i
ii
iii
iv
PENGANTAR EDITOR NEGARA TANAH DAN HAK ASASI MAN USIA Fajlurrahman Jurdi1
Negara berasal dari bahasa sansekerta nagari atau nagara yang berarti kota. Istilah Negara berasal dari kata asing yang berarti de stoat (Belanda), der staat (Jerman), l'etat (Perancis) the general theori of state atau political theori (Inggris). Pada awalnya ia berasal dari istilah to Stato yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "Negara". Pada waktu itu Negara diartikan sebagai suatu system tugas-tugas atau fungsi-fungsi publik dan alat-alat perlengkapan yang teratur didalam wilayah atau daerah tertentu. Kata Negara menurut Isjwara (1999) lazim pula dipersamakan dengan bangsa (natie), masyarakat atau fiskus (kas Negara). Lebih mengacaukan lagi katanya ialah karena kata Negara juga dipergunakan sebagai istilah yang menunjukan baik 1
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Social (PuKAP)Indonesia, Peneliti pada Centre For Freedom and Social Transformation (CONFRONT)-Jakarta; salah satu Pendiri Insert Institute, suatu lembaga riset dan konsultasi politik, Wakil Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) UNHAS; Koordinator Lingkar Studi Hukum Progresif (LSHP) UNHAS; Pengurus lembaga Peduli Pembangunan Bangsa (LP2B)- Makassar. Menulis diberbagai media massa lokal dan nasional. Juga menulis buku-buku, "Membalut Luka Demokrasi don Islam" (2004); "Aib Politik Muhammadiyah" (Juxtapose, Yogyakarta: 2007)"; Komisi Yudisial• Dad Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim (Kreasi Wacana, Yogyakarta; 2007); "Predator-Predator Pasco Orde Baru: Membongkar Aliansi Leviathan don Kegagalan Demokrasi di Indonesia (PuKAP: 20o8)", Hukum Intemasionol (Editor), (Rechta, Jakarta: 2008)", "Trios Politico Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (editor) (PuKAP: 2008)", "Feminisme Profetik (editor) (Kreasi Wacana, Yogyakarta: 2007); "Aib Politik Indonesia" (naskah slap terbit); "Aib Pollak Islam"(segera Terbit); "Oposisi Lintas Kelas Mendesak Demokrasi; (naskah di Juxtapose, Yogyakarta); "Paradoks Konstitusi: Perselingkuhan Segitiga Antara Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi don Komisi Yudisial" (PuKAP: 2009), "Konstitusi Republicant: Studi Konprehensif Lekuk-Lekuk Epistemologi, Ontologi don Aksiologi Konstitusi (Naskah sedang digarap). Bisa dihubungi melalui 085299262424.
v
keseluruhan maupun bagian-bagian Negara federal. Demikian di Amerika Serikat suatu Negara yang berbentuk federal dimana keseluruhan Negara federal itu disebut "Negara" dan jugs kom ponen-kom ponennya disebut "Negara" (states), umpamanya "the state of New York", "the state of California" dan lain-lain. Menurut Van Apeldorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, kata Negara mempunyai beberapa arti: yakni, (i) Dalam arti penguasa, adalah orang-orang yang melakukan kekuasaan tertinggi atau persekutuan rakyat yang bertempat tingal di daerah; (2) Dalam arti persekutuan rakyat, adalah suatu bangsa yang hidup dalam daerah Terentu dibawah kekuasaan tertinggi menurut kaidah hukum yang sama; (3) Dalam arti wilayah tertentu, adalah suatu daerah tertentu tempat berdiam suatu bangsa dibawah kekuasaan tertinggi; (4) Dalam arti kas atau fiskus, adalah harta yang dipegang oleh penguasa untuk kepentingan urnurn. Negara adalah suatu intitusi yang di dalamnya harus ada "tanah" sebagai salah satu pra syarat bagi berdirinya suatu negara. Dalam kajian ilmu negara, ini masuk dalam kategori Wilayah negara, yang terdiri atas air, darat dan wilayah udara dalam batasbatas tertentu. Karena itu, suatu negara, memiliki "tanah" sebagai wilayah, dan tanah ini disebut dengan "tanah negara". Dalam hukum agraria, pembagian "tanah negara" dan "bukan tanah negara" diperinci lagi, karena ada hak-hak atas tanah. Karena itu, sebutan untuk " Tanah" (land) dapat mempunyai arti yang berbeda tergantung dari sudut pandang keilmuan untuk pengartikannya. Dalam konsep hukum tanah tidak sekedar permukaan bumi, namun mempunyai tiga dimensi yakni ruang angkasa, permukaan bumi dan dibawah vi
tubuh bumi (Peter butt, 2001). Dalam konteks hukum tanah, tanah diartikan sebagai " permukaan bumi" ( lihat pasal 4 ayat 1UUPA). Sebab itulah, tanah adalah salah satu unsur negara, dimana negara menguasai tanah diatasnya. Penguasaan ini adalah merupakan bagian dari konsep kedaulatan dalam studi negara. Hak menguasai dari Negara memberi wewenang kepada Negara untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan clan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Penguasaan tanah oleh negara dalam konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkary tanggungjawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan individu dengan tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab (www. hukumonline.com). Karena tanah bisa menjadi hak, disinilah letak problemnya. Yaitu konflik dan perseteruan antara hak milik, hak pakai atau hak guna bangunan, yang merupakan salah satu varian dari kajian dalam buku ini. Persoalan ini akan menimbulkan konflik vii
sosial dalam masyarakat yang disebut dengan konflik horizontal, dan konflik antara rakyat dengan negara yang disebut konflik vertikal. Ada banyak pola penguasaan tanah yang dilakukan oleh negara, sehingga terjadi konflik dalam masyarakat. Juga pengaturan hak dan pencatatan tanah yang kinerja administrasinya berbelit-belit. Pola-pola penguasaan atas tanah oleh Negara seperti cars kolonial, yang seharusnya Iebih memperhatikan kebutuhan masyarakat justru sebaliknya memberikan contoh buruk, bahkan masyarakat selalu dijadikan stigma sebagai kambing hitam dalam pola penguasaan tanah ini. Sehingga akibatnya, rentan terjadi proses pelanggaran Hak Azasi Manusia oleh beberapa aparat Negara. Mengacu pada data statistik permasalahan pertanahan yang ditangani Badan Pertanahan Nasional RI setelah validasi bulan Agustus 2007, diketahui terdapat 7.491 kasus, dengan rincian sengketa pertanahan 4.581 kasus, konflik pertanahan 858 kasus, dan perkara pertanahan 2.052 kasus. Dari 7.491 kasus tersebut, prosentase berdasarkan tipologi masalahnya adalah; (a) Penguasaan dan pemilikan 59,61%; (b) Penetapan hak dan pendaftaran hak 14,62%; (c) Batas dan letak bidang tanah 6,81%; (d) Ganti rugi eks-tanah partikelir 3,48%; (e) Tanah ulayat 1,78%; (f) Tanah objek landreform 2,27%; (g) Pembebasan dan pengadaan tanah 3,18%; (h) Pelaksanaan putusan pengadilan 8,20% (Pidato Kepala BPN RI, di Denpasar Bali,14 November 2007). Menurut Mahkamah Agung, data empiris sengketa mengenai pertanahan di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan sengketa lain dalam perkara perdata, baik di pengadilan tingkat pertama maupun yang telah masuk ke MA. Rata-rata viii
perkara perdata bidang pertanahan yang ditangani MA (20012005) tercatat 63% dari perkara perdata yang masuk ke MA (Muchsin; 2007). Dalam pelajaran sejarah Indonesia, kita tahu, rezim kolonial sebenarnya benar dimulai secara simbolik dengan pengundangan Agrarische Wet tahun 1870. Undangundang ini, dalam semangat liberalisme Belanda, melarang keras orang asing memiliki tanah di Hindia Belanda, tetapi memberi keleluasaan kepada para penanam modal asing untuk menyewa tanah. Tanah yang disewa itu tidak boleh tanah rakyat, tetapi tanah umum. Untuk menyatakan tanah itu umum atau tidak, harus ada keputusan yang disebut domein verklaring. Domein verklaring ini yang suci murni secara hukum— secara ekonomi dan politik tak lain adalah sarana eksploitasi kolonial, lewat perkebunan. *** Sekalipun buku ini tidak melakukan kajian atas sengketa tanah dan segala variannya, namun pengaturan Hak Guna Bangunan juga menimbulkan problem di dalam masyarakat. Inilah yang menjadi fokus nilai kajian ini. Pada bagian pertama, penulis hendak meletakkan dasar-dasar argumentasi kenapa melakukan penelitian tentang Hak Guna Bangunan, beserta keterkaitan-keterkaitan epistemik dari politik hukum. Sementara pada bagian kedua, penulis melakukan sintesa teoritik, menemukan dasar-dasar pengetahuan dan membangun kerangka dasar studi lanjutan. Dari kerangka dasar inilah buku ini menunjukkan dasar-dasar pengetahuan dan Iandasan sosiologis dari kajiannya. Dari paradigma dasar yang sosiologis dengan meletakkan struktur sosial masyarakat, sebagai buku hukum, kemudian dilanjutkan ix
dengan produk-produk politik yang berupa UU dan Kebijakan. Kelahiran suatu UU dan kebijakan dalam sistem politik hukum justru membawa suatu kajian yang paling menarik. Bahwa ini adalah suatu penelitian teoritik yang dibangun dengan kerangka yang sistemik. Karena kajian pada bagian kedua adalah merupakan landasan epistemik dan "dedah" teoritis, maka pada bagian ketiga meloncat pada kajian empirik. Disini akan ditemukan hambatan-hambatan, juga kemudahan-kemudahan, bahwa betapa politik hukum pertanahan sebagai suatu kebijakan agraria, berhadapan dengan realitas sosial. Segala yang dicita-citakan dan semua yang diharapkan dalam peraturan dan kebijakan negara, tidak selamanya bisa dilaksanakan. ltulah sebabnya buku ini bukan hanya sekedar studi teoritik tetapi juga perbandingan dengan studi empirik. Sebuah perpaduan studi yang mengesankan.
Makassar 25 Januari 2009.
x
KA TA PENGANTAR Prof. DR. dr. Idrus A. Paturusi S.PBO. Rektor Universitas Hasanuddin-Makassar
Saya sangat bangga dan berterima kasih ketika diminta oleh saudara Ikhsan dan Hamzah untuk memberikan pengantar terhadap buku ini. Di satu sisi, mereka adalah merupakan alumni Universitas Hasanuddin dan pada sisi yang lain, saudara Ikhsan telah berhasil membawa nama Unhas dipentas nasional, dengan posisi dan jabatan penting sebagai kepala Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta dan saudara hamzah sebagai Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Dalam konteks ini, bahwa kemelut pertanahan di Indonesia yang telah menjadi kasus yang terjadi setiap hari dan menimpa masyarakat harus bisa teratasi dan tidak menimbulkan perselisihan dalam masyarakat, yang menyebabkan terjadinya perkelahian dan bahkan pembunuhan. Sesuai dengan visi BPN yakni "Menjadi lembaga yang mampu mewujudkan tanah dan pertanahan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia". Visi ini kemudian dijabarkan dalam misi-nya yakni: "Mengembangkan dan menyelenggarakan politik dan kebijakan pertanahan untuk": (i) Peningkatan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan
xi
pangan; (2) Peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T); (3) Perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari; (4) Keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang a kan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat; (5) Menguatkan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPA dan aspirasi rakyat secara luas. Karena itu, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan, bahwa: (1) Setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum; (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum (3) Hak milik mempunyai fungsi sosial . Hal ini sejalan dengan visi misi BPN yang kemudian memiliki posisi sebagai badan agraria untuk melindungi persoalan pertanahan sebagai hak dasar setiap warga negara yang merupakan bagian dari konstruksi HAM. Sekalipun buku ini mengkhususkan diri pada pembahasan seputar masalah HakGuna Bangunan (HGB), namun, saudara Ikhsan dan Hamzah — dimana xii
keduanya sebagai alumni Fakultas Hukum UN HAS - memiliki "kesegaran" berpikir untuk membangun kerangka hukum pertanahan menjadi suatu ide yang bisa dibukukan. Disamping itu, penerbitan buku adalah merupakan bentuk dari kerja peradaban, suatu pekerjaan yang dibangun dengan nalar rasionalitas dan kesabaran yang tinggi. Pada sisi inilah sebenarnya, saya sangat bangga dan mengucapkan hormat kepada kedua penulis. Apapun kelemahan dan kelebihan isi buku ini, maka sebagai rektor Unhas, keberadaan alumni Unhas dalam "belantara" khasanah intelektual, salah satunya dengan menjadi penulis, adalah satu kebanggaan tersendiri bagi civitas akademika. Buku ini menjadi perpaduan menarik antara aktor intelektual murni yakni saudara Hamzah (Dosen Fakultas Hukum Unhas) dan intelektual-praktisi, yakni saudara Ikhsan (Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta). Kepada Pembaca, saya ucapkan selamat berinteraksi dengan kedua penulis dalam nalar dan imajinasi yang tajam, cerdas namun lugas. Semoga bermanfaat dalam membangun peradaban dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Amin.
Makassar, 15 Januar' 2009
Prof. DR. dr. ldrus Paturusi S.PBO.
xiii
KATA PENGANTAR Prof. DR. Syamsul Bahri, S.H., MS Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Saya sangat bangga dan berterima kasih ketika diminta oleh saudara Ikhsan dan Hamzah untuk memberikan pengantar terhadap buku ini. Di satu sisi, mereka adalah merupakan alumni Universitas Hasanuddin dan pada sisi yang lain, saudara Ikhsan telah berhasil membawa nama Unhas dipentas nasional, dengan posisi dan jabatan penting sebagai kepala Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta dan saudara hamzah sebagai Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Dalam konteks ini, bahwa kemelut pertanahan di Indonesia yang telah menjadi kasus yang terjadi setiap hari dan menimpa masyarakat harus bisa teratasi dan tidak menimbulkan perselisihan dalam masyarakat, yang menyebabkan terjadinya perkelahian dan bahkan pembunuhan. Sekalipun buku ini mengkhususkan diri pada pembahasan seputar masalah Hak Guna Bangunan (HGB), namun, saudara Ikhsan dan Hamzah—dimana keduanya sebagai alumni Fakultas Hukum UNHAS- memiliki "inovasi dan improvisasi" berpikir untuk mengkerangkakan bagaimana idealnya politik hukum pertanahan dengan melihat dari sisi problematika Hak Guna Bangunan. Sebuah terobosan berpikir yang akan menghantarkan pembaca pada peta jalan pemikiran kedua penulis yang menjadikan gagasan pemikiran keduanya menjadi sesuatu yang sangat penting
xiv
untuk dibukukan. Disamping itu, penerbitan buku adalah merupakan bentuk dari kerja kemanusiaan, yang menunjukkan bahwa kedua penulis sangat peduli pada kemajuan peradaban manusia. Sebuah niat tutus dan ikhlas yang dibangun dengan nalar rasionalitas dan objektivitas di atas pondasi kesabaran dan keuletan yang tinggi. Pada sisi inilah sebenarnya, saya sebagai Dekan Fakultas Hukum Unhas sangat salut dan bangga hingga merasa patut untuk mengucapkan hormat kepada kedua penulis. Apapun kelemahan dan kelebihan isi buku ini, maka sebagai Dekan Fakultas Hukum Unhas, keberadaan alumni Fakultas Hukum Unhas dalam "belantara" khasanah intelektual, salah satunya dengan menjadi penulis, adalah satu kebanggaan tersendiri bagi civitas akademika. Buku ini menjadi perpaduan menarik antara aktor intelektual murni yakni saudara Hamzah (Akademisi Fakultas Hukum Unhas) dan intelektual-praktisi, yakni saudara lkhsan (Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta). Akhirnya kepada pembaca saya mengucapkan selamat berdiskusi dengan kedua penulis melalui nalar dan imajinasi yang cerdas dari keduanya. Semoga bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan, serta bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Amin. Makassar, 15 Januari 2009
Prof. Dr. S msul Bahri SH., MS.
xv
PRAKATA
Alhamdulillah, Maha Kuasa, Maha Pengasih Dan Maha enyayang Allah SWT. itulah seuntai kalimat yang terlontar tatkala kalimat terakhir dari disertasi ini telah selesai penulis tulis. Bertapa tidak, hanya dengan limpahan karunia rahmat dan kasiih sayang-Nya dalam bentuk kesehatan dan kesempatan sehingga proses penyusunan disertasi ini dapat diselesasikan. Tulisan ini diangkat dari disertasi yang telah diolah dan di "dekonstruksi" oleh editor, sehingga tidak lagi berwajah akademis yang kaku. Sekalipun demikian, buku ini tetap merupakan karya ilmiah yang telah dipertanggungjawabkan dalam sidang "intelektual". Tulisan ini dapat diselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Abdullah Marlang, SH, MH, Dr. Anwar Borahima, SH, MH, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng. SH. MH, Ibu Prof. Dr. Nurhati Abbas, SH, MH, Prof. Dr. Muzakkir SH, MH, Dr. Gunanegara SH, MH dan Dr. Ahmadi Miru SH, MH. Terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan staf masing-masing oleh Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Bapak Ir. Joyo Winoto, Ph.D., kepala kantor Pertahanan Kotamadya Jakarta Pusat dan jajarannya dan kepala kantor pertahanan Kotamadya Jakarta Barat beserta jajarannya, serta segenap aparat Kantor Pertahanan Kotamadya Jakarta Selatan. xvi
Kepada kedua orang tua kami, yang dengan penuh kesabaran dan cintanya yang tulus membesarkan dan mendidik kami, semoga beliau mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah SWT. Kepada Saudara kami, Drs. H. Saggaf Saleh, MH, Aisyah Saleh/Ibrahim bin Syeh Abu Bakar, Halijah Saleh/Ir. Mujadid, Dra. Fatima h Saleh M. Si, Dra. Hj. Nurhayati Saleh/dr, H. Irwan Suaib, Husain Saleh/Lanny, Juanda Saleh, Drs. Usman Saleh, Jum Saleh, Ir, H. Haris Parawangsa dan lmran Parawangsa, SE. Kepada kakanda Dr. H. Syahrul Yasin Limpo SH, M, Si, MH., beserta Ibu drg. Hj. Ayunsri Harahap; Bapak Walikotamadya Jakarta Selatan H. Syahrul Effendi, M, M; yang tutus ikhlas dengan penuh pengertian senantiasa memberikan dorongan semangat dan motivasi kapada kami dalam penyelesaian naskah ini. Akhirnya kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namun telah membantu penulis baik moril maupun materil saga haturkan terima kasih, semoga Allah SWT memberikan ganjaran amal yang setimpal. Kepada seluruh keluarga besar Fakultas Hukum dan Pascasarjana UNHAS terutama yang tergabung dalam "SMART COMMUNITY". Tidak ada taut yang tak bertepi, tidak ada jalan yang tak berujung, marl kuatkan tekad bulatkan semangat kita gapai pulau harapan yang kita cita-citakan bersama. Insya Allah badai itu pasti berlalu. Akhirnya kepada semua pihak yang tidak sempat kami sebutkan satu demi satu namun telah membantu kami baik moril maupun materil, kami haturkan terima kasih, semoga Allah SWT memberikan ganjaan amal yang setimpal. Buku ini sesunguhnya diperuntukkan bagi istri dan anak-anak kami tercinta yang telah xvii
memberikan kasih sayang dan rasa cintanya kepada kami. Kami menyadari bahwa apa yang kami sajikan dalam buku ini bukanlah sesuatu yang sempurna, pastilah masih terdapat kekurangan dan kelemahan disanasini yang diakibatkan oleh keterbatasan kemampuan kami, olehnya itu dengan penuh kerendahan hati, dimohon sumbangan dan petunjuk dalam rangka penyempurnaan karya ini. Sekian dan terima kasih.
Jakarta, 15 Januari 2009
H.S. Muhammad Ikhsan & Hamzah Halim
xviii
DAFTAR ISI
PENGANTAR Fajlurrahman Jurdi (Editor) .....................................................................
v
Rektor Universitas Hasanuddin ...............................................................
xi
Dekan FH Universitas Hasanuddin .........................................................
xv
PRAKATA PENULIS.........................................................................................
xvii
DAFTAR ISI........................................................................................................
xxi
BAGIAN PERTAMA POLITIK HUKUM PERTANAHAN ...............................................................
1
BAGIAN KEDUA PARADIGMA POUTIK HUKUM PERTANAHAN.......................................
17
A. Kerangka Dasar Pendekatan Sosiologi Hukum ............................................
17
B. Pendekatan Sosiologi Hukum Mengenai Perlindungan Hukum HGB Atas Tanah...............................................................................................................
25
C. Pengertian dan Hakikat HGB Atas Tanah .....................................................
33
D. Teori Tentang Hak .........................................................................................
36
E. Konsepsi Perlindungan Hukum (Rechtsbescherming) .................................
43
1. Perlindungan Hukum dalam Bidang Perdata ...........................................
48
2. Perlindungan Hukum Dalam Bidang Publik.............................................
52
F. Aspek Hukum Pendaftaran Tanah .................................................................
57
G. Sistem-Sistem Pendaftaran Tanah ..................................................................
61 xix
1. Sistem Torrens .........................................................................................
62
2. Sistem Positif ..........................................................................................
64
3. Sistem Negatif ..........................................................................................
66
H. Beberapa Ketentuan Pengaturan Hak Atas Tanah Di Indonesia ....................
81
1. Undang-Undang Pertanahan ....................................................................
81
2. Permohonan dan Pemberian Hak ..............................................................
84
I. Bentuk Pengaturan Kebijakan Hak Atas Tanah Di Indonesia .......................
87
1. Pengaturan Kebijakan Hak Atas Tanah dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ............................................................................................
87
2. Pengaturan Kebijakan Hak Atas Tanah Pada Masa Pemerintahan Orde Baru (1967 —1998) ..................................................................................
98
J. Konsepsi Kepemilikan Tanah Menurut UUPA...............................................
104
BAGIAN KETIGA AMBIVALENSI KEBIJAKAN PERTANAHAN: SUATU PENDEKATAN EMPIRIK.............................................................................................................
125
A. Narasi Empirik Penguasaan dan Kepemilikan Hak Atas Tanah .....................
125
1. Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah; Suatu Penddekatan Sektoral.........
126
2. Perbandingan Penguasaan Penggunaan Sertifikat HGB ...........................
129
3. Sertifikat HGB Atas Tanah yang Bermasalah .........................................
131
B. Substansi Hukum Sertifikat HGB Atas Tanah................................................
132
1. Jangka Waktu Sertifikat HGB Atas Tanah ...............................................
135
2. Diskriminasi Aturan dalam Peningkatan Sertifikat HGB Atas Tanah......
137 xx
C. Kekuatan Hukum Sertifikat HGB Atas Tanah Guna Mendukung Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak ..............................................
140
1. Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah HGB Atas Tanah ...........................
140
2. Surat Ukur Sertifikat HGB Atas Tanah ...................................................
147
3. Surat Keputusan Penetapan Hak Tanah ....................................................
152
4. Buku Tanah ...............................................................................................
157
5. Sertifikat HGB Atas Tanah .......................................................................
162
D. D. Kultur Hukum dan Pengaruhnya Tehadap Perlindungan Hukum Bagi Pemegang HGB Atas Tanah ...........................................................................
167
1. Kesadaran Hukum.....................................................................................
167
2. Realitas Sosial .........................................................................................
174
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
183
BIODATA PENULIS..........................................................................................
191
xxi
BAGIAN PERTAMA POLITIK HUKUM PERTANAHAN
Kegiatan pembangunan secara ideal dilaksanakan guna mencapai suatu masyarakat adil, makmur, dan merata. Bagi sebagian rakyat bukan soal siapa yang berkuasa, siapa yang memerintah dan siapa yang diperintah tetapi yang penting adalah bagaimana proses atau usaha untuk mencapai kemakmuran dijalankan sesuai cita rasa keadilan rakyat dan jelmaan dari citacita dan tujuan nasional. Untuk terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera di suatu negara haruslah memperhatikan beberapa hal pokok yaitu sumber daya manusia sebagai anggota masyarakat yang akan mengelola sumber daya alam (agraria) yang ada, sumber-sumber daya alam (bumf, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) yang disebut agraria dalam arti luas. Sumber daya manusia di suatu negara umumnya sebanding dengan kemajuan negara tersebut, apalagi bila ditunjang oleh sumber-sumber daya alam yang dimiliki oleh negara itu didistribusikan secara adil dan merata. Dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dirumuskan tujuan negara, sebagai berikut : Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
1
memajukan
kesejahteraun
umum,mencerdaskan
kehidupan
bangsa,dan
ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan, kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan bahwa bumf dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/ 2001 mengamanatkan pula bahwa dalam pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus didasarkan pada prinsipprinsip, sebagai berikut: a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan negara kesatuan republik Indonesia . b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum. d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. e. Mengembangkan clemokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi 2
partisipasi rakyat. f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan fender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaansumber daya agraria/sumber daya alam. g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan. h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pemberuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. j. Mengakui, menghormati, dan melindungi hsk masyarakat hukum adat dan keagaamaan budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam. k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah ( pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat ), masyarakat dan individu. l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan ditingkat nasional, daerah privinsi, kabupaten/kota dan desa atau setingkat,berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/ sumber daya alam. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas merupakan kaidah fundamental hukum tanah nasional sebagai landasan untuk merumuskan konsep kepemilikian atas tanah 3
bagi bangsa Indonesia dan hak penguasaan negara karena dalam praktek selama ini belum ditemukan konsepsi tentang kepemilikan atas tanah bagi bangsa Indonesia, sementara konsepsi hak penguasaan negara telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA sebagai refleksi dari hak-hak dasar warganegara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam rangka mengurangi kesenjangan pendapatan dan tingkat hidup kaum kaya dan kaum miskin maka Badan Pangan Dunia (FAO) tahun 1979 mengadakan konfrensi dunia tentang pembaharuan agraria dan pembangunan pedesaan (World Convention Agrarian Reform And Rural Development) di Roma yang melahirkan Declaration of Principles And Program of Action, isinya bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidaklah mencukupi dan harus didukung oleh pemerataan dan partisipasi rakyat. Program aksinya bahwa perbaikan yang berkelanjutan memerlukan akses yang merata atas tanah, air dan sumber daya produktif lainnya. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan, bahwa: (1) Setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. (3) Hak milik mempunyai fungsi sosial . Pasal 28 H ayat (4) amandemen kedua tahun 2000 UUD 1945 menyebutkan, 4
bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak miliktersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Ketentuan HGB atas tanah sebagai bagian hak asasi manusia barulah dalam tahap pengakuan dan belum memunculkan konsepsi (gambaran yang dtuh dan menyeluruh) dari hak kepemilikan yang diharapkan, seperti :1) HGB adalah yang hak yang kuat dapat dipertahankan terhadap siapapun, 2) HGB merupakan hak kebendaan, 3) sebagai hak yang kuat, HGB memiliki fungsi sosial, 4) HGB atas tanah mengandung aspek fungsi sosial sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UUPA. Oleh karena itu kajian HGB atas tanah bagi bangsa Indonesia merupakan suatu kajian yang sangat penting karena HGB atas tanah merupakan hak kebendaan, yang dapat menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. HGB atas tanah sebagai bagian dari hak asasi manusia berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dasar, untuk mengembangkan diri dan kehidupan sosial. Konteks kebutuhan akan tanah, erat kaitannya dengan legalitas alas kepemilikan, yang sering menimbulkan persoalan dalam praktek. Oleh sebab itu perlu adanya suatu pembatasan HGB atas tanah, untuk mendapatkan sesuatu hak sebanyak yang dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau orang lain sejauh tidak menghalangi kepentingan orang lain dalam mendapatkan sesuatu demi kebutuhan hidupnya. Artinya batas yang diperlukan dan standar hidup secara layak bagi kehidupan sosialnya. Dalam hal mendapatkan tanah untuk pembangunan sering menimbulkan masalah tentang legalitas alas hak antara masyarakat yang telah lebih dahulu 5
menguasai dan menggunakan tanah disatu pihak dan pelaku pembangunan yang muncul kemudian dengan dalil kepentingan pembangunan dan kepentingan umum di pihak lain. HGB atas tanah merupakan salah satu hak yang dapat dikategorikan sebagai hak sekunder, akan tetapi berbeda dengan hak milik, oleh karena HGB atas tanah memiliki jangka waktu berakhirnya. Adanya pembatasan jangka waktu HGB tersebut dalam realitasnya telah banyak menimbulkan permasalahan hukum maupun permasalahan sosial di kalangan masyarakat. Oleh karena masyarakat pemegang HGB atas tanah merasa tidak mendapatkan perlindungan hukum meskipun telah memiliki iertipikat HGB atas tanahnya. Tanah merupakan faktor utama pendukung kehidupan dan .kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga konsep hak kepemilikan termasuk HGB atas tanah menentukan susunan kehidupan dalam suatu negara. Fungsi tanah tidak hanya terbatas pada sarana produksi, sosial, politik, budaya, tetapi juga menyangkut nilai dan bermakna religius. Dalam
pelaksanaan
pembangunan
pemerintah
sering
mengabaikan
tujuan
kesejahteraan dan kepentingan masyarakat (Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945), seperti, kebijakan pembangunan di bidang pertanahan. Pada masa pemerintahan Orde Baru (1967-1998), sering mengenyampingkan hak-hak rakyat yang dikendalikan dengan memfasilitasi kepentingan badan usaha Skala besar yang mirip dengan penerapan asas Domein verklaring pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Hal itu disebabkan juga, adanya kelemahan dalam kelengkapan isi kaidah dan rumusan dan sebagian peraturan hukum tanah nasional selama masa Orde Baru, yang 6
menyelenggarakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan dalam pelaksanaannya memungkinkan penafsiran yang menyimpang dari semangat dan tujuan diadakannya peraturan yang bersangkutan. Hal tersebut menyebabkan, sering terjadinya konflik keagrariaan dan pengelolaan sumber daya alam, disertai pelanggaran hak asasi manusia, yang berawal dari konsentrasi penguasaan tanah sepihak yang berdalih kepada izin lokasi yang telah ditetapkan pemerintah. Persoalan tentang alas hak atas tanah yang kurang jelas (wildayoccupatie) terjadi juga kepada pemilik, alat bukti yang sah atas tanah yang dibebaskan untuk kepentingan umum. Pengertian tanah dalam penjelasan Pasal 1 ayat 3 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 adalah permukaan bumi, ini berarti hak atas tanah adalah hak yang dapat dibebankan di atas permukaan bumi. Dalam hal hubungan manusia atau badan hukum, tanah memunculkan hak privat bagi manusia atau badan hukum itu sendiri, dan tercakup dalam lingkup keperdataan. Di dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2) UUPA dijumpai istilah hak bangsa Indonesia atas tanah (bukan pemiliknya saja yang berhak atas tanah, karena kemerdekaan
yang
melahirkan
perjuangan
oleh
bangsa
Indonesia
secara
keseluruhan). Kemudian Pasal 2 ayat (2) UUPA dijumpai pula istilah hak penguasaan negara. Selanjutnya Pasal 4 ayat (1) ditemukan istilah hak bagi orang perorangan (natuurlijkpersoon) baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta hak bagi badan hukum (rechtspersoon). Sesungguhnya sebagai subyek hukum (Pasal 4 ayat (0), hak bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (2)), dan hak penguasaan negara (Pasal 2 7
ayat (2)) berbeda ruang lingkup hukum yang mengaturnya. Pokok-pokok pikiran yang tercantum di dalam Pasal 33. menekankan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia, merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat yang dikuasai oleh negara dan ditujukan untuk mencapai kemakmuran rakyat Indonesia. Bertitik tolak dari konstitusi tersebut di atas, maka jelaslah bahwa negara dianggap bukan sebagai pemilik tanah dalam suatu wilayah negara, tetapi kewenangan negara untuk menguasai tanah tersebut semata-mata untuk kepentingan masyarakat banyak. Hal ini di dalam penjelasan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Bakri, (2007: vi), bahwa: “Hak menguasai negara hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur (wewenang regulasi), yaitu mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi serta menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orangorang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi”. Pada masa sebelum berlakunya UUPA hanya tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat, misalnya hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal yang dilakukan pendaftaran atas tanahnya dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan kepada pemegang haknya diberikan tanda bukti hak yang berupa 8
sertipikat. Pendaftaran semacam ini dikenal dengan Rechts Kadasteratau Legal Kadaster. Sedangkan tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat, misalnya tanah yasan, tanah gogolan tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalaupun dilakukan pendaftaran tanah tujuannya bukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, akan tetapi tujuannya adalah untuk menentukan kewajiban membayar pajak atas tanah dan kepadanya diberikan tanda bukti berupa pipit, girik atau petok. Pendaftaran tanah ini dikenal dengan Fiscal Kadaster (Muchsin dan Toton Suprapto, 2002:2). Upaya pemerintah untuk memberikan suatu bentuk jaminan akan adanya perlindungan hukum atas kepemilikan tanah bagi seseorang adalah dengan diberikannya suatu hak atas tanah. Pernyataan perlindungan hukum di atas jelas secara substansial sebagaimana rumusan Pasal 19 ayat (1) UUPA. Adanya kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi setiap orang yang pada hakikatnya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemegang HGB atas tanah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, untuk pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana maksud Pasal 19 ayat (1) di atas, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut dengan PP Nolo Tahun 1961). Keberadaan PP No.ioTahun 1961 tersebut membuka sejarah baru dalam hukum agraria, sebab untuk pertama kali Indonesia mempunyai suatu lembaga yang
secara
khusus
mengatur
tentang
pelaksanaan
pendaftaran
tanah 9
(Parlindungan,1990:1). Peraturan pemerintah ini kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah (selanjutnya disebut dengan PP 24 Tahun 1997) junto Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Hubungan manusia dengan tanah yang bersifat hakiki magisreligius merupakan hubungan penguasaan dan penggunaan tanah dalam rangka memperoleh manfaat bagi kepentingan kehidupan dan penghidupannya, baik untuk kepentingan sendiri sebagai makhluk individu maupun kepentingan bersama sebagai makhluk sosial. Dalam perkembangannya, tanah menjadi semakin penting, karena sebagai sumber daya alam yang dapat dinilai keberadaannya terbatas untuk menampung berbagai aktivitas manusia yang terus berkembang, sehingga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan mengenai penggunaan dan penguasaannya. Sementara itu dalam hubungan dengan penggunaannya, tanah mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan manusia, karena tanah dapat dimanfaatkan secara horizontal maupun vertikal. Hal ini dapat diamati dari fungsi tanah sebagai: a. Hasil, kalau dilihat sebagai barang tambang, maka tanah sebagai hasil penambangan dibutuhkan secara luas dalam pembangunan fisik. b. Penghasil, kalau dilihat dari sudut tempat tumbuhnya tanaman, maka tanahlah yang menghasilkan sumber daya hutan, tanaman pangan dan berbagai jenis tanaman lainnya. 10
c. Tempat,
di
atas
mana
makhluk
hidup
melaksanakan
kegiatan
kehidupannya, disamping juga merupakan tempat tersimpannya sumber daya tambang dan sumber daya air. Di dalam kedudukan seperti tersebut di atas, maka tanah adalah sumber daya utama yang merupakan tempat titik temu kepentingan semua pihak, sehingga dapat terjadi berbagai konflik kepentingan di atas maupun di bawahnya, lebih-lebih apabila beium ditetapkan kepastian hukumnya yang mampu memberikan perlindungan hukum bagi pemiliknya. Berbagai konflik kepentingan mengindikasikan tidak adanya perlindungan hukum guna menjamin hubungan penguasaan antara manusia dengan tanah, sedangkan perlindungan hukum itu merupakan hal yang mendasar bagi setiap manusia untuk mengembangkan kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, wujud perlindungan hukum yang hakiki adalah adanya kepastian hukum kepemilikan atas tanah. Perlindungan hukum akan terpenuhi apabila tidak ada lagi keraguan dan kekhawatiran subyek hak mengenai kepemilikan atas tanahnya, baik merupakan keyakinan dari dirinya sendiri maupun atas pengakuan pihak lain. Beberapa fakta menunjukkan, bahwa dari berbagai penelitian dan keadaan yang berkembang di masyarakat, perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat HGB atas tanah masih dapat dipermasalahkan, bahkan sampai menjadi obyek sengketa di Peradilan, sehingga pemegang hak tersebut di atas ingin mendapatkan jaminan perlindungan hukum atas haknya.
