PPI
NASKAH PUBLIKASI PENELITIAN PENGEMBANGAN IPTEKS
MODEL TERAPI SEFT (SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE) UNTUK MENGATASI GANGGUAN FOBIA SPESIFIK
Oleh : Zainul Anwar, S. Psi, M. Psi Siska Triana Niagara
DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG JULI 2011
i
ABSTRAK Anwar, Zainul. 2011. Model Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) Untuk Mengatasi Gangguan Fobia Spesifik. Kata kunci : Model Terapi SEFT, Fobia Spesifik
Fobia Spesifik merupakan salah satu bentuk dari gangguan kecemasan. Gangguan ini ditandai dengan adanya ketakutan yang berlebihan atau irasional pada objek tertentu dan tidak dapat dikendalikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh SEFT dalam menangani fobia spesifik. Penelitian ini merupakan penelitian kasus tunggal. Desain dalam penelitian ini menggunakan desain ABA. Subyek dalam penelitian ini adalah seorang perempuan berusia 19 tahun dengan gejala-gejala fobia spesifik, yaitu ketakutan yang irasional atau berlebihan terhadap peniti. Penelitian dilakukan mulai pra-terapi, terapi, dan pasca-terapi selama 5 minggu dan sebulan untuk memantau kondisi subyek setelah dihentikannya terapi. SEFT diberikan sebanyak 8 putaran selama 3 kali pertemuan terapi. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat ukur Subjective Units Disturbance Scale (SUDS) . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SEFT mampu menurunkan ketakutan yang berlebihan secara signifikan pada penderita gangguan fobia spesifik. Penurunan level kecemasan atau ketakutan berdasarkan SUDS (Subjective Units Disturbance Scale) selama pemberian terapi sangat signifikan dan terdapat perubahan reaksi fisiologis dan respon pada perilaku subyek.
ii
PENDAHULUAN Fobia adalah rasa takut yang persisten terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak sebanding dengan ancamannya (Nevid dkk, 2003). Para psikopatolog mendefinisikan fobia sebagai penolakan yang mengganggu yang diperantarai oleh rasa takut yang tidak proporsional dengan bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu dan diakui oleh si penderita seabagai sesuatu yang tidak berdasar (Davison dkk, 2006). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat (DSM IV-R) menyebutkan bahwa fobia termasuk dalam kriteria gangguan kecemasan dan fobia sendiri terdiri dari beberapa klasifikasi, yaitu fobia sosial, agorafobia, dan fobia spisifik (APA, 2000). Adapun dalam penelitian ini akan difokuskan pada fobia spesifik. Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik (Davison dkk, 2006). Nevid dkk (2003) menguraikan bahwa fobia merupakan ketakutan yang berlebihan dan persisten terhadap objek atau situasi spesifik, seperti ketakutan terhadap
ketinggian
(acrophobia),
takut
terhadap
tempat
tertutup
(claustrophobia), atau ketakutan terhadap binatang-binatang kecil seperti tikus atau ular atau binatang “melata menjijikkan” yang lainnya. Orang mengalami tingkat ketakutan dan reaksi fisiologis yang meninggi bila bertemu dengan objek fobia, yang menimbulkan dorongan kuat untuk menghindar atau melarikan diri dari situasi atau menghindari stimulus yang ditakutkan. Adapun fobia spesifik dalam peneitian ini adalah fobia peniti. Subyek selalu menghindar ketika melihat peniti, jika melihat peniti subyek langsung cemas dan takut serta keluar keringat dingin dan perut terasa mual – mual. Hal ini dialami subyek semenjak subyek masih duduk dibangku Taman Kanak – Kanak (TK). Sebagaimana yang diuraikan oleh Merckelbach dkk, (1996) bahwa fobia spesifik seringkali bermula pada masa kanak – kanak. Banyak anak yang mengembangkan ketakutan terhadap objek atau situasi spesifik, tetapi hal ini akan berlalu. Meskipun demikian, beberapa diantaranya tetap berlanjut
1
