PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN BERUNSUR KARBON TINGGI UNTUK MENINGKATKAN NILAI RASIO C/N PADA KOMPOS DI UPS Thesa Siswanto
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok Program Studi Teknik Lingkungan
[email protected]
Rasio C/N yang dikandung oleh kompos UPS Cipayung masih di bawah nilai yang ditetapkan SNI 197030-2004. Faktor yang mempengaruhi rasio C/N kompos UPS Cipayung salah satunya adalah komposisi feedstock pengomposan. Selama ini, proses pengomposan dilakukan hanya dengan mengandalkan feedstock sampah organik UPS Cipayung yang memiliki kadar karbon rendah. Hal ini menyebabkan rendahnya rasio C/N pada kompos yang diproduksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan berunsur karbon tinggi untuk meningkatkan rasio C/N pada kompos di UPS Cipayung. Bahan yang berunsur karbon tinggi bisa ditambahkan ke dalam feedstock pengomposan untuk membantu meningkatkan rasio C/N. Bahan yang mudah dicari dan digunakan antara lain daun kering dan sabut kelapa. Oleh karena itu, bahan tersebut dapat ditambahkan ke dalam feedstock sampah organik UPS Cipayung agar rasio C/N meningkat. Variasi komposisi dalam penelitian ini adalah campuran sampah organik dan daun kering (tumpukan 2), sampah organik dan sabut kelapa (tumpukan 3), serta sampah organik tanpa campuran sebagai kontrol(tumpukan 1). Setelah proses pengomposan selama 90 hari, kompos yang memiliki rasio C/N paling baik sesuai dengan SNI 19-7030-2004 adalah kompos dengan campuran feedstock sabut kelapa dan sampah organik dengan rasio 13,44.
Kata kunci : Rasio C/N, Pengomposan, Sampah organik, Sabut kelapa, UPS Cipayung
The C/N ratio in compost produced by UPS Cipayung is having a quality that did not meet with SNI 197030-2004 standard. Based on several study, feedstock composition affects duration of compost produced. In UPS Cipayung, composting process was carried only by using feedstock from household waste that contained low carbon and high nitrogen compound. This is one of the reason why compost is having low carbon. The high carbon materials can be added into the feedstock composting to help increasing the C/N ratio. Materials that accessible and usable include dried leaves and coconut coir. Therefore, that material can may be added to organic waste feedstock in UPS Cipayung in order for increasing C/N ratio. Variations in composition of this research is a mixture of organic waste and dry leaves (stacks 2), organic waste and coconut coir (stacks 3), and organic waste only as control (stacks 1).
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
After the composting process for 90 days, the compost that has the best quality in accordance with SNI 197030-2004 is compost with a mixture feedstock of coconut coir and organic waste with a C/N ratio 13,44.
Keywords: C/N Ratio, Composting, organic waste, coconut coir, UPS Cipayung
1.
Pendahuluan
Timbulan sampah yang terdapat di Kota Depok merupakan jumlah sampah yang berasal dari daerah perumahan, daerah komersial (pasar, pertokoan, dan pusat perdagangan), daerah industri, perkantoran, sarana umum, jalan, taman, dan lain-lain. Kota Depok dengan jumlah penduduk 1.143.403 jiwa, menghasilkan 3.716,06 m3 timbulan sampah total (Pemerintah Kota Depok, 2011). Jumlah ini cukup besar, sehingga Dinas Persampahan Kota Depok perlu bekerja keras dalam menangani masalah pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan, meliputi pengurangan dan penanganan sampah (Kementrian Lingkungan Hidup, 2007). Salah satu pengelolaan sampah yang dapat dilakukan adalah dengan membuat kompos. Kompos adalah salah satu usaha pemanfaatan sampah yang bernilai jual. Pengomposan merupakan salah satu alternatif pengelolahan limbah padat organik yang dapat diterapkan di Indonesia, mengingat bahan baku kompos berupa bahan organik tersedia berlimpah dan teknologi tepat guna untuk proses pengomposan pun telah cukup dikuasai. Namun, kualitas pupuk kompos yang dihasilkan biasanya kurang baik. Umumnya, masalah yang dihadapi pada pengomposan adalah tidak sesuainya rasio C/N yang didapat dengan Standar Nasional Indonesia (SNI No. 19-7030-2004 : Rasio C/N 10:20-1). Hal ini menyebabkan kualitas kompos kurang baik dan penggunaan pupuk kimia meningkat. Pemakaian pupuk kimia ini cenderung lebih mahal dan ditakutkan akan mengontaminasi tanaman dengan zat-zat berbahaya. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting karena dibutuhkan sebuah cara agar kualitas pupuk kompos yang dihasilkan bisa meningkat, terutama dalam peningkatan rasio C/N, sehingga pemanfaatan pemakaian pupuk kompos akan lebih maksimal lagi. Pengomposan yang dilakukan oleh Unit Pengolahan Sampah (UPS) Cipayung memiliki hasil kompos dengan kualitas yang kurang baik, khususnya pada perolehan rasio C/N. Tidak sesuainya rasio C/N pada hasil pengomposan dapat dipengaruhi oleh faktor proses pengomposan dan bahan baku kompos. Proses pengomposan sendiri harus sesuai dengan metode yang telah ditentukan agar hasil dari kompos akan lebih maksimal. Bahan baku dari pengomposan ini adalah sampah organik yang terdiri dari limbah rumah tangga dan limbah taman. Sampah organik biasanya mengandung unsur nitrogen yang sangat tinggi, sedangkan dalam pengomposan diperlukan juga kadar karbon yang cukup besar. Hal ini akan berpengaruh besar pada rasio C/N kompos yang dihasilkan. Penelitian ini akan menggunakan feedstock dari UPS Cipayung, Kota Depok. Komposisi sampah yang datang ke UPS ini sebagian besar berasal dari pemukiman (sampah rumah tangga). Pengomposan pada penelitian
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
kali ini akan menggunakan metode open windrow. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : a)
Bagaimana pengaruh penambahan bahan campuran yang mengandung unsur karbon pada feedstock terhadap rasio C/N hasil pengomposan?
b)
Manakah bahan campuran yang lebih baik antara daun kering dan sabut kelapa?
c)
Bagaimanakah komposisi feedstock yang tepat antara daun kering dengan bahan organik dan sabut kelapa dengan bahan organik? Merujuk pada perumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
a)
Mengetahui pengaruh penambahan bahan campuran yang mengandung unsur karbon pada feedstock terhadap rasio C/N hasil pengomposan.
b)
Mengetahui bahan campuran yang lebih baik antara daun kering dan sabut kelapa dalam meningkatkan rasio C/N.
c)
Memberikan rekomendasi komposisi feedstock yang tepat antara daun kering dengan bahan organik dan sabut kelapa dengan bahan organik untuk meningkatkan rasio C/N.
