MUSIM DAN PUNCAK REPRODUKSI KARANG Acropora nobilis DI TERUMBU KARANG TROPIK PULAU BARRANG LOMPO, MAKASSAR Chair Rani1) dan Suharsono2) (The Season and the Peak of Reproduction of Acropora nobilis in Tropical Coral Reef of Barrang Lompo Island, Makassar)
ABSTRACT Indonesia is considered as center of coral biodiversity. However, just a few of the coral species have been know regarding to its sexual reproduction deeply. On the other hand, sexual reproduction data are very important for management and rehabilitation of coral reef resources. The research aims were to analyze temporal distribution of gonad and to determine the season and the peak of reproduction of Acropora nobilis. The research also conducted to describe the relationship between spawning intensity based on eggs number and its environmental factors. This research has been done in tropical coral reef of Barrang Lompo Island, Makassar by histological approach that carried out in one year (January-December 2002). Histology samples were taken one or two days before the full moon. Determining of the season and the peak of reproduction were analyzed by gonad distribution graph. Well, to analyze the relationship between spawning intensity and environmental factors was done by multivariate analysis (principal component analysis). The result showed that reproductive period of A. nobilis was taking place for nine months. Nevertheless, this study revealed that only seven months were predicted as spawning time. There were two periods of spawning season namely 1) December-April, the peak season was on February, and 2) AugustOctober, the peak season was on August. The highest of spawning intensity were associated with the high of day and rainfall and the low of the hours of illumination and salinities, as well as, intermediate level of air and water temperatures, which occurred during on December-February. Key words: Season, reproduction, Acropora nobilis, tropical, coral reef
1. PENDAHULUAN Waktu pemijahan pada kebanyakan spesies karang berlangsung antara menjelang malam sampai tengah malam (Harrison et al. 1984, Shlesinger & Loya 1985, Babcock et al. 1986, Szmant 1986) dan umumnya memperlihatkan konsistensi dari tahun ke tahun (Harrison et al. 1984, Babcock et al. 1986). Waktu pemijahan yang mirip juga dicatat di antara populasi pada spesies yang sama di terumbu yang berbeda (Babcock et al. 1986). Ketiadaan fluktuasi lingkungan yang besar diperikirakan lebih lebarnya musim reproduksi dan kurang sinkronnya pemijahan antarspesies (Oliver et al. 1988, Richmond & Hunter 1990). Panjang dan waktu musim reproduksi juga secara kuat dipengaruhi oleh peubah lingkungan. Di Great Barrier Reef (GBR), umumnya spesies yang memijah memiliki siklus gametogenesis tunggal dan pelepasan gamet biasanya terbatas dalam satu atau beberapa malam untuk setiap tahunnya, serta cenderung terjadi secara sinkroni dalam daerah yang luas (Harrison & Wallace 1990). Berlawanan dengan hal tersebut, populasi Acropora di daerah dekat ekuator melepaskan gametnya dalam suatu periode yang melebar dan beberapa koloni bisa memiliki dua siklus gametogenesis per tahun (Oliver et al. 1988). Keragaman tentang panjang dan waktu reproduksi dari komunitas karang di banyak lokasi terumbu karang dunia, memperlihatkan adanya suatu plastisitas dalam pelbagai aspek reproduksi dan kemungkinan fenomena ini merupakan suatu strategi bereproduksi. 1) 2)
Jurusan Perikanan, Fak. Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin-Makassar Pusat Penelitian Oseanologi, LIPI-Jakarta
Meskipun perairan Indonesia yang terletak di daerah Indo-Pasifik Barat terkenal dengan keragaman spesies karangnya yang tertinggi di dunia (Tomascik et al. 1997), namun belum ada satu spesiespun yang terungkap secara terperinci tentang waktu perkembangbiakannya. Di sisi lain, pengetahuan dasar mengenai reproduksi karang penting dan dapat membantu dalam usaha pengelolaan sumber daya terumbu karang. Sebagai contoh, cara dan waktu reproduksi karang sangat besar pengaruhnya dalam proses pemulihan terhadap kerusakan terumbu karang (Glynn et al. 1991). Informasi mengenai waktu bereproduksi karang di Indonesia ataupun di Asia Tenggara sangat sulit ditemukan, tercatat hanya satu penelitian yang dilakukan oleh Bachtiar (2001) di Selat Lombok bagian timur terhadap spesies Acropora cytherea, A. nobilis dan Hydnophora rigida, itupun dilakukan hanya pada fase bulan purnama selama empat bulan. Informasi tersebut dianggap masih kurang karena beberapa jenis karang bereproduksi dalam beberapa fase bulan (Harrison & Wallace 1990) dan di daerah tropik karang kemungkinan bereproduksi sepanjang tahun (McGuire 1998). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi temporal gonad, musim dan puncak reproduksi karang Acroproa nobilis dan menguraikan keterkaitannya dengan faktor lingkungan (suhu udara, hari dan curah hujan, lama penyinaran serta suhu dan salinitas perairan).
