Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10
Banjarmasin, 1 – 4 November 2010
NASKAH SYATTARIYAH CIREBON: Riset Awal dalam Konteks Jejaring Islam Nusantara Mahrus eL-Mawa
Pengantar Naskah tulisan kuna (manuscript) merupakan salah satu sumber pengetahuan umat manusia dari dahulu hingga kini. Jika pada masanya naskah itu menjadi bacaan, referensi, dan pedoman manusia, kini naskah itu menjadi kajian yang sangat menarik, baik dari sisi tekstologinya ataupun yang lainnya.1 Sekalipun, di beberapa daerah di wilayah nusantara (Indonesia) bagi para “pewaris”-nya, sebagian naskah tersebut masih menjadi bacaan, dan pedoman hidupnya, terutama terkait dengan tradisi dan budaya lokalnya. Melalui naskah pula, dapat diketahui jejaring asal usul pengetahuan kita. Dalam konteks naskah keislaman, salah satu naskah yang penting untuk diungkap dalam maksud itu adalah naskah Syattariyah di Cirebon. Di dunia tasawuf dan orde para sufi, nama Syattariyah di nusantara bukanlah hal baru ataupun asing. Trimingham dalam The Sufi Orders in Islam menyebutkan bahwa pada tahun 1679 M./1090 H. „Abd al-Ra‟uf ibn Ali dari Singkel telah mengenalkan Syattariyah di Aceh dari Mekkah melalui Ahmad Qushashi.2 Syattariyah sendiri dinisbatkan kepada Abdullah al-Syattari (w. 1485 M./890 H.). Kehadirannya di Cirebon melalui beberapa jalur, baik melalui Syaikh Abd al-Muhyi (Pamijahan) dari Abd al-Ra‟uf (Singkel), maupun yang lainnya, seperti Kyai Asy‟ari (Kendal).3 Perbedaan silsilah inilah diantara salah satu yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam kontek Syattariyah di Cirebon. Syattariyah, diakui atau tidak, merupakan salah satu tarekat penting di Cirebon, selain tarekat Tijaniyah, Naqsabandiyah, Qadiriyah, ataupun Qadiriyah Naqsabandiyah. Hal itu bisa dilihat dari tersebarnya naskah Syattariyah, baik melalui salinan yang baru ataupun salinan yang lama di tangan masyarakat, dan tempat-tempat penyimpanan naskah (scriptorium). Sekurangnya, hingga tulisan ini dibuat, telah ditemukan 25 (dua puluh lima) naskah Syattariyah yang diindikasi berasal usul dari Cirebon, baik yang berada di buku katalogus, ataupun di tangan masyarakat. Seperti disebut katalogus Behrend (1998: 245), “Tarekat Syattariyah” di KBG 628, berada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta. Lalu, selain naskah yang berada di PNRI tersebut, dalam katalog Jawa Barat (Ekadjati dan Darsa, 1999: 431-443) naskah tarekat Syattariyah juga disebut beberapa kali dengan kode sebagai berikut; 1244 KKSC/-17, 1245 KKSC/-, 1246 EFEO/EJ-19, 1252 KKSC/-15, 1254 KKSC/-, 1255 KKSC/-, 1258 KKSC/-36, 1259 KKSC/-, 1260
310 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
KKSC/-, 1263 KKSC/-, dan 1264 KKSC/-. KKSC itu (sepertinya) kepanjangan dari Kraton Kasepuhan Cirebon. Naskah lainnya yang sering disebut sebagai naskah tasawuf, tarekat, atau mistik yang berasal dari Cirebon dan diindikasikan sebagai tarekat Syattariyah, seperti disebut dalam Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Indonesia II (Abady: 1998), antara lain kode 387. Catatan-Catatan tentang ilmu agama, dan mistik pengikut Syattariyah, pemilik Koleksi Snouck Hurgronje; 397. Catatan Mistik dalam ilmu Agama, koleksi Snouck Hurgronje; 438. Catatan dan Do‟a-Do‟a, pemilik Koleksi Snouck Hurgronje, di Universitas Bibliotheek Leiden, (tentang silsilah syattariyah, do‟a, jimat, dan fiqh). Terakhir, seperti dikutip Fathurrahman (2008: 96), naskah Syattariyah Cirebon terdapat pula di perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or. 7446. Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia menyatakan bahwa dari beberapa sumber pribumi, tarekat-tarekat mendapatkan pengikutnya pertama-tama di lingkungan istana dan lama kemudian barulah merembes ke kalangan masyarakat awam.4 Berangkat dari "temuan" Bruinessen tersebut, maka wajar saja, bila naskah-naskah Syattariyah Cirebon juga sebagian besar berasal dari keluarga kraton atau kesultanan Cirebon. Berikut ini adalah paparan riset awal tentang naskah Syattariyah Cirebon. Diawali dengan kajian terdahulu (prior research) tentang para pengkaji tarekat Syattariyah di nusantara, khususnya Syattariyah Cirebon, dan asal usul yang berbeda dari Syattariyah Cirebon. Selanjutnya, bahasan tentang naskah Syattariyah Cirebon milik (koleksi) masyarakat sebagai studi awal, dan terakhir teorisasi awal Syattariyah Cirebon dan jejaring Islam Nusantara (Indonesia). Kajian Terdahulu dan Asal Mula Syattariyah Cirebon Sejauh penelusuran penulis, berbagai kajian tentang tarekat Syattariyah di nusantara yang terkait dengan di Cirebon telah dilakukan para Indonesianis dan Islamolog, baik yang mengkaji secara khusus dan mendalam, ataupun hanya kajian sebatas tuntutan akademik saja. Dari penelusuran itu, sekurangnya terdapat 2 (dua) model pendekatan kajian; pertama, dengan kajian filologi, dan kedua, kajian non-filologi, seperti sejarah, dan