11
Keinginan pemegang sertipikat HGB atas tanah untuk mendapatkan jaminan perlindungan hukum sejalan dengan salah satu tujuan hukum, yakni kepastian hukum, yang diistilahkan oleh Gustav Radbruch bahwa, ada tiga ide unsur dasar hukum, yakni; keadilan, kemanfaatan, dan kepastian (Achmad Ali, 2002: 83). Lebih jauh dalam kaftan dengan tujuan hukum, menurut Achmad All (2002: 72) ada tiga sudut pandang, yaitu : a. Sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau juridis-dogmatis, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya; b. Sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan ; c. Sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya". Ketiga sudut pandang tersebut diupayakan sating bekerjasama dan sating mendukung sehingga dapat mewujudkan tujuan hukum yang optimal. Menurut Munir Fuady (2003: 56-58), tujuan hukum di samping untuk mencapai keadilan, juga bertujuan menciptakan kepastian hukum bagi manusia pribadi dan masyarakat luas. Hukum harus dapat menyelaraskan antara unsur keadilan dan elemen kepastian hukum. Perwujudan unsur kepastian hukum bergantung minimal pada tiga hal lain, yaitu: a. Kebutuhan akan hukum yang semakin hari semakin besar, yang oleh hukum harus selalu dipenuhi; b. Kesadaran hukum manusia dan masyarakat, yang semakin hari semakin 12
bertambah tinggi, sehingga harus diproses dengan baik oleh hukum; c. Tercapainya tujuan hukum, termasuk kepastian hukum, di samping bergantung kepada norma hukum, juga pada faktor penegakan hukum. Faktor penegakan hukum harus selalu dibenahi jika hukum ingin menciptakan kepastian hukum, dimana unsur terpenting dalam penegakan hukum adalah penegak hukum itu sendiri". Untuk
menjamin
kepastian
hukum
kepemilikan
tanah
pemerintah
melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan Pasal 19 UUPA, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang antara lain dalam penjelasan umumnya menyatakan, bahwa: "Guna menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan kepemilikan tanah, faktor kepastian letak dan batas setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan. Dari pengalaman masa lalu cukup banyak sengketa tanah yang timbul sebagai akibat letak dan batas bidang-bidang tanah yang tidak jelas dan tidak benar". Penyelenggaraan pendaftaran tanah selama ini sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, sertipikat tanah yang merupakan tanda-bukti-hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, telah mengalami penyempurnaan dari sertipikat tanpa gambar bidang tanah yang dikenal dengan Sertipikat Sementara, disempurnakan dengan keharusan disertai dengan Gambar Situasi (selanjutnya 13
disingkat GS) dan terakhir dalam bentuk Surat Ukur (selanjutnya disingkat SU). Usaha penyempurnaan itu antara lain dimaksudkan untuk memperoleh letak tepat dan batas-batas bidang tanah yang pasti digambarkan dalam SU sebagai bagian tidak terpisahkan dari Sertipikat Hak Atas Tanah. Pendaftaran tanah di Indonesia yang bertujuan memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang menganut sistem publikasi negatif (sistem negatif) tetapi mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Hal itu dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dengan demikian, sistem pendaftaran tanah itu tidak sepenuhnya memenu hi tujuan hukum positif, sehingga kepastian yang diperoleh masih mengandung kelemahan karena belum mampu memberikan perlindungan hukum yang optimal. Keadaan itu menunjukkan, bahwa sistem pendaftaran tanah pada saat ini tampaknya belum memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang HGB atas tanah secara efektif. Efektivitas hukum, akan terwujud apabila sistem hukum yang terdiri atas unsur struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum dalam suatu masyarakat bekerja sating mendukung di dalam pelaksanaannya. Struktur sebagai unsur pokok dari sistem hukum merupakan kerangka atau rangkanya hukum, mencakup pranatapranata penegakan hukum, prosedurprosedur hukum, jurisdiksi pengadilan dan orangorang yang terlibat di dalamnya (aparat hukum). Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya oleh institusi-institusi hukum atau aparat penegak hukum. Unsur substansi 14
yang dimaksudkan adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi ini merupakan hasil aktual yang dihasilkan oleh sistem hukum. Unsur budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Komponen ini terdiri atas nilai-nilai dan sikap warga masyarakat yang merupakan pengikat sistem hukum, serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan. Tanpa kultur hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan efektif (Lawrence M. Friedman, 2001: 7). Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa terwujudnya perlindungan hukum akan sangat ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, proses pelaksanaannya dan manfaat yang akan diperoleh serta terselenggaranya hubungan yang bersifat positif dan saling mendukung antara pihak pengambil keputusan dengan masyarakat untuk menciptakan konsistensi tujuan hukum yang diharapkan. Lebih lanjut dalam konteks perlindungan hukum pemegang sertipikat HGB atas tanah yang pada dewasa ini menunjukkan, bahwa produk hukum berupa sertipikat tanah yang memenuhi aturan hukum positif belum menjamin diperolehnya perlindungan hukum dari sudut pandang sosiologi hukum, oleh karena ternyata dalam realitasnya seseorang atau badan hukum yang sudah memiliki sertipikat atas suatu tanah ternyata masih dapat dipersoalkan legalitasnya. Sehingga pemegang sertipikat HGB atas tanah merasa gelisah dan memperlihatkan gejala keraguan akan kepastian hukum sertipikat HGB atas tanah yang dimilikinya. Salah satu contoh kasus yang diperoleh sebagai data awal pada Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan, 15
kasus mans dialami oleh Bank Victoria yang tertuang dalam surat yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan tertanggal 15 Mei 2007, Perihal: Permohonan Surat Keterangan Penegasan Kekuatan Hukum HGB yang dimilikinya. Oleh karena itu perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat HGB atas tanah terkadang terabaikan. Perlindungan hukum meliputi unsur perlindungan hak, perlindungan subjek dan perlindungan objek. Unsur-unsur perlindungan hukum tersent berkaitan dengan efektivitas hukum yang meliputi unsur struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum dalam suatu masyarakat. Di dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, Achmad Ali (1998 :18) mengutarakan, bahwa: "sudut pandang sosiologi hukum harus mampu membaca, mengenal dan memahami, berbagai fenomena hukum sebagai objek kajiannya". Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam mengkaji dan menganalisis fenomena hukum tidak menggunakan pendekatan ilmu hukum normatif, melainkan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Pendekatan sosiologis merupakan salah satu pendekatan empiris, yang melihat hukum sebagai perilaku (behaviour), melihat hukum sebagai tindakan (action), atau melihat hukum sebagai realitas (reality). Melalui penggunaan pandangan sosiologis terhadap hukum, maka akan menghilangkan kecenderungan untuk selalu mengidentikkan hukum sebagai undangundang belaka, seperti yang dianut oleh kalangan positivis atau legalistik. 16
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat HGB atas tanah bukan hanya ditentukan oleh hukum atau sistem pendaftaran tanah yang berlaku, tetapi tampaknya sangat tergantung pada pemahaman, sikap, manfaat dan perlindungan hukum yang diharapkan masyarakat dari pendaftaran tanah tersebut. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap pemegang sertipikat HGB atas tanah tampaknya masih menimbulkan keraguan bagi pemegang sertipikat. Hal ini sangat membutuhkan pengkajian atau analisis yang lebih mendalam terutama dalani kaitannya dengan realitas sosial dan kesadaran hukum wawa masyarakat saat ini. Sejalan dengan uraian di atas, maka mungkin ada baiknya pendaftaran tanah diselenggarakan selain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, juga perlu memperhatikan rasa keadilan dan manfaat yang diperoleh masyarakat. Mengingat rasa keadilan yang sangat mendasar itu bersifat abstrak, maka penelitian yang akan dilakukan adalah perlindungan hukum HGB dari sudut pandang sosiologi hukum, yaitu kesadaran hukum dan realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Bertitik tolak dari berbagai pemikiran dalam latar belakang di atas, Iebih lanjut dapat dikemukakan isue penelitian ini ialah, bahwa walaupun penyelenggaraan pendaftaran tanah menganut sistem negatif bertendensi positif, maka pendaftaran tanah tampaknya belum menjamin terwujudnya perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat HGB atas tanah, sebagaimana yang diharapkan, sehingga masih menimbulkan keraguan dan kekhawatiran bagi pemegangnya.
17
BAGIAN KEDUA PARADIGMA POLITIK HUKUM PERTANAHAN
A. Kerangka Dasar Pendekatan Sosiologi Hukum Penelitian yang dilaksanakan pada dasarnya menyangkut kesadaran hukum dan realitas sosial dalam masyarakat berkaitan dengan perlindungan hukum HGB atas tanah, yang dikaji dengan pendekatan sosiologi hukum. Sehubungan dengan itu berikut akan diuraikan kerangka dasar pendekatan sosiologi hukum mengenai perlindungan hukum HGB atas tanah dan operasionalisasi penelitian sosiologi hukum. Dalam hubungan dengan pendekatan sosiologi hukum, Achmad Ali (1998: mengutarakan, bahwa: "....sosiologi hukum menekankan kajian pada law in action, hukum dalam kenyataannya, hukum sebagai tingkah laku manusia, yang berarti berada di dunia sein. Sosiologi hukum menggunakan pendekatan empiris yang bersifat deskriptif..." Sosiologi hukum sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri merupakan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan bersama manusia dengan sesamanya, yaitu pergaulan hidup, dengan kata lain sosiologi hukum mempelajari masyarakcit khususnya gejala hukum dari masyarakat tersebut.
18
Sosiologi hukum adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial. Salah satu misi sosiologi hukum adalah memprediksi dan menjelaskan berbagai fenomena hukum, antara lain bagaimana suatu kasus memasuki sistem hukum, dan bagaimana penyelesaia nnya. Sosiologi hukum menggunakan fakta-fakta tentang lingkungan sosial dimana hukum itu berlaku. Kajian ini bekerja untuk menemukan prinsipprinsip sosial yang mengatur bagaimana hukum bekerja secara konkrit di dalam praktek. Sekalipun demikian, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap fakta-fakta hukum yang ada akan tetapi menjelaskan bagaimana fakta-fakta hukum itu sesungguhnya terjadi dan apa penyebabnya. Lebih lanjut, diutarakan bahwa sosiologi hukum bukanlah sosiologi ditambah hukum, sehingga pakar sosiologi hukum adalah seorang juris dan bukan seorang sosiolog. Tidak lain karena seorang sosiolog hukum pertama-tama harus mampu membaca, mengenal dan memahami, berbagai fenomena hukum sebagai objek kajiannya. Setelah itu, ia tidak menggunakan pendekatan ilmu hukum (dogmatik) untuk mengkaji dan menganalisis fenomena hukum tadi, melainkan ia melepaskan diri ke luar dan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Titik tolak sosiologi hukum sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman (1975: vii), adalah beranjak dari asumsi dasar, "The people who make, apply, or use the law are human beings. Their behavior is sosial behavior. Yet, the study of law has proceeded in relative isolation from other studies sciences." Selanjutnya yang menjadi objek utama kajian sosiologi hukum sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (1998:19-32), sebagai berikut: 19
a. Menurut istilah Donald Black (1976:2-4) dalam mengkaji hukum sebagai Government Sosial Control, sosiologi hukum mengkaji hukum sebagai perangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan guna menegakkan ketertiban dalam suatu kehiduparl masyarakat. Hukum dipandang sebagai rujukan yang akan digunakan oleh pemerintah dalam hal, melakukan pengendalian terhadap perilaku warga masyarakat. b. Persoalan pengendalian sosial tersebut oleh sosiologi hukum dikaji dalam kaitannya dengan sosialisasi yaitu proses dalam pembentukan masyarakat. Sebagai makhluk sosial yang menyadari eksistensi sebagai kaidah sosial yang ada dalam masyarakatnya, yang meliputi kaidah moral, agama, dan kaidah sosial lainnya. Dengan kesadaran tersebut diharapkan warga masyarakat menaatinya, berkaitan dengan itu maka tampaklah bahwa sosiologi hukum, cenderung memandang sosialisasi sebagai suatu proses yang mendahului dan menjadi pra kondisi sehingga memungkinkan pengendalian sosial dilaksanakan secara efektif. c. Objek utama sosiologi hukum lainnya adalah stratifikasi. Stratifikasi sebagai objek yang membahas sosiologi hukum bukanlah stratifikasi hukum seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan Groundnorm teorinya, melainkan stratifikasi yang dikemukakan dalam suatu sistem kemasyarakatan. Dalam hal ini dapat dibahas bagaimana dampak adanya stratifikasi sosial terhadap hukum dan pelaksana hukum. d. Objek utama lain dari kajian sosiologi hukum adalah pembahasan tentang perubahan, dalam hal ini mencakup perubahan hukum dan perubahan masyarakat 20
serta hubungan timbal batik di antara keduanya. Salah satu persepsi penting dalam kajian sosiologi hukum adalah bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat direkayasa, dalam arti direncanakan terlebih dahulu oleh pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum sebagai alatnya. Roscoe Pound dalam (Achmad Ali, 1998 :14) mengenalkan konsep law as a tool of social engineering, yang memandang bahwa problem utama yang menjadi perhatian utama bagi para sosiolog hukum adalah untuk memungkinkan dan untuk mendorong pembuatan hukum, dan juga menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum, serta untuk membuat lebih berharganya fakta-fakta sosial dimana hukum harus berjalan dan dimana hukum itu diterapkan. Oleh karena itu, dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial, diupayakan pengoptimalan efektivitas hukum menjadi salah satu topik bahasan sosiologi hukum (Achmad Ali, 1998: 98-103). Friedman ( 2001:7) mengemukakan, bahwa ada 3 (tiga unsur) dari suatu sistem hukum, yaitu : a) Struktur Hukum; b) Substansi Hukum; c) Budaya Hukum. Struktur hukum adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Substansi hukum adalah peraturanperaturan yang dipakai 21
oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan perbuatan serta hubungan hukumnya. Budaya hukum adalah berbicara tentang sikap-sikap, kebiasaankebiasaan, ideal-ideal masyarakat dalam berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari (Achmad Ali,1996 : 213). Friedman (Achmad Ali, 2001: 8) menyatakan bahwa cara lain untuk menggambarkan tiga unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan struktur hukum seperti mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan memati.kan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Dalam kaitan hukum dan perubahan sosial, Friedman (Achmad Ali, 2001: 362) menyatakan bahwa perubahan sosial yang besar berasal dari luar hukum, maksudnya berasal dari masyarakat. Sistem hukum tidak sepenuhnya otonom, bukan bidang yang berdiri sendiri dan hukum tidak bebas dari pengaruh luar. Hukum mengikuti perubahan sosial dan menyesuaikan dengan perubahan itu. Namun demikian sistem hukum juga membentuk dan menyalurkan perubahan sosial. Dari ketiga unsur dalam sistem hukum ini kemudian masalah pelaksanaan undang-undang akan sangat berhubungan dengan pengetahuan, kesadaran, dan ketaatan hukum. Dalam kenyataan, kesadaran hukum dan ketaatan hukum sering dicampuradukkan, padahal kedua hal tersebut berbeda meskipun sangat erat hubungannya. Kedua unsur ini pulalah yang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan perundang-undangan di dalam masyarakat. 22
Kesadaran hukum adalah kesadaran atau nilai-nilai yang sebenarnya terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau diharapkan ada, Krabbe dalam (Achmad All,1998 :192). Soerjono Soekanto dalam (Achmad Ali, 1998 :194) mengemukakan empat unsur kesadaran hukum, yaitu : a) Pengetahuan tentang hukum; b) Pemahaman tentang isi hukum; c) Sikap hukum; d) Pola perilaku hukum; Kesadaran hukum belum menjadi suatu jaminan bahwa warga masyarakat tersebut akan menaati suatu peraturan hukum atau perundang-undangan. Ketaatan masyarakat pada hukum pun menurut Kellman dalam (Achmad Ali, 1998 :193) terbagi atas tiga, yaitu: a) Ketaatan yang bersifat complience, yaitu jika seseorang tact terhadap aturan hanya karena ia takut sanksi; b) Ketaatan yang bersifat identification yaitu ketaatan seseorang yang terlahir karena ketakutan orang tersebut terhadap rusaknya hubungan baik dengan pihak lain; c) Ketaatan yang bersifat internaziolization, yaitu jika seseorang mentaati aturan benar-benar karena ia merasa aturan tersebut sesuai dengan nilainilai yang dianutnya.
23
Jika dihubungkan dengan keefektifan suatu undang-undang, maka suatu undang-undang dikatakan efektif jika sebahagian besar masyarakatnya menaatinya. Kualitas ketaatan masyarakat pun menjadi ukuran kualitas dari keefektifan suatu undang-undang. Jika sebahagian besar masyarakatnya memiliki ketaatan yang bersifat complience dan identification maka kualitas efektifitas undang-undang tersebut tidak Iebih baik daripada undang-undang yang ditaati oleh masyarakatnya karena kesadaran bahwa perundang-undangan itu sesuai dengan nilai intrinsik yang dianutnya. Dalam pada itu, menurut Friedman (1975:11-16), efektivitas hukum akan terwujud apabila sistem hukum yang terdiri dari unsur struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum dalam suatu masyarakat bekerja saling mendukung di dalam pelaksanaannya. Struktur hukum merupakan keseluruhan institusi hukum yang ada beserta aparatnya mencakup pengadilan dan para hakimnya dan lain-lain. Substansi hukum merupakan keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan. Budaya hukum merupakan opini-opini, kebiasaan kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. Di dalam kaitan dengan itu dapat dikemukakan teori dari Robert Seidman dalam (Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004: 4647) mengenai bekerjanya hukum yang dirumuskan dalam proposisi, sebagai berikut: a. Setiap peraturan perundang-undangan mengatur bagaimana seseorang pemegang 24
peran (role occupant) itu seharusnya bertindak; b. Bagaimana pemegang peran itu bertindak sebagai reaksi terhadap peraturan perundang-undangan yang berfungsi mengatur berikut sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana serta keseluruhan lingkungan yang mempengaruhi termasuk mengenai dirinya; c. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu bertindak sebagai reaksi terhadap peraturan-perundang-undangan
yang
berfungsi
mengatur
berikut
sanksi-
sanksinya, dan keseluruhan kekuatan-kekuatan politik, sosial, dan lain-lain yang mempengaruhi serta umpan balik yang datang dari pemegang peran; d. Bagaimana peran pembuat undang-undang itu bertindak sesuai fungsi yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya, politik, idiologi, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi. Dalam hubungannya dengan peran pelaku hukum William Evan (1990: 76), menyatakan bahwa perilaku pemegang peran tidak cukup Iengkap dijelaskan dari pandangan atau norma serta seperangkatorientasinya, namun sekurang-kurangnya terdapat empat faktor yang mempengaruhinya, yaitu: (a) seperangkat peran hubungan para pihak; (b) seperangkat status; (c) sekuen status; dan (d) kepribadian para pelaku hukum".
25
Selanjutnya karakteristik dan kegunaan sosiologi hukum, menurut Vilhelm Aubert (1969: adalah: "Sociology of law is here viewed as a branch of general sosiology, just like family sosiology, industrial or medical soiology. It should not be overlooked, however, that sosiology legitimately may also be viewed as auxiliary of legal studies, an aid in executing the tasks of the legal profession. Sosiological analyses of phenomena which are regulated by law, may aid legislators or even the courts in making decisions. Quite important is the critical function of sociology of law, as an aid in enhancing the legal profession's awareness of its own function in society. ...Sosiology is concerned with values, with the preferences and evaluations that underlie basic structural arrgements in a society." Sosiologi hukum memperkenalkan banyak faktor-faktor non hukum yang mempengaruhi perilaku hukum tentang bagaimana mereka membentuk dan melaksanakan hukum. Bertitik tolak dari pemikiran latar belakang diadakannya penelitian ini dan berbagai pendapat, maka Iebih lanjut dapat dikemukakan walaupun penyelenggaraan pendaftaran tanah berdasarkan hukum positif-normatif, namun karena menganut sistem publikasi negatif, maka pendaftaran tanah belum menjamin perlindungan hukum pemegang HGB atas tanah seperti diharapkan, sehingga masih menimbulkan keraguan dan kekhawatiran. Dengan pendekatan sosiologi hukum, perlindungan hukum pemegang HGB atas tanah yang menyangkut ketentuan hukum mengenai 26
kepastian letak tepat dan batas batas pemilikan serta benarnya bukti pemilikan dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia, akan meningkatkan kepastian haknya menuju perlindungan hukum. B. Pendekatan Sosiologi Hukum Mengenai Perlindungan Hukum HGB Atas Tanah Setelah mempelajari berbagai pendapat mengenai sosiologi hukum terutama mengenai pengertian, peranan dan objek utama kajiannya, sebagaimana diutarakan Friedman dalam teorinya tentang efektivitas hukum, teori Robert Seidman mengenai bekerjanya hukum dan teori William Evan mengenai peran pelaku hukum, maka sesuai dengan tujuan penelitian ini, diformulasikan kerangka pendekatan sosiologi hukum mengenai perlindungan hukum pemegang HGB atas tanah. Selanjutnya UUPA sebagai hukum agraria nasional menetapkan bahwa HGB atas tanah adalah hak yang diakui dan memiliki kekuatan hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pemegangnya. Setelah mempelajari berbagai teori tentang HGB atas tanah, yang kemudian dihubungkan dengan konsepsi HGB atas tanah di Indonesia, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ada tiga tataran nilai, sebagai berikut : (1) nilai strategic yang perlu diperhatikan yaitu nilai dasar HGB atas tanah sebagaimana tertuang dalam UUPA; (2) nilai implementasi dalam peraturan pendaftaran tanah dan peraturan lainnya yang terkait HGB atas tanah
27
(3) nilai praksis yang merupakan hasil bekerjanya nilai implementasi. Nilai dasar akan menjadi dasar perumusan nilai-nilai implementasi, selanjutnya nilai-nilai implementasi akan menjadi acuan dalam menghasilkan nilainilai praksis. Peraturan pendaftaran tanah mengenai HGB atas tanah yang merupakan nilai implementasi dirumuskan berdasarkan ketentuan dalam UUPA yang merupakan nilai fundamental agar dapat memenuhi asas-asas dan tujuan pendaftaran tanah dalam menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang HGB atas tanah yang mempunyai nilai praksis. Nilai-nilai praksis yang diperoleh dari hasil suatu kebijakan, sangat tergantung pada budaya hukum masyarakat. Amier Syariffudin (1996:3) mengemukakan bahwa budaya hukum yang eksis adalah sangat mungkin berdasarkan nilai-nilai tradisional yang melandasi hukum adat. Dengan demikian budaya hukum dapat menunjang atau menghambat efektivitas sistem hukum tertulis yang berlaku. Kebijakan pendaftaran tanah yang tertuang dalam peraturan perundangundangan sebagai suatu Das Sollen (yang ideal menurut hukum), belum tentu terwujud sebagai suatu Das Sein (menurut kenyataannya). Keadaan itu terjadi dalam masyarakat, dimana sertipikat HGB atas tanah yang diperkarakan dapat dibatalkan oleh putusan hakim pengadilan. Kenyataan itu merupakan suatu gambaran bahwa tanah yang sudah didaftarkan dan memperoleh kepastian hak, secara hukum belum tentu mendapatkan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang HGB atas tanah tersebut. 28
Sehubungan dengan hal itu perlu dilakukan kajian tentang; (1) bagaimanakah jaminan perlindungan hukum bagi pemegang HGB atas tanah dalam substansi perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah di Indonesia saat ini. (2) Demikian hainya terhadap sertipikat HGB atas tanah dapat memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pemegang hak, apakah telah memenuhi nilai dasar yang tercantum dalam Pasal 19 UUPA, dan mengembangkan nilai-nilai implementasi yang dapat menghasilkan nilai praksis sebagai produk dari kegiatan pendaftaran tanah itu. Demikian pula halnya mengenai isi peraturannya, dan kemungkinan
penafsiran
yang
timbul
dari
substansi
hukumnya
serta
kesesuaiannya dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dari kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu hasil yang secara teoretik dapat dipertanggungjawabkan secara ilmia sebagai suatu ius constitutum (hukum yang berlaku) yang diharapkan akan mampu memperkaya ius constituendum (hukum yang dicita-citakan). Hal itu juga sekaligus akan memberi manfaat tidak saja bagi masyarakat, tetapi juga bagi penyempurnaan peraturan pendaftaran tanah, khususnya mengenai HGB atas tanah, Nilai praksis yang terkandung di dalam sertipikat HGB atas tanah dalam kenyataan di lapangan dapat diindikasi dari wujud penguasaan dan pemanfaatan atas tanah. Tanah yang dikuasai dan lebih-lebih lagi yang telah memperoleh perlindungan dan kepastian HGB di atasnya cenderung akan dikelola dengan lebih baik sehingga memberi nilai tambah manfaatnya, bukan hanya bagi pemilik tanah, namun juga bagi 29
masyarakat sekitarnya. Dalam hubungan ini, wujud nilai praktis tersebuttidak hanya semata-mata ditentukan oleh pemilik hak atas tanah, namun juga ditentukan oleh kebijakan pertanahan secara nasional maupun setempat, kondisi lingkungan sosial masyarakat, kondisi ekonomi masyarakat serta kondisi budaya yang berkembang dalam masyarakat setempat. Berbagai kondisi lingkungan nasional maupun lingkungan setempat yang berpengaruh terhadap aspek penguasaan dan pemanfaatan tanah juga tidak terlepas clan pengaruh lingkungan yang lebih luas dan bersifat universal, yaitu globalisasi hubungan antar negara dan bangsa, pengakuan terhadap hak asasi manusia, pentingnya keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tanah bagi peradaban dan berlangsungnya kebesaran bangsa Indonesia. Dengan adanya hubungan yang saling terkait antara ketiga tataran nilai itu, maka dapat dilihat sejauh mana perlindungan hukum HGB atas tanah dapat diwujudkan. Perwujudan perlindungan hukum HGB, akan melibatkan struktur hukum dan substansi hukum yang berkaitan dengan kebijakan pendaftaran tanah serta kultur hukum masyarakat, yang menjadi dasar operasionalisasi pelaksanaan penelitian ini. Hal ini akan dikaji dengan menggunakan teori efektivitas hukum oleh Friedman, bekerjanya hukum oleh Robert Seidman dan peran pelaku hukum oleh William Evan yang dituangkan ke dalam kerangka pikir mengenai kajian sosiologis perlindungan hukum pemegang HGB atas tanah yang sudah didaftarkan. Selanjutnya dalam kaitan dengan masalah diskriminasi hukum yang terjadi dalam kaitan dengan sertipikat HGB atas tanah dari aspek sosiologi hukum 30
diugkapkan oleh Donald Balck dalam teorinya tentang tentang adanya lima aspek variabel yang menyebabkan terjadinya diskriminasi hukum. Istilah diskriminasi yang digunakan oleh Donald Black adalah selaras dengan istilah "melee" yang digunakan oleh Charles Sampford. Kelima aspek variabel dalam kehidupan sosial yang menjadi faktor penyebab munculnya diskriminasi hukum adalah strafikasi, morfologi, kultur, organisasi, dan pengendalian sosial. Lebih lanjut Donald Black (1976: 1-2) menjelaskan kerangka kehidupan sosial seperti perilaku hukum yang berpengaruh terhadap penegakan hukum yang dapat menyebabkan diskriminasi hukum (termasuk diskriminasi putusan hakim), sebagai berikut: "Social life has several variable aspects, including stratification, morphology, cultur, organization, and social control. Stratification is the vertical aspect of social life, or any uneven distribution of the conditions of exsistence as food, acces to land or water, and money. Morphology is the horizontal aspect or the distribution of people in relation to each other, including their division of labor, integration, and intemaecy. Cultur is the simbolis aspect sush as religion, decoration, and folklore. Organization is the corporate aspect, or the capacity for collective action. Finally, social control is the normative aspect of social life, or the defenition of deviant behavior and the response to it, such as prohibitions, accusations, punishment, and compensation." Kelima aspek variabel di atas, sangat berpengaruh terhadap bekerjanya sistem hukum di dalam kehidupan sosial. Strafikasi merupakan aspek vertikal dari 31
kehidupan sosial, atau setiap distribusi yang tidak merata atau tidak seimbang dari sumber material atau kondisi-kondisi yang ada, seperti makanan, akses ke tanah atau air, dan uang. Stratifikasi dan hukum senantiasa bergandengan tangan, pada masyarakat yang memilki stratifikasi yang tajam, maka senantiasa menghadapi perlakuan yang keras dari hukum, dan selanjutnya taraf perlakuan yang keras dari hukum akan semakin lunak berturut-rurut, jika dilakukan oleh orang-orang yang berstatus tinggi yang menyerang orang yang juga berstatus tinggi, orang-orang yang berstatus rendah yang menyerang orang yang berstatus rendah, orang berstatus rendah menyerang orang yang berstatus tinggi dan orang-orang yang berstatus tinggi menyerang orang yang berstatus rendah. Lebih konkrit dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi stratifikasi atau status sosial seseorang di dalam masyarakat, maka hukum (putusan hakim yang menguntungkan baginya) semakin berpihak kepadanya. Dengan demikian, kedudukan atau status sosial orang-orang yang terlibat dalam proses peradilan sangat berpengaruh terhadap lahirnya putusan hakim dari kasus tersebut. Aspek morfologi sebagai aspek horizontal dari kehidupan sosial atau distribusi dari orang-orang dalam hubungannya dengan orang lain, termasuk pembagian kerja di antara mereka, integrasi dan keakraban yang berlangsung di antara mereka. Jadi, jarak hubungan atau derajat keakraban (relational distance) dalam interaksi antara sesama. Morfologi dapat diilustrasikan bilamana dalam suatu perkara dimana orangorang yang terlibat di dalamnya memiliki hubungan keluarga atau hubungan 32
emosional yang dekat maka kecenderungan hukum tidak terlalu difungsikan bahkan dapat dikesampingkan. Sebaliknya, jika orang-orang yang terlibat di dalam suatu konflik tidak memiliki hubungan atau hubungannya jauh, maka hukum semakin berperan secara tajam. Demikian, juga, ketika aparat hukum mempunyai hubungan dengan kedua belah pihak yang berperkara atau dengan terdakwa, maka kurang memungkinkan aparat hukum itu akan bertindak keras terhadap kedua belah pihak, dan besar kemungkinan aparat hukum itu akan menggunakan pendekatan kompromistis yang bersifat informal. Sebaliknya, ketika aparat hukum tidak memliki hubungan atau hubungannya masih jauh, maka kemungkinan penggunaan hukum secara tegas peluangnya sangat besar. Jadi, peluang untuk keberpihakan hukum lebih besar kepada pihak yang memiliki hubungan yang dekat dengan aparat hukum ketimbang pihak yang tidak memiliki hubungan. Kultur merupakan aspek simbolik dari kehidupan sosial, yang meliputi ungkapan-ungkapan tentang apa yang benar, apa yang seharusnya, apa yang salah, apa yang pantas dan tidak pantas. Kultur para pihak baik yang konvensional maupun yang inkonvensional yang berhubungan dengan reliji mereka, penampilan mereka, latar belakang mereka, maka pihak yang konvensional lebih memungkinkan menggunakan hukum dan berhasil dalam kasus mereka. Bilamana dalam suatu kasus, misalnya salah satu pihak memiliki latar belakang kehidupan sosial yang sama (etnis, pendidikan, daerah anal, dan lain-lain) dengan aparat hukum, sementara pihak yang lain tidak seperti itu, maka pihak yang memiliki banyak kesamaan dengan aparat hukum akan lebih berpeluang 33
menggunakan atau tidak menggunakan hukum. Jadi, setiap kasus hukum dalam suatu sistem hukum yang kompleks, identitas-identitas dan hubungan-hubungan yang ada di antara para pihak, dan struktur inilah yang memprediksikan dan menjelaskan bagaimana suatu kasus diselesaikan. Aspek organisasi merupakan aspek korporasi dalam kehidupan sosial, kapasitas, untuk melakukan tindakan kolektif. Hukum dapat bergerak dari arah organisasi yang lebih besar ke yang lebih kecil atau sebaliknya dari yang lebih kecil ke arah yang lebih besar. Misalnya, jika di dalam satu kelompok terdapat anggota kelompok atau individu yang melanggar, maka arah hukum dari organisasi yang lebih besar ke yang lebih kecil. Jadi, dalam suatu arah menuju organisasi yang lebih kecil, hukum bervariasi secara langsung searah dengan jarak keorganisasian, tetapi dalam suatu arah menuju organisasi yang lebih besar, hukum bervariasi secara terbalik dengan jarak keorganisasian. Aspek pengendalian sosial merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial, atau di sini dari perilaku yang menyimpang dan tanggapan terhadapnya, seperti larangan, dakwaan, pemidanaan, dan kompensasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Donald Black (1976:109): "Social control is the normative aspect of social life. It defines and responds to deviant behavior, specifying what ought to be: What is right or wrong, what is a violotion, obligation, abnormality, or disruption. Law is social control, but so are etiquiette, custom, ethics, control among the citizens of a state, so the member of a tribe have theis own social control, as do the members of a family, worklplace, 34
church, clique, or game. Pengendalian sosial tidak hanya dimiliki oleh hukum tetapi juga dimiliki oleh kaidah sosial lain di luar hukum. Pengendalian sosial oleh hukum akan lebih kuat ketika pengendalian sosial lain lebih lemah 'dan sebaliknya. Di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan setiap warga bebas dari pengendalian sosial lain, is lebih memungkinkan untuk mendapati diri mereka di pengadilan atau di penjara. Sebagai contoh, di Laos orang Thai secara khas menjadi sasaran pengendalian informal yang lebih kecil ketimbang orang Lao, dan karenanya orang Lao lebih rawan terhadap hukum. Jika orang Lao bermasalah dengan orang Lao lain, mereka pergi ke naiban atau kepala desa, yang bertindak sebagai penegah. Jika sang naiban tidak dapat menyelesaiakn persoalan, mereka dapat melanjutkan ke tasseng (pemimpin informal beberapa desa). Jika tasseng gagal, maka kasusnya diajukan ke pejabat pemerintah, dan sangat jarang. Akan tetapi, dalam kondisi yang sama, orang Thai hanya menjadi sasaran hukum (Donald Black, 1976: Ito). Kenyataan di atas, menunjukkan bahwa diskriminasi hukum termasuk putusan hakim dapat dipengaruhi oleh pengendalian sosial selain hukum. Apalagi kondisi sosial kemasyarakatan di Indonesia kemungkinan itu sangat mudah terjadi, mengingat di dalam kehidupan sosialnya bukan hanya kaidah hukum dijadikan sebagai pedoman dalam berperilaku dan berinteraksi, tetapi masih terdapat kaidah-kaidah sosial lain seperti kaidah agama, moral, kesusilaan, norma-norma keluarga yang tidak sama pada setiap keluarga.
35
Diskriminasi dari sudut pandang sosiologi hukum merupakan ,,uatu aspek dari dari perilaku alamiah hukum, yang sama alamiahnya dengan terbangnya burungburung atau berenangnya ikan-ikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Donald Black (Dennis Patterson, 1999: 414): "Discriminasion thus turns out to be vastly more extensive and routine than the tradtional understandinghas recognized, an aspect of the natural behavior of law, as natural as the flying of birds of the swimming of fish" Pendekatan sosiologi hukum terhadap putusan hakim akan bermuara pada putusan hakim yang telah memenuhi rasa keadilan warga masyarakat, dapat memulihkan hubungan sosial antara pihak yang bersengketa dan dapat memberi kemanfaatan. Selanjutnya pendekatan psikologi hukum terhadap putusan hakim bermuara pada putusan hakim yang dapat memberi rasa aman dan tenteram, rasa damai dan rasa puas bagi para pihak yang bersengketa. C. Pengertian dan Hakikat HGB Atas Tanah Pengertian/ definisi tentang HGB atas tanah menurut UUPA Bagian V Pasal 35 ayat (1), adalah, HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun. Selanjutnya Supriadi, (2007: 116) dengan mengacu pada bunyi Pasal 35 ayat (1) UUPA berpendapat, bahwa, HGB merupakan salah satu hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder, berbeda dengan hak milik sebagai hak primer atas tanah.
36
Penulis sependapat dengan kedua pengertian di atas, oleh karena HGB merupakan pendukung sarana pembangunan perumahan yang sementara ini semakin berkembang dengan pesat. Salah satu yang paling mendasar dalam pemberian sertipikat hak guna bangunan atas tanah khususnya menyangkut adanya kepastian hukum mengenai jangka waktu pemberiannya. Sehubungan dengan pemberian perpanjangan jangka waktu apabila HGB telah berakhir, maka HGB tersebut atas permintaan pemegang haknya dapat diperpanjang atau diperbaharui dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 26 PP No. 4o Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah. Sejalan dengan hal tersebut di atas, bilamana dibandingkan dengan hak opstal yang merupakan juga suatu hak kebendaan untuk mempunyai bangunan, pekerjaan, atau tanaman di atas sebidang tanah orang lain (Pasal 711 BW). Hak Opstal tersebut memberi hak kepunyaan kepada yang berhak atas bangunan (bovenbouw) dari tanah orang lain, yang punya hak adalah yang punya rumah, tanaman, dan sebagainya, yang berada di atas sebidang tanah orang lain, tidak peduli rumah itu, tanaman tersebut, itu didirikan oleh opsteller sendiri atau telah terdapat sebelum hak itu diperoleh. Dari gambaran Pasal 711 BW tersebut dapat dikatakan, bahwa ada kemungkinan pada suatu waktu sebidang tanah adalah eigendom dari seseorang, sedangkan rumah dan tanaman yang ada di atas tanah tersebut adalah kepunyaan orang lain. Di dalam ketentuan Bab III Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah dijelaskan bahwa yang dapat menjadi pemegang HGB adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan 37
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selanjutnya di dalam Pasal 21 PP tersebut di atas dijelaskan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan HGB adalah tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Oleh karena itu HGB atas tanah negara lahir dengan adanya keputusan pemberian hak oieh menteri atau pejabat yang ditunjuk, sedangkan HGB atas tanah hak pengelolaan lahir dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan, di lain pihak HGB atas tanah hak milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Selanjutnya hapusnya HGB atas tanah dapat terjadi karena: 1). berakhirnya jangka waktunya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan dalam perjanjian pemberiannya, 2). dibataikan oleh pejabat yang berwenang, 3). berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, 4). dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir, 5). tanahnya dicabut berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961 tentang "Pencabutan Hak", tanah diterlantarkan oieh pemegang haknya, 6). tanahnya musnah, ataukah menurut ketentuan Pasal 20 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996. Hapusnya HGB atas tanah sebagaimana dimaksudkan di atas sebagaimana diatur di dalam Pasal 36 bahwa hapusnya HGB atas tanah negara mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara. Sedangkan hapusnya HGB atas tanah hak pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali kedalam penguasaan pemegang hak pengelolaan. Di satu pihak hapusnya HGB atas tanah hak milik mengakibatkan 38
tanahnya kembali kedalam penguasaan pemegang hak milik. Menurut Asian Noor, (2003: 275-276), bahwa: "pada dasarnya, hak dilahirkan dari hukum kodrat dan kewenangan lahir dari hukum positif, oleh karena itu hak dan kewenangan sah, apabila dijalankan menurut hukum : Hak merupakan akibat yang muncul dalam keberlakuan hukum dan setiap jenis hukum menentukan hak yang terkandung di dalamnya. Semua hukum mengharapkan adanya hak dan sebaliknya semua hak mentaati adanya hukum yang berlaku. Kedua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Mengingkari adanya hak berarti pula mengingkari keberadaan hukum. Hak tidak mungkin ada, jika tidak ada pihak-pihak yang harus menghormatinya dan sarana pengikatnya adalah hukum. Demikian pula, tidak akan ada hukum, jika tidak ada seseorang yang memegang kekuatan moral untuk memastikan ketaatan pada hukum, yaitu seorang yang memiliki hak dan kewenangan untuk memberlakukan hukum". Hak kepemilikan merupakan sumber kehidupan termasuk hak kepemilikan atas tanah dalam bentuk HGB atas tanah, oleh karena itu untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, harta benda tertentu harus dimiliki, karena bagi manusia, ada tertentu yang merupakan the natural media on which human existence depends. D. Teori Tentang Hak Rumusan perintah kategoris yang diberikan Kant (John Pieris & Wiwik Sri Widiarty, 2007: 47) adalah :
39
"Bertindaklah dalam suatu cara seperti anda mamperlakukan semua manusia, baik terhadap diri sendiri atau orang lain, bukan hanya sebagai sarana, namun juga sebagai tujuan. Atau, jangan pernah memperlakukan orang lain hanya sebagai sarana, namun juga sebagai tujuan". Lebih lanjut Kant dalam (John Pieris & Wiwik Sri Widiarty, 2007: 48) menyatakan, bahwa: "orang harus dihargai sebagai makhluk yang bebas dan sederajat dalam usaha meraih kepentingan mereka. Pendeknya, hak moral mengidentifikasikan bidang-bidang khusus di mana semua orang sating menghormati sebagai makhluk yang sederajat". Menurut H.J. Mc Closkey (John Pieris & Wiwik Sri Widiarty, 2007: 48), menyatakan, bahwa: "secara umum, hak dapat diartikan sebagai klaim atau kepemilikan individu atau sesuatu. Seseorang dikatakan memiliki hak jika dia memiliki klaim untuk melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu atau jika orang lain berkewajiban melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu kepadanya. Hak bisa berasal dari sebuah sistem hukum yang memungkinkan atau mengizinkan seseorang untuk bertindak dalam suatu cara tertentu terhadapnya; inilah yang disebut hukum. Undang-undang Amerika Serikat, misalnya, menjamin hak atas kebebasan berbicara semua warganya, dan peraturan perdagangan menyebutkan, bahwa masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah perjanjian yang sah memiliki hak atas sesuatu seperti yang disebutkan dalam 40
perjanjian. Hak hukum tentu saja terbatas hanya pada yurisdiksi khusus di mana sistem hukum yang memberikannya dilaksanakan". Hak bisa juga berasal dari sistem standar moral yang tidak bergantung pada sistem hukum tertentu. Hak untuk bekerja, misalnya, tidak dijamin dalam konstitusi Amerika, namun banyak orang yang menyatakan bahwa ini adalah hak yang dimiliki oleh semua manusia. Hak-hak semacam ini, yang disebut hak moral atau hak asasi manusia, didasarkan pada aturan dan prinsipprinsip moral yang menegaskan, bahwa semua manusia diberi kewenangan untuk melakukan sesuatu atau berhak memiliki sesuatu. Hak-hak moral, berbeda dari hak hukum, biasanya dianggap sebagai sesuatu yang dimiliki semua orang di dunia dalam tingkatan yang sama, karena mereka adalah manusia. Menurut John Pieris & Wiwik Sri Widiarty, (2007: 49) bahwa, .dalam wacana umum, kita menggunakan istilah hak untuk menggambarkan berbagai situasi di mana individu dimungkinkan menetapkan pilihan dalam berbagai cara yang sangat beragam., yaitu: "Pertama, kita kadang menggunakan istilah hak untuk menunjukkan tidak adanya larangan dalam melakukan sesuatu. Contohnya, saya punya hak untuk melakukan apapun yang tidak dilarang oleh hukum atau moralitas. Dalam artian hak yang seperti ini, aspek-aspek 'pemungkinan' dan perlindungan relatif minim. Seorang tentara atau polisi, misalnya, memiliki hak hukum untuk memerintah bawahannya yang memungkinkannya untuk menjamin keselamatan orang lain, sementara seorang pemilik properti memiliki hak 41
hukum yang memungkinkannya melakukan apa saja yang dikehendakinya terhadap properti itu. lstilah hak kadang digunakan untuk menunjukkan adanya larangan atau kewajiban pada orang lain yang memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan tertentu. Contohnya, Undang-undang Amerika dikatakan memberi hak atas kebebasan berbicara pada warga negara karena undangundang tersebut memuat larangan terhadap pemerintah untuk tidak membatasi kebebasan berbicara, dan hukum federal dikatakan memberikan hak atas pendidikan pada warganya karena di dalamnya memuat kewajiban bagi setiap negara bagian untuk memberikan pendidikan gratis bagi seluruh warganya. Hak-hak moral paling penting adalah hak yang menetapkan larangan atau kewajiban pada orang lain yang memungkinkan seseorSng untuk memilih denga bebas apapun kepentingan atau aktivitas lain yang akan dilakukannya. Hak-hak moral ini (maksudnya jenis-jenis hak yang tercakup dalam istilah hak moral) mengidentifikasi aktivitas atau kepentingan ya ng boleh dilaksanakan oleh seseorang, atau bebas dilaksanakan, atau harus dibantu dalam pelaksanaannya oleh orang lain; dan hak ini melindungi usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan aktivitas tersebut dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh hak-haktertentu. Hakhak moral semacam ini memiliki tiga karakteristik penting yang memberikan fungsi 'pemungkinan' dan 'perlindungan'. Dalam ulasan Manuel G. Velasques, (John Pieris & Wiwik Sri Widiarty, 2007: so) menyatakan, bahwa: 42
Pertama, hak moral sangat erat kaitannya dengan kewajiban. Ini karena hak moral seseorang biasanya dapat didefinisikan setidaknya secara parsial dalam kaitannya dengan kewajiban moral yang dimiliki orang lain pada orang tersebut. Hak moral yang saya miliki untuk beribadah sesuai dengan keyakinan saya, misalnya, dapat didefinisikan dalam kaitannya dengan kewajiban moral orang lain untuk tidak ikut campur atau mengganggu bentuk ibadah yang saya lakukan. Hak moral untuk memperoleh kehidupan yang layak dapat didefinisikan dalam kaitannya dengan kewajiban pemerintah (atau lembaga masyarakat) untuk menjamin agar semua warganya memperoleh kehidupan yang layak. Dengan demikian, kewajiban secara umum merupakan sisi lain dari hak moral; jika saya memiliki hak moral untuk melakukan sesuatu, maka orang itu (atau orang-orang itu) memiliki kewajiban moral untuk melakukannya. Jadi dapat dikatakan, bahwa hak moral memberikan hak korelatif pada orang lain baik itu kewajiban untuk tidak ikut campur atau kewajiban untuk melakukan sesuatu yang positif. Dan dalam beberapa kasus, kewajiban-kewajiban korelatif yang berasal dari sebuah hak tidak hanya ditujukan pada individu tertentu, namun pada semua anggota suatu kelompok. Contohnya, jika seseorang memiliki hak untuk bekerja (sebuah hak yang juga disebutkan dalam Universal Declaration of Human Rights PBB), ini tidak berarti semua perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan pekerjaan pada orang itu. Akan tetapi, lebih berarti, bahwa semua anggota masyarakat, melalui lembaga-lembaga publik mereka, memiliki kewajiban untuk 43
menjamin, bahwa Para tenaga kerja memperoleh pekerjaan. Kedua, hak moral memberikan otonomi dan kesetaraan bagi individu dalam mencari
kepentingan-kepentingan
mereka.
