yang di dalamnya penuh loyalitas, penghambaan total pada sang pencipta dan keikhlasan. Konsep ini merupakan konsep negara ideal yang diinginkan oleh Augustinus, meskipun dalam kenyataanya, tetap saja kehidupan dunia ini tidak hanya dipenuhi oleh rasa ikhlas, loyal dan pengabdian, melainkan juga penuh diisi oleh sikap iri hati, sombong, kebencian, buruk sangka dan berbagai bentuk tindakan kriminal. Bentuk yang terakhir ini merupakan simbolisasi dari karakter Kain yang menjadi ikon dari bentuk Negara Iblis atau Civitate Diaboli (Negara Sekuler). Bentuk terakhir inilah yang menjadi klasifikasi kedua (bentuk negara) menurut Augustinus.
Akar yang terdalam dari kejatuhan manusia kedalam dosa adalah cinta diri dan itulah yang menjadi alas dan dasar yang kokoh bagi bangunan negara sekuler. Jadi, negara duniawi dibangun atas dasar cinta diri dan cinta diri itu pula yang Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
mewarnai dan menguasai negara sekuler. Maka keangkuhan, ketidaktaatan, kejahatan, keburukan, ketidakadilan, kekacauan, ketidakdamaian, hawa nafsu, keserakahan, gila kuasa, gila hormat, perselisihan, pertikaian, kemunafikan, dan kekejaman merupakan wujud yang hakiki dari negara sekuler. Kendatipun negara sekuler, dengan segala kelicikannya menawarkan kebahagiaan yang didambakan manusia, namun kebahagiaan sejati hanya dapat dinikmati di negara surgawi.
Negara surgawi dibangun atas dasar kasih Allah, negara itu akan selalu terarah kepada Allah. Sedangkan negara sekuler, dibangun atas dasar cinta diri, akan mengejar kemuliaan bagi diri sendiri. Jadi tujuan negara Allah ialah kemuliaan bagi Allah, sedangkan tujuan utama negara duniawi ialah kemuliaan manusia atau kemuliaan diri sendiri. Untuk mencapai tujuannya, negara Allah menempuh jalan yang penuh dengan damai sejahtera. Negara surgawi itu akan senantiasa berupaya menghindari berbagai bentuk tindakan kekerasan karena Allah yang memerintah adalah kasih, sebaliknya negara sekuler tidak segan-segan menggunakan cara apapun demi mencapai tugasnya. Agar tujuan tercapai, negara duniawi tanpa canggung dan malu akan menggunakan kekerasan dan kekejaman serta teror. Augustinus menganggap Negara sebagai hal yang perlu hanya karena watak manusia yang sudah menyeleweng akibat dari dosa asal. Jika memulai dengan melihat bahwa pemerintah sipil mempunyai asal-usulnya dalam dosa, maka secara logis dapat dikatakan bahwa pemerintahan sipil adalah jahat, dan
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
bahwa semakin lemah pemerintah, maka manusia akan semakin baik. 86 Akan tetapi meskipun pemerintah tidak diperlukan jika manusia tidak ternoda oleh dosa asal, adanya otoritas politik tetap diperlukan untuk mengatur masyarakat, karena Augustinus tetap sepakat bahwa manusia adalah mahluk sosial, dan manusia memerlukan masyarakat untuk membantu perkembangannya. Kehidupan manusia yang bijaksana haruslah kehidupan sosial, karena bagaimana kota Tuhan bias dibangun atau dikembangkan, atau mencapai tujuan yang sebenarnya, jika kehidupan orang-orang suci bukanlah kehidupan sosial. 