PREDIKSI ANOMALI CURAH HUJAN BULANAN DI WILAYAH MAKASSAR MENGGUNAKAN TEKNIK STATISICAL DOWNSCALING MONTHLY RAINFALL ANOMALY PREDICTION USING STATISTICAL DOWNSCALING TECHNIQUE IN MAKASSAR Mamenun Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jl.Angkasa I no. 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720 telp.021-4246321 Email :
[email protected]
Naskah masuk: 3 Juli 2012; Perbaikan terakhir: 9 Desember 2012 ; Naskah diterima: 21 Desember 2012
ABSTRAK Suhu permukaan laut (SST) merupakan salah satu parameter siklus atmosfer global yang mempunyai peran besar dalam pembentukan uap air dan awan di atmosfer hingga terjadinya hujan. Keragaman curah hujan di Indonesia diduga kuat dipengaruhi oleh suhu permukaan laut. Data anomali suhu permukaan laut pada wilayah grid perairan Sulawesi (ukuran 8x8), grid perairan Indonesia (26x10) dan grid Nino3.4 (26x7) digunakan sebagai prediktor untuk membuat model prediksi anomali curah hujan di Makassar. Teknik statistical downscaling, yaitu model PCR dan PLSR, selanjutnya digunakan untuk mengetahui sensitivitas anomali SST terhadap anomali curah hujan dan untuk memprediksi anomali curah hujan menggunakan model terbaik. Sifat hujan di wilayah Makassar mempunyai pola monsun dengan satu kali puncak hujan. Pada model PCR, nilai korelasi anomali curah hujan dan anomali SST paling tinggi yaitu terdapat pada wilayah grid perairan Indonesia, sedangkan pada model PLSR nilai korelasi paling tinggi terdapat pada wilayah grid perairan Sulawesi. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara model PCR dan PLSR pada masing-masing wilayah perairan dimana masing – masing model menunjukkan performa berbeda. Prediksi anomali hujan di wilayah Makassar dipengaruhi lebih kuat oleh suhu permukaan laut di wilayah perairan Sulawesi dengan nilai korelasi tertinggi menggunakan model PLSR. Kata Kunci: anomali suhu muka laut, anomali curah hujan, PCR, PLSR.
ABSTRACT Sea surface temperature (SST) has a huge effect creating water vapor and cloud for precipitation in the atmosphere. Rainfall variability in Indonesia has been influenced by SST. The anomaly of SST data on the Sulawesi Ocean grid, Indonesia Ocean grid and Nino3.4 grid are used as predictors to develop a rainfall anomaly model prediction in Makassar. On this paper, PCR and PLSR models as statistical downscaling technique are used to assess the rainfall sensitivities toward SST. Furthermore, this model will be chosen and will be used to predict rainfall. On the PCR model, correlation value between rainfall and SST anomaly in Indonesia Ocean grid is the highest than the others. Comparison between PCR and PLSR model in each grid has been done in which every model showed different performance. Prediction of rainfall anomaly in Makassar is more influenced by SST anomaly in grid Sulawesi using PLSR model. Keywords : sea surface temperature anomaly, rainfall anomaly, PCR, PLSR.
PREDIKSI ANOMALI CURAH HUJAN BULANAN.....................................................................................................................Mamenun
169
I. Pendahuluan Letak geografis Indonesia yang berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera India, dan benua Asia-Australia menyebabkan iklim Indonesia dipengaruhi oleh siklus atmosfer global. Salah satu parameter siklus atmosfer adalah suhu permukaan laut yang berperan besar dalam pembentukan uap air di atmosfer dan pembentukan awan hingga terjadinya hujan. Keragaman curah hujan di Indonesia di wilayah Maluku dipengaruhi oleh tiga wilayah suhu permukaan laut, SST (Sea Surface Temperature); yaitu SST Indonesia, SST Nino 3.4 di kawasan Pasifik dan SST di Samudera India (Indian Ocean Dipole Mode, IODM)[1]. Kondisi anomali SST Indonesia sangat berperan terhadap maju-mundur awal musim hujan dan panjang pendek musim hujan di Ambon, demikian halnya dengan anomali SST Nino 3.4 mempunyai pengaruh signifikan terhadap awal musim hujan dan panjang periode musim hujan di Ambon [1]. Penelitian lain menunjukkan bahwa anomali curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia mempunyai korelasi nyata dengan anomali SST zone Nino-3 pada musim kemarau dan musim hujan [2]. Di wilayah Sulawesi anomali curah hujan di sejumlah stasiun mempunyai korelasi nyata terhadap anomali SST Nino 3 pada musim kemarau, dan sejumlah lainnya berkorelasi nyata pada musim hujan. Stasiun yang mempunyai korelasi nyata antara anomali curah hujan dengan anomali SST di Sulawesi umumnya terletak cukup jauh dari garis khatulistiwa baik di bagian selatan maupun utara equator [2]. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk analisis kondisi anomali suhu permukaan laut, adalah menggunakan teknik Statistical Downscaling (SD). Teknik ini mengembangkan hubungan kuantitatif antara variabel atmosfer skala global sebagai predictor (peubah bebas) dan peubah lokal sebagai predictant atau peubah tak bebas [3]. Statistical downscaling didasarkan pada gambaran bahwa iklim regional ditentukan oleh dua faktor; skala iklim besar, dan sifat fisiografis regional/lokal seperti topografi, distribusi daratan-lautan dan penggunaan lahan [3]. Skema SD juga dapat menggunakan output GCM sebagai data untuk membuat prediksi [4]. Hasil prediksi sirkulasi global GCM mempunyai potensi untuk memprediksi curah hujan skala lokal/stasiun menggunakan metode SD [4]. Prediksi curah hujan pada suatu wilayah dapat diprediksi berdasarkan data global (GCM) seperti suhu permukaan laut [5]. Kondisi suhu permukaan laut di wilayah Pasifik
diketahui mempengaruhi variabilitas curah hujan di Indonesia. Sehingga diketahui indikasi kejadian-kejadian global seperti El-Nino dan La-Nina yang berdampak pada curah hujan di Indonesia. Pada tulisan ini, teknik statistical downscaling akan digunakan untuk mengetahui hubungan dan prediksi anomali suhu permukaan laut terhadap anomali curah hujan bulanan di wilayah Makassar - Sulawesi Selatan menggunakan teknik Principal Component Regression (PCR) dan Partial Least Square Regression (PLSR). Selain itu, juga akan dilakukan perbandingan antara model PCR dan PLSR serta memilih model terbaik untuk prediksi anomali curah hujan di wilayah Makasar. Wilayah ini dipilih menjadi lokasi studi karena merupakan salah satu sentra produksi pangan (padi) dimana kondisi variabilitas iklim terutama curah hujan sangat mempengaruhi produktivitas padi. Sehingga perlu diketahui sejauh mana pengaruh anomali suhu permukaan laut terhadap anomali curah hujan menggunakan teknik regresi terbaik. Anomali suhu permukaan laut di wilayah perairan Indonesia, kawasan pasifik dan kawasan Samudera Hindia, dapat digunakan untuk penentuan awal musim dan panjang musim [1].
2. Metode Penelitian 2.1. Data Data yang digunakan adalah data anomali suhu permukaan laut (AnoSST) dengan domain tiga wilayah grid; yaitu: 1. Grid Perairan Indonesia (AnoSST Indonesia) dengan ukuran 26 x 10 terletak pada 6o LU – 11o LS, dan 95o – 141o BT. 2. Grid Perairan Sulawesi (AnoSST Sulawesi) dengan ukuran domain 8 x 8/bujur sangkar terletak pada 4o LU – 12o LS dan 114o – 128o BT. 3. Grid perairan Nino 3.4 dengan ukuran 26 x 7, terletak pada 5o LU – 5o LS, 120o – 170o BB. Series data yang digunakan adalah data tahun 1985 – 2005 dengan resolusi 2o x 2o (National Oceanic & Atmospheric Administration (NOAA) National Climatic D a t a C e n t e r ( N C D C ) E R S S T V. 3 b (http://www.iridl.ldeo.columbia.edu).6) Domain wilayah yang digunakan dalam analisis ditunjukkan pada Gambar 1-3.
Gambar 1. Domain SST grid perairan Indonesia JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 13 NO. 3 TAHUN 2012 : 169-178
170
Gambar 2. Domain SST grid perairan Sulawesi
Gambar 3. Domain SST wilayah perairan Nino 3.4 (sumber : www.srh.noaa.gov )
Data response yang digunakan adalah data anomali curah hujan (AnoCH) selama 20 tahun yaitu tahun 1985 – 2005 di Stasiun Meteorologi Hasanudin, Makassar, Sulawesi Selatan, berlokasi pada koordinat -5.13 LS dan 119.414 BT, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 (Sumber: BMKG). Selanjutnya dilakukan validasi hasil prediksi anomali curah hujan menggunakan data tahun 2006 berdasarkan model PCR dan PLSR.
