Musyrikin; Tantangan Bagi Kaum Mukmin, Bukan Bagi Para Penyembah Berhala Artikel ini merupakan ringkasan (review) dari buku karya G.R. Hawting yang berjudul The Idea of Idolatry and the Emergence of Islam: From Polemic to History (Cambridge University Press, 2006). Melalui buku ini, Hawting mendukung pandangan yang menyebut bahwa kebangkitan Islam memiliki “hutang mendalam” terhadap perselisihan di antara kaum mukmin dengan para penyembah berhala (atau orang-orang musyrik sebagaimana yang dikatakan di dalam al-Qur’an) dan penganut politeis. Dia menyetujui, bahwa kaum musyrikin yang dikecam di dalam al-Qur’an sesungguhnya adalah kaum mukmin, tetapi di kemudian hari ibadahnya menyimpang dari ajaran Tauhid sehingga digambarkan secara polemik sebagai pelaku perbuatan syirik. Karya ini menaruh perhatian luas terhadap kondisi keagamaan ketika Islam muncul di Tanah Arab. Secara lebih spesifik, buku ini mengajukan sebuah pertanyaan mendasar: Apa pemahaman yang timbul dari teks al-Qur’an mengenai kritik terhadap penganut banyak tuhan (politeisme) dan pemuja berhala. Selain itu, karya ini juga mempertanyakan pandangan awam al-Qur’an tentang berbagai kecaman terhadap para penyembah berhala atau kaum musyrikin tersebut. Ringkasan ini ditujukan untuk menelaah ulang sejumlah ayat al-Qur’an yang dapat dikatakan penuh polemik tentang penilaiannya terhadap orang-orang Arab yang menyembah berhala dan mengimani banyak tuhan, sehingga untuk menjelaskannya kita membutuhkan proses pendiskusian yang mendalam mengenai mengapa dan bagaimana penilaian tersebut bisa sedemikian tersebut diarahkan. Dengan mempelajari hal ini, kita akan bisa memandang asal-muasal kemunculan Islam dari beberapa perspektif. Secara historis, tradisi Muslim mengisahkan kepada kita bahwa Islam adalah agama Tauhid (monoteisme). Islam muncul di Arab Barat Tengah (Hijaz) pada awal abad ke-7 Masehi sebagai hasil dari rangkaian wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW. Seperti jamak diketahui, kondisi bangsa Arab ketika Muhammad hidup dan berdakwah, secara umum dikenal sebagai zaman Jahiliyah. “Jahiliyah” bisa diartikan sebagai zaman atau kondisi dimana kebodohan masyarakatnya merajalela, meski akar kata yang berhubungan dengan itu terkadang memiliki bermacam pengertian yang melampaui “kebodohan” itu sendiri. Kata ini juga kadang digunakan oleh umat Muslim yang hidup pada era modern dengan pengertian lebih luas yang mengacu pada budaya yang dianggap tidak islami. Akan tetapi, pada konteks buku ini, kata ini didasarkan pada kepada masyarakat Arab di Jazirah Arab Tengah dan Barat pada dua atau tiga abad sebelum datangnya Islam. Karakterisasi “Jahiliyah” merupakan tema yang berulang kali muncul dalam wacana Islam. Kata itu sendiri berkonotasi negatif, dan bertentangan dengan nilai serta ajaran Islam. Meski harus diakui bahwa ada ambiguitas dari sebagian umat Muslim memandang persoalan ini (misalnya pada kebiasaan orang Arab membuat puisi yang dianggap sebagai kebanggaan), namun pada pokoknya era Jahiliyah dipandang sebagai suatu kondisi yang dipenuh dengan perilaku korupsi serta imoralitas masyarakat setempat, sehingga Allah mengutus Nabi Muhammad (untuk memperbaiki moral