87 Augustinus berpandangan bahwa Negara sebagai agen utama untuk menjamin ketertiban yang tenang yang diperlukan bagi orang-orang untuk menjalani takdir abadinya. Ketenangan ini lebih berarti tiadanya kekacauan, ia adalah harmoni yang berasal dari penataan yang benar terhadap segala sesuatu pada tempat yang semestinya. Terlepas dari pandangannya yang kurang jelas tentang masyarakat sipil, Augustinus jelas mengakui Negara sebagai kebaikan positif dalam wilayah duniawi. Negara adalah dirinya sendiri, dalam kebaikannya sendiri, lebih baik daripada semua kebaikan manusia lainnya, karena Negara menginginkan perdamaian dunia untuk menikmati kebaikan dunia. Perdamaian semacam ini, meskipun bukan tujuan dalam dirinya atau kebaikan tertinggi dalam arti mutlak, masih merupakan masih merupakan kebaikan dunia tertinggi karena adalah sarana terpenting untuk mencapai perdamaian langit. Terlebih lagi, Negara diperlukan untuk mencapai tujuan duniawi manusia, tujuan dasarnya dalam hubungan harmonis dengan kepatuhan dan aturan masyarakat yang dibangun
86
Henry, J, Schmandt, Filsafat Politik, Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hal, 156. 87 Henry, J, Schmandt…Ibid, hal 157. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
dengan baik merupakan gabungan dari kehendak orang-orang untuk mencapai hal-hal yang berguna bagi kehidupannya. 88
Negara Sekuler dan Negara Allah Augustinus menyatakan bahwa sesungguhnya ada 2 (dua) macam negara, yang pertama adalah negara Allah (Civitas Deu) yang sering juga disebutnya sebagai negara surgawi. Yang kedua adalah segara sekuler (Civitas Terena/ Negara Duniawi) yang sering juga disebut negara diaboli. Negara yang paling baik dan oleh sebab itu harus senantiasa diupayakan perwujudannya adalah negara Allah. Negara sekuler adalah negara yang buruk dan oleh sebab itu tak layak menjadi dambaan manusia. Kehidupan didalam negara Allah diwarnai oleh iman, ketaatan dan kasih Allah. Negara Allah menghargai segala sesuatu yang baik seperti kejujuran, keadilan, keluhuran budi, kesetiaan, moralitas yang terpuji, keindahan, dan lain sebagainya. Negara sekuler diwarnai oleh dosa, keangkuhan, dan cinta yang egois. Negara sekuler merupakan manifestasi dari ketidakjujuran, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, pengkhianatan, kebobrokan moral, keburukan, kemaksiatan, kejahatan, dan lain sebagainya. Jelas terlihat bahwa gagasan negara Allah dari Augustinus merupakan penjelmaan dari negara ideal Plato. Sama seperti negara ideal Plato, demikian pula negara Allah dari Augustinus dipenuhi oleh segala kebajikan, kedamaian dan keselarasan. Sebaliknya negara sekuler sangat matrealistis, karena penduduknya mengejar harta kekayaan dan bukan mencari kebajikan. Mereka tidak
88
Henry, J, Schmandt…Ibid, hal 158
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
mengutamakan kedamaian dan keselarasan, melainkan kepuasan dan keuntungan diri yang sebesar-besarnya, gila hormat, gila kuasa yang menyebabkan pertikaian, permusuhan dan kekacauan yang tidak habis-habisnya. Menurut Augustinus kendatipun cara hidup dalam kedua jenis negara itu amat berbeda, bahkan saling bertentangan satu sama lainnya, namun didalam praktek kedua-duanya sangat sulit dipisahkan. Itu berarti bahwa kedua-duanya senantiasa berada dan hadir bersama. Sebagai seorang filsuf dan teolog, Augustinus tidak mempersoalkan masalah-masalah praktis organisasi negara atau organisasi gereja. Dia sebenarnya lebih tertarik pada soal cara hidup dan prinsip-prinsip hidup. Oleh sebab itu, gagasan Augustinus tentang negara Allah dan negara sekuler agar orang mengenal dan mempraktekkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam negara Allah, dan agar orang mengenal dan menolak prinsip-prinsip yang terdapat dalam negara duniawi. Jelas terlihat bahwa gagasan Augustinus tentang negara Allah telah mengubah idealisme Plato menjadi idealisme Kristen.
