“Responsibility To Protect” dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa 2005-2009: Sebuah Studi Tentang Perubahan Perilaku Negara Terhadap Norma dalam Hubungan Internasional Nama Mahasiswa: Andhyta Firselly Utami Nama Pemimbing: Dwi Ardhanariswari Abstrak Skripsi ini meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan posisi 15 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap norma “Responsibility to Protect” dari ‘tidak setuju’ (Majelis Umum 2005) menjadi ‘setuju’ (Majelis Umum 2009). Untuk melakukan hal tersebut, penulis menginvestigasi berbagai fenomena politik, ekonomi, maupun sosial yang terjadi sepanjang 2005-2009 pada level domestik maupun internasional yang terkait dengan ke-15 negara ini, serta menganalisis pola-pola yang muncul dari temuan tersebut. Pada akhirnya, skripsi ini menawarkan ‘Model Bola Menggelinding’ sebagai kerangka analisis yang dapat menjelaskan proses shifting atau pergeseran posisi aktor negara terhadap suatu norma yang diperkenalkan. Model ini berdasar pada asumsi bahwa tidak ada norma yang sama sekali baru; setiap norma dalam Hubungan Internasional merupakan hasil evolusi atau revolusi dari norma sebelumnya. Kata kunci: norma, Responsibility to Protect, R2P, intervensi humaniter, HAM I. Pendahuluan I. 1. Latar Belakang Masalah Sejak kemunculannya pada periode 1990-an, ‘intervensi humaniter’ sebagai sebuah konsep telah mengundang banyak perdebatan di dalam berbagai pertemuan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB). Di satu sisi, kubu negara maju bersikeras bahwa kewajiban melindungi hak asasi manusia berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 harus ditempatkan di atas ide kedaulatan yang telah dijunjung sejak awal Perjanjian Westphalia 1648. Sebaliknya, negara-negara yang baru saja merdeka sepakat bahwa hal tersebut berpotensi melukai otoritas pemerintahan pasca-kolonial yang baru saja dibangun dan membuka kesempatan yang besar bagi pihak asing untuk mencampuri urusan dalam negeri mereka. Persinggungan ini terus berlangsung dan memanas secara spesifik pada pengambilan keputusan dalam misi-misi kemanusiaan PBB di Rwanda, Bosnia, dan Somalia.
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
Baru pada tahun 2001, International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) mengajukan konsep ‘Responsibility to Protect’ (R2P) yang menekankan perluasan makna ‘kedaulatan’ sehingga mencakup ‘tanggung jawab’ untuk melindungi warga negaranya. Secara mengejutkan, konsep ini disambut dengan cukup baik. R2P bukan saja dicantumkan secara spesifik dalam World Summit Outcome Document 2005, tapi juga menjadi pembenaran bagi berbagai resolusi PBB yang berkaitan dengan intervensi humaniter setelah tahun 2005. Berangkat dari dua alasan empiris tersebut, berbagai diskusi akademis menyebutkan bahwa R2P telah, secara definitif, ’diterima’ oleh negara-negara anggota PBB sebagai suatu norma internasional, meskipun masih diperlukan beberapa perkembangan lebih lanjut sebelum ide tersebut diterima oleh masyarakat global. Padahal, terdapat suatu poin esensial yang terlewatkan dan harus dibahas terlebih dahulu sebelum kesimpulan tersebut diambil. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa setidaknya 28 dari 77 negara anggota PBB menyatakan penolakan maupun kenetralan posisi mereka terhadap R2P dalam diskusi informal Majelis Umum yang mengawali September High-level Plenary 2005. 1 Negara-negara ini termasuk Brazil, Rusia, India, dan Cina (empat negara BRIC yang kekuatannya semakin diakui secara global), Mesir dan Suriah (dua negara yang mengalami krisis dan revolusi internal setelah 2005), Malaysia yang pada saat itu mewakili Gerakan Non-Blok, Pakistan, Iran, serta Indonesia sendiri. 2 Argumen dibalik penolakan ini beragam, termasuk kekhawatiran bahwa R2P adalah sebuah reinkarnasi dari intervensi humaniter, karenanya diperlukan studi lebih lanjut untuk menjustifikasinya.3