mengembangkan fobia kronis yang signifikan secara klinis (dalam Nevik dkk, 2003) Pada dasarnya setiap gangguan akan mengakibatkan perilaku yang maladaptif termasuk individu yang mengalami gangguan fobia spesifik. Salah satu perilaku maladaptif yang diakibatkan oleh gangguan fobia spesifik adalah adanya perilaku menghindar yang selanjutnya terhambatnya produktivitas baik dalam dunia kerja, relasi sosial dan bahkan perkembangan kepribadiannya. SEFT dikembangkan dari Emotional Freedom Technique (EFT), oleh Gary Craig (USA), yang saat ini sangat populer di Amerika, Eropa, & Australia sebagai solusi tercepat dan termudah untuk mengatasi berbagai masalah fisik, dan emosi, serta untuk meningkatkan performa kerja. Saat ini EFT telah digunakan oleh lebih dari 100.000 orang di seluruh dunia (Zainuddin, 2009). Penelitian yang dilakukan Paul Swingle dengan koleganya menunjukkan bahwa korban kecelakaan yang mengalami post traumatic stress disorder bahkan sampai mengalami mimpi buruk, takut yang tidak beralasan mengalami perubahan yang cukup signifikan ketika menggunakan EFT (Swingle, P., Pulos, L., & Swingle, M. K, 2005). McCarty, W. A., (2008) juga menguraikan hasil penelitiannya bahwa seorang anak laki – laki berusia 6 tahun yang tidak mau makan (eating phobia) setelah diberikan intervensi dengan menggunakan EFT telah memberikan hasil yang sangat baik, anak tersebut tidak lagi mengalami kesulitan dengan makannya. EFT juga sangat bermanfaat untuk mengatasi berbagai kecemasan pada mahasiswa (Benor, D. J., Ledger, K., Toussaint, L., Hett, G., & Zaccaro, D. 2008). EFT dapat memberikan efek sensasi yang dapat membuat penderita Traumatic Brain Injury (TBI) lebih tenang dan menghibur (Craig, G., Bach, D., Groesbeck, G., & Benor, D. J., 2009). Penelitian yang di lakukan Wells, S., Polglase, K., Andrews, H. B., Carrington, P. & Baker, A. H. (2003) tentang Evaluation of a meridian-based intervention, emotional freedom techniques (EFT), for reducing specific phobias of small animals menunjukkan bahwa EFT mampu mereduksi fobia spesifik dan menghasilkan perilaku valid. Penelitian yang dilakukan oleh sekelompok peneliti (Steve Wells, dkk.) dari Curtin University, Western Australia (tahun 2000), 2
membuktikan bahwa EFT jauh lebih efektif untuk menyembuhkan phobia (hanya dalam 30 menit), dibandingkan dengan terapi “deep breathing treatment” dan hasilnya tetap bertahan setelah 6 -9 bulan pasca therapy. Penelitian replikasi oleh Harvey Baker dan Linda Siegel dari Queens College di New York (tahun 2000) membuktikan hasil yang sama saat membandingkan efektivitas EFT dengan pendekatan konselling (dalam Zainuddin, 2006). Waite & Holder (2003) hasil penelitiannya menggambarkan bahwa EFT sangat signifikan sebagai alternatif treatment untuk mengatasi ketakutan. Church, Geronilla, dan Dinter, (2009) juga sangat efektif dalam mengatasi para veteran yang berkasus, seperti PTSD, fobia, paranoid, obsesive, depresi, dan gangguan psikologis lainnya. SEFT merupakan penggabungan antara spiritualitas, melalui doa, keikhlasan, dan kepasrahan, dengan energy psychology. Teknik ini telah dibuktikan oleh berbagai macam riset ilmiah. SEFT dikembangkan dari Emotional Freedom Technique (EFT), oleh Gary Craig, yang saat ini sangat populer di Amerika, Eropa, dan Australia sebagai solusi tercepat dan temudah untuk mengatasi berbagai masalah fisik, emosi, serta performa kerja. Saat ini EFT telah digunakan oleh sekitar 100.000 orang di seluruh dunia (Zainuddin, 2009). Beberapa bukti sudah menunjukkan bahwa SEFT telah berhasil mengatasi berbagai kasus psikologis, seperti gangguan kecemasan (fobia), kecanduan rokok dan beberapa kasus lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk mengetahui efektifitas model terapi SEFT dalam menangani kasus fobia spesifik. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan rancangan penelitian studikasus tunggal atau small-N-design. Rancangan penelitian studi-kasus tunggal ini biasa diterapkan pada penelitian yang bersifat behavioral analysis (Goodwin, 2005). Adapun elemen desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah ABA design; di mana A adalah fase sebelum terapi, B adalah fase terapi atau intervensi yang kemudian dilanjutkan dengan fase tindak lanjut A (Kazdin, 1998).
3
Studi-kasus tunggal dibagi menjadi dua bagian, yaitu desain kasus tunggal yang
bersifat
eksperimental
dan
non-eksperimental.