antropologi. Beberapa peneliti yang telah melakukan kajian dengan pendekatan filologi, antara lain; Muhammad Abdullah (1995), “Paham Wahdat al-Wujud dalam Naskah Satariyah Karya Syeikh Abdurrouf Singkel: Suntingan Teks dan Pengungkapan Isinya”, dan setahun berikutnya, Abdullah menulis tesis (1996), “Doktrin Wahdah al-Wujud Ibn „Arabi dalam Naskah Syattariyah: Suntingan dan Kajian Isi Teks”; Berikutnya, Tommy Christomy (2001), “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan”; Setelah itu, Christomy menulis disertasi (2003), dan diterbitkan (2008) dengan judul Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java; Oman Fathurrahman juga menulis untuk disertasi (2003) lalu diterbitkan (2008) menjadi Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks; Sebelumnya (1999), Fathurrahman juga melakukan kajian atas Tanbih alMasyi Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Aburrauf Singkel di Aceh Abad 17; Duski Samad (2003) menulis disertasi dengan judul, “Tradisionalisme Islam di Tengah Modernisme”; Fakhriati (2007) menulis disertasi “Dinamika Tarekat Syattariah Di Aceh, Telaah terhadap Naskah-
MAHRUS EL-MAWA
Naskah Syattariyah Cirebon 311
Naskah Tarekat Syattariyah dari Periode Awal Hingga Periode Kemerdekaan”; dan terakhir, Achmad Opan Safari (2010) menulis tesis tentang “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”. Adapun kajian non filologis terkait dengan Syattariyah di Cirebon, antara lain; Atiek Fariza (1989), “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”; dan AG. Muhaimin (1995), The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims; lalu diterjemahkan (2002) ke dalam bahasa Indonesia oleh A. Suganda menjadi, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon. Namun sebelum itu, telah dimulai suatu kajian awal, baik dengan penjelasan pendek, ataupun ulasan lebih luas. Tulisan yang dimaksud, antara lain; A.D. Rinkes (1919, 53: 431-581), “De Heiligen van Java”, Tijdscrift voor Indische Tall, Land-, en Volkenkunde; Karel A. Steenbrink (1984), Berbagai Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke19; dan A.M. Santrie (1987), Martabat Tujuh Karya Syeikh Abdul Muhyi. Untuk gambaran (awal) ajaran tarekat Syattariyah Cirebon terdapat pada buku Petarekan Syatariah Muhammadiah yang disusun oleh Rama Guru Sulaeman Sulendraningrat dari Keprabonan. Beberapa kitab lain yang berbentuk naskah ditemukan di keluarga atau pengamal tarekat Syattariyah, antara lain milik Ki Bagus Asmi di desa Pagongan Cirebon Barat. Biasanya, pembacaan kitab tarekat Syattariyah hanya dibaca sesama anggota saja, usai dibaiat dari guru yang sama. Bila belum menjadi anggota, memperlihatkan kitabnya saja terkesan enggan memberikannya, karena dianggap orang awam. Seperti ditulis dalam sampul muka kitab milik Ki Bagus Asmi, ”Alamat ikilah kitab petarekan Syattariyah kagem dening murid kang soleh aran Bagus Asmi ing desa Pagongan maka poma murid pecuwan ana kang wani amaca wong kang ora tunggal guru iku dadi paharam”.5 Fariza juga mengungkapkan tentang beberapa ajaran dzikir yang diamalkan, adab dan syarat-syarat menjadi anggota tarekat Syattariyah. Bahkan lebih rinci lagi, Fariza juga memaparkan tentang tata cara “menarik” dzikirnya secara teknis. Hal itu mirip dengan temuan Abdullah (1995, 1996), bahwa terdapat tradisi berdzikir, adab berdzikir, dan gambar daerah berdzikir dalam tarekat Syattariyah di Kanoman. Abdullah juga menemukan perbedaan pengorganisasian (kepemimpinan) dalam tradisi tarikat Syattariyah di Cirebon. Pemimpin tertinggi adalah seorang koordinator pusat yang memimpin empat perguruan (pengguron), yaitu Pangeran Suleman Sulendraningrat. Tempat kantor pusat berada di Caruban Krapyak (Keprabon). Selain koordinator pusat, terdapat pula koordinator wilayah dan Cabang, seperti Tegal, Lampung, Kedu, dst. Christomy (2008) dan Fathurrahman (2008) memaparkan bahwa Syattariyah di Cirebon berasal dari jalur Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Abdul Muhyi sendiri berasal dari jalur Abdurrauf As-Singkil dari Sumatera. Menurut Christomy,6 jalur penting Syattariyah di Cirebon berasal dari Paqih Ibrahim, putra Abdul Muhyi. Sementara itu, ajaran Syattariyah Cirebon ada kemiripan dengan Syattariyah yang berada di Kuningan dan Giriloyo, yang berbeda dengan di Minangkabau, dimana tidak ada kecenderungan pelucutan doktrin martabat tujuh dan wahdah al-wujud.7 Tarekat Syattariyah di Sumtera Barat, dikaji juga oleh Samad (2003). Samad melihat fenomena tarekat Syattariyah sebagai salah satu bentuk tradisionalisme Islam dalam menghadapi arus modernisasi di Sumatera Barat.8 Sementara itu, Fakhriati (2007) mencatat, bahwa Syattariyah di Aceh menunjukkan perkembangan yang cukup dinamis
312 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