Dengan
kata
lain,
hak
menunjukkan aktivitas atau kepentingan yang bebas dicari mereka atau tidak dicari (atau harus dibantu oleh orang lain dalam mencarinya) dan yang pencariannya tidak boleh diabaikan demi kepentingan orang lain, kecuali untuk alasan-alasan yang sifatnya khusus dan penting. Jika saya mempunyai hak untuk menjalankan ibadah, misalnya, demikian kata Velasques, maka hal ini mengimplikasikan, bahwa saya bebas beribadah sesuai dengan keyakinan saya, dan saya tidak memerlukan izin orang lain untuk melaksanakannya. Hak ini juga mengimplikasikan bahwa orang lain tidak boleh melarang saya beribadah dengan alasan, bahwa masyarakat akan memperoleh keuntungan yang lebih besar jika saya tidak melakukannya; keuntungan yang diperoleh orang lain secara umum tidak bisa dipakai sebagai pembenaran atas campur tangan terhadap tindakan yang dilakukan oleh seseorang dan dilindungi oleh hak moral. Jadi, mengakui hak moral seseorang, berarti mengakui, bahwa ada salah satu aspek dalam diri orang tersebut yang tidak terpengaruh atau tunduk pada keinginan-keinginan saya dan kepentingan orangtersebut tidak lebih rendah dibandingkan kepentingan saya. Pendeknya, ada salah satu aspek di mans kita semua memliki kedudukan yang sama. Ketiga, hak moral memberikan dasar untuk membenarkan tindakan yang dilakukan seseorang dan untuk melindungi atau membantu orang lain. 44
Misalnya jika saya memiliki hak moral untuk melakukan sesuatu, maka saya otomatis juga memiliki pembenaran moral dalam melakukannya. Lebih jauh lagi, saat memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka orang lain tidak dibenarkan ikut campur. Sebaliknya, mereka dibenarkan bila mencegah orang lain yang ingin menghalangi saya dalam melaksanakan hak tersebut. Saat seorang yang lebih kuat membantu orang yang lebih lemah mempertahankan haknya, misalnya, kita umumnya mengakui, bahwa tindakan orang tersebut adalah benar. Selanjutnya John Pieris & Wiwik Sri Widiarty, (2007: 53) berpandangan, bahwa: "Dengan adanya ketiga karakteristik ini, hak moral berarti memberikan dasar dalam membuat keputusan moral yang secara substansial berbeda dari standar-standar utilitarian. Pertama, hak moral mengharuskan adanya moralitas
dari
sudut
pandang
individu,
sementara
utilitarianisme
mensyaratkan moralitas dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan. Standar-standar moral yang berkaitan dengan hak menunjukkan apa yang menjadi hak dan kewajiban seseorang terhadap orang lain, mendukung kesejahteraan individu, kecuali jika kesejahteraan tersebut berpengaruh pada seluruh masyarakat. Kedua, hak membatasi validitas acuan pada keuntungan sosial". Jadi dapat dikatakan, bahwan jika seseorang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka salah apabila ada orang lain yang ikut campur, meskipun sebagian 45
besar anggota masyarakat mungkin memperoleh utilitas lebih besar dari campur tangan itu. Jika saya memiliki hak untuk hidup, misalnya, maka secara moral salah bila ada orang yang mencoba membunuh saya meskipun ada banyak orang lain yang akan memperoleh keuntungan yang lebih besar jika saya mati dibandingkan dengan jika saya hidup. Jika para anggota suatu kelompok minoritas memiliki hak atas kebebasan berbicara, maka kelompok mayoritas harus membiarkan kelompok minoritastersebut bebas berbicara sekalipun sebagian besar anggota kelompok mayoritas mungkin sangat menentang apa yang mereka katakan. Meskipun hak secara umum menolak standar-standar utilitarian, namun tidak terbebas dari pertimbangan-pertimbangan utilitarian: jika keuntungan atau kerugian yang diterima masyarakat menjadi cukup besar, maka hal itu bisa menjadi alasan untuk melampaui batas hak seseorang dalam mencari kepentingan atau tujuantujuannya. Di masa perang atau kedaan darurat, misalnya, biasanya hak-hak sipil dibatasi demi 'kepentingan publik'. Hak properti dari para pemilik pabrik juga bisa dibatasi untuk mencegah polusi yang membahayakan kesehatan orang lain. Semakin penting kepentingan yang dilindungi oleh sebuah hak, maka semakin besar pula imbal-balik utilitariannya: dalam hal ini, hak dapat dikatakan membangun tembok pembatas yang semakin tinggi untuk kepentingankepentingan yang semakin penting dan tingkat biaya atau keuntungan sosial yang diperlukan melampaui pembatas ini juga semakin besar. Hal tersebut di atas sejalan dengan pandangan seorang pakar utilitarisme berkebangsaan Inggris, yaitu Jeremy Bentham dalam (Dudu Duswara Machmudin, 46
2003: 26) yang menyatakan, bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang 'esuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah, "The greatest happines for the greatest number" (kebahagian yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak). Ajarannya kemudian dikenal dengan ajaran eudaemonisme atau utilitarisme. Di dalam teori utilitas ini selanjutnya diajarkan bahwa hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagian yang terbanyak. Kaitannya dengan masalah yang dibahas di dalam disertasi ini adalah, bahwa ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang sertipikat HGB atas tanah yang ada selama ini seolah-olah hanya menekankan pada aspek formalistik-legalistik dengan tujuan utama adalah kepastian hukum. Dengan demikian, maka aspek kemanfaatan dari keberadaan sertipikat HGB atas tanah bagi pemegangnya seolah-olah hanya tuntutan formalitas saja, sehingga aspek kemanfaatannya khususnya jika ditinjau dari aspek perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh sebuah sertipikat HGB atas tanah bagi pemegangnya sangat kurang dirasakan. E. Konsepsi Perlindungan Hukum (Rechtsbescherming) Menurut Sudikno Mertokusumo dalam (Soerjono Soekanto, 1985 :140), bahwa: "subjek hukum selaku pemikul hak-hak dan kewajibankew ajban (de dragger van de rechten en plichten), baik itu manusia (naturlijke person), badan hukum (rechtspersoon), maupun jabatan (ambt), dapat melakukan tindakan-
47
tindakan hukum berdasarkan kemampuan (bekwaamheid) atau kewenangan (bevoegdheid) yang dimilikinya. Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak terjadi hubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakantindakan hukum dari subjek hukum itu. Tindakan hukum ini merupakan awal lahirnya hubungan hukum (rechtsbetrekking), yakni interaksi antar subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum. Agar hubungan hukum antar subjek hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil dalam arti setiap subjek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut. Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hakhak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum". Disamping itu, hukum juga berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo dalam (Soerjono Soekanto, 1985 bahwa: "hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar hakhaknya harus mendapatkan perlindungan hukum". 48
Fungsi hukum sebagai instrumen pengatur dan instrumen perlindungan, di samping fungsi lainnya sebagaimana akan disebutkan di bawah, diarahkan pada suatu tujuan yaitu untuk menciptakan suasana hubungan hukum antar subjek hukum secara harmonis, seimbang, cramai, dan adil. L.J. Van Apeldoorn, (1966: 9-10) mengatakan, bahwa: Doel van het recht is een vreedzame ordening van samenleving. Het recht wil de vrede... Den vrede onder de mensen bewaart het recht door bepalde menselijke belangen (materiele zowel als ideele), eer, vrijheid, leven vemogen enz. Tegen benaling to beschermen (Tujuan hukum adalah mengatur masyarakat secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingankepentingan manusia tertentu baik materiil maupun ideiil, kehormatan, kemerdekaan,
jiwa,
harta
Benda,
dan
sebagainya
terhadap
yang
merugikannya). (Li Van Apeldoorn, 1966: 9-10). Tujuan-tujuan hukum itu akan tercapai jika masing-masing prang dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara adalah hukum administrasi negara atau hukum perdata, tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan tindakan hukum tersebut. Telah disebutkan bahwa pemerintah memiliki dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari badan hukum publik (ambtsdrager) dari jabatan pemerintahan. Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan 49
hukum, maka tindakan tersebut diatur dan tunduk pada ketentuan hukum keperdataan, sedangkan ketika pemerintah bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat, maka tindakan itu diatur dan tunduk pada hukum administrasi negara. Baik tindakan hukum keperdataan maupun publik dari pemerintah dapat menjadi peluang munculnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang melanggar hak-hak warga negara. Oleh karena itu, hukum harus memberikan perlindungan hukum bagi warga negara. Menurut F.H. Van Der Burg dan kawan-kawan (1985: 2) mengatakan, bahwa: "De mogelijkdheid van rechtsbescherming zijn van belong wanneer de overhead lets heft gedaan of nagelaten of voornemens is bapaalde handelingen to verrichten en bapaalde personen of groepen of groepen zich daardoor gegriefd achten". (kemungkinan untuk memberikan perlindungan hukum adalah penting ketika pemerintah bermaksud untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu terhadap sesuatu, yang oleh karena tindakan atau kelalaiannya itu melanggar hak orang-orang atau kelompok tertentu). Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai negara hukum, namun seperti disebutkan Paulus E. Lotulung, (1993: 123), bahwa: "masing-masing negara mempunyai cara dan mekanismenya sendiri tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut, dan juga sampai seberapa jauh perlindungan hukum itu diberikan". 50
Lebih lanjut dikemukakan oleh Paulus E. Lotulung, (1993: 123), bahwa: "mengenai bidang-bidang perlindungan hukum, perlu pula dikemukakan mengenai macam-macam perbuatan pemerintah yang memungkinkan lahirnya kerugian bagi masyarakat dan/atau bagi seseorang atau badan hukum perdata. Secara umum ada tiga macam perbuatan pemerintah yaitu perbuatan pemerintahan dalam bidang pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling), perbuatan pemerintah dalam penerbitan ketetapan (beschikking), dan perbuatan pemerintah dalam bidang keperdataan (materiele daad). Dua bidang yang pertama terjadi dalam bidang publik, dan karena itu tunduk dan diatur berdasarkan hukum publik, sedangkan yang terakhir khusus dalam bidang perdata dan oleh karenanya tunduk dan diatur berdasarkan hukum perdata". Selanjutnya atas dasar pembidangan perbuatan pemerintah tersebut di atas, maka Muchsan, (1997: 22) mengatakan, bahwa: "perbuatan melawan hukum oleh pemerintah yang berbentuk melanggar hak subjektif orang lain tidak hanya terbatas pada perbuatan yang bersifat publiekrectelijk. Penguasa dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggar hak subjektif orang lain, apabila : a. Penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hubungan hukum perdata serta melanggar ketentuan dalam hukum tersebut. b. Penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hukum publik serta melanggar ketentuan kaidah hukum tersebut". 51
Di samping tiga macam perbuatan pemerintah tersebut, menurut Ridwan, HR (2002: 284), bahwa: "seiring dengan konsep negara hukum modern yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat (welfare state), pemerintah juga dilekati dengan kewenangan bebas atau freies Ermessen, yang jika dituangkan dalam bentuk tertulis akan berwujud peraturan. Oleh karena itu, secara garis besar, sehubungan dengan perbuatan hukum pemerintah yang dapat terjadi baik dalam bidang publik maupun perdata, maka perlindungan hukum akibat dari perbuatan pemerintah juga ada yang terdapat dalam bidang perdata maupun publik". 1. Perlindungan Hukum dalam Bidang Perdata Kedudukan pemerintah yang serba khusus terutama karena sifat-sifat khas yang melekat padanya, yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, telah menyebabkan perbedaan pendapat yang berkepanjangan dalam sejarah pemikiran hukum yaitu berkenaan dengan apakah negara dapat digugat atau tidak di depan hakim. Menurut Sudargo Gautama,(1983: 55), bahwa: "Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya memerlukan kebebasan bertindak dan mempunyai kedudukan istimewa dibandingkan dengan rakyat biasa. Oleh karena itu, persoalan menggugat pemerintah di muka hakim tidaklah dapat dipersamakan dengan menggugat rakyat biasa".
52
Persoalan menggugat pemerintah ini dianggap sebagai salahsatu bagian yang sulit dari ilmu hukum perdata dan hukum administrasi. Secara teoretik, menurut Kranenburg dalam (Phillipus M. Hadjon,1987:108) memaparkan secara kronologis adanya tujuh konsep mengenai permasalahan apakah negara dapat digugat di muka hakim perdata atau tidak, yakni; Pertama, konsep negara sebagai lembaga kekuasaan dikaitkan dengan konsep hukum sebagai keputusan kehendak yang diwujudkan oleh kekuasaan, menyatakan bahwa tidak ada tanggung gugat negara; Kedua, konsep yang membedakan negara sebagai penguasa dan negara sebagaifiscus. Sebagai penguasa, negara tidak dapat digugat dan sebaliknya sebagaifiscus negara dapat raja digugat; Ketiga, konsep yang mengetengahkan kriteria sifat hak, yakni apakah suatu hak yang dilindungi oleh hukum publik ataukah hukum perdata; Keempat, konsep yang Inengetengahkan kriteria kepentingan hukum yang dilanggar; Kelima, konsep yang mendasarkan pada perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sebagai dasar untuk menggugat negara. Konsep ini tidaklah mempermasalahkan apakah yang dilanggar itu peraturan hukum publik ataukah peraturan hukum perdata; Keenam, konsep yang memisahkan antara fungsi dan pelaksanaan fungsi. Fungsi tidak dapat digugat, tetapi pelaksanaannya yang melahirkan kerugian dapat digugat; 53
Ketujuh, konsep yang mengetengahkan suatu asumsi dasar bahwa negara dan alat-alatnya berkewajiban dalam tindaktanduknya, apapun aspek (hukum publik maupun hukum perdata) memperhatikan tingkah laku manusiawi yang normal". Para pencari keadilan dapat menuntut negara dan alatnya agar mereka berkelakuan normal. Setiap kelakuan yang mengubah kelakuan yang normal dan melahirkan kerugiankerugian, tentulah dapat digugat. Berkenaan dengan hukum pemerintah sebagai wakil dari badan hukum publik yang dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dalam bidang keperdataan seperti jual 'beli, sewa menyewa, membuat perjanjian, dan sebagainya, maka dimungkinkan muncul tindakan pemerintah yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige overheidsdaad). Berkenaan dengan hukum pemerintah yang bertentangan dengan hukum ini menurut J. Spier, (1987: 30) mengatakan, bahwa; De burgerlijke rechter is-op het gebied van de onrechtmatige overheidsdaad bevoedg de overhead te veoordelen tot betaling van schadevergoeding. Daarnaast kan hij in veel gevallen de overhead verbieden of gebieden bepaalde gedragingen te verrichten. (Hakim perdata – berkenaan dengan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah — berwenang menghukum pemerintah untuk membayarganti kerugian. Disamping hakim perdata, dalam berbagai hal dapat mengeluarkan larangan atau perintah terhadap pemerintah untuk melakukan tindakan tertentu) Selanjutnya menurut N.E. Algra en H.C.J.G. Jansen, (1974: 85), bahwa: "perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah tersebut secara 54
khusus diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, diatur bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yanga membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut". Lebih jauh N.E. Algra en H.C.J.G. Jansen, (1974: 85) menjelaskan, bahwa: "Ketentuan Pasal 1365 di atas telah mengalami pergeseran penafsiran, yang secara garis besar terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1919 dan sesudah tahun 1919. pada periode sebelum 1919 ketentuan Pasal 1365 ditafsirkan secara sempit, dengan unsur-unsur; pertama, perbuatan melanggar hukum; kedua, timbulnya kerugian; ketiga, hubungan kausal antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian; keempat, kesalahan pada pelaku. Berdasarkan penafsiran demikian, tampak bahwa perbuatan melanggar hukum berarti sama dengan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang (onrechtmatigedaad is onwetmatigedaad). Interprestasi perbuatan melanggar hukum sama artinya
dengan perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang tersebut disebabkan oleh aliran legisme yang dominan pada saat itu. Aliran ini menganggap bahwa hukum hanyalah apa yang tercantum dalam undang-undang, diluar undang-undang tidak terdapat hukum. Penafsiran yang sempit terhadap unsur-unsur perbuatan melanggar hukum ini berakibat pada sempitnya perlindungan hukum yang dapat diberikan pada warga negara".
55
Selanjutnya dalam perkembangannya kemudian setelah tahun 1919 kriteria perbuatan melanggar hukum mengalami perubahan, sebagaimana dikemukakan oleh Muchsan (1997: 28), bahwa: "kriteria perbuatan melanggar hukum, adalah; pertama, mengganggu hak orang lain; kedua, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; ketiga, bertentangan dengan kesusilaan; keempat, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap benda orang lain. Dengan adanya perluasan penafsiran ini, maka perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada warga negara juga semakin luas". Di Indonesia ada dua yurisprudensi Mahkamah Agung yang menunjukkan pergeseran kriteria perbuatan melanggar hukum oleh penguasa; pertama, Putusan MA dalam perkara Kasus (Putusan No. 66K/Sip/1952), yang dalam kasus ini MA berpendirian bahwa perbuatan melanggar hukum terjadi apabila ada perbuatan sewenang-wenang dari pemerintah atau merupakan tindakan yang tiada cukup anasir kepentingan umum; kedua, Putusan MA dalam perkara Josopandojo (Putusan No. 838/Sip/ 1970, yang dalam kasus ini MA berpendirian bahwa kriteria onrechmatige averheidsdaad adalah undang-undang dalam peraturan formal yang berlaku, kepatutan dalam masyarakat yang harus dipatuhi oleh penguasa, dan perbuatan kebijaksanaan clad pemerintah tidak termasuk kompetensi pengadilan. Putman MA ini menurut Muchsan (1997: 28) adalah: "jelas menunjukkan bahwa kriteria perbuatan melanggar hukum oleh 56
penguasa, adalah; a. Perbuatan penguasa itu melanggar undang-undang dan peraturan formal yang berlaku; b. Perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhinya". Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan hukum pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik, dilakukan melalui peradilan umum. Kedudukan pemerintah dalam hal ini tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata yaitu sejajar, sehingga pemerintah dapat jadi tergugat maupun penggugat. Dengan kata lain, hukum perdata memberikan perlindungan yang sama baiknya, baik kepada pemerintah maupun kepada seseorang atau badan hukum perdata. 2. Perlindungan Hukum Dalam Bidang Publik Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah yang bersifat sepihak. Dikatakan bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum pemerintahan itu tergantung pada kehendak sepihak dari pemerintah. Keputusan dan ketetapan sebagai instrument hukum pemerintah dalam melakukan tindakan hukum sepihak, dapat menjadi penyebabterjadinya pelanggaran hukum terhadapwarga negera, apabila dalam negara hukum modern yang memberikan kewenanganyang luas pada pemerintah untuk
57
mencampuri kehidupan warga negara, karena itu diperlukan perlindungan bagi warga negara terhadap tindakan hukum pemerintah. Menurut Sjachran Basah, (1992: 7-8), bahwa: "perlindungan
terhadap
warga
negara
diberikan
bilamana
sikap
tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya, sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Hukum administrasi tidak tertulis atau asas umum pemerintahan yang layak, sebagai verhoogde rechtschescherming atau peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi negara yang menyimpang. Dalam rangka perlindungan hukum, keberadaan asas-asas umum pemerintahan yang layak ini memiliki peranan penting dengan adanya terugtred van de wetgever atau langkah mundur pembuat undang-undang, yang memberikan kewenangan kepada administrasi nagara untuk membuat peraturan perundang-undangan, dan adanya pemberianfreies Ermessen pada pada pemerintah. Di satu sisi pemberian kewenangan legislasi kepada pemerintah untuk kepentingan administrasi ini cukup bermanfaat terutama untuk relaksasi dari kekakuan dan fridigitas undang-undang, namun di sisi lain pemberian kewenangan ini dapat menjadi peluangterjadinya pelanggaran kehidupan masyarakat oleh pemerintah, dengan bertopang pada peraturan perundang-undangan".
58
A.A.H. Struycken termuat dalam (A.D. Belinfanten., et.al, 1985: 108-109) mengatakan, bahwa: "sangat disesalkan adanya terugtred ini (betreuren deze terugtred) dan menganggap tidak ada gunanya pengawasan hakim yang hanya diberi kewenangan untuk menguji aspek hukumnya saja (rechtmatigheid) sementara aspek kebijaksanaan yang mengiringi peraturan-peraturan perundangundangan lepas dari perhatian hakim. Berdasarkan yurisprudensi MA tersebut di atas, secara tegas disebutkan bahwa perbuatan kebijaksanaan penguasa tidak termasuk kompetensi peradilan". Menurut Philipus M. Hadjon, (1987: 124), bahwa: "perbuatan kebijaksanaan penguasa tidak termasuk kompetensi pengadilan untuk menilainya, kecuali kalau ada unsur `willekeur' dan 'detourment de pouvoir'. Kebijaksanaan penguasa tidak dapat digugat didasarkan pada prinsip "beleidsvrijheid" yang ada pada penguasa. Beleidsvrijheid penguasa meliputi; tugas-tugas militer, politionil, hubungan luar negeri, pekerjaan untuk kepentingan umum, keadaan yang tidak dapat terduga terlebih dahulu atau dalam mengambil tindakan darurat. Alat uji terdapat aspek kebijaksanaan pemerintah ini adalah dengan asas-asas umum pemerintahan yang layak". Sekaitan dengan hal tersebut di atas, menurut Ridwan, HR, 2002: 291), bahwa: "kalau saja Struycken hidup pada masa sekarang dimana asas-asas umum pemerintahan yang layak telah menjadi bagian penting dalam proses peradilan 59
administrasi, barangkali is akan segera merubah pendapatnya. Karena dengan munculnya asas-asas umum pemerintahan yang layak sebagai batu uji terhadap tindakan pemerintah, maka asas-asas ini disamping untuk mengimbangi pemberian kewenangan legislasi bagi pemerintah dan kebijaksanaan pemerintah. Juga yang terpenting adalah sebagai instrumen penting dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi rakyat". Lebih lanjut menurut Phillipus M. Hadjon, (1987: 291-292), bahwa: "ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Pada perlindungan hukum preventif, kepada rakyat diberikan
kesempatan
untuk
mengajukan
keberatan
(inspraak)
atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa". Sarana perlindungan bagi rakyat (termasuk hak-hak rakyat atas tanah) dalam kepustakaan hukum dikenal ada dua jenis sarana perlindungan hukum yang sifatnya preventif dan represif. Phillipus M. Hadjon, (1987 :2) mengemukakan, bahwa: "pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk definitif. Dengan demikian perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan 60
sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat signifikan bagi tindak pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak". Adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan yang didasarkan pada diskresi. Lebih lanjut Phillipus M. Hadjon (1987:2) menjelaskan, bahwa: "sarana perlindungan hukum yang preventif agak ketinggalan bila dibandingkan dengan sarana perlindungan yang represif, namun dewasa ini sarana perlindungan hukum yang preventif dirasakan penting manakala dihubungkan dengan asas "Freises Ermessen", misalnya keberatan (inspraak) dari rakyat atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan. Di Eropa dikenal misalnya, "the right to be heard and access to information" yang bermakna bahwa individu yang terkena tindak pemerintah dapat mengemukakan hak-hak dan kepentingannya. Intinya rakyat memiliki hak untuk didengar
sehingga
memungkinkan
meminimalisasi
sengketa
antara
pemerintah dan rakyat". Perlindungan hukum ini berkenaan dengan tiga fungsi hukum administrasi yang diketengahkan oleh P. de Haan cs, termuat dalam (Ridwan, HR, 2002: 216), yakni, norma, instrumen, jaminan; sedangkan menurut Van Wijk — Koninjnenbel, sebagaimana dikemukakan oleh Phillipus M. Hadjon juga dikutip dalam (Ridwan, HR, 2002: 217) menyatakan, bahwa: "Hukum adminstrasi merupakan instrumen yuridis bagi penguasa untuk secara aktif terlibat dengan masyarakat; dan di sisi lain memungkinkan anggota 61
masyarakat mempengaruhi penguasa dan memberikan perlindungan terhadap penguasa". Elaborasi Van Wijk dan P. de Haan cs digambarkan oleh Phillipus M. Hadjon, (1997:28), sebagi berikut: Gambar 1 Skema Fungsi Hukum Administrasi Van Wijk P. De Haan Sturen
Sancties Perlindungan Hukum -
PENGUASA
MASYARAKAT PENDUDUK
Partisipasi – bijv.Via; -inspraak adveiring Deskripsi di atas menunjukkan bahwa hukuman administrasi meliputi: 1. Mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat; 2. Mengatur cara-cara partisipasi warga Negara dalam proses pengaturan dan pengendalian tersebut; 3. Perlindungan hukum (rechtsbescherming); 4. Hukum administrasi Belanda menetapkan norma-norma fundamental bagi penguasa untuk pemerintah yang baik : (algemene beginselen van behoorlijk bestuur/abbb), yakni asas persamaan, asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas kecermatan, asas pemberian alasan (motivasi), larangan detounament de pouvoir, dan larangan bertindak sewenang-wenang. 62
Lebih lanjut Phillipus M. Hadjon (199: 28) menjelaskan fungsi pemerintah yang lebih diarahkan pada fungsi pembinaan dan pengayoman. Fungsi tersebut dengan sendirinya mengharapkan peningkatan partisipasi masyarakatterhadap pelaksanaan fungsi Pemerintah. F. Aspek Hukum Pendaftaran Tanah Usaha untuk menghindari terjadinya masalah atau sengketa hak-hak atas tanah dapat dilakukan secara preventif pada saat permohonan pemberian hak diproses. Tindakan yang bersifat pencegahan ini lebih efektif dibandingkan dengan usaha penyelesaian sengketa (Rusmadi Murad,1991 :17). Menurut Rusmadi Murad (1991 :17), pada dasarnya pemberian hak atas tanah meliputi beberapa unsur, yaitu : a. Subjek pemohon dengan sasaran berupa data pribadi/warga negara; b. Lokasi tanah yang menyangkut letak sebenarnya yang diuraikan dengan batasbatas tegas; c. Bukti-bukti perolehan hak secara beruntun dan sah menurut hukum. Suatu permohonan hak atas tanah dapat dinilai menurut hukum yang layak untuk diproses apabila subjek pemohon dapat membuktikan secara hukum bahwa dia/mereka
merupakan
pihak satu-satunya
yang berhak
atas
tanah
yang
dimohonkannya. Apabila menurut penilaian petugas/aparat/pejabat agraria yang berwenang telah menganggap telah terpenuhi seluruh syarat baik syarat keperdataan (hukum perorangan, warisan, kekayaan, kebendaan, perjanjian, hukum adat) maupun
63
syarat administrasi pertanahan (data subjek, pembebasan tanah, pengukuran, pengumuman gambar tanah, dsb) maka terhadap pemohon hak tersebut dapat diberikan hak sesuai dengan UUPA dengan diterbitkannya sertipikat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah oleh pemohon. Mengenai kedudukan sertipikat hak atas tanah jelas terlihat dari rumusan Pasal 32 ayat (2) PP No.24Tahun 1997 bahwa dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Makna rumusan Pasal 32 ayat (2) PP No.24 Tahun 1997 di atas adalah sertipikat hak atas tanah yang telah berumur 5 (lima) tahun ke atas tidak dapat diganggu gugat lagi dan sertipikat tersebut mempunyai kekuatan yang bersifat baku. Pertimbangan utama dari Pasal 32 ayat (2) di atas dapat dilihat dalam penjelasan umum PP No.24 Tahun 1997, dimana disebutkan bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif. Sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan jaminan 64
adanya perlindungan hukum di bidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif. Kebenaran data yang disajikan dijamin oleh negara dan dengan demikian negara menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif, negara tidak minjamin kebenaran data yang disajikan, akan tetapi tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal ini tampak dalam pernyataan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat; dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA yang dinyatakan juga bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Ketentuan-ketentuan
mengenai
prosedur
pengumpulan,
pengolahan,
penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertipikat dalam PP No.24 Tahun 1997 menunjukkan bahwa sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena pendaftaran tanah dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat, maka pemberlakuan jangka waktu 5 (lima) tahun sertipikat hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi dan ini merupakan jalan keluar (way out) dari usaha-usaha yang dilakukan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Dalam penjelasan umum dari PP No.24 Tahun 1997 juga diketahui dengan jelas bahwa ada dua sisi utama dari tujuan yang terkandung dalam Pasal 32 ayat (2) di atas, yaitu di satu sisi bertujuan untuk tetap mempertahankan dan berpegang pada sistem publikasi negatif dan di sisi lain untuk secara seimbang memberikan 65
perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftarkan sebagai pemegang hak dalam buku dengan sertipikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Berbicara mengenai sistem publikasi negatif ini pada dasarnya memiliki kelemahan-kelemahan yang antara lain bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah tersebut. Umumnya kelemahan tersebut di atas menggunakan lembaga acquisitive verjaring atau disebut juga adverse possession. Hukum tanah Indonesia yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga ini karena hukum adat tidak mengenal lembaga tersebut. Dalam hukum adat terdapat lembaga yang digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverweking (Parlindungan, 2001) Boedi Harsono (Kompas, Edisi, 16 Februari 1997) mengemukakan bahwa Pasal 32 ayat (2) PP No.24 Tahun 1997 bukanlah hukum baru, melainkan suatu penegasan aturan hukum (addendum) yang dilakukan agar suatu produk hukum yang berbentuk Undang-Undang (UU) mempunyai aturan pelaksanaan yang sudah lama dinantikan untuk melaksanakan UUPA. Di kalangan ilmuwan ada beberapa pendapat yang tidak setuju atas kandungan isi Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, antara lain dikemukakan oleh anggota DPR Djuhad Mahja dan JB Wiyanjono (Kompas, Edisi,17 Februari 1997) bahwa kebijakan tersebut sangat riskan dan tidak 66
memberikan perlindungan hukum kepada rakyat kecil yang sejauh ini belum sepenuhnya paham hukum dan kondisi seperti ini sangat berbahaya untuk masyarakat yang buta hukum. Pasal 19 ayat (1) UUPA yang memuat jaminan kepastian hukum dalam pendaftaran tanah mempunyai sasaran untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah termasuk pemegang HGB atas tanah, oleh karenanya setiap permasalahan yang timbul pada scat sengketa yang diajukan di pengadilan harus melalui proses pembuktian. Dalam hal ini para pihak yang bersengketa memerlukan alat bukti berupa sertipikat sebagai hasil dari proses pendaftaran tanah oleh para pihak yang bersengketa. G. Sistem-Sistem Pendaftaran Tanah Seperti diketahui bahwa pendaftaran tanah bertujuan untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum bagi pemegang hak-hak atas tanah. Adanya pendaftaran tanah diharapkan bahwa seseorang akan merasa aman dan terlindungi serta tidak adanya gangguan terhadap hak yang dipunyainya atas sebidang tanah. Perbuatan hukum dari pendaftaran tanah merupakan suatu bentuk peristiwa hukum yang sangat penting, karena menyangkut hak-hak keperdataan yang dimiliki oleh seseorang. Perwujudan dari hak-hak keperdataan ini jika ditinjau secara mendalam merupakan suatu bentuk pengejawantahan dari substansi hak asasi manusia (HAM) yang dimiliki seseorang yang harus dijunjung tinggi dan dihormati orang lain. Sehubungan dengan hal di atas, Parlindungan (1993 : 46) mengemukakan,
67
bahwa: "Saat dilakukannya pendaftaran tanah maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan tanahnya diumumkan kepada pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya dimaksud, untuk mana is menjadi terikat dan wajib menghormati hal tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan". Dari hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa betapa pentingnya arti dan misi dari pendaftaran tanah dalam hubungannya dengan hak keperdataan yang dimiliki seseorang individu dalam masyarakat. Di dalam banyak literatur yang membahas tentang hukum agraria, dibicarakan tentang beberapa sistem dalam pelaksanaan pendaftaran tanah yang diterapkan di beberapa negara, yang mana masing-masing sistem pendaftaran tanah tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan tersendiri, khususnya jika dilihat di dalam tataran pelaksanaan di lapangan. Pelaksanaan pendafataran tanah sangat bergantung pada sistem yang dipergunakan, khususnya yang dilakukan di beberapa negara (Parlindungan, 1989: 13o). Adapun sistem-sistem pendafataran tanah yang dipraktekkan di beberapa negara, menurut Parlindungan, (1989: 25), yaitu: 1. sistem Torrens Pendaftaran tanah di Indonesia menggunakan sistem Torrens. Sistem ini pertama kali diciptakan oleh Sir RobertTorrens di Australia Selatan. Sistem Torrens ini lebih dikenal dengan nama asli The Real Property Act atau Torrens Act yang
68
mulai berlaku di Australia Selatan sejak 1 Juli 1858. Dewasa ini dipergunakan di beberapa negara, seperti Aljazair, India, Singapura, Tunisia, Kongo, Spanyol, Norwegia, Malaysia, Kepulauan Fiji, Canada, Jamaica dan Trinidad. Menurut Parlindungan (1999 :25), bahwa dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah dari sistem Torrens, hal-hal yang harus diselidiki adalah, sebagai berikut: Lahan yang akan didaftarkan jelas; a. Atas objek yang dimohonkan tidak ada sengketa kepemilikan; b. Atas permohonannya secara meyakinkan dapat diberikan; c. Atas bukti dari alas hak tidak ada yang berprasangka dan keberatan terhadap kepemilikan pemohon. Sementara itu dalam pendaftaran tanah yang mempergunakan sistem Torrens ini menurut Parlindungan, (1999 :25) tampak beberapa keuntungan (kelebihan) dalam pelaksanaannya, yaitru: a. Menempatkan biaya yang tidak dapat diduga sebelumnya; b. Meniadakan pemeriksaan yang berulang-ulang; c. Melindungi semua kesulitan-kesulitan yang tidak disebutkan dalam sertfikat; d. Meniadakan kepalsuan; e. Secara tegas menyatakan dasar haknya; f. Tetap memelihara sistem tersebut tanpa menambahkan pada transaksi yang dibebankan kepada pihak pemohon yang mendaftarkan haknya; g. Meniadakan suatu alas hak yang abadi oleh karena menjamin tanpa batas.