Studi-kasus
desain
eksperimental adalah manipulasi eksperimental suatu treatmen yang mempunyai persyaratan khusus, misalnya penghentian treatmen pada waktu-waktu tertentu, yang tidak selalu mungkin dalam situasi klinis (Durand & Barlow, 2006 ; Shaugnessy dkk, 2007 ). Sedangkan, dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode studi-kasus non-ekperimental atau lebih sering dengan disebut case study. Hal ini didasari perlakuan atau treatment yang akan diberikan dari peneliti tidak sepenuhnya dilakukan sebagai sebuah eksperimental murni, sebagaimana yang dilakukan pada studi-kasus desain eksperimental. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah orang yang mengalami fobia spesifik sesuai dengan kriteria DSM IV. Adapun subyek dalam penelitian ini adalah subyek yang sudah didiagnosa mengalami gangguan fobia spesifik. Prosedur Intervensi Prosedur intervensi atau tahapan yang dilakukan dalam intervensi meliputi beberapa tiga tahap, pertama tahap pra-terapi, kedua tahap terapi, dan ketiga tahap pasca terapi. Metode Penilaian dan Pengukuran Penilaian dan pengukuran dilakukan ketika pra-terapi,
selama proses
terapi berlangsung, dan pasca-terapi. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Asesmen Berikut tingkat ketakutan subyek yang diperoleh dari asesmen pra terapi. Tabel 1 Tingkat Ketakutan (Asesmen Pra-terapi) Situasi Ketika ke toilet takut ada peniti yang tertinggal Ke acara pernikahan takut menjumpai
Reaksi Fisiologis
Tingkat Ketakutan Pusing, mual – mual, 90 tangan berkeringat, gemetar dan detak jantung lebih cepat, nafas tidak teratur. Mual – mual, pusing, nafas 85 tidak teratur, gemetaran,
Respon menjauhi, berteriak, meminta orang lain untuk memastikan keberadaan peniti. Menghindar dan tidak mau
4
peniti
berkeringat
Ketika ke mushola Gemetar detak jantung takut ada peniti di lebih cepat, pusing, mual – mushola mual, nafas tidak teratur, berkeringat. Ketika kerumah Gemetar dan detak jantung teman, saudara atau lebih cepat, berkeringat, orang lain takut nafas tidak teratur. menjumpai peniti Menjumpai orang lain Berkeringat, detak jantung takut ada / membawa lebih cepat dan gemetar, peniti. nafas tidak teratur.
75
mendekati pengantin Lari menghindar dan tidak jadi ke mushola.
70
Berteriak, menjauh.
pergi
68
Berteriak, menjauh menghindar
pergi atau
Pada fase ini, tingkat kecemasan subyek berada pada level tertinggi yaitu 90 ketika subyek ke toilet karena takut ada peniti yang mungkin tertinggal, reaksi fisiologis yang muncul adalah pusing, mual – mual, tangan berkeringat, gemetar dan detak jantung lebih cepat, nafas tidak teratur, adapun respon yang dimunculkan adalah menjauhi, berteriak, meminta orang lain untuk memastikan keberadaan peniti. Ketika tingkat kecemasan subyek berada pada level 85, subyek ke acara pernikahan karena takut menjumpai peniti. Reaksi fisiologis yang muncul adalah mual – mual, pusing, nafas tidak teratur, gemetaran, berkeringat, sedangkan respon subyek adalah menghindar dan tidak mau mendekati pengantin. Pada tingkat kecemasan subyek berada pada level 75, subyek ke mushola takut ada peniti di mushola. Reaksi fisiologis yang muncul pada subyek, seperti gemetar detak jantung lebih cepat, pusing, mual – mual, nafas tidak teratur, dan berkeringat, sedangkan respon subyek adalah lari menghindar dan tidak jadi ke mushola. Pada tingkat kecemasan subyek berada pada level 70, subyek pergi ke rumah teman, saudara atau orang lain karena takut menjumpai peniti. Reaksi fisiologis subyek yang muncul adalah gemetar dan detak jantung lebih cepat, berkeringat, nafas tidak teratur. Respon yang muncul dengan situasi tersebut adalah subyek berteriak dan pergi menjauh. Pada tingkat kecemasan subyek berada pada level 68, subyek menjumpai orang lain membawa peniti. Respon fisiologis yang muncul berkeringat, detak jantung lebih cepat dan gemetar, serta nafas tidak teratur. Sedangkan respon subyek dalam menghadapi situasi ini adalah berteriak, pergi menjauh atau menghindar. Hal ini dilakukan sebelum proses terapi. 5