seiring dengan perubahan-perubahan zaman. Walaupun, hal itu tidak terjadi pada ajaran intinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan itu adalah pendidikan. Barangkali, karena terdapat anggapan yang miring tentang ajaran martabat tujuh dan wahdah al-wujud yang berkembang di Cirebon, menurut Safari (2008), ajaran Tarekat Syattariyah tersebut bukanlah ajaran yang melegalkan seseorang untuk tarku al-syar’i, karena dalam tarekat itu kesempurnaan seseorang untuk mencapai derajat yang luhur di sisi Allah, hanya dapat dilakukan setelah menyempurnakan kewajiban syari‟atnya. Safari juga menjelaskan berbagai simbol yang ada dalam iluminasi naskah yang dikajinya, seperti iluminasi 3 (tiga) ikan (iwak), motif gajah, dst. hanya saja, sayangnya peneliti kurang menjelaskan secara mendalam hubungannya dengan ajaran tarekat Syattariyah lainnya. Dari penjelasan Syattariyah di atas, oleh Muhaimin (1995, 2002) ditegaskan bahwa Syattariyah yang berkembang di Cirebon berasal dari dua tradisi, yakni tradisi Kraton dan tradisi Pesantren. Syattariyah yang berkembang di Kraton seperti dijelaskan sebelum ini oleh Christomy, Fathurrahman, Safari, Abdullah, dan Fariza. Adapun Syattariyah yang berasal dari Pesantren Cirebon, diawali dari Pesantren Buntet oleh Kyai Anwaruddin Kriyani (Mbah Kriyan). Muhaimin juga menjelaskan tarekat lain yang berkembang pesat di Buntet, yaitu tarekat Tijaniyyah. Sekalipun, fokus Muhaimin bukan Syattariyah, tetapi informasi silsilah Syattariyah yang tidak melalui Syekh Abdul Muhyi menjadi catatan tersendiri untuk Syattariyah di Cirebon. Tarekat Syattariyah di Cirebon pertama kali masuk melalui pesantren Buntet, baru kemudian Tarekat lain, seperti tarekat Tijaniyah. Tokoh kali pertama yang menyebarkan Syattariyah tersebut adalah Kyai Anwaruddin Kriyani al-Malebari (Ki Buyut Kriyan).9 Berbeda dengan Aceh (as-Singkili), Buyut Kriyan memperoleh tarekat Syattariyah dari Kaliwungu Jawa Tengah (Kiai Asy‟ari). Dari Buyut Kriyan tarekat ini diteruskan Kyai Soleh Zamzami, Pesantren Benda Kerep (wilayah Kota Cirebon), sementara Buntet dalam wilayah kabupaten Cirebon. Hingga penelitian Muhaimin usai, tarekat berada di tangan Kyai Abdullah Abbas, Kyai Fuad Hasyim, dan Kyai Abbas Sobih (Kang Obih). Sekalipun Mbah Muqoyim sebagai pendiri Pesantren Buntet adalah juga penghulu Kraton dan mursyid Syattariyah, tetapi Mbah Muqoyim tidak menyebarkan tarekat ini di Buntet. Kini, tarekat Syattariyah berkembang pesat di Pesantren Bendakerep di pinggir kota Cirebon. Bahkan, saat ini mursyid Syattariyahnya berada di Bendakerep, yang bernama Kyai Faqih.10 Naskah Syattariyah Cirebon, Koleksi (Milik) Masyarakat Sebaran naskah kuna atau pernaskahan di Nusantara (Indonesia), nampaknya terbagi dalam 2 (dua) kategori, yakni naskah yang berada di kraton atau kerajaan (kesultanan), dan milik masyarakat. Namun, kategori yang kedua tersebut juga sesungguhnya masih dalam lingkungan kerabat kraton, baik pemilik, pemelihara, ataupun pewaris naskahnya. Untuk bahasan tulisan di sini mengambil naskah koleksi masyarakat. Dari telusuran penulis, nampaknya hanya Safari (2010) yang secara khusus mengkaji naskah Syattariyah Cirebon.11 Naskah yang dikaji Safari ini berasal dari Kraton Kaprabonan, suatu tempat khusus pengajian agama Islam di lingkungan kesultanan Cirebon. Kelangkaan kajian tersebut, diamini petugas PNRI. Menurut pengelolanya, naskah itu belum pernah dikaji. Sebagai salah satu buktinya, naskah itu belum pernah
MAHRUS EL-MAWA
Naskah Syattariyah Cirebon 313
digandakan (photo copy), atau dialih-mediakan, misalnya dengan mikro film, ataupun digitalisasi. Seperti disebut di depan, naskah Syattariyah yang dikaji penulis berasal dari masyarakat, dimana mereka itu sebelumnya berada di lingkungan Kraton, tetapi sang pemilik naskah sekarang sudah tinggal di perkampungan seperti pada masyarakat umumnya. Istilah lainnya, naskah milik masyarakat, bukan milik Kraton ataupun perpustakaan publik. Koleksi pribadi atau milik masyarakat, hingga tulisan ini dibuat telah ditemukan sekurangnya 9 (sembilan) naskah Syattariyah; 4 (empat) naskah di Sumber Cirebon, 2 (dua) di Gerilyawan Cirebon, 1 (satu) naskah di Pesarean Cirebon, dan 2 (dua) di Kedaung Cirebon. Dari 9 (sembilan) koleksi ini, alas naskah yang menggunakan kertas bergaris berjumlah 3 (tiga) naskah; Kedaung, Gerilyawan, dan Pesarean. Adapun 6 (enam) naskah lainnya beralaskan kertas Eropa, Sumber 4 (empat) naskah, 2 (dua) naskah lainnya Kedaung dan Gerilyawan. Teks naskah Syattariyah semuanya ditulis dengan bahasa JawaCirebon dan aksara pegon. Secara kodikologis,12 naskah ini ditulis dengan tinta yang digunakan dalam teks bermacam-macam, ada yang menggunakan warna biru, atau hitam, sementara rubrikasi berwarna merah. Lalu, tidak ada penomoran halaman, pada setiap halamannya, kecuali kertas Eropa ditulis dengan pensil ataupun sesuai tinta yang digunakan. Ukuran kertasnya, setiap naskah beragam; mulai dari ukuran 15 x 11 cm, 20,5 x 16,5 cm, hingga 33,3 x 16 cm. Dari beberapa naskah Syattariyah