masyarakat setempat). Selama ini, pemahaman yang melekat di dalam alam pikiran umat Muslim tentang era Jahiliyah, yaitu bangsa Arab sebelum datangnya Islam sangatlah identik dengan perbuatan syirik; memuja berhala dan menyembah banyak tuhan; berbuat zina, membunuhi anak-anak perempuan, suka bertumpah darah, serta berbagai perilaku amoral lainnya. Akan tetapi, yang juga patut untuk diketahui, bahwa tradisi Muslim adalah satusatunya sumber informasi yang menjelaskan tentang kondisi zaman Jahiliyah di Tanah Arab. Kenyataan ini sama halnya dengan yang terjadi pada agama Yudaisme yang sepenuhnya menggantungkan pada wacana Kristen di abad pertama Masehi. Meski demikian, banyak cendekiawan modern yang menerima pemahaman tersebut, sebagaimana yang ditekankan tradisi, bahwa zaman Jahiliah merupakan alasan atas kelahiran Islam. Dengan memahami realitas zaman Jahiliyah itu, kita akan semakin memahami kemunculan agama baru bernama Islam. Dalam mengemukakan argumen mengenai hal ini, di dalam bukunya Hawting tidak memakai pendekatan yang semacam itu. Tujuannya adalah untuk menemukan perspektif baru dibanding yang sudah banyak digunakan para cendekiawan yang meneliti hal yang sama di waktu sebelumnya. Karya ini memperlakukan pandangan “Jahiliyah”, yang mengemuka dalam wacana tradisional, sebagai suatu refleksi terhadap pemahaman mengenai asal-muasal Islam yang berkembang pada awal kelahiran monoteisme. Karya ini mempertanyakan kemungkinannya untuk merekontruksi berbagai pemikiran dan praktik relijius masyarakat Arab pra Islam, khususnya di bagian dalam Arabia sesuai dengan dasar wacana yang diproduksi sejumlah cendekiawan Muslim paling awal, setidaknya 150 tahun setelah 622 Masehi (tahun-tahun permulaan Islam lahir di Arab). Berbagai literatur Islam klasik menganggap bahwa orang-orang Arab dari Hijaz adalah sasaran utama kritik dari ayat al-Qur’an yang menyematkan mereka dengan sebutan kaum musyrikin (secara harfiah berarti para penyekutu) dan kaum kafir (orangorang yang tidak beriman kepada Allah). Sejumlah rujukan Islam tradisonal, seperti sejarah kehidupan Nabi Muhammad (sirah nabawiyyah), tafsir al-Qur’an, dan berbagai literatur Islam yang lainnya mengidentifikasi kaum musyrikin dan kaum kafir (yang disebut di dalam al-Qur’an) merupakan penduduk Makkah dan orang-orang Arab yang menyembah berhala. Dijelaskan dalam buku ini, bahwa Islam tampil sebagai agama yang lahir dari daerah terpencil atau pinggiran (periferal) dari dunia monoteisme yang sudah sebagian dianut masyarakat Arab sebelumnya. Argumentasi ini bukanlah pendapat yang tidak benar adanya, penilaian yang faktuil ini sangat luar biasa dan bisa menjadi dasar yang kuat, meski catatan tradisional ini bisa dipertanyakan kembali. Pada pokok inilah yang sesungguhnya oleh penulis dimaksudkan di awal, bahwa perspektif Hawting berbeda dengan kebanyakan sarjana yang meneliti hal yang sama sebelumnya. Buku ini ingin mengungkapkan bahwa Islam sebagai suatu sistem relijius perlu dipahami sebagai hasil dari polemik internal masyarakat Arab, juga hasil dari perpecahan di antara agama tauhid yang lain (Yahudi dan Kristen). Argumentasi yang terdapat dalam buku ini bermaksud mendukung pendekatan mengenai asal kesejarahan Islam yang dilakukan dengan cara membandingkan keberadaan tradisi agama-agama tauhid, serta bersikap adil terhadap Islam itu sendiri sebagai satu bagian dari tradisi yang berkesinambungan. Pandangan umum yang selama