Setelah melakukan asesmen pra terapi dalam penelitian ini, kemudian peneliti mempersiapkan bentuk terapi yang akan digunakan untuk membantu subyek mengatasi permasalahan yang dialaminya. Analisa Hasil Penelitian Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan teknik visual inspection terhadap Subjective Units of Disturbance Scale (SUDS) selama tahap pra-terapi serta sesi terapi. Berikut ini ringkasan berupa grafik tingkat ketakutan yang dialami subyek beserta perubahan-perubahan yang terjadi sebelum proses terapi dan setelah terapi dilakukan. 1. Tingkat ketakutan saat terapi Grafik 1 Tingkat Ketakutan Ketika Terapi 100 95
SUDS Tingkat Ketakutan
100
90
80
85 80 75 70 65 60 55
45
50 45 40
30
35 30
20
25 20
15
15
10
10
10
Putaran 3
Putaran 1
Putaran 2
10
5
5 0 Putaran 1 Pra Terapi
Series1 Tingkat
Putaran 2
Putaran 3
Putaran 1
Terapi Hari I
Putaran 2 Terapi Hari II
Terapi Hari III
Paca-terapi
Ketakutan
Tidak takut 0 5 10 15 20 25 30
Takut 35 40 45
50 55 60 65
Sangat takut 70 75 80 85
90 95 100
Keterangan : 0 : Tidak merasa cemas 10-30 : Sedikit cemas 40-70 : Cukup cemas 70 90 : Cemas 100 : Sangat cemas
6
Berdasarkan
grafik
1
dapat
dilihat
adanya
penurunan
tingkat
kecemasan/ketakutan subyek secara bertahap dan berlangsung relatif cepat. Penurunan tingkat kecemasan/ketakutan yang berarti dapat dilihat dari seluruh rangkaian saat terapi, yaitu pada saat pra-terapi ketakutan subyek pada level puncak, yaitu 100 ini berarti subyek sangat takut/cemas terhadap peniti, kemudian dilakukan terapi hari pertama pada putaran pertama subyek pada level 80, putaran kedua pada level 45, dan pada putaran ketiga pada level 30, hal ini menunjukkan hasil penurunan tingkat kecemasan/ketakutan yang sangat signifikan dari sangat takut menjadi sedikit takut/cemas. Terapi hari kedua, pada putaran pertama ketakutan subyek pada level 20, hal ini mengalami penurunan tingkat ketakutan/kecemasan karena subyek sudah berlatih sendiri sebagai tugas rumah, pada putaran kedua level ketakutan subyek menurun pada posisi 15 dan pada level inilah subyek berani memegang objek fobianya (peniti), dan pada putaran ketiga tingkat ketakutan subyek menurun lagi sampai pada posisi 10. Terapi hari ketiga, pada putaran pertama dan kedua ketakutan subyek menetap pada level 10, hal ini karena subyek sudah berani memegang objek fobianya (peniti) namun masih ada sedikit rasa ngeri sehingga subyek belum berani memakai peniti tetapi hanya memegangnya saja. Pada tahap pasca-terapi atau sebulan setelah proses terapi ketika fase tindak lanjut posisi ketakutan subyek menetap pada level 5, hal ini menunjukkan adanya penurunan dari sebelumnya, karena subyek sering berlatih sendiri menggunakan terapi SEFT.
7
2. Perubahan Reaksi fisiologis dan respon yang muncul pada situasi tertentu karena takut adanya peniti Tabel 2
Ketika kerumah teman, saudara atau orang lain takut menjumpai peniti
Pra Terapi Reaksi Fisiologis Pusing, mual – mual, tangan berkeringat, gemetar dan detak jantung lebih cepat, nafas tidak teratur. Gemetar detak jantung lebih cepat, pusing, mual – mual, nafas tidak teratur, berkeringat. Gemetar dan detak jantung lebih cepat, berkeringat, nafas tidak teratur.
Menjumpai orang lain takut ada / membawa peniti.
Berkeringat, detak jantung lebih cepat dan gemetar, nafas tidak teratur.
Situasi Ketika ke toilet takut ada peniti yang tertinggal
Ketika ke mushola takut ada peniti di mushola
Respon menjauhi, berteriak, meminta orang lain untuk memastikan keberadaan peniti. Lari menghindar dan tidak jadi ke mushola. Berteriak, pergi menjauh.
Pergi menjauh atau menghindar
Pasca Terapi Reaksi Fisiologis Tangan terasa dingin dan detak jantung sedikit lebih cepat dari biasanya Tidak ada reaksi yang signifikan Detak jantung terkadang lebih cepat dari sebelumnya dan telapak tangan kadang berkeringat Detak jantung lebih cepat dari sebelumnya dan telapak tangan kadang berkeringat.
Respon Tidak ada respon yang maladaptif
Tidak ada respon maladaptif yang signifikan Diam tidak merespon apa-apa hanya memandangi saja. Diam tidak merespon apa-apa hanya memandangi saja.