69
Lebih lanjut, Parlindungan (1999: 26) menyatakan bahwa di dalam praktek penggunaan sistem Torrens ini pada pokoknya sangat bermanfaat nyata untuk beberapa hal di bawah ini : a. Mengganti dari tidak adanya perlindungan dan kepastian hukum menjadi ada; b. Shilling dan waktu penyelesaian dari bulanan menjadi harian; c. Mengubah menjadi singkat dan jelas. Dalam sisitem Torrens ini dikenal adanya Examiner of Title yang memberikan kesempatan kepada orang atau pihak yang merasa haknya benar/kuat dan yang terdapat dalam sertifkat hak atas tanah dan dapat melakukan klaim dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan berdasarkan adagium "Siapa yang merasa berhak harus mengajukan bukti-buktinya". Dengan demikian dalam sistem Torrens ini masih dimungkinkan dilakukan bantahan atas sertipikat yang telah dikeluarkan, dengan mengajukan bukti-bukti lain yang kuat serta mendukung untuk dilakukannya suatu bantahan atas sertipikat tersebut. Dalam kenyataannya menurut Parlindungan, (199o: 37) bahwa pada sistem Torrens ini, sertipikat tanah merupakan alat bukti yang paling lengkap tentang hak dan pemilik yang tersebut di dalamnya serta tidak dapat diganggu gugat. Fungsi dan peranan sertipikat dalam sistem Torrens sangat besar, terutama untuk beban pembuktian. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Parlindungan (1990: 139) mengemukakan, bahwa: "Jiwa" dari PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah pada 70
dasarnya menggunakan sistem Torrens ini dengan adanya peranan yang besar dari panitia penelitian tanah dalam pemeriksaan atas hak dari tanah secara teliti dan dimungkinkannya suatu bentuk bantahan atas tanda bukti hak atau sertipikat bagi pihak-pihak yang merasa keberatan dari tanah yang akan atau telah disertipikatkan". Oleh karena itu pelaksanaan pendaftaran dengan sistem tersebut tampak memberikan peranan yang sangat besar kepada pemerintah sebagai petugas pendaftaran tanah. Sistem ini membutuhkan kualitas dan kapasitas aparat yang profesional dan tangguh untuk melakukan pekerjaannya dalam mendukung sistem pendaftaran tanah yang efektif dan efisien. 2. Sistem Positif Pengertian umum dari sistem pendaftaran tanah ini menunjukkan bahwa sertipikat tanah yang diberikan adalah berlaku sebagai tanda bukti hak yang bersifat mutlak (absolut) serta sertipikat merupakan bentuk satu-satunya tanda bukti hak alas tanah yang dimiliki seseorang. Untuk memahami karakteristik utama dari sistem positif ini, khususnya dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, antara lain (Iikemukakan oleh pakar hukum di bidang perdata, Mariam itddruizaman (1985: 45), bahwa pendaftaran tanah yang dilakukan menjamin dengan sempurna nama yang didaftarkan dalam buku tanah dan orang lain tidak dapat membantahnya, walaupun demikian nama yang ada dalam sertipikat bukan pemiliknya yang sebenarnya. Sistem ini memberikan kepercayaan wcara
71
mutlak kepada buku tanah. Pejabat-pejabat balik nama sistem ini memainkan peranan yang sangat efektif untuk inenyelidiki identitas pihak-pihak, wewenang-wewenang serta ,,yarat formal yang harus dipenuhi. Hal-hal yang sangat pokok inenjadi kesukaran dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dengan sistem positif ini, menurut Mariam Darus Badrulzaman, (1985 :46) terlihat dalam beberapa hal, yaitu: a. Peranan aktif pejabat-pejabat batik nama ini memakan waktu yang relatif lama; b. Pemilik yang berhak dapat kehilangan haknya di luar perbuatannya dan di luar kesalahannya (spoliatie); c. Apa yang menjadi wewenang pengadilan diletakkan di bawah kekuasaan administratif. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu inanfaat dari penggunaan sistem pendaftaran ini, antara lain: a. Adanya kepastian dari buku tanah; b. Peranan aktif dari pejabat balik nama; c. Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertipikat tanah mudah dimengerti oleh umum. Apabila sistem positif tersebut dihubungkan dengan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria dan dengan PP No. 10 Tahun 1961 sebagai peraturan pelaksanaannya, maka sistem positif ini tidak diterapkan secara eksplisit dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia. Meskipun demikian ada beberapa hal yang mendekati sistem pendaftaran tanah secara positif tersebut pada sistem pendaftaran tanah di Indonesia, seperti yang dikemukakan Effendi Perangin (1986 :98), bahwa: 72
a. Tentang adanya kepastian hukum mengenai keterangan keterangan dalam buku tanah. Adanya peran yang aktif dari peja bat balik nama. b. Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah dapat dengan mudah dimengerti oleh umum dan diketahui oleh pihak ketiga yang merasa berkepentingan. Implementasi dari sistem positif yang dipergunakan dalam pendaftaran tanah dewasa ini menurut Bachtiar Effendie, (1993: 49) hanya dilaksanakan di negara Jerman dan Swiss dengan beberapa ciri khusus dalam pelaksanaannya, terutama penekanannya pada mekanisme kerja dari lembaga penyelenggara di lapangan. 3. Sistem Negatif Sejarah kepemilikan tanah secara individual jika hanya mengandalkan kepada ingatan dan keterangan saksi maka tingkat ketelitian akan menjadi rendah karena ingatan bisa saja kabur dan saksi-saksi hidup suatu masa akan meningal dunia. Hal ini tentu melahirkan kerumitan dalam pendaftaran tanah karena tidak akurat kejelasan hak-hak seseorang tersebut. Dalam sistem pendaftaran tanah negatif, menunjukkan ciri bahwa apa yang tercantum di dalam sertipikat tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu pengadilan yang sebaliknya (tidak benar) di muka pengadilan. Ciri pokok dari sistem pendaftaran tanah ini adalah bahwa pendaftaran tanah tidaklah merupakan jaminan orang yang terdaftar dalam buku ianah merupakan pemegang hak atas tanah tersebut. Dengan kata lain buku tanah dapat membuktikan bahwa dialah pemilik
73
sebenarnya melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (pasti). Sehubungan dengan hal di atas, Mariam Darus Badrulzaman (1985: 44) mengemukakan, bahwa: "Hak dari mana yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberian hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan suatu
mata rantai.
Menyelidiki apakah pemberi hak sebelumnya (rechsvoorganger) mempunyai wewenang menguasai (beschikkingsbevoegdheid) atau tidak, berkaitan dengan bagaimana cara orang yang terdaftar itu memperoleh haknya, apakah telah memenuhi ketentuan undangundang atau tidak. lnilah yang perlu diselidiki terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang mendahului penyerahan hak atas tanah tersebut". Dalam sistem negatif dikenal asas peralihan hak yaitu dengan istilah "nemo plus yuris", yakni melindungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak yang sebenarnya. Secara umum dapat disebutkan beberapa kebaikan pada penggunaan sistem pendaftaran tanah dengan sistem negatif ini antara lain tergambar, sebagai berikut: a. Terdapatnya bentuk perlindungan terhadap pemegang hak sebenarnya; b. Dilakukannya bentuk penyelidikan riwayat tanah sebelum diterbitkan sertipikat. Dalam penggunaannya di lapangan, sistem negatif harus didukung oleh pelaksana yang benar-benar proporsional, terutama untuk mengantisipasi timbulnya 74
gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Mengenai sistem pendaftaran tanah negatif ini, khususnya yang dihubungkan dengan sistem yang dianut dalam UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) maka secara tegas UUPA menganut sistem pendaftaran tanah dengan menggunakan sistem negatif. Sistem negatif ini terlihat jelas dalam PP Nolo Tahun 1961 dan ini juga dapat ditelusuri beberapa landasan hukum yang menguatkan hal tersebut, yaitu makna dari bunyi Pasal 19 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur, sebagai berikut: a. Ayat (2)
: Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah, pendaftan hak-hak tanah, peralihan hak-hak tersebut, pemberian suratsurat tanda yang kuat;
b. Ayat (3)
: Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut di atas, ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA merupakan dasar hukum pendaftaran tanah. Pasal tersebut dapat dipahami sebagai acuan didaftarkannya hak-hak atas tanah dan akan diberikan sertipikat tanah sebagai tanda bukti pemegang hak atas tanah dan sertipikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat atau sebagai akta otentik. Sertipikat tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA adalah dapat digugurkan atau dapat dilakukan pembatalannya melalui keputusan pengadilan. Jika 75
dihubungkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA tersebut dengan sistemsistem pendaftaran tanah, maka akibat hukum dari ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA lebih mendekati dengan sistem pendaftaran tanah sistem negatif. Dengan perkataan lain, bahwa sistem pendaftaran tanah yang terleandung di dalam substansi No.5 Tahun 1960 adalah sistem negatif bertendensi positif. Hal ini jelas terlihat di dalam substansi PP Nolo Tahun 1961. Argumentasi yuridis tersebut dapat dibenarkan, oleh karend Mahkamah Agung Republik Indonesia yang juga berpendapat demikian, dan ini dapat dilihat melalui yurisprudensinya Nomor. 459/K/Sip/1975 tertanggal 18 September 1975 yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan, bahwa: "Mengingat stelsel negatif tentang register/pendaftran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain". Berdasarkan beberapa pasal tentang pengaturan sistem pendaftaran tanah dan argumentasi hukum yang dikemukakan UUPA dan yurisprudensi Mahkamah Agung di atas, maka terlihat ,,ecara tegas dan nyata bahwa sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh UUPA adalah pendaftaran tanah dengan sistem negatif. Penggunaan sistem negatif ini dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia tidak sepenuhnya mendapat sambutan (diterima) oleh beberapa pakar hukum. Ada pendapat yang memandang bahwa sistem negatif dari pendaftaran tanah ini harus disempurnakan lagi dengan beberapa pertimbangan tertentu agar maksud dan tujuan Pasal 19 UUPA 76
dapat diwujudkan yakni perlindungan dan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat atas tanah. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Mariam Darus Badrulzaman (1985: 69), berpendapat, bahwa: "sistem yang dianut UUPA sebenarnya adalah sistem campuaran antara sistem positif dan sistem negatif. Hal ini terlihat dengan adanya perlindungan pada pemilik yang sebenarnya (sistem negatif). Sedangkan sistem positifnya terlihat pada adanya ketentuan bahwa sebelum diterbitkan suatu sertipikat atas tanah, terlebih dahulu diadakan penjajakan terhadap peristiwa-peristiwa hukum apa saja yang mendahului penyerahan tersebut". Oleh Boedi Harsono (1985 :321) dikatakan, bahwa: "meskipun pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat (1) UUPA bertujuan untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum, maka sistem yang digunakan adalah sistem negatif yang bertendensi positif, artinya masih diberikan kemungkinan dilakukannya perubahan dan pembatalan sertipikat (sistem negatif)dan adanya peranan aktif dari petugas pelaksana pendaftaran tanah dalam melakukan penelitian hak atas tanah yang didaftarkan tersebut (sistem positif)". Sedangkan Sunaryati Hartono (1989 : 107) berpendapat, bahwa: "UUPA yang berlaku selama ini sudah saatnya kita berpegang pada sistem positif, yang menjadikan sertipikat atas tanah sebagai satu-satunya alat bukti, untuk hak milik dan HGB atas tanah dengan pengertian bahwa apabila dapat 77
dibuktikan bahwa sertipikat itu palsu atau dipalsukan atau diperoleh dengan jalan tidak sah, maka tentu saja sertipikat itu dianggap tidak sah sehingga menjadi batal dengan sendirinya (van rechtswege metieg). Keuntungan lain yang akan diperoleh dengan sistem ini adalah pemanfaatan azas pemisahan horizontal dalam hal pengikatan (jaminan kredit), dimana terjadi pemisahan atas pendaftarannya antara tanah dengan benda-benda di atasnya. Hal ini sangat berguna bagi masyarakat dan pengusaha yang memanfaatkan jasa kredit dengan jaminan Benda tetap". Menelaah pendapat beberapa pakar hukum di atas dengan berdasarkan makna dari Pasal 19 ayat (2) huruf c, serta yurisprudensi dari Mahkamah Agung yang telah tetap, maka ..ecara jelas dan tegas bahwa UUPA pada prinsipnya menganut sistem negatif yang bertendesi positif. Hal ini sejalan dengan pandangan Boedi Harsono (1997:81), yang mengemukakan, bahwa: "Sistem publikasi yang dipergunakan UUPA dan PP Nolo Tahun 1961 adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif. Sistemnya bukan negatif murni, karena dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, menghasilkan pengertian tentang pendaftaran tanah menghasilkan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat". Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Parlindungan (1989: 27) dengan menyatakan, bahwa: "Di dalam praktek pendaftaran tanah dari beberapa kasus yang diputuskan hakim dalam perkara tanah, maka stelsel pendaftaran tanah dengan sistem 78
negatif bertendensi positif ini diakui eksistensinya dan tertuang dalam berbagai putusan hakim. Dikeluarkannya PP No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah yang secara operasionalnya di lapangan diaksanakan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria No.3 Tahun 1997 tentang petunjuk pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997, maka penggunaan sistem pendaftaran tanah negatif ini mengarah pada penggunaan sistem pendaftaran tanah positif". Pelaksanaan sistem pendaftaran tanah yang positif dengan berbagai konsekuensinya tampaknya memuat beberapa konsekuensi-konsekuensi logis terhadap sistem pendaftaran tanah. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa secara substansial ditandai atau dicirikan dengan pernyataan bahwa sertipikat hak atas tanah setelah lewat jangka waktu 5 tahun tidak dapat digugat atau dinyatakan telah memiliki kekuatan hukum yang pasti (kuat). Hal ini secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997. Isi Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 ini mendapat tanggapan serius oleh beberapa kalangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan tersebut justeru merusak perlindungan dan kepastian hukum hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang. Dengan demikian secara substansial kehadiran dari PP No. 24Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah menerobos sistem pendaftaran tanah dari sistem negatif ke sistem positif, yang subjek maupun objek haknya telah pasti dalam kedudukannya sebagai pemegang hak atas tanah sesuai yang tercatat di dalam sertipikat tanah yang dimilikinya.
79
Selanjutnya Irawan Soerodjo, (2003: 41) mengemukakan, bahwa: "sistem pendaftaran tanah positif menganut faham bahwa apa yang sudah terdaftar dijamin kepastiannya dan merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Faham tersebut menguatkan posisi subyek hak maupun obyek haknya. Pemerintah menjamin kebenaran data yang telah terdaftar dan untuk semua kepentingan di atasnya; pemerintah telah meneliti kebenaran dan dinyatakan telah sah setiap berkas yang diajukan untuk didaftarkan sebelum dimasukkan ke dalam daftar-daftar tanah, sehingga subyek hak yang terdaftar sebagai pemegang hak atas tanah merupakan pemegang hak yang sah menurut hukum dan tidak bisa diganggu gugat dengan dasar atau alasan apapun juga". Masalah sistem pendaftaran sebagaimana dikemukakan di atas sangat menarik jika dikaji dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum. Oleh karena dengan pendekatan sosilogi hukum dapat dilihat dengan jelas dimanSketerlibatan masyarakat dapat ikut menentukan ketiga unsur yang menjadi sumber kelemahan dalam pendaftaran tanah, yaitu ketidakpastian letak tepat, ketidakpastian Batas pemilikan dan ketidakpastian kebenaran tanda bukti pemilikan. Dengan demikian tanah yang telah didaftarkan selain memenuhi persyaratan juridis-normatif juga memenuhi persyaratan sosiologis karena masyarakat dapat berperan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah sehingga upaya pemenuhan rasa keadilan masyarakat dalam kaitannya proses pendaftaran tanah dapat lebih optimal. Dalam kaitan dengan rasa keadilan, menurut Achmad Ali (2002: 79) bahwa, teori keadilan John Rawls dapat dianggap sebagai sebuah jawaban terhadap kritik80
kritik yang dibuat oleh lawan teori utilitaris. Anda akan mengetahui bahwa di saat teori utilitaris menjumpai kegagalan, maka di saat itu pula teori keadilan Rawls berhasil. Banyak orang yang dapat mendefinisikan keadilan, namun –menurut The Liang Gie (1979: 5) tidak jarang yang dirumuskannya hanyalah pernyataan umum dan singkat atau bahkan hanya semacam lingkaran yang tidak menjelaskan artinya. John Rawls (1999: 10) dengan teori keadilannya antara lain menyatakan, bahwa: "These principles are to regulate all further agreements; they specify the kinds of social cooporation that can be entered into and the forms of gaverenment that can be estabilised. This way of regarding the principles of justice I shall call justice as fairnes". Hubungannya dengan penerapan peraturan perundangundangan menurut Bagir Manan (Susanto dan Bernard L. Tanya, 2000: 263-264), hakim dapat menjalankan fungsi-fungsi berikut: (1) Menjamin peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil.
Apabila
penerapan
peraturan
perundang-undangan
akan
menimbulkan ketidakadilan, hakim wajib berpihak kepada keadilan dan mengenyampingkan peraturan perundang-undangan; (2) Sebagai "dinamisator" peraturan perundang-undangan. Hakim dengan menggunakan metode penafsiran, konstruksi, dan berbagai pertimbangan sosiokultural berkewajiban menghidupkan peraturan perundangundangan untuk memenuhi kebutuhan nyata masyarakat; 81
(3) Melakukan "koreksi" terhadap kemungkinan kekeliruan atau kekosongan peraturan perundang-undangan. Hakim wajib menemukan bahkan menciptakan hukum untuk mengoreksi atau mengisi peraturan perundangundangan; (4) Melakukan "penghalusan" terhadap peraturan perundang-undangan. Tanpa penghalusan, peraturan perundang-undangan begitu keras sehingga tidak mewujudkan keadilan atau tujuan tertentu secara wajar." Sekalipun hakim memahami rambu-rambu tersebut di atas, di dalam menjalankan fungsi-fungsi dalam menerapkan peraturan perundang-undangan, tetapi juga harus dipahami bahwa secara sosiologis berlakunya hukum di dalam realitas termasuk di bidang pertanahan tidak terlepas dari pengaruhpengaruh non hukum. Pengaruh faktor non hukum ini, dapat mendorong terlaksananya fungsi hukum yang baik demi terciptanya efektivitas hukum atau kemungkinan sebaliknya, dapat menghambat atau menjadikan hukum tidak berfungsi dengan baik, sehingga tujuan hukum tidak tercapai. Sehubungan dengan bekerjanya sistem hukum di dalam masyarakat termasuk melalul pendaftaran tanah diharapkan HUKUM dapat berfungsi untuk membentuk perilaku warga masyarakat sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh yang memfungsikan hukum itu, sebagaimana Allot (1980: 12) inenyatakan, bahwa: "While the ultimate function of law is variable, viz, the shaping of behavior in society to coresspond to the goals set by those having influences with in it, the function of particular laws can very according as the law seeks to impose a 82
primary rule or conduct, establish institution, or regulate a process." Fungsi hukum yang dikemukakan oleh Allot tersebut di atas, dimaksudkan sebagai slat untuk melakukan rekayasa social (social engineering) sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound (1954: 47) sebagai pencetus utama dari konsep law as a tool of social engineering, bahwa fungsi hukum ini dianggap sebagai fungsi aktif dari hukum, karena konsep ini memberikan dasar bagi kemungkinan digunakannya hukum secara radar untuk melakukan perubahan. Selanjutnya Charles Sampford (1989: menghimpun berbagai fungsi hukum dari berbagai pakar, yaitu terdapat embilan kelompok fungsi hukum yang seyogianya dijalankan oleh hukum yang baik (termasuk putusan hakim), sebagai berikut: 1. Dispute resolution"— a function of court and law firms. 2. Reinforcement" or reinstitutionalization" (Bohannan, 1968) of existing practices within the community by framing rules that equate to those and by providing the means for their 'facilitation' (Summers, 1977, p. 127) — a fungtion of court and legislatures. 3. Change in existing practices" (Schur, 1968, p. 75) — by legislatures and, sometimes, courts. 4. Gulidance" or education" (Chambliss and Seidman, 1971, p. 9)— again, by the legislature and rourts. 5. Regulation", the administrative control of various private institutions— by the bureaucracy. 6. Partipation by the state in social and economic affairs by the 83
bureaucracy. 7. Punishment, retribution or vengeance againts perceived wrong doers, reinforcement of existing social values — by courts and penal institutions. 8. Maintaining social peace (or, more loosely, 'social orders' or 'social control') — by police and penal institutions to the extent that they isolate some ang dater some other potentially violent individuals. 9. Legitimation'of existing social institutions — supposedly achieved by courts". Dalam kaitannya dengan penegakan hukum oleh lembaga pertanahan melalui pendaftaran tanah tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor non hukum. Salah satu kajian yang sangat menarik tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat HGB atas tanah adalah status sosial termasuk interaksi atau hubungan dari pars pihak yang terlibat dalam proses pendaftaran tanah. Hubungan antara hukum dengan faktor non hukum dapat menyajikan suatu gambaran tentang bagaimana teori sosiologis menjelaskan legal variation, jika tidak menggunakan teori sosiologis akan sulit atau tidak mungkin untuk dijelaskan. Menurut pandangan Charles Sampford sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (2002: 35), bahwa hubungan antar manusia itu bersifat melee (diartikan sebagai hubungan yang cair), baik dalam kehidupan sosialnya maupun dalam kehidupan hukumnya. Hukum dibangun dari hubungan antar manusia yang melee tadi, yaitu hubungm sosial antar individu dengan keseluruhan variasi dan 84
kompleksitasnya. Kondisi tersebut «,nderung ke arah yang sifatnya asimetris. Jadi, hukum tunduk terhadap kekuatan-kekuatan sentripetal yang menciptakan suatu pranata yang terorganisir, tetapi bersamaan juga tunduk terhadap kekuatan-kekuatan sentrifugal yang menciptakan ketidakteraturan (disorder), kekacauan (chaos) dan konflik (conflict). Pandangan Charles Sampford di atas, tentang legal melee menurut Achmad All (2002: 36), sangat relevan dengan teori Donald Black tentang adanya lima aspek variabel yang inenyebabkan terjadinya diskriminasi hukum. lstilah diskriminasi yang digunakan oleh Donald Black adalah selaras dengan istilah melee yang digunakan oleh Charles Sampford. Kelima aspek variabel dalam kehidupan sosial yang menjadi faktor penyebab munculnya diskriminasi hukum adalah stratifikasi, morfologi, kultur, organisasi, dan pengendalian sosial selain hukum. Lebih lanjut Donald Black (1976:1-2) menjelaskan kerangka kehidupan sosial seperti perilaku hukum yang berpengaruh terhadap penegakan hukum yang dapat menyebabkan diskriminasi hukum (termasuk diskriminasi yang mungkin dilakukan oleh aparat pertanahan), sebagai berikut: "Social life has several variable aspects, including stratification, morphology, cultur, organization, and social control. Stratification is the vertical aspect of social life, or any uneven distribution of the conditions of exsistence as food, acces to land or water, and money. Morphology is the horizontal aspect or the distribution of people in relation to each other, including their division of labor, integration, and intemaecy. Cultur is the simbolis aspect sush as 85
religion, decoration, and folklore. Organization is the corporate aspect, or the capacity for collective action. Finally, social control is the normative aspect of social life, or the definition of deviant behavior and the response to it, such as prohibitions, accusations, punishment, and compensation." Kelima aspek variabel di atas, sangat berpengaruh terhadap bekerjanya sistem hukum (termasuk sistem hukum pertanahan) di dalam kehidupan sosial. Stratifikasi merupakan aspek vertikal dari kehidupan sosial, atau setiap distribusi yang tidak merata atau tidak seimbang dari sumber material atau kondisi-kondisi yang ada, seperti makanan, akses ke tanah atau air, dan uang. Stratifikasi dan hukum senantiasa bergandengan tangan, pada masyarakat yang memilki stratifikasi yang tajam, maka senantiasa menghadapi perlakuan yang keras dari hukum, dan selanjutnya taraf perlakuan yang keras dari hukum akan semakin lunak berturut-rurut, jika dilakukan oleh orang-orang yang berstatus tinggi yang menyerang orang yang juga berstatus tinggi, orangorang yang berstatus rendah yang menyerang orang yang berstatus rendah, orang berstatus rendah menyerang orang yang berstatus tinggi dan orangorang yang berstatus tinggi menyerang orang yang berstatus rendah. Lebih konkrit dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi stratifikasi atau status sosial seseorang di dalam masyarakat, maka hukum (putusan hakim yang menguntungkan baginya) semakin berpihak kepadanya. Dengan demikian, kedudukan atau status sosial orangorang yang terlibat dalam proses peradilan sangat berpengaruh terhadap lahirnya putusan hakim dari kasus tersebut.
86
Aspek morfologi sebagai aspek horizontal dari kehidupan sosial atau distribusi dari orang—orang dalam hubungannya dengan orang lain, termasuk pembagian kerja di antara mereka, integrasi dan keakraban yang berlangsung di antara mereka. Jadi, jarak hubungan atau derajat keakraban (relational distance) dalam interaksi antara sesama. Morfologi dapat diilustrasikan bilamana dalam suatu perkara di mana orangorang yang terlibat di dalamnya memiliki hubungan keluarga atau hubungan emosional yang dekat maka kecenderungan hukum tidak terlalu difungsikan bahkan dapat dikesampingkan. Sebaliknya, jika orang-orang yang terlibat di dalam suatu konflik tidak memiliki hubungan atau hubungannya jauh, maka hukum semakin berperan secara tajam. Demikian, Riga, ketika aparat hukum mempunyai hubungan dengan kedua helah pihak yang berperkara atau dengan terdakwa, maka kurang memungkinkan aparat hukum itu akan bertindak keras terhadap kedua belah pihak, dan besar kemungkinan aparat hukum itu akan menggunakan pendekatan kompromistis yang bersifat informal. Sebaliknya, ketika aparat hukum tidak memliki hubungan atau hubungannya masih jauh, maka kemungkinan penggunaan hukum secara tegas peluangnya sangat besar. Jadi, peluang untuk keberpihakan hukum lebih besar kepada pihak yang memiliki hubungan yang dekat dengan aparat hukum ketimbang pihak yang tidak memiliki hubungan. Kultur merupakan aspek simbolik dari kehidupan sosial, yang meliputi ungkapan-ungkapan tentang apa yang benar, apa yang seharusnya, apa yang salah, apa yang pantas dan tidak pantas. Kultur para pihak baik yang konvensional maupun 87
yang inkonvensional yang berhubungan dengan reliji mereka, penampilan mereka, latar belakang mereka, maka pihak yang konvensional lebih memungkinkan menggunakan hukum dan berhasil dalam kasus mereka. Bilamana dalam suatu kasus, misalnya salah satu pihak memiliki latar belakang kehidupan sosial yang sama (etnis, pendidikan, daerah asal, dan lain-lain) dengan aparat hukum, sementara pihak yang lain tidak seperti itu, maka pihak yang memiliki banyak kesamaan dengan aparat hukum akan lebih berpeluang menggunakan atau tidak menggunakan hukum. Jadi, setiap kasus hukum dalam suatu sistem hukum yang kompleks, identitas-identitas dan hubungan-hubungan yang ada di antara para pihak, dan struktur inilah yang memprediksikan dan menjelaskan bagaimana suatu kasus diselesaikan. Aspek organisasi merupakan aspek korporasi dalam kehidupan sosial, kapasitas, untuk melakukan tindakan kolektif. Hu-kum dapat bergerak dari arah organisasi yang lebih besar ke yang lebih kecil atau sebaliknya dari yang lebih kecil ke arah yang lebih besar. Misalnya, jika di dalam satu kelompok terdapat anggota kelompok atau individu yang melanggar, maka arah hukum dari organisasi yang lebih besar ke yang lebih kecil. Jadi, dalam suatu arah menuju organisasi yang lebih kecil, hukum bervariasi secara langsung searah dengan jarak keorganisasian, tetapi dalam suatu arah menuju organisasi yang lebih besar, hukum bervariasi secara terbalik dengan jarak keorganisasian. Aspek pengendalian sosial merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial, atau di sini dari perilaku yang menyimpang dan tanggapan terhadapnya, seperti 88
larangan, dakwaan, pemidanaan, dan kompensasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Donald Black (1976:105), bahwa: "Social control is the normative aspect of social life. It defines and responds to deviant behavior, specifying what ought to be: What is right or wrong, what is a violotion, obligation, abnormality, or disruption. Law is social control, but so are etiquiette, custom, ethics, control among the citizens of a state, so the member of a tribe have theis own social control, as do the members of a family, worklplace, church, clique, or game". Pengendalian sosial tidak hanya dimiliki oleh hukum tetapi juga dimiliki oleh kaidah sosial lain di luar hukum. Pengendalian sosial oleh hukum akan lebih kuat ketika pengendalian sosial lain lebih lemah dan sebaliknya. H. Beberapa Ketentuali Pengaturan Hak Atas Tanah Di Indonesia 1. Undang-Undang Pertanahan UU Nomor 5 Tahun 1960 secara langsung memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundangundangan dan memerlukan 9 UU, 13 PP, 1 Peraturan Menteri, dan peraturan-peraturan daerah. Ketentuan yang menyangkut pertanahan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sebagai berikut: a. Ketentuan Konversi, Konversi adalah salah satu lembaga dalam hukum tanah nasional yang memproses perubahan hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam system hak-hak atas tanah yang ada dalam UUPA, sebagai mana yang
89
diatur dalam bagian kedua dari UUPA tentang ketentuan-ketentuan seperti: Tanah Bekas Hak-Hak Barat (Hak eigendom menjadi hak milik, hak eigendom kepunyaan pemerintah Negara asing menjadi hak pakai, hak opstal menjadi HGB, dan erfpacht menjadi hak guna usaha). Tanah bekas adat ash bangsa Indonesia, seperti agrarische eigendom, milik, yayasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas drue desa, pesini, greant sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpach, hak usaha atas bekas tanah partikelin menjadi hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA. Sedangkan hak vruchigebruik, gebruik, grant controleur, bruiklen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituas menjadi hak pakai sebagaimana dimaksud oleh pasal 41 UUPA. Dalam proses pendaftaran hak atas tanah melalui lembaga konversi telah diterbitkan PMA Nomor 2 Tahun 1960 tentang peraturan pelaksanaan
Beberapa
ketentuan
Pokok
Undangtindang
Agraria,
intinya
memberlakukan Stb 1834:27 Overschrij-vingsordonantie (ordonansi Balik nama) terhadap tanah bekas hak barat, memberlakukan PMA Nomor 9 Tahun 1959 tentang cara-cara pendaftaran batik nama hak barat tersebut dan memberlakukan peraturan yang khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Keresidenan Surakarta. Dalam pelaksanaan ketentuan konversi oleh pemerintah terdapat kendala mengenai bukti kepemilikan hak yang hilang ketika jaman pemerintahan Jepang, sementara untuk pelaksanaan konversi harus berdasarkan persyaratan-persyaratan tertulis dan atau tidak tertulis sesuai ketentuan hukum adat. Untuk menghindari ketiadaan bukti-bukti tertulis terhadap tanah bekas hak barat, pemerintah telah mengeluarkan PMA Nomor 13 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Konversi Hak 90
Eigendom dan Hak-hak lainnya yang aktanya belum diganti. Sedangkan untuk menghindari ketiadaan bukti hak, ada bukti hak tapi secara administratif tidak otentik, dan bukti kepemilikan yang Iengkap sebagai pemilik asal ditegaskan melalui konversi baik langsung bagi yang Iengkap bukti kepemilikannya tidak secara langsung ditegaskan atau terlebih dahulu harus melalui lembaga pemeriksaan panitia tanah (barister) bagi persyaratan yang tidak ada dan atau tidak lengkap. Sedangkan penegasan melalui permohonan dan pemberian bagi hak atas tanah adat asal tanah negara bebas (melalui PMPA Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak- hak Indonesia Atas Tanah, Ketentuan Permohonan dan Pemberian Hak Atas Tanah berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1979). b. Ketentuan Tentang Pendaftaran Tanah. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah seluruh wilayah RI menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 19 ayat (1) UUPA), untuk itu pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah. Pada asasnya, pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem negatif yang bertendensi positif (Pasal 19 ayat (2) sub c UUPA). Dalam kaitannya dengan konsep hak milik bagi bangsa Indonesia, fungsi pendaftaran tanah mempunyai peranan yang sangat strategic khususnya mengenai hak-hak atas tanah karena kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah hanya akan dapat dicapai apabila dilaksanakan pendaftaran atas tanah. Prinsip ini merupakan hasil penafsiran terbalik dari pernyataan Pasal 19 ayat (1) UUPA yaitu bahwa tanah
91
dilaksanakan pendaftaran tanah maka kepastian hukum hak atas tanah tidak akan pernah tercapai. Kepastian hukum yang ingin dicapai melalui pendaftaran tanah, meliputi : kepastian hukum mengenai subyek hukum pemegang hak atas tanah kepastian hukum mengenai obyek hukum yaitu mengenai tanahnya itu sendiri, dan kepastian hukum mengenai hak yang melekat atas tanah tersebut yang menjadi alas hubungan hukum antara subyek hukum dan obyek hukum. Pendaftaran hak atas tanah meliputi dua hal penting, yaitu : 1. Pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilaksanakan melalui lembaga konversi. 2. Pendaftaran tanah yang berkelanjutan yang dilaksanakan melalui lembaga peralihan hak dan pembebanan hak. Dalam Pasal 37 ayat CO PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa pemindahan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yan berlaku.Dengan demikian, sebagai dasar yang merupakan syarat mutlak terjadinya peralihan hak atas tanah dibutuhkan akta otentik, yaitu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh UU, dibuat atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya (Pasal 1868 KUHPerdata).
92
2. Permohonan dan Pemberian Hak Ketentuan tentang permohonan dan pemberian hak antara tahun 1959-1967 berlaku keputusan Gubememen/pemerintah (Governemen Besluit) 1 Juli 1927 (Bijblad 1927:11372 jo Bijblad 1932:12746) sampai tahun 1975, apabila pemerintah membutuhkan tanah untuk pembangunan untuk gedung kantor dan tidak tersedia tanah negara yang bebas dari hak - hak perorangan, maka dilakukan pembelian dengan bantuan panitia pembelian tanah untuk dinar. Dengan demikian, kegiatan pemberian hak atas tanah dilakukan melalui lembaga peralihan hak dengan dasar jual beli. a) Ketentuan Tentang Tanah Perkebunan. Pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 29 tahun 1959 tentang peraturanperaturan dan Tindakan-tindakan Mengenai tanah Perkebunan. Obyek bekas tanah erfpach yang dinyatakan tidak layak di bidang pengusahaan yang jangka waktunya telah habis dan atau menjelang satu tahun menjelang berakhir diambil alih oleh negara dan dijadikan perusahaan perkebunan negara dengan setatus hak pakai (Pasal 1 UU No.29/1959). Sedangkan tanah-tanah erfpach yang jangka waktunya belum berakhir dan dinyatakan tidak layak dalam pengusahaan atau dengan alasan-alasan yang tidak dapat dibenarkan oleh menteri pertanian, ternyata belum diusahakan kembali, dibatalkan oleh Menteri Agraria (Pasal 2 UU No.29/1959 ).Tindakan terhadap tanah perkebunan yang hendak dijadikan salah satu sumber devisa negara, telah dimulai dengan dikeluarkan UU No. 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan HakTerhadap tanah Perkebunan, intinya melarang pelaksanaan 93
serah pakai terhadap semua tanah bekas erfpach, eigendom, dan opstal milik bangsa asing lebih dari satu tahun tanpa persetujuan Menteri Pertanian. b) Ketentuan Tentang Pembebasan dan Pencabutan Hak Atas Tanah. Dalam Pasal 18 UUPA, menyebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hakhak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara-cara yang diatur dengan UU kegiatan pembebasan dan pencabutan hak atas tahun dalam Periode 1959-1967 diberlakukan melalui pencabutan hak atas tanah dengan keluarnya UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan Hak-Hak atas tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. Apabila pembebasan hak atas tanah tidak bisa dilakukan dengan pembelian dan rakyat tidak menyetujuinya, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman, dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda diatasnya (Pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 1961). Sebelum pencabutan hak terlebih dahulu dilakukan penggantian kerugian yang dilaksanakan oleh panitia penaksir ganti kerugian (Pasal 1 PMA Nomor 1 Tahun 1962). c) Ketentuan Tentang Penatagunaan Tanah. Perencanaan peruntukan, penggunaan, penyediaan, dan pemeliharaan tanah periode 1959-1967, hanya tertuju kepada penggunaan tanah untuk keperluan pertanian sebagaimana diatur dalam UU No. 38/Prp/196o jo UU No.2o/1964, tentang penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu, yang 94
merupakan hasil devisa negara dalam peraturan tersebut diatur luas tanah maksimum untuk suatu jenis tanaman tertentu didasarkan atas wilayah kerja suatu perusahaan dan atau daerah tertentu dan dimungkinkan pula perusahaan untuk mengadakan sewa menyewa tanah atas Ijin Menteri Agraria setelah Iebih dahulu mendengar Menteri Pertanian (Pasal 1 UU No. 38 Tahun 1960) .Ketentuan penggunaan tanah melarang kepada yang bukan pemegang hak atau kuasanya untuk memakai tanah sebagaimana telah dikeluarkan UU No. 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya intinya adalah melarang orang-orang yang memakai lahan perkebunan yang bukan miliknya sendiri untuk mengambil tindakan dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan (Pasal 2 dan 3 UU No.51/ Prp/i96o) d) Ketentuan Tentang Landreform Pengaturan bidang landreform merupakan hal yang utama yang melatar belakangi lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Ada beberapa pasal yang mengatur tentang hal itu, yaitu Pasal 7,10, 17, dan 24. Ketentuan Pasal 7 UUPA menyebutkan, untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 17 UUPA mengisyaratkan untuk mengatur penetapan luas maksimum dan minimum melalui peraturan pemerintah. Pasal 10 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah
95
cara-cara pemerasan. Pasal 24 UUPA penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan. Dalam melaksanakan ketentuan tentang landreform pemerintah telah mengeluarkan UU No.56/Prp/1960 tentang Penetapan luas Tanah Pertanian dan PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Dalam Pasal 1 UU No.1"56/Prp/1960, seseorang sekeluarga baik miliknya sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, hanya boleh memiliki luas maksimum dan minimum atas tanah, yaitu: 1) Daerah penduduk yang tidak padat dapat memiliki tanah sawah 15 hektar atau tanah kering 20 hektar. 2) Daerah yang padat penduduknya : (a) kurang padat 10 hektar tanah sawah atau 12 hektar tanah kering .(b) cukup padat 7,5 hektar atau 9 hektar tanah kering. (c). Sangat padat 5 hektar tanah sawah atau 6 hektar tanah kering. Terhadap tanah yang melebihi batas ketentuan maksimum (terkena ketentuan landreform) diambil oleh pemerintah dengan ;anti rugi yang Iayak dan untuk kemudian dibagikan kepada penggarap yang bertempat tinggal disekitar tanah tersebut (Pasal 6 ayat (1) PP No. 224/1961) dalam satu kecamatan /berbatasan kecamatan (Pasal 3 PP No. 224/1961) dengan membayar uang distribusi kepada negara (Pasal 7 PP No.224/1961).