ini dipahami masyarakat beragama, bahwa Islam muncul dalam kelompok tauhid yang lebih luas. Kemudian, mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sehingga menjadi agama yang berdiri sendiri. Evolusi dari sebuah agama tauhid tersebutlah yang kemudian berubah menjadi agama yang kita kenal sekarang ini, yaitu Islam. Proses ini kemungkinan besar berlangsung selama berabad-abad, serta berjalan dalam banyak periode yang ditandai dengan beberapa kali migrasi penduduk, ekspansi teritorial dan pergeseran dari satu pusat kekuasaan ke kekuasaan yang lain. Di dalam buku ini, Hawting juga menjelaskan tentang ayat-ayat al-Qur’an yang memuat perdebatan, khususnya mengenai keberadaan kaum musyrikin yang berselisih di antara umat monoteisme dan masyarakat pagan penyembah berhala. Sayangnya, tradisi Islam tidak menjelaskan mengenai agama pagan yang dipeluk masyarakat Arab saat itu secara lebih substantif. Akibatnya, sangat masuk akal bila tidak ada alasan mendasar menempatkan polemik tersebut dalam ranah Arabia secara keseluruhan. Sebagaimana yang dipahami dari buku ini, tidak mudah menjelaskan secara tepat mengenai berbagai kelompok yang menjadi sasaran polemik al-Qur’an. Banyak ayat yang termuat dalam al-Qur’an mengandung perdebatan sehingga memunculkan banyak penafsiran, misalnya, mengenai keberadaan makhluk perantara atau malaikat sebagai sumber kekuatan dan pengaruh dari Tuhan. Namun, di dalam ilmu yang mempelajari tentang malaikat (angelologi), berbagai tuduhan yang menjadikan makhluk dan malaikat sebagai perantara Tuhan yang disembah-sembah itu, adalah bagian dari karakteristik dan perilaku penganut monoteis di masa awal periode Kristen. Maka dari itu, dengan latar belakang inilah tuduhan syirik itu biasa dipahami.1 Dalam menafsir ayat al-Qur’an, kita sering lupa menggunakan metode tertentu. Kebiasaan ini bisa disebabkan karena kita begitu terbiasa memahami pesan-pesan alQur’an melalui tradisi yang sudah berkembang. Padahal jika kita hanya mengandalkan alQur’an, kita akan mendeduksi berbagai ayat polemik mengenai keberadaan kaum musyrikin yang diarahkan kepada kaum politeis dan penyembah berhala Arab saja? Menurut Hawting, itu tidaklah cukup karena banyak bagian dalam al-Qur’an yang menuai perdebatan terutama yang ditujukan kepada pemeluk agama monoteis. Secara ekspilisit, beberapa ayat polemik (yang di dalam al-Qur’an disebut musyrikin) mengacu kepada orang-orang Yahudi dan Kristen. Namun, pada umumnya hal tersebut hanya dipahami sebagai pesan khusus, yang menyasar kepada rekan-rekan, warga kota dan para tetangga Muhammad di Tanah Arab yang merupakan pemeluk politeis. Asumsi penganut Protestan yang menyebut umat Katolik melakukan sesembahan kepada berhala dianggap sebagai pandangan yang masuk akal. Meski demikian, asumsi ini lebih didasarkan pada pembedaan antara penyembahan berhala yang dilakukan umat Katolik dengan masyarakat suku Aztek. 2 Selama ini, penganut Protestan memang menganggap penyembahan berhala oleh umat Katolik lebih tercela dibandingkan suku 1
Syirik merupakan kata benda dari kata kerja Bahasa Arab yang berbunyi ashraka, dan pelakunya disebut musyrik. Sebagaimana sudah disebutkan berulangkali bahwa syirik dipahami sebagai perbuatan pemberhalaan atau menganut kepercayaan politeisme. Namun dalam pemahaman dasar yang non relijius hal ini mengacu pada pengertian menjadikan seseorang atau sesuatu sebagai sekutu atas seseorang atau sesuatu yang lain. 2 Kaum Aztec adalah orang Amerika Tengah dari sentral Meksiko yang kaya dengan warisan mitologi dan kebudayaan. Kaum Aztec memuja banyak dewa, bahkan ritual penyembahan kepada dewa disuguhkan dengan menyertakan darah segar manusia.