tersebut, tidak semuanya sebagai suatu naskah yang berdiri sendiri dalam satu kitab. Sebagian besarnya adalah bagian dari kumpulan naskah, semacam primbon ataupun ajaran-ajaran yang lainnya. Dengan keterbatasan waktu dan kendala teknis lainnya, dari 9 (sembilan) naskah yang telah diinventarisir tersebut, dalam paparan di sini penulis hanya akan mendeskripsikan, meski tidak optimal naskah dari Gerilyawan yang beralaskan kertas Eropa. Naskah ini menurut Hilman, yang pernah melihat secara lengkap, merupakan bagian dari kumpulan teks lainnya, seperti primbon. Karena itu wajar saja, bila tidak dikenali sampul naskah, ataupun bagian punggungnya. Naskah yang sudah difoto digital sekitar tahun 2006 oleh Elin ini berukuran 15,5 x 18 cm, terdiri dari 11 (sebelas) baris pada setiap halaman recto-verso. Jumlah halamannya 88 dengan 1 (satu) halaman kosong di tengahnya dan tidak ada nomor halaman. Diperkirakan kertas Eropa dengan watermark pro patria. Khat yang digunakan berjenis naskhi dengan variasi riq'i. Tidak ditemukan kolofon dalam naskah ini. Tiga halaman pertama, bentuk tulisannya berbeda dengan halamanhalaman lainnya. Dalam setiap bagian teksnya, kecuali pendahuluan, diawali dengan lafal, "Bismillahirrahmanirrahim". Naskah yang tidak ada judulnya ini berisi tentang do'a, ajaran, silsilah dari Tarekat Syattariyah, dan symbol-simbol yang ada di dalamnya. Teks awal terkait dengan Syattariyah, dimulai dengan punika du'a saking nabiyallah, winaca lamon priyatin, atawa kesusahan… Bahwa teks ini merupakan Syattariyah diketahui dari bunyi teks di bagian berikutnya; Bismillahirrahmanirrahim // Ikilah kitab ingdalem anyataaken turun2ne dadalan syattariyah kang tedak saking Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam maring sayidina Ali kang anak Abi Thalib….
314 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Pembahasan tentang dzikir melalui lafal "La ilaha illa allah", sepertinya menjadi bagian penting naskah Syattariyah ini. Masih dalam lafal tersebut, terdapat penjelasan yang terbagi dalam beberapa alam; alam ajsam, alam insan kamil, dst. Lebih jauh lagi, terdapat penjelasan tentang beberapa a‟yan; a‟yan tsabita, a‟yan kharijiyah, lalu hal-hal lainnya juga ditulis dengan tegas, sekitar martabat tujuh. Bahkan, penjelasan lainnya, bagaimana dzikir harus dilakukan, secara rinci juga dijelaskan. Termasuk, misalnya bagaimana hikmah atau manfaatnya, secara tidak langsung dipaparkan pula. Sehingga ketika berdzikir itu perjumpaan dengan Allah menjadi sesuatu yang sangat penting. Hal-hal semacam itu, jika mau membandingkan dengan naskah-naskah Syattariyah Cirebon lainnya, muatan isinya memang mirip dan hampir tidak berbeda, kecuali susunan struktur (sistematika), dan redaksinya saja. Dalam konteks itulah kajian naskah Syattariyah penting dari sisi tekstologi. Hanya saja, dalam naskah lain seperti yang di Sumber, atau yang telah dikaji Safari, terdapat beberapa kreasi dari setiap dzikir itu yang mewujud dalam berbagai simbol. Di antara simbol yang kemudian menjadi trade mark bendera salah satu Kraton di Cirebon adalah bentuk 3 (tiga) iwak (ikan). Bahkan lafal "La ilaha illa allah muhammadan rasul allah" dalam kitab yang menggambarkan simbol ikan tersebut, dijelaskan pula dengan sangat hati-hati dan berdasarkan ilmu-ilmu lainnya. Neo-Sufisme dan Tarekat Syattariyah Cirebon Dari deskripsi singkat naskah tersebut, kiranya jelas telah muncul beberapa istilah penting, baik yang berbentuk konsep ataupun teori yang sering disebut dalam ilmu tarekat dan tasawuf, seperti kata syattariyah, silsilah (keturunan), dzikir, a‟yan tsabitah, a‟yan kharijiyah, alam insan kamil, alam ajsam, alam misal, alam arwah, martabat dzat, martabat sifat, martabat asma‟, dst. Dari istilah-istilah tersebut, nampaknya terdapat usaha „peleburan‟ ajaran Islam dengan perpaduan antara syariat dan tasawuf. Pemikiran atau praktek semacam itu tentu saja sesuatu yang baru dalam ranah keislaman. Sikap demikian itu disebut oleh Rahman sebagai sufisme ortodoks atau neo-sufisme.13 Dalam konteks Islam nusantara, istilah-istilah tersebut sepertinya menemukan konteks lokalnya sebagai ciri khas daerahnya. Berkaitan dengan tasawuf sebagai model yang diperbaharui tersebut, perlu kiranya dijelaskan secara deksriptif dan komparatif dari berbagai tokoh tasawuf dan tarekatnya. a. Tasawuf dan Tarekat Istilah tasawuf selaras dengan sufisme, nama lain dari mistik Islam.14 Secara universal, tasawuf adalah falsafah hidup dan metode tertentu dalam suluk yang dilakukan manusia untuk merealisasikan kesempurnaan akhlak, pemahaman tentang hakekatnya, dan kebahagiaan ruhaninya.15 Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809), sufisme adalah pengetahuan yang dipelajari seseorang agar dapat berlaku sesuai dengan kehendak Allah melalui penjernihan hati dan membuatnya riang terhadap perbuatan-perbuatan yang baik.16 Dari definisi tasawuf tersebut, yang nampaknya berbeda, tetapi mempunyai beberapa kesamaan, penting kiranya untuk melihat kategorisasi karakterisktik yang dilihat al-Taftazani. Secara umum, al-Taftazani mencatat karakteristik (khasa’is) tasawuf (sufisme)