2. BAHAN DAN METODE 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di terumbu karang Pulau Barrang Lompo (PBL), Kepulauan Spermonde, Makassar (Gambar 1) yang dilaksanakan selama satu tahun (Januari-Desember 2002). Pengambilan sampel histologi karang dilakukan di terumbu karang sebelah barat daya PBL. Sampel karang selanjutnya dianalisis secara histologi di Laboratorium Ekotoksikologi dan Fisiologi Biota Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, Univeristas Hasanuddin, Makassar. 2.2. Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini digunakan karang bercabang A. nobilis dengan mempertimbangkan penyebarannya yang luas dengan kelimpahan yang tinggi. Pengambilan sampel histologi dilakukan satu atau dua hari sebelum bulan purnama. Penentuan waktu sampling tersebut berdasarkan hasil pengamatan pemijahan in situ di PBL yang berlangsung pada fase bulan purnama dan bulan gelap (Rani 2003). Demikian pula di perairan Selat Lombok bagian timur, karang ini di prediksi memijah saat bulan purnama (Bachtiar 2001). Untuk menentukan musim dan puncak bereproduksi dalam setahun (12 siklus bulan), maka dilakukan pengambilan sampel histologi secara teratur selama 12 siklus bulan. Sebanyak 10 koloni dengan diameter >20 cm diambil contohnya secara acak dalam suatu area untuk setiap kali pengambilan, yaitu mengambil satu potongan dari bagian tengah cabang yang tua (besar) dengan panjang ± 5 cm untuk setiap koloni (Wallace 1985). Potongan tersebut kemudian diawetkan dalam larutan fiksatif formalin 5% (pengenceran dengan air laut) selama minimum satu minggu, kemudian didekalsifikasi dengan larutan 12N HCl 10% (dilarutkan dalam akuades) selama 4-6 jam atau lebih (Wallace 1985, Glynn et al. 1991, 1994). Polip-polip yang telah didekalsifikasi selanjutnya disimpan dalam wadah khusus (tissue cassette) dan dicuci dalam air kran mengalir selama 24 jam untuk menghilangkan HCl pada permukaan jaringan. Polip-polip tersebut kemudian disimpan dalam larutan alkohol 70% untuk sementara waktu (Fadlallah & Pearse 1982, Glynn et al. 1994) sebelum dilakukan persiapan untuk histologinya. Penyiapan sediaan histologi mengikuti proses teknik jaringan standar (Wallace 1985, Kiernan 1990, Glynn et al. 1991,1994). Jaringan polip disayat dengan mikrotom setebal 4-6 μm, dan di warnai dengan pewarna Harris Hematoksilin-Eosin. Bagian tengah dari potongan polip diambil sebanyak 2-3 sayatan per slide untuk mengamati distribusi jumlah gonad (sel telur dan testis) menurut tahapan perkembangannya di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x dan 20x. 2
Untuk mengetahui diameter sel telur dan testis maka dilakukan pengukuran dengan menggunakan mikrometer. Penentuan tahap perkembangan telur didasarkan atas ukuran sel dan bentuk morfologinya serta karakter warna yang ditampilkan berdasarkan hasil pewarnaan Harris Hematoksilin-Eosin. Perkembangan telur dibagi dalam empat tahap (Tahap I-IV) berdasarkan kriteria oleh Glynn et al. (1991, 1994). Beberapa peubah lingkungan juga diukur selama 12 siklus bulan untuk menguraikan keterkaitan antara intensitas bereproduksi dan faktor lingkungan. Suhu dan salinitas rata-rata bulanan perairan diperoleh dari suatu pengukuran sebanyak dua kali per minggu dengan menggunakan alat Water Quality Checker. Pengukuran dilakukan pagi hari (pukul 06.00), siang hari (pukul 12.00) dan sore hari (pukul 16.00). Sedangkan untuk data suhu udara dan lama penyinaran harian, serta curah hujan dan hari hujan bulanan diperoleh dari Stasion Meteorologi Paotere, Makassar. 2.3. Analisis Data 2.3.1. Distribusi Temporal Gonad Distribusi jumlah gonad (sel telur dan testis) dan ukurannya dianalisis dengan bantuan grafik dengan memplotkan jumlah dan ukuran gonad selama 12 siklus bulan. Perbedaan jumlah gonad menurut tingkat perkembangannya di antara bulan-bulan yang reproduktif dianalisis dengan uji chi-square. Untuk mengeliminir nilai frekuensi harapan yang <1 (Glynn et al. 1994), maka bulan-bulan reproduktif yang berdekatan akan digabung dan ditata ulang untuk dianalisis. Adapun proses penghitungannya dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Statistix 1,0. 