2.2. Metode 1. Anomali Suhu Muka Laut dan Anomali Curah Hujan Analisis dan pemodelan curah hujan dilakukan untuk mengkaji hubungan anomali suhu permukaan laut (AnoSST) dengan anomali curah hujan (AnoCH). Tahapan ini ditujukan untuk mengidentifikasi kepekaan curah hujan akibat keragaman iklim melalui AnoSST.
Gambar 4. Posisi Stasiun Meteorologi Hasanudin- Sulawesi Selatan PREDIKSI ANOMALI CURAH HUJAN BULANAN.....................................................................................................................Mamenun
171
AnoCH pada suatu bulan tertentu adalah selisih antara suatu nilai pengamatan pada satu bulan tertentu dengan nilai rata-rata bulan tersebut pada periode pengamatan AnoCH dinyatakan menggunakan persamaan : (1) (2) Dimana: Yj = nilai rata-rata curah hujan pada bulan ke-j, Yij = data curah hujan bulan ke-j pada pengamatan ke-i, ? Yij = anomali curah hujan bulan ke-j pada pengamatan ke-i, dan Nj adalah jumlah pengamatan untuk curah hujan bulan ke-j. Sedangkan Anomali suhu permukaan laut (AnoSST) dihitung berdasarkan hasil pengurangan antara nilai SST aktual dengan nilai SST rata-rata tempat yang bersangkutan [1]. AnoSST dihitung berdasarkan: AnoSST = SSTa – SSTm
, m = 1,2…..M em =eigenvector, mth merupakan PC ke-1, ke-2,dst.
Fungsi nilai eigen atau fungsi amplitude spasial, dapat digambarkan untuk menunjukkan gambaran visual dan spasial variansi untuk setiap mode/PC [9]. Setiap PC orthogonal terhadap PC lainnya. PC pertama (PC1) menjadi pola yang paling dominan dan menjelaskan lebih banyak variansi, kemudian PC2 akan menjadi PC kedua yang dominan, diikuti PC3 dan seterusnya [5].Selanjutnya adalah menghitung skor amplitude menggunakan persamaan : (5) Dimana Zt(x) adalah skor amplitude piksel x; em adalah eigenvector; Z'(x,t) adalah nilai yang distandarisasi dari data matrik dan N dalam jumlah gambar.
(3)
Dimana AnoSST = nilai anomali SST pada tempat yang bersangkutan (oC), SSTa = nilai SST aktual (oC), dan SSTm = nilai SST rata-rata (dari series data yang cukup panjang dimana pada penelitian ini digunakan periode 1985-2005). Jika nilai SST aktual lebih tinggi dibanding nilai rata-ratanya, maka nilai AnoSST akan positif. Demikian sebaliknya, jika nilai SST aktual lebih rendah dibanding nilai rata-ratanya, maka nilai AnoSST akan negatif.
2. Regresi Komponen Utama (Principle Component Regression/PCR)
Perhitungan korelasi pada PC dirumuskan menggunakan persamaan : (6) Dimana; PC (um) merupakan kombinasi liniear terhadap peubah xk, λm adalah eigenvalue ke-m, sk,k menunjukkan variansi [8]. Tingkat sensitivitas CH stasiun di wilayah studi dapat dilakukan dengan pembuatan model regresi keterkaitan AnoCH terhadap AnoSST. Model persamaan penduga AnoCH berdasarkan AnoSST dinyatakan sebagai: AnoCH = a + bAnoSST
Analisis hubungan antara AnoSST dengan AnoCH dilakukan dengan menggunakan analisis Komponen Utama Regresi (PCR). PCR digunakan terutama untuk mengatasi masalah multikolinieritas yang sering ditemukan akibat adanya ketergantungan (dependence) peubah bebas tanpa harus mengeluarkan peubah bebas yang terlibat hubungan kolinier [7]. PCR menggunakan sejumlah komponen hasil PCA (Principle Component Analysis/Analisis Komponen Utama) sebagai peubah bebas dan data curah hujan observasi stasiun sebagai peubah tak bebas. PCA mereduksi data set yang mengandung jumlah peubah data yang besar menjadi sebuah data set yang mengandung beberapa peubah baru [8]. Analisis komponen utama regresi diawali dengan mereduksi peubah bebas menjadi peubah baru (PC). Kemudian dilakukan analisis regresi antara peubah baru tersebut dengan AnoCH. Peubah baru (PC) dinyatakan sebagai elemen um dari matrik u (matrik PCA M x 1) yang dihitung secara berturut-turut dari jumlah maksimum peubah gabungan x' (bersifat unik yang ditemukan oleh eigenvector dari matrik kovarian x) [8]. Selanjutnya, peubah baru um ditentukan dengan menggunakan persamaan:
(7)
Model yang dihasilkan akan mempunyai nilai b beragam mulai dari nilai sangat negatif, nol dan sangat positif. Makin positif atau makin negatif nilai koefisien ini, menunjukkan semakin sensitif AnoCH terhadap AnoSST [2]. Model tersebut akan ditransformasikan kembali ke bentuk semula dengan menggunakan metode Regresi Komponen Utama (PCR) yang digunakan sebagai model penduga untuk memprediksi curah hujan di tahun berikutnya.