1
Seperti yang disusun dalam “State-by-State Positions on the Responsibility to Protect” oleh World Federalist Movement, organisasi sipil yang terlibat dalam Responsibility to Protect– Engaging Civil Society (R2PCS), melalui pernyataan tertulis yang dibagikan maupun dapat diunduh di laman Perwakilan Tetap untuk PBB, diakses dari http://www.responsibilitytoprotect.org/files/Chart_R2P_11August.pdf 2 Detil pernyataan yang disampaikan dalam masing-masing pertemuan Majelis Umum terlampir di tabel pada bagian lampiran penelitian. 3 Seperti yang disampaikan Malaysia sebagai perwakilan Gerakan Non-Blok pada September High-level Plenary 2005, hal. 4, diakses dari http://www.un.int/malaysia/GA/59th%20GA/59GA21JUNE05.pdf
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
Melihat kuatnya trauma negara berkembang terhadap intervensi humaniter, hal tersebut mungkin memang secara wajar terjadi. Karenanya, menjadi sangat menarik ketika, empat tahun setelah debat tersebut, 21 dari 28 negara-negara yang awalnya menolak R2P kembali menyampaikan posisi mereka pada General Assembly Debate on the Responsibility to Protect di tahun 2009. Dari 21 negara ini, 11 di antaranya menyatakan dukungan dan 4 memberikan posisi netral relatif mendukung terhadap pasal 138 dan 139 dalam Outcome Document terkait konsep R2P yang tadinya mereka tolak atau netral cenderung tolak. I. 2. Rumusan Masalah Setelah melihat kekontrasan posisi setidaknya 15 negara terkait dengan R2P di tahun 2005 dan 2009, menjadi sangat penting untuk menganalisa lebih lanjut mengenai mengapa perilaku 15 negara dari yang awalnya tidak dapat menerima konsep Responsibility to Protect pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 2005 berubah menjadi menerimanya pada tahun 2009? Penelitian ini menjawab pertanyaan tersebut dengan menyediakan studi parsimoni dan identifikasi pola pada karakteristik 15 negara yang diteliti, fenomena politik, ekonomi, maupun sosial yang terjadi sepanjang periode 2005-2009, serta menganalisa kaitannya terhadap penerimaan aktor negara terhadap suatu norma internasional secara umum. II. Tinjauan Teoritis: Norma dalam Hubungan Internasional Karena penelitian ini menempatkan R2P sebagai suatu norma, maka menjadi penting untuk terlebih dahulu mendefinisikan seperti apa konsep norma dalam hubungan internasional, jenis-jenis norma apa yang telah diakui, bagaimana cara mengukurnya secara empiris, serta bagaimana keberadaan R2P harus diposisikan dalam konteks tersebut. Dalam penelitian ini, ‘norma’ dilihat sebagai salah satu bentuk kultural (cultural form) yang disusun oleh common knowledge, yaitu pemahaman umum terhadap suatu hal yang dipercaya oleh aktor-aktor, yakni anggota suatu kelompok, untuk dipercaya sebagai benar.4 Adapun kerangka berpikir 4
Common knowledge, menurut Wendt, berkaitan dengan kepercayaan aktor-aktor terhadap rasionalitas, strategi, preferensi, dan kepercayaan satu sama lain, serta situasi dunia
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
yang dapat digunakan untuk menganalisa norma secara empiris dijawab secara komprehensif melalui studi yang dilakukan Antje Wiener pada tahun 2009 melalui langkah-langkah berikut.5 Pertama-tama, Wiener mengajukan pengertian sekaligus posisi spesifik terhadap ‘norma’ dalam kajian Hubungan Internasional. Menurutnya, kualitas konstitusional yang semakin dapat kita rasakan hari ini dapat dianggap berasal dari dua sumber, yakni hard institution seperti organisasi internasional, serta soft institution seperti norma, peraturan, serta prinsip— dimana masing-masing mempengaruhi politik dan hukum internasional dengan cara yang berbeda. Keduanya muncul dari sebuah praktik sosial berupa diskursus formal melalui praktik organisasional maupun informal melalui praktik kultural. Secara alamiah, karena praktik sosial ini terus menerus berlangsung secara kontinual, norma akan selalu dikontestasi atau ditantang oleh diskursus lainnya. Adapun tiga jenis kontenstasi norma yang diajukan Wiener antara lain: 1) kontingensi, atau interpretasi historis yang selalu disesuaikan dengan konteks dan dipengaruhi oleh kemungkinan reaksi sosial, 2) praktek sosial yang terjadi di luar konteks tertentu sehingga mungkin mengurangi signifikansi reaksi sosial, serta pada titik ekstrem 3) keadaan krisis dimana interpretasi