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi sebagai berikut : a)
Hasil penelitian dapat menambah pengetahuan, terutama tentang proses pengomposan dan manfaat penambahan bahan campuran yang memiliki kadar karbon.
b)
Hasil penelitian dapat menjadi alternatif dalam menekan biaya penggunaan pupuk dan agar tidak tergantung penuh pada pupuk kimia.
c)
Hasil penelitian dapat memberikan informasi tentang pemanfaatan bahan campuran yang banyak mengandung unsur karbon dalam bidang pertanian serta memperkenalkan teknologi pengomposan dalam penanganan sampah organik.
d)
Pemerintah Kota Depok dapat memaksimalkan pengolahan sampah di UPS-UPS yang berada di Kota Depok.
2.
Studi Kepustakaan
2.1 Teori
Sampah merupakan sesuatu berasal dari limbah yang timbul dari aktivitas makhluk hidup dalam bentuk padat dan dibuang karena sudah tidak berguna atau tidak diinginkan (Tchobanoglous, Thiesen, dan Vigil, 1993). Menurut Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah adalah sisa dari kegiatan sehari-hari dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sampah merupakan sisa bahan yang mengalami perlakuan, baik yang telah diambil bagian utamanya atau pengelolaan karena sudah tidak bermanfaat. Sumber sampah dari setiap daerah bisa berbeda-beda. Sumber sampah bisa bermacam-macam, diantaranya adalah domestik, perkantoran, jalanan, indrusti, rumah sakit, puing pembangunan, tempat umum, perdagangan, penjernihan air bersih, dan lainnya. Dengan mengetahui sumber-sumber sampah yang ada, pemilahan sampah dapat lebih mudah dilakukan, mana yang dapat digunakan sebagai bahan pengomposan. Beberapa sumber
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
sampah di atas biasanya tidak sesuai untuk dijadikan bahan utama kompos karena sulit diuraikan atau bahkan berbahaya. Sampah memiliki banyak jenis dan tidak semua jenis sampah dapat digunakan sebagai bahan utama pengomposan. Jenis-jenis sampah dapat dibagi menjadi beberapa faktor, yaitu berdasarkan sifatnya dan berdasarkan bentuknya. Sampah berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sampah organik dan anorganik (Piet Lens, Bert Hamelers, 2004). Sampah organik, yaitu sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, sayuran, daun-daun kering, dan sebagainya. Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau yang lain. Sampah ini juga dapat diuraikan oleh bakteri dekomposer, sehingga sampah ini merupakan bahan utama dalam pengomposan. Sampah anorganik, yaitu sampah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik wadah pembungkus makanan, kertas, plastik mainan, botol dan gelas minuman, kaleng, kayu, dan sebagainya. Sampah anorganik berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Sampah ini sulit atau bahkan tidak dapat diuraikan oleh bakteri dekomposer, sehingga sampah ini tidak dapat dijadikan bahan untuk pengomposan. Sampah ini dapat dijadikan sampah komersil atau sampah yang laku dijual untuk dijadikan produk laiannya. Sampah padat dapat berupa sampah rumah tangga seperti sampah dapur, sampah kebun, plastik, metal, gelas dan lain-lain. Berdasarkan dapat atau tidaknya diurai sendiri oleh alam (biodegradability), maka sampah padat dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu (Commission for a Sustainable London, 2010) biodegradable dan non-biodegradable. Komposisi sampah menjadi penting dalam strategi pengelolaan sampah. Komposisi sampah menjadi dasar untuk strategi pengelolaan sampah dengan sistem daur ulang dan pengomposan. Komposisi sampah yang dihasilkan di setiap wilayah berbeda-beda tergantung peruntukan wilayah
serta
jenis kegiatan yang
mendominasi wilayah tersebut. Perbedaan komposisi sampah mempengaruhi jenis pengolahannya, tergantung jenis sampah yang mendominasi. Komposisi fisik sampah dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu kadar air dan kerapatan atau densitas (Dirjen Cipta Karya, 1992) . Sampah mengandung unsur-unsur kimia yang dapat berguna untuk membantu proses pengomposan. Unsur-unsur yang dapat membantu proses pengomposan antara lain adalah karbon, nitrogen, phospor, kalium, kalsium, magnesium, derajat keasaman, BOD, merkuri, dan timbal. Dua unsur yang paling penting adalah karbon dan nitrogen karena dua unsur tersebut merupakan unsur yang dibutuhkan bakteri dekomposer untuk mengurai sampah. Rasio C/N akan mempengaruhi proses pengomposan dan hasil dari pengomposan itu sendiri. Parameter yang penting dari proses pengomposan adalah ketersediaan unsur karbon untuk mikroorganisme. Mikroorganisme membutuhkan sekitar 25-30 unit karbon untuk setiap unit nitrogen yang digunakan untuk proses produksi protein (Stewart, Keith, 2006). Kandungan kadar karbon (C) dalam bahan kompos berfungsi untuk menyumbang energi untuk proses dekomposisi. Proses dekomposisi diperlukan dalam tahap pengomposan. Karbon merupakan penyusun umum dari semua bahan organik (michel et al, 1993). Manfaat karbon pada pertanian, Penting sebagai pembangun bahan organik karena sebagian besar bahan kering tanaman terdiri dari bahan organik, diambil tanaman berupa CO2. Mikroorganisme membutuhkan unsur nitrogen untuk sintesis protein. Selama proses dekomposisi sisa-sisa tanaman dan hewan oleh mikroorganisme, banyak nitrogen anorganik yang dirubah menjadi nitrogen organik (Stewart, 2006). Nitrogen adalah zat yang dapat kembali ke tanah setelah melalui proses pelapukan sisa mahkluk hidup atau bahan organik lainnya. Zat organik yang berasal dari bahan organik ini dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
Nitrogen merupakan zat yang paling berpengaruh pada pertumbuhan tanaman. Zat ini dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman di atas tanah dan memberikan warna hijau pada daun. Nitrogen merupakan zat pengatur yang sangat menguasai penggunaan kalium, fosfor, dan unsur lainnya. Fungsi lainnya dari nitrogen adalah untuk membentuk protein, lemak, dan berbagai persenyawaan organik lainnya (Lenntech, 2010). Nitrogen ini baru bisa dimanfaatkan tanaman setelah melalui beberapa tahap reaksi yang melibatkan aktivitas mikroorganisme tanah.