8
Pada tahap pra-terapi, subyek masih menunjukkan reaksi fisiologis dan respon yang berlebihan, karena fobia yang dialaminya. Reaksi fisiologis subyek ditunjukkan dengan adanya rasa pusing, mual – mual, tangan berkeringat, gemetar dan detak jantung lebih cepat, dan nafas tidak teratur, jika subyek ke toilet, mushola, kerumah orang lain, dan bertemu dengan orang lain, karena subyek takut ada peniti. Adapun respon subyek menunjukkan perilaku lari menjauhi, berteriak, meminta orang lain untuk memastikan keberadaan peniti dan tidak jadi pergi ke tempat tujuan. Terapi SEFT dengan memanfaatkan sistem energi tubuh dan afirmasi dapat membantu subyek lebih rileks dan berani menghadapi situasi – situasi yang selama ini membuatnya tersiksa. Perubahan ini dapat diketahui dari reaksi fisiologis dan respon subyek setelah menjalani terapi. tabel 4.3 menunjukan gambaran adanya perubahan reaksi fisiologis dan respon subyek dalam menghadapi situasi yang membuat dirinya selama ini merasa tidak nyaman. Grafik 2 Perubahan tingkat ketakutan subyek Pra Terapi – Pasca-terapi 100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
SUDS
Pra
Terapi Hari I
Terapi Hari II
Terapi Hari III
Pascaterapi
Ketika ke toilet Ketika ke mushola Ketika kerumah orang lain Ketika menjumpai orang lain
Tidak takut 0 5 10 15 20 25 30
Takut 35 40 45
50 55 60 65
Sangat takut 70 75 80 85
90 95 100
9
*Berdasarkan Subjective Units Disturbance Scale. Keterangan : 0 : Tidak merasa cemas 10-30 : Sedikit cemas 40-70 : Cukup cemas 70 90 : Cemas 100 : Sangat cemas
Berdasarkan data yang terpapar pada grafik 2 di atas dapat dilihat bahwa proses penurunan tingkat kecemasan subyek terjadi dalam waktu yang relatif cepat dan terlihat adanya arah yang semakin lama semakin menurun dibanding saat pra-terapi. Pada proses terapi hari pertama terjadi proses penurunan yang sangat signifikan, yaitu ketika ke toilet menjumpai peniti ketakutannya dari 90 menjadi 40, begitu juga dengan ke mushola menjumpai peniti ketakutannya dari 75 menjadi 30, ketika kerumah teman, saudara atau orang lain menjumpai peniti ketakutannya dari 70 menjadi 30, dan begitu juga ketika menjumpai orang lain menjumpai peniti ketakutannya dari 68 menjadi 30. Pada hari kedua, hasil terapi juga menunjukkan penurunan tingkat kecemasan yang cukup drastis. Pada situasi ketika ke toilet awalnya 40 menjadi 20, begitu juga ketika ke mushola, kerumah orang lain, dan ketika menjumpai orang lain masing - masing
awalnya 30
menjadi 10. Pada hari ketiga, hasil terapi juga menunjukkan adanya penurunan tingkat kecemasan, yaitu pada situasi ketika kemushola, kerumah orang lain, dan ketika menjumpai orang lain masing-masing awalnya pada tingkat 10 turun menjadi 5, sedangkan ketika ketoilet penurunannya terjadi secara gradual, yaitu awalnya 20 menjadi 10, hal ini karena subyek paling sering menjumpai peniti ketika di toilet. Pada tahap pasca-terapi, yaitu saat tindak lanjut menunjukkan penurunan yang merata yaitu pada level 5 pada semua situasi. Adanya penurunan tingkat kecemasan subyek pada beberapa situasi tersebut memperlihatkan adanya pengaruh terapi SEFT terhadap individu yang mengalami fobia. Pembahasan Berdasarkan data penelitian di atas menunjukkan bahwa terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) dapat membantu subyek dalam menangani dan mengurangi perilaku fobia yang dideritanya. Hal ini tidak terlepas dari motivasi subyek dan teknik terapi yang diberikan kepada subyek. 10
Pemberian terapi SEFT dalam proses terapi ini didasarkan pada karakteristik simtom fobia subyek, yaitu selalu menghindar, berteriak, tegang, gemetar, jantung berdetak dengan cepat, nafas tidak teratur, karena ketakutan yang berlebihan pada peniti sehingga subyek seringkali tersiksa dengan keadaannya ini. Sebagaimana yang diuraikan oleh Nevid dan Green (2005) bahwa fobia merupakan ketakutan yang berlebihan dan persisten terhadap objek atau situasi spesifik, seperti ketakutan terhadap ketinggian (acrophobia), takut terhadap tempat tertutup (claustrophobia), atau ketakutan terhadap binatangbinatang kecil seperti tikus atau ular atau binatang “melata menjijikkan” yang lainnya. Individu mengalami tingkat ketakutan dan reaksi fisiologis yang meninggi bila bertemu dengan objek fobia, sehingga menimbulkan dorongan kuat untuk menghindar atau melarikan diri dari situasi atau stimulus yang ditakutkan. Berdasarkan data penelitian dapat dilihat bahwa terjadinya penurunan tingkat kecemasan dan perubahan reaksi fisiologis serta respon diawali sejak subyek mendapat terapi SEFT pada hari pertama terapi dan terus berangsurangsur hingga terapi dihentikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian beberapa peneliti (Waite & Holder, 2003; Church, Geronilla, dan Dinter, 2009; Steve Wells, 2000; Harvey Baker dan Linda Siegel dari Queens College di New York (2000); Wells, Polglase, Andrews, Carrington, & Baker, 2003; McCarty, 2008), bahwa EFT mampu mereduksi perilaku fobia spesifik dan menghasilkan perilaku yang lebih adaptif. Begitu juga dengan hasil penelitian Kartika (2008) tentang SEFT
yang digunakan untuk mengurangi emosi negatif pada penderita
skizophrenia paranoid yang mampu mengurangi emosi negatifnya sehingga perilakunya lebih adaptif dan juga sebagaimana hasil penelitian Hidayati (2009) terapi SEFT mampu meningkatkan kecerdasan spiritual remaja. Perubahan perilaku fobia pada diri subyek bukanlah suatu proses yang mudah, hal ini memerlukan motivasi dan keyakinan subyek untuk merubah emosi negatif menjadi emosi positif yang lebih adaptif terhadap objek fobianya (peniti) melalui terapi SEFT. Untuk membebaskan emosi negatif subyek, terapi SEFT cukup dengan menselaraskan
sistem energi tubuh dan melakukan afirmasi.