2.3.2. Musim dan Puncak Reproduksi Penentuan musim dan puncak reproduksi dianalisis dengan bantuan grafik distribusi jumlah gonad matang dalam 12 siklus bulan pengamatan. Kehadiran gonad matang untuk bulan-bulan tertentu mengindikasikan musim-musim bereproduksi, sedangkan puncak bereproduksi ditentukan dengan melihat bulan-bulan yang memiliki distribusi tertinggi. 2.3.3. Keterkaitan Intensitas Bereproduksi dengan Faktor Lingkungan Keterkaitan antara intensitas pemijahan (jumlah telur per 50 polip) dan faktor lingkungan (suhu dan salinitas rata-rata bulanan dari permukaan perairan, serta suhu udara dan curah hujan rata-rata bulanan) diuraikan dengan analisis statistik multivariat dengan teknik Analisis Komponen Utama atau Principal Component Analysis, PCA (Clifford & Stephenson 1975, Ludwig & Reynolds 1988). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Distribusi Temporal Gonad Distribusi temporal gonad selama 12 siklus bulan dianalisis berdasarkan jumlah total sel telur dan testis serta rataan ukuran diameternya setiap bulannya dari Januari sampai dengan Desember tahun 2002. Selama sembilan bulan masa reproduktif A. nobilis, jumlah total dan ukuran diameter sel telur dan testis tertinggi ditemukan di bulan Desember-Februari, dengan jumlah total per 50 polip berkisar 208-303 butir sel telur dan 131-235 lobus testis. Kisaran ukuran diameter dari bulan-bulan tersebut yaitu 215,39-273,81 μm (sel telur) dan 194,81-278,84 μm (testis). Sedangkan untuk bulan-bulan lainnya, jumlah dan ukuran rata-rata diameter sel telur dan testisnya relatif lebih kecil (Gambar 3). Dalam sembilan bulan masa reproduktif A. nobilis, semua tahapan perkembangan gonad ditemukan pada setiap bulan, kecuali pada bulan Nopember hanya ditemukan gonad tahap awal (tahap I-II) dengan jumlah yang relatif kecil. Diduga bulan ini sebagai titik awal dari perkembangan gamet (awal dari proses gametogenesis dalam setahun atau awal dari musim reproduksi). Kehadiran berbagai tingkat perkembangan gonad atau gonad matang dalam setiap bulannya selama masa reproduktif mengisyaratkan bahwa pengeluaran hasil reproduksi (pemijahan) dapat berlangsung setiap bulan dan secara parsial. Gonad yang berada dalam tahap kembang awal tidak 3
dikeluarkan dalam bulan yang berjalan tetapi diduga kuat matang dan dikeluarkan dalam bulan berikutnya. Dugaan ini dapat dilihat berdasarkan pola perubahan diameter gonad setiap bulannya, terutama antara bulan Desember dan Maret yang merupakan bulan yang paling reproduktif. Hasil uji chi-square didapatkan adanya perbedaan distribusi gonad di antara bulan-bulan reproduktif (Agustus-Februari dan Maret), atau dengan kata lain hubungan antara frekuensi masingmasing tahapan perkembangan gonad dan bulan-bulan yang reproduktif merupakan hubungan yang tidak bebas (telur: χ2=287,76, p<0,0001; χ2= 318,82, p<0,0001). Hasil ini dapat pula diinterpretasikan bahwa terdapat bulan-bulan tertentu dengan kehadiran sejumlah besar gamet (terdapat puncak-puncak reproduksi). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa di daerah tropik, gonad matang dan siap dipijahkan hampir terdistribusi sepanjang tahun dengan siklus gametogenesis berlangsung secara bulanan. Fenomena ini berbeda dengan karang-karang yang melakukan pemijahan di daerah lintang tinggi seperti untuk jenis Paracyathus stearnsii di California. Meskipun didapatkan gonad sepanjang tahun tetapi tahap perkembangannya relatif sama (memiliki ukuran yang relatif seragam) dan gonad tersebut mencapai tahap matang dan siap dipijahkan antara akhir musim dingin dan awal musim semi (winter-spring spawning periods) yaitu antara Februari dan Mei (Fadlallah & Pearse 1982). Hal yang sama juga terjadi pada kebanyakan jenis karang (termasuk A. nobilis) di GBR, yaitu gonad matang dan siap dipijahkan hanya terdistribusi dalam rentang waktu yang sempit, yaitu antara Oktober dan Nopember (akhir musim semi dan awal musim panas) (Richmond & Hunter 1990, Harrison & Wallace 1990). Demikian pula jenis Montastrea cavernosa (pola reproduksinya bertipe pemijah yang gonokorik) di pantai Kolombia-Karibia, gonad matang yang siap dipijahkan juga hanya ditemukan antara bulan Okober dan Nopember (Acosta & Zea 1997). Fenomena yang unik dari distribusi gonad A. nobilis tersebut, yaitu ditemukannya kumpulan sperma (testis) di bulan Mei dan Juni tanpa kehadiran sel telur dan proporsi testis yang sangat tinggi dibandingkan dengan jumlah telur di bulan Maret. Diketahui bahwa jenis karang ini tergolong hermafrodit yang menghasilkan dua sel gamet dan matang secara bersamaan (Rani 2003), dengan demikian dapat dinyatakan bahwa testis tersebut merupakan sisaan (sel sperma) yang tidak dipijahkan pada bulan-bulan sebelumnya dan belum mengalami atresia. 