norma
dalam
batasan
waktu
tertentu
sangat
menutup
kemungkinan adanya reaksi sosial. Tabel II. 1. Tiga Kondisi Kontestasi Norma dalam Hubungan Internasional Tingkat 1
Tipe Kontingensi
1+2
Praktik sosial
1+2+3
Krisis
Kondisi Kontingensi historis berarti bahwa interpretasi norma sangat bergantung pada konteks Memindahkan praktik sosial tertentu (yaitu praktik organisasional saja) di luar konteks sosial yang diberikan mengurangi faktor reaksi sosial ketika interpretasi norma dilakukan Situasi krisis meninggikan pertaruhan
eksternal. Kepercayaan ini tidak harus ‘benar’, tapi ‘dipercaya sebagai benar’. Misalnya, sebuah proposisi P dianggap ‘common’ bagi kelompok G ketika anggota G percaya bahwa P percaya bahwa anggota G percaya bahwa P percaya bahwa anggota G bercaya bahwa P, begitu seterusnya. Kepercayaan ini harus bersifat ‘interlocking’ (sehingga oleh konstruktivis dianggap ekuivalen dengan intersubjektivitas) atau saling berkaitan sehingga kemudian akan menimbulkan koordinasi aksi anggota. 5 Antje Wiener, “Enacting Meaning-In-Use: Qualitative Research on Norms and International Relations dalam Review of International Studies (2009), No. 35, hal. 175–193
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
interpretasi norma karena batasan waktu semakin memperbaiki faktor reaksi sosial yang mengecil Sumber: Antje Wiener, “Enacting Meaning-In-Use: Qualitative Research on Norms and International Relations dalam Review of International Studies (2009), No. 35, hal. 175–193
Lebih
jauh
lagi,
potensi
norma
untuk
mempengaruhi
politik
internasional dibedakan ke dalam tiga dimensi, yakni validitas formal, rekognisi sosial, serta validasi kultural. Tiap aspek tidak mengkonfirmasi maupun memiliki hubungan dengan aspek lainnya. Suatu norma bisa saja diakui secara institusional melalui sebuah resolusi sehingga memiliki validitas formal, misalnya, namun rekognisi sosial yang kuat hanya bisa dihasilkan dari sebuah interaksi intensif. Dengan kata lain, pemahaman yang berasal dari sebuah referensi tidak serta merta diikuti oleh adanya suatu realitas objektif dari norma tersebut. Sementara itu, ‘norma’ sendiri dibedakan Wiener menjadi tiga jenis: 1) fundamental norms, 2) organizing principles, serta 3) standardized
procedures.
Ketiganya
diidentifikasi
berdasarkan
level
generalisasi, spesifikasi, maupun kontestasi landasan etika. Tabel II.2. Tipe-Tipe Norma menurut Wiener Tipe Norma Fundamental norms
Organizing principles
Standardized procedures
Substansi Kedaulatan | Kewarganegaraan Hak Asasi Manusia | Kebebasan | Demokrasi | Non-intervensi Proporsionalitas | Akuntabilitas Tanggung jawab | Transparansi | Fleksibilitas | Pengarusutamaan Gender | Rekognisi mutual | Monitor eleksi internasional Qualified majority voting | Keputusan unanimous | Representasi proporsional
Generalisasi Lebih
Spesifikasi Kurang
Kontestasi Lebih
Medium
Medium
Medium
Kurang
Lebih
Kurang
Sumber: Antje Wiener, “Enacting Meaning-In-Use: Qualitative Research on Norms and 6 International Relations dalam Review of International Studies (2009), No. 35, hal. 175–193
6
Norma yang dikelompokan dalam kolom ‘substance’ dimaksudkan sebagai contoh yang belum tentu mencakup seluruhnya sedangkan fundamental norms dan organizing principles khususnya memiliki kecenderungan untuk saling bertukar.