Sebagaimana yang diuraikan Zainuddin (2009) bahwa jika aliran energi tubuh 11
terganggu karena dipicu kenangan masa lalu, trauma, proses belajar yang salah yang tersimpan dalam alam bawah sadar, maka emosi menjadi kacau, mulai dari yang ringan seperti bad mood, malas dan tidak termotivasi melakukan sesuatu, hingga yang berat seperti PTSD, depresi akut, phobia, kecemasan berlebihan dan stress berkepanjangan. Semua ini disebabkan terganggunya sistem energi tubuh, oleh karena itu, untuk mengatasinya dengan menetralisir kembali gangguan energi itu melalui SEFT. Bila diperhatikan secara menyeluruh hasil terapi menunjukkan perubahan yang cukup cepat antar sesinya, hal ini lebih disebabkan subyek merasa lebih rileks dan tenang setelah proses terapi. Sepanjang terapi SEFT terdapat proses relaksasi dan hal ini sangat membantu subyek. Sebagaimana hasil penelitian Jacobson dan Wolpe menunjukkan bahwa relaksasi dapat mengurangi ketegangan dan kecemasan (dalam Prawitasari dkk, 2002). Pada waktu orang mengalami ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatetis, sedangkan pada waktu rileks yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatetis. Dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa cemas dengan resiprok, sehingga timbul counter conditioning dan penghilangan (Bellak dan Hersen, 1977; Prawitasari, dkk, 2002). Selain adanya proses relaksasi yang mampu mengurangi ketegangan subyek, terapi SEFT juga melakukan afirmasi spiritual, yaitu terdapat pada tahap tune in dengan mengucapkan kalimat doa, kepasrahan dan keikhlasan kepada Tuhannya dan afirmasi kalimat ikhlas dan pasrah diucapkan beberapa kali sebagai penegasan dan penguatan atas ketidakberdayaannya dan selanjutnya menyerahkan sepenuhnya kepada Yang
Maha Kuasa (Zainuddin, 2009), hal ini mampu
merubah keyakinan subyek selama ini sehingga subyek lebih adaptif pada objek fobianya. Dengan demikian, terapi yang mengkombinasikan antara spiritualitas (melalui doa, keikhlasan, dan kepasrahan) dan energy psychology cukup efektif untuk menetralisir emosi negatif sehingga subyek lebih adaptif terhadap objek fobianya. Selain faktor terapi di atas, adanya perubahan yang dialami subyek tidak lepas dari keinginan yang kuat untuk dapat sembuh dari fobia yang dialaminya, 12
hal ini juga ditunjang oleh kesediaan subyek untuk mengikuti terapi atas kemauannya sendiri, motivasi yang kuat untuk berubah, dan keaktifan atau keterlibatan subyek secara penuh selama menjalani sesi-sesi terapi termasuk belajar menerapkan ke situasi-situasi di luar fokus terapi. Hal ini berarti pula bahwa pada dasarnya teknik terapi ini dapat diterapkan sendiri oleh subyek di luar perilaku yang menjadi fokus terapi (self help) tanpa bantuan peneliti karena keterampilan yang telah dibekalkan kepadanya. Sebagaimana yang diuraikan Oemarjoedi (2003), yang menyatakan perlunya terapis untuk mempersiapkan tindakan-tindakan profesional untuk mengatasi adanya
ketergantungan
subyek
terhadap
terapis
(transference)
dengan
memberikan latihan self-help bagi subyek untuk dapat membantu subyek mengatasi permasalahannya secara mandiri.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) mampu menurunkan ketakutan yang berlebihan secara signifikan pada penderita gangguan fobia spesifik. Penurunan level kecemasan atau ketakutan berdasarkan SUDS (Subjective Units Disturbance Scale) selama pemberian terapi dan terdapat perubahan reaksi fisiologis dan respon pada perilaku subyek. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah kajian keilmuan psikologi. Selanjutnya, beberapa keterbatasan dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan
untuk
melakukan
menyempurnakan
penelitian
keterbatasan
selanjutnya
penelitian
ini.