MAHRUS EL-MAWA
Naskah Syattariyah Cirebon 315
itu ada 5 (lima) hal17: pertama, al-taraqi al-akhlaqi (peningkatan moral), yakni mempunyai tujuan tasfiyah al-nafs (penyucian jiwa) dengan mujahadah (sungguh-sungguh), melalui riyadah (latihan), dan zuhud (menghindari) kehidupan duniawi-materialis. Karakteristik kedua, al-fana’ fi al-haqiqah al-mutlaqah (kesirnaan dalam hakekat (realitas) yang mutlak. Inilah ciri tasawuf dengan maknannya yang mendalam. Fana‟ yang dimaksud adalah melakukan latihan-latihan (riyadatih) secara psikis hingga pada kondisi tertentu, lalu dirinya sampai tidak merasakan keakuan dirinya. Sebagaimana dia merasakan kekekalan (baqa’) bersama hakekat yang mutlak. Bahkan, dirinya merasakan kesirnaan kehendak (iradah) dirinya dalam kehendak yang mutlak. Ketiga, al-‘irfan al-zauqi al-mubasyir (pengetahuan intuisi langsung). Aspek ini pembeda secara epistemologis dengan filsafat. Jika dalam filsafat realitas dipahami sesuai dengan metode-metode rasional (manahij al-‘aql), sementara dalam tradisi sufi, terdapat realitas di balik pengetahuan indrawi (al-hiss) yang sering disebut dzauq (intuisi) ataupun kasyf , dst. Kasyf ini datangnya sangat cepat. Keempat, al-tuma’ninah au al-sa’adah (ketenangan atau kebahagiaan). Karakteristik ini terdapat pada semua sufi, karena hal inilah yang menjadi tujuannya. Bahkan kelompok sufi yang menyetujui adanya fana’ juga dapat merasakan ketenangan ketika dalam situasi seperti itu. Kelima, al-ramziyah fi al-ta’bir (simbolisme dalam pengungkapannya). Terdapat dua makna dalam tradisi sufi tentang simbolisme ini; pertama, dilihat dari dhahirnya kata-kata; kedua, dilihat dari analisis (al-tahlil) dan kedalamannya. Hanya para sufi sajalah yang dapat merasakan makna yang kedua tersebut. Sebab, setiap sufi mempunyai cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi yang dialaminya. Simbolisme inilah, makanya sufi dekat dengan seni. Karakteristik tasawuf tersebut, dapat dijadikan kerangka untuk melihat beberapa tipologi tasawuf. Al-Taftazani sendiri menyebut ada dua jenis tasawuf, tasawuf suni dan filosofis (al-falsafi). Jenis pertama, sering pula disebut tasawuf yang berdasarkan ajaran ahlussunnah waljama‟ah. Tokoh utama yang sering disematkan jenis ini adalah al-Ghazali. Adapun tasawuf filosofis adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional penggagasnya. Beberapa tokoh pentingnya antara lain, Suhrawardi alMaqtul, dan Muhyiddin Ibn „Arabi.18 Seiring dengan perkembangan tasawuf, dimana awalnya bersifat personal dan kemudian menjadi institusional, semacam lembaga para sufi, muncullah kategori tasawuf dengan tipe neo-sufisme. Terdapat suatu proses dari para sufi hingga disebut dalam beberapa kategori tersebut. Proses itulah sering disebut dengan “jalan” para sufi (tariq). Annemarie Schimmel sedikit membedakan tariq dengan salik (pengembara, tapi santri/murid). Schimmel juga menyebut jalan para sufi itu disebut dengan tarekat. Tarekat ini digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat. Dimana jalan utamanya disebut syar’ dan anak jalannnya adalah tariq.19 A. Nicholson menyebutkan secara lebih lugas lagi: “Sufi melakukan „pengembaraan‟ dengan perlahan-lahan melalui tahapan-tahapan (maqamat) tertentu setelah melewati „lintasan‟ (tariqat), guna mencapai tujuan untuk bersatu dengan kenyataan (fana’ fi al-haq).20 Menurut Trimingham, organisasi tarekat telah muncul di beberapa tempat dengan nama dan ajaran yang berbeda-beda sesuai dengan nama para Sufinya; di Mesopotamia
316 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
(Suhrawardiyya, Rifa‟iyya, dan Qadiriyya); Mesir dan Magrib (Syadhili, Wafa‟iyya); Iran, Turki, dan India (Kubrawiyya, Yasaviyya, Mawlawiyya, Khawajagan-Naqsabandiyya, Syattariyya).21 Seperti yang tertulis dalam naskah, nama tarekat ini (yang akan dikaji) adalah Syattariyah. Jalur terdekat hingga ke Cirebon tarekat ini berasal dari Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan Tasikmalaya, Jawa Barat dan Syekh Abdurra‟uf as-Singkili di Aceh, Sumatera, serta Kyai Asy‟ari di Kendal. b. Syattariyah di Cirebon Konsep “makhluk wujud kang muqayyad” dalam naskah, lalu disebutkan pula empat jenis alam, serta ahadiyah, wahdah, dan wahidiyah, seperti juga ditulis Christomy, hal itu sebagai martabat tujuh (sevens grade),22 penting untuk dilihat pendapat Martin van Bruinessen. Menurut Bruinessen, teori martabat tujuh tersebut barangkali berasal dari Muhammad bin Fadllallah Burhanpuri, sufi abad ke-17 dari India. Awalnya teori itu lima tahapan emanasi sebagaimana dalam dalam Insan al-Kamil-nya al-Jili.23 Dikatakan pula, bahwa unsur khas Jawa telah masuk dalam pembacaan tentang empat huruf Arab