3. Regresi Kuadrat Terkecil Parsial (Partial Least Square Regression/PLSR) Regresi kuadrat terkecil parsial (PLSR) merupakan soft model yang dapat menjelaskan struktur keragaman data yang digunakan apabila terjadi multikolinieritas diantara prediktor dalam suatu analisa [10]. PLSR juga digunakan untuk menentukan hubungan fundamental antara dua matrik (X dan Y), disebut variable Latent untuk memodelkan struktur peragam (covariance) dalam dua peubah tersebut. Model ini akan mencari petunjuk multidimensi dalam peubah X yang menjelaskan
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 13 NO. 3 TAHUN 2012 : 169-178
172
(4)
keragaman multidimensi maksimum dalam peubah Y. Ekstraksi sejumlam komponen, X dan Y dilakukan dengan cara dekomposisi X dan Y secara simultan yang diikuti dengan tahapan regresi dimana hasil dekomposisi X digunakan untuk memprediksi Y. Sehingga PLSR mencakup PCA, analisis peragam, dan regresi ganda [11]. Apabila metode PCA dapat mengurangi dimensi dari suatu matriks dengan cara mengambil peubah yang menjadi principal component – nya, maka PLSR dapat mengambil principal component dari suatu hubungan antara independent variables (X) berukuran n x k (n jumlah pengamatan, k jumlah peubah bebas) dan Dependent Variable (Y) berukuran n x m (m adalah jumlah peubah tidak bebas), atau disebut principal direction. Dalam PLSR pereduksian melibatkan peubah bebas dan peubah tidak bebas secara bersama sehingga diperoleh penduga model. Principle direction dari sebuah model regresi adalah Skor X(ta). Skor X(ta) dihitung sebagai sebuah kombinasi linier dari peubah asli Xik dengan koefisien 'pembobot' dinotasikan dengan Wka (a=1,2,….A) dengan rumus diformulasikan sebagai berikut [11];
(12) Selanjutnya data X dan matriks koefisien B digunakan untuk melakukan prediksi data pengamatan yang baru pada suatu lokasi (dalam penelitian ini dilakukan di wilayah Makassar).
3. Hasil dan Pembahasan a. Rata-Rata Curah Hujan dan Uji Korelasi Berdasarkan hasil analisis rata-rata curah hujan bulanan periode 1985-2005 di wilayah Makassar, diperoleh bahwa wilayah ini termasuk dalam tipe monsun dengan satu kali puncak musim hujan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Aldrian [5] dimana sifat hujan di wilayah Makassar masuk dalam tipe A dengan puncak musim kemarau terjadi pada bulan Juli-September. Curah hujan rata-rata bulanan pada musim hujan >350 mm, sedangkan pada musim kemarau antara 9 mm – 146 mm yang ditunjukkan pada Gambar 5.
(8) atau dinyatakan sebagai : T= XW. Karena skor X(ta) (ta, a=1, 2….A) digunakan baik sebagai peubah bebas X dan juga peubah tak bebas Y, maka Skor X disyaratkan sebagai berikut : 1. Skor X sebagai peubah bebas X; (9) Dengan xik = skor X sebagai peubah bebas X, tia= peubah asli untuk peubah bebas X, Pak = koefisien pembobot, eik= galat X, yaitu deviasi antara respon pengamatan dengan respon dugaan. Persamaan (11) juga dapat dinyatakan sebagai: X=TP’+E.