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
Fundamental norms merupakan norma konstitusional inti yang biasanya diaplikasikan dengan referensi terhadap konstitusionalisme modern dan norma prosedural dasar dalam teori Hubungan Internasional. Contoh: kewarganegaraan, hak asasi manusia, pengaturan hukum, demokrasi, kedaulatan, non-intervensi, abtensi dari penyiksaan dan sebagainya. Sebagai perekat komunitas, norma ini lebih sering dikonseptualisasikan dalam konteks domestik meskipun dilihat dalam konteks politik global, karena disepakati melalui perjanjian antar negara. Organizing principles lebih dekat kaitannya dengan proses kebijakan atau politik. Kelompok norma ini berevolusi melalui sekaligus mempengaruhi praktik politik dan pembuatan kebijakan seperti akuntabilitas, transparansi, pengarusutamaan gender, peacekeeping serta peace-enforcement. Sementara itu, standardized procedures mencakup preskripsi
spesifik
seperti
aturan,
regulasi,
maupun
arahan
yang
memungkinkan pemahaman tanpa mediasi. Kontestasi kelompok yang terakhir ini lebih sering terjadi dengan basis moral atau etika. Dalam konsep Responsibility to Protect sendiri, kita bisa menemukan adanya beberapa norma lintas-jenis seperti kedaulatan dan non-intervensi sebagai fundamental norms serta akuntabilitas dan proses pengambilan keputusan dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organizing principles yang mengawalnya. Beberapa prosedur khusus dalam pengiriman misi humaniter
juga
diatur
sehingga
menjadikannya
suatu
standardized
procedures. Maka dari itu, masing-masing dari ‘norma’ ini harus dielaborasi lebih lanjut dalam bab berikutnya. III. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan mengapa pada tahun 2009 konsep R2P diterima oleh 15 negara yang awalnya sempat menolak di tahun 2005. Dengan kata lain, penelitian ini tidak berusaha untuk membuktikan kebenaran dari suatu hipotesis, melainkan mendekati permasalahan secara terbuka dengan melihat kemungkinan terhadap adanya temuan-temuan di luar perkiraan awal.
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
Secara lebih spesifik, penelitian ini akan melakukan penelusuran sejarah melalui data-data primer berupa dokumen-dokumen yang dihasilkan langsung oleh PBB maupun anggotanya, baik itu berupa pidato-pidato, resolusi, rapporteurs, maupun laporan resmi lainnya terkait dengan 15 negara tersebut serta isu Responsibility to Protect. Selain itu, data sekunder yang diperoleh melalui berbagai buku, jurnal, maupun artikel yang relevan dalam pembahasan ini juga akan digunakan. Analisis yang dihasilkan ini nantinya dapat digunakan sebagai peta kognitif yang dapat memudahkan akses bagi pengertian mendetil terhadap fundamental norms. Dalam penelitian ini, R2P dilihat sebagai suatu norma pada level kontekstual dan sosiologis yang berarti latar belakang struktur internasional pada periode berkembangnya konsep juga akan dilihat pengaruhnya dari dan terhadap berkembangnya R2P. Model analisis yang digunakan penelitian ini menempatkan ‘perubahan karakteristik maupun fenomena sosial sepanjang 2005-2009’ sebagai variabel independen dan ‘perilaku negara terhadap R2P sebagai norma internasional di tahun 2009’ sebagai variabel dependen, serta digambarkan sebagai berikut: Gambar 1.1. Model Analisis
Perubahan karakteristik maupun fenomena politik, ekonomi, dan sosial di 15 negara O1 dan O2 dalam kerangka waktu 2005-2009 (Bab III)
Analisis (Bab IV)
Perilaku aktor negara terhadap R2P sebagai norma internasional pada 2009 (Bab II)
IV. Hasil Penelitian Eksplorasi historis sepanjang tahun 2005-2009 terhadap 15 aktor O1 dan O2 dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat setidaknya 15 karakter maupun fenomena yang bersifat repetitif. Adapun yang dimaksud dengan fenomena di sini merupakan peristiwa yang diperhitungkan akan atau telah menciptakan pergeseran perspektif aktor negara terhadap R2P sebagai norma. Ke-15 fenomena tersebut kemudian dikategorikan ke dalam tiga kelompok besar yang dianalisis mempengaruhi perubahan perilaku tersebut,
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