96
I. Bentuk Pengaturan Kebijakan Hak Atas Tanah Di Indonesia 1. Pengaturan Kebijakan Hak Atas Tanah dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 Dalam Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960, UUPA dibentuk berdasarkan hukum adat, namun dipengaruhi oleh Hukum Perdata Barat, Hukum Kebiasaan, dan UUD 1945, berkaitan dengan hukum adat yang hendak dijadikan landasan UUPA, Bagir Manan, (Makalah, 1996) mengatakan, bahwa: "meskipun UUPA sebagai dasar politik dan pengaturan keagrariaan baru (nasional) menyebutkan hukum agraria adalah hukum adat (Pasal 5 UUPA), tidak berarti hukum adat sebagai hukum positif berlaku penuh di samping (berjalan paralel) ketentuan keagrariaan yang telah diatur dalam atau berdsarkan UUPA". Lebih lanjut Bagir Manan, (Makalah: 1996) mengemukakan, bahwa hukum agraria adalah hukum adat diartikan atau dipahami, sebagai berikut: a) UU No. 5 Tahun 186o disusun menurut asas-asas hukum adat dimaksudkan sebagai penggunaan hukum adat yang dipertentangkan dengan asas hukum keagrarian yang pernah diaturoleh pemerintah Hindia Belanda seperti diatur dalam BW, Agrarisch Wet, atau Agrarisch Besluit. Pengertian dan asas seperti eigendom, zakelijkrech, domein yang merupakan asas hukum pertanahan masa pemerintahan Hindia Belanda, tidak diteruskan karena bertentangan dengan pengertian dan asas kepemilikan, kedudukan dan fungsi tanah menurut hukum adat. 97
b) Ketentuan hukum adat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan asas dan ketentuan keagrarian baru (UU No. 5 Tahun 1960, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya), harus dianggap tidak berlaku karena itu tidak boleh diterapkan lagi. Terhadap ketentuan hukum adat yang sekalipun sesuai dengan ketentuan agraria baru, juga tidak boleh diterapkan apalagi telah diatur baru. Ketentuan keagrarian baru, berlaku primaat atau prevail terhadap ketentuan hukum adat. Kalau tidak ditentukan demikian, berarti hukum keagrarian, khususnya hukum pertanahan tetap bersifat dualisme. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, dualisme tersebut antara pertanahan adat dan hukum pertanahan menurut BW dan Agrarisch Wet. Di masa sekarang dualisme antara hukum pertanahan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 196o dan hukum adat. Dualisme terjadi sekarang ini, karena pemahaman yang kurang tepat atas prinsip Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, ialah seolah-olah di samping UU No. 5 Tahun 1960 berlaku juga hukum adat. Hal ini akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dibandingkan pada masa Hindia Belanda. Di masa Hindia Belanda ada batas-batas yang jelas antara tunduk kepada hukum pertanahan adat dan yang tunduk pada ketentuan BW. Sekarang tidak, sehingga pilihan hukum dapat diterapkan sekehendak hati, tergantung pada kemauan atau kepentingan yang bersangkutan atau hakim. c) Ketentuan hukum adat masih dapat diterapkan dalam hal, didapati kekosongan dalam ketentuan keagrariaan baru, atau apabila penerapan ketentuan keagrariaan baru, akan secara mendasar bertentangan dengan kepatutan (rechtvaardighei), 98
keadilan (billijkheid), kepentingan umum (algemeen belting), atau ketertiban umum (openbare orde). Kontroversial antara konsideran UUPA, Pasal 5 UUPA terhadap substansi materi UUPA, yang kebanyakan tidak berdasarkan atas hukum adat dikemukakan pula oleh Soediman Kartodihardjo, bahwa: "dalam konsideran UUPA dinyatakan UUPA akan disusun berdasarkan hukum adat, tetapi kenyataan yang dipergunakan untuk menyusun UUPA adalah pemikiran yang bertentangan dengan dasar pemikiran hukum adat, karena disusun dengan jiwa individualistic bahkan materialistis". Hukum adat Indonesia disebut juga hukum asli bangsa Indonesia, yang telah ada jauh sebelum bangsa barat datang di Indonesia atau dapat dikatakan hukum tidak tertulis dan secara turun temurun dihormati dan ditaati oleh bangsa Indonesia yang berurat dan berakar dari nenek moyang pra kerajaan, seperti sebelum abad ke-7 di Minangkabau yang dikenal dengan system adat matrilineal. Dengan demikian, hukum adat yang mendasari hukum agraria (UUPA) dimaksudkan hukum yang sama sekali berbeda dengan hukum Hindia Belanda. Secara otomatis asas hukum Hindia Belanda yang selama ini bersifat individualistis — materialis dan yang disesuaikan dengan kepentingan Hindia Belanda dimaksudkan digantikan dengan asas-asas hukum adat ash bangsa Indonesia yang sesuai dengan falsafah Negara Pancasila. Dalam UUPA sekurang-kurangnya terdapat delapan prinsip dasar yang dapat ditemukan dalam Pasal-pasal dan Penjelasan UUPA sebagai berikut : 1. Prinsip Unifikasi Hukum Agraria 99
Prinsip ini telah melepaskan prinsip dualisme dalam hukum agrarian di Indonesia, yang pernah berlaku zaman Hindia Belanda, diemikian pula bahwa dengan prinsip ini, UUPA telah melepaskan pluralisme hukum adat, khususnya di bidang hukum pertanahan sebagaimana telah dikemukakan oleh Van Vollenhoven dalam sembilan betas Iingkungan hukum adat di Indonesia. Prinsip ini menyatakan secara jelas bahwa hanya berlaku satu hukum yang mengatur keagrariaan di Indonesia dan UUPA kelak akan diatur secara terinci dalam aturan pelaksanaan UUPA ( Penjelasan Umum, bagian A poin 1 UUPA ). 2. Prinsip Hak Penguasaan Negara Atas Tanah. Penerapan prinsip hak penguasaan Negara atas tanah, telah menghapus prinsip pernyataan domein yang pernah berlaku pada ketentuan agrarian Hindia Belanda (Agrarische Wet, Agrarische Besluit). Hak penguasaan negara bersumber dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Bumi dan air dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya hak penguasaan Negara itu dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA, sebagai berikut : Pasal 2 ayat (1) ; Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud daram Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pasal 2 ayat (2) ; Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal
100
ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. b. Menentukan
dan
mengatur
hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi air dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-Perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pasal2 ayat (3)
; Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Pasal 2 ayat (4) ; Hak
menguasai
dari
Negara
tersebut
di
atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra
dan
masyarakat-masyarakat
hukum
adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional,
menurut
ketentuan
peraturan
pemerintah". 101
Oleh karena itu, negara sebagai organisasi kekuasaan mengatur sehingga membuat peraturan, kemudian menyelenggara kannya, artinya menyelenggarakan penggunaan dan peruntukan, persediaan dan pemeliharaan dari bumi, air, ruang angkasa, diantara kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Demikian juga Negara mempunyai kewenangan menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hakhak apa saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai Negara tersebut dan selanjutnya menentukan dan mengatur, bagaimana seharusnya hubungan antara orang atau badan hukum dengan bumi, air, ruang angkasa yang terkandung di dalamnya. 3. Prinsip Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Prinsip ini merupakan jawaban dari bagaimana mesti memiliki hak dan kewajiban hak atas tanah di Indonesia. Pemilikan hak atas tanah tidak berarti bersifat sakral (suci) sebagai hak dasar manusia dan setiap orang harus lepas tangan dari hakhak
orang
lain
dalam
mempergunakan
haknya
atas
tanah
dan
dapat
mempertahankannya terhadap siapapun. Semua prang wajib menghormati hak orang lain, tetapi bukan berarti hak dan kewajiban itu tanah batasan. Dalam konsep UUPA, fungsi sosial itu dimaknai sebagai suatu fungsi yang mendalam sekali, bahwa dalam setiap hak seseorang terkandung hak dari masyarakat. Artinya di atas tanah hak seseorang ada porsi hak orang lain (Pasal 6 UUPA). Pada dasarnya, hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, tetapi sebenarnya di samping mempunyai fungsi sosial juga mempunyai fungsi lainnya, yaitu:
102
(a) Fungsi magis relegius, tanah merupakan asal usul terjadinya manusia, tempat berpijak, tempat tinggal, tempat lahir, dan tempat dimakamkan. Dalam masyarakat tradisional (primordial) terdapat areal tanah yang dijadikan aspek sacral (sacrae sancae) dalam perkembangan berikutnya tanah dijadikan perwakafan tanah milik. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tanah mempunyai fungsi keagamaan, adat dan kepercayaan yang tidak dapat dimiliki atau dialihkan oleh individu. (b) Fungsi pembuktian, dalam proses yudisiari, pembuktian penguasaan fisik dan yuridis merupakan indikasi seseorang dapat dikatakan sebagai pemilik. Dengan demikian, tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat sebagai diatur dalam UUPA, kiktir, girik, petuk, segel, akta gross eigendom, opstal, dan erfach yang berlaku sebelum UUPA dianggap sebagai alat bukti hak atas tanah yang utama. (c) Fungsi ekonomi, hak atas tanah dapat dialihkan dan dibebankan hak tanggungan sebagai hak jaminan dalam perjanjian utang-piutang dengan demikian hak atas tanah mempunyai fungsi meningkatkan dan mengembangkan perekonomian bagi pemegang hak atas tanah. Di Indonesia pada khususnya, terdapat ketimpangan fungsi hak atas tanah tersebut di atas, sehingga pengelolaan pertanahan di Indonesia dirasakan kurang berhasil. Fungsi ekonomi hak atas tanah, mendominasi fungsi hak atas tanah yang lain sebagai akibatnya, banyak terjadi sertipikat ganda, sengketa di pengadilan, perubahan hak milik privat secara besar-besaran menjadi hak milik publik, penggunaan yang tidak sesuai dengan peruntukan sebagai akibat perijinan yang 103
menyalahi ketentuan, sehingga merusak kestabilan Iingkungan hidup. Arah pengembangan konsepsi hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia harus memiliki empat fungsi hak atas tanah tersebut di atas. 4. Prinsip Pengakuan Hukum Agraria Adat Prinsip ini mengakui hukum adat sebagai landasan hukum agrarian nasional dan sekaligus mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Dalam prinsip ini, terdapat ketentuan yang memperjelas kedudukan hukum adat dan hak ulayat suku bangsa serta hak ulayat Indonesia dan penyesuaiannya dengan perkembangan kemajuan perekonomian/lalulintas perdagangan. (Pasal 5 dan Pasal 3 UUPA). Hukum adat sebagai landasan UUPA diharapkan mampu menjawab tantangan hukum modern. Artinya hukum adat yang tidak sesuai dengan perkembangan pergaulan masyarakat Negara dan dunia dipastikan tidak dapat dijadikan landasan dalam peraturan pelaksanaan UUPA. 5. Prinsip Persamaan Derajat Sesama Warga Negara. Prinsip ini menentukan persamaan derajat antar sesama warga negara dan antara laki-laki dan perempuan. Tidak membedakan sesama warga negara dan antara laki-laki dan perempuan, baik warga negara keturunan maupun pribumi. UUPA hanya mengadakan proteksi atau perlindungan, bukan diskriminasi terhadap masyarakat ekonomi Iemah (Pasal 11 ayat (3) UUPA). Dalam Pasal 9 UUPA diatur, bahwa tiap--tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan 104
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah, serta untuk mendapat manfaat hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun bagi keluarganya. Perbedaan hanya diperbolehkan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dengan menjamin terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah. UUPA secara apriori tidak perlu dan tidak pada tempatnya membedakan laki-laki dan perempuan dalam hubungannya dengan bumi, air dan ruang angkasa. 6. Prinsip Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah. Prinsip ini dikenal dengan istilah landreform atau reforma hubungan antara manusia Indonesia dengan tanah atau bumi, air dan ruang angkasa. Akibat penjajahan telah terjadi ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia dan hampir setiap negara berkembangan selalu menghadapi permasalahan serupa. Oleh karena itu perlu orientasi baru dan perombakan hubungan penguasaan pemilikan tanah, agar hak-hak warga Negara untuk mendapatkan kesempatan yang sama. Untuk memudahkan terpenuhinya kebutuhan minimalnya akan tanah, sebagai arch kebijakan peraturan masa yang akan datang. Meskipun dalam GBHN tahun 1988 (Ketetapan II/MPR/1988) mengatur tentang landreform di Indonesia, akan tetapi hasilnya belum memenuhi ketimpangan penguasaan pemilikan tanah antara masyarakat tani dan investasi. Pemilik yang memiliki batas maksimum (latifundia, hacienda) kepemilikan hak atas tanah sudah seharusnya terkena ketentuan resdistribusi tanah. Pasal 7 UUPA
105
mengatur, bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka kepemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Ketentuan landreform ini dapat juga dijumpai dalam Pasal 17 UUPA. Apa yang dilarang dalam ketentuan Pasal 7 UUPA sebagai dikenal dengan induk landreform Indonesia dan jika dikaitkan dengan Pasal 17 UUPA, maka secara teoretik dikenal dengan larangan latifundia, artinya larangan penguasaan tanah yang sangat luas, sehingga ada pembatasan maksimum seorang boleh mempunyai tanah, terutama tanah pertanian yang dalam literatur disebut ceiling atas pemilikan tanah. Demikian pula dengan batas minimum orang dapat memiliki tanah yang merupakan bagian dari prinsip landreform. Terhadap pemilik tanah yang terkena ketentuan ceiling, diwajibkan melepaskan tanahnya kepada negara dan diterima oleh pemerintah untuk didistribusikan kepada tuna kisma (orang yang tidak memiliki tanah) dan kepada petani gurem (nearlandless-farmers) atau orang memiliki tanah kurang dan batas minimum (minifundia). 7. Prinsip Perencanaan Penatagunaan Tanah Prinsip ini mengkaji bumi, air dan ruang angkasa sebagai unsur-unsur ruang yang harus dilestarikan, optimal, serasi, seimbang, dan berkesinambungan sebagai sumber daya alam. Pelestarian meliputi perencanaan penggunaan, peruntukan, persediaan, dan pemeliharaan bumi (tanah), seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 UUPA mengatur, bahwa:
106
Pasal 14 ayat (1)
; Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal 9 ayat (2), serta Pasal 10 (1) dan (2), Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: a. Untuk keperluan Negara b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci Iainnya, sesuai dengan dasar keTuhanan Yang Maha Esa. c. Untuk keperluan pusat-pusat kehi-dupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan. d. Untuk keperluan perkembangan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu. e. Untuk
keperluan
memperkembangkan
industri,
transmigrasi, dan pertambangan. Pasal 14 ayat (2)
; Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 pasal ini dan mengingat peraturanperaturan yang bersangkutan, pemerintah daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumf, air, serta ruang angkasa untuk daerahnya sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
Pasal 14 ayat (3)
; Peraturan pemerintah daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai 107
Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati / Walikota / Kepala Daerah yang bersangkutan. Pernyataan prinsip sebagaimana yang diatur dalam ketentuan tersebut diatas, semakin memperjelas bahwa dalam rangka penggunaan, peruntukan, persediaan, dan pemeliharaan ruangan tanah, air, dan ruang angkasa dibutuhkan perencanaan secara umum (wilayah nasional, provinsi, kabupaten, dan kecamatan). Yang harus dituangkan dalam bentuk undangundang yang dapat mengatur tata ruang dan tata guna tanah secara nasional. 8. Prinsip Nasionalitas Pasal 9 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2 UUPA. Prinsip nasionalitas memperjelas dan mempertegas terhadap sikap tanpa kompromi, UUPA hanya memperbolehkan warga negara Indonesia mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, serta ruang angkasa. Oleh karena itu orang asing sebagaimana pernah mereka miliki, boleh mempunyai hak-hak atas tanah di Indonesia, asal mau tunduk kepada BW dan peraturan-peraturan keperdataan, telah tinggalkan dengan lahirnya UUPA. Pemaknaan Pasal 9 ayat (1) dibedakan antara warga Negara Indonesia dengan orang asing. Secara tegas UUPA taat secara penuh dengan ketentuan itu dan tidak ada
108
jalan keluar apapun, untuk melegalkan orang asing, mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan orang angkasa dan kekayaan slam yang terkandung didalamnya. Sama dengan warga Negara Indonesia. Hak bangsa menurut Budi Harsono, (2005: 24) adalah: "hak penguasaan yang tertinggi atas tanah bersama, bersifat abadi dan merupakan induk hak-hak penguasaan yang lain bagi tanah, yang mendapat pengaturan dalam Pasal l UUPA. Apabila ditelaah dari komposisi hak-hak atas tanah yang ada dalam UUPA, dapat dikatakan, bahwa Hak Milik Bangsa merupakan Hak Milik Privat dan Hak Milik Publik".
2. Pengaturan Kebijakan Hak Atas Tanah Pada Masa Pemerintahan Orde Baru (1967 – 1998) Undang-undang Pokok Agraria di masa Orde Baru, makin meningkatkan operasionalisasinya dengan lahirnya berbagai peraturan pelaksanaan dari UUPA, oleh karena itu prinsip-prinsip UUPA telah diuraikan pada sub bahasan lama, sehingga tidak perlu lagi diuraikan. Pada periode ini, akan diuraikan kebijakan-kebijakan dalam berbagai perundangan-undangan yang dilahirkan masa pemerintahan orde baru. Orientasi politik dan kebijakan masa pemerintahan orde baru, lebih menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, sehingga kebijakan bidang pertahanan mengarah dan mendukung pertumbuhan ekonomi. a. Ketentuan Hak Atas Tanah Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Arah kebijakan bidang pertanahan baru mendapatkan tempat dalam GBHN 109
tahun 1983, menyebutkan bahwa hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Pemanfaatan tanah harus dapat membantu usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam mewujudkan keadilan sosial. Sehubungan dengan ini perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dan termasuk pengalihan hak atas tanah. Pembangunan pertanian harus merupakan usaha yang terpadu dengan pembangunan daerah dan pedesaan, khusus mengenai masalah tanah perlu dilanjutkan dan ditingkatkan langkah--Iangkah untuk mengendalikan secara efektif masalah penggunaan, penguasaan, pemilikan dan pengalihan hakatas tanah, sehingga benar--benar sesuai dengan asal adil dan merata. Dalam pengalihan hak atas tanah perlu dicegah pemilikan tanah yang melebihi ketentuan yang berlaku. Di samping itu perlu pula pada diusahakan untuk mencegah pembagian tanah yang sangat kecil, agar manfaat penggunaan tanah tidak semakin berkurang. Dalam GBHN Tahun 1988, menyebutkan: Tanah mempunyai fungsi sosial dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat untuk itu perlu terus dikembangkan, rencana tata ruang dan tataguna tanah secara nasional, sehingga pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan masyarakat dan pembangunan. Disamping itu perlu dilanjutkan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanah. Dalam GBHN Tahun 1993, menyebutkan air, tanah dan lahan yang 110
mempunyai nilai ekonomi dan fungsi sosial pemanfaatannya perlu diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat melalui berbagai penggunaan, terutama untuk keperluan pemukiman, pertanian, kehutanan, industri, pertambangan dan kelistrikan serta prasarana pembangunan lainnya. Pada prinsip arah kebijaksanaan pengelolaan pertanahan dalam GBHN tahun 1973 sampai GBHN 1998, diarahkan untuk pembangunan
pertanahan
yang
berwawasan
lingkungan
yang
bermaksud
mewujudkan penataan penguasaan pemilikan tanah, merencanakan penggunaan, peruntukan, persediaan dan pemeliharaan tanah yang kesemuanya untuk mendukung penanaman modal di bidang investasi, memberikan hak-hak atas tanah sesuai dengan peruntukan dan kegunaannya, serta mengadakan pendaftaran tanah, untuk menjamin perwujudan hak bagi orang dan badan hukum yang akan menguasai, memiliki dan memanfaatkan lahan tanah. b. Ketentuan Hak Atas Tanah dalam UU No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Kebijakan
pengelolaan
pertanahan
bertujuan
untuk
mengembangkan
administrasi pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penguasaan tanah secara adil dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan meningkatkan kapasitas kelembagaan pengelolaan pertanahan di pusat dan derah. Sasaran yang hendak dicapai adalah adanya kepastian hukum terhadap hak atas tanah, dan terselenggaranya pelayanan pertanahan bagi
111
masyarakat secara efektif oleh setiap pemerintah daerah dan herdasarkan pada peraturan dan kebijakan pertanahan yang herlaku secara nasional. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah: (1) peningkatan pelayanan pertanahan di daerah yang didukung oleh sistem informasi pertanahanan yang handal, (2) penegakan hukum pertanahan secara konsisten, (3) penataan penguasaan tanah agar sesuai dengan rasa keadilan, (4) pengendalian penggunaan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah termasuk pemantapan sistem perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang atau penggunaan tanah di daerah, dan (5) pengembangan kapasitas kelembagaan pertanahan di pusat dan di daerah. c. Ketentuan Hak Atas Tanah Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Program pengelolaan pertanahan ditujukan untuk: (1) meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui penegakan hukum pertanahan yang adil dan transparan secara konsisten, (2) memperkuat kelembagaan pertanahan di pusat dan di daerah dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, (3) mengembangkan sistem pengelolaan dan administrasi pertanahan yang transparan, terpadu, efektif dan efisien dalam rangka peningkatan keadilan kepemilikan tanah oleh masyarakat, dan (4) melanjutkan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkelanjutan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan dengan memperhatikan kepentingan rakyat.
112
Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan berdasarkan RPJMN 2004-2009, diantaranya adalah masalah penegakan hukum pertanahan yang adil dan transparan untuk meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui sinkronisasi peraturan perundang-undangan pertanahan dan pertibangunan sistem pendaftaran tanah yang efisien dan transparan. d. Ketentuan Hak Atas Tanah Dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan Arah kebijakan di bidang pertanahan yang telah ditentukan dalam berbagai peraturan periode 1967-1998, peraturan tersebut dikeluarkan untuk mendukung pembangunan sektor ekonomi yang diimplementasikan dalam berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah. 1. Ketentuan Konversi Hak Atas Tanah Dalam Keppres No. 32 Tahun 1979, menyebutkan bahwa tanah hak guna usaha, HGB, dan hak pakai asal konversi bekas hak-hak barat, yang jangka waktunya berakhir selambat-lambatnya 24 September1980, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai Iangsung oleh negara. Tanah-tanah tersebut ditata kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikannya dengan memperhatikan masalah tata guna tanah, somber days alam dan lingkungan hidup, keadaan kebun dan penduduknya, rencana pembangunan di daerah, dan kepentingan bekas pemegang hak dan penggarap tanah/ penghuni bangunan. Kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan sendiri tanah/bangunan, akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali tanah tersebut dikenakan untuk proyek
113
pembangunan kepentingan umum, dan kepada bekas pemegang hak diberikan ganti kerugian. Keppres No. 32 Tahun 1979 tersebut, merupakan penjabaran 101)th lanjut dari ketentuan konversi yang diatur dalam bagian kedua dari UUPA. Pengaturan ini makin memperjelas jenis-jenis hasil konversi, yang kriterianya ditentukan oleh perencanaan, penguasaan, pemilikan, peruntukan dan penggunaan tanahnya. Melalui peraturan ini, tanah bekas hak-hak barat, seperti eigendom seharusnya dikonversi menjadi hak milik bisa saja berubah menjadi HGB atau hak pakai, tergantung subyek hak dan peruntukan dari obyek hak tersebut. Demikian pula dengan bekas hak opstal dan hak erfpach belum tentu dikonversi menjadi HGB dan hak guna usaha, tetapi tergantung kepada subyek hak dan peruntukan terhadap obyek. Di samping itu pula Keppres No. 32 Tahun 1979 tersebut menjadi jembatan bagi yang mendapat prioritas atas pernyataan berakhirnya HGU dan HGB. 2. Pendaftaran Hak Atas Tanah Dalam pelaksanaan Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 49 Ayat (3) UUPA, Pemerintah mengeluarkan PP No. 28 Tahun 1977. untuk keperluan peribadatan atau keperluan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran agama Islam, kepada wakif dianjurkan untuk mewakafkan tanahnya yang berstatus hak milik. Dalam PP No. 28 Tahun 1977, menyebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selanna-lamanya bagi kepentingan peribadatan atau
114
kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Ketentuan Pasal 19 Ayat (4) UUPA yang menyatakan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari biaya dalam proses pendaftaran tanah. Untuk itu dikeluarkan Keputusan Mendagri No. 189 Tahun 1981. Untuk mewujudkan Catur Tertib bidang Pertanahan, Pemerintah melaksanakan program pensertipikatan tanah secara massal terhadap masyarakat yang tidak mampu, untuk mengurangi kerawanan/kepekaan di bidang pertanahan, sebagai suatu usaha untuk menciptakan stabilitas sosial politik di kalangan masyarakat. Semua biaya yang dibutuhkan dalam proyek ini dibebankan kepada anggaran belanja Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri dan Yayasan Dana Landreform. Untuk pengembangan hak atas tanah dalam rangka permohonan hak-hak baru khususnya di bidang hunian berdasarkan Pasal 16 Ayat UUPA, maka dikeluarkanlah Undang-Undang No.16 Tahun 1985 tentang rumah susun, yang di dalam Pasal 7 undang-undang tersebut mengatur tentang apa yang dimaksud dengan rumuh susun, adalah: "Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dibagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama dan tanah bersama". Satuan hak atas rumah susun berbeda dengan hak-hak milik privat yang lain. Hak atas satuan rumah susun dapat berupa hak pakai dan atas hak milik, di atas HGB, 115
di atas tanah negara, dan di atas hak pengelolaan. Atas dasar tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, hak pakai atas satuan rumah susun merupakan hak pakai privat. J. Konsepsi Kepemilikan Tanah Menurut UUPA Untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif mengenai kepemilikan tanah yang meliputi asas, sifat, macam dan tujuannya perlu dipelajari berbagai konsepsi hukum sebagai perbandingan. Berbagai teori kepemilikan tanah yang dianut berbagai konsepsi hukum yang ada, dapat dikemukakan, sebagai berikut: a. Konsep Filosofi dan Sosial Politik Kepemilikan Sebelum membahas konsepsi mengenai kepemilikan tanah, terlebih dahulu akan diutarakan secara garis besar konsep kepemilikan ditinjau dari filosofi dan sosial-politik. Dalam konsep hukum, hubungan antara orang dengan benda merupakan hubungan yang disebut "hak". Makna dari sebutan itu adalah hak kepemilikan atas suatu benda disebut hak milik atas benda itu atau dikenal sebagai property right. C. Chambers (2001 : 7) mengartikan: "Property Rights are Right to Things". Namun kata milik itu sendiri dalam makna hukum lebih menekankan pada hak dari pada kepada bendanya. Sukhninder Panesar (2001 :9), mengutarakan, bahwa: "property, in legal term, therefore means a right to thing rather than the things itself". Hak dalam konsep hukum dapat dibedakan antara hak perorangan (Rights in personaam) dan hak kebendaan (Rights in rem). Sedangkan benda dalam konsep
116
hukum tidak hanya benda berwujud nyata seperti mobil dan rumah yang disebut. "Tangible things" tetapi juga benda lainnya yang tidak berwujud seperti hak paten, hak cipta, dan sebagainya yang dalam konsep hukum disebut "Intangible things". Lebih lanjut diutarakan bahwa milik atau kepemilikan bukan hanya sekedar hubungan antara seseorang atau badan hukum (subjek hukum) dengan benda yang mempunyai nilai yang secara hukum dapat dikuasai, tetapi sebagai konsekuensi adanya hubungan itu subjek hukum memperoleh apa yang disebut sebagai hak kepemilikan atas benda tersebut (Sukhninder Panesar, 2001; 8). Secara tradisional dalam hukum barat hak kepemilikan dibedakan dalam tiga jenis yaitu milik pribadi ("private property"), milik bersama ("common property") dan milik negara ("state property"). Perbedaan bentuk dari macam-macam hak itu satu dengan yang lain berdasarkan kealamiaan dari hak dan orang yang diberikan haknya. Masing-masing macam hak yang diberikan, ketiganya lebih banyak adanya pengaruh politik dan ekonomi (Sukhaninder Panesar, 2001 :10). Pandangan tersebut di atas sangat realitis adanya oleh karena bekerjanya aturan hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum yang melingkupinya, hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman dikutip dari (Achmad Ali, 1996: 235) dalam teori The law of the non transferrability of law (bahwa hukum yang efektif dalam suatu masyarakat tertentu tidak dapat ditransfer begitu saja ke dalam masyarakat yang lain. Landasan filosofi, politik dan ekonomi pada abad 17 dan abad 18, berdasarkan tesis bahwa hak individu untuk memiliki dan mengalihkan adalah adanya hak 117
alamiah/kodrati dari individu tersebut. Konsep ini berdasarkan ajaran John Locke (1632-1702) dalam (Sukhaninder Panesar, 2001: 29-30) yang dikenal dengan nama Labour Theory tentang Property yang berdasarkan hukum alam (natural law). Diutarakan, bahwa keberadaan milik pribadi sudah ada jauh sebelum ada negara dan bebas dari hukum yang diatur negara, karena property right pada hakikatnya adalah hak alamiah/kodrati, di mana dalam hukum alam ini diatur tentang prinsip-prinsip keadilan hukum alam (natural justice). Oleh karena itu, pemerintah dilarang ikut mengatur hak tersebut tanpa izin dari yang punya hak. John Lock sebagaimana dikutip oleh Sukhaninder Panesar (2001: 29-30), mengatakan, bahwa: "John Lock argued that property rights existed before the state and independently of laws prescribed by the state. Property rights were natural rights of the individuals and those governed by principles justice; governmental interference of reorganization of this rights was not permissible without the concession of the individual".(Hak alamiah/kodrati manusia itu diturunkan oleh Tuhan dan mendasarkan pada prinsip-prinsip moral, bersifat universal yang di dalamnya mengandung hak untuk hidup dan tuntutan kebahagiaan. Oleh karena itu, manusia tidak menguasainya secara mutlak. Dengan demikian tindakan pemerintah untuk melindungi hak milik hanyalah sepanjang hak-hak untuk hidup dan kemerdekaan). Dalam abad ke 19, teori yang digambarkan John Locke itu mengalami koreksi oleh Jeremy Bentham (1748-1832) (Sukhanindar Panesar, 2001: 29-31) yang dikenal 118
dengan utilitarian theory of private property, dimana kepemilikan lebih mengacu kepada teori kemanfaatan. Teori Jeremy Bentham dalam (Sukhanindar Panesar, 2001: 30-31) tersebut menekankan pada hal-hal sebagai, berikut: a. Bertitik tolak pada prinsip-prinsip pemanfaatan itu, hukum seharusnya digunakan untuk menghasilkan kebahagiaan dan atau manfaat yang terbesar bagi masyarakat. b. Teori kepemilikan termasuk di dalamnya hak kepemilikan dalam bentuk HGB atas tanah dimaksudkan sebagai hak positif (positive right) yang tercipta melalui instrumen hukum, dengan tujuan untuk menciptakan pencapaian tujuan ekonomi dan sosial secara luas, .sebagai lawan dari teori hak alamiah/kodrati dari John Locke. Dengan demikian, nantinya akan tercapai pula kebahagiaan bagi seluruh masyarakat, dan sebagai konsekwensinya adanya hak yang tercipta dan diatur oleh hukum dan keberadaannya dilindungi sehingga memperoleh kepastian dan perlindungan hukum dari Negara. c. Hak alamiah/kodrati yang berdasarkan hukum kodrat/alam menurut teori John Locke adalah tidak mungkin, seperti diutarakan Bentham: " natural right are simply nonsense; natural and imprescriptable right, rhetorical nonsense, nonsense upon stills " Dalam hubungannya dengan HGB atas tanah melalui satu proses yang dilalui yaitu proses penguasaan. Proses itu dalam sistem hukum barat dikenal sebagai possession yang berbeda makna dengan ownership. Dalam kamus hukum, possession 119
(Inggris) atau posesio (Latin) atau bezit (Belanda), diartikan sebagai "kepunyaan". Possession dimaksudkan sebagai pendudukan secara fisik atau secara faktual. Syarat lain adalah adanya niat atau maksud memiliki dengan itikad baik ("animouse possidendi"). Niat untuk memiliki dikaitkan dengan waktu dan bukti lainnya. Dengan demikian hak menguasai itu harus didahului dengan tindakan pendudukan/menduduki untuk memperoleh penguasaan itu dan pada batas waktu tertentu akan menjadi HGB atas tanah. Dalam hubungan inilah C. Chambers, (2001 :45) mengutarakan, bahwa, "to have possesion of a thing, a person must control that thing an intend to posses it. Both are required." Oleh karena itu yang dimaksud dengan possession adalah penguasaan fisik melalui pendudukan dan disertai dengan adanya niat untuk memiliki. Hal itu akan lebih jelas bila dibandingkan dengan pengertian ownership. Pengertian ownership dalam padanan bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kepunyaan atau kepemilikan atas suatu benda. Ownership biasanya termasuk di dalamnya hak untuk menguasai bendanya secara nyata atau seseorang yang mempunyai suatu benda, namun belum tentu menguasai secara fisik. Dalam hal benda tidak berwujud, maka seseorang mempunyai bendanya namun tidak menguasai secara nyat.i Contoh hak paten dan hak cipta. Demikian Pula halnya seseorang mempunyai benda berwujud namun belum tentu menguasai benda tersebut. Contohnya orang menyewakan tanah atau rumah. Secara tegas perbedaan possession dalam arti penguasaan fisik dengan ownership dalam arti kepunyaan atau kepemilikan adalah bahwa penguasaan melibatkan pendudukan secara fisik, adanya 120
niat untuk menguasai, yang dapat diperoleh tanpa alas hak. Sedangkan kepemilikan harus dibuktikan sebagai hak mutlak dan perpindahan kepemilikan harus dilakukan dengan alas hak, tidak sekedar serah terima penguasaan. Oleh karena itu, dapat dinilai bahwa penguasaan merupakan cikal bakal adanya kepemilikan (property), dimana arti dari milik itu sendiri melekat adanya hak, sehingga dibedakan adanya istilah private property untuk menunjukkan milik pribadi dan public property untuk menunjukkan milik negara atau milik masyarakat. Penguasaan atas benda termasuk tanah merupakan awal dari adanya hak termasuk dalam bentuk HGB atas tanah. Dalam Hukum Barat pada umumnya atau Common Law, secara tegas dinilar possession is the root of title". Dalam hubungan dengan pengertian benda, tanah (land) merupakan benda berwujud tidak bergerak (immovable) yang tidak dapat rusak, berbeda dengan barang yang merupakan benda bergerak (movable). "Land is immovable, as distinct from chattels, which are movable, it is also, in its legal significance, indestructible". (Black Law Dictionary,1999 : 881). Menurut Petter Butt, ( Peter Butt, 2001 : 8 + 9) bahwa, pengertian tanah secara umum didefinisikan sebagai luasan fisik dari permukaan bumf yang ada luasan tertentu dalam sebuah area tertentu, di mana kepemilikan atas tanah tersebut dibuktikan dengan sebuah dokumen yang disebut "title deed". Selanjutnya dinilai bahwa jarang ada sebuah dokumen kepemilikan tanah menggambarkan luasan di atas atau di bawah permukaan tanah dari kepemilikan itu. Akan tetapi dalam pengertian hukum tidaklah demikian, seperti diutarakan: "dalam hukum, tanah adalah tidak 121
terbatas sekedar permukaan bumi, tetapi termasuk di bawah dan di atas permukaan bumi, tidak juga dibatasi sesuatu yang padat, tetapi dapat meliputi sesuatu benda cair dan gas". Dalam Common Law konsep tanah mempunyai tiga area dimensi ruang yatig untuk jelasnya diutarakan dalam bahasa aslinya, sebagai berikut: "land is an area of three-dimensioned space, its position identified by natural or imaginary points located by reference to the earth's surface. This three dimensional space may include the earth's surface, or may be the wholly above it or wholly below it. It may have physical contents or it may be void, for any three-dimensional quantum of the space — even airspace - can be "land". If it has contents that are fixed in position, those fixed contents are part of the "land". But the "land" is more than those fixed contents. The contents of the space may be physically severed, destroyed or consumed, but the space itself — and so the "land" — remains. In this sense, the land is indestructible. It is also immovable"( Peter Butt, 2001 : 8 + 9). Selanjutnya konsep tanah secara filosofis menurut hukum adat adalah benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos) besar (macro cosmos) dan kecil (micro cosmos). Maka tanah dipahamkan secara luas meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural Yang terjalin secara menyeluruh dan utuh. 122
Dengan demikian konsep tanah dalam hukum adat menurut Herman Soesangobeng, (2002: 12,13, dan 14) mencakup unsurunsur seperti dalam konsep sumberdaya alam, yaitu meliputi lima unsur utama, sebagai berikut: (1) hubungan dengan permukaan bumi termasuk air, (2) hubungan dengan udara bahkan ruang angkasa, (3) hubungan dengan kekayaan alam dalam tubuh bumi, (4) hubungan dengan roh-roh (supranatural); dan (5) hubungan antara sesama manusia sebagai pusat". b. Konsepsi Kepemilikan menurut Hukum Adat Di Indonesia Hukum adat di Indonesia merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia yang mengedepankan keseimbangan antara kepentingan bersama dengan kepentingan perorangan. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan dengan memposisikan manusia dan masyarakatnya dalam posisi yang selaras, serasi dan seimbang sehingga tidak ada pertentangan antara masyarakat dengan individu. Dalam hubungannya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat tertanam suatu keyakinan atau kepercayaan bahwa bagi setiap kelompok masyarakat hukum adat, tersedia suatu Iingkungan tanah sebagai pemberian dari sesuatu kekuatan yang gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang za man. Artinya bukan hanya untuk kepentingan sesuatu generasi, akan tetapi juga untuk generasi berikutnya dari kelompok masyarakat hukum adat tersebut.