3.2. Musim dan Puncak Reproduksi Selama sembilan bulan masa reproduktif dari jenis A. nobilis, waktu pemijahan berlangsung selama tujuh bulan (Desember-Februari, April dan Agustus-Oktober). Terdapat dua musim reproduksi dari jenis karang ini, yaitu Musim Reproduksi I (MPI) berlangsung dari bulan Desember-April, kecuali bulan Maret masuk fase kosong (fase istirahat) dan Musim Reproduksi II (MP II) berlangsung dalam bulan Agustus-Oktober (Gambar 4). Puncak reproduksi untuk MP I terjadi di bulan Februari dan MP II terjadi di bulan Agustus, dengan jarak waktu antarpuncak reproduksi tersebut, yaitu selama enam bulan. Dalam tujuh bulan waktu reproduksi, intensitas reproduksi yang rendah terjadi di bulan April dan Oktober. Reproduksi seksual pada karang dapat berlangsung secara bulanan, musiman, tahunan atau tidak sama sekali (Richmond & Jokiel 1984, Richmond 1985, Willis et al. 1985). Lebih lebarnya sebaran gonad matang yang siap dipijahkan di perairan PBL mengindikasikan lebih panjangnya musim reproduksi dari jenis karang yang diteliti dan kemungkinan juga untuk jenis karang lainnya. Karang A. nobilis di perairan Selat Lombok juga memperlihatkan perkembangan gamet dari Oktober sampai Februari dan puncak pemijahan berlangsung di bulan Februari. Musim pemijahan kemungkinan juga melebar beberapa bulan sebelum dan sesudah Februari (Bachtiar 2001). Kemungkinan pola musim reproduksi di perairan Selat Lombok selama setahun mirip dengan hasil penelitian ini, mengingat bahwa Selat Makassar dan Selat Lombok merupakan lintasan ARLINDO (Wyrtki 1961) yang memungkinkan karang di Selat Lombok terbenihkan oleh karang dari Selat Makassar sehingga memiliki kemiripan dalam waktu reproduksinya. Suatu kajian yang dapat menggambarkan pola-pola genetik dari A. nobilis pada kedua lokasi tersebut dapat menguji kebenaran hipotesis “Genetic Legacy” yang diajukan oleh Oliver et al. (1988). 4
Hasil penelitian ini juga menyokong hipotesis McGuire (1998) yang menyatakan bahwa karang yang hidup pada daerah dengan variasi suhu tahunan yang kecil (pada lintang rendah) kemungkinan memiliki waktu reproduksi sepanjang tahun. Demikian pula Richmond & Hunter (1990) memprediksi lebih lebarnya musim reproduksi dengan ketidakhadiran fluktuasi lingkungan yang besar. Beberapa data yang menggambarkan pola reproduksi komunitas karang secara umum menyokong prediksi ini. Sebagai contoh pada daerah dengan peubah lingkungan yang relatif konstan, periode pemijahan karang melebar sampai beberapa bulan seperti di Laut Merah (Shlesinger & Loya 1985), Karibia (Szmant 1986), Mikronesia (Richmond & Hunter 1990), Jepang (Hayashibara et al. 1993). Demikian pula, mendekati ekuator, beberapa karang bereproduksi sepanjang tahun, seperti di Papua Nugini (Oliver et al. 1988) dan Palau (Kenyon 1995). Proses gametogenesis pada karang secara umum memperlihatkan siklus tahunan atau menurut fase bulan (Harrison & Wallace 1990). Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa daerah yang mendekati ekuator (lintang rendah) memiliki siklus gametogenesis yang berganda (multiple gametogenic cycles) dan bereproduksi secara bulanan menurut fase bulan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian di daerah subtropik yang memperlihatkan bahwa spesies yang memijahkan gametnya untuk pembuahan eksternal biasanya mengalami siklus gametogenesis tunggal dalam setiap tahun. Sebagai contoh, sebanyak 61 jenis karang yang bertipe pemijah di GBR memiliki siklus gametogenesis tunggal dengan masa perkembangan gamet kurang dari 12 bulan dan pemijahannya berlangsung dalam periode waktu yang singkat di musim semi atau panas (Harrison & Wallace 1990). 3.3. Keterkaitan Intensitas Reproduksi-Faktor Lingkungan Hasil analisis komponen utama yang dilakukan pada matriks korelasi, menunjukkan bahwa informasi penting yang menggambarkan korelasi antara peubah yang terkait pada struktur temporal (bulan pengamatan yang reproduktif) terpusat pada dua sumbu utama (sumbu 1 dan 2). Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu ini ditentukan oleh besarnya akar ciri, yaitu masingmasing sumbu menjelaskan 67,1 % dan 23,9 % dari ragam total. Jadi dengan hanya menggunakan dua sumbu utama, keterkaitan antara intensitas reproduksi A. nobilis dan peubah lingkungan dapat dijelaskan sebesar 91% dari ragam total (Gambar 5-6). Representasi antara sumbu memperlihatkan adanya korelasi yang cukup tinggi antara beberapa peubah lingkungan. Korelasi positif terjadi terhadap lama penyinaran (LS) dengan suhu udara dan salinitas, hari hujan dan curah hujan, serta suhu udara dengan suhu perairan. Sedangkan korelasi negatif terjadi antara curah hujan dan suhu udara, salinitas dan lama penyinaran. Representasi distribusi temporal dari bulan-bulan pengamatan yang reproduktif terlihat membentuk 3 kelompok besar, yaitu kelompok fekunditas tinggi: terdiri dari bulan pengamatan Desember-Februari (kuadran 2 dan 3), dicirikan oleh hari dan curah hujan yang tinggi, suhu perairan udara dan perairan yang relatif tidak terlalu tinggi serta lama penyinaran dan salinitas yang rendah; kelompok fekunditas sedang: terdiri dari bulan-bulan pengamatan Agustus dan September (kuadran 1) yang dicirikan oleh lama penyinaran dan salinitas perairan yang tinggi, serta curah hujan dan hari hujan yang rendah; dan kelompok fekunditas rendah: terdiri dari bulan April, Oktober dan Nopember (kuadran 4), dicirikan oleh suhu udara dan perairan yang tinggi. Peubahpeubah tersebut terkait dengan rendahnya jumlah telur yang dikandung oleh A. nobilis. Faktor lingkungan di daerah subtropik terkesan mengatur aktivitas reproduksi hewan invertebrata laut termasuk karang skleraktinia (Giese & Pearse 1974, Harrison & Wallace 1990). Mekanisme terdekat yang mengatur siklus reproduksi dari invertebrata laut, umumnya terkait dengan faktor ekosgen (lingkungan luar) yang berinteraksi dengan faktor endogen (lingkungan dalam; bioritme) (Giese & Pearse 1974). Namun demikian belum diketahui faktor endogen yang mengatur reproduksi karang skleraktinia. Adapun faktor lingkungan yang mengesankan bertanggung jawab dan mengontrol aspek-aspek reproduksi pada invertebrata laut termasuk karang skleraktinia, yaitu suhu, lama penyinaran (fotoperiod), salinitas, makanan, cahaya bulan, siklus pasang surut, dan siklus terang:gelap harian (Giese & Pearse 1974, Stimson 1978, Harrison & Wallace 1990). 5
Intensitas bereproduksi jenis karang A. nobilis di PBL terasosiasi dengan semua peubah yang dipertimbangkan. Jumlah telur yang tinggi pada polip (kelompok fekunditas tinggi) terkait dengan tingginya hari dan curah hujan, lama penyinaran dan salinitas yang rendah, serta suhu perairan dan udara yang relatif tidak terlalu tinggi. Beberapa peneliti mencoba mengaitkan antara aktivitas reproduksi suatu jenis hewan dengan curah hujan dan memperlihatkan bahwa beberapa fenomena musim atau puncak reproduksi berlangsung saat musim penghujan. Sebagai contoh, musim peneluran penyu hijau (Chelonia mydas) di pantai Citirem, Jawa Barat berlangsung sepanjang tahun dengan puncak peneluran tertinggi berlangsung di musim penghujan (Oktober-Desember) dan juga adanya korelasi yang tinggi (r: 0,88) antara curah hujan dan jumlah sarang peneluran penyu di Pulau Sangalaki, Kalimantan Timur (Tomascik et al. 1997). Demikian pula musim berbiak burung Bangau Bluwok (Mycteria cinerea) dan beberapa burung air di Pulau Rambut, Jakarta bertepatan dengan datangnya musim penghujan (Januari-Februari) (Imanuddin & Mardiastuti 2003). Masih sangat kurang informasi yang menguraikan kaitan antara intensitas reproduksi karang skleraktinia dengan curah hujan. Beberapa catatan, antara lain pemijahan karang Montastrea cavernosa di pantai Karibia, Kolombia berlangsung pada bulan Oktober sebelum puncak musim hujan di bulan Nopember (Acosta & Zea 1997). Demikian pula pada karang Porites lobata di Pulau Taboga, Panama memperlihatkan peningkatan gametogenesis selama musim basah (MeiDesember) (Glynn et al. 1994). Hasil penelitian ini menegaskan bahwa di daerah tropik seperti di Indonesia faktor curah hujan menjadi salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas reproduksi karang, meskipun aktivitas reproduksi dapat berlangsung sepanjang tahun namun tampaknya karang melakukan pemilihan dalam intensitas pelepasan hasil reproduksinya, yaitu aktivitas pemijahan yang intensif di PBL berlangsung bersamaan dengan bulan-bulan yang memiliki hari dan curah hujan yang tinggi (Desember-Maret). Suhu adalah salah satu faktor fisiologi yang penting dan bervariasi secara nyata menurut lintang, dan dapat bertindak sebagai faktor utama yang memastikan musim reproduksi ketika berada dalam periode yang optimum untuk perkembangan atau pematangan gamet. Reproduksi dalam suatu kasus diharapkan berlangsung dalam kisaran suhu optimum, dan dapat berlanjut dalam kisaran yang tidak pernah melampaui ambang atas dan bawah dari suhu optimum (Giese & Pearse 1974). Kojis (1986) menyimpulkan bahwa musim pemijahan pada A. palifera di Pulau Heron sangat dibatasi oleh suhu yang berada dalam kisaran optimum untuk beberapa bulan. Pengaruh suhu terhadap aktivitas reproduksi karang juga telah diamati. Karang-karang yang reproduktif umumnya hadir dalam lingkungan suhu yang stabil di Costa Rica dan Teluk Chiriqui (Panama) dan reproduksi berlangsung sepanjang tahun (32–90% koloni mengandung gamet), sebaliknya reproduksi terbatas hanya pada periode-periode panas dalam lingkungan yang bervariasi secara musiman di Kepulauan Galapagos dan Teluk Panama (Glynn et al. 1991). Fenomena dari kisaran suhu pada pelbagai lokasi terumbu karang memunculkan pemikiran tentang adanya kisaran suhu minimum dan maksimum dalam reproduksi karang. Dalam penelitian ini, suhu rata-rata bulanan yang bertepatan dengan reproduksi karang berkisar 27,39-30,83 oC dan diduga menjadi kisaran suhu yang mendukung untuk reproduksi karang di PBL dan kemungkinan juga di daerah tropik. Namun demikian intensitas reproduksi yang tinggi berlangsung ketika suhu relatif tidak terlalu tinggi, yaitu Desember-Februari (musim penghujan) dengan suhu perairan berkisar 28,7830,17 oC. Dengan demikian kisaran suhu tersebut dapat dinyatakan sebagai kisaran yang optimum untuk reproduksi karang di PBL. Selain peubah hari dan curah hujan, suhu udara dan perairan, faktor lama penyinaran dan salinitas juga terkait dengan aktivitas reproduksi dari jenis karang yang diteliti. Lama penyinaran (fotoperiod) diketahui mengatur pembungaan pada banyak tumbuhan daratan (Raver & Johnson 1986) dan dapat memainkan peran yang mirip dalam awal perkembangan gonad dan atau pemijahan pada invertebrata laut (Babcock et al. 1994). Variasi musiman pada panjang hari (fotoperiod) dapat memberikan suatu alternatif isyarat untuk memicu berbagai fase pada pematangan gamet dan sinkronisasi bulan atau musim berkembang biak. Variasi dalam panjang hari digunakan oleh berbagai organisme untuk sinkronisasi musim perkembangbiakan, terutama tanaman (Salisbury 6
1961), avertebrata darat (Saunders 1981), dan juga oleh berbagai avertebrata laut (Pearse & Eernisse 1982). Beberapa studi eksperimental menunjukkan bahwa karang-karang juga mengatur waktu pelepasan gamet atau planulanya sebagai respons terhadap fase perubahan diurnal (cahaya siang hari) (Babcock 1984, Jokiel et al. 1985, Hunter 1988). Studi yang lebih baru tentang pemijahan masal dari spesies karang di bagian utara Papua Nugini (Oliver et al. 1988) menunjukkan bahwa pada terumbu lintang rendah dengan ciri variasi fotoperiod (atau suhu) musiman yang minimal, pemijahan tersebar selama paling kurang 6 bulan. Meskipun secara tidak langsung menunjukkan bahwa fotoperiod bekerja dalam sinkronisasi ritme reproduksi tahunan pada karang (Richmond & Jokiel 1984). Hasil penelitian di PBL menunjukkan kisaran rataan lama penyinaran harian menurut bulan berkisar 5,7-11,1 jam dan pemijahan yang intensif berlangsung pada lama penyinaran harian 4,5-7,5 jam ketika terjadi perubahan musim ke musim penghujan. Hal yang sama juga terjadi pada pemijahan karang M. cavernosa di pantai Karibia, Kolombia yang berlangsung di bulan Oktober ketika fotoperiod bergerak menuju ke titik terendah di bulan Desember (Acosta & Zea 1997). Salinitas juga dipercaya sebagai faktor pembatas fisiologi yang berpengaruh dalam aktivitas reproduksi pada invertebrata laut (Giese & Pearse 1974). Belum ada informasi yang tersedia tentang efek salinitas terhadap aktivitas atau tingkah laku bereproduksi dari karang. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa aktivitas reproduksi yang tinggi berlangsung ketika terjadi penurunan salinitas di musim penghujan (30,28-30,72 ‰). Fenomena yang sama juga teramati pada jenis M. cavernosa di pantai Karibia, Kolombia yang berlangsung ketika terjadi interaksi salinitas rendahsuhu tinggi di musim penghujan (Acosta & Zea 1997). 4. KESIMPULAN Distribusi gonad dari jenis karang A. nobilis tersebar dalam sembilan bulan dengan tujuh bulan merupakan masa reproduksi. Karang ini memiliki musim reproduksi yang melebar dengan dua musim reproduksi dalam setahun, yaitu Musim Reproduksi I (MPI) berlangsung di bulan Desember-April dengan puncak reproduksi terjadi di bulan Februari dan MP II berlangsung dalam bulan Agustus-Oktober dengan puncak reproduksi terjadi pada bulan Agustus. Intensitas bereproduksi yang tinggi (fekunditas tinggi) dari jenis karang A. nobilis di PBL terkait terkait dengan tingginya hari dan curah hujan, lama penyinaran dan salinitas yang rendah, serta suhu perairan dan udara yang relatif tidak terlalu tinggi. Waktu pemijahan karang ini berlangsung pada kondisi tanpa curah hujan dan salinitas yang relatif tinggi (Agustus-September) dan curah hujan tinggi dan salinitas rendah (Nopember-Maret), namun tampaknya karang A. nobilis lebih menyukai pemijahan di musim penghujan (interaksi curah hujan tinggi-salinitas rendah).
DAFTAR PUSTAKA ACOSTA, A. and ZEA, S., 1997. Sexual reproduction of the reef coral Montastrea cavernosa (Scleractinia: Faviidae) in the Santa Martha area, Caribbean coast of Colombia. Marine Biology, 128, 141-148. BABCOCK, R.C., 1984. Reproduction and distribution of two species of Goniastrea (Scleractinia) from the Great Barrier Reef Province. Coral reefs, 2, 187-195. BABCOCK, R.C.; BULL, G.D.; HARRISON, P.L.; HEYWARD, A.J.; OLIVER, J.K.; WALLACE, C.C., and WILLIS, B.L., 1986. Synchronous spawnings of 105 sclrecatinian coral species on the Great Barrier Reef. Marine Biology, 90, 379-394. BABCOCK, R.C.; WILLIS, B.L., and SIMPSON, C.J., 1994. Mass spawning of coral a high latitude coral reef. Coral Reefs, 13, 161-169.
7
BACHTIAR, I., 2001. Reproduction of three scleractinian corals (Acropora cytherea, A. nobilis, Hydnophora rigida) in eastern Lombok Strait, Indonesia. Majalah Ilmu Kelautan, 21 (VI), 18-27.
CLIFFORD, H.T. and STEPHENSON, W., 1975. An Introduction to Numerical Classification. New York: Academic Pr., 394p. FADLALLAH, Y.H. and PEARSE, J.S., 1982. Sexual reproduction in solitary corals: Synchronous gametogenesis and broadcast spawning in Paracyathus stearnsii. Marine Biology, 71, 233-239. GIESE, A.C. and PEARSE, J.S., 1974. Introduction: General Principles. In: Giese AC, Pearse JS (eds.). Reproduction of Marine Invertebrates, I. New York: Academic Pr., pp.1-49. GLYNN, P.W.; GASSMAN, N.J.; EAKIN, C.M.; CORTES, J.; SMITH, D.B., and GUZMAN, H.M., 1991. Reef coral reproduction in the eastern Pacific:Costa Rica, Panama, and Galapagos Islands (Ecuador). I. Pocilloporidae. Marine Biology, 109, 355-368. GLYNN, P.W.; COLLEY, S.B.; EAKIN, C.M.; SMITH, D.B.; CORTES, J.; GASSMAN, N.J.; GUZMAN, H.M.; DEL ROSARIO, J.B., and FEINGOLD, J.S., 1994. Reef coral reproduction in the eastern Pacifik: Costa Rica, Panama, and Galápagos Islands (Ecuador). II. Poritidae. Marine Biology, 118, 191-208. HARRISON, P.L. and WALLACE, C.C., 1990. Reproduction, Dispersal and Recruitment of Scleractinian Corals: Di dalam: Dubinsky (ed.). Coral Reefs : Ecosystems of The World 25. Amsterdam– Oxford - New York – Tokyo: Elsevier, pp.132-207. HARRISON, P.L.; BABCOCK, R.C.; BULL, G.D.; OLIVER, J.K.; WALLACE, C.C., and WILLIS, B.L, 1984. Mass spawning in tropical reef corals. Science, 223, 1186-1189. HAYASHIBARA, T.; SHIMOIKE, K.; KIMURA, T.; HOSAKA, S.; HEYWARD, A.; HARRISON, P.L.; KUDO, K., and OMORI, M., 1993. Patterns of coral spawning at Akajima Island, Okinawa, Japan. Marine Ecology Progress Series, 101, 253-262. HUNTER, C.L., 1988. Environmental cues controling spawning in two Hawaiian corals, Montipora verrucosa and M. dilatata. Proceeding 6th International of Coral Reef Symposium (Townsville, Australia), Vol. 2, pp. 727-732.