Gambar 5. Rata-rata curah hujan bulanan wilayah Makassar
2. Skor X sebagai Y; (10) Dengan yim= skor X sebagai Y, tia=peubah asli untuk Y, ram= koefisien pembobot, fim galat Y, menyatakan deviasi antara respon pengamatan dengan respon dugaan. Persamaan (12) dapat dinyatakan sebagai: Y=TR’+F. Berdasarkan persamaan (10) dan (12) dapat dinyatakan sebagai model regresi ganda; (11)
Gambar 6. Perbandingan CH bulanan tahun 2006 dan CH rata-rata bulanan (1985-2005)
atau dapat dinyatakan sebagai:
dan koefisien model PLSR (B) atau bmk adalah ; PREDIKSI ANOMALI CURAH HUJAN BULANAN.....................................................................................................................Mamenun
173
Tabel 1. Perbandingan CH bulanan tahun 2006, CH ratarata bulanan (1985-2006), dan nilai anomalinya. Bulan
CH Obs Tahun 2006
CHratarata (1985- AnoCH (mm/bln) 2005)
Jan
723
692
31
Peb
565
586
-21
Mar
412
382
30
Apr
223
251
-28
Mei
142
146
-4
Jun
130
70
60
Jul
2
44
-42
Agus
0
9
-9
Sep
9
20
-11
Okt
0
105
-105
Nop
82
356
-274
Des
483
634
-151
Dalam mengetahui pola dan besarnya curah hujan yang terjadi pada tahun 2006 (tahun validasi model), dilakukan perbandingan antara curah hujan bulanan tahun 2006 dengan curah hujan rata-rata bulanan periode 1985-2006 yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6, diperoleh bahwa pada kedua periode tersebut, curah hujan bulanan di wilayah Makasar mempunyai pola yang sama, namun curah hujan pada bulan Oktober, November dan Desember pada tahun 2006 lebih rendah dibandingkan rata-rata klimatologis yaitu rata-rata hujan bulanan periode 1985-2005. Hal ini mengakibatkan anomali curah hujan pada bulan-bulan tersebut menjadi negatif, dengan nilai anomali cukup besar (>100). Curah hujan bulanan dan anomali curah hujan bulanan selama periode 1985-2005 ditunjukkan pada Gambar 7 dan 8.
Berdasarkan data anomali suhu muka laut pada wilayah Nino 3.4 yang diperoleh dari Climate Prediction CenterNOAA menunjukkan adanya episode hangat (warm episodes) pada periode Agustus-Oktober (ASO), September-Nopember (SON), Oktober-Desember (OND) dan November-Januari (NDJ) dengan nilai anomali berturut-turut 0.5, 0.8, 1.0 dan 1.0. (sumber: http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monit oring/ensostuff/ensoyears.shtml). Fakta tersebut merupakan salah satu penyebab menurunnya curah hujan di wilayah Makassar pada bulan Oktober, November dan Desember tahun 2006. Hal ini dimungkinkan karena kejadian El-Nino dan La Nina (ENSO) baik yang direpresentasikan melalui anomali suhu muka laut maupun Indeks Osilasi Selatan (SOI) di wilayah Pasifik mempunyai dampak terhadap keragaman curah hujan di wilayah Indonesia [5]. Namun, untuk mengetahui lebih lanjut apakah periode hangat yang terjadi di wilayah Nino3.4 pada periode Agustus-Januari tahun 2006 mempunyai pengaruh positif terhadap menurunnya curah hujan di wilayah Makassar pada tahun 2006, diperlukan kajian dengan membedakan periode Elnino, La Nina dan Normal. Hasil kajian lain menunjukkan bahwa model PCR dan PLSR mempunya performa berbeda-beda pada kondisi Elnino, La Nina dan Normal [12]. Namun, pada tulisan ini tidak dibedakan ketiga kondisi tersebut. Hasil uji korelasi antara anomali CH dengan anomali SST pada tiga grid SST; yaitu grid perairan Sulawesi, perairan Indonesia dan grid perairan Nino3.4 menunjukkan bahwa ketiga grid anomali SST yang digunakan dalam analisis mempunyai korelasi cukup tinggi (lebih dari 0.90) terhadap anomali curah hujan di wilayah Makasar. Sehingga diduga terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara anomali suhu permukaan laut pada tiga grid yang diuji dengan anomali curah hujan di Makassar.
Gambar 7. Curah hujan bulanan periode tahun 1985-2005 Stasiun Hasanudin - Makassar.