yang membentuk nama Allah, empat unsur (api, angin, air, dan tanah), empat unsur pembentuk tubuh (daging, sumsum, kulit, dan tulang), empat jiwa (nafsu) atau keadaan jiwa (nafsu amarah, nafsu lawamah, nafsu sawiyah, dan nafsu mutmainnah), dan empat alat indera (telinga, mata, mulut, dan hidung).24 Dalam naskah juga disebutkan tentang murid, dimana terdapat 4 (empat) kategori; mubtadi‟, mutawasit, kamil, dan kamil mukamil, lalu dipaparkan tentang posisi maqam, dan termasuk dalam kategori ke-alam-annya. Hal itu seperti ditulis oleh Trimingham tentang jadwal al-suluk,25 sekalipun tidak sama persis. Sementara menurut Rahman, konsep „alam al-misal merupakan ajaran sufi yang dikembangkan as-Suhrawardi, yakni suatu dunia citra-citra ontologis dimana realitas spiritual dari „alam atas‟ mengambil bentuk citra-citra konkrit, dimana jasad-jasad kasar dari alam materi ini „alam bawah‟ berubah menjadi jasad-jasad halus dan citra-citra.26 Kiranya, dengan model pembahasan semacam itu, beberapa istilah konsep dalam naskah Syattariyah yang dianggap perlu untuk dideskripsikan secara analisis komparatif dan kritis. Sehingga, konteks atau cita rasa lokal Cirebon dapat terungkap keunikannya. Sekedar menyebut beberapa buku tasawuf dan tarekat yang dapat membantu analisis, selain yang telah disebut dalam tulisan ini adalah al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah alAwakhir wa al-Awa’il (Syaikh „Abd al-Karim ibn Ibrahim al-Jili, jilid I dan II); al-Risalah alQusyairiyyah fi ‘ilm al-Tasawwuf (Abi al-Qasim „Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi alNaisaburi); Siyar al-Salikin fi Tariqah al-Sadat al-Sufiyyah (Syaikh „Abd al-Samad alFalimbani); al-Simt al-Majid fi Sya’n al-Ba’ah wa al-Zikr wa Talqinih wa Salasil Ahl al-Tauhid (Ahmad ibn Muhammad al-Qusyasyi); Usul al-Tariq; Dirasah ‘an al-Junaid al-Bagdadi (Muhammad Mustofa). Intertekstual dan Sejarah Pemikiran Intelektual Islam Nusantara Mengkaji tarekat Syattariyah di Cirebon, nampaknya tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Islam di Kraton dan Pesantren Cirebon. Dinamika Islam di Kraton
MAHRUS EL-MAWA
Naskah Syattariyah Cirebon 317
Cirebon juga tidak bisa ditinggalkan dari pertumbuhan Islam di nusantara. Seperti diketahui, kejayaan Islam di nusantara, (nampaknya) sejalan dengan kejayaan kerajaan Islam (Kesultanan) di setiap daerahnya. Seiring dengan kehadiran para penjajah, kemunduran-pun terjadi pada hampir semua Kesultanan nusantara. Terlebih lagi, pada saat yang sama, nasionalisme dan isu negara-bangsa telah menjadi diskursus tersendiri oleh masyarakat dunia sebagai peralihan kekuasaan dari otoritarianisme (monarkhi), menuju suatu pemerintahan demokratis. Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, telaah atas sejarah Islam masuk ke nusantara (baca: Indonesia) hingga kini masih menjadi bahan perdebatan, apakah melalui para pedagang Arab, seperti dikatakan Van Leur, atau proses islamisasi tersebut lebih banyak dilakukan para sufi, sebagaimana dikatakan A. Johns?27 Terlepas dari perdebatan teori Islam masuk nusantara tersebut, Islam di Cirebon menurut berbagai sumber lokal, semacam tradisi lisan, Babad Cirebon, atau yang lainnya,28 berawal dari putra seorang Raja Sunda, Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang) dan adiknya, Nyai Rarasantang yang belajar Islam kepada Syekh Datul Kahfi dan Syekh Nurjati. Setelah itu, keduanya diperintah untuk melakukan ibadah haji ke Mekah. Adiknya kemudian menikah dengan seorang ulama setempat, dan Cakrabuana kembali ke tanah Sunda. Cakrabuana lalu diminta ganti nama oleh gurunya, dengan sebutan Ki Samadullah atau H. Mansur untuk membuka daerah baru dengan nama Caruban (kini, Cirebon). Nyai Rarasantang kemudian mempunyai seorang putra bernama Syarif Hidayatullah. Setelah dianggap cukup mendalami ilmu agama di negara ayahnya, Hidayatullah ingin pergi ke tanah leluhurnya di Jawa, Caruban. Hidayatullah bertemu dengan pamannya yang telah menjadi penguasa setempat. Lalu Hidayatullah belajar pada guru pamannya, dan berguru kepada para wali di Demak Bintoro, Giri, dst. Karena dianggap sudah mumpuni keilmuan Islamnya, oleh para wali Hidayatullah diberi amanat untuk menyebarkan Islam di tanah Sunda, saat ini Jawa Barat. Dari cerita singkat tersebut, Islam di Cirebon mempunyai jejaring intelektual atau sejarah pemikiran Islam dengan berbagai daerah dan negara muslim lainnya. Seperti disebut sebelum ini, naskah Syattariyah Gerilyawan diperkirakan dibuat pada tahun 1900an. Kontak Islam di Cirebon saat itu tentu saja sudah mengalami berbagai perkembangan, termasuk di dalamnya telah berkembang tarekat Syattariyah. Seperti kajian sebelum ini, penulis menemukan bahwa silsilah (jaringan) tarekat Syattariyah di Cirebon, selain dari Kraton juga terdapat di Pesantren. Antara Kraton dan Pesantren, mempunyai silsilah yang berbeda, khususnya bila dilihat dari nusantara dan Jawa