2.2 Pengelolaan Sampah Sampah akan terus dihasilkan selama kehidupan masih ada sehingga aktivitas pembuangan sampah ini merupakan aktivitas yang terus berlanjut. Oleh karena itu diperlukan sistem pengelolaan sampah yang baik. Sementara itu, penanganan sampah perkotaan mengalami kesulitan dalam hal pengumpulan sampah dan upaya mendapatkan tempat atau lahan yang benar-benar aman (Soeryani et al, 1997). Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang memiliki tujuan utama untuk mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan dan mengubahnya menjadi bahan yang mempunyai nilai ekonomis (United Nation, 2006). Sampah dapat dikurangi dengan cara diolah menjadi material yang bisa dianggap bukan sampah. Pengolahan sampah bisa dilakukan dengan cara mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis. Selain itu, pengolahan juga dapat dilakukan dengan mengubah sampah menjadi material yang tidak berbahaya bagi lingkungan sehingga keberadaannya di lingkungan tidak akan mengganggu. Pengolahan sampah yang utama terdiri dari tiga macam cara yaitu pengurangan volume sampah (reduce), pemanfaatan kembali sampah (reuse), atau pengolahan sampah menjadi material yang bernilai (recycle) (Park, 1997). Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroorganisme dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Crawford, 2003). Kompos yang digunakan sebagai pupuk disebut pula pupuk organik karena berasal dari bahan-bahan organik. Pupuk organik ini terbuat dari hasil pembusukan atau dekomposisi dari bahan-bahan organik seperti tanaman, hewan atau limbah organik lainnya. Kompos merupakan salah satu bahan organik yang mengalami degradasi atau penguraian sehingga berubah bentuk dan sudah tidak dikenal bentuk aslinya, berwarna kehitam-hitaman dan tidak berbau. Kompos berguna untuk memperbaiki struktur tanah, zat makanan yang diperlukan tumbuhan akan tersedia. Mikroorganisme yang ada dalam kompos akan membantu penyerapan zat makanan yang dibutuhkan tanaman. Tanah akan menjadi lebih subur. Tanaman yang dipupuk dengan kompos akan tumbuh lebih baik. Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroorganismemikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Proses pengomposan akan segera berlansung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pengaktifan dan tahap pematangan. Proses pengomposan dibedakan berdasarkan ketersediaan oksigen bebas. Mekanisme pengomposan terbagi menjadi dua cara, yaitu pengomposan secara aerobik dan anaerobik. Pada proses pengomposan secara aerobik ini, oksigen sangat mutlak diperlukan. Transformasi aerobik pada proses pengomposan dapat digambarkan dalam persamaan reaksi sebagai berikut:
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
CHON+O2+Nutrien+Nutrien→Sel baru+CO2+H2O+NH3+SO42-+Panas+Kompos Pada prinsipnya hasil akhir proses ini adalah sel-sel baru, CO2, air, amoniak, sulfat dan senyawa organik baru bersifat stabil yang dinamakan kompos. Kompos biasanya mengandung unsur lignin yang sukar terurai dalam jangka waktu yang singkat. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Temperatur tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Temperatur akan meningkat hingga di atas 60oC dan akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroorganisme yang aktif pada kondisi ini adalah mikroorganisme termofilik, yaitu mikroorganisme yang aktif pada temperatur tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroorganisme-mikroorganisme di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka temperatur akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30–40% dari volume/bobot awal bahan. Proses pengomposan aerobik akan menghasilkan humus, karbondioksida, air, dan energi. Proses pengomposan dapat dimulai dengan beberapa tahap awal, yaitu pemilahan dan penumpukan. Proses ini dilakukan agar pengomposan bisa dilakukan lebih mudah dan cepat. Pemilahan adalah kegiatan memilahmilah bahan pengomposan dari sampah organik dan memisahkannya sesuai dengan jenis sampah yang sama. Pemilahan sampah ini dilakukan bertujuan agar kandungan sampah yang akan dibuat kompos dapat diketahui. Apakah kandungan sampah tersebut berbahaya atau tidak. Selain itu, bahan sampah mana saja yang akan digunakan dalam proses pengomposan dapat ditentukan. Bahan yang akan digunakan dalam proses pengomposan bisa disebut juga dengan nama feedstock. Karakteristik feedstock yang akan digunakan untuk pengomposan memiliki beberapa persyaratan yang harus disesuaikan agar proses pengomposan berjalan dengan baik. Proses pengomposan merupakan proses yang akan berjalan cukup lama, oleh karena itu karakteristik partikel harus diperhatikan sebelum proses dimulai. Karakteristik partikel yang harus diperhatikan antara lain kondisi kelembaban, ukuran partikel, rasio C/N, dan pH. Penumpukan sampah harus dilakukan pada proses awal pengomposan. penumpukan ini bertujuan agar semakin banyak bakteri yang akan bekerja mengurai bahan dalam proses pengomposan. Bahan sampah yang terlalu sedikit dan tidak bertumpuk akan menyebabkan proses pengomposan tidak terjadi karena bakteri yang bekerja pun akan semakin sedikit. Menumpuk bahan organik pun akan membantu penyimpanan panas pada proses, sehingga bakteri akan bekerja lebih optimal lagi. Open windrow merupakan metode tertua yang digunakan dalam pengomposan. Metode ini dilakukan dengan membuat gundukan sampah, dimensi dari tumpukan ini dapat dipengaruhi oleh alat pengaduk komposnya. Pengadukan dilakukan untuk mendapatkan suplai udara yang berfungsi dalam pengaturan temperatur dan kelembaban. Pengadukan juga dapat mencegah timbulnya bau karena kemungkinan terjadinya proses anaerobik pada tumpukan kompos. Pengadukan tidak dilakukan terus menerus terutama setelah 3–4 minggu, kompos tidak perlu diaduk untuk mencapai periode pematangan. Periode ini berlangsung selama 3–4 minggu (Tchobanoglous, G, Hilary Theisen, & Samuel A. Vigil. 1993). Pada tahap selanjutnya, pengomposan akan melalui tahap optimum yang memiliki beberapa faktor penanda berjalannya proses pengomposan dengan baik. Faktor tersebut antara lain temperatur, mikroorganisme,
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