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 13 NO. 3 TAHUN 2012 : 169-178
174
Gambar 8. Anomali curah hujan bulanan periode tahun 1985-2005 stasiun Hasanudin - Makassar. Tabel 2. Perbandingan Anomali Curah Hujan Hasil prediksi menggunakan model PCR dan PLSR di Makassar pada tiga wilayah grid. Model/Bulan
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Nilai RMS E P
AnoCH Obs
31 -21
30 -28
-4
60 -42
-9 -11 -105 -274 -151
PCR Sulawesi ( 8x8)
19
3
19
23
12
38
-3
6
7 0.001 350.5 0.066
PCR Indonesia (26x10)
25
27
33
12
-7
21 -12 -23
9 -15 -22
-11 0.000 313.4 0.124
63
40
28
11
-6 -14 -12 -25 -37 -49 -73
-78 0.000 250.0 0.104
-37 -39
4
PCR Nino3.4 PLSR Sulawesi ( 8x8) PLSR Indonesia (26x10)
23 -14
PLSR Nino34
28
11 -22
15 -13
-9
-7 -37 -90 -38
14
40 -64 -124
16
2
-
-
r -
60 -99 -134 -109 0.000 219.5 0.491
36 -76 -109
62 -99 -89
-63 0.000 244.4 0.369
17
12 -22 -98
-86 0.000 259.1 0.291
71
0
Tabel 3. Perbandingan nilai bias setiap bulan dan rata-rata bias untuk setiap keluaran model Model/Bulan ANoCH Vs PCR Sulsel AnoCH Vs PCR Indo AnoCH vs PCR Nino3.4 ANoCH Vs PLSR Sulsel
Jan Feb Mar Apr May Jun 12 -24
Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Rata-rata bias
11 -51 -16
22 -56
-6 -27 -107 -280 -158
-57
6 -48
-3 -40
3
39 -30
14 -20 -90 -252 -140
-47
-32 -61
2 -39
2
74 -30
16
-31
26 -56 -201 -73
68
18
26 -39
18
20
22 115 -71
-6 -140 -42
-1
AnoCH Vs PLSR Indo
8
-7
15 -15
5
24
34 100 -73
-6 -185 -88
-16
AnoCH vs PLSR Nino3.4
3 -14
-9 -23 -83 -176 -65
-23
67
62
Gambar 9. Perbandingan hasil prediksi anomali CH menggunakan model PCR
34
43 -113
Gambar 10. Perbandingan hasil prediksi Anomali CH menggunakan model PLSR.
PREDIKSI ANOMALI CURAH HUJAN BULANAN.....................................................................................................................Mamenun
175
b. Hasil Model PCR pada Tiga Wilayah Grid. Berdasarkan model PCR, dilakukan prediksi anomali curah hujan pada tahun 2006. Perbandingan hasil prediksi dan observasi data tahun 2006 ditunjukkan pada Gambar 9. Perbandingan menunjukkan anomali curah hujan prediksi menggunakan model PCR Grid perairan Indonesia (26x10) lebih mendekati pengamatan observasi dibandingkan model pada dua wilayah grid lainnya. Namun hasil tersebut masih cukup jauh dibandingkan dengan data observasi. Perbandingan pengaruh anomali SST pada tiga grid yang digunakan terhadap anomali CH di wilayah Makassar menggunakan model PCR menunjukkan bahwa prediksi anomali CH pada wilayah Makassar menggunakan anomali SST pada grid perairan Indonesia mempunyai nilai korelasi paling tinggi (0.124) dibandingkan dengan AnoSST grid perairan Sulawesi dan grid wilayah perairan Nino3.4 (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan model PCR, anomali SST di wilayah perairan Indonesia mempunyai pengaruh lebih kuat dibandingkan grid perairan Sulawesi dan Nino 3.4 terhadap anomali curah hujan di Makkasar. Sedangkan untuk nilai bias pada tiap model bervariasi antara bulan (Tabel 3), dimana namun berdasarkan nilai rata-rata bias yang diperoleh, pada model PCR di grid Nino 3.4 mempunyai nilai bias paling kecil.
Gambar 11. Perbandingan PCR dan PLSR pada grid perairan Sulawesi.