yakni: 1) secara mikro, kapasitas internal negara, 2) secara meso, pengaruh aktor eksternal non-negara, serta 3) secara makro, struktur dan sistem internasional yang berubah dan melibatkan seluruh aktor. Pada level mikro, terlihat adanya suatu tren penguatan kapasitas internal di masing-masing negara tersebut: secara politik, demokrasi berlangsung dengan lebih dewasa dan stabil, secara ekonomi, terdapat kemiripan kasat dalam dinamika pertumbuhan PDB secara umum, serta secara sosial, masyarakat cenderung lebih terbuka terhadap nilai-nilai yang sama. Penguatan ini kemudian memungkinkan negara-negara O1 dan O2 untuk mengambil keputusan-keputusan yang lebih bertanggung jawab di bidang HAM maupun isu humaniter lainnya. Secara eksternal, negara-negara tersebut juga menjumpai pengaruh yang datang dari berbagai penjuru, di antaranya aktor-aktor negara dalam organisasi perdagangan World Trade Organization (WTO), organisasi donor Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), serta gerakan masyarakat sipil seperti International Coalition for Responsibility to Protect (ICRtoP) maupun organisasi non-pemerintah lain yang memfokuskan usaha mereka di bidang Hak Asasi Manusia. Dependensi sebagian negara ini terhadap masing-masing aktor eksternal mendorong mereka mengambil keputusan yang sejalan dengan tuntutan-tuntutan HAM (baik eksplisit maupun implisit) tersebut. Aktor non-negara lain yang kemungkinan turut mempengaruhi perspektif negara O1 dan O2 adalah para teroris yang ancamannya memberikan insentif lebih bagi aktor untuk taat pada norma internasional, terutama untuk menciptakan trust dan bantuan dalam melawan ancaman asimetris ini. Melengkapi kedua aspek di atas, komponen lain yang tidak kalah penting andilnya adalah struktur internasional, khususnya unipolarisme Amerika Serikat yang dapat dibilang masih sangat kuat pada periode tersebut (dibuktikan dengan relasi bilateral yang kuat dengan masing-masing negara maupun pengaruhnya di Dewan Keamanan dan PBB secara umum) serta perhatian masyarakat global yang semakin kuat terhadap isu-isu humaniter pada periode tersebut. Kondisi makro ini kemudian ikut berdampak terhadap pilihan-pilihan praktis yang dibuat oleh aktor negara, termasuk respon mereka terhadap sebuah perdeatan di Majelis Umum.
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
Menggunakan analogi Marks dan Cooper, ’anggur lama’ (old wine)7 diterima oleh agen antara lain karena: 1) menguatnya kapasitas agen untuk ’membeli’ anggur, 2) hadirnya kebutuhan untuk diterima komunitas lebih besar yang ’menyukai’ anggur, serta 3) munculnya persepsi baru terhadap ’botol’ yang mereka inginkan. Premis tersebut akan kemudian dikaitkan dengan analisis bahwa respons aktor maupun komunitas terhadap suatu norma—atau global governance secara lebih luas—bukan saja dipengaruhi ’botol baru’ (new bottle) 8 sebagai suatu penampang fisik, tapi juga unsurunsur lain berupa interaksi antar-agen maupun situasi struktural yang dapat merubah preferensi aktor terhadap ’botol baru’ ini secara kognitif. V. Diskusi Koordinat (0,0) dari penelitian ini adalah klaim bahwa Responsibility to Protect memiliki esensi yang sama dengan intervensi humaniter, mengacu pada tulisan Marks dan Cooper tentang bagaimana keduanya adalah old wine dalam new bottles. Berangkat dari situ, Bab II mengelaborasi situasi praktis dari penerimaan terhadap norma yang mengangkat Hak Asasi Manusia sebagai prinsip fundamentalnya ini, untuk dilanjutkan Bab III yang menganalisis karakter dan fenomena politik, ekonomi, dan sosial sepanjang tahun 2005-2009, serta Bab IV yang mengkategorikan sebanyak 15 temuan ke dalam tiga kelompok besar: kapasitas internal, pengaruh aktor eksternal, dan struktur-sistem internasional. Bab V lalu menyempurnakan keseluruhan penelitian dengan analisis kategori dan relasi antar-kategori pada bagian sebelumnya, yaitu dengan mengajukan Model Bola Menggelinding (The Rolling Ball Model) sebagai model analisis yang dapat menunjukkan bagaimana ketiga faktor pada bab sebelumnya mempengaruhi aktor (dalam hal ini O1 dan O2) serta, lebih jauh lagi, saling mempengaruhi satu sama lain. Secara keseluruhan, aspek politik, ekonomi, maupun sosial pada level mikro, meso, dan makro yang mewarnai diskusi dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan menggunakan Model Bola Menggelinding tersebut. Model ini diharapkan dapat kemudian menjadi template untuk menjelaskan 7
Seperti istilah ‘old wine in new bottles’yang digunakan oleh Stephen P. Marks dan Nicholas Cooper dalam “The Responsibility to Protect: Watershed or Old Wine in a New Bottle?”, Op. Cit. 8 Ibid.