kelembaban, oksigen, rasio C/N, dan derajat keasaman. Pada proses pengomposan, mikroorganisme akan menguraikan bahan organik, memproduksi CO2, air, panas dan humus, yang merupakan produk akhir yang relatif stabil. Komunitas mikroorganisme yang berbeda mendominasi fase-fase pengomposan yang berbeda. Pada tahap awal, proses pengomposan didominasi oleh mikroorganisme mesophilic, yang menguraikan dengan cepat bahan-bahan organik mudah larut dan mudah terdegradasi. Panas yang dihasilkan pada fase ini menyebabkan temperatur pengomposan naik dengan cepat. Begitu temperatur mencapai 40°C, mikroorganisme mesofilik menjadi tidak kompetitif dan digantikan oleh mikroorganisme termofilik yang lebih menyukai lingkungan panas. Pada temperatur 55°C atau lebih, banyak sekali mikroorganisme yang bersifat pathogen bagi manusia atau tanaman akan mati. Bakteri E. Coli akan mati pada tujuh hari pertama proses pengomposan open windrow dengan range temperatur dari 33,5oC sampai 55oC (Larney et al, 2003). Sedangkan untuk bakteri salmonella sp. akan mati pada temperatur di atas 65oC (Haug, 1993). Untuk menjaga temperatur berada disekitar batas yang diijinkan, biasanya dilakukan dengan aerasi dan pembalikan. Selain temperatur, mikroorganisme juga terlibat dalam proses pengomposan. Mikroorganisme yang bekerja dalam proses pengomposan dibagi menjadi tiga macam, yaitu cryophiles atau psychrophiles, mesophiles, dan thermophiles. Bakteri tersebut hidup dan bekerja dalam temperatur yang berbeda dan tujuan yang berbeda pula. Bakteri yang hidup pada tahap mesophilic (25oC-45oC) berfungsi untuk memecahkan bahan-bahan kompos agar lebih mudar diurai. Selanjutnya, bakteri yang hidup pada tahap thermophilic (>45oC) berfungsi untuk menguraikan bahan yang telah dipecah pada proses sebelumnya. Selama tahap thermophilic, temperatur yang tinggi akan mempercepat penguraian protein, lemak-lemak dan karbohidrat kompleks seperti cellulose dan hemicellulose, molekul utama yang membangun struktur tanaman. Begitu persediaan senyawa atau komponen berenergi-tinggi habis, temperatur kompos secara berangsur-angsur akan menurun dan mikroorganisme mesophilic kembali aktif, menyelesaikan tahap akhir proses pengomposan dengan menguraikan sisa bahan organik, sampai kompos dapat dikatakan matang. Pada pengomposan, faktor lain yang mempengaruhi proses nya adalah rasio C/N. Rasio C/N adalah jumlah dari perbandingan unsur karbon dengan nitrogen yang terkandung. Mikroorganisme memecah senyawa karbon (C) sebagai sumber energi dan menggunakan nitrogen (N) untuk sintesis protein. Pada rasio C/N tertentu, mikroorganisme akan mendapatkan unsur karbon yang tepat untuk energi dan unsur nitrogen yang tepat untuk sintesis protein. Rasio C/N tanah umumnya sekitar 10–12. Apabila bahan organik memiliki rasio C/N mendekati rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat diserap atau digunakan tanaman. Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia dengan hasil akhir berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Feedstock yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 20-40, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N <20 (Washington State University, 2007). Feedstock tidak dapat langsung digunakan dalam pembuatan kompos oleh karena kadar C/N yang dikandung harus tepat dan mendekati kadar C/N tanah. Feedstock yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 40 akan terombak dalam waktu yang lama karena perbandingan C/N itu realtif tinggi dan berbeda jauh dengan kadar yang dimiliki tanah. Sebaliknya, jika nisbah tersebut terlalu rendah akan terjadi kehilangan unsur nitrogen (N) karena bakteri mikroorganisme akan mengambil N dari tanah selama proses perombakan berlangsung. Rasio karbon dan nitrogen (C/N) sangat penting untuk memasok hara yang diperlukan mikroorganisme selama proses pengomposan berlangsung. Seperti yang telah dijelaskan, karbon dan nitrogen memiliki fungsi
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
masing-masing yang sama-sama penting dalam proses pengomposan. Karbon diperlukan mikroorganisme sebagai penyumbang energi dalam proses dekomposisi, sedangkan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Kandungan karbon juga mempengaruhi proses pengikatan nitrogen oleh mikroorganisme. Bila kandungan karbon terlalu sedikit mikroorganisme akan sulit mengikat nitrogen bebas karena tidak cukupnya energi yang harusnya didapat dari karbon. Bila kandungan karbon terlalu banyak jumlah kadar nitrogen akan terbatas sehingga pertumbuhan mikroorganisme akan berhenti. Kelebihan karbon pada proses dekomposisi akan dibakar atau dibuang oleh mikroorganisme dalam bentuk CO2. Hal ini menunjukkan rasio C/N yang tinggi akan menyebabkan sulit terjadinya proses dekomposisi, sedangkan rasio C/N yang rendah menunjukkan persentase yang lebih besar daripada bahan yang mudah terdekomposisi (Rachman Sutanto, 2002). Rasio C/N akan mengalami penurunan selama proses pengomposan berlangsung, dan menstabilkan diri selama proses pematangan. Terlihat dari grafik di bawah yang menunjukkan perubahan rasio C/N yang aktif di sebulan pertama dan mulai stabil di bulan berikutnya (Li dan Zhang, 2000; Solano et al., 2001). Dalam proses pengomposan, rasio C/N secara bertahap menurun sampai menjadi kompos matang. Hal ini terjadi karena setiap kali senyawa organik yang dikonsumsi oleh mikroorganisme, 2/3 karbon dilepaskan sebagai karbon dioksida sisanya bergabung bersama dengan nitrogen ke dalam sel mikroba (Dickson, N., T. Richard, dan R. Kozlowski. 1991). Pengamatan derajat keasaman (pH) pada kompos berfungsi sebagai indikator proses dekomposisi kompos. Mikroorganisme kompos akan bekerja pada keadaan pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara 5,5 sampai 8. Selama tahap awal proses dekomposisi, akan terbentuk asam‐asam organik. Kondisi asam ini akan mendorong pertumbuhan jamur dan akan mendekomposisi lignin dan selulosa pada bahan kompos. Selama proses pembuatan kompos berlangsung, asam‐asam organik tersebut akan menjadi netral dan kompos menjadi matang biasanya mencapai pH antara 6–8. Jika kondisi anaerobik berkembang selama proses pembuatan kompos, asam‐asam organik akan menumpuk. Pemberian udara atau pembalikan kompos akan menaikan pH yang terlalu rendah (bersifat asam). Tumpukan pengomposan akan menunjukkan ciri-ciri kematangan apabila tumpukan sudah hancur merata, kelembaban sekitar 30%, dan bertemperatur rendah (dibawah 45oC). Telah diketahui bahwa proses pengomposan merupakan pembusukan bahan organik, sehingga jika pembusukan berjalan dengan baik, volume dan berat tumpukan akan berkurang (40% berat menyusut, 30% volume menyusut) karena telah diurai bakteri. Bentuk tumpukan juga akan berubah menjadi berwarna gelap sehingga tumpukan akan seperti bentuk tanah. Kelembaban yang tepat pada tumpukan yang sudah matang adalah sebesar 30%. Cara mengetahuinya bisa dilakukan tes manual dengan tangan, yaitu dengan cara meremas tumpukan dan tumpukan akan menggumpal tanpa mengeluarkan tetesan air. Parameter kematangan pada temperatur tumpukan adalah apabila temperatur tumpukan berada dibawah 45oC. Rendahnya temperatur tumpukan terjadi karena bakteri dekomposer sudah berhenti bekerja. Cara mengetahui apakah bakteri tersebut sudah selesai bekerja adalah dengan cara dilakukan pembalikan tiga hari berturut-turut dan temperatur diukur, apabila temperatur tumpukan tetap berada di bawah 45oC maka bakteri sudah berhenti bekerja. Apabila setelah pembalikan terjadi kenaikan temperatur kembali, hal ini membuktikan bahwa bakteri masih bekerja pada tumpukan. Selain itu, kompos matang juga sebaiknya memiliki warna partikel coklat gelap ke hitam. Warna gelap menunjukkan kelembaban tumpukan yang sesuai dan tidak terlalu kering.