123
Selanjutnya Iingkungan tanah yang merupakan faktor pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya itu adalah kepunyaan bersama masyarakat hukum adat. Hak kepunyaan bersama tersebut dalam kepustakaan disebut beschikkingsrecht dan sudah diterima secara umum dalam perundang-undangan sebagai hak ulayat dan merupakan hak atas penguasaan tanah yang tertinggi dari kelompok masyarakat hukum adat. Para anggota masyarakat sebagai individu diperbolehkan untuk menghaki sebagian tanah ulayat tersebut. Kelompok masyarakat adat merupakan kesatuan yang mempunyai wilayah tertentu, mempunyai kesatuan hukum, mempunyai penguasa dan memiliki kekayaan tersendiri (Arie Sukanti Sumantri, 2003: 23). Beschikkingsrecht ataupun hak ulayat berlaku ke luar dan ke dalam. Berlaku keluar, karena bukan warga masyarakat hukum pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam/ menggarap tanah yang merupakan wilayah persekutuan yang bersangkutan. Hanya dengan seizin persekutuan serta membayar pancang atau ganti rugi oang luar dapat memperoleh kesempatan untuk ikut serta menggunakan tanah ulayat. Berlaku ke dalam, karena hanya persekutuan dalam arti seluruh warganya yang dapat memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuhan dan binatang yang hidup dalam wilayah persekutuan. Hak persekutuan itu pada hakikatnya membatasi kebebasan usaha para warga sebagai perorangan, demi kepentingan persekutuan (Bushar Muhammad, 2002 :104). Walaupun demikian, pemahaman tentang keberadaan hak ulayat ini tidak sama di semua daerah hukum adat yang oleh Rustandi Ardiwilaga (1962 : 45), 124
sebagaimana dijelaskan, bahwa: "di beberapa daerah Swapraja, hak ulayat itu mendapat pengaruh dari RajaRaja. Juga terdapat kebiasaan bahwa Raja-raja memberikan tanah kepada mereka yang bukan anggota masyarakat hukum adat". Seiring dengan perkembangan kehidupan, maka penggunaan tanah ulayat tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama, tetapi juga anggota masyarakat diper holehkan untuk menguasai sebagian tanah ulayat itu untuk dapat digunakan memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Proses penguasaan individu ini terus berlangsung secara turun iemurun, dihormati dan diakui oleh tetangga yang berbatasan dan masyarakat hukum adat. Selama penguasaan dan pengr,unaaan tanah dimaksud berjalan sesuai aturan, maka anggota masyarakat lainnya harus menghormati dan tidak boleh inengganggunya. Apabila diterlantarkan daiam jangka waktu iertentu, atau diperlukan untuk kepentingan yang lebih luas, inaka penguasa adat dapat menentukan peruntukan dan penggunaan selanjutnya. Lebih lanjut Rustandi Ardiwilaga (1962: 47-48), mengemukakan, bahwa: “Lahirnya pemilikan tanah bagi individu umumnya diawali pembukaan tanah yang diberitahukan kepada kepala persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanah itu akan digarap". Tanah itu, menurut Bushar Muhammad (2002: 107) merupakan tanah pelarangan yang religius-magis, sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam yang ada hanya untuk dan dapat diambil oleh yang berkepentingan saja, prang lain tidak diperbolehkan menggunakan atau mengambil hasilnya. 125
Anggota itu mempunyai hak pilih lebih dulu atas tanah itu (voorkeurrecht), artinya sepanjang sudah ada tanda, orang lain tidak boleh membuka tanah itu. Sesudah beberapa hari tidak ada reaksi dari sesama anggota masyarakat terhadap tindakan itu, maka tanah itu dapat dikerjakan. Bentuk usaha tanah semacam itu bersifat sementara, merupakan hak memungut hasil (genootsrecht), setelah satu atau dua panen ditinggalkan, dan kemudian penggarap itu membuka tanah di tempat lain yang belum pernah dibuka (roof-bouw). Walaupun genootsrecht itu berlaku untuk satu dua musim saja, hubungan antara penggarap dengan tiap-tiap ladangnya itu tidak hilang. Biasanya setelah tiga tahun penggarap itu kembali ke ladang yang ditinggalkan, sehingga hubungan yang tetap ini menjadi hak yang dapat diwariskan kepada anak cucunya. Ladang berpindah itu tidak bersifat sementara lagi, melainkan telah menjadi ladang milik. Dengan demikian, maka hak milik itu diperoleh karena pembukaan tanah, setelah lebih lulu dibuat tanda-tanda batasnya dan telah melalui voorkeurrecht dan genotsrecht. Tanah HGB itu dapat diwariskan, digadaikan, dipindahkan dan sebagainya. Dalam konsepsi hak bersama, Para anggota masyarakat diliputi suasana magis-religiussebagai refleksi kesadaran bahwa tanah merupakan karunia Tuhan kepada mereka, karena itu mereka menyadari kewajiban menjaga, menggunakan, memelihara dengan baik berdasarkan peraturan-peraturan dan normanorma sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan yang telah dibentuk dan dihormati sejak nenek moyangnya. Herman Soesangobeng (2002: so) menggambarkan proses pemilikan tanah 126
menurut hukum adat, bahwa pada saat hubungan mulai dijalin, pengaruh kewenangan masyarakat hukum adat masih kuat dan penuh, tetapi setelah berlangsung cukup lama dan kewenangan subjek hak menjadi lebih kuat, maka kewenangan masyarakat melemah, sekalipun tidak lenyap sama sekali. Oleh Ter Haar hubungan seperti dikemukakan di atas disebut "pengaruh menguncup mengembang bertimbal batik tiada hentinya". Mengenai hubungan manusia dengan tanah, maka Ter Haar sebagaimana dijelaskan oleh Herman Soesangobeng (2002:14- is), mengutarakan bahwa hubungan itu dalam adat melalui alam pikiran yang disebut het partisiperend denken, yang disifatkan sebagai alam pikiran non-distansiil, dimana hukum hubungan ..ebab akibat (causalita verbatid) senantiasa menyatu tanpa pemisahan tegas antara subjek dan objeknya. Tindakan manusia .Itas tanah tidak dilakukan secara sembarangan, tetapi dengan hati-hati secara nyata melalui dialog dengan keempat unsur lainnya yaitu permukaan bumi termasuk air, udara ataupun ruang angkasa, kekayaan alam dalam tubuh bumi dan roh-roh atau alam ..upranatural. Demikian pula hak atas tanah, hanya lahir berdasarkan hubungan pengolahan nyata atas tanah yang (Iisertai dengan upacara-upacara ritual khusus. Perilaku berupa tindakan nyata dengan ritual khusus inilah yang diterjemahkan oleh Van Vollenhoven menjadi hubungan magis-religius, atau Ter Haar menyebutnya hubungan mistis. Jadi, apa yang dinamakan hak atas tanah tidak hanya merupakan kewenangan dan kekuasaan atas tanah sebagai benda tidak berjiwa, tetapi sebagai suatu kewenangan bertindak terhadap sesama unsur alam. Tanpa 127
hubungan nyata manusia dengan tanah, maka tidak akan lahir suatu hak apapun atas tanah. Oleh karena itu„ hubungan dan tindakan pengolahan nyata atas tanah adalah dasar utama lahirnya hak atas tanah. Di daerah yang konsepsi hak ulayatnya tidaktumbuh sebagai suatu lembaga penguasaan bersama yang kuat, maka penguasa adat tidak mempunyai peranan yang menentukan dalam pengaturan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah. Di dalam praktik, kewenangan pengaturannya berada pada Swapraja atau Kepala-Kepala Desa terutama pada wilayahwilayah yang jauh dari Pusat Kerajaan. Mengenai proses lahirnya hak individu yang merupakan awal kepemilikan atas tanah menurut konsepsi hukum adat, yang mendasar antara lain meliputi unsurunsur, sebagai berikut: 1. penguasaan secara individu dan turun temurun; 2. penguasaan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; 3. pemanfaatan tanah dengan tetap memelihara keselarasan kepentingan individu dan masyarakat; 4. memperoleh pengakuan oleh tetangga berbatasan dan masyarakat Iainnya; 5. penguasa adat mempunyai kewenangan mengatur peruntukan dan penguasaan tanah; 6. ada hubungan yang bersifat"magis-religius"antara manusia dan tanah c. Konsepsi Kepemilikan Menurut Hukum Islam Dalam hukum Islam tidak diatur secara khusus HGB, tetapi dikenal adanya
128
konsepsi hak kepemilikan atas harta, dimana tanah termasuk di dalamnya. Sehubungan dengan itu, selanjutnya diutarakan berbagai pendapat mengenai konsepsi hak kepemilikan atas suatu harta benda. Abdullah Syah (1992:1-2), mengemukakan bahwa Islam telah menggariskan haluannya dalam hal harta berdasarkan prinsipprinsip sebagai berikut : 1. Harta adalah milik Allah. Allah berfirman dalam Surah AlNur ayat (33): "dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakanNya kepadamu". 2. Manusia diberi hak penguasaan terhadap harta. Firman Allah dalam Surah AlHadid ayat (7): "dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya." 3. Pemilik harta bebas dalam mengembangkan hartanya. Syarat kebebasan ini ialah tidak membahayakan masyarakat, dan masyarakat mempunyai hak tersebut. 4. Harta sebagai sarana bukan tujuan. Al Qur'an membenarkan harta dijadikan sarana apabila harta tersebut suci sumbernya dan baik penggunaannya. Harta bukan saja sebagoai milik pribadi, tetapi juga merupakan hak masyarakat. Menurut Zahri Hamid (Komar dan Hussein, 2000: 26) bahwa hak milik sempurna (al-milk al-taam) dapat diperoleh melalui salah satu dari empat sebab, yaitu: 1. Meletakkan penguasaan terhadap harta mubah, yakni segala sesuatu yang diciptakan Allah di bumi (termasuk tanah), agar dimanfaatkan oleh manusia seluruhnya yang belum dikuasai seseorang; 129
2. Berkembangnya harta milik; 3. Pewarisan; dan 4. Akad yang menyebabkan berpindahnya milik. Konsepsi hukum Islam seperti dikemukakan Wahbah Al Zuhaily yang dikutip Yuhaya S. Praja (Komar dan Hussein, 2000 : 24) mengemukakan pengertian hak milik atas tanah ialah hubungan manusia dengan tanah yang dibenarkan oleh hukum (Syara') sehingga tanah itu khusus baginya dan dapat menggunakannya untuk kepentingan apapun yang dikehendakinya. Status hak kepemilikan atas tanah masuk kategori milik sempurna (al-milk al-taam), yakni memiliki tanah dan segala manfaatnya sekaligus yang menjadi hak penuh si pemiiiknya untuk menggunakan segala hak kepemilikannya yang sah menurut syara'. Pernyataan dapat menggunakan untuk kepentingan apapun yang dikehendaki menurut definisi di atas, bukanlah berarti hak kepemilikan sempurna itu bersifat absolut, melainkan terikat pada pembatasan-pembatasan tertentu baik berdasarkan syara' maupun undang-undang suatu negara. Demikian juga halnya dengan HGB atas tanah. d. Konsepsi Kepemilikan Menurut Hukum Barat Konsepsi kepemilikan atas tanah menurut hukum barat berlandaskan pada konsepsi liberal yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu guna memenuhi kebutuhannya masing-masing. Keadaan itu menimbulkan faham Individualisme yang ajarannya memberi tekanan pada nilai utama pribadi, sehingga
130
masyarakat hanyalah merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Individualisme yang didasari konsepsi liberal seperti di Eropa Barat, memandang kepemilikan sebagai hak tertinggi. Demikian pula halnya dengan HGB atas tanah merupakan hak menguasai tanah, dimana dalam sistem Hukum Belanda hak itu diberi nama hak eigendom (eigendom recht) atau hak opstal. Menurut konsepsi Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW), hak opstal adalah suatu hak kebendaan untuk mempunyai bangunan, pekerjaan atau tanaman di atas sebidang tanah orang lain (Pasal 711 BW). Hak opstal memberi hak kepunyaan kepada yang berhak atas bangunan atau (bouvenbouw) dari tanah orang lain. Seseorang yang mempunyai hak opstal atas tanah, dapat berbuat apa saja atas tanah itu, baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusakkannya, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang atau hak orang lain. Menurut konsepsi hukum tanah barat, pada saat tanah masih cukup dan dianggap merupakan tanah tidak bertuan (res nullius), maka atas dasar hak asasi yang dikaruniakan kepadanya oleh Sang Pencipta, setiap individu dengan cara menguasai secara pisik (occupasi) sebidang tanah tak bertuan, akan menciptakan hubungan hukum antara dirinya dengan tanah tersebut, menjadi haknya atau menjadi eigendomnya (Arie Sukanti Sumantri, 2003 : 27). Sejalan dengan konsepsi itu J.C.Smith (Hilary Lim dan Kate Green, 1995 : 5) mengemukakan, bahwa: "Property is a sosial institution whereby people regulate the acquisation and use of the resources of our environment according to a sistem of role. If we 131
lived in an environment where there was an inexhatistible supply of resources which could be appropriated and used without labor, there would be absolutely no need for any society to have an institution of property". Selanjutnya dikemukakan, bahwa: “…..in order to have an institution of property, there must, at least be the following: 1. a community; 2. a quantity of limited or scarce resources; 3. a set of rules, regulating the aquisation of right to, an use of, those resurces; 4. a set of possessive pronouns such as mine, yours, his, hers, theirs, etc; 5. a set of rules protecting the property, relation by, for instance, providing sanction when it is wrongfully interfered with". HGB atas tanah adalah sebuah lembaga sosial dimana orangorang mengatur perolehan (akuisisi) dan penggunaan atas sumberdaya-sumberdaya lingkungan menurut aturan-aturan dalam suatu sistem. Kalau masyarakat tinggal di suatu lingkungan dimana terdapat persediaan yang tidak dapat habis yang dapat diperoleh dan digunakan tanpa usaha, maka tentu sepenuhnya tidak perlu setiap masyarakat memiliki sebuah lembaga HGB atas tanah. Apabila tanah melimpah dan penggunaan tanah belum memerlukan pengeluaran tenaga, maka tanah umumnya akan dianggap terbuka bagi penikmatan secara inklusif. Suatu lembaga HGB sekurang-kurangnya harus ada satu komunitas masyarakat, ketersediaan sumberdaya yang terbatas atau 132
langka, seperangkat peraturan yang mengatur perolehan hak-hak dan penggunaan sumberdaya tersebut, adanya istilah HGB dan aturan-aturan yang melindungi hubungan HGB. Dalam Rerum Novarium 1891, salah satu Ensycliek yang termashur menyatakan antara lain bahwa hak eigendom privat (natuur recht) dalam arti bukan hak manusia (een menselijk recht) yang dapat dilepaskan secara sukarela, melainkan suatu hak kodrat yang melekat pada diri manusia. Dengan demikian hak itu berdasarkan pada lex naturalis, yang sebetulnya adalah lex devina dan karena itu termasuk dalam "hierarcie der Schepping" Quadragesimo Anno (1931) mengemukakan, bahwa HGB atas tanah mempunyai sifat rangkap, yakni sifat individual dan sosial selaras dengan hubungannya pada kepentingan perorangan dan umum. Apabila sifat sosial dari HGB atas tanah itu diingkari, maka akan terjerumus pada individualisme. Sebaliknya dengan memperkecil atau melenyapkan sifat individual dari HGB atas tanah tersebut, maka akan jatuh pada jurang kolektivisme atau paling tidak mendekati sikap itu (Maria S.W. Sumardjono dkk, 2000: 53). Dari berbagai pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa HGB atas tanah didasarkan pada hukum negara sehingga negara harus melindunginya. Keselarasan antara kepentingan individu dan sosial termasuk yang menyangkut tanah dapat dicapai apabila hak-hak kepemilikan baik itu privat maupun kolektif diakui. Oleh karena itu, dengan memperbandingkan berbagai konsepsi hukum yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa persamaan 133
mengenai proses, tujuan dan sifat-sifat yang merupakan ciri dari filsafat hukum masing-masing. Beberapa persamaan yang bersifat universal kepemilikan, termasuk HGB atas tanah, antara lain yang penting adalah: a. lembaga kepemilikan dibutuhkan apabila sumberdaya tanah mulai terbatas; b. kepemilikan atas tanah drawali hubungan nyata dengan tanah; c. hubungan nyata terus-menerus (permanen) menimbulkan hak kepemilikan atas tanah termasuk di dalamnya HGB atas tanah; d. penguasaan dila kukan untuk mengambil manfaat guna memenuhi kebutuhan hidup masing-masing; e. adanya kewenangan bagi pemilik tanah untuk memanfaatkannya secara leluasa selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; f. walaupun merupakan hak yang kuat, HGB atas tanah tetap dibatasi bagi kepentingan yang lebih luas. Dalam kaitannya dengan hukum tanah, Boedi Harsono, 1999 : 179 mengutarakan hukum adat di Indonesia dijadikan dasar dan merupakan hukum aspiratif, dalam arti jika sesuatu ketentuan belum diatur dalam peraturan, maka yang berlaku hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-Undang. Selanjutnya diutarakan, bahwa hukum adat sebagai dasar bukan hanya merupakan sumber utama hukum tanah, melainkan ketentuan-ketentuannya yang masih berlaku, tidak berada di luar, melainkan merupakan bagian hukum tanah sepanjang belum mendapat pengaturan dan tidak bertentangan dengan hukum 134
nasional yang tertulis. Sementara itu Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada, dalam rangka penyusunan UUPA, telah melakukan penelitian secara ilmiah dengan mempelajari banyak pendapat para ahli dari berbagai negara, baik yang menyetujui hak kepemilikan secara privat maupun hak kepemilikan secara kolektif, mengambil suatu kesimpulan sebagai berikut: a. Selama-lamanya terdapat hubungan langsung antara manusia dengan tanah. b. Hubungan yang tertua nampaknya hubungan kolektif dengan mengandung sifatsifat privat. Namun tidak dapat dinilai mana yang primer, apakah sifat privat itu sebagai bentuk pertumbuhan dari sifat kolektif, atau restan (sisasisa) dari bentuk kolektif. c. Garis perkembangan subjek (perseorangan, kesatuan kolektif) tidak tegas. d. Sifat privat-kolektif adalah relatif, tidak murni atau tidak mutlak. e. Ada pendapat bahwa pertentangan antara pendirian privat dan kolektif bukan hal yang prinsipiil, hanya soal mempertahankan keadaan atau mempercepat pertumbuhan. f. Menurut kenyataan sekarang terdapat: (i) milik privat yang dibatasi, (ii) milik kolektif sebagai lanjutan keadaan kuno, tidak murni dan mengandung sifat-sifat privat dan (iii) milik kolektif sebagai hasil revolusi. Mengingat hal-hal di atas maka Universitas Gadjah Mada (c/q. Notonagoro) berpendirian bahwa bagi Politik Agraria Nasional, sebaiknya mendasarkan atas sifat manusia sebagai dwi tunggal, yaitu sebagai individu dan mahluk sosial. Berdasarkan 135
pendirian itu sebagai pedoman, maka dalam hukum agraria nasional ada hubungan langsung antara negara dan tanah dengan menggunakan sistem hak privat dan kolektif bersama-sama. Di camping hal itu sesuai dengan realita agraria di Indonesia, yang merupakan hasil penelitian/angket agraria UGM antara 1953 — 1959, sesuai pula dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Imam Soetiknyo.1979:14). Lebih lanjut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa: "bumi dan air dan kekayaan clam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Dalam hubungannya dengan tanah, untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar tersebut, ditetapkan hukum agraria nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur prinsip dasar berkaitan dengan hak kepemilikan tanah dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan. Undang-Undang Pokok Agraria menegaskan bahwa hukum agraria nasional ini, berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsurunsur yang bersandar pada hukum agama. Lebih lanjut prinsip dasar dimaksud dijabarkan secara tegas dalam Pasal 2 UUPA dalam bentuk Hak Menguasai dari Negara yang memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang 136
dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat di dalam negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Sebagai peraturan dasar, UUPA mengatur pokok-pokok penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang pelaksanaannya Iebih lanjut akan diatur dengan peraturan perundang-undangan. HGB atas tanah yang merupakan derivat hak menguasai dari negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. HGB atas tanah mempunyai sifat-sifat khusus, sebagai berikut: a. Dapat beralih dan dialihkan. b. Penggunaannya terbatas sesuai ketentuan peraturanperundang-undangan yang mengaturnya. c. Tidak dapat diberikan sesuatu hak atas tanah lainnya di atas tanah HGB oleh pemiliknya kepada pihak lain. Lebih lanjut ditetapkan bahwa terjadinya hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tanah lainnya dilakukan dengan penetapan pemerintah, yang cara dan syarat-syaratnya diatur dengan Peraturan Pemerintah menurut ketentuan UndangUndang. 137
KETIGA AMBIVALENSI KEBIJAKAN PERTANAHAN: SUATU PENDEKATAN EMPIRIK
A. Narasi Empirik Penguasaan dan Kepemilikan Hak Atas Tanah Penelitian mengenai perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum dalam mengkaji mengenai substansi hukum yang mengatur tentang sertifikat HGB atas tanah, kekuatan sertifikat HGB atas tanah dalam memberikan perlindungan hukum bagi pemegangnya dan pengaruh kultur hukum masyarakat. Oleh karena itu, rumusan masalah penelitian ini adalah; (a) bagaimana substansi hukum pendaftaran tanah di Indonesia dapat memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pemegang sertifikat HGB atas tanah, (b) sejauhmana kekuatan hukum sertifikat HGB atas tanah dapat memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pemegang haknya, dan (c) bagaimana kultur hukum masyarakat terhadap sertifikat HGB atas tanah. Kajian mengenai perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah meliputi berfungsinya struktur hukum dan substansi hukum dalam pendaftaran tanah yang berkaitan dengan proses penerbitan sertifikat HGB atas tanah, dimana berfungsinya sub sistem struktur hukum dan sub sistem substansi hukum tersebut sangat dipengaruhi oleh kultur hukum masyarakat setempat.
138
Hasil penelitian dan pembahasan dari ketiga permasalahan yang diteliti dalam disertasi ini diuraikan lebih lanjut, meliputi ketentuan hukum yang mengatur tentang pendaftaran tanah dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, dan kekuatan perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh sertifikat HGB atas tanah itu sendiri terhadap pemegangnya, serta pengaruh kultur hukum di masyarakat demi terwujudnya perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Penelitian dalam kajian sosiologii hukum mengkaji aspekaspek empirik dari suatu ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan suatu objek penelitian. Oleh karena mengkaji aspek empirik dari suatu ketentuan perundang-undang tidak dapat dilepaskan dari realitas sosialnya. Dalam kaitan itu, maka pada beberapa sub bab berikut akan dikemukakan aspek-aspek empirik tentang perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah di lokasi penelitian sebagai bagian yang dapat menambah kedalaman analisis terhadap beberapa temuan penelitian yang terkait dengan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pada bagian awal dari hasil penelitian dan pembahasan disertasi ini dikemukakan gambaran umum pemanfaatan dan penggunaan sertifikat HGB atas tanah dengan segala karakterisitiknya di lokasi penelitian. 1. Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah; Suatu Pendekatan Sektoral Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia sejak dari dahulu sampai
139
sekarang. Kebutuhan akan tanah bagi manusia dira,,akan semakin hari semakin meningkat, terutama pada kawasan-kawasan strategis, seperti di kota Megapolitan Provinsi DKI Jakarta. Hal ini juga merupakan konsekuensi dari derasnya ,irus pembangunan, perkembangan populasi penduduk kota Jakarta yang salah satu penyebabnya adalah tingginya angka urbanisasi di Jakarta yang mendorong adanya keharusan pengembangan perkotaan. Konsekuensi lebih lanjutadalah harga tanah setiap saat semakin meningkat demikian halnya dengan sengketa dan konflik pertanahan tidak semakin hari dirasakan semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitas permasalahannya, sehingga menuntut adanya penanganan khususnya dalam hal pemanfaatan dan penggunaan tanah. Pada sub bab berikut ini akan diuraikan aspek yang terkait dengan pemanfaatan tanah di lokasi penelitian, seperti; pemanfaatan tanah di Kotamadya Jakarta Barat, Kotamadya Jakarta Pusat dan Kotamadya Jakarta Selatan. Ketiga lokasi penelitian ini merupakan konsentrasi permukiman penduduk di Kawasan Provinsi DKI Jakarta dan terkait pula dengan usaha jasa dan industri. Tingginya pemanfaatan tanah oleh masyarakat menjadikan ketiga lokasi penelitian dimaksud memunculkan kiasifikasi penggunaannya, yaitu sebagai real estate, properti dan jasa serta industri sebagaimana tampak dalam Tabel. 1, sebagai berikut :
140
Tabel 1. Jenis Penguasaan Hak Atas Tanah oleh Masyarakat di Lokasi Penelitian Sesuai
Berdasarkan tabulasi data pada Tabel 1 di atas, tampak bahwa persentase penggunaan pemanfaatan tanah sesuai peruntukannya pada ketiga lokasi penelitian terbanyak pada kategori peruntukan tanah oleh masyarakat sebagai hak milik atas tanah yang mencapai angka persentase rata-rata di atas 46,78%, sedangkan pada kategori peruntukan tanah untuk HGB atas tanah mencapai angka persentase rata-rata di atas 43,10% dan persentase terendah terdapat pada peruntukan tanah untuk kategori hak lainnya dengan angka persentase di atas rata-rata 0,33%. Dari angka persentase rata-rata pemanfaatan tanah oleh masyarakat menunjukkan selisih angka rata-rata persentase antara pemanfaatan tanah untuk hak milik dengan HGB hanya 2,35%. Jika ditinjau dari kekuatan jaminan perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pemegang HGB atas tanah, maka secara umum setiap warga masyarakat akan memilih kecenderungan untuk memilih pemanfaatan tanah dalam bentuk hak milik. Dengan melihat selisih angka persentase rata-rata antara hak milik dengan HGB yang hanya 2,35%, maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan tanah oleh masyarakat untuk 141
HGB atas tanah pada ketiga lokasi penelitian termasuk dalam kategori angka yang cukup tinggi. Tingginya persentase pemanfaatan tanah untuk kategori peruntukan HGB atas tanah pada ketiga lokasi penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada akhir-akhir ini peruntukan tanah oleh masyarakat Iebih cenderung kepada peruntukan HGB atas tanah dibandingkan dengan peruntukan tanah untuk hak Iainnya. Dari data tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yang dapat diajukan untuk memperkaya analisis temuan penelitian yaitu, pertama, umumnya masyarakat di ketiga lokasi penelitian Iebih banyak menggunakan sarana pengurusan sertifikat HGB atas tanah pada awalnya sebagai sarana yang memudahkan untuk mendapatkan hak milik melalui sarana peningkatan sertifikat HGB atas tanah yang berhasil diperolehnya.
Kedua,
umumnya
tanah-tanah
yang
pada
mulanya
dasar
kepemilikannya adalah sertifikat HGB atas tanah setelah masa akhir kepemilikan HGB atas tanah tersebut, atau bahkan kecenderungan terakhir yang tampak adalah bahwa sebelum masa kepemilikan HGBnya berakhir pemilik sertifikat HGB atas tanah tersebut sudah melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan peningkatan HGB nya menjadi hak milik. Kedua asumsi ini merupakan realitas dalam masyarakat karena memperoleh sertifikat hak milik atas tanah membutuhkan persyaratan yang lebih ketat dibandingkan dengan mengurus sertifikat HGB atas tanah. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian, maka dapat dianalisis bahwa terdapat tanah yang bersertifikat HGB yang tidak dimanfaatkan oleh pemegang haknya yang tidak sesuai dengan fungsi peruntukan dan penggunaannya. Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut maka solusi yang ditawarkan dengan 142
memberi sanksi yang tegas kepada pemegang sertifikat HGB jika HGB yang diberikan tidak dimanfaatkan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya dengan cara mencabut atau membatalkan sertifikat HGB yang telah diberikan kepadanya. 2. Perbandingan Penguasaan Penggunaan Sertifikat HGB Sertifikat HGB atas tanah sebagai hak yang diberikan oleh pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada subjek hukum memiliki jangka waktu tertentu, meskipun dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan bidang pertanahan. Jangka waktu penguasaan HGB sangat jauh berbeda dengan hak milik. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan jangka waktu penguasaan sertifikat HGB atas tanah bervariasi, yaitu mulai dari 20 tahun (Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1960), kemudian di dalam ketentuan PP No. 4o Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah selama 30 tahun. Selain itu, penguasaan sertifikat HGB atas tanah dapat diperpanjang atau diperbarui. Penggunaan dan pemanfaatan sertifikat HGB atas tanah di iokasi penelitian bervariasi sesuai dengan karakteristik pemanfaatan dan penggunaannya. Tabel 2 berikut ini mendeskripsikan jangka waktu pemanfaatan dan penggunaan sertifikat HGB atas tanah di tiga lokasi penelitian sesuai peruntukannya sebagaimana tampak dalam label 2, sebagai berikut :
143
Tabel 2. Jangka Waktu Pengunaan Tanah dengan Sertifikat HGB Atas Tanah Di Lokasi Penelitian
(Sumber: Kantor BPN Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan, 2006).
Hasil tabulasi data pada label 2 di atas tampak bahwa persentase penggunaan pemanfaatan tanah dengan dasar kepemilikan sertifikat HGB atas tanah pada ketiga lokasi penelitian terbanyak pada penguasaan atas tanah dengan sertifikat HGB atas tanah dengan jangka waktu penguasaan 20 tahun mencapai angka persentase rata-rata di atas 79,01% dibandingkan dengan penguasaan tanah dengan sertifikat HGB cads tanah dengan jangka waktu penguasaan 30 tahun hanya rnencapai angka persentase rata-rata di atas 20,99%. 3. Sertifikat HGB Atas Tanah yang Bermasalah Salah satu alat bukti hak yang diberikan kepada setiap subjek hukum pengelola atau pemilik atas tanah adalah diterbitkannya sertifikat hak atas tanah yang dikuasai atau dimilikinya. Sertifikat HGB atas tanah sebagai salah satu bukti pengakuan hak kepada setiap subjek hukum atas tanah dimasudkan untuk menjamin kepastian akan haknya dan sekaligus memberikan perlindungan hukum terhadap 144
semua yang melekat di atasnya. Di dalam praktiknya, sertifikat HGB atas tanah tidak selamanya memberikan kepastian akan hak dan dapat melindungi pemegangnya, terutama sertifikat HGB atas tanah yang memiliki jangka waktu terbatas dan tidak dapat diperpanjang lagi. Bahkan sertifikat HGB atas tanah yang diberi perpanjangan atau pembaharuan waktu juga masih menimbulkan masalah bagi pemegangnya. Kenyataan tersebut dapat diketahui dari tabel tentang deskripsi sertifikat HGB atas tanah yang bermasalah pada ketiga lokasi penelitian, sebagai berikut : Tabel 4. Sertifikat HGB Atas Tanah Yang Bermasalah
(Sumber: Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara Kantor Pertanahan di Jakarta Pusat, Kodya Jakarta Barat dan Kodya Jakarta Selatan, 20067).
Berdasarkan hasil tabulasi data pada Tabel 4 di atas tampak bahwa persentase masalah pertanahan yang diajukan ke lembaga peradilan untuk ketiga lokasi penelitian terbanyak pada sertifikat HGB atas tanah untuk kategori lokasi penelitian di Jakarta Barat yaitu 221 gugatan (72,22%) sedangkan yang terendah adalah Jakarta Pusat sebanyak 21 gugatan (6,86%) dan untuk Jakarta Selatan sebanyak 64 gugatan 145
(20,91%). Selanjutnya jika dianalisis menurut kategori ,subjek hukum, maka sengketa tanah yang terbanyak diajukan ke pengadilan kategori perorangan sebanyak 193 gugatan (77,20 %) sedangkan untuk ketegori badan hukum sebanyak 20 gugatan (50,00%) terutama daerah Jakarta Barat sedangkan yang terendah adalah Jakarta Pusat, yaitu untuk Badan Hukum sebanyak 7 (12,5%) dan untuk perorangan sebanyak 14 (5,60%). Tingginya persentase permasalahah terhadap sertifikat HGB yang diajukan oleh pengadilan untuk wilayah Jakarta Barat disebabkan karena pada lokasi penelitian dalam bentuk sengeketa kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah. Hal ini disebabkan karena banyanya klaim terhadap kepemilikan dan penguasaan oleh warga masyarakat yang kawasan yang pemanfaatan sertifikatnya lebih banyak tidak sesuai dengan sistem dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sedangkan untuk kategori rendah gugatan ke pengadilan adalah wilayah penelitian Jakarta Pusat karena wilayah tersebut umumya pemegang sertifikat sesuai dengan sistem dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan untuk wilayah Jakarta Selatan karena wilayah penelitian tersebut memiliki sistem dan ketentuan perundang-undangan yang belum diikuti sepenuhnya oleh warga masyarakat. B. Substansi Hukum Sertifikat HGB Atas Tanah Landasan hukum penetapan sertifikat hak atas tanah memiliki kedudukan yang berbeda sebelum dan sesudah memperoleh sertifikat dari pemerintah. Kedudukan sertifikat hak atas tanah jelas diatur di dalam Pasal 32 ayat (2) PP No.24
146
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur bahwa dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut. Makna rumusan Pasal 32 ayat (2) PP No.24 Tahun 1997 di atas menegaskan suatu kepastian hukum akan hak atas tanah yang dimiliki/dikuasai berdasarkan sertifikat hak atas tanah yang telah berumur 5 (lima) tahun ke atas tidak dapat diganggu gugat lagi dan mempunyai kekuatan yang bersifat baku. Pertimbangan utama dari Pasal 32 ayat (2) di atas dapat dilihat dalam penjelasan umum PP No.24 Tahun 1997, dimana disebutkan bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif. Artinya, kepastian hukum yang mengatur tentang penguasaan hak atas tanah tidak mutlak tetapi sistem positif bertendensi negatif atau sebaliknya sistem negatif bertendensi positif. Setelah peneliti menganalisis substansi ketentuan tentang pendaftaran tanah dan sistem pendaftaran tanah yang dianut, maka peneliti berpendapat bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang 147
diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan jaminan adanya perlindungan hukum di bidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif. Kebenaran data yang disajikan dijamin oleh negara dan dengan demikian negara menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif, negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan, akantetapi tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal ini tampak dalam pernyataan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat; dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA yang dinyatakan juga bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Ketentuan-ketentuan
mengenai
prosedur
pengumpulan,
pengolahan,
penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam PP No.24 Tahun 1997 menunjukkan bahwa sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena pendaftaran tanah dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat, maka pemberlakuan jangka waktu 5 (lima) tahun sertifikat hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi dan ini merupakan jalan keluar (way out) dari usaha-usaha yang dilakukan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Dalam penjelasan umum dari PP No.24 Tahun 1997 juga diketahui dengan jelas bahwa ada dua sisi utama dari tujuan yang terkandung dalam Pasal 32 ayat (2) di atas, yaitu di satu sisi bertujuan untuk tetap mempertahankan dan berpegang pada sistem publikasi negatif dan di sisi lain untuk secara seimbang memberikan 148
perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftarkan sebagai pemegang hak dalam buku dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan ketentuan perundang-undangan yang mengatur jangka waktu pemilikan sertifikat HGB atas tanah yang ditanggapi responden pemegang sertifikat HGB atas tanah tampak dalam beberapa sub bab berikut. 1. Jangka Waktu Sertifikat HGB Atas Tanah Pemegang sertifikat HGB atas tanah mempunyai hak penguasaan atas tanah dengan alas hak sertifikat HGB atas tanah menurut jangka waktu yang telah ditentukan sesuai dengan pemberian hak oleh pemerintah. Penggunaan hak sesuai degan keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam yurisdiksi Badan Pertanahan Nasional dalam prakteknya, terdapat beberapa pemegang sertifikat HGB atas tanah yang belum selesai masa jangka waktu yang diberikan sudah dibatalkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Fenomena akan hal ini di lokasi penelitian sangat jauh dari harapan masyarakat dan ketentuan perundang-undangan. Untuk mengetahui tanggapan responden tentang jaminan jangka waktu sertifikat HGB atas tanah tampak dalam Tabel 4, sebagai berikut: Kategori yang digunakan untuk menjamin oleh karena substansi hukum yang mengatur tentang jangka waktu pengusaan tersebut menetapkan jangka waktu demikian.