c. Hasil Model PLSR pada Tiga Wilayah Grid. Plot anomali CH hasil prediksi menggunakan model PLSR pada tiga wilayah grid ditunjukkan pada Gambar 10. Berdasarkan plot pada Gambar 10 ditunjukkan bahwa kondisi anomali SST pada wilayah perairan Indonesia mempunyai pengaruh terhadap anomali CH di Makasar dimana nilai anomali CH di wilayah Makassar hasil prediksi mengikuti anomali CH observasi, walaupun masih cukup jauh terutama pada bulan Juli-Desember. Namun, pada dua model lainnya, terdapat periode – periode yang mempunyai pola berlawanan dengan anomali CH observasi dimana intensitas hujan berdasarkan model mengalami penurunan, sedangkan berdasarkan data observasi hujan meningkat. Seperti pada pada model grid Sulawesi, pola terbalik terdapat pada bulan April, sedangkan pada model grid Nino 3.4, pola terbalik diperoleh pada bulan Juli. Berdasarkan Tabel 2 ditunjukkan bahwa nilai korelasi tertinggi terdapat pada model grid perairan Sulawesi yaitu sebesar 0.491 dengan nilai RMSE terendah (219.5) dibandingkan grid perairan Indonesia dan Nino 3.4. Selain itu, pada nilai rata-rata bias (Tabel 2), menunjukkan pada grid perairan Sulawesi mempunyai nilai bias paling kecil dibandingkan grid lainnya, yaitu sebesar (-1). Hal ini menggambarkan bahwa pada model PLSR, anomali CH di wilayah Makassar lebih dipengaruhi oleh anomali suhu permukaan laut di wilayah perairan Sulawesi dibandingkan dengan wilayah perairan Indonesia dan Nino 3.4.
Gambar 12. Perbandingan PCR dan PLSR pada grid perairan Indonesia.
Gambar 13. Perbandingan PCR dan PLSR pada grid wilayah perairan Nino3.4.
d. Perbandingan Model PCR dan PLSR pada Tiga Wilayah Grid. Perbandingan hasil prediksi AnoCH menggunakan tiga model pada grid berbeda dengan data observasi menggunakan model PCR dan PLSR pada masingmasing wilayah grid, ditunjukkan pada Gambar 11-13. Berdasarkan Gambar 11-13 ditunjukkan bahwa hasil prediksi anomali CH di Makassar menggunakan model PLSR mempunyai garis fit yang lebih mendekati data
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 13 NO. 3 TAHUN 2012 : 169-178
176
observasi dibandingkan dengan model PCR pada tiga wilayah grid. Sedangkan bila dibandingkan antar wilayah grid, maka model PLSR pada grid perairan Sulawesi menunjukkan garis yang lebih fit terhadap data observasi dibandingkan dengan grid perairan Indonesia atau Nino3.4. Hal tersebut di atas juga didasarkan pada hasil perbandingan prediksi anomali CH menggunakan model PCR dan PLSR pada tiga wilayah grid yang disajikan pada Tabel 2 dan nilai rata-rata bias pada Tabel 3. Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa model PLSR menghasilkan nilai prediksi anomali CH yang lebih baik dibanding model PCR, yaitu nilai korelasi (r) lebih tinggi (PLSR Sulawesi: 0.491, PLSR Indonesia: 0.369, PLSR Nino3.4: 0.291) dan nilai RMSE lebih rendah (PLSR Sulawesi: 219.5, PLSR Indonesia: 244.4, PLSR Nino 3.4: 259.1). Nilai rata-rata bias terkecil diperoleh pada model PLSR, berturut PLSR Sulawesi, Indonesia dan Nino 3.4 sebesar -1, -16, dan -23. Sedangkan pada model PLSR, diperoleh bahwa model PLSR terbaik ditunjukkan pada wilayah grid perairan Sulawesi dengan nilai RMSE paling kecil (219.5), nilai korelasi (r) tertinggi (0.491), dan rata-rata bias paling kecil (-1). Model PLSR menunjukan performa yang lebih baik dibandingkan model PCR untuk memprediksi anomali curah hujan di wilayah Makassar berdasarkan kondisi suhu permukaan laut pada tiga wilayah domain perairan. Sedangkan anomali suhu permukaan laut di perairan Sulawesi, menunjukkan performa lebih baik dan mempunyai pengaruh lebih kuat terhadap anomali curah hujan di wilayah Makassar. Model PLSR menunjukkan hasil prediksi berbeda pada setiap lokasi/wilayah. Di Kabupaten Indramayu, secara umum model PCR menunjukan performa yang lebih baik pada kondisi El Nino, sedangkan untuk kondisi La Nina dan Normal model PLSR memperlihatkan pengaruh yang lebih baik dibanding PCR [10]. Pengaruh kondisi suhu permukaan laut terhadap curah hujan pada suatu wilayah yang lebih luas dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan data pengamatan stasiun hujan yang lebih banyak, agar dapat diketahui lebih jauh pengaruhnya. Selain itu, kondisi atmosfer global yang sedang terjadi seperti El Nino atau La Nina (ENSO) perlu diketahui apakah kondisi tersebut turut mempengaruhi hujan yang akan terjadi atau tidak. Hal lain yang penting untuk diketahui adalah lag time kondisi ENSO yaitu pengaruh selang waktu atau keterlambatan waktu tertentu terhadap kejadian ENSO dalam mempengaruhi prediksi curah hujan.