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
3.
Metode Penelitian
3.1 Sampel Penelitian
Sampel dari penelitian ini adalah bagian feedstock, terdiri dari tiga tumpukan, yang akan digunakan dalam pengukuran parameter proses pengomposan. Jumlah sampel total yang digunakan adalah 7596 gr. Pengambilan sampel dilakukan dari setiap tumpukan. Untuk bagian sampel yang diambil harus dapat mempresentasikan keseluruhan tumpukan, maka dari itu pengambilan sampel dilakukan setelah dilakukan pengadukan. Selain itu, titik pengambilan sampel harus menyebar dibeberapa bagian tumpukan. Wadah untuk menyimpan sampel pada saat akan dibawa ke laboratorium adalah menggunakan plastik yang tertutup, hal ini agar menghindari hilangnya unsur-unsur dalam sampel ataupun pengaruh dari luar.
Jumlah Sampel Penelitian Pengukuran
Banyak
Sampel
Sampel
Sampel
Jumlah
Pengukuran
box 1 (gr)
box 2 (gr)
box 3 (gr)
(gr)
Karbon (C)
6
1
1
1
18
Nitrogen
6
1
1
1
18
Kadar air
12
10
10
10
360
Distribusi
1
500
500
500
1500
1
200
200
200
600
Densitas
1
1000
1000
1000
3000
pH
7
100
100
100
2100
(N)
partikel Water holding capacity
Sumber : Hasil Olahan (2011)
Kadar Air dan Rasio C/N Feedstock No.
Bahan
Kadar Air
C/N
(%) 1
Daun kering
8
45
2
Sampah organik (mix kicthen
75
18,46
15
110
waste and plant waste) 3
Sabut kelapa
Sumber : Tchobanoglous, (1993) ; Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor (2003 ) ; Steinberger et al. 1995
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
Kadar karbon dan nitrogen dapat diatur dengan melakukan pencampuran feedstock kompos. Sebelumnya, feedstock kompos ini telah diketahui kadar karbon dan nitrogen. Kemudian dilakukan perhitungan sebagai berikut : =
+ ( + (
) )
Dimana, X
= perbandingan atau rasio jumlah banyaknya bahan 2 dalam bahan 1.
Pembuatan variasi komposisi ditentukan berdasarkan rasio C/N yang akan dicapai, di mana sampah organik dicampur dengan bahan yang banyak mengandung unsur karbon, pada feedstock. Variasi pencampuran feedstock dilakukan dengan perhitungan komposisinya berdasarkan kadar karbon, nitrogen, dan kadar airnya dengan tujuan didapatkannya rasio C/N feedstock dalam range sebesar 20-40:1. Penelitian kali ini menggunakan daun kering dan sabut kelapa sebagai bahan campurannya karena kedua bahan ini memiliki kadar unsur karbon yang sangat tinggi. Kadar karbon di dalam bahan ini akan membantu menaikan rasio C/N pada feedstock yang dinilai masih terlalu rendah. Jumlah awal dari feedstock dan bahan pencampur (daun kering dan sabut kelapa) dibuat sama sebesar 5 kg. Hal ini dilakukan agar didapat rasio yang tepat antara kebutuhan sampah organik dan bahan pencampur sehingga rasio C/N dapat ditentukan. Rasio C/N yang dicari adalah sebesar 30, mengambil titik tengah dari range 20-40. Setelah diketahui rasio C/N yang didapat sesuai dengan perkiraan, maka komposisi pertama feedstock ditentukan sebesar 5:1 dan komposisi kedua feedstock ditentukan sebesar 5:0,5. Feedstock berupa sampah organik diambil dari UPS Cipayung secara acak dengan besar berdasarkan kebutuhan total jumlah tiga sampel yang dibutuhkan. Bahan campuran yang digunakan pada penelitian kali ini berupa daun kering dan sabut kelapa. Daun kering diambil dari lingkungan Universitas Indonesia dan sabut kelapa diambil dari Pasar Bogor. Pengisian box composter oleh sampel dilakukan dengan memasukan feedstock sesuai komposisi yang telah dihitung selama beberapa kali sampai box composter penuh. Jumlah total feedstock setiap tumpukan dihitung dengan menjumlah seluruh bahan yang telah masuk ke dalam box composter.
3.2 Data dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode pengomposan aerobik-open windrow dengan box composter berukuran 1m x 1m x 1m. Ukuran ini ditentukan dari volume tumpukan kompos yang biasa dilakukan pada pengomposan dengan metode open windrow. Box composter terbuat dari besi ringan sebagai rangka dan jaring kawat sebagai dinding agar oksigen dapat bebas masuk dari segala sisi, sehingga proses yang berjalan tetap aerobik. Pada proses pengomposan ini dilakukan pengukuran parameter berat, temperatur, serta kadar air content. Pada saat proses pengomposan berlangsung terdapat beberapa parameter yang harus diukur dan dikontrol agar pengomposan bisa berhasil. Parameter tersebut antara lain temperatur, kadar air, densitas, distribusi partikel, water holding capacity, pH, dan rasio C/N. Pengukuran yang dilakukan pun memiliki metode masing-masing, metode pengukuran parameter kompos antara lain pengukuran temperatur, pembalikan tumpukan, pengukuran kadar air, dan pengukuran rasio C/N.
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
4.
Hasil dan Pembahasan Percobaan pengomposan dilakukan selama dua bulan masa efektif dan satu bulan masa pematangan.