dengan Maka
dari
harapan itu,
dapat peneliti
menyampaikan beberapa saran sebagaimana di bawah ini. Saran Hasil penelitian yang ada menuntut adanya pemberian beberapa saran, yaitu :
13
a. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan replikasi pada penelitian ini, disarankan untuk dapat mempertimbangkan keterlibatan pihak lain, seperti keluarga atau teman sebagai faktor pendukung bagi subyek penelitian. b. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan menggunakan baseline, agar hasilnya lebih objektif dan mengetahui lebih dalam perbedaan pra-terapi sampai dengan pasca-terapi. c. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan membuat indikator kecemasan untuk menentukan tingkat kecemasan dengan menggunakan skala SUD, agar lebih objektif. d. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan alat ukur yang memiliki sifat yang obyektif dan terstandarisasi seperti BAI atau BDI. e. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan replikasi pada penelitian ini, disarankan untuk dapat menggunakan teori yang lebih relevan mengenai SEFT dan memperkaya hasil – hasil penelitian yang terkait dengan terapi SEFT. f. Bagi subyek penelitian diharapkan selalu mengaplikasikan SEFT yang telah diberikan oleh terapis untuk membantu subyek mengatasi simtom-simtom fobianya yang mungkin masih dirasakan.
DAFTAR PUSTAKA Alamsyah I., (2009). Cara Menemukan Titik Terapi Acupoint, By Isa (diterbitkan untuk kalangan sendiri, Jakarta Benor D.J. (2002), “Self-Healing: Meridian-based Therapies and EMDR”. Dalam Willem Lammers & Beate Kircher (Eds). The Energy Odyssey: New Directions in Energy Psychology. Ias Publications: Bahnhofstasse. Benor D. J., Ledger, K., Toussaint, L., Hett, G., & Zaccaro, D. (2008). Pilot study of Emotional Freedom Technique (EFT), Wholistic Hybrid derived from EMDR and EFT (WHEE) and Cognitive Behavioral Therapy (CBT) for treatment of test anxiety in university students. Explore: The Journal of Science and Healing. In press. Diakases dari http://www.emofree.com/Research/Research-accepted/eft-whee-cbtanxiety.htm, diakses pada 03 September 2009. Boorstein, S. (2002). “Transpersonal Psychotherapy”. American Journal of Psychotherapy. Choy, Yuan. (2007). Treatment of specific phobia in adults clinical psychology review. Elsevier Ltd : United States. Craig G. (tanpa tahun). The EFT Manual. Sixth edition. Diakses dari http://www. emofree.com/downloadeftmanual.asp, diakses pada 25 Agustus 2009. 14
Craig, G., Bach, D., Groesbeck, G., & Benor, D. J., (2009). Emotional Freedom Techniques (EFT) For Traumatic Brain Injury. International Journal of Healing and Caring, May. 9(2), 1-12. Diakses dari http://www.emofree.com/Research/Research-accepted/Traumatic-BrainInjury-Dan.htm, diakses pada 29 Desember 2009 Carrington P. (2002), “The Power of Using Affirmations with Energy Therapy”. Dalam Willem Lammers & Beate Kircher (Eds). The Energy Odyssey: New Directions in Energy Psychology. Ias Publications: Bahnhofstasse. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder .Fourth Edition. (2000). American Psychiatric Association: Washington DC. Durand, V.M., & Barlow, D.H.,(2006). Psikologi Abnormal. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Davison, G.C & Neale, K,.(2006). Psikologi Abnormal. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta. Effendi, T. (2006). Meraih Sukses Dengan Pencerahan Diri. PT Elexmedia Komputindo: Jakarta Glaser, R. (1987). Cognitive and environmental perspectives on assessin achievement. In E. E. Freeman (Ed.), Assessment in the service of learning. Proceedings of the 1987 ETS Invitational Conference (pp. 37-43). Princeton, NJ: Educational Testing Service. Goldfried, M. R., & Davison, G. C. (1976). Clinical Behavior Therapy. Holt, Rinehart and Winston: New York Gregor, M. S. (2005). Piece Of Mind . Terjemahan. PT Gramedia Pustaka: Jakarta Goodwin, C.J.,(2005). Research in Psychology Method and Design. Fourth Edition. Jhon Wiley & Son, Inc : USA. Hawari, D. (2004). Kanker Payudara Dimensi Religi. FKUI: Jakarta Hawari, D. (2005). Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. Hawton, K., Salkovskis, P. M., Kirk, J., & Clark, D. M. (1993). Cognitive Behaviour Therapy for Psychiatric Problems. Oxford University Press: New York Hidayati, F., (2009) Efektivitas Terapi SEFT dalam Meningkatkan Kecerdasan Spiritual Remaja. Skripsi: Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang: Malang Kartika, Y., A., (2008) Penggunaan SEFT untuk Mengurangi Emosi Negatif Pada Penderita Schizophrenia Paranoid Pasca Rawat Inap. Tugas Akhir Program Profesi Magister Psikologi Fakultas Psikologi Unair: Surabaya. Kazdin,A.E.,(1998). Research design in clinical psychology. America Psychological Association: Washington DC Kerlinger, F. N. (2003). Asas-asas penelitian behavioral. Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press: Yogyakarta. McCarty, W. A., (2008). Clinical Story of a 6-Year-Old Boy’s Eating Phobia: An Integrated Approach Utilizing Prenatal and Perinatal Psychology with Energy Psychology’s Emotional Freedom Technique (EFT) in a Surrogate Nonlocal Application. Journal of Prenatal & Perinatal Psychology & Health, 21(2), 117-139. Diakses dari 15
http://www.emofree.com/Research/Research-accepted/eating-phobiamccarty.htm, pada 03 September 2009 Moleong, L.J. (2004). Metodologi penelitian kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung Martin, G., & Pear, J.,(2007). Behavior Modification What it and How do it. Eight Edition. Pearson Prentice Hall : New Jersey. Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Green, E. B. (2005). Psikologi Abnormal (Terjemahan). Erlangga: Jakarta. Nightingale, M., (2010). Buku Pintar Akupuntur. Think: Jogjakarta Oemarjoedi,A.K,.(2003). Pendekatan cognitive behavior dalam psikoterapi. : Penerbit Creative Media: Jakarta Patilima, H (2005). Metodologi penelitian kualitatif. Penerbit Alfabeta. IKAPI Cabang Jawa Barat. Pinel P. J. John, (2009) Biopsikologi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Prawitasasri, dkk (2002) Psikoterapi. Penerbit Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Rahayu, T & Ardani,T.A,.(2004). Observasi & Wawancara. Bayumedia Publishing. Malang Rowan, J. (1993). The Transpersonal: Psychotherapy and Counseling. Routledge, New York. Sundberg, N. D., (1977), Assessment of Person. Englewood Cliffs, Inc. New Jersey. Sundberg, N. D., Winebarger, A. A., & Taplin, J. R. (2007). Psikologi Klinis. Terjemahan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Swingle, P., Pulos, L., & Swingle, M. K. (2005). Neurophysiological Indicators of EFT Treatment Of Post-Traumatic Stress. Journal of Subtle Energies & Energy Medicine. 15, 75-86. Diakses dari http://www.emofree.com/Research/Researchaccepted/pulos-swingle-eft.htm, diakses pada 03 September 2009. Supriyatno, (2008) Anak umur 9 tahun menterapi sendiri phobia pada kecoa dengan SEFT. Diakses dari http://www.logosinstitute.com/index.php?menu=news&id=41, diakses pada 03 September 2009. Trull, T.J., & Phares, J.E.,(2001). Clinical psychology concepts, methods,and profession. sixth edition. Wadsworth Thompson Learning: USA. Vangsapalo, D., (2010). EFT : Terapi Modern yang Mengubah Hidup Anda. Quantum Success Publishing: Tangerang. Wells, S., Polglase, K., Andrews, H. B., Carrington, P. & Baker, A. H. (2003). Evaluation of a meridian-based intervention, emotional freedom techniques (EFT), for reducing specific phobias of small animals. Journal of Clinical Psychology, 59:9, 943-966. Dari http://www.emofree.com/Research/Research-accepted/wells-study.htm, diakses pada 03 September 2009. Westra, H. A., & Phoenix, E. (2003). Motivational enhancement therapy in two case of anxiety disorder. Journal of Clinical Case Studies, Vol.2, No.4, 306-322. Yayasan Al-Madinah Surabaya, (2007). Terapi SEFT Hilangkan Fobia Tangga. Dari http://www.logos-institute.com/index.php?menu=news&id=23. diakses 16
pada 25 Agustus 2009. Zainuddin F.A.(2006). SEFT Cara Tercepat dan Termudah Mengatasi Berbagai Masalah Fisik dan Emosi. Edisi revisi. PT Arga Publishing: Jakarta. Zainuddin F.A.(2009). SEFT for Healing, Success, happiness, Greatness. Timur, Afzan Publishing: Jakarta.
17