4. Kesimpulan
anomali CH pada tiga wilayah grid menunjukkan lebih dari 0.90 yang mengindikasikan terdapat korelasi antara variabel GCM anomali SST dan variabel lokal anomali CH. 2. Model PCR pada grid perairan Indonesia menunjukkan nilai korelasi lebih tinggi (0.124) dibandingkan dengan wilayah grid perairan Sulawesi (0,104) dan perairan Nino 3.4 (0.066), sedangkan pada model PLSR nilai korelasi anomali SST dan anomali CH paling tinggi diperoleh pada grid perairan Sulawesi. 3. Perbandingan antara model PCR dan PLSR untuk prediksi anomali curah hujan di wilayah Makassar menunjukkan bahwa model PLSR mempunyai performa lebih baik dibandingkan dengan model PCR pada domain wilayah grid perairan Sulawesi dengan nilai korelasi tertinggi dan nilai RMSE paling rendah. b. Saran Penelitian lanjutan dibutuhkan dengan menggunakan sebaran stasiun hujan yang lebih banyak sehingga prediksi curah hujan dapat dilakukan untuk area lebih luas. Selain itu, perlu diketahui pengaruh suhu permukaan laut terhadap curah hujan pada beberapa lag time (lag -1, -2, -3, +1, +2, +3 dan seterusnya) dan pada musim dan kondisi ENSO berbeda, sehingga variabilitas curah hujan di lokasi studi dapat tergambarkan lebih baik.
Daftar Pustaka [1] Swarinoto, Y., Makmur E.E.S. (2009). Simulasi
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
a. Kesimpulan 1. Pola hujan di Makassar termasuk dalam tipe monsun dengan satu puncak musim kemarau pada MaretOktober. Hasil uji korelasi antara anomali SST dan
[7]
Prediksi Probabilitas Musim Hujan dan Panjang Musim Hujan di Ambon. Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 5(3). Pramudia, A. (2002). Analisis Sensitivitas Tingkat Kerawanan Produksi Padi di Pantai Utara Jawa Barat Terhadap Kekeringan dan El-nino. Thesis, Program Pasca Sarjana: Institut Pertanian Bogor. Wilby, R.L., Charles, S.P., Zorita, E., Timbal, B. Whetton, P., Mearns, L.O. (2004). Guidelines for Use of Climate Scenarios Developed from Statistical Downscaling Methods,1(2),19. Kang, H., An, K.H., Park, C.K., Solis, A.L.S., Stitthiciv, K. (2007). Multi model Output Statistical Downscaling Prediction of Precipitation in the Philippines and Thailand. Geophysical Research Letters, 3(4), L15710. Aldrian, E., Susanto, R.D. (2003). Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal Climatology, (23):1435-1452. National Oceanic & Atmospheric Administration (NOAA) National Climatic Data Center ( N C D C ) E R S S T V. 3 b , ( 2 0 1 2 ) . (http://www.iridl.ldeo.columbia.edu), diakses tanggal 2 Januari 2011. Rawlings, J.O., Pantula, S.G., Dickey, D.A. 1998.
PREDIKSI ANOMALI CURAH HUJAN BULANAN.....................................................................................................................Mamenun
177
Applied Regression Analysis-A Research Tool. Second Edition. Springer – USA. [8] Wilks, D.S. 2006. Statistical Methods in The Atmospheric Sciences. Second Edition. Elsevier Inc. [9] Lee, Ming-An et al. 2005. Empirical Orthogonal Function Analysis of AVHRR Sea Surface Temperature Patterns in Taiwan Strait. Journal of Marine Science and Technology. 11(1):1-7. [10]Bilfarsah, A. 2005. Efektifitas Metode Aditif Spline Kuadrat Terkecil Parsial Dalam Pendugaan Model Regresi. Makara Sains, 9(1). [11]Wigena, A.H. 2010. Regresi Kuadrat Terkecil Parsial: Suatu Teknik Statistical Downscaling.
Departemen Statistika: Institut Pertanian Bogor. [12]Estiningtyas, W. & Wigena, A.H. 2011. Teknik Statistical Downscaling Dengan Regresi Komponen Utama dan Regresi Kuadrat Terkecil Parsial untuk Prediksi Curah Hujan Pada Kondisi El Nino, La Nina dan Normal. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 12(1): 6572.
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 13 NO. 3 TAHUN 2012 : 169-178
178