3.2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Negara Sekuler Sejak manusia pertama jatuh kedalam dosa, maka sejak itulah negara sekuler dan negara surgawi mulai menampakkan diri dalam wujud yang lebih nyata. Tentu saja manifestasi kedua negara itu, tidak tampak dalam garis batas teritorial dan dalam bentuk organisasi manusia. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa dosa-lah yang menjadi garis batas pemisah antara negara sekuler dan negara surgawi itu. Karakter, sifat-sifat dan identitas kedua negara terlihat dengan
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
jelas dalam kehidupan manusia yang sekaligus telah menunjukkan apa kewarganegaraannya yang sesungguhnya dari orang yang bersangkutan. Negara sekuler yang telah ada sejak penyelewengan beberapa malaikat mulai menampakkan karakter, sifat-sifat dan identitasnya lewat Kain, manusia pertama yang menjadi warga negara sekuler. Pembunuhan Habel mengungkapkan banyak hal yang menunjukkan bagaimana sebenarnya karakter, sifat, identitas negara duniawi itu. Mengutip Kejadian 4:6-7, Augustinus menunjukkan bahwa sebelum kain membunuh Habel Allah telah memperingatkan lebih dahulu kepada kain dengan mengatakan: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Akankah mukamu tidak akan berseri jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip didepan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” Namun ternyata kain tak mengacuhkan peringatan Allah itu. Ia cemburu, iri hati, dan kemurkaannya membuat dia tak dapat mengendalikan diri. Ia lalu membunuh adiknya, Habel. Dan ketika Allah menanyakkan dimana adiknya, ia mengatakan bahwa ia tidak tahu. Pembunuhan Habel merupakan tindakan kriminal pertama dalam negara sekuler. Dan sejak itu, kehidupan negara sekuler dipenuhi berbagai tindakkan kriminal. Seluruh sikap dan tindakan kain tersebut diatas menunjukkan karakter, sifat-sifat negara dunia duniawi itu. Tidak mengacuhkan peringatan Allah berarti memberontak dan melawan kehendak Allah. Ia cemburu, iri hati, murka, dan tak sanggup mengendalikan diri yang mengakibatkan pembunuhan. Sesudah Kain Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
membunuh, ia berdusta kepada Allah tatkala ia mengatakan bahwa ia tidak mengetahui dimana adiknya itu berada. Itulah karakter, sifat-sifat identitas negara sekuler: pemberontakan, perlawanan, cemburu, iri hati, murka, tak dapat menguasai diri, pembunuhan, dusta, dan lain sebagainya. Negara sekuler terus berkembang dengan pesat yang menunjukkan bahwa manusia semakin jauh meninggalkan Allah. Ketika Abraham lahr telah ada kerajaan kafir yang besar dan termasur yang kehidupan warga negaranya oleh gaya hidup negara duniawi ketga negara itu adalah Sicyon, Mesir, dan Assyiria. Dalam hal itu belum terhitung negara-negara kafir kecil yang tersebar diseluruh dunia. Pada masa deborah hakim wanita memerintah Israel, lahirlah kerajaan laurentum di Italia yang merupakan cikal bakal negara Romawi. Ketika raja Hizkia memerintah israel, kerajaan Assyria runtuh dan bersamaan dengan itu roma didirikan. Para penguasa kekaisaran Romawi berupaya menindas dan menghambat perkembangan agama kristen lewat penganiayaan yang begitu kejam terhadap orang-orang kristen, maka semakin tampaklah dengan sempurna wajah negara duniawi memusuhi kebenaran, keadilan dan kasih Allah. Dan memang sejak semula, ketika Roma dibangun, ia telah didirikan diatas dasar cinta manusia atau cinta diri yang merupakan dasar yang paling utama dari negara duniawi.
3.2.2 Masalah Yang Melanda Negara Sekuler Menurut Augustinus akan terdapat masalah-masalah yang akan melanda negara sekuler antara lain: 1. Konflik dan Perdamaian. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Augustinus mengatakan bahwa negara duniawipun mendambakan kebaikan, kedamaian dan kebahagiaan namun karena negara duniawi tidak kekal maka damai damai yang didambakan itupun tidak abadi. Negara sekuler dibangun atas dasar cinta diri maka akan sering terjadi tabrakan kepentingan yang akan menimbulkan pertikaian, permusuhan, dan peperangan deni menjaga superioritas masing-masing. Keadaan saling menggugat, peperangan dan pertikaian akan setiap saat terjadi pada negara sekuler, yang memperlihatkan negara duniawi itu senantiasa dipenuhi oleh konflik. 2. Rakus akan kekuasaan. Menurut Augustinus pertentangan dan permusuhan yang senantiasa terjadi dalam negara duniawi itu tidak dapat dihentikan. Pihak-pihak yang bertikai tak mungkin diperdamaikan satu sama lain. Hal itu berlangsung demikian karna tak satu pihakpun yang sudi membagi kemuliaan kekuasaan pada pihak lain. Masingmasing ingin mereguk kenikmatan yang sebanyak-banyaknya dari kekuasaan itu bagi dirinya sendiri. Semua pihak rakus akan kekuasan. 3. Ketidak adilan dalam pengadilan Dalam negara sekuler dibangun atas cinta diri, kebenaran yang sebenarnya telah tersembunyi oleh karena ulah para warga negara yang secara sadar hendak mematikan kebenaran itu, kebenaran yang sebenarnya, telah tersembunyi dan dipisahkan dari keadilan.