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
dinamika norma–norma serupa dalam Hubungan Internasional secara komprehensif. Model Bola Menggelinding yang diajukan penelitian ini dapat digambarkan melalui grafik berikut: Gambar V. 1. Model Bola Menggelinding Kapasitas resistensi aktor
Struktur internasional (penampang jalur)
Titik dimensi waktu
Pengaruh eksternal (gaya dorong-tarik)
Secara
umum,
model
tersebut
menunjukkan
bahwa
negara
merupakan variabel dependen yang, seperti bola, pergerakannya ditentukan oleh beragam faktor: 1) inersia bola (kapasitas resistensi aktor), 2) gaya dorong dan tarik yang dikenakan terhadapnya (persuasi aktor eksternal), 3) penampang jalur (struktur dan sistem internasional), serta 4) sabuk berjalan pada jalur bola (dimensi waktu). Peran dari masing-masing unsur ini nonidentikal; dengan kata lain, tiap faktor bukan saja berbeda secara self-evident, tetapi juga memberikan efek yang samasekali berbeda terhadap posisi aktor terhadap norma. Pada akhirnya penelitian menemukan bahwa negara, berada pada situasi seperti itu, hanya memiliki dua pilihan terkait dengan sebuah norma internasional: melaju atau berhenti. Ketika ketiga faktor tersebut sesuai untuk menghasilkan kondisi sedemikian rupa sehingga negara melaju, maka negara akan mengikuti jalur yang dibentuk struktur-sistem internasional, sampai kepada titik dimana negara dapat berhenti pada koordinat yang sama dengan negara-negara lain terkait posisi mereka terhadap sebuah norma, lalu kemudian berhenti. Sebaliknya, negara yang belum berada pada kondisi yang mendorong mereka untuk sampai pada titik norma tertentu akan bertahan pada status quo sampai akhirnya dorongan dari salah satu ataupun ketiga faktor ini terlalu kuat sehingga secara alamiah negara (bola) akan bergerak.
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
Tentu saja terdapat kasus-kasus dimana kapasitas internal negara untuk menolak cukup besar sehingga ia dapat bertahan pada status quo untuk waktu yang sangat, sangat lama (contoh: rogue states atau Amerika Serikat yang masih belum merasa perlu menaati Kyoto Protocol). Pada kasus rogue states, misalnya, ’kapasitas bertahan’ ini datang dari fakta bahwa pemerintahan non-demokratisnya dapat membuat keputusan tanpa tanggung jawab langsung kepada masyarakat sipil yang terinformasikan, serta dukungan bilateral dari negara-negara yang juga memiliki posisi yang sama terhadap sebuah norma. Dalam beberapa kasus lain, argumen bahwa terdapat pilihan ketiga juga sah: bahwa aktor negara dapat menciptakan norma baru sebagai tandingan. Tulisan ini, meskipun demikian, percaya bahwa penciptaan norma baru sebagai kontender atau saingan dari prevailing norms tetap harus berangkat dari norma yang sebelumnya ada (previously prevailing norms) serta tidak dapat dilihat sebagai bagian dari ’struktur’ sebelum norma tersebut memang diterima oleh masyarakat internasional. Perlu diingat bahwa model ini berasumsi bahwa negara akan mengikuti pola tersebut secara alamiah dalam dimensi waktu tertentu. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa norma selalu berubah seiring dengan perkembangan zaman—tidak selalu dalam pengertian bahwa norma yang tadinya dianggap salah menjadi benar atau sebaliknya, namun dalam pengertian bahwa norma yang ada (prevailing norms) akan terlibat pada berbagai diskursus yang melakukan reproduksi secara kontinu—dalam bentuk
perdebatan,
penambahan,
maupun
pengurangan—sehingga
berkembang, menjadi ’norma lain’. Meskipun memiliki esensi sama, norma baru ini berdiri berada pada dimensi waktu dan penerimaan internasional yang berbeda karenanya. VI. Kesimpulan Penelitian ini telah menemukan bahwa perilaku aktor negara terhadap norma internasional dipengaruhi setidaknya tiga hal: 1) kapasitas resistensi yang berasal dari karakteristik internal negara, 2) persuasi aktor eksternal (negara atau non-negara), 3) struktur internasional yang menentukan arah aktor, dan 4) dimensi waktu yang menjadi pembatas suatu norma
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