Aztek. Tetapi, ada baiknya bila hal ini dipahami dalam beberapa tingkatan tertentu sebagai suatu bentuk monoteisme yang dekaden, atau bentuk yang berbeda dengan pemikiran dan praktik keagamaan suku Aztek. Ekspresi seperti “pemberhalaan sejati”, dalam hal ini dimaksudkan untuk memperlihatkan pembedaan di antara keduanya. Kemudian, menurut buku tersebut, sejumlah ayat al-Qur’an mengandung banyak pesan yang memicu perdebatan, khususnya yang berkenaan dengan tema-tema pemberhalaan dan kepercayaan politeisme. Keduanya ini seolah-olah harus dipahami dalam diskursus yang menuai polemik. Terkait “musyrikin”, misalnya, penyebutan ini kerap muncul di dalam al-Qur’an karena orang-orang yang masuk dalam golongan ini menempatkan ilah-ilah selain Allah, mengklaim memiliki tuhan-tuhan selain Allah, dan mempersekutukan tuhan-tuhan ini dengan Allah; dan sebagian karena cerita turuntemurun yang berkembang di luar al-Qur’an yang menggambarkan orang-orang sejawat Nabi sebagai penganut berhala, seperti al-Laata, al-Uzzaa dan al-Manaat. Selain musyrikin, tuduhan lain yang sering diberikan kepada lawan-lawan alQur’an adalah kafir, baik berbunyi kafirun, kuffar dan kafara. Semua ini dikenali sebagai bentuk jamak dari kafir, kata yang seringkali diterjemahkan sebagai “tidak beriman” atau “murtad”. Penganut monoteisme berpendapat, apa yang disebut “tuhan” oleh penganut politeisme, penyembah berhala atau “musuh-musuh” al-Qur’an itu, bisa jadi dianggap bukan sebagai sesembahan bagi mereka sendiri, tetapi hanyalah suatu bentuk pemujaan atau bahkan (ketidaksetujuan terhadap) antusiasme. Hal tersebut sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Q.S. Ali-‘Imran: 64, yang ditujukan kepada Ahli Kitab dengan menyiratkan mereka supaya tidak melakukan syirik dengan menganggap sebagian di antara mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Berikut bunyi Q.S. Ali‘Imran: 64,
ﺏب ﺗَ َﻌﺎﻟَ ْﻮ ْﺍا ﺇإِﻟَ ٰﻰ َﻛﻠَ َﻤ ٍﺔ َﺳ َﻮﺁآ ٍء ﺑَ ْﻴﯿﻨَﻨَﺎ َﻭوﺑَ ْﻴﯿﻨَ ُﻜ ْﻢ ﺃأَﻻﱠ ﻧَ ْﻌﺒُ َﺪ ِ ﻗُﻞْ ٰﻳﯾﺄ َ ْﻫﮬﮪھ َﻞ ْﭐٱﻟ ِﻜﺘَﺎ ﺇإِﻻﱠ ﱠ ﻭوﻥن ُ ﻙك ﺑِ ِﻪﮫ َﺷﻴﯿْﺌﺎ ً َﻭوﻻَ ﻳﯾَﺘﱠ ِﺨ َﺬ ﺑَ ْﻌ َ َ َﻭوﻻَ ﻧُ ْﺸ ِﺮ#ﭐٱ ِ ﻀﻨَﺎ ﺑَﻌْﻀﺎ ً ﺃأَﺭرْ ﺑَﺎﺑﺎ ً ﱢﻣﻦ ُﺩد ْ ﻮﺍا ﭐٱ ْﺷﻬﮭَ ُﺪ ْ ُِ ﻓَﺈِﻥن ﺗَ َﻮﻟﱠ ْﻮ ْﺍا ﻓَﻘُﻮﻟ#ﭐٱ ﱠ ﻮﻥن َ ﻭوﺍا ﺑِﺄَﻧﱠﺎ ُﻣ ْﺴﻠِ ُﻤ “Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah, Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka): “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim." Q.S. Ali-‘Imran: 64. Ayat ini sesunggguhnya ingin menjelaskan kepada umat Islam supaya tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, walau sesuatu itu dianggap menjadi perantara yang bisa mendatangkan manfaat hidup. Selain itu, al-Qur’an juga menjelaskan tentang berbagai petunjuk mengenai sifat beberapa makhluk yang dianggap sebagai perantara. Beberapa juga menyebutkan orangorang tersebut (musyrikun) menganggap para malaikat sebagai keturunan Tuhan. Kemudian, pada Q.S. Az-Zukhruf: 15, ayat ini menuding orang-orang musyrik yang
mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah anak-anak perempuan Allah. Lalu pada ayat 19, mereka menyatakan bahwa malaikat-malaikat yang sebenarnya hamba-hamba Allah itu berjenis kelamin perempuan.