IMANUDDIN, and MARDIASTUTI, A., 2003. Kesuksesan perkembangbiakan dan pertumbuhan anakan bangau bluwok (Mycteria cinerea) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Hayati, 10, 76-80 JOKIEL, P.L.; JOKIEL, P.L.; ITO, R.Y., and LIU, P.M., 1985. Night irradiance and synchronization of lunar release of planula larvae in the reef coral Pocillopora damicornis. Marine Biology, 88, 167-184. KENYON, J., 1995. Latitudinal differences between Palau and Yap in coral reproductive synchrony. Pacific Science, 49, 156-164. KIERNAN, J.A., 1990. Histological & Histochemical Methods: Theory and Practice. San Francisco & London: Pergamon Pr., 433p. KOJIS, B.L., 1986. Sexual reproduction in Acropora (Isopora) species (Coelenterata: Scleractinia) I. A. cuneata and A. palifera on Heron Island reef, Great Barrier Reef. Marine Biology, 91, 291-309.
LUDWIG, J.A. and REYNOLD, J.F., 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. New York: John Wiley & Sons, 337p. 8
McGUIRE, M.P., 1998. Timing of larval release by Porites astreoides in the northern Florida Keys. Coral Reefs, 17, 369-375. OLIVER, J.K.; BABCOCK, R.C.; HARRISON, P.L., and WILLIS, B.L., 1988. Geographic extent of mass coral spawning: clues to ultimate causal factors. Proc 6th Int Coral Reef Symp (Townsville, Australia), Vol. 2, pp. 803-810. PEARSE, J.S. and EERNISSE, D.J., 1982. Photoperiodic regulation of gametogenesis and gonadal growth in the sea star Pisaster achraceus. Marine Biology, 67, 121-125. RANI, C., 2003. Waktu bereproduksi karang Acropora nobilis: Kaitannya dengan fase bulan dan kondisi pasang surut. Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2003 (Jakarta) Vol. 4, pp.143-156. RAVEN, P.H. and JOHNSON, G.B., 1986. Biology. St. Louis: Times Mirror/Mosby College Publ., 657p. RICHMOND, R.H. and JOKIEL, P.L., 1984. Lunar periodicity in larva release in the reef coral Pocillopora damicornis at Enewetak and Hawaii. Bulletin Marine Science, 34(2), 280-287. RICHMOND, R.H., 1985. Variations in the population biology of Pocillopora damicornis across the Pacific Ocean. Proc 5th Int Coral Reef Cong (Tahiti), Vol. 6, pp.101-106. RICHMOND, R.H. and HUNTER, C.L., 1990. Reproduction and recruitment of corals: comparisons among the Caribbean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. Marine Ecology Progress Series, 60, 185-203. SALISBURY, F.B., 1961. Photoperiodism and the flowering process. Annals Review Plant Physiology, 12, 293-326. SAUNDERS, D.S., 1981. Insect photoperiodism. In: Aschoff Y (ed.). Handbook of Behavioral physiology Vol. 4. New York: Plenum Pr., 435p. SHLESINGER, Y. and LOYA, Y., 1985. Coral community reproductive patterns: Red Sea versus the Great Barrier Reef. Science, 228, 1333-1335. STIMSON, J.S., 1978. Mode and timing of reproduction in some common hermatypic corals of Hawaii and Enewetak. Marine Biology, 48, 173-184. SZMANT, A.M., 1986. Reproductive ecology of caribbean reef corals. Coral Reefs, 5, 43-54. TOMASCIK, T.; MAH, A.J.; NONTJI, A., and MOOSA, M.K., 1997. The Ecology of the Indonesian Seas (Part 1 & 2), Volume VIII. Singapore: Periplus Edition (HK) Ltd., 1388p. WALLACE, C.C., 1985. Reproduction, recruitment and fragmentation in nine sympatric species of the coral genus Acropora. Marine Biology, 88, 217-233. WILLIS, B.L.; BABCOCK, R.C.; HARRISON, P.L., and OLIVER, T.K., 1985. Patterns in the mass spawning of corals on the Great Barrier Reef from 1981 to 1984. Proc 5th Int Coral Reef Cong, (Tahiti), Vol. 4, pp.343-348. WYRTKI, K., 1961. Physical Oceanography of the southeast Asian Water. Vol. 2, Naga Report. San Diego: University of California, 195p.
9