internasional dan lainnya. Ketika 15 negara O1 dan O2 menolak R2P pada Diskusi Informal Majelis Umum PBB 2005, empat elemen di atas memiliki kondisi yang berbeda jika dibandingkan dengan karakteristik mereka ketika mengikuti Debat R2P Majelis Umum PBB 2009. Hal ini dapat dilihat dengan menelusuri kembali karakteristik negara-negara tersebut sepanjang periode ini, serta kejadian di level internasional yang memiliki keterkaitan dengan perilaku negara-negara tersebut. Diskursus R2P dalam PBB sendiri dimulai sejak tahun 2001 ketika ICISS menerbitkan laporannya yang berjudul Responsibility to Protect. Tahun 2005 dan 2009 kemudian dipilih sebagai dua periode yang sangat krusial terkait dengan diskursus ini, karena perdebatan yang cukup signifikan dalam Majelis Umum di masing-masing tahun menunjukkan perilaku atau posisi berbagai negara terhadap keberadaan konsep R2P yang meredefinisi istilah ’kedaulatan’ maupun ’intervensi humaniter’dengan menghubungkannya pada kewajiban negara untuk melindungi warga yang berada dalam jurisdiksinya. Penelusuran historis terhadap apa yang terjadi selama tahun 20052009 kemudian dielaborasikan dalam Bab III, dimana karakteristik masingmasing negara dan fenomena eksternal dielaborasikan secara deskriptif sekaligus dianalisis kaitannya antara satu sama lain. Dari penjabaran tersebut, penelitian ini melakukan analisis lanjutan dengan menggarisbawahi beberapa pola yang muncul secara repetitif di seluruh atau sebagian besar negara-negara tersebut dan menariknya sebagai setidaknya tiga faktor utama: kapasitas internal, pengaruh aktor eksternal, serta struktur dan sistem internasional yang sifatnya universal terhadap seluruh aktor. Kapasitas internal diejawantahkan sebagai kemampuan ekonomi, politik, serta nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat ataupun pemerintah dalam membuat kebijakan dalam negeri mereka. Pola-pola yang ditunjukkan oleh pengaruh aktor eksternal didatangkan oleh, antara lain, negara-negara N1, organisasi masyarakat sipil, serta teroris. Struktur-sistem internasional, sementara itu, dipengaruhi oleh kekuatan Amerika Serikat, serta munculnya berbagai diskursus yang terkait dengan R2P seperti HAM serta rezim-rezim lainnya.
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
Dalam Bab V, keterkaitan antar kategori ini kemudian dianalisis lebih lanjut dan dijelaskan dengan mengajukan model yang disebut sebagai Model Bola Menggelinding (The Rolling Ball Model). Dalam model ini, keempat unsur yang mempengaruhi perilaku aktor negara terhadap suatu norma internasional tersebut dianalisis lebih lanjut keterkaitannya satu sama lain. Faktor yang pertama, kapasitas resistensi, dibangun oleh tiga hal utama: karakteristik politik domestik, kekuatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, serta keterbukaan masyarakat terhadap nilai-nilai baru. Adapun yang dimaksud dengan kapasitas resistensi tidak harus dibatasi kepada tiga unsur ini—ketiganya dibahas semata-mata sebagai contoh yang melemahkan kapasitas resistensi (gaya inersia bola) terkait dengan konteks R2P. Faktor kedua, persuasi aktor eksternal diilustrasikan sebagai gaya dorong terhadap bola, yang memberi intensif untuk bergerak ataupun disinsentif untuk mundur. Faktor ketiga, struktur dan sistem internasional, memberikan pengaruh yang sifatnya tidak langsung, layaknya penampang jalur bagi bola tersebut. Ketiga faktor ini kemudian harus dibahas dalam dimensi waktu tertentu untuk dapat dimengerti dengan menyeluruh. Karena sifatnya yang parsimoni, meskipun demikian, model tersebut serta penelitian ini juga memiliki beberapa kelemahan intrinsik yang tidak bisa dihindari. Pertama, sifat analisis dan model yang parsimoni membuat keseluruhan penelitian terkesan terlalu menyederhanakan dengan tendensi generalisasi berlebihan. Kedua, meskipun dapat diaplikasikan secara bebas dan bersifat umum, model hanya bergantung pada ‘perubahan’ yang terjadi dari satu periode ke periode lain, namun tidak dapat menjelaskan kapasitas