ْ َُﻭو َﺟ َﻌﻠ ٌ ِﺎﻥن ﻟَ َﻜﻔُﻮ ٌﺭر ﱡﻣﺒ ﻴﯿﻦ َ ﻮﺍا ﻟَﻪﮫُ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَﺎ ِﺩد ِﻩه ﺟ ُْﺰ ًءﺍا ﺇإِ ﱠﻥن ﭐٱﻹﻧ َﺴ “Dan mereka menjadikan sebagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bagian dariNya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar (nikmat) yang nyata.” Q.S. Az-Zukhruf : 15.
ْ ﻳﯾﻦ ﻫﮬﮪھُ ْﻢ ِﻋﺒَﺎ ُﺩد ﭐٱﻟﺮﱠﺣْ َﻤ ٰـ ِﻦ ﺇإِﻧَﺎﺛﺎ ً ﺃأَ َﺷ ِﻬﮭ ُﺪ ْ َُﻭو َﺟ َﻌﻠ ﻭوﺍا َﺧ ْﻠﻘَﻬﮭُ ْﻢ َ ﻮﺍا ْﭐٱﻟ َﻤﻼَﺋِ َﻜﺔَ ﭐٱﻟﱠ ِﺬ ﻮﻥن َ َُﺳﺘُ ْﻜﺘَﺐُ َﺷﻬﮭَﺎ َﺩدﺗُﻬﮭُ ْﻢ َﻭوﻳﯾُﺴْﺄَﻟ “Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih itu sebagai jenis perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan (malaikat-malaikat itu)? Kelak akan dituliskan kesaksian mereka dan akan dimintakan pertanggungjawaban.” Q.S. Az-Zukhruf: 19. Sedangkan Q.S. Al-Anbiyaa’: 26 – 28, adalah ayat-ayat Tauhid yang membantah adanya tuhan selain Allah, serta menyatakan anggapan kaum musyrik yang berpendapat bahwa Allah mempunyai keturunan.
ْ َُﻭوﻗَﺎﻟ ﻮﻥن َ ﻮﺍا ﭐٱﺗﱠ َﺨ َﺬ ﭐٱﻟﺮﱠﺣْ َﻤ ٰـ ُﻦ َﻭوﻟَﺪﺍاً ُﺳ ْﺒ َﺤﺎﻧَﻪﮫُ ﺑَﻞْ ِﻋﺒَﺎ ٌﺩد ﱡﻣ ْﻜ َﺮ ُﻣ ﻮﻥن َ ُﻻَ ﻳﯾَ ْﺴﺒِﻘُﻮﻧَﻪﮫُ ﺑِ ْﭑﻟﻘَ ْﻮ ِﻝل َﻭوﻫﮬﮪھُ ْﻢ ﺑِﺄ َ ْﻣ ِﺮ ِﻩه ﻳﯾَ ْﻌ َﻤﻠ ﻀ ٰﻰ َ ﻳﯾَ ْﻌﻠَ ُﻢ َﻣﺎ ﺑَﻴﯿ َْﻦ ﺃأَ ْﻳﯾ ِﺪﻳﯾ ِﻬﮭ ْﻢ َﻭو َﻣﺎ َﺧ ْﻠﻔَﻬﮭُ ْﻢ َﻭوﻻَ ﻳﯾَ ْﺸﻔَﻌ َ َُﻮﻥن ﺇإِﻻﱠ ﻟِ َﻤ ِﻦ ﭐٱﺭرْ ﺗ ﻮﻥن َ َُﻭوﻫﮬﮪھُ ْﻢ ﱢﻣ ْﻦ َﺧ ْﺸﻴﯿَﺘِ ِﻪﮫ ُﻣ ْﺸﻔِﻘ “Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai anak”, Maha Suci Allah. Sebenarnya mereka (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Dia (Allah) mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi safaat melainkan kepada orang yang diridhai (Allah), dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” Q.S. Al-Anbiyaa’: 26 – 28. Selain itu, pada sejumlah ayat al-Qur’an yang lain juga menjelaskan mengenai adanya harapan dari orang-orang musyrik untuk menjadikan malaikat sebagai perantara mereka. Meski diakui bahwa adanya kemungkinan sejumlah ayat ini bersifat polemik, namun bagaimanapun juga tidak berarti kita perlu mengikuti tradisi klasik yang
menjadikan para malaikat sebagai sesembahan. Angelologi yang berkembang saat itu merupakan ciri dari beberapa kelompok monoteis di akhir Abad Kuno. Fakta yang seperti ini juga terjadi di antara penganut Kristen dan Yahudi. Perselisihan antar keduanya, khususnya di awal-awal kemunculan Kristen, sangat diwarnai dengan berbagai tuduhan penyembahan terhadap malaikat.3 Keyakinan tentang para malaikat ini pada akhirnya mengaburkan perbedaan antara malaikat dan nabi. 4 Bahkan, mengasosiasikan dan mengidentifikasi mereka dengan bintang-bintang, serta menyematkan peran kepada mereka sebagai para perantara yang menginformasikan tentang kapan datangnya Hari Kiamat. Karena itu, al-Qur’an