Lembaga-lembaga
peradilan
yang
seyogianya
menegakkan keadilan, telah dipenuhi oleh ketidakadilan. 4. Ketidakpatuhan. Kehidupan dalam mayarakat sekuler kerap porak-poranda. Undang-undang yang dibuat untuk mengatur dan menertibkan masyarakat, terlalu sering dilanggar Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
dan tidak diacuhkan bahkan ada pendapat bahwa undang-undang dan peraturanperaturan yang dibuat itu adalah untuk dilanggar. Selain itu para penguasa sering dipusingkan
pemberontakan-pemberontakan
yang
timbul,
yang
hendak
memaksakan agar suara mereka didengar dan keinginan mereka diberlakukan. Ada pula pemberontakan yang bertujuan untuk merebut kekuasaan agar mereka bebas bertindak apa yang mereka kehendaki 5. Keangkuhan. Keangkuhan mengundang hadirnya berbagai persoalan dan persoalan diegara dunawi. Keangkuhan menimbulkan pertengkaran, pertikaian, permusuhan dan dalam ukuran yang besar akan menimbulkan peperangan. Menurut Augustinus, keangkuhan ialah kehendak dan upaya untuk menutupi kesalahan diri sendiri dengan mempersalahkan orang lain. Jadi keangkuhan adalah keinginan dan usaha untuk membenarkan diri lewat menimpakan kesalahan pada orang lain. 6. Perbudakan. Aristoteles berpendapat bahwa alam semesta dan manusia takluk dibawa hukum kodrat. Bagi Aristoteles perbudakan adalah sesuai dengan kodrat manusia, dimana ada yang dikodratkan menjadi tuan dan ada yang dikodratkan menjadi budak. Augustinus tidak sependapat dengan Aristoteles. Bagi Augustinus, perbudakan adalah akibat dari dosa manusia dan bukanlah kodrat manusia. Apabila manusia tidak terjerumus ke dalam dosa perbudakan takkan pernah terjadi. Augustinus mengatakan bahwa sesudah Allah menciptakan manusia, Allah tridak pernah mengamanatkan kepada manusia untuk menguasai sesamanya. 7. Penyembahan dewa-dewi yang tak berdaya. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Warga negara duniawi tak mengenal Allah yang benar. Sebagai ganti Allah yang hidup, mereka mengangkat allah-allah yang mati untuk dipuja dan disembah. Allah-allah yang mati itu ialah dewa-dewi dengan berbagai nama, serta berbagai rupa dan bentuk yang diukir oleh para seniman mereka kedalam beragam patung yang menjadi objek penyembahan. Bagi Augustinus, setiap bangsa yang menyembah kepada dewa-dewi adalh bagian dari warga negara duniawi yang tak mengenal Allah yang hidup. 8. Kekejaman dan Kejahatan. Negara sekuler senantiasa diwaranai oleh kekejaman dan kejahatan yang sedikitpun tak mengenal belas kasihan. Didalam negara sekuler kemurahan dan belaws kasihan bukanlah sesuatu yang terpuji, malah sebaliknya dianggap sebagi suatu kelemahan. Kekejaman dan kejahatan justru dikagumi karan menunjukkan keperkasaan dan keberanian.