internal maupun kondisi eksternal yang terjadi sebelum perubahan tersebut, maupun bagaimana hal tersebut mempengaruhi perilaku negara terhadap norma internasional. Ketiga, maka dari itu, model tidak dapat menjadi dasar komparasi bagi dua negara yang memiliki karakteristik awal sama, namun dipengaruhi faktor-faktor yang berbeda. Melihat kemiripan menguatnya demokratisasi yang terjadi di berbagai negara berkembang serta semakin dijunjungnya norma HAM di dunia global, tren memang menunjukkan semakin menerimanya R2P secara internasional. Tren semacam ini tentu saja tetap memiliki kemungkinan untuk dapat tiba-tiba berubah jika terdapat fenomena ekstrim baru yang terjadi pada kapasitas
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
negara, relasi antar-aktor, ataupun struktur dan sistem internasional pada umumnya. Penelitian ini setidaknya menjawab pertanyaan mengenai perilaku aktor terhadap suatu norma internasional, yang juga merupakan langkah awal penting bagi disiplin ini untuk lebih mengakui pentingnya diskusi tentang norma, dan tidak lagi terfokus pada power play saja. VII. Saran Dalam kaitannya dengan norma dan nilai yang menjadi bagian dari global governance, disiplin Hubungan Internasional seringkali mengabaikan keberadaan perilaku dan posisi langsung negara ini terhadap norma tersebut. Sebagai
gantinya,
dikategorikan,
fokus
darimana
ilmu
diberikan
legitimasinya
kepada
berasal,
bagaimana
serta
’norma’
justifikasi
yang
membuatnya ’dapat’ atau ’telah’ diterima oleh komunitas internasional. Sedikit sekali analisis yang berfokus pada aktor sebagai unsur yang esensial dalam berkembangnya suatu diskursus norma, sehingga seringkali negara-negara minoritas yang tidak mendukung keberadaan suatu norma dianggap taken for granted, tidak ada sama sekali, atau setidaknya kurang signifikan. Penelitian ini, sementara itu, memilih untuk mengakui keberadaan aktor-aktor tersebut, serta menganalisis secara mendalam bagaimana perilaku aktor negara berubah dan memiliki dinamika dari waktu ke waktu. Sebanyak 15 negara menjadi subjek analisis, terutama dalam kaitannya dengan posisi mereka yang berbeda (awalnya menolak lalu menerima) terhadap R2P pada Diskusi Informal Majelis Umum 2005dan Debat R2P Sidang Majelis Umum 2009. Dimulai dari penelitian ini, disiplin ilmu Hubungan Internasional diharapkan dapat lebih melihat norma sebagai suatu unsur yang esensial dan bukan komplementer dalam hubungan internasional. Skeptisisme mengenai lemahnya norma harus mulai dikesampingkan, terutama setelah melihat bagaimana norma sesungguhnya mempengaruhi bagaimana perilaku aktor negara terhadap satu sama lain maupun norma lainnya. Saat ini Responsibility to Protect hanyalah satu contoh dari beberapa kasus dimana suatu norma diangkat sebagai diskursus sebelum akhirnya diterima sebagai suatu norma yang memiliki legitimasi dan diterima secara universal, sebelum kemudian menjadi bagian dari global governance.
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013
Penelitian ini, karena itu, meskipun secara sangat spesifik berfokus kepada 15 negara tersebut dalam kaitannya dengan konsep Responsibility to Protect sebagai suatu norma, juga dapat dikaitkan dengan keberadaan norma-norma lain secara lebih makro. Dengan demikian, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat secara lebih luas bagi disiplin Hubungan Internasional.
VIII. Kepustakaan World Federalist Movement. State-by-State Positions on the Responsibility to Protect. 11 Agustus 2005. Maret 2013.
Pidato Malaysia sebagai Perwakilan Gerakan Non-Blok pada September High-level Plenary 2005. United Nations Publications Maret 2013. Wiener, Antje. “Enacting Meaning-In-Use: Qualitative Research on Norms and International Relations.” Review of International Studies 35 (2009): 175– 193. Marks, Stephen P. dan Nicholas Cooper, “The Responsibility to Protect: Watershed or Old Wine in a New Bottle?” Jindal Global Law Review 2:1 (September 2010): 86-130
Responsibility to protect…, Andhyta Firselly Utami, FH UI, 2013