yang berkisah mengenai kepercayaan orang-orang musyrik yang memuja para malaikat itu bukan tidak bisa kita percaya sepenuhnya, melainkan dengan sengaja membiarkan distorsi ini terjadi dengan tujuan ingin memperlihatkan kenyataan yang sesungguhnya. Sejauh ini, meski beberapa bukti yang sudah ada belum cukup untuk memungkinkan kita memperoleh pandangan yang jelas mengenai keyakinan orang-orang musyrik ini, namun ini tidak menggambarkan mereka sebagai kaum politeis sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai tafsir dan literatur Islam klasik lainnya. Ayat-ayat alQur’an yang disebutkan sebelumnya tidak menunjuk kepada satu kelompok yang memuja banyak tuhan dan berhala saja, tetapi juga kepada kelompok yang sebenarnya berbagi beberapa ajaran yang terdapat dalam kepercayaan monoteis, seperti keyakinan bahwa Allah adalah Sang Pencipta, mengakui keberadaan para malaikat, Hari Kiamat dan perantara. Namun hanya penganut politeisme, sebagaimana kata al-Qur’an, dikritik dengan praktik syirik. Sedangkan berhala5 yang dari dahulu “dipersalahkan” dan menjadi sasaran kritik al-Qur’an, biasanya terkait dengan orang-orang di masa lalu, dan paling sering berupa laporan mengenai bagaimana Ibrahim berhadapan dengan umatnya. Sedangkan pada beberapa ayat, as naam muncul dan berkaitan dengan orang-orang Bani Israil, misalnya yang terdapat pada Q.S. al-A’raaf: 138, yang bercerita mengenai Bani Israil ketika menyeberangi Laut Merah. Pada ayat itu diceritakan, Musa menyaksikan umatnya menyembah berhala, sehingga Bani Israil memintanya agar membuatkan mereka tuhan (ila ̄ h) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan. Namun, justru Musa membalas dengan mengatakan mereka bersikap keras kepala. Ayat ini tidaklah mengejutkan bila dibandingkan dengan kisah sama yang termuat di dalam Injil dan sejumlah literatur klasik yang lainnya. Beberapa literatur tradisional yang ada tampak jelas menyebutkan bahwa orang-orang Arab pra Islam secara berulang kali disebut sebagai penyembah awtha n̄ dan as na ̄m, oleh karena itu al-Qur’an menjelaskan: ·
ﻮﻥن َﻋﻠَ ٰﻰ َ َُﻭو َﺟﺎ َﻭو ْﺯزﻧَﺎ ﺑِﺒَﻨِ ۤﻲ ﺇإِ ْﺳ َﺮﺁآﺋِﻴﯿ َﻞ ْﭐٱﻟﺒَﺤْ َﺮ ﻓَﺄَﺗَ ْﻮ ْﺍا َﻋﻠَ ٰﻰ ﻗَ ْﻮ ٍﻡم ﻳﯾَ ْﻌ ُﻜﻔ ْ ُﺃأَﺻْ ﻨَ ٍﺎﻡم ﻟﱠﻬﮭُ ْﻢ ﻗَﺎﻟ ﻮﺍا ٰﻳﯾ ُﻤﻮ َﺳ ٰﻰ ﭐٱﺟْ َﻌﻞْ ﻟﱠﻨَﺂ ﺇإِﻟَ ٰـﻬﮭﺎ ً َﻛ َﻤﺎ ﻟَﻬﮭُ ْﻢ ﺁآﻟِﻬﮭَﺔٌ ﻗَﺎ َﻝل ﺇإِﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﻗَ ْﻮ ٌﻡم 3
Untuk penjelasan mengenai hal ini, sebagian bisa dijelaskan sebagai distorsi kepercayaan yang memberi malaikat peran dalam penyampaian wahyu, khususnya di Gunung Sinai. 4 Hal ini karena keduanya bisa disebut dengan berbagai ungkapan yang mengindikasikan sebagai “utusan”. 5 Di dalam al-Qur’an, kata “berhala” paling umum disebut dengan dua kata dari Bahasa Arab, yaitu wathan (bentuk jamak: awtha ̄n) dan asnam (bentuk jamak: as na ̄m). ·