Pengomposan dimulai dengan pengumpulan feedstock yang berupa sampah organik, sabut kelapa, dan daun kering. Rasio komposisi sampah organik dengan daun kering tumpukan dua adalah 5kg:1kg, sedangkan rasio komposisi sampah organik dengan sabut kelapa tumpukan tiga adalah 5kg:1/2kg. Sampah organik yang digunakan berasal dari UPS Cipayung sesuai dengan tujuan dan judul penelitian ini, sedangkan sabut kelapa yang digunakan berasal dari Pasar Bogor dan daun kering yang digunakan berasal dari sekitar kampus Universitas Indonesia. Kendala yang didapat selama tahap ini antara lain pada saat pemilahan sampah di UPS Cipayung karena sampah yang terkumpul belum terpisah antara sampah organik dengan anorganik. Setelah dilakukan pengumpulan feedstock, selanjutnya feedstock dicacah dengan mesin pencacah. Pencacahan ini dilakukan agar ukuran partikel feedstock sesuai dengan karakteristik pengomposan yang baik. Pencacahan dilakukan sewaktu dengan penimbangan sampah organik dengan bahan campuran yang akan ditambahkan. Agar pencampuran lebih merata, pencacahan dilakukan setelah sampah organik dan bahan campuran dicampur dengan komposisi yang telah ditentukan. Setelah feedstock dicacah dan terkumpul, pengisian kotak dilakukan dengan referensi dari perhitungan yang telah dilakukan diawal. Pengisisan kotak harus dilakukan dalam satu waktu secara bersamaan agar hari dimulai percobaan sama setiap tumpukannya. Saat pengisian kotak tumpukan yang memiliki feedstock campuran harus diaduk secara merata. Pengisisan setiap kotak tumpukan sebaiknya dibuat berlebih agar mengantisipasi berkurangnya volume pada proses berlangsung. Setelah semua kotak tumpukan dinyatakan siap, diambil 100 gr sampel dari setiap kotak untuk digunakan pada pengukuran parameter hari ke-0. Pengadukan dilakukan seminggu sekali secara bersamaan. Setiap dilakukannya pengadukan, harus dinilai apakah feedstok kekurangan air atau tidak. Apabila feedstock terlalu kering, maka bisa dilakukan penyemprotan air sebelum dilakukannya pengadukan. Hal ini dilakukan agar kelembapan tumpukan tetap terjaga pada kondisi optimum tumpukan (Ryak, 1992), kisaran 40-60%. Pengadukan dilakukan menggunakan garu besi agar mempermudah pencampuran. Kendala yang dialami pada proses pengadukan antara lain karena tumpukan yang terlalu besar dan berada dalam kotak besi, sehingga mempersulit untuk pengadukan pada bagian bawah tumpukan. Pengukuran beberapa parameter, seperti temperatur, kadar karbon, kadar nitrogen, kadar air, pH, pun dilakukan secara berkala. Setiap dilakukannya pengukuran parameter tersebut, sampel yang diambil harus dapat mewakili satu tumpukan. Oleh karena itu, pengambilan sampel harus dilakukan setelah pengadukan dan sampel yang diambil berasal dari permukaan dan bagian tengah tumpukan.
4.1 Temperatur Data temperatur yang didapat akan memperjelas setiap fase dalam proses pengomposan. Proses pengomposan berlangsung dalam empat fase yaitu fase adaptasi, fase aktif, fase pendinginan, dan fase pematangan. Setiap fase nya menunjukkan keadaan temperatur yang berbeda. Temperatur pada hari pertama pengomposan didapat untuk ketiga tumpukan memiliki temperatur rata-rata sebesar 33oC. Proses pengomposan dimulai dengan temperatur yang sama dari ketiga tumpukan. Temperatur awal tersebut membuktikan bahwa proses pengomposan dimulai dengan proses mesofilik yang memiliki temperatur berkisar antara 25o-45oC. Pada minggu awal pengomposan terjadi fase adaptasi yang akan berlangsung selama satu minggu.
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
100
Temperatur tengah
oC
80 60 40 20 0 0
2
4
Tumpukan 1 Tumpukan 2 Tumpukan 3
6
8
10
12
14 t
Waktu Pengukuran (minggu)
Perubahan Temperatur Pada Tengah Tumpukan Sumber : Hasil Olahan (2012)
Dari grafik di atas terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang mencolok pada kenaikan temperatur di bagian permukaan kompos dan bagian tengah kompos. Perbedaan yang terlihat bahwa temperatur bagian tengah kompos selalu lebih tinggi dari bagian permukaan kompos. Hal ini menunjukkan bahwa penumpukan kompos dapat membuat tumpukan tetap mempertahankan panas tidak keluar. Kenaikan temperatur yang konstan terjadi pada dua minggu pertama. Ketiga tumpukan mencapai temperatur maksimal secara bersamaan di minggu kedua. Yang membedakan hanya nilai temperatur yang dicapai, dimana tumpukan 1 mencapai temperatur 75,5oC, tumpukan 2 mencapai temperatur 67,5oC, dan tumpukan 3 mencapai temperatur 74oC. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kotak tumpukan ini memiliki nilai pencapaian temperatur yang berbeda-beda yang disebabkan perbedaan komposisi. Pada saat tumpukan memasuki temperatur di atas 45oC, proses memasuki fase aktif dimana bakteri yang bekerja adalah bakteri thermofilik. Actvive phase ditandai dengan peningkatan temperatur yang tinggi dan signifikan sesuai dengan pernyataan Tchobanoglous et al. pada tahun 1993. Panas yang dihasilkan kompos ini berasal dari aktivitas mikroba, semakin banyak kadar oksigen yang digunakan oleh mikroba maka semakin banyak panas yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa banyak oksigen berbanding lurus dengan cepatnya proses dekomposisi.Temperatur yang tinggi diperlukan tumpukan untuk membunuh bakteri dan tanaman patogen yang dapat mengganggu proses jalannya pengomposan. Temperatur yang efektif untuk menghancurkan bakteri dan tanaman patogen dalam pengomposan adalah 55°C sesuai dengan pernyataan Jenkins pada tahun 1996, maka dapat dilihat ketiga tumpukan sudah melewati temperatur tersebut.
4.2 Derajat Keasaman (pH) pH
10 5 0 0 10 Tumpukan 1 Tumpukan 2 Tumpukan 3
20
30
40
50
60
70
80
Waktu Pengukuran (hari)
Perubahan pH Terhadap Waktu Pengomposan Sumber : Hasil Olahan (2012)
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
90
Grafik di atas menunjukkan perubahan pH ketiga tumpukan dari waktu ke waktu. Pada hari pertama ketiga tumpukan memiliki nilai pH yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan komposisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Terlihat pada minggu pertama tumpukan mengalami penurunan nilai pH. Setelah itu, nilai pH ketiga tumpukan cenderung naik kembali dan turun setelah hari ke-45 terlewati. Hal ini disebabkan oleh aktivitas mikroba yang mendekomposisi tumpukan. Turunnya nilai pH menunjukkan bahwa awal proses pengomposan ini menghasilkan asam organik untuk digunakan mikroba sehingga pengomposan berada dalam suasana yang lebih asam. Sedangkan naiknya nilai pH menunjukkan bahwa proses dekomposisi menghasilkan amonia dengan memecah ikatan senyawa menjadi nitrogen sesuai dengan pernyataan Tchobanoglous et al. pada tahun 1993. Kembali menurunnya nilai pH setelah hari ke-45 menunjukkan dimulainya fase pendinginan. Menurunnya nilai pH disertai dengan penurunan temperatur tumpukan. Indikasi dari penurunan pH pada fase ini adalah terjadinya penurunan gas amonia yang dihasilkan mikroba saat mereka aktif mendekomposisi tumpukan.