149
Kurang menjamin oleh karena tidak ada kepastian yang diberikan perpanjang atau diperbaharui jika waktunya berakhir, sekalipun hal tersebut dalam substansi hukum tentang jangka waktu perpanjangan HGB. keterbatasan jangka waktu dinilai kurang menjamin karena waktu keterbatasan jangka waktu penguasaan pemberian sekalipun aturan bahwa sertifikat dapat diperpanjang atau diperbaharui untuk jangka waktu 20 tahun. Tidak menjamin oleh karena substansi hukum yang mengatur sertifikat HGB menegaskan bahwa sertifikat HGB yang telah diberikan setiap saat dapat ditinjau kembali untuk dibatalkan. Tabel 5. Tanggapan Responden Terhadap Jaminan Jangka Waktu Sertifikat HGB Atas Tanah
(Sumber: Data Primer diolah, 2007) Berdasarkan tabulasi data pada Tabel 5 di atas tentang tanggapan responden terhadap jangka waktu penguasaan sertifikat HGB atas tanah umumnya responden dengan kategori jawaban setuju sebanyak 19 orang atau 15,45%, sedangkan untuk kategori jawaban responden yang menjawab kurang setuju persentase 38 (30,89%)
150
dan untuk kategori jawaban responden yang menjawab tidak setuju mencapai persentase angka sebanyak 62 (50,41%). Namun jika jawaban responden di atas dianalisis menurut kategori responden, maka tanggapan tertinggi yang menyatakan setuju tentang kurangnya jangka waktu yang diberikan oleh pemerintah kepada pemegang sertifikat HGB adalah kategori badan hukum (25 orang) dan masyarakat (29 orang). Badan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah Badan hukum, seperti, pengembang real estate, pengembang properti, dan jasa serta jenis usaha lainnya. Alasannya, menurut pendapat peneliti bahwa para penanam modal /investor menginginkan jangka waktu lebih panjang masa berlakunya oleh karena iklim usaha maupun dana yang diinfestasikan bisa lebih prosfektif dan memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum. 2. Diskriminasi Aturan dalam Peningkatan Sertifikat HGB Atas Tanah Pengaturan tentang mekanisme dan proses pengajuan perpanjangan dan peningkatan hak atas tanah dengan alas hak sertifikat HGB atas tanah telah diatur di dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 1997 tentang Perubahan hak milik menjadi HGB atau menjadi hak pakai, dan Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian hak miliki. Masalahnya kemudian, oleh karena di dalam substansi aturan tentang peningkatan sertifikat HGB perorangan atas tanah menjadi hak milik sangat kental dengan nuansa ketidakpastian dan diskriminatif. Sebagai contoh bentuk perlakuan
151
yang tidak sama (diskriminasi) terhadap pihak pemegang sertifikat HGB perorangan yang hendak memperpanjang atau memperbaharui atau meningkatkan hak kepemilikannya tersebut diatur dengan jelas dalam pengaturan untuk sertifikat HGB perorangan atas tanah dengan luas 0 m2 — 200 M2 dan 201 m2 - 600 m2, maka proses perpanjangan haknya cukup dengan distempel (cap), sedangkan untuk perpanjangan bagi sertifikat HGB perorangan atas tanah dengan luas di atas 601 m2 dan seterusnya. Proses perpanjangannya harus dengan surat keputusan penetapan hak. Adaya penetapan setipikat HGB hanya dicap dilakukan oleh aparat pelaksana berdasarkan
Kep.Menag/KBPN/No.6/1998
Tentang
Pemberian
Hak
Mililk
AtasTanah untuk Rumah Tinggal. Pemberian kemudahan peningkatan sertifikat HGB menjadi Hak milik didasarkan pada prinsip bahwa rumah tempattinggal merupakan kebutuhan primer umat manusia setelah kebutuhan lainnya (pangan). Oleh karena itu, setiap orang yang memperoleh hak milik perlu dijamin haknya atas tanah atau rumah tempattinggal dengan meningkatkan status kepemilikannya menjadi hak milik. Kategori yang digunakan untuk menilai adanya diskriminatif oleh karena dalam substansi hukum yang mengatur tentang peningkatan/perubahan sertifikat HGB ditetapkan bahwa untuk tanah yang luasan tertentu mendapat perlakuan yang berbeda dalam hal proses dan pembiayaan. Kategori Kurang diskriminatif jika dalam substansi hukum yang mengatur tentang proses dan peningkatan HGB para responden menggunakan atau tidak menggunakan ketentuan hukum yang mengatur tentang proses dan pembiyaan yang telah diatur daiam ketentuan perundang-perundang. 152
Kategori Tidak diskriminatif jika dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang proses dan pembiyaan peningkatan HGB menjadi Hak milik tidak membedabedakan berdasarkan luas dan jangka waktu penguasaan HGB. Adapun tanggapan responden terhadap adanya nuansa diskriminasi dalam substansi aturan yang mengatur tentang mekanisme dan proses perpanjangan dan peningkatan hak penguasaan atas tanah dengan dasar sertifikat HGB atas tanah dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut. Tabel 5 Tanggapan Responden Terhadap Diskriminasi Aturan yang Mengatur Perpanjangan/Pembaharuan dan Peningkatan HGB Atas Tanah
(Sumber: Data Primer diolah, 2007)
Berdasarkan tabulasi data.yang tampak pada Tabel 5 di atas tentang tanggapan responden terhadap adanya diskriminasi substansi aturan yang mengatur tentang mekanisme dan proses peningkatan HGB atas tanah menjadi hak milik rumah tinggal, umumnya kategori jawaban responden tertinggi adalah setuju dengan sebanyak 83 orang (67,48%). Tingginya persentase tersebut disebabkan karena aturan tidak memberikan perlakuan yang sama terhadap subjek hukum untuk mendapatkan
153
pelayanan proses peningkatan HGB menjadi Hak Mililk Atas Tanah untuk Rumah Tinggal. Adapun kategori kurang setuju (00, 00%) karena responden tidak memberikan jawab. Adapun untuk kategori tidak setuju (32, 08%) dengan alasan karena proses yang dilaksanakan oleh aparat BPN sudah sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang Pemberian Hak Mililk Atas Tanah untuk Rumah Tinggal. Jika dianalisis menurut kategori responden, maka tanggapan tertinggi tentang adanya diskriminasi dalam substansi aturan yang mengatur tentang mekanisme dan proses peningkatan HGB atas tanah menjadi hak milik untuk rumah tinggal adalah responden dengan kategori perorangan ( 43 orang) dan badan hukum (37 orang). Tanggapan responden tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa subjek hukum tidak ada perlakuan yang tidak sama dalam hukum, termasuk dalam hal proses peningkatan, perpanjangan atau pembaruan sertifikat HGB menjadi hak milik. Hal ini bertentangan dengan prinsip equal justice under law. Selain itu, juga dikemukakan bahwa ketidaksetujuan responden adanya diskriminasi aturan dalam hal peningkatan sertifikat HGB atas tanah menjadi hak milik rumah tempat tinggal, khususnya bagi tanah yang luasnya 1 m2 - 200 m2 yang proses perpanjangan haknya cukup dengan stempel (cap). Proses peningkatan hal tersebut dianggap oleh responden (masyarakat dan badan hukum) tidak memberikan persamaan jaminan perlindungan hukum terhadap sertifikat HGB yang ditingkatkan menjadi Hak Milik. Sedangkan kelompok responden yang setuju adalah aparat BPN dengan argumentasi bahwa BPN sebagai institusi publik senantiasa konsisten dengan sistem ketentuan perundangundangan yang mengikat BPN. 154
C. Kekuatan Hukum Sertifikat HGB Atas Tanah Guna Mendukung Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak 1. Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah HGB Atas Tanah HGB atas tanah dapat dikatakan sebagai suatu hak yang diberikan oleh pemerintah melalui instansi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada warga masyarakat baik dia perorangan maupun badan hukum untuk menguasai dan memanfaatkan sejumlah luas tanah tertentu dengan alas hak sertifikat HGB. Dititik dari namanya, yakni HGB atas tanah, maka dapat diketahui maksud dan tujuan dari pemberian hak tersebut kepada sipemegang hak, yakni seseorang diberikan HGB atas tanah oleh Negara dengan maksud dan tujuan agar tanah Negara tersebut dimanfaatkan atau digunakan dengan cara mendirikan bangunan atau bendabenda lainnya di atas luas tanah HGB yang tercantum dalam sertifikat HGB yang diberikan. Dengan pemahaman yang demikian, maka hakikat sesungguhnya dari pemberian HGB atas tanah ekapda warga masyarakat baik itu dalam bentuk perorangan maupun badan hukum adalah agar tanah-tanah Negara yang ada yang belum dimanfaatkan/ digunakan oleh Negara dapat dimanfaatkan/ digunakan oleh warga masyarakat dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Selanjutnya dalam penelitian ini ukuran yang digunakan untuk sub variabel ini adalah menjamin, kurang menjamin dan tidak menjamin. Pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB dinilai menjamin apabila tanah yang ada padanya dilekatkan HGB di atasnya dimanfaatkan dan digunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan
155
maksud dan pemberian sertifikat HGB atas tanah yang dimilikinya. Pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB dinilai tidak menjamin perlidungan hukum apabila di dalam realitasnya pemegang sertifikat HGB atas tanah tersebuttidak memanfaatkan dan tidak menggunakan tanah tersebut sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dicantumkan di dalam sertifikat HGB atas tanah yang telah diberikan kepada pemegangnya. Kategori yang digunakan untuk menilai sertifikat HGB mendukung kepastian hukum guna mendukung perlindungan hukum
apabila pemanfaatan dan
penggunaan sertifikat HGB oleh pemegang haknya mendapatkan kepastian akan manfaat dari setiap bidang tanah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemegang sertifikat HGB. Kategori Kurang mendukung jika apabila para pemegang sertifikat HGB belum sepenuhnya memanfaatkan setiap letak bidang tanah sertifikat disebabkan karena jangka waktu yang diberikan untuk kegiatan pengelolaan HGB belum dapat maksimal sehingga tidak memberikan kepastian hukum dalam pemanfaatannya. Kategori tidak mendukung apabila para pemegang sertifikat HGB apabila pemanfaatan dan penggunaan sertifikat HGB oleh pemegang haknya tidak dapat memanfaatkan atau menggunakan bidang tanah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemegang sertifikat HGB. Jawaban responden mengenai variabel pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB berkenaan dengan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB, dapat dilihat pada data yang tampak pada Tabel 6, sebagai berikut: 156
Tabel 6 : Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah HGB
(Sumber: Data primer diolah, 2007) Berdasarkan data pada Tabel 6 di atas, tampak bahwa persentase tetinggi jawaban responden kelopok responden aparat penegak hukum sebanyak 14 orang (77,78) darilo orang responden. Tingginya persentase aparat pelaksana menyatakan bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB sudah dapat mendukung perlindungan hukum bagi pemegangnya karena dalam kenyataannya pars pemegang HGB setelah mendapatkan sertifikat sesuai jangka waktunya telah dimanfaatkan oleh pemeganggnya dalam bentuk pembukaan rumah tinggal, jasa dan rumah susun sehingga dinilai bahwa pemegang sertifikat HGB telah memperoleh manfaat dari sertifikat HGB sesuai yang diharapkan. Jawaban respoden tersebut sesuai pula dengan wawancara dengan Kapala Sub Seksi Bidang Pemanfaatan tanah menyatakan bahwa "dalam kenyataannya banyak pemiliki sertifikat HGB menyatakan sudah memanfaatkan bidang tanah yang diatasnya dibebani HGB yang selama dikelola telah menerima manfaatnya". 157
Antara 123 orang responden, terdapat 86 orang (69,92%) responden yang menilai bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB sesuai peruntukan sertifikat HGB atas tanah, dan terdapat 28 orang (22,76%) responden yang menilai bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB kurang sesuai peruntukan sertifikat HGB atas tanah, serta terdapat 65 orang (52,84%) yang menilai bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB tidak sesuai peruntukan sertifikat HGB atas tanah. Berdasarkan persentase antas jawaban responden yang ada dalam tabel 6 di atas, maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya responden menilai bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB sudah sesuai dengan peruntukan sertifikat HGB yang telah diberikan. Pandangan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta sebagai lokasi penelitian dalam menilai bahwa variabel pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB dalam kaitannya peruntukan sertifikat HGB atas tanah menyatakan, bahwa pada dasarnya pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB oleh pemegang sertifikat HGB atas tanah tersebut merupakan suatu dasar pengakuan bahwa yang bersangkutan benar memiliki hak dan kewajiban di atas tanah tersebut (wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kodya Jakarta Pusat /para /Kasi/ Kasubsi (tanggal, 27, 29 4, Juli 2007), Oleh karena itu, pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan maksud dan tujuan peruntukan atas tanah tersebut sebagaimana tertuang di dalam sertifikat HGB yang diberikan kepada pemegangnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB hanya boleh dilakukan oleh pihak yang 158
namanya tercantum di dalam sertifikat HGB atas tanah tersebut sebagai pemegang hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya. Hal tersebut berarti bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB dapat member' jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Namun dalam realitasnya hak untuk memanfaatkan dan menggunakan tanah HGB yang sudah terdaftar dalam bentuk sertifikat HGB atas tanah masih dapat digugat oleh pihak lain sepanjang penggugat tersebut dapat membuktikan sebaliknya. Selanjutnya, pandangan responden Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah dan Kepala Seksi Survey, Pengukuran, dan Pemetaan pada tiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta sebagai lokasi penelitian dalam menilai variabel pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB, menyatakan bahwa "pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB sesungguhnya dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, oleh karena pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB adalah merupakan esensi paling utama diberikannya sertifikat HGB atas tanah kepada subjek hukum pemohon, sehingga ketika tanah HGB yang telah diberikan kepada pemegang sertifikat HGB atas tanah tersebut tidak dimanfaatkan dan dipergunakan untuk mendirikan bangunan atau benda-benda lainnya di atas tanah tersebut, maka hakikat dari pemberian sertifikat HGB atas tanah tersebut setiap saat dapat ditinjau kembali untuk dihapuskan haknya. Jadi dapat dikatakan bahwa seorang subjek hukum pemegang sertifikat HGB atas tanah dengan tidak memanfaatkan dan menggunakan tanah HGB tersebut, maka sesungguhnya 159
tindakan tersebut secara langsung telah melemahkan kekuatan jaminan perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh sertifikat HGB atas tanah kepadanya karena salah satu alasan untuk meninjau/menghapus sertifikat HGB atas tanah yang telah diberikan kepada seseorang atau badan hukum adalah karena tanah tersebut tidak dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa salah satu faktor yang mendukung kekuatan jaminan perlindungan hukum sertifikat HGB atas tanah kepada pemegangnya adalaP faktor pemanfaatan dan pent; gunaan tanah HGB tersebut. Meskipun dalam realitasnya ketika pemegang sertifikat HGB atas tanah telah memanfaatkan dan menggunakan tanah HGB yang dikuasainya jaminan perlindungan hukum dari sebuah sertifikat HGB tersebut sifatnya tetap saja tidak mutlak bagi pemegangnya. Selanjutnya pandangan responden Kepala Kantor Badan Pertanahan/ Sub Seksi Penetapan Hak, Kepala Sub Seksi Pendaftaran Hak, dan Kepala Sub Seksi Pengukuran dan Pemetaan pada tiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta yang menjadi lokasi penelitian dalam menilai variabel pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB dalam kaitannya dengan kekuatan jaminan perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh sertifikat HGB atas tanah bagi pemegangnya, menyatakan "bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB dapat memperkuatjaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah bagi pemegangnya (wawancara Kepada Kantor Pertanahan Jakarta Barat/Kasi/Kasubseksi Tanggal 6,9 dan 12 Juli 2007). Meskipun dalam realitasnya ketika pemegang sertifikat HGB atas tanah tersebut telah 160
memanfaatkan dan menggunakan tanah HGB yang dikuasainya tetap saja sertifikat HGB atas tanah yang dipegangnya masih dapat digugat oleh pihak lain, sepanjang pihak yang dimaksud dapat membuktikan sebaliknya/gugatannya, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa faktor pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB tidak serta merta menjadikan kekuatan dari sertifikat HGB atas tanah dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya secara mutlak. Oleh karena tetap terbuka peluang bagi adanya pihak lain untuk mengajukan gugatan dan membuktikan ketidakbenaran dari sertifikat HGB atas tanah tersebut. Pandangan peneliti terhadap jawaban responden kategori aparat BPN tersebut di atas sebagai konsekuensi dianutnya sistem negatif yang bertendensi positif, dimana menurut sistem ini hahwa kekuatan jaminan perlindungan sertifikat HGB bagi pemegangnya tidak bersifat mutlak, dalam arti bahwa sepanjang pihak lain tidak dapat membuktikan sebaliknya. Selanjutnya hasil penelitian tentang pandangan responden Badan Hukum dan Masyarakat dalam wilayah tiga Kantor Badan Pertanahan Nasional Kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta yang menjadi lokasi penelitian dalam menilai kaitan variabel pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB dengan kekuatan jaminan perlindungan hukum sertifikat HGB atas tanah bagi pemegangnya, menyatakan bahwa, pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB tidaklah serta merta menjadikan sebuah sertifikat HGB atas tanah dapat memberikan jaminan perlindungan hukum yang bersifat penuh dan mutlak, oleh karena dalam kenyataannya, meskipun subjek hukum pemegang sertifikat HGB atas tanah tersebut telah memanfaatkan dan menggunakan tanahnya sesuai dengan maksud dan tujuan 161
diberikannya sertifikat HGB atas tanah tersebut kepadanya sertifikat HGB atas tanah yang dipegangnya tersebut tetap saja masih dapat dibatalkan bilamana dikemudian hari ada pihak lain yang mengajukan gugatan atau keberatan dan pihak tersebut dapat membuktikan gugatan atau keberatannya tersebut. Berdasarkan data yang ada dalam Tabel 8 di atas, jika dikaitkan dengan hasil wawancara sebagaimana telah dikemukakan juga di atas, maka dapat dikatakan bahwa ternyata pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB oleh pemegang sertifikat HGB atas tanah belum dapat menjadikan sertifikat HGB atas tanah tersebut Berta merta dapat memberikan jaminan perlindungan hukum yang penuh/mutlak bagi pemegangnya. Hal tersebut didasarkan pada keterangan baik yang dikemukakan oleh badan hukum, maupun oleh warga masyarakat pemegang sertifikat HGB, menilai bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah HGB atas tanah tidak menjadikan sertifikat HGB atas tanah dapat menjadi jaminan perlindungan hukum yang kuat atau bersifat mutlak bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka peneliti berpendapat bahwa untuk lebih memberikan jaminan perlindungan hukum yang lebih kuat lagi bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, maka Batas waktu keharusan bagi pemegang sertifikat HGB untuk memanfaatkan sertifikat HGB atas tanah yang telah diberikan kepadanya harus diatur dengan jelas dan tegas dalam sertifikat HGB atas tanah.
162
2. Surat Ukur Sertifikat HGB Atas Tanah Indikator yang digunakan pada sub variabel ini adalah menjamin dan tidak menjamin. Suatu surat ukur HGB atas tanah dinilai menjamin apabila hasil pengukuran sesuai dengan letak tanah, sedangkan surat ukur HGB atas tanah dianggap kurang menjamin apabila isi surat ukur HGB atas tanah kadang kala tidak sesuai dengan letak tanah. Sebaliknya, surat ukur HGB atas tanah dinilai tidak menjamin apabila hasil pengukuran tidak sesuai dengan letak tanah. Jawaban responden mengenai ketentuan hukum yang mengatur surat ukur HGB atas tanah berkaitan dengan perlindungan hak atas tanah, dapat dilihat pada label 7, sebagai berikut: Tabel 7. Surat Ukur
(Sumber: Data Primer diolah, 2007) Berdasarkan data pada Tabel 7 di atas, tampak bahwa di antara 123 orang responden, terdapat 30 orang (24,39%) responden yang menilai bahwa ketentuan yang mengatur tentang instrumen surat ukur HGB atas tanah dapat memberi jaminan
163
perlindungan hukum kepada pemegang sertifikat HGB atas tanah, sementara terdapat 48 orang (39,02%) yang menilai kurang menjamin, dan terdapat 45 orang (36,59%) yang menilai surat ukur sertifikat HGB atas tanah tidak memberi jaminan perlindungan hukum. Hal ini mengandung arti, bahwa pada umumnya responden menilai bahwa kebenaran data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk pets dan uraian yang tertera dalam suatu surat ukur HGB atas tanah belum dapat dijamin kebenarannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa, validitas data dalam suatu surat ukur HGB atas tanah hanya dijamin hingga dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain. Jawaban responden seperti terurai pada tabel 7 di atas, sesuai pula dengan keterangan nara sumber yang nnewakili masing-masing kelompok responden yang diperoleh melalui wawancara sebagai berikut. Pandangan Kepala Kanter Pertanahan Kotamadya pada tiga lokasi penelitian dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta dalam menilai eksistensi instrumen surat ukur HGB atas tanah, menyatakan bahwa " pada dasarnya instrumen surat ukur sertifikat HGB atas tanah merupakan data fisik sebidang tanah yang dapat dijadikan salah satu dasar penerbitan setifikat HGB atas tanah. Kekuatan hukum data fisik dan uraian yang tertera dalam surat ukur HGB atas tanah bersifat relatif, artinya kebenarannya terbatas hingga pihak lain dapat membuktikan sebaliknya (wawancara Kabab Tata Usaha/Kasi/Kasubseksi, Tanggal, 23,25,27, Juli 2007). Dalam realitasnya, masih sering dijumpai adanya gugatan terhadap sertifikat HGB atas tanah yang telah diterbitkan oleh institusi pertanahan dengan dalih bahwa salah satu dasar yang menjadi persyaratan penerbitan sertifikat 164
HGB atas tanah tersebut cacat hukum. Jika penggugat dalam hal ini dapat membuktikan bahwa dasar yang menjadi syarat penerbitan sertifikat HGB atas tanah tersebut cacat hukum, maka sertifikat HGB atas tanah tersebut dapat dibatalkan oleh institusi pertanahan atau melalui suatu putusan pengadilan yang diikuti dengan permohonan pembatalan oleh pihak yang berhak sesuai putusan pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran isi surat ukur HGB atas tanah yang dijadikan salah satu dasar penerbitan sertifikat HGB atas tanah belum dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Pandangan responden Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah dan Kepala Seksi Survey, Pengukuran, dan Pemetaan pada tiga Kantor Pertanahan Kotamadya yang menjadi lokasi penelitian dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta dalam menilai instrumen surat ukur sertifikat HGB atas tanah, menyatakan " bahwa validitas muatan surat ukur sertifikat HGB atas tanah pada dasarnya dapat dijamin kebenarannya, oleh karena penerbitan surat ukur sertifikat HGB atas tanah tersebut didasarkan pada fakta yang diperoleh melalui proses di lapangan yang dilakukan dengan sangat teliti dan disaksikan serta disetujui oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan tanah yang diukur tersebut (wawancara dengan-Kepala Kantor Pertanahan Kodya Jakarta Pusat/para /Kasi/ Kasubsi (tanggal, 27, 29 4, Juli 2007). Namun dalam realitasnya, kebenaran muatan surat ukursertifikat HGB atas tanah ini tidaklah bersifat mutlak, oleh karena masih dimungkinkan munculnya keberatan atas kebenaran isi surat ukur HGB atas tanah tersebut. Pandangan Kepala Sub Seksi Pengukuran dan Pemetaan, Kepala Sub Seksi 165
Pendaftaran Hak, dan Kepala Sub Seksi Penetapan Hak pada tiga lokasi penelitian dalam menilai instrumen surat ukur tanah, menyatakan bahwa kegiatan pengukuran yang merupakan salah satu tahap kegiatan sebelum surat ukur HGB atas sebidang tanah diterbitkan telah dilakukan dengan sangat teliti oleh juru ukur, meskipun tetap diakui bahwa dengan segala keterbatasan petugas juru ukur masih sering pula terjadi klaim bahwa prosedur pengukuran yang telah dilakukan cacat hukum, atau letak objek yang telah diukur tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya (Kepada Kantor Pertanahan Jakarta Barat/Kasi/Kasubseksi Tanggal 6,9 dan 12 Juli 2007). Konsekuensi logis dari keterbatasan aparat juru ukur tersebut, maka kebenaran muatan surat ukur HGB atas tanah tersebut hanya dapat dijamin sepanjang tidak ada pihak yang dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini berarti bahwa kebenaran surat ukur HGB atas tanah belum dapat menjamin secara mutlak adanya perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Selanjutnya pandangan responden Badan Hukum pada tiga lokasi penelitian dalam menilai instrumen surat ukur HGB atas tanah, menyatakan bahwa surat ukur sertifikat HGB atas tanah pada dasarnya tidak dapat dijadikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, oleh karena petugas ukur terkadang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Misalnya kurang cermat dan kurang teliti dalam melakukan pengukuran. Pada umumnya pengukuran dilakukan hanya berdasarkan permohonan pemohon dan aparat juru ukur seolah-olah tidak mau tahu dan tidak mau repot sehingga tidak mau mempelajari dan menelusuri lebih cermat, Iebih teliti tentang asal usul dan batas-batas objek tanah yang dinyatakan oleh 166
pemohon dalam permohonannya. Akibatnya adalah tidak jarang persil tanah yang diukur tidak tepat (error in objector), bahkan sering pula terjadi luas tanah tidak sesuai dengan yang seharusnya. Konsekuensinya adalah, kekeliruan pada saat pengukuran yang menjadi dasar lahirnya surat ukur sertifikat HGB atas tanah berujung pada pembatalan sertifikat HGB atas tanah yang telah dikeluarkan oleh kantor pertanahan, sehingga pemilik tanah dalam kondisi yang demikian pada umumnya tidak mampu mempertahankan haknya sekalipun telah memiliki sertifikat HGB atas suatu tanah. Pandangan warga masyarakat pada tiga lokasi penelitian dalam menilai instrumen surat ukur sertifikat HGB atas tanah, menyatakan bahwa dalam kenyataannya, surat ukur sertifikat HGB atas tanah tidak dapat menjamin perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, sebab petugas ukur kurang teliti dalam melakukan tugasnya. Umumnya pengukuran dilakukan hanya berdasarkan permohonan pemohon tanpa menanyakan Iebih jauh lagi batas-batas objek tanah yang dimohonkan untuk diukur. Akibatnya kadang terjadi persil tanah yang diukur tidak benar, demikian halnya dengan masalah luas tanah, terkadang berbeda dengan luas yang sebenarnya. Kejadian semacam ini masih sering terjadi dalam kasus-kasus sengketa tanah di Provinsi DKI Jakarta saat ini. Sehingga kekeliruan yang dilakukan oleh aparat juru ukur dari badan pertanahan pada saat melaksanakan pengukuran dijadikan dasar dalam pembatalan sertifikat HGB atas tanah yang telah dikeluarkan oleh kantor pertanahan. Konsekuensinya kemudian harus ditanggung oleh masyarakat pemilik tanah yang pada umumnya di dalam 167
persidangan tidak mampu mempertahankan haknya meskipun telah memiliki sertifikat HGB atas suatu tanah. Berdasarkan realitas yang demikian, maka dapat dikatakan bahwa kebenaran surat ukur HGB atas tanah tidak dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Berdasarkan data yang ada dalam Tabel 7 di atas jika dikaitkan dengan hasil wawancara sebagaimana juga telah dikemukakan di atas dapat dinilai bahwa ternyata kebenaran data fisik tanah dalam suatu surat ukur sertifikat HGB atas tanah bersifat relatif bergantung pada kebenaran prosedur pengukuran. Artinya, surat ukur sertifikat HGB atas tanah tidak memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Hal ini tampak dari keterangan baik dari aparat pertanahan, maupun badan hukum dan warga masyarakat, yang mengakui bahwa data fisik yang tertera dalam suatu surat ukur HGB atas tanah belum menjamin secara mutlak perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Hal ini menurut peneliti sebagai konsekuensi dari dianutnya sistem pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu sistem negatif betendensi positif dimana di dalam pelaksanaan pengukuran mengacu kepada aturan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3. Surat Keputusan Penetapan Hak Tanah Surat keputusan penetapan hak atas tanah (SK penetapan hak tanah) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang memuat status penetapan hak atas
168
Lindh, yang dalam disertasi ini dimaksudkan sebagai penetapan HGB atas tanah. Untuk sub variabel ini ukurannya adalah menjamin, kurang menjamin, dan tidak menjamin. Dikatakan menjamin apabila muatan suatu surat keputusan penetapan HGB atas tanah sesuai dengan data fisik tanah. Dikatakan kurang menjamin apabila suatu surat penetapan HGB atas tanah kadangkala tidak sesuai dengan data fisik tanah. Dinilai tidak menjamin apabila suatu surat keputusan penetapan HGB atas tanah tidak sesuai dengan data fisik tanah. Jawaban responden mengenai eksistensi instrumen surat keputusan penetapan hak tanah berkenaan dengan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah dapat dilihat datanya pada Tabel 8, sebagai berikut : Tabel 8 : Surat Keputusan Penetapan Hak Tanah
(Sumber: Data Primer diolah, 2007) Berdasarkan data yang ada dalam Tabel 8 di atas, tampak bahwa di antara 123 orang responden, terdapat 28 orang (22,76%) responden yang menilai bahwa instrumen surat keputusan penetapan hak atas tanah dalam rangka penerbitan
169
sertifikat HGB atas tanah jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, sementara terdapat 41 orang (33,33%) yang menilai kurang menjamin, dan terdapat 54 orang (43,90%) yang menilai tidak memberi jaminan perlindungan bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Persentase angka yang tergambar dalam tabel lo di atas mengandung arti bahwa pada umumnya responden menilai bahwa surat keputusan penetapan hak atas tanah dalam rangka penerbitan sertifikat HGB atas tanah belum memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Jawaban responden seperti terurai pada tabel 10 di atas, sesuai Pula dengan keterangan nara sumber masing-masing kelompok responden yang diperoleh meialui wawancara (tanggal, 27, 29 Juni dan tanggal 4, 6, 9, 12 Juli 2007), sebagai berikut. Pandangan Kepala Kantor Pertanahan baik itu Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Pusat, Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, dan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan dalam meniiai eksistensi instrumen surat keputusan penetapan hak atas tanah, ketiganya memiliki pandangan yang sama yang menyatakan bahwa "Pada dasarnya instrumen surat keputusan penetapan hak atas tanah diterbitkan untuk memperjelas status pemberian hak kepada pemohon dengan dasar pertimbangan antara lain data fisik tanah dan uraiannya sebagaimana yang termuat dalam surat ukur tanah tersebut" (wawancara Kepada Kantor Pertanahan Jakarta Barat/ Kasi/Kasubseksi Tanggal 6,9 dan 12 Juli 2007). Oleh karena itu, surat keputusan penetapan hak atas tanah yang dikeluarkan oleh badan pertanahan memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang 170
sertifikat HGB atas tanah yang namanya tercantum dalam surat keputusan tersebut. Namun kekuatan hukum mengikatnya surat keputusan tersebut masih bersifat relatif atau tidak mutlak, oleh karena masih dimungkinkan adanya keberatan dari pihak lain yang memiliki bukti yang sama atau bahkan mungkin telah memiliki sertifikat lebih dahulu. Jika kemudian ternyata pihak ketigeyang mengajukan keberatan atas terbitnya surat keputusan tersebut dapat membuktikan keberatannya, maka surat keputusan yang baru (belakangan terbit) dapat dibatalkan. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan hukum surat keputusan penetapan hak atas tanah yang diterbitkan oleh badan pertanahan pada hakikatnya dapat dikatakan belum dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemohon sertifikat HGB atas tanah. Pandangan responden Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah dan Kepala Seksi Survey, Pengukuran, dan Pemetaan pada tiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta dalam menilai instrumen surat keputusan penetapan hak atas tanah, ketiganya mengemukakan pandangan yang sama dengan menyatakan "bahwa kekuatan hukum surat keputusan penetapan hak atas tanah pada dasarnya dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, sebab penerbitan surat keputusan penetapan hak atas tanah tersebut didasarkan pada fakta akurat yang diperoleh di lapangan oleh satuan tugas pengukuran, satuan tugas pengumpul data yuridis, dan satuan tugas administrasi (wawancara Kepada Kantor Pertanahan Jakarta Barat/Kasi/Kasubseksi Tanggal 6,9 dan 12 Juli 2007). Oleh sebab itu, kekuatan hukum surat keputusan tersebut dapat dikatakan memberi jaminan 171
perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Meskipun demikian, dikatakan juga, bahwa tidak berarti bahwa kekuatan hukum surat keputusan penetapan hak atas tanah tersebut bersifat mutlak, oleh karena masih dimungkinkan adanya keberatan atas kebenaran isi surat keputusan tersebut. Berdasar pada pernyataan responden tersebut di atas, maka peneliti berpandangan bahwa hal ini menunjukkan bahwa surat keputusan penetapan hak tersebut belum dapat memberi jaminan perlindungan hukum secara mutlak bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Pandangan peneliti tersebut didasari oleh argumentasi Selanjutnya pandangan Kepala Sub Seksi Penetapan Hak, Kepala Sub Seksi Pendaftaran Hak dan Kepala Sub Seksi Pengukuran dan Pemetaan pada ketiga Kantor Pertanahan yang menjadi lokasi penelitian dalam menilai instrumen surat keputusan penetapan hak atas tanah, menyatakan bahwa "surat keputusan penetapan hak atas tanah dapat menjamin perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah (wawancara Kepada Kantor Pertanahan Jakarta Barat/Kasi/ Kasubseksi Tanggal 6,9 dan 12 Juli 2007). Meskipun masih ada celah bagi pihak lain untuk mengajukan keberatan atas penerbitan surat keputusan tersebut sepanjang yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Atas dasar pernyataan tersebut peneliti berpandangan bahwa hal ini dapat berarti bahwa surat keputusan penetapan hak atas tanah tersebut hanya dapat memberi jaminan sepanjang pihak lain tidak dapat membuktikan ketidakbenaran terbitnya surat keputusan tersebut. Terhadap pandangan responden tersebut di atas peneliti berpendapat bahwa isi dari surat keputusan penetapan hak tanah telah memuat data fisik dan data yuridis dari tanah yang dimohonkan sertifikat 172
HGB. Selanjutnya pandangan responden kategori Badan Hukum dan warga masyarakat dalam menilai surat keputusan penetapan hak atas tanah pada wilayah tiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta yang menjadi lokasi penelitian, menyatakan bahwa selama ini dirasakan tidak adanya jaminan perlindungan hukum (hak) yang dapat diperoleh dari terbitnya surat keputusan penetapan hak atas tanah bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, sebab setiap saat surat keputusan penetapan hak atas tanah tersebut dapat dibafilkan jika ada pihak lain yang melakukan keberatan dan mampu membuktikan keberatannya. Termasuk misalnya kemungkinan keberatan pihak tersebut muncul karena diakibatkan oleh ketidakcermatan dan ketidak telitian aparat Kantor Pertanahan dalam melakukan tahap demi tahap dari proses penerbitan surat keputusan penetapan hak atas tanah tersebut. Gejala yang tampak dalam sengketa tanah di Provinsi DKI Jakarta pada umumnya berawal dari ketidakcermatan dan ketidaktelitian aparat pertanahan, baik prosedur maupun persyaratan yang menjadi dasar penerbitan sertifikat HGB atas tanah. Meskipun ketidakcermatan dan ketidaktelitian aparat Kantor Pertanahan tersebut sebahagian terkadang juga diakibatkan oleh kesalahan informasi (data) atau keterangan yang diberikan oleh masyarakat pemohon yang tidak sesuai dengan faktanya. Namun demikian hal ini tetap membawa arti bahwa salah satu kelemahan dalam proses pendaftaran hak atas tanah adalah kurang cermatnya aparat pertanahan dalam melakukan proses pendaftaran tanah dan kurang selektifnya dalam menilai 173
kebenaran persyaratan penerbitan suatu sertifikat HGB atas tanah. Berdasarkan data pada Tabel 10 di atas, dan jika dikaitkan dengan hasil wawancara sebagaimana telah dikemukakan pula di atas, make peneliti menilai bahwa ternyata surat keputusan penetapan hak atas tanah belum dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Dalam artian, bahwa surat keputusan penetapan hak atas tanah hanya memberikan perlindungan yang bersifat relatif (semu) bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah tersebut. 4. Buku Tanah Pengertian buku tanah dalam penelitian ini adalah dokumen yang berbentuk daftar yang berisi tentang data fisik suatu obyek pendaftaran yang sudah ada haknya. Dalam kaftan dengan buku tanah ini peneliti menggunakan ukuran sub variabel, yakni menjamin, kurang menjamin, dan tidak menjamin. Buku tanah tersebut dinilai menjamin apabila muatan buku tanah tersebut akurat dalam arti benar-benar sesuai dengan data fisik obyek pendaftaran yang sudah ada haknya. Buku tanah tersebut dinilai kurang menjamin jika muatan buku tanah itu kurang sesuai dengan data fisik obyek pendaftaran yang sudah ada haknya. Buku tanah tersebut dikatakan tidak menjamin jika muatan buku tanah tidak sesuai" dengan data fisik obyek pendaftaran yang sudah ada haknya. Jawaban responden mengenai eksistensi instrumen buku tanah dalam kaitannya dengan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, dapat dilihat datanya pada Tabel 9, sebagai berikut:
174
Tabel 9: Buku Tanah
(Sumber: Data Primer diolah, 2007) Berdasarkan data pada Tabel 9 di atas, tampak bahwa di antara 123 orang responden, terdapat 21 orang (21,14%) responden yang menilai bahwa instrumen buku tanah dapat memberi jaminan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, sementara terdapat 47 orang (38,21%) responden yang menilai kurang memberi jaminan perlindungan hukum, dan terdapat 50 orang (40,65%) resiibnden yang menilai buku tanah tidak dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi hak atas tanah. Berdasarkan angka persentase pandangan responden dalam tabel 9 tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa secara umum responden berpendapat dan menilai bahwa buku tanah belum memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Jawaban responden sebagai mans tampak dalam tabel di atas bersesuaian dengan keterangan nara sumber yang mewakili masing-masing kelompok responden yang diperoleh melalui wawancara (tanggal 16, 18, 20, 24, 27 dan 31 Juli 2007), sebagai berikut.
175
Pandangan Kepala Kantor Pertanahan pada tiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta sebagai lokasi penelitian dalam menilai eksistensi instrumen buku tanah, menyatakan bahwa pada dasarnya keberadaan buku tanah mengandung arti positif bagi jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Oleh karena buku tanah merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya sebagaimana yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftarkan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sebab pembukuan hak tersebut dilakukan berdasarkan slat bukti, seperti: penetapan hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila penetapan hak tersebut berasal dari tanah negara atau tanah hak pengelolaan, atau asli akta PPAT yang memuat penetapan hak tersebut oleh pemegang hak atas tanah kepada penerima hak yang bersangkutan apabila mengenai HGB dan hak pakai atas tanah. Di camping itu juga didasarkan pada berita acara pengesahan sebagaimana yang dituangkan dalam berita acara yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan hukum buku tanah dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Meskipun dalam realitasnya hak yang sudah terdaftar sekalipun dalam buku tanah tetap masih dapat digugat oleh pihak lain sepanjang penggugat dapat membuktikan sebaliknya. Selanjutnya, pandangan responden Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah dan Kepala Seksi Survey, Pengukuran, dan Pemetaan pada tiga Kantor 176
Pertanahan Kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta sebagai lokasi penelitian yang menyatakan bahwa buku tanah pada prinsipnya dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, sebab pembuatan buku tanah tersebut didasarkan pada hash! pengkajian yang mendalam tentang data fisik tanah sebagaimana yang tertuang dalam surat ukur, sehingga kebenaran isi buku tanah tersebut
tidak
diragukan
lagi
(Kepada
Kantor
Pertanahan
Jakarta
Pusat
/Kasi/Kasubseksi Tanggal 27,29 dan 4 Juli 2007). Oieh karena itu, kekuatan hukum buku tanah tersebut sesungguhnya dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi hak dan pemegang hak atas tanah tersebut. Namun demikian, kekuatan hukum dari buku tanah tersebut tidaklah bersifat mutlak, oleh karena tetap dimungkinkan adanya keberatan dari pihak lain terhadap kebenaran isi buku tanah tersebut. Hal ini mengandung arti bahwa buku tanah tersebut pada hakikatnya beium dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah secara mutlak bagi pemegangnya, sehingga tetap memunculkan kekhawatiran dan keraguan bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah tersebut. Selanjutnya pandangan Kepala Sub Seksi Penetapan Hak dan Kepala Sub Seksi Pendaftaran Hak, serta Kepala Sub Seksi Pengukuran dan Pemetaan pada ketiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta sebagai lokasi penelitian dalam menilai keberadaan buku tanah, menyatakan bahwa keberadaan suatu buku tanah pada dasarnya sudah dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang 177
sertifikat HGB atas tanah, meskipun jaminan perlindungan hukum tersebut sifatnya tidak mutlak, oleh karena masih dimungkinkan untuk dibatalkan bilamana ada pihak lain yang mengajukan gugatan atas hak yang terdaftar dalam buku tanah tersebut sepanjang yang bersangkutan bisa membuktikan sebaliknya. Artinya bahwa keberadaan buku tanah tersebut hanya dapat memberikan jaminan perlindungan hukum pemegang hak yang tertera dalam buku tanah tersebut sampai pihak lain dapat membuktikan ketidakbenaran pendaftaran hak yang tertera dalam buku tanah tersebut. Selanjutnya pandangan responden Badan Hukum dan warga masyarakat dalam menilai buku tanah dalam wilayah tiga Kantor Pertanahan Kotamadya yang menjadi lokasi penelitian, menyatakan bahwa jaminan perlindungan hukum (hak) yang dapat diperoleh dari terbitnya buku tanah bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah dapat dikatakan tidak ada atau tidak dapat memberi jaminan perlindungan hukum. Keberadaan buku tanah dirasakan tidak memberi jaminan perlindungan hukum atas hak dan pemegang hak, oleh karena dalam kenyataannya buku tanah tersebut setiap saat dapat raja dibatalkan jika ada pihak lain yang melakukan keberatan dan mampu membuktikan keberatannya. Meskipun dasar keberatan dari pihak yang mengajukan keberatan tersebut diakibatkan oleh ketidakcermatan dan ketidaktelitian aparat Kantor Pertanahan dalam melakukan tahap demi tahap dari proses penerbitan buku tanah tersebut. Artinya kesalahan itu pada dasarnya sumbernya bukan dari pihak pemohon sertifikat HGB atas tanah. Hal semacam inilah yang menjadi bahan pertimbangan utama para pelaku usaha dan warga masyarakat 178
untuk sedapat mungkin menghindari melakukan investasi atau usaha dengan dasar sertifikat HGB atas tanah. Bukan saja masalah jaminan perlindungan hukum yang tidak dapat diberikan oleh keberadaan buku tanah tersebut, akan tetapi keberadaan buku tanah tersebut juga sama sekali dapat dikatakan tidak memberikan adanya kepastian hukum, oleh karena apa yang dirasakan pasti oleh masyarakat ketika haknya terdaftar dalam bLiku tanah tersebut ternyata sifatnya semu (sesaat) karena jika muncul pihak lain yang melakukan keberatan atas isi buku tanah tersebut dan keberatannya terbukti, maka kepastian yang dirasakan itu seketika bisa hilang. Berdasarkan data yang ada pada Tabel 9 di atas kemudian dikaitkan dengan hasil wawancara sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa keberadaan buku tanah belum dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Penda pat peneliti ini didasarkan pada argumentasi bahwa buku tanah pada dasarnya hanya mampu memberikan perlindungan yang sifatnya relatif bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. 5. Sertifikat HGB Atas Tanah Yang dimaksud dengan sertifikat dalam penelitian ini adalah surat tanda bukti hak yang dipegang oleh pemegang sertifikat HGB atas tanah yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Dalam penelitian ini kategori yang digunakan untuk sub variabel ini adalah menjamin, kurang menjamin dan tidak menjamin.
179
Sertifikat dinilai menjamin apabila sertifikat HGB atas tanah tersebut sesuai dengan data yuridis dan data fisik sebagaimana yang tertera dalam buku tanah. Sertifikat dinilai kurang menjamin apabila sertifikat HGB atas tanah tersebut tidak sesuai dengan data yuridis dan data fisik sebagaimana yang tertera dalam buku tanah. Sertifikat dinilai tidak menjamin jika sertifikat HGB atas tanah tersebut tidak sesuai dengan letak tanah dan data fisik sebagaimana tertera dalam buku tanah. Jawaban responden mengenai eksistensi instrumen sertifikat HGB atas tanah berkenaan dengan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, dapat dilihat pada data yang tampak pada Tabel 10, sebagai berikut: Tabel 10 : Sertifikat HGB Atas Tanah
(Sumber: Data Primer diolah, 2007) Berdasarkan data pada Tabel 10 di atas, tampak bahwa di antara 123 orang responden, terdapat 28 orang (22,76%) responden yang menilai bahwa sertifikat HGB atas tanah memberi jaminan perlindungan hukum kepada pemegangnya, dan terdapat 44 orang (35,77%) responden yang menilai sertifikat HGB atas tanah kurang memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya, serta terdapat 51 orang 180
(41,46%) yang menilai keberadaan sertifikat HGB atas tanah tidak dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya. Berdasarkan persentase angka jawaban responden yang ada dalam tabel 10 di atas, maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya responden menilai sertifikat HGB atas tanah kurang atau idak dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya. Jawaban responden sebagaimana tertera dalam tabello di atas, sesuai dengan keterangan nara sumber yang mewakili masing-masing kelompok responden yang diperoleh peneliti melalui wawancara sebagai berikut. Pandangan Kepala Kantor Pertanahan pada tiga Kantor Pertanahan Kotimadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta sebagai lokasi penelitian dalam menilai eksistensi sertifikat HGB atas tanah menyatakan "bahwa pada dasarnya keberadaan sertifikat HGB atas tanah merupakan bukti yang kuat atas tanah. Sertifikat HGB atas tanah diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Sertifikat HGB atas tanah hanya boleti diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya (wawancara dengan
Kepala
Kantor
Pertanahan
Kodya
Jakarta
Pusat/para
/Kasi/Kasubsi (tanggal, 27, 29 4, Juli 2007). Hal tersebut berarti bahwa kekuatan hukum buku tanah dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Namun dalam realitasnya hak yang sudah terdaftar sekalipun sudah dimasukkan ke dalam buku tanah masih dapat digugat oleh pihak 181
lain sepanjang yang penggugat dapat membuktikan sebaliknya. Sertifikat HGB atas tanah merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur, dan buku tanah hak yang bersangkutan. Hal tersebut bahwa sertifikat HGB atas tanah dapat memberi jaminan perlindungan hukum yang kuat bagi pemegangnya. Meskipun dalam realitasnya sertifikat HGB atas tanah yang dipandang sebagai alat bukti yang kuat, masih dapat digugat oleh pihak ketiga, dan jika pihak ketiga tersebut dapat membuktikan keadaan sebaliknya, maka sertifikat HGB atas tanah tersebut dapat dibatalkan. Meskipun sertifikat HGB atas tanah tersebut dapat dibatalkan oleh institusi yang menerbitkannya atas dasar bukti yang diajukan oleh pihak ketiga atau berdasarkan putusan pengadilan, akan tetapi secara yuridis formal sertifikat HGB atas tanah tersebut tetap diakui sebagai bukti otentik yang kuat, dalam arti dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya. Selanjutnya, pandangan responden Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah dan Kepala Seksi Survey, Pengukuran, dan Pemetaan pada tiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta sebagai lokasi penelitian dalam menilai keberadaan sertifikat HGB atas tanah, menyatakan bahwa kekuatan hukum sertifikat HGB atas tanah sesungguhnya dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya, oleh karena proses penerbitan sertifikat HGB atas tanah tersebut didasarkan pada 182
hasil pengkajian cermat dan mendalam tentang data fisik dan data yuridis serta telah didaftarkan
dalam
buku
tanah
(Kepada
Kantor
Pertanahan
Jakarta
Barat/Kasi/Kasubseksi Tanggal 6,9 dan 12 Juli 2007). Oleh sebab itu, kekuatan hukum sertifikat HGB atas tanah idealnya dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya. meskipun, tidak berarti bahwa kekuatan hukum sertifikat HGB atas tanah tersebut bersifat mutlak atau tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, oleh karena meskipun demikian sertifikat HGB atas tanah tersebut masih dimungkinkan digugat kebenarannya baik itu kebenaran prosedur, data fisik dan data yuridis sebagaimana yang tertuang dalam buku tanah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sertifikat HGB atas tanah telah memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah tersebut, meskipun jaminan perlindungan hukum tersebut sifatnya tidak mutlak bagi pemegangnya. Selanjutnya pandangan responden Kepala Sub Seksi Penetapan Hak, Kepala Sub Seksi Pendaftaran Hak, dan Kepala Sub Seksi Pengukuran dan Pemetaan pada tiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta yang menjadi lokasi penelitian dalam menilai jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh sertifikat HGB atas tanah bagi pemegangnya, menyatakan bahwa sertifikat HGB atas tanah dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya. Meskipun keberadaan sertifikat HGB atas tanah tersebut masih dapat digugat oleh pihak lain, sepanjang pihak yang dimaksud dapat membuktikan sebaliknya/gugatannya (Kepada Kantor Pertanahan Jakarta Pusat /Kasi/Kasubseksi Tanggal 27,29 dan 4 Juli 2007). Oleh karena itu dapat 183
dikatakan bahwa keberadaan sertifikat HGB atas tanah hanya dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya sampai ada pihak lain yang dapat membuktikan ketidakbenaran dari sertifikat HGB atas tanah tersebut. Pendapat peneliti terhadap pandangan responden tersebut di atas bahwa pada dasarnya sertifikat HGB atas tanah adalah merupakan alat bukti kuat kepemilikan atas tanah yang dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya oleh karena di dalam sertifikat HGB tersebut telah dicantumkan rekaman data fisik dan data yuridis bidang tanah yang dimaksud. Selanjutnya hasil penelittan tentang pandangan responden Badan Hukum dan Warga Masyarakat dalam wilayah tiga Kantor Pertanahan Kotamadya yang menjadi lokasi penelitian dalam menilai jaminan perlindungan hukum sertifikat HGB atas tanah bagi pemegangnya, menyatakan bahwa, sertifikat HGB atas tanah tidak dapat dijadikan jaminan perlindungan hukum meskipun seseorang sudah memegang sertifikat HGB atas tanah, oleh karena dalam kenyataannya, HGB atas tanah yang telah disertifikatkan tersebut masih dapat diubah bilamana ada pihak yang mengajukan gugatan dan dapat membuktikan gugatannya tersebut. Berdasarkan data yang ada dalam Tabel 10 di atas, jika dikaitkan dengan hasil wawancara sebagaimana telah dikemukakan juga di atas, maka peneliti berpendapat bahwa ternyata keberadaan sertifikat HGB atas tanah belum dapat memberi jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya. Hal tersebut didasarkan pada keterangan baik yang dikemukakan oleh aparat pertanahan, badan hukum, maupun oleh warga masyarakat, yang pada umumnya menilai bahwa sertifikat HGB atas tanah dapat 184
menjadi jaminan perlindungan hukum HGB atas tanah, meskipun jaminan perlindungan tersebut sifatnya tidak mutlak. D. Kultur Hukum dan Pengaruhnya Tehadap Perlindungan Hukum Bagi Pemegang HGB Atas Tanah 1. Kesadaran Hukum Kategori yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran hukum terhadap ketiga kelompok responden dalam penelitian ini yaitu kategori tinggi, sedang dan rendah. Bagi aparat pelaksana, kesadaran hukumnya tinggi jika sikap, prilaku, pandangan-pandangan dan nilai-nilai aparat pelaksana, badan hukum dan masyarakat perorangan bersesuaian dengan sistem dan ketentuan yang berlaku, yang dilandasi oleh pengetahuan dan pemahamannya. Kategori kesadaran hukum sedang jika sikap, prilaku, pandanganpandangan dan nilai-nilai aparat pelaksana, badan hukum dan masyarakat perorangan tidak konsisten dengan sistem dan ketentuan yang berlaku. Contoh,
tunduk
pada
sistem
dan
aturan
jika
sistem
dan
aturan
itu
mengungtungkannya. Kategori kesadaran hukum rendah jika sikap, prilaku, pandangan-pandangan dan nilai-nilai aparat pelaksana, badan hukum dan masyarakat perorangan tidak bersesuaian dengan sistem dan ketentuan yang berlaku. Contoh, sikap dan perilaku baik aparat pelaksana, badan hukum dan masyarakat perorangan tidak tunduk pada sistem dan ketentuan yang berlaku seperti, bagi badan hukum dan masyarakat tidak memanfaatkan sertifikat HGB sesuai dengan peruntukan haknya sedangkan bagi aparat pelaksana tidak taat asas.