ﻮﻥن َ ُﺗَﺠْ ﻬﮭَﻠ “Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi lautan itu (bagian utara Laut Merah). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata: “Wahai Musa! buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. (Musa) menjawab: “Sungguh, kamu ini adalah orang-orang yang bodoh.” Q.S. al-A’raaf :138. Apapun sumbernya dalam kasus di atas, al-Qur’an adalah nash penyempurna terhadap ajaran tauhidiyah yang sudah ada sebelumnya. Tidak heran bila hal ini yang menempatkan al-Qur’an dalam tradisi tauhidiyah yang penuh perdebatan, khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan memerangi kelompok musyrikin. Hal ini juga menginformasikan kepada kita bahwa dalam bahasa al-Qur’an, kita perlu menyadari keluasan maknanya, seperti ayat-ayat yang membincangkan pemberhalaan atau perbuatan syirik bahwa perilaku ini masuk dalam konteks penyimpangan tradisi tauhidiyah. Dalam Islam, bagian pertama dari rukun iman adalah syahadat (“Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah”). Pernyataan “Syahadat” terkandung dalam Q.S. al-Ikhlas: 1-4, yang merupakan kalimat singkat dari kemurnian Tauhid. Surat ini menekankan mengenai keberadaan Tuhan yang satu. Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.
ﻗُﻞْ ﻫﮬﮪھُ َﻮ ﱠ ُ ﺃأَ َﺣ ٌﺪ#ﭐٱ ﱠ ﺼ َﻤ ُﺪ ُ ﭐٱﻟ ﱠ#ﭐٱ ﻟَ ْﻢ ﻳﯾَﻠِ ْﺪ َﻭوﻟَ ْﻢ ﻳﯾُﻮﻟَ ْﺪ َﻭوﻟَ ْﻢ ﻳﯾَ ُﻜ ْﻦ ﻟﱠﻪﮫُ ُﻛﻔُﻮﺍاً ﺃأَ َﺣ ٌﺪ “Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada yang setara dengan Dia. ” Q.S. Al-Ikhlas: 1 – 4. Perbuatan syirik yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang dikritik alQur’an bukanlah persoalan biasa. Hal ini memperkuat argumen bahwa syirik yang mereka lakukan bukanlah politeisme secara harfiah, namun suatu kegagalan (di mata para lawannya) untuk mempertahankan monoteisme secara penuh dan pantas. Itulah intisari kritik al-Qur’an terhadap kaum musyrikin. Meski mereka memahami bahwa Allah adalah Sang Pencipta dan Sang Pengatur alam semesta, dan meskipun mereka menyeru pada-Nya di masa susah, namun mereka masih terus-menerus terperosok dalam sikap yang menjauhkan diri dari akidah Tauhid. Mereka menyekutukan Allah dengan berbagai makhluk lain, bahkan terkadang menyekutukannya dengan malaikat dan jin, serta menjadikan keduanya sebagai perantara kepada Allah. Bahkan kaum musyrikin ini mengangkat para jin dan malaikat tersebut sebagai pelindung
(awliya). Di dalam Q.S. An-Najm: 18–19 terdapat tiga nama yang diidentifikasi sebagai sesembahan yang menjadi sasaran kritik terhadap penganut politeisme oleh al-Qur’an. Ayat di bawah ini juga bisa dibaca sesuai konteksnya.