4.3 Kadar air 100
Kadar air
%
80 60 40 20 0
t 0 Tumpukan 1 Tumpukan 2 Tumpukan 3
20
40
60
80
100
Waktu Pengukuran (hari)
Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Pengomposan Sumber : Hasil Olahan (2012)
Tingkat kelembaban feedstock pada minggu pertama memiliki perbedaan pada setiap kotak tumpukan. Terlihat bahwa tumpukan 2 dan 3 memiliki tingkat kelembaban yang tinggi. Hal ini diduga dipengaruhi oleh penyimpanan sampel di dalam lemari pendingin sebelum analisa di laboratorium dilakukan, sehingga mempengaruhi kelembaban yang dimiliki feedstock. Perubahan tingkat kadar air terjadi karena pengembunan dalam sampel selama berada di lemari pendingin. Hal ini terjadi sampai pada pengukuran kedua di hari ke-15. Pada hari pertama pengomposan tumpukan 1 memiliki kelembaban sebesar 53,18%, tumpukan 2 memiliki kelembaban sebesar 70,34%, dan tumpukan 3 memiliki kelembaban sebesar 78,45%. Pada hari ke-15 pengomposan tumpukan 1 memiliki kelembaban sebesar 68,63%, tumpukan 2 memiliki kelembaban sebesar 66,07%, dan tumpukan 3 memiliki kelembaban sebesar 70,76%. Hal ini menunjukkan kelembaban kedua tumpukan melebih batas kondisi optimum pengomposan menurut Schultz (1961) sebesar 40-60%. Saat kompos matang, nilai kadar air untuk tumpukan 1 sebesar 41,93%, tumpukan 2 sebesar 48,26%, dan tumpukan 3 sebesar 47,1%. Nilai tersebut telah sesuai dengan SNI 19-7030-2004, dimana kadar air maksimum kompos matang adalah sebesar 50%.
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
4.4 Rasio C/N
25,00
Rasio C/N
20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 0
20
40
60
80
100
80
100
80
100
Waktu Pengukuran (hari)
Tumpukan 1
30,00
Rasio C/N
25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 0
20
60
Waktu Pengukuran (hari)
Tumpukan 2
Rasio C/N
40
45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 0
20
Tumpukan 3
40
60
Waktu Pengukuran (hari)
Perubahan Rasio C/N Tumpukan 1,2, dan 3 Terhadap Waktu Pengomposan Sumber : Hasil Olahan (2012)
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
Grafik di atas menunjukkan perubahan rasio C/N selama proses pengomposan berlangsung. Perbedaan sudah terlihat dari pengukuran hari pertama. Hal ini disebabkan oleh perbedaan komposisi feedstock yang digunakan. Kotak tumpukan 1 yang berisi sampah organik dari Unit Pengolahan Sampah (UPS) Cipayung saja memiliki nilai rasio C/N sebesar 20,18. Hasil penelitian yang telah dilakukan di UPS Cipayung memiliki range nilai rasio C/N antara 10-20. Sedangkan menurut Washington State University, nilai optimal untuk rasio C/N feedstock kompos berada dalam range 20-40. Nilai rasio C/N yang cukup rendah disebabkan oleh komposisi sampah UPS Cipayung yang sebagian besar berasal dari sampah rumah tangga. Sampah rumah tangga cenderung memiliki nilai rasio C/N yang rendah dikarenakan kadar karbon yang dimiliki terlalu sedikit sesuai dengan pernyataan Tchobanoglous dan Kayhanian 1992. Penurunan rasio C/N terbesar dialami oleh tumpukan 3 karena rasio C/N feedstock tumpukan ini sangat tinggi. Terjadinya penurunan nilai Rasio C/N dalam proses pengomposan merupakan salah satu penyebab utama kadar C/N kompos selalu bernilai rendah. Nilai Rasio C/N kompos matang yang diharapkan sesuai dengan SNI 19-7030-2004 adalah sebesar 10-20. Oleh karena itu, nilai Rasio C/N kompos matang sangat dipengaruhi oleh nilai Rasio C/N awal atau feedstock.
4.5 Volume tumpukan
Volume
m3
1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
0
30
60
90
Kotak Tumpukan 1
1,1
0,8
0,65
0,45
Kotak Tumpukan 2
1,2
0,8
0,65
0,5
Kotak Tumpukan 3
1,2
0,85
0,7
0,6
Perubahan Volume Tumpukan Terhadap Waktu Pengomposan Sumber : Hasil Olahan (2012)
Dari grafik di atas, dapat terlihat perubahan volume tumpukan dari hari pertama hingga tumpukan dinyatakan matang. Ketiga kotak tumpukan memiliki penyusutan volume yang hampir sama dimana lebih dari setengah tumpukan hilang karena ukuran partikelnya menyusut.
4.6 Kematangan Kompos Kompos yang sudah matang memiliki beberapa indikator yang dapat dilihat, antara lain bau, warna, dan partikel.
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
Sampel Tumpukan 1 Tumpukan 2 Tumpukan 3
Densitas (gr/cm3) 0,37 0,57 0,37
Data Densitas Kompos Matang Sumber : Hasil Olahan (2012) Bau pada ketiga tumpukan sudah menyerupai bau tanah. Untuk komposisi yang menyusun tumpukan tidak terlalu mempengaruhi bau kompos. Bau bahan campuran yang tidak terlalu kuat membuat bau ketiga tumpukan sama. Untuk warna kompos yang baik berdasarkan SNI 19-7030-2004 adalah dengan warna hitam. Namun, terjadi perbedaan warna pada tumpukan 1 yang terlihat sedikit lebih muda daripada dua tumpukan lainnya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kadar air tumpukan 1 sehingga terlihat lebih kering. Untuk tumpukan 2 dan 3 memiliki warna yang lebih gelap.
% tertahan
%
100 80 60 40 20 0
1
0,50 0,375
4
8
10
16
20
Pan
Tumpukan 1
0
9,9125 15,731 32,836 57,089 63,795 80,930 93,875 100
Tumpukan 2
0
15,624 22,515 43,378 69,943 77,200 91,133 94,261 100
Tumpukan 3
0
19,192 28,232 43,567 67,147 74,166 92,253 97,028 100
Persentasi Distribusi Partikel Kotak Tumpukan 1 Sumber : Hasil Olahan (2012) Nilai water holding capacity dari ketiga kompos tersebut semuanya telah melewati batas minimum nilai water holding capacity berdasarkan SNI 19-7030-2004. Menurut SNI tersebut, kompos matang minimal harus memiliki nilai water holding capacity sebesar 58%. Nilai WHC ketiga sampel ini telah memenuhi kriteria kompos pada SNI.
Daftar Pustaka:
Anon. 2005. The Namakkal Experience, Development Alternatives, New Delhi: Solid Waste Management, Vol. 15, No. 6.
Badrus dan Endro. 2007. Studi Pengaruh Pencampuran Sampah Domestik, Sekam Padi, dan Ampas Tebu Terhadap Kematangan Kompos. Jurnal Presipitasi, Vol. 2.
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
California Compost Quality Council. 2001. Compost Maturity Index, Nevada City: California Compost Quality Council.
Carbon-Nitrogen Relationships di akses pada tanggal 27 Maret 2012 pukul 17:30 dari Whatcom. http://whatcom.wsu.edu/ag/compost/fundamentals/needs_carbon_nitrogen.htm
Charles, Roy. 1996. Pengaruh Variasi C/N Rasio Sampah Terhadap Kualitas Kompos dan Lama Proses Pengomposan di BSD. Thesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Chau, K. W. 1995. The validity of the triangular distribution assumption in Monte Carlo simulation of construction costs: empirical evidence, Hong Kong: Construction Management and Economics.