185
Data mengenai jawaban responden tentang kesadaran hukum dalam kaitannya dengan jaminan perlindungan hukum HGB atas tanah, dapat dilihat data pada Tabel 11, sebagai berikut: Tabel 11: Kesadaran Hukum
(Sumber: Data Primer diolah, 2007) Berdasarkan data yang ada pada Tabel 11 di atas, menunjuk kan bahwa di antara 18 orang responden aparat pelaksana sebanyak 12 orang (66,67%) kesadaran hukumnya tinggi dan sebanyak 4 orang (22,22%) yang kesadaran hukumnya sedang sebanyak 13 orang (29,00%) dan sebanyak 27 orang (6o,00%) tingkat kesadaran hukumnya rendah. Demikian pula masyarakat, ketegori tingkat kesadaran hukumnya tinggi sebanyak 4 orang (6,67%), tingkat kesadaran hukumnya rendah sebanyak 17 orang (28,33%) sedangkan umumnya masyarakat tingkat kesadaran hukumnya rendah yaitu sebanyak 39 (65,00%). Jawaban responden sebagaimana terurai dalam Tabel ii di atas, sejalan dengan keterangan/pandangan nara sumber yang mewakili masing-masing kelompok
186
responden yang diperoleh peneliti melalui teknik wawancara sebagaimana diuraikan sebagai berikut. Pandangan Kepala Kantor Pertanahan pada tiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta yang dijadikan lokasi penelitian dalam kaitannya dengan tingkat kesadaran hukum aparat, badan hukum (pelaku usaha), dan warga masyarakat, dengan menyatakan bahwa kesadaran hukum sesungguhnya merupakan suatu proses psikologi (kejiwaan) yang sifatnya abstrak. Oleh karena itu sangat sulit untuk dinilai seketika (dengan pengamatan sesaat), apakah seseorang itu dapat dikategorikan sadar akan ketentuan hukum yang mengikatnya atau tidak. Meskipun demikian masalah kesadaran hukum tersebut tetap dapat diidentifikasi untuk kemudian dinilai dengan melihat pola perilaku seorang aparat baik ketika yang bersangkutan sedang menjalankan tugasnya sebagai aparat maupun ketika yang bersangkutan tidak sedang menjalankan tugasnya sebagai aparat. Selanjutnya ketiga Kepala Kantor Pertanahan tersebut memiliki pandangan yang pada intinya sama dengan menyatakan, bahwa secara pribadi saya dapat menilai bahwa kesadaran hukum sebahagian aparat pelaksana dapat dikategorikan memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Lebih lanjut menurut ketiga kepala kantor pertanahan tersebut bahwa tingginya kesadaran hukum yang dimiliki umumnya aparat pelaksana dapat diamati dari berbagai sikap, perilaku, pandangan-pandangan dan nilai-nilai aparat pelaksana tersebut. Dimana pada umumnya aparat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya senantiasa,berpedoman pada sistem dan ketentuan yang ada secara konsisten. 187
Untuk ketegori jawaban kesadaran hukum tertinggi ketiga responden dalam penelitian ini adalah responden badan hukum. Dimana terdapat 13 orang dari 45 orang responden badan hukum atau sebanyak 29%. Fenomena ini dapat diamati dalam sikap, perilaku, pandangan-pandangan dan nilai-nilai para pelaku usaha yang tidak konsisten dengan sistem dan ketentuan yang berlaku. Contoh, dalam hal pemanfaatan dan penggunaan tanah sertifikat HGB. Adapun kategori kesadaran hukum rendah jawaban responden tertinggi untuk ketiga kategori responden adalah masyarakat perorangan, dimana terdapat sebanyak 39 orang dari 60 orang atau sebanyak 65% dari responden untuk kategori warga masyarakat. Lebih lanjut menurut ketiga Kepala Kantor Pertanahan tersebut, bahwa rendahnya kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat tersebut dapat diamati dari berbagai perilakunya. Contoh, dalam hal memanfaatkan tanah sertifikat HGB yang dimilikinya umumnya menyimpang dari maksud dan tujuan pemberian sertifikat HGB (wawancara, lupa tanggalnya:2oo7) Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh responden Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran dan Kepala Seksi Survey, Pengukuran, dan Pemetaan pada tiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta yang menjadi lokasi penelitian dalam menilai tingkat kesadaran hukum ketiga kategori responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa "dalam kenyataannya kesadaran hukum baik di kalangan aparat, badan hukum (pelaku usaha), maupun warga masyarakat cenderung masih relatif rendah, terlebih lagi jika masalah kesadaran hukum tersebut ditinjau dari aspek pengetahuan dan 188
prilaku, dimana kategori responden masyarakat dianggap memiliki tingkat kesadaran hukum yang paling rendah kemudian disusul oleh kategori responden badan hukum dan tertinggi oleh kategori respoden aparat pelaksana (Wawancara Kepada Kantor Pertanahan Jakarta Barat/Kasi/Kasubseksi Tanggal 6,9 dan 12 Juli 2007). Selanjutnya pandangan responden Kepala Sub Seksi Penetapan Hak, Kepala Sub Seksi Pendaftaran Hak, dan Kepala Sub Seksi Pengukuran dan Pemetaan pada tiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta terhadap tingkat kesadaran hukum aparat, badan hukum (pelaku usaha), maupun warga masyarakat dalam kaitannya dengan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah, secara umum dapat dikatakan rendah. Rendahnya kesadaran hukum yang dimiliki baik oleh sebahagian aparat, badan hukum (pelaku usaha), maupun warga masyarakat sering tampak dalam perilaku keseharian mereka dalam kapasitas masing-masing (wawancara dengan Kepala Kasi/Subseksi Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta tanggal, 27, 29 4, Juli 2007). Selanjutnya, pandangan responden badan hukum (pelaku usaha) yang ada dalam wilayah tiga Kantor Pertanahan Kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta yang menjadi lokasi penelitian dalam menilai rendahnya kesadaran hukum sebahagian aparat pelaksana, responden badan hukum (pelaku usaha), dan warga masyarakat dalam kaitannya dengan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah dapat diamati dan diketahui dari tingkah lakunya. Seorang aparat misalnya dapat dikatakan 189
memiliki kesadaran hukum rendah ketika aparat tersebut dalam menjalankan tugasnya mempersulit pengurusan si pemohon, padahal sesungguhnya (faktanya) urusan tersebut tidak sesulit yang dikatakan oleh aparat tersebut, atau bahkan meminta biaya yang sifatnya di luar dari biaya resmi yang telah ditentukan untuk suatu urusan yang menjadi tugas dan tanggung }swab dari aparat yang bersangkutan. Demikian halnya dengan sebahagian badan hukum (pelaku usaha), yang memperlihatkan sikap atau perilaku yang menggambarkan rendahnya kesadaran hukum yang bersangkutan. Misalnya ketika yang bersangkutan melakukan permohonan untuk pengurusan suatu urusan yang menyangkut tanah. Terkadang yang bersangkutan karena tidak mau mengikuti prosedur atau aturan yang ada dan selalu ingin diperlakukan istimewa oleh aparat, maka yang bersangkutan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan hukum. Misalnya dengan "menggoda" aparat pelaksana dengan cara menawarkan suatu imbalan, apakah itu dalam bentuk sejumlah uang agar aparat yang bersangkutan berbuat menyimpang dari prosedur atau aturan yang ada demi memperlancar urusan yang bersangkutan. Tindakan semacam itu sesungguhnya dilakukan yang bersangkutan dengan tidak menyadari bahwa jika di kemudian hari tindakan/perilaku tersebut terungkap, maka konsekuensinya akan merugikan dirinya sendiri, oleh karena hak yang telah diperolehnya dari tindakan yang menyimpang tersebut dapat dipermasalahkan, yang pada gilirannya dapat berujung pada tidak terlindunginya hak yang bersangkutan, karena dapat dibatalkan. Fenomena yang demikian dalam realitasnya tidak jarang dilakukan juga oleh sebahagian warga masyarakat biasa. Tindakan atau perilaku yang demikian 190
sesungguhnya sangat jelas menggambarkan betapa rendahnya kesadaran hukum yang dimiliki oleh badan hukum (pelaku usaha) maupun warga masyarakat yang melakukan tindakan tersebut (wawancara dengan PT yang lupa dicatat dan Tanggalnya juga tidak diingat, Juli: 2007). Selanjutnya pandangan warga masyarakat yang ada dalam wilayah kerja tiga Kantor Pertanahan Kotamadya yang dijadikan lokasi penelitian dalam menilai tingkat kesadaran hukum aparat, badan hukum (pelaku usaha), dan warga masyarakat, menyatakan bahwa kesadaran hukum aparat pertanahan dilihat dari perilakunya dalam melaksanakan tugasnya masih relatif rendah, sedang dinilai wajar saja jika sebahagian warga masyarakat memiliki tingkat kesadaran hukum rendah oleh karena tidak semua warga masyarakat tahu dan mengerti akan hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa hal yang terpenting bagi masyarakat adalah bagaimana aparat pertanahan mampu memberi pelayanan yang baik kepada warga masyarakat, agar masyarakat dapat memperoleh dan menikmati hak-haknya secara adil, aman, dan tenteram karena merasa diri dan haknya atas sebidang tanah terlindungi oleh sertifikat HGB yang telah diberikan badan pertanahan kepadanya (wawancara dengan…. Tanggal…. Juli 2007). Berdasarkan data pada Tabel 11 di atas, jika dikaitkan dengan hasil wawancara sebagaimana juga telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa ternyata kesadaran hukum sebahagian aparat, badan hukum (pelaku usaha) dan warga masyarakat masih dapat dikategorikan relatif rendah, sehingga sikap atau perilaku dari sebahagian aparat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat 191
yang berkaitan dengan urusan penerbitan sertifikat HGB atas tanah tidak optimal. Jika fenomena tersebut di atas dikaitkan dengan teori hukum yang ada, maka akan ditemukan teori hukum (sosiologi hukum) yang dapat dijadikan dasar pijakan untuk menjelaskan fenomena tersebut, yakni teori hukum sebagaimana dikemukakan oleh Donald Black, bahwa terdapat lima aspek variabel yang mempengaruhi efektivitas berlakunya suatu aturan hukum. Salah satu aspek variabel yang sangat relevan untuk menjelaskan fenomena tersebut di atas, adalah aspek variabel kultur hukum yang oleh Donald Black dikatakan merupakan aspek horizontal yang sangat mempengaruhi efektivitas bekerjanya suatu aturan hukum dalam masyarakat. 2. Realitas Sosial Kategori yang digunakan untuk mengukur realitas sosial terhadap ketiga kelompok responden yaitu kategori mendukung, kurang mendukung dan tidak mendukung. Realitas sosial dinilai mendukung terwujudnya perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB jika aparat pelaksana, badan hukum dan masyarakat perorangan berpartisipasi aktif terhadap eksistensi sertifikat HGB. Contoh, aparat pelaksana dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara cermat dan teliti dalam proses penerbitan sertifikat HGB serta badan hukum dan masyarakat berpartisipasi aktif dalam bentuk memberikan keterangan dan dokumen tentang data fisik dan data yuridis dari bidang tanah yang dimohon.
192
Realitas sosial dinilai kurang mendukung terwujudnya perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah jika aparat pelaksana, badan hukum dan masyarakat perorangan kurang berpartisipasi aktif terhadap eksistensi sertifikat HGB. Contoh, aparat pelaksana dalam melaksanakan tugas dan fungsinya kurang cermat dan kurang teliti dalam proses penerbitan sertifikat HGB, serta badan hukum dan masyarakat kurang berpartisipasi aktif memberikan keterangan dan dokumen tentang data fisik dan data yuridis dari bidang tanah yang dimohon. Realitas sosial tidak mendukung terwujudnya perlindunp,an hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah jika aparat pelaksana, badan hukum dan masyarakat perorangan tidak berpartisipasi aktif terhadap eksistensi sertifikat HGB. Contoh, aparat pelaksana dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak cermat dan tidak teliti dalam proses penerbitan sertifikat HGB, bagi badan hukum dan masyarakat tidak berpartisipasi aktif dalam memberikan keterangan dan dokumen tentang data fisik dan data yuridis dari bidang tanah yang dimohon sehingga dapat menimbulkan sengketa pertanahan. Jawaban responden mengenai variabel realitas sosial dalam kaitannya dengan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah dapat dilihat dalam Tabel 12, sebagai berikut:
193
Tabel 12 : Realitas Sosial
(Sumber: Data Primer diolah, 2007) Berdasarkan data pada Tabel 12 di atas, tampak bahwa sebanyak 74 orang (77,78%) dari 18 orang kelompok responden aparat pelaksana yang menyatakan realitas sosial mendukung terwujudnya perlindungan hukum. Tingginya persentase aparat pelaksana yang memilih kategori jawaban mendukung bersesuaian dengan sikap, perilaku dan pandangan aparat pelaksana dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara cermat dan teliti dalam proses penerbitan sertifikat HGB. Jawaban responden di atas bersesuaian dengan hasil wawancara peneliti dengan tiga Kantor Pertanahan kotamadya dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta yang menjadi lokasi penelitian yang pada intinya ketiga kepala kantor Pertanahan tersebut menilai bahwa realitas sosial di masyarakat mendukung terwujudnya perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Hal ini didasari oleh kinerja aparat pelaksana yang telah bekerja sesuai dengan sistem dan ketentuan yang berlaku sehingga sertifikat HGB yang diterbitkan diyakini dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemegangnya 194
(wawancara Kepada Kantor Pertanahan Jakarta Barat Tanggal 6 Juli 2007, Kepala kantor Pertanahan Jakarta Pusat tanggal 9 Juli 2007 dan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Selatan (Kasubag TU, tanggal 12 Juli 2007). Kelompok responden badan hukum sebanyak 27 orang (60,00%) menjawab bahwa realitas sosial kurang mendukung terwujudnya perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB. Jawaban responden badan hukum tersebut bersesuaian dengan realitas yang ada dimana banyak badan hukum (pelaku usaha) yang berprilaku menyimpang dari pengaturan sertifikat HGB. Jawaban responden tersebut sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan salah seorang pelaku usaha pemegang sertifikat HGB (HUS Presiden Direktur PT."X" di DKI Jakarta dan Ketua Umum DPP REI (Ir. Lukman Poernomo Sidi) yang menyatakan bahwa "prosedur pengurusan penerbitan sertifikat HGB masih dirasakan sangat birokrasi dan rumit" (wawancara tanggal, Agustus 2007). Di pihak lain, kelompok responden masyarakat perorangan sebanyak 44 orang (73,33%) dari sebanyak 6o orang responden masyarakat perorangan yang menyatakan bahwa realitas sosial tidak mendukung terwujudnya perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB. Jawaban kelompok responden masyarakat tersebut di atas bersesuaian dengan realitas yang ada di mana banyak masyarakat pemegang sertifikat HGB tidak memahami maksud dan tujuan pemberian sertifikat HGB sehingga tidak memanfaatkan sesuai peruntukannya. Jawaban kelompok responden masyarakat tersebut di atas bersesuian dengan hasil wawancara peneliti dengan salah seorang warga masyarakat pemegang sertifikat 195
HGB "Edy" yang pada intinya menyatakan bahwa " pengurusan tanah membutuhkan biaya yang besar dan urusannya berbelit-belit, terkecuali warga masyarakat tersebut sangat terdesak dengan keadaan. Misalnya, karena tanahnya hendak dijual, dijaminkan atau dialihkan. barulah warga masyarakat tersebut berinisiatif untuk mensertifikatkan tanahnya Fenomena sosial ini menunjukkan bahwa realitas sosial sebagian besasr warga masyarakat tentang pentingnya sertifikat HGB terkesan tidak mendukung. Dalam hubungannya dengan keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan proses pensertifikatan HGB sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap sertifikat HGB yang akan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat. Selanjutnya,
munculnya
fenomena
dimana
sebahagian
besar
warga
masyarakat merasa jenuh dan kurang berminat untuk mensertifikatkan hak atas tanahnya disebabkan oleh adanya pandangan sebahagian warga masyarakat yang merasa bahwa pengurusan tanah membutuhkan biaya yang besar dan urusannya sangat rumit dan berbelit-belit. Terkecuali warga masyarakat tersebut sangat terdesak oleh keadaan, misalnya karena tanahnya ingin dijual atau hendak dijaminkan, barulah warga masyarakat tersebut berinisiatif untuk mensertifikatkan tanahnya. Realitas ini menunjukkan bahwa realitas sosial/persepsi sebahagian besar warga masyarakat tentang pentingnya pensertifikatan tanah termasuk dalam bentuk sertifikat HGB atas tanah terkesan tidak mendukung. Fenomena rendahnya dukungan realitas sosial/persepsi warga masyarakat tersebut dapat diamati dari minat masyarakat untuk mensertifikatkan tanahnya yang demikian rendah, sehingga sangat mempengaruhi 196
upaya-upaya pemerintah dalam hal ini melalui badan pertanahan dalam memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat di bidang pertanahan. Berdasarkan data yang ada dalam Tabel 13 di atas, jika dikaitkan dengan hasil wawancara terhadap beberapa nara sumber sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa realitas sosial atau persepsi warga masyarakat tidak mendukung terwujudnya jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah yang lebih kurang baik dan adil. Realitas sosial atau persepsi warga masyarakat yang demikian ternyata tidak sejalan dengan kehendak penjelasan umum UUPA, terutama mengenai pendaftaran tanah yang pada intinya menjelaskan bahwa keberhasilan dari proses pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan perlindungan hak ditetapkan dengan ketentuan undang-undang, yang dalam pelaksanaannya masih tergantung pada peranan dan partisipasi aktif dari warga masyarakat pemegang hak, termasuk pemegang HGB atas tanah. Hal terjadi karena kultur hukum masyarakat setempat belum mampu menyesuaikannya dengan realitas sosial. Realitas sosial menunjukkan bahwa keberadaan kultur hukum (persepsi) warga masyarakat setempat merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap efektivitas suatu aturan hukum dalam masyarakat, termasuk aturan hukum di bidang pertanahan khususnya yang menyangkut pemberian jaminan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah. Kultur hukum warga masyarakat yang mencakupi kesada ran hukum dan realitas sosial, sangat menentukan pembentukan persepsi warga masyarakat terhadap eksistensi sertifikat HGB atas tanah, yang sebagai bukti kepemilikan atas tanah yang 197
dapat menjadi sarana terwujudnya jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya. Intl dari kesadaran hukum warga masyarakat mencakup nilai-nilai yang dianut oleh seseorang tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada serta nilainilai tentang tujuan yang hendaknya dicapai oleh hukum. Nilainilai yang dianut oleh seseorang tersebutlah yang pada akhirnya akan membentuk sikap dan perilaku seseorang dalam masyarakat. Sedangkan realitas sosial merupakan apa yang dirasakan, apa yang dilihat, apa yang didengar dari orang lain dan apa yang diharapkan dari jaminan perlindungan hukum yang diperoleh setelah tanahnya disertifikatkan. Dalam hubungannya dengan keterlibatan atau partisipasi warga masyarakat dalam pelaksanaan proses pensertifikatan tanah, sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap sertifikat hak atas tanah termasuk sertifikat HGB atas tanah yang pada gilarannya akan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat. Berdasarkan beberapa uraian tentang hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa warga masyarakat di perkotaan dalam kaitannya dengan pensertifikatan tanah cenderung dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonominya. Warga masyarakat di perkotaan mensertifikatkan tanahnya dengan motif selain untuk kepentingan memperoleh tanda bukti atau pengakuan kepemilikannya atas tanahnya, juga kebanyakan lebih dipengaruhi motif/pertimbangan kepentingan ekonomi. Adapun pertimbangan-pertimbangan ekonomi tersebut, antara lain, keinginan memperoleh kredit bank untuk usaha dengan menggunakan sertifikat hak atas tanahnya sebagai agunan, atau keinginan untuk memperoleh harga jual yang lebih tinggi jika tanahnya 198
dipindahtangankan dalam keadaan bersertifikat. Realitas sosial masyarakat yang tidak mendukung terwujudnya perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat HGB atas tanah juga tergambar pada persepsi masyarakat terhadap eksistensi sertifikat HGB atas tanah itu sendiri. Persepsi masyarakat tersebut dapat dikatakan bersifat dinamis atau dapat berubah setiap saat tergantung kemampuan warga masyarakat untuk menilai manfaat yang diperoleh dan kewajiban apa yang harus dipenuhi sesuai dengan realitas sosialnya. Selain itu, penilaian warga masyarakat terhadap sertifukat HGB atas tanah sangat ditetukan oleh pengalaman yang dilihat, dirasakan atau pun didengar sendiri dari warga masyarakat yang lain. Hasil pengamatan peneliti tergambar bahwa kecenderungan warga masyarakat perkotaan mensertifikatkan tananya dengan motif selain untuk memperlolah tanda bukti atau pengakuan kepemilikan atas tanahny, juga kebanyakan lebih dikarenakan peritmbangan kepentingan ekonomi, antara lain keinginan memperoleh kredit bank untuk modal usaha dengan menggunakan sertifikat atau keinginan untuk memperoleh harga jual yang lebih tinggi jika tanhanya dipindahtangankan dalam keadaan bersertifikat. Disamping nilai jual yang lebih tinggi dengan tanah yang bersertifikat HGB tersebut juga didasari pertimbangan keinginan untuk memperoleh pengakuan hak kepemilikannya yang terkuat dalam bentuk hak milik. Pertimbangan masyarakat tersebut memberi makna bahwa masyarakat cenderung ragu terhadap jaminan perlindungan hukum akan haknya yang dapat diberikan oleh sertifikat HGB sehingga 199
sebagian besar masyarakat pemegang sertifikat HGB memiki kecenderungan yang kuat untuk mengubah status penguasaan atas tanahnya dari penguasaan dalam bentuk alas hal sertifikat HGB menjadi penguasaan hak atas tanah dalam bentuk alas sertifikat hak milik. Kencenderunga masyarakat tersebut dapat dilihat dalam gambar 3 berikut : Gambar 3 Perbandingan Sertifikat HGB dengan Sertifikat Hak Atas Tanah Lainnya di Jakarta Tahun 2006
Berdasarkan Gambar 3 di atas tampak jelas bahwa masyarakat lebih cenderung mengalihkan sertifikat HGB menjadi sertifikat hak atas tanah dalam bentuk yang lain. Menurut peneliti salah satu penyebab hal tersebut terjadi oleh karena sertifikat HGB belum dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya.
Kencenderungan
ini
merupakan
realitas
dan
sekaligus
menggambarkan kultur hukum masyarakat yang sesungguhnya terhadap sertifikat
200
HGB di lokasi penelitian. Realitas masyarakat tersebut menjadi indikasi bahwa sertifikat HGB dalam kultur hukum masyarakat di lokasi penelitian belum sesuai dengan cita-cita dan harapan masyarakat. Cita-cita yang diharapkan masyarakat terhadap sertifikat HGB adalah adanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak penguasaan atas sebidang tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
201
DAFTAR PUSTAKA I.
BUKU:
Abdullah
Syah.
1992.
Harta
Menurut
Pandangan
Al-Qur'an.
Institut Agama Islam Negeri. Press, Medan. Achmad Ali. 1998. Menjalajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Yarsif Watompone, Jakarta. ----------------------. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filisofis dan Sosiologiis). Gunung Agung, Jakarta. ----------------------, 2004. Sosiologii Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, BP ISLAM, Jakarta. Algra,
N.E.
en
H.C.J.G.Jansen,1974.
Rechtsingang
een
Oreientatie
in het Recht. Groningen: H.D. Tjeenk Willink by. AmierSyariffudin.1996. Budaya Hukum masyarakat Desa Pantai di Kabupaten Dati ll Sinjai. Universitas Hasanuddin, Makassar. ----------------------,1999. Budaya Hukum Masyarakat Sulawesi Selatan, Usulan Penelitian, Universitas Hasanuddin, Makassar. Aminuddin Salle. 1999. Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Disertasi, Universitas Hasanuddin, Makassar. M Ma'moen.1996. Pendaftaran Tanah Sebagai Pelaksanaan UUPA Untuk Mencapai Kepastian Hukum Hak-Hak Atas Tanah di Kotamadya Bandung, Universitas Padjadjaran Bandung. Arie
Sukanti
Sumantri.
17
September
2003.
Konsepsi
yang
Mendasari 202
Penyempurnaan Hukum Tanah nasional. Pidato Pengukuhan Guru Besartetap dalam Ilmu Hukum Agraria. Universitas Indonesia. Depok, Jakarta. Bagir Manan. 2002. Asas Rechtsverwerking, Sambutan pada Seminar Nasional Pendaftaran Tanah. Universitas trisakti, Jakarta. Belinfante,
A.D.,
et.al.
1985.
Kort
Begrip
van
het
Administratief
Recht. Alphen aan den Rijn. Samsom Uitgeverij. Black, Donald. 1976. The Behaviour of Law, Department of Sociology, Yale University, New Heaven Connecticut Academic Press. New York, San Fransisco, London. Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia (Edisi Revisi). Penerbit Djambatan, Jakarta. Bruggink, JJG. 1999. Refleksi Tentang Hukum (Terjemahan dari Recht Reflexie), oleh Bernardus Arif Sidarta, Citra Aditi Bandung. Bushar Muhammad. 2002. Pokok-Pokok Hukum Adat. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Chambers C. 2001. an Introduction of Property Law in Australia, LBC Information Sercice. Djoko Prakoso, Budiman Adi Purwanto. 1985. Eksistensi PRONA sebagai Pelaksanaan Mekanisme Fungsi Agraria. Ghalia Indonesia, Jakarta. Evan William, M,1990. Sosial Structure of Law, Sage Publication, Callifornia. F.H. van Der Burg, et.al., 1985. Rechtsbescherming tegen de Overheid, Nijmegen. Friedman, Lawrence M.1975. The Legal Sysytem A Sosial Science Perspective, 203
Russel Sage Foundation, New York, ----------------------, 2001. American Law An Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar), disadur oleh Wishnu Basuki, Tata Nusa, Jakarta, Fuller, Lon El. 1971, The Morality of Law. Yale University, New Haven, London. Haar, Ter. 2001. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. diterjemahkan Soebakti Poesponoto. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Herman Soesangobeng. 2003. Kedudukan Hakim dalam Hukum Pertanahan dan Permasalahannya
di
Indonesia.
Pusdiklat
Mahkamah
Agung
RI,
Yogyakarta. ----------------------, 2003. Upaya Pembentukan Materi Hukum dan Kebijakan Pertanahan yang Demokratis. STPN—BPN, Yogyakarta. ----------------------,
2003.
Sinkronisasi
Peraturan
dan
Perundang-undangan
Mengenai Pengelolaan Sumber Daya Alam. IIP dan BPN, Jakarta. H.J. Mc. Closkey. 1965. "Rights", The Philosophical Quarterly, Oxford: Clarendon Press. Imam Soetiknjo.1979. Undang-Undang Pokok Agraria, Sekelumit Sejarah. Departemen Dalam Negeri Derektorat Jenderal Agraria. Irawan Soerodjo. 2003. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia. Arkola, Surabaya. John Pieris & Wiwik Sri Widiarty. 2007. Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen. Pelangi Cendikia, Jakarta. J. Spier, 1987. Onrechmatige Overheidsdaad, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle. 204
Kant,
Imanuel.
1964.
Ground
of
the
Metaphysics
of
Morals,
H.J.
Paton. New York: Harper & Row, Publisher, Inc. Kartini J.Soedjendro.1999. Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik. Penelitian, Univesitas Diponegoro. Penerbit Kanisius, Semarang. Kitay Michael. G. 1985. Land Acquisition in Developing Countries. Oelgeschloger, Gun & Hain, Boston, USA. Lim Hilary & Green Kate. 1995. Cases and Materials in Land Law. Ashford Colour Press Ltd, Gosport, Hampshire. Ma rbun, SF. 1997. Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia. Ull Press, Yogyakarta. Maria S.W. Sumardjono. 1996. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar. Gramedia Pustama Utama, Jakarta. ----------------------. 2001. Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi. Kompas, Jakarta. Mas' oed, M. Noer Fauzi. 1997. Pengantar, Tanah dan Pembangunan. Sinar Harapan, Jakarta. Massiara Daeng Rapi. t.t. Mengungkap tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan. Makassar. Mohammad Kholiq Widiarto (Ed.). 2002. 50 Tahun Usia Karya Pilihannya dan Komentar Berbagai Kalangan Tentang Achmad Ali, Jakarta. Muhammad Bakri, 2007. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru untuk Reformasi Agraria), Citra Media Hukum, Yogyakarta. 205
Muh. Laicha Marzuki, 1995. Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, Disertasi Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Muchsan, 1997. Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Munir Fuady. 2003. Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Makmur Maju, Bandung. Patterson, Dennis. 1999. A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory, Blackwell Publishers Inc, Massachucestts, USA. Paulus E. Lotulung, 1993. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung. P. de Haan, et.al. 1986. Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, deel 1 (Deventer: Kluwer). Peter Butt. 2001. Land Law, Fourth Edition, Law Book Co, NSW. Phillipus M. Hadjon, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya. Pound Roscou. 1954. an Introduction to Philosophy of Law and Legal Theory, Black Well Publisher. Inc, Massachusset USA. Rustandi Ardiwilaga.1962. Hukum Agraria Indonesia. Masa barn, Jakarta. Satjipto Rahardjo. 2000. Wajah Hukum di Era Reformasi. Citra Aditya Bakti, Bandung. -----------------. 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 206
----------------------.2003. Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia. Kompas, Jakarta. ----------------------. 1991. Ilmu Hukum, Edisi revisi (terbaru) Citra Aditya Bhakti, Bandung. ----------------------. 1983. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologiis. Sinar Baru, Bandung. Sjahran Basah. 1992. Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak Administrasi Negara. Alumni, Bandung. Soebekti. 1992. Hukum Perjanjian. Intermasa, Jakarta. Soedjarwo Soeromihardjo. 1985. Produktivitas Cohan Pertanian Rakyat Dalam Wilayah kecamatan di Propinsi Sumatera Utara. Penelitian, Universitas Brawijaya Malang. Soerjono Soekanto. 2002. Hukum Adat Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. ----------------------.1986. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta. Sudargo Gautama, 1987. Pengertian tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung. Sudikno Mertokusumo. 2002. Mengenal Hukum. Liberty, Yogyakarta. Sukhnider Panesar. 2001. General Principles of Property Law, Pearson Education Limited. Syamsul Bahri. 1987. Beberapa Aspek Hukum Adat Yang Berpengaruh Terhadap Pendaftaran Tanah di Kabupaten Padang Pariaman, Universitas Sumatera Utara. 207
----------------------. 2002. Perlindungan Hukum Terhadap Lingkungan hidup Melalui Sarana Keputusan TUN. Disertasi, Universitas Hasanuddin, Makassar. Toton Suprapto dan Muchsin. 2003, Kepastian dan Perlindungan Hukum Pada Landasan Keadilan dan Kebenaran, Pusat Studi Hukum Agraria. Universitas Trisakti, Jakarta. Van Apeldoorn, L.J. 1996. !Melding tot de Studie van het Nederlandse Recht. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink. Velasquez, Manuel G. 1989. Case and Business Ethics concept. Santa Clara University. W. Friedmann. 1967. Legal Theory. Columbia University Press, New York. Yacoby, E.H. 1977. Agrarian Unrest in South East Asia. Disadur Drs. Koensoebekti, Badiklat, DDN, Jakarta. Yamani Komar, M dan lsrafil Husain. 2000. Tanah Terlantar, Perspektif Hukum Islam Perbandingannya dengan Hukum Agraria Nasional. Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya Press, Malang.
II.
Peraturan Perundang-Undangan/Kamus:
Black Law Dictionary, 1999. Christine S.T. Kansil & C.S.T. Kansil, 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pelaksanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
208
Perpustakaan Nasional RI (KDT) Cetakan II, 2004. Himpunan Peraturan Perundangundangan Pertanahan dan Petunjuk PPAT Di Indonesia, CV. Citra Mandiri, Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 196o Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
III. Makalah/Karya Tulis Ilmiah : Asian Noor. 2003. Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak Asasi Manusia. Disertasi, Universitas Padjajaran Bandung. Bagir Manan. 1996. Bentuk-bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Majalah ilmiah Universitas Padjajaran, No. 3, Vol. 14, Bandung. Wasserstrom, Richard. 29 october 1964. Rights, Human Rights, and Racial Discrimination, The Journal of Philosophy.
209
BIODATA PENULTS
DR. H.S. Muhammad lkhsan Saleh SH., M.Si. MH, adalah Kepala Kantor Pertanahan Nasional DKI -Jakarta. Lahir di Polewali pada tanggal 9 Pebruari 1962. menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri No. 15 Kota Pare-Pare (1974), SMP Negeri 3 Ujung Pandang (1977), SMA Negeri 2 Ujung Pandang (1980) Sarjana Hukum UNHAS, Jurusan Keperdataan, Makassar (1985), Magister Administrasi Publik UNHAS-LAN Makassar (1998), Magister Ilmu Hukum Unhas, Konsentrasi Hukum Pemerintahan (2004) dan Doktor pada Fakultas Hukum Unhas 2007. Beliau pernah menjadi Kasubsidi Penyelesasian masalah Pertanahan, KANTAH, Kab. Gowa Sul-Sel (1990-1992), Kasi Hak Atas Tanah KANTAH Kab. Gowa Sul-Sel (1992-1995), Kasi Penyelesaian Masalah Pertanahan, KANWIL BPN Propinsi Sul-Sel (1995-1996), PLT, Kepala Kantor Pertanahan Kab. Gowa (19961997), Kepala Kantor Pertanahan Kab. Gowa Sul-Sel (1997-20o5), Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar, Sul-Sel (2005-2007), Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan (2007-Sekarang. Tanda-tanda jasa yang pernah diterima adalah, Piagam Penghargaan sebagai kader penggerak disiplin, oleh Kanwil BPN Prov. Sul-Sel (1998), Satya Lencana Karya Satya, oleh Presiden RI (2003), Penghargaan sebagai pelayanan prima, oleh menteri aparatur negara (2006), dan Penghargaan pelayanan terpadu terbaik I Se Kotamadya Jakarta Selatan oleh Walikota Jakarta Selatan (2007). 210
Dr. Hamzah Halim, Lahir di Kanang, 15 Januari 1974. beliau adalah dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan dibeberapa Perguruan Tinggi Swasta di Makassar. Selain itu, beliau juga adalah Penasihat/Konsultan Hukum Tetap Gubernur/ Pemerintah Prov. Sul-Sel dan tim unit teknis hukum BKSP Mamminasata kerjasama JICA Pemerintah provinsi Sul-Sel. Beberapa Organisasinya adalah, Sekretaris Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum UNHAS; Sekretaris Umum Badan Hukum & HAM KOSGORO 1957 Sul Sel; Sekretaris IKA Fakultas Hukum UNHAS; Sekretaris PERSAHI Ca bang Sul-Sel; Pendiri & Sekretaris Center for Empowering Legislative Drafting Studies (CELDIS) Kerjasama Fak. Hukum UNHAS—San Francisco University USA; Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fak. Hukum UNHAS 1997/1998; Pendiri & Dewan Pembina GARDA TIPIKOR Fak. Hukum UNHAS; Pendiri & Dewan Pembina Hasanuddin Law Student Center (HLSC); Pendiri & Konsultan Center for Law and Local Autonomy Studies (CLLAS); Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fak. Hukum UNHAS (MaPPI FHUH) 2008-sekarang. Alamat: 11. Pelita Raya V/ III/ 14 Makassar. No. Telepon/ Faximile: 081643856331(0411-587219).
211
212