3.2.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Negara Allah Negara Allah didirikan oleh Allah sendiri ketika Ia menciptakan para malaikat dalam terang. Penciptaan langit dan bumi serta manusia, telah memungkinkan negara Allah bertumbuh dan berkembang. Negara Allah menjadi pengembara yang sadar bahwa ia tidak berasal dari dunia ini dan ia tidak akan berakhir kendatipun dunia ini akan berakhir kelak. Negara Allah itu abadi. Adam adalah bapa dari dua garis keturunan yang membentuk dua jenis kewarganegaraan, yaitu warga negara surgawi dan warga negara duniawi. Setelah Kain membunuh Habel, maka garis keturunan itu diteruskan oleh Kain dan Set. Set dan anaknya Enos hidup dalam pengharapan akan Allah. Mereka menyeru Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
nama Allah dan bersandar kepadanya. Mereka tidak hidup menurut apa yang berkenan dihadapan manusia melainkan hidup menurut apa yang berkenan dihadapan Allah. Mereka hidup dalam pengharapan akan kebahagiaan yang abadi yang berasal dari Allah. Masa antara Nuh sampai Abraham, amat sukar untuk menemukan jejak negara surgawi dalam kitab suci. Karena pada masa itu, tak dijumpai seorangpun antara manusia yang menyembah Allah yang benar. Sesudah kisah kegagalan pembangunan Babel, didalam kitab suci dicantumkan garis keturunan Sem yang meneruskan kewargaan negara Allah. Sejak jaman Abraham, perkembangan negara Allah tampak semakin nyata dan mencolok dipandang mata. Awal penampakan negara Allah itu ialah panggilan Abraham yang bersifat profetis, yaitu panggilan untuk pergi kenegeri yang akan ditunjukkan Allah. Garis keturunan Abraham secara fisik, yang meneruskan perkembangan negara Surgawi ini lewat iman dan kepatuhan mereka kepada Allah ialah : Ishak, Yakub, dan Yehuda. Keturunan mereka diperbudak di Mesir hingga saat Musa diutus Allah membebaskan dan memimpin mereka keluar dari tempat perbudakan menuju tanah yang telah dijanjikan Allah kepada mereka lewat panggilan Abraham. Dan sesudah Musa meninggal dunia Yosua Bin Nun ditugaskan oleh Allah memimpin umat Israel memasuki tanah perjanjian dan mendiaminya. Dengan demikian jelas terlihat bahwa bagi Augustinus, Negara Allah mengembara di dunia ini, tidak pernah mengikatkan diri dengan suatu lembaga manapun juga dan tidak pernah engikatkan diri dengan organisasi gereja. Negara surgawi itu benar-benar mengembara di dunia ini dan ia akan tetap mengembara Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
hingga kelak tiba dipenghujung sejarah dunia pada suatu saat pasti akan berakhir. Oleh sebab itu, negara Allah tidak pernah dapat diidentikkan oleh suatu lembaga negara ataupun organisasi gereja di dunia ini.
3.3
Akhir kedua negara Sejarah dunia ini akan mencapai suatu titik yang akan mengakhiri periode
perkembangan negara sekuler dan juga akan mengakhiri masa pengembaraan negara surgawi di dunia ini. Dengan kata lain, negara duniawi dan negara surgawi itu tidak akan abadi dalam cara beradanya seperti sekarang ini. Akhir dari sejarah negara sekuler dan akhir dari masa pengembaraan negara surgawi di dunia ini akan memiliki dampak bagi keberadaan para warga kedua negara itu. Bagi para nwarga negara sekuler Augustinus mengatakan bahwa di akhir sejarahnya :
… mereka yang bukan warga negara Allah akan mewarisi kesengsaraan abadi, dan juga disebut sebagai kematian yang kedua, sebab jiwa akan dipisahkan dari Allah kehidupannya dan karena itu tak dapat dikatakan hidup dan tubuh akan menjalani penderitaan abadi.