ﺕت َﺭرﺑﱢ ِﻪﮫ ْﭐٱﻟ ُﻜ ْﺒ َﺮ ٰﻯى ِ ﻟَﻘَ ْﺪ َﺭرﺃأَ ٰﻯى ِﻣ ْﻦ ﺁآﻳﯾَﺎ َ ﺃأَﻓَ َﺮﺃأَ ْﻳﯾﺘُ ُﻢ ﭐٱﻟﻼﱠ ﺕت َﻭو ْﭐٱﻟ ُﻌ ﱠﺰ ٰﻯى “Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar. Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap (berhala) al-Lata dan al-Uzza,” Q.S. An-Najm: 18–19. Al-Qur’an hanya sedikit memberikan petunjuk dalam melakukan sindiran terhadap kelompok musyrikin. Kenyataan ini berbeda dengan banyak literatur klasik yang menyebut kepercayaan paganisme Arab secara eksplisit. Dijelaskan dalam literatur klasik itu, Nabi Muhammad sendiri disebut-sebut terus melakukan perlawanan terhadap mereka yang mendukung praktik penyembahan berhala, dan menolak kebiasaan tersebut ke dalam ajaran Islam. Praktik kekufuran kaum pagan ini dipraktikkan melalui doa-doa, kurban, sumpah dan lainnya, yang semua ini dianggap menjadi perantara antara mereka dengan Allah. Ketika umat Islam telah memahami makna “tidak ada tuhan selain Allah”, kemudian tetap tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan agama, dan sebaliknya justru meminta pertolongan kepada sesembahan lain (malaikat, jin atau berhala yang lain), maka orang tersebut termasuk golongan yang menyimpang dari Islam. Pada kasus ini, terdapat sebagian cendekiawan modern non Muslim yang menilai bahwa al-Qur’an tidak konsisten dengan apa yang ditemukan dalam berbagai literatur klasik/tradisi mengenai penyembahan berhala oleh orang-orang musyrikin. Namun yang patut dipahami bersama, bahwa sejarah mengenai asal-muasal Islam di Makkah dan Madinah, serta al-Qur’an sebagai kitab suci yang berisi tentang seruan dan peringatan terhadap para penyembah berhala di Arab dan Hijaz, bukanlah merupakan kumpulan sumber yang berbeda. Karena itu D.B. MacDonald melalui bukunya yang berjudul Encyclopaedia of Islam (edisi pertama, 1913-1936) menjelaskan, “Pada masa Muhammad, keberadaan agama di Makkah bukanlah sekedar menyembah berhala saja yang tampak, sebaliknya malah lebih menyerupai keyakinan Kristen, di mana orang-orang suci atau Santo dan para malaikat menjadi perantara antara manusia dengan Allah.” MacDonald mengutip serangkaian ayat al-Qur’an yang menurutnya dapat membenarkan pernyataan tersebut. Seperti halnya pandangan sejumlah cendekiawan Muslim lainnya, MacDonald menyebut bahwa orang-orang yang dikatakan berbuat syirik, seperti yang disebut dan dikritik dalam al-Qur’an, tidaklah gampang untuk disamakan dengan kebiasaan orang-orang Arab penyembah berhala yang disebut dalam berbagai literatur klasik. Hal ini bisa dialami bila seseorang meninggalkan al-Qur’an (sebagai referensi melihat keberadaan musyrikin), lalu menenggelamkan diri dalam literatur klasik yang lain, maka kemiripan antara aktifitas penyembahan berhala oleh bangsa Arab dan “suatu
bentuk kepercayaan Kristen” langsung surut dari pandangan, kecuali informasi yang bersumber dari ayat-ayat al-Qur’an bahwa pemberhalaan itu dilakukan bangsa Arab dengan menerima kekuatan para malaikat untuk menjadi perantara Allah, atau munculnya pandangan bahwa para malaikat adalah anak-anak Allah. Dengan menerima pandangan al-Qur’an yang mengkritik praktik beribadah masyarakat Makkah pada zaman Muhammad, berarti juga menerima penilaian yang disediakan oleh berbagai literatur klasik. Tetapi, janganlah lupa bahwa praktik syirik juga ada dalam tradisi umat monoteis yang dilakukan oleh beberapa kelompok tertentu. Meskipun secara etimologi kata “syirik” berarti “menyekutukan”, namun sebutan ini, dalam pandangan Hawting, tidaklah sama dengan untuk menyebut penyembah berhala atau penganut politeisme. Istilah ini tidak hanya digunakan untuk menyebut keduanya, tetapi juga sering juga disematkan pada penyembahan berhala (iba ̄dat al-as na ̄m/al · awtha ̄ n).