Barat, yakni Syekh Abd al-Muhyi dan Syekh Abd al-Ra‟uf al-Singkel. Ternyata di Kraton sendiri, juga ditemukan perbedaan silsilah, bila harus melalui dua tokoh tersebut. Berkaitan dengan perbedaan silsilah atau jaringan intelektual tarekat Syattariyah tersebut, atau untuk mencari kaitan Islam di Cirebon dengan Islam Nusantara, metode intertekstual dan sejarah pemikiran bisa digunakannya. Kedua metode ini telah digunakan Azyumardi Azra (1992) dalam kajian sejarah ulama Timur Tengah-Kepulauan Nusantara abad ke-17/18 dalam bidang tasawuf/tarekat; lalu Abdurrahman Mas‟ud (1996), tentang pemikiran keagamaan para ulama-ulama penting pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke20, bahkan kajiannya juga menyinggung hubungan tradisi intelektual Kraton Jawa dan dunia Pesantren.
318 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Bila konteks Syattariyah Cirebon ala kraton, transmisi intelektual berasal dari Syekh Abd al-Muhyi (Pamijahan) dan Syekh Abd al-Rau‟f (Singkel), mirip dengan temuan Christomy dan Fathurrahman, sekalipun dalam temuan Safari, kedua tokoh ini tidak ditemukan dalam silsilahnya, tetapi tokoh lainnya, semisal Syekh Muhammad Qadi Hudayat ibn Yahya. Hal serupa jika melihat silsilah atau jaringan intelektual Syattariyah ala pesantren Cirebon, dalam kasus tulisan ini pesantren Buntet, yakni berasal dari Kyai Asy‟ari (Kendal). Dari keragaman jaringan intelektual Syattariyah Cirebon ini menunjukkan pula, bahwa Islam di Cirebon, tidak bisa dilepaskan dari Islam Nusantara, baik kraton maupun pesantrennya. Penutup Demikian, paparan tentang tarekat Syattariyyah Cirebon dalam kajian awal. Dari penelusuran tersebut, terlihat bahwa naskah Syattariyah yang jumlahnya tersebar di perpustakaan, scriptorium, ataupun di tangan masyarakat masih belum dikaji secara maksimal. Padahal, dengan muatan teks dan kodeks yang sangat beraneka macam itu, memungkinkan lebih lanjut untuk dikaji secara serius dan mendalam, terutama terkait dengan doktrin tasawuf dan tarekat. Lebih jauh lagi untuk mengungkap tarekat Syattariyah Cirebon, baik yang berkembang di Kraton (istana), maupun di Pesantren (masyarakat) merupakan sesuatu yang penting dilakukan dan dapat memberi manfaat luas bagi perkembangan Islam di nusantara (Indonesia) secara umum, dan khususnya Islam di Cirebon yang memadukan berbagai budaya, serta terkait dengan jaringan intelektual nusantara.[]
MAHRUS EL-MAWA
Naskah Syattariyah Cirebon 319
Daftar Pustaka Abady, HM. Yusrie. “Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Propinsi Jawa Barat”, dalam Musda Mulia, dkk. (edit.), Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Indonesia II, Jakarta: Balitbang Agama Depag, 1998 Abdullah, Muhammad. “Paham Wahdat al-Wujud dalam Naskah Satariyah Karya Syeikh Abdurrouf Singkel: Suntingan Teks dan Pengungkapan Isinya”, Jakarta: Penelitian,1995). ______. “Doktrin Wahdah al-Wujud Ibn „Arabi dalam Naskah Syattariyah: Suntingan dan Kajian Isi Teks”, Jakarta: Tesis UI, 1996 Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Prenada, 2004. edisi revisi. Behrend (penyunt.), T.E. Katalog Induk Naskah –naskah Nusantara Jilid 4, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta: YOI-EFDO, 1998 Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999. cet. III Christomy, Tommy. “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan”, Studia Islamika, 8/2: 2001 ______. Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, Australia: ANU Press, 2008 Ekadjati, Edi S. dan Undang A. Darsa. Oman Fathurrahman (penyunt.) Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: YOI-EFEO, 1999. Fariza, Atiek. “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”, Jakarta: Skripsi UI, 1989 Fathurrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks Jakarta: Prenada, 2008 Haeri, Syaikh Fadhlallah. Jenjang-jenjang Sufisme, penterj. Ibnu Burdah dan Shohifullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 Muhaimin, AG. The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims, Australia: ANU Press, 1995 _____. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, penterj. A. Suganda. Jakarta: Logos, 2002, cet. II Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar Sastra edisi khusus No. 24 Fakultas Sastra UI Depok; Nicholson, Reynold A. Mistik dalam Islam, penterj. tim BA. Jakarta: Bumi Aksara, 1998 Pudjiastuti, Titik. Naskah dan Studi Naskah: Sebuah Antologi. Bogor: Akademia, 2006 Rahman, Fazlur. Islam, penterj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1997. cet. III. Robson, S.O. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, penterj. Kentjanawati Gunawan. Jakarta: RUL, 1994 Safari, Achmad Opan. “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”, Bandung: Tesis Unpad, 2010 Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, penterj. Sapardi Djoko Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009. cet. III.