Apabila Akhir dari negara sekuler itu membawa penderitaan abadi yang sangat dahsyat bagi para warganya, maka sebaliknya akhir masa pengembaraan negara surgawi di dunia mengantar para warganya memasuki suatu kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan yang tiada berkesudahan. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Didalam karya Augustinus, jelas terlihat bahwa negara ideal Plato, ditangan Augustinus menjelma menjadi negara ideal kristiani. Bagi Augustinus negara Allah itu benar-benar ada kendati tidak dapat diidentikkan dengan sesuatu institusi apapun yang ada didunia ini. Negara surgawi dibangun sendiri oleh Allah dan Allah juga yang memerintah selaku raja. Namun, Augustinus menyadari bahwa selamanegara Allah itu mengemabara didunia ini, ia bercampur dan berbaur dengan negara duniawi, dan keduanya amat sulit dipisahkan Lewat pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasannya, Augustinus telah menempatkan diri selaku tokoh besar pertama yang berhasil memaparkan politisme teokratis yang tewertuang kedalam pemikiran filsafat dalam sejarah filsafat politik barat. Augustinus berdiri diantara dua masa waktu dalam sejarah filsafat barat yaitu antara zaman klasik dan abad pertengahan. Teori teokratis tradisional berhasil dibaharui menjadi teori teokratis yang rasional. Rasionalitas itulah yang begitu jelas terlihat dalam upayanya untuk memaparkan tentang negara Allah yang diwarna oleh keadilan, kebahagiaan, dan damai sejahtera yang abadi.
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
BAB IV KESIMPULAN
Negara adalah suatu kesatuan hidup rakyat yang mempunyai cita-cita dan tujuan yang sama. Kesatuan ini terbentuk secara sadar dan dirasa perlu untuk dilakukan, karena bersama-sama cita-cita itu dapat dicapai dengan lebih baik daripada sendiri-sendiri. Negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam sebuah masyarakat. Negara dapat memaksakan kehendaknya kepada warga atau kelompok yang ada di masyarakat. Bahkan kalau perlu, Negara memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan fisik dalam memaksakan
kepatuhan
masyarakat
terhadap
perintah-perintah
yang
di
keluarkannya. Kekuasaan yang sangat besar ini diperoleh karena Negara Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
merupakan pelembagaan dari kepentingan umum. Sebagai lembaga yang mewakili kepentingan umum, Negara dapat memaksakan kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat yang lebih kecil jumlahnya. Agama adalah merupakan penghormatan yang wajib diberikan manusia kepada Tuhannya, dalam arti ini, agama adalah suatu keutamaan azasi. Jika sikap penghormatan Tuhan itu menjadi suatu sistem ajaran, tata hidup dan kemasyarakatan, maka timbul aneka agama dalam arti umat beragama. Keadaan seperti inilah yang akhirnya melahirkan banyak ajaran tentang penghormatan kepda Tuhan, yang akhirnya menjadi agama. Agama adalah perwujudan kesadaran batin, bahwa manusia berhubungan dan tergantung dengan Tuhan penciptanya, agama merupakan suatu kegiatan yang bersifat hakiki bagi manusia yang utuh, dan tidak bergantung dari fungsi atau kegunaanya demi kegiatan lain, walaupun agama dapat berguna bagi untuk kehidupan bermasyarakat. Hubungan antara Negara dan agama bukan hanya menjadi masalah yang peka, melainkan juga menjadi masalah yang rumit, karena agama bertahan selama berabad-abad, sedangkan Negara terus berubah berdasarkan lingkungan dan kebudayaan Negara tersebut. Hubungan Negara dan agama dapat berupa sebuah intervensi dari Negara kepada agama, hal ini dapat terjadi melihat bahwa Negara mempunya kewenangan yang mutlak bagi warga negaranya, hingga kadang Negara sering dianggap memperalat agama guna memperkokoh kedudukan Negara tersebut. Akan tetapi hubungan ini dapat pula menjadi terbalik, dimana agama justru menguasai kehidupan bermasyarakat, hingga akhirnya Negara menjadi sarana untuk melaksanakan tujuan dan ketentuan agama. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Augustinus menyatakan bahwa sesungguhnya ada 2 (dua) macam negara, yang pertama adalah negara Allah (Civitas Deu) yang sering juga disebutnya sebagai negara surgawi. Yang kedua adalah segara sekuler (Civitas Terena/ Negara Duniawi) yang sering juga disebut negara diaboli. Negara yang paling baik dan oleh sebab itu harus senantiasa diupayakan perwujudannya adalah negara Allah. Negara sekuler adalah negara yang buruk dan oleh sebab itu tak layak menjadi dambaan manusia. Kehidupan didalam negara Allah diwarnai oleh iman, ketaatan dan kasih Allah. Negara Allah menghargai segala sesuatu yang baik seperti kejujuran, keadilan, keluhuran budi, kesetiaan, moralitas yang terpuji, keindahan, dan lain sebagainya. Negara sekuler diwarnai oleh dosa, keangkuhan, dan cinta yang egois. Negara sekuler merupakan manifestasi dari ketidakjujuran, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, pengkhianatan, kebobrokan moral, keburukan, kemaksiatan, kejahatan, dan lain sebagainya. Menurut Augustinus kendatipun cara hidup dalam kedua jenis negara itu amat berbeda, bahkan saling bertentangan satu sama lainnya, namun didalam praktek kedua-duanya sangat sulit dipisahkan. Itu berarti bahwa kedua-duanya senantiasa berada dan hadir bersama. Augustinus tidak begitu jelas memperlihatkan hubungan Negara dan agama. Augustinus tidak menulis secara sistematis khusus tentang hubungan antara Negara dan agama. Pandangannya diperkembangkan melalui jawabanjawabannya pada situasi yang berbeda-beda dalam hidupnya. Perkembangan pandangannya dapat di lihat dalam hubungannya dengan Afrika Utara, situasisituasi politik dan elemen-elemen yang mempengaruhi dalam sepanjang hidupnya. Di balik pemikirannya tentang Negara dan agama, pada dirinya ada latar belakang Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Afrika Utara yang menekankan antitesis dari dua kota. Augustinus tidak mempersoalkan masalah-masalah praktis organisasi negara atau agama. Dia sebenarnya lebih tertarik pada soal cara hidup dan prinsip-prinsip hidup. Oleh sebab itu, gagasan Augustinus tentang negara Allah dan negara sekuler agar orang mengenal dan mempraktekkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam negara Allah, dan agar orang mengenal dan menolak prinsip-prinsip yang terdapat dalam negara duniawi. Bagi Augustinus negara Allah itu benar-benar ada kendati tidak dapat diidentikkan dengan sesuatu institusi apapun yang ada didunia ini. Negara surgawi dibangun sendiri oleh Allah dan Allah juga yang memerintah selaku raja. Namun, Augustinus menyadari bahwa selama Negara Allah itu mengembara didunia ini, ia bercampur dan berbaur dengan negara duniawi, dan keduanya amat sulit dipisahkan. Sehingga jelas bahwa Augustinus tidak dapat konsisten berbicara tentang hubungan Negara dan agama, akhirnya ia hanya berbicara bagaimana seharusnya manusia sebagai ciptaan Allah itu dapat menjadi manusia yang hidup berkenaan dengan Allah. Karena akhirnya Augustinus merasa bahwa Negara sekuler yang menurutnya adalah jelmaan dari Negara iblis tersebut ternyata masih dibutuhkan oleh manusia sebagai wujud pengekangan hawa nafsu manusia yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia itu sendiri. Augustinus menyadari bahwa Negara sekuler akan menjadi cerminan dari Negara Allah, jika dalam Negara tersebut pemerintah dapat mengekang hawa nafsu manusia tersebut. Bentuk Negara Allah yang dimaksud Augustinus adalah gereja, ia bertitik tolak dari pemahaman penebusan melalui anugerah Tuhan yang hadir dalam Yesus dan gereja-gerejanya. Tujuan Negara Allah adalah untuk keselamatan dan Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
perdamaian yang tersedia di Surga. Penguasa dan rakyatnya melayani satu sama lain, berfikir bagi semua dan bersandar pada kekuatan Tuhan. Kedaulatan di tangan Tuhan menuntut pemberlakuan Kasih yang total. Negara Allah ini akan berjalan hingga akhir zaman, tetapi tidak akan dihancurkan, seperti Negara duniawi.