Chester, M., D. Stupples, and M. Lees. 2010. A Comparison Of The Physical And Chemical Composition Of Uk Waste Streams Based On Hypothetical Compound Structure, United Kingdom: ATCO Power Generation Ltd, City University.
Cinergex. 1998. Energy Production Comparisons di akses pada tanggal 9 Mei 2012 pukul 18:50 dari Cinergex. http://cinergex.net/comparisons.htm.
Civeira, Gabriela. 2010. Influence of Municipal Solid Waste Compost on Soil Properties and Plant Reestablishment in Peri-Urban Environments. Chilean Journal of Agricultural Research, Vol. 70, No. 3, Hal. 446-453.
Dickson, N., T. Richard, and R. Kozlowski. 1991. Composting to Reduce the Waste Stream: A Guide to Small Scale Food and Yard Waste Composting, New York: Cornell University, 152 Riley-Robb Hall, Ithaca.
Epstein, Eliot. 1997. The Science of Composting. Lancaster, Basel: Technomic Publishing co.Inc.
Foth HD. 1998. Fundamental of Soil Science. John Wiley.
Grover, P.D dan Mishra S.K. 1996. BiomassBriquetting-Technology and Practices, Bangkok: Food and Agricultural Organization of the United Nation, RWEDP Field Document No. 46.
Haug, R. T. 1993. The Practical Handbook of Compost Engineering. Lewis Publishers, Boca Raton.
Hoornweg, Daniel. 1999. Solid Waste Management in Asia. What A Waste, Working Paper Series, Urban Development No. 1, Hal. 5.
Larney, F.J., Yanke, L.J. Miller, J.J. and McAllister, T.A. 2003. Fate Of Coliform Bacteria In Composted Beef
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
Cattle Feedlot Manure, Canada: Environmental Quality No. 32, Hal. 1508-1515.
Lens, P. 2004. Resource Recovery and Reuse in Organic Solid Waste Management, United Kingdom: Gray Publishing, Tunbridge Wells.
Lens, P. And Hamelers, B. 2004. Resource Recovery and Reuse in Organic Solid Waste Management, United Kingdom: IWA Publishing, Tunbridge Wells.
Li, G., Zhang, F., 2000. Solid Wastes Composting and Organic Fertilizer Production, Beijing: Chemical Engineering Press.
Michel, B., Henning, T., Jagger, C., and Kreibig, U. 1999. Carbon, Vol. 37, Hal. 391.
Mukono. 2006. Prinsip dasar Kesehatan Lingkungan, Surabaya: Airlangga University Press, No.1, Hal. 155-15.
Nitrogen–N di akses pada tanggal 8 Januari 2012 pukul 23:15 dari Lenntech. http://www.lenntech.com/
No time to waste-Commission for a Sustainable London 2012 di akses pada tanggal 7 Januari 2012 pukul 14:30 dari CSLondon. www.cslondon.org/ .
Odor Management Cornell Waste Management Institute diakses pada tanggal 20 Juni 2012 pukul 19:10 dari cornell. http://compost.css.cornell.edu/odors/odor.html
Organic Camp-Pembuatan Kompos diakses pada tanggal 7 Desember 2011 pukul 22:15 dari Kandaga15. http://kandaga15.multiply.com/journal/item/10/PEMBUATAN_KOMPOS
Pengelolaan Sampah di Indonesia di akses pada tanggal 13 November 2011 pukul 21:15 dari MENLH. http://www.menlh.go.id/
Profil Kota Depok diakses pada tanggal 18 Oktober pukul 12:25 dari Depok. http://www.depok.go.id/
Richard, G. F., et al. 1989. Appropriate for Water Supply and Sanitation, Transportation. Water and Telecomunication Department of The World Bank.
Setyowati, Erva. 2008. Uji Mikrobiologis Kompos Organik dari Sampah Organik dengan Penambahan Limbah
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
Tomat. Thesis. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Sulistyorini, Lilis. 2005. Pengelolaan Sam pah dengan Cara Menjadikannya Kompos. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No. 1, Juli 2005, Hal. 77 – 84.
Schultz, K. L. 1962. Contiunous Thermophilic Composting. Application Microbiology. Vol.10, Hal. 108-122.
SNI 19-7030-2004.
Steinberger, Degani, and G. Bamess. 1995. Decomposition of root fitter and related microbial population dynamics of a Negev desert shrub, Zygophyllum dumosum. J. Arid Environmental Vol.31, Hal. 383–399.
Stewart, Keith. 2006. It's A Long Road to A Tomato. New York: Marlowe and Company, Hal. 155, ISBN 978-156924-330-5.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Jakarta: Alfabeta.
Sundberg, C. dan Jönsson, H.. 2008. Higher pH and Faster Decomposition in Biowaste Composting by Increased Aeration. Waste Management, Vol. 28, hal. 518-526.
Target Program 3R 2014 di akses pada tanggal 17 November 2011 pukul 20:06 dari Cipta Karya. http://ciptakarya.pu.go.id/v2/?act=vin&nid=453.
Tchobanoglous, G., H. Theisen, and S. A. Vigil. 1993. Integrated Solid Waste Management Engineering Principles and Management Issues. New York: Mc Graw Hill, Hal. 12.4-12.6.
Tchobanoglous, G., H. Theisen, and S. A. Vigil. 1993. Integrated Solid Waste Management Engineering Principles and Management Issues. New York: Mc Graw Hill, Hal. 12.9-12.10.
Tchobanoglous, G., H. Theisen, and S. A. Vigil. 1993. Integrated Solid Waste Management Engineering Principles and Management Issues. New York: Mc Graw Hill, Hal. 12.18-12.19.
The Humanure Handbook. Jenkins Publishing, PO Box 607, Grove City. Tiquia, S. M., T. L. Richard, and M. S. Honeyman. 1998. Elimination of phytotoxicity during co-composting of spent pig-manure sawdust litter and pig sludge. Bioresource Technology, Vol. 65, Hal. 43–49.
Tobing, Esther. 2009. Studi Tentang Kandungan Nitrogen, Karbon (C) Organik, dan C/N dari Kompos Tumbuhan Kembang Bulan (Tithonia Diversifolia), Medan: Skripsi. Fakultas MIPA Universitas Sumatra Utara.
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012
Vidyaningrum, W., P.Riatno, dan Setijati H.E,. 2007. Studi Evaluasi Pengelolaan Sampah Dengan Konsep 3R, Jakarta: Jurnal Jurusan Teknik Lingkungan, FALTL, Universitas Trisakti, Vol. 4 No. 1, Juni 2007.
Vining, M. A. 2002. Bench-Scale Compost Reactors System And The Self Heating Capabilities, Texas: The Department of Civil and Environmental Engineering Texas A&M University.
Pengaruh Penambahan ..., Thesa Siswanto, FT UI, 2012