320 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
al-Taftazani, Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi. Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami. al-Qahirah: Dar alSaqafah, 1983 _______. Sufi dari Zaman ke Zaman, penterj. Ahmad Rofi‟ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985 Teeuw, A. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. cet. III Trimingham, J. Spencer The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University, 1971
MAHRUS EL-MAWA
Naskah Syattariyah Cirebon 321
Endnotes :
Dosen IAIN Syekh Nurjati, Institut Studi Islam Fahmina Cirebon, & Mahasiswa S-3 filologi, Departemen Sastra Fakultas Ilmu Budaya UI Depok 1Terkait dengan kajian awal naskah (filologi) di Indonesia ini, bisa dilihat pada A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003) cet. III, h. 217-222 2J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (Oxford: Oxford University, 1971), h. 130. 3Setiap silsilah atau jalur tarekat Syattariyah di Cirebon yang berbeda itu lebih lanjut bisa dilihat pada Tomy Christomy, Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, (Australia: ANU Press, 2008), h. 99-104; Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks (Jakarta: Prenada, 2008), h. lampiran 26; dan Muhaimin, AG. The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims, (Australia: ANU Press, 1995), h. 248-251; dan Ahmad Achmad Opan. “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”, (Bandung: Tesis Unpad, 2010), h. 96-99. 4Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), cet. III, h. 197. 5Atiek Farizah, “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”, (Jakarta: Skripsi UI, 1989), h. 29. Hingga tulisan ini dibuat, ternyata tidak semua pemilik naskah melakukan "pelarangan" hal serupa, seperti yang terjadi pada penulis sendiri, yakni oleh beberapa pemilik naskah diberi kesempatan untuk membaca naskah Syattariyah. Bahkan, karena terdapat isitilah-istilah khusus, tidak jarang penulis juga diminta untuk menjelaskannya, bila dianggap perlu. 6Tomy Christomy, Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, (Australia: ANU Press, 2008), h. 103. 7Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks (Jakarta: Prenada, 2008), h. 95-98. 8Ibid. h 21. 9Menurut penuturun salah seorang keluarga Buntet, Ki Buyut Kriyan pernah menjadi salah seorang penghulu di Kraton pada masa hidupnya. 10Seperti dituturkan via telpon oleh Kang Miftah, putra dari Kyai Faqih sang mursyid. 11Peneliti lainnya, seperti Abdullah (1995/1996) memang mengkaji naskah Syattariyah Cirebon, tetapi di bandingkan dengan yang lainnya. 12Lebih jauh tentang kodikologi, lihat pada S.O. Robson, Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, penterj. Kentjanawati Gunawan, (Jakarta: RUL, 1994); Sri Wulan Rujiati Mulyadi, “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar Sastra edisi khusus No. 24 Fakultas Sastra UI Depok; Titik Pudjiastuti, Naskah dan Studi Naskah: Sebuah Antologi, (Bogor: Akademia, 2006). 13Fazlur Rahman, Islam, penterj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1997), cet. III, h. 198. Analisis lebih mendalam bisa dilihat pada Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Prenada, 2004) edisi revisi, h. 119-153.
322 Annual Conference on Islamic Studies 14Annemarie
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, penterj. Sapardi Djoko Damono, dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009) cet. III, h. 1. 15“anna al-tasawuf bi wajh am falsafah hayah wa tariqah mu’ayyanah fi al-suluk yattakhiduhuma al-insan litahqiq kamalih al-akhlaqi, wa ‘irfanih bi al-haqiqah, wa sa’adatih alruhiyyah”, dalam Abu al-Wafa‟ al-Ganimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami , (alQahirah: Dar al-Saqafah, 1983), h. 3. 16Syaikh Fadhlallah Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme, diterjemahkan dari The Element of Sufism oleh Ibnu Burdah dan Shohifullah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 4 17al-Taftazani, Madkhal. Ibid., h. 6-8. Lihat juga, Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, penterj. Ahmad Rofi‟ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 4-6 18al-Taftazani, Sufi dari., ibid. h. 187-233. Kategorisasi semacam ini, kiranya masih perlu diperdebatkan lagi, selain kategori yang berbeda dari sisi doktrin, juga kategori ini cukup simplistis. 19Schimmel, Dimensi Mistik., Ibid., h. 123. 20Reynold A. Nicholson, Mistik dalam Islam, penterj. tim BA, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 22 21Trimingham, The Sufi . Ibid., h. 33-65. 22Christomy, Signs of the Wali. Ibid., h. 117-126 23Bruinessen, Kitab Kuning. Ibid, h. 233. Lihat pula catatan kaki 25. 24Ibid. 25Trimingham, The Sufi. Ibid, h. 152-153 26Fazlur Rahman, Ibid., h. 178. 27Mengutip pendapat Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Nusantara, h. 52-53. J.C. van Leur dalam Indonesian Trade and Society (1955), dan Anthony Johns, “Sufism as a category in Indonesian Literature and History” JSEAH, 2 (1961). Selanjutnya, kajian Islam masuk nusantara bisa dilihat juga pada Azra, Jaringan Ulama., h. 2-19 28Berbagai sumber lisan dan tertulis.