DAFTAR PUSTAKA
Augustine, St, The City of God, New York, Doubleday, 1958. Adnan, Habib, H.S, Agama Masyarakat dan Reformasi Kehidupan, Denpasar, PT BP, 1999. Basah, Sjachran, Ilmu Negara, Pengantar, Metode Dan Sejarah Perkembangan, Bandung, Penerbit Alumni, 1989. Bertens, Kees, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1998. Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik.Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, 1992. Budiman, arief, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan ideologi, Gramedia, Jakarta, 1996. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Gafar, Afan Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000. Harahap, Syahrin, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, Jakarta dan Medan Istiqamah Mulya Press, 2006. Heuken, A, Ensiklopedi Gereja jilid A-G, Jakarta, Cipta Loka Caraka, 1991. Isjwana, F, Pengantar Ilmu Politik, Bandung, Binacipta, 1992. Ismail, Faisal Pijar-pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, Yogyakarta, LESFI, 2002. Juliantara, Dadang, Negara Demokrasi untuk Indonesia, Solo, Pondok Edukasi, 2002. JA, Denny, dkk, Negara Sekuler, Sebuah Polemik, Jakarta, PT Abadi, 2000. Losco, Joseph dan Leonard Williams, Political Theory : Kajian Klasik dan Kontemporer Edisi Kedua, Jakarta , PT. Raja GrafindoPersada, 2005. Lugo, Gunche, Manifesto Politik Yesus, Yogyakarta, Penerbit ANDI, 2009. Manheim, Karl, Ideologi dan Utopia: Menyingkap kaitan Pikiran dan Politik, Yogyakarta, Kanisius, 1991. Markoff, John Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002. Mathar, Qasim, Moch, Sejarah, Teologi Dan Etika Agama-Agama, Yogyakarta, DIAN/Interfedei, 2003. Mulkan, Munir.A – Machasin dkk, Agama dan Negara, Yogyakarta, Institut DIAN/Interfedei, 2002. Nawawi, Hadawi, Metodologi Penelitian Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press. Putra, Surya Anom, Agamaku Terbang Tinggi, Jawa Timur, Inspirasi, 2001. Rahmat, Jalaludin dalam M. Mukshin Jamil, Agama-agama baru di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar 2008. Rapar, J.H, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2001. Rohman, Arif, Politik, Ideologi, Pendidikan, Yogyakarta, Laksbang Mediatama, 2009. Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Kaitannya Dengan Kondisi SosioPolitik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004. Ryrie, C. Charles Teologi dasar 1, Yogyakarta, Penerbit ANDI, 1991. S, Bambang, Agama dalam Praksis, Jakarta, PT. BPK Gunung Mulia, 2003. Saidi, Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta, Kebijakan Agama Orde Baru, Jakarta, Desantara, 2004. Sairin, Weinata, Hubungan Gereja Dan Negara Dan Hak-Hak Azasi Manusia, Jakarta, PT BPK Gunung Mulia, 1996. Sarapung, Elga dkk, Spritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, Yogyakarta, Institut DIAN/Interfidei, 2004. Schmandt, J, Henry, Filsafat Politik, Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, Yogyakarta, Puataka Pelajar, 2005. Sirait, Saut, Politik Kristen di Indonesia, Suatu Tinjauan Etis, Jakarta, PT. BPK Gunung Mulia, 2006. Situmorang, Victor, Intisari Ilmu Negara, Jakarta, Bina Aksara, 1987. Sri, Dewi, Hubungan Gereja Dengan Negara, Medan, PT Atalya Rileni Sudeco, 2000. Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001. Sumidjo, Ilmu Negara, CV. Armico, 2002. Suseno, Mgnis, Franz, Etika Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2003 Syafiie, Kencana Inu Ilmu Politik, Jakarta, Rineka Cipta, 1997. Usman, Husani dan Purnomo. Metodologi Penelitian Sosial, Bandung, Bumi Aksara.2004.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh madzhab Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 2001. Wardaya, T.Baskara, Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto, Jakarta, Galang Press, 2007. Zawawi, Somad dkk, Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Penerbit Universitas Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Trisakti, 2004. Zamharir, Hari, Muhammad, Agama dan Negara, Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholis Madjid, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Karya ilmiah : Pdt. Matius P. Barus, S.Th, Gereja dan Negara dalam City of God Internet : http://www.Google.com Harian KOMPAS, jumat, 12 Juni 2009
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.
Mburak Perianta Ginting : Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo Augustinus, 2009.